Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume6 Bab1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 1: Pulang

‘Berpergian sungguh membuatku bersemangat!”

Teriak Siesta sambil menekan dada raksasanya pada lengan Saito.

Daripada “bersemangat”, rasanya lebih tepat kalau dibilang “menyentuh.”

Dengan wajah yang terbata-bata, Saito mengangguk pendek.

Didalam kereta, ada Saito dan Siesta yang duduk saling bersebelahan.

Siesta memakai baju terusan berwarna hijau gelap dengan boot tinggi. Dia juga mengenakan topi jerami kecil, yang mana kesemuanya membuat penampilannya manis.

Saat Siesta yang berambut hitam, manis dan tanpa dosa berpenampilan seperti itu, dia tampak terlalu manis secara keseluruhan. Lebih dari jadi lucu, jadi sulit untuk menahan diri.

Sial kau, menempatkanku dalam situasi ini.

Dan bagain terburuknya adalah, Sambil membuat gerak yang sangat mencurigakan, Siesta yang manis tetap memancarkan aura manis nan suci.


Begitu dia duduk di sebelah Saito, dia memeluk salah satu lengannya dan meremas dadanya pada lengan itu.

“S-S-S-Siesta, saat kau mendekat padaku...dadamu menyentuh lenganku dan...dan...” kata Saito, setengah menangis dan menjadi terbata-bata.

“Ah, aku memang sengaja melakukannya!”

kata Siesta dengan wajah tidak perduli yang penuh senyum.

“Se-seperti ini, sengaja, itu...Di tempat seperti ini, ada orang, hei, kau...”

Saito, yang tak bisa berhenti ngomong, untuk menahan pikirannya tetap sadar, memprotes.

“Kau tak harus mengkhawatirkan si supir, dia sebuah golem.”

Pemuda yang duduk di kursi supir memang sebuah golem, boneka yang entah bagaimana bergerak dengan kekuatan sihir.

Pas saat kau mengatakannya, matanya memang seperti bijih gelas pemancar cahaya.

Akibatnya, ini membuat Siesta semakin berani. Dia menempatkan pipinya di bahu Saito dan mulutnya dekat telinga Saito, sambil mencampurkan desahan di dalam suaranya.

“...Melakukan hal seperti ini, hanya kita berdua..sudah lama sekali, ya?”

“Y...Yah...”

“Kupikir aku mendengarnya suatu saat, tapi selama libur musim panas, apa sih yang kau lakukan bersama nona Vallière?”?”

Aku tak bisa menceritakan ini padanya.

Aku tak bisa mengatakan bahwa Henrietta meminta kami melaksanakan sebuah tugas rahasia.

Meski sebagian besar habis untuk mencuci piring dlll. ini tetap sebuah rahasia sebuah rahasia.

“Uh, umm, itu...aku bekerja di bar, Louise bekerja di benteng jadi...aku tak tahu apa yang dilakukannya,” Saito berbohong soal Louise. Mengatakan yang sebenarnya soal dirinya kemungkinan tak apa-apa, putusnya.

“Oh! Sebuah bar! saito melakukan itu? Mengapa?”

“ Eh, Uh, itu...Aku tak punya uang sepeserpun.”

“Kalau itu sih, bilang saja padaku dan aku dengan senang hati akan menolong!”

“Kau akan membantu?”

“Ya, memang tak banyak, tapi aku telah menabung sedikit dari gajiku!”

Memang ini yang diharapkan dari seorang gadis desa yang dapat dipercaya. Tidak menghamburkan uang, dia orang yang hemat.

Penawaran baik Siesta membuat Saito senang.

“Tak apa-apa. Entah bagaimana, aku selamat!”

“Benarkah? Tapi, pada waktunya kau benar-benar butuh, mohon kau tak segan-segan bilang padaku.”

Tak mungkin aku meminjam sepeserpun uang dari gadis mengagumkan yang telah menyisihkan dan menabung seperti ini.

“Aku tak bisa meminjam uang dari Siesta-san!”

“Mengapa? Bila ini untuk Saito-san, uang tiada artinya bagiku!” setelah dia selesai berbicara, gadis itu menurunkan bahunya.

“Ah, baiklah, maksudmu kau benar-benar tak tertarik untuk menggunakan uangku, kan?”

“Bukan itu alasannya!”

“Kau pasti membenciku!”

“Tidak, bukan seperti itu!”

“Benarkah? Tapi Saito selalu dingin padaku...”

“AKu? Bagaimana mungkin?”

“Aku duduk di sebelahmu, dan kau tak melakukan apa-apa.”

Saat Saito dengan segan bergerak menjauh, Siesta bersenandung sedikit dan menggerakkan bibirnya ke leher Saito. Suatu rasa yang dapat melelehkan orang mengejutkan Saito hingga tak berhingga.

Siesta menggerakkan bibirnya ke atas, dan akhirnya mempermainkan telinga Saito.

Saat merasakan pikirannya hampir meleleh, udara tampaknya menjadi dingin dan sebuah rasa menggigil bergerak menuruni punggung. Saito mencicit dengan nada bergetar, “Si-Si-Siesta-san...”

Saat dia mengatakan itu, sesuatu menerbangkan bagian atas kereta kauh-jauh.

Yah, terbang bukan kata yang tepat. Lebih tepat bahwa suatu peledak tersembunyi membuat semuanya terbang, Saat itulah kereta Saito dan Siesta tiba-tiba berubah dari tertutup menjadi kereta beratapkan cahaya langit.

Gemetaran karena ngeri, Saito perlahan berbalik dan melihat sebuah kereta yang hampir dua kali ukurannya dan jauh lebih megah, dan ditarik dua kuda.

Merasakan aura membunuh memancar dari kereta, Saito tak hanya takut, melainkan sangat takut. Sepertinya aku akan tewas sebelum sampai ke tujuan.

Kereta megah tersebut melepaskan aura kematian yang menelan.

“Wa...Wa...atap keretanya!” Siesta menjerit sambil menempeli Saito.

“Si-Siesta-san!”

“Apa. Apa yang tengah berlangsung?”

“Jika kau tak ingin mati, kupikir kita harus duduk berjauhan.”

Tapi itu hanya membuat Siesta bergelantungan semakin ketat pada Saito.

“AKu tak tahu apa yang terjadi, tapi hatiku suci!”

Dia menjerit dan mendorong Saito jatuh, Di satu sisi, Saito snagat bahagia dan melambung karena perasaan Siesta, pada saat bersamaa pesan lainnya lewat sekilas di pikirannya , “ Haha, ini akhir hidupku. Benar-benar pendek, kuharap setidaknya aku kembali ke tanah Jepang.”


Dari kereta yang berjalan di belakang Saito, dari jendela dari kereta megah tersebut, Louise menyembulkan kepalanya keluar sambil memegang sebuah tongkat sihir coklat muda di tangan, gemetaran karena marah dan bernapas dalam-dalam.

Atap kereta Saito dan SIesta diterbangkan Louise dengan sihir Voidnya, “Ledakan.”

Karena ada jendela di belakanjg kereta, Louise dapat melihat semua yang terjadi di dalam.

Louise bergemetaran saat menonton mereka saling memeluk di kursi mereka dan Siesta mencium leher Saito.

Akhirnya, saat bibir si pelayan mendekati telinga familiarnya, kemarahan Louise meledak. Dia takkan membiarkan familiarnya dicium. Namun, begitu atap diterbangkan, dia menyadari Siesta memeluk Saito lebih erat lagi.

Alis Louise langsung naik dan tepat ketikda dia hendak membacakan kemusnahan pasangan yang bahagia tersebut, seseorang menarik kakinya.

“Kya!”

Pipinya ditarik bersamaan dnegan jeritan itu.

“Ii sa’it! Yan! Au! Funya! Ahh! Ii sa’it!”

Wajah Louise yang sering membanggakan diri dan congkak ini ditarik sebegitunya, dan tak bisa mengeluarkan keluhan satupun. Jika Saito mampu melihat adegan ini, matanya kemungkinan besar meloncat keluar saking terkejutnya.

Yang menarik pipi Louise seperti itu adalah....seorang wanita blonde nan cantik. Dia sekitar 25 tahun. Wajahnya agak mirip Louise. Jika dia menenangkan darah panasnya dan tumbuh sedikit, akankah dia terlihat seperti itu juga? Singkatnya, dia seorang wanita cantik.

“Louise kecil. pembicaraanku belum selesai, kan?”

“Auu...,nmaap. Abe-saba, Nmaap...”

Dengan pipinya ditarik, Louise berteriak dengan suara basah. Ada sekitar 4 sosok mutlak dalam hidup Louise. Henrietta, orang tuanya, dan kakak perempuan yang berlagak bos ini, Eléonore. dia 11 tahun lebih tua dari Louise, putri tertua keluarga La Vallière dan dikenal sebagai peneliti terbaik di Institut Penelitian Sihir Kerajaan, "Academia."

“Meski ini merupakan percakapan yang ditunggu-tunggu denganku, mengapa kau terus-menerus melihat ke tempat lain? Terlebih lagi, kau menerbangkan atap kendaraan pengiring.”

“Itu, Um...aku ingin, um, memisahkan familiarku dengan si pelayan, itulah kenapa...”

Hanya dengan itu, Louise terbata-bata memberitahu kakak perempuannya.

Eleonore memutar-mutar rambutnya, dan menatap tajam Louise. Seperti seekor katak yang diburu seekor ular, Louise menegakkan badan.

“Biarkan para pengiring melakukan apa yang mereka mau! Seperti biasa, kau seorang anak yang tak bisa diam, kan?! Kau adalah putri keluarga La Vallière, paham?! Bersikaplah lebih sadar diri!”

“O-OK...”

Louise menurunkan bahunya dalam diam.

“T-tapi...Apapun yang kau katakan, diambil seorang pelayan akademi itu...”

“Hai udang, apa kau mendengarkan? Keluarga La Vallière bukan hanya suatu keluarga ningrat Tristain, ia adalah keluarga ningrat kita. Bahkan kau seharusnya mengerti itu, kan?

“Ya, Onee-sama.”

“kau tak bisa hanya menggunakan familiarmu sebagai pengiring, kan? Louise, sebagai seorang Wanita, kau harus setidaknya selalu memiliki satu pengiring wanita untuk mengurus dirimu saat bepergian.”

Eléonore yang mengabdi di Academia Tristain, pagi ini datang ke Akademi Sihir untuk mengambil Louise pulang dengannya.

Dia merenggut Siesta, yang berpapasan di dekatnya dengan keranjang cucian di tangan, dan berakta “Gadis ini cukup baik sebagai pengiring perempuan selama perjalanan,” dan setelah mendapatkan izin guru aristokrat yang berada di sekitar, dia membawa Siesta bersamanya untuk mengurus Louise.

Siesta dan Saito menaiki kendaraan untuk pengiring, yang terpaksa disiapkan para karyawan akademi. Louise dan Eléonore menaiki kendaraan mereka sendiri yang sudah biasa datag ke akademi.

Di perjalanan praktis tiada perhentian, jadi sebeanrnya tak ada kebutuhan yang harus dibantu selama perjalanan. Siesta hanyalah sebuah hiasan. Namun, bagi para ningrat, hiasan itu sangat penting.

Dan untuk pikiran sanubari Louise, mereka sama sekali tak tenang.

Ini karena pulang sama sekali bukan bagian dari rencana.

Operasi militer untuk menyerbu Albion diumumkan di sekolah setelah liburan musim panas berakhir, kira-kira pada waktu kedua bulan saling berpapasan... Sudah beberapa dekade berlalu setelah terakhir kali pasukan sang raja kekurangan petugas untuk mengorganisasikan tentara ekspedisi. Telah diputuskan bahwa untuk melakukan itu, para siswa aristokrat akan ditempatkan sebagai petugas. Salah seorang guru dan kepsek OSman menolak, tapi Henrietta, Sang Kardinal, dan para Jenderal Tentara Ratu mengabaikan penolakan tersebut. Akademi akan ditutup hingga akhir perang.

Sang pemegang “Void”, Sang wanita dewan di bawah supervisi langsung Henrietta, Louise, demi kesuksesan strategi penyerbuan, akan diberikan misi-misi khusus.

Namun...setelah Louise melapor pada ortunya bahwa “Demi Tanah-air, aku akan bergabung dengan tentara ratu untuk mengambil bagian dalam penyerbuan Albion, “, laporan itu akihirnya menyebabkan kekacauan besar.

Bergabung dengan penyerangan tak diperbolehkan dan, meski selembar surat datang, dengan mengabaikannya, Eléonore datang.

Tentu saja Louise sangat marah. Bagaimana dengan pergi ke garis depan? Bahkan sekarang saja, di seluruh negeri, di tanah parade dan barak-barak, ada banyak siswa yang berlatih untuk menjadi petugas sementara. Kebanyakan mereka adalah siswa lelaki yang memilih untuk memasuki kancah peperangan.

Aku seorang gadis, tapi aku harus melindungi kehormatan Yang Mulia sebagai wanita dewan. Terlebih lagi, dalam rencana penyerbuan ini, pesawat terbang familiarku akan memainkan sebuah peranan kunci.

Juga Ada banyak harapan yang ditumpahkan pada Voidku. Henrietta dan Sang Kardinal mengakuiku sebagai kartu As Tentara Ratu. Sebagai Ningrat Tristain, tiada kehormatan yang lebih dari itu.

Yah, aku pastilah tak menyukai perang.Tapi demi ratu dan tanah air, aku ingin mempersembahkan kemampuanku yang kurang ini. Karena Void diberikan padaku, aku punya tugas agar menjadi teguh pada kesetiaanku pada tanah air. Bukankah kesetiaan pada tanah air adalah salah satu hal yang dibanggakan keluarga ningrat La Vallière? Namun ternyata keluarga sendiri menentang resolusiku yang teguh ini untuk bergabung ke garis depan.

“Benar-benar…kau melakukan hal yang egois! Perang? Apa yang akan kau lakukan disana?! Hal-hal baik? Bersiaplah untuk dimarahi Mama dan Papa saat kita sampai!”

“T-Tapi….”

Tepat ketika dia hendak menjawab balikm pipinya dicubit. Eléonore terus-menerus memperlakukan Louise sebagai anak kecil, tepat seperti di masa lalu. Tepat seperti ketika dia menjawab balik selama belajar, dia memanggilnya udang berulang kali.

“”Tapi’?’Ya’. maksudmu, udang?! Louise Kecil!”

Sebagaimana yang diharapkan dari saudara perempuan. Eléonore punya ekspresi sama dengan Louise ketika dia melatih familiarnya. Louise tak bisa melakukan apapun untuk melawannya.

“Fue, Au, Duh, Ane-sama, pipiku au au…”

Kata dia dengan suara yang patut dikasihani.

Karena Lantunan tak pernah terbang ke sini tak peduli seberapa lama dia menunggu, Saito mendesah lega. Sepertinya, karena alsan tertentu, Louise tak bisa menyelesaikan lantunannya.

Sepertinya selama dia menempel pada Saito, Siesta menjadi senang, jadi mungkin dia telah lupa bahwa sudah tidak ada atap.

“Hei, Hei, Saito-san.”

“Hm? A-Apa?”

“Bepergian sungguh menyenangkan!”

“Y-Ya…”

Dia mengangguk, Saito belum menjadi begitu optimis.

Saat dia memikirkan tentang hal-hal yang akan datang, dia menyadari bahwa masalah-masalah tengah menggunung.

Henrietta dan yang lainnya tengah membuat rencana-rencana perang. Apa yang akan terjadi mulai sekarang adalah perang penyerbuan. Tentu saja Louise akan ikut berpartisipasi. Dengan keadaan sekarang, aku tak punya pilihan lain selain ikut dan ambil bagian juga tak peduli bagaimanapun jua. Kemungkinan besar bagi pemeang kekuatan Zero, ini semacam Tugas perang. Kemungkinan besar kami harus melakukan sesuatu yang berbahaya.

Aku tak bisa merasa ceria.

Sial, begitu perang ini berakhir, kali ini aku akan mencari sebuah jalan untuk kembali ke dunia asalku, ke Jepang, putus Saito. Hingga saat itu tiba, tak peduli apapun yang terjadi, aku tak bisa membiarkan diriku mati.

Melihat Saito berwajah orang yang memikirkan banyak hal, Wajah Siesta langsungmendung.

“AKu tak ingin itu.”

“Hm?”

“Saito-san akan ke Albion juga, kan?”

“Y-Ya…”

Sepertinya sikap ceria Siesta hingga sekarang hanya pertunjukan demi menceriakan Saito.

“Aku benci para ningrat.”

“Siesta…”

“Taka pa-apa bila mereka hanya saling membunuh sesame mereka…tapi mereka melibatkan kita para jelata juga….Bahkan meski itu demi mengakhiri perang…mereka hanya berkata-ata saja.”

Mengingat-ingat kata-kata Henrietta, Saito bergumam

“Tak peduli apakah itu demi mengakhiri atau memulai yang baru, perang, adalah perang.”

Saito terdiam.

Sebelumnya, selama pertempuran di Tarbes, ada sebaris alas an untuk bertarung. “Membantu Siesta dan penduduk desa,” semacam sebab yang dibenarkan. Tapi, kali ini, selama penyerbuan ke Albion, alas an macam apa yang ada?

Aku tak ingin bertarung, apa ada ya sebaris alas an di belakang pertarungan ini?

Louise sangat bersemangat…tapi aku tak tertarik sama sekali dengan hal ini.

Tapi ketika aku menyentuh Henrietta, aku mendapatkan semacam perasaan “Aku ingin membantu ‘tangan’ putri menyedihkan ini, Saito agak kembali ceria.

“Tapi mengapa Saito-san harus pergi? Kau tak punya hubungan apa-apa, kan?”

“Ya, mungkin itu benar, tapi…” sikutnya ditahan.

Siesta mengubur wajah Saito ke dadanya.

“Jangan mati…Jangan mati bagaimanapun jua…”

Saito merasa Siesta yang begini sangat manis.

Ditangisi sedemikian rupa oleh pelayan semanis ini…itu sendiri sudah merupakan alas an yang cukup bagi Saito untuk terus hidup…Seperti yang kuduga, aku seorang tolol, kan. Tapi keluarga Louise ini…

Kakak perempuan Louise yang kutemui tadi seorang wanita cantik, tapi dia memiliki wajah nan keras, kan…, pikirnya. Luar biasanya, Saito hanya melihat sekilas. Dia sudah menyadarinya sewaktu mereka bertemu meski matanya berbeda dari mata Louise, namundia memiliki sikap tinggi hati yang sama.

Akankah Louise memiliki rasa yang sama saat dia semakin dewasa? Itu pasti menyakitkan.

Ada juga perasaan curiga di sekitar. Sepertinya Louise dan semua anggota keluarga memiliki pendapat yang berbeda-beda.

Kali ini, kita akan menuju rumah Louise yang itu.

Saito menerawang ke langit, mendesah, dan berpikir dengan sikap kurang bersemangat…apa yang akan berlangsung mulai saat ini?

Di bagian selatan Londinium, Ibukota Albion, berdiri Istana Howland.

Aula Putih didalam memang pantas sebagai titik vital dari Albion “Sang Negeri Putih”.

Tempat itu dicat putih seluruhnya, dan sangat mengesankan. Ada 16 pilar yang menyangga langit-langit aula.

Bagaikan seberkas luka di dinding, sebentuk wajah yang diterangi oleh cahaya tersingkap.

Di tengah-tengah aula berdiri sebuah “Meja Bundar” raksasa dari batu, dimana disekitarnya berkumpul para menteri dan jenderal-jenderal Republik Albion nan Suci, menunggu dimulainya pertemuan dewan.

Inilah tempat dimana, hingga sekitar 20 tahun lalu, para menteri berkumpul disekitar raja untuk mengendalikan negara. Tapi penguasa telah berganti sejak itu.

Orang-orang yang ikut dalam revolusi dan mengambila alih negara dari monarki memberikan diri mereka kedudukan-kedudukan penting di negara sebagaimana yang diduga.

Dan untuk orang yang hingga 20 tahun lalu hanya merupakan seorang bisop lokal...

Seseorang yang dulunya berstatus sosial lebih rendah dari semua yang berkumpul disini...bahkan anggota skuad penjaga yang berdiri di sisi pintu....

Kedua anggota skuad penjaga membuka pintu aula.

“Ketua kongres penguasa ningrat Republik Albion nan Suci. berdiri, Oliver...”

Cromwell mengangkat tangannya, menyela suara itu...

“T-Tahan?”

Bukankah seharusnya kita hilangkan tradisi tiada guna ini? Karena diantara orang-orang yang berkumpul disini, tiada yang berdiri diatas yang lain!”

Seperti biasa, sekretaris pribadi Cromwell, Sheffield, berjalan dibelakangnya dan disampingnya, sosok Viscount Wardes yang sudah sembuh dan Fouquet si Tanah Ambruk dapat terlihat.

Saat Cromwell menuju kursi ketua, Sheffield mengikutinya bagaikan sebuah bayangan. Wardes dan Fouquet duduk di dua kursi yang masih kosong.

Setelah ketua dan kaisar pertama duduk, pertemuan dimulai. seseorang mengangkat tangan. Dia Jenderal Hawkins. Dengan rambut abu-abu, kumis putih dan pengabdian militer yang lama, sang jenderal berdiri dengan mata bernyala pada kaisar yang dulu adalah seorang bishop.

Setelah Cromwell menyilahkannya, dia bangkit.

“Paduka, aku ingin menanyai anda sesuatu.”

“Tanyakanlah apa yang kau mau.”

“Setelah kalah di pertempuran Tarbes dan tentara kita tetap disana, mereorganisasi armada udara kita menjadi sangat mendasar. Ini dikarenakan apabila kita tak memiliki armada, maka kita tak bisa memindahkan tentara maupun mempertahankan wilayah kita sendiri.”

Cromwell mengangguk setuju.

“Operasi rahasi Penculikan Ratu demi mengulur-ulur waktu juga gagal.”

“Itu benar.”

“Apa hasilnya telah mencapai telinga Paduka?”

Tentu saja. bagaimanapun juga, adalah penting untuk mengetahui segalanya tentang perkara itu.”

“tentara musuh adalah...ah. Kekuatan persekutuan Tristain dan Germania tengah mempersiapkan armada mereka secepat mungkin. Total, Kedua negara punya 60 kapal perang yang bisa dilangitkan. Jika kita memulai reorganisasi tentara kita sekarang, setelah perawatan, lini kapal perang kita takkan mampu menandingi mereka. Terlebih lagi kapal perang mereka adalah yang terbaru.”

salah satu jenderal bergumam dengan suara merendahkan,

“Itu Armada haribotes! Mereka lebih jelek dari kita!”

“Itu adalah cerita masa lalu, Paduka. Tiada alasan untuk memuji tentara kita saat ini. saat revolusi, kita mengeksekusi banyak jenderal kita yang superior dan hasilnya adalah pelemahan kita. Veteran yang tersisa hilang karena kekalahan di Tarbes.”

Cromwell tetap diam.

“Sekarang ini, mereka belum selesai menyusun kapal mereka. Terlebih lagi mereka tampak sedang memanggil para pemimpin tentara.”

“Mereka seperti landak. Jika memang begitu keadaannya, mereka sulit menyerang kita.”

Seorang jenderal gemuk berseloroh dengan nada ceria. Hawkins menatapnya tajam.

“Sulit menyerang? Bukankah sudah jelas bahwa tentara musuh kemungkinan merencanakan sesuatu bila mereka mengumpulkan kekuatan yang begitu kecil?”

Hawkins menghantam meja keras-keras.

“Kalian tahu, Mereka berencana menyerang benua ini, Albion. dan, aku bertanya, aku ingin diberitahu mengenai rencana bertahan Paduka. Jika jadi pertempuran menentukan dengan armada, pertahanan kita bakal kosong. Jika tentara musuh berhasil mendarat....semuanya berakhir. Tentara kita kelelahan karena perang revolusi, jadi mohon berikan aku sebaris jawaban...”

“Itu adalah pikiran seorang pecundang!”

Seorang jenderal muda dengan mata bernyala-nyala mengkritik Hawkins. Cromwell menyeringai sedikit sambil mengangkat tangan sebagai tanda berhenti.

“Untuk menyerang Albion, mereka perlu menggerakkan seluruh kekuatan militer mereka.”

“Namun, mereka tak memiliki alasan untuk meninggalkan prajurit di negeri mereka.”

“Mengapa begitu?”

“Karena bagi mereka, kecuali negara kita, tiada musuh lain.”

“Apa mereka ingin meninggalkan punggung mereka terbuka?”

“Gallia mengumumkan netralitas. Itu adalah sesuatu yang sudah diperkirakan dan perlu agar invasi daapt terjadi.”

Cromwell melihat melalui bahu dan bertukar pandang dengan Sheffield. Dia mengangguk kecil.

Cromwell pergi bersama Sheffield, Wardes dan Fouquet ke kantornya dan setelah dia duduk di kursi penguasa, dia memandangi bawahannya.

“Luka-lukamu sudah sembuh, kan? Viscount.”

Wardes menunduk. Cromwell tersenyum ringan dan menanyai Wardes.

“Kini, katakan apa yang harus kau katakan.”

“Sebagaimana yang ditunjukkan jenderal, Tristain dan Germania pasti akan menyerang kita, kan?”

“Ya, jadi apa yang aneh?”

“Seimbang....tidak, mungkin kekuatan kita lebih hebat. Jumlah prajurit kita lebih kecil, tapi kita punya kelebihan bila melihat posisi.”

“Kita juga memiliki Void Paduka.”

ucap Fouquet dengan sikap empat. Cromwell berdehem tak senang begitu dia mengucapkannya.

“Apa ada sesuatu yang salah?”

“Tidak, bukan apa-apa. Kalian semua harus mengerti, setelah aku menceritakan pada kalian berulang kali, aku tak bisa menggunakan mantra kuat manapun. Kecuali untuk menghidupkan yang sudah meninggal. Jika kau terus mengatakan itu, aku akan merasa tak enak.”

Sebagaimana yang dikatakan Cromwell, dia tak bisa menggunakan mantra yang berguna sedikitpun.

“Aku tak hendak membuatmu tak enak. Hanya saja, bila kita tak menunjukkan bahwa kita memiliki kartu as, moral prajurit kita akan menurun.”

Begitu Wardes mengatakan itu, Cromwell mengangguk.

“Tentu saja, tiada kartu as yang lebih hebat dari Void.”

“Baiklah, seperti yang kuduga, apakah Gallia akan ikut perang?”

Awalnya, rencananya adalah Galla membantu penyerbuan Albion ke Tristain dengan menyerang Germania di saat bersamaan, tetapi...karena tentara Albion dikalahkan di Tarbes, perlu dilakukan perubahan pada rencana awal. Usulan dari Gallia adalah membelokkan tentara musuh kedalam benua Albion, sementara Gallia mengambil kesempatan itu untuk menyerang Tristain dan Germania.

Setelah Wardes mendengar rencana itu, ia berkata pada Cromwell.

“Paduka, aku hanya ingin mengetahui satu hal lagi.”

“Apa itu?”

“Kerajaan Gallia akan membantu kita dalam penghancuran sistem monarki Halkegena, kan? Apa yang akan kita lakukan bila mereka melakukan itu dengan maksud tersembunyi?”

Cromwell menatap Wardes dengan mata sedingin es.

“Viscount, itu bukanlah sesuatu yang perlu kau pikirkan. Serahkan politik padaku, akan sangat baik bila kau bekerja keras pada tugas yang diberikan padamu.”

Wardes mengejapkan matanya dan menundukkan kepala.

“sebagaimana harapanmu.”

“kau mengerjakan Tugas yang diberikan padamu, kan?”

“Dengan segala yang kumiliki.”

“Menvil.”

Begitu Cromwell memanggil, pintu kantor terbuka dan seseorang muncul. Dia sekitar 40 tahun, dnegan rambut abu-abu dan sebentuk wajah penuh keriput, tapi karena tubuhnya yang terlatih, tiada yang dapat menebak usianya. Pada pandangan pertama, dia tampak sebagai seorang pendekar karena tampilan luarnya yang kasar, tapi dia membawa sebilah cane, jadi dia seorang penyihir.

Ada karakteristik wajahnya yang sangat menonjol. Dimulai dari tengah dahinya, melewati mata kirinya dan berakhir di pipi. ada luka bakar yang sangat parah.

Cromwell memperkenalkan Wardes padanya.

“Ini adalah Viscount Wardes.”

Dengan wajah besi, Menvil tiba-tiba menatap wardes.

“Wardes, kau seharusnya setidaknya pernah mendengar namanya, kan? Dia adalah Menvil Putih.”

Mata Wardes berkilat. Dia teringat sesuatu saat mendengar nama itu. Sang penyihir bayaran legendaris. Sang Nyala Putih. seseorang yang menggunakan metode pengecut selama duel dan walhasil dicopot gelar bangsawannya dan menjadi tentara bayaran, membunuh keluarganya sendiri dengan membakar mereka hingga mati, lalu meninggalkan rumahnya. katanya, jumlah orang yang dia bakar jauh lebih banyak dari jumlah burung yang dia panggang untuk dimakan. Ada juga isu-isu lainnya yang beredar.

Tapi ada satu hal yang pasti dalm isu-isu tersebut.

Di medan perang, dia menggunakan nyalanya dengan penuh kekejaman.Apinya tak pandang bulu. Dia seseorang dimana umur dan jenis kelamin dari yang dia bakar tak berpengaruh. Dia seseorang yang menanggalkan kehangatan dari tubuh manusia seakan mereka api yang bebas...inilah siapa Menvil Putih sebenarnya.

“Ada yang salah, Viscount? Ada seorang legenda tepat di depanmu.”

“Aku hanya berpikir, bahwa aku senang tempat ini bukan medan perang.”

Wardes membeberkan perasaannya dengan jujur.

“Wardes, sekarang, di bawah pimpinanmu, aku ingin kau menggerakkan sebuah skuad kecil.”

Sedentuk ketidakpuasan dapat terlihat di wajah Wardes. “Dia ingin aku jadi kurir?” adalah apa yang diaktakan matanya.

“Aku lebih ingin kau tak membuat wajah sesedih itu. Apalagi, aku ingin kau melayani dengan sempurna. Sebagai unit kecil, skuad rahasia ini akan memerlukan ahli Angi untuk menggunakan perahu sebagai sarana. Pendeknya, kau.”

“...Sebagaimana harapanmu.”

“Tentara Gallia akan menangkap semuanya, kita tak perlu melakukan apa-apa, jadi aku mengharapkanmu untuks etidaknya mendorong dirimu disitu. Setelah kau menyelesaikan tugasmu, langsung lapor padaku.”

Ucap Cromwell dengan nada tak sabar.

“Dimana “disana” itu?”

“Pertama-tama, ia mesti tempat dimana pertahanan lemah dan harga kamar murah. Dengan kata lain, ia tak boleh terlalu dekat dengan ibukota Tristain. Terus, ia harus merupakan tempat yang penting, memiliki peran dalam perpolitikan. Karenanya, ia juga tak boleh terlalu jauh.”

“Peran dalam perpolitikan?”

“Misalnya, mengambil bangsawan-bangsawan muda sebagai tawanan, itu pasti akan berpengaruh pada perpolitikan negara, kan?”

Bibir Wardes agak terkulum.

Dengan gerakan yang dilebih-lebihkan, Cromwell memberitahukan tujuan mereka.

“Akademi Sihir, Viscount. Sebagai Petugas yang memimpin. kau akan mengambil keuntungan dari malam dan menuju kesana bersama Menvil dan sebuah skuad kecil.”


Disaat yang sama, di Akademi Sihir----

Kirche dan Tabitha tengah jalan-jalan di Plaza Austri. Kini waktu istirahat. Sebagaimana biasa, tempat ini dipenuhi siswa-siswa, namun...

Mereka semua adalah siswi. Sosok-sosok siswa, yang ribut, tak dapat dilihat dimanapun.

“Yah, yah, rasanya benar-benar sperti perang, kan?”

Kirche mengembangkan tangannya dan menggelengkan kepala. Kebanyakan siswa secara sukarela bergabung dengan Tentara Ratu, karena mereka bermasalah dengan kurangnya petugas. Dia terkejut, karena bahkan Guiche yang pengecut ikut.

Mereka semua tengah berlatih di tanah festival negara untuk menjadi petugaspengganti. wajar saja akademi menjadi agak tenang.

Tentu saja Tabitha adalah salah satu dari yang tinggal. Tiada alasan bagi Tabitha, yang bersumpah untuk membalas dendam pada raja Gallia, untuk alasan yang tak diketahui, menyibukkan diri dengan perang di tempat yang berbeda.

Kirche mendaftar untuk bergabung dengan tentara negerinya juga, tapi tak diperbolehkan karena dia seorang perempuan. Dia menyesal karena dia benar-benar ingin berlaku kasar.

Yah, karena guru-guru lelaki juga pergi, pelajaran dipotong jadi setengahnya.

para siswi kini memiliki banyak waktu luang, diiringi dengan kesepian, dan mencari-cari isu-isu untuk mencari tahu tentang apakah kekasih atau teman mereka selamat. Menyadari sosok Montmorency yang duduk di bangku dengan siku di lutut, Kirche menghampirinya.

“Wah, wah, sejak kekasihmu pergi, kau bosan, ya?”

Montmorency menatap lurus padanya, dan berucap dnegan nada kesal.

“Wajar saja dia pergi. Aku tak merasa tak enak karenanya.”

“Tapi, bukankah kau kesepian?”

“Dia, kau tahu, dia berlebihan melakukannya meski dia seorang pengecut. ha-ah, tapi saat dia pergi, rasanya agak sepi, kan?”

Kirche menepuk bahu Montmorency.

“Yah, mereka akan kembali sebelum Festival Turunnya Brimir sang Pendiri. Apalagi katanya ini akan jadi kemenangan mudah bila Tentara Ratu tersayang negerimu dan Kaisar besar negeri kami bergabung.”

Kirche mengucapkan “tersayang” dan “besar” dengan nada sarkasme. dari awal. Para ningrat Germania tak terlalu loyal. Apalagi ia adalah negeri yang diciptakan para Tuan y6ang bergabung karena memiliki keinginan yang sama.

“Itu akan menyenangkan.”

Montmorency mendesah.

Selama menatap Montmorency yang begitu, Kirche juga akhirnya merasakan rasa sakit yang sama. “Aku tak menyukainya...Aku benar-benar tak menyukai perang,” ucap yang selalu siap berkelahi.

Kirche dan Tabitha tengah berjalan malas-malasan saat mereka tiba di lab Colbert, yang berada di sebelah Menara Api. Disana Colbert tengah bekerja sangat keras demi menyelesaikan penyesuaian perang akhir pada Zero Fighter.

Meski kebanyakan guru lelaki pergi...Colbert tetap dalam susasana “jalanku” yang biasa. Begitu angin perang mulai bertiup, dia langsung menenggelamkan diri dalam penelitiannya.

“Sangat sibuk, ya?”

Kirche menanyai Colbert yang “itu” dengan nada tak yakin.

“Hm?” Colbert menengadahkan kepalanya sedikit dan tersenyum.

“Oh, Nona. Nona Zerbst. Kau seharusnya mengambil pelajaranku soal Manipulasi Api dari waktu ke waktu.”

Colbert mengatakannya seakan dia berada dalam kelas.

“Ya.”

Kirche menjawab dengan tak nyaman dan wajah agak sedih, dan mengangguk.

“Apa ada yang salah? Nona...”

“Pak, kau tak ikut serta dalam tentara Ratu, kan?”

Meski hampir seluruh lelaki di akademi bergabung dalam perang, adalah apa yang dimaksudkannya.

‘Hm? Ya...Karena aku membenci perang.”

Colbert mengalihkan wajahnya dari Kirche. Kirche menghembus dengan wajah sinis. ‘Sangat tak jantan”, pikirnya. Dia tak bisa melihat apa-apa selain orang yang telah melarikan diri dari perang. Dia tak bisa memaafkan guru ini yang, meski dia salah satu dari “Pengguna Nyala,” yang membanggakan, mengumumkan dirinya membenci perang.

“Sebagai seorang yang juga menggunakan Api, aku malu.”

Colbert menunduk untuk sesaat, tapi dia lalu menengadah lagi.

“Nona...kau tahu? Tujuan Api...”

“Bukan hanya untuk bertarung, adalah apa yang ingin kau katakan, kan? Aku lelah mendengarnya.”

“Itu benar. Ini tergantung cara menggunakannya. Tiada selain penghancuran...”

“AKu tak ingin mendengarkan ocehan seorang pengecut.”

Kirche membuang pandangan dan, sambil membujuk Tabitha ikut pergi, pergi meninggalkan tempat tersebut. Colbert membiarkan sehembus desahan kesepian keluar sambil menonton adegan itu.


Setelah kembali ke lab, dia duduk di sebuah kursi.

Colbert menenggelamkan diri dalam alam pikirannya untuk sesaat...dia membuka laci meja yang ditutupi banyak benda, dengan kunci yang digantung dengan benang dari lehernya.

Di laci tersebut ada sebuah kotak kecil. Dia mengeluarkannya dan membuka tutupnya.

Ada cincin Rubi merah kecil yang bersinar bagaikan ada senyala api didalamnya.

Jika seseorang memusatkan diri, dia dapat melihat senyala api yang menari didalam batu berharga tersebut.

Saat dia menerawangi api tersebut, ingatan-ingatan mengenai insiden 20 tahun lalu menyembul. Ingatan mengenai adegan-adegan yang bergulir dicap kedalam pikirannya; meski kini warnanya samar-samar. dalam kobaran yang jelas dan berkerlip itu...Colbert tengah menyalahkan dirinya sendiri. Untuk sesaat, dia mengingat semua yang telah dia lupakan...

Setelah itu, Colbert melihat-lihat sekitar dalam lab. Sebangun rumah kecil dengan tampilan luar yang kumuh, tapi dia lebih menyukainya daripada mansion dan properti yang dia warisi dari leleuhurnya yang dia sendiri telah campakkan. Dinding-dinding dihiasi berbagai alat dan botol yang dia kumpulkan selama ini.

Begitu dia menerawangi mereka, Colbert tiba-tiba ambruk seakan kesakitan.

“Tujuan Api...bukian hanya penghancuran...”