Shinigami wo Tabeta Shoujo Indo:Bab 32

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Chapter 32 - Sup Air Gak Ada Rasanya[edit]

Bala bantuan yang telah lama ditunggu telah tiba, untuk pasukan Tentara Pembebasan yang menahan diri untuk tidak menyerang Sayeh.
Sejumlah besar ketapel dan menara pengepungan telah diselesaikan oleh Tentara Pembebasan yang bekerja dengan kecepatan tinggi dengan kerja sama kota-kota setempat.
Orang-orang juga telah bekerja sama dengan kekuatan penuh dalam pekerjaan pengangkutan, dan 1.000 ketapel serta 100 menara pengepungan dikerahkan.
Komandan Behrouz telah memerintahkan seluruh pasukan untuk memulai serangan lagi.
Siang dan malam, panah dan batu terus menghujani benteng.
Batu-batu yang akan digunakan untuk amunisi direndam dalam minyak dan ditembakkan setelah dinyalakan.
Pihak yang bertahan gak bisa mengatasinya, dan mereka dihancurkan habis-habisan.
Setelah tiga hari tiga malam melakukan penyerangan, Pasukan Pembebasan mengerahkan menara pengepungan mereka sampai ke tembok benteng dan mulai menghujani anak panah dari atas.


Para pemanah Kerajaan diatas benteng gak punya tempat untuk bersembunyi. Mereka mati-matian terus melawan, tetapi mereka gugur satu per satu karena menjadi sasaran empuk.


Dan, prajurit yang mempertahankan gerbang utama juga berada dalam kesulitan.


“Jangan biarkan mereka menerobos! Pertahankan gerbang sampai mati! Sampai bala bantuan dari Ibukota Kerajaan datang, entah bagaimana kita akan bertahan!"


“Ou-!”


“Tuangkan minyaknya! Bakar bakar mereka!"


Para prajurit di gerbang utama mendorong tubuh mereka ke gerbang, dengan gigih melakukan perlawanan. Mereka terus berjuang dengan sedikit energi yang tersisa.
Alat pendobrak milik Pasukan Pembebasan menghantam gerbang, dan setiap hantaman memaksa para prajurit yang menahan gerbang terhempas.
Prajurit yang ada di atas gerbang menuangkan minyak panas dalam jumlah besar dan menembakkan panah api pada Pasukan Pembebasan yang mendekat.
Alat pendobraknya terbakar hebat, tapi meski begitu, serangannya terus berlanjut. Semakin banyak musuh datang.
Prajurit Pasukan Pembebasan memanjat mayat-mayat itu, dan memegang alat pendobraknya.


–Dan kemudian,


Hantaman ganas dari alat pendobrak yang terbakar menghancurkan titik lemah Benteng Sayeh.
Komandan penjaga gerbang utama membulatkan tekadnya, menghunus pedangnya, dan memberi perintah terakhirnya.


"Mereka datang! Semuanya hunus pedang kalian–, Hidup Pasukan Kerajaan! Hidup Jenderal Yalder!"


"Hidup Kerajaan! Hidup Yalder!"


"Semuanya serbu! Ikuti aku-!"


Prajurit Kerajaan unit tombak bersiap menikam orang-orang dari Pasukan Pembebasan yang lebih dulu tiba.
Mereka menggunakan tubuh-tubuh itu sebagai perisai melawan prajurit Pasukan Pembebasan yang datang secara berkelompok.
Prajurit Kerajaan dihancurkan, diinjak-injak, dan dibantai semuanya bahkan tanpa punya kesempatan berteriak.


Seolah menduduki benteng, prajurit Pasukan Pembebasan menyerbu ke dalam, membunuh setiap penjaga yang mereka temui.
Tak ada keadilan ataupun kebenaran, hanya segerombolan binatang yang mabuk karena kegilaan dan keinginan bergejolak untuk membunuh.


Para penjaga bertarung dengan baik. Mereka bertarung dengan sangat baik. Tapi, mereka kalah jumlah. Kekuatan jumlah membuat mereka kewalahan.
Klinik yang menampung prajurit terluka ditutup dan kemudian dibakar, dan semua orang didalamnya terbakar sampai mati.
Semua orang di benteng dibantai tanpa memandang petarung atau non-petarung. Prajurit Pasukan Pembebasan menghabisi semua orang yang masih bernapas, dan dengan gembira memberi mereka pukulan penghabisan.
Behrouz nggak memberi perintah seperti itu, tetapi semua ketidakpuasan, kesengsaraan, dan kebencian yang terpendam semuanya diarahkan pada para prajurit Kerajaan, dan para komandan gak bisa menghentikannya. Kalau mereka mencoba menghentikannya, kemungkinan besar mereka akan dibunuh sebagai pembalasan. Mereka gak bisa berbuat apa-apa.


Terpojok dimenara tertinggi Sayeh, Yalder melepas helmnya dan dengan tenang mengatur napasnya.
Wajahnya memiliki banyak luka, dan sebagian armornya juga rusak. Rasa sakit menjalar saat dia menggerakkan tubuhnya. Salah satu tulangnya mungkin patah.
Rambutnya acak-acakan, dan jenggotnya tumbuh gak karu-karuan. Ujung pedang miliknya terbelah dan menjadi tak berguna.


"........Jadi ini akhirnya, bala bantuan nggak datang. Memang disayangkan. Barbora mungkin terjebak situasinya sendiri. Aku ingin ngobrol santai dengan dia. Kayaknya aku gak punya kesempatan untuk itu."


Yalder tersenyum pahit dengan pasrah. Dia bisa mendengar pertarungan ganas dari luar. Para penjaga mungkin mengulur sedikit waktu. Dia merasa kagum dari lubuk hatinya terhadap kesetiaan mereka.
Dibelakang Yalder berkibar bendera Kerajaan, bendera Pasukan III dan Pasukan IV.
Pertempuran terjadi dibawah bendera-bendera itu, memperhatikan saat-saat terakhir para prajurit. Dia menatap mereka, sangat emosional.


"Ini adalah tebakanku, tapi Perdana Menteri mungkin sudah berkolusi dengan musuh. Jika demikian, maka bala bantuan tak akan pernah datang. Tuan Barbora mungkin dipenjara, atau dibunuh."


Gumam Sidamo sambil merapikan seragamnya yang kacau. Bahkan dia yang seorang staf perwira sampai kehabisan tenaga, berjuang sampai saat-saat terakhir. Dan sekarang, dia memulai persiapan akhir mereka.


"Jadi bahkan Perdana Menteri, pejabat sipil tertinggi, telah membuang Kerajaan? Kalau begitu gak ada lagi yang bisa kita lakukan."


“…….”


"Hei Sidamo. Masih belum terlambat. Ada sesuatu yang bisa kau lakukan kan? Kau nggak perlu menemani aku. Samarkan dirimu lagi dan kaburlah."


Yalder gak tau berapa kali dia berusaha membujuk Sidamo. Sidamo sangat berharap memulihkan keluarga Arte yang hancur. Mengetahui hal itu, Yalder menyuruh dia supaya bergegas melarikan diri. Sidamo tetap bersama dia sampai sekarang, dia sudah cukup mengabdi.


"Jadi kau tau, tapi Komandan tak bisa melakukannya sendiri. Itu membutuhkan kekuatan magis."


"Kau bisa pakai sihir?"


Yalder bertanya dengan ekspresi yang menunjukkan dia baru kali ini mendengar soal ini.


"Aku punya kekuatan sihir, tapi tak bisa memakainya. Meskipun bisa mengaktifkannya."


Dia punya kapasitas ilmu sihir, tapi dia gak diberkati dengan bakat sebagai seorang penyihir. Oleh karena itu, Sidamo berusaha keras dan mendapatkan pangkat Staf Perwira dengan pengetahuannya.


"Ini adalah kesempatan terakhirmu. Larilah Sidamo. Hiduplah, dan gapailah keinginan yang telah lama kau dambakan."


"Aku menolak. Aku juga punya tulang punggung. Aku tak bisa terus hidup tanpa tau malu seraya membiarkan pimpinanku tewas dalam pertempuran. Tak usah mambuang-buang waktu kita untuk membahas ini."


"Dasar pria kepala batu sialan.... Yah, kurasa memang seperti itulah dirimu. Baiklah, lakukan sesukamu."


"Siap. Aku memang berniat begitu."


Sudut bibir Sidamo naik sedikit. Yalder tersenyum.


"Yang kusesalkan cuma satu, aku nggak bisa menepati janjiku dengan Kolonel Schera. Sungguh memalukan, ya, sungguh memalukan."


"Siap, Schera pasti juga menganggap itu sangat disayangkan."


"Hmph, suatu hari aku akan meminta maaf. Kuharap dia mau memaafkan aku."


"Kalau kau membawa makanan, dia tak akan mempermasalahkannya. Orang seperti itulah Schera."


"Kurasa begitu. Ketika saatnya tiba, aku harus menepati janjiku–"


Dari luar menara tinggi itu terdengar sorakan. Sepertinya semua penjaga telah dimusnahkan. Pintu menara itu jebol, dan mereka menyerbu masuk.
Hanya tinggal menunggu waktu saja sampai mereka tiba diruangan ini.
Yalder mengangguk, dan Sidamo bersembunyi. Dia mempersiapkan itu disampingnya. Dia akan mengaktifkannya sesuai sinyal Yalder.
Suara dari sepatu militer yang gak terhitung jumlahnya mendekat kearah mereka, dan pintu ganda itu didobrak.


"Ketemu kau, Jenderal Kerajaan, Yalder! Kepalamu milikku!"


Para prajurit Pasukan Pembebasan mengepung Yalder, mengacungkan senjata mereka pada dia, dan mulai mencemooh dia.


"Kerajaanmu sudah hancur! Sekarang terimalah nasibmu!"


"Pria yang menyedihkan. Jenderal terkenal ini dibunuh oleh prajurit biasa!"


"Diam! Aku mungkin sudah usai, tapi aku, Yalder, tak akan pernah menyerahkan kepalaku pada orang seperti kalian-!"


Menatap para prajurit Pasukan Pembebasan yang menyeringai, Yalder menghunus pedangnya yang terkelupas.
Terdiam beberapa saat karena semangat Yalder, wajah para prajurit dipenuhi amarah.


"Kau cukup berani untuk ukuran anjing yang babak belur! Kami akan membunuhmu!"


"Kepala seorang Jenderal! Aku sangat menginginkannya!"


"Hehe- itu milikku!"


Para prajurit Pasukan Pembebasan menyerbu Yalder dengan tombak diacungkan.
Menebas beberapa cecunguk, perut Yalder tertikam oleh banyak tombak.
Mencabut ujung tombak itu, dia mundur terhuyung-huyung. Para prajurit musuh menginjak mayat dan mendekat.
Setelah menebas kepala pimpinan prajurit itu, Yalder akhirnya mengambil keputusan.


Sambil batuk darah, Yalder berteriak sekuat tenaga.
Dia nggak akan menyerahkan kepalanya pada para prajurit ini.


"–Hidup Kerajaan Yuze–!"


Yalder menebas lehernya sendiri dengan pedangnya. Kehilangan kekuatan, dia jatuh berlutut.


"Dia menghemat upaya kita!"


"Dasar bodoh! Akan kupenggal dia!"


Menangkap mayatnya, para prajurit itu menyeringai sambil mengejek. Mereka semua bergegas menuju mayat Yalder.
Setelah menyaksikan saat-saat terakhir temannya, Sidamo merapal mantra pengaktifan Ranjau Sihir yang diambil dari Pasukan Pembebasan.
Ranjau yang gagal diledakkan dalam pertempuran sebelumnya diambil dari gerobak sapi dan dibawa ke Sayeh.
Ranjau-ranjau itu ditempatkan di empat sudut ruangan kastil. Pasukan Pembebasan yang bergembira nggak menyadarinya, tetapi sejumlah besar bubuk mesiu dan minyak tersebar disekitar.
Ketika Sidamo mencapai baris terakhir mantera, sosok kakak laki-lakinya yang telah meninggal dan kakak perempuan yang bodoh melintas dalam benaknya.
Dan karena suatu alasan, wajah menjijikkan Schera muncul dalam benaknya juga. Karena kepikiran si Dewa Kematian disaat-saat terakhirnya – Sidamo tersenyum masam.
Tapi, dia nggak membenci cara hidup Schera. Bebas dan tidak terkekang, penampilannya saat dia hidup dengan semangat, mungkin Sidamo iri. Dia nggak terlalu yakin.


(Untungnya, aku masih punya waktu. Mari ikuti contoh di Dewa Kematian dan berpikir lebih egois. .......Kanda, aku pergi dari dunia ini. Selamat tinggal Yunda.)


Saat Sidamo selesai merapal mantranya, cahaya menyilaukan keluar dari Ranjau Sihir.
Ledakannya membakar semua orang yang ada dijangkauan ledakan sampai tak bersisa. Kobaran api menyulut minyaknya, dan bubuk mesiu memperkuat dayanya, seluruh menara terkena ledakan.


Ranjau-Ranjau Sihir yang memulai penderitaan Yalder, kini telah berakhir.


Dan Sayeh pun jatuh, dan para prajurit dari Pasukan III dan IV Kerajaan uang selamat dibantai habis. Yalder, Sidamo, dan prajurit berjumlah 10.000 gugur dalam pertempuran.
Yang tersisa hanyalah gema sorakan dan teriakan kemenangan Pasukan Pembebasan.


Akan tetapi, wajah Behrouz yang mendapat kemenangan sangat muram.


(........Bukankah ini..... gak lebih dari memanfaatkan amarah orang-orang untuk kepentingan kami sendiri? Gak ada jaminan kalau pedang amarah mereka nggak akan diarahkan pada kami suatu hari nanti.)


Behrouz memejamkan mata dan menghilangkan pikirannya. Mereka berada dipihak yang benar. Memang benar kalau Kerajaan memerintah rakyat secara tirani. Keadilan berada dipihak mereka untuk membebaskan rakyat.
–Memang, itu sebabnya mereka dipihak benar. Mereka hanya perlu nggak mengulangi kesalahan yang sama. Manusia belajar dari sejarah. Mereka akan manapaki jalan yanh jujur.
Disertai oleh para staf perwira yang merayakan kemenangan mereka, Behrouz masuk kedalam benteng.
Mayat prajurit Kerajaan, mayat yang terbakar sampai mati, mayat yang hancur berkeping-keping, mayat termutilasi, ada dimana-mana.
Si jenderal tua Behrouz.... terus berjalan maju, didunia yang kayak neraka yang dibagus atas nama keadilan.


* * * *


Saat asap hitam mengepul dari Benteng Sayeh, prajurit Pasukan Pembebasan yang mengepung Benteng Cyrus bersorak-sorai.
Disaat yang bersamaan hal itu menunjukkan kegembiraan, itu juga membuat orang-orang yang ada didalam benteng merasakan keputusanasaan. –Selanjutnya adalah kalian, itulah yang disiratkan.
Sebulan sudah berlalu sejak pengepungan dimulai. Gak akan aneh kalau benteng itu sudah kehabisan persediaan mereka.


Diener mengamati para prajurit Kerajaan yang berdiri di atas benteng menggunakan teropong. Pipi mereka kempes, dan kulit mereka kusam. Tubuh mereka goyah, dan mereka nyaris gak bisa berdiri.
Tapi, mereka masih hidup. Masih terlalu dini untuk menyerang. Meskipun mereka menyerang dan merobohkan benteng, itu terlalu lembut.
Dewa Kematian harus merasakan rasa lapar yang tak tertahankan lagi. Saat dia menjadi gila karena kelaparan, Diener akan membunuh dia.
Menurunkan teropongnya, Diener memberi perintah pada Vander yang berdiri disampingnya.


"Bunuh mereka. Sudah kubilang aku nggak menerima penyerahan diri."


"Apa kau yakin? Mereka memegang bendera putih "


"Aku gak peduli. Beritahu prajurit kemungkinan besar itu penyerahan diri palsu. Dewa Kematian itu pernah makan di Pasukan Kekaisaran dan menghancurkan mereka dengan taktik itu. Kita gak akan membuat kesalahan yang sama dengan mereka."


"Dimengerti. Utusan, sampaikan perintah untuk menembak prajurit musuh!"


"Siap-!"


Utusan itu menaiki kudanya meninggalkan markas. Beberapa menit kemudian, prajurit Kerajaan yang memegang bendera putih dihujani dengan anak panah, dan mereka mati.
Diener nggak akan membiarkan siapapun melarikan diri dari Benteng Cyrus. Dengan senyum diwajahnya, Diener kembali ke paviliunnya.


* * * *


–Benteng Cyrus.

Melihat asap hitam dan mengetahui kalau Sayeh telah jatuh, Larus memutuskan kalau ini adalah waktunya menyerah. Dia gak bisa membuat para prajurit mengikuti keegoisannya.
Tapi, para utusan ditembak mati sebelum mereka sampai di kamp musuh. Sepertinya musuh berniat membunuh semua orang yang ada di benteng ini.
Membuang gagasan menyerah, Larus membuat rencana selanjutnya.
Bala bantuan belum datang. Yang dia kuatirkan, mereka mungkin nggak akan datang nggak peduli berapa lama mereka bertahan. Kalau Barbora masih memegang komando, mereka seharusnya sudah datang sejak lama.
Kemungkinan telah terjadi sesuatu di Ibukota Kerajaan. Ada kemungkinan besar bahwa Barbora dipecat.
Dia gak tau apa yang dipikirkan Perdana Menteri, tapi satu-satunya yang dipahami Larus sekarang adalah Perdana Menteri akan membiarkan benteng ini jatuh.
Kalau begitu, gak ada artinya mengurung diri seperti ini. Mereka hanya membuang-buang stamina.


Namun, sudah terlambat untuk melakukan serangan. Persiapan musuh sudah sempurna. Cuma kematian yang menunggu kalau mereka membuka gerbang dan bertekad menyerang.
Dua pilihan tersisa untuk Larus. Gak ada pilihan untuk menyerah.
Akankah mereka tetap didalam kastil sampai akhir dan mati kelaparan, ataukah mereka menyerang formasi musuh dan mati penuh harga diri dalam pertempuran?
Larus menggebrak mejanya. Ada banyak hal yang bisa mereka lakukan kalau sejak awal dia tau bahwa mereka akan dibuang.
Peperangan gerilya dengan prajurit tersembunyi dan menggunakan Benteng Cyrus sebagai umpan. Penyerbuan, memanfaatkan mobilitas unit Schera. Mereka bisa memperlambat pergerakan Pasukan Pembebasan dengan mengganggu jalur suplai mereka.
Namun, dia telah memilih untuk masuk ke ranjang kematian mereka, dimana mereka harus menghabiskan waktu setiap hari dengan kuatir soal persediaan yang tersisa.
Larus menyesali kehati-hatiannya dan kepasifannya sendiri. Fia butuh sedikit lebih banyak waktu, sampai dia bisa mengambil keputusan akhir.


* * * *


Dengan kesadarannya yang kabur, Schera duduk didepan ladang bersama beberapa orang kavalerinya.
Sesekali Schera kehilangan kesadaran, dan seorang kavaleri menopang dia dari belakang.
Kalau bisa manusia hidup hanya dengan air, umumnya akan memakan waktu dua atau tiga bulan untuk mati karena kelaparan. Tentu saja, setiap orang berbeda.
Dengan nafsu makannya yang sehat, tingkat kelemahan Schera lebih parah daripada prajurit lainnya, dan melihat sekilas saja orang bisa tau kalau dia dalam masalah.
Pipinya cekung, dan sangat sulit untuk bergerak sesuai keinginan. Tapi, dia masih bisa bertarung. Schera memegang sabitnya erat-erat.
Sekarang sudah sebulan berlalu sejak pengepungan dimulai, makanan dikurangi menjadi sehari sekali, dan makanannya juga dalam kondisi menyedihkan.
Disamping Schera ada piring. Potongan roti sebesar kerikil ada diatasnya.
Sejumlah besar cairan dituangkan pada mangkok. Sup tanpa bahan. Itu bukanlah sup, tapi air.
Lebih akuratnya, air yang dibumbui sedikit garam. Dia merasa bisa mendengar teriakan kesedihan seorang koki.
Schera mengambil cuilan roti itu dengan tangan gemetaran. Dia dengan lembut memasukkannya kedalam mulutnya, dan perlahan mengunyahnya, menikmatinya. Begitu sudah gak bisa dikunyah lagi, dia menelannya, tenggorokannya mengeluarkan suara.


"Lezat......."


Pipi Schera sedikit mengendur. Para kavaleri gak tahan melihatnya lagi, dan mereka berkata.


"Kolonel, silahkan ambil punya kami–"


"Aku nggak butuh."


Dia dengan tegas menolak roti yang diulurkan. Dia benci mengambil makanan rekannya. Dia meminum air garam itu, dan meludahkannya.
Ini cuma air, bukan makanan. Schera bersandar pada seorang kavaleri.


"Kolonel, kumohon padamu, mohon makanlah. Kau lebih membutuhkan nutrisi daripada kami. Kumohon."


"Gak mau."


"Kolonel!"


"Aku gak mau. Mendingan aku mati. Aku nggak akan pernah memakannya."


Schera dengan tegas menolak saran bawahannya. Dia cuma mau makan jatahnya sendiri.
Sebagai seorang perwira pangkat tinggi, Schera seharusnya mendapatkan pembagian yang lebih banyak daripada para bintara, tapi dia cuma makan dengan jumlah yang sama dengan kavalerinya.
Dia gak mau makan lebih banyak sendirian, terlebih lagi mengambil jatah orang lain yang sudah sedikit.
Apapun selain itu. Apapun selain melakukan hal yang sama dengan pasukan pemberontak. Mereka itu adalah hama yang merenggut dari orang lain dengan dalih bertempur untuk rakyat.


"........Kuharap tanamannya.... cepat tumbuh.... dan bisa dimakan."


Tanaman didepannya masih belum menghasilkan buah. Dia penasaran kapan tanamannya berbuah.
Sambil bersandar pada salah satu kavalerinya, Schera menatap tanaman itu.


–Melihat pemandangan ini, Katarina membulatkan tekadnya.


* * * *


Malam itu. Katarina menunggu para prajurit yang berjaga tertidur, dan dia memutuskan untuk pergi keluar benteng.
Dia akan menggunakan sihir untuk melompat turun dari benteng dan menyelinap kedalam kamp musuh menggunakan teknik penyembunyian diri yang dia ketahui.
Targetnya adalah kereta pasokan. Schera pasti mau makan makanan yang dicuri dari pasukan pemberontak.
Pada tingkat ini, Schera akan mati karena kekurangan nutrisi.
Meskipun mereka mulai membunuh semua kuda perang mereka dan menggunakan dagingnya untuk makanan. Katarina mungkin juga nggak akan mau memakannya.
Sungguh lucu sekali kalau "Dewa Kematian" mati karena kelaparan. Katarina tetap disamping Schera bukan untuk menyaksikan dia mati seperti itu.
Dia nggak akan menerima kematian semacam itu.


Katarina menyiapkan perlengkapannya, dan memeriksa sesekeliling benteng, lalu.


"Yo. Siapa tuh yang mau kabur malam-malam begini? Ataukah kau sedang menikmati pemandangan malam?"


Ada suara serak seorang pria. Katarina mengernyit, dan pria itu melambaikan tangannya untuk menyapa.
Itu adalah pria bego yang datang dari Madros, Darus Madros.


".......Cuma iseng aja. Tinggalin aku."


"Bukannya pangkat itu mutlak dalam militer?"


"Dan bukankah kau sendiri mengabaikannya? Jadi aku akan melakukan hal yang sama."


"Ya tau. Heh, sungguh wanita yang berkemauan kuat."


Darus mengambil termos gantungnya dan mengarahkan ke mulutnya. Tentu saja isinya air.


"Apa kau butuh sesuatu?"


Katarina menyentuh kacamatanya, waspada.


"Hmm, nggak juga. Aku cuma berpikir ada bayangan manusia mencurigakan yang lewat. Itu aja. Aku nggak bakalan menghentikan apapun yang akan kau lakukan. Aku datang ke benteng ini dengan tekad yang sama."


"Aku paham. Kalau begitu aku akan pergi. Untuk Kolonel, aku pasti akan merampok makanan."


"Begitukah? Yah, hati-hati. Kalau misalnya kau nggak beruntung, kita pasti akan bertemu gak lama lagi. Perbedaannya cuma cepat atau lambat. Aku akan menjelaskan pada Kolonel kalau waktunya sudah tiba, jadi gak usah kuatir."


Tau kalau sia-sia saja menghentikan dia, Darus mengangkat bahu dan mau pergi. Katarina berbicara pada punggungnya.


"Kalau, misalnya, aku nggak kembali, jaga Kolonel. Aku yakin dia nggak akan bisa berbuat banyak tanpa seorang ajudan."


"Woi woi, yang betul aja. Kepalaku hampir dipenggal sama Kolonel. Itu bukan lelucon."


Katarina tertawa terbahak-bahak melihat Darus menepatkan tangannya pada lehernya.


"Kalau begitu nggak apa-apa. Aku tau nggak ada orang lain yang lebih cocok untuk tugas itu selain aku."


"Tepat. Jadi, hati-hati. Dan juga, pita pink itu sama sekali gak cocok buatmu."


Gumam Darus, melirik pita pink milik Katarina dan pergi.


"......Bukan urusanmu."


Katarina mengeluarkan tongkat sihirnya dan mengisinya dengan energi sihir.
Dia memperkuat kakinya untuk melompati benteng, dan dia berniat menggunakan tangga tali saat kembali. Dia harus menyisakan jumlah minuman kekuatan sihir. Itu akan sulit gak peduli bagaimana dia melakukannya, tapi dia gak punya pilihan selain melakukannya.


(......Harusnya aku mempelajari sihir lain selain necromancy untuk saat-saat seperti ini. Tapi sekarang udah terlambat sih.)


Dia menarik nafas panjang, membuka matanya, dan keluar dari Benteng Cyrus.


–Malam itu, Lettu Katarina Nubes menghilang dan nggak akan pernah kembali ke Benteng Cyrus hidup-hidup.

Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya