Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume2 Bab6

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

BAB 6: Negeri Putih

Setelah yakin Saito dkk pergi, Kirche memerintahkan Guiche,” Sekarang, ayo mulai. Guiche, ada pot berisi minyak di dapur kan?”

“Maksudmu pot penggorengan itu?”

“Ya. Bawa mereka kesini dengan golemmu.”

“Tak masalah.” Guiche bersembunyi di belakang meja, mengayunkan mawarnya yang merupakan tongkatnya. Kelopaknya berjatuahan pelan dan ksatria wanita dari perunggu muncul dari tanah. Para golem menuju dapur, meski panah-panah menyasar mereka. Kepala panah besi bertemu dengan perunggu lunak, yang menyebabkan patung-patung tersebut bergoyang. Guiche tertawa, begitu patung-patung akhirnya mencapai dapur dibelakang konter, dan membawa pot penggorengan.

“Bisakah kau melemparkannya ke jalan masuk?” Kirche berdandan sambil melihat cermin saat berbicara.

“Kau berdandan, sekarang?” kata Guiche, dengan wajah terkejut, tapi tetap memerintahkan patungnya untuk melemparkan pot ke jalan masuk sebagaimana dia diperintahkan. Kirche menyiapkan tongkatnya dan bangkit.

“Karena sebuah adegan akan dimulai, dan sang tokoh wanita utama tak punya riasan…”

Dia mengayunkan tongkatnya pada minyak, yang tumpah di udara.

“…bukankah itu akan memalukan?”

Sihir Kirche menyalakan minyak, menyebarkan nyala api ke seluruh Kuil Dewi, membuat suara nan keras. Dalam sekejap, segrup bayaran yang tengah menyerbu, langsung mundur karena api yang tiba-tiba. Kirche dengan genit menyanyikan sebuah mantra, dan mengayunkan tongkatnya lagi. Nyala api makin mengamuk, menyebar pada bayaran di jalan masuk, melingkupi mereka dan menyebabkan mereka berguling kesakitan. Kirche berdiri dan dengan elegan menyibakkan rambutnya sebelum mengangkat tongkatnya. Meski seluruh panah tertuju padanya, sihir angin Tabitha mementahkan mereka semua.

“Wahai para bayaran yang tak tahu sopan-santun, meski aku tak tahu mengapa kalain menyerang kami.”Kirche tersenyum dan membungkuk di tengah hujan panah,” Izinkan aku, Kirche sang Ardent, dengan anggunnya menjadi lawan kalian!”. --- Sambil duduk di bahu golem tanah raksasanya, Fouquet menggigit bibirnya kesal. Grup yang diperinyahkannya menyerang langsung kembali dalam keadaan bingung setelah dikelilingi api. Dia menoleh pada ningrat bertopeng berkudung yang duduk di sebelahnya."Aduh. ribut hanya karena api segini...sewaan memang tak bisa diandalkan."

"Itu sudah cukup."

"Tapi kau tak bisa kalahkan mereka dengan ini!"

"Tak apa-apa jika mereka tak bisa. Yang perlu mereka lakukan hanyalah memisahkan mereka."

"Meski kau berkata begitu, Aku takkan membiarkannya begini. Aku dihinakan begitu rendah karena mereka."

Si pria berkudung tak menjawab, malah berdiri seolah tak mendengar apa-apa, dan berbicara pada Fouquet,"Baiklah, aku akan pergi mengejar gadis Valliere itu."

"Lalu apa yang harus kulakukan?" jawab Fouquet, terkejut.

"apapun yang kau suka. Bakar atau masak yang tersisa, terserahlah. Kita akan bertemu di restoran yang biasa." Dia melomp[at turun dari bahu golem, lalu menghilang di kegelapan malam bagai angin tengah malam, lembut dan menusuk.

"Sssh...orang yang terlalu meremehkan. Tak bisa mengatakan padaku apa yang dipikirkannya." Fouquet berbicara pelan dalam kesal.

Erangan datang dari orang-orang di bawah. Angin kuat berhembus dari dalam kuil, menyebarkan dan menguatkan api yang tak kenal ampun. Bahkan para pemanah yang bersembunyi dalam gelap merasa terbakar.

Fouquet berteriak pada yang di bawah, "Ya ampun, cukup! Kalian semua tak berguna! Minggir!"

Sang golem bangkit dengan suara menggelegar, dan menuju jalan masuk, terus meninju sambil terus masju.

---

Kirche dan Tabitha mengontrol api di ruangan, memaksa para bayaran tersiksa di luar sana. Sekelompok pemanah juga kabur karena api yang disebarkan angin Tabitha, meninggalkan busur mereka di belakang.

“Ohhhhohohohoho! Oho! Ohohoho!” Kirche tertawa penuh kemenangan."kalian lihat? Kalian mengerti? Kekuatan apiku! Jika kau tak ingin terbakar, lebih baik kalian pulang sekarang! Ahahaha!"

"Baiklah, giliranku!" Setelah membuat penampakan kesiangan, Guiche menyasar musuh yang mundur di antara celah api dengan mantra Valkyrienya...

Dengan suara keras nan menggelegar, gerbang masuk dan yang berada di dekatnya menghilang.

"Eh?"

Seekor golem raksasa muncul dari debu yang beterbangan, dan dengan mudah menendang patung-patung Guiche.

"Oh, aku lupa/ Si wanita tangguh masih disini." Kirche berkata pelan, menjulurkan lidahnya keluar.

'Jangan senang dulu anak-anak! Kalian akan kuhabisi!" Teriak Fouquet penuh kemarahan sambil berdiri di bahu golem.

"Apa yang kita lakukan sekarang?" Kirche menoleh ke arah Tabitha. Temannya membuka lengannya dan menggelengkan kepalanya.

Guiche melihat lekat pada golem raksasa itu, dan tenggelam dalam kepanikan, dan berteriak, "Semuanya! Serang! Aku katakan, SERANG! Sekarang waktunya mereka melihat jiwa dari seluruh bangsawan Tristain! Lihat aku, Ayah! Guiche akan menjadi seorang laki-laki!"

Tabitha menahan kakinya dengan tongkatnya, membuatnya terjatuh ke tanah.

"Apa yang kau lakukan?! Biarkan aku jadi laki-laki! Dengan nama yang mulia Putri, jadikan mawarku gugur disni!"

"Baiklah, kita harus pergi."

"Tidak! Aku takkan lari!"

"...Kau tahu, kau benar-benar jenis yang akan mati pertama di pertempuran apapun/"

Tabitha memandangi golem yang mendekat dan tiba-tiba tampak mendapat ide. Dia lalu menarik lengan baju Guiche.

"Apa?"

"Mawar." tabitha menunjuk pada mawar imitasi Guiche sambil membuat gerakan mengayun."Banyak, kelopak."

"Apa yang kau inginkan dengan kelopak-kelopak itu?!" teriak Guiche, yang langsung ditarik telinganya oleh Kirche.

"Lakukan saja yang dibilang Tabitha."

Guiche mengayunkan tongkat mawarnya dengan enggan, menerbangkan lautan kelopak di udara. Tabitha menyanyikan sebuah mantra. Dibawah arahan angin, kelopak-kelopak menempel pada golem.

"Dan apa yang dilakukan kelopak-kelopak yang menempel di sekujur tubuh golem?! Indah memang!" Teriak Guiche balik.

Tabitha langsung memerintah Guiche."Alkemi."

Di bahu golem, Fouquet yang melihat ciptaannya ditempeli kelopak, mengeluh tak senang,"Apaan ini? Sebuah hadiah? Aku takkan membiarkan kalian meski kalian menghiasi golemku dengan kelopak!"

Si golem mengangkat kepalannya, dan membubukkan meja yang melindungi Kirche, Tabitha dan Guiche dalam sekali pukul. Tepat saat itu, kelopak-kelopak yang menempel berubah menjadi cairan. Bau minyak terhirup olehnya. Sebagai Ahili dalam unsur tanah, Fouquet langsung tahu alasannya. Sebuah mantra yang dikenal sebagai "Alkemi".

Mereka baru saja menggunakan "Alkemi" untuk merubah kelopak di golem menjadi minyak. Dia sudah terlalu terlambat untuk mengenali apa yang salah. Bola api Kirche sudah mengarah pada golemnya. Dalam sekejap, golem raksasa itu sudah diliputi api. Tak mampu menahan panas dan nyalanya, si golem berlutut. Melihat penyewa mereka diambang kekalahan, para bayaran kabur bagaikan laba-laba. Kirche, Tabitha, dan Guiche saling berpelukan dalam kegembiraan.

"Kita bisa! Kita menang!"

"A...Aku menang dengan alkemi! Ayah! Paduka! Guiche telah dewasa!"

"Itu semua berkat rencana Tabitha!" kata Kirche sambil menepuk kepala Guiche.

Fouquet yang tersembunyi berdiri di depan golemnya yang terbakar."Be..Beraninya kalian...kalahkan aku, Fouquet, dua kali, dengan sihir tanah..." Dia terlihat pilu. Dengan rambut panajang indahnya yang terbakar, jubah yang berlubang dimana-mana, dan wajahnya hitam gosong, kecantikannya telah pergi.

"Aha, itu riasan yang bagus. Kau tahu, nona, riasan berat semacam ini cocok sekali! Maksudku...Kau sudah cukup tua!" Begitu Kirche selesai, diayunkan tongkatnya pada Fouquet. Namun, tampaknya dia sudah menghabiskan energinya pada seluruh mantra di pertempuran tadi. Tiba-tiba, sebuah api lemah menyembul, lalu menghilang dalam sekejap.

"Eh? Sampai sinikah?" Kirche menggaruk-garuk kepalanya.

Tabitha dan Guiche tampaknya mengalami hal yang sama. Tapi tidak dengan Fouquet. Dia tak mencoba sihir apapun, dan langsung menuju lurus pada mereka.

"Tua?! Nona, aku baru 23!" Fouquet mengencangkan kepalannya, dan meninju Kirche, yang membalas dengan cara sama tanpa keraguan. Dan keduanya berlanjut berkelahi yang sangat tidak mencerminkan mereka. Tabitha duduk, dan tanpa memperhatikan sama-sekali perkelahian di depannya, mulai membaca. Guiche menonton kedua wanita cantik berkelahi dengan wajah yang sedikit memerah. Dia tampak beda dengan bajunya yang robek dimana-mana. Sambil menonton dari jauh, para bayaran mulai bertaruh pada perkelahian itu.

---

Bersamaan dengan perkelahian Kirche dan Fouquet, Saito dkk lari menuju pelabuhan, jalan mereka diterangi bulan nan terang. Wardes lari menuju tangga panjang sebuah bangunan, dan mulai mendakinya.

"Bukankah kita menuju sebuah "pelabuhan"? Mengapa kita mendaki bukit? tanya Saito. Wardes tak menjawab.

Setelah mendaki tangga yang tak berujung, mereka sampai di puncak sebuha bukit kecil. Saito mencoba menangkap apa yang tampak di depannya. Ada pohon besar, bercabang ke segala arah, ukurannya segunung. Seberapa tinggi? Malam menutupi puncaknya, tapi tentu dia tinggi sekali. Saito melihat pohon seakan-akan itu Menara Tokyo. Lalu...kalau dilihat baik-baik pada cabangnya, pohon itu tampak memegang sesuatu yang bahka lebih besar. Sebuah buah besar? Dia salah. Itu sebuah kapal. Ia tampak bagaikan Zeppelin, tersangkut di pohon.

"Ini pelabuhannya? Dan...itu kapalnya?" tanya Saito terkejut.

Louise menjawab keheranan."Ya...bukankah duniamu juga begitu?"

"Pelabuhan dan kapal, semuanya di air dalam duniaku."

"Jika ada kapal yang berlayar di air, maka ada juga yang berlayar di udara." kata Louise bersabda.

Wardes berlari menuju akar pohon, yang sebesar dan selenggang lobby pencakar langit. Mungkin mereka menggali dari pohon yang mati untuk membuatnya. Kini malam, jadi mereka tak melihat siapa-siapa. Di antara satuan tangga, ada panel logam, dengan tulisan di atasnya. Mungkin tanda stasiun atau semacamnya, pikir Saito.

Wardes mulai mendaki tangga didepannya. Satu satuan tangga saling terhubung dengan yang lain. Ada pengikat dan penguat, tapi tetap saja mereka terlihat berbahaya. Bisa terlihat cahaya La Rochelle di celah antara tiap satuan tangga. Di sebuah warung peristirahatan, Saito mendengar langkah kaki di belakang mereka. Dia menoleh, dan sebuah bayangan melompatinya dan mendarat di belakang Louise. Ia sang topeng putih di golem Fouquet.

Saito meraih pedangnya dan berteriak,"LOUISE!"

Louise berbalik dan si topeng menangkapnya dalam sekejap.

"Ahhh---!" Louise berteriak. Saito mengangkat pedangnya. Tapi jika sembarangan mengayun, aku akan mengenai Louise. Pria tersebut membawa Louise dan melompat bagaikan seorang akrobat, tubuhnya bergerak sesuai keinginannya. Saito berdiri tegak. Disampingnya, Wardes mengayunkan tongkatnya. Si Topeng, seperti Saito tadi, diterbangkan, terpukul oleh palu udara Wardes, dan melepaskan Louise. Dia mendapatkan pegangan, tetapi Louise jatuh ke tanah.

Dalam sekejap, Wardes meloncat dari lantai, dan jatuh menuju Louise bagaikan elang. Dia berhasil menangkapnya lalu melayang di udara sambil menggendongnya. Si Topeng berayun dan melompat ke lantai, menghadapi Saito. Penampakannya tak berbeda jauh dari Wardes. Diraihnya tongkat dari lingkar perutnya. Tongkat yang hitam. Setelah meyakinkan diri Louise aman. Saito pasang kuda-kuda, mengingat pertarungannya dengan Wardes. Mengayun tanpa pikir panjang tentu berbahaya, tapi tak bisa ditebaknya sihir apa yang akan digunakan lawannya.

Pria itu mengayunkan tongkatnya, udara diatasnya mulai membeku. Udara dingin menusuk kulit Saito. Apa yang dilakukanya?

Dia melanjutkan dengan membaca sebuah mantra. Saito mengangkat pedangnya, tapi Derflinger berteriak, "Tahan rekanku!"

Begitu Saito bertahan, udara bergetar, ada sebuah gemuruh. Kilat muncul dari pria tersebut dan mengenai Saito langsung.

"'Awan Kilat'!" teriak Derflinger, dia kenal sihir ini. Sebuah arus kuat menerpa tubuh Saito dan menjatuhkannya dari lantai.

"Gaaaah---!" Saito berteriak kesakitan. Pergelangan kirinya terasa terkorek dan terbakar bagaikan tersentuh besi panas membara. Angin kuat tadi meninggalkan jejak, membakar pakaiannya. Dia pingsan karena kesakitan dan kejutan.

Wardes yang tengah memeluk Louise membacakan mantra 'terbang', yang mendaratkan Saito dengan selamat di tanah.

"Saito!" teriak Louise yang melihat familiarnya jatuh. Wardes menggigit bibirnya, menghadap pada si Topeng, dan mengayunkan tongkatnya. Itu palu udara. Udara di sekitarnya memadat menjadi balok tak terlihat, lalu menghantam si Topeng. Dia jatuh dari ketinggian menuju tanah.

Louise berontak melepaskan diri dari pelukan Wardes dan berlari menuju Saito. Amukan dari arus terus membakar tangan kiri Saito yang memegang pedangnya, dari ujung baju hingga sikunya. Dengan panik dia menempatkan telinganya di dada Saito. Jantungnya berdetal, dan dia bernapas lega. Dia kena arus kelas berat, tapi sepertinya dia selamat, dan mengerang kesakitan.

Saito membuka mat, dan bangkit dalam kesakitan."A-Apa...Orang itu...tapi, sakit...gah!"

Derflinger bicara serius,"Itu 'Awan Kilat'. Sihir angin yang sangat kuat. Orang itu tampaknya ahli."

"Ah! Ugh!" Wajah Saito memperlihatkan sakitnya.

Wardes memperhatikan kondisi Saito. "Tapi dia beruntung selamat. hanya pergelangannya yang terluka. Mantra ini biasanya membunuh. Hmm..sepertinya pedangmu menahan sebagian arus, tapi aku tak tahu kenapa. Bukankah pedang itu dari logam?"

"Tak kepikiran. Aku lupa." jawab Deflinger

"Pedang pintarkah? Barang langka."

Saito menggigit bibirnya keras-keras. Pergelangannya yang terluka sakit, tapi fakta dia tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan Louise lebih menyakitkan. Tambah lagi, dia membiarkan Wardes unjuk gigi dan menguasai panggung. Dia tak bisa membiarkan Louise melihatnya seperti ini. Dengan susah payah dia berdiri, dan menyarungkan Derflinger.

"Ayo pergi. Ini bukan apa-apa."

---

Dibelakang tangga terakhir ada cabang. Di atasnya, sebuah kapal...berlabuh disana. Bentuknya lebih mirip Yacht, mungkin agar bisa terbang. Ada sayap di kedua sisi. Dari akapl tergantung tali yang wallahu'alam jumlahnya, semuanya terikat pada ranting-ranting. Cabang yang mereka injak memanjang hingga dek kapal. Mereka melangkah naik, dan seorang pelaut yang tidur di dek memanjat."Hai kalian! Apa yang kalian lakukan?!"

"Dimana kaptennya?"

"Dia tidur. Kembalilah nanti pagi." jawabnya dingin dan mabuknya, sambil menenggak rum dari botolnya.

Wardes tak menjawab, dan mengacungkan tongkatnya."Kau ingin seorang ningrat mengulang ucapannya? kukatakan, panggil sang kapten!"

"Se-seorang ningrat!!" Si pelaut langsung berdiri tegak dan berlari ke tempat kapten.

Beberapa saat kemudian, dia kembali membawa seorang tua, sekitar 50-an, pengantuk, dengan topi di kepala. Sepertinya dia kaptennya."Apa yang kau inginkan?" Dia menatap curiga Wardes.

"Pemimpin Garda Penyihir Paduka, Kapten Wardes."

Mata kapten melotot, dan dia menukar kata-katanya dengan yang lebih formal setelah mengetahui siapa yang berdiri didepannya."Oh, uh...lalu, layanan apa yang kapal ini bisa adakan untukmu..."

"Bawa kami ke Albion. Berangkat sekarang."

"Gila itu!"

"Ini perintah paduka. Apa kau mau melawan?"

"Aku tak tahu untuk apa kau pergi ke Albion, tapi kita tak bisa berangkat hingga pagi tiba!"

"Mengapa?"

"Jarak Albion dengan Tristainia paling dekat saat pagi! Kita tak punya cukup batu angin untuk kesana dari sini saat ini."

"Batu angin?" tanya Saito.

Sang kapten memberinya pandangan 'kau-tak tahu-apa- itu-batu-angin?' dan menjawab, "Batu yang menyimpan sihir angin. Kapal ini tak bisa terbang tanpanya." Dia lalu menghadap Wardes. ""Tuan, kapal ini berisi batu angin yang hanya cukup untuk berlayar pada jarak terdekat dengan Albion. Jika kita punya lebih, kita bisa berangkat dari tadi. Tapi untuk sekarang, kita tak bisa berangkat. Kita akan jatuh dari angkasa di tengah-tengah."

"Aku akan menanggung kekurangan batu anginmu. Aku seorang penyihir angin persegi."

Sang kapten dan si pelaut saling memandang. Sang kapten lalu menghadapi Wardes dan mengangguk."Baiklah. Tapi kalian harus membayar juga."

"Apa muatannya?"

"Belerang. Saat ini, harganya setara dengan emas dengan berat sama. Para ningrat telah menaikkan harga dalam keputusasaan untuk keamanan. Untuk senpi dan elemen api, ia adalah keharusan."

"Jual seluruhnya padaku dengan harga itu."

Sang kapten mengangguk, mungkin dengan senyum licik. Setelah selesai, sang kapten membuat perintah berurutan."Tinggalkan pelabuhan! Angkat jangkar! kembangkan layar!"

Para pelaut mengikuti perintah, meski sambil mengomel, dengan cepat tali terlepas dari ranting-ranting. Mereka meraih tali-tali pengaman di kedua sisi, dan mengembangkan layar. Tanpa tali, kapal tiba-tiba tenggelam, dan lalu melayang lagi berkat kekuatan batu angin.

"Kapan kita bisa mencapai Albion?" tanya Wardes.

"Kita akan tiba di pelabuhan Scarborough besok siang." jawab sang kapten.

Saito memandangi bumi dari sisi pelabuhan. Pelabuhan bisa dilihat diantara cabang-cabang pohon yang besar. Cahaya Rochelle segera memudar dalam kegelapan. Mereka sepertinya berlayar cepat. Louise menghampiri Saito, dan menaruh tangannya di bahunya. "Saito, kau tak apa-apa?" Dia tampak khawatir.

"Jangan menyentuhku." ditepisnya tangan Louise menjauh. Wajah Louise memerah.

"Apa?! Dan aku khawatir padamu!" Louise marah, melihat Saito yang bahkan tak menghiraukannya."Dan aku begitu khawatirnya tentangmu...Apa-apaan sikapmu ini?" pikirnya.

Saito tengah depresi. Dia tak bisa apa-apa saat Louise hendak diculik oleh si topeng putih itu. Dia tak bisa menghadapi wajah Louise. Diingatnya apa yang dikatakan Wardes padanya beberapa hari lalu,"Dengan kata lain, kau tak mampu melindungi Louise."

Apa itu benar? dia tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Wardes menghampiri mereka."dari apa yang kudengar dari kapten, Angkatan perang Kerjaan Albion dekat Newcastle dikepung ketat dan bertempur dengan sengitnya."

Louise, yang kelas-jelas takut, bertanya,"Bagaimana dengan pangeran Wales?"

Wardes menggelengkan kepalanya."Aku tak yakin. Sepertinya dia hidup..."

"Tunggu...bukankah pelabuhan sudah sepenuhnya dikuasai para pemberontak?"

"Ya."

"Lalu bagaimana kita bisa menghubungi keluarga kerajaan?"

"Kita hanya perlu bertempur dan menerobosnya. Hanya perlu sehari dengan kuda dari Scarbrough ke Newcastle."

"Bertempur dengan pemberontak?"

"Benar. Hanya itu pilihan kita. Kupikir mereka tak bisa secara terbuka menyerang bangsawan Tristainia. Kita harus mencari kesempatan menembus kepungan dan berlari lurus menuju Newcastle. Yang harus dipikirkan setelah itu adalah berkendara dalam gelap."

Louise mengangguk tegang, dan bertanya,"Ngomong-ngomong, Wardes, mana griffinmu?"

Wardes tersenyum. Dia menuju ke arah luar, dan bersiul. Tepat dari bawah kapal, terdengar suara kepakan griffin. Ia mendarat di dek, menakuti beberapa pelaut.

"Tak bisakah kita ke Albion dengan Griffin daripada dengan kapal?" tanya saito.

"Ia bukan naga. Ia tak bisa terbang terlalu jauh." jawab Louise.

Saito duduk di dekat mast dan mengejapkan matanya. Sepertinya kita akan dalam bahaya sebentar lagi. Oh, baiklah...aku tidur saja. pikirnya. Dengan percakapan Louise dan Wardes yang bagaikan dengungan, dia tertidur.

---

Saito terbangun karena keributan para pelaut dan cahaya yang menyilaukan, dan langit biru yang cerah dihadapannya. Melihat ke bawah sana, ada awan-awan yang mengapun. Kapal itu berlayar tepat diatas mereka.

"Albion terlihat!" Kata pengamat berteriak.

Saito menggosok matanya yang masih mengantuk, dan melihat kebawah lagi. Yang ada disana hanya awan. Bumi tak terlihat dimana-mana. Louise, yang tampaknya tidur disampingnya, bangkit.

"Aku tak melihat bumi dimanapun." keluh Saito.

"Disana?" Ditunjuknya arah langit.

"Huh?" diikutinya arah yang ditunjukkan Louise, dan meng-kaku saking terkejutnya. Sebuah pemandangan...ya, tiada lagi yang menyambut matanya selain pemandangan yang besar itu.

Diantara awan, dapat dilihatnya tanah gelap. Ia terus membesar di bawah mereka. Gunung memahat bentang alam, dan sungai-sungai mengalirinya.

"Apa itu menakutkan bagimu?' tanya Louise.

"Ah...aku...tak pernah kulihat yang seperti ini sebelumnya." Rahang Saito jatuh dengan sikap berdiri yang kaku.

"Albion, si pulau mengapung. Ia melayang di udara, tepat seperti itu, sebagaimana pulau biasa melayang di atas laut. Namun, ia melewati benua Halkegenia beberapa kali sebulan. Ukurannya se-Tristainia, dan sebutannya 'Negeri Putih'.

"Mengapa'Negeri Putih'?"

Louise menunjuk pulau."Air dari sungai yang mengalir dari pulau ke udara menjadi kabut putih, menutupi bagian bawah pulau. Kabut menjadi awan, yang memberikan hujan pada Halkegenia," jelas Louise.

Sang pengamat berteriak lagi,"Kapal mendekat dari ssisi!"

Saito melihat ke arah itu. Sebuah kapal, sebagaimana dikatakan, mendekat, dan ukurannnya lebih dari yang mereka naiki. Meriam melongok keluar dari lubang-lubang di sisiya.

"Ah...mereka bahkan punya meriam." Saito mengutarakan pikirannya.

Louise muram.

---

"Tanda buruk. Pemberontak...ataukah sebuah kendaran ningrat?" Dibelakang dek, Wardes dan sang kapten melihat ke arah yang ditunjuk. Cat hitam menandakan kapal itu dibuat untuk perang. 20-an meriam menyasar mereka.

"Kebangsawanan Albion? Katakan pada mereka jika mereka mengapalkan kargo seperti kita."

Sang pengamat memberi tanda bendera seperti yang dikatakan kapten . Tapi kapal hitam tak menjawab Wakil kapten masuk sambil berlari dengan wajah pucat dan melapor pada kaptem,"Kapal itu tak berbendera negara apapun!"

"Lalu...mereka pembajak?"

"Tak salah lagi! Kudengar mereka menjadi begitu aktif setelah pemberontakan berkobar..."

"Lari! Kecepatan penuh!" Sang kapten ingin menjauh dari mereka secepat mungkin, tapi mereka sudah terlambat. Kapal hitam itu mulai berlayar sejajar dengan mereka, dan menembak langsung diatas mereka. BANG! Bola meriam itu menghilang diantara awan. Mast Kapal hitam itu lalu memberi tanda empat warna.

"Mereka memerintahkan kita berhenti, kapten." Sang kapten merubah keputusannya. Bukan berarti kapalnya tak bersenjata sama sekali, tapi yang mereka punya hanyalah 3 meriam bergerak diatas dek, yang bagai penghias jika berhadapan dengan 20-an meriam yang terarah pada mereka. Sang kapten memandang Wardes penuh harap.

"Seluruh sihirku digunakan pada kapal. Kita hanay bisa lakukan apa yang mereka minta." jawab Wades tenang,

Sang kapten bergumam,"Hilanglah keberuntunganku," dan memerintahkan. "Lipat layar. Hentikan kapal."

---

Louise, melihat kapal hitam itu menembak, lalu mendekat pada mereka, kemudian kapal mereka berhenti, memegang Saito dekat, yang dengan tegang memandangi kapal hitam itu.

"Kami adalah pembajak! Jangan melawan!" Seorang pria di kapal hitam berteriak dengan sebuah pengeras.

"Pembajak?" Louise terguncang.

Di sisi kapal hitam, orang-orang berbaris dengan senapan dan busur. Mereka membidik dan menembakkan tali berkait, mencengkram sisi kapal mereka. Beberapa pria kuat, sekitar 10, yang menyandang Kapak dan saber melengkung, menuruni tali dan mendarat di kapal mereka. Saito memegang pedangnya, tapi pergelangannya masih sakit dari pertarungan tadi malam, dan dia tak bisa gunakan kekuatannya.

"Saito..." Louise berkata pelan. Dia mendengarnya, dan mencoba memegang pedangnya lebih erat. Namun, Wardes, yang tiba-tiba berada di belakangnya, menaruh tangannya di pundak Saito.

"Mereka bukan hanya barbar bersenjata, saito. Mereka punya banyak meriam terarah pada kita. Jika kau ingin hidup di medan perang, kau harus mengukur secara akurat mengukur kekuatan mereka dan milikmu. Mungkin juga ada penyihir di sisi mereka."

Griffin Wardes, yang tengah duduk di depan dek, juga ketakutan oleh para pembajak dan menraung. Kepalanya lalu ditutupi dengan asap biru-putih, dan ia jatuh tertidur di dek.

"Sebuah sihir penidur...Jadi mereka memang ada penyihir."

Dengan sekali perintah, para pembajak mendarat di kapal mereka. Salah satu dari mereka berpakaian menonjol. Dia memakai kemeja yang terlihat dulunya putih, namun terkotori menjadi hitam dari keringat dan pelumas. Semua bisa melihat otot dadanya yang kuat dan terbakar kehitaman di celah-celah kemeja. Secarik kain menutpi matanya. Sepertinya dia pemimpin para pembajak.

"Dimana sang kapten?" Dia berkata dengan nada kasar, dan melihat sekelilingnya.

"Aku." Sang kapten, gemetaran namun tetap mencoba tenang, mengangkat tangan. Sang pemimpin berjalan menuju dia dengan langkah-langkah panjang, mengeluarkan sabernya dan menempelkannya di wajah sang kapten."Apa nama kapal ini dan apa isinya?"

"Maria Galante Tristainia. Isinya belerang."

Sebuah kelegaan datang dari para pembajak. Sang pemimpin menyeringai, mengambil topi sang kapten dan menaruhnya di kepalanya.

"Aku membeli semua yang ada di kapal ini lalu...harganya adalah nyawa kalian!"

Sang kapten menggelengkan kepalanya karena malu. Lalu, sang pemimpin menyadari Louise dan Wardes berdiri di dek.

"Oho, kita punya tamu ningrat!" Sang pemimpin menghampiri Louise dan mengangkat dagunya dengan tangannya."Kita ada si cantik disini. Apa kau suka menjadi pencuci piring kami?"

Para pria tertawa keras-keras. Louise menampar tangannya, dan menatapnya. Dia sudah hendak meledak mengeluarkan api."Tinggalkan aku, kau rendahan!"

"Oh, dai memanggil kita rendahan! Aku sangat takut sekarang!" pria tersebut tertawa keras.

Saito ingin mengeluarkan pedangnya. tapi Wardes menghentikannya, berbisik,"Hey, familiar. sepertinya kau tak bisa menenangkan diri."

"Ta-tapi...Louise..."

"Apa artinya membuat keributan sekarang? Panah dan meriam mereka akan membuat Louise, kau dan kita semua jadi keju Swiss."

Saito terguncang.

"Tak pedulikah kau tentang keselamatan Louise sedikitpun?"

Saito semakin tenggelam dalam keputusasaan dan rasa ketakbergunaan. Aku tak berguna. Aku tak bisa menyaingi orang ini. Louise...lebih baik pergi kawin dengan orang ini. Pikirnya.

"Baiklah anak-anak. Bawa mereka semua pergi. Kita bisa dapatkan segunung ransum untuk ini!"



Mundur ke Bab 5 Kembali ke Halaman Utama Maju ke Bab 7