Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume3 Bab1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Garis Keturunan Sang Zero[edit]

Istana Kerajaan Tristain berada di ujung Jalan Bourdonne. Di depan gerbang Istana Kerajaan, anggota Garda Penyihir berpatroli diatas kendaraan sihir mereka. Rumornya bahwa perang tengah berkobar telah tersebar keseluruh kota dua-tiga hari lalu. Dikabarkan bahwa faksi aristokrat yang telah menaklukkan Albion, “Reconquista”, hendak menyerbu Tristain.

Karenanya, hati para tentara yang menjaga sekeliling tumbuh lebih tegang. Di langit diatas Istana Kerajaan, Hewan sihir dan mirip-kapal dilarang terbang, dan orang-orang yang melalui gerbang diperiksa dengan ketat. Bahkan penjahit, pekerja toko makanan, dan pedagang dihentikan dan diperiksa seksama di gerbang, untuk mencegah penyihir yang menyamar dengan ilusi, atau orang yang dikendalikan sihir pemikat menerobos masuk.

Karena keadaan itulah, Saat seekor naga angin muncul di langit diatas Istana Kerajaan, garisun Garda Penyihir menjadi terjaga. Garda Penyihir terdiri dari tiga korps, dan masing-masing menjaga Istana Kerajaan secara bergiliran. Saat satu bertugas, yang lainnya beristirahat atau berlatih. Hari ini, adalah Korps Manticore yang bertugas. Sambil mengendarai manticore mereka, para ningrat bangkit dan menuju naga angin yang muncul di atas Istana Kerajaan. Ada lima orang di punggung naga, dan seekor tikus tanah raksasa yang dipegang diantara mulut naga.

Garda penyihir memperingatkan mereka bahwa ini adalah zona larangan terbang, namun si naga angin mengacuhkannya, dan mendarat di Lapangan istana. Di punggungnya ada gadis cantik berambut blonde-pink, seorang wanta dengan rambut merah terbakar, lelaki blonde, seorang gadis kecil mungil berkacamata, dan seorang lelaki dengan rambut hitam. Lelaki terakhir membwa pedang panjang di bahunya.

Para Garda manticore dengan sigap mengepung si naga angin dan serentak menghunus tongkat sihir berbentuk rapier mereka, dengan sikap yang siap memantra. Seorang komandan berotot, berkumis tebal, memberi peringatan pada penyusup yang mencurigakan:

"Jatuhkan tongkat kalian!"

Ekspresi para penyusup langsung menunjukkan perlawanan, tapi gadis berambut biru pendek diantara mereka menggelengkan kepalanya.

"Istana kerajaan."

Kelompok itu dengan enggan mengangguk, dan sebagaimana diminta, menjatuhkan tongkat mereka ke tanah.

"Langit diatas Istana Kerajaan adalah zona larangan terbang. Apa kalian tak tahu?"

Seorang gadis dengan rambut blonde pink melompat ringan dari naga, dan memperkenalkan diri dengan suara tegas: "Aku adalah putri ketiga Duke de la Vallière, Louise Françoise, bukan seseorang yang mencurigakan. Aku meminta pertemuan dengan Paduka, Sang Putri."

Sang Komandan memainkan kumisnya sambil mengamati si gadis dengan seksama. Dia mengetahui Duke de la Vallière. Yah, mereka memang ningrat yang terkenal. Sag Komandan menurunkan tongkatnya. "Kau putri ketiga Duke de la Vallière?"

"Benar." Louise bangkit dan menatap lurus ke mata sang Komandan.

"Oh, begitu. kulihat kau memiliki mata ibumu. Kalau begitu, Apa maksudmu kesini?"

"Aku takut aku takut aku tak bisa bilang padamu. Ini rahasia."

"Maka aku harus menolak permintaanmu. Untuk mengabulkan sebuah pertemuan tanpa mengetahui maksudmu, Itu sesuatu yang keluar dari seseorang yang kehilangan akalnya!" jawab Sang Komandan khawatir.

"Rahasia itupun bukan sesuatu yang bisa dikatakan!" teriak Saito sambil melompat turun dari naga angin.

Sang Komandan mengamati Saito saat dia menyela. Dia memiliki wajah kekanakan. Pakaian yang ta pernah dilihat sebelumnya. Hidung yang rendah. Kulit kuning. Pedang besar di punggungnya. Meski tak jelas darimana dia berasa;, ada satu hal yang jelas-dia bukanlah seorang ningrat.

"Jelata yang kasar. Itu bukanlah cara benar seorang pelayan berbicara pada seorang ningrat. Diamlah."

Saito menyipitkan matanya, dan menoleh pada Louise. Ini keterlaluan baginya. Benar, dia bahkan bukan seorang pelayan, tapi seorang familiar, tapi adalah nada merendahkan komandan yang membuatnya marah. Sambil mencengkram pegangan Derf melewati bahunya, Saito menoleh pada Louise dan bertanya. "Hei, Louise. Apa aku bisa membereskan orang ini?"

"Cepat melunjak. Hanya karena kau mengalahkan wardes tak berarti kau bisa jadi begitu arogan."

"Mendengar percakapan mereka, mata komandan terbelabak. Wardes? wardes, sebagaimana dalam Viscount Wardes, komandan korps Griffin? Dikalahkan? Apa artinya ini?

Mengesampingkan soal itu, sang Komandan mengangkat tongkat sihirnya lagi.

"Siapa kalian sebenarnya? Siapaun kalian, aku tak bisa memperbolehkan kalian mengunjungi Paaduka."Sang Komandan bicara dengan nada keras. Situasnya dengan cepat kehilangan kendali. Louise menatap Saito.

"A-Apa?"

"Ini semua karena kau dan omong kosongmu sehingga mereka pikir kita mencurigakan!"

"Ini semua karena orang berjanggut itu dan sikap tercelanya!"

"Diamlah. Kau seharusnya tetap mengunci mulutmu!"

Saat menonton adegan dihadapannya, sang Komandan cepat mengerti situasinya. Para garda penyihir yang mengepung mereka dengan cepat mengangkat tongkat mereka. "Tahan mereka!"

Dibawah perintah sang Komandan, para penjaga/penyihir baru saja hendak memulai mantra saat tiba-tiba...

Seseorang dengan mantel ungu muncul dari pagar istana. Melihat Louise dikepung Garda Penyihir, dengan terburu-buru dia kesana.

"Louise!"

Melihat kemunculan Henrietta yang berlari, wajah Louise bersinar bagai mawar."Putri!"

Dibawah pandangan Garda Penyihir, keduanya saling memeluk.

"Aah, kau kembali dengan sejahtera. Aku senang. Louise, Louise Françoise…”

"Putri."

Mata Louise mulai berair dengan airmata. "Suratnya...ia aman."

Louise meraih kedalam kantong dadanya dan dengan lembut menarik keluar suratnya. Henrietta mengangguk dan memegang erat tangan Louise.

"Kau benar-benar teman terbaikku."

"Perkataanmu terlalu lembut, Putri."

Namun, saat menyadari ketiadaan Wales di kelompok itu, wajah Henrietta menjadi gelap. "Seperti yang kupikirkan...Pangeran Wales mengorbankan dirinya untuk kerajaannya."

Louise menutup matanya dan dengan cepat mengangguk.

"...Tapi bagaimna dengan Viscount Wardes? Aku tak melihatnya, apa dia menempuh jalur lain? Atau dia...mungkin...jatuh ke tangan musuh? Tapi untuk Viscount, seharusnya..."

Wajah Louise mengeras. Dengan sangat sulit, Saito menjelaskannya pada Henrietta."Wardes seorang pengkhianat, Putri."

"Pengkhianat?"

Sebuah bayang gelap menyelinap ke wajah Henrietta/ Lalu, menyadari tatapan menusuk dari Garda Penyihir disekeliling mereka, Henrietta dengan cepat menjelaskan."Mereka tamuku, pak komandan."

"Oh, begitu."

Saat mendengar ini, sang komandan menarik tongkatnya, dengan enggan, dan memerintahkan pasukannya melakukan hal yang sama. Henrietta menoleh pada Louise lagi. "Apa yang sebenarnya terjadi di perjalananmu?...Sebelum itu, ayo ke ruanganku sebelum melanjutkan. Sisanya, silahkan beristirahat di kamar lainnya."

Dengan meninggalkan Kirche, Tabitha dan Guiche di ruang tunggu, Henrietta membawa Saito dan Louise ke ruangannya sendiri. Henrietta duduk di kursi kecil nan indah, dengan sikunya di meja. Louise lalu menjelaskan keseluruhan yang terjadi pada Henrietta.

Bagaimana Kirche dan yang lainnya bergabung di tengah-tengah.

Bagaimana mereka dapat kapal ke Albion, dan serangan oleh pembajak.

Lalu pemimpin pembajak ternyata adalah Putra Mahkota Wales.

Bagaimna meski pelarian ditawarkan kepada Pangeran wales, dia menolak.

Dan bagaimana...karena pernikahan dengan Wardes, mereka melewatkan kapal.

Bahwa di tengah-tengah pernikahan, Wardes menunjukkan jati dirinya...membunuh Pangeran Wales dan merebut surat dari tangan Louise...

Yang lalu direbut kembali.

Ambisi ‘Reconquista’...untuk menyatukan seluruh Halkegenia, yang tujuan akhirnya membebaskan Tanah Suci dari para elf.

Namun...meski sekarang aliansi Tristain dan Germania aman, Henrietta masih meratap.

"Viscount itu seorang pengkhianat...bagaimana mungkin? Seorang pengkhianat diantara Garda Penyihir..."

Sambil menatap surat yang ditulisnya sendiri untuk Wales, airmata terkumpul dan mengaliri pipinya.

"Putri..."

Louise dengan diam memegang tangan Henrietta.

"Adalah aku yang merenggut nyawa Pangeran Wales. Bagaimanapun kau memandangnya, adalah aku yang memilih sang pengkhianat untuk menjadi utusan..."

Saito menggelengkan kepalana."Sang Pangeran sudah memutuskan untuk tinggal di kerajaannya. Itu bukan kesalahan paduka."

"Louise, apa dia, paling tidak, membaca suratku?"

Louise mengangguk."Ya, Putri. Pangeran Wales membaca surat paduka."

"Berarti, Pangeran Wales tak mencintaiku." Henrietta dengan sedih menggelengkan kepalanya.

"Lalu...itu setelah kalian membujuk sang Pangeran untuk kabur?" Louise(di inggrisnya Henrietta, tapi aneh kenapa dia yang mengangguk jadi altux ganti) mengangguk sambil menerawangi surat dalam kesedihan.

Louise teringat perkataan Wales. Dia terus dengan teguh mengatakan padanya bahwa "Henrietta tak bilang padaku untuk kabur". Semuanya seperti yang dikira Louise - sebuah kebohongan.

"Ahh, dengan kematianmu, tiada lagi harapan. Bagaimana denganku, cintaku yang hilang?" gumam Henrietta pelan sambil menerawang.

"Apa kehormatan lebih penting daripada aku?"

Tapi Saito berkesimpulan berbeda. Wales tinggal bukan karena dia mencoba melindungi kehormatannya. Namun, Wales tinggal supaya tak memberi Henrietta masalah apapun...dan untuk menunjukkan para pengkhianat bahwa Keluarga Kerajaan Halkegenia bukan mereka yang bisa dipermainkan.

"Ini tak seperti yang kau pikirkan, Putri. Adalah karena dia tak ingin memberi Tristain masalahlah, dia tinggal di negerinya. Itu, yang kulihat."

Henrietta menatap Saito hampa."Agar tidak memberiku masalah?"

"Pelariannya, sebagaimana yang dikatakan Putri, hanya akan memberi alasan sempurna bagi pengkhianat untuk menyerbu."

"Bahkan jika Wales tak kabur ke sini, mereka akan tetap menyerbu kesini bila ada kesempatan. Tapi, tanpa alasan untuk menyerbu, damai tetap terjaga. Dnegan bayaran nyawanya, dia mencegah bergejolaknya perang."

"...Meski keadannya begitu, dia masih tetap tak ingin memberi masalah apapun. Pasti..."

Henrietta, sambil mendesah panjang, menerawang keluar jendela.

Saito perlahan mengulang kata-kata yang diingatnya."Untuk bertarung dengan keberanian, Untuk mati tanpa rasa takut. Itu...yang dia minta untuk kukatakan."

Henrietta menjawab dengan senyum yang tak ceria. Saat seorang putri, yang secantik mawar nan indah, menjadi begini, bahkan udarapun menjadi berat. Hati Saito nyeri melihat ini.

Henrietta, sambil mengistirahatkan sikunya di meja di samping patung marbel yang terukir indah, bertanya penuh kesedihan."Untuk bertarung dengan keberanian, untuk mati tanpa rasa takut. Itu hakmu sebagai lelaki, Tapi bagaimana dengan mereka yang tinggal, apa yang harus mereka lakukan?"

Saito terdiam. Dia tak bisa mengatakan apa-apa lagi.Sambil merendahkan pandangannya, dia dengan aneh mengetukkan sepatunya ke kursi.

"Putri...Jika saja aku berusaha lebih keras untuk meyakinkan Pangeran Wales..."

Henrietta bangkit dan menggenggam tangan dari Louise yang bergumam."Tidak apa-apa Louise. Kau menyelesaikan misimu dengan baik, mengambil kembali surat ini. Kau seharusnya tak khawatir tentang apa-apa. Karena aku tak bilang padamu untuk memintanya kabur."

Henrietta tertawa dengan senyum.

"Dengan penyingkiran rintangan yang mungkin merusak perkawinan, negeri kita dapat dengan aman melangkah pada aliansi dengan Germania. Dengan situasi begini, Albion takkan dengan mudah menyerbu kita. Krisis telah berlalu, Louise Françoise.” Henrietta mengatakannya seceria mungkin.

Louise meraih Rubi Air yang dulu diberikan Henrietta padanya dari sakunya.

"Putri, ini, aku mengembalikannya padamu."

Henrietta menggelengkan kepalanya."Mohon untuk menjaganya. Setidaknya itu yang bisa kulakukan sebagai rasa terima kasihku."

"Aku tak bisa menerima harta seperti ini."

"Untuk kesetiaan seperti ini, Sebuah penghargaan yang pantas harus dipersembahkan. Tak apa-apa, pakailah."

Louise mengangguk dan memakainya di jari. Melihat ini, Saito teringat cincin yang diambilnya dari tangan Pangeran Wales. Dia meraihnya dari saku belakang celananya, dan menempatkannya di genggaman Henrietta.

"Putri, ini, adalah memoribilia dari Pangeran Wales."

Henrietta terkejut saat menerima cincin.

"Bukankah ini rubi angin? Apa kau mendapatkannya dari Pangeran Wales?"

"Ya, di saat-saat terakhirnya, dia memeberikan cincin itu padaku; dia ingin aku menyerahkannya kepada Paduka."

Sebenarnya, Wales sudah mati saat dia menarikanya dari jari Wales...Tapi itu yang harus dikatakan Saito. Diharapakan itu membantu nyeri yang dirasakan Henrietta di hatinya, sesedikit apapun itu. Henrietta memakai Rubi Angin di jarinya, Karena cincin itu aslinya untuk Wales, ia kebesaran untuk dipakai jari Henrietta...tapi saat Henrietta menggumamkan mantra "pengecil". cincin itu menyempit dan menyempit, hingga akhirnya pas dengan jari. Henrietta mengusap Rubi Angin dengan penuh cinta. Sambil menoleh pada Saito, dia memberikan senyum bercampur malu.

"Terima kasih, wahai familiar yang lembut."

Sebuah senyum sedih yang dipenuhi kelegaan, namun juga sebuah senyum penuh rasa terima kasih pada Saito. Senyum itu memancarkan suatu keagungan, sehingga Saito mematung karenanya, dan hanya bisa bergumam tak jelas.

"Dia, Dia mati dengan gagah berani. Bukankah begitu?"

Saito mengangguk. "Ya, memang begitu."

Henrietta, sambil menatap Rubi Angin yang berkilauan, mendeklarasikan dengan lembut. "Maka, aku...aku juga akan hidup dengan gagah berani."

---

Pada penerbangan dari Istana kerajaan ke Akademi Sihir, Louise diam saja. Tak peduli sekeras apapun usaha Kirche menanyakan Louise dan Saito mengenai isi surat yang ditulis Wales, keduanya tetap menyegel mulut mereka.

"Oi, ayolah, masa kalian tak bilang apa-apa? setidaknya misi kemarin itu apa sebenarnya. dan emngatakan Viscount seorang pengkhianat, semuanya serba misterius."

Kirche memandangi Saito dengan tatapan menyala."Namun, sayang menyerangnya?"

Saito, yang sekilas melirik wajah Louise, mengangguk: "ya...tapi dia kabur..."

"Tapi, itu luar biasa! Hei, apa sebenarnya misi ini?"

Saito menundukkan kepalanya. Louise bahkan lebih diam lagi, dan tak pernah bicara. Kirche mengernyitkan alis dan menoleh pada Guiche.

"Hei, Guiche!"

"Apa?"

Dengan sebuah mawar buatan dalam mulutnya, Guiche, yang tengah melamun, menoleh.

"Apa kau tahu apa isi surat yang Putri Henrietta suruh untuk dambil kembali?"

Guiche menutup matanya dan berkata: "Aku juga tak tahu. Hanya Louise yang tahu."

"Louise si Zero! Mengapa kau tak ceritakan padaku?! Hei, Tabitha! Menurutmu bagaimana? Yah, kupikir aku terpasung untuk seorang tolol!"

Kirche menggoyang Tabitha, yang tengah membaca buku. Karena dia digoyang, kepalanya pun mengikuti dan ikut bergoyang. Karena guncangan yang ditimbulkan Kirche, si naga angin kehilangan keseimbangan dan melambat tiba-tiba. Guiche, yang duduk di punggungnya, kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

“Gyaaaaaa!” teriaknya begitu dia jatuh, tapi karena itu Guiche, tiada yang memerhatikan. Di tengah-tengah, dikeluarkannya tongkatnya, dan digunakannya mantra "Melayang" dan melayang turun perlahan, menghindari kematian yang mendekat. Louise juga kehilangan keseimbangannya, tapi Saito dengan lembut meraihnya dan memegang pinggang Louise dengan tangannya untuk menjaga badannya. Melihat tangan di pinggangnya, wajah Louise memerah. Pagi ini, saat melarikan diri dari Albion, Saito menciumku. Waktu itu, aku berpura-pura terlelap.

Tapi mengapa? Mengapa aku berpura-pura terlelap?

Ini mungkin cinta...Namun, aku tak ingin mengakui pikiran ini, karena Saito familiarku; terlebih lagi dia bukan seorang ningrat. Mencintai seseorang yang bukan ningrat sulit dibayangkannya." Ningrat dan jelata adalah jenis orang yang berbeda."...Begitu Louise menumbuhkan fikiran itu, ketidaknyamanannya menjadi kebingungan. Tapi, entah rasa ini benar atau tidak, itu yang harus dicari nanti.

Jadi, setelah semuanya, saat merasakan tangan bergerak mengitari pinggangnya, Louise berteriak dengan marah: "Ta-tak tahu malu, aku akan marah!"

"Kau kelihatannya hendak jatuh, seperti Guiche" jawab saito, wajahnya juga memerah.

"Tak apa-apa, bahkan bila Guiche jatuh-toh hanya Guiche ini." kata Louise, tetap masih bingung dari yang sebelumnya.

"i-itu, meski dia jatuh, dia takkan kenapa-kenapa. Tapi akan bermasalah bila kau yang jatuh, karena kau tak bisa menggunakan sihir."

"Kau hanya seorang familiar, dan kau berani menghina Tuanmu?"

Louise mengambil napas cepat dan cengan cepat membuang muka. Namun, dia tak tampak marah.

"Kau sudah keterlaluan. Hum."

Meski Louise bergumam dan memprotes, dia tak mencoba melepaskan tangan Saito. Sebaliknya, dia malah menyandarkan badannya lebih dekat, bergesekan dengannya. Namun, wajahnya tetap menoleh ke arah lain. Saito mencuri pandang cepat pada wajah Louise. Pipi putihnya smar-samar terwarnai dengan pink dan dia agak menggigit bibir bagian bawahnya. Meski Henrietta cantik...Louise tetap masih sangat "lucu", pikirnya. Tangan di pinggang menekan lebih mendekat. Dan dirasakannya bagaimana pinggang dan paha Louise menekan lebih jauh padanya.

Adalah saat ini terjadi, Kirche masuk dan bergumam lembut"Sejak kapan kalian berdua jadi seperti ini?"

Louise, yang tiba-tiba menyadari bagaimana semua terlihat, wajahnya memerah pekat dan mengirim Saito yang melamun terbang dengan sebuah tinju.

"Tidak ada apa-apa! Tolol!"

Teriakan Saito menggema saat dia jatuh, tapi sebelum dia menghantam tanah, Tabitha, yang tengah membaca sebuah buku, dengan tenang mengayunkan tongkatnya, dan menyihir saito dengan mantra "Melayang". Saito mendarat perlahan di padang rumput, dan melihat Guiche yang jatuh sebelumnya, bejalan di jalan pada padang rumput dengan wajah susah. Lalu Guiche berhenti dan menyambut Saito dengan sikap sombongnya yang biasa. "Kau jatuh juga, kan?"

Saito menjawab dengan wajah lelah. "Aku didorong."

"Me-mereka tak kembali, ya kan?"


Saito memandangi ke arah langit, Di langit nan biru, sang naga angin dengan cepat menghilang di horizon.

"...Sepertinya begitu."

"Yah, ayo jalan kalau begitu.Hah, bakal setengah hari nih kalau jalan."

Dengan wajah depresi, Guiche mulai berjalan. Saito merasa tak yakin, tapi dia merasa dia lebih kagum pada Guiche.

"Ngomong-ngomong, kau..Itu, ya...Ada sesuatu yang ingin kutanyakan. Mohon bilang padaku." Guiche berkata pada Saito sambil memainkan mawar buatannya.

"Huh?"

"Apa paduka...ya...mengatakan sesuatu tentangku? Apa benar, dia akan memberi penghargaan padaku setelah misi ini, dengan surat berisi kemcam rahasia yang dijanjikan?"

Untuk sesaat, Saito merasa kasihan pada Guiche. Henrietta bahkan tak menyebut huruf "G: dari nama Guiche dalam percakapan mereka.

"Ayo berangkat."

Saito, berpura-pura tak mendengar apa-apa, mulai mempercepat langkahnya. Guiche mengejarnya, mencoba mencari kejelasa.

"Erm, apa isu itu benar?"

"Ayolah, berjalan. Ia baik untuk kesehatan."

"A-apa, ka-kau, Pa-Paduka, Aku..."

Dibawah kehangatan matahari, keduanya terus berjalan menuju Akademi sihir.


Benteng Newcastle, yang dulu terkenal sebagai pertahanan yang hebat, sekarang reruntuhan yang tragis. Meski ia menahan keruntuhannya, ia menjadi tempat tragedi yang mengerikan. Tembok Benteng, yang terus-terusan diserang mantra dan tembakan meriam, menjadi tumpkan bebatuan, dan mayat yang terbakar hingga tak bisa dikenali tersebar dimana-mana. Meski serangannya tak lama, para pemberontak - tidak, karena Albion telah kehilangan rajanya, pemberontak, 'Reconquista', menjadi pemerintahan baru di Albion - menderita kehilangan yang sukar dibayangkan. 300 tentara kerajaan untuk 2000 pemberontak yang terbunuh. dan 4000 terluka. Melihat kerugiannya, sukar dimengerti apa ini sebuah kemenangan.

Karena Benteng terletak di paling ujung dari benua yang melayang tersebut, ia dapat diserang hanya dari satu arah. Sebelum kekuatan 'Reconquista' berhasil menyingkirkan para penjaga, mereka terus-terusan ditembak dengan sihir dan tembakan meriam, sehingga menderita kerusakan yang parah. Namun, pada akhirnya mereka menang dengan jumlah. Begitu di belakang tembok benteng, pertahanannya rapuh. Tentara penyihir raja ditinggalkan untuk berjaga menghadapi tentara. Tapi jumlah penyihir tak sebanding dengan tentara 'Reconquista'; mereka perlahan dibunuh dan jatuh, satu demi satu.

Meki kerugian yang ditimpakan mush luar biasa...harganya adalah kehancuran tentara raja. Pembantaian yang sebenarnya. Karena kerajaan berperang hingga tentara terakhir. Dalam kata-kata, pertempuran terakhir yang menentukan pada perang sipil di Albion, penyerbuan Benteng Newcastle, melawan lawan yang 100x lebih besar, dalam pertempuran dengan kerusakan yang seharga 10x tentara itu...menjadi legenda.

---

Dua hari setelah perang sipil berakhir, di bawah matahari yang menyengat, diantara mayat dan rereuntuhan, seorang aristokrat nan jangkung memeriksa bekas medan perang. Topinya terdorong ke samping dan dia berpakaian dengan cara yang tak biasa di Albion, seragam Garda Penyihir Kerajaan Tristain.

Itu Wardes.

Seorang penyihir perempuan dengan tudung di atas matanya berdiri di sampingnya,

Itu Fouquet si Tanah Ambruk. Dia kabur ke Albion dengan kapal dari La Rochelle. Malam sebelumnya, di ibukota Albion, dia bergabung dengan Wardes di bar Londinium dan kini datang ke medan perang Newcastle. Di sekitar mereka, Tentara-tentara 'Reconquista' dengan rajinnya berburu harta. Sebuah teriakan keras datang dari pemburu yang terdekat, karena sekelompok orang menemukan kepingan emas. Seorang tentsra bayaran dengan pike di bahunya tengah mebalikkan para mayat, lalu mendorong mereka hingga tertumpuk dekat sampah sebagai hiasan taman. Saat dia menemukan sebuah tongkat sihir, dia berteriak gembira.

Fouquet, yang tak setuju dengan pemandangan di depannya, mengecakkan lidahnya tak senang. Wardes tertawa dingin melihat ekspresi Fouquet.

"Apa yang salah, Fouquet si Tanah Ambruk, bukankah mereka kawanmu yang juga berburu perhiasan? Untuk merampok harta dari para ningrat, apa itu bukan kerjaanmu?"

"Jangan bandingkan aku dengan mereka. Aku tak tertarik pada perhiasan pada tubuh para mayat."

"Seorang pencuri dengan etika pencuri." tawa Wardes.

"Aku tak tertarik dengan itu. Aku hanya mencuri harta yang berharga, karena aku senang melihat wajah susah para ningrat itu. Tapi orang-orang ini..."

Fouquet memandangi mayat seorang penyihir penjaga kerajaan di sudut matanya.

"OK, OK, jangan marah."

"Aku kira ningrat kerajaan Albion adalah musuhmu. bukankah kau, dibawah nama keluarga kerajaan, mempermalukan keluargamu sendiri?"

Mendengar perkataan Wardes yang berlebihan, Fouquet, kembali tenang, dan berkata dingin sambil mengangguk. 'Yah, tahulah. Selalu ada kecelakaan."

Dan Wardes lalu berbalik, bagian bawah dari lengan kirinya terpotong. lengan baju seragamnya diterbangkan bebas oleh angin.

"Sepertinya terjadi pertempuran yang dahsyat padamu."

Wardes menjawab dengan nada yang tak berubah: "Sebuah lengan untuk nyawa Wales, kupikir, ini harga yang murah."

"Dia pasti sesuatu, Gandalfr itu, untuk bisa memotong lengan seorang penyihir kelas persegi sepertimu dengan mudahnya."

"karena dia seorang jelata, aku bertindak sembrono."

"Jangan begitu, Dia bahkan menghancurkan golemku. Namun, tiada isi benteng ini yang bisa bertahan."

Saat Fouquet mengatakn itu, Wardes tersenyum dingin."Dia Gandalfr. Korps yang menyerang benteng tak melaporkan bertempur dengan orang seperti itu, Mungkin, selama pertarungan kami, dia sudah menghabiskan seluruh tenaganya dan dikenali sebagai jelata. Mungkin, bahkan tentara yang membunuh Gandalfr tak menyadari dialah familiar legendaris itu."

Fouquet yang tak teryakinkan, mengendus. gambaran Saito, anak lelaki yang terlihat aneh, melayang di pikirannya, Benarkah dia mati semudah itu?

"Dan dimana surat itu?"

"Di sekitaran sini."

Wardes menunjuk tanah dengan tongkatnya. Tempat itulah, dua hari lalu, yang jadi gereja. Tempat dimana Wardes dan Louise mencoba menyelenggarakan perkawinan, tempat dimana Wales kehilangan nyawanya. Namun, kini ia hanya tumpukan bebatuan.

"Hmm, la Vallière lass itu...mantan tunanganmu, suratnya ada di sakunya?"

"Benar."

"Kau membiarkannya mati? Kau tak mencintainya?"

"Dicintai, tak cinta. Aku sudah lupa rasa itu." jawab Wardes dengan tenang.

Dikeluarkannya tongkatnya dan dibacanya mantra. Sebuah tornado kecil dan mulai mengacak tumpukan bebatuan. Perlahan, lantai gereja dapat terlihat. Diantara potret Brimir sang Pendiri dan sebuah kursi, adalah mayat Wales, Tampak mengejutkan bahwa ia tak rusak.

"Lihat, bukankah itu Pangeran wales tersayang?" kata Fouquet dengan suara terkejut. Fouquet, yang dulunya seorang ningrat Albion, ingat wajah wales. Wardes bvahkan tak menoleh sedikitpun pada lelaki yang dibunuhnya sendiri, dan malah mencari mayat Louise dan Saito dengan sungguh-sungguh.

Namun...Mayat mereka tak ada dimana-mana.

"Apa kau benar-benar yakin mereka mati disini?"

Sambil bergumam, Wardes mulai mencari disekeliling dengan seksama.

"Hmm...Lihat, bukankah itu Visit Brimir Sang Pendiri dari George de la Tur?"

Fouquet memungut lukisan itu dari lantai.

"Kupikir itu tiruan. Mm, bila dipikir, gereja benteng ini pasti dibangun untuk menyembahnya..Hmm?"

Fouquet, yang memungut lukisan dari lantai, menemukan lubang yang menganga lebar di bawahnya, dan memanggil Wardes. "Hei, Wardes. Apa lubang ini?"

Wardes, dengan alis terangkat, membungkuk dan memandangi lubang yang ditemukan Fouquet. Dia menyadari bahwa lubang ini pasti digali tikus tanah raksasa, familiar Guiche. Di pipinya, Wardes dapat merasakan hembusan dingin yang datang dari lubang itu.

"Mungkinkah dari lubang inilah keduanya, putri bungsu Vallière dan Gandálfr kabur?" tebak Fouquet, dan itu kenyataannya. Wajah Wardes mulai menampakkan kemurkaan.

"Apa kita harus mengejar mereka?"

"Tiada gunanya, Jika ada angin didalam, berarti ia digali dengan baik." jawab Wardes marah. Melihatnya seperti ini, Fouquet menyeringai.

"Sepertinya kau bisa juga berwajah begitu. Dan disini kupikir kau lelaki tanpa perasaan bagaikan seekor gargoylre..mengapa, oh mengapa perasaan itu muncul di wajahmu?" ejeknya.

Mendengar ini, wardes bangkit. Dari kejauhan, seseorang muncul saat mereka bercakap. Dia berkata dengan suara ceria dan renyah." Viscount! Wardes! Apa kau sudah menemukan suratnya? Itu..apa ya...ah, surat cinta yang diberikan Henrietta pada Wales, penyelamat yang bakal mencegah penyatuan Germania dan Tristain. Kau sudah menemukannya?"

Sambil menggelengkan kepalanya, Wardes menjawab lelaki yang baru saja muncul. Lelaki itu di pertengahan kepala tiga. Dia memakai topi bundar dan mantel hijau, Dari pandangan pertama, tyampak bahwa dia seorang clergy. Namun dia juga agak mirip tentara dengan hidung aquiline dan mata biru pintarnya. Dari ujung topinya, mucul rambut blonde yang menggulung.

"Paduka, sepertinya surat itu melalui lubang ini. Ini kesalahanku. Aku sangat menyesal atas kesalahanku ini. Mohon, hukum aku dengan apa yang kau pikir perlu." Wardes berlutut, dan menundukkan kepalanya.

Lelaki yang dipanggil 'Paduka' ini, dengan senyum bersahabat di wajahnya, menghampiri Wardes dan menepuk pundaknya.

"Apa yang kau katakan? Viscount! Kau melakukan tugas yang luar biasa! Kau dengan satu tangan, mengalahkan jendral musuh nan berani! Ah, bukankah itu, pangeran Wales kita yang tersayang? Berbanggalah! Kau mengalahkannya! sebelumnya dia meremehkanku ...tapi melihatnya seperti ini, aku merasakah semacam kasih yang aneh untuknya. Aaj, itu benar, Begitu mati, semuanya berteman."

Pipi Wardes bergeser sedikit begitu menyadari sarkasme di akhir pembicaraan. Dia dengan cepat tenang kembali, dan sekali lagi mengulangi permintaan maafnya pada atasannya. "Namun, misi untuk mendapatkan surat Henrietta yang sangat diinginkan Paduka berakhir dengan kegagalan. Alu minta maaf karena tak dapat memenuhi harapan paduka."

"Jangan merendahkan diri. Dibandingkan pembubaran aliansi, membunuh Wales jauh lebih penting. Sebuah mimpi adalah sesuatu yang harus didapatkan secara perlahan, langkah demi langkah."

Lalu, lelaki dengan mantel hijau itu berpaling pada Fouquet.

"Viscount, mohon kenalkan wanita cantik ini. Sebagai pendeta, tak biasa bagiku berbicara dengan wanita."

Fouquet menatap lelaki itu. didepan matanya, Wardes membungkuk dalam pada lelaki itu. Namun, dia tak menyukainya. dia beraura aneh disekitarnya. Perasaan jijik terpancar dari celah-celah mantelnya. Wardes bangkit lagi dan memperkenalkan Fouquet pada lelaki itu.

"Paduka, ini Fouquet si Tanah Ambruk, yang sebelumnya seluruh ningrat Tristain takuti."

"Oh! kudengar isu-isu! Aku merasa terhormat untuk bertemu denganmu, Nona Gotha Selatan."

Mendengar dia mengucapkan nama ningrat yang sudah ditanggalkannya, Fouquet tersenyum. "Apa Wardes bilang soal nama ini padamu?"

"Itu benar. Dia tahu segalanya tentang ningrat Albion. Geneologi, Selubung lengan, Barang...Aadalah sulit bagi seorang pendeta yang menua untuk mengngat segalanya. Oh, mari, jangan menunda perkenalanku."

Sambil membuka matanya lebar-lebar, dan menempatkan tangan d dadanya..."Jendral pertama 'Reconquista', Oliver Cromwell siap melayani. Kau tahu, sebenarnya aku hanya pendeta biasa. Namun, karena suara dari perkumpuran baron, aku ditunjuk sebagai Jendral pertama, dan harus memberikan yang terbaik. Meski aku pendeta yang melayani Brimir Sang Pendiri, adalah tak apa-apa untuk'membimbing; kita melalui waktu-waktu tergelap, ya kan? jika perlu, menggunakan kepercayaan dan kekuatan untuk yang lebih baik."

"Paduka, kau bukan Jendral pertama bebas lagi,Di Albion ini, kau sekarang adalah..."

"Raja, Viscount."

Cromwell tertawa. Namun, matanya tak berubah. "Benar, aku ingin sekali mencegah aliansi Tristain dan Germania, namun, ada hal yang lebih penting. Apa kau mengerti, viscount>"

"Pemikiran Paduka sangat dalam, sehingga seorang biasa sepertiku tak bisa mengukurnya.:

cromwell membuka matanya lebar-lebar. Lalu, dia mengangkat kedua tangannya dan mulai berbicara dengan sikap yang berlebihan. "Kesatuan! Kesatuan yang membaja! Halkegenia adalah kita, Sebuah persatuan dari ningrat terpilih, yang akan merebut kembali Tanah Suci dari para Elf jahat itu! Ini adalah misi yang diberikan Brimir Sang Pendiri pada kita! "Kesatuan" adalah tugas kita nomor satu. Karenanya, viscount, aku mempercayaimu. Tiada penyalahan atas kegagalan yang remeh."

Wardes membungkuk dalam.

"Untuk misi yang berat ini, Brimir Sang Pendiri memberkati dengan kekuatan."

Alis Fouquet terangkat, Kekuatan? Kekuatan macam apa yang mereka bicarakan?

"Paduka, Apa Kekuatan yang telah diberikan Brimir Sang Pendiri kepada Paduka? Jika tak memberatkan, Aku ingin tahu."

Cromwell melanjutkan dengan nada halus, tertangkap dalam retorikanya sendiri. "Apa kau tahu empat elemen yang hebat dari sihir, Nona Gotha selatan?"

Fouquet mengangguk. Bahkan anak-anak pun tahu ini. Api, Angin, Air, dan yang keempat - tanah.

"Sebagai tambahan bagi keempat elemen yang hebat itu, ada elemen sihir lainnya. Elemen yang digunkan Brimir Sang Pendiri, elemen dari zero. Bahkan, ia adalah elemen yang mula-mula."

"Elemen dari zero...Void?"

Fouquet memucat. Elemen yang hilang. Sihir dari kehampaan, yang, sebagaimana yang diceritakan Legenda hitam, menghilang. Apa lelaki ini tahu sesuatu tentang elemen zero?

"Itu adalah kekuatan yang diberikan Brimir Sang Pendiri padaku. Untuk alsan ini, Perkumpulan Baron menyetujui untuk menjadikanku sebagai penguasa Halkegenia."

Cromwell menunjuk mayat Wales. "Wardes, aku selalu ingin menjadikan Wales sang Putra Mahkota sebagai teman dan kawanku. namun, dia malah menjadi musuh terbesaku dalam kehidupan, tapi kini dalam kematian, ia akan menjadi kawan yang hebat. Apa kau lihat ada sesuatu yang salah dengan itu?"

Wardes menggelengkan kepalanya.

"Seharusnya dia tak pernah melawan keputusan Paduka."

Cromwell tertawa sambil tersenyum. "Baiklah, Nona Gotha Selatan. Aku akan menunjukkan sebuah elemen 'Void' padamu."

Fouquet menonton gerakan Cromwell dengan napas tertahan. Cromwell meraih tongkat yang terpasang di pinggangnya. Sebuah nyanyian rendah dan hening keluar dari mulut Cromwell. kata-kata itu tak pernah didengar Fouquet sebelumnya. Saat nyanyian itu selesai, Cromwell dengan perlahan menurunkan tongkat dan menunjuk pada mayat Wales. Lalu...Tiba-tiba. Wales, yang badannya sudah dingin, membuka matanya. Sebuah rasa dingin menyergap punggung Fouquet. Wales perlahan duduk. wajah yang tadinya kurang darah kini hidup kembali sebagaimana dahulu. Seperti bunga gugur yang menyerap air, tubuh Wales hidup kembali.

"Selamat pagi, Putra Mahkota." gumam Cromwell.

Wales yang hidup kembali membalas senyuman Cromwell. 'Sudah lama sekali, Pendeta."

"Lancang kau, aku kini seorang kaisar, Putra Mahkota yang tercinta."

"Begitukah? Aku minta maaf untuk itu, Paduka."

Wales berlutut dan bersikap bagai Vassal.

"Kupikir aku akan membuatmu pengawal pribadiku, Wales."

"Dengan senang hati."

"Kini, Ayo berteman."

Cromwell mulai melangkah, Wales, yang tak tampak dia baru saja mati, berjalan di belakangnya, lalu, Cromwell, sekan teringan sesuatu, berhenti dan berbalik sembari mengatakan: "Wardes, jangan khawatir. Bahkan bila aliansi terbentuk, Ia takkan jadi apa-apa. Bagaimanapun, Tristain tak tertolong. Tiada perubahan dalam rencana."

Wardes membungkuk.

"Ada dua cara diplomasi - Tongkat dan roti. Mari berikan roti hangat pada Tristain dan Germania untuk sementara ini."

"Sebagaimana yang kau inginkan."

"Tristain adalah daerah yang perlu dikuasai. Keluarga kerajaan itu memiliki Buku Doa sang Pendiri. Aku perlu memilikinya untuk merebut kembali Tanah Suci."

Setelah mengatakan ini dan mengangguk menyetujui, Cromwell pergi.

---

Hanya setelah Cromwell dan Wales tak terlihat lagi, Fouquet dapat membuka mulutnya. "Itu,,,void...? untuk membangkitkan yang mati. Itu tak mungkin."

Wardes bergumam. "Elemen void mempermainkan hidup...Itu yang dikatakan Paduka, sepertinya dia benar. Meski aku juga tak mempercayainya, setelah menyaksikan ini - bagaimana aku bisa tidak?."

Fouquet menanyai Wardes dengan suara bergetar. "Tadi kau bersikap sebagaimana ini juga, mungkinkah kau juga terkena sihir void?"

Wardes tertawa.

"Aku? Aku beda. Ini hasil dari kehidupan menyedihkan yang kudapat sejak lahir."

Setelah itu, Wardes menatap langit. "Namun..begitu banyak nyawa yang diberikan untuk Tanah Suci Sang Pendiri...bagaimana jika mereka dibangkitkan lagi oleh elemen 'Void'?"

Ketakutan, Fouquet memeluk dadanya, Dia merasakan sebuah denyut lemah. Dia tiba-tiba merasa perlu memeriksa bahwa dia masih hidup.

"Jangan begitu, Itu hanya bayanganku saja. Kau bahkan boleh menyebutnya khayalan."

Fouquet mendesah lega. Lalu dia menatap wardes. "Itu mengejutkan, itu saja."

Sambil menepuk bagian yang dahulu terpsang lengan kirinya, dia berkata lembut. "namun, aku sendiri ingin tahu. Apa ini hanya khayalan? Atau kenyataan? jawabannya pasti terletak di Tanah Suci...itu yang kurasakan."


Tiga hari setelah Saito dkk kembali ke Akademi Sihir, perkawinan antara Henrietta sang Putri Tristainia dan Albrecht III sang Raja Germainia diumumkan secara resmi. Upacara akan diadakan bulan berikutnya, sebelum keputusan tentang aliansi militer. Keputusan soal aliansi akan dilaksanakan di Vindobon, ibukota Germania, dimana bunyi persetujuan akan ditandatangani sang Perdana Menteri, Cardinal Mazarin dari tristain. Sehari setelah aliansi, sebauh pemerintahan baru Albion didirikan. Dalam sekejap, ketegangan mencuat diantara kedua negara, tapi Kaisar pertama Kerajaan Albion, Cromwell mengirimkan utusan khusus ke Germania dan Tristain sekaligus, untuk menandatangani pakta non-agresi.

Hasilnya, kedua negara menyelenggarakan sebuah konferensi. Bahkan dengan gabungan kekuatan udara kedua negara, mereka tak bisa melawan angkatan udara Albion. Meski pakta non-agresi lebih terasa sebagai pisau di leher, kedua negara tak punya banyak pilihan, dan tawaran ini adalah yang terbaik yang bisa diharapkan. Namun...damai yang ada di Halkegenia hanya berada di permukaan. Para politikus tak bisa tidur siang-malam. Tak hanya ningrat, rakyat jelata juga menunggu hari esok dengan tegang. Akademi Sihir Tristain bukanlah suatu pengecualian.