Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume7 Bab5

From Baka-Tsuki
Revision as of 08:21, 1 September 2012 by Altux (talk | contribs)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Zero no Tsukaima: Buku 7 Bab 4 Bab 4 : Sang Sekretaris Dan Sang Raja

Di Londinium, ibukota Albion, ada diskusi panas mengenai pemberangkatan di Aula Putih. Karena tentara Albion terpancing ke Dartenes oleh “Ilusi” Louise, mereka melepas kesempatan mengalahkan tentara musuh di pantai. Jika mereka menyerang musuh yang mendarat di Rosais dengan tepat, kemungkinan mereka dapat mengusir musuh dari Albion ke Halkeginia... “Kini musuh telah selesai mendarat dan mendirikan kamp, adalah bunuh diri untuk balik menyerang dari sisi ini.”

Kata seorang Jenderal muda dengan nada lelah, yang duduk di sisi utara meja bundar dimana duduk 15 orang. Seperti yang dia katakan, setengah angkatan udara Albion, yang menisakan 50 kapal, dihancurkan di pertempuran kemarin, sedangkan kapal-kapal yang tersisa menerima kerusakan berat. Mereka bahkan tak bisa memberangkatkan 10 kapal.

Di sisi lain angkatan udara gabungan Tristain dan Germania kehilangan 12 kapal dan 8 rusak parah, namun ada 40 yang masih mampu terbang. Mereka memiliki keunggulan udara sempurna dalam situasi ini.

Apalagi, jumlah orang di tentara Albion berkurang. Di pertempuran tarbes, mereka kehilangan 3000 orang, dan kehilangan kemarin menyebabkan moral seluruh pasukan jatuh; beberapa kelompok akhirnya desersi. Gairah yang ditunjukkan selama revolusi tidak lagi disana.

Melawan 60.000 yang memiliki keunggulan di udara, tak mungkin mereka terus menyerang. Pandangan pengambing hitaman jatuh pada Cromwell, Ketua Republik Albion nan Suci dan Kaisar pertama Albion, yang duduk di tengah.

Karena setelah banyak strateginya yang gagal, dia membiarkan musuh mendarat. Namun, Cromwell tak mempedulikan tatapan-tatapan itu...dan tetap santai. Jenderal Hawkins yang secara esensi memegang tongkat komando Kekuatan utama Albion, berbicara. “Inversi ini kesalahanku. Aku membiarkan kesempatan untuk membinasakan musuh dalam satu gerak lepas. Tiada kata-kata yang bisa kuucapkan sebagai permohonan maaf.” “Tentara kita dalam keadaan terkoyak,” senyum Cromwell.

“Dan operasi untuk membuat anak-anak akademi sebagai tawanan juga gagal.” Meski dia gagal, sepertinya dia sama sekali tak merasa terganggu. Dengan sebuah desahan dan nada lelah, Hawkins berkata, “Senjata sihir yang musuh gunakan lebih kuat daripada yang kami bayangkan.” “Nona Sheffield.” Sekretaris yang diselubungi kain hitam di belakang Cromwell, Sheffield, mengangguk dan membaca laporan yang tertulis di parkemen.

“Ilusi yang muncul dekat Dartenes bertahan 13 jam lalu tiba-tiba menghilang.” “Itu hanya sihir muslihat yang menciptakan ilusi. Apa yang harus ditakutkan?” “Ia memiliki pengaruh yang besar.” Ucap Hawkins sambil menutup matanya. Kebingungan yang dibuat ilusi menyebabkan tentara dibawa untuk kembali....dengan kata lain, ia menciptakan efek yang tak berbeda dengan kekuatan militer sebesar 10.000. Dia tak bisa meremehkan ini sebagai “hanya” sebuah ilusi.

“Jujur saja, aku takut pada musuh. Disamping ilusi di Dartenes, musuh menggunakan banyak sihir yang tak dikenal. Cahaya magis yang menghancurkan armada kita...” Cromwell menatap Sheffield dan mengangguk. Sekali lagi, Sheffield membaca perkamen dengan nada yang cukup teratur, bagaikan choir yang menyayikan sebuah hymne di kuil. “Disimpulkan...bahwa musuh sedang tak berada dalam kondisi untuk menyerang dengan cahaya yang menghancurkan armada kita di Tarbes.”

“Mengapa begitu?” “Jika mereka hendak menggunakannya. Mereka akan menggunakannya dalam pertempuran udara sebelum mendarat kemarin.” “Kemungkinan menyimpan untuk nanti?” “Tentara musuh akan berada dalam keadaan terpuruk bila mereka kalah dalam pertempuran udara. Jika mereka menggunakan apapun yang mereka bisa, maka, hampir pasti, mereka akan melepaskan ‘cahaya mukjizat’ itu. Tapi musuh bertarung secara biasa. Meski tentara kita tetap kalah.” “Kita akan baik-baik saja bila kita menang di darat,” Cromwell mengambil alih. Mendengar ini, staff jenderal markas besar berdiri.

“Paduka, staf jenderal berasumsi bahwa musuh bergerak untuk menaklukkan kota Saxe-Gotha. Ini...” jelasnya sambil menepukkan ujung tongkatnya pada map di meja.

“Ini adalah titik pertemuan dari jalan raya dan sebuah metropolis nan penting. Sebagai Faktor yang memperkuat asumsi itu, mata-mata musuh telah aktif disekitar sini. Beberapa hari lalu, para ksatria naga, kemungkinan untuk tujuan inspeksi, datang terbang dan bertempur dengan skuad ksatria naga tentara kita. Kita harus menempatkan kekuatan utama kita dalam Kota Saxe Gotha dan menunggu musuh.” Jenderal-jenderal lain menyuarakan kesetujuan mereka. Ini strategi yang masuk akal. Namun, Cromwell menggelengkan kepala.

“Kekuatan utama takkan pindah dari Londinium.” “Apa kau berencana duduk saja dan menunggu dikalahkan?” Hawkins menatap Cromwell seakan dia anak-anak yang menolak mainannya diambil. Cromwell menggelengkannya kepala lagi. “Jenderal, aku ok saja dengan takluknya Saxe Gotha.”

“Kau memberikan musuh sebuah markas strategis tepat di bawah hidungmu. Musuh kemungkinan akan mengisi kembali perbekalan mereka di Metropolis dan beristirahat.” “Kita takkan memberikan perbekalan pada mereka.” “bagaimana?” “Ambil seluruh makanan dari penduduk.”

Hawkins kehilangan kata-kata. Apa-apaan...Cromwell tengah berusaha menggunakan penduduk Saxe-Gotha. “pada akhirnya, Musuh akan memberikan makanan dari perbekalan mereka yang sedikit untuk penduduk. Itu akan memperlambat mereka. Rencana ini lebih bijak daripada melakukan pertempuran defensif dan menderita kekalahan.”

“Apa yang akan kita lakukan bila musuh mengabaikan mereka! Banyak orang yang akan mati karena kelaparan!” “Itu takkan terjadi. Bahkan meski musuh mengabaikan mereka, ini hanya sati kota. Dibandingkan pentingnya satu negara, ini pengorbanan kecil.” Itu merupakan perkataan dingin, tak terpikirkan keluar dari seorang penguasa. Namun, apa yang dikatakannya benar.

Tentara sekutu tak menyerbu demi berunding dengan Cromwell. Mereka datang untuk menurunkan Cromwell dan menguasai tanah ini. Kemungkinan 80-90%, mereka akan memikirkan tentang penduduk setelah perang dan melakukan kegiatan sosial. Namun...Apa yang akan kita lakukan setelahnya? Kemungkinan paling buruk, seluruh metropolis akan memberontak. Itulah gambaran seberapa menakutkannya pengaruh makanan. “Kau berencana membuat seluruh metropolis menjadi musuhmu...Bagaimanapun, akan ada efek ikutan yang tak enak...”

“Pikirkan mengapa aku mengatur supaya para semi-manusia pergi duluan? Yang kita harus lakukan hanyalah mengatakan itu keputusan mereka sendiri.” Tak diketahui mengapa, tapi Cromwell ahli dalam bernegosiasi dengan semi-manusia. Mengetahui bahwa para semi-manusia dikirimkan duluan bukan untuk operasi tentara biasa tapi untuk taktik semacam ini, para Jenderal terdiam.

Pemimpin mereka melanggar perjanjian, tak hanya menggunakan muslihat untuk menjalankan taktik, tapi akhirnya berencana mengkhianati penduduk negerinya sendiri dengan tindakan pengecut. “Aku juga akan menempatkan sebuah jebakan di air Saxe-Gotha.” “Apa kau merencanakan melemparkan racun kedalam air? Sesuatu seperti racun aakan tercuci dengan cepat.” “Bukan racun. ‘Void.” “Void?”

“Itu benar. Ini akan jadi menarik. Namun, efek ini perlu waktu untuk bekerja,” seyum Cromwell.

Dia bangkit berdiri...dan mengangkat kepalannya. “Tuan-tuan, kini Pentecost! Hentikan musuh hingga saat itu! Saat Pentecost berakhir...’Void’ dan persilangan kedua tongkat akan menjatuhkan palu besi pada musuh kita yang congkak itu!” Kedua tongkat yang bersilangan adalah lambang keluarga kerajaan Gallia. “OHHH! Akhirnya, Gallia! “ dan ruang konferensipun menjadi riuh.

“Pada saat itu, tentara kita akan maju! Untuk menghancurkan musuh kita yang congkak! AKu berjanji pada kalian!” Merasakan suasana tempat ini memanas, Cromwell berjalan dengan cepat ke balkon. Para Jenderal dan menteri kabinet berdiri dan mengikutinya. “Buat seluruh menteri kabinet kita menyemangati prajurit-prajurit kita yang berani dan setia!”

Suara sorakan-sorakan mengelilingi Cromwell dan yang lainnya. Di lapangan nan luas yang dulu dibangun untuk menunggu audiensi raja, kepercayaan yang gila dan bersemangat tengah diberikan pada Cromwell, dan para garda monarki berbaris dalam barisan. Ribuan suara sorakan mencapai dia. Cromwell melambaikan tangannya untuk menjawab. “Musuh telah mendarat di ibu pertiwi! Semuanya! AKu tanya kalian para prajurit revolusi nan berani! Apa ini kekalahan?” “Tidak! Tidak! Tidak! Tidak! Tidak! Tidak! Tidak! Tidak! Tidak! Tidak! Tidak!” Kumpulan sorakan mengelilingi Cromwell

“Memang! Ini bukan kekalahan! Pastilah bukan! AKu menjanjikan kalian kemenangan! Kepada kalian semua, Yang berani, yang setia, tak tertandingi, yang mengambil mahkota dari raja yang tak mampu itu. Aku menjanjikan kalian kemenangan! Musuh kita yang congkak itu akan dihancurkan saat Pentecost berakhir! Mereka telah mengusik kemarahan Tuhan! Dengarlah! Dengarlah! Yang akan memimpin Halkeginia yang tengah tersesat adalah penduduk Albion, yang telah dipilih Tuhan! Untuk itulah, Sang Pendiri telah mempercayakan kekuatannya padaku!” Ada banyak Prajurit yang telah tewas dibariskan di atas balkon. Cromwell mengangkat cincinnya tinggi-tinggi.

Saat itulah....para prahurit yang tewas hidup kembali dan berjalan. “Semuanya! Selama kita memiliki ‘Void’ ini, kita tak terkalahkan! Percayalah padaku! Percayalah para ibu pertiwi! Percayalah pada ‘Void’. Kekuatan kita yang telah dipilih oleh Sang Pendiri!” "Void! Void! Void! Void! Void! Void! Void! Void! Void! Void!" “Itu benar, Void!” Cromwell mengyunkan kepalannya.

“Sang Pendiri bersama kita! Janganlah takut! Sang Pendiri bersama kita!” Antusiasme dalam lapangan mencapai puncaknya. Cromwell berteriak dengan suara keras. “Abadilah Revolusi! Hancurkan musuh!” Antusiasme bahkan mencapai balkon. “Abadilah Revolusi! Hancurkan musuh! Abadilah Revolusi! Hancurkan musuh! Abadilah Revolusi! Hancurkan musuh! Abadilah Revolusi! Hancurkan musuh!” “Abadilah Republik Suci Albion!”

“Abadilah Republik Suci Albion! Abadilah Republik Suci Albion! Abadilah Republik Suci Albion! Abadilah Republik Suci Albion! Abadilah Republik Suci Albion!”

“Abadilah Yang Mulia Kaisar Suci!” Salah seorang menteri kabinet bangkit berdiri dan berteriak dengan suara keras.

“Abadilah Yang Mulia Kaisar Suci! Abadilah Yang Mulia Kaisar Suci! Abadilah Yang Mulia Kaisar Suci! Abadilah Yang Mulia Kaisar Suci!”

Teriakan yang tiada habisnya tersedot ke udara.

Setelah audiensi yang liar nan antusias... Cromwell tengah duduk, merasa terganggu, di ruang pribadi raksasanya yang dulu merupakan kamar tidur Raja. Tubuhnya bergetar sedikit. Sheffield berdiri di hadapannya, berbisik padanya sambil menunduk memandangnya. “Tadi pidato yang brilian, prelat.” Orang itu, yang dipanggil Prelat di posisinya duylu, seakan terjatuh dari kursi, dan berlutut di kaki Sheffield

Topeng Harga dirinya yang ditunjukkannya tadi terbang entah kemana. Dia hanya seorang lelaki berusia 30-an yang panik ketakutan. Hanya seorang pria kurus yang tak lain hanya seorang prelat.

“Ohhhhhh! Nona! Nona Sheffield! Orang itu! Apakah orang itu benar-benar akan mengirimkan prajurit-prajurit ke negeri yang hancur ini? Ini bukanlah kata-kata seorang Jenderal, ini bukanlah...Aku! AKu takut! AKu, seorang pria kurus yang bahkan tak bisa mengendalikan sihir, ketakutan!” Kepada Cromwell, Sheffield berbicara dengan nada seakan sedang menenangkan seorang anak kecil.

“Apa katamu? Ketakutan sekarang! Yang bilang ‘AKu ingin menjadi raja’ di bar adalah kau. Karena aku terkesan dengan kata-kata manismu, aku memutuskan untuk memberikan Albion padamu, Tuanku.” “Mungkin seorang prelat ini terlalu banyak bermimpi...Tergoda oleh kau dan ‘orang itu’, aku mendapatkan Cincin Andvari, mengumpulkan para ningrat yang mendendam pada Keluarga kerajaan, dan membalaskan dendamku pada keluarga kerajaan Albion yang telah menghinakanku...Pada titik tertentu, ini menyenangkan. Oh, ini sangat menyenangkan, seakan aku tengah bermimpi.” “Semuanya sesederhana itu.”

“Ohh, Benua di atas langit ini saja terlalu besar untuk hiasan sepertiku....Mengapa harus menyerbu Tristain dan Germania?” “Berapa kali sih hingga kau bisa mengerti. Halkeginia harus bergabung menjadi satu. Mendapatkan kembali Tanah Suci adalah satu-satunya jalan untuk mengikuti cita-cita Sang Pendiri dan kehendak Tuhan.” “Bagiku, itu adalah bagian dari menjadi seorang pendeta. Meski tak salah bahwa mengambil kembali Tanah Suci adalah mimpi...” “Maka teruslah bermimpi.”

“Tanggung jawabnya terlalu berat! Musuh telah menyerbu! Musuh dalam negeriku! Musuh telah datang untuk menggantungku seperti para raja yang tak mampu itu! Apa yang harus kulakukan?! Bilang padaku ini bukan mimpi buruk, Nona...” sambil tersenyum, Sheffield berjongkok di depan Cromwell dan memandangi wajahnya yang dibasahi air mata. Cromwell menengadahkan mukanya. Sambil mengangkat dagu Cromwell, Sheffiel berbisik perlahan...”Jangan manja,” “Ya!”

SIkap hangat dan sopan yang tadi kini menghilang, dan Sheffield telah berubah sempurna menjadi berwajah raptor. Rambut kemerahannya, bagai kegelapan yang pekat, berkibar dan mata di bawahnya melepaskan aura yang mencekam. Tersihir oleh mata itu, Cromwell mulai gemetaran.

“Kau memimpikan mimpi yang manis bagai molasses yang takkan mampu dilihat pendeta biasa bahkan bila dia terlahir kembali ratusan kali dan kini kau mengatakan kau tak mau melihat sebuah mimpi buruk? ‘Negaraku’? Tanahmu bahkan tak terbentang 50 cm di negara Albion terpencil yang tiada gunanya ini.”

“Aku! AKu snagat menyesal!” Cromwell menundukkan kepalanya ke lantai di samping kaki Sheffield. Sambil menjulurkan lidahnya, dia menjilat sepatu Sheffield. “Ampuni aku....Am, Ampuni aku....Ha, hagi...Ampuni aku...” “Cincin Andvarinya,”

Gelegapan, Cromwell menyerahkan cincin yang dia pakai pada Sheffield. Harta dari Roh Air, cincin sihir yang dapat memberikan kehidupan palsu pada si mayit.

Cromwell teringat hari dimana dia pergi bersama Sheffield dan ksatria penyihir Gallia ke Danau Ragdorian untuk mencuri Cincin ini dari roh air. Apa yang menyebakan awal semua ini adalah dia yang berbicara di bar. Dia tengah menuju Lutèce, ibukota Gallia, karena dia hendak mengirimkan sesuatu...

Cromwell menraktir seorang pengemis dengan sebotol anggur. “Prelat, sebagai terima kasihku untuk anggur ini, aku akan mengabulkan satu permintaanmu. Katakan padaku.” Dibilang begitu oleh si pengemis, Cromwell mengatakan sambil bercanda,

“Hmm, sepertinya, aku ingin jadi raja.”

“Raja, itukah maumu?” Tanya Si pengemis, dengan wajah yang ditutupi kafiyah tebal sambil tersenyum. “Ya,” angguk Cromwell

Tentu saja dia memaksudkan itu sebagai candaan. Bermain-main setelah minum-minum. Dia tak serius soal itu. Namun, pagi setelahnya...Sheffield ini datang ke penginapan dimana dia menginap. Dia mengumumkan, “Aku akan menjadikanmu raja. Ikuti aku.” Pada saat itu, hidupnya sebagai prelat lokal berbelok ke jalan yang berbeda. Sebuah momentum nan liar... Sheffield tengah menepuk-nepuk Cincin Andvari penuh kasih sayang.

Batu di Cincin berkilauan, memukau, mengeluarkan sinar biru muda nan tajam. “Menurutmu, apa kekuatan yang tersimpan dalam cincin ini?” Cromwell menggelengkan kepalanya. Dia tahu itu bisa menghidupkan mayat kembali. Itu kenyataannya. Tak mungkin ia tahu mengenai mekanisme Void. “Karena tak bisa mengendalikan sihir, aku tak tahu. Kau yang mengatakan padaku untuk menyebut kekuatan ini ‘Void’, kan?”

“Apa kau tahu soal ‘batu angin’?” Cromwell mengangguk. Itu bahan yang dipakai supayai kapal terbang dapat melayang. Sebuah batu sihir disebut merupakan kekuatan angin yang dipadatkan. Tak terhitung jumlah tambang untuk menggali batu sihir di Albion. “Ini adalah zat yang mirip.” “lalu itu bukan ‘Void’?”

“benar, ini bukan ‘Void’. ‘Batu angin dan ‘Cincin Andvari’ hanya tetesan sumber kekuatan yang menguasai dunia ini. Ini zat yang menjadi sumber kekuatan yang disebut sihir kuno. Ada berbagai nama untuk menyebutnya sih, batu sage, orb kehidupan...secara sejarah, ia akan disebut ‘musuh Void’...”

“Aku terus terkagum oleh luasnya pengetahuanmu.” “Itulah mengapa tiap kali digunakan, sihirnya tersedot dan ia menjadi makin kecil. Lihat ini.” Cromwell mengangguk.

“Masalahnya, ini adalah kristalisasi dari Sihir Air Kuno. SIhir terpadatkan yang tersembunyi dalam ini tak dapat dibandingkan dengan batu angin yang umum ditemukan disini...Sebuah batu yang jarang ada. Itulah alasan ini merupakan harta yang dijaga milik Roh Air...Cincin Andvari. Dengan kata lain, harta kuno...” Sheffield menatap cincin itu.

Saat melakukan itu...dahinya mulai bercahaya. Ada cahaya yang mengalir dari dalam.

Saat Cromwell pertama kali melihat cahaya ini, dia terkejut. Saat Sheffield menyentuh ‘Cincin Andvari’, dahinya bersinar. Apa ada waktu dimana dahi orang bersinar? Bahkan saat dia menanyai Sheffield, dia tak menjawab. Wanita misterius itu tak mengajarinya soal hal-hal yang penting, hal-hal yang merupakan inti. Dia hanya menyerahkan perintah-perintah. Menggunakan batu tersebut, Sheffield dengan perlahanmengusap pipi Cromwell. "Ho, hohhhhhhh..."

Cromwell seolah kena kejut dan gemetaran. Cincin Andvari bergetar sedikit. Hanya dengan menyentuhnya dia merasa ada aliran listrik yang mengalir melalui dirinya. Saat ia menyentuh tangan Sheffield, Cincin Andvari terbangun....ini getaran semacam itu. “Apa kau tahu? Kekhasan kekuatan air?” “M-menyembuhkan luka...”

“Itu hanya di permukaan. Kekuatan “Air” menguasai pengaturan tubuh. Jantung juga.” “...Ha, hah” “Menggerakkan mayat hanya salah satu kekuatan yang dipegang cincin ini.”