Shinigami wo Tabeta Shoujo Indo:Bab 33

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Chapter 33 - Aku Berhenti Makan[edit]

Schera menerima kabar kalau Katarina tewas dalam pertempuran. Wajah pucatnya berantakan, dan dia merasa sangat mual.
Dia berlutut, dan muntahannya yang bercampur darah berceceran di lantai. Itu semua adalah asam lambung.
Darus yang melapor pada dia, mengusap punggung Schera yang mungil.


"H-Hei. Kau nggak apa-apa?"


"Ya, aku cuma kurang enak badan. Sebentar lagi bakalan baikan."


".......Maaf, harusnya aku menghentikan dia secara paksa. Ini salahku."


"Tak apa. Katarina punya alasan sendiri. Itu aja."


"T-Tapi....."


"Kita bisa ketemu lagi suatu hari nanti. Kavaleriku..... selalu bersama-sama."


Menepis tangannya Darus yang berusaha menangkap dia, Schera kembali ke kamarnya.
Seorang kavaleri menopang tubuhnya, dan dia perlahan berjalan maju.
Dia sudah gak bisa jalan sendiri, meski begitu, sabitnya nggak terpisah dengan punggungnya.
Dia gak bisa bertarung tanpa sabit itu.
Setelah memasuki kamarnya, Schera bersandar pada jendela, lalu merosot ke lantai.
Lalu perlahan memejamkan matanya. Dia capek, sangat capek. Dia nggak mau bergerak.
Perutnya kosong, rap dia nggak merasa lapar.
Anehnya, dia nggak mau makan apapun.
Dia merasa seperti meskipun ada pesta didepan dia, perutnya gak akan menerimanya.


".....Aku bertanya-tanya kenapa.... aku teringat pada.... desa tua itu. Aku.... benci tempat itu."


Schera membuka matanya, dan dunia menjadi buram.
Dikantornya yang buram, sekilas melintas pemandangan desanya yang terbakar.


Bayangan hitam berbalut jubah compang-camping menatap Schera yang lemah. Bayangan itu mengintip Schera dari kejauhan, menunggu kesempatan.


–Masih belum waktunya.


* * * *


Seminggu setelah jatuhnya Sayeh. Ketika Dua bulan berlalu sejak dimulainya pengepungan, komandan pertahanan Larus mengambil keputusan yang memilukan hati.


–Pemberitahuan kepada seluruh prajurit di Cyrus dari Larus.
Saat fajar, semua prajurit akan keluar dari benteng, menyerbu markas musuh, dan membunuh jenderal pasukan pemberontak.
Akan tetapi, ini nggak wajib. Orang-orang yang keberatan dengan keputusan itu diijinkan tinggal di benteng.
Ini merupakan sebuah kehormatan bisa bertempur bersama sampai hari ini. Tuan-tuan, aku ucapkan terimakasih dari dasar lubuk hatiku atas kesetiaan dan keberanian kalian.


Larus tak tahan melihat prajuritnya menderita kengerian yang dikenal sebagai kelaparan sampai mati. Maka gak ada jalan lain. Dengan gagah berani, mereka akan menerobos ke kamp musuh dan menyambut ajal mereka sebagai para pejuang.
Apa yang terjadi pada orang-orang yang tetap berada di benteng, itu terserah komandan Pasukan Pembebasan. Larus menduga mereka semua akan terbunuh. Seandainya mereka punya belas kasihan, mereka akan menerima penyerahan diri sebelumnya.


"....Aku tak bisa percaya kalau aku akan memilih menyerang dan mati secara terhormat. Akhir semacam ini lebih cocok buat Barbora, bukan aku."


Schera mengumpulkan kavalerinya, dan mereka makan malam bersama untuk terakhir kalinya.
Unit-unit lain juga memutuskan untuk makan bersama, dan ada banyak orang yang memasang wajah berduka, tapi kelompok Schera berbeda.
Gak ada gunanya makan bersama kalau mereka nggak menikmatinya. Meskipun itu makanan yang hambar, bersama teman, rasanya akan jauh lebih nikmat.


Menu mewah malam ini adalah:
Roti yang sangat terkenal dan tersohor, yang rasanya begitu lezat sampai bisa membuat seseorang terkagum-kagum. Karena sangat berharga, roti itu hanya tersedia dalam jumlah terbatas.
Dan sup sejernih kristal sampai-sampai orang bisa salah sangka sebagai air pegunungan. Sepertinya mereka menaburkan sedikit garam diatasnya untuk memperkaya citarasanya.


"Sebuah mahakarya yang mencerminkan karya dari seorang koki handal." ucap Schera dengan wajah tenang, dan anggota kavaleri tersenyum cerah. Bersama mereka, Schera juga tersenyum. Darus juga tersenyum masam.
Sejak mereka datang ke Cyrus, ini adalah makan malam yang paling menyenangkan dan yang paling lezat yang pernah dia rasakan. Dia mungkin nggak akan pernah melupakannya sampai akhir hayatnya.
Schera merasa tubuhnya menjadi lebih ringan. Dia merasa sangat sehat sekarang.
Bayangan hitam yang gak menyenangkan itu memudar.


Dari keseluruhan prajurit di Cyrus, 5.000 ikut serta dalam penyerangan.
Orang-orang yang tetap di benteng dan menunggu ajal mereka adalah orang-orang yang gak bisa bergerak, serta orang-orang yang berpegang pada sinar harapan terakhir mereka, menyerah.
Dari 2.000 kavaleri Schera, 1.000 orang berkuda, dan 900 orang akan mengikuti dengan berjalan kaki. 100 orang sisanya diminta untuk tinggal dan bertahan. Mereka yang mengalami luka serius pada pertempuran sebelumnya dab masih belum pulih, mereka gak bisa ikut serta dalam penyerangan.


"Aku nggak bisa meninggalkan kalian. Aku akan tetap dirumah dan berjuang sampai akhir bersama kalian."


Ucap Schera memakai zirah hitam miliknya, menopang dirinya pada bahu seorang kavaleri, dan seorang prajurit yang bertekad untuk bertahan saat mereka tidak ada, menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.


"Aku sangat senang atas sentimen itu, tapi aku harus menolak. Staf Perwira Sidamo bilang itu yang terbaik kan? 'Kavaleri harus mati diluar.' Janji harus ditepati, kan, Kolonel?"


Para prajurit lain yang juga tinggal, membuka mulut mereka menyetujuinya.
Sejujurnya, mereka ingin mati berjuang bersama Schera. Tapi mereka gak punya kuda, dan gak bisa bergerak sesuai keinginan mereka, mereka hanyalah beban.
Jika demikian, mereka harus mengerjakan tugas lain.


“…………”


"Apa, kekuatiranmu tak diperlukan. Kavaleri Kolonel Schera tak terkalahkan. Kami akan memperhatikanmu dari sini, menunggu hari dimana kau datang menemui kami lagi. Selamanya."


"Itu benar, kita tak akan bisa dikalahkan. Terlebih lagi, kami harus merawat ubi yang kita tanam bersama."


"Saat ubinya menghasilkan buah, perangnya pasti sudah berakhir. Ketika hari itu tiba, aku akan menunjukkan kemampuanku dan membuat hidangan yang lezat. Silahkan dinantikan."


".......Aku paham. Aku pasti akan datang menemui kalian. Lalu kita akan membuat pesta penuh makanan lezat, bersama-sama. Aku janji."


Schera tersenyum, dan para prajurit mengangguk dengan antusias.


"Hormat pada Kolonel!"


"Semoga keberuntungan perang menyertaimu!"


"Kalian juga, jaga diri. Mari kita ketemu lagi. Pasti."


"Siap-!"


100 orang yang tinggal di benteng memilih bukan untuk mempertahankan benteng, tapi untuk melindungi ladang mereka tercinta. Lagipula gak akan ada pengaruhnya kalau pasukan kecil mereka mempertahankan gerbang.
Oleh karena itu mereka ingin berjuang di tempat mereka yang berharga. Setidaknya mereka memiliki kebebasan untuk memilih tempat kematian mereka. Bukan untuk Kerajaan, tapi untuk Schera, pikir anggota kavaleri yang tinggal dengan tekad bulat.


* * * *


Seolah menembus kegelapan malam, langit menjadi putih.
Berbicara pada para prajurit yang berkumpul di gerbang utama, Larus mengangkat suaranya, wajahnya muram, saat dia memberi perintah. Muram karena kepahitan bahwa dia harus memerintahkan mereka untuk mati, tetapi dia menyembunyikan fakta itu.


"Tuan-tuan, aku mengucapkan rasa terimakasihku dari lubuk hatiku karena tetap bersamaku sampai hari ini. Kita akan menunjukkan semangat pasukan Cyrus pada pasukan pemberontak. Akan kita buat mereka tau keberanian pasukan elit Kerajaan. Pasti, KITA AKAN MEMENGGAK KEPALA KOMANDANNYA-!"


“OU-!”


"Baiklah, buka gerbang-! Sang Dewa Kematian akan memimpin kita! Kawal Kolonel Schera ke markas musuh!"


"Hidup Kerajaan! Hidup Pasukan I!"


"Semua unit mulai serangan-! Maju-! Serbu-!"


“UOOOOOOOOOO-!”


Jembatan gantung diturunkan, dan gerbang dibuka.
Larus menyerbu sebagai barisan depan, dan para prajurit memacu kuda mereka dibelakang dia.
Strateginya sederhana. Larus dan infanteri akan menghancurkan pagar, dan menerobos parit, lalu menghentikan setiap bala bantuan sampai mereka mati. Unit Schera akan melewati mayat mereka dan menuju ke markas musuh.


–Tanpa berharap kembali hidup-hidup.


Setiap anggota Kavaleri Schera mengangkat tombak mereka, dan bersiap menyerbu.
Schera memperhatikan mereka, dan mengangguk sekali.


"Kita akan membunuh sampah pemberontak sebanyak mungkin. Aku akan bertarung sampai aku gak bisa bertarung lagi. Jadi tetaplah bersamaku. Terimakasih untuk semuanya. Benar-benar menyenangkan makan bersama kalian. Aku sangat bersyukur."


"Merupakan sebuah kehormatan bisa bersamamu Kolonel."


"Kolonel, terimakasih banyak!"


"Hidup Schera!"


"Hidup Kolonel Schera!"


"Baiklah. Ayo pergi. .....Angkat bendera-! Kavaleri Schera akan memulai serangan! Bunuh mereka semua-!"


"Serbu! Ikuti kolonel!"


Schera mengerahkan tenaganya dan memacu kudanya.
Darus berteriak, dan pasukan kavaleri mengikuti, suara tapak kaki mereka menggema.
Bendera-bendera hitam melewati gerbang, dan gagak putih yang mengerikan melesat di medan terbuka–untuk membawa kematian pada Pasukan Pembebasan, untuk menyeret prajurit musuh menuju kematian bersama mereka.


–Prajurit Cyrus dan Kavaleri Schera memulai serangan.
Merasakan serangan dari Prajurit Kerajaan, Diener mengkonsentrasikan para prajurit didepan markas, dan memerintahkan mereka untuk memanfaatkan pertahanan yang dibangun untuk memusnahkan mereka.
Dia berencana membunuh mereka semua dan nggak membiarkan mereka menerobos. Dia gak akan membiarkan satu orangpun lolos.


"Musuh sudah melemah. Tetap tenang dan bidik mereka. Tembak mereka dan bunuh semuanya."


"Tuan Diener, persiapan sudah selesai."


"Bagus, mulailah perebutan Cyrus. Jangan ada tawanan, bunuh mereka semua."


"Siap-!"


Si utusan pergi. Sekarang pasukan utamanya sudah keluar, Benteng Cyrus nyaris kosong. Benteng itu akan segera jatuh karena serangan 30.000 prajurit.


Dengan taktik kelaparan kali ini, dia bisa meminimalisir kerugian prajurit. Pengepungan berjalan dengan sempurna.
Akan sangat mudah menangkis serangan musuh yang sembarangan. Mereka sudah membangun garis pertahanan kokoh.
Kavaleri Dewa Kematian gak akan berhasil. Satu-satunya hal yang menunggu mereka adalah kematian yang menyedihkan.


(Yah, meskipun mereka tetap didalam benteng, mereka hanya akan menyambut kematian mereka karena kelaparan. Bahkan, kami mungkin dianggap sebagai mesias yang membebaskan mereka dari kesengsaraan mereka. Kukuku, seorang mesias yang menyelamatkan Dewa Kematian. Oh, itu membuatku tertawa.)


Dengan tawa paling riang, Diener mengambil teropongnya. Kematian orang-orang bodoh dari Kerajaan–ini menghasilkan komedi terbaik.


* * * *


Setelah Schera dan yang lainnya keluar, layaknya kawanan semut yang mengerumuni mangsa, Pasukan Pembebasan menyerbu Benteng Cyrus.
Orang-orang yang memutuskan untuk menunggu ajal mereka disini, mati-matian menjaga gerbang, tapi mereka ditembus dengan mudah.
Gak lagi diperlukan alat pendobrak. Pasukan Pembebasan mendekati gerbang dan secara paksa mendobrakya menggunakan palu besi.
Para prajurit yang melemah diserbu oleh Pasukan Pembebasan, dan mereka dibunuh tanpa ampun.
Bagi para prajurit Pasukan Pembebasan yang menyerang, kesempatannya cuma tersisa sedikit untuk mengukir nama mereka. Agar diakui atas keberanian mereka dalam pertempuran, mereka harus membantai semua orang secara menyeluruh.
Ini bukanlah medan perang, ini hanyalah lahan berburu. Gak menerima penyerahan. Gak ada perlunya mendengarkan permohonan ampun.
Para prajurit yang membuang pedang mereka dan menyerah ditendang dan ditusuk menggunakan tombak.
Kepala mereka dimereka ditikam berulang kali menggunakan pedang. Begitu juga nasib orang-orang yang terluka. Tawanan gak diperlukan. Sesuai instruksi Diener, mereka membunuh semuanya, gak menyisakan satupun.


Ditengah-tengah semua itu, ada sekelompok prajurit yang dengan teguh berjuang sampai akhir. Mereka berbeda dari para prajurit Kerajaan yang berlarian berusaha melarikan diri layaknya bayi laba-laba yang berhamburan. Di ladang benteng, seratus orang membentuk formasi persegi dan dengan gagah berani melawan.
Didepan mereka tergeletak mayat-mayat prajurit Pasukan Pembebasan, dan saat ini dengan senyum garang diwajah mereka, mereka mencabut tombak mereka dari prajurit yang barusaja terbunuh.


"Hahahaha. Mereka gak punya nyali. Jumlah mereka memang banyak, tapi mereka cuman sekumpulan sampah."


"Kalau Kolonel ada disini, mereka akan mati kurang dari satu menit."


"Kita saja sudah cukup."


"Kita harus menyeret bersama kita sebanyak yang kita bisa. Ayo bunuh lebih banyak lagi."


Mereka, Kavaleri Schera, mengelilingi ladang dengan formasi persegi, dan ditengah mereka berkibar bendera perang mereka.
Para prajurit Pasukan Pembebasan disekitar mereka ragu-ragu untuk melangkah maju.
Bendera itu adalah simbol Dewa Kematian. Mereka akan terkenal kalau mereka menurunkannya, tapi mereka gak mau mati saat mereka sudah menang.
Orang-orang yang gila pencapaian yang dengan energik menyerang, sudah menjadi mayat.
Benteng ini sebagian besar sudah dikuasai, tapi cuma ladang ini yang terus melawan dengan gigihm meskipun mereka terluka, ataupun jumlah mereka menurun, Kavaleri Schera nggak akan pernah membiarkan mereka mendekati ladang.
Para prajurit Kematian gak takut siapapun.
Kehabisan kesabaran, seorang komandan Pasukan Pembebasan muncul, membawa unit pemanahm karena dia pikir nggak memerlukan mereka dalam penindasan, jadi butuh waktu untuk persiapan.
Sungguh memalukan bahwa mereka gak bisa menghancurkan mereka dengan jumlah prajurit yang sangat banyak. Terlebih lagi mereka nyaris gak punya kekuatan yang tersisa.


“Kalian telah bertarung dengan baik untuk prajurit Kerajaan. Aku memuji kalian. Tapi, hanya sampai sejauh inilah perjuangan kalian. –Unit pemanah, bersiap.”


Mengikuti perintah komandan, unit pemanah membentuk tiga baris, dan membidik.
Para kavaleri menyiapkan tombak mereka, bersiap menjemput ajal.


"Hidup Kolonel Schera! Kemenangan untuk Kolonel!


Para kavaleri berteriak serempak, dan komandan musuh mengayun pedangnya.
Unit pemanah menarik pelatuknya, dan menembak. Lalu gelombang kedua, dan gelombang ketiga. Barisan pertama mengisi ulang.
Kavaleri Schera dalam diam tumbang. Menikamkan tombak mereka pada tanah, menolak untuk jatuh.


"Orang-orang ini akan terus bergerak sampai akhir. Tembak terus. Tak perlu berhemat."


Komandan itu pernah mendengar soal kekejian kavaleri itu dari Diener dan Fynn, dan memutuskan untuk gak mendekat. Dia menjaga jarak dan terus menembak.
Tubuh para kavaleri itu diperlakukan layaknya boneka yang digunakan untuk latihan memanah, dan para pemanah menyeringai seraya menembakkan anak panah mereka.
Setelah bererapa ratus anak panah ditembakkan, semunya tewas.
Tubuh mereka layaknya landak. Para prajurit Pasukan Pembebasan tertawa.


"Para idiot ini membuang-buang waktu saja."


Gumam si komandan, menatap jengkel mayat-mayat kavaleri itu.
Seorang prajurit membaca papan tanda, dan berbicara.


"Komandan! Sepertinya kebun aneh ini milik Dewa Kematian. Ada tanda tangannya pada papan tanda itu, dan tertulis jangan dirusak!"


"Konyol. Mereka tetap disini hanya untuk melindungi kebun? Apa-apaan yang mereka pikirkan? Perilaku orang-orang edan memang susah dipahami."


Si komandan berkata menyindir.


"Semua untuk Kolonel Schera? Bukankah mereka sudah gila?"


"Ini ubi Wealth? Mereka mati demi ubi!"


Seorang prajurit mencabut tanaman di ladang itu seolah dia sedang menyentuh sesuatu yang sangat kotor. Lalu menginjak-injaknya.


"Yah terserahlah. Kalau ini segitu berharganya, kita kubur saja bersama mereka. Mereka adalah prajurit mengerikan dari Dewa Kematian, kita gak mau mereka bangkit dan mengejar kita."


"Dimengerti!"


"Hehehe, kita bakar saja mereka! Minggir!"


Para prajurit Pasukan Pembebasan menendang mayat-mayat kavaleri itu seraya mengumpulkan mereka di satu tempat.
Ladang ubi Wealth milik Schera yang dirawat dengan hati-hati dihancurkan dengan tragis.
Mereka membabat tanamannya menggunakan pedang mereka, mencungkilnya menggunakan tombak, dan menginjak-injak tanahnya dengan sepatu mereka.
Mereka menyiramkan minyak pada mayat-mayat kavaleri, dan membakarnya beserta tanaman yang dicabut.


"Baiklah, kibarkan bendera kita diatas benteng ini supaya Ahli Strategi kita tau kemenangan kita."


"Dimengerti!"


"Sialan, akhirnya maju juga ke Ibukota Kerajaan. Lama juga kita menghabiskan waktu disini."


Tentara infanteri mengikuti komandanya dan mulai naik ke menara.
Meninggalkan kebun serta gunung mayat yang dibakar.


* * * *


Markas Pasukan Pembebasan.
Diener meragukan matanya pada situasi yang terjadi didepan matanya.
Menghadang musuh dengan barisan pertahanan dan menghabisi mereka dengan para pemanah yang telah disiapkan. Harusnya itu sangat mudah.
Tapi, apa-apaan pemandangan yang ada didepannya ini. Dia sama sekali gak memahaminya.


"K-K-Ke-Kenapa mereka gak bisa dihentikan!?"


Prajurit Kerajaan memenuhi parit dengan mayat, menghancurkan pagar-pagar, dan menyingkirkan pagar pasak, semua itu dilakukan sembari bertahan dari hujan panah.
Saat itu terjadi, ratusan prajurit terbunuh.
Dia menerima berita kalau jenderal musuh, Larus, sudah tewas. Bukankah itu aneh bahwa mereka nggak kehilangan kehendak bertarung?


"Tuan Diener, musuh layaknya tikus yang kepojok. Karena jalur mundur mereka sudah tertutup, mereka hanya bisa bertarung."


"Diam! Kirim lebih banyak prajurit ke depan! Mereka gak boleh dibiarkan mendekat!"


"D-Dimengerti!"


Membangun blokade, menutup semua jalur kabur, semua itu sudah dilakukan Diener. Dia juga yang mengabaikan penyerahan diri dan memutuskan untuk menghabisi mereka semua.
Infanteri musuh yang masih hidup menghancurkan barisan depan sekutunya. Dibelakang mereka ada kavaleri yang mengibarkan bendera hitam dan menimbulkan awan debu saat bergerak.
Prioritas mereka bukanlah kemenangan, tapi kematian dan penderitaan musuh bebuyutan mereka, dan darah Pasukan Pembebasan ditumpahkan secara sia-sia.
Diener menyesali keputusannya, tapi sudah terlambat.
Para prajurit Dewa Kematian menerjang maju, mengincar markasnya, seraya menciptakan korban yang lebih banyak.
Pasukan Pembebasan berusaha menyerang mereka dari semua sisi, tapi momentum kavaleri musuh nggak melambat.


"Sial-! Kalau terus begini–"


"Tuan Diener! Kavaleri Singa! Kavaleri Fynn telah datang!"


"A-Apa!"


Tepat saat Diener mulai berpikir soal pergi dari markas, kavaleri yang mengibarkan bendera singa melesat kearah para prajurit Dewa Kematian.


Infanteri Pasukan Kerajaan yang menerobos formasi mereka terhenti.
Para prajurit yang terus maju penuh tekad, sekalinya berhenti, mereka menjadi rapuh.


"Tuan Diener!"


"Aku tau! Jangan lewatkan kesempatan ini, menyatu dengan unit Fynn dan hancurkan mereka!"


Diener tiba-tiba berdiri dan memberi arahan.


* * * *


Secara heroik mengayunkan tombaknya, memanfaatkan mobilitas mereka, dan memporak-porandakan Pasukan Kerajaan adalah Fynn dan Kavaleri Singanya.
Semangat musuh memang tinggi, tapi pergerakan mereka tumpul. Sepertinya mereka gak bisa mengimbangi pergerakan tajam kavaleri.
Rasa lapar pasti telah melemahkan stamina mereka. Fynn memenggal kepala prajurit Kerajaan.


"Kolonel! Dewa Kematian ada didepan kita-! Kavaleri Kematian melesat!"


Teriak Milla, si ajudan, sambil mengayunkan pedangnya. Kavaleri Dewa Kematian melesat lurus, mengikuti jalan yang dibuka oleh infanteri Kerajaan.
Schera berada didepan. Dia bermandikan darah. Pundaknya terangkat mengikuti nafasnya saat dia memacu kudanya.


"Jadi si Dewa Kematian muncul belakangan. Mereka seharusnya sudah melemah karena kelaparan. Aku nggak akan kalah kali ini."


"Kolonel!"


"Apa, aku nggak akan pergi sendirian. Ini adalah pertempuran sampai mati. Ikut bersamaku, jangan menahan diri."


"Siap-!"


"Serbu! Kita akan membunuh Dewa Kematian dan mengukir nama kita! Tunjukkan pada mereka kekuatan Kavaleri Singa!"


Fynn memberi perintah, dan kavaleri itu mulai menyerang.
Reputasi Fynn sudah gak tergoyahkan. Tapi kalau dia membunuh Schera disini, bisa dikatakan dia akan mencapai puncak ketenaran.
Kejayaan dan kemuliaan ada didepan matanya. Dia gak bisa membiarkan peluang ini hilang begitu saja.
4.000 infanteri Pasukan Kerajaan nampaknya telah kehabisan stamina, dan gempuran mereka melemah.
Dia harus mengepung mereka dan menghabisi mereka setelah itu. Musuh terkepung oleh pasukan yang jumlahnya 10 kali lipat. Sejak awal memang gak mungkin kalah.


Kavaleri Singa berhadapan dengan Kavaleri Dewa Kematian.
Fynn memutuskan untuk mengincar Schera, dan memperat genggaman pada tombaknya. Satu serangan saat mereka saling berpapasan. Dia berniat mengakhirinya disini.
Schera memegang sabitnya ke samping secara horizontal dengan kedua tangannya. Bilahnya berlumuran darah, dan sabit itu sudah merenggut banyak nyawa.


"Dewa Kematian Schera! Kepalamu milikku!"


“…………”


Tiba-tiba, Schera melempar sabitnya keatas. Saat Fynn menengadah, dua sabit kecil menancap pada kedua pundak Fynn.
Schera melempar dua sabit kecil dari pinggangnya.


"–A-Apa."


"Aku gak punya waktu main sama elu. Tujuanku cuma kepala Komandan Tertinggi."


Tanpa melihat kearah Fynn yang jatuh karena rasa sakit yang luar biasa, Schera melesat maju bersama 1.000 kavalerinya.
Karena terjatuh dari kudanya, Fynn belepotan lumpur cipratan kuda. Dia menjerit sambil menggeliat. Melumuri dirinya dengan lumpur.
Sampai Milla melihat dia dan menariknya menjauh, dia tersiksa oleh rasa sakit yang gak ada hentinya.
Menangkap sabitnya yang tadi dia lempar, Schera memegang tali kekangnya lagi.
Dengan tembusnya Kavaleri Singga milik Fynn, Schera melaju kearah markas yang bendera jenderal musuh berkibar diatasnya, sambil menerobos pagar pertahanan.
Untuk menahan musuh yang ada dibelakang, para kavaleri dengan kemauan mereka sendiri memutuskan untuk berhenti dan berbalik.
Schera hanya maju, maju, dan terus maju. Orang-orang mengikuti dia adalah Darus dan dua ratus kavaleri. Yangl lainnya pasrah pada kematian dan pergi mengganggu formasi musuh.


“—Haah-, Haah-.”


"Hampir sampai Kolonel! Itu benderanya si bangsat Diener!"


"Sayang sekali itu bukan Altura."


"Sekarang bukan waktunya untuk serakah! Kita bisa sampai sejauh ini saja sudah merupakan sebuah keajaiban!"


"Gak ada yang namanya keajaiban. Cuma ada kebencian dan tekad."


Dia mengayunkan sabitnya sambil menggeretakkan giginya. Sebentar lagi dia gak akan bisa bergerak. Gak banyak waktu yang tersisa.
Menepis hujan anak panah, Schera menyerbu kedepan.
Seorang pria yang nggak terlalu tua memasuki bidang pandangnya. Berbeda dengan para prajurit lain, dia memakai seragam yang gak kusut.
Giginya terkatup begitu keras sampai-sampai darah mengalir dari bibirnya. Kayaknya dia sangat marah.
Schera berpikir untuk melemparkan sabitt kecil, tapi dia sudah menggunakannya pada Fynn tadi.
Terserahlah. Mungkin lebih baik kalau menebas kepala pria itu menggunakan sabit miliknya. Schera mengangkat sabitnya tinggi-tinggi
Satu serangan terakhir. Dia cuma punya satu serangan terakhir saja. Mangsa terakhirnya adalah si bangsat itu. Dia pasti akan membunuh si bangsat itu.
Kavaleri dibelakangnya terus berkurang jumlahnya saat dia terus melesat. Sedikit lagi. sedikit lagi.
Cuma beberapa detik saja dari kepala musuh bebuyutannya, satu langkah lagi.


"–Unit pemanah, Tembak!"


Disaat yang sama, suara yang familiar berteriak, beberapa anak panah menusuk tubuh Schera.
Schera merasa seperti dia akan jatuh dari kudanya karena dampaknya. Dia memegang tali kekangnya dan menahannya.
Dunianya terasa berputar. Saat dia memeriksa pemilik suara itu, itu adalah si penghianat Vander. Schera tersenyum melihat wajah nostalgianya.


Ahhh, sungguh nostalgia Kastil Belta. Katarina, Sidamo, Yalder. Ada begitu banyak manusia yang menarik. David, Konrad, Darus. Ada banyak sekali manusia aneh. Diener, Vander, Octavio. Banyak sekali manusia bangsat.
Begitu banyak hal yang terjadi. Setahun ini, betul-betul banyak sekali hal yang terjadi.
Dia lelah.
Darah mengalir deras dari mulutnya, dan Schera berbaring diatas kudanya. Meski begitu, dia nggak melepaskan sabitnya.


"Dewa Kematian telah terkena panah! Penggal kepalanya!"


Ucap Vander, dan infanteri maju kedepan. Lebih banyak anak panah ditembakkan untuk perlindungan.
Kavalernya berdiri didepan dia, tangan mereka terentang saat mereka mati melindungi dia.
Darus meraih tali kendali dari Schera yang tumbang dan menariknya kuat-kuat.


"Bertahanlah! Hei-!"


".....Mungkinkah ini.... akhirnya...."


"Bodoh! Masih belum-! Kita belum memenggal kepala si bangsat itu!"


"Tapi... aku agak.... lelah."


"Diam! Aku gak mau dengar Dewa Kematian merengek! Hei kau, bawa Kolonel melarikan diri! Pakai segala yang kau bisa dan kaburlah ke suatu tempat-!"


"T-Tapi..."


Seorang kavaleri muda kebingungan pada perintah Darus.
Dia sudah siap mati, kenapa dia harus melarikan diri? Dia gak mengerti. Dia gak bisa meninggalkan rekan-rekannya dan melarikan diri.


"Itu akan membuat mereka jengkel! Kalau Kolonel kabur, si bangsat itu akan marah. Cepat bergerak! Jangan berbalik-!"


"D-Dimengerti!"


Mengangkat tubuh Schera, kavaleri muda itu mundur.
Beberapa kavaleri ikut dibelakangnya untuk menjaga dia.
Darus tersenyum, dan berbalik. Dia menemukan tempat yang bagus untuk mati. Ayahnya yang sialan mungkin gak akan mengeluh juga kalau dia tewas melindungi seorang wanita.
Ini yang terbaik.


"Heh-, inilah akhirnya! Schera, ini untukmu!"


Darus dan para kavaleri yang masih hidup mengerahkan sisa kekuatan mereka dan menyerang.
Mereka terus menyerbu unit pemanah, dan mereka berjuang keras meskipun dihujani panah. Mereka hampir seperti iblis jahat.
Mereka berjuang keras. Untuk mengulur waktu sampai Schera bisa kabur, mereka menuju ke markas Diener.
Satu orang membunuh sepuluh orang. Sebenarnya lebih, dan masing-masing orang bertarung layaknya para ksatria terhebat dalam sejarah.
Pada akhirnya, mereka ditarik jatuh dari kuda mereka oleh sekelompok prajurit gila, tubuh mereka disalib, dan semua anggota tewas sambil tertawa gila.
Darus juga, bukan sebagai orang Madros, tapi dia tewas sebagai Darus saja.
Dengan musnahnya musuh, markas Pasukan Pembebasan akhirnya mendapatkan kembali ketenangannya.
Terbebas dari rasa takut dari Dewa Kematian mendekat, Diener mengusap rambutnya dengan tangannya yang gemetaran.


"......Apa ini."


Diener menatap kampnya yang setengah hancur.
Didepan dia tergeletak mayat para prajurit Pasukan Pembebasan. Wajah mereka dipenuhi kesedihan.
Saat dia menatap mayat para kavaleri Dewa Kematian, mereka semua tewas sambil tersenyum mengejek, merasa puas.
Wajah mereka seperti mengejek kebodohan Diener.
Vander mendekat dan berbicara.


".......Tuan Diener. Apa kau terluka?"


"Apa yang barusaja terjadi!? Apa aku dikalahkan oleh Dewa Kematian lagi!?"


"Mohon tenanglah. Dewa Kematian telah diusir. Ini adalah kemenanganmu."


"Apa ini terlihat seperti kemenangan bagimu!? Aku berniat melelahkan mereka dengan rasa lapar dan menekan pengorbanan yang tak ada gunanya, tapi apa-apaan kondisi menyedihkan ini!?"


“…………”


"A-Aku..... Kenapa, kenapa aku nggak mempersiapkan rute kabur. Kenapa aku mengubah semua musuh menjadi tentara Maut. Apa aku sudah menjadi sombong tanpa kusadari?"


7.000 prajurit Cyrus dikepung oleh 50.000 prajurit dan kelaparan. Tapi karena serangan musuh kali ini, kemungkinan lebih dari 7.000 telah menjadi korban.
Karena kesalahan Diener dalam penilaian, korban yang gak diperlukan harus dibayarkan. Dia tanpa ada gunanya telah menyudutkan musuh, dan mereka semua berubah menjadi tentara Maut.


Merupakan sebuah aturan penting bahwa satu jalan melarikan diri harus disediakan untuk musuh dalam sebuah pengepungan. Oleh karena itu dua mengatur sebuah rute melarikan diri di Belta.
Meninggalkan secercah harapan untuk hidup–untuk berjaga-jaga supaya musuh nggak memperkuat tekad mereka dan bertarung sampai mati. Dia harusnya sudah tau ini. Dia sangat menyesalinya.
Dia telah bermain-main nyawa, dan ini adalah harga yang harus dia bayar untuk kesembronoannya. –Gimana kalau dia menerima penyerahan pada saat itu.


Diener jatuh kedepan. Kemanapun dia memandang, gak ada yang kelihatan seperti sebuah kemenangan.
Kalau itu dirinya yang dulu, dia nggak akan membuat keputusan semacam ini. Untuk kemenangan Pasukan Pembebasan, dia seharusnya menghapus semua rasa permusuhan miliknya. Pasukan Pembebasan segalanya bagi dia.
Sejak kapan dia berubah? Sejak kapan kebencianya terhadap Dewa Kematian melampaui kehidupan rekan-rekannya?
Diener menderita karena perubahannya. Tapi meski begitu, kebenciannya terhadap Dewa Kematian nggak menghilang.


"Tuan Diener. Schera masih belum mati. Minta ijin untuk mengejar. Aku akan membunuh dia, dan memberi penghormatan pada rekan-rekan kita."


Dewa Kematian masih hidup. Niat membunuh mengerikan yang sebelumnya dia rasakan, melintas dalam benaknya. Punggungnya langsung merinding karena rasa takutnya terhadap kematian.


".......Bunuh dia. Gak peduli apapun yang diperlukan. Vander, kau harus membunuh dia. Mahluk itu gak bisa dibiarkan hidup. Kau harus membunuh dia!"


Teriak Diener dengan mata kosong. Sikap tenang, kepala dingin dan kalemnya telah sepenuhnya lenyap.


"Serahkan padaku."


Vander membawa pasukannya dan memulai pengejaran. Mereka bergegas kearah Schera melarikan diri.


* * * *


Sebuah hutan kecik diwilayah barat Cyrus. Schera dan kavaleri muda itu kabur kesana.
Gak ada tanda-tanda dari para kavaleri lain. Semua anggota telah memancing musuh, bertindak sebagai pengalih perhatian, dan gugur dalam pertempuran.
Prajurit muda itu menyadarkan Schera pada pohon besar sab melakukan perawatan pada lukanya. Kudanya Schera sudah gak bergerak sejak beberapa saat yang lalu, seolah kuda itu telah mengerahkan kemampuannya sampai batasnya dan berlebihan menggunakannya.
Mulai dari sini, mereka harus kabur semua berjalan kaki.
Dia dengan hati-hati mencabut anak panah yang menancap pada Schera, melepas zirahnya, dan menghentikan pendarahannya satu per satu. Ketika kulit telanjang Schera memasuki pandangannya, prajurit itu mengalihkan tatapannya.


"......Sudah hentikan. Anak panahnya.... sepertinya dilumuri racun. Ini.... cukup jauh."


Schera bergumam dengan suara lemah. Anak panah itu dilapisi racun mematikan.
Itu adalah sejata mematikan yang dipersiapkan untuk melawan Dewa Kematian.
Racunnya dengan cepat menggerogoti tubuh Schera. Staminanya yang tinggal sedikit sebentar lagi akan habis, seperti permen yang mau lenyap.


".....Aku nggak bisa melakukan itu."


"Ini adalah sebuah perintah. Pangkat dalam sebuah pasukan adalah hal mutlak. Kau sudah melakukannya dengan baik..... pergilah. Aku... baik-baik saja disini."


Dia berusaha memegang sabitnya, tapi gak ada kekuatan ditangannya. Dia gak bisa bergerak lagi.
Kavaleri muda itu memasang ekspresi pasrah diwajahnya setelah beberapa kali gemetar, da kemudian dia tersenyum.


"Kalo lu mati, elu gak bakalan laper lagi, Kolonel. Orang mati gak bakal ngerasa lapar."


Gumam nakal si prajurit muda, dan Schera menatap dia penasaran. Perkataan itu, kapan dan dimana dia mendengarnya sebelumnya? Disuatu tempat, diwaktu yang lalu.


"........Kau?"


"Aku berjanji mentraktirmu roti dan keju ingat? Nggak ada keju, tapi aku punya roti. Ini."


Si prajurit muda itu memasukkan potongan kecil roti, betul-betul kecil kemulut Schera, dan dia berdiri.
Roti itu berlumuran darah, tapi Schera merasa itu lezat.


Sekeliling menjadi berisik. Kayaknya kuda mereka yang mati telah ditemukan.
Sebentar lagi musuh akan sampai sini. Si kavaleri muda itu menghunus pedangnya dan berdiri didepan Schera.
Seorang komandan Pasukan Pembebasan muncul, menerobos semak-semak. Ditangannya ada sebilah pedang yang memancarkan cahaya berbahaya.


"Akhirnya ketemu juga kau. Hei kau, aku akan membiarkanmu pergi kalau kau kabur sekarang. Enyahlah."


"Aku menolak! Aku akan bertarung sampai ajalku! Gak ada kekalahan untuk Kavaleri Schera!"


"Aku paham. Kalau begitu aku nggak akan mengatakan apa-apa lagi. Matilah."


Si komandan Pasukan Pembebasan dan si kavaleri muda itu bertarung. Pedang beradu, dan pertarungan sampai mati terjadi.
Si pemuda itu memiliki keunggulan dalam semangat, tapi dia kalah telak dalan teknik, bakat, dan pengalaman.
Setelah sepuluh kali bertukar serangan, si kavaleri muda itu dijatuhkan.
Dia mengulurkan tangannya kearah Schera saat dia mati. Pemuda itu yang diselamatkan oleh Dewa Kematian, tewas untuk melindungi sang Dewa Kematian.


Si komandan Pasukan Pembebasan itu menggenggam pedangnya yang berlumuran darah segar, dan dia mendekati Schera.
Nama pria itu adalah Vander. Manusia yang dulunya ajudan Schera.


"Lama tak jumpa, Mayor. Atau lebih tepatnya, kau seorang Kolonel sekarang kan?"


"........Letda Vander."


"Bukan, aku juga sudah naik pangkat. Sekarang aku Mayor. Akhirnya aku bisa menyusul pangkatmu saat itu."


Vander menyarungkan pedangnya dan menatap Schera.
Pernafasan Schera selemah serangga. Meskipun Vander gak melakukan apa-apa, Schera mungkin akan mati. Panah beracun itu telah menembus Schera.


“…………”


"Aku.... memang takut padamu saat itu, dan aku beralih ke Pasukan Pembebasan. Akan tetapi, kemanapun aku pergi, ujung-ujungnya semuanya sama. Gak ada yang namanya pasukan 'bersih'. Karena aku baru mengerti itu diusia sekarang, kurasa aku juga seorang manusia menyedihkan."


Vander berkata mengejek diri. Setelah bergabung dalam kedua pasukan itu, dia telah melihat dosa yang sangat banyak. Diener adalah manusia yang melahirkan semua dosa itu, dan Vander yang berada dibawah komandonya sekarang juga telah ternodai.


“…………”


"Alasan kenapa kau menjadi Dewa Kematian– akhirnya aku tau sekarang, kenapa kau memiliki permusuhan sebesar itu terhadap Pasukan Pembebasan. ......Orang yang menghancurkan tempat kelahiranmu, adalah kami, Pasukan Pembebasan. Aku diberitahu oleh Diener. Dunia ini betul-betul menjijikkan. Gak ada yang namanya keadilan."


"......Jadi begitu, pelakunya Diener."


Gumam Schera seolah mengukir nama itu dalam dirinya. Dia gak akan pernah melupakannya. Bunuh, dia pasti akan membunuh Diener.


"Ya. Satu orang kotor, sepuluh orang dikorbankan, dan seribu orang diselamatkan. Ini gak terelakkan. Seseorang harus melakukannya. Kalau gak ada yang bertindak, puluhan ribu manusia akan mati ditangan para politikus tolol. Aku telah mengambil keputusan untuk mengotori diriku. Jadi–"


Vander mengambil sabit besar milik Schera yang ada disampingnya.
Gak kayak penampilannya, Sabit itu ringan. Sangat pas ditangan Vander, seolah dia selalu memakainya.


"–Aku akan membunuhmu. Eksistensi "Dew Kematian" gak diperlukan di dunia baru. Kau sudah membunuh begitu banyak orang."


Vander menempatkan bilah sabit itu pada leher Schera.
Schera nggak melawan.
Didunianya Schera yang buram, Vander terlihat kabur.
Sesuatu yang ada dalam ingatannya, dari suatu tempat, dari suatu waktu, merasuki Vander– sebuah bayangan hitam.
Schera mengarahkan matanya pada leher dan tenggorokan Vander yang kelihatan lembut. Nafsu makan Schera meronta-ronta. Sedikit kekuatan kembali ke tubuhnya. Matanya menyala dengan cahaya kegelapan.


"Setidaknya aku akan membuatnya tanpa rasa sakit, dan memberimu kematian yang mudah. Kolonel Schera, .....selamat tinggal!"


Saat Vander mengangkat sabit itu keatas kepalanya, Schera melompat dari tanah.
Vander tertegun pada seseorang yang berada diambang kematian tiba-tiba bergerak. Sabit itu jatuh dari tangannya.
Tangan Schera yang ramping dan halus dengan lembut memegang leher Vander.
Schera membisikkan satu kata, nafas hangatnya membelai telinga Vander.


"–Lezat."

Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya