Tate no Yuusha Jilid 1 Bab 20 (Indonesia)
Bab 20 : Serbuan Monster (Gelombang Bencana)[edit]
Bagian 1[edit]
Kami tiba tepat waktu bersamaan pasukan monster berjumlah besar, mulai merusak desa. Para petualang dan prajurit yang berjaga di sana, hampir gagal menahan pembantaian pasukan monster itu. Pasukan penjaga daerah itu benar-benar kalah jumlah... dan garis pertahanan mereka juga hampir hancur.
"Raphtalia, tolong bantu para penduduk desa untuk mengungsi."
"Huh? Bagaimana dengan Tuan Naofumi..?"
"Aku akan menahan pasukan musuh!"
Aku segera maju ke garis depan, dan menghantamkan perisaiku pada sekelompok monster mirip-hama serangga. Suara benturan logam terdengar cukup keras, namun tetap tidak menimbulkan damage sedikitpun. Meski begitu, aku bisa menarik perhatian para monster tersebut. Ini adalah siasat yang sama, dengan yang biasa kulakukan dengan Raphtalia.
"Gugi!"
Sekawanan monster hama kecil menyerang ke arahku. Sambil terus bergerak, aku segera mencari sasaranku selanjutnya: monster Ghouls dan beberapa kawanan tawon.
TRANGG! TRANGG! TRANGG!
Seperti biasa, aku masih tidak terkena damage. Apakah ini berkat pertahanan dari Zirah Barbarian, atau karena perisaiku?
"Tuan Pahlawan?"
"Ah, benar juga... Kalian, pergilah dan kumpulkan penduduk lainnya, aku akan menahan semua monster ini!"
Di sana aku melihat banyak penduduk yang kukenal dari desa Riyuuto.
"B-baik, Tuan Pahlawan!"
Untungnya, walau hanya aku seorang yang berada di garis depan, semua korban yang selamat tidak ada yang terluka parah.
"Apa yang..."
Apa yang kupikirkan tadi? Perasaanku tidak enak. Saat aku melamun, para monster itu menghantamku sampai jatuh dengan serangan cakar, taring, dan duri mereka. Meskipun suara hantamannya cukup nyaring, aku tidak merasa sakit sedikitpun, hanya terasa geli saja. Bagaimanapun juga, pergerakan mereka yang merayap di atas tubuhku, terasa sangat menjijikan.
Dengan begitu, aku terus menghajar semua monster itu.
*BUKK!*
Sial, apa semua monster ini tidak pernah berhenti mengganggu kedamaian orang lain? Tapi mau bagaimana lagi, gelombang bencana sedang terjadi sekarang.
"T-tolong ak--!"
Di belakangku, seorang pemilik penginapan yang telah membantuku selama ini, sedang diserang oleh seekor monster. Sesaat sebelum cakar monster itu mengoyaknya, aku berteriak:
"Air Strike Shield!"
Kugunakan kemampuan itu, dan perisai penyelamat pun muncul untuk melindungi pemilik penginapan. Dia terkejut dengan kemunculan perisai yang tiba-tiba itu, lalu menoleh ke arahku.
"Cepat lari!"
"... Ooh, terima kasih."
Setelah membungkuk untuk berterima kasih, dia langsung kabur bersama keluarganya.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!"
Suatu jeritan yang biasanya ada di situasi seperti ini, terdengar olehku. Itu adalah jeritan seorang wanita, yang lari dari sekelompok monster yang mengejarnya. Aku pun mendatangi area asal jeritan itu.
"Shield Prison!"
Aku panggil penjara perisai untuk melindungi wanita itu. Dengan kemunculan perisai yang mendadak itu, sekelompok monster tersebut menjadikanku sebagai sasaran mereka. Itu bagus. Ayo kemari. Aku ini mangsa yang sangat lezat. Aku terus memancing semua monster itu sebelum waktu Shield Prison habis, kemudian segera kembali ke garis depan.
DUGG! BUKK!
Haah, haah...
Badanku terasa semakin berat, dengan bertambahnya monster yang mendorong dan menempel padaku. Kemudian suatu hujan api pun mulai berjatuhan.
Di belakang gerombolan monster ini, aku bisa melihat kedatangan satu kompi pasukan ksatria di sana. Para pengguna sihir dalam pasukan menembakkan sihir mereka; yang mana mendatangkan hujan api ini.
"HEI! Masih ada pasukan kawan di sini!"
Walau sebenarnya hanya ada aku seorang. Semua monster di sini terbakar, dan berubah menjadi arang dengan cepat. Karena ada banyak monster serangga, mereka pun terpanggang dengan sempurna. Ternyata, bukan hanya pertahanan fisikku saja yang tinggi, pertahanan sihirku juga sama tingginya. Area garis depan menjadi terang benderang karena kobaran api, seiring amarah dalam diriku yang kian memuncak, mempertanyakan apa maksud mereka yang sengaja menyerangku juga.
Dari tengah kekacauan itu, aku datangi pasukan ksatria tersebut dan terus memelototi mereka, dengan tepian jubahku yang berkibar tertiup angin, dan memercikkan api yang tersisa.
"Hmph, jadi dia si Pahlawan Perisai itu... Tidak disangka pertahanannya cukup kuat."
Seseorang yang terlihat seperti komandan ksatria menatapku, dan menggumamkan kata-kata itu dengan nada yang merendahkanku. Kemudian sesosok bayangan melesat dan menghunuskan sebilah pedang ke arahnya.
Klang!
Komandan ksatria itu dengan cepat menghunus pedangnya, dan saling mengunci serangan dengan sosok tersebut.
"Apa maksud dari tindakan kalian terhadap Tuan Naofumi?! Akan kutebas kau jika memilih jawaban yang salah!"
Raphtalia mengancam dengan insting membunuh yang kuat.
"Seorang pengikut Pahlawan Perisai, huh?
"Itu benar, aku adalah pedang milik Tuan Naofumi! Takkan kumaafkan tindakan lancang apapun terhadap Tuanku!"
"Berani sekali kau, seekor demi-human rendahan berkata begitu, pada ksatria seperti kami?"
"Kalian telah mengabaikan tugas untuk melindungi warga sipil, dan menyerang kawan kalian sendiri, yaitu Tuan Naofumi, yang sengaja kalian bakar bersama semua monster dengan sihir kalian. Karena tindakan itu, kalian tidak pantas disebut ksatria!"
"Kami tidak bersalah selama dia masih hidup, kan?
"Meski begitu tindakan kalian tetap salah!"
Raphtalia terus menentang dan pasukan ksatria itu mulai mengepungnya.
"Shield Prison!"
"Kau--! Bajingan siala---"
Aku kurung mereka dengan jurus perisaiku, dan menatap mereka yang mencoba merebut kerja kerasku.
"... Bukankah musuh kita yang sebenarnya, adalah monster yang muncul dari gelombang bencana? Jangan campur-adukkan tujuan kalian!"
Dengan wajah pucat, para ksatria itu memalingkan wajah dariku.
"Pahlawan Penjahat tidak berhak mengatakan omong kosong itu."
"Oh baiklah... Terserah saja bagiku. Jadi tidak apa-apa, kalau kuanggap kalian telah berani macam-macam denganku?"
Di garis depan, semakin banyak bermunculan gelombang monster terbakar yang dari tadi kutahan sendirian, dan sekarang semua monster di sana bergerak ke arah kami. Melihatku yang bertahan dari semua serangan itu, wajah para ksatria memucat seluruhnya. Lagipula, aku ini Pahlawan Perisai. Mungkin beberapa dari mereka berkata dalam hati "Jangan berani macam-macam dengan orang ini" atau semacamnya.
"Raphtalia, apa proses pengungsiannya sudah selesai?"
"Tidak... masih belum selesai. Aku yakin masih butuh sedikit waktu lagi."
"Aku mengerti, kalau begitu cepatlah bantu mereka mengungsi."
"Tapi..."
"Walaupun pasukan kawan menghujani api padaku, aku tidak sedikitpun merasa sakit atau geli. Rasanya... Seperti lengan dan kakiku dijilati oleh sihir mereka."
Aku menepuk pundak Raphtalia, lalu menatap tajam kepada pasukan ksatria tadi.
"... Sungguh, akan kubunuh kalian bagaimanapun caranya. Akan kupancing monster paling mengerikan ke posisi kalian, dan kubiarkan kalian menjadi santapan mereka.”
Bagian 2[edit]
Pengaruh ancamanku ternyata cukup kuat, melihat para ksatria itu menghentikan rapalan sihirnya dengan terengah-engah.
"Kalau begitu, Raphtalia. Pertempurannya telah dimulai: ayo kita jauhkan para wanita yang kesusahan itu, dari panasnya medan pertempuran ini. Wow, lihat, ada banyak musuh yang memadati area itu. Ya, kita lakukan 'itu' aja.”
Karena tidak disangka para ksatria ini cukup kuat juga... mungkin tidak apa-apa kalau kupancing semua monster itu ke sini.
"B-baik!"
Setelah mendengar perintahku, Raphtalia segera kembali ke desa.
"Brengsek! Berlagak sok jagoan, padahal kau sendiri hanya seorang Pahlawan Penjahat!"
Komandan ksatria meneriakiku seperti orang bodoh, saat durasi Shield Prison-ku telah habis.
"Baiklah, jadi... kau... memang ingin mati?"
Gerombolan monster telah tiba dan mulai mengerumuniku. Orang bodoh itu sekarang terdiam, karena sadar dengan apa yang akan terjadi, kalau kutinggalkan gerombolan monster di sini. Haah, sepertinya tidak ada seorangpun yang cukup waras dalam pasukan ksatria itu. Mereka hanyalah orang-orang yang menganggap Pahlawan Perisai ini tidak berguna, yang hanya bisa melindungi orang lain saja. Lagipula, siapa juga yang mau melindungi orang-orang tak tahu diri seperti mereka?
Setelah itu, sebagian monster yang terpisah dari gelombang sudah dilenyapkan. Setelah mengungsikan para wanita yang butuh pertolongan, Raphtalia kemudian kembali ke garis depan, dan di situlah pembalasanku dimulai.
Menggunakan pasukan ksatria sebagai tameng manusia, kami pun menghabisi monster yang kupancing menuju formasi kami. Dan pertempuran selama beberapa jam tersebut, terasa berakhir dengan sangat singkat.
"Baiklah, aku rasa pertempuran ini sudah berakhir."
"Sepertinya begitu, dan 'bos monster' ini cukup mudah dikalahkan."
"Ya, kalau begini terus, gelombang selanjutnya juga bukanlah suatu ancaman berarti."
Para Pahlawan kita yang pemberani, sedang asik bercengkrama di garis depan; di mana mayat seekor Chimera, "bos" dari gelombang kedua, tergeletak tak bernyawa. Seakan tugas mengungsikan warga sipil adalah kewajiban para petualang dan ksatria semata... Walaupun satu bulan telah berlalu, mereka masih menganggap kalau ini adalah dunia game. Andai saja aku bisa mengabaikan keberadaan mereka, tapi aku merasa lega, karena bisa bertahan dari serangan gelombang ini.
Langit pun masih berwarna hitam pekat. Meski sebentar lagi akan berubah menjadi jingga karena terbenamnya matahari.
Dengan ini, aku masih bisa hidup setidaknya sampai bulan berikutnya... Mungkin aku tidak merasakan damage, karena serangan gelombang ini masih terhitung lemah. Jujur aku tidak tahu, apa bisa aku bertahan di gelombang selanjutnya. Cepat atau lambat, aku takkan bisa lagi menahan serangan monsternya... kalau begitu, apa yang akan terjadi padaku nanti?
“Kerja bagus, para pahlawan pemberani. Sang raja telah menyiapkan jamuan besar untuk merayakan keberhasilan kalian. Dengan segala hormat, kami mengundang kalian, karena di sana kami juga akan memberikan hadiah yang dijanjikan untuk kalian.”
Aku sebenarnya tidak ingin datang ke acara itu. Tapi sekarang aku tidak punya uang lagi. Jadi, biar aku penuhi permohonan mereka itu. Ayo kita pergi ke istana!
Tentu saja mereka harus menyiapkan imbalan untuk kerja keras kami, setelah menahan setiap serangan gelombangnya.
500 koin perak. Untuk sementara, itu adalah jumlah yang besar untukku.
“Ah, um...”
Penduduk desa Riyuuto menghampiriku dan berbicara.
“Apa?”
“Terima kasih banyak. Kalau anda tidak ada di sini, kami pasti sudah mati sekarang.”
“Kalau aku tidak di sini pun, semuanya akan sama saja.”
“Tidak.”
Penduduk yang lain tidak setuju dengan jawabanku.
“Berkat kehadiran anda di sini, kami masih bisa selamat.”
“Kalau kalian tetap berpikiran begitu, terserah kalian saja.”
“BAIK!”
Para penduduk desa membungkuk padaku, dan lalu pergi kembali ke desa mereka.
Desa mereka telah diporak-porandakan sedemikian rupa. Kurasa akan sulit untuk membangun kembali desa itu. Mereka berterima kasih hanya karena nyawa mereka telah diselamatkan, padahal mereka biasanya selalu menghinaku... kalau ada untungnya saja baru mereka memujiku.
“Tuan Naofumi!”
Setelah pertempuran yang panjang, walau badannya berkeringat dan kotor terkena lumpur, Raphtalia sambil tersenyum datang menghampiriku.
“Kita berhasil! Semua penduduk desa merasa tertolong karena bantuan kita.”
“... Mungkin itu benar.”
“Dengan ini, tidak akan ada lagi orang yang bernasib sama sepertiku. Semua ini berkat Tuan Naofumi!”
“...Haaah.”
Jadi ini yang mereka sebut kebahagiaan setelah-perang, seperti sesuatu yang akan dikenang sepanjang sejarah di tanah kelahiranku; Raphtalia pun terharu hingga menitikkan air mata.
“Aku juga... sudah berusaha sekuat mungkin.”
“Itu benar, kau telah melakukannya dengan baik.”
Aku memujinya sambil menepuk lembut kepalanya.
Itu benar. Raphtalia tetap mematuhi perintahku, dan dengan setia tetap bertarung denganku.
Adalah tindakan yang bodoh, kalau aku salah menilai usaha kerasnya itu.
“Aku sudah mengalahkan banyak monster.”
“Haha, berarti kau sudah banyak membantuku.”
“Guhehe.”
Aku merasa sedikit tidak nyaman saat Raphtalia tertawa bahagia seperti ini; kami pun pergi menuju istana.
“Sesuai harapan kami, berkat usaha para pahlawan, pertempuran ini bisa kita menangkan. Aku tidak bisa menahan keterkejutanku, setelah melihat perbedaan kerugian perang yang kita derita, dibanding pertempuran yang sebelumnya.”
Setelah matahari terbenam dan digantikan dengan datangnya malam, sang raja dengan lantang mengumumkan acara jamuan megah di istananya. Setelah mendengar pernyataannya, aku tidak tahu berapa kerugian yang diderita negeri ini sebelumnya, tapi sepertinya, kali ini korbannya tidak mencapai puluhan jiwa...
... Aku sendiri tidak menginginkan pujian atas semua yang sudah kulakukan. Aku juga tidak membenci para pahlawan, yang hanya mengandalkan otot untuk menyerang monster, dan meninggalkanku untuk membersihkan monster sisanya. Bagaimanapun juga, aku terus mengingatkan diriku, kalau suatu saat nanti, keadaan kami bisa saja menjadi lebih parah dari sekarang.
Kali ini kami beruntung, entah apa yang akan terjadi kalau pasukan ksatria tidak datang tepat waktu. Dan berkat kekuatan jam pasir juga, yang telah memindahkan kami ke tempat munculnya gelombang bencana. Ini adalah masalah yang berat...
Mintalah pertolongan, maka bantuan pun akan datang.
Dan ini adalah mengenai pertempuran melawan gelombang bencana.
Mengirim pasukan ksatria untuk menemani kami saat diteleportasikan jam pasir, adalah sebuah kemungkinan yang masuk akal. Tapi bukankah tadi para ksatria itu tertinggal, saat kami diteleportasi? Ini pasti karena sifat mengesalkan mereka! Mereka tidak mau mengakuiku sebagai seorang pahlawan, dan karena itu mereka tidak ikut diteleportasi! Tapi... bukankah para pahlawan brengsek itu diteleportasikan juga? Sebenarnya apa yang terjadi? Alur cerita dunia ini seaneh seperti di dalam game.... Di samping itu, bukankah sekarang kami berada dalam masalah? Ini adalah saat di mana mereka akan menjadi lengah, hanya karena bantuan telah tiba.
Semua ini benar-benar rumit. Aku pun memakan porsi bagianku, di pojok ruangan acara jamuan ini diadakan.
Bagian 3[edit]
“Makanannya banyak sekali!”
Tatapan Raphtalia begitu berbinar melihat susunan hidangan yang menggunung, dan tidak pernah dia lihat sebelumnya.
“Ambil dan makanlah apapun yang kau mau.”
“Baiiik!”
Aku tidak sering memberinya makanan yang enak... jadi akan kubiarkan saja dia makan hidangan apapun yang dia mau di sini. Setelah dia cukup makan, maka dia akan menjadi aset petarung yang lebih berharga.
“Ah... Tapi, berat badanku bisa naik kalau makan terlalu banyak.”
“Tapi kau masih dalam masa pertumbuhan, kan?”
“Ugh...”
Untuk alasan tertentu, raut wajah Raphtalia terlihat bimbang.
“Tidak apa-apa, makan saja apapun yang kau suka.”
“Apa kau lebih menyukai perempuan yang gendut, Tuan Naofumi?”
“Hah?”
Dia ini bicara apa?
“Tidak juga.”
Memikirkan perempuan hanya akan mengingatkanku pada si jalang itu. Dan akan ada banyak perasaan tak mengenakkan lainnya yang akan muncul. Lagipula, si jalang itu adalah makhluk yang menjijikan, baik luar maupun dalamnya, terutama pikiran piciknya...
“Kurasa juga begitu. Yah, inilah sifat Tuan Naofumi yang kukenal.”
Dia berkata seolah sudah menyerah dengan apa yang sedang dipikirkannya, apapun itu.
“Tuan Naofumi, makanan ini enak, lho.”
“Baguslah kalau kau suka.”
“Iya.”
Hmm... Acara jamuan makan ini hanya buang-buang waktu saja. Kapan hadiahku akan diberikan?
Tempat ini seperti kubangan sampah saja, hanya melihat ke sekeliling sudah membuat emosi-ku mendidih.
... Kalau dipikirkan lagi, mungkin hadiahnya akan diserahkan besok.
Lalu, apa gunanya acara ini? Tidak, karena makanannya enak, aku takkan mengeluh lebih lanjut. Tidak sama dengan orang pada umumnya, saat ini Raphtalia sedang dalam masa pertumbuhan! Aku tidak mungkin melewatkan kesempatan makan gratis ini.
“Aku ingin tahu, apa mereka punya semacam wadah, untuk membawa pulang makanan di sini.”
Setiap orang harusnya memikirkan hari esok, dan tidak boros dalam menggunakan uang.
... Akan kutanyakan pada mereka, apa aku boleh membawa pulang sisanya untuk dihangatkan lagi nanti. Hidangan manapun tidak masalah, yang penting masih bisa dimakan.
Dari kerumunan, Motoyasu yang terbakar amarahnya segera menerobos kerumunan orang-orang dalam jamuan makan, dan terus mendekat ke arah kami. Yang benar saja, ada masalah apa lagi sekarang? Karena terlihat akan terjadi masalah, kerumunan itu pun memberi jalan untuk si sampah Motoyasu, sembari dia tetap memelototiku penuh kebencian.
"YO! NAOFUMI!"
"... Apa?"
Dia melepas sarung tangan dan melemparnya padaku. Kalau tidak salah, orang ini melakukannya untuk menantangku dalam duel. Kerumunan itu terhenyak saat mendengar perkataan yang selanjutnya.
“Ayo kita bertarung dalam duel!”
“Kau ini bicara apa?”
Apa otaknya sudah bergeser? Kau bisa menjadi bodoh kalau setiap hari terus-terusan memikirkan game. Buktinya, Pahlawan Tombak sialan ini menyerang bos monster dengan membabi-buta, dan menelantarkan warga sipil yang seharusnya dia lindungi.
“Aku sudah tahu semuanya! Raphtalia terus mengikutimu, karena dia telah diperbudak olehmu!”
Dia berkata dengan dipenuhi semangat bertarung, sambil menunjuk ke arahku.
“Hmm?”
Orang yang dimaksud sedang memakan tumpukan makanan di piringnya.
“Memangnya kenapa?”
“ ‘Memangnya kenapa?’ ... kau bilang?! Apa kau belum sadar juga!?”
“Haaa.”
Memang apa salahnya memiliki seorang budak?
Lagipula, tidak ada seorangpun yang mau bertarung bersamaku.
Karena itulah aku membeli dan menggunakan seorang budak.
Toh negeri ini juga tidak melarang perbudakan.
Lalu, kenapa dia sampai mengamuk seperti ini?
“Dia adalah budakku. Apa urusannya denganmu?”
“Itu... bukan perbudakannya yang aku salahkan! Tapi karena kita ini pahlawan dari dunia lain, dengan nilai moral yang berbeda dibanding penghuni dunia ini, yang menjadikan tindakanmu itu tidak termaafkan!”
Bukannya sudah terlambat kau katakan hal itu... dalam sejarah dunia kita pun ada banyak perbudakan, kan?
Aku tidak tahu apapun tentang sejarah dunia Motoyasu. Tapi hampir tidak mungkin, sejarah manusia tercipta tanpa adanya perbudakan. Atau pengibaratannya, masyarakat biasa adalah budak dari golongan kelas atas.
“Tidak termaafkan? Otakmu itu pernah kau pakai atau tidak, hah? Gunakan otak sialanmu itu!”
Sampai memaksa orang lain agar setuju dengan kepercayaannya yang menyimpang itu... Pikiran orang ini pasti bermasalah.
“Sayangnya, ini adalah dunia yang berbeda. Perbudakan tetap diperbolehkan di sini. Dan apa salahnya kalau aku menggunakan mereka?”
“Ba-jingan!”
Menggertakkan giginya, Motoyasu mengarahkan tinjunya padaku.
“Bertarunglah melawanku! Kalau aku menang, lepaskan Raphtalia!”
“Kenapa juga aku harus menerima tantanganmu? Apa untungnya buatku?”
“Kau pasti telah melakukan hal-hal sesukamu kepada Raphtalia! Seperti sekarang ini.”
“Kau ini gila, ya?”
Aku hendak mengabaikan Motoyasu dan pergi, karena duel ini juga tidak menguntungkanku.
“Aku sudah mendengar cerita Tuan Motoyasu.”
Kerumunan orang yang terbawa suasana, kemudian memberi jalan pada sang raja.
“Aku dengar, salah satu dari Pahlawan telah menggunakan seorang budak... meski awalnya aku kira itu hanya rumor belaka. Kalau kau menolak tantangan Tuan Motoyasu, maka aku yang akan memerintahkanmu menerimanya. Bertarunglah!”
“Persetan dengan tantangan itu. Cepat berikan saja hadiahku! Aku tidak mau membuang waktuku di tempat seperti ini!”
Sang raja menghela napas, lalu menjentikkan jarinya. Entah dari mana, para prajuritnya segera mengepungku. Saat kulihat Raphtalia, dia juga telah ditangkap oleh beberapa prajuritnya.
“Tuan Naofumi!”
“...Jadi kau berniat mengancamku?!”
Aku katakan itu dengan mengerahkan seluruh kekuatanku.
Orang ini, dia tidak pernah mempercayai perkataanku.
Jadi begitu intinya, di sini aku hanya dianggap sebagai pengganggu saja.
“Jika kau berada di negeri ini, maka perintah dariku adalah mutlak! Aku bahkan bisa memaksa, menyita budak Pahlawan Perisai kalau itu memang harus.”
“... Tsk!”
Sesuatu seperti teknik menghilangkan kutukan budak, pasti sudah diketahui oleh para penyihir kerajaan.
Dengan kata lain, agar aku bisa terus menjaga ikatanku dengan Raphtalia, maka aku harus bertarung.
Jangan main-main denganku! Aku bahkan belum mendapatkan kembali uang biaya untuk membelinya! Kau pikir sudah berapa banyak uang yang kukeluarkan, demi pertumbuhannya selama ini?
“Pertarungan ini tidak ada gunanya! Aku----uuuuurg!”
Sehelai kain yang digulung, disumpalkan ke dalam mulut Raphtalia agar dia tidak bisa mengatakan apapun.
“Pemilik budak bisa memperkuat siksaan, terhadap budak yang telah terikat kutukan padanya. Karena itu, lebih baik kita tutup mulut budak ini, agar tidak bicara lebih banyak lagi!”
“... Kalian melakukan ini untuk memaksaku ikut bertarung dalam duel!”
“Bukankah ini sama saja kami menyiapkan hadiah, atas ikutnya dirimu dalam duel nanti?”
“Apa! Kalian bajinga---”
“Baiklah, duel-nya akan diadakan di taman istana!”
Raja brengsek itu menyela perkataanku, dan menyatakan tempat duel-nya.
Sial, apa kalian tidak lihat, kalau aku ini tidak bisa menyerang? Ini sama saja dengan menantang balap lari, kepada seseorang yang tidak punya kaki!