Toaru Majutsu no Index ~ Bahasa Indonesia: Railgun SS: Liberal Arts City Chapter2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Chapter 2[edit]


Liberal Arts City adalah pulau buatan terbesar di dunia. Pulau ini dibangun di atas lautan yang terletak 50 kilometer di barat pantai California. Setelah proses syuting suatu film, pulau ini dirancang ulang sehingga menjadi sejenis taman hiburan. Tapi negara film besar seperti Amerika menilai bahwa akan lebih baik jika difungsikan sebagai fasilitas riset dan pengembangan teknik syuting yang baru. Di dalamnya terdapat kumpulan atraksi yang diciptakan oleh orang-orang bekerja di garis depan bisnis film dunia. Atraksi-atraksi ini pertama kali disaksikan di sana, tak lama kemudian, stimulasi dan kekaguman penonton meluber. Tapi Misaka Mikoto tahu sesuatu. Dia tahu bahwa situasi abnormal apa pun akan dianggap sebagai “pertunjukan” di sana. Bahkan jika ada seseorang yang ditembak di depan orang banyak, mereka hanya akan terkejut karena ternyata ada seorang aktor “sedang berakting” dalam kerumunan. Mereka hanya akan terkejut karena aktor itu berakting kesakitan dengan sangat baik. Dan mereka hanya akan terkejut karena darah palsu yang digunakan sangat mirip dengan darah sungguhan. Itu adalah suatu area di mana orang-orang tidak akan terkejut walaupun melihat mayat. Dan suasana itu bukanlah suatu kebetulan. Di sana, berdiri Saten Ruiko. “Wow, Misaka-san!! Kapan mereka merekrutmu ke dalam pertunjukan seperti itu!?” Bahkan setelah melihat Mikoto terlibat dalam insiden yang nyata, dia mengira bahwa itu adalah bagian dari pertunjukan. Di sana, berdiri Uiharu Kazari. “A-apakah tidak masalah mempertunjukkan kekuatan Academy City di depan umum seperti itu?” Dia sedikit khawatir, tapi yang dikhawatirkannya bukanlah hal yang tepat. Di sana, berdiri Shirai Kuroko. “... Onee-sama?” Dia sedikit curiga, tapi kecurigaannya tidak berhubungan dengan insiden atau pertempuran. Dan di sana, berdiri Misaka Mikoto sendiri. “... Apa yang sedang terjadi di sini?” gumamnya.

Fwoom. “Waaaaaaaaaaaaaahhhhhh!! Whoosh. “Mgyaaaaaaaaahhhhhhhhhhhh!!” Fwoosh. “Funyaaaaaaaahhhhhhhhh!!” Uiharu melepaskan teriakan-teriakan aneh tersebut, dan keluar dari shower pribadi yang berjejer di dekat hotel. Dia telah bermain di laut sepanjang hari sampai matahari terbenam, tapi air laut di kulit lembutnya sudah dibasuh bersih. Bahkan tidak ada setetes air pun di rambut, kulit maupun baju renangnya, dan bau garam pun sudah sepenuhnya hilang. Dia menarik-narik baju renang yang kelihatannya benar-benar seperti baru dibeli. Kemudian teman sekelasnya, Saten Ruiko, mendekatinya sambil memutar-mutarkan tangan. Daerah itu semakin gelap dan lampu dengan warna-warni yang beragam, khas taman hiburan, sudah dihidupkan. Namun, Saten masih saja seperti biasa. “Oh, Uiharu. Bagaimana? Hebat, kan!?” “Apa yang tadi itu pengering seluruh tubuh? Alat yang cukup besar. Alat itu mencuci, mengeringkan baju renang, dan badanmu juga...” “Yah, kau memakai baju renangmu di mana pun, selain tempat tidur di kamar hotel, kan? Mereka ingin agar kau bersih dan kering ketika memasuki hotel.” Uiharu dan Saten melanjutkan obrolan merekan tentang kekaguman terhadap tempat ini. Mereka tinggal di Academy City yang teknologinya lebih maju 20 atau 30 tahun daripada tempat lainnya di dunia ini. Tapi Academy City ada di Tokyo barat, jadi mereka tidak punya banyak kesempatan untuk menggunakan teknologi yang terkait dengan lautan. Riset seperti itu tentu saja juga dilakukan di Academy City, tapi anak-anak kota tersebut tidak punya kesempatan untuk menggunakannya. Saten menggosok lengan atasnya. “... Tapi ternyata Liberal Arts City adalah kota murahan. Mereka meminta biaya tambahan untuk krim. Padahal dengan adanya krim itu, alat pengering bisa menjaga agar kulitmu tetap tidak lembab.” “Ah ha ha. Iya. Taman hiburan membangun imej dengan pemandangan sampai detail terkecil, tapi kalau sudah masalah uang, mereka sama saja dengan pengusaha-pengusaha pada umumnya.” “Dan tekanan anginnya mengagumkan. Dadaku sampai keluar dari atasanku.” “Bfoeh!? S-Saten-san...?” “Yeah, mungkin aku tidak seharusnya menekan tombol pengeringan dengan cepat. Dan atasanku seharusnya menempel ke kulit seperti NuBra... Tunggu, kalau kau memakai bikini biasa, pasti atasannya sudah terbang!” Wajah Uiharu memerah karena topik pembicaraan ini, tapi pasti tidak ada seorang pun yang tahu bahasa Jepang karena orang-orang asing yang berlalu-lalang tidak melihat ke arah mereka. Saten Ruiko tidak peduli keadaan sekitarnya, dan dia menggenggam tangan Uiharu. “Okay, ayo cari Misaka-san dan Shirai-san dan makan malam!” “Ngomong-ngomong, kenapa semua menu makanan tadi siang namanya sama seperti judul film?” “Restoran itu menyajikan makanan yang sempat muncul pada berbagai film. Kalau kau tidak familiar dengan filmnya, kau tidak akan tahu makanan jenis apa yang kau dapatkan.” “... Begitu ya. Jadi itu sebabnya aku mendapatkan makanan angkasa yang mirip pasta gigi, ketika aku memesan Alien Wars.” Tatapan mata Uiharu sedikit kosong ketika dia dan Saten memasuki hotel. “Oh, iya. Kau sudah melapor ke guru? Kita harus absen setiap pagi dan malam, kan?” “Absennya setelah makan malam. Kita bebas makan di mana saja. Tapi aku tidak percaya kalau kita harus berbaris di depan hotel ketika diabsen. Tidak keren. Seakan-akan, itu menjelaskan bahwa kita sedang bertamasya sekolah di sini.” Hotel besar itu mempunyai lebih dari 800 kamar. Hampir semuanya berwarna putih karena terbuat dari batu marmer berkilat dengan sedikit campuran warna kuning sawo dari kayu. Terdapat karpet merah digelar di jalur yang dilalui pengunjung, dan itu membuatnya seperti istana film. Orang-orang dari berbagai ras yang keluar-masuk di lobi memperjelas bahwa kota ini sangat populer di seluruh dunia. “Tidak nyaman karena cowok-cowok yang melihatmu, Uiharu? Pandangan nakal itu tidak berbeda di seluruh dunia.” “... Aku yakin bahwa yang mereka lihat adalah kau dan bikini mencolokmu itu, Saten-san.” “Heh. Tapi caramu menggeliat dengan aneh, dan menggosokkan kedua pahamu itu terkesan jauh lebih seksi.” “Ee!? A-aku tidak...!” Saten berjalan melewati lobi atrium besar yang sepertinya bisa memuat suatu pesawat penumpang besar. Uiharu berjalan di sampingnya, dan tiba-tiba dia bertanya pada teman sekelasnya itu. “Ngomong-ngomong, ingin menu makan malam apa? Bahkan hotel ini punya banyak restoran.” “Hmm. Rasanya aku ingin makan masakan Cina. Yah, aku tinggal menanyakan manajer hotel ini di mana restoran yang enak.” “Oh, Saten-san, kau bisa bicara bahasa Inggris?” Uiharu memegang ponsel kedap air di tangannya. Dia telah mengunduh aplikasi pengenal suara yang juga merupakan penerjemah. Jadi dia bisa berbicara dalam bahasa Jepang, lantas aplikasi itu akan berbicara dalam bahasa Inggris untuknya. Kemampuan Uiharu tentang Bahasa Inggris hanya selevel buku teks siswi SMP kelas satu, jadi begitu ponselnya kehabisan baterai, dia pun akan tamat. “Ah ha ha. Kita berdua adalah manusia, kan? Aku bisa menyampaikan maksudku dengan perasaan saja. Hey, you, boy! Chinese food want eat delicious restaurant please!?” “Gyaaahh!! A-aku rasa itu tidak akan berhasil! Kau tidak bisa menebak-nebak terlalu sering!!” Wajah Uiharu memerah, tapi pekerja hotel itu sepertinya berhasil mengerti perkataan dan maksud yang Saten sampaikan kepadanya. Si pekerja hotel pun menjelaskan dengan isyarat bahwa mereka berdua akan menemukan restoran Cina jika mereka berbelok di depan sana. Saten mengangguk dengan percaya diri. “Sepertinya ada restoran Cina yang sangat lezat, tapi di jam-jam segini biasanya terlalu ramai. Jadi sebaiknya kita menunggu nanti saja. Gimana menurutmu, Uiharu? Kalau kau lapar dan ingin makan sekarang, kita bisa pergi ke tempat lain.” “A-apakah aku ini cuma seorang cewek jadul?” Saten dengan gembira memberikan tips kepada pekerja hotel tadi, dan melambai padanya sementara Uiharu merasa sedikit depresi. Mereka memutuskan untuk mencari Mikoto dan Shirai agar mereka bisa makan masakan Cina yang sangat lezat itu. Kemudian, Mikoto keluar dari ruang elevator di waktu yang sangat tepat. Tapi wajahnya merah dan dia berlari secepat mungkin. “Gyyyyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh!?” “Eh—A—M-Misaka-san!?” Uiharu memanggil namanya dan Mikoto langsung menoleh ke arahnya. Tapi dia hanya diam. Dengan cairan bening menggenang di sudut matanya, Mikoto berlari ke arah Uiharu. Dia melompat ke dekapan Uiharu dan tidak mau melepaskannya. “Funyaaahhh!? K-k-k-k-k-kenapa tiba-tiba seperti ini, Misaka-san!?” “A-aku takut!! Aku sangat ketakutan!!” Mikoto berteriak, badannya gemetar dan dia menggosokkan hidungnya ke dada kecil Uiharu. Saten meletakkan tangan di dagunya. “Uiharu, ini mungkin adalah suatu ‘perkembangan yang imut’, ternyata Ace Tokiwadai yang tidak terkalahkan itu sangat takut pada kecoa.” “Bukan. Ini levelnya berbeda!!” Mikoto akhirnya melepaskan wajahnya dari dada Uiharu dan menunjukkan suatu majalah di tangannya. Sepertinya itu adalah suatu katalog baju renang. “K-Kuroko tadi membaca ini! Dia bergumam tentang keinginannya memilih pakaian yang lain. Aku melihat isinya, dan sekarang aku tidak tahu harus berbuat apa!!” Uiharu dan Saten mengambil katalog itu dari Mikoto, dan mulai membalik-balik halamannya. Dan mereka sangat menyesali bahwa mereka tidak menyadari tentang hal ini sebelumnya. “G-gyaaahhhh!? Uiharu, ini... tunggu, apa!? Aku bisa mengerti—nyaris tidak—T-back yang ada di sini, tapi ini berbentuk huruf O, dan yang ini huruf V, dan yang ini... Eh? Huruf I!? Bagaimana caranya pakaian semacam ini bisa dipakai, dan tidak lepas!? “L-lihat ini, Saten-san. Katanya low leg, tapi dari inseam* sampai pinggang cuma 5 sentimeter!! Seperti ...sabuk?” [Inseam adalah kependekan dari inside leg. Yaitu, bagian pakaian yang menutupi kelangkangan. Kamus Oxford.]

“Material cair...? Yang ini adalah bikini tembus pandang dengan cairan berwarna di dalamnya... apa ini dibolehkan!? Katanya, polanya berubah tergantung lekuk tubuhmu, tapi apakah kau yakin bahwa pakaian ini tidak tembus pandang!?” “Bikini kristal reflektif...? Ini cuma mozaik*! Walaupun kau tidak bisa melihat dengan jelas, warnanya tetap sama!!” [Mozaik yang dimaksud Uiharu adalah gambar “acak” yang biasanya dipergunakan untuk melakukan sensor.]

Wajah Saten dan Uiharu merah padam sambil memikirkan permainan hukuman macam apa yang bisa membuat mereka memakai bikini seperti itu. Semua yang ada di katalog itu sangat berbahaya bagi seorang perawan. Bahkan jika mereka melihatnya, mereka sudah tidak layak untuk menjadi pengantin. Misaka Mikoto, sang Ace Tokiwadai, sedang terisak-isak. Dan itu sangat jarang dilakukannya. “B-bukan tidak mungkin bahwa Kuroko membawa lebih dari satu setel baju renang. Bagaimana kalau Kuroko masih menyembunyikan ‘bom’ yang lebih buruk? K-kalau Kuroko menempel padaku dengan memakai baju renang yang memiliki impact lebih besar dari yang dia kenakan hari ini... apa yang harus kulakukan!?” Kalau ada orang yang memakai pakaian seperti itu berjalan di samping mereka atau menempel padanya, Saten dan Uiharu pun akan merasa malu. Mereka tidak bisa membiarkan gadis liar itu begitu saja. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Apakah ada metode efektif untuk mengurung monster berkuncir dua yang merupakan jelmaan “kebebasan berekspresi” itu? Mereka bertiga berpikir dalam keheningan sejenak, kemudian seorang perempuan lebih tua yang kelihatan seperti artis baru saja menyelesaikan makan malam, melewati mereka. Dia memakai one-piece warna hitam dengan bordir benang emas bersinar, dan suatu pareo* besar melingkari pinggangnya. [Pareo adalah sarung ala Polynesia. Kamus Oxford.] Ketiga gadis itu memperhatikan bokong perempuan yang mirip artis itu seraya dia pergi. Kelihatannya dia sengaja menggoyangkan pinggulnya ketika berjalan. “Pareo! Itu dia!!”

Di saat yang sama, Shirai Kuroko sedang berguling-guling di ranjangnya. Dia masih memakai baju renang yang sama sambil merogoh ke dalam koper yang sangat besar. “Hmm... Terlalu terbuka saja mungkin tidaklah cukup. Yang ini kelihatan seperti baju renang sekolah warna putih biasa, tapi ketika basah akan menjadi tembus pandang di semua daerah kecuali tiga titik terpenting. Atau mungkin yang ini. Baju renang string yang mempunyai tujuh jenis transformasi ketika memakainya. Heh heh heh... Aku ingin melihat ekspresi wajah Onee-sama ketika aku berubah di depan matanya...” Shirai memegang suatu baju renang yang bahkan tidak mempunyai semilimeter pun kain, dan hanya terdiri dari benang yang dianyam. Sehingga, pakaian renang itu hanya menutupi sedikit “area penting”. Dia merencanakan sesuatu sambil tertawa, tapi kemudian kunci elektronik pintu kamarnya mengeluarkan suara aneh. “Apa? Apa?” Tepat ketika Shirai menoleh, pintunya terbanting membuka. Misaka Mikoto masuk dengan percikan listrik di poninya. Melihat it, mata Shirai bersinar seperti bintang. “Oh!? Astaga, Onee-sama!? Aku tidak pernah menyangka kau sedang bersemangat, sampai-sampai kau merusak kunci pintu dan menyelinap masuk ke dalam kam—gwooohhh!? Ah, panas sekali di dalam ini!? Apa-apaan kain besar ini!?” “Namanya pareo! Gunanya adalah untuk menutupi daerah peka dari orang-orang yang tahu malu! Tapi seluruh tubuhmu itu memalukan, jadi ini akan memnutupi seluruh tubuhmu!!” “B-berhenti, berhenti!! Jangan membalutku seperti teru-teru-bouzu*! Dan ini lebih mirip handuk renang anak SD dibandingkan pareo... mghgmghg...” [Teru-teru-bouzu adalah boneka penangkal hujan yang bentuknya menyerupai pocong.]

Uiharu bisa mendengar keributan itu dari lorong, dan kemudian mereka mendengar suara pintu terbuka. Mereka menoleh dan melihat Mikoto, yang anehnya, terlihat segar. “Okay, kita siap! Sekarang kita bisa menikmati makan malam dengan bebas.” “??? Bagaimana dengan Shirai-san... Ee!?” Pundak Uiharu Kazari melonjak ketika dia melihat Shirai Kuroko yang dililit dari ujung kepala sampai ujung kaki berlapis-lapis dengan suatu kain besar. Itu membuatnya kelihatan seperti Bigfoot* yang dungu. [Bigfoot adalah makhluk tinggi-besar berambut mirip kera yang konon pernah ditemukan di Amerika Utara. Kamus Oxford.]

Setelah makan malam pada restoran Cina berwarna dominan merah di dalam hotel, Mikoto, Shirai, Uiharu, dan Saten berkumpul bersama pelajar lain dan para guru untuk mengabsen mereka semua (absen yang menurut Saten tidak keren). Setelahnya, mereka berempat berkumpul di lobi hotel. Mereka duduk di suatu meja di area istirahat, dan bersantai sambil makan hidangan penutup, seperti: jeli almond dan es krim. Shirai hanya menjulurkan kepalanya kaluar dari pareo. “Ngomong-ngomong, tentang Beverly Seethrough yang kita temui hari ini...” Dia menggunakan sendok kecil untuk mengambil puding susu, sambil berbicara. Beverly adalah gadis direktor film yang tinggal di Liberal Arts City. “Sepertinya, fasilitas riset dan pengembangan teknologi syuting baru itu benar-benar ada. Katanya, mereka mengundang pelukis, pemahat patung, pengrajin pot, pembuat boneka, pembuat jam, seniman ukiyoe*, dan berbagai jenis seniman lainnya.” [Ukiyoe adalah seni menggambarkan berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari khas Jepang. Cabang seni ini dominan pada abad 17-19. Ukiyoe terdiri dari kata “Ukiyo” (berarti dunia yang cepat berlalu) dan “e” (yang berarti gambar). Kamus Oxford.] “Ahn? Kedengarannya bukan seperti film Hollywood bagiku. Rasanya lebih ke arah kerajinan tradisional atau semacam itu. Kenapa mereka mengundang berbagai jenis orang seperti itu?” tanya Mikoto dengan sendok di mulutnya. Sendoknya pun bergoyang ke atas-bawah ketika dia berbicara. “Tentang itu!!” “Mgh!?” Sendoknya jatuh dari mulut Mikoto karena ada suara keras yang datang dari belakangnya. Dia berbalik dan melihat si gadis direktor film jenius berjalan ke arahnya. “Apakah kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu?” “Tadi itu cuma proses merepotkan yang kami perlu kerjakan, jadi aku tidak bisa bilang kalau itu adalah bagian dari pekerjaanku. Sekarang kembali ke topik,” kata Beverly santai. “Liberal Arts City — atau lebih tepatnya, semangat persaingan perusahaan film Amerika — sudah berjalan ke arah yang sama dengan ‘ujung tombak’ sisi ilmu pengetahuan, yaitu Academy City di Jepang. Mereka menyimpulkan kalau mereka tidak bisa menang hanya dengan mengembangkan teknologi seperti CG dan VFX. Karena itu, mereka ingin tumbuh ke arah berbeda dari Academy City. Mereka pikir, ‘kuncinya’ ada pada seni yang lebih tradisonal.” Walaupun begitu, mereka tidak berencana untuk membuat film dari boneka atau semacamnya. Setelah mereka menganalisa seni tradisional dengan sempurna, mereka akan memeriksa apakah hal itu bisa digunakan di film mutakhir dan menggabungkannya. “Dan ada berbagai jenis film yang berbeda. Beberapa film memiliki dinosaurus dari zaman lampau, dan beberapa film punya robot raksasa dari masa depan. Seni tradisional ini tentu saja bisa dipakai pada film historis. Tapi seni-seni ini juga bisa dipelajari guna melihat apakah seni tersebut berevolusi. Tujuannya adalah untuk membantu memprediksi evolusi masa depan dari berbagai hal. Kita bisa mendekatinya dengan mengatur semua kota dalam settingan masa depan.” “Hehh,” kata Uiharu dengan suara khas orang Jepang yang kagum*. “Tapi apakah semuanya ikut bekerjasama? Aku pikir, para pengrajin pot itu hanyalah orang-orang tua yang keras kepala.” [Ya, ketika orang Jepang kagum, mereka akan berkata “Heeehhhhh” dengan nada yang panjang.] “Ah ha ha. Yah, sebenarnya lebih dari ini. Seni-seni jenis itu mulai menurun di seluruh dunia. Tidak jarang hal-hal seperti ini benar-benar hilang dari ‘permukaan’. Karena Hollywood berusaha keras menjaganya, mereka sangat senang dengan semua ini. Mereka bahkan mendapatkan banyak hal, seperti bengkel tradisional Jepang.” Jika Academy City adalah tempat berkumpulnya teknologi mutakhir, maka tempat itu adalah lawannya. Suatu kota yang diciptakan dari kumpulan teknik tradisional dari seluruh dunia. Mikoto dan Uiharu makin kagum, tapi Saten kelihatannya tidak tertaru tertarik dengan cerita itu. Matanya melotot ke arah dada raksasa milik Beverly, dan dia menyikut Uiharu di badannya. “(...Hey, Uiharu. Bisakah kau tebak ukuran cup-nya sudah sampai mana? Kurasa dia sudah sampai ke G-cup, atau bahkan mungkin I-cup*.)” [Ciu tidak bisa menerangkan ini dengan detail.] “Bgfh!?” Uiharu tersedak dan beberapa helai bunga terlepas dari kepalanya. “Hm? Ukurannya L,” jawab Beverly. “!?” “!?” “!?” “!?” Syok tak terhingga menusuk gadis-gadis yang sedang tumbuh itu. Saten menyesalkan kenapa dia membahas topik ini, hampir seluruh bunga di kepala Uiharu jatuh, mata Shirai membelalak, dan percikan listrik keluar dari punggung Mikoto. Saten tidak bisa bergerak selama beberapa waktu, tapi akhirnya dia meletakkan tangan di dadanya yang rata. “... Uiharu. Ukuran cup naik setiap 2.5 cm, kan?” “I-iya,” jawab Uiharu sambil mengangguk. “A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L,” gumam Saten sambil menjauhkan tangannya dari dadanya pada jarak tertentu. Akhirnya, tangannya berhenti. Saten melihat dadanya sendiri untuk memeriksa selisih antara tangannya dan dada kecilnya. “Selisihnya besar!! Lihatlah ‘ruang kosong’ yang ada! Tunggu, ini kelihatan seperti, aku sedang bermain pantomim untuk memeluk Uiharu!” “Eeee!? J-jika perhitunganmu benar, berarti seluluh tubuhku bisa tenggelam di dalam dadanya!?” Saten kebingungan dan Uiharu berteriak dengan suara melengking. Si juara sejati, yaitu Beverly, melihat mereka dan tertawa. “Jangan khawatir. Badan kalian akan tumbuh dengan sendirinya walaupun kalian tidak melakukan suatu hal pun. Bagaimanapun juga, dada hanyalah kumpulan lemak.” “Itu dia!! Ucapan favorit pemenang borjuis*!! Uiharu, keluarkan minyak anti-mataharinya. Kita oleskan minyaknya ke seluruh tubuh dan dada besarnya yang tidak berguna itu!! Mari tunjukkan padanya bagaimana pedihnya air mata kekalahan!!” [Baca NT 13.] “Ah ha ha. Kalian tidak membuatku takut,” Beverly tertawa. Tiba-tiba, ada suara seperti gelas bir atau palu hakim yang dibanting ke meja. Penyebabnya adalah Misaka Mikoto yang membanting botol minyak ke atas meja. Gadis berdada rata menundukkan kepalanya sehingga ekspresi wajahnya tidak bisa dilihat. Badannya seakan dibalut oleh suatu aura gelap. “Hey, kau,” katanya hampir tanpa menggetarkan bibir. Mikoto mengangkat kepalanya perlahan dengan efek suara gemuruh terdengar di background-nya. Matanya bersinar seperti hewan karnivora, sembari dia memandang lurus ke arah Beverly. Dia pun berbicara seperti pengawas latihan militer. “Akan kuajarkan bahwa minyak anti-matahari kadang bisa menjadi senjata yang sempurna.”

Misaka Mikoto memandang punggung Beverly Seethrough yang mengkilap ketika dia pergi sambil melemaskan pundaknya karena kalah. Lantas, dia tos dengan Saten, menjotos Shirai Kuroko yang mencoba mengoleskan minyak ke tubuhnya, dan kemudian kembali sadar karena mendengar komentar dari Uiharu. “Uh? Bukankah kau mau minta tanda tangan Beverly-san?” (Dahh!! Terlalu banyak yang terjadi.) Terlalu banyak yang ingin dilakukan dalam suatu perjalanan ke luar negeri. Mikoto kembali ke kamarnya karena dia tahu kalau dia memaksakan diri untuk tetap semangat sampai pagi, itu tidaklah baik. Dia masuk ke kamar mandi, memutar keran, dan membersihkan minyak dari tangannya. “Hoo...” Dia kembali ke kamar dan duduk di ranjang.

Dia bisa melihat suasana malam musim panas dari jendela. Gedung-gedung dan jalanan tentu saja dihiasi dengan berbagai jenis lampu. Dia bisa melihat sejumlah besar kembang api yang meledak di kejauhan, dan permukaan laut yang gelap. Terpantul segala jenis pemandangan malam pada permukaan laut gelap tersebut. (Pada pamflet tertera hal-hal seperti: berenang di lautan cahaya di malam hari, tapi aku sedang tidak ingin berenang. Kurasa aku terlalu banyak bersenang-senang di siang hari, jadi aku sedikit lelah sekarang.) Mikoto ingin langsung tidur saja, tapi dia tidak melakukannya. Masih ada yang dia harus lakukan. “...” Di siang hari itu ada pertempuran antara pesawat tempur dan si ikan terbang. Dan keadaan aneh di pulau itu, dimana semuanya dianggap sebagai pertunjukan. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi di kota itu, tapi dia harus menghentikannya sebelum ikan terbang lain datang dan seseorang kehilangan nyawanya. Paling tidak, Liberal Arts City pasti sengaja menyembunyikan insiden itu dengan menggunakan kata “pertunjukan” untuk membuatnya menghilang. Walaupun hal itu terjadi di depan orang banyak. (Tapi kalau begitu...) Dia tidak sedang berada di Academy City, Jepang. Kalau dia menyelidiki rahasia kota itu, dia bisa dengan mudah ditembak dengan alasan melindungi informasi milik mereka. Mungkin terdengar seperti kejadian dalam film, tapi dia tidak sedang berada di Jepang. Dia tidak boleh lupa kalau dia sedang berada di tempat, dimana semua orang bisa dengan mudah memperoleh senjata. “...” Mikoto berpikir sejenak. Lalu dia mengangguk. Dalam situasi berbahaya seperti itu, Liberal Arts city tidak menyediakan tempat keluar darurat atau bahkan membunyikan alarm. Setelah mengetahui ini, dia tidak bisa lagi bersenang-senang sambil menikmati tamasya ini. Dia mungkin akan terlibat dalam suatu pertempuran antara pesawat tempur dan si ikan terbang lagi. Atau “pertunjukan” lainnya mungkin akan terjadi. Bahkan mungkin saja dia atau pengunjung lain berakhir sebagai pemain undangan, dan “berperan sebagai korban”. Walaupun dia berhasil menghentikannya hari itu, tidak ada jaminan bahwa dia bisa menghentikannya lain kali. “Kurasa aku akan melakukan ini.” Dia menoleh ke sudut ruangan dimana terletak suatu mesin seperti ATM yang biasa terdapat di toko-toko. Liberal Arts City adalah taman hiburan dengan tema air dan lautan. Artinya, membawa uang kertas adalah suatu masalah yang menyulitkan. Sehingga, para pengunjung dipinjami kartu IC ketika masuk. Kartu tersebut bisa diisi dengan uang elektronik kapanpun diperlukan. Ini memungkinkan pengunjung untuk pergi ke fasilitas mana pun yang mereka inginkan dengan hanya membawa kartu itu, dan sedikit uang receh untuk tips. Mikoto menggosok bagian chip dari kartu IC itu dengan jempolnya. Lalu dia menunjukkan kartunya ke mesin pembaca yang digunakan untuk mengisi kartu tersebut. Dengan suara “beep”, layarnya berubah, dari layar sederhana untuk pengunjung menjadi layar yang efisien untuk para staf. Mikoto telah menggunakan kemampuan listriknya untuk meretas sistim komputer. Dia menggosok jempolnya ke chip IC lagi untuk mengembalikan informasi uang di dalamnya. Kemudian dia mulai mengetik pada keyboard yang ditampilkan di monitor layar sentuh. Dia ingin mendapatkan seluruh informasi tentang atraksi dan semua pertunjukan yang ditampilkan di kota itu. Sepertinya, informasi itu tidak terdapat di komputer tersebut, jadi dia mulai meretas ke jaringan lokal Liberal Arts City. “Wah!? ...Apa-apaan ini?” teriak Mikoto ketika dia melihat layar. Dia tidak berteriak karena dihadang oleh sistem keamanan yang sangat sulit dipecahkan. Yang terjadi adalah sebaliknya. (Wah! Wah! Aku memang sudah pernah dengar bahwa teknologi di Academy City lebih maju 20 - 30 tahun dibanding negara-negara lain di dunia, tapi aku tidak percaya sistemnya ditulis dengan bahasa yang sangat kuno... Rasanya seperti melihat mobil berbahan bakar batu bara.) Sistemnya terlalu sederhana, sampai-sampai Mikoto berpikir bahwa ini mungkin adalah jebakan. Tapi tentu saja, tidak semua pelajar yang tinggal di Academy City bisa melakukan hal seperti itu. Mikoto adalah seorang gadis yang cukup jenius karena bisa masuk ke SMP Tokiwadai, dan dia adalah esper paling kuat dalam kategori kekuatan listrik. Bagi dia, sistem keamanan Liberal Arts City bahkan tidak layak disebut ember bocor. Ini lebih mirip seperti ember yang terbuat dari kain. Dan informasi yang didapatkannya adalah nyata. “Pertunjukan” dengan pesawat tempur dan si ikan terbang setelah pertunjukan bajak laut adalah pertempuran yang nyata. (Mereka punya 50 pesawat tempur interseptor yang berbasis F-35 dan dibuat mirip dengan pesawat pada film Alien Wars. Baju pelindung dan senapan ini adalah... untuk para pegawai resmi? Aku mengerti. Itu bukanlah kostum. Mereka benar-benar lengkap. Dan ini bahkan bukan replika. Semuanya senjata asli. Dan mereka punya tank kelas berat, kendaraan lapis baja... dan PAC-3? Tunggu, itu adalah misil darat-ke-udara untuk menembak jatuh misil nuklir! Mereka pikir, mereka akan menghadapi ancaman macam apa!?” Dari semua yang bisa dilihatnya, Liberal Arts City memiliki kemampuan tempur yang lebih besar dibanding suatu markas militer Amerika di Jepang. Tapi mereka tidak mempunyai “aura” mengintimidasi seperti fasilitas militer. Sepertinya mereka tahu bahwa ada musuh yang kuat akan datang, jadi mereka panik dan mulai mengumpulkan sebanyak mungkin kekuatan tempur. Musuh. Musuhnya tidak mungkin seorang mata-mata dari industri film. Jadi siapakah musuh ini? (...) Mikoto mengingat kembali ikan terbang yang menyusuri lautan di hari itu. Gerakannya jelas-jelas tidak mudah dilakukan dengan teknologi di luar Academy City. Apa sebenarnya benda itu? Seberapa banyak pun dia menginvestigasi benda misterius yang bertarung melawan pesawat tempur, dia tidak bisa menemukan sedikit pun informasi tentangnya. Bukan karena ada sistem keamanan khusus atau enkripsi* yang mencegahnya perentasan. Dan dia meragukan bahwa Liberal Arts City tidak mempunyai sedikit pun informasi tentangnya. [Enkripsi di sini maksudnya adalah pengkodean yang digunakan untuk mengamankan suatu sistem.] Kata “terputus” melintas di pikiran Mikoto. Informasi yang sangat penting biasanya tidak disambungkan ke dalam jaringan. Karena itulah Mikoto tidak bisa menemukannya hanya dengan mengumpulkan informasi melalui jaringan tersebut. Dia memiliki akses ke seluruh sistem, tapi hanya dengan itu saja, dia masih tidak bisa mendapatkan “beberapa potongan puzzle”. (... Meneruskannya akan sulit.) Mikoto menyerah dan keluar dari “kedalaman” sistem dengan kehati-hatian yang lebih tinggi dibandingkan ketika memasukinya. Dia log out dari jaringan, memastikan tidak ada “bekas” yang telah dia tinggalkan, kemudian mengganti pengisi kartu IC, dari mode staf ke mode pengunjung. “Kalau begitu....” Mikoto meninggalkan mesin pengisi kartu, dan berjalan menuju pintu keluar kamar hotelnya. Dari tampilan tata letak Liberal Arts City, dia punya perkiraan yang bagus tentang di mana lokasi komputer yang memiliki informasi penting. Yaitu informasi yang tidak bisa dia dapatkan melalui jaringan biasa. “Mulai dari sekarang, aku harus menginvestigasi secara langsung.”

Walaupun malam, Liberal Arts City tidak kekurangan cahaya. Berbagai sumber penerangan menerangi gedung-gedung, suatu parade digelar sepanjang jalan, dan laser yang digunakan untuk pertunjukan seni menyinari lautan serta kolam-kolam. Akan tetapi, bahkan semua itu tidak cukup untuk benar-benar mengusir seluruh kegelapan di kota tersebut. Daerah yang cukup jauh dari hotel-hotel, seperti daerah yang berada lebih dalam di kota, diselimuti oleh kegelapan. (... Kurasa inilah tempatnya.) Mikoto berjalan di atas pasir putih yang berada sedikit lebih jauh dari jalan berbatu dibangun di sepanjang pantai. Di depannya adalah suatu fasilitas besar. Radiusnya adalah sekitar 3 km, dengan fasilitas yang terdiri dari beberapa gedung besar dan kecil berbentuk persegi. Menjulang di tengahnya adalah model suatu roket besar berukuran 1:1. Mungkin ini disengaja, tapi roket besar di tengahnya membuat fasilitas itu tampak seperti suatu benteng yang terbuat dari beton dan baja. Nama fasilitas itu adalah Large Launcher. Sepertinya, Liberal Arts City awalnya digunakan untuk syuting suatu film Fiksi Ilmiah. Dalam pamflet,tempat peluncuran roket itu, Large Launcher, berperan sangat penting dalam filmnya. Hampir seluruh bagian kota dirancang ulang untuk keperluan wisatawan, dan jalan-jalan dipersiapkan. Tapi hanya tempat peluncuran itu saja yang dipertahankan sebagai lokasi suatu adegan terkenal. Tampaknya, sejumlah besar penggemar memulai petisi untuk tidak merubah tempat itu. Large Launcher diterangi oleh berbagai sumber cahaya dan ada platform, Ferris wheel, hotel-hotel besar dimana fasilitas ini bisa dilihat. Walaupun tidak diperbolehkan masuk, tempat itu populer dan menarik perhatian banyak pengunjung. Mikoto berada di dinding luar fasilitas itu. Dia berada di pintu masuk maintenance yang diselimuti oleh kegelapan, jauh dari cahaya lampu. Sekilas, itu adalah suatu pintu biasa, tapi itu hanyalah tampak luarnya. Mungkin saja itu adalah pintu masuk ke tempat misteri rahasia yang diselidiki oleh Mikoto. (...) Mikoto melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada orang lain di sekitarnya. Lantas, dia dengan diam-diam mendekati dinding luar dan meraih pintu dan kunci elektroniknya. Kemudian... “Oh? Sedang apa di sini, Misaka-san?” Tubuh Mikoto melonjak terkejut setelah mendengar suara Saten Ruiko yang tiba-tiba muncul dari belakang. Bagaimana tidak, itu terjadi hanya 5 detik sebelum dia bisa membuka kunci pintu masuk area terlarang. Layar kunci elektroniknya dirancang untuk bisa dimengerti oleh siapa saja, tanpa memandang bahasa yang dikuasai, jadi berbohong di situasi seperti itu adalah hal yang sangat sulit. Pekerja keluar masuk daerah itu untuk pemeliharaan tempat peluncuran roket, tapi Mikoto menduga bahwa tempat itu sebenarnya digunakan untuk urusan lain. Dia tidak boleh membawa Saten kesana. Mikoto dengan panik tersenyum dan menggerakkan tangannya ketika berbicara. “Um, yah... kau tahu? Udara dari AC hotel sungguh nyaman, tapi rasanya terlalu ‘seragam’ dan mengganggu ritme tubuhku, jadi aku ingin merasakan hawa udara malam yang asli.” Suara “beep” elektrik berbunyi dari pintu di belakangnya, menandakan bahwa kuncinya sudah terbuka. Dia mengacuhkannya dan melanjutkan pembicaraan. “Kecenderungan pada hal-hal alami hanyalah ilusi. Aku tahu bahwa itu tidak dapat dianalisa secara ilmiah, tapi ada efek psikologis juga, kan? Pohon palem asli bukanlah sesuatu yang bisa kau lihat setiap hari.” “Suara ‘beep’ apa barusan?” “....................” Mata Mikoto berpindah kesana-kemari setelah Saten dengan segera menanyakan hal itu. Sebelum Mikoto bisa berkata apa pun, Saten menahan napas. Sepertinya, dia menyadari sesuatu. “J-jangan bilang... ini...!?” “Ap-? Tunggu... Eh? Bukan, ini... ini bukan...!!” “Ini adalah kasino yang dilegalkan oleh pemerintah Amerika. Katanya, ada tempat seperti itu di pulau ini!!” “Apa?” mata Mikoto menciut menjadi sebesar titik. Mata Saten mulai berkilau seakan dia mendapatkan “aroma” sesuatu yang mendebarkan. “Kau bertemu Beverly-san setelah itu dan dia memberitahumu tentang hal ini, kan!? Kau bertanya tentang apa yang bisa dilakukan di Liberal Arts City, karena kau tidak bisa berenang. Dia pun memberitahumu bahwa ada tempat bersenang-senang bagi orang dewasa! Kuhaaah!! Kasino!! Hiburan uang dan nafsu yang tidak bisa didapatkan di Jepang!! Aku selalu ingin melihatnya paling tidak sekali, jika aku pergi ke luar negeri. Tapi apa mereka membolehkan siswi SMP masuk?” Dalam khayalan Saten Ruiko, dia membayangkan barisan mesin slot dengan koin yang keluar terus-terusan, seakan-akan mesinnya rusak. Saten memakai baju renangnya dan tenggelam dalam lautan emas dengan senyuman lebar di wajahnya. Pria-pria bertuksedo dan wanita-wanita yang memakai cocktail dress* berdiri melingkarinya dengan rapi, sementara sepasang gadis berpakaian kelinci warna merah berdiri di kedua sisinya, menghujaninya dengan ciuman. “Ga ha ha ha! Ini dia! Inilah penerbangan tanpa henti dari Las Vegas ke ‘Mimpi Amerika’!” teriaknya sambil tenggelam dan terbius oleh khayalan indahnya. [Cocktail dress adalah gaun wanita untuk acara semi-formal. Wujudnya bisa berupa gaun dengan terusan rok sepanjang paha. Pakaian ini tidak terkesan terlalu mewah, namun elegan.] Dalam pikiran Misaka Mikoto, Saten sedang melihat meja Baccarat* dengan pandangan hampa, ketika chip terakhirnya diambil oleh si dealer*. “Serahkan semua benda yang ada padamu. Kami akan mengambil semua yang benda yang bernilai.” “Jangan.... jangan. Semua yang aku punya hanyalah baju renang ini.” “Kalau begitu, kami akan mulai dengan merampas itu!”. Seperti itulah adegan yang berputar-putar di kepala Mikoto ketika dia ingat bahwa Saten punya kecenderungan terlibat dalam suatu masalah. Pada akhirnya, dia tahu bahwa hal ini akan berakhir ketika dia mendobrak masuk ke dalam kasino, dan meledakkan para penjahat dengan Railgun-nya. [Baccarat adalah permainan judi kartu, di mana setiap pemain memegang 2 atau 3 lembar kartu di tangannya. Sedangkan dealer di sini artinya adalah si moderator permainan judi tersebut.] “Ayolah, Misaka-san! Aku tidak akan membiarkanmu mengatakan bahwa kasino hanya diperbolehkan untuk kalangan selebritis! Aku cuma mau mengintip sedikit saja! Sedikit saja!!” “T-tidak. Dan ini bahkan bukan suatu kasino!!” “Ha ha!!” Saten bahkan tidak mendengarkan apa yang Mikoto katakan ketika dia membuka pintu ke daerah yang terlarang, dan masuk ke daerah berbahaya tersebut. (Ahhhh!? Dasar begooo!!) Mikoto menggaruk kepalanya dengan kedua tangan sambil berteriak dalam hati sebelum mengikuti Saten yang menghilang ke dalam kegelapan ruangan itu. Di sisi lain pintu maintenance itu adalah suatu lorong sempit. Terdapat kabel yang tergulung-gulung dan perkakas yang ditinggalkan di atas lantai. Pemandangan ini seperti belakang panggung suatu teater, jadi melihat sekilas pun sudah jelas menunjukkan bahwa itu bukanlah jalan menuju tempat hiburan. “Ohhhhh!! Kasino memang benar-benar mendebarkan! Kesan liar dan tidak terawat ini seakan-akan mengandung atmosfir yang tak bermoral!” “Kau bahkan tidak tahu kasino itu seperti apa, kan? Dan sudah kubilang: ini bukan kasino...” Mikoto merasa lelah ketika dia berhasil menyusul Saten. Sampai saat itu, sudah ada beberapa sensor yang kebanyakan menggunakan infra merah, tapi Mikoto menggunakan serangan listriknya untuk “mengelabui” sensor-sensor itu. Rasa-rasanya, dia tidak meninggalkan jejak, tapi dia sedikit tidak yakin karena metodenya yang cukup “kasar”. (Tapi, jika aku tidak melakukan itu, mereka pasti sudah mendekati kami dengan membawa senjata sekarang juga. Untuk saat ini, aku perlu menyadarkan cewek konyol ini... Wah!?) Mikoto dengan panik menahan pundak Saten dan menariknya ke belakang, ketika gadis yang sedang tersenyum itu akan masuk ke zona infra merah. (Bagaimana dia bisa masuk tanpa pikir panjang ke daerah berbahaya seperti itu? Kurasa itu adalah sejenis bakat.) “S-Saten-san. Aku perlu bilang sesuatu padamu.” “Apa? Ayo cepatlah ke kasino. Tunggu! Jangan bilang bahwa ini adalah tempat untuk selebritis kalangan atas yang memerlukan tanda keanggotaan!? Ayolah, Misaka-san. Tidak bisakah kau menggunakan koneksimu untuk memasukkanku?” “S-seperti yang kubilang, ini bukan kasino. Aku datang kesini karena aku perlu mengurus sesuatu. Tidak ada yang menyenangkan disini.”

RAILGUN SS1 02 021..jpg

“Ohh, jadi ini bukan kasino. Kalau begitu, aku semakin penasaran apakah ada hal lain yang menarik di sini.” Ketika berbicara, Saten mulai berjalan di lorong yang dilaluinya ketika masuk. Mikoto kembali memegang pundak Saten. Dia hanya “mengelabui” sensor untuk sementara, jadi fungsi dasarnya tidak hilang. Jika Saten kembali kesana, yang terjadi adalah “alarm  ditangkap  ditembak”. Mikoto lah satu-satunya orang yang bisa berbuat banyak pada sistem keamanan (dan mungkin saja Saten membuka pintu lain di tengah jalan, kemudian tersesat), jadi dia tidak punya pilihan selain membawa Saten bersamanya. Tapi Mikoto tidak yakin bagaimana menjelaskan situasi ini padanya. “... Ada hal menarik yang akan terjadi, kan?” kata Saten dengan senyum lebar, Mikoto masih memegang pundaknya. “Sebagai pendatang baru, aku tidak tahu detailnya, tapi hal yang benar-benar menarik akan dimulai, kan?” (Orang ini tidak punya harapan lagi.) Kelihatannya Ace SMP Tokiwadai yang hebat tidak bisa berhadapan dengan orang yang punya kecenderungan terlibat masalah.

(Seperti Area 51.) Mikoto teringat pada suatu markas pasukan udara di tengah gurun pasir yang merupakan fasilitas rahasia dan memiliki banyak rumor. Termasuk alien yang diawetkan dalam formalin, dan analisis UFO yang jatuh. Dia teringat dengan mudah akan hal itu karena dia sedang berada di Amerika. Mereka telah berjalan melalui lorong pendek, menerobos sistem keamanan ketika melaluinya (atau lebih tepatnya, Mikoto melakukan semua itu dengan kekuatannya dan Saten hanya berjalan-jalan saja), hingga mereka sampai ke ruangan besar yang membuat Mikoto teringat akan Area 51. Ruangan itu berbentuk persegi. Terbuat dari besi dan beton, radiusnya sekitar 1.5 kilometer ke segala arah, dan tingginya sekitar 20 meter. Atapnya diperkuat dengan kerangka kompleks yang terbuat dari logam seperti pada gedung gym di sekolah. Lampu-lampu yang digantungkan dalam interval tertentu, menyinari ruangan besar itu. Ada jalur sempit yang terbuat dari baja sekitar 10 meter di atas lantai beton rata. Saten melihat sekeliling dan berbicara dengan nada kagum. “Wow. Dengan bangunan ini saja, kita bisa melihat perbedaan skala antara Amerika dan Jepang.” “...” Komentar polos Saten bergema dengan suara yang tidak membuat nyaman. Sepertinya tidak ada seorang pun di dalam fasilitas itu, dan suara Saten mirip seperti seseorang yang berteriak di dalam ruangan gym kosong. Wajah Mikoto menegang karena ruang yang besarnya menyeramkan itu. Fasilitas itu jelas tidak digunakan untuk hiburan. Juga bukan tempat bagi para petinggi dan pegawai untuk membuat persiapan guna menghibur para turis. Kemungkinan besar, fasilitas itu aalah pusat “sebenarnya” dari Liberal Arts City. (Tapi memang benar, skala di Amerika sungguh berbeda... Aku tidak percaya bahwa “titik tengara” kota ini ternyata berbentuk seperti ini.) Mikoto melihat sekeliling area persegi, sekali lagi. Dia dulu pernah menonton suatu acara di televisi. Acara kuis. Suatu benda sedang dibuat dalam suatu pabrik. Pertanyaannya adalah, apakah yang sedang dibuat itu. Jawabannya adalah, suatu pesawat penumpang yang besar. Area itu mengingatkannya pada rekaman dari pabrik yang ditunjukkan pada saat itu. Tetapi, ruang yang luas tersebut tidak menyimpan bagian-bagian berbentuk lingkaran dari material-material penyusun pesawat. Benda tersimpan di dalamnya adalah ikan terbang yang pernah bertarung melawan pesawat tempur tadi siang. Badan utamanya memiliki panjang sekitar 5 meter, bersudut lancip, dan terbuat dari kayu. Badannya yang tajam kelihatan seperti dibuat dari 2 kano yang ditumpuk bagaikan roti burger. Setiap sisi mempunyai sayap besar dan sayap kecil. Kendaraan amphibi aneh tersebut terbuat dari material seperti kain dan obsidian, bukannya logam. Ikan terbang itu disimpan layaknya spesimen kupu-kupu yang sedang dipelajari. Tetapi, satu diantara benda-benda itu terlihat cacat... atau lebih tepatnya, rusak. Suatu lubang raksasa terlihat di dekat bagian tengah kano dan seluruh badannya bengkok menjadi seperti huruf V. Salah satu dari sayap-sayapnya putus dan tergeletak begitu saja di dekatnya. “Hehh. Ini adalah benda yang mereka gunakan pada pertunjukan hari ini, kan? Apa ini ruang penyimpanan alat-alat untuk pertunjukan?” Mikoto tidak mengangguk untuk merespon pertanyaan Saten. (...Bukan. Ini bukanlah benda yang aku lawan tadi siang.) Ikan terbang yang Mikoto hadapi sudah hancur karena alat penghancur otomatis. Itu tidak cocok dengan badan kapal yang dibengkokkan secara paksa oleh tenaga dari luar. Yang berarti... (Tidak cuma satu. Artinya, apakah serangan hari ini bukanlah satu-satunya serangan yang terjadi?) Dia melihat sekeliling, dan memperhatikan lebih banyak lagi ikan terbang. Tempat ini kelihatan seperti ruang penumpang yang berubah menjadi “kamar mayat” pada pesawat jatuh di film-film drama. Tapi bukannya kantung mayat, benda berjejer dalam interval tertentu itu adalah ikan terbang yang sudah rusak. Ada lebih dari 200 unit di sana. Masing-masing ikan terbang diterangi dengan lampu sorot, dan terdapat berbagai jenis kerusakan pada badannya. Ada yang bagian depannya hancur, ada yang semua sayapnya putus, ada yang kehilangan seluruh bagian belakang, dan ada serpihan-serpihan bagian yang hancur diletakkan pada pola mirip ikan terbang tersebut. Sepertinya, semua ikan terbang yang telah dikalahkan sampai saat ini, disimpan di sana. Benda-benda ini adalah saksi bisu suatu pertempuran yang sengit. Mikoto mendekati salah satu ikan terbang yang rusak dan menemukan sesuatu tertempel seperti label plastik. Di atasnya ada deretan huruf dan angka. Angka-angka itu sepertinya adalah semacam kode. Selain apa yang kelihatannya seperti tanggal, kodenya benar-benar acak. Tanpa melihat cara Liberal Ars City menggunakan kodenya, itu adalah data yang tidak berarti. Huruf-hurufnya kelihatan seperti sejenis nama. Suatu kata yang panjang dimulai dengan huruf “M”. Mikoto tidak merasa bahwa itu adalah bahasa Inggris, tapi tidak mirip juga dengan bahasa Prancis atau bahkan Italia. Ejaan tidak masuk akal dipaksakan dari suatu bahasa yang tidak menggunakan huruf latin. “Apa ini? M...Mix...Mixca...bukan, mungkin Mixco? Mikoto kelihatan bingung saat mencoba membacanya. Dia tidak bisa lama-lama berada di sana, jadi dia berpikir untuk mengambil foto dengan ponselnya, agar dia bisa mempelajarinya kemudian, tapi... “Namanya Mixcoatl. Suatu kata dari Amerika Tengah, aku diberitahukan bahwa artinya adalah Ular Lautan Awan.” Mikoto dan Saten menoleh ke arah suara perempuan yang tiba-tiba datang. Mereka tidak tahu sudah berapa lama wanita itu ada di sana, tapi terdapat seorang pegawai resmi Liberal Arts City berdiri di sana. Wanita itu kelihatannnya berumur 20-an, dan dia memakai suatu rompi penyelamat warna oranye di atas baju renang lomba yang terlihat sporty. Kartu identitas tergantung di lehernya, jadi mereka langsung tahu siapa namanya. Di kartunya tertulis: Olive Holiday. Mikoto meletakkan tangannya ke kepala dan berkata. “Um, maaf. Kelihatannya kami tersesat...” “Ha ha. Jadi kau mau berlagak bodoh. Kalau kau ingin jadi aktris, kau harus melakukan yang lebih baik dari itu.” “Cih.” Mikoto melotot ke atah Olive, dan maju selangkah agar dia bisa lebih mudah melindungi Saten. “Kau tidak akan beralasan bahwa semua benda ini adalah alat pendukung untuk peran super hero, kan?” “Beginikah caramu melihat kami?” Olive menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Diperlukan suasana yang tepat untuk mempertontonkan semua ini sebagai suatu pertunjukan. Jika kami membuka tempat ini sebagai hangar bawah tanah raksasa, membangun gerbang masuk, meminta biaya, membuat pegawai menuntun para turis ke sini, dan memainkan efek audio-visual, maka orang-orang itu akan percaya bahwa ini adalah tempat yang kami buat dengan biaya besar. Ini semua adalah hasil dari kerja keras kami, jadi tolong jangan bersikap seolah-olah ini adalah hal yang mudah dilakukan.” “...Jadi kau sadar bahwa kalian sudah ketahuan. Kalian diserang oleh musuh-musuh yang tidak diketahui karena ada yang berharga di sini, jadi kau tidak bisa membodohiku lagi,” kata Mikoto sambil menyeringai. Dia mengabaikan Saten yang tidak bisa mengikuti pembicaraan ini. “Iya.” Olive Holiday mengangguk perlahan. “Sepertinya aku tidak punya pilihan selain melakukannya.” “Melakukan apa?” “Ini tidak bisa lagi berakhir dengan damai.” Hawa dingin menyelimuti Mikoto. Aura membunuh keluar dari senyuman pegawai itu. Bahkan Saten yang tidak mengetahui apa yang sedang terjadi mulai menggigil di belakang Mikoto. Akhirnya, Saten pun menyadari seberapa gawat situasi ini. Mikoto memastikan tubuhnya tidak kaku. “Apa yang kalian lakukan di sini? Setelah melihat semua ikan terbang ini, jelas bahwa “pertunjukan” itu terjadi bukan hanya beberapa kali.” Sebagai tanggapannya, senyuman Olive Holiday dengan perlahan dipenuhi rasa mengintimidasi. Sepertinya, dia bisa mendorong mundur seseorang walaupun dia hanya memakai baju renang, dan tidak memiliki senjata. “Mari kita berbicara tentang kondisi hipotesis, ada seorang gadis yang ada dalam situasi mirip sepertimu.” “Aku rasa, aku tidak mau,” kata Mikoto dengan tenang. “Jangan remehkan aku, bocah busuk.” Ketika si pegawai mengatakan itu, aura yang terisi niat membunuh menjadi dua-tiga kali lipat lebih dingin. Dia tidak membiarkan orang lain “mengirimkan balik” aura membunuh yang setara. Dia hanya memperbolehkan dirinya sendiri menghancurkan lawannya dari “posisi yang lebih unggul”. Udara di sekitarnya terisi oleh aura membunuh yang gelap dan basah. “Menurutmu, apakah aku berbicara padamu dari posisi yang lebih unggul? Aku tidak punya apapun yang tersembunyi di badanku, pintu keluar terdekat untuk kabur berada nan-jauh di sana, dan aku berada tepat di tengah area besar ini. Jadi kenapa kau pikir aku menghadapimu di sini?” Olive Holiday tersenyum. Sambil tersenyum, tangannya yang ramping dengan perlahan bergerak, meletakkan telunjuknya di mulut. Seakan-akan, dia sengaja menjauhkan tangan dari rompi penyelamatnya. “Alasannya adalah: lokasi ini, jarak ini, dan pemilihan waktu ini... semuanya cukup untuk memastikan kemenanganku. Aku tidak perlu bertahan dan tidak perlu kabur. ...Ini adalah benteng kami. Aku bisa mendapatkan apapun yang kuperlukan, walaupun aku berdiri di sini sendirian. Itu artinya, aku sudah memiliki semua yang aku butuhkan untuk mengontrol situasi ini.” Dia “terlihat” sama seperti seorang pegawai biasa yang akan menuntun anak tersesat dalam suatu fasilitas hiburan. Tapi, dia akan menuntun mereka ke atraksi yang merupakan suatu medan perang, terbalut darah segar, dan kematian. “...Suatu peringatan dariku. Kau lebih baik berhenti demi keselamatanmu sendiri,” kata Mikoto. “Aku sudah melihat data penghancuran Mixcoatl.” Seakan-akan menunjukkan bahwa dia sudah mengendalikan situasi ini, Olive maju selangkah. “Dan aku masih yakin bahwa kemenanganku sudah pasti akan kudapat. Kau perlu menyadari bahwa kalian berdua bukan lagi pengunjung kami. Kalian tidak lebih dari musuh asing.” Mikoto dan Olive memelototi satu sama lain dalam kesunyian. Mikoto tidak mendengar suara apa pun dari belakangnya. Saten mungkin telah berhenti bernapas. (Apa yang akan dilakukannya...?) Akankah suatu proyektil ditembakkan dari rompi penyelamatnya? Atau akankah dia menerjang dengan kecepatan tinggi? Atau apakah dia menyembunyikan senjata rahasia di tempat selain rompi penyelamatnya, seperti di rambut atau lehernya? (Bagaimana aku harus bergerak...?) Tidak ada satu gerakan yang bisa mengatasi segala jenis masalah dalam berbagai situasi. Setiap serangan mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing. Dengan kata lain, ada resiko terluka karena dia salah membaca apa yang akan dilakukan lawannya. Dua aura membunuh saling beradu. Semua suara menghilang. Kemudian... Suatu suara *beep* elektrik terdengar. “...Ada apa?” tanya Olive. Telunjuknya masih di bibirnya dan pandangannya masih tertuju ke Mikoto, tapi dia sedang berbicara pada orang lain. Jawabannya keluar dari radio kecil yang diikat seperti pisau di dekat bahu rompi penyelamat itu. “Ketua, para direktur manajemen telah menyelesaikan negosiasi mereka.” “Apa rencananya?” “Jangan sentuh Academy City #3, Railgun. Jika seorang Level 5 dianggap menghilang, maka Academy City di Jepang akan memutuskan bahwa ada bahaya tentang kebocoran rahasia militer penting yang terdapat dalam DNA-nya. Akan ada resiko perang multi-sisi dalam teknologi, ekonomi, intelijen, dan militer.” “Polisi dunia memutuskan seperti itu? Aku terkejut.” “Begitulah,” jawaban keluar dengan cepat dari radio itu. “Haruskah kita abaikan saja?” “Pertanyaan yang bagus,” kata Olive sambil tertawa. Mikoto bersiaga dan percikan listrik berwarna putih kebiruan keluar dari poninya. “Kalau begitu, jangan melakukannya. Kita bisa menangani ini sendirian, tapi biayanya akan terlalu besar. Kerugian akan lebih banyak dari keuntungannya, jadi tidak ada alasan untuk mengeluarkan tenaga berlebih. Ini tidaklah layak untuk mebuat jajaran manajemen murka.” “Kalau begitu, kita akan turuti apa kemauan mereka.” “Iya. Biarkan aku mengantar para tamu kita.” Dengan sedikit suara listrik, sambungannya pun terputus. Hawa membunuh yang dipancarkan Olive menghilang, pundaknya relaks, dan dia tersenyum dengan senyuman khas seorang pegawai industri jasa. “Sepertinya, itulah yang akan terjadi,” katanya kepada Mikoto. “...Apa maksudmu?” “Maksudku, aku akan membiarkan kalian pergi. Jika kau memaksa ingin bertarung, tentu saja aku akan melakukan yang terbaik untuk memuaskanmu sebagai tamu kami. Kalau begitu, aku akan memastikan bahwa kita akan bertarung sampai salah satu di antara kita mati. Walaupun kalian berdua melawanku bersamaan, aku yakin pertarungan itu tidak akan berlangsung sampai semenit.” Nada bicara Olive yang terlalu sopan sepertinya terkesan sedikit mengejek. Itu mungkin menandakan seberapa marahnya dia. Itu adalah jenis kemarahan yang mirip ketika seorang anak kecil diciprati oleh orang lain dalam suatu kolam renang. “Dan bagaimana jika kami memberitahukan orang lain tentang apa yang terjadi di sini?” “Kami punya banyak ahli informasi. Apakah kau lupa bahwa negara kami mempunyai badan intelijen terbesar di dunia? Apapun yang kau lakukan, informasi ini tidak akan keluar dari Liberal Arts City. Tapi jika kau masih ingin melakukannya, ya silahkan. Kami dengan sepenuh hati ingin memberikan kenyamanan paling tinggi yang kami bisa berikan. Perbedaan antara seorang profesional dan seorang amatiran adalah jelas. Aku yakin bahwa aku tidak perlu memberitahumu siapa yang akan menang.” Mikoto menghembuskan napasnya dengan tiba-tiba, ketika menyadari bahwa Olive mengatakan suatu fakta. Bukannya cuma tidak mau mengaku kalah layaknya anak kecil keras kepala, tapi dia mengatakan hal yang sebenarnya. Mereka punya cara yang paten untuk menangani masalah seperti ini. Artinya, mereka punya banyak jalan keluar selain membunuh Mikoto dan Saten. (Mereka membiarkan seseorang yang sudah melihat sebagian rahasia mereka. Biasanya, itu adalah pilihan yang tidak terpikirkan, tapi mereka pasti punya alasan kuat pada keputusan itu.) Tentu saja, masih ada resiko bahwa semua yang dikatakan pegawai itu adalah kebohongan, dan pada akhirnya, mereka berdua akan diserang di kamar hotel malam ini juga. (Bagaimanapun juga, masalahnya bukan hanya dia. Tertahan di sini tidak akan membantu sedikit pun. Mengalahkannya mungkin justru bisa membuat mereka menjadi lebih serius. Itu akan mendatangkan lebih banyak masalah. ... Aku butuh lebih banyak informasi sebelum aku bergerak.) “Aku menerima tawaranmu.” “Heh heh. Pilihan yang sempurna,” kata Olive sambil tersenyum. “Sekarang, biarkan saya menunjukkan para tamu sekalian ke pintu keluar.” “...Kau serius?” tanya Mikoto yang menyadari bahwa Saten benar-benar ketakutan di belakangnya. “Kau mau agar kami berjalan menyusuri fasilitas misterius ini, sambil mengikuti seseorang yang kapan saja bisa menusuk kami dari belakang?” “Jangan salah sangka. Saya tidak lebih dari seorang pegawai institusi ini. Saya hanya diperbolehkan untuk mengambil tindakan demi menegakkan peraturan Liberal Arts City.” Olive berjalan selangkah ke samping dan mengulurkan tangannya secara horizontal, seolah-olah menunjukkan jalan. Gerakan ini mirip seperti isyarat yang dilakukan untuk mengarahkan arus massa yang kebingungan. “Karena itu, selama kalian mematuhi laranganku dan tidak melakukan tindakan yang tidak diperlukan, kami para pegawai akan melakukan yang terbaik untuk memberi kalian penginapan menyenangkan.” Dengan senyuman yang membuat Mikoto menggigil, pegawai supel itu mulai mengantar mereka

♦.

Uiharu merasa sedikit lapar sebelum dia tidur, jadi dia menggunakan aplikasi penrjemah di ponselnya untuk berbicara pada pelayan tinggi di lobi hotel. “Permisi...Pesananku...um...Aku mau makan...teh hitam dan...satu sandwich*.” [Ciu tidak yakin bahwa kalimat di atas ditulis dalam Bahasa Inggris. Jadi, aku terjemahkan saja. Tapi mungkin juga kalimat itu adalah suara yang keluar dari ponsel Uiharu. Nah, silahkan mencari tahu sendiri.] Menyalahi harapannya, suatu piring besar dengan banyak sandwich di atasnya diantar kepada Uiharu. Dia melihat sandwich- sandwich itu dengan pandangan hampa... “Uiharu! Uiharu!! Uuuuiiihaaaarrruuuu!!” “S-Saten-san!? Waah! Tepat sekali waktunya. Tolong bantu aku menghabiskan gunungan sandwich ini! Tidak mungkin aku bisa memakannya sendirian!!” “Sekarang ini tidak penting!! Hebat sekali!! Kalau aku memberitahukanmu sesuatu, kurasa kepalaku akan berakhir dengan menggelinding di lantai, jadi aku tidak bisa menjelaskannya, tapi itu benar-benar hebat!!” “Kau bicara ap—? Wah wah wah! Jangan cuma makan sandwich sayuran yang sehat!! Makanlah makanan yang lebih bervariasi! Jangan tinggalkan hanya sandwich ayam yang berlemak untukku!!” Mulut Saten terlalu penuh dengan sandwich, jadi dia tidak bisa menjawab. Dia hanya memiringkan kepalanya ke Uiharu, seperti sedang kebingungan. Walaupun gadis-gadis berbaju renang itu membuat keributan di antara mereka, malam Liberal Arts City yang hening berlanjut.