Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume1 Bab5

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 5 : Kirche si Ardent[edit]

Di Malam Hari Saito mempermalukan Louise di kelas dengan igauan tidurnya, Louise tanpa tedeng aling-aling melemparkan tumpukan jeraminya ke lorong.

“Apa yang kau lakukan?”

“Akan mengganggu bila aku menyusup ke tempat tidurmu lagi kan?”

Sepertinya masih dendam atas apa yang terjadi di kelas sebelumnya.”Tapi di luar sana agak dingin karena angin berembus dimana-mana.”

“Yah, tidak diragukan lagi aku akan datang dan menghangatkanmu dalam mimpimu,” kata Louise, sambil mengernyitkan alisnya. Aduh, gadis dingin ini. Dia terlihat bersemangat untuk membaut Saito tidur di luar, di lorong, tak peduli bagaimanapun juga.

Dia ambil selimutnya dan pergi keluar ke lorong. Tepat saat dia meninggalkan kamar, pintu dikunci dengan suara klik yang keras. Angin menerpa dari jendela yang terbuka, membuat Saito menggigil.

Menggumam tentang dingin itu, Saito menyelimuti dirinya dan berbaring di jerami. rasa beku dari batu lantai menusuk badannya. Ga ada pemanas lagi. Aku bakal beku. Membuatku menderita seperti ini hanya karena sebuah mimpi! Saito menendang pintu Louise. Tentu saja, tiada respon.

Saito mulai memplot balas dendamnya. Memotong karet CDnya tak lagi cukup. Saat dia berbaring menggigil di selimutnya sambil berpikir gimana dia bisa membalas satu pada gadis kecil itu...

Pintu ke kamar Kirche terbuka.

Salamandernya, Flame, merayap keluar, dengan ekor menyala yang memberikan cahaya yang hangat. Keduanya saling memandang. Si Salamander bergegas mendekat ke Saito, yang secara tak sadar mulai mundur.

“A-Apa yang kau lakukan?”

"Kyurukyuru," ia bersuara dengan nyaman. Ia terlihat tak berbahaya sebelum gerahamnya menggigit lengan baju Saito, menggelengkan kepalanya, sepertinya menginginkannya mengikutinya.

“Hei, lepaskan! Kau bakal bakar selimutku dengan apimu itu!” kata Saito pada Flame yang terus memaksa, menarik lebih keras.

Kamar Kirche tetap terbuka. Apa ia mencoba menarikku kesana? Tentu saja ia melakukannya. Aku tak berpikir Flame menarikku untuk bersenang-senang. Apa yang mungkin diinginkan Kirche dariku? Saito mencoba mencari alasannya. Mungkin dia hanya ingin menguliahiku tentang bertengkar denganm Louise. Kemudian, begitu saja, Saito melangkah ke kamar Kirche.

* * *

Kamar tersebut gelap gulita, untunglah masih ada nyala lemah dari Flame. Suara Kirche memerintah dari kegelapam,”Tutup pintunya.” Saito menurut.

“Selamat datang di kamarku.”

“Agak gelap euy disini.”

Dia mendengar Kirche menjentikkan jarinya. Dimulai degan yang terdekat dengannya, lampu menyala satu demi satu menuju Kirche seperti lampu yang melayang di atas jalan.

Diterangi cahay tipis ini, Kirche duduk di tempattidurnya, dengan pandangain khawatir di wajahnya.. dia memakai pakain dalam yang menarik, atau, hanya pakaian dalam yang tawar. Tapi ada satu hal yang pasti: disokong hanya oleh bra seksinya, buah dadanya berukuran raksasa.

“Jangan hanya berdiri disana. Datanglah padaku.” goda Kirche dengan suaranya yang paling halus. Sambil bergetar, Saito menuju ke Kirche yang tersenyum, semuanya terasa bagai mimpi.

“Duduklah.” Saito duduk di sisinya sebagaimana diperintahkan. Pikirannya dipenuhi badan “hampir” telanjang Kirche.

“A-Ada Apa ini?” Saito bertanya, agak tegang dia, Kirche hanya menatapnya sambil pelan-pelan menyibak rambut merah menyalanya. Di bawah cahaya lampu yang agak muram, kulit coklat Kirche terlihat erotis nan liar, seperti hendak menangkap Saito dalam jaringnya.

Kirche mendesah panjang dan menggelengkan kepalanya penuh kekhawatiran.

“Kau pasti berpikir aku wanita rendah yang kotor.”

“Kirche?”

“Dianggap seperti itu tak bisa dihindari. Kau mengerti? Nama runeku adalah “Ardent.”

“Aku tahu itu.”

Belahan di celah branya sangat seksi…

“Nafsuku terbakar bagai jerami…Karena itu aku tiba-tiba memanggilmu kesini. Apa kau tahu? Bukankah ini bagian diriku yang terburuk?”

“Tentu saja itu buruk.” Saito terlihat ragu-ragu dan hanya mengikuti arus. Dia tak pernah mendapati seorang gadis asing membicarakan hatinya pada dirinya seperti ini, jadi dia agak tegang.

“Tapi…Kuyakin kau akan memaafkanku.”

Kirche menatap Saito dengan mata yang berkaca-kaca. Setiap lelaki akan menunjukkan insting paling primitifnya setelah menatap mata seperti ini.

“Me-memaafkan apa?”

Kirche tiba-tiba meraih tangan Saito, menggenggamnya dengan telapak tangannya yang hangat sebelum mengelus melalui setiap jari, mengirimkan kejut melalui tulang belakangnya.

“Mencintaimu, sayangku. Untukmu, cintaku datang begitu saja.”

“Yeah, Itu tiba-tiba kan!” Pikiran Saito kusut. Dia pasti bercanda, Meski begitu, wajah Kirche terlihat serius.

“Aksimu mengalahkan Guiche…begitu…Keren…seperti pahlawan dari legenda. Aku…Sejak aku melihatmu, aku telah jatuh cinta. Apa kau percaya? Aku tertarik padamu hanya karena itu! Kehendak! Oh, ini adalah Cinta yang sangat membara!”

“Ke-kehendak...huh?Uh…”

“Nama runeku, ‘Ardent’, penuh dengan kehendak juga. Aku telah menulis lagu-lagu cinta sejak hari itu! Kidung-kidung Cinta! Hanya untukmu…Saito. Kau muncul di mimpiku setiap malam, Jadi aku suruh Flame untuk melihat keadaanmu…oh, aku sangat malu, Kau pasti berpikir sama kan? Tapi itu semua karenamu!”

Saito hanya duduk disana, kehilangan kata-kata.

Kirche menyangka diamnya sebagai maunya, dan perlahan, dengan mata terttup, menghampiri Saito dengan bibirnya. Seksi sekali, maksudku…Louise menarik juga. Tapi kalau dalam keseksian, dia bukan lawan Kirche. Meski Louise sangat lucu, bagian itu hanyalah kulit luarnya saja. Tetapi, Saito mendorong bahu Kirche menjauh. Karena dia merasa akan ditimpa hal buruk jika diteruskan.

Kirche melihat Saito dengan muka heran, sepertinya menanyakan”Kenapa?”, Saito memalingkan pandangannya dari tubuhnya.

“Em…dari yang kau bilang…”

“Hmm?”

"Kau…terlalu gampang jatuh cinta.” Saito bersuara, menembak titik lemah Kirche. Wajahnya memerah seketika.

“Yeah…sepertinya aku memiliki…lebih banyak kehendak dari yang lain. Itu sudah sifatku. Cinta itu kilat, dan ia begitu cepat membakar tubuhku…”

Tepat saat itu, suatu suara dari luar jendela menginterupsi.

Seorang playboy ganteng melihat ke dalam tak senang.

“Kirche…Aku dating untuk mengecek kenapa kau tak disana tepat waktu…:

“Berisson! Kita bertemu dua jam lagi kalau begitu!”

“Itu bukan yang kita sepakati! Mereka ada di lantai 3, sepertinya Berrison ini melayang di udara dengan suatu mantra sihir.

Kirche langsung mengeluarkan tongkatnya dari antara buah dadanya, dan mengayunkannya tanpa melihat dia. Api menyembur dari lampu terdekat dan terbang ke arah Berisson di jendela bagaikan ular.

“Dasar burung hantu, ngeganggu aja.”

Saito menonton dalam keterkejutannya

“Eh…Kau tak mendengar semua itu kan?”

“Uh…Siapa tadi?”

“Hanya teman. Bagaimanapun juga…sekarang ini, Cinta terdalamku yang paling membara hanyalah kau, Saito…”

Kirche menghampirinya dengan bibirnya lagi. Saito tak menggerakkan satu otot pun, sepertinya ada keinginan tak tertahan yang merasukinya.

Lagi-lagi, saat itu diinterupsi lagi.

Seorang lelaki bermata tajam menatap isi kamar dengan wajah sedih.

“Kirche! Siapa orang ini? Bukankah kau akan menghangatkan malam denganku?”

“Styx! Bagaimana kalau 4 jam lagi?”

“Siapa orang itu, Kirche?”

Si Styx ini mulai marah, dan begitu dia hendak memasuki ruangan, Kirche mengayunkan tongkatnya lagi. Api terbang dari lampu lagi, mengenai lelaki tersebut, dan emngirimnya ke tanah.

“…Itu temanmu juga kan?’

“Teman…em, katakana saja aku baru mendengarnya. Oh baiklah, aku tak ingin membuang waktu kita. Siapapun yang mengatakan’malam masih panjang’ tak tahu betapa cepatnya matahari terbit.”

Kirche mendekati Saito lagi. Tapi sekali lagi, sebuah teriakan terdengar dari jendela. Saito menoleh tak sabar.

Tiga pria tengah melihat kedalam, dan mengatakan hal yang sama bersamaan.

“Kirche! Siapa itu?! Kau bilang kau tak punya pacar!”

“Manican! Ajax! Gimli!”

Oh wow... Lima orang berbda menunjukkan diri. Saito terkesan dengan ini.

“Yah…Kalau begini enam jam lagi,” Kirche mengayun tak acuh.

“Itu pagi!!!”Ketiganya berkata serentak.

“Flame” Kirche dengan gayanya yang biasa memerintahkan salamandernya, yang tengah tertidur di sudut. Flame mengirimkan sebuah tembakan pada ketiga pria di jendela, dan mereka jatuh bersama-sama ke tanah. “dan mereka adalah…?”

“Mereka? AKU BAHKAN TAK TAHU SIAPA MEREKA. Tapi dari itu semua, aku mencintaimu!” Kirche memegang wajah Saito dengan tangannya dan langsung mengarah bibirnya.

“N...nhhhh...”

Saito panik. Ciuman Kirche terasa tak aneh, tapi penuh bara . Saito tidak melawan ketika dibaringkan ke tempat tidur.

Tepat saat itu…

Kali ini giliran pintu. Seseorang menendangngnya hingga terbuka.

Saito piker itu pria lainnya. Tapi dai salah. Dengan memakai pajama tipisnya. Louise berdiri dan menatap mereka berdfua dari lorong.

Kirche mengarahkan pandangannya kepada Louise, namun Bibirnya tetap mengunci Saito. Louise dengan aura membunuhnya menuju Kirche dan saito, menjatuhkan beberapa lamdu saat maju. Tangan Louise bergerak lebih cepat dari mulutnya, Lebih mengesankan lagi, kakinya bergerak lebih cepat dari tangannya.

“KIRCHE!” Louise berteriak ke arah Kirche. Kirche bersikap seakan baru menyadari kehadirannya, dan dengan perlahan melepaskan diri dari Saito, sambil mengayunkan tangannya tak acuh.

“Tak bisakah kau lihat kami sedang sibuk saat ini, Vallière?”

“Zerbst! Kau piker familiar siapa yang kau sentuh?”

Saito dalam kebimbangan. Mata coklat Louise terbakar nyala amarah.

Kirche mengangkat tangan di atas kepala. Terjepit, Saito hanya bisa panic. Sepertinya membiarkan situasi berkembang hingga Kirche menciumnya membuat Louise luar biasa marah.

“Cinta dan api adalah tujuan keluarga Zerbst. Ia adalah takdir yang membakar hingga ke dalam tubuh kami. Adalah tujuan hidup kami untuk memeluk nyala penuh kehendak ini. Kau seharusnya tahu itu.” Kirche berucap, sementara Louise gemetar karena amarah.

“Kesini, Saito.” Louise menatap familiarnya.

“Oh? Louise…dia memang familiarmu, tapi dia juga punya keinginannya sendiri juga, bukankah begitu? Mohon untuk menghormati pilihannya.” Kirche berkata dari samping.

“Di-dia benar! Dengan siapa aku barengan adalah urusanku!” Saito menambahkan.

“Oh, tiada masalah dengan itu. Tidakkah kau lihat seberapa baik dia di Vestri Court?” Louise mengibaskan tangan kanannya.:Hmph…jadi keahlian berpedangnya memang bagus, tapi itu tak berarti apa-apa saat dia diserang bola api dari belakang dan topan dari depan.”

“Tidak masalah! Aku akan melindunginya” Kirche member Saito pandangan yang “panas” Meski begitu, karena kata-kata Louise, Saito memikirkannnya sekali lagi. Jika para cowok yang tadi mengunjungi kita dari jendela menemukan tentang diriku, mungkin mereka akan menyerangku. Kirche takkan bisa melindungiku sepanjang waktu, meski dia katakana dia akan. Itu satu dan Kirche juga seringkali berubah pikiran. Dia akan bosan melindungiku dalam sekejap. Setelah memikirkannya masak-masak, Saito dengan enggan bangkit.

“Aww...apa kau pergi cepat? Kirche dengan sedih memohon pada Saito, dengan rambutnya tersebar pada punggungnya, dan matanya yang berkerlap-kerlip terlihat sakit dan berkaca-kaca. Kirche merupakan kecantikan yang membuat ketagihan…Jika seorang gadis sepertinya menempel padaku, appa peduliku jika aku dihantam sihir kanan-kiri? Pikir Saito liar.

“Itu taktiknya yang biasa! Jangan sampai dikibuli olehnya.” Louise menarik tangan Saito dan melangkah keluar.

* * *

Kembali ke kamarnya, dia menutup pintu dengan kesunyian yang mencekam, dan menghadap Saito. Memaksakan menggigit bibirnya, dia mengirimkan tatapan membunuh pada Saito.

“Seperti anjing sesat saat bergairah…” Suaranya bergetar. Tangan Louise bergerak lebih cepat dari mulutnya, dan kakinya lebih cepat dari tangannya. Sepertinya suaranya bakal jadi lebih bergetar. Amarah memenuhi wajahnya.

“A-apa sekarang?”

“Aku hampir memandangmu sebagai manusia. Sepertinya aku salah.”

“Kau bercanda kan?” Yap, memandangku sebagai manusia? Itu bohong bagaimanapun aku memikirkannya.

“Dan kau pergi menggoyangkan ekormu pada penyihir Zerbst itu…” Louise meraih sesuatu dalam lemari di mejanya. Sebuah cambuk.

“Uhh..,putri…” saito mulai bersuara.

“Anjing mesti diperlakukan seperti anjing. Aku terlalu lembut padamu.”

“Tapi mengapa cambuk?” pandangan Saito tertuju pada cambuk di tangan Louise. Ia dibuat cukup baik.

“Aku sampai bertindak terlalu jauh dengan menggunakan cambuk kuda padamu, Kau hanyalah anjing.”

“Seekor anjingkah?”

Louise mulai mencambuk. Wutt. Ctar-ctar~!

“Auw! Sakit tahu! Hentikan, Bodoh!”

“Apa? Bagaimana mungkin gadis itu lebih baik? Apa yang baik sih darinya?” Louise berteriak sambil mencambuk.

Saito menyadari sebuah celah, dan menggenggam tangan Louise. Dia berontak, tapi kekuatan seorang wabita tidaklah cukup. Saito menjaga kunciannnya pada pergelangan, dan kemudian dia berhenti.

“Ahh! Lepaskan, Bodoh!”

“Apa kau…” Saito menggali Louise. Mata coklat ditatap balik. Dari dekat, siapapun bisa melihat wajah yang tak tersentuh.

Kirche mungkin cantik, agak seksi, Tapi Louise bagaikan kanvas kosong. Tiada setitikpun noda…Sebuah kanvas nan bersih. Hanya saja karakternya agak-agak…Tidak peduli bagaimanapun Saito mengatakannya, dia lebih menyukai Louise. Jantungnya mulai berdetak dalam 16 nota. Apa dia cemburu? Apa dia menyukaiku? Di mata Saito, berpikir seperti ini membuat Louise terlihat lebih lucu, Dengan memperhitungkan segalanya, Saito selemah Kirche dalam percintaan.

“Apa kau cemburu? Apa kau menyukaiku?” kata saito. “Apa kau marah karena aku tak tidur denganmu dan pergi dengan Kirche dan melakukan semua itu? Oh, aku tak menyadarinya. Aku minta maaf.” Dia merendahkan kepalanya, dan mengangkat dagu Louise.

“Aku piker kau tak jelek juga. Lihatlah, saat kau membantu membalutku, kau benar-benar…”

Bahu Louise bergetar.

“…Aku seharusnya menuju dirimu karena aku lelaki. Mala mini, aku akan tidur di tempat tidurmu, jadi kau tak perlu datang ke tempatku.”

Kaki kanan Louise tiba-tiba bergerak bagaikan angin, dan menghantam saito diantara kaki.

“......ahhh....ohhh.......” Saito tumbang pada lututnya, badannya dibasahi keringar dingin. Oh…itu sakit. Aku piker aku akan mati, Itu BENAR-BENAR sakit.

“Suka? Aku…lakukan…padamu?”Louise dengan marahnya menginjak kepalanya.

“Apa aku salah?’

“Tak diragukan lagi!” dia melanjutkan injakannya.

“Ba-Baiklah…Aku salah…”

Louise duduk di kursi, menyilangkan kaki, napasnya masih memburu. Setelah dengan ganasnya menyiksa Saito selama beberapa saat, emosinya tampak sedikit stabil.

“Tentu saja…Kau bisa kencan dengan siapapun yang kau pilih. Tapi, tak peduli bagaimanapun juga, kau tidak boleh kencan dengan wanita itu.”

“Ke-kenapa?” Saito berguling kesana kemari seakan untuk mengecilkan nyerinya.

“Satu, Kirche bukan orang Tristain; dia ningrat dari negri jiran Germania. Hanya dengan itu saja, kencan dengannnya sangat tak bisa diterima. Aku benci orang Germania.”

“Bagaimana kau harapkan aku untuk tahu hal-hal seperti ini?”

“Keluargaku, Vallière, memiliki estates di tapal batas Germania, jadi kami yang pertama ada di medan untuk melawan Germania bilamana perang berkobar. Lebih buruk lagi, tepat di sebrang kami di tapal batas itu adalah tempat kelahiran Kirche.” Louise menggigit giginya keras. “Jadi pada dasarnya, keluarga Zerbst adalah musuh sejati kami.”

“Dan mereka mengatakan diri mereka sebagai keluarga yang penuh kehendak.’

“Hanya keluarga rendahan yang tak berharga, Kakeknya kakek Kirche mencuri cinta kakeknya kakekku! Itu sekitar 200 tahyn lalu.”

“Itu sudah lamaaaa sekali.”

“Sebagai tambahan, Zerbst itu selalu menyengat Vallière. Tunangan kakeknya kakekku dicuri karenanya.”

“Huh?”

“Kakeknya kakekku! Istrinya terambil begitu saja.”

“OK, apapunlah…jadi pada dasarnya, ini semua terjadi karena keluargamu kehilangan seorang cinta pada keluarga Kirche?”

“Tak hanya itu. Kami tak bisa menghitung berapa anggota keluarga kami yang hilang dari perang yang terjadi.”

“Aku hanyalah familiar rendahan…aku tak begitu berharga untuk dicuri.”

“Tidak. Aku takkan membiarkan Kirche burung seekorpun. Aku akan mempermalukan leluhurku kalau itu terjadi.” Dengan itu, Louise menuangkan segelas air, dan meneguknya dalam satu tegukan. “Itulah kenapa Kirche terlarang.”

“Leluhurmu tak ada hubungannnya denganku.”

“Tentu saja mereka punya! Kau familiarku kan? Sepanjang kau makan dari keluarga Vallière, kau akan menurutiku.”

“Familiar ini, familiar itu…” Saito berkata tak jelas pada Louise.

“Kau punya masalah dengan itu?”

“Tidak, karena aku tak bisa hidup bila tidak kulakukan apa yang kau ucapkan, Jadi aku harus menjalaninya…” Saito menutup bibirnya ke atas, dan duduk di lantai dengan sebuah gubrakan.

“Dan kupikir kau harus berterima kasih padaku?”

“Berterima kasih untuk apa?”

“Jika berita seorang jelata menjadi cinta Kirche beterbangan, apa kau piker kau bakal bertahan?” Saito ingat para pria yang dihush Kirche, dan ditepak bagai lalat ke tanah…jika itu adalah aku…Apa ya rasanya? Saito juga mengingat pertarungannya dengan Guiche, dan bulu kuduknya berdiri.”

“...Louise.”

“Apa?”

“Berikan aku sebuah pedang. Sebuah pedang.” Saito ingin melindungi dirinya sendiri.

“Bukankah kau punya satu?”

“Bagaimana mungkin? Yang terakhir itu dari Guiche.”

Louise menyilangkan tangannya.’Apa kau seorang ksatria berpedang?”

“Tidak…Aku tak pernah memegang pedang sebelumnya.”

“Tapi kau terlihat begitu alami dalam pertarungan itu.”

“Tetap saja…”

“Hmmm…”Louise berpikir keras.

“Apa?”

“Aku dengar para familiar mendapatkan kekuatan khusus ketika kontrak dibuat.’

“Kekuatan khusus?”

“Yap…seperti saat seekor kucing hitam menjadi familiar…”Louise mengangkat jari telunjuknya sambil menjelaskan.

“Uh-huh...”

“Ia mendapatkan kemampuan untuk berbicara kepada orang.”

“Tapi aku bukan kucing.”

“Aku tahu. Masalahnya…manusia menjadi familiar adalah sesuatu yang tak pernah terdengar sebelumnya, jadi tak mustahil kau bisa begitu saja mengambil sebuah pedang dan menggunakannya secara alami.”

“Huh…”Aku tak hanya menggunakannya secara alami. Tubuhku terasa ringan dan cepat bagai bulu. Di samping itu, patung-patung Guiche terbuat dari perunggu. Tak mungkin kau bisa membelah logam sebegitu mudahnya, tak peduli seberapa ahli berpedang seseorang.

“Jika itu sebegitu mengagumkan, kita harus menanyakan academia Tristain.”

“Akademia?”

“Yap, ia merupakan agen riset sihir Royal Court.”

“Apa yang akan mereka lakukan padaku untuk penelitian?’

“Ah…bermacam-macam eksperimen. Seperti…otopsi.”

“Kau pasti bercanda.” Saito bangkit. Percobaan pada manusia? Tidak, terma kasih!

“Jika kau berpikir itu memuakkan, jangan menyebarkan’menggunakan sebuah pedang seperti ahli seketika’ kemana-mana tanpa alasan yang jelas.”

“Aku mengerti. Kita bisa diam soal itu.” Saito mengangguk dalam ketakutan.

“Ah... aku tahu sekarang…”Louise mengangguk dalam kepahaman.

“Ada apa?”

“Aku akan membelikanmu sebuah pedang.”

“Oh?” Wah, ini tiba-tiba nih.Louise selalu kikir.

“Kau takkan pernah punya cukup nyawa bila Kirche telah mengejarmu. Kita yang mendatangkannya, jadi kita harus mengurusnya.”Louise berucap lemah.

“Jarang-jarang nih…”

“Apa?”Louise menatap Saito.

“Aku kira kau seorang yang kejam. Kau bahkan mencak-mencak soal makananku.”

“Aku tak bisa membiarkan seorang familiar terbiasa dengan kemewahan. Ia membuat kebiasaan buruk. Jika ia mutlak perlu, aku akan membelinya. Aku bukanlah orang yang kikir.” Louise berkata dengan bangga.

“Huh?!”

“Sekarang kau mengerti, tidurlah. Besok adalah hari void, jadi aku akan membawamu berbelanja.”

Oh…jadi dunia ini punya minggu juga. Saito berpikir sambil bergerak menuju lorong.

“Kau kemana?”

‘Kemana? Ke lorong.”

“Tak apa-apa. Kau bisa dtidur di kamarku. Akan menjadi masalah bila Kirche merebutmu lagi.” Saito memandangi Louise.”Kau benar-benar…”

Louise baru hendak mengambil cambuknya lagi saat Saito berhenti, merebahkan diri ke tempat tidur jeraminya, dan menyelimuti dirinya dalam selimut. Dia melihat lagi tanda di tangan kirinya.

Sebagai pencerah, ini membantuku mengalahkan Guiche, membuat Kirche tergila-gila padaku, dan membuat Louise membelikan pedang untukku. Apalagi yang akan dibawanya untukku ya? Selama dia berpikir, kantuk menyerangnya. Sebuah hari yang panjang…begitu itu terlintas di benaknya, Saito jatuh tertidur lelap.


Mundur ke Bab 4 Kembali ke Halaman Utama Maju ke Bab 6