Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume3 Bab3

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 3 - Buku Doa Sang Founder

Sir Osmond tengah menatap buku yang dikirim istana dan memainkan janggutnya sambil melamun. Tutupnya, yang dilapisi bulu yang menua, sudah begitu lapuk sehingga tampaknya bakal robek oleh satu sentuhan, Warna halaman buku tampak menguning-coklat. Hmm...sambil bergumam, Sir Osmond membalikkan sebuah halaman. Tiada yang tertera disana. Ada sekitar 300 halaman yang mengisi buku dan semuanya kosong.

"Ini telah diturunkan melalui keluarga kerajaan Tristain, 'Buku Doa sang Pendiri'..."

6000 tahun lalu, Brimir sang Pendiri mempersembahkan sebuah doa kepada Tuhan dan menuliskan mantrnya, menggunakan aksara sihir sebagai hurufnya.

"Ini bukan yang palsu, kan?"

Sir Osmond menatap buku tersebut dengan curiga. Pemalsuan...ini sering terjadi denga hal-hal "legendaris"/ Sebenarnya, hanya ada satu 'Buku Doa sang Pendiri' di dunia ini. Ningrat kaya, pendeta kuil, seluruh keluarga kerajaan dari tiap negeri- Mereka semua mengaku memiliki 'Buku Doa sang Pendiri' yang asli. Entah asli atau palsu, mereka semua dikumpulkan di perpustakaan secara setara bagaikan yang asli.

"Tapi jika ini yang palsu, ini sangat buruk. Seluruh hurufnya hilang."

Sir Osmond telah melihat sebuah 'Buku Doa sang Pendiri' berulangkali sebelumnya, di tempat yang berbeda-beda. Tandanya selalu ada dan disusun satu dengan yang lain secara berurut. Namun, dia tak pernah menemukan sebuah buku dengan huruf seperti ini. Apa ini yang asli? Tepat saat itu, dia mendengar suara ketokan seseorang, aku seharusnya menggaji seorang sekretaris pikir Sir Osmond saat dia mempersilahkan tamunya masuk ruangan.

"Ia tak dikunci. Ayo, masuklah."

Pintu terbuka dan seorang gadis langsing melangkah masuk. Dia berambut pink-blonde dan bermata coklat kemerahan. ia Louise.

"Kudengar anda memanggilku, jadi..." kata Louise

Sir Osmond bangkit dan melebarkan lengannya, menyambut pengunjung mungilnya. Dan berempati dnegan nyeri Louise di hari sebelumnya.

"Oh, Nona Vallière. Apa kau sudah beristirahat setelah perjalanan yang melelahkan? Usaha kerasmu mengamankan keamanan aliansi dan mencegah krisis di Tristain." kata Sir Osmond dnegan suara lembut.

"Dan, bulan depan di Germania, akhirnya akan diadakan upacara pernikahan antara Putri dan Kaisar Germania. Ini semua berkat engkau, Banggalah pada dirimu."

Setelah mendengar ini, Louise menjadih sedih untuk sesaat. Teman masa kecilnya, Henrietta, sebagai alat politik, akan menikahi Kaaisar Germania tapa cinta. Meski tiada jalan lain untuk beraliansi, saat Louise mengingat senyum sedih di bibir Henrietta, dadanya terasa sesak. Louise dengan hening menunduk. Sir Osmond diam sesaat dan mengamati Louise, kemudian teringat 'Buku Doa sang Pendiri' di tangannya, kemudian menyerahkannya pada Louise.

"Apa ini?"

Louise mengamati buku dengan pandangan curiga.

"'Buku Doa sang Pendiri'"

" 'Buku Doa sang Pendiri'? ini?"

Ia diberikan pada keluarga kerajaan. Sebuah buku legendaris. Tapi mengapa Sir Osmond memilikinya?

"Dlam tradisi keluarga kerajaan Tristain, selama sebuah pernikahan keluarga kerajaan, seorang aristokrat dipilih untuk berperan sebagai bridesmaid. Bridesmaid yang terpilih secara tradisional 'Buku Doa sang Pendiri', menurut aturan kerajaan."

“Uh huh.”

Louise, yang tak tahu soal etika istana selengkap itu, menjawab dnegan kepala kosong.

"Dan Putri telah memilih Nona Vallière untuk menjadi bridesmaid itu."

"Putri?"

"Benar. Perawan kuil seharusnya membuat doa tertulis selama membawa 'Buku Doa sang Pendiri' ini.

"A...ah! Aku harus berpikir soal doa?"

"Tepat sekali. Tentu saja, ada beberapa hal dalam etika istana yang harus kau latih...Tradisi dapat agak mengekang. Namun, Nona Vallière, sang putri berharap padamu. Ini adlaah kehormatan yang agung. Jadi ikuti saja aturan istana dan norma yang berlaku, karena hal seperti ini hanya terjadi sekali seumur hidup."

Henrietta, teman masa kecilku, memilihku sebagai bridesmaidnya. Louise dengan tegas memandang lurus.

"Aku mengerti. Aku akan patuh dengan hormat."

Louise menerima 'Buku Doa sang Pendiri' dari tangan Sir Osmond. Sie Osmond tersenyum, dan memandangi Louise.

"Kau berkeinginan keras untuk menyelesaikannya. Bagus sekali. Putri pasti senang."


Sorenya, Saito menyiapkan sebuah pemandian. Memang, Akademi Sihir Tristain memiliki pemandian umum. Ia merupakan pemandian umum bergaya Roma, diisi dengan marbel. Ia memiliki kolam renang raksasa, yang diisi air panas bercampur parfum yang katanya akan memberikan perasaan surgawi, dan tentu saja, Saito tak bisa memasukinya. Hanya para ningrat yang diperbolehkan menggunakannya. Pemandian umum Akademi untuk jelata, bila dibandingkan dengan pemandian umum untuk ningrat, agak kumuh. Pemandian umum gabuangan untuk jelata terlihat bagai ketel. Berada di atas bebatuan, dibawahnya api membakar, dan bau kuat dari keringat dan badan-badan yang berdesakan, hanya akanmembuatmu lebih berkeringat.

Satu hari di kamar mandi itu sudah sangat cukup bagi Saito. Saito, yang dibesarkan di Jepang, Menyiapkan pemandian dengan sebuah Ketel berisi air panas sampai penuh. Sauna terasa tak memuaskan. Merasa tergelitik, Saito menanyai Marteau, sang Koki kepala dan menerima satu ketel besar dan tua. Dia membuat bak mandi dari itu. Bak mandinya dipanaskan dari bawah dengan tutup kayu melayang yang ditekan ke bawah air oleh yang mandi. Kayu bakar, yang dibakar di bawah ketel, memanaskan air. Pemandian Saito terletak di ujung Lapangan Vestri. Ia nyaman. karena orang-orang tak sering kesini. Hari akan berakhir ketika kedua bulan muncul, menyinari samar-samar. Tepat saat airnya cukup panas. Saito dengan cepat mencopot pakaiannya dan menenggelamkan kakinya kedalam ketel raksasa tersebut.

"Aah, enak nih, air panas."

Dia memakai handuk di kepalanya dan mulai membunyikan sebuah melod. Derflinger, yang menyender di dinding ketel, memanggil Saito: "Apa itu enak?"

"Ya."

"Ngomong-ngomong, rekan, mengapa kau tak mengambil kesempatan dari nona muda waktu itu?"

Saito melemparkan pandangan tajam nan sinis pada Derflinger.

"Jangan lihat aku seperti itu. Terasa tak enak, rekan."

"Hei, pedang legendaris."

"Memang sih aku si pedang legendaris, ada apa?"

"Selama 6000 tahun ini, apa kau menemukan orang yang penting bagimu untuk dilindungi?"

"Aku tak melindungi. Pemegangku yang melindungi seseorang."

"Kasihan kau..." kata Saito dari dasar hatinya dengan suara simpatik.

"Kasihan kau bilang? Sebaliknya, ini agak nyaman."

"Begitukah? Ngomong-ngomong, apa saja yang ingat soal ‘Gandálfr’ ini? Seberapa hebat dia dan apa saja sih yang dilakukannya?"

Saito, yang menunjukkan keingintahuannya yang memancar, menanyai Derflinger.

"Lupa."

“Huh.”

"itu sudah lama sekali. Lagipula, rekan, seseorang datang."

Sebuah bayangan muncul dalam siraman cahaya rembulan.

"Siapa?"

Panggilan Saito mengagetkan si bayangan. Ia menjatuhkan barang yang dibawanya denga ribut. Dibawah sinar rembulan, dpat terdengar suara pot yang pecah.

"Waaah, pecah nih...Aku akan dimarahi lagi...haa...."

Dari suara itu, Saito dapat mengenali siapa yang menunjukkan diri dari kegelapan.

“Siesta?!”

Diterangi cahaya rembulan, sebentuk pelayan rumah yang bekerja di Aula Makan Alviss - Siesta - muncul. Dia baru saja menyelesaikan kerjaannnya dan, meski dia masih memakai pakaian pelayannya yang biasa, kachusha yang menghiasi kepalanya tak tampak. Rambut hitam sepanjang bahunya yang bebas berkilauan. Siesta membungkuk untuk mengambil apa yang dijatuhkannya tadi.

"A-apa yang kau lakukan disini?"

Panggilan Saito membuat Siesta menoleh.

“Uhmmm...hari ini aku bisa mendapatkan makanan yang benar-benar lezat dan kuingin Saito mencobanya! Aku tadinya ingin memberikannya padamu di dapur, tapi kau tak datang hari ini! Waah!" kata Siesta yang panik. Memang, ada nampan yang tergeletak di samping Siesta, sebuah pot teh dan beberapa cangkir. Sepertinya Siesta menjatuhkan satu cangkir, karena kaget oleh panggilan yang tiba-tiba.

"Sebuah traktiran?" tanya Saito, yang masih berada di bak. Tiba-tiba Siesta menyadari ketelanjangan Saito dan, untuk sesaat, menundukkan pandangannya karena malu.

"Itu benar. Beberapa barang yang tak biasa dari ‘Rub' al Khali’ sang kota timur. Teh."

"Teh?"

Barang-barang beginian sangat jarang. Siesta menuangkan secukupnya dari pot teh kedalam cangkir yang tak pecah dan memberikannya pda Saito.

"Makasih."

Saito mengangkatnya mendekati bibir. Aroma manis teh menggelitik nostrilnya. Dan saai itu menyentuh mulutnya, rasanya bagai teh hijau Jepang. Saito tiba-tiba dilanda rasa nostalgia. Aah, Jepang. Ibu negeriku. Dalam bak mandi ketel raksasanya, Saito terus menghapus sudut matanya.

"A-ada apa! apa kau baik-baik saja?"

Siesta membungkuk dekat ujung ketel.

"Ti-tidak, aku hanya terkenang untuk sesaat. Aku baik-baik saja. Pasti."

Setelah berkata begitu, Saito mendekatkan cangkir kembali ke mulutnya. Meski teh dan mandi membuat kombinasi yang aneh, mereka membasahi Saito yang kehausan.

"Apa kaumerindukannya? Pastilah, Saito-san datang dari timur."

Siesta tersenyum malu sekilas.

"A-aku mungkin merasa begitu. Tapi, apa kau tahu aku sering disini?"

Perkataan Saito membuat wajah Siesta memerah.

"I-itu, Itu...Aku hanya disini karena melihatmu pergi ke arah ini dengan air panas dan..."

"Kau mengintip?"

Suara Saito yang mengatakan itu hampa. Siesta dengan enggan menggelengkan kepalanya.

"Ti-tidak, aku tak bermaksud begitu!"

Tak tahu harus berbuat apa, Siesta terantuk ujung ketel dengan dengan suara byur yang keras, tercebur kedalam ketel.

“Kyaaaaaaa!” teriak Siesta, tapi suaranya teredam air panas dalam ketel besi.

"Apa kau baik-baik saja?"

"A-Aku baik-baik saja...Wah, tapi aku basah sekarang..."

Siesta menyembulkan kepala basahnya keluar air panas. Baju pelayan gadis yang patut dikasihani ini basah. Dan saat dia menyadari keadaan telanjang Saito, merah mewarnai seluruh mukanya. Saito panik.

"Ma-maaf! Meski baknya diatas api unggun, masih mungkin untuk terjatuh kedalamnya!"

"Ti-tidak, aku minta maaf!"

Meski dia meminta maaf, Siesta tak berusaha keluar dari bak mandi, Saito lalu memutuskan untuk bersikap biasa juga. Dia berpura-pura bersikap sopan bahwa bukan suatu masalah besar Siesta tak keluar. Saat-saat seperti ini, dia mencoba tenang dan bersikap dingin. Apa ini diterima> Saito pikir begitu. Yang berarti Saito juga seorang tolol,

“Ufufu”

Siesta tertawa, masih dengan baju pelayannya yang basah didalam ketel raksasa. Meski situasinya tak lucu, dia tetap tertawa.

"Apa yang salah?"

Mungkin ukurannya merupakan bahan tertawaan? Meski gelap dan tiada yang dapat melihat dibawah permukaan air, Saito tiba-tiba merasa tak nyaman.

"Tak apa-apa, tapi, ini terasa enak. Inikah caramu mandi di negeri saito?"

Merasa lega, saito menjawab. "Itu benar. Meski, tak biasa untuk masuk sambil mengenakan pakaian."

"Ara? Begitukah? Tapi, dipikir-pikir memang begitu sih. Baiklah, aku akan menanggalkan mereka."

"Ya?"

Saito bertanya pada Siesta sambil terbelabak. "Apa yang batu saja kau katakan?"

Siesta, yang biasanya enggan dan pemalu, untuk alasan tertentu menjadi berani. Dengan agak mnggigit bibirnya, dia menatap Saito dengan sikap pasti. "Kubilang, aku akan menanggalkan mereka."

"Tapi Siesta? aku seorang lelaki..." kata Saito sambil terbengong.

Itu benar. Kutahu Saito bukanlah orang yang akan menyakitiku."

Saito mengangguk, meski dia belum mendengar satu kata pun.

"Jangan, oh, aduh, jangan begini..."

"Tapi aku juga ingin menggunakan pemandian ini dengan benar. Ia nyaman.:

Dan, eh? Saito menatap begitu Siesta bangkit dari air panas dan julai menanggalkan pakaian basahnya. Saito memalingkan wajahnya dalam panik.

"He-hentikan! Siesta! Tunggu sebentar! Kubilang!"

Namun, 'Hentikan' Saito terdengar lemah, mengkhianati kehendak sebenarnya.

"Ta-tapi aku kebasahan...Sang Kepala pasti marah kalau aku kembali ke kamar seperti ini. Kupikir aku harus mengeringkannya di api dulu."

Meski terlihat patuh, Siesta dapat menjadi berani di saat-saat dia sudah memutuskan. Kancing blus dan rok dilepas dalam sekejap. Rasanya enak saat menanggalkan pakaian yang basah.Siesta menanggalkan seragam pelayan dan pakaian dalamnya dan membiarkan mereka kering diatas kayu bakar, dekat api. Setelah itu, dia memasuki air panas lagi. Saito, dari sudut matanya, menonton kaki Siesta yang masuk. Dia tak pernah melihat kaki telanjang Siesta, yang selalu tersembunyi dibelakang rok. Mereka putih dan sehat. Aah, jika saja dia menoleh ke arah itu, dia bakal menyembah seluruh badan Siesta.

"Uwaa! Rasanya enak! Berbagai pemandian seperti ini, memasuki air panas benar-benar enak! Rasanya bagai pemandian seorang ningrat. Aku sangat iri, tapi aku bisa memenuhinya, ya kan? Saito, kau benar-benar cerdas."

"Ga-ga juga." jawab Saito, tetap membuang wajahnya. Rasanya air panas semakin panas. Disebelahnya adalah gadis yang telanjang. Dalam situasi begini, Saito merasa pening dan nyaris pingsan.

Siesta verkata dengan senyum malu di bibir. "Ayolah, jangan malu. Aku juga tidak. Tak apa-apa menoleh kesinio. Lihatlah, dadaku tersembunyi dibawah lenganku...lagipula, kini gelap sehingga kau tak bisa melihat menembus air juga sih, jadi tenanglah."

Saito, yang merasa setengah pusing, setengah senang, menoleh. Siesta duduk tepat di hadapan Saito, tercelup dalam air panas. Karena gelap, kau tak bisa melihat jelas tubuh di bawah permukaan air. Dia terlihat lega. Namun, Saito mengambil sebuah napas dalam/ Dalam kegelapan, rambut hitam basah Siesta berkemilauan, memukau siapapun yang memandangnya. Dilihat secara dekat, siapapun bisa melihat Siesta sebenarnya gadis yang sangat manis. Dia tak menyadarinya hingga sekarang, tapi dia berbeda dari Louise maupun Henrietta, dia bagai aura dari bunga manis yang berkembang liar di ladang. Mata gelap besarnya, sikap bersahabatnya dan hidung kecilnya menarik dan cantik.

"Hei, Saito, negerimu seperti apa?"

"Negeriku?"

"Ya, mohon ceritakan padaku tentangnya."

Siesta dengan lugas membungkuk ke depan untuk mendengarkan. Ah, bila terlalu membungkuk ke depan, semua bisa melihat, ah, aah...Saito mundur dalam panik.

"Ya...Hanya ada satu bulan, tiada penyihir, itulah mengapa mereka menggunakan tombol untuk mematikan lampi, dan terbang di langit dengan kapal..."

Karena Saito ngomong melantur, Siesta menekan pipinya,

"Hentikan. Satu bulan, tiada penyihir, apa kau mempermainkanku? Jangan memandangku rendah hanya karena aku seorang gadis desa."

"A-aku tak mempermainkanku!"

Saito pikir, bahkan meski dia menceritakan yang sebenarnya, itu hanya akan memusingkannya. Memang, saat ini, yang tahu Saito dari dunia lain hanyalah Louise, Sir Osmond dan Henrietta.

"Baiklah, katakan yang sebenarnya."

Siesta menatap lurus mata Saito. Rambut hitam dan mata gelap Siesta membuat Saito samar-samar teringat gadis jepang. Tentu saja, wajahnya berbeda dengans eorang jepang. Namun, rasa rindu yang kecil tetap menembus Saito, membuat hatinya sakit.

"Be-benar...Kami punya kebiasaan makan yang berbeda."

Saito mulai bercerita tentang Jepang yang jauh. Siesta dengan mata berkerlip mendengarkan cerita penuh perhatian. Meski mungkin terasa bagai cerita hambar, Siesta dengan penuh menangkap tiap kata. Dan sebelum mereka tersadar, Saito dan Siesta tak sadar waktu telah jauh berlalu, begitu cerita dari kota asal dibentangkan. Setelah beberapa waktu, Siesta bangkit sambil menutupi dadanya. Saito dengan enggan membuang pandangannya. Namun, Untuk sesaat, dia tetap melihat dada Siesta melalui sebuah celah diantara lengannya, dan merasa hidungnya mimisan. Tanpa sepatah kata, sebuah aliran tebal mengucur deras. Sambil memegang hidungnya, Saito menoleh ke sisi lainnya, sedangkan Siesta tengah mengenakan pakaiannya yang mengering dan menganggukkan kepalanya, berterima kasih pada Saito.

"Terima kasih. Ini sangat menyenangkan. Pemandian ini luar biasa, dan cerita Saito-san juga mengagumkan." kata Siesta dengan senangnya. Setelah itu, Siesta menundukkan pandangannya dengan wajah memerah, dan dengan malu memainkan jemarinya.

"Yah, erm? Obrolan dan pemandiannya menyenangkan, tapi kau yang paling mengagumkan..."

“Siesta?”

"Bisakah kau..."

"A-Apa?!"

Tapi Siesta melarikan diri dengan langkah-langkah kecil. Hal beginian terjadi dengan gadis dari dunia asing, ini terasa bagai sebuah lelucon bagi Saito, jadi dia terbengong-bengong, dan tersuruk dalam ketel besi raksasanya.


Setelah mandi, dia kembali ke kamar Louise dan menemukan Louise melakukan sesuatu di atas kasur. Begitu dia melihat Saito, dia menyembunyikan buku itu dengan paniknya. Buku yang tua dan besar. Mengapa? Meski, dia tak begitu mengklhawatirkannya, toh, itu Louise. Dia mungkin tak mengerti bahkan jika diceritakan soal itu. Lagipula, kepala Saito tengah dipenuhi potret tubuh Siesta. Apa yang dilihatnya diantara celah lengan, tercetak kuat dalam pikiran Saito. Saito menghampiri keranjang cucian, sambil mencabuti pikiran duniawinya. Dia memutuskan untuk langsung mulai mencuci. Dia berencana menggunakan air panas sisa dari pemandian, jadi jemarinya takkan kedinginan. Namun, keranjang itu kosong.

"Louise, dimana cucian?"

Saat Saito bertanya, Louise menggelengkan kepalanya.

"Sudah dicuci."

"Kau mencuci..."

Dan kemudian Saito memandangi Louise. "Huh!" Dia terkejut. Louise tengah mengenakan jaket nilonnya yang dilepas dan ditinggalkannya di dalam kamar sebelum pergi mandi.Saat saito pergi ke pemandian umum, dia selalu menanggalkan jaket nilonnya dan pergi hanya dengan kaosnya, karena badannya terasa terlalu panas setelah melangkah keluar pemandian. Louise kemungkinan mengenakannya tepat diatas pakaian dalamnya. karena lengan bajunya terlalu panjang dan bagian perut terlalu lebar, ia terlihat bagai baju yang aneh.

"Kau, mengapa kau mengenakan pakaian terbaikku?1"

Mendengar Saito, Louise mengubur mulutnya di belakang jaket nilon Saito. Louise, yang pipinya memerah karena alasan tertentu, berkata. "karena...setelah mencuci, aku tak punya apapun untuk dikenakan."

"Omong kosong! Ia penuh!"

Saito menunjuk lemari. Ada banyak pakaian Louise. Karena Louise seorang ningrat, dia punya banyak pakaian mahal untuk dipilih.

"Tapi, aku tetap ingin mencoba sesuatu yang beda." kata Louise yang tengah duduk tegak di kasur dengan suara memohon.

"Tak bisakah kau mengenakan pakaian santai?"

Saito mengambil sepotong baju santai dengan tangannya,

"Aku tak ingin mengenakan sesuatu seperti itu!"

"Tapi ini adalah satu-satunya pakaianku. Kembalikan."

Namun, Louise tak mencoba menanggalkannya. Malah, dia menggulung lipatannya diantara jemarinya.

"Yah, ini ringan dan pas. Ini terbuat dari apa?"

Memang, Saito harus setuju itu memang pas dengannya. Akhirnya, dengan enggan, dia memutuskan menyerah. Didalam kamar tak dingin, bahkan bila hanya mengenakan kaos.

"Nilon."

"Nailon?"

"Itu serat dari duniaku. Ia terbuat dari minyak."

"Ningak?"

"Plankton yang terkumpul di dasar laut disimpan selama bertahun-tahun, dan kemudian jadi minyak."

"Burangkatong?"

Louise menatapnya hampa, dia terlihat bagai anak yang mengucap-ulang kata-kata Saito. Ekspresinya tak terbaca karena setengah wajahnya tersembunyi di belakang jaket Saito. Untuk sesaat, Saito pikir Louise ini terlihat lucu yang tak menahan. Lebih jauh lagi, Louise bahkan mencuci untuknya. Mustahil. Entah kenapa, Saito menjadi taku. Hingga kini, tindakan seperti itu tak terbayangkan bakal dilakukan Louise. Pipinya merah, sehingga Saito yang perhatian memutuskan memeriksa apa dia tak sakit atau demam. Louise kaget saat saito menghampirinya. Dia gemetar, dan...membuang muka. Mencoba tak memikirkan bagaimana dia sangat membencinya, Saito mencengkram bahu Louise dan menempelkan dahinya di dahi Louise. Badan Louise mengaku tapi dia tak mencoba melawan dan dengan hening menutup matanya.

Tepat seperti yang kupikir, kondisi badannya pasti sangat buruk, pikir Saito.

Sepertinya kau demam."

Saat Saito menarik kembali dahinya, Louise, entah kenapa, mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Ada apa?" tanyanya, begitu Louise membuang muka dan setelah grasak-grusuk yang hening, masuk kedalam selimut.

"hey," tepuk Saito.

"Tidur." jawab Louise dan hening lagi.

Wow, demamnya pasti sudah mendingan, pikir Saito sambil merangkak menaiki tumpukan jeraminya. Semuanya hening sesaat kemudian sebuah bantal terbang ke arahnya.

"Apa-apaan...?" tanya Saito.

"Bawa kembali bantal yang baru saja kulempar. Bukankah kubilang padamu untuk tidur di kasur mulai sekarang? Tolol."

Suara Louise yang pundung terdengar. Dia tetap tak bisa mengerti hati Louise, apa ia lembut atau pedas seperti biasa. Apa itu berpengaruh?, pikir Saito sambil naik kasur Louise. Meski Louise bergerak-gerak tiada henti dalam kasurnya, lama-lama dia berhenti. Sekarang dia bisa memikirkan bagaimana hari-hari berlalu. Namun, kini kepalanya diisi Siesta. kata perpisahan Siesta terus bergema di kepalanya. Siesta dengan jelas bilang "Yang paling mengagumkan adalah kau..."

Apa itu "menembak"? tidak, Apa dia mempermainanku? tak mungkin. Apa aku terkenal? Ga juga sih. Satu-satunya yang tertarik adalah Kirche, tapi itu pasti karena aku biasa. Aah, tapi, Siesta itu lucu. Meski Louise juga lucu, Siesta juga punya rasa yang beda... naif, sederhana, tapi jujur. Tak seperti Kirche, dia tampak mengagumkan saat menanggalkan pakaiannya. Ghaah. I-Itu benar. Bagus. A-a-a-a-a-pa. Sial. Kalah. Aku terbenam. Untuk sesuatu yang tak begitu disadarinya hingga saat ini, dampaknya luar biasa. Tersihir oleh sang gadis, Saito mulai berpikir bagaimana caranya kembali ke bumi. Dia pasti akan menemukannya, bahkan jika dia belum memiliki petunjuk paling kecil sekalipun.

Kemudian, dengan agak pusing, dia mulai berpikir soal Louise, Dia mencintai Louise. Tapi, karena Louise seorang ningrat, dia takkan pernah berpikir begitu soal aku. Lagipula, aku memutuskan untuk melindunginya. Dengan cara ini, aku takkan begitu jauh dari posisi seorang cinta. Tetap saja, untuk menjadi cinta, seseorang perlu menangkap si gadis...Tidak, bahkan Siesta sekalipun mungkin saja hanya bermain-main. Aah, sepertinya begitu keadaannya. Tak kuat menahan kantuk, Saito mulai jatuh ke rasa senang dunia mimpi sambil memikirkan berbagai hal.


Di luar jendela kamar Louise, Sykphid tabitha tengah melayang, Diatasnya, tampak sosok Kirche dan Tabitha yang tengah duduk. tabitha tengah membaca sebuah buku sambil diterangi cahaya rembulan. Kirche tengah mengintip kedalam kamar Louise dari lubang jendela.

Kirche mendengus. "Setelah semua itu, sepertinya ini tak baik."

Dia ingat wajah kemerahan Louise saat memeluk Saito diatas punggung naga saat kembali dari Albion. Louise tampak bukan dia yang biasa.

"Bener nih, dia tak menghiraukan aku? Tiap kali aku menghampirinya, aku ditolak, itu membuatku khawatir, diluar kehendakku."

Hingga kini, tiada lelaki yang menolak bersama dengannya, Itu kebanggan Kirche. Sebenarnya, Kirche merasa terlupakan, bagaikan dia hanyalah sesuatu yang tak berharga. Kirche tersinggung. Baru saja tadi, dia bahkan mandi bersama putri seorang jelata. Dia diacuhkan dan diduakan. Harga diri Kirche digoyahkan. Dia dikalahkan Louise, dia dikalahkan gadis jelata, ini membuat namanya, "Ardent" menangis. Dia harus menceraikan Saito dari Louise, dengan cara apapun. Merebut cinta La Valliere adalah tradisi lama Zerbst.

"Ya, meski memplot bukan keahlianku, aku masih bisa merencanakan beberapa, Benar kan, Tabitha?"

Tabitha menutup bukunya, dan menunjuk pada Kirche. 'Cemburu."

Wajah Kirche memerah. Dan lalu menggelengkan kepalanya terhadap kata-kata Tabitha.

"Ja-jangan bilang begitu! Aku tak cemburu! Aku tak bisa merasakan cemburu! Permainan! Ini hanyalah sebuah permainan cinta!"

Semua itu tak mampu meyakinkan Tabitha. Dia mengulangi kata itu.

"Cemburu."