Shinigami wo Tabeta Shoujo Indo:Bab 29

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Chapter 29 - Aku Agak Capek jadi Aku Gak Mau Makan Dulu[edit]

Jeritan dan teriakan dari para prajurit Kerajaan menggema di medan perang. Kawanan sapi memporak-porandakan pasukan dari divisi Octavio.
Mereka berhasil menggempur perisai mereka. Segera setelahnya, ranjau sihir yang dibawa diledakkan oleh unit penyihir.
Untuk memperkuat daya penghancurnya, kereta-kereta itu diisi dengan bubuk mesiu dan serpihan logam tajam dalam jumlah banyak. Serpihan logam itu berhamburan ke segala arah, menancap dan melumpuhkan anggota badan para prajurit Kerajaan atau menembus tubuh mereka, dan banyak nyawa yang melayang.
Orang-orang yang mati bisa dibilang beruntung. Para prajurit yang terkena serpihan besi menderita. Mereka kehabisan tenaga untuk bertarung, namun gak mati, cuma bisa mengejang kesakitan.


Ranjau sihir didapatkan dari Kekaisaran, tapi ranjau itu gak cukup unggul dalam hal membunuh atau melukai. Tentunya, ranjau itu miliki daya ledak, tapi paling banyak cuma bisa menghempaskan beberapa orang saja.
Kalau tujuan mereka adalah untuk mengurangi jumlah musuh, ranjau dalam jumlah besar diperlukan, dan biaya serta tenaganya akan sangat besar pula.
Untuk mengurangi biaya namun dengan keefektifan yang setara, Diener harus meningkatkan senjatanya, yang biasanya ditanam, digunakan untuk menyerbu.
Peran dari sapi-sapi ini adalah untuk menunjukkan penggambaran neraka dan untuk menguras semangat juang musuh, untuk menunjukkan bahwa meski para prajurit menghentikan sapi-sapi itu, mereka akan tetap mati, dan untuk menunjukkan bahwa jika mereka menghindari, sapi-sapi itu akan masuk semakin dalam kedalam formasi dan menghasilkan kerusakan yang lebih besar. Itulah tujuan mereka untuk memaksa musuh menghadapi dua jalan alternatif yang gak masuk akal.
Bagi para prajurit Kerajaan yang memiliki moral rendah, sapi-sapi ini merupakan senjata yang sangat efektif. Gak ada prajurit kerajaan yanv memiliki kesetiaan dan keberanian yang mau secara sukarela menjadi perisai setelah melihat malapetaka ada didepan mata mereka.


200 sapi dikirim ke barisan tengah dan sayap kiri sebagai gelombang pertama.
Formasi Pasukan Kerajaan hancur berantakan, dan sudah gak ada kendali lagi. Mustahil para jenderal, Octavio atau Borbon, punya kemampuan memimpin untuk menenangkan kondisi saat ini. Dalan keadaan kacau balau seperti ini, mereka cuma bisa tercengang. Dan, masih ada banyak sapi lain yang sudah dipersiapkan dilengkapi dengan senjata pembantaian.


"Tenanglah-!! Jangan merusak barisan!! Jangan biarkan sapi-sapi itu lewat!!"


"J-Jangan bercanda! Lu pikir kita ini perisai!!?"


"Kau mau menentang perintah!!? Kalau mereka menerobos barisan, mereka akan meledak didalam kamp sekutu! Hentikan mereka dan minimalis kerusakannya! Aku gak akan memaafkan siapapun yang melarikan diri!"


"Siapa juga yang mau ngikuti perintah itu!! Dasar tolol-!"


"A-Apa kau bilang–"


Membantah perwira atasan, para prajurit Kerajaan mulai lari menyelamatkan diri. Kawanan sapi gelombang kedua menembus penjaga pertama dan meledak didalam formasi divisi Octavio.


"A-A-A-Apa ini. Apa yang terjadi! Ajudan, jelaskan!"


"Aku tidak tau! T-Tapi, kalau terus begini, divisi kita akan musnah! Komandan! Beri perintah!"


Si ajudan meminta instruksi dari Octavio, tapi Octavio sendiri dalam keadaan panik dan gak bisa memberi instruski.


"T-Tunggu! Sapi-sapi itu mengarah kesini-! Cepat hentikan mereka-! Hentikan mereka!!"


"Bodyguard, hentikan kawanan sapi itu! Lindungi Komandan? Kenapa mereka dibiarkan menembus sampai sejauh ini-!!? Apa yang dilakukan para prajurit barisan depan!?"


Para pengawal disekitar Octavio memblokir kawanan sapi itu menggunakan tubuh mereka sebagai perisai. Gak peduli orang kayak apa pemimpin mereka, pengawal harus melindunginya dengan nyawa mereka. Serbuan sapi-sapi Cologne itu terhenti gak terlalu jauh dari markas Octavio.
Penyihir Pasukan Pembebasan memperhatikan menggunakan teropong, dan memberi sinyal untuk peledakan.
Setengah dari para pengawal terkena ledakan dan tewas seketika, dan sisanya terkapar di tanah seraya menerima luka fatal.
Isi perut dari para pengawalnya berhamburan didepan Octavio. Kematian sudah datang sedekat ini. Octavio merasakan teror yang sangat besar.


"I-Ini adalah senjata baru milik musuh. Aku harus melapor pada Jenderal Barbora. Dia harus segera menerima laporan dariku! G-Guerard, kupercayakan komandonya padamu!"


Teriak Octavio sambil gemetaran, menyeka lapisan darah yang menempel padanya. Dia gak mau ada ditempat kayak gini. Kenapa seorang jenderal pangkat tinggi kayak dirinya harus berada dalam bahaya kematian? Yang ada dalam benak Octavio hanyalah pemikiran tentang meninggalkan tempat ini secepatnya.


"K-Komandan, kalau Komandan melarikan diri sekarang, pasukan kita akan kalah. Kita harus mempertahankan posisi kita disini! Kumohon padamu, tolonglah, tahan dirimu dan beri komando. Ini adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan olehmu!"


"D-Diam, tutup mulutmu-! Aku gak melarikan diri. Aku hanya mau melapor secara langsung! Aku akan segera kembali! Kuserahkan komandonya padamu sampai aku kembali."


"–K-Komandan. A-Apa kau mengabaikan kami?"


"Kuserahkan padamu, Guerard! Aku nggak akan melupakan kesetiaanmu seumur hidupku!"


Octavio segera naik ke kudanya dan bergerak menuju ke markas Barbora sambil membawa penjaganya yang tersisa. Ditinggalkan begitu saja, Guerard menggumamkan satu kalimat seraya wajahnya menjadi pucat. Keputusasaan, kekecewaan, penyesalan, dia mengeluarkan segalanya.


"......Berakhir sudah. Ini.... gak ada harapan."


Pasukan Kerajaan, ketenaran miliknya sendiri, dan Kerajaan Yuze. Kawanan sapi yang mengamuk semakin mendekat. Pada akhirnya, setelah mencemooh Octavio sebanyak yang dia bisa, ajal Guerard tiba.


Divisi Octavio yang ada di sayap tengah betul-betul kocar-kacir. Berita bahwa komandannya telah tewas menyebar, dan para prajurit dari Pasukan Kerajaan dikalahkan. Diener melepaskan kawanan sapi yang gak membawa ranjau sihir dan membuat mereka mengerahkan mereka kearah infanteri lagi. Para prajurit Kerajaan mulai melarikan diri hanya dengan melihat kawanan sapi itu. Situasi pertempuran langsung beralih menguntungkan Pasukan Pembebasan.


Divisi Borbon yang ada di sayap kiri bisa dibilang dalam keadaan yang sama. Komandannya gak melarikan diri, tapi dia gak bisa memberi perintah yang efektif. Dia bahkan gak bisa membuat keputusan untuk mundur. Ini adalah karma karena menempatkan dia disini dan diberi kepercayaan untuk mengkomando. Para bintara memprioritaskan keselamatan mereka sendiri dan membuang senjata mereka dan melarikan diri.
Behrouz dari Pasukan Pembebasan gak akan melewatkan kesempatan ini, dan dia melakukan penyerangan besar-besaran. Dia berdiri didepan pasukan dan menghancurkan sayap kiri dalam sekali serang. Mayjen Borbon melarikan diri ke belakang bersama pasukan kecil dibawah komandonya.... bersama seorang staf perwira dan bodyguard membopong dia dikedua lengannya.


Markas Barbora berada diantara sayap tengah dan sayap kiri yang telah hancur.
Larus, yang memahami sifat dari senjata musuh, segera menyebarkan para prajurit, berusaha untuk menahan kerusakannya seminimal mungkin.
Adapun untuk menangani kawanan sapi itu, dia memerintahkan untuk menghentikan kaki sapi-sapi itu. Meskipun itu adalah sebuah rencana cadangan, ini juga merupakan cara terbaik dalam situasi ini.


"Lemparkan tombak kalian, hentikan kaki sapi-sapi itu! Jangan gegabah, tenang dan bidik!!"


"Unit tombak, lempar-!!"


Meskipun berada dalam situasi gak menguntungkan, para prajurit Larus mengikuti arahannya dan melemparkan tombak mereka. Dengan beberapa tombak mengenai kaki mereka, keseimbangan sapi-sapi Cologne itu rusak, dan mereka tersungkur. Kelemahan sapi-sapi itu adalah beratnya kereta yang mereka tarik.
Pergerakan mereka bisa dihentikan dengan menekannya ke samping atau menyerang kaki sapi-sapi itu.
Dari belakang, infanteri bersiap dengan perisai, para pemanah menyerang kawanan sapi itu dengan panah api. Ranjau sihir gak akan meledak selama ranjau-ranjau itu gak menerima sinyal sihir, tapi lain lagi ceritanya kalau diisi dengan mesiu. Saat tersulut, kereta-kereta itu akan meledak dengan dentuman menggelegar disertai hamburan sepihan logam.


"Beritahu para prajurit di barisan depan untuk mengincar kaki sapi-sapi itu dengan tombak mereka-! Atau cobalah untuk menggulingkan mereka dengan serangan dari samping! Kita tak bisa menghadapi mereka dengan cara lain lagi dalam situasi ini! Jangan pernah menghentikan mereka dari depan, jangan mati sia-sia!"


"Siap ndan-!"


Larus memberi perintah, dan si utusan memberi hormat dan bergerak menuju barisan depan.


"Gak disangka mereka membiarkan kawanan sapi menerobos sejauh ini-!"


(Kalau kami memasang pancang, atau mungkin pagar pertahanan, kami bisa mengatasinya. Tapi gak akan sempat melakukannya. Sial– kalau terus seperti ini....)


Menatap sekelilingnya, yang dia lihat hanyalah para prajurit dan perwira yang terluka. Melihat ke barisan depan, sekutunya betul-betul terdesak. Apa yang harus dia lakukan dalam situasi ini? Larus berbalik, dan menuju ke markas Barbora. Sekarang pasukan utama mereka sudah kocar-kacir, yang jadi sasaran berikutnya adalah markas utama mereka. Mereka harus mengambil keputusan.
Larus teringat kata-kata terakhir Sharov, dan mengutuk dalam benaknya.


(Seperti yang dibilang Panglima Sharov, sudah kuduga kalau kami nggak seharusnya memulai serangan. Kami seharusnya memperkuat pertahanan kami dan menunggu kesempatan. Kalau kami di pegunungan, keadaan ini gak akan terjadi-!)


Markas pusat.

Para utusan hilir-mudik keluar masuk.
Octavio yang kabur dan datang kesini memberi penjelasan dengan panik pada Barbora yang pembuluh darah di kepalanya menyembul.
Tatapan penentangan dari para staf perwira diarahkan pada Octavio. Barbora menahan kemarahannya sambil menggertak giginya.


"P-Panglima. Itu senjata baru milik musuh. Kekuatannya mengerikan! Aku harus segera melapor dan datang kesini tanpa mempedulikan bahayanya. Tolong, tolong mengerti-! Aku tidak melarikan diri!"


".....Terus, apa yang terjadi pada prajuritmu. Apa kau, komandannya, mengabaikan prajuritmu dan melarikan diri? Apa kau masih menyebut dirimu komandan divisi!? Apa kau gak punya malu sebagai seorang Mayor Jenderal!!?"


"K-Kau salah! Aku hanya sangat kuatir pada keselamatan Komandan, dan aku gak bisa berhenti kuatir–"


"Diam bodoh–!! Dasar gak tau malu–!!"


Tinju Barbora mendarat di wajah Octavio. Darah mengalir dihidungnya, Octavio bersujud.


"–M-M-Maafkan aku–"


"Dan bukan cuma itu saja! Bangsat, kenapa kau nggak menyerang kayak yang direncanakan! Apa yang kau pikirkan sampai-sampai melewatkan peluang kemenangan kita-!?"


Dia menendang tubuh Octavio. Hal itu nggak meredakan amarahnya.


"S-Sinyal api. Sinyal apinya tidak ada! Semua ini salahnya Kolonel Schera! Sejak awal memang mustahil bagi gadis ingusan itu untuk mengerjakan tugas penting itu!"


Melindungi dirinya sendiri jauh lebih penting daripada kemenangan atau kekalahan. Kalau sia berusaha melanggar regulasi militer, hukumannya akan sangat berat. Octavio dengan panik memohon untuk menghindari itu.


"Nyatanya unit Schera sudah memberikan sinyal api, dan laporan mengatakan kalau kau mengabaikannya! Octavio, kau harus membayar tindakan ini dengan nyawamu!!"


Barbora jelas-jelas sudah kehabisan kesabaran. Dia menghunus pedangnya dan menekan pedang itu pada leher Octavio. Ketakutan, Octavio menekankan keningnya pada tanah sebagai tanda penyesalan sampai keningnya berdarah, dan dia terus-menerus meminta maaf. Dengan air mata dan ingus yang keluar diwajahnya, sosoknya saat dia memohon simpati Barbora sangat jauh dari sikap seorang Jenderal.


".....Panglima Barbora. Kita tak punya waktu luang untuk menangani si tolol ini sekarang. Lebih baik kita urus dia setelah pertempuran ini selesai. Moral para prajurit yang sudah cukup rendah akan jadi semakin rendah."


Larus memberi saran. Meskipun itu lelucon, dia gak pernah dengar soal mengeksekusi seorang pria yang diberi tugas memimpin sebuah divisi ditengah pertempuran. Waktu mereka yang berharga terbuang sia-sia. Sejak awal, siapa sih orang yang menunjuk si tolol ini menjadi komandan divisi dan memberi dia seluruh wewenang? Setelah melirik Octavio, Larus menatap dingin pada Barbora.


"–Polisi militer, tahan si tolol ini!! Aku akan memancung kepala si tolol ini nanti!"


"P-Panglima, mohon maafkan aku. Kumohon, ampunilah!! Panglima, Barbora!"


"Diam–! Polisi, cepat bawa dia pergi! Aku sudah muak melihat dia!"


"–Siap!"


Si polisi menjambak Ovtavio dan meninggalkan markas. Suara tangisannya meredup semakin jauh. Tempat itu menjadi hening, dan Barbora mengatur nafasnya yang keras. Dia bisa mendengar suara-suara ledakan di kejauhan.


".....Mayjen Larus. Bagaimana situasinya?"


"Pertempuran berada diambang skenario terburuk. Sudah ada indikator kuat soal kekalahan. Mungkin tak sampai satu jam sampai seluruh pasukan dikalahkan. Akan kah kita bertarung sampai titik darah penghabisan, atau kah kita mundur? Aku menunggu instruksi darimu, komandan Korps Pasukan."


"......Dimana, dimana, dimana titik kesalahannya!! Sial!! Kenapa!! Bukankah kita memiliki keunggulan yang sangat besar beberapa saat lalu!!?"


Barbora mengobrak-abrik paviliunnya menggunakan pedangnya. Seraya tanpa ekspresi memperhatikan dia, Larus mengatakan pendapatnya.


"Kita masih bisa mempertahankan penampilan dari sebuah pasukan. Bendera Yalder masih terlihat di Dataran Tinggi Carnas. Saat ini masih memungkinkan untuk mundur, dan mungkin kita bisa meminimalisir kerusakan. Panglima, silahkan ambil keputusan."


"K-Kau menyuruhku melarikan diri? Nasib Kerajaan bergantung pada keseimbangan dari pertempuran ini. Apa kau paham itu? Jika kita, mundur, kita gak lagi–"


Kalah dalam pertempuran ini, artinya kehilangan kuasa mereka terhadap Wilayah Canaan. Mau tak mau mereka akan kehilangan Kota Canaan dan Benteng Roshanak. Tempat-tempat itu akan diambil oleh musuh. Jika mereka kehilangan kendali Canaan, gerbang menuju Ibukota Kerajaan akan terbuka lebar, dan semua penguasa feodal yang berdiam diri akan bergabung dengan Pasukan Pembebasan. –Dan jika itu terjadi, maka berakhirlah sudah.


"Tak ada lagi yang bisa kita lakukan. Apa kau mau membiarkan semua orang mati disini? Atau mundur, menyatukan pasukan kita, dan beruapaya bangkit? Panglima Barbora. Kau harus membuat keputusan. Ini adalah tugas terakhirmu sebagai komandan Korps Pasukan."


".........Cih."


Barbora gak bisa melakukannya. Kalau dia mau memilih kematian terhormat, dia harus bertarung sampai mati disini. Tapi, nyawa dari beberapa puluh ribu prajurit berada ditangan Barbora. Sebagai seorang komandan, bukankah itu pilihan yang tepat untuk menyelamatkan meski satu prajurit saja? Harga dirinya sebagai seorang prajurit, atau tugasnya sebagai panglima. Barbora jengkel, terjebak diantara dua pilihan. Dia gak bisa menjawab.


"Kalau kau tidak melakukan apapun, aku ingin kau membiarkan aku kembali ke unitku. Aku ingin mati bersama para bawahanku kalau memang aku harus mati. Maaf, tapi aku tak tertarik bersamamu sampai saat-saat terakhir kita."


Ucap Larus dengan dingin seraya dia berbalik, tapi Barbora menahan dia.


"......A-Aku paham. Kita akan mundur. Perintahkan seluruh pasukan untuk mundur! Kita tak boleh dimusnahkan disiini-!"


"Dimengerti. Aku akan memberitahu seluruh pasukan. Aku juga akan mengirim utusan ke Jenderal Yalder yang berada di Carnas. .....Kalau begitu aku pamit."


Larus memberi hormat dan memulai persiapan untuk mundur. Barbora menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan berlutut ditempat. Bagi pria ini yang mengkomando Pasukan I setelah kematian Sharov, ini adalah kegagalan pertamanya serta yang paling besar, dan itu membuat dia terpuruk.


–Diwaktu yang sama, Daratan Tinggi Carnas, perkemahan atas.

Seseorang bisa menyaksikan dengan jelas semua keadaan Pasukan Kerajaan yang menyedihkan dari tempat tinggi itu. Yalder dan Sidamo memasang ekspresi kebingungan.
Adapun untuk Schera, dia akhirnya bisa makan sampai puas dan gembira. Dia jadi lapar setelah banyak bergerak.

Makan siang hari ini adalah dendeng sapi Cologne hasil jarahan perkemahan musuh. Dia gak tau kenapa mereka punya barang mahal kayak itu, tapi siapa yang peduli, dan Schera melahap daging lezat yang dibumbui dengan baik itu.
Semakin dia kunyah, semakin nikmat rasanya, rasa daging sapi Cologne kelas tinggi. Seorang kavaleri disamping dia bersenandung. Schera meminum air dari botol bambu, menempatkan daging diantara dua potong roti, dan menggigitnya. Kalau daging ini masih segar dan dimakan setengah matang, rasanya mungkin akan super lezat. Tapi, dia gak boleh pilih-pilih. Bisa makan saja sudah merupakan kebahagiaan.


"Sidamo. Kurasa kita harus turun dari Dataran Tinggi ini dan segera mundur. Kita akan mati sia-sia kalau menyerang musuh sekarang."


Yalder mengesampingkan semua pemikiran optimis dan dengan tenang mengamati situasinya. Kalau dia adalah komandan di barisan depan, dia pasti akan menyerbu meskipun dia harus melakukannya sendirian. Perbedaan keunggulan pertempuran ini sangatlah jauh. Dia sama sekali gak punya niat tetap hidup tanpa tau malu setelah dikalahkan.
Tapi, sebagai seorang komandan divisi saat ini, dia harus membawa pulang para prajurit ke Ibukota dengan korban sesedikit mungkin, untuk pertahanan Ibukota.


"Aku punya pendapat yang sama. Para prajurit sudah mengerahkan semua tenaga mereka untuk merebut Datatan Tinggi ini dan kelelahan. Memang disayangkan, kita mungkin akan dimusnahkan sebelum mencapai barisan musuh. Kehendak tempur pun punya batasannya. Jika demikian, kita harus mengubah jalur dan menuju ke Canaan. Kita masih bisa menangkis pengejaran."


".....Situasi ini... pernah terjadi sebelumnya. Sidamo, disaat yang sama pas kita mundur, kirim mata-mata ke Canaan dan Roshanak. Suruh mereka memastikan bahwa bendera Pasukan Kerajaan masih berkibar."


Saat Yalder dikalahkan saat berusaha merebut Salvador, Antigua jatuh saat dia mundur. Situasi ini sangat mirip dengan itu. Tidak, situasi ini mungkin lebih buruk lagi. Gak akan aneh kalau musuh sudah sampai sana.


"Apakah mereka sudah jatuh, ataukah mereka–"


"Kalau kita memberitahu mereka soal kekalahan kita, apa yang akan di lakukan oleh orang-orang yang ada disana sudah jelas. Kita harus menghindari situasi terjepit. Untuk sekarang ini, kita harus evakuasi. Sebelum kita terkepung."


"Kolonel Schera! Kita akan mengubah jalur! Unitmu akan bertindak sebagai barisan depan, dan kita akan menuju ke Canaan! Manfaatkan mobilitasmu dan buat musuh kalang kabut! Buat mereka merasakan teror dari Dewa Kematian!"


Sidamo meneriakkam instruksinya dengan suara marah yang sangat jarang dia pakai.
Tiba-tiba menerima arahan, Schera tersedak beberapa kali, lalu memberi hormat. Daging keringnya nyangkut ditenggorokannya.


".....Dimengerti!"


"Semua keputusannya kuserahkan pada penilaianmu!"


"Kolonel, jangan mati ditempat seperti ini. .....Mari kita ketemu lagi."


Yalder menepuk pundak Schera dan pergi untuk mengkomando prajuritnya.
Melihat Sidamo mengejar dia, Schera berkata pada Katarina.


"Kita melalui begitu banyak upaya untuk mengamankan tempat ini, namun kayaknya semua upaya itu sia-sia saja. Aku jadi heran kenapa kita harus bertarung."


Kematian Konrad, dan kematian dari banyak rekan-rekannya yang berharga. Kavaleri miliknya yang tersisa mungkin sekitar 1.500. Semua pengorbanan mereka untuk mengambil alih bukit ini gak setimpal dengan pengibaran bendera dan sorakan mereka.


".....Kolonel."


"Biarlah. Saat kita kembali, aku akan membunuh si bangsat Octavio. Akan kubunuh dia dengan cara yang gak akan pernah dia lupakan."


"Siap-!"


"....Dan juga, lain kali aku nggak akan memaafkanmu kalau kau menggerakkan kavaleriku tanpa seijinku. Ingat itu baik-baik."


Schera menatap Katarina sambil memicingkan matanya. Katarina menunduk malu seraya dia menekan kacamatanya dengan tangan gemetaran.


"S-Siap. D-Dimengerti. Mohon, maafkan aku, Kolonel."


"Aku nggak mau diselamatkan kalau itu artinya mengabaikan para bawahanku. Gimanapun juga, aku lebih suka bersama kalian semua, rekan-rekanku yang makan bersamaku sejak lama. Kau harus menyertakan aku juga, dan aku nggak akan mengijinkanmu untuk meninggalkan aku."


Sambil tersenyum, Schera dengan lembut menepuk pundak Katarina.


".......K-Kolonel."


"Baiklah, ayo pergi. Gak seru kalo kita bukan barisan depannya. –Kavaleri Schera akan menuruni Bukit Carnas, dan mengubah jalur menuju Canaan!! Kita akan menghabisi siapapun yang berani menghalangi kita!!"


"Dimengerti-!!"


"Kavaleri Schera, maju!!"


Legion Yalder dan Kavaleri Schera mengabaikan Bukit Carnas dan mundur, menuju ke Canaan. Seraya menangkis unit-unit pengejar, mereka berhasil mundur.
Korban yang jatuh sangat sedikit, tapi itu karena para prajurit Pasukan Pembebasan ketakutan setelah melihat Schera. Sebesar itulah Schera ditakuti.
Disisi lain, para prajurit bawahannya Barbora, Larus, Octavio, dan Borbon dikejar terus oleh Pasukan Pembebasan, dan mereka mengalami korban yang besar. Semua kehendak tempur telah lenyap, orang-orang terus menyerah atau membelot, menghasilkan keadaan yang hanya bisa digambarkan sebagai pemandangan seusai bencana.


Kota Canaan yang mendengar soal kekalahan mereka, bertindak sesuai dengan perjanjian rahasia yang dibuat sebelumnya dan beralih pihak ke Pasukan Pembebasan. Mereka pasang badan untuk menangkis Pasukan Kerajaan yang mundur. Sangat jelas kalau para penguasa feodal akan melindungi diri mereka sendiri.
Mereka segera membujuk para penjaga, dan sebagai hasil dari memberi pidato pada penduduk, gak seorangpun yang menentang, dan Kota Canaan jatuh ke tangan Pasukan Pembebasan.


Pendapat di Benteng Roshanak terpecah dua. –Haruskah mereka tetap setia pada Kerajaan, atau haruskah mereka menyerah pada Pasukan Pembebasan.
Pada akhirnya, pertempuran sampai titik darah penghabisan terjadi, dan saat gerbang dibuka oleh orang-orang yang mendukung untuk menyerah, Pasukan Pembebasan masuk, dan benteng itu jatuh, perlawanan dari para penjaga sia-sia saja.
Karena kehilangan posisi kritis Area Canaan, Pasukan Kerajaan terus bergerak dan menuju ke Ibukota. Prajurit yang berjumlah 150.000 sebelum pertempuran, kini telah berkurang menjadi 40.000. Yang gugur dalam pengejaran sebesar 20.000, tapi jumlah pembelotnya gak bisa dihitung banyaknya.


Yalder, yang sukarela menjadi barisan belakang, memasang formasi di jalan sempit yang menghubungkan Canaan ke Ibukota dan bertempur dengan gagah berani.
Mereka menghancurkan sebuah unit Pasukan Pembebasan yang haus akan keberhasilan, dan dia menunjukkan suatu komando bahwa dia mengalahkan mereka.


"Hahaha–, masih jauh dari cukup untuk melampaui aku, Yalder! Minimal bawa 100.000 prajurit kalau mau lawan aku! Jangan harap aku bisa dibunuh dengan mudah oleh kalian anak-anak muda pasukan pemberontak! –Sidamo, kibarkan-! Biar mereka tau kalau Yalder ada disini!!"


"Siap-!"


Dengan sinyal itu, Sidamo mengibarkan bendera-bendera dari Pasukan Ketiga dan Keempat yang sudah hancur. Itu adalah simbol kejayaan Yalder, dan kegagalannya, tapi itu juga merupakan kebanggaannya karena telah bertempur dan selamat bersama para prajuritnya. Bendera-bendera berlumuran darah dan belepotan lumpur berkibar diterpa angin, seolah menunjukkan diri pada Pasukan Pembebasan.


"Selama aku disini, Kerajaan tak akan hancur. Aku akan bertempur sampai titik darah penghabisan! Hahahaha-! Sidamo, maaf, tapi kau akan mmendampingku sampai akhir!! Jika kau mau membenci, bencilah nasib burukmu sendiri-!!"


"Aku sudah mempersiapkan diri untuk itu. Aku juga harus memohon maaf Jendral, aku akan menyelamu sebentar. –Kirim sinyal pada pengintai-!!"


Saat Sidamo memberi perintah, para prajuritnya naik ke bukit dan mengibarkan bendera merah. Secara mencolok, mereka mengibarkannya sambil menggoyangkan tubuh mereka.
Gak lama setelah itu, suara ledakan menggema dari bukit di kedua sisi. Setelah itu, bebatuan longsor menutup jalan sempit itu.
Pasukan Pembebasan berpencar kalang kabut dan mundur, jika tidak mereka akan terkena longsoran itu.
Mereka gak tau detail geografi area ini.
Setelah meneliti topografinya sebelumnya, Sidamo, mengasumsikan yang terburuk, telah mempersiapkan rencana untuk menghalangi mereka, sebuah rencana untuk menghentikan mereka. Untuk berjaga-jaga situasi terburuk.


"Bagus Staf Perwira! Tapi, ini artinya kau sudah pasrah akan kekalahan. Aku akan mengadakan pengadilan militer untukmu-!"


Ucap Yalder bergurau, dan Sidamo pura-pura bodoh sambil tersenyum polos.


"Sulit sekali memahami maksudmu. Yah, dengan ini kita bisa mengulur waktu sebentar. Mari kita ke Cyrus dan Sayeh dan mempersiapkan diri."


"Baiklah, ayo bergerak! Ini bukanlah kabur! Jangan lupa kalau ini hanya perubahan jalur! Hahaha, aku nggak cari alasan. Ini adalah keberanian -kosong-!"


"Maju! Kita harus bergerak sebelum musuh pulih!"


"Yo Sidamo,

“Yo Sidamo, hearty as usual. What a reliable man. Alright everyone and all you staff officers, follow his example and stick your chests out! We are the elite unit that took down Carnas Plateau! We march; I intend on making a triumphant return!”


Yalder tertawa sambil membentuk formasi dan bergerak.
Dia tau kalau situasinya akan segera semakin memburuk, tapi sebagai orang militer, dia akan bertarung sampai akhir. Dia sudah membulatkan tekad sejak lama. Dari hari bunuh dirinya digagalkan.


Barbora, Borbon, dan Octavio yang ditahan memasuki ibukota. Octavio ditahan rumah sampai penyelidikan berakhir.
Legion Yalder memasuki Benteng Sayeh, dan divisi Larus serta Kavaleri Schera menjaga Cyrus.


Mereka harus mengulur waktu di dua benteng ini sampai Pasukan I bisa menyelesaikan penyusunan ulang mereka. Mereka berusaha mendapatkan persediaan dari kota-kota sekeliling, tapi para penguasa feodal menolak mereka.
Kekalahan mereka disebut-sebut karena tindakan Diener, dan para penguasa feodal memiliki kesan kuat bahwa Kerajaan telah berakhir.
Gak mampu mempersiapkan persediaan yang cukup untuk kedua benteng, Cyrus dan Sayeh, kemungkinan besar ada penyerangan kearah mereka.
Saat berpisah, Yalder memegang tangan Schera erat-erat dan berbicara pada dia sambil tersenyum disertai perasaan rumit– senyum licik yang seperti perampok diwajahnya.


"Kolonel Schera. Mari kita ketemu lagi di Ibukota Kerajaan. Saat kita mengusir pasukan pemberontak, datanglah ke kediamanku seperti yang kujanjikan beberapa hari lalu. Aku akan menyiapkan pesta besar. Nantikan pestanya."


"Dimengerti, Komandan. Aku pasti akan berkunjung."


"Sidamo, katakan sesuatu juga! Kita gak akan bertemu selama beberapa waktu!"


".....Aku hanya punya satu hal untuk dikatakan padamu, Kolonel. Aku sudah bilang ini sebelumnya, tapi kalau kau akan mati, matilah diluar. Butuh banyak uang dan kerja keras untuk melatih kavaleri. Mati didalam kastil sangatlah sia-sia.... Apa kau paham??"


"Kolonel Schera, sepenuhnya paham!"


"Bagus kalau begitu..... Sampai jumpa lagi."


"Astaga, kalian ini gak punya rasa estetik. Yah, mungkin lebih bagus untuk jadi dirimu sendiri. Wahahahaha–!"


Teringat percakapan mereka, Schera beristirahat di salah satu kamar di Cyrus.


Schera agak lelah.
Tubuhnya terbalut perban. Luka karena anak panah belum sembuh. Itu bukanlah masalah kalau berada di medan perang, tapi tubuhnya agak demam. Jadi dia bisa pulih sebelum pertempuran berikutnya, dia menyembunyikan dirinya di kamar.


Saat dia berbaring telentang di kasur hanya memakai pakaian dalam, suara ketukan pintu terdengar.


"Kolonel, maaf karena mengganggu istirahatmu!"


"....Ada apa?"


Jawab Schera lesu.


"Siap-, ada masalah mendesak yang harus disampaikan padamu Kolonel, dan aku datang untuk melapor."


"Apa itu. Aku masih ganti baju sekarang, jadi maukah kau menyampaikannya seraya aku ganti baju?"


Schera menerima informasi yang sangat penting dari prajurit kavaleri.


"Kecambah dari ubi milik Kolonel sudah tumbuh?"


".....Kecambah ubi?"


Benih ubi muncul dalam pikirannya yang kabur. Satu per satu kecambah keluar dari benihnya , dan secara bersamaan menjadi batang setinggi pohon. Perut nggak akan bisa diisi dengan kecambah atau batang ubi, tapi saat tanamannya tumbuh sebesar itu, kayaknya itu bisa jadi makanan enak.


"Ubi yang Kolonel tanam! Sepertinya tumbuh dengan baik, dan kecambahnya sudah keluar!"


Mendengar itu, kecambah ubi rakasa dalam bayangannya lenyap entah kemana.


"Aku akan segera datang, standby di ladang!"


Schera melompat dari kasurnya, dengan itu dia bisa menjawabnya dengan lebih cepat dan lebih keras.
Apakah ubinya tetap aman merupakan hal yang sangat penting. Dia harus memeriksanya. Ini bukanlah waktunya untuk berbaring.


"Dimengerti. Aku akan berusaha sebaik mungkin supaya gagak nggak merusaknya!"


Dari balik pintu, suara langkah kaki antusias dari para prajurit bergerak menjauh bisa terdengar.


Schera berdiri, membuka jendela, dan menatap langit– langit biru, tanpa ada awan. Angin berhembus mengibarkan bendera Kerajaan dan bendera Kavaleri Schera.
Disekitar bendera-bendera itu, para gagak berputar-putar. Mungkin karena mereka nggak punya makanan dan sedang mencari makanan? Disini gak ada apa-apa sih, sisa roti saja nggak ada.
Schera menutup jendelanya. Kawanan gagak menatap dia, seolah meminta makanan.


“............”


(Setelah semua yang terjadi, aku kembali kesini. Aku penasaran, apakah rumah terakhirku adalah benteng ini. Akan bagus kalau aku bisa memakan ubi yang kutanam sendiri.)


Rumah Schera–Benteng Cyrus–sudah bersiap untuk bertempur. Larus sang komandan pertahanan sedang berusaha meningkatkan persediaan sampai waktunya tiba, dan juga berusaha memperkuat benteng.
Dia mempersiapkan parit, memasang banyak jebakan, dan memperdalam parit luar. Larus melakukan segala yang dia bisa.
Setelah Pasukan Pembebasan mendapatkan kendali penuh atas Canaan, mereka akan segera melakukan serangan dan menuju ke Cyrus dan Sayeh. Pertempuran akan dimulai dalam waktu dekat.


"Ada banyak hal yang harus dilakukan, jadi kita harus terus berusaha sebaik mungkin, sedikit lebih lama lagi. Ini belum berakhir. .....Betul, kan? Sedikit lebih lama, mari kita berjuang."


Sesaat, Schera menatap kebelakang pundaknya dan tersenyum, lalu dia berbalik dan mulai berjalan.
–Tapi gak ada siapapun di belakangnya.

Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya