Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume6

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 1: Pulang

‘Berpergian sungguh membuatku bersemangat!”

Teriak Siesta sambil menekan dada raksasanya pada lengan Saito.

Daripada “bersemangat”, rasanya lebih tepat kalau dibilang “menyentuh.”

Dengan wajah yang terbata-bata, Saito mengangguk pendek.

Didalam kereta, ada Saito dan Siesta yang duduk saling bersebelahan.

Siesta memakai baju terusan berwarna hijau gelap dengan boot tinggi. Dia juga mengenakan topi jerami kecil, yang mana kesemuanya membuat penampilannya manis.

Saat Siesta yang berambut hitam, manis dan tanpa dosa berpenampilan seperti itu, dia tampak terlalu manis secara keseluruhan. Lebih dari jadi lucu, jadi sulit untuk menahan diri.

Sial kau, menempatkanku dalam situasi ini.

Dan bagain terburuknya adalah, Sambil membuat gerak yang sangat mencurigakan, Siesta yang manis tetap memancarkan aura manis nan suci.


Begitu dia duduk di sebelah Saito, dia memeluk salah satu lengannya dan meremas dadanya pada lengan itu.

“S-S-S-Siesta, saat kau mendekat padaku...dadamu menyentuh lenganku dan...dan...” kata Saito, setengah menangis dan menjadi terbata-bata.

“Ah, aku memang sengaja melakukannya!”

kata Siesta dengan wajah tidak perduli yang penuh senyum.

“Se-seperti ini, sengaja, itu...Di tempat seperti ini, ada orang, hei, kau...”

Saito, yang tak bisa berhenti ngomong, untuk menahan pikirannya tetap sadar, memprotes.

“Kau tak harus mengkhawatirkan si supir, dia sebuah golem.”

Pemuda yang duduk di kursi supir memang sebuah golem, boneka yang entah bagaimana bergerak dengan kekuatan sihir.

Pas saat kau mengatakannya, matanya memang seperti bijih gelas pemancar cahaya.

Akibatnya, ini membuat Siesta semakin berani. Dia menempatkan pipinya di bahu Saito dan mulutnya dekat telinga Saito, sambil mencampurkan desahan di dalam suaranya.

“...Melakukan hal seperti ini, hanya kita berdua..sudah lama sekali, ya?”

“Y...Yah...”

“Kupikir aku mendengarnya suatu saat, tapi selama libur musim panas, apa sih yang kau lakukan bersama nona Vallière?”?”

Aku tak bisa menceritakan ini padanya.

Aku tak bisa mengatakan bahwa Henrietta meminta kami melaksanakan sebuah tugas rahasia.

Meski sebagian besar habis untuk mencuci piring dlll. ini tetap sebuah rahasia sebuah rahasia.

“Uh, umm, itu...aku bekerja di bar, Louise bekerja di benteng jadi...aku tak tahu apa yang dilakukannya,” Saito berbohong soal Louise. Mengatakan yang sebenarnya soal dirinya kemungkinan tak apa-apa, putusnya.

“Oh! Sebuah bar! saito melakukan itu? Mengapa?”

“ Eh, Uh, itu...Aku tak punya uang sepeserpun.”

“Kalau itu sih, bilang saja padaku dan aku dengan senang hati akan menolong!”

“Kau akan membantu?”

“Ya, memang tak banyak, tapi aku telah menabung sedikit dari gajiku!”

Memang ini yang diharapkan dari seorang gadis desa yang dapat dipercaya. Tidak menghamburkan uang, dia orang yang hemat.

Penawaran baik Siesta membuat Saito senang.

“Tak apa-apa. Entah bagaimana, aku selamat!”

“Benarkah? Tapi, pada waktunya kau benar-benar butuh, mohon kau tak segan-segan bilang padaku.”

Tak mungkin aku meminjam sepeserpun uang dari gadis mengagumkan yang telah menyisihkan dan menabung seperti ini.

“Aku tak bisa meminjam uang dari Siesta-san!”

“Mengapa? Bila ini untuk Saito-san, uang tiada artinya bagiku!” setelah dia selesai berbicara, gadis itu menurunkan bahunya.

“Ah, baiklah, maksudmu kau benar-benar tak tertarik untuk menggunakan uangku, kan?”

“Bukan itu alasannya!”

“Kau pasti membenciku!”

“Tidak, bukan seperti itu!”

“Benarkah? Tapi Saito selalu dingin padaku...”

“AKu? Bagaimana mungkin?”

“Aku duduk di sebelahmu, dan kau tak melakukan apa-apa.”

Saat Saito dengan segan bergerak menjauh, Siesta bersenandung sedikit dan menggerakkan bibirnya ke leher Saito. Suatu rasa yang dapat melelehkan orang mengejutkan Saito hingga tak berhingga.

Siesta menggerakkan bibirnya ke atas, dan akhirnya mempermainkan telinga Saito.

Saat merasakan pikirannya hampir meleleh, udara tampaknya menjadi dingin dan sebuah rasa menggigil bergerak menuruni punggung. Saito mencicit dengan nada bergetar, “Si-Si-Siesta-san...”

Saat dia mengatakan itu, sesuatu menerbangkan bagian atas kereta kauh-jauh.

Yah, terbang bukan kata yang tepat. Lebih tepat bahwa suatu peledak tersembunyi membuat semuanya terbang, Saat itulah kereta Saito dan Siesta tiba-tiba berubah dari tertutup menjadi kereta beratapkan cahaya langit.

Gemetaran karena ngeri, Saito perlahan berbalik dan melihat sebuah kereta yang hampir dua kali ukurannya dan jauh lebih megah, dan ditarik dua kuda.

Merasakan aura membunuh memancar dari kereta, Saito tak hanya takut, melainkan sangat takut. Sepertinya aku akan tewas sebelum sampai ke tujuan.

Kereta megah tersebut melepaskan aura kematian yang menelan.

“Wa...Wa...atap keretanya!” Siesta menjerit sambil menempeli Saito.

“Si-Siesta-san!”

“Apa. Apa yang tengah berlangsung?”

“Jika kau tak ingin mati, kupikir kita harus duduk berjauhan.”

Tapi itu hanya membuat Siesta bergelantungan semakin ketat pada Saito.

“AKu tak tahu apa yang terjadi, tapi hatiku suci!”

Dia menjerit dan mendorong Saito jatuh, Di satu sisi, Saito snagat bahagia dan melambung karena perasaan Siesta, pada saat bersamaa pesan lainnya lewat sekilas di pikirannya , “ Haha, ini akhir hidupku. Benar-benar pendek, kuharap setidaknya aku kembali ke tanah Jepang.”


Dari kereta yang berjalan di belakang Saito, dari jendela dari kereta megah tersebut, Louise menyembulkan kepalanya keluar sambil memegang sebuah tongkat sihir coklat muda di tangan, gemetaran karena marah dan bernapas dalam-dalam.

Atap kereta Saito dan SIesta diterbangkan Louise dengan sihir Voidnya, “Ledakan.”

Karena ada jendela di belakanjg kereta, Louise dapat melihat semua yang terjadi di dalam.

Louise bergemetaran saat menonton mereka saling memeluk di kursi mereka dan Siesta mencium leher Saito.

Akhirnya, saat bibir si pelayan mendekati telinga familiarnya, kemarahan Louise meledak. Dia takkan membiarkan familiarnya dicium. Namun, begitu atap diterbangkan, dia menyadari Siesta memeluk Saito lebih erat lagi.

Alis Louise langsung naik dan tepat ketikda dia hendak membacakan kemusnahan pasangan yang bahagia tersebut, seseorang menarik kakinya.

“Kya!”

Pipinya ditarik bersamaan dnegan jeritan itu.

“Ii sa’it! Yan! Au! Funya! Ahh! Ii sa’it!”

Wajah Louise yang sering membanggakan diri dan congkak ini ditarik sebegitunya, dan tak bisa mengeluarkan keluhan satupun. Jika Saito mampu melihat adegan ini, matanya kemungkinan besar meloncat keluar saking terkejutnya.

Yang menarik pipi Louise seperti itu adalah....seorang wanita blonde nan cantik. Dia sekitar 25 tahun. Wajahnya agak mirip Louise. Jika dia menenangkan darah panasnya dan tumbuh sedikit, akankah dia terlihat seperti itu juga? Singkatnya, dia seorang wanita cantik.

“Louise kecil. pembicaraanku belum selesai, kan?”

“Auu...,nmaap. Abe-saba, Nmaap...”

Dengan pipinya ditarik, Louise berteriak dengan suara basah. Ada sekitar 4 sosok mutlak dalam hidup Louise. Henrietta, orang tuanya, dan kakak perempuan yang berlagak bos ini, Eléonore. dia 11 tahun lebih tua dari Louise, putri tertua keluarga La Vallière dan dikenal sebagai peneliti terbaik di Institut Penelitian Sihir Kerajaan, "Academia."

“Meski ini merupakan percakapan yang ditunggu-tunggu denganku, mengapa kau terus-menerus melihat ke tempat lain? Terlebih lagi, kau menerbangkan atap kendaraan pengiring.”

“Itu, Um...aku ingin, um, memisahkan familiarku dengan si pelayan, itulah kenapa...”

Hanya dengan itu, Louise terbata-bata memberitahu kakak perempuannya.

Eleonore memutar-mutar rambutnya, dan menatap tajam Louise. Seperti seekor katak yang diburu seekor ular, Louise menegakkan badan.

“Biarkan para pengiring melakukan apa yang mereka mau! Seperti biasa, kau seorang anak yang tak bisa diam, kan?! Kau adalah putri keluarga La Vallière, paham?! Bersikaplah lebih sadar diri!”

“O-OK...”

Louise menurunkan bahunya dalam diam.

“T-tapi...Apapun yang kau katakan, diambil seorang pelayan akademi itu...”

“Hai udang, apa kau mendengarkan? Keluarga La Vallière bukan hanya suatu keluarga ningrat Tristain, ia adalah keluarga ningrat kita. Bahkan kau seharusnya mengerti itu, kan?

“Ya, Onee-sama.”

“kau tak bisa hanya menggunakan familiarmu sebagai pengiring, kan? Louise, sebagai seorang Wanita, kau harus setidaknya selalu memiliki satu pengiring wanita untuk mengurus dirimu saat bepergian.”

Eléonore yang mengabdi di Academia Tristain, pagi ini datang ke Akademi Sihir untuk mengambil Louise pulang dengannya.

Dia merenggut Siesta, yang berpapasan di dekatnya dengan keranjang cucian di tangan, dan berakta “Gadis ini cukup baik sebagai pengiring perempuan selama perjalanan,” dan setelah mendapatkan izin guru aristokrat yang berada di sekitar, dia membawa Siesta bersamanya untuk mengurus Louise.

Siesta dan Saito menaiki kendaraan untuk pengiring, yang terpaksa disiapkan para karyawan akademi. Louise dan Eléonore menaiki kendaraan mereka sendiri yang sudah biasa datag ke akademi.

Di perjalanan praktis tiada perhentian, jadi sebeanrnya tak ada kebutuhan yang harus dibantu selama perjalanan. Siesta hanyalah sebuah hiasan. Namun, bagi para ningrat, hiasan itu sangat penting.

Dan untuk pikiran sanubari Louise, mereka sama sekali tak tenang.

Ini karena pulang sama sekali bukan bagian dari rencana.

Operasi militer untuk menyerbu Albion diumumkan di sekolah setelah liburan musim panas berakhir, kira-kira pada waktu kedua bulan saling berpapasan... Sudah beberapa dekade berlalu setelah terakhir kali pasukan sang raja kekurangan petugas untuk mengorganisasikan tentara ekspedisi. Telah diputuskan bahwa untuk melakukan itu, para siswa aristokrat akan ditempatkan sebagai petugas. Salah seorang guru dan kepsek OSman menolak, tapi Henrietta, Sang Kardinal, dan para Jenderal Tentara Ratu mengabaikan penolakan tersebut. Akademi akan ditutup hingga akhir perang.

Sang pemegang “Void”, Sang wanita dewan di bawah supervisi langsung Henrietta, Louise, demi kesuksesan strategi penyerbuan, akan diberikan misi-misi khusus.

Namun...setelah Louise melapor pada ortunya bahwa “Demi Tanah-air, aku akan bergabung dengan tentara ratu untuk mengambil bagian dalam penyerbuan Albion, “, laporan itu akihirnya menyebabkan kekacauan besar.

Bergabung dengan penyerangan tak diperbolehkan dan, meski selembar surat datang, dengan mengabaikannya, Eléonore datang.

Tentu saja Louise sangat marah. Bagaimana dengan pergi ke garis depan? Bahkan sekarang saja, di seluruh negeri, di tanah parade dan barak-barak, ada banyak siswa yang berlatih untuk menjadi petugas sementara. Kebanyakan mereka adalah siswa lelaki yang memilih untuk memasuki kancah peperangan.

Aku seorang gadis, tapi aku harus melindungi kehormatan Yang Mulia sebagai wanita dewan. Terlebih lagi, dalam rencana penyerbuan ini, pesawat terbang familiarku akan memainkan sebuah peranan kunci.

Juga Ada banyak harapan yang ditumpahkan pada Voidku. Henrietta dan Sang Kardinal mengakuiku sebagai kartu As Tentara Ratu. Sebagai Ningrat Tristain, tiada kehormatan yang lebih dari itu.

Yah, aku pastilah tak menyukai perang.Tapi demi ratu dan tanah air, aku ingin mempersembahkan kemampuanku yang kurang ini. Karena Void diberikan padaku, aku punya tugas agar menjadi teguh pada kesetiaanku pada tanah air. Bukankah kesetiaan pada tanah air adalah salah satu hal yang dibanggakan keluarga ningrat La Vallière? Namun ternyata keluarga sendiri menentang resolusiku yang teguh ini untuk bergabung ke garis depan.

“Benar-benar…kau melakukan hal yang egois! Perang? Apa yang akan kau lakukan disana?! Hal-hal baik? Bersiaplah untuk dimarahi Mama dan Papa saat kita sampai!”

“T-Tapi….”

Tepat ketika dia hendak menjawab balikm pipinya dicubit. Eléonore terus-menerus memperlakukan Louise sebagai anak kecil, tepat seperti di masa lalu. Tepat seperti ketika dia menjawab balik selama belajar, dia memanggilnya udang berulang kali.

“”Tapi’?’Ya’. maksudmu, udang?! Louise Kecil!”

Sebagaimana yang diharapkan dari saudara perempuan. Eléonore punya ekspresi sama dengan Louise ketika dia melatih familiarnya. Louise tak bisa melakukan apapun untuk melawannya.

“Fue, Au, Duh, Ane-sama, pipiku au au…”

Kata dia dengan suara yang patut dikasihani.

Karena Lantunan tak pernah terbang ke sini tak peduli seberapa lama dia menunggu, Saito mendesah lega. Sepertinya, karena alsan tertentu, Louise tak bisa menyelesaikan lantunannya.

Sepertinya selama dia menempel pada Saito, Siesta menjadi senang, jadi mungkin dia telah lupa bahwa sudah tidak ada atap.

“Hei, Hei, Saito-san.”

“Hm? A-Apa?”

“Bepergian sungguh menyenangkan!”

“Y-Ya…”

Dia mengangguk, Saito belum menjadi begitu optimis.

Saat dia memikirkan tentang hal-hal yang akan datang, dia menyadari bahwa masalah-masalah tengah menggunung.

Henrietta dan yang lainnya tengah membuat rencana-rencana perang. Apa yang akan terjadi mulai sekarang adalah perang penyerbuan. Tentu saja Louise akan ikut berpartisipasi. Dengan keadaan sekarang, aku tak punya pilihan lain selain ikut dan ambil bagian juga tak peduli bagaimanapun jua. Kemungkinan besar bagi pemeang kekuatan Zero, ini semacam Tugas perang. Kemungkinan besar kami harus melakukan sesuatu yang berbahaya.

Aku tak bisa merasa ceria.

Sial, begitu perang ini berakhir, kali ini aku akan mencari sebuah jalan untuk kembali ke dunia asalku, ke Jepang, putus Saito. Hingga saat itu tiba, tak peduli apapun yang terjadi, aku tak bisa membiarkan diriku mati.

Melihat Saito berwajah orang yang memikirkan banyak hal, Wajah Siesta langsungmendung.

“AKu tak ingin itu.”

“Hm?”

“Saito-san akan ke Albion juga, kan?”

“Y-Ya…”

Sepertinya sikap ceria Siesta hingga sekarang hanya pertunjukan demi menceriakan Saito.

“Aku benci para ningrat.”

“Siesta…”

“Taka pa-apa bila mereka hanya saling membunuh sesame mereka…tapi mereka melibatkan kita para jelata juga….Bahkan meski itu demi mengakhiri perang…mereka hanya berkata-ata saja.”

Mengingat-ingat kata-kata Henrietta, Saito bergumam

“Tak peduli apakah itu demi mengakhiri atau memulai yang baru, perang, adalah perang.”

Saito terdiam.

Sebelumnya, selama pertempuran di Tarbes, ada sebaris alas an untuk bertarung. “Membantu Siesta dan penduduk desa,” semacam sebab yang dibenarkan. Tapi, kali ini, selama penyerbuan ke Albion, alas an macam apa yang ada?

Aku tak ingin bertarung, apa ada ya sebaris alas an di belakang pertarungan ini?

Louise sangat bersemangat…tapi aku tak tertarik sama sekali dengan hal ini.

Tapi ketika aku menyentuh Henrietta, aku mendapatkan semacam perasaan “Aku ingin membantu ‘tangan’ putri menyedihkan ini, Saito agak kembali ceria.

“Tapi mengapa Saito-san harus pergi? Kau tak punya hubungan apa-apa, kan?”

“Ya, mungkin itu benar, tapi…” sikutnya ditahan.

Siesta mengubur wajah Saito ke dadanya.

“Jangan mati…Jangan mati bagaimanapun jua…”

Saito merasa Siesta yang begini sangat manis.

Ditangisi sedemikian rupa oleh pelayan semanis ini…itu sendiri sudah merupakan alas an yang cukup bagi Saito untuk terus hidup…Seperti yang kuduga, aku seorang tolol, kan. Tapi keluarga Louise ini…

Kakak perempuan Louise yang kutemui tadi seorang wanita cantik, tapi dia memiliki wajah nan keras, kan…, pikirnya. Luar biasanya, Saito hanya melihat sekilas. Dia sudah menyadarinya sewaktu mereka bertemu meski matanya berbeda dari mata Louise, namundia memiliki sikap tinggi hati yang sama.

Akankah Louise memiliki rasa yang sama saat dia semakin dewasa? Itu pasti menyakitkan.

Ada juga perasaan curiga di sekitar. Sepertinya Louise dan semua anggota keluarga memiliki pendapat yang berbeda-beda.

Kali ini, kita akan menuju rumah Louise yang itu.

Saito menerawang ke langit, mendesah, dan berpikir dengan sikap kurang bersemangat…apa yang akan berlangsung mulai saat ini?

Di bagian selatan Londinium, Ibukota Albion, berdiri Istana Howland.

Aula Putih didalam memang pantas sebagai titik vital dari Albion “Sang Negeri Putih”.

Tempat itu dicat putih seluruhnya, dan sangat mengesankan. Ada 16 pilar yang menyangga langit-langit aula.

Bagaikan seberkas luka di dinding, sebentuk wajah yang diterangi oleh cahaya tersingkap.

Di tengah-tengah aula berdiri sebuah “Meja Bundar” raksasa dari batu, dimana disekitarnya berkumpul para menteri dan jenderal-jenderal Republik Albion nan Suci, menunggu dimulainya pertemuan dewan.

Inilah tempat dimana, hingga sekitar 20 tahun lalu, para menteri berkumpul disekitar raja untuk mengendalikan negara. Tapi penguasa telah berganti sejak itu.

Orang-orang yang ikut dalam revolusi dan mengambila alih negara dari monarki memberikan diri mereka kedudukan-kedudukan penting di negara sebagaimana yang diduga.

Dan untuk orang yang hingga 20 tahun lalu hanya merupakan seorang bisop lokal...

Seseorang yang dulunya berstatus sosial lebih rendah dari semua yang berkumpul disini...bahkan anggota skuad penjaga yang berdiri di sisi pintu....

Kedua anggota skuad penjaga membuka pintu aula.

“Ketua kongres penguasa ningrat Republik Albion nan Suci. berdiri, Oliver...”

Cromwell mengangkat tangannya, menyela suara itu...

“T-Tahan?”

Bukankah seharusnya kita hilangkan tradisi tiada guna ini? Karena diantara orang-orang yang berkumpul disini, tiada yang berdiri diatas yang lain!”

Seperti biasa, sekretaris pribadi Cromwell, Sheffield, berjalan dibelakangnya dan disampingnya, sosok Viscount Wardes yang sudah sembuh dan Fouquet si Tanah Ambruk dapat terlihat.

Saat Cromwell menuju kursi ketua, Sheffield mengikutinya bagaikan sebuah bayangan. Wardes dan Fouquet duduk di dua kursi yang masih kosong.

Setelah ketua dan kaisar pertama duduk, pertemuan dimulai. seseorang mengangkat tangan. Dia Jenderal Hawkins. Dengan rambut abu-abu, kumis putih dan pengabdian militer yang lama, sang jenderal berdiri dengan mata bernyala pada kaisar yang dulu adalah seorang bishop.

Setelah Cromwell menyilahkannya, dia bangkit.

“Paduka, aku ingin menanyai anda sesuatu.”

“Tanyakanlah apa yang kau mau.”

“Setelah kalah di pertempuran Tarbes dan tentara kita tetap disana, mereorganisasi armada udara kita menjadi sangat mendasar. Ini dikarenakan apabila kita tak memiliki armada, maka kita tak bisa memindahkan tentara maupun mempertahankan wilayah kita sendiri.”

Cromwell mengangguk setuju.

“Operasi rahasi Penculikan Ratu demi mengulur-ulur waktu juga gagal.”

“Itu benar.”

“Apa hasilnya telah mencapai telinga Paduka?”

Tentu saja. bagaimanapun juga, adalah penting untuk mengetahui segalanya tentang perkara itu.”

“tentara musuh adalah...ah. Kekuatan persekutuan Tristain dan Germania tengah mempersiapkan armada mereka secepat mungkin. Total, Kedua negara punya 60 kapal perang yang bisa dilangitkan. Jika kita memulai reorganisasi tentara kita sekarang, setelah perawatan, lini kapal perang kita takkan mampu menandingi mereka. Terlebih lagi kapal perang mereka adalah yang terbaru.”

salah satu jenderal bergumam dengan suara merendahkan,

“Itu Armada haribotes! Mereka lebih jelek dari kita!”

“Itu adalah cerita masa lalu, Paduka. Tiada alasan untuk memuji tentara kita saat ini. saat revolusi, kita mengeksekusi banyak jenderal kita yang superior dan hasilnya adalah pelemahan kita. Veteran yang tersisa hilang karena kekalahan di Tarbes.”

Cromwell tetap diam.

“Sekarang ini, mereka belum selesai menyusun kapal mereka. Terlebih lagi mereka tampak sedang memanggil para pemimpin tentara.”

“Mereka seperti landak. Jika memang begitu keadaannya, mereka sulit menyerang kita.”

Seorang jenderal gemuk berseloroh dengan nada ceria. Hawkins menatapnya tajam.

“Sulit menyerang? Bukankah sudah jelas bahwa tentara musuh kemungkinan merencanakan sesuatu bila mereka mengumpulkan kekuatan yang begitu kecil?”

Hawkins menghantam meja keras-keras.

“Kalian tahu, Mereka berencana menyerang benua ini, Albion. dan, aku bertanya, aku ingin diberitahu mengenai rencana bertahan Paduka. Jika jadi pertempuran menentukan dengan armada, pertahanan kita bakal kosong. Jika tentara musuh berhasil mendarat....semuanya berakhir. Tentara kita kelelahan karena perang revolusi, jadi mohon berikan aku sebaris jawaban...”

“Itu adalah pikiran seorang pecundang!”

Seorang jenderal muda dengan mata bernyala-nyala mengkritik Hawkins. Cromwell menyeringai sedikit sambil mengangkat tangan sebagai tanda berhenti.

“Untuk menyerang Albion, mereka perlu menggerakkan seluruh kekuatan militer mereka.”

“Namun, mereka tak memiliki alasan untuk meninggalkan prajurit di negeri mereka.”

“Mengapa begitu?”

“Karena bagi mereka, kecuali negara kita, tiada musuh lain.”

“Apa mereka ingin meninggalkan punggung mereka terbuka?”

“Gallia mengumumkan netralitas. Itu adalah sesuatu yang sudah diperkirakan dan perlu agar invasi daapt terjadi.”

Cromwell melihat melalui bahu dan bertukar pandang dengan Sheffield. Dia mengangguk kecil.

Cromwell pergi bersama Sheffield, Wardes dan Fouquet ke kantornya dan setelah dia duduk di kursi penguasa, dia memandangi bawahannya.

“Luka-lukamu sudah sembuh, kan? Viscount.”

Wardes menunduk. Cromwell tersenyum ringan dan menanyai Wardes.

“Kini, katakan apa yang harus kau katakan.”

“Sebagaimana yang ditunjukkan jenderal, Tristain dan Germania pasti akan menyerang kita, kan?”

“Ya, jadi apa yang aneh?”

“Seimbang....tidak, mungkin kekuatan kita lebih hebat. Jumlah prajurit kita lebih kecil, tapi kita punya kelebihan bila melihat posisi.”

“Kita juga memiliki Void Paduka.”

ucap Fouquet dengan sikap empat. Cromwell berdehem tak senang begitu dia mengucapkannya.

“Apa ada sesuatu yang salah?”

“Tidak, bukan apa-apa. Kalian semua harus mengerti, setelah aku menceritakan pada kalian berulang kali, aku tak bisa menggunakan mantra kuat manapun. Kecuali untuk menghidupkan yang sudah meninggal. Jika kau terus mengatakan itu, aku akan merasa tak enak.”

Sebagaimana yang dikatakan Cromwell, dia tak bisa menggunakan mantra yang berguna sedikitpun.

“Aku tak hendak membuatmu tak enak. Hanya saja, bila kita tak menunjukkan bahwa kita memiliki kartu as, moral prajurit kita akan menurun.”

Begitu Wardes mengatakan itu, Cromwell mengangguk.

“Tentu saja, tiada kartu as yang lebih hebat dari Void.”

“Baiklah, seperti yang kuduga, apakah Gallia akan ikut perang?”

Awalnya, rencananya adalah Galla membantu penyerbuan Albion ke Tristain dengan menyerang Germania di saat bersamaan, tetapi...karena tentara Albion dikalahkan di Tarbes, perlu dilakukan perubahan pada rencana awal. Usulan dari Gallia adalah membelokkan tentara musuh kedalam benua Albion, sementara Gallia mengambil kesempatan itu untuk menyerang Tristain dan Germania.

Setelah Wardes mendengar rencana itu, ia berkata pada Cromwell.

“Paduka, aku hanya ingin mengetahui satu hal lagi.”

“Apa itu?”

“Kerajaan Gallia akan membantu kita dalam penghancuran sistem monarki Halkegena, kan? Apa yang akan kita lakukan bila mereka melakukan itu dengan maksud tersembunyi?”

Cromwell menatap Wardes dengan mata sedingin es.

“Viscount, itu bukanlah sesuatu yang perlu kau pikirkan. Serahkan politik padaku, akan sangat baik bila kau bekerja keras pada tugas yang diberikan padamu.”

Wardes mengejapkan matanya dan menundukkan kepala.

“sebagaimana harapanmu.”

“kau mengerjakan Tugas yang diberikan padamu, kan?”

“Dengan segala yang kumiliki.”

“Menvil.”

Begitu Cromwell memanggil, pintu kantor terbuka dan seseorang muncul. Dia sekitar 40 tahun, dnegan rambut abu-abu dan sebentuk wajah penuh keriput, tapi karena tubuhnya yang terlatih, tiada yang dapat menebak usianya. Pada pandangan pertama, dia tampak sebagai seorang pendekar karena tampilan luarnya yang kasar, tapi dia membawa sebilah cane, jadi dia seorang penyihir.

Ada karakteristik wajahnya yang sangat menonjol. Dimulai dari tengah dahinya, melewati mata kirinya dan berakhir di pipi. ada luka bakar yang sangat parah.

Cromwell memperkenalkan Wardes padanya.

“Ini adalah Viscount Wardes.”

Dengan wajah besi, Menvil tiba-tiba menatap wardes.

“Wardes, kau seharusnya setidaknya pernah mendengar namanya, kan? Dia adalah Menvil Putih.”

Mata Wardes berkilat. Dia teringat sesuatu saat mendengar nama itu. Sang penyihir bayaran legendaris. Sang Nyala Putih. seseorang yang menggunakan metode pengecut selama duel dan walhasil dicopot gelar bangsawannya dan menjadi tentara bayaran, membunuh keluarganya sendiri dengan membakar mereka hingga mati, lalu meninggalkan rumahnya. katanya, jumlah orang yang dia bakar jauh lebih banyak dari jumlah burung yang dia panggang untuk dimakan. Ada juga isu-isu lainnya yang beredar.

Tapi ada satu hal yang pasti dalm isu-isu tersebut.

Di medan perang, dia menggunakan nyalanya dengan penuh kekejaman.Apinya tak pandang bulu. Dia seseorang dimana umur dan jenis kelamin dari yang dia bakar tak berpengaruh. Dia seseorang yang menanggalkan kehangatan dari tubuh manusia seakan mereka api yang bebas...inilah siapa Menvil Putih sebenarnya.

“Ada yang salah, Viscount? Ada seorang legenda tepat di depanmu.”

“Aku hanya berpikir, bahwa aku senang tempat ini bukan medan perang.”

Wardes membeberkan perasaannya dengan jujur.

“Wardes, sekarang, di bawah pimpinanmu, aku ingin kau menggerakkan sebuah skuad kecil.”

Sedentuk ketidakpuasan dapat terlihat di wajah Wardes. “Dia ingin aku jadi kurir?” adalah apa yang diaktakan matanya.

“Aku lebih ingin kau tak membuat wajah sesedih itu. Apalagi, aku ingin kau melayani dengan sempurna. Sebagai unit kecil, skuad rahasia ini akan memerlukan ahli Angi untuk menggunakan perahu sebagai sarana. Pendeknya, kau.”

“...Sebagaimana harapanmu.”

“Tentara Gallia akan menangkap semuanya, kita tak perlu melakukan apa-apa, jadi aku mengharapkanmu untuks etidaknya mendorong dirimu disitu. Setelah kau menyelesaikan tugasmu, langsung lapor padaku.”

Ucap Cromwell dengan nada tak sabar.

“Dimana “disana” itu?”

“Pertama-tama, ia mesti tempat dimana pertahanan lemah dan harga kamar murah. Dengan kata lain, ia tak boleh terlalu dekat dengan ibukota Tristain. Terus, ia harus merupakan tempat yang penting, memiliki peran dalam perpolitikan. Karenanya, ia juga tak boleh terlalu jauh.”

“Peran dalam perpolitikan?”

“Misalnya, mengambil bangsawan-bangsawan muda sebagai tawanan, itu pasti akan berpengaruh pada perpolitikan negara, kan?”

Bibir Wardes agak terkulum.

Dengan gerakan yang dilebih-lebihkan, Cromwell memberitahukan tujuan mereka.

“Akademi Sihir, Viscount. Sebagai Petugas yang memimpin. kau akan mengambil keuntungan dari malam dan menuju kesana bersama Menvil dan sebuah skuad kecil.”


Disaat yang sama, di Akademi Sihir----

Kirche dan Tabitha tengah jalan-jalan di Plaza Austri. Kini waktu istirahat. Sebagaimana biasa, tempat ini dipenuhi siswa-siswa, namun...

Mereka semua adalah siswi. Sosok-sosok siswa, yang ribut, tak dapat dilihat dimanapun.

“Yah, yah, rasanya benar-benar sperti perang, kan?”

Kirche mengembangkan tangannya dan menggelengkan kepala. Kebanyakan siswa secara sukarela bergabung dengan Tentara Ratu, karena mereka bermasalah dengan kurangnya petugas. Dia terkejut, karena bahkan Guiche yang pengecut ikut.

Mereka semua tengah berlatih di tanah festival negara untuk menjadi petugaspengganti. wajar saja akademi menjadi agak tenang.

Tentu saja Tabitha adalah salah satu dari yang tinggal. Tiada alasan bagi Tabitha, yang bersumpah untuk membalas dendam pada raja Gallia, untuk alasan yang tak diketahui, menyibukkan diri dengan perang di tempat yang berbeda.

Kirche mendaftar untuk bergabung dengan tentara negerinya juga, tapi tak diperbolehkan karena dia seorang perempuan. Dia menyesal karena dia benar-benar ingin berlaku kasar.

Yah, karena guru-guru lelaki juga pergi, pelajaran dipotong jadi setengahnya.

para siswi kini memiliki banyak waktu luang, diiringi dengan kesepian, dan mencari-cari isu-isu untuk mencari tahu tentang apakah kekasih atau teman mereka selamat. Menyadari sosok Montmorency yang duduk di bangku dengan siku di lutut, Kirche menghampirinya.

“Wah, wah, sejak kekasihmu pergi, kau bosan, ya?”

Montmorency menatap lurus padanya, dan berucap dnegan nada kesal.

“Wajar saja dia pergi. Aku tak merasa tak enak karenanya.”

“Tapi, bukankah kau kesepian?”

“Dia, kau tahu, dia berlebihan melakukannya meski dia seorang pengecut. ha-ah, tapi saat dia pergi, rasanya agak sepi, kan?”

Kirche menepuk bahu Montmorency.

“Yah, mereka akan kembali sebelum Festival Turunnya Brimir sang Pendiri. Apalagi katanya ini akan jadi kemenangan mudah bila Tentara Ratu tersayang negerimu dan Kaisar besar negeri kami bergabung.”

Kirche mengucapkan “tersayang” dan “besar” dengan nada sarkasme. dari awal. Para ningrat Germania tak terlalu loyal. Apalagi ia adalah negeri yang diciptakan para Tuan y6ang bergabung karena memiliki keinginan yang sama.

“Itu akan menyenangkan.”

Montmorency mendesah.

Selama menatap Montmorency yang begitu, Kirche juga akhirnya merasakan rasa sakit yang sama. “Aku tak menyukainya...Aku benar-benar tak menyukai perang,” ucap yang selalu siap berkelahi.

Kirche dan Tabitha tengah berjalan malas-malasan saat mereka tiba di lab Colbert, yang berada di sebelah Menara Api. Disana Colbert tengah bekerja sangat keras demi menyelesaikan penyesuaian perang akhir pada Zero Fighter.

Meski kebanyakan guru lelaki pergi...Colbert tetap dalam susasana “jalanku” yang biasa. Begitu angin perang mulai bertiup, dia langsung menenggelamkan diri dalam penelitiannya.

“Sangat sibuk, ya?”

Kirche menanyai Colbert yang “itu” dengan nada tak yakin.

“Hm?” Colbert menengadahkan kepalanya sedikit dan tersenyum.

“Oh, Nona. Nona Zerbst. Kau seharusnya mengambil pelajaranku soal Manipulasi Api dari waktu ke waktu.”

Colbert mengatakannya seakan dia berada dalam kelas.

“Ya.”

Kirche menjawab dengan tak nyaman dan wajah agak sedih, dan mengangguk.

“Apa ada yang salah? Nona...”

“Pak, kau tak ikut serta dalam tentara Ratu, kan?”

Meski hampir seluruh lelaki di akademi bergabung dalam perang, adalah apa yang dimaksudkannya.

‘Hm? Ya...Karena aku membenci perang.”

Colbert mengalihkan wajahnya dari Kirche. Kirche menghembus dengan wajah sinis. ‘Sangat tak jantan”, pikirnya. Dia tak bisa melihat apa-apa selain orang yang telah melarikan diri dari perang. Dia tak bisa memaafkan guru ini yang, meski dia salah satu dari “Pengguna Nyala,” yang membanggakan, mengumumkan dirinya membenci perang.

“Sebagai seorang yang juga menggunakan Api, aku malu.”

Colbert menunduk untuk sesaat, tapi dia lalu menengadah lagi.

“Nona...kau tahu? Tujuan Api...”

“Bukan hanya untuk bertarung, adalah apa yang ingin kau katakan, kan? Aku lelah mendengarnya.”

“Itu benar. Ini tergantung cara menggunakannya. Tiada selain penghancuran...”

“AKu tak ingin mendengarkan ocehan seorang pengecut.”

Kirche membuang pandangan dan, sambil membujuk Tabitha ikut pergi, pergi meninggalkan tempat tersebut. Colbert membiarkan sehembus desahan kesepian keluar sambil menonton adegan itu.


Setelah kembali ke lab, dia duduk di sebuah kursi.

Colbert menenggelamkan diri dalam alam pikirannya untuk sesaat...dia membuka laci meja yang ditutupi banyak benda, dengan kunci yang digantung dengan benang dari lehernya.

Di laci tersebut ada sebuah kotak kecil. Dia mengeluarkannya dan membuka tutupnya.

Ada cincin Rubi merah kecil yang bersinar bagaikan ada senyala api didalamnya.

Jika seseorang memusatkan diri, dia dapat melihat senyala api yang menari didalam batu berharga tersebut.

Saat dia menerawangi api tersebut, ingatan-ingatan mengenai insiden 20 tahun lalu menyembul. Ingatan mengenai adegan-adegan yang bergulir dicap kedalam pikirannya; meski kini warnanya samar-samar. dalam kobaran yang jelas dan berkerlip itu...Colbert tengah menyalahkan dirinya sendiri. Untuk sesaat, dia mengingat semua yang telah dia lupakan...

Setelah itu, Colbert melihat-lihat sekitar dalam lab. Sebangun rumah kecil dengan tampilan luar yang kumuh, tapi dia lebih menyukainya daripada mansion dan properti yang dia warisi dari leleuhurnya yang dia sendiri telah campakkan. Dinding-dinding dihiasi berbagai alat dan botol yang dia kumpulkan selama ini.

Begitu dia menerawangi mereka, Colbert tiba-tiba ambruk seakan kesakitan.

“Tujuan Api...bukian hanya penghancuran...” Bab Dua: Cattleya

Waktu dhuha, dua hari setelah meninggalkan akademi...

Saito dkk telah mencapai daerah La Vallière. Namun, sewaktu mereka mencapai mansion La Vallière, malam sudah larut. Mendengar kata “Malam sudah larut”...Saito menjadi pucat. Dia menyadari bahwa “daerah” ini tak lebih dari halaman. Namun, setelah setengah hari habis untuk perjalanan, dia tak bisa mengerti bagaimana sesuatu yang begitu besar adalah halaman sebuah kediaman.

Berdasarkan standar Jepang, daerah Louise dapat dibilang suatu kota berukurang menengah. Sebuah kota...sebelumnya, Saito tak pernah mendengar tentang seseorang yang bisa memiliki begitu banyak tanah sebelumnya. Para bangsawan tingkat atas ini begitu menyeramkan.

Status Louise sebagai ningrat benar-benar dipertunjukkan begitu mereka memasuki daerahnya.

Mereka memutuskan untuk beristirahat di sebangun penginapan...

Begitu kendaraan mereka berhenti, Siesta, yang tiba sedikit lebih awal, cepat-cepat keluar dari kendaraannya. Dia telah dilatih sebagai seorang pelayan, sehingga dia pergi untuk membuka pintu kendaraan bagi Louise.

“Uwaa, aku tak percaya Siesta baru saja melakukan itu...tanpa protes,” pikir Saito sambil berjalan menuju kendaraan Louise. Tapi sebelum dia bisa samapi disana, dia ditumbangkan oleh segerombolan penduduk desa yang berlarian dari penginapan.

Para penduduk melepas topi mereka di hadapan Louise, yang baru saja melangkah turun.

“Nona Eléonore! Nona Louise!” teriak mereka sambil membungkuk dalam-dalam.

Para penduduk mengira bahwa bahkan Saito, yang kini terbaring dalam lumpur, seorang ningrat. Mereka dengan cepat membantunya berdiri dan meminta maaf atas kelakuan tak pantas mereka.

Tidak, aku bukan seorang ningrat...” Saito mencoba menjelaskan sembari tegang.

“Meski begitu, kau pasti pengiring Nona Eléonore atau Nona Louise. Dan kami tak bisa tak menghormati itu.”

kata para petani yang terlihat lugu sambilo mengangguk.

Mereka bahkan mengatakan hal-hal seperti “Bisakah aku membawakan pedangmu untukmu,” dan “Pasti merupakan perjalanan melelahkan untuk sampai kesini, kan?” sembari memperlakukan Saito dengan kebaikan yang paling dalam.

“kami akan beristirahat disini untuk sesaat. Tolong beritahukan keluarga mengenai kedatangan kami,” perintah Eléonore.

Seorang anak lelaki dengan sigap melompat ke atas kuda dan mengendarainya untuk melapor.

Mereka berjalan masuk penginapan. Begitu Eléonore dan Louise menghampiri meja. kursi-kursi langsung ditarik keluar untuk diduduki mereka. Keduanya merebah duduk seakan itu alami. Saito mencoba duduk di sebelah mereka, namun di dilemparkan tatapan menusuk oleh Eléonore.

“Saito-san! Saito-san!”

Saito berbalik saat mendengar panggilan Siesta.

“Jelata tak boleh duduk di meja yang sama dengan para ningrat.”

Itu mengingatkan Saito. Akhir-akhir ini, dia duduk di sebelah Louise tanpa mengkhawatirkan itu. Namun, itu adalah hal aneh untuk dilakukan di dunia ini. Kalau dipikir-pikir. awalnya Louise menyuruh saito duduk di lantai.

Louise membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi dipotong oleh tatapan dari Eléonore. Louise tak bisa apa-apa dan duduk di kursinya seperti ana gadis yang baik. Saito terbelabak-ini kali pertama dia melihat Louise dalam keadaan begini. Dia terlihat sangat patuhs ecara alami di hadapan kakak perempuannya. Dia pasti seorang kakak perempuan yang menakutkan sehingga membuat Louise tampak begitu lemah.

“Oh, Louise sudah besar!”

“Dia tumbuh menjadis emakin dan makin cantik!”

Para penduduk tengah ngobrol di sekitar mereka.

“Sepertinya Nona Eléonore telah ditunangkan, ya kan?” tukas seseorang.

“SHHHH! Jangan berbicara soal itu!” sergah yang lain.

Alis Eléonore mulai mengernyit dan wajahnya menghitam. Suasana penginapan langsung menegang. Disini, jelas sudah bahwa topik pertunangan Eléonore adalah sesuatu yang harus dihindari.

Para jelata yang merasakan keinginan membunuh dari Eléonore tak berani berucap sepatah kata pun. Saito dan Siesta bertukar pandangan. Lalu Siesta dengan sunyi mendekati Saito lalu menggenggam tangannya. Dia ketakutan.

Louise tak menyadari perubahan kakak perempuannya, dan berbicara.

“Eléonore, Eléonore nee-sama...”

“Apa...”

“Selamat atas pertunanganmu!”

Wajah tiap orang jelata terjatuh, dan sebuah desahan dalam dikeluarkan mereka.

Sekali lagi, Louise telah salah membaca suasana dengan sempurna. Tiba-tiba, alis Eléonore naik bersamaan dengan dicubitnya pipi Louise olehnya.

“Ini syyyyaaaakiiit!! Waaahhhhh! Nee-shammaaa!! Meeengapaaa?! Ini syyaakiit Ini syyaakiit Ini syyaakiit!!!”

“kau tak tahu? Kau ngomong meski kau tahu seharusnya kau tidak!”

“Aku tak au pa eng au icalakeng!!”

“Pertunangannya dibatalkan!! B-A-T-A-L!”

“M-mengapa?”

“Siapa tahu> Mengapa kau tak tanya Earl Burgandi? Dia mengatakan soal mencapai batasnya...aku tak dapat mengerti mengapa.”

saito bersimpati penuh terhadap Earl Burgandi ini. Ya. Dapat dimengerti bahwa siapapun yang mendengarkan Eléonore akan segera mencapa “batas” mereka. Eléonore lebih galak dan kasar dibanding Louise. Earl pasti berpikir dia tak punya stamina yang cukup.

Pada akhirnya, karena kecewa dengan batalnya pernikahan, Eléonore lalu meledakkan seluruh amarahnya pada Louise...

Dan dengan itu, ceramah dimulai. Dia menghardik Louise karena menerbangkan atap kendaraan,. Pipi Louise yang ditarik menjadi sangat merah dan bengkak. Secara alami, Saito merasa kasihan pada Louise.

Namun, penghakiman tak berlangsung begitu lama, karena tiba-tiba pintu terbuka dan sealiran pink terbang masuk.

Seorang gadis yang mengenakan baju elegan di sekitar pinggangnya yang kurus dan sebuah topi lebar dengan bulu diatasnya masuk. Dibawah topi adalah sebungkus rambut pink blonde nan halus – persis sama dengan Louise.

Yang mengejutkan, sebentuk wajah manis menyembul dari bawah topi.

Meski dari pandangan pertama sudah jelas dia lebih dewasa, dia terlihat sangat manis. Bentuk wajah cantik itu tak dapat diuraikan. Warna dan cara matanya berbinar pun sama denagn Louise. Menyadari Eléonore, gadis itu menatapnya dengan mata terbelabak.

“Ah! Aku sangat senang bahwa aku menyadari kendaraan asing di luar dan datang kesini untuk menengok, Aku tak menyangka bakal bertemu denganmu! Eléonore nee-sama! Kau kembali?”

“Cattle...ya...” tukas Eléonore

Menyadari kehadiran tamu yang tiba-tiba, Louise menengadah. Melihat Louise, wajah Cattleya memancarkan kebahagiaan yang tercermin juga oleh wajah Louise.

“Kakak!” (sebenarnya lebih suka make bahasa daerah yang nunjuk kakak perempuan langsung, seperti teteh (sunda), uni(minang), dll. ganti aja klo ngerasa ga cocok)

“Louise! Tak mungkin! Kau bukan Louise kecilku lagi! Kau juga kembali!”

Louise bangkit dan melemparkan dirinya ke pelukan Cattleya.

“Sudah lama sekali, kakak!”

Saking tak bisa menahan keharuan, mereka berdua saling memeluk sambil menjerit.

Sepertinya Cattleya adalah kakak Lousie. Dia memiliki warna rambut dan mata yang sama – rasanya bagai melihat Louise yang lebih dewasa. namun wajah Cattleya tampak memiliki penampilan lebih tenang dan damai daripada milik Louise. Aura ketenangan dan kelembutan sempurna dari Cattleya membuat jantung Saito berdegup.

Dia bagai Louise dewasa dengan tambahan kelembutan. Lagipula, sosok cantik dan dadanya juga cocok dengan selera Saito.

Mulut Cattleya setengah menganga saat akhirnya dia menyadari kehadiran Saito.

“Ah, ah, ah , ahah!”

Selama saito berpikir-pikir soal apa maksud “Ah” ini, Cattleya menghampirinya dan menerawangi wajahnya.

“A-A-Apa yang salah?” tanya Saito dengan tegang.

cattleya mulai mengelus wajah Saito dengan lembut. Saito hampir pingsan karena rasanya.

“Kau adalah...kekasih Louise, kan?”

“Huh?!”

Siesta yang berdiri di sebelah saito tiba-tiba membeku. Dia menginjak keras kaki saito. Sekuat tenaga. Saito loncat.

Louise memerah seketika.

“Dia hanya familiarku! Bukan kekasih!”

“Ah...begitu, ya?”

Cattleya tertawa kecil dan membengkokkan kepalanya sambil tersenyum manis.

“Maaf, aku salah. Jangan khawatir soal itu.”

Semuanya menaiki kendaraan Cattleya untuk sisa perjalanan ke kediaman La Vallière. Tentu saja Eléonore tidak mau duduk dengan seorang jelata dan familiar. Tapi saat Cattleya sambil bercanda bilang,” Lebih banyak lebih meriah, kan?” Eléonore dengan enggan setuju meski tetap tak mau mengeluarkan sepatah kata pun.

Namun...bukan hanya Saito dkk yang menumpang di kendaraan besar tersebut.

Raasanyas eperti kebun binatang didalamnya.

Di depan kursi ada harimau yang berbaring telungkup di lantai dan menguap. Louise duduk di bawah di sebelah seekor beruang. Berbagai macam anjing dan kucing betebaran disini dan disana. Seekor ular besar yang terjuntai dari atap muncul tepat di hadapan wajah Siesta dan membuatnya pingsan. Saito berucap ”Kendaraan yang luar biasa...” sambil merawat Siesta yang pingsan.

“Kakak mencintai binatang,” kata Louise.

Meski dia pikir bahwa cinta sejenis ini keterlaluan, Saito tak berucap sepatah kata pun.

“Aku baru saja mendapatkan seekor thrush.”

kata Catteya dengan nada gembira.

“Tunjukkan padaku! Tunjukkan padaku!” Louise melompat-lompat seperti anak kecil.

Eléonore dan yang lainnya bersama-sama mendesah dalam-dalam.

Inilah kehidupan dari 3 kakak beradik perempuan La Vallière yang cantik. Saito membungkuk dalam-dalam penuh simpati pada kakak-kakak Louise.

Louise dan Cattleya terus mengobrol.

Sepertinya Kakak kedua, yang mengenakan pakaian nan manis itu, berteman baik dengan Louise. saat kau melihat dua orang berhubungan baik seperti ini, bahkan perjalanan membosankan seperti ini tak terasa tawar. Siesta sudah tidur lelap di pangkuannya. Di sebelah kiri kendaraan, bukit-bukit membentang. Di kanan – ladang-ladang pertanian terhampar. Karena panen raya tengah berakhir, jerami menggunung disini dan disana. Saat dia menerawangi pemandangan indah ini, mustahil baginya untuk percaya sebuah perang tengah berlangsung. Sambil bersandar di rangka jendela, dia menyesuaikan posisi Derflinger di punggungnya, dan menguap lebar-lebar.

Di Malam nan pekat.

Eléonore mengeluarkan jam saku dari kantongnya dan memastikan waktu.

Sebangun Banteng memasuki sudut pandang, tepat di belakang bukit. Karena tidak ada apa-apa di sekitarnya, ia terlihat lebih besar dari Istana Kerajaan Tristain.

“Apa itu-“ bisik Saito. Louise mengangguk.

Ia terlihat seperti Benteng lainnya. Dikelilingi tembok-tembok nan tinggi dan kali yang dalam. Menara-menara menjulang tinggi di atas tembok. Ini benar-ebnar benteng yang besar dan bagus yang sebenarnya.

Siesta yang terlelap hingga sekarang, terbangun, dan saat menyadari kehadiran benteng, menatapnya dengan mata terbelabak.

“Wow! Luar biasa!”

Pada saat itu, seekor burung hantu raksasa masuk melalui jendela dan mendarat di kepala Saito.

“Selamat datang, Eleonore-sama, Cattleya-sama, Louise-sama.” Burung hantu itu membungkuk untuk menyambut mereka.

“B-B-Bu-burung hantunya ngomong dan membungkuk! M-membungkuk!”. Siesta pingsan lagi. Meski datang dari dunia yang berbeda, Saito tampaknya tak terkejut oleh burung hantu yang berbicara dan tak bergerak. Saito tak terkejut oleh hal-hal semacam ini lagi.

Cattleya tersenyum.

“Dan dimana Ibu?”

“Nyonya tengah menunggu kalian semua di ruang makan.”

“Bagaimana dengan Ayah?”

tanya Louise, tegang.

“Tuan belum kembali.”

Karena anggota paling penting tak ada, Louise bermuka masam tanda tak senang. datang kesini untuk mendapatkan izin ayahnya untuk bergabung dalam perang tiada gunanya tanpa dia.

Disini dapat terlihat pintu gerbang dibelakang kali.

Saat kereta berhenti, suara-suara dari rantai pemegang jembatan gantung dilepaskan dapat terdengar dari kedua patung raksasa berbentuk pos gerbang.

Tiap patung batu paling tidak setinggi 20 kaki. Meski golem-golem ini diciptakan hanya sebagai hiasan gerbang, mereka membuat keseluruhan jembatan gantung terlihat spektakuler.

Begitu jembatan gantungs elesai diturunkan, kereta mulai bergerak lagi, kini menyebrangi jembatan gantung dan menuju bagian dalam.

Keterkejutan Saito soal kemegahan keluarga Louise diperbaharui lagi. Ini benteng raksasa bangsawan.

Saito dkk tiba di ruang makan yang dihiasi begitu mewah dengan mebel-mebel mewah. Meski Siesta langsung menuju tempat para pelayan. Saito diperbolehkan menemani mereka selama makan malam sebagai familiar Louise.

Namun, dia dipaksa menunggu dibelakang kursi Louise. Jadi Saito berdiri sigap di belakang Louise, melihat-lihat meja yang panjangnya 30 kaki.

Meski hanya ada 4 orang yang duduk di kursi selama jamuan, 20 pelayan mengelilingi meja.

dan, meski kini tengah malam, ibu Louise, Duchess de La Vallière, menunggu putri-putrinya untuk tiba di meja makan.

Sang Duchess, yang duduk di meja teratas, memandangi putri-putrinya yang hadir.

Saito bergidik dari tekanan itu. Meski Eléonore memiliki aura kasar dan tinggi yang membuat bulu kuduknya berdiri, ibu Louise ternyata sama juga.

Dan ini hanya kehangatan Ibu terhadap putri-putrinya.

Dia tampak berumur 50-an. Namun, perkiraan ini dibuat dengan menghitung umur kakak tertua. Sebenarnya, dia tak terlihat lebih dari 40. Dia memiliki penampilan nan tajam. warna rambut pink Louise dan Cattleya sepertinya diturunkan dari ibu mereka. Sang duchess mengikat rambut pinknya yang menarik di atas kepa. Dia mengenakan aura memerintah disekitarnya, Saito merasa tertekan.

Louise, meski bertemu lagi dengan ibunya setelah sekian lama, berlaku tegang. Sepertinya Louise hanya mempercayai Cattleya.

“Ibu, kami baru saja kembali.” kata Eléonore; Duchess de La Vallière mengangguk.

Saat ketiga putrinya duduk. Para pelayan membawa hidangan dan makan malam pun dimulai.

Bagi Saito yang berdiri di belakang, waktu berjalan sangat lamban. Tiada kata terucap. Hidangan yang disajikan disini jauh lebih mewah dari bahkan makan malam resmi di akademi. Suara dari ruang makan hanyalah suara dari pisau dan garpu perak.

Louise berucap untuk memecah keheningan ini.

“M-Mama-sama.”

Sang Duchess tak menjawab. Eléonore yang melakukannya.

“Mama-sama! Bilang pada Louise! Anak bodoh ini mengatakan dia hendak pergi ke medan perang!”

Bam! – Louise bangkit sambil memukul meja.

“AKu tidak bodoh! Apa aku terlihat bodoh ketika melamar menjadi kekuatan militer Paduka?”

“Bukankah kau seorang gadis?! Perang adalah urusan lelaki!”

“Itu cara berpikir yang sangat kuno! Kini adalah era dimana lelaki dan wanita diberikan kedudukan yang sama! Jika kedudukan hanya diberikan pada para lelaki di Akademi, bahkan kau, kakak, takkan bisa menjadi ketua peneliti di Akademi!”

Eléonore menggelengkan kepalanya keheranan.

“Apa kau tahu tempat maca apa medan perang itu? Itu bukan tempat dimana wanita dan anak-anak sepertimu bisa pergi.”

“Tapi Yang Mulia mempercayaiku...”

“Kau dipercaya? Kau – Si ‘Zero’?!”

Louise menggigit bibirnya. Henrietta membawaku ke medan perang karena aku dibutuhkan. Aku seorang pengguna “Void”. Namun aku tak bisa mengatakan itu pada keluargaku. Pada akhirnya, Louise tak bisa mengatakan apapun dan terdiam.

Eléonore mencoba untuk terus menceramahi, tapi dipotong oleh duchess yang selama ini diam. Dia memerintah dengan suara tegas,

“Makanlah, Eléonore.”

“T-tapi, Mama-sama...”

“Kita akan bicarakan soal Louise besok, saat bapak kembali.”

Dengan begitu diskusi pun berakhir


Saito tengah berbaring di kasur di ruangan yang dipersiapkan untuknya dan tengah memandangi langit-langit.

Di gudang ini, sebatang sapu bersender pada tembok dan selembar lap berada di kasur. Saito baru saja belajar lagi soal perbedaan antara statusnya dengan Louise. Akhir-akhir ini, mereka tidur di kasur yang sama, hidup di loteng yang sama dan makan dari meja yang sama, namun dia tak dapat merasakan perbedaaan status apapun...

Tapi saat dia bertemu keluarganya, semuanya terasa bagaikan impian tak berdasar.

Louise cantik, kaya. Seorang ningrat, itulah dia.

Saito juga teringat bahwa mereka tak berbicara dengan Louise begitu mereka meninggalkan sekolah. Louise kehilangan keberaniannya karena Eléonore dan tak berbicara terlalu banyak.

Bahkan, dia menerima seluruh ceramah dari keluarganya, seperti seorang pelayan dari tuannya, tanpa mengeluh. Entah mengapa, dia menyembunyikan dirnya yang sebenarnya. Saito merasa kasihan padanya.

Dia bukan siapa-siapa, dia tak punya apapun dengan sistem sosial dunia ini.

Tapi setelah melihat makan malam semacam itu di benteng ini – kau tak bisa tidak membayangkan soal ini, kan? Pikirnya.

Dia merasa dia mempelajari jurang lebar antara dia dan kedudukan Louise.

Dia merasa sedikit galau karenanya...

Tiba-tiba ada ketukan di pintu.

Siapa yang bakal datang ke gudang ini? Pikirnya sambil membuka pintu, hanya untuk disambut senyum malu Siesta yang berdisi di sana.

“Siesta?”

“Y-Yah...Aku tak bisa tidur, jadi aku datang kesini.”

“Eh? Eeeh?”

Saat Saito tengah panik, Siesta memasuki ruangan.

“Meski begitu...bagaimana kau tahu tempatku?”

“Aku menanyai para pelayan soal itu.”

“Begitu ya...”

Siesta duduk di kasur, dan leyeh-leyeh mengayunkan kaki. Entah mengapa wajahnya merah. Saat Saito mencoba berlalu darinya, Siesta mencengkram lengannya menariknya kebawah untuk duduk disampingnya. Lalu dia menyenderkan kepalanya pada bahu Saito, tepat seperti di dalam kereta beberapa waktu yang lalu.

“Siesta?”

Mendengar Saito bertanya, Siesta memandangnya dengan wajah tak berdosa.

“Ini adalah kali pertama aku datang ke Benteng yang begitu megah. Benteng ini benar-benar berliku-liku.”

“Itu hebat.”

“Seorang teman di akademi terus menceritakan soal keluarga La Vallière sebagai salah satu dari lima keluarga paling terpandang di Tristain. Hidup dalamIstana semacam ini, kekayaan, da wajah rupawan...Nona Vallière hanya bisa diiri.”

“Apakah begitu?”

“Ya. Hidupnya sangat nyaman. Dia bisa mendapatkan apapun yang diinginkan orang, seperti...”

LaluSiesta menatap dalam-dalam wajah Saito.

“...Saito-san.”

“A-Aku bukan miliknya. Aku familiarnya...”

“Aku mengerti.”

Siesta mengatakannya perlahan.

“Eh?”

“Cara Saito-san memandanginya, aku mengerti. Aku tak punya kesempatan. Dia kaya, ningrat dan cantik...dan punya istana sebesar ini sebagai rumahnya. *Hic*”

Siesta menunduk, dia terlihat kesepian. Saito mencoba memahami apa yang baru saja dia katakan, dan terdiam jugha.

“Ik ik, ik ik.” Siesta terdengar seakan dia terisak-isak. Apa dia menangis?

Sementara Saito tak tahu harus bagaimana, Siesta tiba-tiba berdiri.

“Siesta...”

“tapi...”

“Eh?”

“Aku juga punya sesuatu.”

“Siesta?”

Sepertinya keadaan berubah. Dengan semangat baru yang mengudarakan “Aku takkan menyerahkan Saito-san!” Siesta berbalik.

“D-d-d-dadaku jelas-jelas mengalhkan Nona Vallière! Ik ik!”

“Siesta?”

Gemetaran karena marah, Siesta melanjutkan pembicaraan.

“K-k-keluarga bangsawan? Terus kenapa? Aku seorang pelayan. PELAYAN! Ik ik!”

“Y-ya, aku tahu itu.”

Saito menyadari Siesta terus ber-hik-hik, terus menerus.

“Siesta, apa kau...mabuk?”

“AKu membuat makan malam sendirian. Dan mereka bahkan tak mengatakan ‘ Kau dari perjalanan jauh, terima kasih, beristirahatlah dulu.’ Ik ik!”

Wajahnya merah terang dan mulutnya pun beraroma alkohol. Saito terpaku. Ini kali pertama dia melihat Siesta mabuk.

Memang sih, dia juga harus melakukan tugasnya sebagai pelayan disini, jadi dia harus menghibur dan menuangkan alkohol di Istana ini. Saat mabuk begini, Siesta mengeluarkan sebotol anggur dari celah kemejanya.

“D-darimana kau dapat botol itu?”

Siesta mendekatkan wajahnya pada Saito.

“Mencurinya.”

“O-oh, begitu.”

Siesta melepas sumbatan dan minum langsung dari botol. Sambil terbelabak, Saito menatapnya yang menenggaknya.

“Phua!” Siesta memisahkan mulutnya dari botol. Wajahnya menjadi lebih merah.

“Hey, Saito!”

Akhirnya dia memanggil Saito secara tak resmi.

“Y-ya?”

“Kau juga harus minum.”

“B-bersulang.”

Dia tahu bahwa bila dia tak menurut, perasaannya bakal tak karuan. Saito mengambil anggur yang disajikan. Dia mencoba menenggaknya sekali telan, tapi dengan satu “Buaagh,”, dengan cepat dia memuntahkannya. A-apa yang salah dengan anggur ini? Ini benar-benar keras.

“S-siesta. Anggur ini...”

“Ia dari meja dapur.”

Sepertinya Siesta jenis orang yang perasaannya mencerah setelah segelas anggur, dan satu tenggakan dari botol di meja cukup untuk membuat kehilangan tidak apa-apa. Siesta ternyata peminum yang sangat buruk.

“S-seharusnya kau tak mengambilnya tanpa izin...”

“Hey! Saito!”

“Y-ya?”

“Apapun. Minum!”

“B-bersulang.”


Mengingat perasaan dapat berubah menjadi amarah bila dia menolak, Saito dengan enggan meminum lagi anggur itu.

Sementara...

Dalam kamar Cattleya, rambut Louise disisiri kakaknya.

Kamar Cattleya merupakan perpaduan elegan dari kebun binatang dan botani. Tanaman-tanaman pot ditempatkan dimana-mana, banyak keranjang anyaman tergantung dari langit-langit, dan anjing-anjing kecil berlarian kesana kemari.

Cattleya dengan lembut menyisiri rambut Louise.

“Louise, Louise kecil. Rambutmu begitu memesona, warnanya sangat menawan.”

“Kakak, kau punya rambut yang sama.”

Cattleya tertawa senang.

“Memang, Rambutmu – Aku menyukainya.”

Louise merajuk dan bergumam,

“Rasanya, Warna Rambut blonde Kak Eléonore sama dengan milik ayah.”

“Yah, aku menanyai kak Eléonore soal itu. Dia tersinggung.”

“Benar. Aku pikir Kak Eléonore tak sesuai dengan rambut indahnya.”

“Huh, mengapa?”

“Dia galak. Dia seorang kakak yang berbeda. Meski sudah lama sekali, dia tetap mempermainkanku.”

“Itu karena kau, Louise, sangat manis. Begitu manisnya sehingga membuat semua khawatir. Itu caranya menyayangimu.”

“Itu tak benar.”

Cattleya dengan perlahan memelik Louise erat dari belakang.

“itu benar. Semua orang di rumah ini menyayangimu, Louise Kecil.”

“Aduh, kok kakak mengatakan hal seperti itu...”

Cattleya mengubur wajahnya dalam rambut Louise dan mengejapkan mata.

“tapi aku sangat senang, Louise. Kupikir kau akan depresi nan mendalam...”

“Mengapa?”

“Viscount wardes. Dia seorang pengkhianat, kan? Setengah tahun lalu, dia seorang pemimpin Garda sihir. Mansion Wardes berada di daerah kita. Saat dia mengkhianatimu, bukankah kau terluka?”

Louise menggelengkan kepala.

“Tidak juga. Aku bukan anak kecil lagi. Jangan campurkan antara kasih kekanak-kanakan dan cinta.”

Cattleya tersneyum saat Louise mengatakan itu dengan teguh.

“Kau bisa diperhitungkan sekarnag. Kau sudah dewasa, Louise.”

“Itu beanr,” Louise bergumam pada dirinya sendiri.

“Aku bukan anak kecil lagi, karenanya, aku ingin memutuskan untuk diri sendiri.”

“Lalu, jika ayah akan menentangnya, apakah kau akan ke medan perang tanpa izinnya?”

“Jika memungkinkan, aku ingin dia setuju. Aku ingin semuanya mengerti.”

“Namun, aku juga tak menyukai perang.”

“Ibu pertiwi kita dalam krisis. Dan Putri....tidak, Paduka, membutuhkan kekuatanku. Makanya...”

“Tiada gunanya mengatakan itu padaku. Sulit bagiku untuk mengerti, karena kakakmu ini selalu mengurung diri di istana.”

Cattleya dengan lembut menepuk kepala Louise. Lalu, dia tiba-tiba terbatuk.

“Kakak! Apa kau baik-baik saja?”

Louise memandangi Cattleya dengan wajah khawatir. Tubuh Kakak kedua Louise sangat lemah. Dia tak pernah keluar dari daerah La Vallière lebih dari satu langkah.

“Apa kau sudah memanggil dokter?”

Cattleya mengangguk.

“Dokter setempat sudah dipanggil, dan meski dia mencoba melantunkan mantra “Air’ yang kuat berulangkali, sihir tak berguna melawan penyakit ini. Tiada yang berguna untuk tubuh semacam ini. Sentuhan aliran air tiada gunanya.”

Penyebab penyakit Cattleya tak diketahui. Meski kau menyembuhkan sebagian tubuhnya dengan obat atau sihir, bagian lain akan mulai melemah. Pada akhirnya, semua dokter menyerah pada siklus ini. Gejalanya kini diperingan dengan berbagai obat dan sihir. Meskipun begitu, Cattleya tetap tersenyum. Louise merasa kasihan pada kakaknya. Karena kondisinya, Cattleya tak bisa masuk akademi sihir, meski dia bisa melantunkan mantra. Dia juga tak bisa menikah, meski snagat cantik.

“Hmm, mengapa wajahmu begitu? Aku hidup bahagia tiap hari. Lihat!”

Cattleya menunjuk pada kandang burung.

Ada seekor burung terkurung didalam. Selembar perban terlilit di sayapnya.

“Lihat, ini burung muda yang kuceritakan saat di kereta tadi. Aku baru saja mendapatkannya.”

“M-manisnya.”

“Burung kecil ini terluka parah. Sayapnya terluka. Aku tengah lewat ketika aku mendengar kesakitan dari suara burung kecil ini. Aku menghentikan kereta dan membawanya.”

Sepertinya Cattleya mendengar jeritan burung ini saat dia di hutan, jadi dai menghentikan kereta dan membawanya.

“kakak! Ini hanya seekor burung!”

“Bukankah kau merasakan hal yang sama dengan familiarmu?”

Cattleya tersenyum seolah-olah sudah tahu. Pipi Louise langsung terbakar. Aku tak mengerti apa yang kurasakan bersama Saito. Apa karena dia manusia?

“Jadi kau mengerti. Burung kecil ini sama dengan itu.”

Kata Cattleya sambil merajuk.

“Benarkah?”

“YA. Aku senang kau bahagia karena kau sudah mencapai usia yang tepat untuk jatuh cinta.”

Bahkan telinga Louise memerah.

“Apa yang kakak bicarakan?! Aku tak sedang jatuh cinta!”

“Tiada gunanya menyembunyikannya dariku. Aku mengerti semuanya.”

“Aku benar-benar tak sedang jatuh cinta!”

Saking malunya, Louise menggelengkan kepalanya, dan airmatanya hendak jatuh.

“Jangan begitu. Aku mengerti semuanya. Lalu, bisakah kita tidur bersama setelah sekian lama?”

Dengan muka yang masih merah, Louise mengangguk sambil menggigit bibir.

Di kasur nan empuk, Louise, dengan baju yang ditanggalkan dan hanya berpakaian dalam, mendekat pada kakaknya. Cattleya, yang juga memakai pakaian malamnya, memeluk Louise erat-erat seperti anak kucing.

Louise menempatkan kepalanya di samping dada cattleya dan mendesah dalam-dalam.

“Ada apa, Louise?”

“Bukan apa-apa.”

“Ceritakan padaku.”

Setelah kata-kata Cattleya, Louise berucap dengan enggan.

“Aku memikirkan apakah punyaku akan tumbuh sebesar kakak.”

“Pffft.” Cattleya tertawa kecil. Lalu dia mulai meremas-remas dada Louise.

“Hyaah!”

Louise berteriak. Cattleya mengabaikan jeritannya dan terus menyentuhnya.

“Baiklah. Tak apa-apa. Ia akan menjadi besar sebentar lagi.”

“Benarkah?”

“Yep. Aku juga dulunya sepertimu.”

Louise mencoba mengingatnya. Cattleya sekarnag 24....jadi saat dia 16, 8 tahun lalu, dan aku masih 8. Apakah Cattleya terlihat sama sepertiku saat itu? Dia tak bisa mengingatnya dengan jelas, mungkin karena dia masih terlalu muda saat itu.

Kalau dipikir-pikir, Cattleya selalu memeluknya saat mereka tidur saat masa-masa dulu. Aku tak bisa terlelap sendiri dan tak bisa tidur sendiri. Sambil membawa bantalnya dan pergi ke kasur Cattleya, dengan mendengarkan cerita-cerita kakaknya dan menghirup aroma tubuhnya...dia selalu menjadi tenang dan terlelap.

Dalam pelukan Cattleya, matanya tertutup sendiri...

Berbagai pikiran mulai mengalir kedalam kepalanya.

Henrietta.

Perang melawan Albion.

Kemungkinan tewas.

Pulang untuk meminta izin bagi apa yang mungkin menewaskannya. Sebuah beban berat di bahunya.

Pelajaran-pelajaran kejam dan berharga yang dia pelajari hari demi hari.

Dan, saat dia memikirkan familirnya, entah mengapa pipi Louise mulai terbakar. Mereka hampir tak ngobrol hari ini. Karena dia sedang dihardik Eléonore, mereka tak bisa ngobrol. Tapi saat dia mulai memikirkan mengenai hal-hal ini, dia tak bisa tidur sama-sekali.

Dia mulai bergerak-gerak tak tentu...

“Ada apa? Tak bisa tidur?”

“Y-ya...” dia bergumam malu.

“fufufu. Kau sudah tak bisa lagi terlelap disampingku. Siapa yang ada dalam fikiranmu, nak?”

“B-bukan siapa-siapa! Sumpah!”

“Apa ia yang kau bawa denganmu beberapa saat tadi?”

“Salah! Dia hanya seorang familiar! Aku tak mencintainya!”

“Hmmm. Aku tak mengatakan soal cinta.”

Louise bersembunyi di balik futon yang besar.

“Aku membencimu, Kakak.”

Ya ampunm kini aku dibenci.”

Cattleya tertawa senang.

“Tapi tak apa-apa. Jika seorang anak tak bisa tidur di samping kakaknya, maka itu bukan pujian bagi sang kakak. Malah, dia seharusnya malu.”

“Uuuuh...” Louise mengerang.

“Sampai nanti. Hari ini, tempatmu berubah.”

Louise yang dibungkus selimut berjalan melalui koridor. Di jalan, dia menanyai para pelayan dimana Saito berada. Ia berada di akhir sambungan koridor di belakang ruang tamu, sebidang tempat dimana alat-alat kebersihan disimpan.

Dia mengambil napas dalam-dalam begitu dia menemukan gudang. Ini bukan karena aku ingin menemuinya, dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Aku seorang penyihir. Jika si familiar tak disisiku, aku menjadi tak tenang. Itu, hanya itu. Kami belum berbicara apa-apa hari ini. Dan jika kau tidak ngobrol dengnnya barang sebentar, si familiar akan merasa tak enak, pikirnya.

“Itu saja, tak ada yang lain.” Gumam Louise sambil membuka pintu gudang, wajahnya merah merona.

Namun, adalah Siesta yang duduk di kasur.

“Huh? Nona Vallière.”

Pipinya merah darah. Dan di tangannya, dia memegang sebotol anggur.

“A-a-apa yang kau lakukan disini?”

Louise bertanya sambil kebingungan.

“Aku datang kesini untuk bersenang-senang” Jwab Siesta.

Lalu dia melihat Saito di belakang meja. Dia mengeluarkan suara “Guah.” Keras-keras. Sepertinya dia mabuk, terkapar, dan terlelap.

“Keluar dari kamarku.”

Kata Louise, menyalakan seluruh harga dirinya.

“Ini bukan Kamar Nona Vallière.”

Jawab Siesta balik.

“Ini rumahku.”

Louiuse menatap Siesta dengan mata mengancam. Mereka saling menatap, tak ada yang hendak mundur. Keduanya siap meletuskan amarah yang terpendam.

Saat mabuk, Siesta sangat pemberani dan teguh. Dia bisa menyerang balik bahkan pada Louise. Terancam dan tersinggung, dia mengatakan pada Louise,

“Aku pelayan rumah yang dipekerjakan sekolah. Aku tak dipekerjakan Nona Vallière. Lagipula, kita sedang liburan. Jadi terserah pada kami untuk menggunakan waktu lenggang kami. Jadi mohon, jangan ganggu kami.”

Ini tak masuk akal. Louise dengan kasar mendekati kasur, dan mencoba menyeret Saito yang tidur dari pergelangannya. Lalu Siesta mencengkram kakinya yang lain...

“Lepaskan!”

“Kau yang lepas!”

“Ya...maafkan aku, tapi dia adalah familiarku. Dengan kata lain, dia milikku.”

Siesta menatap Louise dengan mata penuh ancaman. Dia sama sekali tak mendenagr kata-kata Louise.

“...Apa kau tak menuruti seorang ningrat?”

Tiba-tiba, suasana kamar jadi tegang.

Siesta, sambil menegakkan diri, meminum lebih banyak anggur.

Dan bergumam dalam suara pelan.

“ningratningratningrat, tutup mulutlah.”

“Haaa?kau l-l-out....”

Saat Louise hendak berteriak...Siesta mendekatkan wajahnya di samping bangsawan muda itu.

“Cinta kan? Dengan kata lain, kau hanya iri. Meski kau seorang ningrat...Betapa aneh!”

“A-Ap...”

Dalam sekejap, keteguhannya tercuci habis dan Louise panik.

“Apa kau sudah mengatakannya? Apa kau iri dengan cintaku?”

Siesta terus menekan Louise masuk sudut.

“Ah, auuuh...uuh...”

Gumam Louise yang memerah.

“Apa? Kau belum mengatakannya? Pengecut.”

“uuh...”

Siesta yang tiba-tiba saja jadi kuat membuat Louise mundur teratur.

“Tapi yang paling penting adalah Saito-san...”

“A-apa?! Apa maksudmu?!”

“Dia menyukai gadis dengan payudara besar.”

Ini langsung membuat Louise terhenti kehabisan kata-kata.

“Dan kalau kau pikir-pikir, kau tak punya begitu banyak.”

Siesta dengan pelan mencolek dada Louise.

“D-dada.”

Mari memanggil ini dengan sebenarnya – kau serata papapn, papan!”

“uuh,” Louise mengeluarkan isakan tertahan.

Dia mengingat-ingat lirikan Saito. Bukankah lirikan familiar bodoh ini selalu terarah pada lembah buah dada?

“Saito-san mengatakannya sendiri. Ukuran dada Nona Vallière sama dnegan anak-anak.”

Dengan keberanian mabuk, Siesta mengumumkan hal yang tak terduga.

Sambil erat-erat menggigit bibir, Louise lari keluar ruangan.

Setelah meyakinkan diri dia pergi, Siesta berbaring di samping Saito dan terlelap.

Cattleya terkejut saat melihat Louise kembali ke kamar dalam tangisan.

“Oh, ada apa, Louise? Apa yang terjadi?”

“Fueh...” Louise melemparkan diri kedalam dada Cattleya.

“Tak apa-apa...mengapa kau menangis?”

Namun, Louise terus terisak-isak, tak mengatakan sepatah kata pun.

“Fuuh,” Cattleya mendesah dalam-dalam.

Seperti dulu, Cattleya terus menepuk kepala Louise hingga dia tertidur.

Saito bangun dan langsung kaget. Ini karena Siesta tidur di sebelahnya.

“Uuhn, uuhn,” Sepertinya dia kesakitan dalam tidurnya. Siesta, mengapa dia disampingku...pikirnya, tapi, setelah melihat sebotol anggur tergeletak di lantai. Dia ingat.

“Ya ampun, aku mabuk, dan setelahnya...”

Aku dipaksa minum miras kuat dan terdistilasi oleh Siesta dan ambruk.

“Siesta, Siesta,” Dia menepuk ringan pipinya.

Namun, dia tak bangun.

“Uuh, uguu, mguu.”

Ini membuat Saito was-was karena ida memegangi dadanya seakan tersedak. Dia memakai kemeja yang terlalu kecil baginya. Apa dia meminjam pakaian dalam dari seseorang di Istana ini? Benar-benar deh, saat kau memakai kemeja yang tak sesuai ukuran tubuhmu dan masih dapat efek terusan, kau pasti merasa sangat tak enak.

Saito melepaskan satu kancing kemeja Siesta.

Di saat itulah Siesta perlahan membuka matanya. Saito dengan enggan menyingkirkan tangannya dari kemejanya.

“Se-ahhh-lamat pagi...”

Gumam Siesta dengan wajah mengantuk, tapi langsung memerah begitu menyadari keadaan sekitar.

“S-Saito-san, mengapa? Itu! Aku!”

Hey hey, pertama-tama, bukankah kau yang menerobos kamarku sambil mabuk? Saito tersenyum pahit.

“Siesta, tadi malam, kau mabuk dan...”

Kata Saito, meningkatkan kemerahan pada Siesta lebih jauh lagi.

“Eh? Aku mabuk?” “Ya. Lihat!”

Saito menunjuk botol anggur yang tergeletak di lantai.

“Kau membawa itu bersamamu.”

“Aku minum angguuuur?!”

“Y-ya...”

“Itu mengingatkanku, saat makan malam, aku minum segelas. Tapi sepertinya aku minum lebih dari satu teguk. Ahh, bagaimana ini...”

Saito terkejut dengan kekhawatiran Siesta.

“Siesta?”

“A-Aku benar-benar melakukannya, kan?”

“Y-ya.”

“Kupikir aku minum terlalu banyak. Aku tak begitu jago meminum anggur.”

Siesta bergumam tertahan sambil membuang muka. <!> memang, ‘Kau juga minum’ ya, pikir Saito. Sepertinya pelayan ini masuk jajaran pemabuk gila. <!>

“Setelah meminum seluruh anggur itu, aku tak ingat apa-apa soal tadi malam. Saito-san, Apakah aku tak sopan?”

“Ti-Tidak, tak begitu...”

Tepat saat itu...suara seseorang yang berlari dengan ribut melalui koridor terdengar. *bam* Pintu terbuka dan salah seorang pelayan istana meloncat masuk.

“W-w-wha-! Jerit saito.

“Tiada waktu! Tuan telah tiba! Kita perlu menjaga Istana agar terus berkilau...” teriaknya, dan dengan sepanggul alat-alat kebersihan, dia berlari keluar. Tak lama kemudian pekerja lain datang dan berlari keluar dengan pel dan ember. Ini memang merupakan gudang. Meski ada banyak alat kebersihan, mereka hampir tak pernah digunakan. Namun, sepertinya hari ini adalah pengecualian.

Tuan? Siesta dan Saito saling bertatapan.

Pendeknya.Ayah Louise telah kembali. Bab Dua: Cattleya

Waktu dhuha, dua hari setelah meninggalkan akademi...

Saito dkk telah mencapai daerah La Vallière. Namun, sewaktu mereka mencapai mansion La Vallière, malam sudah larut. Mendengar kata “Malam sudah larut”...Saito menjadi pucat. Dia menyadari bahwa “daerah” ini tak lebih dari halaman. Namun, setelah setengah hari habis untuk perjalanan, dia tak bisa mengerti bagaimana sesuatu yang begitu besar adalah halaman sebuah kediaman.

Berdasarkan standar Jepang, daerah Louise dapat dibilang suatu kota berukurang menengah. Sebuah kota...sebelumnya, Saito tak pernah mendengar tentang seseorang yang bisa memiliki begitu banyak tanah sebelumnya. Para bangsawan tingkat atas ini begitu menyeramkan.

Status Louise sebagai ningrat benar-benar dipertunjukkan begitu mereka memasuki daerahnya.

Mereka memutuskan untuk beristirahat di sebangun penginapan...

Begitu kendaraan mereka berhenti, Siesta, yang tiba sedikit lebih awal, cepat-cepat keluar dari kendaraannya. Dia telah dilatih sebagai seorang pelayan, sehingga dia pergi untuk membuka pintu kendaraan bagi Louise.

“Uwaa, aku tak percaya Siesta baru saja melakukan itu...tanpa protes,” pikir Saito sambil berjalan menuju kendaraan Louise. Tapi sebelum dia bisa samapi disana, dia ditumbangkan oleh segerombolan penduduk desa yang berlarian dari penginapan.

Para penduduk melepas topi mereka di hadapan Louise, yang baru saja melangkah turun.

“Nona Eléonore! Nona Louise!” teriak mereka sambil membungkuk dalam-dalam.

Para penduduk mengira bahwa bahkan Saito, yang kini terbaring dalam lumpur, seorang ningrat. Mereka dengan cepat membantunya berdiri dan meminta maaf atas kelakuan tak pantas mereka.

Tidak, aku bukan seorang ningrat...” Saito mencoba menjelaskan sembari tegang.

“Meski begitu, kau pasti pengiring Nona Eléonore atau Nona Louise. Dan kami tak bisa tak menghormati itu.”

kata para petani yang terlihat lugu sambilo mengangguk.

Mereka bahkan mengatakan hal-hal seperti “Bisakah aku membawakan pedangmu untukmu,” dan “Pasti merupakan perjalanan melelahkan untuk sampai kesini, kan?” sembari memperlakukan Saito dengan kebaikan yang paling dalam.

“kami akan beristirahat disini untuk sesaat. Tolong beritahukan keluarga mengenai kedatangan kami,” perintah Eléonore.

Seorang anak lelaki dengan sigap melompat ke atas kuda dan mengendarainya untuk melapor.

Mereka berjalan masuk penginapan. Begitu Eléonore dan Louise menghampiri meja. kursi-kursi langsung ditarik keluar untuk diduduki mereka. Keduanya merebah duduk seakan itu alami. Saito mencoba duduk di sebelah mereka, namun di dilemparkan tatapan menusuk oleh Eléonore.

“Saito-san! Saito-san!”

Saito berbalik saat mendengar panggilan Siesta.

“Jelata tak boleh duduk di meja yang sama dengan para ningrat.”

Itu mengingatkan Saito. Akhir-akhir ini, dia duduk di sebelah Louise tanpa mengkhawatirkan itu. Namun, itu adalah hal aneh untuk dilakukan di dunia ini. Kalau dipikir-pikir. awalnya Louise menyuruh saito duduk di lantai.

Louise membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi dipotong oleh tatapan dari Eléonore. Louise tak bisa apa-apa dan duduk di kursinya seperti ana gadis yang baik. Saito terbelabak-ini kali pertama dia melihat Louise dalam keadaan begini. Dia terlihat sangat patuhs ecara alami di hadapan kakak perempuannya. Dia pasti seorang kakak perempuan yang menakutkan sehingga membuat Louise tampak begitu lemah.

“Oh, Louise sudah besar!”

“Dia tumbuh menjadis emakin dan makin cantik!”

Para penduduk tengah ngobrol di sekitar mereka.

“Sepertinya Nona Eléonore telah ditunangkan, ya kan?” tukas seseorang.

“SHHHH! Jangan berbicara soal itu!” sergah yang lain.

Alis Eléonore mulai mengernyit dan wajahnya menghitam. Suasana penginapan langsung menegang. Disini, jelas sudah bahwa topik pertunangan Eléonore adalah sesuatu yang harus dihindari.

Para jelata yang merasakan keinginan membunuh dari Eléonore tak berani berucap sepatah kata pun. Saito dan Siesta bertukar pandangan. Lalu Siesta dengan sunyi mendekati Saito lalu menggenggam tangannya. Dia ketakutan.

Louise tak menyadari perubahan kakak perempuannya, dan berbicara.

“Eléonore, Eléonore nee-sama...”

“Apa...”

“Selamat atas pertunanganmu!”

Wajah tiap orang jelata terjatuh, dan sebuah desahan dalam dikeluarkan mereka.

Sekali lagi, Louise telah salah membaca suasana dengan sempurna. Tiba-tiba, alis Eléonore naik bersamaan dengan dicubitnya pipi Louise olehnya.

“Ini syyyyaaaakiiit!! Waaahhhhh! Nee-shammaaa!! Meeengapaaa?! Ini syyaakiit Ini syyaakiit Ini syyaakiit!!!”

“kau tak tahu? Kau ngomong meski kau tahu seharusnya kau tidak!”

“Aku tak au pa eng au icalakeng!!”

“Pertunangannya dibatalkan!! B-A-T-A-L!”

“M-mengapa?”

“Siapa tahu> Mengapa kau tak tanya Earl Burgandi? Dia mengatakan soal mencapai batasnya...aku tak dapat mengerti mengapa.”

saito bersimpati penuh terhadap Earl Burgandi ini. Ya. Dapat dimengerti bahwa siapapun yang mendengarkan Eléonore akan segera mencapa “batas” mereka. Eléonore lebih galak dan kasar dibanding Louise. Earl pasti berpikir dia tak punya stamina yang cukup.

Pada akhirnya, karena kecewa dengan batalnya pernikahan, Eléonore lalu meledakkan seluruh amarahnya pada Louise...

Dan dengan itu, ceramah dimulai. Dia menghardik Louise karena menerbangkan atap kendaraan,. Pipi Louise yang ditarik menjadi sangat merah dan bengkak. Secara alami, Saito merasa kasihan pada Louise.

Namun, penghakiman tak berlangsung begitu lama, karena tiba-tiba pintu terbuka dan sealiran pink terbang masuk.

Seorang gadis yang mengenakan baju elegan di sekitar pinggangnya yang kurus dan sebuah topi lebar dengan bulu diatasnya masuk. Dibawah topi adalah sebungkus rambut pink blonde nan halus – persis sama dengan Louise.

Yang mengejutkan, sebentuk wajah manis menyembul dari bawah topi.

Meski dari pandangan pertama sudah jelas dia lebih dewasa, dia terlihat sangat manis. Bentuk wajah cantik itu tak dapat diuraikan. Warna dan cara matanya berbinar pun sama denagn Louise. Menyadari Eléonore, gadis itu menatapnya dengan mata terbelabak.

“Ah! Aku sangat senang bahwa aku menyadari kendaraan asing di luar dan datang kesini untuk menengok, Aku tak menyangka bakal bertemu denganmu! Eléonore nee-sama! Kau kembali?”

“Cattle...ya...” tukas Eléonore

Menyadari kehadiran tamu yang tiba-tiba, Louise menengadah. Melihat Louise, wajah Cattleya memancarkan kebahagiaan yang tercermin juga oleh wajah Louise.

“Kakak!” (sebenarnya lebih suka make bahasa daerah yang nunjuk kakak perempuan langsung, seperti teteh (sunda), uni(minang), dll. ganti aja klo ngerasa ga cocok)

“Louise! Tak mungkin! Kau bukan Louise kecilku lagi! Kau juga kembali!”

Louise bangkit dan melemparkan dirinya ke pelukan Cattleya.

“Sudah lama sekali, kakak!”

Saking tak bisa menahan keharuan, mereka berdua saling memeluk sambil menjerit.

Sepertinya Cattleya adalah kakak Lousie. Dia memiliki warna rambut dan mata yang sama – rasanya bagai melihat Louise yang lebih dewasa. namun wajah Cattleya tampak memiliki penampilan lebih tenang dan damai daripada milik Louise. Aura ketenangan dan kelembutan sempurna dari Cattleya membuat jantung Saito berdegup.

Dia bagai Louise dewasa dengan tambahan kelembutan. Lagipula, sosok cantik dan dadanya juga cocok dengan selera Saito.

Mulut Cattleya setengah menganga saat akhirnya dia menyadari kehadiran Saito.

“Ah, ah, ah , ahah!”

Selama saito berpikir-pikir soal apa maksud “Ah” ini, Cattleya menghampirinya dan menerawangi wajahnya.

“A-A-Apa yang salah?” tanya Saito dengan tegang.

cattleya mulai mengelus wajah Saito dengan lembut. Saito hampir pingsan karena rasanya.

“Kau adalah...kekasih Louise, kan?”

“Huh?!”

Siesta yang berdiri di sebelah saito tiba-tiba membeku. Dia menginjak keras kaki saito. Sekuat tenaga. Saito loncat.

Louise memerah seketika.

“Dia hanya familiarku! Bukan kekasih!”

“Ah...begitu, ya?”

Cattleya tertawa kecil dan membengkokkan kepalanya sambil tersenyum manis.

“Maaf, aku salah. Jangan khawatir soal itu.”

Semuanya menaiki kendaraan Cattleya untuk sisa perjalanan ke kediaman La Vallière. Tentu saja Eléonore tidak mau duduk dengan seorang jelata dan familiar. Tapi saat Cattleya sambil bercanda bilang,” Lebih banyak lebih meriah, kan?” Eléonore dengan enggan setuju meski tetap tak mau mengeluarkan sepatah kata pun.

Namun...bukan hanya Saito dkk yang menumpang di kendaraan besar tersebut.

Raasanyas eperti kebun binatang didalamnya.

Di depan kursi ada harimau yang berbaring telungkup di lantai dan menguap. Louise duduk di bawah di sebelah seekor beruang. Berbagai macam anjing dan kucing betebaran disini dan disana. Seekor ular besar yang terjuntai dari atap muncul tepat di hadapan wajah Siesta dan membuatnya pingsan. Saito berucap ”Kendaraan yang luar biasa...” sambil merawat Siesta yang pingsan.

“Kakak mencintai binatang,” kata Louise.

Meski dia pikir bahwa cinta sejenis ini keterlaluan, Saito tak berucap sepatah kata pun.

“Aku baru saja mendapatkan seekor thrush.”

kata Catteya dengan nada gembira.

“Tunjukkan padaku! Tunjukkan padaku!” Louise melompat-lompat seperti anak kecil.

Eléonore dan yang lainnya bersama-sama mendesah dalam-dalam.

Inilah kehidupan dari 3 kakak beradik perempuan La Vallière yang cantik. Saito membungkuk dalam-dalam penuh simpati pada kakak-kakak Louise.

Louise dan Cattleya terus mengobrol.

Sepertinya Kakak kedua, yang mengenakan pakaian nan manis itu, berteman baik dengan Louise. saat kau melihat dua orang berhubungan baik seperti ini, bahkan perjalanan membosankan seperti ini tak terasa tawar. Siesta sudah tidur lelap di pangkuannya. Di sebelah kiri kendaraan, bukit-bukit membentang. Di kanan – ladang-ladang pertanian terhampar. Karena panen raya tengah berakhir, jerami menggunung disini dan disana. Saat dia menerawangi pemandangan indah ini, mustahil baginya untuk percaya sebuah perang tengah berlangsung. Sambil bersandar di rangka jendela, dia menyesuaikan posisi Derflinger di punggungnya, dan menguap lebar-lebar.

Di Malam nan pekat.

Eléonore mengeluarkan jam saku dari kantongnya dan memastikan waktu.

Sebangun Banteng memasuki sudut pandang, tepat di belakang bukit. Karena tidak ada apa-apa di sekitarnya, ia terlihat lebih besar dari Istana Kerajaan Tristain.

“Apa itu-“ bisik Saito. Louise mengangguk.

Ia terlihat seperti Benteng lainnya. Dikelilingi tembok-tembok nan tinggi dan kali yang dalam. Menara-menara menjulang tinggi di atas tembok. Ini benar-ebnar benteng yang besar dan bagus yang sebenarnya.

Siesta yang terlelap hingga sekarang, terbangun, dan saat menyadari kehadiran benteng, menatapnya dengan mata terbelabak.

“Wow! Luar biasa!”

Pada saat itu, seekor burung hantu raksasa masuk melalui jendela dan mendarat di kepala Saito.

“Selamat datang, Eleonore-sama, Cattleya-sama, Louise-sama.” Burung hantu itu membungkuk untuk menyambut mereka.

“B-B-Bu-burung hantunya ngomong dan membungkuk! M-membungkuk!”. Siesta pingsan lagi. Meski datang dari dunia yang berbeda, Saito tampaknya tak terkejut oleh burung hantu yang berbicara dan tak bergerak. Saito tak terkejut oleh hal-hal semacam ini lagi.

Cattleya tersenyum.

“Dan dimana Ibu?”

“Nyonya tengah menunggu kalian semua di ruang makan.”

“Bagaimana dengan Ayah?”

tanya Louise, tegang.

“Tuan belum kembali.”

Karena anggota paling penting tak ada, Louise bermuka masam tanda tak senang. datang kesini untuk mendapatkan izin ayahnya untuk bergabung dalam perang tiada gunanya tanpa dia.

Disini dapat terlihat pintu gerbang dibelakang kali.

Saat kereta berhenti, suara-suara dari rantai pemegang jembatan gantung dilepaskan dapat terdengar dari kedua patung raksasa berbentuk pos gerbang.

Tiap patung batu paling tidak setinggi 20 kaki. Meski golem-golem ini diciptakan hanya sebagai hiasan gerbang, mereka membuat keseluruhan jembatan gantung terlihat spektakuler.

Begitu jembatan gantungs elesai diturunkan, kereta mulai bergerak lagi, kini menyebrangi jembatan gantung dan menuju bagian dalam.

Keterkejutan Saito soal kemegahan keluarga Louise diperbaharui lagi. Ini benteng raksasa bangsawan.

Saito dkk tiba di ruang makan yang dihiasi begitu mewah dengan mebel-mebel mewah. Meski Siesta langsung menuju tempat para pelayan. Saito diperbolehkan menemani mereka selama makan malam sebagai familiar Louise.

Namun, dia dipaksa menunggu dibelakang kursi Louise. Jadi Saito berdiri sigap di belakang Louise, melihat-lihat meja yang panjangnya 30 kaki.

Meski hanya ada 4 orang yang duduk di kursi selama jamuan, 20 pelayan mengelilingi meja.

dan, meski kini tengah malam, ibu Louise, Duchess de La Vallière, menunggu putri-putrinya untuk tiba di meja makan.

Sang Duchess, yang duduk di meja teratas, memandangi putri-putrinya yang hadir.

Saito bergidik dari tekanan itu. Meski Eléonore memiliki aura kasar dan tinggi yang membuat bulu kuduknya berdiri, ibu Louise ternyata sama juga.

Dan ini hanya kehangatan Ibu terhadap putri-putrinya.

Dia tampak berumur 50-an. Namun, perkiraan ini dibuat dengan menghitung umur kakak tertua. Sebenarnya, dia tak terlihat lebih dari 40. Dia memiliki penampilan nan tajam. warna rambut pink Louise dan Cattleya sepertinya diturunkan dari ibu mereka. Sang duchess mengikat rambut pinknya yang menarik di atas kepa. Dia mengenakan aura memerintah disekitarnya, Saito merasa tertekan.

Louise, meski bertemu lagi dengan ibunya setelah sekian lama, berlaku tegang. Sepertinya Louise hanya mempercayai Cattleya.

“Ibu, kami baru saja kembali.” kata Eléonore; Duchess de La Vallière mengangguk.

Saat ketiga putrinya duduk. Para pelayan membawa hidangan dan makan malam pun dimulai.

Bagi Saito yang berdiri di belakang, waktu berjalan sangat lamban. Tiada kata terucap. Hidangan yang disajikan disini jauh lebih mewah dari bahkan makan malam resmi di akademi. Suara dari ruang makan hanyalah suara dari pisau dan garpu perak.

Louise berucap untuk memecah keheningan ini.

“M-Mama-sama.”

Sang Duchess tak menjawab. Eléonore yang melakukannya.

“Mama-sama! Bilang pada Louise! Anak bodoh ini mengatakan dia hendak pergi ke medan perang!”

Bam! – Louise bangkit sambil memukul meja.

“AKu tidak bodoh! Apa aku terlihat bodoh ketika melamar menjadi kekuatan militer Paduka?”

“Bukankah kau seorang gadis?! Perang adalah urusan lelaki!”

“Itu cara berpikir yang sangat kuno! Kini adalah era dimana lelaki dan wanita diberikan kedudukan yang sama! Jika kedudukan hanya diberikan pada para lelaki di Akademi, bahkan kau, kakak, takkan bisa menjadi ketua peneliti di Akademi!”

Eléonore menggelengkan kepalanya keheranan.

“Apa kau tahu tempat maca apa medan perang itu? Itu bukan tempat dimana wanita dan anak-anak sepertimu bisa pergi.”

“Tapi Yang Mulia mempercayaiku...”

“Kau dipercaya? Kau – Si ‘Zero’?!”

Louise menggigit bibirnya. Henrietta membawaku ke medan perang karena aku dibutuhkan. Aku seorang pengguna “Void”. Namun aku tak bisa mengatakan itu pada keluargaku. Pada akhirnya, Louise tak bisa mengatakan apapun dan terdiam.

Eléonore mencoba untuk terus menceramahi, tapi dipotong oleh duchess yang selama ini diam. Dia memerintah dengan suara tegas,

“Makanlah, Eléonore.”

“T-tapi, Mama-sama...”

“Kita akan bicarakan soal Louise besok, saat bapak kembali.”

Dengan begitu diskusi pun berakhir


Saito tengah berbaring di kasur di ruangan yang dipersiapkan untuknya dan tengah memandangi langit-langit.

Di gudang ini, sebatang sapu bersender pada tembok dan selembar lap berada di kasur. Saito baru saja belajar lagi soal perbedaan antara statusnya dengan Louise. Akhir-akhir ini, mereka tidur di kasur yang sama, hidup di loteng yang sama dan makan dari meja yang sama, namun dia tak dapat merasakan perbedaaan status apapun...

Tapi saat dia bertemu keluarganya, semuanya terasa bagaikan impian tak berdasar.

Louise cantik, kaya. Seorang ningrat, itulah dia.

Saito juga teringat bahwa mereka tak berbicara dengan Louise begitu mereka meninggalkan sekolah. Louise kehilangan keberaniannya karena Eléonore dan tak berbicara terlalu banyak.

Bahkan, dia menerima seluruh ceramah dari keluarganya, seperti seorang pelayan dari tuannya, tanpa mengeluh. Entah mengapa, dia menyembunyikan dirnya yang sebenarnya. Saito merasa kasihan padanya.

Dia bukan siapa-siapa, dia tak punya apapun dengan sistem sosial dunia ini.

Tapi setelah melihat makan malam semacam itu di benteng ini – kau tak bisa tidak membayangkan soal ini, kan? Pikirnya.

Dia merasa dia mempelajari jurang lebar antara dia dan kedudukan Louise.

Dia merasa sedikit galau karenanya...

Tiba-tiba ada ketukan di pintu.

Siapa yang bakal datang ke gudang ini? Pikirnya sambil membuka pintu, hanya untuk disambut senyum malu Siesta yang berdisi di sana.

“Siesta?”

“Y-Yah...Aku tak bisa tidur, jadi aku datang kesini.”

“Eh? Eeeh?”

Saat Saito tengah panik, Siesta memasuki ruangan.

“Meski begitu...bagaimana kau tahu tempatku?”

“Aku menanyai para pelayan soal itu.”

“Begitu ya...”

Siesta duduk di kasur, dan leyeh-leyeh mengayunkan kaki. Entah mengapa wajahnya merah. Saat Saito mencoba berlalu darinya, Siesta mencengkram lengannya menariknya kebawah untuk duduk disampingnya. Lalu dia menyenderkan kepalanya pada bahu Saito, tepat seperti di dalam kereta beberapa waktu yang lalu.

“Siesta?”

Mendengar Saito bertanya, Siesta memandangnya dengan wajah tak berdosa.

“Ini adalah kali pertama aku datang ke Benteng yang begitu megah. Benteng ini benar-benar berliku-liku.”

“Itu hebat.”

“Seorang teman di akademi terus menceritakan soal keluarga La Vallière sebagai salah satu dari lima keluarga paling terpandang di Tristain. Hidup dalamIstana semacam ini, kekayaan, da wajah rupawan...Nona Vallière hanya bisa diiri.”

“Apakah begitu?”

“Ya. Hidupnya sangat nyaman. Dia bisa mendapatkan apapun yang diinginkan orang, seperti...”

LaluSiesta menatap dalam-dalam wajah Saito.

“...Saito-san.”

“A-Aku bukan miliknya. Aku familiarnya...”

“Aku mengerti.”

Siesta mengatakannya perlahan.

“Eh?”

“Cara Saito-san memandanginya, aku mengerti. Aku tak punya kesempatan. Dia kaya, ningrat dan cantik...dan punya istana sebesar ini sebagai rumahnya. *Hic*”

Siesta menunduk, dia terlihat kesepian. Saito mencoba memahami apa yang baru saja dia katakan, dan terdiam jugha.

“Ik ik, ik ik.” Siesta terdengar seakan dia terisak-isak. Apa dia menangis?

Sementara Saito tak tahu harus bagaimana, Siesta tiba-tiba berdiri.

“Siesta...”

“tapi...”

“Eh?”

“Aku juga punya sesuatu.”

“Siesta?”

Sepertinya keadaan berubah. Dengan semangat baru yang mengudarakan “Aku takkan menyerahkan Saito-san!” Siesta berbalik.

“D-d-d-dadaku jelas-jelas mengalhkan Nona Vallière! Ik ik!”

“Siesta?”

Gemetaran karena marah, Siesta melanjutkan pembicaraan.

“K-k-keluarga bangsawan? Terus kenapa? Aku seorang pelayan. PELAYAN! Ik ik!”

“Y-ya, aku tahu itu.”

Saito menyadari Siesta terus ber-hik-hik, terus menerus.

“Siesta, apa kau...mabuk?”

“AKu membuat makan malam sendirian. Dan mereka bahkan tak mengatakan ‘ Kau dari perjalanan jauh, terima kasih, beristirahatlah dulu.’ Ik ik!”

Wajahnya merah terang dan mulutnya pun beraroma alkohol. Saito terpaku. Ini kali pertama dia melihat Siesta mabuk.

Memang sih, dia juga harus melakukan tugasnya sebagai pelayan disini, jadi dia harus menghibur dan menuangkan alkohol di Istana ini. Saat mabuk begini, Siesta mengeluarkan sebotol anggur dari celah kemejanya.

“D-darimana kau dapat botol itu?”

Siesta mendekatkan wajahnya pada Saito.

“Mencurinya.”

“O-oh, begitu.”

Siesta melepas sumbatan dan minum langsung dari botol. Sambil terbelabak, Saito menatapnya yang menenggaknya.

“Phua!” Siesta memisahkan mulutnya dari botol. Wajahnya menjadi lebih merah.

“Hey, Saito!”

Akhirnya dia memanggil Saito secara tak resmi.

“Y-ya?”

“Kau juga harus minum.”

“B-bersulang.”

Dia tahu bahwa bila dia tak menurut, perasaannya bakal tak karuan. Saito mengambil anggur yang disajikan. Dia mencoba menenggaknya sekali telan, tapi dengan satu “Buaagh,”, dengan cepat dia memuntahkannya. A-apa yang salah dengan anggur ini? Ini benar-benar keras.

“S-siesta. Anggur ini...”

“Ia dari meja dapur.”

Sepertinya Siesta jenis orang yang perasaannya mencerah setelah segelas anggur, dan satu tenggakan dari botol di meja cukup untuk membuat kehilangan tidak apa-apa. Siesta ternyata peminum yang sangat buruk.

“S-seharusnya kau tak mengambilnya tanpa izin...”

“Hey! Saito!”

“Y-ya?”

“Apapun. Minum!”

“B-bersulang.”


Mengingat perasaan dapat berubah menjadi amarah bila dia menolak, Saito dengan enggan meminum lagi anggur itu.

Sementara...

Dalam kamar Cattleya, rambut Louise disisiri kakaknya.

Kamar Cattleya merupakan perpaduan elegan dari kebun binatang dan botani. Tanaman-tanaman pot ditempatkan dimana-mana, banyak keranjang anyaman tergantung dari langit-langit, dan anjing-anjing kecil berlarian kesana kemari.

Cattleya dengan lembut menyisiri rambut Louise.

“Louise, Louise kecil. Rambutmu begitu memesona, warnanya sangat menawan.”

“Kakak, kau punya rambut yang sama.”

Cattleya tertawa senang.

“Memang, Rambutmu – Aku menyukainya.”

Louise merajuk dan bergumam,

“Rasanya, Warna Rambut blonde Kak Eléonore sama dengan milik ayah.”

“Yah, aku menanyai kak Eléonore soal itu. Dia tersinggung.”

“Benar. Aku pikir Kak Eléonore tak sesuai dengan rambut indahnya.”

“Huh, mengapa?”

“Dia galak. Dia seorang kakak yang berbeda. Meski sudah lama sekali, dia tetap mempermainkanku.”

“Itu karena kau, Louise, sangat manis. Begitu manisnya sehingga membuat semua khawatir. Itu caranya menyayangimu.”

“Itu tak benar.”

Cattleya dengan perlahan memelik Louise erat dari belakang.

“itu benar. Semua orang di rumah ini menyayangimu, Louise Kecil.”

“Aduh, kok kakak mengatakan hal seperti itu...”

Cattleya mengubur wajahnya dalam rambut Louise dan mengejapkan mata.

“tapi aku sangat senang, Louise. Kupikir kau akan depresi nan mendalam...”

“Mengapa?”

“Viscount wardes. Dia seorang pengkhianat, kan? Setengah tahun lalu, dia seorang pemimpin Garda sihir. Mansion Wardes berada di daerah kita. Saat dia mengkhianatimu, bukankah kau terluka?”

Louise menggelengkan kepala.

“Tidak juga. Aku bukan anak kecil lagi. Jangan campurkan antara kasih kekanak-kanakan dan cinta.”

Cattleya tersneyum saat Louise mengatakan itu dengan teguh.

“Kau bisa diperhitungkan sekarnag. Kau sudah dewasa, Louise.”

“Itu beanr,” Louise bergumam pada dirinya sendiri.

“Aku bukan anak kecil lagi, karenanya, aku ingin memutuskan untuk diri sendiri.”

“Lalu, jika ayah akan menentangnya, apakah kau akan ke medan perang tanpa izinnya?”

“Jika memungkinkan, aku ingin dia setuju. Aku ingin semuanya mengerti.”

“Namun, aku juga tak menyukai perang.”

“Ibu pertiwi kita dalam krisis. Dan Putri....tidak, Paduka, membutuhkan kekuatanku. Makanya...”

“Tiada gunanya mengatakan itu padaku. Sulit bagiku untuk mengerti, karena kakakmu ini selalu mengurung diri di istana.”

Cattleya dengan lembut menepuk kepala Louise. Lalu, dia tiba-tiba terbatuk.

“Kakak! Apa kau baik-baik saja?”

Louise memandangi Cattleya dengan wajah khawatir. Tubuh Kakak kedua Louise sangat lemah. Dia tak pernah keluar dari daerah La Vallière lebih dari satu langkah.

“Apa kau sudah memanggil dokter?”

Cattleya mengangguk.

“Dokter setempat sudah dipanggil, dan meski dia mencoba melantunkan mantra “Air’ yang kuat berulangkali, sihir tak berguna melawan penyakit ini. Tiada yang berguna untuk tubuh semacam ini. Sentuhan aliran air tiada gunanya.”

Penyebab penyakit Cattleya tak diketahui. Meski kau menyembuhkan sebagian tubuhnya dengan obat atau sihir, bagian lain akan mulai melemah. Pada akhirnya, semua dokter menyerah pada siklus ini. Gejalanya kini diperingan dengan berbagai obat dan sihir. Meskipun begitu, Cattleya tetap tersenyum. Louise merasa kasihan pada kakaknya. Karena kondisinya, Cattleya tak bisa masuk akademi sihir, meski dia bisa melantunkan mantra. Dia juga tak bisa menikah, meski snagat cantik.

“Hmm, mengapa wajahmu begitu? Aku hidup bahagia tiap hari. Lihat!”

Cattleya menunjuk pada kandang burung.

Ada seekor burung terkurung didalam. Selembar perban terlilit di sayapnya.

“Lihat, ini burung muda yang kuceritakan saat di kereta tadi. Aku baru saja mendapatkannya.”

“M-manisnya.”

“Burung kecil ini terluka parah. Sayapnya terluka. Aku tengah lewat ketika aku mendengar kesakitan dari suara burung kecil ini. Aku menghentikan kereta dan membawanya.”

Sepertinya Cattleya mendengar jeritan burung ini saat dia di hutan, jadi dai menghentikan kereta dan membawanya.

“kakak! Ini hanya seekor burung!”

“Bukankah kau merasakan hal yang sama dengan familiarmu?”

Cattleya tersenyum seolah-olah sudah tahu. Pipi Louise langsung terbakar. Aku tak mengerti apa yang kurasakan bersama Saito. Apa karena dia manusia?

“Jadi kau mengerti. Burung kecil ini sama dengan itu.”

Kata Cattleya sambil merajuk.

“Benarkah?”

“YA. Aku senang kau bahagia karena kau sudah mencapai usia yang tepat untuk jatuh cinta.”

Bahkan telinga Louise memerah.

“Apa yang kakak bicarakan?! Aku tak sedang jatuh cinta!”

“Tiada gunanya menyembunyikannya dariku. Aku mengerti semuanya.”

“Aku benar-benar tak sedang jatuh cinta!”

Saking malunya, Louise menggelengkan kepalanya, dan airmatanya hendak jatuh.

“Jangan begitu. Aku mengerti semuanya. Lalu, bisakah kita tidur bersama setelah sekian lama?”

Dengan muka yang masih merah, Louise mengangguk sambil menggigit bibir.

Di kasur nan empuk, Louise, dengan baju yang ditanggalkan dan hanya berpakaian dalam, mendekat pada kakaknya. Cattleya, yang juga memakai pakaian malamnya, memeluk Louise erat-erat seperti anak kucing.

Louise menempatkan kepalanya di samping dada cattleya dan mendesah dalam-dalam.

“Ada apa, Louise?”

“Bukan apa-apa.”

“Ceritakan padaku.”

Setelah kata-kata Cattleya, Louise berucap dengan enggan.

“Aku memikirkan apakah punyaku akan tumbuh sebesar kakak.”

“Pffft.” Cattleya tertawa kecil. Lalu dia mulai meremas-remas dada Louise.

“Hyaah!”

Louise berteriak. Cattleya mengabaikan jeritannya dan terus menyentuhnya.

“Baiklah. Tak apa-apa. Ia akan menjadi besar sebentar lagi.”

“Benarkah?”

“Yep. Aku juga dulunya sepertimu.”

Louise mencoba mengingatnya. Cattleya sekarnag 24....jadi saat dia 16, 8 tahun lalu, dan aku masih 8. Apakah Cattleya terlihat sama sepertiku saat itu? Dia tak bisa mengingatnya dengan jelas, mungkin karena dia masih terlalu muda saat itu.

Kalau dipikir-pikir, Cattleya selalu memeluknya saat mereka tidur saat masa-masa dulu. Aku tak bisa terlelap sendiri dan tak bisa tidur sendiri. Sambil membawa bantalnya dan pergi ke kasur Cattleya, dengan mendengarkan cerita-cerita kakaknya dan menghirup aroma tubuhnya...dia selalu menjadi tenang dan terlelap.

Dalam pelukan Cattleya, matanya tertutup sendiri...

Berbagai pikiran mulai mengalir kedalam kepalanya.

Henrietta.

Perang melawan Albion.

Kemungkinan tewas.

Pulang untuk meminta izin bagi apa yang mungkin menewaskannya. Sebuah beban berat di bahunya.

Pelajaran-pelajaran kejam dan berharga yang dia pelajari hari demi hari.

Dan, saat dia memikirkan familirnya, entah mengapa pipi Louise mulai terbakar. Mereka hampir tak ngobrol hari ini. Karena dia sedang dihardik Eléonore, mereka tak bisa ngobrol. Tapi saat dia mulai memikirkan mengenai hal-hal ini, dia tak bisa tidur sama-sekali.

Dia mulai bergerak-gerak tak tentu...

“Ada apa? Tak bisa tidur?”

“Y-ya...” dia bergumam malu.

“fufufu. Kau sudah tak bisa lagi terlelap disampingku. Siapa yang ada dalam fikiranmu, nak?”

“B-bukan siapa-siapa! Sumpah!”

“Apa ia yang kau bawa denganmu beberapa saat tadi?”

“Salah! Dia hanya seorang familiar! Aku tak mencintainya!”

“Hmmm. Aku tak mengatakan soal cinta.”

Louise bersembunyi di balik futon yang besar.

“Aku membencimu, Kakak.”

Ya ampunm kini aku dibenci.”

Cattleya tertawa senang.

“Tapi tak apa-apa. Jika seorang anak tak bisa tidur di samping kakaknya, maka itu bukan pujian bagi sang kakak. Malah, dia seharusnya malu.”

“Uuuuh...” Louise mengerang.

“Sampai nanti. Hari ini, tempatmu berubah.”

Louise yang dibungkus selimut berjalan melalui koridor. Di jalan, dia menanyai para pelayan dimana Saito berada. Ia berada di akhir sambungan koridor di belakang ruang tamu, sebidang tempat dimana alat-alat kebersihan disimpan.

Dia mengambil napas dalam-dalam begitu dia menemukan gudang. Ini bukan karena aku ingin menemuinya, dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Aku seorang penyihir. Jika si familiar tak disisiku, aku menjadi tak tenang. Itu, hanya itu. Kami belum berbicara apa-apa hari ini. Dan jika kau tidak ngobrol dengnnya barang sebentar, si familiar akan merasa tak enak, pikirnya.

“Itu saja, tak ada yang lain.” Gumam Louise sambil membuka pintu gudang, wajahnya merah merona.

Namun, adalah Siesta yang duduk di kasur.

“Huh? Nona Vallière.”

Pipinya merah darah. Dan di tangannya, dia memegang sebotol anggur.

“A-a-apa yang kau lakukan disini?”

Louise bertanya sambil kebingungan.

“Aku datang kesini untuk bersenang-senang” Jwab Siesta.

Lalu dia melihat Saito di belakang meja. Dia mengeluarkan suara “Guah.” Keras-keras. Sepertinya dia mabuk, terkapar, dan terlelap.

“Keluar dari kamarku.”

Kata Louise, menyalakan seluruh harga dirinya.

“Ini bukan Kamar Nona Vallière.”

Jawab Siesta balik.

“Ini rumahku.”

Louiuse menatap Siesta dengan mata mengancam. Mereka saling menatap, tak ada yang hendak mundur. Keduanya siap meletuskan amarah yang terpendam.

Saat mabuk, Siesta sangat pemberani dan teguh. Dia bisa menyerang balik bahkan pada Louise. Terancam dan tersinggung, dia mengatakan pada Louise,

“Aku pelayan rumah yang dipekerjakan sekolah. Aku tak dipekerjakan Nona Vallière. Lagipula, kita sedang liburan. Jadi terserah pada kami untuk menggunakan waktu lenggang kami. Jadi mohon, jangan ganggu kami.”

Ini tak masuk akal. Louise dengan kasar mendekati kasur, dan mencoba menyeret Saito yang tidur dari pergelangannya. Lalu Siesta mencengkram kakinya yang lain...

“Lepaskan!”

“Kau yang lepas!”

“Ya...maafkan aku, tapi dia adalah familiarku. Dengan kata lain, dia milikku.”

Siesta menatap Louise dengan mata penuh ancaman. Dia sama sekali tak mendenagr kata-kata Louise.

“...Apa kau tak menuruti seorang ningrat?”

Tiba-tiba, suasana kamar jadi tegang.

Siesta, sambil menegakkan diri, meminum lebih banyak anggur.

Dan bergumam dalam suara pelan.

“ningratningratningrat, tutup mulutlah.”

“Haaa?kau l-l-out....”

Saat Louise hendak berteriak...Siesta mendekatkan wajahnya di samping bangsawan muda itu.

“Cinta kan? Dengan kata lain, kau hanya iri. Meski kau seorang ningrat...Betapa aneh!”

“A-Ap...”

Dalam sekejap, keteguhannya tercuci habis dan Louise panik.

“Apa kau sudah mengatakannya? Apa kau iri dengan cintaku?”

Siesta terus menekan Louise masuk sudut.

“Ah, auuuh...uuh...”

Gumam Louise yang memerah.

“Apa? Kau belum mengatakannya? Pengecut.”

“uuh...”

Siesta yang tiba-tiba saja jadi kuat membuat Louise mundur teratur.

“Tapi yang paling penting adalah Saito-san...”

“A-apa?! Apa maksudmu?!”

“Dia menyukai gadis dengan payudara besar.”

Ini langsung membuat Louise terhenti kehabisan kata-kata.

“Dan kalau kau pikir-pikir, kau tak punya begitu banyak.”

Siesta dengan pelan mencolek dada Louise.

“D-dada.”

Mari memanggil ini dengan sebenarnya – kau serata papapn, papan!”

“uuh,” Louise mengeluarkan isakan tertahan.

Dia mengingat-ingat lirikan Saito. Bukankah lirikan familiar bodoh ini selalu terarah pada lembah buah dada?

“Saito-san mengatakannya sendiri. Ukuran dada Nona Vallière sama dnegan anak-anak.”

Dengan keberanian mabuk, Siesta mengumumkan hal yang tak terduga.

Sambil erat-erat menggigit bibir, Louise lari keluar ruangan.

Setelah meyakinkan diri dia pergi, Siesta berbaring di samping Saito dan terlelap.

Cattleya terkejut saat melihat Louise kembali ke kamar dalam tangisan.

“Oh, ada apa, Louise? Apa yang terjadi?”

“Fueh...” Louise melemparkan diri kedalam dada Cattleya.

“Tak apa-apa...mengapa kau menangis?”

Namun, Louise terus terisak-isak, tak mengatakan sepatah kata pun.

“Fuuh,” Cattleya mendesah dalam-dalam.

Seperti dulu, Cattleya terus menepuk kepala Louise hingga dia tertidur.

Saito bangun dan langsung kaget. Ini karena Siesta tidur di sebelahnya.

“Uuhn, uuhn,” Sepertinya dia kesakitan dalam tidurnya. Siesta, mengapa dia disampingku...pikirnya, tapi, setelah melihat sebotol anggur tergeletak di lantai. Dia ingat.

“Ya ampun, aku mabuk, dan setelahnya...”

Aku dipaksa minum miras kuat dan terdistilasi oleh Siesta dan ambruk.

“Siesta, Siesta,” Dia menepuk ringan pipinya.

Namun, dia tak bangun.

“Uuh, uguu, mguu.”

Ini membuat Saito was-was karena ida memegangi dadanya seakan tersedak. Dia memakai kemeja yang terlalu kecil baginya. Apa dia meminjam pakaian dalam dari seseorang di Istana ini? Benar-benar deh, saat kau memakai kemeja yang tak sesuai ukuran tubuhmu dan masih dapat efek terusan, kau pasti merasa sangat tak enak.

Saito melepaskan satu kancing kemeja Siesta.

Di saat itulah Siesta perlahan membuka matanya. Saito dengan enggan menyingkirkan tangannya dari kemejanya.

“Se-ahhh-lamat pagi...”

Gumam Siesta dengan wajah mengantuk, tapi langsung memerah begitu menyadari keadaan sekitar.

“S-Saito-san, mengapa? Itu! Aku!”

Hey hey, pertama-tama, bukankah kau yang menerobos kamarku sambil mabuk? Saito tersenyum pahit.

“Siesta, tadi malam, kau mabuk dan...”

Kata Saito, meningkatkan kemerahan pada Siesta lebih jauh lagi.

“Eh? Aku mabuk?” “Ya. Lihat!”

Saito menunjuk botol anggur yang tergeletak di lantai.

“Kau membawa itu bersamamu.”

“Aku minum angguuuur?!”

“Y-ya...”

“Itu mengingatkanku, saat makan malam, aku minum segelas. Tapi sepertinya aku minum lebih dari satu teguk. Ahh, bagaimana ini...”

Saito terkejut dengan kekhawatiran Siesta.

“Siesta?”

“A-Aku benar-benar melakukannya, kan?”

“Y-ya.”

“Kupikir aku minum terlalu banyak. Aku tak begitu jago meminum anggur.”

Siesta bergumam tertahan sambil membuang muka. <!> memang, ‘Kau juga minum’ ya, pikir Saito. Sepertinya pelayan ini masuk jajaran pemabuk gila. <!>

“Setelah meminum seluruh anggur itu, aku tak ingat apa-apa soal tadi malam. Saito-san, Apakah aku tak sopan?”

“Ti-Tidak, tak begitu...”

Tepat saat itu...suara seseorang yang berlari dengan ribut melalui koridor terdengar. *bam* Pintu terbuka dan salah seorang pelayan istana meloncat masuk.

“W-w-wha-! Jerit saito.

“Tiada waktu! Tuan telah tiba! Kita perlu menjaga Istana agar terus berkilau...” teriaknya, dan dengan sepanggul alat-alat kebersihan, dia berlari keluar. Tak lama kemudian pekerja lain datang dan berlari keluar dengan pel dan ember. Ini memang merupakan gudang. Meski ada banyak alat kebersihan, mereka hampir tak pernah digunakan. Namun, sepertinya hari ini adalah pengecualian.

Tuan? Siesta dan Saito saling bertatapan.

Pendeknya.Ayah Louise telah kembali. Bab 3 : Adipati de La Vallière

Di kala surya menjelang dalam taman istana, ada kandang raksasa dengan naga di tiap empat sudutnya.ang

Para pelayan telah berkumpul di sekelilingnya langsung melepas roda-roda dari kereta yang mirip kurungan itu. Para infantri menangkap para naga dan, setelah diberi kesempatan, paara pelayan membukakan pintu kereta. Selembar karpet merah dibentangkan seluas-luasnya hingga pintu masuk kurungan demi menerima ningrat berumur pertengahan ini.

Dia adalah Adipati de La Vallière. Dia lebih dari 50 tahun. Dia memiliki rambut blonde dan janggut yang keduanya memutih, dan dia berpakaian megah sebagaimana para raja. Dia mata kirinya terletak sebiji monokel, dan matanya memiliki pandangan nan tajam.

Para butler berjalan cepat menuju snag adipati, melepas topinya, menyisir rambutnya, dan meyakinkan bahwa jubahnya terlipat dengan baik.

Sang Adipati mengatakan dengan suara bariton nan pahit, “Apakah Louise telah kembali?”

Jerome, seorang butler yang telah melayani keluarga La Vallière selama bertahun-tahun, menunduk hormat.

“Dia kembali tadi malam,” Jawabnya.

“Panggil dia untuk sarapan!”

“Pasti!”

Suasana di keluarga La Vallière saat sarapan di balkon yang disinari matahri sama dengan biasanya. Meja dibawa keluar agar sarapan dibawah sinar matahari, semuanya duduk. Adipati de La Vallière duduk di kursi kehormatan dan disebelahnya ada istrinya. Dan ketiga kakak-beradik yang secara tak biasa fokus duduk berbaris berdasarkan umur. Badan Louise agak labil, karena dia menangis begitu keras kemarin malam. Meski seharusnya dia mendapatkan izin ayahnya untuk ikut perang...

Sepertinya sang adipati tengah tak enak hati.

“Sialan si otak burung tolol itu!”

Di awal pembicaraan, sang Adipati mencerca Sang kardinal.

“Ada Apa?”

Sambil mengubah ekspresi wajah, istri sang adipati menanyai suaminya. Setelah kata-kata pertama ayahnya, Louise tahu ini bukan saatnya meminta.

“Setelah memanggilku jauh-jauh ke Tristania, aku berpikir-pikir tentang apa yang akan dikatakannya padaku...’ Atur satu korps tentara,’ kayanya! Jangan bercanda denganku!”

“Apa kau setuju?”

“Mana mungkin! Aku sudah pensiun dari militer! Mengapa dia tak memerintahkan tentara yang menggantikanku dan membiarkanku tinggal bersama keluargaku! Terlebih lagi, aku tak setuju perang ini!”

“itu benar. Tapi, bukankah tak apa-apa? Bukankah para bawahan kardinal memberitahukan keadaan terkini dimana daratan telah beadalah rsatu untuk mengalahkan musuh kuat kita? Isu yang mengatakan keluarga La Vallière  pengkhianat akan tersebar, dan juga akan  mempengaruhi kehidupan sosial kita.”

Selama mengatakan hal tersebut, Istri sang adipati berwajah sangat dingin.

“Seharusnya kau tak memanggil seorang tolol berotak burung sepertinya sebagai “Kardinal’. Tolol lebih dari cukup. Terlebih lagi, mengambil kesempatan dari ratu yang begitu muda...”

Louise mendehem dan menyemburkan roti yang tengah dimakan. Eléonore menatap tajam Louise.

“Oh, ngerinya. Maaf membuat kalian mendengarkan kenyataan soal Burung layang dewan.”

“Mohon, merasa bebaslah untuk membuat kami mendengarkan apa yang kalian pikirkan.”

Louise yang diam hingga saat itu membuka bibirnya sambil gemetaran. “Ada sesuatu yang hendak kusampaikan, Ayah.”

Sang adipati menatap Louise lekat-lekat.

“Tentu saja tak apa-apa, tapi sebelumnya, apa kau takkan memberikan kecupan kecil pada pada ayahmu ini, yang sudah lama tak kau lihat, Louise?”

Louise berdiri dan menghampiri ayahnya, dan setelahnya mengcup pipinya. Setelahnya, dia menatap langsung ayahnya dan bertanya:

“Mengapa ayah tak menyetujui keputusanku bergabung dalam perang?”

“Karena perang ini adalah kesalahan besar.”

“Ini adalah perang melawan Albion, yang menyerbu kita terlebih dulu. Apa yang salah bila kita menyerang mereka?”

“Menyerang mereka dari samping bukanlah sesuatu yang akan kusebut “Penyerbuan’. Lihat!”

Sang adipati mengutak-atik piring dan makanan dan mulai menjelaskan pada Louise.

“Hal yang kau sebut ‘penyerbuan’ adalah memiliki kekuatan militer yang jauh melampaui sehingga bisa sukses dari kali pertama. Tentara musuh sekitar 50 ribu. Tentara kita, dengan Germania, adalah 60 ribu.”

Sambil menggerakkan pisau dan garpu, dengan dibantu potongan-potongan daging, sang adipati menciptakan simulasi perang.

“Bukankah tentara kita memiliki kelebihan 10.000 orang?”

“Jika pasukan penyerang 3x lebih besar dari musuh yang bertahan, maka ia akan jadi kemenangan yang pasti. Tapi karena kekuatan udara mereka teratur dan posisi mereka bagus, dengan jumlah ini, pertempurannya akan sulit.”

“Tapi...”

Sang Adipati menatap wajah Louise.

“Persiapan kita bagus. Kita akan memblokir benua pengganggu itu dari udara dan tunggu saja hingga ia kehabisan sumber daya. Jika kita melakukan itu, pada akhirnya mereka akan datang meminta perdamaian. Kesimpulan perang akan datang seperti itu, tepat seperti mencampur hitam dan putih. Namun, apa yang akan kau lakukan bila penyerbuan gagal? Kemungkinannya tak kecil.”

Louise terdiam. Apapun yang dikatakan ayahnya merupakan alasan yang bagus.

“Karena kemenangan di Tarbes, kita menjadi takabur. Takabur mengarah pad apengabaian. Untuk memperburuk itu, mereka mengambil murid Akademi Sihir sebagai petugas. Aku hanya bisa bilang itu bodoh. Apa yang bisa dilakukan anak-anak? Dalam perang, kau tak bisa mengatakan kau cukup kuat hanya karena kau berjumlah lebih banyak. Menyerbu adalah tindakan dimana kau percaya diri mutlak bisa meraih kemenangan dari kali pertama. Tak mungkin aku mengizinkan putriku ikut perang semacam itu.”

‘Ayah...”

Setelah adipati selesai mengatakan itu, dia bangkit.

“Sekarang, sarapan selesai.”

Louise menggigit bibir dan terpaku di tempatnya berdiri selama sesaat.

“Louise. Mulai sekarang kau ditahan di rumah. Kau takkan diizinkan meninggalkan istana ini hingga perang berakhir.”

“Tunggu!” jerit Louise.”

“Louise...kau...”

Eleonore menarik ujung rok Louise. Cattleya memandang khawatir Louise.

“Untuk tuan Putri...tidak, untuk Paduka, aku diperlukan.”

“Apa maksudmu saat mengatakan dia membutuhkanmu? Kemampuan sihirmu...”

Louise tak bisa menceritakan bahwa dia adalah pemegang Void pada keluarganya.

“Kini. Kini, aku tak bisa bilang, tapi...aku...”

Louise enggan, tapi dia lalu memunculkan mimik wajah bersemangat.

“Aku bukan lagi diriku yang dulu!”

“Louise! Apa yang kau katakan pada Ayah?!”

Kata Eléonore dengan suara tinggi.

“Kakak, diamlah! Kini, aku yang berbicara!”

Seluruh anggota keluarga terkejut dengan sikap Louise. Louise yang dulu takkan pernah melawan kakaknya dengan sikap begini.

“Aku selalu diperlakukan sebagai seorang tolol. Aku selalu merasakan kecewa ketika dibandingkan dengan kakak-kakakku dan dibilang bahwa aku tak punya bakat sihir. Tapi kini, semuanya berbeda. Aku jelas-jelas dikatakan Diperlukan oleh Yang Mulia.”

Dengan kata-kata itu, warna mata sang adipati berubah. Dia berbalik pada Louise, berlutut lalu meamandang kedalam mata putrinya.

“...Kau akhirnya menyadari apa elemen utamamu?”

Louise mengangguk penuh percaya diri.

“Yang mana diantara yang empat?”

Louise berpikir sebentar. Tentu saja dia takkan berbicara soal Void. Tapi apakah OK untuk berbohong pada ayahnya sendiri? Untuk sesaat, Louise bimbang. Dan...sambil membuka bibirnya, dia mengucapkan sebuah kebohongan.

“...Api.”

“Api?”

Untuk sesaat adipati de La Vallière menerawangi wajah Louise, lalu dia perlahan mengagguk.

“Kau berelemen sama dengan kakekmu. Begitu ya, api, hmm...Kalau begitu, adalah alami bila kau tertarik pada perang. Ia merupakan elemen penuh dosa. Benar-benar sebuah elemen yang terbungkus dosa.

“Ayah...”

Sang Adipati menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Jika aku ingat dengan benar, kau mengatakan Yang Mulai membutuhkan kekuatanmu, kan?”

“Ya.”

“Dengarkan, Louise. Ini adalah hal yang penting. Tak ada yang salah dengan itu. Saat tidak ada siapa-siapa di sekitarnya, Yang Mulia mengatakan padamu bahwa kekuatanmu diperlukan olehnya, kan?”

Louise mengumumkan dengan jelas.

“Ya. Aku dibilang oleh Yang Mulia bahwa kekuatanku diperlukan olehnya.”

Sang adipati yang tua itu menggeleng-gelengkankan kepalanya.

“Ini sesuatu yang sangat mulia. SANGAT MULIA. Namun,...bagaimanapun, tak mungkin aku mengizinkan ini.”

“Ayah!”

“Manusia sangat mungkin melakukan kesalahan karena hal yang disebut kesetiaan ini. Aku sendiri yang akan melapor pada Yang Mulia. Jerome!”

“Ya.”

Si Butler melompat keluar dan berdiri di samping Adipat.

“Siapkan kertas dan bulpen.”

“Kau harus memilih seorang besan untukku,” katanya.

“Huh? Mengapa?”

“Aku tak bisa mengizinkan keiikutsertaanmu dalam perang. Aku mutlak tak bisa. Kau mungkin putus asa, karena Wardes si pengkhianat itu, kan? Itulah kenapa kau harus memilih besan untukku. Dan tenangkanlah hatimu? Kau sudah bilang padaku ingin pergi perang dua kali. Ini perintah. Tiada perubahan diizinkan.”

“Ayah!”:

Teriak Louise. Namun, sa adipati tua itu menggelengkan kepalanya.

“Jerome, jangan biarkan Louise keluar istana. Mengerti?”

“pasti!”

Si Butler mengangguk.

Sang Adipati lalu meninggalkan kursi sarapannya.

Istri dan para kakak yang ditinggalkan mengelilingi Louise.

Ibu dan kakak penyuruh mengritik Louise.

“Ayah sudah tak muda lagi. Jangan membuatnya terlalu khawatir.”

“karena kau membuat Ayah begitu khawatir, kini kau harus memilih besan.”

Kata Eléonore dingin.

“Mengapa aku harus?! Berdasarkan urutan, Eléonore-nee sama harusnya...”

Begitu dia bilang begitu, Eléonore langsung mencubit pipi Louise.

“M-aaang, ahu...a-i, uuku, i-a asi....(tapi, nikah masih...)”

“mengapa? Alasanmu apa? Kau punya cinta, kan?”

Dibilang begitu oleh ibunya, Louise menggelengkan kepalanya.

Tak punya. Tidak. Tiada yang begitu.”

Istri Adipati dan Eléonore tampaknya menyadari sesuatu karena ekspresi Louise. Keduanya bertukar pandangan.

“Sepertinya kau memikirkan seseorang.”

Tak ada yang seperti itu!”

‘Siapa? Dari keluarga ningrat apa?”

“?”

“Count? Baron?”

“Baron kehormatan? Tak mungkin kau...tak mungkin sekedar Chevalier, kan?”

Tubuh Louise membeku.

“Oh, tidak, gadis ini...begitu ya, Chevalier atau Gelar Kehormatan, Aku tak tahu, tapi...dia jatuh cinta dengan lelaki berstatus rendah.”

Wajah Eléonore menjadi masam. Sang Ibu menekan dahinya.

“Ooh, ini karena aku tak pernah memperhatikan gadis ini dengan baik...”

“A-Aku tak jatuh cinta pada seorang Chevalier.”

Louise mengatakannya dengan tertahan. Sebenarnya ia bahkan bukan seorang Chevalier, tapi jelata saja. Bahkan, seorang jelata dari dunia yang jauh berbeda...jika mereka tahu itu, sebuah maaf sederhana takkan cukup mendekati ampunan dari mereka. Meski dia selalu mengulangi pada dirinya sendiri bahwa dia tak menyukainya, kini kepalanya dipenuhi pikiran soal Saito.

Cattleya memandang Louise dengan khawatir.

“Tak peduli seberapa tua gadis ini, dia akan selalu mengkhawatirkan kita, kan? Tak hanya dia ingin ikut perang, tapi lebih buruk lagi, dia jatuh cinta dengan seorang Chevalier...”

“Kukatakan, aku belum...” dan, dia tertahan. Ibu dan kakaknya berteriak.

“Diamlah.”

Ini sikap mengancam yang biasa. Setelah Louise menggunakan seluruh keberanian untuk berkata balik pada ayahnya tadi, kini dia merasa hampa.

Tiba-tiba, merasa sedih, Louise melarikan diri.

“Hey! Tunggu disitu!”

Dia mendengarkan suara teriakan iu dan kakaknya yang penyuruh.

Siang datang. Karena Saito sudah tak mempunyai tugasm dia berbaring di kasur di gudang dan memandangi langit-langit. Begitu dia menerawangi sekeliling ruangan saat berbaring di kasur, dia menyadari beberapa lembaran putih kusam yang ditempatkan di kotak, yang ditinggalkan disana olehnya, dan dia merasa hatinya nyeri. Sejak dia datang ke Keluarga La Vallière, hanya itu harga keberadaannya. Sebuah keberadaan nan kecil dan tak berarti. Karena Siesta sudah kembali ke kamarnya, Saito kini sendirian.

Tepat ketika dia melamun memikirkan soal apa yang harus dia lakukan, dia menyadari dia belum sarapan dan dia takkan mendapatkan apa-apa kecuali dia pergi dan mengambil sesuatu sendiri...Saat itulah datang suara-suara pelayan-pelayan istana di sekitar koridor-koridor berlapis batu.

“Diamana? Sudah kau temukan?”

“yidak, bukan ke arah sini!” Suara-suara yang mengatakan sesuatu seperti itu. Sepertinya mereka mencari seseorang.

Tepat ketika dia berpikir siapa yang tengah mereka cari, pintu terbuka dengan segebyar bang. Beberapa pemuda melompat masuk, memegangi Saito ke tanah dan mulai mencari-cari di gudang.


“Apa-apaan yang kalian lakukan?!” teriak Saito. Sambil mengatakan, “Sepertinya tak disini,” dan mengabaikannya, orang-orang yang menahan Saito meninggalkan ruangan.

“Apa-apaan tadi?” begitu Saito mulai berpikir sendiri, kali ini ada ketukan di pintu.

“Tak dikunci,” katanya, tapi ketokan terus berlanjut.

Jika itu adalah Louise atau Siesta, mereka akan langsung masuk dengan rusuh begitu dia mengatakan itu. Mengingat seseorang yang, setelah dibilang dia boleh, tak membuka pintu sendiri tak mungkin orang jahat, saito membuka pintu.

Dan disana berdiri seorang wanita dengan rambut blonde pink dan mata coklat kemerahan.

Untuk sesaat dia berpikir “Louise?” tapi bukan. Dia lebih tinggi dari Louise. Dia memiliki mata nan teduh dan wajah berseri tanpa maksud jahat sedikitpun.

Itu Cattleya.

“U. ummm, itu...”

Dengan pipi memerah, saito memandanginya dengan mata kebingungan.

“Apa boleh aku masuk?”

“Y-ya! Silahkan!”

Dengan membungkuk penuh hormat, Saito mempersilahkannya masuk.ati Saito mulai berdegup.

‘Maaf mengganggu,” sambil mengatakan itu, Cattleya menjulurkan lidahnya pada Saito.

Dia begitu manis sehingga jantung saito mulai berdegup. Sebenarnya, dia lebih memilih Louise, Namun, karena sifatnya, tiada ekspresi yang muncul di wajahnya. Dia merasa bahwa kau benar-benar harus menyerahkannya pada kakak baik ini.

Dengan perasaan yang berbeda dengan yang terhadap Louise, dia memandangi Cattleya yang duduk di kasur dengan senyum iblis kecil mengambang di wajahnya.

Dia memberikan rasa yang berbeda dengan daya tarik “sehat” Siesta.

Ia juga berbeda dengan daya tarik Henrietta yang dibangun dari bahaya nan imbang dari fakta bahwa dia kelas atas.

Ia beda dengan daya tarik mengguncang dan kasar Kirche.

Tentu saja, ini juga beda dengan daya tarik Louise yang sulit ditaklukkan.

Dengan senyuman ringan, ini daya tarik yang terasa menyelimutimu.

Apakah Louise akan menjadi seperti ini saat dewasa nanti? Jika begitu, Louise adalah Pembelian yang bagus, “huuh, Selama pikiran itu masih mengambang dalam pikirannya, Cattleya tampak semakin mempesona.

“Saat Louise dewasa, dia takkan terlihat sepertiku, tahu.”

Karena dia tiba-tiba mengatakan itu sambil tertawa, Saito melompat.

“Huh? Tidak! Aku tidak!...Aku tidak sedang memikirkan hal seperti itu! Ya!”

“Begitukah? Tapi kau jelas-jelas tampak memikirkan apakah Louise akan menjadi sepertiku di masa mendatang...”

Wow, Wanita yang tajam.

“Louise pasti akan menjadi lebih memesona begitu dia dewasa, jadi tenanglah. Tapi dia mungkin takkan meninggi.”

Berpikir bahwa itu lebih dari cukup asalkan dia mirip kakaknya dia daerah dada, Saito terus-menerus buka-tutup bibir.

“Kau, siapa namamu?”

“Saito. Ya.”

“Oh, nama yang sangat indah, kan?”

Ini kali pertama namanya dipuji sejak datang kesini.

“Hei, orang mana kau? Kau bukan dari halkegenia, kan? Dibilang begitupun, sepertinya kau manusia yang benar-benar berbeda dari intimu. Siapa kau?”

Saito terkejut diperiksa seperti ini. Apa ini? Dia menemukan bahwa aku dari dunia yang berbeda? Atau, apa Louise bilang padanya?

“Fufu. Wajahmu bilang kau berfikir bagaimana aku bisa tahu. Tapi aku mengerti kamu. Ini karena aku tajam tak seperti yang lain.”

“Y-Ya...”

“Tapi hal seperti itu tak penting. Terima kasih banyak, Beneran.”

“Huh?”

“Terima kasih kau selalu membantu Louise yang egois itu. Tak mungkin gadis kecil itu akan mendapatkan pengakuan Yang Muia bila dia sendiri. Kau pasti menolongnya sepanjang jalan. Itu benar, kan?”

Bagaimana cara menjawab ini? Atau jelasnya, bagaimana aku bilang padanya? Melihat Saito khawatir begitu, Cattleya tertawa ringan.

“Ada hal-hal yang tak bisa kau ceritakan padaku, hmm, tak apa. Kini...ini patut disesali, tapi aku harus memberitaumu.”

“eh?”

“Pembicaraan Louise dengan Ayah tak berlangsung dengan baik. Karenanya, dia disuruh untuk segera mencari menantu. Lalu dia menghilang entah kemana.”

“Benarkah?”

Jadi para pelayan yang menyerbu masuk tadi tengah mencari Louise. Saito mengatakan, “Achaa...” dan menutupi wajahnya.

“Ayah ingin Louise menikah. Gadis itu juga terganggu. Dan setelah beberapa waktu lalu tunangannya ternyata pengkhianat, kini dia harus melakukan pertunangan lainnya. Meski dia masih begitu muda.”

Cattelya bergumam seakan dia tak punya hubungan apa-apa.

Saito gemetaran karena nyeri. Louise akan menikah? Setelah hal-hal dengan Wardes, kata-kata itu melukainya dalam-dalam. Itu adalah kata yang takkan dia mau dengar untuk kedua kali.

“Kau tak menyukainya, kan? Fakta bahwa Louise akan menikah.”

Gumam Cattleya dengan senyum malaikat.

Saito menggelengkan kepalanya.

“H-hal seperti itu...tak apa-apa. Dari dulu Aku tak bisa memikirkan Louise dengan baik. Karena Louise, tentangku...tentang aku yang buka bangsawan atau siapa-siapa, dia tak terlalu memikirkan soal aku, itulah mengapa...”

Sambil mengangkat tubuhnya, Cattleya menanyai Saito.

“Hei, apa kau tahu syarat untuk menjadi ningrat?”

“Ada apa dengan pertanyaan yang tiba-tiba ini? Itu sudah jelas.

“Eh? Aku yakin, umm, mereka harus bisa menggunakan sihir...mereka harus kaya...”

“Itu hal-hal sampingan!”

“Tapi, di dunia ini, jika kau tak bisa sihir, maka kau bukan seorang ningrat, kan?”

“salah.”

Cattleya menggelengkan kepalanya.

“hanya da satu syarat yang diperlukan untuk menjadi seorang ningrat. Yaitu bersumpah kau akan melindungi putri bahkan dengan bayaran nyawamu sendiri, itu saja. Leluhur kami diberikan tanah dan uang oleh raja karena mereka melindungi sang Putri, nyawa putrinya dengan taruhan jiwa mereka sendiri. Bukan karena mereka bisa menggunakan sihir.”

Cattleya menatap Saito dengan mata penuh kesungguhan.

“Anak itu ada di halaman belakang, jadi pergi cari dia. Di halaman belakang ada kolam...di kolam itu ada perahu kecil mengambang. Dia didalamnya. Sejak dia kecil, kapanpun saat-saat buruk datang, dia akan kesana dan bersembunyi. Setelah kau menjemput Louise dari sana, tinggalkan tanah istana. Di jalan utama ada kereta yang menunggumu. Pelayan yang kau bawa bersamamu akan mengendarainya, jadi pergilah.”

“Eh?”

“Aku tak suka perang. Aku membencinya. Jujur, aku tak ingin membiarkan Louise pergi. Tapi, jika gadis itu telah memutuskan apa yang ingin dilakukannya dan ada orang yang dia rasa perlu dia jaga...Jika begitu, kupikirt kami harus membiarkannya pergi. Ini bukan sesuatu yang bisa diputuskan kami.”

Cattleya memegangi wajah Saito dalam tangannya.

“Moga-moga Perlindungan Agung Sang Pendiri bersamamu dan Louise.”

Dan setelahnya, seakan dia berurusan dengan seorang ningrat, dia mencium dahi Saito.

“Aku tinggalkan adik kecil manisku padamu, Ksatria-dono.”

Louise tengah menangis di dalam perahu di halaman belakang.

Dia dapat mendengar suara langkah kaki dan suara para pelayan yang tengah mencarinya didalam istana. Tapi, tepat seperti ketika dia masih kecil, perahu di halaman belakang ini adalah tempat nan aman. Dengan penampakannya yang disembunyikan bayangan pulau kecilm ia menjadi titik buta saat dipandang dari dalam istana dan tak menonjol sama sekali.

Tepat seperti masa-masa kecil, dia meringkuk dan menyelimuti diri dengan selimut yang dia bawa bersamanya. Saat dia masih kecil dan melakukan itu...hatinya biasanya akan tenang kembali, tapi kali ini tak berjalan baik. Sepertinya perasaan yang telah jatuh begitu rendah tak bisa cerah begitu saja.

Langkah-langkah kecil yang menginjak tanah halaman belakang bergema.

Dia menahan napas dan diam berdiri saat suara-suara itu menjelma menjadi suara-suara keras langkah kaki yang menyebrangi jembatan kayu yang mencapai pulau kecil.

Berpikir, “ini buruk,” Dia menenggelamkan tubuhnya lebih dalam kedalam selimut yang menyelubunginya tadi.

Begitu dia melakukan itu...Byur! Suara dari pemilik langkah kaki yang meloncat ke kolam dapat terdengar dan dia menggenggam selimut.

Tanpa sadar dia dia membuka sebagian selubung dan mendengar namanya dipanggil

“Louise.”

“...Saito?”

“Ato pergi. Kakakmu telah menyiapkan kereta.”

“...Aku takkan pergi.”

“Mengapa?”

“Karena keluargaku belum mengizinkanku.”

“Itu mustahil. Keluargamu berada pada sisi yang bersebrangan. Kalian semua keras kepala.”

Saito mengulurkan tangannya. Namun, Louise langsung mengibaskannya.

“Apaan sih?”

“Aku sudah tak ingin lagi. Tak apa-apa.”

“Mengapa?”

“Karena tak peduli apapun yang kukatakan, tak peduli seberapa keras usahaku, aku tetap tak bisa berdiskusi dengan keluargaku. Siapa yang akan mengakuiku? Setelah aku memikirkan semua itu, aku akhirnya merasa benar-benar kesepian.”

Apa kau perhatian dengan hal-hal seperti itu? Pikirkan soal tadi. Gadis ini...begitu aku tak disekitarnya untuk sesaat, dia mulai berpikir normal.

Sambil Menaiki perahu, Saito menggenggam tangan Louise.

“Ya ampun. Aku akan mengakuimu. Aku akan melakukan itu, seluruh keberadaanmu, semuanya baik bagiku. Itulah mengapa kau harus bangkit. Ayolah.”

Setelah mendengar itu, pipi Louise memerah dan dia rasa hatinya menjadi hangat dan berdesir.

Tapi, dia pikir bahwa dia tak punya kepercayaan diri hanya bersandar dari kata-kata Saito.

Karena, Saito tak masalah dengannya.

Toh, Ukuran dadanya sama dengan anak-anak.

Gadis berambut hitam yang mendengarkan apapun yang dia katakan lebih baik, kan?

Dia merasa kesepian, karena dia tak bisa meyakinkan baik orang tuanya maupun saudaranya untuk mengerti dia. Kata-kata Siesta kemarin juga meninggalkan jejak. “Saito tak menyukai Louise sama sekali.” Kata-kata itu merusak kepercayaan diri dan keinginan Louise untuk berbuat secara serius. Louise tak mengakui kata-kata itu sebagai pikirannya sendiri, tapi dia terus teringat.

Karenanya, Louise mengatakan.

“Apa-apaan dengan ‘Aku akan mengakuimu?” Jangan Berdusta.”

“Ini bukan dusta.”

“Ia dusta. Bahkan dalam perang kali ini kau ingin berperang demi kehormatan Putri. Sama dengan Guiche.”

“A-Apa yang telah dilakukan Putri...”

Mengingat saat itu, Louise berkata dengan suara dingin.

“Kau menciumnya, kan?”

“ Apa kau bodoh? Itu karena keadaan membuat jadi begitu...”

“Apa kau berkata kau tersilap saat menciumnya? Hee....begitukah?”

Saito perlahan menjadi marah. Dalam marahnya, dia mencengkram bahu Louise dan memaksanya menghadapnya.

“A-ada apa?!”

“Apa kau bodoh?!”

“Siapa yang bodoh?!”

“Jangan langsung memutuskan siapa yang kusuka, hanya karena perasaanmu sednag tak enak, hai putri yang semaunya sendiri! Kau pikir karena kau tuanku dan aku familiarmu, kau bisa mengatakan siapa yang kusuka?!”

Saito menatap Louise dengan mata menyala, Semua yang kukatakan datang dari dasar hatiku. Mengapa gadis ini tak bisa mengerti? Pikirnya sendiri, mengutuk ketak berdayaannya.

“B-B-Berani-beraninya kau mengatakan itu?!”

“Ya, aku akan mengatakannya sebanyak yang perlu. Jujur, aku tak punya hubungan apa-apa dengan tugas dan pernag kalian, lebih baik aku mencari jalan pulang! Aku ingin kembali ke Jepan g Timur! AKu ingin!”

“Ya pergi saja!”

Teriak Louise. Apaan ini, pikirnya. Bukankah tak apa-apa untuk berteriak begitu keras? Berlakulah lebih lembut, perasaanku sedang turun sekarang.

Saito selalu begitu. Saat Louise ingin melakukan sesuatu, dia takkan mendengarkan sama-sekali padanya. Meski dia adalah familiarnya, dia tak mengerti apapun. Dia akan selalu berbalik menghadapinya.

Saito yang Louise teriaki, tengah bernapas dalam-dalam dengan bahu yang naik turun. Mungkin dia tengah memilah-milah kata untuk menjawab balik Louise. Bodoh. Bodoh. Bodoh. Setelah kau mengatakan sesuatu, kau membuang muka, pikir Louise. Akumenebak-nebak apa yang akan dikeluarkannya padaku? Bagaimana dia akan menjawab balik padaku yang mengatakan padanya “Ya pergi saja”? “Ya, Aku mengerti! Aku akan pulang,” mungkin?

Namun, jawaban Saito menerbangkan seluruh perkiraan Louise.

Untuk alasan tertentu, wajah Saito....memerah.

“Aku mencintaimu !”

Udara membeku. Untuk sesaat, Louise tak menyadari apa yang baru saja dikatakan padanya.

Baru saja, apa katanya? Cinta? Seperti dalam, CInta itu? Ada apa ini?

“...Eh?”

“Aku mengatakan aku mencintaimu! Kapanpun aku menatapmu, jantungku berdegup kencang! Bukankah itu yang dikatakan cinta?! Itulah mengapa aku mencintaimu! Dan itulah mengapa jika kau ingin melindungi Kehormatan Putri, aku akan melakukannya bersamamu. Kau seharusnya pergi saja daripada mengeluh disini!”

“Eh? Eeh?

“Bagaimanapun, kini kau sama sekali tak manis! Ada apa dengan smua ini?! Apa kau tak memikirkan mengapa aku mempertaruhkan nyawa dan bertarung?! Itu karena aku mencintaimu! Jika tidak begitu aku akan diam di kamarku saja dan tidur!”

Saito mengatakan apa yang perlu dikatakannya dan mencoba berdiri, tapi lalu dia menyadari.

Louise menahannya dan menunggu dengan pipi memerah.

Tiba-tiba, Saito merasa sedikit menyesal. Aah, mengapa tadi aku mengatakan itu?! Tunggu sebentar, aku baru saja mengaku! Mengapa?! Jika aku memikirkan keadaan...Kini bukan waktunya mengaku...Aku tak mengerti.

Saito memegangi kepalanya di lantai.

Setelah beberapa waktu berlalu...Louise tersadar.

Dia bingung, karena dia tak mengerti apa yang terjadi. Namun, sepertinya dia “ditembak”. Jelas sekali tadi dia dikatakan “Aku mencintaimu”. Oleh Saito.

“Apa yang harus kulakukan?” Pikirnya.

Di saat yang bersamaan dengan itu, dia menyadari kemungkinan dia harus menceritakannya pada semua orang. Dan kekhawatiran menggelayuti pikirannya. Marah dan senang, dua perasaan yang berlawanan, menyembur dan memancar. Louise tak mengerti keadaan sepenuhnya, wajahnya memerah dan dia mengagk at wajah saito ke atas.

“Jika itu dusta, aku akan membunuhmu.”

Dia mengatakan itu dengan suara bergetar. Seberapa merah sih wajahnya sekarang? Seberapa dalam pipinya memerah? Bagaimanapun, ini panas sekali.

“Itu bukan dusta.!”

“Aku tak sungguh-sungguh menyukaimu.”

“Aku tahu itu.”

“karena, kau melompat dari satu gadis ke gadis lainnya secara serampangan.”

“Aku takkan. Aku takkan melakukannya lagi mulai sekarang.”

“Ini bukan pertanyaan soal apa kau akan atau tidak. Bagaimanapun, hanya setelah 1 tahun mengenalku, kau mengucapkan kata-kata itu dengan penuh percaya diri. Mungkin itu kepercayaan diri yang palsu.”

“T-Terima kasih.”

Karena Louise mengatakan itu semua dengan suara dari dasar hati sanubarinya, Saito malah berfikir bahwa Louise yang begini sangat manis. Pikirannya menerawang jauh, sehingga dia akhirnya ingin memeluknya dan membelai pipinya.

Tapi dia tak bisa mengatakan hal semacam itu. Louise sangat tinggi harga dirinya. Dan harga diri iru menyelubungi hati Louise, menciptakan pelindung tebal dimana perasaan sebenarnya sulit meluap keluar.

Louise mencengkram bahu Louise dan mengangkat pinggulnya. Lalu dia menatap dalam-dalam wajah Saito dengan mata serius.

Saat itu, kata-kata Kirche bergema di telinganya.

“Kau mungkin tak membiarkannya melakukan apapun, kan? Jika begitu kasusnya, bukankah tak mengherankan bila dia akan diambil gadis lain.”

Dia pikir Uu~, bukankah tak apa-apa untuk membiarnya melakukan sesuatu sedikit? Dan hal-hal yang mirip. Tapi, begitu dia memikirkannya, dia merasa sulit mencari rasa yang tepat. Bahkan membolehkannya sedikit terasa sulit.

Namun, satu-satunya yang tak bisa ditahan olehnya adalah melihatnya berpikir atau menyentuh gadis lainnya. Tak tertolong lagi, Louise memutuskan mengumpulkan sedikit keberanian yang nyata.

“H-Hey, kau tahu. Mmm...”

“Ya?”

“Karena saat kau mengatakan pada tuanmu bahwa kau menyukainya, secara praktek kau bersumpah setia padanya, sebuah h-h-hadiah diperlukan, kan?”

“Hadiah?”

“Ya benar. Putri selalu bilang padaku bahwa kesetiaan harus selalu diberi imbalan.”

“O-oh begitu...”

Saito tak bisa lagi menebak persis apa yang coba dilakukan Louise. Tapi saat dia mendengar kata-kata berikutnya dari Louise, darahnya naik hingga kepala.

“H-hanya satu tempat ya?”

D-di tubuh Tuanmu, hanya satu tempat, satu yang kau suka, boleh kau sentuh.”

Begitu dia selesai mengucapkan itu, Louise mengejapkan mata sambil masih menempatkan tangannya di bahu Saito.

Aku akan mati pikir Saito.

Jika aku disuruh hal seperti ini, aku akan mati. Taoi jika, sebelum aku mati, aku dengan Louise...jika tuan terlalu manis, maka.... Karena pikirannya semakin kacau dan kacau, dia memeluk Louise dan tiba-tiba mencuri ciuman.

Dan Louise,

“Ah...” melepaskan desahan.

Sebuah kecupan, hmJadi ini pilihanmu, hmm. Memang tak salah bahwa ini hanya satu tempat.

Tapi, sebuah ciuman? Apa itu yang paling penting? Entah mengapa, Louise akhirnya malah semakin merasa mencintai dan cinta Saito, yang memilih mencium pada saat seperti ini.

Namun, karena mereka berciuman, gairah Saito meningkat hingga batasnya. Sambil melupakan aturan “Hanya satu tempat”, tangannya meraih bawah rok Louise.

Louise menjadi bingung. “Ini buruk, sepertinya dia tak serius menanggapiku.

“To-tolol..., hanya satu tempat..., terlebih lagi, kau, tiba-tiba...,Hei, tunggu, hei, apa yang kau pikirkan, hei, tolol, wa-, kau, an, hal begituan, yan, tolol...”

“Suka.”

Saitu bergumam tak jelas, menggigit daun telinga Louise. Tenaga Louise meninggalkan raganya dan dia didorong terbaring dalam perahu. Muu, cinta yang sangat serius, “mana yang lebih penting,” pikirnya, dan di saat bersamaan Saito menekannya dengan energi tak berbatas.

I, itu, tunggu, hei..., tak bagus, dada, jangan dadanya. Tak mungkin, jangan disitu, jangan.”

Karena tangan yang berada di dalam rok dan tangan di sela-sela kemejanya, Louise perlahan-lahan dikalahkan keputusasaan.

“Suka, Sangat suka, Benar-benar suka.”

Bagaikan menggunakan pedang pusaka yang diwariskan turun temurun, Saito terus-menerus mengulang-ulang “Suka” dengan cepat. Seperti yang diharapkan dari kata-kata menyihir, ia meruntuhkan tembok hati Louise seakan listrik menjalari sekujur tubuhnya.

“...A-Apa kau benar-benar menyukaiku.”

Tanpa sadar dia menanyakan balik.

“Ya.”

“Benarkah, apa kau jujur?...Ah.”

Begitu dia mengatakan itu, bibir mereka tersambung.

Tunggu sedikit. Bahkan, meski kau menukaiku, buruk sekali untuk melakukannya tiba-tiba. Aku belum siap dan aku juga punya harga diriku.

Itu benar, aku adalah Louise Françoise Le Blanc de La Vallière.

Aku adalah putri ketiga keluarga seorang Adipati.

Aku, sebagaimana kau tahu, tak semudah wanita kota.

Mutlak tak mungkin akumelakukannya sekarang, aku tak bisa melakukannya sebelum aku menikah untuk setidaknya tiga bulan; selain itu, dimana sih familiar ini menyentuh tuannya. Aku takkan memperbolehkannya untuk beeeeeesaaaaar kepala. Sambil memikirkan itu, Louise mengangkat kepalannya ke atas kepala. Mengarah pada bagian bawah Saito, dia menghantamnya dengan kakinya.

Begitu dia melakukan itu, bibir mereka terpisah dan Saito berbisik dekat telinganya.

“Aku menyukaimu. Louise, Aku sangat menyukaimu.”

Dan dengan sebuah “AKu sangat menyukaimu”, maka jadilah. Louise tengah menurunkan kepalannya, tapi tiba-tiba dia kehilangan tenaga dan secara tak sadar balas memeluk Saito.

“Aah, kini tiada jalan keluar. Apa yang harus kulakukan, Ibu, aku mungkin akan diubah menjadi bintang oleh Louise.” Pada akhirnya, Sambil mengucapkan itu, Saito membayangkan wajah yang harus ia pasang saat ini. Karena Louise tak mulai-mulai menghajar, perlahan-lahan dia membuka matanya dan sebuah pemandangan indah terbentasng di hadapannya.

Para pekerja Istana telah berkumpul di sekeliling, mengepung seisi kolam.

Dengan wajah kaku, Eléonore berdiri disana.

Dengan wajah pucat seakan dia hendak pingsan, ibu Louise berdiri disana.

Dan diantara semua yang hadir, dengan wajah paling remuk redam dari semuanya, berdiri Ayah Louise.

Untuk sesaat, Louise berkeringat dingin dan lalu mendorong Saito jauh-jauh.

Dengan sepercik “byur,” Saito jatuh kedalam kolam.

“Apa-apaan ini?! Saito mulai berteriak dan disadari oleh hadirin didalam halaman.

Adipati La Vallière memerintahkan dengan penuh ketegasan.

“Hm~, tahan Louise dan kurung dia dalam menara. Dan juga, karena dia takkan menigggalkan tempat itu, setidaknya untuk setahun, mohon ganti rantainya dengan sesuatu yang lebih kuat.”

“Pasti!” jawab Jerome si Butler.

“Dan untuk anak itu. Si jelata itu. Hm~, pemasungan. Karena dia akan ditunjukkan selama sebulan, mohon buat stan yang baru.”

“Pasti!” jawab Jerome dengan nada sama.

Para pekerja secara serentak mulai mengeluarkan sapu, sabit, cangkul, tombak, pedang, dan menyerbu. Saito menggenggam pegangan Derflinger di punggungnya. Tanda di tangan kirinya bersinar.

“Rekan. Sudah berapa lama? AKu sedang membayangkan jikalau kau akan mati sendirian.”

“Maaf, bicaranya nanti saja!”

“Sepertinya begitu.”

Saito, tanpa banyak cingcong meloncat kedalam perahu, memeluk Louise lalu meletakkannya di bahu.

Dan setelahnya mulai berlari.

“S-Siapa orang ini?! Dia sangat cepat!”

“Bagaikan elf!”

Saito berlari bagaikan angin melalui koridor-koridor istana.

Kapapnpun salah seorang pekerja menghalangi jalannya, dengan sepatah “Maafkan aku,” dia meminta maaf dan dengan satu hantaman dari kakinya, memaksa penghalang rubuh ke tanah.

“Apa-paan yang kalian semua kerjakan?!”

Sambil mengatakan itu, adipati yang murka, yang telah melihat putri terkecilnya ditindih, menghunus tongkat sihirnya, namun Saito sudah di luar jangkauan mantra. Pikiran mereka, yang tak tahu kecepatan gerak Gandalfr, sepenuhnya kacau. Tetapi...para penjaga gerbang sudah dihubungi dan tengah menggunakan para golem untuk mengangkat jembatan gantung. Rantai-rantai yang menyangga jembatan gantung berderik saat ditarik.

Setelah melompat masuk taman depan, dimana gerbang berada, wajah Saito memucat. Sepertinya dia takkan bisa sampai. Sepertinya Saito yang tengah menggunakan kekuatan gandalfr takkan bisa melompati kali yang lebar itu.

Tepat saat dia berpikir “Kita sudah tersudut!,” rantai yang menyangga jembatan gantung berubah warna. Karena terkena “Alchemy”, rantai berubah menjadi tanah lunak dan mengeropos ke tanah. Jembatan yang kehilangan penyangga jatuh kembali.

Saito berlari di atas jembatan.

Saat dia menyebrang, sebuah kereta melompat keluar entah darimana. Yang mengherankan, keretaanya tak ditarik kuda tapi oleh naga.

Siesta yang gemetar ketakutan duduk di kursi pengendara.

“Cepatlah! Buruan naik!”

Setelah mendorong masuk Louise kedalam kereta, Saito juga melompat masuk.

“M-mengapa seekor naga?”

“Aku tak tahu! Tapi jika mereka kuda, bukankah mereka akan lari? Um, itu, Nona Cattleya bilang itu padaku! Kyaa! Kyaa, kyaa! Bagaimanapun, Naga itu menakutkan! Wajah mereka menakutkan!” Sambil menjeritkan itu, Siesta mengelus tali kekang sambil melamun.

“Ayo tukeran,” kata Saito, mengambil alih tali kekang dari Siesra dan duduk di kursi pengendara. Siesta tersenyum dan memeluk Saito. Di kursi belakang, Louise hendak meledak begitu dia melihat adegan itu, tapi dia tahan. Dia mengingat kata-kata Saito tadi. “Aku mencintaimu,” katanya. Berapa kali dia bilang itu ya....

Yah, aku akan menoleransi klo hanya segitu. Pokoknya, seorang ningrat yang merasa iri pada jelata adalah aneh. Dia tersenyum dan menjaga sikapnya, seakan dia tak peduli. Begitu Louise melakukan itu, Siesta cepat-cepat menyembulkan kepala dan menghadapnya.

“Um. Mohon maafkan kelancanganku, Nona....”

“Hm?”

“Sepertinya saat aku mabuk, aku mengatakan hal-hal yang tak pantas padamu...ini sebuah kebiasaan buruk. Sepertinya saat .....aku mabuk, kelakuanku berbeda dari biasanya. Ya. Pasti begitu”

Siesta memohon maaf atas sikap kasarnya.

“Ya, tak apa-apa. Mulai saat ini, cobalah menjaga sikapmu,” jawab Louise dengan ketenangan seorang wanita yang telah menang dalam cinta.

“AKu sangat berTerima kasih!”

Siesta perlahan menarik kepalanya menjauhi Louise. Setelahnya dia menggosok-gosokkan badannya pada saito.

Aaaah, mereka terlalu dekat. Tapi karena kita tadi lebih dekat, seharusnya tak apa-apa untuk saat ini. Hanya sedikit. Ini amal.

“Tapi...Saito-san, kau sungguh lelaki yang sopan.”

“Hm? Benarkah?”

“Itu benar! Karena meski aku begitu dekat denganmu...kau tak melakukan apapun.”

“I-itu...tentu saja aku takkan.”

Louise tersenyum. Tentu saja, itu karena kau sama sekali tak menarik. Meski kau bilang kepadaku bahwa aku sedatar papan. Ini aneh. Ini kemenangan si papan~. Dan karenanya ini kekalahan si pelayan tolol itu~.

“Erm, eh, Iya, kancing kemejaku lepas.”

Alis Louise terangkat.

“Eh? Yah, itu mungkin karena kau terlalu banyak gerak kemana-mana. Haahaa.”

“Itulah mengapa aku selalu bilang padamu....”

Kata Siesta dengan suara pelan sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Saito. Namun, suaranya tetap terdengar jelas oleh telinga Louise. Lagipula ini pukulan tipu Siesta.

“A-Apa?”

“Jika kau ingin lihat, bilang saja. Aku takkan menyembunyikan apa-apa. Tak perlu kau menahan dirimu sama sekali~”

Aah, Siesta. Perkataanmu itu....

Dari belakang. Suara keras dari udara yang bergetar sudah terdengar. Atau, bukan udara yang bergetar, melainkan Louise.

“Aku mengerti.”

“Familiarku melepas kancing pelayan, huh?”

“Familiarmu melepas kancing karena aku terlihat kesakitan.”

“Simpan penjelasanmu.”

“Tapi itu bukan sebuah penjelasan.”

“Nona! Tiada cara lain! Waktu itu, Saito-san khawatir! Dia khawatir karena dia menyukaiku!”

Aah, Siesta, jangan menyiramkan minyak bukannya air ke api yanhg membara.

Saito mulai membantah meski tahu itu tiada gunanya.

“Aku tak melakukan hal seperti itu.”

“Aku mengatakan itu, tapi kau melihat Chii-neesama juga.”

“Hanya sedikit.”

“Mau bagaimana lagi, memang pantas kau menerima perlakuan yang lebih buruk dari anjing.”

Kesopanan yang tak perlu. Suasana dimana dia berada berarti dia tak bisa melawan. Dengan itu, Saito tengah kelelahan karena dia menggunakan terlalu banyak kekuatan gandalfr. Seseorang bisa mengatakan bahwa Saito tahu persis dia tak bisa melawan tak peduli bagaimanapun jua.

Dengan telinga yang dijewer, Saito ditarik masuk kereta.

“Nona! Tenanglah! Nona Vallière!”

“Tak apa-apa. Semuanya akan segera berakhir. Bagaimana ya mengatakannya~, ini pasti takdir. Itu menurutku.”

Saito tersenyum dan menghilang kedalam.

Saito berguling di lantai. Louise mendatanginya.

“Pertama-tama, semua yang tadi kau dan aku katakan di perahu adalah kesalahan.”

“Ya. Aku mengerti.”

“Mulai hari ini, Aku pikir rem diperlukan. Dan kau?”

“Aku sangat berterima kasih karena hanya dibilang begitu.”

Namun, rem itu tak pernah datang.

Jeritan Saito dapat terdengar dalam jangka waktu panjang di daerah La Vallière.

Sambil menonton kereta yang menghilang di kejauhan, Cattleya tersenyum. Setelah itu dia tiba-tiba terbatuk-batuk. Dia telah menghabiskan tenaganya dengan mantra “Alkemi” yang tadi digunakannya.

Dalam sudut pandangnya, dia dapat melihat jembatan gantung di kejauhan. Karena dia menggunakan mantra dari jarak yang cukup jauh, cukup banyak kekuatan hatinya yang tersedot.

Didalam kamar ada trush yang bernyanyi.

Itu adalah burung kecil yang terluka, yang dia pungut dan perban tadi. Dia menerawangi trush dalam sangkar untuk sesaat lalu Cattleya pun tersenyum sayang.

Dia membuka tutup snagkar dan mengulurkan tangannya kedalam. Trush itu melompat ke tangannya. Setelah dia mengeluarkannya, dia membuka perbannya.

Dia membentangkan tangannya keluar melalui jendela. Trush di tangannya melirik kedalam wajah Cattleya lalu mendongakkan kepalanya ke sisi karena ragu.

Seakan dia menanyainya.

“Tak apa-apa. Kini akan baik-baik saja.”

Trush itu memandangi langit. Lalu dia mengepakkan sayap-sayapnya.

Cattleya memandangi trush yang terbang di langit.

Dalam diam, Cattleya menerawang untuk watu yang lama. Bab 4 - Opsir Komandan Guiche dan Opsir Kadet Malicorne

Setiap murid yang bergabung ke dalam tentara kerajaan melalui perekruitan resmi, yang datang ke akademi sihir, mengikuti pelatihan sekitar dua bulan dan kemudian ditugaskan ke berbagai bagian.

Tentara Tristain dibagi menjadi tiga cabang.

Pertama, "tentara kerajaan" yang berada di bawah komando langsung sang raja. Jenderal-jenderal ningrat dan opsir-opsir yang tergabung ke dalam keluarga kerajaan memerintah dan membentuk sepasukan tentara bayaran melalui uang. Opsir pelajar seperti Guiche terutama ditugaskan ke dalam tentara kerajaan ini atau ke dalam bagian lain, sky navy.

Selanjutnya adalah "tentara nasional", dimana bangsawan-bangsawan yang lebih hebat di berbagai wilayah merekrut orang-orang di dalam wilayah mereka. Organisasi ini juga disebut sebagai "tentara marquis". Bangsawan-bangsawan yang menerima tanah dari raja akan menunaikan janji mereka dan membentuk sebuah pasukan. Inilah yang diminta Cardinal dari ayah Louise, Duke La Valliere, yaitu untuk membentuk sebuah pasukan.

Karena prajurit-prajurit yang tergabung dalam tentara nasional awalnya adalah petani, mereka dianggap lebih lemah dibandingkan tentara kerajaan yang terdiri dari tentara bayaran. Memang tidak sesuai untuk kampanye, tapi tentara kerajaan sendiri kekurangan orang, sehingga mereka (prajurit tentara nasional) akhirnya ikut terbawa. Banyak bangsawan, seperti ayah Louise, Duke La Vallierre, yang menentang perang dan menolak untuk menyumbangkan prajurit.

Juga karena perang ini adalah sebuah kampanye, setengah dari tentara nasional adalah gerobak......berarti mereka akan berakhir sebagai unit pemasok.

Yang terakhir adalah "sky navy".

Pasukan yang mengoperasikan kapal-kapal yang melayang di udara atau laut.

Dengan kapten yang berada di puncak, cabang tentara ini terlihat seperti miniatur dari sistem feodal. Dibawah sang kapten yang mempunyai kontrol penuh atas kapal perang tersebut, ada opsir ningrat yang mengarahkan para pelaut. Walaupun mereka disebut pelaut, sebenarnya mereka adalah semacam spesialis dalam mengoperasikan kapal itu. Tidak seperti tentara yang akan baik-baik saja asalkan mereka berkumpul dan bersatu, pelaut mengutamakan pengalaman dan latihan dibandingkan apapun.

Guiche, yang ditugaskan sebagai opsir cadangan dalam tentara kerajaan, tiba di fasilitas pelatihan, Shan de Mals, di ibu kota negara, Tristania, di hari setelah Louise dan yang lainnya tiba di rumah.

Resimen Rosha, Resimen Lashene, Resimen Navarre......... Warna-warna resimen yang biasanya bertebaran di taman gedung milik komandan resimen, hari ini, bertebaran di fasilitas pelatihan Shan de Mals.

Dengan sebuah surat pengantar yang ditulis oleh seorang opsir di salah satu tangannya, Guiche berjalan disekitar fasilitas pelatihan itu, dimana dua belas resimen tentara kerajaan dan dua puluh ribu prajurit berkumpul. Kelompok tempat dia bergabung adalah De Vinuiyu, batalion independen tentara kerajaan. Dia tidak pernah mendengar kelompok itu sebelumnya, tapi Guiche gembira mengenai perang pertamanya itu.

Baru saja dia bertemu ayahnya, Perwira tinggi tentara kerajaan.

Karena Perwira tinggi adalah pekerjaan untuk orang-orang yang berada di ujung hayat, ayahnya yang telah berhenti dari militer, akhirnya diangkat menjadi seorang Perwira tinggi. Ayahnya yang tua itu sangat frustasi karena tidak bisa mengikuti perang dan menyemangati Guiche.

"Jangan menghargai hidup, hargailah nama" kata ayahnya yang lahir alamiah sebagai prajurit dan menyuruh Guiche pergi. Ketiga abangnya telah pergi juga. Abang pertamanya bertanggung jawab atas tentara keluarga De Gramont. Abang keduanya adalah kapten dari pasukan udara. Abang ketiganya adalah opsir dari tentara kerajaan.

Dan dia sendiri........ ikut serta sebagai opsir batalion independen De Vinuiyu.

Bagaimanapun, dia tidak bisa menemukan batalion yang penting itu. Dia tidak bisa menemukan bendera batalion yang tergambar dalam surat undangan itu dimanapun.

Ogah-ogahan, dia bertanya kepada opsir brewokan yang bertampang seram.

"Um, dimana ya batalion independen De Vinuiyu?"

Opsir itu mulai berkhotbah kepada Guiche mengenai bagaimana dia tidak tahu jalan pulang.

Ketika Guiche berkata, "Ini adalah tanggung jawab saya dari hari ini", dia melihat Guiche dari kepala sampai ujung kaki, dan bertanya, "Opsir pelajar?"

"Y, ya! Benar!" Ketika dia memberi hormat dengan bahasa militer yang dia ingat, kepalanya langsung dipukul.

"Dengar, pelajar. Di medan perang, walaupun kau bilang kalau kau tidak tahu dimana batalionmu, tidak ada seorangpun yang akan memberitahumu."

Kemudian opsir itu berkata "Disana" dan menunjuk ke sebuah sudut fasilitas pelatihan itu.

Tepat di sebelah rumah pondokan, dengan sedikit cahaya matahari yang menerangi.

Prajurit-prajurit bersender di dinding rumah pondokan, menatap langit dengan pandangan kosong. Guiche kaget karena ada orang yang minum sake juga.

Menatap dengan hati-hati, dia menyadari bahwa kebanyakan orang disana adalah orang tua dan tidak bersemangat. Kelompok itu seperti sudah gagal saja.

"Ja, jangan bilang, ini....." Bingung, dia bertanya pada salah satu prajurit.

"He, hei, prajurit."

"Apa?"

Seorang prajurit bayaran tua yang membawa tombak berat pun berdiri.

"Apakah ini batalion independen De Vinuiyu?"

"Ya."

Guiche berdiri membatu, seperti habis dipukul oleh sesuatu di kepalanya.

Itu adalah kampanye agungnya yang pertama, tapi tempat dia ditugaskan malah berisi orang-orang tua atau prajurit badung yang jelas-jelas terlihat tak bersemangat. Dengan kata lain, hanyalah batalion sampah untuk memenuhi jumlah pasukan.

Batalion ini "independen" dan tidak terikat ke resimen manapun mungkin karena alasan tersebut. Dengan kata lain, tidak akan ada satu komandan resimen manapun yang mau bertanggung jawab atas mereka.

Ketika dia bertanya "Tapi, dimana komandan batalion ini?", tentara tua itu menunjuk ke salah satu sudut. Orang tua berambut putih yang tampak lemah berdiri disana, menyangga dirinya dengan sebuah tongkat. Di sampingnya berdiri seorang bangsawan muda dan gemuk yang memakai lencana staf opsir di lengannya. Sepertinya, itu adalah "markas besar"nya.

Dia adalah komandan batalion...... Dia terlihat seperti orang yang jantungnya akan berhenti dari mendengar suara saat penyerangan saja, tanpa harus ditembus oleh peluru terlebih dahulu. Aku benar-benar sial pikir Guiche dan menjadi depresi. Walaupun begitu, Guiche menghampiri mereka untuk menyampaikan salamnya.

"Opsir cadangan Guiche de Gramont, disini untuk mejalankan tugas!"

"Haa? Apaa?! Apa yang terjadii?!"

Komandan batalion De Vinuiyu balik bertanya sambil gemetaran. Sepertinya dia punya pendengaran yang buruk.

"Aku adalah Guiche de Gramont! Aku telah ditugaskan di batalion ini sebagai opsir cadangan. Aku ingin menerima persetujuan," Guiche berteriak di dekat telinganya.

"Oh, baiklah! Saatnya makan! Tidak bisa betempur dengan perut kosong! Kau makan makan dengan benar juga!"

Menyerah, Guichepun mengangguk. Kemudian, staf opsir batalion itu berbisik ke telinga sang kepala batalion.

"A, apa! Tugas! Seharusnya kau bilang begitu!"

Aku sudah bilang itu tadi pikir Guiche berkecil hati.

"Ba, ba, baris!"

Kepala batalion yang lemah meninggikan suaranya. Tanpa semangat, prajurit-prajurit itu bergerak lesu.

"Me, mengenalkan komandan kompi yang baru!"

Heh? Komandan kompi?

Sementara Guiche tegak tercengang, komandan batalion itu melanjutkan.

"Ditugaskan ke dalam batalion infanteri senapan independen yang agung De Vinuiyu....... Nama!"

"Saya Guiche de Gramont!"

"Aku menyerahkan kompi kedua kepada Grandel-kun ini! Dengan demikian, kompi kedua akan bernama 'Kompi Grandel'! Hormat kepada komandan kompi!"

Dengan lesu, prajurit-prajurit kompi itu memberi hormat. Hei, namanya salah. Lebih pentingnya lagi, komandan kompi? Mustahil!

"Tu, tunggu, kepala batalion! Saya opsir pelajar! Tiba-tiba menjadi komandan kompi...!"

Menjadi komandan kompi berarti dia harus memerintah lebih dari seratus prajurit. Tidak mungkin dia bisa melakukan itu.

Bagaimanapun, kepala batalion itu, dengan gemetar meletakkan tangannya di pundak Guiche.

"Komandan kompi menelantarkan pasukannya pagi ini. Kami mencari penggantinya."

Menelantarkan? Batalion macam apa ini?

"Masih ada opsir senior yang lain bukan?!"

"Ah, selain aku, staf opsir, dan komandan kompi yang lain, tidak ada bangsawan lain di batalion ini."

"Maka dari itu satu-satunya yang mungkin adalah kau. Selamat datang komandan kompi."

Dia pernah mendengar bahwa tentara kerajaan kekurangan opsir, tapi ini sudah terlalu parah. Wajah Guiche memucat.

Batalion infanteri senapan independen De Vinuiyu adalah pasukan senjata tembak yang dipenuhi sekitar tiga ratus lima puluh prajurit yang dibagi menjadi tiga kompi. Dua adalah kompi senjata tembak. Satunya lagi adalah kompi tombak pendek sebagai penjaga. Salah satu dari kompi senjata tembak menjadi tanggung jawab Guiche tidak lama lagi setelah Guiche mengambil alih pos barunya. Walaupun disebut sebagai pasukan senjata tembak, perlengkapannya hanyalah arquebus (senapan kopak) antik. Model yang lebih baru, musket (senapan lontak) tidak kelihatan dimanapun.

Lebih lagi, pasukan senjata tembak... Guiche memegang kepalanya. Dia tidak pernah belajar bagaimana cara menggunakan senapan di pelatihannya. Dia tidak benar-benar bisa mengeluh mengenai dua bulan pelatihan yang tiba-tiba......

Tapi, akan lebih baik jika mereka memberitahu cabang kelompok tempat dia ditugaskan terlebih dahulu.

Dia telah mendengar kelainan di dalam tentara kerajaan, yang mempekerjakan banyak tentara bayaran walaupun kekurangan opsir, telah parah...... tapi kalau separah ini.

Sementara Guiche sibuk khawatir, seorang laki-laki paruh baya yang terlihat pintar datang mendekatinya. Dengan membawa arquebus yang laras senapannya telah dipendekkan, juga pisau di pinggulnya. Memakai topi baja, jaket bulu tebal, juga pelindung dada besi.

"Salam, komandan kompi."

"K, kau juga. Kau adalah?"

"Nicola, sersan kompi ini. Aku berperan sebagai pembantu dan sebagainya."

"Peran" munkin hanyalah kerendahan hati. Ada luka di dahinya dan mukanya juga kecoklatan. Dia kelihatan seperti sersan yang telah melakukan tugas militer untuk waktu yang sangat lama. Tidak diragukan lagi, dia, seorang opsir non-komisi, adalah orang yang mengatur kompi itu.

"Yah, bencana."

Seorang sersan bayaran yang terlihat lebih tua dari ayah Guiche bergumam kepadanya.

"Dipaksa menjadi komandan kompi sesampainya kau disini. Dari rupamu, kelihatannya kau adalah pelajar."

"Y, ya."

Guiche mengangguk.

"Baiklah, aku dan rekan-rekanku akan mengawasi kompi. Komandan bisa tenang sedikit." Setelah diberitahu seperti itu oleh sang sersan, Guiche merasa sedikit lega.

Suara terompet terdengar dari jauh. Untuk mengatur prajurit, para komandan kompi mulai meninggikan suara mereka. Instruksi dari panglima pasukan ekspedisi Albion, Jenderal Olivier De Poitier akan segera dimulai. Setelah menerima laporan jenderal, prajurit-prajurit yang berkumpul di fasilitas pelatihan ini akan berangkat ke La Rochelle. Disana, mereka akan menaiki kapal dan menuju wilayah udara dari Albion.

Kemudian, pada saat bersamaan.

Di pelabuhan La Rochelle, dimana armada utama dari pasukan udara berada.

Di atas dek yang menggantung pada pelabuhan yang dibuat mengunakan pohon raksasa.... pada batang kering dari Yggdrasil yang kuno, para opsir-opsir dan pelaut-pelaut pun akan berangkat untuk menunaikan tugas.

Berdiri di atas akar Yggdrasil, Malicorne, yang dijadwalkan untuk menaiki kapal perang itu sebagai kadet militer, memandang dengan takjub.

Pemandangan kapal perang, armada udara utama dari kerajaan itu, menggantung di cabang pohon Yggdrasil yang raksasa dan menunggu untuk berangkat benar-benar pertunjukkan yang luar biasa.

"Uwaaa...." Dia berdiri dan mulutnya menganga. Sewaktu melihat ke langit, Malicorne pun terjatuh.

"A, apa!" Meneriakkan itu, seorang laki-laki berkulit kecoklatan menatapnya. Setelah diperiksa, ternyata laki-laki itu tidak mengenakan mantel dan hanya rakyat jelata. Menyadari bahwa dia dijatuhkan oleh rakyat jelata, Malicorne sangat marah.

"Ku, kurang ajar! Beraninya kau menjatuhkan seorang bangsawan!"

Setelah itu, pelaut itu menatap Malicorne. Menyadari bahwa Malicorne hanyalah kadet militer, laki-laki itu tersenyum lebar.

"Hei, bo-chan. Tempat ini berbeda dari dunia kotor itu. Aku akan mengajarimu aturan di pasukan udara, jadi buka telingamu lebar-lebar dan dengarkan."

"Eh? Eeeh?"

Kelihatannya, di pasukan udara, kau tidak bisa berjalan dengan angkuh hanya karena kau adalah seorang bangsawan. Dia tidak bisa membayangkan ada rakyat jelata yang lebih hebat daripada seorang bangsawan.

"Pertama adalah kapten! Dia yang terhebat di kapal! Kemudian opsir eksekutif! Opsir sebelumnya ditugaskan disini. Kepala pelayaran, kepala layar, kepala artileri, kepala dek, kepala dapur...... Di pasukan udara, bahkan rakyat jelata bisa menjadi opsir jika mereka benar-benar berusaha!'

Jadi begitu mata Malicorne terbeliak. Sebuah sistem militer yang memungkinkan rakyat jelata untuk bisa menjadi opsir superior..... Itulah pasukan udara.

"Dan kemudian adalah opsir non-komisi! Dan akhirnya dibawah mereka adalah kadet militer sepertimu! Di atas sebuah kapal kalian hanyalah cacing tak berguna! Ingat itu!"

Malicorne berdiri tegak dan hormat.

"Me, mengerti!"

"Aku akan memberimu semangat! Katupkan gigimu!"

Masih berdiri, Malicorne menerima tamparan di mukanya.

"Oke, pergi! Lari! Bodoh! Jika seorang kadet militer berjalan di atas kapal perang mereka akan menerima teriakan!"

Malicorne lari kebingungan.

Akhirnya dia menemukan kapal perang itu, Redoutable, sebuah kapal perang yang luar biasa dengan empat puluh delapan gerbang di pinggiran lambung perahu serta mempunyai panjang tujuh puluh mil. Kapal perang baru yang selesai satu bulan yang lalu.

Saat sedang memanjat lekukan dan mencoba untuk menaiki kapal perang yang tergantung di cabang itu, seorang opsir di pintu masuk menghentikannya.

"Hei! Kau! Mau kemana kau?!"

Panik, Malicorne hormat.

"Kadet militer, Malicorne de Drandple! Mulai bertugas hari ini!"

"Aku Letnan Moranju, yang bertanggung jawab atas pergantian giliran."

Dia adalah opsir ningrat yang mengenakan mantel. Dia memeriksa prajurit di pintu masuk kapal. Malicorne lega karena laki-laki itu adalah seorang bangsawan. Sudah kuduga, tak banyak opsir dari golongan rakyat jelata.

Setelah melihat tubuh Malicorne yang gembul dari atas sampai bawah, dia bertanya.

"Apakah hanya ini barang-barangmu?"

Malicorne mengangkat tas di tangannya.

Ketika Malicorne menjawab "Ya", letnan itu merengut. Setelah berpikir, Malicorne menyadari dia telah membuat kesalahan. Jawaban seperti "Ya" tidak ada di militer, terutama pasukan udara.

"Ya Pak, Letnan!" Dan dia hormat. Kemudian, Malicorne harus memperbaiki bahasa dan caranya memberi hormat.

"Tidak perlu terlalu kaku di pasukan udara. Nak!"

Seorang anak laki-laki mendekati mereka dan hormat.

"Dia yang akan mengurusimu. Jika ada yang kau tidak mengerti, tanya. Antar dia ke ruang opsir magang."

Bagian terakhir ditujukan kepada anak itu.

"Aku akan membawa tasmu kadet. Ah, namaku Julian."

Malicorne menyerahkan tasnya. Anak itu lebih muda darinya. Anak laki-laki berambut hitam yang berumur sekitar empat belas atau lima belas tahun.

"Kadet, darimana kau berasal?"

"Akademi sihir." Ketika dia menjawab itu, wajah anak laki-laki itu seperti bersinar.

"Ada apa?"

"Kakak perempuanku bekerja disana. Namanya Siesta.... Kau tahu dia?"

Malicorne menggelengkan kepalanya. Jumlah pelayan yang bekerja di akademi sangat banyak. Mungkin dia ingat wajh-wajahnya, namun dia tidak ingat semua nama.

"Sudah kuduga. Tidak mungkin seorang bangsawan bisa mengingat tiap nama pekrja."

Setelah mengantar Malicorne ke ruang opsir magang, Julian pergi sambil berlari. Sepertinya anak itu punya tugas setinggi gunung yang harus dikerjakan.

Di ruangan itu, ada tiga kadet militer lain seperti Malicorne. Lebih lagi, salah satu dari mereka adalah pelajar dari akademi sihir. Dia adalah kakak kelas, jadi Malicorne menundukkan kepalanya. Dia adalah leki-laki menarik dengan tampang liar. Alisnya tebal, dan tersenyum di wajah ramahnya.

"Aku Stix. Kau?"

"Malicorne." Setelah berkata begitu, dia ditanyai apakah dia berada di kelas yang sama dengan Kirche. Berpikir kembali pada anak laki-laki tadi, dia menggerutu bahwa banyak subjek lokal di kapal ini sambil mengangguk.

"Dulu, kau tahu, aku berhubungan baik dengannya." Stix berkata malu-malu. Dilihat lebih dekat, ada bekas terbakar di dahinya. Dalam bentuk apa mereka tahu satu sama lain? Dia berpikir, tapi Stix adalah kakak kelas, jadi dia tidak bisa bertanya. Jika itu adalah luka yang memalukan, dia akan marah.

Kemudian Stix duduk tegak di kursinya.

"Lalu, semuanya."

Ketika Malicorne masuk, rupanya ada pertemuan serius di dalam ruangan itu. Tiga orang lainnya membungkuk dan mendekatkan wajah mereka ke Stix. Sepertinya mereka sedang berbisik. Si pendatang baru Malicorne ditawari sebuah kursi dan duduk.

Stix menatap wajah Malicorne dengan serius.

"Kita harus menjelaskan semuanya ke pendatang baru. Sepertinya, Malicorne-kun, kapal ini membawa bom yang mengerikan."

"Bom?"

Malicorne menelan ludah dan menatap kadet senior itu.

"Benar."

"Apakah itu peledak jenis baru? Atau senjata baru?"

Dia bertanya sambil gemetaran. Peladak baru yang kuat? Atau mungkin senjata baru yang rumit? Yang manapun itu bukanlah hal yang bisa dibiarkan begitu saja.

"Bukan itu."

Stix berbisik.

"Lalu... apa?"

"Manusia."

"Manusia?"

Stix mengerutkan kening dan bergumam.

"Ya. Ada musuh yang menaiki kapal ini."

"Berarti ada pengkhianat disini?"

Malicorne menaikkan suaranya tanpa dia sadari.

"Sttt! Orang itu belum berkhianat......, tapi kemungkinannya tidak rendah. Itu yang aku pikirkan. Ada banyak opsir senior yang berpikir begini juga."

"Siapa orang itu?"

Stix mengangguk-angguk.

"Lalu, kita tunjukkan tikus kepada teman baru kita?"

"Setuju."

"Yeah."

Dan kemudian, Malicorne pergi menginspeksi "bom yang mengerikan" ini.

Menuju ke dek akhir, ada sang kapten. Dia sedang mendiskusikan sesuatu dengan seorang opsir ningrat yang tinggi. Melihat sang kapten, Malicorne menjadi gelisah. Berkumis, dia adalah laki-laki paruh baya dengan aura yang kuat. Menjadi kapten sebuah kapal perang, pastinya dia seorang elit. Seperti penampilan luarnya, dia juga cukup "jago" di dalam. Dan, "bom yang mengerikan" yang dibicarakan para kadet militer sepertinya berada disekitar kapten ini.

"Itu bisa membuat kapal tenggelam. Berlayar di awan adalah bertaruh dengan bahaya." Laki-laki yang terlihat tidak takut apapun itu, yang berada pada masa prima hidupnya, berkata dengan aksen Albion yang kental kepada kapten di sampingnya. Sang kapten menggantungkan kepalanya dengan malu.

Mendengar suara itu, Malicorne terlonjak seperti tang ditusukkan ke tulang belakangnya.

Aksen Albion? Bukankah itu musuh?!

Sembunyi-sembunyi, Stix berbisik ke telinga Malicorne.

"Lihat. Namanya Henry Bowood. Tanpa keraguan lagi, adalah orang Albion."

"Apa kau bilang? Kenapa orang dari negara musuh ada di kapal?"

"Biar aku beri tahu apa yang dia lakukan pada perang di Tarbes. Dia, kapal perang yang besar itu..... Kau tahu tentang itu? 'Lexington'?"

"Kapal perang raksasa yang ditenggelamkan oleh cahaya ajaib dari tentara kita, kan?"

Kandasnya kapal Albion terkenal dengan sebutan "cahaya ajaib". Tentu saja, tak banyak orang yang tahu identitas aslinya.

"Dia adalah kapten 'Lexington'."

"Apha!"

Malicorne hampir menggigit lidahnya.

"Tentara kita memperkerjakan beberapa opsir dari pasukan udara Albion, untuk membantu berlayar di sekitar wilayah udara Albion, yang ditangkap sebagai POW. Ada batasan untuk orang-orang yang tidak puas terhadap administrasi politik Albion sekarang, tapi...... bagaimana bisa mereka mempercayai orang-orang itu?"

"Tepat sekali. Bagaimana bisa mereka menaiki kapal dengan mantan musuh."

"Bagaimanapun, pasukan udara sudah memutuskan untuk menggunakan mereka. Denagn kata lain........ kita tidak bisa melakukan apapun."

Stix berkata marah. Mendengar itu, salah seorang kadet militer berkata "Sepertinya mereka berkata kita tak ada gunanya" mencela diri sendiri.

Saat itu, kapten itu melihat para kadet militer dan melambaikan tangannya agar mereka datang.

"Anak-anak, kemari dan sampaikan salammu. Ini adalah Tuan Bowood. Dia disini sebagai opsir instruktor. Tuan, ini adalah anak muda dari pasukanku."

Bowood tersenyum dan mengulurkan tangannya. Malicorne merasa kemarahan menggembung di dalam dirinya.

Dia adalah musuh.

Cukup memalukan untuk mencari bantuan dari musuh hanya karena kau tidak punya rasa kepercayaan terhadapan awakmu. Dan sekarang, kami, kadet militer, harus merendahkan tangan kepadanya?

Ekspresi sang kapten berubah.

"Anak-anak...... Tuan Bowood pernah bekerja untuk negara musuh, tapi sekarang dia bekerja di pasukan kita. Bukan hanya itu, dia juga adalah keturunan bangsawan. Aku tak akan membiarkan kalian pergi tanpa salam."

Diberitahu oleh kapten seperti itu, dengan ogah-ogahan para kadet militer memberi hormat.

Bowood mengembangkan tangannya dan menghilang ke de utama.

"Opsir instruktor!" Kapten tergesa untuk mengejarnya. Betapapun ahlinya dia, jika sang kapten bertingkah seperti itu, dia akan menjadi contoh yang buruk untuk para awak.

Stix berbisik kepada Malicorne dan yang lainnya dengan suara kecil.

"Aku punya rencana untuk membuat orang itu tak berdaya."

"Rencana apa?"

"Kapal perang ini akan berada dalam kekacauan saat perang."

"Mungkin." jawab Malicorne.

"Dan, tidak akan ada yang menduga peluru-peluru itu datangnya darimana."

Kelompok itu merasa tegang setelah mendengar kata-kata Stix. Dia seakan-akan berkata bahwa mereka akan menembak dan membunuh opsir itu dalam peperangan. Bab 5: Api Dua Puluh Tahun yang Lalu

D’Angleterre (Provinsi Angle)

Terletak di daerah barat daya yang menghadap ke laut, permukiman ini dikatakan dibangun beberapa abad yang lalu oleh para imigran dari Albion. Daerah ini selalu menyusahkan atas para generasi raja-raja Tristain.

Ini karena ada budaya kemerdekaan di sini, setiap kali sesuatu terjadi, mereka akan menentang pemerintah pusat.

Jadi sekitar seratus tahun yang lalu, ketika seorang pemimpin agama dari negara agama Romalia memulai acara untuk mempraktekkan agama mereka, orang-orang yang sangat termotivasi di wilayah ini semuanya bergegas untuk bergabung dalam acara ini. Meskipun hal ini tidak disukai raja dan mengangkat kecurigaan yang besar... Orang-orang di wilayah ini masih terus mempertahankan gaya riang yang unik, dan bersedia menerima syarat-syarat yang disarankan, sehingga tidak ada penindasan kuat apapun.

Dengan kata lain, orang-orang di D'Angleterre yang licin dan senang kedua belah pihak.

Dua puluh tahun yang lalu, mereka memaksa pemerintah Tristain untuk mengakui pemerintahan independen sendiri, dan mendirikan sebuah kuil untuk agama baru.

Karena itu, mereka menjadi merusak pemandangan kepada pemerintah Romalian.Pada akhirnya, Tristain dipaksa untuk mengirim pasukan untuk menekan mereka... Itu adalah apa yang direkam mengenai peristiwa tersebut kemudian.

Hari itu, dua puluh tahun yang lalu, Agnes masih berusia tiga tahun. Kenangan tentang itu terbagi-bagi, namun masih sangat segar dan kuat.

Agnes yang berumur tiga tahun awalnya mengumpulkan kerang di tepi laut.

Lalu dia menemukan sesuatu yang lebih indah dari kerang cantik yang dipahat oleh gelombang. Itu adalah... Sebuah cincin dengan batu delima besar di atasnya, indah seperti api--itu menjadi berkilauan di jari perempuan muda yang telah terdampar.

Agnes yang berumur tiga tahun merasa takut, karena dia mengulurkan tangannya menyentuh cincin batu delima itu. Saat itu, perempuan muda yang terdampar membuka matanya dan dia bertanya kepada Agnes dengan tersendat-sendat.

"...Ini adalah?"

"D, D’Angleterre."

Setelah Agnes menjawab, perempuan muda itu tampak puas, dan mengangguk. Setelah itu, Agnes berlari untuk menginformasikan orang-orang dewasa bahwa ia telah menemukan seseorang yang telah terdampar di pantai. Meskipun perempuan itu berada diambang kematian, di bawah perawatan warga desa ia berhasil melewati kematiannya. Dia menyebut dirinya sendiri Vittoria. Meskipun ia adalah seorang bangsawan, karena ia adalah seorang anggota dari agama baru, dia dikejar oleh Romalia tapi dia melarikan diri. Sebuah pasukan dari Tristain datang ke tempat ini sebulan kemudian. Mereka membakar desa tanpa pandang bulu. Ayah, ibu ... Rumah dia lahir dan dibesarkan ... Semua ditelan oleh api dalam sekejap. Agnes kecil terus berlari di tengah-tengah api, dan akhirnya melarikan diri ke rumah Vittoria bersembunyi. Vittoria menyembunyikan Agnes di bawah selimut. Tidak lama kemudian, sekelompok orang berlari ke kamar. "Wanita Romalian ada di sini!" Teriakan laki-laki yang kasar membuat Agnes sangat takut. Setelah itu, ia mendengar suara yang melantunkan sebuah mantra. Sesaat berikutnya, Vittoria, yang membiarkan Agnes bersembunyi di tempat tidur, dikelilingi oleh api. Kemudian kesadaran Agnes secara bertahap memudar, ia melihat seseorang yang meskipun telah terbakar oleh api yang menghanguskan, membuat sihir air pada Agnes untuk meningkatkan kekebalan pada sihir api....Itu Vittoria. Kenangan Agnes berakhir di sana sementara. Adegan berikutnya yang tercermin dalam matanya adalah...... Leher seorang pria. Leher jelek itu memiliki bekas luka bakar yang sangat jelas. Akhir tahun, minggu pertama dari bulan Wynn, hari Man dalam minggu itu menjadi hari yang tercetak dalam sejarah Halkeginia. Hari itu adalah hari setelah Hari Void, ketika dua bulan yang tergantung di langit saling tumpang tindih. Di siang hari ini, ketika benua Albion berada pada titik terdekat dengan Halkeginia, armada raksasa kapal Tristain dan Germania membawa tentara persatuan yang terdiri dari 60.000 tentara untuk berlayar dari La Rochelle demi invasi Albion.

Tristain bersama-sama Germania memiliki 500 kapal. Hanya enam puluh dari mereka yang merupakan kapal perang sedangkan sisanya adalah pengangkut tentara dan persediaan. Ratu Henrietta dan Kardinal Mazarini tengah berada di pelabuhan La Rochelle, berdiri di atas dermaga Pohon Dunia, menonton armada berlayar. Semua kapal yang naik ke langit pada saat yang bersamaan pasti merupakan pemandangan yang menakjubkan untuk dilihat. "Seolah-olah mereka adalah biji terbawa oleh angin," kata Kardinal Mazarini, membagi pikirannya. "Benih yang akan mengecat ulang benua."

"Tidak ada benih yang dapat mengecat negara putih, biru." Bendera keluarga kerajaan Tristain adalah lily putih pada latar belakang biru. "Ada kemungkinan bahwa kita akan kalah," gumam Mazarini. "Saya tidak berniat dikalahkan." "Jenderal De Poitiers adalah komandan hebat yang berani dan penuh kewaspadaan. Kemungkinan besar dia berhasil. " Henrietta tahu bahwa menyebutnya seorang komandan besar adalah sedikit pemaksaan, tapi tidak ada jenderal lain dengan bakat lebih darinya. Jenderal yang melampauinya hanya ada di buku-buku sejarah.

"Aku berfikir-fikir, mengapa sih kita harus berperang?" Gumam Mazarini, dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Mengapa Anda menanyakan hal semacam itu?" "Kita bisa saja memblokade Albion untuk membuat mereka kelaparan. Dengan perencanaan yang matang, ini bisa jadi ide yang sangat sukses. " "Kita akan menyerbu." Gumam Henrietta tanpa mengubah ekspresi wajahnya. "Jangan bilang begitu. Keberanian tak selalu diperlukan untuk menyelesaikannya sekali jalan dan selamanya. Yah, mungkin aku hanya bertambah tua. " Mazarini menepuk jenggotnya yang memutih . " Yang Mulia, jika kita akan kalah, apakah Anda akan menggunakan" Void "dalam perang ini?" Ini adalah masalah yang sangat rahasia untuk dibahas. Hanya sedikit orang yang tahu bahwa Louise adalah pengguna Void. Henrietta, Kardinal ... dan beberapa jenderal kerajaan.

"Aku harusnya dibakar ... dengan senang hati, Aku akan dibakar sebagai bayaran untuk dosa-dosaku. " Gumam Henrietta dalam hati, sambil menatap kedalam kehampaan. "Tenang. Paduka tidak akan ke sana sendirian. Semoga tulang tua saya cukup baik untuk itu. " Henrietta mempercayakan pengetahuan tentang Void pada jenderal-jenderal hanya sebagai kartu truf. Setelah mendengar tentang Void Louise, pada awalnya Jenderal De Poitiers bahkan tidak mencoba untuk mempercayainya. Tapi hal itu tidak mustahil. Karena Void dianggap sebagai legenda, ia tidak bisa mempercayai keberadaannya.

Namun, setelah diingatkan tentang hasil perang di Tarbes, setelah melalui usaha nan gigij, sang jenderal mempercayainya.. Adanya elemen legendaris Void melipatgandakan keberaniannya dan ia menjanjikan Henrietta sebuah kemenangan cepat. Henrietta, untuk memastikan kemenangan dalam pertempuran pertama, memberinya izin untuk mengendalikan Void. Henrietta mendesah atas dosanya sendiri. Perang ... terhadap negara, rakyat. Ia tidak lebih dari melepaskan kesedihan pribadi pada mereka. Perang ini hanya sarana untuk menenangkan kemurkaan kekasih. Berapa banyak manusia yang saya kirim pergi untuk mati karena ini? Bahkan sahabat masa kecil dan terbaiknya pun ikut.

Dalam perang seperti ini, tiada menang atau kalah, ia tak bisa menghilangkan kejahatan seseorang, pikir Henrietta. Meskipun tahu hal ini, saya masih mengumbar patriotisme untuk pasukan yang dilepas berlayar, saya akan terbakar di neraka untuk ini. Setetes darah mengalir di pinggir bibirnya saat Henrietta menggigit mereka, sambil berteriak,

"Viva Tristain!"

Suara teriakan ratu bergema di angkasa. Para petugas berbaris di dek atas, menghormat Henrietta yang memandangi kepergian mereka, dan berteriak setelah ratu, "Viva Tristain! Viva Henrietta! " Teriakan ini, yang disertai dengan suara dari sisa 60.000 orang yang bergabung, meraung di angkasa. "Viva Tristain! Viva Henrietta! " Sorakan yang membelah dada hanya memekatkan kesadaran Henrietta akan dosanya...

Pada saat yang sama, di Akademi Sihir ... Untuk menggunakan Api demi tujuan damai, Colbert akhirnya mencapai "Kekuatan" itu. Kekuatan panas ... Artinya, kekuatan untuk mengubah panas, entah bagaimana, menjadi gerakan. Meskipun mekanisme berbasis uap telah dibuat untuk itu dan cukup memadai, itu tidak cukup bagi Colbert yang ingin meningkatkannya setara dengan "kekuatan" mesin Zero Fighter. Colbert terkonsentrasi pada analisis mesin ini.

Meski ia ingin merakit sesuatu yang menyerupainya dengan coba-coba ...Tak mungkin mempelajari bagaimana untuk merakit sebuah pembakaran internal mesin dnegan tingkat akurasi yang sama. Pertama-tama, teknologi metalurgi masih primitif di Halkeginia. Besi yang menyusun mesin itu tidak dapat diproduksi. Bahkan dengan mantra "Alkimia" kelas persegi pun masih akan sulit untuk membuat besi yang diproduksi secara canggih tersebut. Teknik sihir seseorang pasti akan bercampur dengan pengotor. Kedua, teknologi pengolahan. Untuk merakit sebuah mesin berkualitas tinggi, diperlukan pembuatan banyak bagian nan identik. Mengingat teknologi Halkeginia yang masih terbelakang, itu hampir mustahil.

Di Halkeginia, konsep barang yang sama sekali identik tak ada. Misalnya, di antara senjata sekalipun, yang kebanyakan terbuat dari barang kerajinan maju, tiada dua yang sepenuhnya sama. Peluru dan bentuk sebatang pistol tampak identik, namun secara rinci berbeda. Bahkan bagian-bagiannya tidak benar-benar cocok. Jikapun Colbert mencoba untuk membuat peluru senapan mesin Fighter Zero, ia tahu bahwa itu mustahil. Meskipun seseorang dapat membuat bingkai kuningan, ia memiliki rincian nan identik yang terlalu banyak untuk ditangani Alkimia. Meskipun sulit untuk membuat bingkai kuningan, produksi "bensin" cair adalah hal yang sama sekali berbeda.

Makanya Colbert bisa menyelesaikan "Kontainer Cairan Baru", mengerahkan teknologi untuk digunakan. Di depan laboratorium di Akademi Sihir, Colbert yang dengan susah payah selesai mendapatkan seluruh peralatan untuk Zero Fighter, dengan menghembuskan napas panjang, memandangi karya yang dikerjakannya sendirian. Selama setengah tahun, meskipun senjata baru telah selesai, dia masih ingin menemukan teknologi yang lebih indah, namun hasil penelitiannya terhenti di sana.

Saat melihat Saito yang muncul di depan laboratorium, Colbert merentangkan tangannya. "Ooh, Saito-kun, apa kau akanpergi?" Saito baru saja selesai bersiap untuk perjalanan nanti. Dia membawa kacamata, yang merupakan kenang-kenangan kakek Siesta di lehernya. Derflinger diikat di punggungnya dan sebuah kantong kulit menempel ke pinggang. Berbagai item disimpan di sana. "Ya," Saito mengangguk. "Baiklah. Apakah kau akan langsung ke kapal? Bisakah kau mendaratkan ini di kapal dengan aman? " Pagi ini, armada telah berlayar menuju Albion. Kapal yang seharusnya mengangkut Zero Fighter sudah berlayar dengan kapal-kapal lain dan tengah menunggu mereka di depan. Kapal itu adalah kapal perang khusus yang dibangun untuk membawa naga-naga angin, kini dia akan membawa Zero Fighter juga.

Kapal baru nan kuat, yang dimiliki Kelas Pengangkut Naga yang baru dibentuk, dinamakan Varsenda. Tidak hanya itu, Colbert, dengan menggunakan sihir Bumi, menempatkan bensin yang cukup untuk lima penerbangan dalam kapal. Jadi Saito hanya perlu membawa Louise dengannya di Zero Fighter dan mendarat di kapal itu. "Nah, dengan bawaan segini banyak ... tak mungkin semua benar-benar aman, kan? Kata Saito sambil berbalik. Louise belum muncul. "Karena buru-buru, saya tidak punya waktu untuk menjelaskan kepadamu bagaimana senjata baru bekerja." "Begitukah ..." Saito menemukan selonjong pipa besi tergantung di bawah sayap Zero Fighter. Untuk Apa sih bahwa tabung itu? Tapi, tiada waktu untuk penjelasan yang rinci sekarang.

Tapi sebelum kau pergi, terimalah ini, manual yang kutulis untukmu.” Colbert menyerahkan sebuah buku catatan kecil pada Saito. Walau Saito tidak bisa membacanya, Louise bisa. Aku akan membacanya nanti, pikirnya. "Terima kasih." Kemudian Colbert, mencari ragu-ragu apakah akan katakan atau tidak, membuka mulutnya. "Terus terang saja ..." "Eh?" "Sejujurnya, saya tidak ingin murid saya menaiki kendaraan yang digunakan untuk perang." Katanya getir. "Murid?" "Aah, bagaimana saya harus meletakkannya? Nah, meskipun kau bukan seorang bangsawan, saya masih menganggapmu sebagai salah satu muridku. Kau tidak keberatan, kan? " "Tidak, saya tidak keberatan soal..." Saito merasa malu.

"Bapak tidak ingin menggunakan api untuk membunuh. Bapak ... " Ucap Colbert dengan jelas. "Kenapa? Setiap orang mengatakan bahwa elemen Api adalah yang paling cocok untuk perang. OK, Aku tak terlalu tahu soal sihir. " "Itu benar ... Api adalah elemen penghancuran. Pengguna Api bernilai besar ... Namun, Bapak berpikir sebaliknya. Bapak berpikir bahwa menggunakan api hanya untuk penghancuran itu keterlaluan. " Mengingat kata-kata itu, Saito menunduk malu. "Oh ya, Ini mesin terbang yang disebut 'Phoenix' oleh tentara kerajaan, kan?" "Ya, ketika aku menyerang kapal-kapal perang dengannya di Tarbes, seseorang berkata, 'Ini adalah Phoenix legendaris!' ..." "Begitu ya! Phoenix Itu! " Teriak Colbert, senang. "Guru?" "Phoenix adalah makhluk legendaris. Phoenix ... Dewa Burung Api, simbol kehancuran ... dan simbol 'Kelahiran Kembali'. " "Kelahiran Kembali?" "Ini reinkarnasi." Saito bertanya-tanya mengapa Colbert tampak begitu senang. Colbert Kemudian memasuki dunianya sendiri. "Itu benar ... Kelahiran kembali ... memang ... itu sebuah simbol, kan? Benarkah? " Colbert lalu menyadari Saito yang mengamatinya dengan takjub. "Ah, aah! Maaf !" Dia membungkukkankepalanya. "Tidak, tak apa-apa. Aku sudah terbiasa. " Colbert memasang tampang serius. "Hei, Saito-kun ... ngomong-ngomong, itu ..." "Apa?" Pada saat itu, Louise muncul. "Akhirnya," gumam Saito. "Mau bagaimana lagi! Seorang gadis memiliki banyak hal untuk diurus! " "Kita akan pergi berperang. Persiapan seorang gadis macam apa yang harus diurus? " "Hmph!" Louise memalingkan muka, mengabaikan Saito, memanjat menaiki sayap dan masuk kokpit. Satu bulan telah berlalu sejak mereka melarikan diri dari keluarga Louise. Sejak itu, keadaannya seperti ini. Setelah Mengangkat kaca belakang pesawat yang tahan peluru, Louise duduk di kursi. "Yah, errr, guru, apa yang tadi baru saja kau katakan?" "Ti-tidak ... itu bukan apa-apa. Ya. " Saito menaiki Zero Fighter. Sihir Colbert lalu menghidupkan baling-baling, memulai jalannya mesin. Mungkin karena ini yang kedua kali, pengerjaannya dilakukan dengan tenang. Colbert membantu lagi, ia menciptakan sehembus angin yang kuat. Saito mengenakan kacamata dan melilitkan syal di lehernya. Colbert berteriak di sela-sela suara deru mesin. "Saito-kun! Nona Vallière! " Saito melambai. "Jangan mati! Jangan mati! Bahkan jika sudah tiada harapan! Bahkan jika kau akan disebut pengecut, jangan mati! Jangan pernah mati! Kembalilah dengan aman dan sehat! " Karena diredam deru mesin, suara itu tidak terdengar. Namun, kata-kata Colbert, entah bagaimana, tersampaikan. Meskipun ia tidak bisa mendengarkannya, kata-kata itu mencapai hatinya. "Ok!" Teriak Saito membuka throttle. Zero Fighter mulai bergeser dan sedikit demi sedikit mulai terangkat. Secara bertahap, penampakannya menyusut, sampai menghilang di langit. Meskipun Zero Fighter telah menghilang di langit, Colbert terus memandang dalam diam.

Setelah terbang selama dua jam, ada titik-titik kecil di awan. Ia tumbuh semakin besar saat didekati, sampai menjadi armada yang terkubur jauh di langit. Saito teringat lomba balon yang pernah dia tonton di televisi.

Dengan panjang bervariasi dari 50 hingga 100 meter, ratusan kapal telah mengantri, membuatnya tampak pemandangan megah dan indah untuk dilihat. "Luar biasa ..."

Seru Saito dengan suara penuh kekaguman. "Hei, Louise, lihat. Armadanya luar biasa besar! " "..."

Namun, Louise membuang muka, dan menggembungkan pipinya. Suasana hati Louise tidak membaik. Akhir-akhir ini, setelah kembali ke rumah, apakah dia selalu seperti ini.

Saito mencoba mencari tahu alasan di balik suasana hati buruk Louise. Setelah mengakui cintaku padanya, Louise tampak seakan dia menerimanya untuk sesaat.

Biasanya, pasangan diharapkan untuk lebih dekat setelah itu.

Tapi aku mengartikan hadiah Louise yang berupa "Sentuh satu tempat yang kau sukai," sebagai izin untuk menyentuhnya dimanapun,itulah yang membuat Louise marah. Dan setelah perkataan "buka kancing" Siesta, amarah Tuanku yang memiliki keinginan memonopoli yang sangat kuat semakin menyala-nyala.

Dari pandangan Louise, bermain mata dengan gadis lain sama dengan melayani dua tuan sekaligus - Saito salah paham besar disini. Sebenarnya, Louise hanya cemburu. Bermain-main dengan gadis lainnya setelah menyatakan cinta dan menciumnya adalah sesuatu yang tak bisadimaafkannya.

Dan, meskipun untuk sesaat, dia siap untuk menyerahkan kesuciannya untuk familiar ini, yang bahkan dalam pikirannya pun hal ini tak bisa dibenarkan. Hingga menikah, hal itu terlarang. Bahkan tiga bulan setelah menikah,hal itu terlarang. Termakan oleh tindakannya - itulah yang membuatnya sangat marah.

Karena Louise terus diam seperti itu, Saito akhirnya menyerah. Saat itu, mereka harus menemukan kapal perang untuk mendarat. Beberapa ksatria naga terbang mengangkasa dan mengitari Zero Fighter Saito.

Mereka melambaikan tangan; Saito balas melambai. Sepertinya mereka akan membimbing dia ke kapal yang dimaksud. Setelah Mengikuti jalannya para ksatria naga sambil menahan-nahan laju pesawat, Varsenda muncul di pandangan.

Dek kapal itu datar dan besar karena harus membawa ksatria naga. Tiang layar sekitar 6 meter, semuanya pasti terlihat seperti semut dari atas sana. Kapal ini tidak dilengkapi dengan meriam karena kapal ini memang dikhususukan untuk membawa para ksatria naga.

Ia adalah tempat yang sempurna untuk membawa Fighter Zero, atau mungkin harus dikatakan bahwa tidak mungkin bagi kapal lain untuk melakukan itu. Tapi meskipun dek Varsenda panjang dan lebar, panjang geladak masih terlalu pendek untuk pendaratan Zero Fighter . Bagaimana dia bisa mendarat di sana?

Derflinger bertanya dari belakang.. "Rekan, arahkan pesawat lebih dekat ke kapal. Sepertinya mereka akan menangkap kita. " Ada banyak penyihir yang terlihat di atas dek. Tali dibentangkan di atas dek. Para Tentara meraih pangkal setiap tali dan membuatnya tegak lurus dengan panjang dek. Dengan bantuan mantra elemen Angin dan tali di geladak, Zero Fighter diharapkan bisa mendarat. Agak kasar, pikirnya, tapi tiada cara lain. Tangan kanan Saito bergerak untuk melempar kait ke kapal.

Kait itu menyambungkan Zero Fighter dengan pembawanya, dan ikatannya dikencangkan. Colbert yang menyadari keberadaan kait itu kemungkinan besar telah menceritakannya pada awak Varsenda untuk membentangkan tali di atas geladak untuk membantu Zero Fighter mendarat.

Mereka mendekati Varsenda. Kait berikutnya dari kapal perang dilempar, mengikat sayap dan ekor. Flap diturunkan. Saito dengan hati-hati mendekati dari belakang ke arah kapal. Sementara itu, Louise tak sekalipun mengedipkan mata saat melihat adegan itu, dan berpikir dalam diam.

Tentu saja, memikirkan waktu di atas perahu saat itu. Ketika dia ditekan oleh Saito ... Bagaimana akhirnya, jika keluarganya maupun atau para pelayan tak menemukan mereka, pikir Louise.

"..." Hal ini membuat pipinya memerah merah tua. Dia tiba-tiba merasa marah pada Saito yang, terguncang dalam keamanan, sedang menangani pendaratan, dan mulai memukulinya. "A-apa yang kau lakukan?" "Mengapa kau memilih tempat itu?! Tempat itu! " Teriak Louise. "Tidak ada tempat lain untuk mendarat!" Dengan itu , mereka berdua benar-benar salah paham satu sama lain.


Begitu Saito dan Louise mendarat di Varsenda dan turun dari Zero Fighter, mereka disambut oleh petugas yang didampingi oleh pengawal. "Petugas geladak, Kuryuuzurei." "Kemana kita sekarang?" Meskipun ditanyai, petugas tersebut menuntun keduanya tanpa menjawab. Kemana dia membimbing mereka? Menurut instruksi Henrietta, hanya nama kapal perang dimana mereka harus mendarat yang ditulis, tidak ada yang lain. Dan petunjuk dari para petinggi selalu seperti ini. Memmerintah bawahan, mereka berpikir bahwa mereka sudah mengatakan semuanya. Bawahan para bangsawan pasti hidup panjang dan sulit, pikir Saito. Henrietta tampaknya bukan pengecualian.

Mereka begitu percaya diri, karena memang harus begitu. Melalui lorong geladak utama yang sempit inilah mereka diarahkan ke kabin pribadi dua orang. Meskipun sangat kecil, ia masih merupakan kamar pribadi. Dalam kabin ini, ada tempat tidur yang sangat kecil dan meja. Setelah Saito dan Louise ditempatkan barang bawaan mereka, mereka didesak oleh petugas untuk mengikutinya lagi.

Setelah berputar-putar melalui lorong-lorong sempit kapal, mereka akhirnya berhenti di depan sebuah pintu. Ketika petugas mengetuk, ada jawaban dari dalam. Petugas itu membuka pintu dan mempersilahkan Saito dan Louise masuk Mereka berdua disambut oleh jenderal-jenderal yang duduk dalam barisan. Pangkat Emas bersinar di bahu mereka. Mereka pasti merupakan komandan-komandan nan penting.

Sambil tercengang, Louise dan Saito duduk di kursi yang ditawarkan oleh para prajurit. Louise duduk di kursi, dan Saito duduk setelahnya. Jenderal di kursi paling atas membuka mulutnya.

"Selamat datang di Markas Komando Invasi Albion, Nona Void." Louise merasa gugup. Jenderal dengan jenggot ini terlihat berumur sekitar 40 tahun ... "Panglima Tertinggi De Poitiers." Dengan cepat,Sang jenderal mengenalkan rekan-rekannya. "Ini adalah Kepala Staf Wimpffen."

Seorang pria kecil dengan kerutan yang dalam yang duduk di sebelah kiri Jenderal tersebut mengangguk. "Ini adalah panglima tentara Germania, Marquis Handenburg." Jenderal berkumis stang dan berhelm baja mengangguk khidmat pada Louise. Ternyata, Kapal induk naga ini juga merupakan markas umum. Setelah itu, Louise diperkenalkan oleh Jenderal kepada staf dan jenderal-jenderal yang berkumpul di ruang konferensi. "Nah, Tuan-tuan. Ini adalah kartu truf Yang Mulia simpan, saya memperkenalkan kepada Anda, Sang pengguna 'Void'. "

Namun, tidak ada seorangpun di ruang konferensi mengangkat alis setelah kata-kata itu. Mereka hanya menatap curiga pada Louise dan familiarnya. "Dalam pertempuran Tarbes, dialah yang memukul mundur armada Albion." Hanya setelah De Poiters mengeluarkan kata-kata itu, barulah jenderal-jenderal menunjukkan minat mereka. Saito menowel Louise. "Apa?"

"... Apa tidak apa-apa dibukakan seperti itu?" "Jika tidak, mana mungkin kita bisa bekerja sama dengan tentara." Ini mungkin benar, namun ... meskipun Louise diperintahkan Henrietta untuk tetap diam, dia sendiri mengungkapkan hal itu dengan mudah, pikirnya. Meskipun Henrietta terus berkata bahwa Louise penting, entah bagaimana, tindakannya bertentangan. Pikiran soal ratu membuat Saito sedih.

Lalu ia teringat gemetar Henrietta waktu itu. Mustahil, pikirnya. Pokoknya, ia benar-benar yakin tentang dia. Para jenderal tersenyum Louise. Senyuman palsu. "Anda mungkin berpikir ini adalah markas yang buru-buru dipilih. Maaf , tapi itu salah. Kapal ini menjamin keamanan secara mutlak. Anda lihat, kapal perang khusus mengangkut naga ksatria dan tidak dilengkapi meriam. Adalah merepotkan jika musuh menyasar kami. "

"Ha, haah ... lalu mengapa kau membuat kapal perang semacam ini menjadi markas utama?" Seisi ruangan meledak tertawa saat Louise mempertanyakan dengan suara yang sangat lucu nan bingung. "Di kapal biasa tidak ada ruang untuk ruang peretemuan. Semuanya diisi dengan meriam. "

Memang. Untuk kapal yang mengendalikan tentara dalam jumlah besar, kemampuan untuk memproses informasi dengan cepat adalah lebih penting daripada kekuatan penyerangan. "Cukup obrolannya. Mari kita lanjutkan dengan dewan perang, "ucap seorang jenderal dari Germania. Senyum-senyum pun menghilang dari wajah jenderal.


Pertemuan Dewan perang itu berlangsung seru. Mendaratkan 60.000 tentara di Albion adalah masalah sekunder. Masalah utama adalah bagaimana menghadapi armada udara musuh yang kuat. Meskipun 10 kapal Albion dan Lexington hancur di pertempuran Tarbes, masih ada 40 kapal bersiaga. Meskipun Tristain dan Germania memiliki 60 kapal karena penyatuan armada dari kedua negara, kebingungan sudah diduga akan terjadi. Ketika memperhitungkan bahwa katanya armada Albion unggul dari armada yang kekuatannya 1,5 kali mereka, perbedaan potensial antara mereka terhapus.

Kedua, pemilihan titik pendaratan. Di benua Albion hanya ada dua tempat di mana tentara besar 60.000 tentara bisa mendarat sekaligus. Pangkalan udara Rosais Selatan di Ibukota Londinium, atau pelabuhan utara - Dartanes. Karena ukurannya, Rosais lebih baik, namun ... langsung mengarah kesana akan membuat armada besar langsung ditemukan dan akan memberikan musuh waktu untuk mempersiapkan pertahanan. "Mnyia-nyiakan tentara dalam serangan itu akan membuat penaklukan Londinium beresiko." Kepala Staf dengan tenang menganalisis kekuatan dan menginformasikan semua orang. Ini harus dirahasiakan. Jenis serangan apa yang cocok untuk membobol pertahanan musuh.

Pasukan sekutu membutuhkan serangan mendadak. 60.000 tentara ingin mendarat di Rosais tanpa menghadapi perlawanan musuh. Jadi mereka perlu menipu tentara musuh besar dan menarik perhatian mereka dari titik pendaratan di Rosais. Sederhananya, Persatuan tentara Tristain dan Germania yang 60.000 itu ... memerlukan strategi licik yang menipu sehingga musuh berpikir bahwa mereka akan mendarat di Dartanes. Itulah masalah kedua. "Bisakah kita mengharapkan kerjasama Nona Void di salah satu dari dua ini?" Tanya seorang Ningrat berlencana staf sambil memandangi Louise. "Bisakah kau menghancurkan armada Albion, seperti saat kita meledakkan Lexington di Tarbes?"

Saito memandangi Louise. Louise berbalik dan menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin ... Saya tidak memiliki simpanan kekuatan hati yang cukup untuk melantunkan ‘Explosion’ nan kuat . Saya tidak tahu berapa bulan atau tahun yang dibutuhkan. " Sang petugas staf menggelengkan kepala. "'Senjata'yang tidak bisa diandalkan tidak bisa disebut kartu truf kita." Kata-kata itu membuat Saito merespon. "Hei, Louise bukan senjata." "Apa? Ini bukan saatnya familiar berbicara. " Sebelum berubah menjadi keributan ... Jenderal De Poitiers menyela. "Kami akan mengambil alih armada. Mari kita serahkan tipuan itupada Nona Void. Dapatkah Anda melakukannya? " "Tipuan?"

"Kami mendiskusikan hal itu sebelumnya. Kami hanya harus meyakinkan musuh bahwa kami akan mendarat tidak di Rosais tetapi di Dartanes. Ini seharusnya hal sederhana bagi 'pengguna Void,' legendaris bukan? " Louise berpikir. Apakah mantra semacam itu ada.. Saito bergumam pelan dari belakang. "... Bukankah Derf mengatakan bahwa ia dapat dibaca saat waktu yang tepat datang?" Louise mengangguk. "Besok, aku akan mencari mantra yang dapat digunakan." Jenderal De Poitiers tersenyum penuh harapan. Dia kemudian mempersilahkan Louise dan Saito meninggalkan ruangan.


"Bagus," angguk Saito. "Orang-orang itu, kupikir mereka hanya melihatku hanya sebagai pembawa hadiah." Saito menepuk bahu Louise. "Apa itu para jenderal besar? Kalau begini sih, kita takkan memenangkan perang tahun ini. " Tapi, itu mungkin ide yang benar selama perang ini. Zeri Fighter ini lebih dari sekedar alat untuk naik kapal, Ia juga tak tergantikan.

 Saat tengah melamun dan berpikir, bahunya ditepuk  dari belakang.

Ketika ia berbalik, lima-enam ningrat tengah menatap tajam Saito. Mereka semua tampak masih remaja, belum dewasa. Mereka tampak seusia Saito. Mereka mengenakan topi kulit dibalut tunik biru. Seperti tentara, mereka mengenakan tongkat sihir mirip Rapier di pinggang mereka ... namun tampak jauh lebih pendek. "Hei, kau." Dipanggil seperti itu, Saito berbalik. "Apa?"

"Hentikan," gumam Louise pelan sambil menarik lengan bajunya. Anak laki-laki di tengah dengan garis rahang panjang sepertinya adalah pemimpin mereka. "Ayo." Hah? Dengan fikiran yang tiba-tiba memanas, Saito berjalan ke arah mereka sambil memegang Derflinger. Mereka memasuki dek atas tempat Zero Fighter ditempatkan. Semua bagian Zero Fighter diikat tali yang tersambung ke dek. Saito tak mengerti ini dan masih mencoba mencari tahu maksud mereka, Sehingga dia tersinggung dan menghunus Derflinger.

"Apa ini bernyawa?" Seorang laki-laki ningrat malu-malu bertanya sambil menunjuk Fighter Zero. "Jika tidak, maka apa itu sebenarnya. Jelaskan dong. " Satu lagi meminta penjelasan dengan tatapan serius. Saito terbelabak. "Tidak, itu tak bernyawa, namun ..." gumamnya. "Hore! Bukankah sudah kubilang? Aku menang! Semuanya serahkan satu Ecu! " Anak laki-laki paling gemuk berteriak riang. Semuanya cemberut dan dengan enggan mengeluarkan koin emas dari kantong mereka dan menyerahkannya pada anak itu. Melihat Louise dan Saito yang bermulut menganga , mereka lalu tersenyum canggung. "Apakah kalian terkejut? Maaf. "

"Ya." "Tidak, kami sedang taruhan. Soal itu. " Seorang anak ningrat menunjuk Zero Fighter. "Kami pikir itu hidup. Kami pikir itu seekor naga. " "Tidak ada tempat di mana naga semacam itu hidup!" "Mungkin ada! Dunia ini luas sekali! " Mereka mulai bertengkar lagi.

Melihat itu, Saito teringat kelas di kotanya. Selama istirahat, mereka juga melakukan obrolan-obrolan tak jelas yang sama untuk mengisi waktu ... "Ini adalah mesin terbang." Katanya, dan para anak laki-laki ningrat langsung tertarik dan mendengarkan Saito dengan seksama. Namun, mereka sepertinya tidak dapat memahami; obyek yang terbang di atas langit menggunakan tenaga selain sihir.

"Kami para ksatria naga." Ketika penjelasan Fighter Nol berakhir, anak-anak memandu Saito dan Louise ke tempat naga-naga di dalam dek. KorpsKsatria Naga telah menderita banyak kerugian dan hampir sepenuhnya musnah saat pertempuran di Tarbes, itu sebabnya ksatria naga yang magang dimasukkan ke dalam tentara sebagai ksatria beneran. "Tapi dalam keadaan normal, perlu satu tahun lebih pelatihan." Jelas anak gemuk sambil malu-malu tersenyum, dia yang memenangkan taruhan tadi. Dia mengatakan bahwa dia adalah seorang komandan dari Skuad kedua Ksatria Naga. Dia yang membimbing Zero Fighter Saito ke kapal perang. Semua naga di dalam adalah naga dewasa. Mereka terlihat dua kali lebih besar dari Sylphid milik Tabitha. Sayap besar mereka tampaknya akan diciptakan untuk kecepatan. "Pasti sangat sulit untuk menjadi seorang ksatria naga." "Benarkah?"

"Ya. Memiliki naga sebagai familiar tidak sesederhana itu. Tidak semua orang bisa melakukannya. Familiar naga sulit untuk disenangkan, mereka menyusahkan, mereka hanya akan membolehkan pengendara yang mereka akui untuk menaiki mereka. " "Apakah menjadi pengendara naga tidak hanya membutuhkan keterampilan tetapi juga kekuatan sihir? kepintaran juga? Untuk melihat lebih dalam, hal semacam itu, dan tidak pernah membiarkan kwaspadaannya turun? " Sepertinya anak-anak ksatria naga adalah para elit, dan memiliki kebanggaan sebagai pemilik yang cukup besar. "Bisakah saya menaikinya?" Tanya Saito, mereka mengangguk.

Saito mencoba mengangkanginya, tapi terlempar dengan cepat. Anak-anak tertawa, memegangi pinggang mereka. Karena semangat bertanding Saito yang kuat, ia mengambil tantangan itu lagi. Hasilnya sama. Bahkan seorang gadis kecil seperti Tabitha bisa naik naga dengan wajah dingin ... ini memalukan bagi Saito, jadi dia mengambil tantangan itu berkali-kali. Louise menyaksikan dari jauh. Saito dan Para ksatria naga bergaul dengan baik, dia membuat keributan dan berteriak seakan dia salah satu dari mereka. Anak-anak tampak senang, dan ia iri pada mereka untuk sesaat. Mengapa mereka bergaul dengan baik dan begitu cepat? Pikir Louise sambil merajuk. Maksudku, apa para naga memiliki apa yang tak dimiliki tuanmu? Ia melakukan itu denganku di perahu tempo hari. Namun sekarang dia bermain, berteriak dengan para ksatria naga?

Bukankah kita memiliki pertempuran di langit besok? Apakah tidak ada kemungkinan kita akan mati besok? Apakah ini caramu memutuskan bagaimana kau menghabiskan waktu? Pikir Louise sambil melototi Saito. Aku merasa tak aman dan takut, Aku ingin kau memelukku erat-erat Tapi aku takkan pernah mengatakannya keras-keras.

Dan ... dia mendesah. Operasi muslihat. Ini perlu dilakukan untuk meyakinkan musuh bahwa tentara gabungan yang 60.000 itu akan mendarat tidak di Rosais, tetapi di Dartanes ... Apa mantra yang sesuai? Dia tidak tahu sedikit pun. "Hei, kau. Kau. " Para ksatria Naga yang melihat Louise yang terlihat sedang menatap tajam ke arah mereka sambil iseng-iseng mengayunkan kakinya dan bersandar ke dinding, bertanya kepada Saito.

"Apakah dia tuanmu? Apakah tak apa-apa meninggalkannya sendirian? " "Uuh! Bahaya! Saito menjadi pucat. Louise ditinggal sendirian. Dia pasti akan memukul, menghajarnya dan mengeluh nanti. Namun, ia tak ingin terlihat begitu lemah di depan teman-teman barunya. Anak laki-laki adalah makhluk tak berpengalaman, dan seorang teman baru tak boleh menunjukkan kelemahan. Saito menunjukkan dirinya kuat. " Tidak apa-apa jika itu dia. Biarkan saja. " "Oooh,"

Tepuk tangan meledak. "Itu baru kamu. Anda menentang tuan Anda sedemikian beraninya! Kau bukan orang biasa. " Louise, yang marah pada sikap Saito, mendekat. "Apa katamu?" "Tidak, tidak ada ..." ketika ia menutup mulutnya, Louise menendangnya di antara 2 kaki. Dan begitu ia berbalik untuk kembali ke kamar mereka sambil menyeret Saito, komandan memanggil mereka berdua. "Apa rencana kalian malam ini?"

Karena alasan tertentu, pipi Louise memerah. "Tidak ada..." jawab Saito, Louise menendang perutnya. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita minum-minum malam ini sebagai perkenalan?" Tawarnya sambil berhati-hati. "Tak mungkin, jika kita menyelinap keluar dari kamar kami saat tengah malam, kami akan langsung ditemukan oleh petugas kapal yang berpatroli." Semuanya mulai khawatir. Mereka ingin melarikan diri dari kemarahan petugas kapal karena mabuk. Lagipula, Itu akan ketahuan besok.

Saito, tiba-tiba punya ide, dan menunjukkan jarinya dan berkata, "Bagaimana dengan membuat boneka jerami? Buat bundel jerami dan tempatkan mereka di tempat tidur. " "Ayo kita lakukan!" tawa para ksatria naga. Namun, Louise sendiri tidak tertawa. Dia menggigit kukunya, seolah-olah memikirkan sesuatu. "Ada yang salah?" Mereka bertanya.

"... Kau. Apa katamu tadi? " "Eh? erm ... Membuat boneka jerami? " "Itu benar. boneka jerami. Kita hanya perlu membuat 60.000 boneka jerami. "

"Hah? 60.000? Jumlah kita di sini tak sampai segitu. " "Pertama-tama, membuat gulungan jerami dalam jumlah besar adalah sulit, kan?" seorang ksatria naga bertanya dengan wajah serius. "Bundelan jerami? Gunakan sihir saja! " Dengan itu, Louise berlari keluar. "Apa, dia?"

Saito yang tercengang hanya bisa menyaksikan Louise pergi. Sekali lagi mereka tak memahami satu sama lain. Louise menerjang masuk ke dalam kamar pribadi yang diberikan kepada mereka, lalu membuka Buku Doa Sang Pendiri. Ia sejenak memejamkan mata dan menarik napas panjang sebelum membukanya lagi. Dengan pikiran yang terfokus penuh pada Buku Doa Sang Pendiri, ia dengan hati-hati meraihnya.

Satu halaman mulai bersinar ... Louise tersenyum. Di Akademi Sihir, di mana kelas baru saja berakhir, sekelompok pengendara muncul. Hari itu adalah sama dengan hari ketika Colbert memandangi kepergian Saito dan Louise. Para Musketeer Agnes masuk melalui pintu gerbang.

Gadis-gadis yang tinggal di sekolah dikejutkan dengan kemunculan pasukan yang menunggang kuda. Apa yang terjadi? mereka bertanya-tanya. Osman tua, Sang kepala sekolah, keluar untuk bertemu Agnes. "Selamat datang, Komandan Musketeer Agnes. Apa keperluanmu disini? " "Hanya melakukan pekerjaanku, terima kasih untuk dukungannya."

Osman tua bergumam dalam jenggotnya. Dalam hatinya, ia memiliki pikiran halus. Dia mungkin datang ke sini demi  mengambil murid perempuan yang tersisa untuk latihan militer?

Tadi malam, dia telah menerima sebuah laporan. Tampaknya, pemerintahan kerajaan Henrietta merekrut sebagian besar bangsawan untuk perang. Cara itu ternyata adalah - siswi juga direkrut sebagai petugas cadangan, jika para petugas termakan dalam perang Albion. Osman tua meragukan metode pemerintahan kerajaan. Itulah mengapa Osman tua tidak ambil bagian dalam upacara di La Rochelle, untuk berpamitan dengan pasukan.

Kehadiran siswi sekolah juga ia larang. Akibatnya, pemerintah Kerajaan memutuskan untuk melakukannya dengan caranya sendiri. "Meskipun perang ini tidak manusiawi?"

"Saat ini, kerajaan menyatakan perang ini sebagai “Perang habis-habisan." "Perang habis-habisan. Tiada nama yang masuk akal untuk menyebutnya. Perang yang mengambil perempuan dan gadis, hak seperti apa yang dimilikinya? " Agnes menatap Osman dengan mata dingin. "Lalu apa hak yang dimiliki perang di mana hanya ningrat dan tentara yang tewas?"

Osman tua kehilangan kata-kata. "Kematian adalah sama. Ia tak membedakan antara perempuan atau anak-anak. Tidak ada. " Agnes dengan penuh tekad menuju menara.

Pada saat itu, kelas telah berakhir kelas yang ditempati Kirche dan itu Montmorency. Karena guru pria pergi berperang, jumlah kelas menurun tajam ... "Namun, ada pengecualian." Gumam Kirche sambil memandangi seorang pria yang fokus penuh dalam mengajar. Itu Colbert.

Dia terus mengajar seperti biasa. Entah bagaimana wajah seorang murid gadis tidak tenang sama sekali. "Ehm, lihat. Karena suhu tinggi dari nyala api, warnanya jadi cerah. " Dia memanggang sebatang tongkat logam di api terbuka. Tongkat yang dipanaskan membengkok, dia terus menjelaskan, "Memang ada banyak logam yang tidak dapat dikerjakan jika api tidak cukup panas. Karena itu, ketika menggunakan 'Api', mengendalikan suhu api adalah hal dasar. "

Montmorency tiba-tiba mengangkat tangannya. "Apakah Anda memiliki pertanyaan, Nona Montmorency?" Montmorency berdiri. "Negara ini di tengah perang. Bagaimana ... Anda bisa mengajar kelas dengan seperti sikap riang semacam itu? " "Tinggalkan kekhawatiran Anda di sekolah ... Saya guru Anda, dan Anda adalah murid saya."

Colbert duduk, dan menjawab tanpa mengubah nada bicara. "Tapi ... semua teman sekelas ... bahkan guru, menghadapi perang." "Dan maksud Anda? Kita harus belajar lebih banyak, karena kini waktu perang. Untuk menggunakannya dalam perang, adalah perlu untuk belajar menggunakan 'Api' untuk menghancurkan. Belajar sekarang, niscaya Anda akan memiliki sesuatu untuk berbagi dengan anak-anak yang kembali dari perang. " Kata Colbert sambil melihat sekeliling kelas. "Anda hanya takut akan perang,"

Ucap Kirche dengan suara sedikit terulur. "Memang." Angguk Colbert. "Aku takut perang. Aku seorang pengecut. "

Dari leher para siswi keluar “hah” saking takjubnya. "Namun, saya tidak merasa bersalah." Ketika Colbert dengan jelas menegaskan hal itu, sekelompok orang dengan kasar menerobos masuk ke dalam kelas. Mereka adalah Agnes dkk.

Mereka mengenakan hemp rantai dan pedang panjang dengan pistol di pinggang mereka. Para siswi menjadi sedikit ribut ketika melihat para wanita yang masuk dengan pakaian semacam itu. "K-k-Kau.....A-Apa.... " Agnes, dengan sepenuhnya mengabaikan Colbert, memerintahkan para siswi. "Aku adalah musketeer Ratu. Aku Memerintahkan kalian semua atas nama Ratu untukvmenghentikan seluruh kelas mulai saat ini. Ganti pakaian dan berbarislah di lapangan. "

"Apa? MengHentikan kelas? Jangan bercanda. " mendengar kata-kata Colbert, Agnes berbalik, "Sudah cukup jaga anaknya ... Ini adalah perintah." Para Siswi mulai berdiri sambil menggerutu. Colbert memblokir jalanAgnes sambil panik. "Hei! hey!. Kelas belum selesai! " "Ini perintah langsung dari Ratu. Apa kau tidak dengar? " Ucap Agnes dengan suara yang tidak senang.

"Berdasarkan perintah Yang Mulia, saya mengajar sekarang. 15 menit lagi, waktu yang diberikan kepada saya oleh Yang Mulia untuk membuat siswa belajar. Ini tidak dapat dirubah oleh Anda. Kalian semua! Kembali ke kelas! Aku akan mengajar selama 15 menit lagi! Kalian dapat pergi bermain perang setelahnya! "

Agnes menghunus pedangnya dan mengarahkannya ke tenggorokan Colbert. "Perang permainan katamu. Apakah Kau akan melawan kami? Pak, ini bukan untuk diputuskan penyihir, jangan keterlaluan. " "T-tidak sama sekali ..."

Melihat pedang terarah ke leher, Colbert berkeringat dingin. "Apa Kau pengguna Api? Dari Mereka selalu tercium bau terbakar, bau busuk yang menyebar dari balik jubah. Guru, aku benci penyihir, khususnya orang-orang yang menggunakan Api ". "Huu ..." Kaki Colbert mulai gemetaran. Dia harus menyandarkan punggungnya ke dinding.

"Dengar, Jangan menghalangi tugasku." Agnes melihat Colbert yang gemetaran seolah-olah sedang melihat sampah, dan berjalan menjauh, sambil menyarungkan pedangnya kembali. Para siswi, dengan cemoohan yang sama di wajah mereka, melewati Colbert. Ditinggal sendirian, Colbert membenamkan wajah di telapak tangannya ... dan melepas desahan nan dalam. Bab Tujuh: Ilusi di Dartanes

Jam 8:00 pas, lonceng berdentang melalui seluruh kapal perang Redoubtable , menandakan dimulainya shift pagi. Pagi hari di mana nasib dua negara dan yang lain akan diputuskan. Malicorne, yang telah berdiri di atas menara, menguap panjang dan dalam, sebelum buru-buru melihat kiri dan kanannya. Jika seorang kadet perwira terlihat menguap seperti itu oleh petugas dek, hukuman kejam sudah menunggu ... Tubuh Malicorne melakukan yang terbaik untuk mengingatkannya dalam dua hari keberadaannya di sini.

Malicorne adalah penjaga yang bertugas. Dering bel pagi ... Kini sudah pukul 8 pagi ... gilirannya akhirnya berakhir! Yang tersisa untuk dilakukan adalah berganti giliran pergeseran dengan kelompok kadet perwira berikutnya, lalu dia bisa kembali ke kabin untuk tidur delapan jam, Menara lonceng di pagi hari dingin sekali ... Malicorne hanya bisa menganggurkan waktunya dengan sambil menunggu kadet berikutnya untuk memanjati menara. Dan orang yang memanjat dari celah menara adalah kakak kelasnya di Akademi Sihir - Styx.

Malicorne ingat bagaimana dia mengatakan bahwa dia akan membunuh Bowood, tetapi saat ini, tiada yang lebih penting baginya selain kembali ke kamarnya yang hangat, nyaman dan menikmati secangkir teh anggrek hangat. Setelah saling memandang satu sama lain, mereka berdua saling menyambut dan tersenyum satu sama lain. "Yah, sepertinya aku akan membeku di gurun es ini, anak gendut." "Tapi aku masih iri padamu, kak, maksudku, setidaknya matahari sudah terbit dan bersinar." "Apa kau masih ingat, Malicorne?" "Ingat apa?"

"Saat aku bilang aku akan mengurus orang Albion itu suatu hari nanti." "Tentu saja aku mengingatnya." "Aku pikir yang terbaik adalah melakukannya dalam ganasnya pertempuran." "Saya juga pikir begitu." "Tapi siapa yang tahu berapa lama, sebelum pertempuran akhirnya dimulai?" Demi menunjukkan keberaniannya pada kadet yang lebih muda muda, ia mengatakan ia hampir tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Malicorne menatap awan seperti orang linglung ... dan menarik napas secara mendadak. "Ada apa, Malicorne?" "... Sepertinya kau tak perlu menunggu lebih lama lagi." "Eh?" Styx berbalik dan menatap arah yang ditunjuk Malicorne, wajahnya segera memucat. "Musuh kapal terlihat!"


Saat itu 8:05 pagi. Bagian Komando kapal Varsenda, dimana Saito dkk berada, baru saja menerima laporan tentang penampakan kapal musuh. "Ini lebih awal dari yang kami rencanakan," gumam Jenderal Poitiers De lembut. Dia awalnya merencanakan untuk melakukan kontak dengan armada Albion sekitar pukul sepuluh. "Mereka sekelompok bajingan yang tak sabaran," komentar salah seorang petugas staf. "Bagaimana dengan 'Void'?" "Mantranya telah diputuskan tadi malam. Eksekusi akan dilanjutkan sesuai rencana. " "Mantranya macam apa?" tanya Jenderal De Poitiers dengan suara rendah sambil melihat teliti rencana pertempuran. Seorang perwira staf membungkuk ke arah telinga Jenderal, dan membisikkan rincian mantra yang Louise laporkan kepadanya.

"Menarik ... Ini akan menjadi kemenangan jika berhasil! Kurir! " Seorang kurir dengan cepat berlari mendekat. "Perintahkan 'Void' untuk turun. tujuan Misi: 'Dartanes,' kebebasan bertindak penuh. Skuad Ksatria Naga Kedua mengawal. Ulangi! "

"'Void' berangkat!Tujuan Misi 'Dartanes, " kebebasan bertindak penuh! Skuad Ksatria Naga Kedua mengawal! " "Bagus, sekarang kirimkan langsung!" Kurir segera menuju ke dek atas dari kapal dimana Saito dkk berrada. "Dengan ini, kita kini bisa ke arah Rosais tanpa khawatir." "Memang."

De Poitiers kemudian menurunkan perintah ke bawahannya yang bertanggung jawab bertempur dengan armada musuh. "Meneruskan kepada semua kapten kapal perang. Setelah kontak dengan musuh, jangan biarkan satu kapal pun mendekati kapal transportasi armada! "

Di jembatan atas, Saito, di kursi pilot Zero Fighter, mulai menjalankan operasi pesawat. Duduk di kursi belakang, Louise memejamkan mata, berkonsentrasi mengumpulkan kehendak hatinya. Baru saja tadi malam, Louise, setelah menemukan mantra untuk digunakan, melapor langsung kepada komando atas.

Setelah menerima laporannya, komando tertinggi telah memutuskan suatu rencana, dan menyusun rencana pertempuran sesuai dengan itu. Itu adalah rencana pertempuran yang saat ini dipegang Saito di tangan. Adalah pada pagi ini, rencana perang akan dimulai. Sementara itu, seorang petugas dek berdiri di sayap Fighter Zero, berusaha untuk memberitahu Saito, sambil menunjuk peta tangandari kulit kambing yang dipegang di tangannya.

"Bukankah aku sudah memberitahu Anda? Saya tidak dapat membaca tulisan dunia ini! " "Lihat sini, di peta ini! Dartanes! Ada di sini! Pokoknya, yang perlu kau lakukan hanyalah membawa Sang Void ke sini! Tinggalkan hal lainnya pada Sang Void, dia akan menanganinya "teriak Perwira dek dengan suaranya yang paling kencang.

A-Apa Sang Void? Saito tak bisa memahaminya. Panggilan aneh macam apa itu? Hanyadengan mendengarnya sudah membuatnya tidak nyaman.

Pada sepotong kulit kambing tergambar peta seluruh benua Albion. Untuk orang seperti Saito yang tidak pernah belajar navigasi apapun, ia benar-benar tak tahu bagaimana ia akan bernavigasi melalui langit berawan yang tak bertanda. Dibandingkan dengan ketika ia bisa menggunakan tanda untuk menemukan jalan menuju La Rochelle, ini adalah kisah yang berbeda.

"Para ksatria naga akan membawa Anda. Pastikan Anda tidak kehilangan mereka”! ucap Petugas dek setelah melihat kegelisahan Saito. Oke, oke, saya mengerti ... Saito mengangguk berulang kali.

Benar, kecepatan naga angin bahkan bisa menyaingi Zero Fighter. Pengalaman ketika Wardes mengejarnya masih jelas dalam pikirannya. Tiba-tiba -

Boom! Boom! Sebuah suara berdentum keras. Datangnya dari belakang. Saito berbalik dan memandang ke arah langit. Saat itu, satu skuadron kapal perang yang penampilannya benar-benar berbeda dari yang dipunyai mereka muncul dari awan di kejauhan, maju dengan cepat menuju tempat mereka.

Armada yang berjumlah sekitar enam puluh kapal jika Varsenda ini disertakan, dengan cepat berubah arah dan mulai naik perlahan-lahan, bersiap untuk bertemu dengan armada musuh yang mendekat. Tentu saja, Saito tidak menyadari fakta bahwa Malicorne berada di salah satu kapal perang disana. Perintah tiba pada saat itu.

"Berangkatkan 'Void'! Tujuan Misi 'Dartanes'! Kebebasan operasional penuh! 2nd Dragon Knight Skuadron bertindak sebagai pengawal! " Berangkat sekarang? Apa tidak terlalu dini? Tidak... apa karena kemunculan musuh yang tak terduga, mereka ingin kita berangkat tiba-tiba? Saito menembakkan sinyal ke penyihir terdekat, untuk membantu menghidupkan pesawat.

Namun penyihir itu, mungkin karena bingung dengan prosedur menghidupkan, tetap berdiri kosong. Untuk menyalakan pesawat, pertama-tama baling-baling perlu diputar.... Tapi sepertinya dia benar-benar hilang arah soal bagaimana bisa membuat baling-baling berputar. Jika Colbert ada di sini, ia akan langsung mengerti apa yang dimaksud Saito, dan langsung bertindak. "Bukankah aku sudah memberitahumu!? Ini! Anda hanya perlu memutar ini! "

"Hah? Ini? Saya tidak mengerti apa yang Anda katakan. Bisakah Anda menjelaskan lebih jelas? " Saat mereka sibuk mengutak-atik baling-baling, dari kerumunan armada musuh, tiga kapal tiba-tiba muncul, dan dengan cepat menuju ke arah mereka.

"Sebuah kapal api!" Seseorang berteriak. Saito berbalik dan melihatnya. Semua perahu terbakar api. Dirancang untuk dikirim langsung ke armada musuh, ini merupakankendaraan tanpa pilot dan diisi sampai penuh dengan bahan peledak yang kuat. Sebelum tanggapan ini bisa dibuat, kapal-kapal sudah ditembak jalan ke depan armada. Sebuah kapal dekat Varsenda meledak.

Gelombang getar ledakan mengguncang Varsenda itu, menggoyangkannya dengan keras. Bahkan sebelum Saito bisa berteriak minta tolong, Zero Fighter sudah mulai bergeser ke sisi kapal ... jatuh dari tepi dek atas sesaat setelahnya.

"Ahhhhhhhh!" Teriak Saito. Zero Fighter, dengan mesin yang masih diam, menukik ke bawah dengan hidung mengarah tanah. "kita akan menabrak! kita akan menabrak! kita akan menabrak! "Saito hanya bisa berteriak panik. Saat itu, Derflinger bicara: "Rekan."

"Ada apa?" "Yah, aku punya kabar baik untukmu." "Ini bukan waktu maupun tempat untuk hal semacam ini! Sial, aku tak pernah berpikir aku akan mati seperti ini ... betapa kejam. " "Baling-balingnya berputar, kan?"

Hah? Saito segera mengangkat kepalanya untuk melihat apa yang terjadi. Tentu saja, angin karena jatuhnya kapal sudah cukup untuk memutar baling-baling, meski tak mulus. Setelah menenangkan diri, Saito mengaktifkan tombol pemantik. Baling-baling mulai berputar pelan dengan siulan sebelum dengan cepat berputar dengan kecepatan penuh. Saito menarik gagang, dan mendapatkan kembali kendali atas pesawat.

"Fiuh ... lega rasanya!" Saito bersantai sambil menyeka butiran keringat dingin di dahinya. Dia berbalik dan melirik ke belakang, Louise masih sibuk memfokuskan kehendaknya. Gadis ini biasanya gelisah dan tidak tenang, hanya waktu sebelum melantunkan mantra Void-lah dia mampu berkonsentrasi, menjadi lupa akan dunia luar.

"Rekan." "Ada apa?" "Kau tahu, kau selalu boleh lebih memujiku..." kata Derflinger dengan nada kesal. "Kau hebat." " Lebih sedikit, hanya sedikit, Rekan. Kau menyingkirkanku ke samping begitu lama ... untukmu yang tidak sedikitpun menyanjungku sekarang, apakah kau tak berpikir bahwa ada yang salah? " "Oh ... kau begitu cemerlang, begitu luar biasa."

Mengapa semua orang yang terjebak denganku seperti ini, keras kepala dan gelisahan! Pikir Saito, yang mengabaikan kenyataan bahwa ia sendiri tidak berbeda. Sebelum ia menyadarinya, Skuadron Ksatria Naga kedua sudah terbang mengelilinginya. Ada sepuluh. Setelah mengatur kecepatan baling-baling dan throttlenya, Saito menset kecepatan terbang kira-kira 110 kilometer per jam.

Tak tertandingi dalam hal kecepatan, naga angin pun terus mengikuti Zero Fighter dengan mudah. Saito melambai pada anggota Skuadron Ksatria Naga kedua, yang baru terbentuk kemarin. Mereka balas melambai. Duduk di kursi belakang dengan Buku Doa Pendiri terbuka di pangkuannya, Louise terus tenggelam dalam kekhusyukannya, tak terlalu memperhatikan mereka.

Sepertinya pekerjaan itu untuk hanya mengawal pengguna "Void" ini hingga untuk sasaran. Untuk alasan inilah skuadron yang terbentuk dari sepuluh ksatria naga dan pesawat tunggal menuju ke arah Dartanes.

Salah satu ksatria naga terbang ke arah depan rombongan, sedangkan ekor naganya mengguncang kiri dan kanan. Sepertinya dia yang jadi pemimpin. Dia adalah ksatria naga yang katanya memiliki kekasih yang menunggunya di desa asalnya. Dikanannya ada seorang anak laki-laki tujuh belas tahun berambut pirang, seumuran dengan Saito.

Di sebelah kirinya ada ksatria naga delapan belas tahun. Setelah akhirnya mencapai mimpi untuk menjadi seorang ksatria naga, wajahnya cerah dan ceria. Sebagai anak ketiga dari keluarga bangsawan yang kehilangan kehormatan, ia berharap untuk membuktikan dirinya dengan mencapai kemenangan dalam perang ini. Di sebelah kanannya ada sepasang saudara kembar berusia 16 tahun . Orang-orang yang hadir di sini merupakan teman - yang telah minum-minum sepanjang malam sampai fajar. Mereka yang berada di antara ksatria naga sangat hangat dan ramah, meskipun mereka semua bangsawan. Filosofi mereka adalah, "Ketika kita semua terbang melalui langit, apa perbedaan yang ada antara bangsawan dan rakyat jelata?" Berarti bahwa mereka semua memandang Saito sebagai sesama teman.

Deru meriam kapal yang tak terhitung dan saling menembak terdengar di kejauhan. Tampaknya armada gabungan Tristain -Germania dan dari Albion mulai menembak dari sisi lebar mereka. Bentrokan epik antara ratusan kapal dan perahu telah dimulai.

Bau mesiu dapat tercium hingga kokpit pesawat. Saat menatap gumpalan asap dan api raksasa, Saito terpesona oleh pemandangan itu, tapi ... Saito membuang muka. Dalam semua dan setiap ledakan, tersisa puluhan atau lusinan serpihan tubuh pelaut yang hangus karena terkena ledakan hingga berkeping-keping. Pemikiran seperti membuat punggungnya dingin.

Sebelum ia bahkan bisa bersimpati dengan kematian mereka, sebuah perasaan lega muncul, lega bahwa betapa ia bersyukur ia tidak harus berada di sana. Dalam sekejap, Saito, untuk mencegah pemikiran memalukan tersebut hinggap di pikirannya, mulai berkonsentrasi ke depan. Tanpa sesuatu untuk melindungi dirinya, ia tidak akan berpikir seperti itu.

Di tengah kanopi langit biru dan awan putih, Saito menerbangkan Zero Fighter menuju Albion, di bawah perlindungan para ksatria naga. Dalam satu gerakan cepat, armada tempur Tristain-Germania membuka barisan dan, membentuk formasi garis, mengelilingi formasi tiga garis armada Albion yang mendekat. Ketika armada Albion mencoba menembus blokade itu, armada gabungan segera memperkuatnya sehingga mencegah terjadinya terobosan.


Jika berhasil, mungkin ini bisa selesai dalam satu kali pukulan ... Tapi, jaraknya terlalu dekat. Dengan dua armada yang begitu dekat satu sama lain, pertempuran dengan cepat menjadi chaos penuh perang jarak dekat antara kapal-ke-kapal. Di dek atas salah satu kapal tersebut, yaitu Redoubtable, duduk sosok gemetar Malicorne. Yang berpegangan di sebelahnya adalah Styx yang mirip gemetarnya.

Gigi mereka tidak bisa berhenti bergetar. Bahkan ketika mereka mencoba untuk berdiri, mereka menemukan bahwa kaki mereka tidak mampu mengerahkan sedikit pun kekuatan untuk membuat mereka berdiri. Dengan gumpalan asap tebal dari bubuk mesiu dan kilatan petir dari meriam musuh yang menembak, mereka tak bisa melihat sama sekali sekeliling mereka. Lambung kapal mereka menabrak haluan kapal musuh, menghasilkan suara tabrakan nan menggelegar, diikuti dengan suara retak yang sama kerasnya . Diseret tiba-tiba kedalam medan perang semacam ini, dunia Malicorne itu telah dibalikkan dalam sekejap, ia tidak dapat memahami sama sekali apa yang terjadi di sekelilingnya. Mereka, yang telah ditarik ke dalam kekacauan di sekitar mereka, tak lagi peduli tentang urusan dengan Bowood.

Mereka tidak lagi memiliki kehendak yang tersisa untuk melakukannya.Yang mereka bisa pahami adalah bahwa kapal mereka dan musuh telah berbenturan, menandai awal dari perang jarak dekat nan kejam yang sama sekali berbeda antara ksatria, di mana kau entah dibunuh atau membunuh.

Bila mengintip melalui debu dan asap yang mereda, dapat terlihat sekilas kapal musuh ... pada saat itulah bahwa mereka mendengar perintah untuk menembakk dari geladak atas dan bawah mereka.Sebuah raungan menggelegar menggema dari tembakan meriam yang mengikuti.

Lubang yang tak terhitung menembus kapal musuh, membuat baik kayu dan pria berkeping-berkeping. Musuh melakukan hal yang sama, membalas dengan tembakan meriam yang hanya melenggang melewati mereka. Papan lantai di sekitar mereka meledak berkeping-keping, mengirimkan serpihannya terbang ke udara. Tali-temali menari-nari di udara begitu mereka putus, dan minyak yang tumpah mengalir ke bawah dek.

Seseorang berteriak untuk segera melepaskan pasir. Chaos. Teriakan. Asap. Darah. Bau mesiu ... Suara bola meriam dari logam yang menabrak lambung kapal perang.

Pertukaran tak berujung tembakan meriam yang berulang-ulang... dan asap ... asap yang begitu tebal sehingga kau bahkan tidak bisa melihat apa yang ada di depan. Ini adalah medan perang yang disaksikan Malicorne. Tidak dapat menanggung horor ini lebih lama lagi, Styx berlari menuju pintu dek. Mungkin itu untuk melarikan diri ke tempat yang relatif aman di dek bawah.

Namun, seorang petugas sudah berdiri di sana, dengan tongkat di tangannya, siap untuk mencegah tentara manapun meninggalkan tempat mereka. Styx hanya bisa menyelinap kembali, meringkuk di lantai dengan kepala tersembunyi di lengannya. Petugas dek menuju mereka dan berteriak:

"Kalian berdua! Apa yang kalian lakukan! Bangunlah! Aku berkata, bangun! Tunjukkan keberanian Kalian padaku! Bukankah kalian seharusnya menjadi ningrat? Berdiri dan lakukan pekerjaan Kalian! Jika Kalian tidak punya, lantunkan mantra! Ada musuh di mengerumuni kalian! Tidak peduli ke mana kalian menembak, Kalian pasti akan mengenai musuh! "

Malicorne menggigit erat bibirnya, dan menempatkan tangannya di lantai dek, memaksa tubuhnya terangkat menggunakan keempat lengan. Tepat ketika ia akhirnya berdiri, ada kaki yang menendang bokongnya. Bukankah aku sudah berdiri! I-itu dilakukan dengan susah payah! gerutu Malicorne.

Tapi, sebelum dia bisa menderita penghinaan lebih lanjut dari tindakan itu, ia diteriaki lagi oleh petugas dek, "Kau! Kepala-babi gemuk! Ya, saya sedang berbicara denganmu! Bangunlah dan lawan! Saya tidak ingin Kadet perwira penakut yang takut kematian yang takkan melawan! " Malicorne menyusun wajahnya.

Bukankah karena aku tidak mau disebut babi yang takut mati aku mengajukan diri untuk tentara? Jika aku terus seperti ini, aku hanya akan menjadi pengecut! "Kau! Babi! Mengapa kau masih diam saja?! " Petugas yang berteriak, setelah menyelesaikan kata-katanya, segera tertusuk panah sihir.

Dibalik asap ada musuh. Musuh begitu dekat, sehingga wajahnya dapat terlihat jelas. Di papan geladak kapal musuh ada seorang pria muda dengan bangun tubuh gemuk yang sama, tongkat sihirnya menunjuk ke arah mereka. Bahkan usianya praktis sama. Lawan juga tidak bisa berhenti gemetaran seperti dia.

Pucat di wajahnya, gemetar seluruh tubuhnya. Terbaring di samping Malicorne adalah tubuh petugas dek yangmeregang, dadanya tertembus anak panah sihir, tubuhnya berputar akibat kejang yang datang sebelum kematian akhirnya menjemputnya. Terisak tak terkendali, Malicorne berteriak. Apakah dia benar-benar berteriak, atau apakah mulutnya hanya menganga terbuka, tidak mungkin untuk diketahui dengan pasti karena deretan tembakan meriam yang tak berujung.

Mengangkat tongkatnya ke arah awan gelap di atas kapal musuh, Malicorne mulai melantun. Tepat ketika awan tersingkap untuk menyembulkan benua Albion, Saito dkk terlihat oleh gagak pengintai. Menggunakan familiar gagak yang mampu terbang yang digunakan sebagai peringatan dini, penyusup manapun bisa segera dilaporkan ke garnisun ksatria naga melalui pemilik familiar itu.

Dalam situasi seperti ini, pandangan familiar akan menjadi pandangan pemiliknya setelah berkonsentrasi. Satu skuadron ksatria naga lepas landas dari pangkalan mereka untuk menyiapkan diri mengejar Saito dkk.

Dengan ancaman bahaya yang terus meningkat, Saito dkk meningkatkan kecepatan mereka. Naga angin dari ksatria naga yang terbang di depan mengguncang ekor mereka dengan keras. Para ksatria di atas mereka menunjuk ke depan dengan jari telunjuk mereka.

Sepuluh ksatria naga telah melihat Saito dkk, dan langsung menuju ke arah mereka. Mereka akan bertabrakan langsung jika tidak melakukan apapun. "Sialan! Apa yang harus kita lakukan? "

Duduk di kursi pilot Zero Fighter, Saito berteriak. Jika lawan berhasil turun mendekati mereka dari atas, mereka akan menjadi rentan terhadap serangan. Namun, kesatria naga yang memimpin rombongan tak merubah arah. Terlepas dari apakah mereka diserang atau tidak, mereka telah memutuskan untuk terus lurus ke depan.

"Bukankah kita hanya mengundang diri untuk diserang bila seperti ini?" Saito dengan panik menyiapkan senapan mesin pesawat tempur itu ... sebelum mengingat ia kehabisan amunisi. "Itu benar, kupikir kita sudah kehabisan peluru..."

Dalam senapan mesin pesawat, masih ada sekitar dua ratus peluru. Namun, dengan begitu sedikit peluru tersisa, ia sama saja dengan tidak ada. Saito tiba-tiba ingat apa yang dikatakan Colbert. "Louise! Senjata baru Colbert! Bukankah ada sebuah manual instruksi? " Tapi Louise, yang berada dalam trans-nya, tak mendengar satu kata pun dari Saito. Saito meraih kaki Louise dan mengguncangnya dengan panik.

"Hei! Louise! Louise! Sekarang bukan waktunya fokus! Sebelum kau bisa melantunkan Voidmu, kita akan ditembak jatuh oleh musuh! " "Hah? A-apa?! A-Apa yang kau lakukan? " "Aku tidak peduli apa katamu, cukup serahkan manual sialan itu padaku! Ia di bawah kursi! "

Louise dengan panik mencari di bawah kursi, dan menemukan manual Colbert yang ditulis pada kulit kambing. "Ketemu!" "Bacalah!" "Um, ini .... 'Rahasia Ular Api. " menjijikkan sekali. Apa Tidak ada judul yang lebih baik untuk dipilih?

"Um - Yth Saito, saat kau membaca ini, Aku berasumsi kau sudah kehabisan akal. Itu tidak akan terjadi bagaimanapun juga, jadi pastikan kau membaca ini dengan benar. " "Jangan repot-repot membaca kata pengantar!"

Para ksatria naga dari Albion semakin dekat dan dekat. Cepat. Musuh juga mengendarai naga angin! Sialan! "Um - Kau harus terlebih dahulu menenangkan diri, kemudian tarik tuas di sebelah tongkat yang mengontrol kecepatan 'mesin yang bergerak'." "Yang ini?"

Saito memandang di samping throttle pengendali kecepatan, ada tuas yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. "Mari kita tarik!" Begitu ksatria musuh yang mendekat berada di radar tembak, Saito menarik tuas. Kotak tersembunyi di bawah radar tembak terbuka, dan dari sana muncul kepala ular mainan. Saito menonton mulutnya membuka dan menutup, hanya untuk perkataan: "Ayo Saito! Ayo Saito! Ayo Nona Vallière! " "Apaan sih ini?" Ular mainan mengeluarkan suara berkat sihir. Tampaknya hanya itu yang bisa dilakukannya. Adapun serangan musuh - Karena mereka naga angin, mereka tidak menyemburkan api apapun. Namun, panah sihir terbang menuju dan mengenai Zero Fighter, mengguncang pesawat. Sebuah lubang sebesar kepalan tangan telah menembus sayap. Untungnya, satu lubang semacam itu tidak akan banyak mempengaruhi, setidaknya untuk sementara. Louise terus membaca manual instruksi. "Kau sudah menarik tuas kanan? Yup, SI Ular Kecil nan Gembira akan menyemangatimu! Ayo! Tidak peduli apa hambatannya, Kau harus tekun! Tak peduli apapun, aku akan selalu melindungimu! " "Itu SI botak sialan!"

Kutuk Saito, sambil menatap tak percaya pada “SI Ular Kecil nan Gembira”. dia teringat melihatnya di kelas, apa yang muncul dari radar target. Louise yang berpikir bahwa kata-kata kasar ditujukan pada dirinya sendiri, tidak bisa menahan dirinya untuk berteriak: "Siapa yang kau panggil botak sialan! Bukankah kau yang memintaku membacanya? " Para ksatria naga musuh naik ke udara lagi. Untuk maju terus dengan kedua belah pihak memiliki pengendara naga yang terbang cepat, berarti bahwa mereka saling melewati satu sama lain dalam sekejap mata, meninggalkan kesempatan menyerang yang sangat sedikit. Oleh karena itu, musuh memutuskan untuk memulai serangan mereka dari belakang. Sementara itu, di pihak mereka ... tujuan mereka adalah untuk menuju tujuan dengan segala resikonya, demi melantunkan mantra Void, dan dengan demikian hanya bisa terus terbang ke depan.

Jika mereka untuk bertarung dengan ksatria naga musuh di sini, bala bantuan akan dengan cepat dikirim, dan harapan seluruh pasukan akan hilang. Menukik untuk meningkatkan kecepatan, ksatria naga musuh perlahan-lahan menyusul di belakang mereka. "Louise! Apa tak ada yang lain?! " Louise terus membaca manua tersebutl. "Um ... DIsini kemudian mengatakan sesuatu tentang senjata rahasia untuk digunakan saat dikejar oleh musuh." "Itu! Itu dia! "

"Tarik lidah yang menjulur keluar dari Ular Kecil yang Gembira. Ingat, perhatikan baik-baik! Jika ada teman di sekitarmu, pastikan mereka tetap dekat denganmu. " "Kenapa?" "Memangnya aku tahu jawabannya?" Saito menarik sebuah papan tulis dari bawah tempat duduknya, lalu sebatang kapur. Sungguh menakjubkan bahwa hal-hal seperti itu berada di sebuah Zero Fighter. Sepertinya pilot sebelumnya menggunakan ini untuk berkomunikasi. Saito menyerahkannya pada Louise.

Louise menulis kata-kata, "Mendekatlah," di atasnya, dan, mengangkatnya keluar dari kokpit, melambaikannya beberapa kali. Para ksatria naga menganggukkan kepala dan mendekati Zero Fighter; membentuk gerombolan, mereka terus terbang ke depan. Daripada terus ditembak, lebih baik mencoba. Saito menutup matanya dan berdoa: "Tolong jangan biarkan ini jadi sesuatu seperti Si Ular Kecil yang Gembira lagi ..." Saito berbalik dan, melihat musuh mendekati skuad ksatria naga, menarik lidah Si Ular Kecil yang Gembira itu.

Tidak ada yang terjadi. Sialan! Lain kali ku bertemu Colbert, aku akan menggebuk dan menghajarnya! Aku tidak peduli kau seorang guru atau bukan, aku akan khawatir tentang itu setelahnya! Tentu saja ini hanya jika saya bertahan dan kembali, tapi aku masih akan menghajarmu! pikir Saito, mengepalkan tinjunya saking marahnya. Saat itu - Berbagai benda terbang keluar dari sayap Zero Fighter. Mereka adalah benda berbentuk lingkaran yang dilihatnya melayang dari kotak logam ketika mereka pergi. Suara benda yang menyala, bertumpang tindih dengan penjelasan Louise:

"Aku benar-benar berpikir bahwa bakatku hampir terlalu menakutkan! Sebuah roket logam bertenaga bubuk yang mudah terbakar dan dilengkapi dengan artefak sihir yang dimantrai Sihir Pendeteksi! Kau dapat menyebut mereka... Ular-ular Terbang Kecil! Karena ini menggunakan reaksinya terhadap sihir untuk mendekati musuh, jika ada teman di sekitarmu, pastikan mereka berkumpul di dekatmu! Untuk mencegah melukai sekutumu sendiri, ini tidak bereaksi terhadap apapun dalam radius dua puluh meter! " Memancarkan suara berderak nan jelas, sekitar sepuluh roket atau lebih meluncur ke belakang, menuju para ksatria naga yang mengejar. Beberapa roket raksasa, bertenaga-bubuk bertabrakan dengan ksatria naga Albion, dan meledak dengan beberapa “duar”.

Ketika kepulan asap menghilang, hanya tersisa setengah pengejar. Naga angin ksatria naga yang tersisa telah kehilangan kemauan untuk melawan, dan menghentikan pengejaran mereka. "Ya!" Saito dan Louise bersorak sambil berpelukan satu sama lain.

Begitu ksatria naga yang mengumpul mulai menyebar, pemandangan di depan mereka lagi-lagi tak menyenangkan. Saito berbalik dan memandang ke depan - Senyum di wajahnya memudar dalam sekejap. Setelah melihatnya, senyum Louise juga hilang. "Apa yang terjadi?"

Louise perlahan-lahan memutar kepala ke arah yang Saito hadapi. Nampak di depan mereka sekawanan pengendara naga, jumlahnya melebihi seratus. Ksatria naga Albion tak tertandingi. Bukan hanya keterampilan alami mereka, bahkan jumlah mereka tak mungkin tertandingi. Para ksatria naga di sekitar mereka mempercepat kecepatan mereka. Meski demikian, mereka hanya bisa maju ke depan.

Tampaknya mereka telah pasrah. Tapi ... musuh yang tak terhitung jumlahnya ada di depan mata. Panah sihir yang tak terhitung dari ksatria naga musuh mulai terbang menuju mereka, semua diarahkan pada Zero milik Saito. Untuk menahan serangan dari proyektil yang sebegitu banyaknya ... dia tidak bisa mengelak meski ia mencoba.

Saat hampir akan kena! Tiba-tiba, Saito menyaksikan sesuatu yang sangat mengejutkan dirinya - Seorang kesatria naga tiba-tiba melompat ke depan Zero, dan dengan menggunakan diri dan naga anginnya, dia blokir panah sihir yang mendekat. Setelah kena anak panah sihir, naga beserta penunggangnya jatuh dari langit. "A-apa yang terjadi?!" Yang pertama menyadari apa yang terjadi di depan mereka adalah Derflinger. "Sepertinya mereka menggunakan diri mereka sebagai perisai." "Perisai?"

"Yup. Selama kalian dapat mencapai Dartanes, misi sukses. Mungkin mereka menerima perintah untuk mengorbankan diri mereka jika diperlukan. " Gerombolan ksatria naga yang tak terhitung terus mendekat. Selanjutnya, sebuah bola api besar datang. Sekali lagi, seorang ksatria naga muncul dan menahan serangan itu, sebelum segera jatuh ke bawah. "Hei! Hei! Berhentilah melakukan hal itu "seru Saito.

Derflinger bergerak mendekati Louise:

"Hei, Nona, kalau saya beri sinyal, tarik tuas di bawah sana, di bawah kursi. Itulah senjata terakhir yang dipasang paman itu. " Derflinger nan legendaris bisa dikatakan tak tertandingi dalam pengetahuan di bidang persenjataan. Louise mengangguk sambil gemetaran. "Pikiran rekanku sedang dalam sedikit kekacauan pada saat ini, sehingga tampaknya kau yang harus melakukannya. Mengerti? "

Saat itu, skuad Saito dan gerombolan ksatria naga saling lewat satu sama lain. Musuh naga ksatria sama persis seperti yang sebelumnya, segera bangkit dan mengejar dari belakang. Delapan naga ksatria yang tersisa mulai memisahkan dari Zero Saito. "Hei! Hei! Apa kalian rencanakan? " Yang mengendarai di ujung rombongan tersenyum pada Saito dan melambaikan tangannya. Seperti bagaimana orang yang melambaikan tangan mereka setelah kelas berakhir di sekolah, itu benar-benar cara yang terlalu sederhana untuk mengucapkan selamat tinggal.

Dia selalu ramah pada Saito; kapten Ksatria Naga skuad 2. Seorang anak lelaki yang sedikit gemuk berambut pirang, yang pernah memenangkan taruhan, apakah "Zero adalah naga atau tidak". Seperti Saito, dia berumur tujuh belas tahun, memiliki kekasih yang menunggunya kembali di desanya ... orang tua yang menunggu kepulangannya ... dia telah mengatakan kepadanya bahwa menjadi seorang ksatria naga adalah mimpinya.

Saito tiba-tiba teringat, ia bahkan belum menanyakan namanya. Kedelapan ksatria naga berbalik bersama-sama. Mengikuti jejak si pirang tujuh belas tahun berambut pirang tersebut, ksatria yang baru saja kemarin menjadi teman menyerbu maju bersama-sama menuju kumpulan ksatria naga yang mengejar. Untuk memungkinkan Saito dan Louise melarikan diri -

Itu semua untuk tujuan ini dan tak lebih dari itu. "Kembalilah! Ayo Kembalilah" Saito dengan panik berteriak sekeras-kerasnya. "Sekarang!" Perintah Derflinger keras. Mendengar perintah itu, Louise segera menarik tuas di bawah kursi. Swoosh. Suara berbagai benda yang memisahkan diri terdengar dari belakang. Dari bawah sayap ekor, muncul sebuah benda tersembunyi.

Itu adalah tong logam yang jauh lebih besar dari roket-roket sebelumnya. Roket, yang diciptakan oleh penyihir-api Colbert, meninggalkan pesawat itu dan menyala. Phooooom! Yang dapat dilihat hanyalah asap biru pucat, sebelum Zero dengan cepat menambah kecepatan, seolah-olah habis ditendang sesuatu. Pada saat yang sama, para kesatria naga dengan cepat ditelan skuadron besar musuh ... dan dengan cepat menghilang dari pandangan.

Louise panik saat menyadari bahwa Saito berencana berbalik dan kembali. Derflinger juga menduga rencana Saito, dan memperingatkan dengan keras: "Rekan! Jangan tarik tuas itu! Jika kita berbalik pada kecepatan ini, Benda ini yang akan tercabik-cabik! " Peringatan yang mendadak membuat Saito bersandar dengan tegang, kembali ke tempat duduknya, sambil berteriak,

"Kami baru saja bertemu kemarin! Mereka bunuh diri demi kita! Meskipun mereka hanya bertemu kami kemarin! Bukankah ini sangat kacau untukmu?! "

"AKu juga tahu itu! Tapi! Tapi! Misi kami adalah untuk menggunakan mantra Void di Dartanes! Mereka dikirim untuk melindungi kita demi memastikan bahwa kita mencapai tujuan dengan aman! Jika kita kembali sekarang, dan menyebabkan rencana untuk gagal sebagai hasilnya ... bukankah itu membuat pengorbanan mereka sia-sia?! " Saito mengucek mata, lalu menghadap ke depan, sambil bergumam, "Aku ... Aku bahkan tidak tahu nama mereka!"

Diselamatkan seseorang yang bahkan kau tak tahu namanya, atau dibunuh seseorang yang kau tak tahu namanya, Apakah itu wujud perang yang sebenarnya? "Jangan permainkan aku! Bagaimana bisa saya menerima hal seperti itu! Sialan! Sialan! Sialan! Sialan! "

Saito menangis. Berteriak dan menjerit seperti ini tiada artinya, dia tahu itu, tapi ia tidak tahan untuk tak berteriak. Zero Fighter, yang terbang dengan tanda mendekati dengan 450 km per jam dari pembaca kecepatan, terus terbang maju. Meski berada di pesawat yang bergetar keras, gemetar seluruh badan Saito adalah karena alasan lain.

Setelah melepaskan diri dari musuh, mereka terbang tanpa tahu waktu. Setelah waktu yang tampaknya akan abadi, sebuah pelabuhan muncul di batas cakrawala di pelupuk mata mereka. Di hamparan gunung yang membuka, di mana banyak menara baja berdiri yang digunakan untuk jangkar kapal yang mengambang di langit ... beberapa benda yang menyerupai sebuah teluk bersandar dapat terlihat. "Itu pelabuhan Dartanes ..."

"Naiklah." Louise berbisik pelan ke telinga Saito. Saito menerbangkan Zero Fighter menuju ke atas. Akibat dorongan kecepatan yanjg tiba-tiba, Zero Fighter perlahan kehilangan kecepatan.

Setelah mereka mencapai ketinggian yang sesuai, Louise berdiri dan membuka kokpit. Hembusan angin terbang masuk Louise duduk di atas bahu Saito dan mulai melantunkan mantra. Buku Doa Sang Pendiri yang ia pegang di tangannya mulai bersinar. Hal yang paling mendasar dari sihir.

"Illusi" - Seseorang harus membayangkan dengan konsentrasi penuh dalam pikiran mereka mengenai bentuk mereka ingin wujudkan. Dengan cara ini, sang pelantun bisa meniru bahkan langit itu sendiri. Lantunan yang Louise gunakan adalah mantra Void yang bisa menimbulkan ilusi. Zero Fighter mengitari langit di atas Dartanes perlahan-lahan. Awan yang tak terbatas tampak terseka dari langit, sebentuk ilusi terbentuk menggantikannya.

Itu adalah armada besar kapal perang ... armada yang seharusnya berada ratusan mil jauhnya; Sebuah cerminan dari armada invasi Tristain. Mendapati armada besar semacam itu tiba-tiba muncul di langit di atas Dartanes memiliki dampak yang besar; pemandangan mengagetkan semua orang yang melihatnya.

"Apa! Dartanes? "Seru Jenderal Hawkings setelah menerima laporan penting dari Dartanes. Dia tengah mengarahkan tiga puluh ribu tentara Albionnan kuat ke arah Rosais. Menurut prediksinya, titik pendaratan tentara Tristain adalah di sana. Namun, tempat di mana musuh tiba-tiba muncul adalah di sebelah utara dari ibukota Londinium - Dartanes. "Putar balik para tentara!"

Akan memakan waktu sebelum pesan tersebar ke seluruh pasukan. AKu berharap kita bisa mulai cepat-cepat bergerak ... pikir Hawkings begitu dia berpaling untuk melihat ke arah langit. Langit merupakan kanopi biru murni, tanpa ada awan sedikitpun, jauh dari perang nan kacau yang berkecamuk di tanah di bawahnya. Dia mendapat firasat bahwa perang ini akan menjadi salah satu yang penuh kemelut ... Bab Delapan: Penebusan Dosa Api

Dini hari, pukul empat. Matahari belum terbit, langit masih gelap. Di langit di atas Akademi Sihir sebuah fregat perang nan kecil tiba. Menvil berdiri di geladak sambil menatap langit di depan. Wardes, dengan langkah yang tak terdengar, mendekati Menvil dari belakang. Alun-alun angin menunjukkan dengan sendirinya bahwa itu adalah langit yang sama. Wardes mendekat untuk menguji Menvil.

Dapatkah orang ini berhasil memimpin rencana sulit semacam ini? Dia ragu. Namun, keraguan Wardes tampaknya tidak berdasar. Tanpa mengalihkan pandangannya, Menvil memanggil Wardes dari kejauhan, "Jadi ujiannya apa sekarang, Viscount?" Wardes terkejut. Menvil bahkan tidak berbalik. Bahkan jika pun dia berbalik - sekarang terlalu gelap. Seseorang bahkan tidak bisa melihat bayangan yang mendekat.

Namun ... apa kemampuan apa yang dia gunakan untuk menyadari pendekatan Wardes dari jarak yang begitu jauh? "Sekarang kita hampir sampai." Menvil bergumam tanpa menoleh. Wardes, sambil merasa kagum, dengan hati-hati mendekati Menvil. "Kita beruntung. Ya ampun...., sebagai yang menyerang, kita harus membuat mereka tak tahu dari sisi mana mereka akan diserang. " Mereka berhasil menghindari familiar penyihir yang berjaga-jaga di angkasa ... adalah keberuntungan bahwa mereka berhasil sampai sejauh ini tanpa disadari. "Untuk mengungkapkan rasa terima kasih kami, ketika Anda kembali ke Albion, Mohon persilahkan saya untuk mentraktir anda sesuatu, Viscount."

"Jangan berpikir macam-macam, pikirkan bertahan hidup dulu," kata Wardes. Menvil tiba-tiba menarik keluar tongkat dan mengarahkannya ke tengkuk Wardes. "Jaga mulutmu, anak muda. Atau Kau ingin berubah menjadi abu di sini sekarang juga? " Wardes menatap Menvil tanpa ekspresi. "Saya bercanda, Viscount. Jangan menatap seperti itu. " Sambil tertawa, Menvil melompat dari dek ke udara.

Satu demi satu, seluruh anggota lainnya, yang terbungkus dalam kain hitam, mengikuti Menvil. Banyak orang yang menghilang dari dek dengan kegesitan yang mengejutkan. Fouquet, yang naik ke atas sana, bergumam dengan nada tak senang. "Pria menjijikkan. Dan menakutkan. " "Tapi dia memiliki kemampuan yang dibutuhkan. Tak bisa berharap lebih. " "Apakah dia lebih jago dari Anda?" Fouquet tertawa, menanyakan Wardes sebuah pertanyaan nakal. "Mungkin."

Korps Musketeers menugaskan 2 anggota musketeer ke menara artileri untuk mengawasi meriam. Itu adalah jumlah terbesar pasukan militer yang dapat diizinkan tentara untuk bertugas sebagai penjaga. Sesuatu bergerak di bawah sinar bulan. Anggota yang lebih tua dari keduanya, berjongkok dalam keheningan, dan membuka selubung serbuk mesiu dan peluru dari kantong kertas kecil.

Musketeer lainnya, mengikuti gerakan pasangannya, juga mengisi senapannya dengan mesiu. Dan ketika dia melihat baik-baik ... dia melihat sesuatu yang bergerak dalam kegelapan. Tapi sebelum ia bisa membuka mulutnya, tenggorokan kedua penjaga itu dipotong oleh sihir angin. Dua mayat ditangkap sebelum menyentuh tanah. Tanpa suara, Menvil meletakkan para musketeer di tanah. "Wanita. Masih muda. Menyedihkan. "Salah satu pembunuh memberitahu Menvil sambil tersenyum. "Tidak ada tempat untuk kesopanan masa lalu, pria maupun wanita harus diperlakukan sama." Kata Menvil sambil tersenyum menyeringai.

"Sama ketika kematian tiba." "Hanya Anak-anak bangsawan saja 'yang tidak boleh dibunuh. Mereka harus diambil sebagai sandera. " "Selain mereka, apakah saya dapat membunuh yang lain?" Menvil, sambil mengutak-atik tongkatnya, bergumam dengan suara bahagia.

Salah satu anggota mengeluarkan peta. Itu adalah peta sekolah yang digambar Fouquet. Peta itu ditutupi kain khusus yang tidak membocorkan cahaya, tapi sedikit menerangi peta itu sendiri. Sambil memandangi mayat para penjaga, seorang anggota bergumam. "Pengawal hanya berbekal pistol."

"Berapa banyak penyihir yang ada? Tak termasuk para musketeer. " Anggota yang sedang mempelajari peta memberitahu Menvil. "Komandan, ada tiga target. Menara ini, menara asrama dan menara di sisi dekat.." Menvil menurunkan perintah dengan cepat. "Aku akan mengambil menara asrama. Jean, Ludwig, Germain, Atta - kalian berempat bersama dengan Giovanni mengambil menara ini. Celestin dan sisanya mengambil yang terakhir. " Para penyihir mengangguk.

Tabitha terbangun. Ada suara-suara aneh dari halaman. Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia memutuskan untuk membangunkan Kirche. Dia keluar dari kamarnya dan menuju ke lantai bawah dimana kamar Kirche berada. Setelah mengetuk pintu, Kirche, yang hanya mengenakan baju tidur tipis pada kulitnya yang telanjang dan masih menggosok matanya, muncul.

"Kau tahu ... ini terlalu dini ... bahkan matahari belum mulai terbit." "Bunyi aneh," hanya itu saja katanya. Kirche menutup matanya. "Uwaaa." Kirche merasakan salamandernya, Flame, menyeruduk jendela. "Kau juga?"

Begitu Kirche membuka matanya lagi, kantuknya hilang. Kirche buru-buru mengenakan pakaian. Begitu dia mengambil tongkatnya, suara pintu yang didobrak bergema. Kirche dan Tabitha saling memandang. "Mundur," gumam Tabitha. "Setuju."

Kalau tidak tahu jumlah atau lokasi musuh, kau harus mundur untuk memeulihkan diri. Ini adalah dasar-dasar perang. Kirche dan Tabitha melompat dari jendela dan menyembunyikan diri di semak-semak dan dari sana melihat apa yang terjadi di sekitar. Hari mulai terang - matahari mulai terbit.

Saat itu, Agnes terbangun di kamarnya dan menyambar pedang yang berada di samping tempat tidur. Sambil menariknya keluar dari sarungnya, dia menunggu di pintu. Ini lantai dua menara artileri. Ruangan itu selalu digunakan sebagai gudang dan hanya baru-baru ini diubah menjadi kamar tidur.

Secara keseluruhan, dua belas anggota korps Musketeer tinggal di sini. Mereka semua tinggal di ruangan sebelah. Agnes melihat cermin yang diletakkan di tengah ruangan. Ia adalah "Cermin Pendusta". Yang jelek menjadi indah, indah menjadi jelek - semuanya dibalikkan oleh cermin. Agnes berusaha untuk tidak melihat cermin ketika mengatur perangkap.

Empat orang yang dipimpin oleh Celestin si penyihir-pembunuh bayaran menaiki tangga spiral ke lantai dua menara artileri. Mereka berbaris di kedua pintu.

Dua orang diposisikan pada setiap pintu sementara satu lagi menunggu di lorong. Pintu ditendang terbuka. Di tengah ruangan seorang penyihir tampan mengatur tongkatnya. Terjaga, para penyihir mulai melantunkan mantra mereka. "Bam ..." Namun, mereka juga terkena sihir. Dengan jantung tertusuk oleh tombak es, Celestin jatuh ke lantai.

Agnes yang menyembunyikan dirinya di balik pintu, melihat keberhasilan rencananya. Celestin mengira bayangannya sendiri di Cermin pembohong, yang ditempatkan di sini oleh Agnes, adalah musuh dan melepas sebuah mantra yang terpantul dari cermin dan menusuk jantungnya. Agnes berterima kasih kepada Celestin yang cukup bodoh untuk menembak dirinya sendiri dengan mantranya yang terpantul dari cermin.

Seorang Pembunuh bayaran lainnya, buru-buru masuk ruangan. Tapi tenggorokannya dipotong dalam-dalam dari samping dengan pedang Agnes, dan dia jatuh. Kemudian musketeer lainnya melompat masuk ruangan.

"Komandan Agnes! Kau baik-baik saja? " Dia mengangguk menjawab pertanyaan mereka. "Aku baik-baik saja." "Dua orang menyelinap ke kamar kami. Namun, kami menghabisi mereka ... "

Dua orang di kamar ini. Dua orang di sebelah. total Empat orang... Ternyata pencuri ini merayap masuk menara artileri untuk membunuh mereka ... "Anjing Albion."

Gumam Agnes, yang dengan cepat memahami dari mana mereka berasal. Skuad ini hanya terdiri dari penyihir. Mustahil untuk salah menerka mereka sebagai pencuri biasa. Mereka pasti adalah pembunuh bayaran yang disewa Albion ...

Agnes lalu mengkhawatirkan situasi di luar.

Saat ini, Hanya siswi yang tersisa di akademi. "Dalam dua menit saya ingin kalian sepenuhnya siap tempur dan mengikuti saya," perintah Agnes pada bawahannya.

Menvil mengambil alih asrama perempuan tanpa kesulitan. Para bangsawan putri begitu takut oleh penyerbuannya sehingga mereka tidak memberikan perlawanan yang nyata. Dia mengambil seluruh tongkat siswi dan mengumpulkan mereka, yang masih mengenakan baju tidur mereka, di ruang makan di mana dia menahan mereka. Ada sekitar sembilan puluh orang. Selama dia melakukan itu, rekannya dari menara lainnya bergabung.

Melihat kepala sekolah akademi Osman tua diantara salah satu tawanannya membuat senyum tersungging di wajah Menvil. Kini, Menvil mengumpulkan semua tawanan di ruang makan dan mengikat tangan mereka di belakang punggung. Berkat mantra sihir yang dibacakan seseorang, tali bergerak dan mengitari pergelangan tangan mereka dengan sendirinya.

Semua guru dan siswa adalah perempuan dan mereka gemetaran. Menvil bergumam manis kepada semuanya, "Ada apa ini?, tenang, jika tiada dari kalian yang mencoba untuk menonjolkan diri atau ribut dan jika kalian melakukan apa yang disuruh, tidak ada yang akan terluka." Seseorang mulai menangis. "Diam!" Namun, siswi tersebut tidak berhenti menangis. Menvil mendekat dan menghunus tongkat ke arahnya. "Apakah Kau suka abu?"

Kata-kata itu bukan ancaman langsung, tetapi dapat segeraha dipahami. Siswi itu berhenti menangis. Osman membuka mulutnya. "Hei kau." "Apa?" "Jangan gunakan kekerasan terhadap perempuan. Albion menginginkan kita sebagai sandera, bukan? Untuk digunakansebagai kartu tambahan dalam negosiasi, bukan? " "Bagaimana Anda tahu?"

"Orang-orang berpengalaman dari jauh menerobos masuk sini - sangat mudah melihat untuk apa kalian datang kemari. Yang pasti bukan untuk kekayaan. Jadi, bersabarlah. " "Hai Orang tua, berapa nilai yang Anda miliki?" Para tentara bayaran itu tertawa keras.

"Seberapa penting satu orang tua untuk negara? Pertimbangkan ini. " Ketika Osman menunduk, para penyusup mulai melihat-lihat Sekitar Ruang Makan Alviss. Semuanya bisa dengan jelas membaca, "Saya tidak ingin berada di sini," pada wajah para penyihir. Fuuun, pikir Osman. Mereka mungkin masih memiliki kesempatan. "Orang tua, apa ini semua anggota akademi?" Osman mengangguk.

"Ya benar. Ini semua dari mereka. " Kemudian para tentara bayaran menyadari bahwa rekan-rekan mereka belum kembali dari menara artileri. Apakah mereka berlama-lama? Tidak, dia menggelengkan kepalanya. Semakin lama waktu yang dibutuhkan, semakin banyak kesempatan bagi musuh untuk mendapatkan bala bantuan. Dan mereka seharusnya menyadari itu. Oleh karena itu, Menvil meradang. Dari luar ruang makan terdengar suara.

"Mereka yang berlindung diri di ruang makan! Dengarkan! Kami adalah Musketeer Ratu! " Menvil dkk saling memandang. Rupanya Celestin gagal. Namun tidak ada tentara bayaran yang berubah air mukanya. Seorang tentara bayaran memelototi Osman. "Hei hei. Bukankah Anda mengatakan "Ini semuanya'?" "Musketeer bukan bagian dari staf," kata Osman dengan tenang. Dengan senyum di bibir, Menvil melangkah ke pintu untuk bernegosiasi dengan musketeer di luar ruang makan.

Agnes menyembunyikan dirinya di balik tangga menara. Dia mengarahkan sekelompok staf yang terdiri dari jelata jauh dari halaman sehingga mereka tidak akan terlalu terlibat dalam insiden ini. Matahari pagi belum terbit. Di pintu ruang makan seorang penyihir malang muncul. Cahaya bulan dari celah di awan menerangi sosoknya.

Agnes menahan jarinya di pelatuk, sambil mengarahkan pistol pada penyihir itu. "Dengar! Pencuri! Kami adalah Musketeer Ratu! Satu batalyon pasukan telah mengurung Anda dan rekan-rekan Anda yang terkutuk! Lepaskan para sandera! " “satu batalyon pasukan" dari Agnes adalah gertak sambal. Pada kenyataannya, hanya ada sekitar sepuluh orang disana.

Dari ruang makan dia dapat mendengar suara-suara tawa nan keras. "Kami tidak peduli sedikitpun pada satu batalyon musketeer!" "Musketeer ini telah menewaskan empat mitra kalian. Jika kalian menyerah baik-baik, kami akan mengampuni nyawa kalian. " "Menyerah? Bukankah waktunya untuk memulai negosiasi sekarang? Nah, panggil Henrietta ke sini. " "Yang Mulia?"

"Benar sekali. Dan sampai saat itu, berjanjilah untuk menarik tentara dari Albion. Klien saya tampaknya membenci kenyataan tentara Anda mengotori tanah negara dengan sepatu mereka. Biasanya tentara tidak akan menahan diri karena sandera. Namun ... karena sembilan puluh anak bangsawan disandera, ini masalah yang berbeda. Penarikan pasukan penyerbu mungkin saja terjadi. Tanggung jawabku. Agnes menggigit bibir bawahnya.

Dia mencoba berkonsentrasi - kesalahan tetaplah kesalahan. Orang-orang di dewan - mereka masih tanggung jawabku. seorang musketeer berbisik ke telinga Agnes. "... Kita bisa mengirim kurir ke Tristania dan meminta bala bantuan." "Tidak ada gunanya. Tak peduli seberapa banyak tentara yang kita miliki, tiada gunanya selama mereka memegang sandera. "

Melihat konsultasi seperti itu, Menvil berteriak. "Hei, ingat. Setiap kali kau memanggil seorang prajurit baru, satu sandera dibunuh. Satu-satunya yang dapat kau undang ke sini adalah Kardinal atau Henrietta. Bersikap baiklah. Apa itu jelas? " Agnes diam saja. Kemudian, Menvil berteriak lagi. "Putuskan dalam lima menit. Panggil Henrietta atau tidak. Jika tidak ada jawaban setelah lima menit, satu sandera akan dibunuh untuk tiap menit yang lewat. "

Musketeer lain mencolek Agnes. "Komandan Agnes ..." Agnes mengeraskan gigitan bibirnya hingga terasa sakit. Saat itu ... Sebuah suara terdengar dari belakang. "Komandan."

Saat berbalik, dia melihat Colbert berdiri dan menatap terkejut pada Ruang Makan Alvíss. "Jangan terlibat," kata Agnes, berusaha menutupi Colbert dengan dirinya. "Kau akan ditangkap." "Laboratorium saya dalam menara. Apa yang terjadi? " Agnes marah pada sikap tak pedulian Colbert. "Apa kau tidak lihat? Siswa-siswa Anda ditangkap oleh antek Albion. " Colbert menoleh melalui atas bahu Agnes dan, setelah ia menyadari penyihir yang berdiri di depan ruang makan, wajahnya berubah pucat. "Cukup sudah. Kembalilah. "

Karena kesal, dia mengusir Colbert. "Psst, Nona Musketeer." Ia dipanggil lagi dari belakang. Kali ini Kirche dan Tabitha, yang berdiri dalam bayang-bayang tersenyum. "Bukankah kalian adalah siswa? Syukurlah kalian semua baik-baik saja. " "Hei, kami memiliki rencana yang bagus ..."

"Rencana?" "Ya. Saat ini Kau tak bisa menolak bantuan. " "Lalu apa rencananya?" Kirche dan Tabitha menjelaskan rencana mereka pada Agnes. Agnes, setelah mendengarkan, tertawa. "Kedengarannya menyenangkan bagiku."

"Bagaimana? Itu rencana yang kami miliki. " Colbert yang mendengar rencana itu menentang. "Terlalu berbahaya. Musuh adalah tentara bayaran. Kalian pasti tak serius berpikir bahwa trik murahan tersebut akan jalan. " "Tidak ada yang mempedulikan pendapatmu,, guru."

Kata Kirche, sambil tidak berusaha menyembunyikan kebenciannya. Agnes sama sekali tak memperhatikan Colbert. "Mereka tak tahu tentang keberadaan kalian. Kuncinya adalah kejutan. " Bisiknya sambil menunjuk pada Kirche, Tabitha dan dirinya sendiri. Menvil duduk di kursi sambil melihat jam saku di atas meja.

  • Tick * jarum jam bergerak.

"Lima menit berlalu." Mendengar itu, para siswa bergidik. Jika tiada kata-kata dari Agnes untuk memanggil Henrietta setelah lima menit, Menvil mengatakan ia akan membunuh salah satu dari mereka "Jangan mendendam padaku," kata Menvil, sambil menarik keluar tongkatnya.

"Bawa aku sebagai gantinya." Gumam Osman, tapi Menvil menggelengkan kepala. "Kau diperlukan sebagai kunci negosiasi. Hei, siapa yang akan terpilih? Kau yang pilih. " Sebuah pertanyaan yang tak terlukiskan kejamnya. Tidak ada yang menjawab saking terkejutnya. "Baiklah.Kalau begitu aku akan memilih. Jangan mendendam. "

Tapi begitu Menvil mengatakan itu ... Sebuah balon kertas kecil terbang masuk ruang makan. Dan begitu semua mata terfokus padanya... Balon kertas meledak dengan ledakan yang sangat keras. Dengannya, fosfor kuning yang menyilaukan terbang keluar dari balon.

Ia diarahkan untuk terbang ke ruang makan oleh angin Tabitha dan dipanasi oleh sihir Api Kirche. Para siswi menjerit. Para penyihir yang melihat secara langsung kini memegang wajah mereka. Kemudian Kirche, Tabitha, dan para musketeer dengan senapan bersiap masuk ruangan. Strategi ini tampaknya berhasil. Tapi...

Peluru api dalam jumlah banyak terbang menuju Kirche. Kirche, yang menurunkan kewaspadaannya karena berpikir sudah berhasil, menembakkan bom apinya sendiri untuk membalas.

Dalam api liar tersebut, mesiu pistol musketeer terdekat meledak. Jari jemari putus diterbangkan, dan si musketeer mulai berguling-guling di tanah sambil memegangi tangannya. Kirche mencoba berdiri tapi tidak menyadari mantra yang ditujukan padanya.

Sebuah bom api meledak di depan perutnya, dan ia menerima kekuatan penuh dari gelombang kejut dalam jarak dekat, menerbangkannya keluar. Berbalut api, ini adalah serangan yang efektif. Butuh waktu bagi api untuk membakar ... tapi ledakan langsung memberikan dampak. Berlawanan dengan membakar yang perlahan. Dia melihat Tabitha yang terkejut mencoba untuk berdiri.

Tapi kemudian gelombang kejut lainnya menghantam kepalanya ... dan ia jatuh ke tanah lagi. Menvil muncul dari asap putih. mantra! Tapi tiada tongkat. Lalu ia melihat ada satu yang tergeletak di tanah. Dia meraihnya, mencoba untuk mengambilnya tetapi Menvil menginjaknya.

Menvil berdiri tegak di hadapan Kirche, melihat ke bawah. "Sayang sekali ... Cahaya bom hanya membutakan mata seseorang ..." Ucap Menvil sambil tersenyum. Saat itulah Kirche menyadarinya.

Bola mata Menvil tidak bergerak sama sekali. "... Mata...mu." Menvil menggerakkan jari-jarinya ke salah satu matanya. Dan mengeluarkannya. Sebiji mata buatan. "Tak hanya kelopak mataku yang terbakar, tapi juga mataku. Aku tidak bisa melihat cahaya. " "B-bagaimana ..."

Tapi Menvil bergerak seolah-olah ia bisa melihat. "Seekor ular menemukan mangsanya dengan suhu." tawa Menvil. "Aku pengguna Api, sehingga aku sangat sensitif terhadap suhu. Jarak, posisi - seseorang dapat mengetahui semua secara rinci dengan mengetahui seberapa panas suhunya. Kau bahkan bisa mengenali orang yang berbeda dengan mengetahui suhu mereka. "

Rambut di kepala Kirche berdiri karena takut. Siapa orang ini ... "Apakah kau takut? Ngeri? " Tawa Menvil. "Ketika perasaan seseorang berubah menjadi kacau, suhunya juga berubah. Perubahan suhu menceritakan banyak hal tentang pikiran seseorang. "

Lubang hidung Menvil membesar setelah menhirup dalam-dalam aroma di udara. "Aku ingin mencium." "Eh?" "Aroma kau yang terbakar, saya ingin menciumnya." Kirche gemetar.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasakan takut yang murni. Rasa takut yang membuat Sang Ratu Api berbisik ”Tidak ...' seperti seorang gadis kecil. Namun, Menvil hanya tersenyum yang mencemaskan dan berkata. "Bagaimana kau ingin terbakar? Ada banyak cara untuk terbakar. Kali ini kau yang akan menjadi yang dibakar. "

Tidak ingin untuk melihat apa yang akan datang, Kirche menutup mata. Menvil menghunus tongkatnya, tapi di saat api mulai mengumpul di sekitar Kirche ... Api tersebut didorong balik oleh api lain. Dan begitu retak Kirche mengejapkan matanya terbuka, ia melihat ... Colbert berdiri di sampingnya, dengan sebuah tongkat di tangan. "... pak?"

Dengan wajah dingin, Colbert bergumam. "Enyahlah dari siswaku." Seolah-olah menyadari sesuatu, Menvil mendongak. "Ooh, Anda ... Anda! Anda! Anda! " Dengan ekspresi gembira di wajah, Menvil meraung.

"Apakah indera suhuku menipu diriku?! Kau!Kau... Colbert! Aku merindukanmu! Ini suara Colbert! " Ekspresi Colbert tak berubah. Dia terus menatap Menvil. "Ini aku! Apa kau lupa? Ini Menvil, Komandan! Aaah! Begitu lama! " Menvil mengembangkan tangannya dan berteriak gembira. Colbert mengerutkan alisnya. Wajah menjadi gelap. "Kau ..."

"Berapa tahun telah berlalu sejak pertemuan terakhir kita? Haaa! Kapten! Dua puluh tahun! ya benar! " Kapten? Apa artinya itu? Para siswa mulai saling berbisik. "Apa? Kapten! Kau kini seorang guru? Bukankah itu lucu? kau - seorang guru! Apa sih yang kau ajarkan? Anda yang bernama 'Ular Api ... Ha, ha, ha! Hahahahahahahahahahahaha! "

Menvil berteriak sambil tertawa. "Saya akan menjelaskannya kepada kalian. Dia adalah pemakai api yang disebut 'Ular Api sebelumnya. Dia adalah komandan pasukan khusus ... Perempuan atau anak-anak - dia tidak peduli, ia membakar mereka semua sampai habis ".

Kirche menatap Colbert. "Dan dia orang ... yang mengambil mataku!" Colbert itu memancarkan sesuatu yang menakutkan. Aura di sekitarnya terasa sangat berbeda dari biasanya. Membakar rakyatnya sendiri, bahkan keluarga Zerbst, tidak pernah terlibat dalam kekejaman semacam itu. Toh, mereka berduel secara terhormat.

Namun, aura yang dipancarkan Colbert hari ini berbeda. Jika kau sentuh - Kau akan terbakar. kau akan terbakar dan mati. Bau daging terbakar, bau kematian. Dari ujung tongkat Colbert yang terulur santai , ular api nan besar, yang tampak terlalu besar untuk sebuah tongkat halus semacam itu, menyembur keluar. Ular itu menggigit tongkat penyihir yang diam-diam mulai melantunkan mantra.

Tongkat itu berubah menjadi abu dalam sekejap. Colbert tersenyum. Senyum dingin tanpa perasaan, seperti seekor reptil. Colbert bertanya Kirche yang menatapnya kaget. "Nona Zerbst. Apakah kau ingat karakteristik elemen Api? " Dari tepi bibir yang tergigit, sebuah aliran darah menetes. Darah nan merah, seperti api, seperti mantel Colbert.

"... Karakteristik api adalah semangat dan kehancuran." "Tujuan semangat Api adalah semata-mata kehancuran. Itulah yang kau pikirkan. Dua puluh tahun yang lalu aku juga berpikir begitu. " Gumam Colbert dengan nada suara yang tidak seperti biasanya. "Namun, seperti yang kau katakan." Bulan bersembunyi lagi di balik awan.

Tempat mereka menjadi gelap bagai dilukis oleh kuas hitam. Pertempuran dalam gelap menyulitkan bagi orang biasa. Karena tidak bisa melihat lawan. Namun, untuk pengguna Api yang butam tidak ada cahaya dari awal, sehingga kegelapan bukan masalah sama sekali. Menvil berpikir sambil mencengkeram tongkatnya dan mempersiapkan mantra. 20 tahun yang lalu, apiku dikalahkan. Itu karena hijaunya aku. Namun, Kini berbeda.

Seiring waktu, aku menjadi lebih kuat. Meskipun aku kehilangan cahaya, Aku memperoleh Api yang kuat sebagai gantinya. Indra tubuh batinku semakin tajam dan sarafku menjadi dua kali lebih kuat. Sekarang saya bisa mendeteksi sampai perubahan yang paling halus di udara. Suhu dari seseorang, aliran udara mewarnai bayangan dan penglihatan itu diproyeksikan ke dalam pikiran Menvil.

"Papah temanmu dan larikan diri dari sini." Kirche mengangguk, dan memapah Tabitha, mencoba melarikan diri. Namun, penyihir yang mengintai di ruang makan menembakkan panah es menuju punggung mereka. Sebuah nyala api nan tipis melesat dari tongkat Colbert dan menyelubungi panah itu. Panah es itu meleleh dan jatuh.

Begitu api Colbert dilepaskan, api Menvil melayang. Bola api. Sebuah bola api yang mengikuti gerakan Colbert ... Namun, ia langsung dibakar api yang keluar dari tongkat Colbert. "Fufu, jangan." Menvil meluncurkan api satu demi satu, mengarah pada Colbert. Tiba-tiba Colbert terpojok untuk terus bertahan.

Dalam kegelapan ia berlari dari sisi ke sisi mencoba melepaskan diri. Bahkan jika ingin menyerang, menantang Menvil dalam gelap tidak mudah. "Apa yang salah? Ada apa kapten?! Jangan hanya berlari-lari! " Menvil menembak bola api terus-menerus. Tepi mantel Colbert terbakar. "Sayang sekali! Hanya mantel Anda yang hangus! Berikutnya adalah tubuhmu! Ingin ku mencium tubuhmu yang terbakar! Inilah! Uwaha! UHA! Hahahahahahahaha! " Mengenakan senyum yang diwarnai kegilaan, Menvil menembakkan apinya. "Kuu ..."

Colbert menembakkan apinya menuju sumber api Menvil. Namun, tiada respon. Menvil pindah begitu mantra dilepas dan menghilang dalam gelap, sehingga tidak memberikan Colbert kesempatan untuk menyerang balik. seseorang tidak bisa menyerang lawan yang tidak dapat dilihat. Colbert mengerutkan kening. "Di sini! Kapten! " Namun posisinya sepenuhnya diketahui Menvil yang bisa "melihat" dalam gelap.

Colbert bersembunyi di semak-semak, kemudian mencoba untuk menyembunyikan dirinya dalam bayangan menara. Namun, tidak mungkin untuk melarikan diri dari Menvil, yang bisa melacak suhu seseorang dengan sangat akurat. Colbert, sambil berlari-lari dan mencoba melarikan diri, segera menemukan dirinya di tengah alun-alun. Tidak ada tempat di mana ia bisa bersembunyi. "Panggung terbaik telah disiapkan, Kapten. Kau tidak bisa lari lagi. Tidak ada tempat lagi untuk menyembunyikan diri. Menyerahlah. " Colbert menarik napas panjang.

Dan berbicara menuju arah Menvil dalam kegelapan. "Menvil muda, saya punya suatu permintaan." "Apa? Anda ingin membakar tanpa menderita? Nah demi masa laluitu, aku akan membakar Anda dalam sekejap. " Dengan suara yang tersusun sempurna, Colbert berkata,

"Aku ingin kau menyerah. Saya sudah memutuskan untuk tidak membunuh siapa pun dengan sihir. " "Hei hei, kau sudah gila? Apa kau tidak bisa memahami situasi saat ini? Kau tak dapat melihatku. Namun, Aku dapat melihatmu dengan jelas. Dari mana kau melihat kesempatan menangmu? " "Tetap saja, AKu mohon padamu. Aku serius. "

Colbert jatuh berlutut dan membungkuk. Suara Menvil dipenuhi rasa jijik, "Aku ... aku mengejar pengecut sepertimu selama dua puluh tahun ... Kau yang tak ada harganya ... aku tak bisa mengizinkan itu ... AKu tak bisa memaafkan demi diriku sendiri. Aku akan memanggang Anda sedikit demi sedikit, meluangkan waktuku, tanpa simpati apapun, dari kepala sampai ujung kaki. "

Menvil mulai mengucapkan mantra. "Meskipun aku meminta, Kau tidak akan mendengarkan." lanjut Colbert. "Aku tak cukup gigih." Colbert menggeleng sedih dan menunjuk tongkatnya ke langit.

Bola api kecil terangkat. "Apa? Rencana menerangi sekitarmu? Sayangnya, ukuran api tidak cukup untuk menerangi daerah sekitar. Persis kata Menvil. Bola api kecil itu hanya bersinar lemah menerangi sekitarnya. ia tidak bisa menggantikan matahari. Saat mantra Menvil selesai ... Bola api kecil yang tergantung di langit meledak.

Ledakan kecil berubah menjadi ledakan besar dalam sekejap. Api, Api, Bumi. Satu bumi dan dua api. Menggunakan "transmutasi Emas" uap air di udara dirubah menjadi minyak. Dengan satu percikan, ia berubah menjadi bola besar ... APi bola besar menyedot semua oksigen di sekitarnya, menyebabkan makhluk hidup dalam jangkauannya sesak dan mati. Itu adalah "bom Api." Yang tak tertandingi

Menvil yang membuka mulutnya untuk mengucapkan mantra, merasa oksigen disedot paksa dari paru-parunya dan merasa sesak dalam sekejap. Jika musuh bersembunyi di kegelapan ... taruh dia di kegelapan. Namun, mantra ini membunuh semua orang di dekatnya. Oleh karena itu, Colbert tidak menggunakannya hingga mereka sampai ke tengah alun-alun. Colbert berbalik dan, sambil memegangi mulutnya, mendekati Menvil yang terbaring.

"Kau tidak bisa berubah menjadi ular secara penuh, Letnan." Bisik Colbert sambil dengan dingin menatap wajah Menvil yang diwarnai rasa sakit.

Berita tentang kekalahan Menvil menggetarkan moral para tentara bayaran. Kirche, Tabitha dan musketeer yang tak terluka tidak kehilangan momentum dan bergegas ke arena pertarungan lagi. Di dalam, antara jeritan siswi yang terbaring di lantai, seorang penyihir yang melindungi dirinya dalam ruang makan dipukul jatuh. Agnes menikam penyihir terakhir dengan pedangnya. "Kuu!"

Namun, pedang itu tidak keluar. Penyihir lalu melepas sebuah mantra yang mengarah ke punggung Agnes ... Banyak panah sihir beterbangan. Kirche, Tabitha dan musketeer lainnya tidak dapat bereaksi tepat waktu. Sebuah bayangan hitam melompat ke sana.

Dia memblok panah yang hendak mencapai Agnes dengan tubuhnya sendiri. Dia mengucapkan mantra dan seekor ular api terbang keluar dari ujung tongkat itu membakar tongkat yang penyihir lain gunakan. Agnes menatap kosong, terkejut pada Colbert. Mata Colbert terbuka lebar. Suara yang keluar dari mulutnya mendapat perhatian penuh dari Agnes. "... Kau baik-baik saja?"

Secara mekanik, Agnes mengangguk. Sedetik kemudian, Colbert tumbang ke tanah, mengeluarkan batuk darah. Para siswa berlari dengan panik dan mulai melantunkan mantra pemulihan untuk Colbert. Namun ... lukanya parah. Terlalu dalam ...

Agnes yang tersadar kembali menghunus pedang pada Colbert. Kaget, para siswi menatap Agnes. "Tunggu! Apa yang kau lakukan? "Teriak Kirche. Colbert, dengan wajah lemah, menatap Agnes. "Anda ... Apa Anda adalah pemimpin peleton Grup Riset Percobaan Sihir? Anda merusak daftar milik kerajaan tentang hal-hal militer di gudang? " Colbert mengangguk.

"AKu akan memberitahu Anda. Aku adalah yang selamat dari D'Angleterre's. " "... oh begitu." "Mengapa kampung halaman saya dihancurkan? Jawab. "

"Hentikan! Dia terluka! Terluka parah! Jangan bicara! " Teriak Montmorency, yang berusaha keras untuk melantunkan mantra penyembuhan jenis air,. "Jawab!"

Colbert menjawab sambil melihat ke bawah. "... Perintah." "Perintah?" "... Dilaporkan bahwa terjadi epidemi terjadi di sana. Untuk mencegah penyebaran kami disuruh membakarnya. Kami membakarnya dengan enggan. " "Bodoh... Itu dusta."

"... Ha ha, setelah itu, saya baru mengetahui soal itu. Singkatnya itu adalah Perburuan Agama Baru. "Saya tersiksa oleh rasa bersalah setiap hari. Itu ... seperti kata Menvil. Perempuan, anak - aku bakar mereka semua. Hal itu tidak diizinkan. Tapi ingatan soal itu masih menghantui saya. Saya keluar dari tentara. Aku bersumpah ... untuk tidak menggunakan api untuk penghancuran lagi. " "... Tapi perasaan itu tidak menghentikan tanganmu, kan?" Colbert menggelengkan kepala.

Setelah itu ... dia perlahan menutup matanya. Meskipun Montmorency terus berusaha keras mengucapkan mantra ... kekuatan hatinya terkuras seiring waktu - dia pingsan dan terguling ke tanah. Agar Mantra "Pemulihan" menyembuhkan luka yang begitu serius, diperlukan obat khusus ... tapi ia tidak ada sekarang di sini.

Oleh karenanya, meskipun kekuatan hati mencoba untuk menggantikan obat khusus itu ... ia memiliki batas. Pengguna air lainnya kehabisan kekuatan hati satu demi satu dan pingsan. Dengan sedemikian banyak penyihir pingsan yang melingkupi Colbert, Agnes mengangkat pedangnya.

Namun, Colbert dilindungi - Kirche menutupi dia dengan dirinya sendiri. Senyum konyol yang selalu ada kini hilang dari bibirnya. Sambil membuat wajah serius, Kirche berkata. "Tolong hentikan!" "Enyahlah! Aku terus hidup untuk hari ini! Dua puluh tahun! Dua puluh tahun saya menunggu untuk hari ini! " "Aku mohon. Aku mohon. " "Enyahlah!"

Agnes dan Kirche saling melotot. Saat ketegangan di udara hendak pecah ... Kirche menyambar pergelangan tangan Colbert. "Enyah kataku!” Kirche menjawab dengan suara bagai batu. "Tolong, turunkan pedangmu." "Jangan bercanda!"

Kirche menggelengkan kepala dan bergumam. "Dia sudah tewas." Dengan kata-kata itu, tangan Agnes kehilangan kekuatannya. Kaget, Agnes jatuh berlutut. Tubuhnya mulai bergetar sedikit demi sedikit.

"... Teruskan dendam Anda jika itu kemauan Anda. Namun, setidaknya berdoalah. Guru Colbert tentu mungkin adalah musuh Anda ... tapi kini, dia adalah penyelamat Anda. Dia melindungi Anda dengan tubuhnya dan menyelamatkan Anda. " Kirche berkata dengan suara tertahan.

Agnes berdiri lagi tanpa daya, dan mengatakan dua kata, tiga kata, kata-kata yang tak bisa mencapai telinga. Lalu ia mengangkat pedangnya dan menghunjamkannya. Para siswa mengalihkan pandangan mereka, hanya Kirche saja yang tidak menutup mata dan terus memandanginya. Pedang menusuk ke tanah di samping Colbert. Berbalik dengan tumitnya, Agnes mulai perlahan berjalan pergi menjauh. Setelah Agnes menghilang ... Kirche mencoba untuk membawa tubuh Colbert, sambil melihat cincin merah delima yang bersinar di jarinya.

Sebuah ruby merah, seperti terbakar api. Sambil memandangi ruby itu... air mata keluar dari mata Kirche. Ini adalah cincin yang dia berikan. Dia mengatakan, "Aku memberikan ini kepada siswa ku," dan memberikan cincin padanya, yang tengah berkelakuan seperti anak manja. Mengingat itu, Kirche mulai menangis.

Di dek Redoubtable, Malicorne dan Styx duduk dengan kejutan kosong mewarnai seluruh wajah mereka .. Jumlah kapal perang telah menurun menjadi dua pertiganya saat melakukan manuver melawan armada Albion. Armada Tristain telah memenangkan pertempuran. Entah bagaimana mereka mampu mengusir armada Albion. Armada Albion kehilangan lebih dari setengah kapal mereka dan meloloskan diri tercerai-berai. Itu adalah kemenangan yang besar. Tapi ... Malicorne berpikir. Apakah ini sebuah kemenangan?

Ia hidup hanya untuk melihat kehancuran seperti itu. Ini bagai lukisan neraka. Dek terbakar seperti kayu bakar, kerugian besar di mana-mana. Jumlah senjata angkatan laut di sisi kapal berkurang setengahnya, sedangkan untuk starboard – Susunan yang ada hilang di setiap dek. Setelah menerima sebanyak lima tembakan langsung, starboard Redoubtable musnah. 200 ratus orang dari 600 kru entah tewas atau terluka. Namun, Redoubtable masih membelah langit.

Malicorne juga masih hidup. Untuk bertahan hidup di antara mantra yang beterbangan, peluru dan bola meriam - sepertinya dia beruntung. Setiap kali sebuah kapal musuh baru berlalu, Malicorne menciptakan awan gelap sambil berteriak. Jika tidak, ia akan pingsan karena ketakutan. Dia tidak tahu apakah itu efektif atau tidak. "Styx," ucap Malicorne dengan suara parau.

"Apa?" Styx menanggapi dengan suara kecapaian. "Hidup adalah hal yang aneh, kan?" "Saya setuju sepenuhnya denganmu." Di dek, Bowood dan komandan kapal perang tengah jalan-jalan. Mereka berbicara tentang kemajuan pertempuran.

Para kadet perwira yang membimbing mereka berdua melihat dua orang duduk di dek dan berteriak. "Hei! kalian! Tidak ada waktu untuk duduk-duduk! Berdiri! Berdirilah sekarang! " Malicorne dan Styx buru-buru berdiri. "Mulalah bersiap. Menunggulah dengan para komandan dan kadet perwira di dalam. "

Malicorne dan Styx saling memandang. Mereka baru saja selamat dari satu pertempuran yang mematikan. Bagaimana mereka bisa penuh semangat mulai mempersiapkan satu lagi? "Cepat! Jangan membuat para petugas menunggu! " Lalu ... Bowood menegur si petugas sambil tersenyum. "Ah, senior, mereka baru saja mengalami pertempuran pertama mereka. Anda harus membiarkan mereka beristirahat untuk hari ini. "Ah! Tapi, bagaimanapun ... "

"Aku tebak, ini juga adalah pertama kalinya Anda mencium asap bubuk? Dulu aku pun begitu. " Mendengar petugas Albion itu berbicara seperti itu, perwira senior mengangguk. "Baiklah, kalian dapat beristirahat malam ini." Merasa lega, Malicorne dan Styx memberi hormat. Malicorne memandangi mereka pergi dan bergumam. "Ironisnya, kita diselamatkan oleh seseorang dari Albion." "Memang."

Styx bergumam lemah dan mereka berdua merosot di dek lagi. Di ruang konferensi strategis Varsenda, Jenderal De Poitiers menerima laporan. laporan berasal dari Rosais, dari satu penyelidik naga dari unit pertama. Jenderal De Poitiers tersenyum senang. Kepala Staf Wimpffen, mengamati wajah perwira atasannya itu. "Pasti berita baik," gumamnya.

"Pasukan di daerah Rosais dikabarkan menghilang. Void berhasil memancing musuh untuk pergi ke Dartanes. " "Itu hanya rintangan pertama." De Poitiers mengangguk dan memberi perintah. "Semua armada kapal menuju ke Rosais. Kita mendapatkan pendaratan yang pasti. Kumpulkan semua komandan. "

Utusan itu menerima instruksi Jenderal dan berlari keluar. De Poitiers mengangguk. "Sekarang, Aku ingin tahu apakah sekarang aku bisa menjadi panglima atau tidak, saya tidak ingin menunggu satu minggu lagi." Bahkan jika pendaratan berhasil, ini masih mungkin menjadi pertempuran yang sulit. Albion masih memiliki 50.000 tentara yang belum tersentuh disana.

Dalam birunya langit Dartanes, pesawat Saito menuju titik pertemuan dengan armada Tristain. Rencananya, mereka bergabung dengan armada di perbatasan Albion. Saito, yang duduk di kursi pilot, terdiam untuk waktu yang lama. Apapun yang Louise coba bicarakan dengannya, dia tidak menjawab. Hanya sekali Saito membuka mulutnya.

"Mereka ..." "Ya." Namun, Saito tak mengatakan apa-apa sejak itu. Louise menemukan sebuah surat dalam manual Colbert. Tapi karena semua kegilaan tadi, dia tidak memperhatikannya. "Surat."

Ini mendapat perhatian Saito. "Surat?" "Ya. Milik Pak Colbert. Mau dibaca? " Saito mengangguk. Louise membuka surat itu dan mulai membaca keras-keras. Saito-kun, apakah penemuanku bermanfaat?

Jika ya, saya senang. Bagimu... tidak, bagi semua siswa, tidak hanya sebagai guru, itu akan membuat saya bahagia jika itu ada gunanya untukmu. Sangat bahagia. Sekarang, mengapa saya memutuskan untuk menulis surat ini hari ini - saya punya sebuah permintaan. Tidak, tidak aneh. Dan legalah bahwa ini bukan tentang uang. Soal wacana ini tentang apa, ini mengenai beberapa mimpi saya. Bahwa hal-hal yang hanya dapat dilakukan dengan sihir, dapat dilakukan dengan teknologi yang bisa digunakan semua orang.

Pernahkah Anda melihat? Ular Kecil nan Gembira. Nah, yang pasti, itu bukan hanya mainan ... Saya berharap bahwa setiap teknologi yang indah akan ada gunanya suatu hari nanti. Itulah impianku. Mari kita sampai ke sana, meskipun aku masih khawatir apakah harus mengatakannya atau tidak ... Di masa lalu, saya melakukan suatu dosa.

Dosa yang sangat besar. Terlalu besar sehingga tidak akan pernah bisa diampuni. Sebagai penebusan atas dosa ini, saya mengabdikan diri untuk penelitian ... Baru-baru ini aku berpikir. Tidak, dosaku takkan pernah diampuni.

Bahkan jika penemuan aku bermanfaat ... Ini tidak akan menghapus dosa yang kulakukan. Oleh karena itu, aku ingin kau berjanji satu hal. Lihatlah, kau akan menghadapi banyak situasi sulit. Dan Kau akan masuk kedalam perang, dan kau akan melihat banyak orang mati. Tapi ...

Jangan terbiasa dengan itu. Jangan terbiasa dengan kematian orang-orang. Jangan berpikir bahwa itu adalah alami. Begitu Kau menjadi seperti itu - sesuatu akan pecah. Aku tidak ingin Kau menjadi seperti aku. Oleh karena itu, aku meminta berulang kali. Jangan jadi terbiasa dengan perang.

Jangan jadi terbiasa dengan saling membunuh. Jangan jadi terbiasa dengan kematian. Di balik awan ... Mereka dapat melihat armada gabungan Tristain-Germania yang menuju Rosais. Jumlahnya telah berkurang drastis. Tetapi ... sebagian besar kapal masih utuh, sehingga tampaknya mereka memenangkan pertempuran. Meskipun mereka menang, orang-orang yang selamat tampak kelelahan. Banyak lambung kapal 'rusak, tiang-tiang patah. Ada juga sebuah kapal yang kehilangan semua meriamnya.

Louise terus membaca surat itu keras-keras. Nah, permintaan aku ini akan segera berakhir. Ingatkah, apa yang kau katakan kepadaku dulu? Bahwa Engkau datang dari dunia yang berbeda. Di dunia milikmu itu, mesin-mesin terbang yang kau gunakan menembus langit, dan teknologi dikembangkan jauh lebih baik daripada di Halkeginia, bukan? Inilah yang ingin aku lihat.

Aku bisa menggunakannya dalam penelitianku. Karena itu, ketika Kau pergi ke timur ... Aku ingin kau membawaku denganmu. Tidak, aku tidak bercanda. Aku Serius. Karena itu, jangan mati. Kau Mutlak harus Kembali hidup-hidup. Bahkan jika aku tidak bisa pergi ke timur bersamamu P.S.

Di dunia itu, apakah ada “mobil” yang dapat digunakan dan disetir semua orang di jalan-jalan? Apa ada kotak-kotak kecil dimana seseorang bisa berhubungan pada jarak nan jauh? Apakah seseorang telah benar-benar mencapai bulan? Untuk mampu melakukan itu tanpa sihir, pasti sangat luar biasa. Aku ingin melihat dunia semacam itu.

“Samapi disitu, orang yang aneh, dia benar-benar ingin pergi ke duniamu. Saito, sambil terisak-isak, berterima kasih pada Louise. “terima kasih.” Louise dnegan lembut memeluk leher Saito. Dan bergumam, “Bodoh, kenapa kau menangis?” “..Aku ingin saja.”

“..Begitu banyak yang terjadi hari ini, kau hanya kelelalahan. Begitu kita kembali ke kapal, mari beristirahat.” Louise menutup matanya, dan dengan lembut mencium leher Saito. Begitu Varsenda muncul, Saito membelokkan hidung pesawatnya kepada Varsenda. Di hari yang cerah nan terang, armada yang reot tersebut terlihat seakan tercelup dalam lukisan hitam nan indah


Sebelumnya ke Volume 5 Kembali ke Halaman utama Selanjutnya ke Volume 7