Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume7 Bab6

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab Lima : Kota Kuno Saxe-Gotha

Sekitar satu mil dari pinggir kota Saxe-Gotha, di daerah pentas pertempuran, 350 tentara batalion De Vineuil tengah menanti sinyal sangkala untuk memulai serangan.

Hari ini, 15 hari setelah pendaratan, tentara sekutu akhirnya melancarkan serangan mereka. Memimpin skuad kedua, Guiche gemetaran dari kepala hingga ujung kaki, dan menatap lekat-lekat kota Saxe-Gotha yang tertutup kabut.

“Pak, Komandan Skuad!”

Sersan yang berjaga di sisinya, Nicola, berbicara dengan nada lembut.

“A-a-a-ada apa?” Guiche belepotan.

“Kau menjatuhkan tongkatmu.”

Guiche langsung melihat ke bawah kakinya dan melihat tongkat berbetuk mawar-nya terbaring di tanah.

Dia dengan panik mengambilnya kembali dan memasukkannya ke kantong dadanya, sambil berusaha menjaga mimik khidmat wajahnya.”

“Pak, komandan Skuad!”

“A-ada apa?”

“Meski ini mungkin bukan urusanku, tapi kupikir sebaiknya kau kebelakang dulu.”

”Guiche langsung menatapnya tajam dan mengumumkan,

"Aku sudah melakukannya!”

“Baguslah kalau begitu,” jawab Nicola sambil menyeringai.

“Tak ada yang perlu ditakutkan. Berdasarkan laporan dari beberapa hari lalu, seluruh meriam-meriam musuh telah dihancurkan bombardir armada kita, dan mereka hanya menurunkan semi-manusia untuk menjaga jalan-jalan.”

“S-semi manusia itu sangat ganas, dan tubuh mereka sangat besar.”

“Tapi mereka musuh yang sangat mudah dipancing ke jebakan,” balas Nicola sambil memandang ke depan.

Guiche memperhatikan orang kecil yang membawa musket. Ini adalah pertempuran beneran pertama yang diikutinya, dan tiada orang lain yang dapat dia harapkan. Dengan pikiran semacam itu, orang didepannya tampak lebih besar dari preman manapun yang dia kenal.

“Namun...kapan kita memulai penyerbuan kita? Seluruh kota dikelilingi dinding batu raksasa itu...”

Nicola menganggukkan kepala begitu mendengarkan kekhawatiran Guiche,

“Sebentar lagi seseorang akan datang untuk ‘membuka jalan’ bagi kita.”

Setelah beberapa saat berlalu, sebuah armada kapal perang muncul di langit di atas mereka.

Kesepuluh kapal perang, lalu berbaris rapih dan terus membombardir dinding dengan menembakkan meriam. Di hadapan kekuatan tembakan kapal perang yang terbang, musuh tak bisa apa-apa.

“Boom—! Boom—! Boom—!” Diikuti oleh raungan dentuman tembakan meriam dan kabut asap nan tebal, dinding mulai runtuh dan sorakan dapat terdengar meletus dari prajurit-prajurit yang berkumpul di pentas ini. Di bawah rentetan tembakan meriam, dinding di sekeliling kota runtuh.

Lalu, yang muncul tepat di depan mata mereka adalah segrup golem lumpur raksasa.

“Mereka pasti golem-golem yang diciptakan penyihir-penyihir kelas-Segitiga.” Pikir Guiche sendiri.

Karena dia sendiri penyihir kelas-Titik, dia tak mampu menciptakan golem sebesar itu. Dia memandang menengadah kagum – Meski mereka agak lebih kecil dari golem lumpur ciptaan Fouqet Si Tanah Runtuh, yang dulu pernah mengguncang tristain, mereka masih raksasa. Para golem lumpur, dengan tinggi sekitar 20 meter, dengan mantap melangkah maju bersama, perlahan mendekat ke dinding-dinding yang runtuh.

Di punggung para golem lumpur tertancap bendera-bendera yang tertoreh simbol-simbol keluarga dari pencipta masing-masing, dan Guiche, saat menyadari simbol yang dia kenal diantara mereka, langsung menjerit keras,

“I-Itu golem lumpur kakakku!”

Itu pasti milik kakaknya, karena bendera yang berkibar di punggungnya membawa simbol keluarga Gramont, ‘Rosa dan Panther’.

Saat itu, dengan sebuah wuus, sebuah benda besar entah apa terbang lurus menuju golem lumpur yang menghampiri dinding. Wham! Salah satu golem mendapati lambungnya tertembus, berlubang menganga. Golem tersebut langsung kehilangan keseimbangan, dan runtuh menjadi onggokan di tanah. Cahaya logam ditembakkan menuju golem secara berentet, menjatuhkan mereka begitu terkena tembakannya.

“Apa-apaan itu?” Guiche terbengong-bengong.

“Itu ballista raksasa,” jawab Nicola langsung. “Aku khawatir mereka dioperasikan para orc. Itu senjata sepanjang 3 meter turunan crossbow, mampu menembakkan bolt-bolt raksasa. Jika seorang manusia yang kena, mereka pasti remuk berkeping-keping. Tapi, memang itu tak dirancang untuk digunakan pada orang.”

Guiche menonton golem kakaknya dengan rasa khawatir. Sebuah bolt menonjol keluar kaki golem itu, tapi beruntung golem lumpur itu tetap berdiri.

“Apa Komandan pasukan...anggota keluarga Gramont?” tanya Nicola, menyadari kegembiraan Guiche.

“Aku anak bungsu.”

Mendengar jawaban Guiche, mata Nicola terbelabak kaget.

“Itu berarti kau dengan Marshal adalah...! Kejutan! Apa yang membawamu ke batalyon musket rendahan seperti kami? Dengan nama Ayahmu, entah itu ksatria, atau markas regimen elit, bukankah kau bisa ikut batalyon manapun yang kau mau?”

“Jika aku menggunakan nama ayahku, bukankah itu berarti itu bukan lagi karena usahaku?” jawab Guiche sambil melihat kedepan.

Nicola tak mampu berkata apa-apa, tapi setelah beberapa saat, dia menyeringai dan menggampar bahu Guiche.

"Aku suka sikapmu, tuan muda. Karena sudah begini, kita takkan kembali pulang sebelum memenangkan usaha dan kemenangan kita!”

Sesaat setelahnya, squad ksatria naga juga tiba. Terbang lurus menuju balista di area pertempuran, dengan gabungan sihir dan api naga, mereka dengan cepat membuat balista membisu.

Setelah akhirnya tiba di kaki dinding yang rubuh, yang sudah menjadi puing-puing karena tembakan meriam tadi, para golem lumpur mulai menyingkirkan puing-puing.

“Mereka membuat jalan masuk.”

Sebentar lagi orang-orangnya akan menyerbu masuk kota melaluinya. Sekujur tubuh Guiche mulai gemetaran tak terkendali. “Kau gemetaran?”

“...M-meski aku akan sangat senang untuk mengatakan ini karena semangatku...ini mungkin karena takut. Ugh...”

“Heh, jujur adalah hal yang bagus, kau takkan pernah sukses hanya dengan keberanian dan kesembronoan. Tapi, kau tak bisa terlalu pengecut. Apapun itu, biarkan aku menanganinya.”

Nicola mengangkat tangannya pada sekitar ratusan musketeer dibelakangnya. Sekitar 50-an orang ike bertindak sebagai garda mereka. Pasukan ini terdiri dari sekitar ratusan dan 50-an orang, merupakan prajurit-prajurit di bawah komando Guiche.

“Siapkan dan isi selongsongmu-!”

Para musketeer dengan leyeh-leyeh mengisi senapan mereka denganpeluru dan bubuk mesiu.

“Pak Komandan Pasukan, apa aku boleh mengganggumu dengan ini?” Nicola menyerahkan sumbu pendek pada Guiche.

Guiche mengangguk, dan melantunkan matra “nyala” di sumbu. Sebuah bau terbakar terkuak ke udara mengikuti suara berdesis sumbu yang terbakar. Nicola memanggil seorang prajurit agar mendekat, dan menyerahkan sumbu yang menyala untuk dibagi-bagi ke prajurit lainnya.

"Ini obor yang diberikan komandan pasukan kita! Jangan sampai ia padam!”

Respon balasannya kekurangan antusiasme apapun.

Grek-grek---! Para golem telah menyingkirkan dinding. Pada saat itulah, Guiche mencolek Guiche di pinggang dan berkata,

“Pak Komandan Pasukan, ayo pergi,”

Sambil mengangkat tongkatnya dengan masih gemetaran, Guiche berteriak lantang,

“Pasukan G-G-Gramont, maju!”

Para Musketeer veteran mengikuti di belakang dengan langkah yang tak beraturan. Pada sat itulah Guiche menyadari – Hanya pasukannya yang menyerbu maju! Perintah menyerbu belum diturunkan dari atas!

“Hei Sersan---“ Dia baru saja hendak menyuarakan keluhannya, tapi terhenti begitu menyadari wajah kalem penuh percaya diri Nicola.

Begitu Pasukan mulai maju, mustahil menghentikan laju mereka, dan karenanya mereka hanya bisa terus maju.

Beberapa detik kemudian, perintah “Serbu!” bergema dari barisan di belakang.

Bagaikan ombak tiada henti, prajurit, ksatriam dan lainnya semua menyerbu dengan tujuan masing-masing.

“Kami semua vetran tua. Jika kami tak mulai sedikit lebih awal, kita takkan bisa mengejar mereka.”

Mungkin karena mereka maju lebih awal, pasukan Guiche adalah yang pertama mencapai salah satu reruntuhan tembok. Tapi beberapa ksatria berlari mendahului mereka, menyerbu masuk kota.

“Tapi kami yang pertama sampai!” teriak Guiche sambil bersiap-siap menyerbu masuk, tepat sebelum Nicole mencengkramnya.

Langsung setelahnya, para ksatria yang baru saja menyerbu masuk diterbangkan balik bersama dengan bawaan mereka, mendarat di depan Guiche dalam keadaan menyedihkan. Sepertinya di balik dinding ada orc bersenjata pentungan, menunggu orang tolol berpikiran sempit seperti mereka untuk mengirimkan mereka ke kehancuran kmereka.

Monster-monster seukuran setidaknya 5x manusia, kelompok orc itu menyadari pasukan Guiche dan langsung menyerbu. Guiche teringat saat dia berburu harta karun dengan kawan-kawannya; bagaimana mereka diserbu orc seperti ini juga. Golem-golem perunggunya dihancurkan berkeping-keping oleh mereka saat itu.

Rasa takut menyergapnya dari dalam.

“Tembak! Tembak! Cepatlah, tembak!” Guiche mulai berteriak panik.

“Jangan menembak dulu! Pak Komandan pasukan! Gunakan mantra untuk menjatuhkan yang berada paling belakang! Cepatlah!”

Lalu, bertindak sesuai yang dikatakan, Guiche mengayunkan mawar buatannya. Muncul dari tanah, sebentuk tangan mencengkram kaki orc di belakang.

Dengan sebuah “Gedebug!” tepat di di tengah celah sempit dalam tembok, orc terjatuh.

“Platon pertama! Kelompok terdepan adalah sasarannya! Tembak!”

Tanpa menunggu lagi, Nicola mengeluarkan perintah untuk menuangkan voli api pada orc di pangkal kelompok yang mendekat.

30-an musketeer menembakkan pistol mereka dalam simfoni pada orc yang memimpin, membuatnya menjadi sarang lebah. Orc di depan juga jatuh ke tanah, menahan laju kelompok di belakang mereka. Nicola buka tipe yang membiarkan kesempatan seperti ini hilang, sehingga menurunkan perintah selanjutnya tanpa keenganan.

“Platon kedua! Tembak--!”

Meski para orc mampu mengayunkan pentungan mereka setelah hujan peluru itu, mereka tetap tak mampu menahan kerasnya tembakan lusinan peluru dari jarak begitu dekat. Para orc yang berada di belakang memutuskan muncur, tapi diantara celah sempit di dinding, ada orc yang telah dijatuhkan ke tanah oleh sihir Guiche, sehingga mereka tak mampu bergerak. Di depan, mereka terhalang mayat teman mereka. Tepat ketika mereka selesai bersusah-payah melalui mayat-mayat untuk menyerbu maju, mereka disambut voli api oleh musketeer yang tersisa.

Orc tersisa yang sedikit bertemu para pembawa pike yang menyerbu dan dengan cepat disingkirkan.

Menatap 20-an mayat orc di tanah, Guiche mengumumkan dalam kagum,

“S-sangat kuat...”

“Itu karena mereka berpikiran sempit – begitu mereka melihat musuh, mereka akan langsung menyerbu menuju musuh.”

Si Sersan veteran tertawa sambil menepuk bahu Guiche.

“Pak Komandan pasukan, lihat, kini kau bisa mendapatkan penghargaan tertinggi.”

Dan hanya dengan itu, batalyon ragtag menunjukkan tingkat solidaritas yang liuar biasa.

Sementara di tempat lain, ada “kartu As” tentara sekutu yang sendirian.

Ia Louise dan familiarnya.


Saxe Gotha dibangun di gunung yang relatif tinggi. Dikelilingi oleh sebuah tembok, sebuah jalan utama berbentuk seperti bintang bersudut lima terbangun didalamnya. Legenda mengatakan bahwa ini adalah kota pertama yang dibangun Sang Pendiri di Benua Albion; Apakah itu kebenaran atau bukan, tak mungkin diketahui.

Namun, hanya 5 jalan dari pentagram itu yang menunjukkan desain geometrik nan elegan, didalamnya berupa jalan cabang nan rumit tak terhitung dan gang-gang tak beraturan. Ia tak beda dengan kota-kota lain yang dapat dikunjungi di seantero Halkegenia.

Saat itu, Louise tengah berlari panikl melalui gang nan sempit. Saito dapat terlihat di sampingnya dengan Delflinger terpegang erat dalam genggamannya, dan segera diikuti anggota-anggota ksatria naga yang menyamar.

Yang mengejar mereka di belakang adalah 10-an troll dan ogre bertaring; keduanya raksasa yang berukuran sekira 5 meter.

Beruntung ini adalah gang sempit, para monster tampak kesulitan untuk menerobos. Karena mereka menabrak tembok dan jendela yang menonjol saat mengejar, mereka memakan waktu lebih lama. Jika ini lahan yang datar dan luas, Louise dkk pasti akan tertangkap dalam sekejap. Untuk mengetahui mengapa Louise berlari maju dan mundur melalui kerumitan gang dalam Saxe-Gotha, kita akan mulai dari awal tugas yang mereka terima.

Dalam bahasa sederhana, tujuan mereka searah dengan kekuatan utama yang menyerbu: Menyusupi kota dari sisi yang berlawanan. Tujuan asal mereka adalah menggunakan “Ilusi” untuk menciptakan tentara bayangtan, sehingga musuh akan tercerai-berai...

“Mengapa kau harus tiba-tiba menjerit seperti itu?! Hei!” teriak Louise sambil terus berlari.

3 jam yang lalu, mereka menyusup masuk kota dengan bantuan selubung kegelapan.

“Bukankah aku sudah bilang padamu? Tak peduli apapun yang kau lihat, jangan terkejut! Hei!”

“T-tapi...ia terlalu besar! Troll itu! Ogre itu...apapunlah itu!”

Masalahnya, Void Louise perlu masa pelantunan yang sangat-sangat lama.

Tepat ketika dia tengah melantunkan mantra di sudut jalan sambil berpura-pura berceramah, seorang ningrat Albion yang tengah berpatroli mendekat untuk memeriksa mereka.

“Siapa kalian?”

“Kami adalah pengikut Ritual Penyampaian sang Pendiri, yang telah membawa kami ke kota kuno Saxe-Gotha ini. Kami berharap Albion mendapatkan kemenangan, jadi kami tengah berdoa ke langit.”

Meski Rene mengatakannya tanpa mengedipkan mata, penyihir yang berpatroli itu dengan wajah yang menyebalkan masih terus bertanya.

“Jangan-jangan...kalian mata-mata yang dikirimkan Tristain dan Germania?!”

Louise menggelengkan kepalanya keras-keras dengan panik.

Rene juga menggelengkan kepalanya.

Lalu Saito, melihat Troll raksasa yang berdiri dibelakang si penyihir, tiba-tiba menjerit keras:

“Itu sangat besar! Apaan sih itu?”

Penyihir itu langsung mendekatkan wajahnya pada Saito, yang tiba-tiba berteriak keras.”Wajah yang sangat jarang terlihat...”

Aku dicurigai, pikir Saito, sambil bersikap tak biasa. Si penyihir langsung menarget Saito.

“Bolehkah kubertanya padamu-Siapa Jenderal yang memeimpin Tentara kedua Republik Suci Albion?”

Saito tegang.

Seorang Jenderal!? Mana mungkin aku tahu itu? Melihat sekelilingnya, yang dapat dilihatnya hanya butiran keringat di kening semuanya. Sial, keberhasilan misi ini semua tergantung jawabanku. Tapi...aku tak tahu nama jenderal itu.

Penyihir musuh terus mendekatkan wajanya, menatapnya tajam, dan berkata,

“Ada yang salah? Kau tak tahu? Kau bahkan tak tahu nama Jenderal yang melindungi tempat ini?

"Apa kau benar-benar dari Albion? Ayo bilang!!”

Pikiran Saito mulai kacau balau, dan karena sudah masuk tahap yang sangat parah...pikirannya benar-benar kosong.

“Tokugawa Ieyasu.”

Dia membuat-buat jawaban seperti itu. Soal nama jenderal, dia hanya tahu yang satu ini.

“Apa? Tokugawa Ieyasu?! Darimana dia?! Mengapa kau tak bisa memberikan jawaban yang lebih masuk akal?!” teriak Louise sambil berlari.

“Aku tak punya pilihan! Dia satu-satunya yang kutahu!”

“Ya sudah, aku takkan menyalahkanmu untuk saat ini.”

Tidak, sebaliknya, ini semua salahnya, tapi tak ada yang bisa dilakukan sekarang. Louise melanjutkan,

“Tapi mengapa kau tak mengurus mereka seperti biasanya? Mereka hanya sedikit jumlahnya!”

Saat Saito menjawab “Tokugawa Ieyasu”, si penyihir terkejut, sebelum berteriak “Orang-orang mencurigakan!” dan meluncurkan serangan kejutan dengan para troll.

Sebenarnya Saito hendak menahan sernagan mereka...tapi diterbangkan oleh troll dalam satu pukulan.

Kekuatan yang luar biasa dari makhluk semanusia raksasa itu...sangat sulit ditahan, meski dia adalah Gandalfr. Dan ada sekitar 10 dari mereka. Bahkan jika aku tak mampu membunuh mereka, aku seharusnya bisa menahan serangan mereka...Namun, saito hari ini tak sama dnegan yang biasanya.

“Ada apa, rekan? Mengapa aku tak merasakan semangat darimu?”

Setelah menahan serangan musuh, bahkan Derflinger menyadarinya. Entah bagaimana, dengan sihir Rene dkk, mereka bisa menahan musuh dan kabur. Namun, karena kebanyakan ksatria naga adalah penyihir Titik, mereka dengan cepat kehabisan sihir.

Jumlah pengejar bertambah sementara mereka mencoba kabur. Para penduduk di sepanjang jalan membuka sedikit jendela mereka dan dnegan tegang menonton pengejaran ini.

Pada saat itu, dari sisi lain kota, suara ledakan terdengar. Serangan Bagian utama telah dimulai.

“Serangan dimulai!”

Louise menekan bibirnya keras-keras. Misi mereka untuk membantu serangan bagian uta dengan menciptakan kekacauan...gagal.

Ini semua karena kau!”

Dia meneriaki Saito, yang berlari di sebelahnya.

“A-Apa...”

Saito bergumam dalam frustasi.

Badannya terasa berat.

Biasanya...jika dia menggenggam sebuah senjata, tubuhnya terasa ringan, seakan tubuhnya mengeluarkan sayap, lengan dan kakinya bergerak bebas...tapi kini terasa seakan terikat karet.

Saito tak bisa bergerak lebih cepat dari dirnya yang biasa, meski mereka masih bisa bertarung...ini tiada gunanya. Mustahil melawan penyohor dan rekan monsternya. Mereka tak bisa melakukan apapun selain kabur.

"Mengapa kau tak berguna di saat yang paling kritis? Hei!” Saat dimana Louise yang kesal berteriak, sekelompok orc keluar dari sudut jalan di depan. Troll di belakang, orc di depan.

Mereka sepenuhnya terjebak, Tak mungkin mereka menyernag balik.

Rene mengusap bibirnya.

“Yah, aku takkan bahagia mati karena tabrakan.”

Semi-manusia itu mulai mendekat...tapi lalu...menengadah ke langit...

Boooooom!- kelompok orc di depan terbakar tiba-tiba.

“Ksatria naga!” Teriak Rene dkk. Saito juga melihat menengadah ke langit.

Para ksatria naga menukik dari langit, menembakkan mantra dan hembusan sihir, menyingkirkan musuh.

“Rekan-rekan kami dari pasukan ketiga.” Teriak Rene. Saito melihat ke langit.

Berpakaian putih, Julio mengendarai naga angin terdepan. Ada 10 ksatria. 5 mengejar para troll, sementara 5 yang lain mendarat di sekitar Saito dkk.

“Cepatlah, ayo naik!” Teriak Julio. Saito, Rene dan yang lainnya buru-buru melompat ke atas para naga. Setelah memastikan semuanya naik, Julio terbang.

“Kami melihat kalian dikejar-kejar dari atas,” jelas Julio.

Louise, merasa lega, menepuk dadanya, dan berterima kasih pada Julio. “Terima Kasih. Kami selamat.” “Jangan berterima kasih dulu.”

Bahu Louise yang tak bersemangat jatuh.

“Kami...gagal dalam misi ini. Tak bagus...”

Julio menunjuk ke tanah.

“Memang. Sepertinya tiada perubahan situasi umum yang berarti.”

Kekuatan tentara gabungan Tristain-Germania sangat besar. Tentara Albion yang hanya terdiri dari semi-manusia, yang, dnegan tubuh besar mereka tak bisa bertarung di jalan-jalan nan sempit, kini mundur.

“Tapi berbeda dengan misi penyelidikan, kekuatan yang digunakan dalam pengalih tak terlalu berguna....” kata Julio dan Louise tertunduk.

“Tapi aku tak bisa mengerti soal menggunakan gadis manis sepertimu sebagai “alat”. Yah, aku bukan prajurit sih. “

Saito, yang duduk di belakang Louise, menyela.

“Kau bukan seorang prajurit?”

“Aku seorang pendeta, pelayan Tuhan, bukan tentara.”

Saito memikirkan kata-kata Julio. Orang licik – pikirnya, tapi tak menyuarakannya.

“Itu benar, aku juga berpikir begitu,” angguk Saito.

"Hei Louise! Apa kau baik-baik saja? Mengapa kau tak mengeluh? Apa para Jenderal itu akan marah karena kita gagal dalam misi ini?”

Namun, Louise mengumumkan dnegan jelas.

“Aku harap begitu. Sepertinya tak semuanya bisa berjalan.”

Saito, begitu mendengar kata-kata Louise, terdiam, merasa aneh lagi.


Tentara gabungan Germania-Tristain mengambil alih kota Saxe-Gotha dalam seminggu sejak dimulainya penyerangan.

Kerusakan tak berarti. Semi-manusia raksasa tak bisa bergerak bebas di daerah urban yang disesuaikan untuk manusia, dan dikalahkan bahkan dalam pertarungan satu lawan satu.

Kota ditaklukkan dengan mulus, berkat kerja sama dengan penduduk juga. Para penduduk kota mendendam pada tentara Albion yang mengambil seluruh perbekalan mereka, dan satu demi satu, mereka bekerja sama dengan tentara gabungan. Mereka menginformasikan tentara gabungan tentang bangunan dimana semi-manusia berada dan bertarung bersama.

Dan, pada akhir minggu bulan Wynn, pada hari minggu Ing. Di plaza pusat Saxe-Gotha, pembebasan kota diumumkan.

Seluruh anggota Dewan Kota Saxe Gotha, termasuk sang Walikota, penduduk, dan staff berkuasa dari tentara gabungan Tristain-Germania berkumpul.

Naik ke atas panggung yang dibangun di pusat plaza, Jenderal tentara gabungan, Komandan tertinggi de Poitiers menyambut mereka.

“Dengan ini, aku umumkan kota Saxe-Gotha dibebeaskan. Aku memberikan hak memerintah sendiri terbatas pada Dewan Kota Saxe-Gotha dibawah bimbingan pemerintahan Tristain dan Germania.”

Di antara mereka....Saito tengah menatap tangan kirinya.

Dia menggenggam Derflinger dengan tangan kanannya.

Lalu...runenya bersinar sedikat. Dia tak bisa merasakan cahaya yang berkilauan seperti biasanya. Dia merasa baterainya mulai habis.

“Ini tak bagus, rekan.”

Gumam Derflinger. Saito mengangguk.

“Ini dalam kondisi buruk.” Sejak misi terakhir, dia sudah merasakannya. Badannya terasa berat, gerakannya lambat, tiada tenaga.

“Sudah berakhir untukku, rekan.” Desah Saito.

"Jangan berkata begitu, Kekuatan Gandalfr terletak pada kekuatan hati. Hati rekan terguncang. Dengan kata lain, kau kehilangan motivasimu.”

“Apa?”

“Aku tak tahu. Mengapa kau pikir aku tahu lebih banyak.Masalahnya bukan dia aku, masalahnya di hatimu, rekan. Yah, meski aku sudah bisa menebaknya...”

Derflinger menggeleng.

“Ini soal cinta ningratmu. Bukankah dulu aku sudah bilang padamu? Perasaan yang kuat adalah satu-satunya sumber kekuatan Gandalfr. Kini kau mulai meragukan tuanmu. Kau ragu tuanmu berharga sehingga harus dilindungi atau tidak. Perasaanmu terguncang. Dan kekuatanmu lenyap.”

“...”

“Penyihir dan familiar. Saat mereka saling mempercayai, kekuatan mereka berlipat ganda. Yang legendaris tak terlalu berbeda.”

Saito memikirnya sambil melamun.

Kalau begini, aku tak bisa bertarung, kan?

Sebuah pemikiran tak enak melintasi pikirannya.

Tapi, sepertinya, tak apa-apa, Saito mencuri pandang cepat pada tuannya.

Louise tengah berbicara panjang dengan pendeta Romalia itu.

Saat Saito melihatnya, dia mengacuhkan mereka. Seperti ketika dia melihat Louise dekat dengan Wardes, sebuah perasaan berat soal ketidakberdayaan membebani bahunya.

Bagaimana bila...jika Louise direbut olehnya, apa kau tak marah? Dia berpikir seperti itu. Sesuatu yang terkubur dalam-dalam di hatinya mulai bergetar.

Perasaan Saito semakin tenggelam saat memikirkan ini, dia diselimuti ketidakberdayaan mendalam.

Jenderal agung di panggung tengah memberikan pidato yang berapi-api. Seakan-akan Albion sudah kalah dan kemenangan tentaranya tak diragukan lagi. Kata-kata ini masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

Untuk apa aku bertarung disini?

Tak lama sebelumnya, alasannya jelas.

Untuk Louise.

Louise-lah alasannya.

Gadis itu, yang penampakannya membuat jantungku berdegup...

Namun, Bagaimana bila ia juga gadis yang menolak cintaku?

Bagaimana bila Louise tak mau lagi mengenaliku?

Jika kau tak dicintai, mengapa kau masih disini?

Aku tak tak tahu.

Aku tak tahu?

Tidak...pikiranku menolak mengakui alasannya. Perasaan itu.

Dia tak bisa membiarkan sikap Louise menyakitinya lebih jauh.


Sementara, di sisi lain, Louise, yang berbicara panjang dengan Julio, juga merasa melamun.

Dia memandang Julio. Dia pemandangan yang menyenangkan. Tiada seorang gadis pun yang takkan tertarik padanya.

Namun, matanya hanya tertuju pada familiarnya. Beberapa kali, dia mencuri melirik-lirik padanya. Saito memandang ke arah ini dan terlihat terluka.

Heee, bukankah itu cemburu?

Kelakuan si familiar itu kan cemburu.

Meski sebuah senyum mengancam untuk tampak, dia dengan susah payah mencoba meredamnya. Kepuasan!

Kini aku dapat sedikit pencerahan soal apa yang kurasakan selama ini, gumamnya dalam hati.

“Nona Vallière.”

“Ah, ya! A-apa?” Julio tersenyum.

“Punten, Aku dipanggil, aku akan meninggalkanmu untuk sesaat.”

“Eh?”

Julio menyikut demi membuat jalan melalui kerumunan hingga dia berdiri di hadapan Jenderal di panggung. Wajah ganteng Julio membuat wanita Saxe-Gotha mendesah. “Bukankah petugas ini ganteng?” “Dia bukan seorang petugas tapi seorang pendeta?” Semua bisa mendengar bisik-bisik di sekitar.

Tampak di depan Jenderal de Poitiers, tidak hanya ada Julio, tapi ningrat lainnya juga berbaris.

Setelah memastikan seluruh ningrat berkumpul di depannya, sang Jenderal memilin kumisnya.

“Eeh, aku memperkenalkan lelaki-lelaki pemberani ini pada kalian semua. Mereka bertarung dalam perang pembebasan Saxe-Gotha, bagai pahlawan legendaris, mereka mempertahankan tanah mereka dengan senjata di tangan mereka. Hanya dengan usaha merekalah kemenangan luar biasa ini dapat diraih. Sehingga, sebagai Jenderal yang berwenang, aku persembahkan Medali Jiwa Rambut Putih pada mereka.”

Tepuk tangan membahana.

Petugas lalu memamnggil nama penerima secara berurutan.

“Balyon Infantri Musket Bebas De Vineuil, Komandang Pasukan kedua, Guiche de Gramont!”

“Y-ya!”

Mulut Louise terjatuh.

“Guiche?” sebagaimana dalam Guiche, teman sekelas Akademi sihir mereka?

“Dia dan pasukannya, bertarung dengan gagah berani di jalan-jalan dengan satu lengan.

Terlebih lagi, mereka adalah yang pertama untuk membersihkan jalan-jalan dari orc. Misi ini sukses, dan mereka membebaskan lebih dari lusinan rumah. Bertepuk tanganlah untuk dia dan pasukannya!”

Gemuruh tepuk tangan membahana. Guiche dengan lebar namun malu-malu, menerima penghargaan di lehernya. Seorang pemuda, dengan wajah yang mirip dengannya, keluar dan memeluk Guiche.

“Psst, kudengar itu anak bungsu Marshal lapangan Gramont” “itu lho anak kedua...” “Tidaak, apa mungkin itu anak “Si Singa...” rumor-rumor beterbangan.

Louise merasa aneh. Guiche yang tolol itu diberi penghargaan? Tak mungkin, Aku membayangkan apa yang akan dikatakan Montmorency saat dia mendengar ini! Mungkin merubah pandangannya sedikit?

Ternyata, adalah kakaknya yang memeluknya. Dia tak terlihat nyaman saat menerima pujian kakaknya.

Entah mengapa, dia iri pada Guiche.

Dipuji Keluarga dan dihargai mereka...

Meski raihan militer Louise jauh lebih besar dari Guiche, hal-hal seperti ini tak bisa dilakukan terang-terangan.

Namun, begitu perang ini berakhir...saat damai datang...dia akan menceritakan pada keluarganya soal raihan militernya yang luar biasa dan kesetiaannya pada ibu pertiwi.

Mungkin kemudian mereka akan merubah pandangan mereka padanya. Tapi, untuk saat ini, dia tak bisa terantuk dan mengambil sedikitpun pernghargaan untuk raihannya sendiri.

Saat berpikir, dia teringat kesalahan Saito. Misi pengalih untuk menyusup kedalam kota gagal berkat Saito. DIa memandnaginya, sambil sesekali melempar lirikan ke samping.

Pengguna kekuatan legendaris. Kesalahan dalam menggunakannya dan mereka mendapati mereka dalam keadaan terdesak kemarin. Saito seharusnya lebih hati-hati, pikir Louise.