Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume1 Bab2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 2 : Louise Si Zero[edit]

Saat Saito bangun, hal pertama yang ia lihat merupakan baju dalam Louise yang berserakan.

Entah bagaimana, benda itu muncul di jangkauan matanya, yang dengan cerobohnya dilempar.

Louise masih tertidur di tempat tidurnya, mendengkur lembut. Wajah tidurnya membuatnya mirip seperti anak kecil. Dia adalah perempuan yang bersuara keras dan menjengkelkan saat berbicara - ini "Bangsawan", itu "Penyihir" - namun, saat ia tidur, dia sangat manis. Saito hampir berharap agar keadaannya tetap seperti ini selamanya.

Lalu kenyataan muncul di benaknya. Jadi, malam tadi bukan mimpi. Dia pikir ia akan berada di kamarnya, namun, kenyataannya, itu tidak terjadi. Dia merasa tidak bersemangat.

Namun tetap saja, pagi ini merupakan pagi yang segar. Silau sinar matahari menyinari kamar. Karakteristik Saito yang selalu ingin tahu kembali muncul.

Sekarang kalau aku pikir-pikir, Keadaan ini lebih mirip kayak tur. Aku pengen tahu dunia seperti apa tempat ini? Sewaktu aku secara tidak langsung menjadi Familiarnya penyihir perempuan yang kasar ini, aku harus melakukan yang terbaik dalam peranku, paling tidak.

Yang paling pertama, dia menarik paksa selimut Louise.

"A-Apa? Apa yang Terjadi!"

"Ini sudah pagi, Nona Besar!"

"Huh? O-Oh... Tunggu, Siapa kau?!" Teriak Louise dengan suara tak enak didengar. Ekspresinya menyatakan ketidaksenangan ditambah dengan menggerutu.

Apa perempuan ini tidak apa-apa?

"Hiraga Saito?"

"Oh, Familiar. Benar. Aku memanggilmu malam yang lalu, kan?"

Louise bangun dan menguap. Lalu, ia menyuruh Saito:

"Baju."

Saito melempar baju seragam yang sudah disiapkannya di kursi. Louise mulai memakai baju pelan-pelan.

Saito dengan cepat melihat ke arah lain untuk menyembunyikan wajah malunya.

"Pakaian dalam."

"A-Ambil Sendiri."

"Tempatnya ada di laci paling bawah... di lemari itu..."

Nampaknya ia berencana untuk menggunakan Saito.

Sambil diam, Saito pergi dan membuka laci yang bersangkutan. Saat dilihat, laci itu penuh dengan pakaian dalam. Ini pertama kalinya Saito melihat pakaian dalam perempuan, terkecuali ibunya. Saito mengambilnya secara acak, ia melemparnya kepada bahunya tanpa melihat kebelakang.

Setelah Louise memakainya, dia berbicara lagi.

"Baju."

"Aku kan sudah memberikannya padamu."

"Pakaikan padaku."

Jangan macam-macam. Saito melihat ke arah Louise dengan marah, hanya melihat Louise duduk di atas tempat tidur sambil mengantuk hanya memakai celana dalam yang Saito lemparkan padanya. Tiba-tiba ia bingung untuk melihat kemana sekarang.

Louise mencibir dengan perasaan tidak senang.

"Kau harus tahu, bila seorang bangsawan memiliki seorang pesuruh, maka pesuruh itu akan memakaikannya pakaian."

Perkataan itu membuatnya kesal.

"Paling tidak kau bisa pakai baju sendiri kan?"

"Baiklah, sebagai hukuman karena tidak menjadi Tsukaima yang patuh… Tak ada sarapan," kata Louise sambil menunjukkan jarinya ke atas dengan bangga.

Setelah itu, Saito mengambil blouse Louise

* * *

Saat Saito meninggalkan kamar bersama Louise, Ia melihat tiga pintu yang identik di dinding. Salah satunya terbuka dan muncullah sosok perempuan dengan warna yang rambut seperti api. Nampaknya ia lebih tinggi dari Louise dan hampir sama tingginya dengan Saito. Dia memiliki aura menggoda yang sangat kuat. Wajahnya juga menarik, serta juga memiliki tubuh yang menawan hati. Payudaranya seperti melon. Dua kancing paling atas dari blousenya tidak terpasang, membuang sebuah pemandang belah dada yang hebat dan pastinya menarik pandangan mata. Kulitnya juga bagus, membuatnya memiliki kecantikan yang sehat dan natural. Tingginya, warna kulit, dan juga ukuran payudaranya… membuatnya perbedaan kontra dengan Louise yang kurang akan poin-poin menggoda tersebut.

Saat ia melihat Louise, memanggilnya dengan keras.

"Pagi Louise!"

Louise hanya menjawabnya dengan ketus.

"Pagi… Kirche."

"Itu…Familiarmu?" Tanya Kirche dengan nada menyindir, menunjuk Saito.

"Iya."

"Hahahah! Jadi itu memang manusia! Hebat!"

Saito merasa terhina. Maaf kalau aku manusia. Memangnya kau apa? Ia melihat Payudara Kirche. Kau cuman alien berpayudara besar. Ya, P-p-ayudara besar. Saito menatap dengan khidmat

"Sepertinya kamu memang memanggil orang biasa saat ‘Pemanggilan Servant.’ Apa lagi yang bisa kita harapkan dari Si Louise Zero?"

Pipi Louise yang putih memerah.

"Diam."

"Aku memanggil Familiar juga kemarin, Tidak seperti orang lain, aku berhasil dari percobaan pertama."

"Ya"

"Dan kalau memang ingin punya familiar, harus sehebat ini. Flame!"

Kirche memanggil familiarnya dengan bangga. Dari kamarnya, seekor kadal merah yang besar muncul. Gelombang api mengenai Saito.

"Uwah! Benda apa itu?"

Kirche tersenyum.

"Ohoho! Jangan bilang kalau kau belum pernah melihat kadal api?"

"Letakkan rantai atau sesuatu padanya! Benda itu berbahaya! Memangnya apa itu kadal api?"

"jangan khawatir. Selama aku meberi perintah untuk tidak menyerang, dia takkan menyerang. Kau takut kan?"

Kirche meletakkan tangannya di dagunya dan menaikkan kepalanya dengan sangat menyebalkan.

Makhluk itu paling tidak sebesar macan. Ujung ekornya tterdapat api yang menyala, dan dari mulutnya keluar percikan api.

"jangan khawatir. Selama aku meberi perintah untuk tidak menyerang, dia takkan menyerang. Kau takut kan?"


"Kau tidak merasa panas dekat dengan itu?" Tanya Saito. Ia menenangkan dirinya dan melihat benda itu lagi. "Wow, itu monster… Hebat!"

"Bagi ku ia cukup keren."

"Apa itu seekor salamander?" Tanya Louise dengan iri.

"Betul! Seekor kadal api! Lihat ekornya. Api yang sebesar ini berarti ia pasti berasal dari Gunung Naga Api! Kadal ini tak ternilai harganya! Bahkan kolektor pun takkan bisa membelinya!"

"Itu bagus," kata Louise, suaranya nyelekit.

"Tentu! Dia sangat cocok dengan affinitasku!"

"Affinitasmu itu api kan?"

"Ya. Lagi pula, aku kan Kirche si Ardent. Ardent yang dengan lembut memberikan gairah dimanapun aku pergi, dan aku punya semua laki-laki yang menyukaiku. Tak sepertimu. Benar kan?"

Kirche memegang dada dengan bangga. Tak ingin kalah, Louise melakukan hal yang sama, namun perbedaan yang sangat jelas mengalahkannya.

Karena itu, Louise menatap tajam Kirche. Nampaknya Louise sangat benci kalah.

"Aku tak punya waktu untuk menggoda semua yang kulewati, tak sepertimu."

Kirche hanya tersenyum tenang. Lalu, ia melihat Saito.

"Dan siapa namamu?"

"Hiraga Saito."

"Hiraga Saito? Nama yang aneh."

"Hey!"

"Baiklah, aku pergi dulu."

Ia mengibaskan rambut merahnya dan pergi. Salamander itu pun mengikutinya dengan gerakan lucu yang jadi tampak aneh untuk makhluk sebesar dia.

Saat ia menghilang, Louise memegang tinjunya dengan geram.

"Ooh, perempuan itu membuatku naik darah! Hanya karena ia bisa memanggil salamander dari gunung naga api. Argh!"

"Tenanglah, itu kan cuman pemanggilan."

"Tentu saja tidak! Kau bisa merasakan kekuatan asli penyihirnya hanya dari familiarnya! Kenapa si idiot itu dapat salamander sedangkan aku dapat kau?"

"Ugh! Maaf kalau aku jadi manusia. Tapi kau juga manusia toh."

"Membandingkan penyihir dengan orang biasa seperti membandingkan serigala dengan anjing!" Jelas Louise menyakitkan.

"Baik, baik. Daripada itu, dia memanggilmu ‘Louise si Zero’, tapi Zero untuk apa? Nama panggilanmu?"

"Tentu bukan! Namaku Louise de La Vallière! Zero hanya nama sanggahan."

"Nama sanggahan.. aku mungkin mengerti bila ia dipanggil Ardent, tapi kenapa kau Zero?"

"Kau tak perlu tahu," Jawab Louise dengan tidak enak.

"Karena payudaramu?" Tanya Saito, menatap Louise. Yup. Kayak papan catur.

Tangan Louise melayang. Saito menghindarinya.

"Kembali kau!"

"Jangan Pukul aku tahu!"

Sebuah tamparan?

Aku teringat… gadis ini… kemarin, saat orang lain terbang, ia berjalan. Dan, kemarin malam, saat aku memegannya, ia menendangku di bagian pribadiku. Kalau ia memang ingin menghukumku, kan lebih baik kalau ia memakai sihir daripada memukul atau menendangku? Itu akan lebih efektif, dan lebih seperti penyihir. Kenapa ya? Pikir Saito.

* * *

Aula Makan Akademi sihir adalah yang terpanjang dan terletak di tengah bangunan. Di dalamnya terdapat tiga meja panjang yang sangat panjang yang menghubungkan orang yang makan di sana. Paling tidak ratusan orang bisa muat untuk makan di situ. Meja untuk Louise dan murid tahun kedua adalah di tengah.

Tampaknya para murid di sini bisa di idntifikasi dengan warna jubah mereka. Dilihat dari pintu masuk, Semua yang duduk di sebelah kiri tampak lebih tua dengan jubah ungu - Tahun ketiga.

Murid yang duduk di paling kanan mengenakan jubah coklat - Tahun pertama. Jadi seperti Pembagian Tahun ajaran di Jersey, Pikir Saito.

Setiap Penyihir di sekolah, murid, dan gutu, berkumpul disini untuk sarapan, makan siang, dan makan malam.

Di tingkat atas, Saito bisa melohat para guru sedang asik mengobrol.

Semua meja dihias dengan sangat indah.

Lilin yang banyak, Banyak bunga, keranjang penuh dengan buah…

Mulut Saito terbuka karena takjub akan keindahan di aula ruang makan. Louise mengangkat kepalanya dengan bangga dan mulai menjelaskan. Matanya memiliki sorot kenakalan.

"Akademi Sihir Tristain tidak hanya mengajarkan sihir."

"Ya…"

"Hampir semua penyihir adalah bangsawan. Sang bangsawan mendapatkan kebangsawanan tersebut dengan cara menggunakan sihir merupakan sebuah fondasi utama dari semua pelajaran yang kami terima sebagai bangsawan. Lalu, aula ruang makan kami pun harus sesuai dengan status bangsawan kami."

"Okay..."

"Mengerti? Biasanya, orang biasa sepertimu takkan bisa menginjakkan kaki di dalam aula ruang makan Alvíss. Berterima kasihlah."

"Ya… ntar dulu, apa itu Alviss?"

"Itu nama orang-orang kecil. Lihat patung di sebelah sana?"

Louise menunjukkan sebuah dinding yang di sana terdapat barisan patung-patung orang kecil.

"Mereka dibuat dengan sangat baik. Err, benda itu takkan.. yah… kau tahu kan… hidup di malam hari atau melakukan sesuatu?"

"Rupanya kau tahu ya?"

"Jadi memang iya?"

"yah, mereka menari.cukup. Tarik kursiku, bisa kan? Kau ini memang enggak kompeten sebagai familiar," Cap Louise, Melipat tangannya dan menaikkan kepalanya, sehingga rambutnya yang seperti stroberi itu terkibas. Yah… Cewek duluan deh. Saito menarik kursi Louise untuknya.

Bahkan Louise tidak berterima kasih. Saito juga membawa sebuah kursi untuk duduk.

"Wow!" Teriak Saito. Makanan ini terlalu hebat untuk sarapan. Sebuah Ayam bakar besar memanggil Saito. Di tempat lain ada kue pie berbentuk ikan trout dan wine.

"Aku takkan bisa memakan semua! Aku akan mati jika aku melakukannya! Hey, nona!" dia mengguncang bahu Louise, hanya untuk mendapatkan sebuah tatapan tajam dari Louise. "Kenapa?" Tanya Saito lugu. Louise tetap mempertahankan tatapannya. "iya! Aku akan menjaga kelakukannku. Aku akan berlaku seperti bangsawan! Walaupun aku bukan bangsawan."

Louise menunjuk ke lantai, dimana sebuah mangkuk terletak di situ.

"Itu mangkuk."

"Emang."

"Nampaknya ada yang mencurigakan di situ."

Louise menopang dagunya di tangannya dan bicara.

"Kau tahu, seharusnya familiar itu di letak di luar. Kamu ini ada di sini karena aku yang memintanya."

Lalu, Saito jadinya duduk di lantai seperti orang bodoh, melihat mangkuk yang ada di depannya. Di dalamnya ada daging yang kalau dilihat saja sudah bikin nafsu makan menghilang ditambah dengan sup yang sedikit. Di pojok mangkuk tersebut ada sebuah roti yang nampaknya sangat keras.

Ia berusaha melihat ke atas meja.

Ia hanya bisa melihat makanan yang spektakuler yang terhidang di meja tersebut. Kalau di bandingkan dengan makanannya, bagaikan langit dan tanah, bertolak belakang.

"Brimir yang hebat, dan Ratu kami yang agung, kami berterima kasih atas makanan sederhana yang telah kalian berikan secara sukarela kepada kami pagi ini," Suara yang serentak dan harmonis untuk berdoa terdengar. Louise juga ikut dalam doa tersebut sambil memejamkan mata.

Bentar dulu, siapa yang memangnya dapat makanan sederhana? Saito mengeluh, sambil tetap menatap makanan tersebut. Itu mah makanan untuk pesta. Kalau memang ada yang dapat makanan sederhana, itu pasti aku. Sekarang lihat dong isi mangkok ini? Bahkan makanan ini lebih buruk dari memberi makan hewan. Ia ingin protes. Bahkan hewan di Jepang dapat makanan yang lebih baik dari ini!

Sakit hati karena di perlakukan seperti itu, ia meletakkan tangannya di meja. Hanya untuk ditampar Louise.

Saito menatap Louise dengan penuh kebencian.

"Apa yang kau lakukan?"

"Kasih aku ayam. Sedikitpun sudah cukup."

"Ugh…" Menggerutu, Louise mengoyakkan sedikit kulit ayam dan menjatuhkannya di mangkuk Saito.

"Bagaimana dengan daging?"

"Enggak, aku enggak mau membuat kebiasaan buruk."

Louise pun kembali melanjutkan makannya dengan antusias.

"Ah, sangat enak, Enak! Aku rasa aku ingin menangis," Kata Saito, saat ia mengunyah rotinya yang keras.

* * *

Kelas di Akademi sihir sama dengan Kelas yang ada di universitas. Dan seperti yang lain, semuanya terbuat dari batu. Guru yang mengajar terletak di tingkat yang paling bawah dan lantainya bertingkat seperti tangga. Saat Saito dan Louise masuk, Semua murid langsung menatap mereka.

Dan mereka pun tertawa terbahak-bahak. Kirche ada disana, sedang dikerubuti oleh para lelaki. Jadi dia memang diperlakukan seperti ratu oleh laki-laki di sini. Yah, mau bagaimana lagi. Kalau dia punya ‘yang besar’ itu, pasti semuanya mendekatinya.

Familiar-familiar di sini sangat beragam.

Salamander Kirche sedang tertidur di bawah kursinya. Ada juga murid yang memiliki burung hantu yang tidur di bahunya. Di jendela, seekor ular besar masuk ke dalam kelas. Seorang anak bersiul dan kepala ular tersebut menaikkan kepalanya. Ada juga yang punya elang dan kucing.

Tapi yang membuat Saito tertarik adalah sebuah makhluk fantasy di dunianya. Dia menjadi bersemangat. Banyak sekali hewan-hewan ajaib di sekitarnya.

Ia menemukan sebuah kadal dengan enam kaki. Itu pasti…uh… saito berusaha mengingat-ingat di game yang ia mainkan. Basilisk! Aku ingat di game. Ada juga sebuah bola mata besar melayang dengan anggun di tengah udara. Apa itu ya? Saito memutuskan untuk bertanya pada Louise.

"Monster apa itu yang punya mata aneh?"

"Seekor Bugbear."

'yang seperti gurita itu?"

"Seekor Skua." Louise menjawab dengan suara menyedihkan dan duduk. Saito duduk di sampingnya. Louise menatap Saito dengan tajam.

"apa lagi?"

"Itu tempat duduk penyihir, Familiar tidak boleh duduk di situ.”

Sambil menggerutu, Ia turun ke lantai. Sudah tak dikasih sarapan di meja, tak boleh pula duduk di situ. Tapi mejanya ganggu nih. Terserah deh, aku duduk di situ aja. Kena marah kena marah dah, Pikir Saito, dan kembali duduk di kursi.

Louise menatap tajam pada Saito lagi, namun tidak berkata apa-apa.

Pintu terbuka, Seorang guru pun masuk.

Ia adalah wanita setengah baya yang memakai jubah ungu yang berkembang dan memakai topi. Wajahnya juga menandakan ia seoang yang bersahabat.

"Apa wanita itu juga penyihir?" bisik Saito pada Louise.

"Bukannya sudah pasti?" jawab Louise.

Wanita tersebut melihat sekeliling dan bebicara dengan senyum yang hangat.

"Baik semua. Nampaknya Pemanggilan Familiar di musim semi berjalan dengan sukses. Aku, Chevreuse, selalu terhibur akan familiar-familiar baru yang muncul di tiap musim semi."

Louise menatap ke bawah.

"Hmm… kau memanggil familiar yang agak… aneh, nona Vallière," Capnya saat ia melihat Saito. Komentar itu sebenarnya tanpa maksud apapun, namun seluruh kelas tertawa terbahak-bahak.

"Louise si Zero! Jangan mengambil orang biasa dari jalan secara tiba-tiba hanya karena kau tak bisa memanggil apapun!"

Rambut Louise yang panjang terkibas saat ia berdiri. Ia meninggikan suaranya yang manis karena marah.

"Tidak! Aku melakukan semuanya sesuai dengan perintah! Yang muncul memang dia!"

"Jangan bohong! Aku bertaruh kau tak bisa menggunakan sihir ‘summon servant’ secara benar, kan?"

Semuanya tertawa kecil.

"Nyonya Chevreuse! Aku dihina! Malicorne si Flu biasa sudah menghinaku!"

Louise memukul mejanya dengan tinjunya tanda protes.

"Flu biasa? Aku ini Malicorne si Angin bertiup! Dan aku juga tidak sedang flu!"

"yah, suaramu itu menandakan kau sedang flu!"

Laki-laki yang bernama Malicorne tersebut berdiri dan menatap Louise tajam. Chevreuse menunjuk mereka dengan tongkat sihirnya dan tiba-tiba mereka berdua seperti diikat oleh tali yang memaksa mereka untuk duduk.

"Nona Vallière, tuan Malicorne. Tolong hentikan argument yang tidak berguna ini."

Louise tampaknya sangat kesal. Semua usaha perlawanan yang ia tunjukkan tadi langsung menghilang.

"Memanggil temanmu dengan Zero atau Flu biasa tidak dapat diterima. Mengerti?"

"Nyonya Chevreuse, aku hanya memanggilnya sebagai lelucon, tapi Louise menganggapnya serius."

Beberapa tawa kecil tersengar dari suatu tempat.

Chevreuse melihat sekeliling dengan ekspresi yang keras. Ia menunjuk tongkat sihirnya lagi, dan, entah dari mana, mulut murid yang tertawa tadi langsung terisi oleh lumpur merah.

"kalian mungkin akan belajar sesuatu dari hal ini."

Hal ini pasti membuat semua terdiam.

"Mari kita mulai pelajarannya."

Chevreuse batuk dengan keras dan menggerakkan tongkat sihirnya. Beberapa batu kecil muncul di atas mejanya.

"Kekuatan sihirku di sebut dengan lumpur merah. Chevreuse si lumpur merah. Tahun ini, aku akan mengajarkan kalian semua tentang sihir dari elemen tanah. Kau tahu empat element utama, Tuan Malicorne?"

"Y-Ya, Nyonya Chevreuse. Mereka adalah Api, Air, tanah dan Angin."

Chevreuse mangangguk.

"Dan juga tambahan dengan element yang hilang ‘Void’, mereka merupakan lima element. Setelah semuanya tahu, dari lima element tersebut, tanah merupakan element dengan peran terpenting. Bukan karena afinitasku adalah tanah dan juga bukan karena dari referensi sendiri."

Sekali lagi, Chevreuse batuk dengan keras.

"Sihir tanah sangat penting untuk pembentukan segala sesuatu. Jika bukan karena sihir tanah, kita takkan bisa membuat dan membentuk bahan-bahan yang berguna. Mendirikan bangunan dari batu dan juga memetik hasil bumi juga akan membutuhkan banyak tenaga. Karena itulah, sihir tanah diperlukan dalam kehidupan kita."

Oo.. Pikir Saito. Jadi dalam dunia ini, sihir sama dengan sains dan teknologi di duniaku. Aku pikir aku tahu kenapa Louise sangat bangga menyebut dirinya seorang penyihir.

"Baik, semua, tolong ingat shir dasar tanah yang bernama ‘transmutasi’. Mungkin beberapa sudah mempelajarinya di tahun pertama, jadi mari kita mengulang sebentar."

Chevreuse memalingkan wajahnya kepada batu kecil tersebut dan mulai menunjuk tongkatnya ke arah benda tersebut.

Lalu ia membacakan mantra sihir, dan perlahan batu kecil tersebut mulai bersinar.

Saat cahaya itu redup, batu tersebut telah berubah menjadi unsur yang bersinar.

"Apa itu e-emas, nyonya Chevreuse!?"

Kirche menyandarkan dirinya ke depan mejanya.

"Bukan, ini hanya kuningan biasa. Hanya penyihir segiempat yang bisa mentransmutasikannya ke dalam bentuk emas. Aku hanya…." Chevreuse kembali batuk. "Penyihir segitiga…"

"Louise." Saito mengganggunya.

"apa? Ini sedang di tengah jam pelajaran!"

"Apa maksud dari segiempat dan segitiga tadi?"

"itu adalah banyaknya element yang bisa kau tambahkan dalam sihir, juga sebagai penanda dari tingkat sang penyihir."

"huh?"

"Contohnya, kau bisa menggunakan sihir elemen tanah. Tapi bila kau menambahkan sihir api juga, kekuatan keseluruhan juga akan bertambah besar," Louise menjelaskannya dengan pelan.

"Oo.."

"Para penyihir yang bisa menggabungkan dua sihir tadi disebut penyihir garis. Nyonya Chevreuse, dapat mengabungkan tanah-tanah-api, sehingga disebut penyihir segitiga."

"Apa yang terjadi jika kau menambahkan sebuah element kepada element tadi juga?"

"Ia akan memperkuat element tadi dan menjadikannya lebih kuat dari sebelumnya."

"Baiklah, jadi dengan kata lain, kau bisa bilang guru itu sudah digolongkan sebagai penyihir kuat karena ia adalah penyihir segitiga?"

"Benar."

"berapa yang bisa kau tambahkan Louise?"

Ia tidak menjawab.

Guru mengetahui mereka sedang berbicara.

"Nona Vallière!"

"Y-Ya?"

"Tolong jangan berbicara di jam pelajaran."

"Maaf…"

"Karena kau punya waktu untuk berbicara, mungkin aku bisa memintamu untuk mendemonstrasikannya untukku?"

"eh? Aku?"

"Ya. Coba ubah batu-batu kecil ini menjadi unsure yang kamu suka."

Louise tidak berdiri. Dia masih tetap duduk dengan raut muka serba salah.

"ayo sana! Dia memanggilmu!" Suruh Saito.

"Nona Vallière! Ada masalah?"

Nyonya Chevreuse memanggilnya lagi, namun Kirche mengangkat tangannya untuk bicara. Suaranya terdengar seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu.

"um…"

"Ya?"

"Aku rasa lebih baik jika kau tidak membiarkannya melakukannya…"

"Mengapa?"

"Itu sangat berbahaya," Jawab Kirche cepat. Semua murid mengangguk setuju.

"Berbahaya? Kok bisa?"

"Ini kali pertama kau mengajar Louise kan?"

"Ya, tapi aku dengar ia pekerja keras. Nah, Nona Vallière. Jangan takut. Coba saja. Takkan terjadi apapun walaupun kau melakukan kesalahan."

"Jangan Louise!" teriak Kirche. Wajahnya pucat.

Tapi Louise berdiri.

"Aku akan melakukannya."

Dengan ekspresi gugup, ia berjalan ke depan kelas dengan cepat.

Chevreuse berdiri di samping Louise dan tersenyum.

"nona Vallière, Kau harus memvisualisasikan metal yang ingin kau transmutasikan."

Louise mengangguk dengan lucu, lalu ia mulai menggerakkan tongkat sihirnya. Dia tak pernah nampak begitu menawan saat bibirnya mulai melakukan chanting mantra - yang memang berasal dari dunia lain.

Walau mengetahui sifat aslinya, Saito terdiam takjub sejenak.

Karena sinar matahari pagi yang menembus jendela, Rambut stroberi Louise nampak berkilau dengan indah. Matanya nampak seperti permata, dan kulitnya yang putih bersih. Hidungnya pun nampak pas untuk seorang bangsawan.

Kalau saja payudaranya sedikit terisi, dia pasti sempurna - malah sangat bagus. Namun bagaimanapun manisnya dia, sifatnya betul-betul mengerikan. Lamun Saito.

Namun saat ia melamun. Semua murid yang duduk tiba-tiba sembunyi di bawah kursi dengan alasan yang tidak jelas. Apa mereka tidak melihat bagaimana manisnya Louise? ia memang tidak terkenal, malah di panggil ‘Zero’ dan dijadikan bahan tertawaan. Namun, coba lihat. Tak ada seorang gadis pun yang manisnya seperti dia. Paling yang bisa mengalahkannya hanya Kirche dalam bentuk penampilan.

Sambil menutup matanya, Louise membaca mantra pendek dan menghentakkan tongkatnya.

Lalu, tiba-tiba batu kecil itu meledak.

Louise dan Chevreuse terkena ledakan dan terpental ke papan kapur, saat semuanya menjerit. Familiar yang ketakutan menjadi tak terkendali. Salamander Kirche tiba-tiba terbangun dan berdiri dengan kaki belakangnya, menghembuskan api yang sangat besar. Seekor Manticore terbang dan memecahkan jendela untuk lari. Lalu dari lubang, seekor ular besar yang dari tadi mengintip mulai berdesis dan memakan elang seseorang. Kelas berada dalam kekacauan.

Kirche berdiri dan menunjuk Louise dengan jarinya.

"itulah mengapa aku tak mengijinkanmu melakukannya."

"Ugh, Vallière! Berikan kami sedikit waktu dan pulanglah!"

"Lucky-ku dimakan seekor ular! Lucky!"

Saito melihat keadaan sekitarnya dengan shok.

Nyonya Chevreuse tertidur di lantai; nampak dari kejangan yang masih tedapat di tubuhnya, dia nampaknya belum mati.

Louise yang mempunyai bekas terbakar mulai berdiri. Dia nampaknya sangat menyedihkan. Bajunya yang koyak menampakkan bahunya yang ramping, dan celana dalamnya nampak dari roknya yang koyak.

Namun, tetap saja ia gadis yang hebat. Bahkan ia tidak merasa bersalah atas apa yang terjadi dalam ruangan kelas. Dia mengambil sapu tangannya untuk menghapus debu di wajahnya.

"Nampaknya aku melakukan kesalahan kecil…" Katanya dengan suara kecil.

Pasti, semuanya tidak menyetujui apa yang Louise katakan.

"Itu tidak kecil!. Louise si Zero!"

"Keberhasilanmu masih dan selalu Zero! NOL!"

Saito akhirnya mengerti mangapa mereka semua memanggilnya Zero.


Mundur ke Bab 1 Kembali ke Halaman Utama Maju ke Bab 3