Editing
Sword Art Online Bahasa Indonesia:Jilid 17
(section)
Jump to navigation
Jump to search
Warning:
You are not logged in. Your IP address will be publicly visible if you make any edits. If you
log in
or
create an account
, your edits will be attributed to your username, along with other benefits.
Anti-spam check. Do
not
fill this in!
===Bagian 4=== Koujiro Rinko berlari kembali menuju ruang sub kontrol dan duduk di tempat yang sebelumnya biasa diduduki Higa Takeru. Beberapa jendela muncul di monitor besar didepannya, tetapi yang pertama ia lihat adalah sebuah jendela kecil yang berada di bagian paling bawah. Apa yang ada disana adalah tiga buah grafik yang menunjukkan status Fluctlight milik Kirigaya Kazuto. Di bagian tengah cahaya yang memantulkan berbagai macam warna, ada sebuah titik hitam yang merepresentasikan sebuah «kerusakan tubuh utama». Saat ini, Higa Takeru telah mengontrol empat unit STL dan bersiap untuk memperbaiki kerusakan ini menggunakan ingatan tiga gadis yang memiliki hubungan dengan Kazuto. Untuk melakukan hal tersebut, Higa sedang berada di bagian bawah yang masih dikuasai musuh. Dia disana seorang diri — tunggu, ada satu orang lagi. Pada saat ini, para penyerang masih berfokus pada «Ichiemom» yang bergerak pada anak tangga. Tetapi, tubuh baja miliknya tak mungkin bisa bertahan melawan rentetean peluru. Ketika Ichiemom hancur, musuh pasti akan berpikir begini: Apa yang orang Jepang pikirkan sih? — Lebih cepat, Higa-kun! Memikirkan hal itu, pintu geser kini terbuka dan seorang pria berpakaian Hawaai masuk. “Bagaimana… Bagaimana kondisi Kirito-kun?!” “Higa-kun sedang mengoperasikannya. Apakah umpannya berhasil?” Ia menjawab juga sambil bertanya, nafas Kikuoka Seijirou ngos – ngosan ketika ia duduk. “Kami melempar semua bom asap dari belakang Ichiemom. Seharusnya sih bisa memberi kita banyak waktu, tetapi jika kita tak segera menutup kembali dinding pemisah akan cukup gawat. Kita tak punya banyak waktu.” “Higa-kun berkata jika ia butuh waktu lima menit untuk berhasil …” Rinko menutup mulutnya, lalu menatap monitor lagi. Fluctlight milik Kirigaya Kazuto masih tak berubah. Ia mengepalkan tinjunya dan menatap monitor utama. Ia melihat sebuah peta dari dunia fantasi — tidak, ini memang sebuah peta dari dunnia fantasi, yang bernama Underworld. Dibandingkan dengan peta Kerajaan Manusia yang ia lihat beberapa hari lalu ketika sampai di Ocean Turtle, peta yang sekarang ia lihat sungguh sangat luas. Dibagian selatan Kerajaan Manusia yang dilingkari pegunungan, sepertinya ada sebuah reruntuhan. Sebuah titik kecil yang menunjukkan posisi Yuuki Asuna, titik – titik biru melambangkan Pasukan Kerajaan Manusia, dan titik – titik putih yang melambangkan bantuan Pemain Jeapng kini telah berkumpul di satu posisi. Gelombang crimson telah mengepung mereka semua sepertinya adalah pemain Amerika yang dimasukkan oleh para penyerang — atau seperti itulah dugaannya. Jumlah mereka 20, tidak, 30 kali lebih banyak dari pemain Jepang. Apa ini tak masalah? Rinko mencari dua titik lain selain Yuuki Asuna dan akhirnya menemukan titik biru air yang ada jauh di selatan. Itu pastilah Asada Shino. Lalu dimana perginya Kirigaya Suguha? Rinko menyisir peta dan menemukan titik kuning kehijauan ada jauh di utara, jauh dari medan pertempuran. Ada juga titik merah yang melambangkan musuh disana, tetapi Higa berkata jika mereka berdua seharusnya dive ke posisi Yuuki Asuna berada. Rinko mengangkat alisnya karena frustasi, bagaimana bisa — Seketika, ia menyadari sebuah titik putih lain yang ada dibalik titik milik Suguha, seolah menutupinya. “………?” Seharusnya tak ada orang RATH yang sedang dive menggunakan STL. Apa – apaan ini? Ia secara tak sadar menggerakkan mouse dan perlahan mengklik titik tersebut, muncullah jendela baru. Rinko membaca kata – kata yang berbahasa Inggris tersebut. “Um… Restriction, Confrontational Index… Threshold Detection… Report? Apa ini?…” Tepat setelah ia berkata seperti itu, “Aku tak bisa memahaminya”. “App… Appaaaaa?!” Kikuoka berteriak kencang, membuat Rinko terbangun dari tempat duduk. “Ada apa? Tetapi Kikuoka tidak langsung merespon, malah mengambil mouse dari Rinko dan memperbesar jendela yang baru saja muncul. Ia menatap monitor dan wajahnya pucat pasi. “Unf… Ya, tak salah lagi, ada Fluctlight lain yang telah menerobos pembatas jiwanya! Tetapi, mengapa sekarang?!” Mata Rinko terbuka lebar, lalu ia menatap Kikouka yang sedang menggaruk – garuk kepalanya. “Huh… maksudmu «A.L.I.C.E.» kedua?” “Ya, tepat… Ah, tidak, tunggu… Ini…” Kikuoka dengan cepat menscroll jendela kebawah dan mulai berguman. “… Sulit dikatakan tetapi ini tidak sama seperti «Alice». AI ini menerobos pembatas tidak melalui sirkuit logical, tetapi menerobos sirkuit emosional miliknya … tetapi, ini sebuah penemuan mengagumkan. Jika saja aku bisa kesana … Oh, sial, mereka mulai bergerak menuju selatan dimana pasukan Amerika berada!” Rinko mencuri kembali mouse dari Kikuoka dan menatap log Artificial Fluctlight tersebut ketika menerobos pembatas jiwa miliknya. “Hmm… Yeah, sebuah titik – titik yang dihubungkan seperti rantai telah hancur di zona emosi … Huh—? Hei, Kikuoka-san?” “Apa… Apa ini?” Memutar tubuhnya, Kikuoka memiringkan lehernya ketika menatap monitor. “Perintah apa ini yang tertulis disana? Aku tak memahaminya… seolah perintah ini sengaja ditanamkan untuk mengekang sirkuit.” Rinko menatap perintah kode yang cukup kecil tersebut. “Penanaman rasa sakit… itu lho yang ada di pojok kanan? Tetapi, meskipun sebuah Artificial Fluctlight berusaha sekuat tenaga untuk menerobos pembatas tersebut, mereka akan dihentikan oleh rasa sakit akibat kode ini. Kalian juga menanamkan perintah semacam ini pada penduduk Underworld?” “Tidak… tidak, kami tak melakukannya. Tak mungkin kami melakukannya, tindakan semacam itu akan menghalangi tujuan murni kami … ini hanyalah penghalang terbesar kami.” “Hmm… benar juga. Pemrogaman sampai mendetail ini juga bukan tugas Higa … Ah, ada sebuah komentar disana … «Code 871»? Apa itu Code 871?” “871? Aku tak pernah mendengar angka itu sebelumnya … Tidak, tunggu… Tunggu, tunggu, aku kira.... beberapa menit lalu …” Kikuoka mulai berlari, suara yang ditimbulkan sandal kayunya terdengar keras. Ia menuju kursi terdekat, mengambil jas putih, dan mebukanya lalu menatap ke sebuah saluran. “Hei, ada apa, apa yang terjadi?” Atas pertanyaan Rinko, Kikuoka membuka lebar matanya dan menyerahkan mantel putih kepada Rinko. Disitu, ada sebuah tanda yang dibuat menggunakan marker permanen, angka [871]. “Mantel putih ini... milik seorang teknisi bernama Yanai, ia baru saja menuruni saluran ini bersama Higa …” Berkata seperti itu, Rinko menahan nafasnya. Yanai. YA NA I. “… 8 7 1?” <ref>871 bisa juga dibaca YA NA I dalam bahasa Jepang</ref> Rinko dan Kikuoka berdiri membatu seperti kerasukan. <center>***</center> Pemimpin Guild Petarung Tangan Kosong masih melihat pasukan crimson yang akan menghampirinya. Setelah membentuk formasi mengepung dalam jarak duapuluh mel, pasukan ini berbicara dengan bahasa asing dan menganggap jika pasukan Ishkan telah kehilangan semangat tempur. Mereka lalu berteriak dan melompat secara bersamaan. Dengan tangan kirinya yang masih terluka, Iskahn menggenggam tangan sang knight wanita yang ada di sampingnya. Ia membalas genggaman tersebut, hingga membuat mati rasa-nya agak menghilang. Ia menundukkan kepala, dan tampaknya akan menutup mata untuk menerima kekalahan ini, tetapi — “……… Apa ini…?” Suara Sheyta membuatnya kembali menoleh. Ia melihat sekelompok pasukan datang dari sisi lain lembah ini, dari bagian utara medan peperangan. Penampilan mereka besar, memiliki hidung panjang, dan telinga yang menjuntai. Orcs. “… Mengapa?” Iskahn kebingungan. Setelah diberi perintah oleh Kaisar Vektor, pasukan Orcs seharusnya menunggu di «Gerbang Besar Timur» di utara sana. Karena sang Kaisar telah lenyap, perintah tersebut seharusnya tak bisa dilenyapkan. Namun faktanya, sisa – sisa Dark Knight juga ikut bersama mereka. Masih kebingungan, Iskahn menyadari dalam pasukan Orcs tersebut ada sosok manusia memimpin di bagian paling depan. Dia bukan seorang Orcs. Dia memiliki rambut kuning kehijauan, serta memakai pakaian hijau keputihan. Dia memang manusia tak salah lagi, dan pastinya seorang wanita dari Kerajaan Manusia. Tetapi mengapa swordswoman kecil ini memimpin seluruh Pasukan Orcs? Tampaknya menyadari pasukan yang melaju ke arah sini, pasukan crimson yang mengepung pasukan Petarung Tangan Kosong kini berhenti. Sebuah kilatan menyilaukan muncul. Si gadis itu telah menarik katana miliknya. Seketika, tangan kanan Sheyta yang masih menggenggam tangan kiri Iskahn bergetar, seolah merasakan sesuatu. Ketika sang gadis berlari ke tengah jembatan batu sambil mengangkat katana miliknya tinggi – tinggi ke udara. Pada saat itu, jarak antara dirinya dengan pasukan crimson masuh sejauh duaribu mel. Tetapi — Pedang dan tangan sang gadis seolah menjadi asap. Bahkan mata Ishkan tak bisa melihat tebasan miliknya. Kilatan cahaya perak terjadi sekejap mata, lalu terjadilah pemandangan yang menakjubkan. Kilatan cahaya menjalar melalui tanah gelap ini — tetapi tidak hanya itu, puluhan pasukan crimson yang berdiri diatas cahaya tersebut terpotong dan berjatuhan ke tanah sambil berteriak kesakitan. Katana yang telah diayunkan kebawah kini diayunkan keatas dengan kecepatan mengerikan. Kilatan cahaya kedua menembus pasukan crimson dan mereka yang mengenakan armor berat terpotong menjadi dua. “…… Sungguh kuat.” Sheyta berbisik pelan melihat pemandangan ini. <center>***</center> Tanpa menunggu – nunggu, Sinon mengangkat senjata kesayangannya, Hecate II, yang telah ia ciptakan dari Bow of Solus. Ia kini hanya berjarak 20 meter dari Subtilizer. Sungguh terlalu dekat untuk menembak menggunakan sebuah sniper. Bahkan melihat pergerakan musuh dengan teleskop saja sungguh sangat sulit. Karena itu, Sinon memutuskan untuk menentukan hasil pertarungan ini sebelum Subtilizer membuat sebuah gerakan; ia menarik pelatuk seketika ia melihat bayangan hitam di lensanya. Sebuah tembakan cahaya. Dengan bunyi ledakan hebat. Daya dorong dirasakan tubuh Sinon dan ia hampir tak bisa mengontrol tubuhnya untuk berputar. Setiap tembakan membuat tubuhnya bergerak, jadi ia tak bisa menembak beruntun tetapi selama ia bisa mengenai sasarannya maka semua akan berakhir. Dengan kesulitan ini, Sinon mengatur tubuhnya dan menatap Subtilizer. Lalu matanya terbuka lebar. Si pria yang sedang berdiri di makhluk hitam bersayap kini mengangkat tangannya dan memposisikan jarinya seperti sebuah cakar. Di telapak tangannya ada pusaran kegelapan dan cahaya yang masih berputar, dan yang ada di bagian tengah pusaran tersebut adalah partikel cahaya. Itu pastinya adalah peluru yang Sinon tembakkan. Dengan kata lain, ia juga bisa menghisap peluru seperti ia menghisap kesadaran Sinon? Sebuah peluru yang mampu menembus baja setebal 2cm dan ditembakkan dari sebuah sniper berkaliber .05 … Sedikit rasa takut muncul didalam hati Sinon. Lalu, kegelapan di tangan kiri Subtilizer semakin menjadi pekat. “Jangan kalah…” Sinon berteriak kencang: “Jangan kalah, Hecate!!” Bang. Dengan suara itu, cahaya ditembakkan menuju kegelapan sekali lagi. Sebuah lubang tercipta di telapak tangan Subtilizer; daging dan darah muncul disana. — Aku bisa melakukannya!! Sinon mengambil nafas dalam – dalam dan menarik pelatuk Hecate II. Peluru yang telah habis melayang di udara lalu terjatuh. Subtilizer menatap tangannya yang terluka sambil masih terdiam. Meskipun cairan hitam kini telah menutup lubang tersebut, luka separah itu sepertinya tak bisa sembuh dengan cepat. Ia mengangkat wajahnya yang seolah ingin tertawa, lalu menatap Sinon. Tangan kanannya kini mulai mengambil busur di pinggangnya. “…Hmph.” Sinon mengeluarkan sedikit udara melalui hidungnya. Bagaimana mungkin senjata seperti tiu bisa mengalahkan sebuah sniper … Flex. Busur tersebut kini mulai berubah bentuk. Bagian kanan dan kiri ujung busur tersebut mulai menebal dan memanjang dua kali lipat. Yang tadinya sebuah bagian berkayu kini mulai menjadi sebuah logam hitam. Setelah beberapa detik, tangan kanan Subtilizer kini telah menggenggam sebuah sniper sebesar Hecate. Sinon mengenali senjata ini. The Barrett XM500. Seperti Hecate II, senjata miliknya menembakkan peluru kaliber .50, tetapi senjata miliknya lebih modern dibanding Hecate miliknya. Sebuah senyum muncul di pinggir mulut Subtilizer. “… Kemarilah.” Sinon bergumam dan menekan kembali pelatuk Hecate II. <center>***</center> “Ya ampun… K-Kau tak apa?” Yanai tampaknya peduli pada Higa sehingga ia sedikit melupakan rasa sakitnya lalu berteriak: “He… Hei, kau ini yang menembakku, mengapa kau menanyakan hal seperti itu padaku hah …?!” “Tidak, tidak, aku sebenarnya tak bermaksud menembakmu. Aku tak ingin ada korban jiwa. Butuh perjuangan berat agar aku bisa hidup di vila di tepi pantai, tetapi jika aku tinggal disana sambil menyesal seumur hidup, aku tak ingin itu terjadi?” Ketika Higa sadar jika Yanai benar – benar serius, tangan miliknya seolah kehilangan tenaga. Ia tahu jika dirinya telah terluka di bagian pundak. Tampaknya peluru yang telah ia tembakkan telah menancap di dinding dan menembus bagian tulang bahu. Higa menahan rasa sakit tersebut dan mati rasa mulai menyebar di seluruh tubuhnya. Bagian perut dari pakaiannya telah berlumuran darah. Ini bukan hanya luka biasa. Takut akan situasi semacam ini, rasa sakit tersebut semakin cepat menyebar ke perut Higa. Membuatnya kesulitan bernafas. Beberapa meter di atas kepalanya, Yanai masih membuat wajah campur aduk. “Sejujurnya, aku hanya ingin memperlambat kerjamu, Higa-san. Setelah aku menghancurkan colokan penghubung aku akan berlari menuju ruang kontrol utama. Setelah itu, aku pasti bisa kabur menggunakan kapal selam. Tak ada seorangpun yang tewas dari pihak RATH jika aku berhasil mencuri Alice. “Tak seorangpun… yang tewas…?” Higa memaki Yanai, melupakan rasa sakit pada dirinya. “… Jika aku tak membuat kesempatan untuk menyembuhkan Kirigaya-kun, kesadarannya akan hilang selamanya! Seseorang yang membunuhnya adalah kau, Yanai-san! Dan kau bilang tidak akan membunuh siapapun, hah!” “Ahh. Ahh… Beenarr…” Wajah Yanai menjadi pucat pasi. Dibawah lampu emergency, wajahnya semakin putih. “Hmm… Siapa yang peduli jika ia mati.” “Appaa……” “Karena, dialah orang yang membunuhnya. Admii-chan kesayanganku.” “Ad… mii…?” Yanai menatap Higa yang kebingungan akan nama tersebut, Yanai lalu berteriak: “Yang Mulia, Pemimpin Tertinggi Administrator dari Gereja Axiom! Aku berjanji padanya jika aku akan membantunya mengatur seluruh Underworld. Dan aku setuju dengannya jika aku akan menyimpan Light Cube miliknya jika server diformat.” Mata Higa kini terbuka lebar. Gereja Axiom adalah organisasi yang menguasai Kerajaan Manusia di Underworld. organisasi ini memerintah seluruh penduduknya dengan hukum – hukum dan kekuatan yang sangat memaksa. Alasan mengapa Higa tidak bisa memperoleh Fluctlight «Alice» yang telah menerobos pembatas Jiwa ketika ia pertama kali muncul dalam Underworld yang telah berakselarasi karena Gereja Axiom telah berhasil mengambilnya dan menerapkan modifikasi ingatan di Fluctlight miliknya. Ya, kecepatan mereka benar – benar gila dan cara – cara gereja Axiom sangat efektif. Meskipun mereka tak mengetahui jika mereka sendiri adalah sebuah Artificial Fluctlight. Namun karena alasan tersebutlah. Gereja Axiom — ataupun seorang Artificial Fluctlight yang bernama «Administrator» telah berhasil menguasai dan memahami struktur dunia tersebut. “… Apakah kau yang mengotori Underworld?…” Higa bertanya pelan, dan Yanai hanya cemberut. “Tidak, tidak, anak itu yang pertama kali menghubungiku. Aku masih bekerja lembur saat itu, dan ketika aku mendengar suara seorang gadis kecil dari speaker, itu membuatku ketakutan setengah mati … dia telah menemukan seluruh daftar perintah Underworld seorang diri dan membuat saluran komunikasi ke dunia luar. Jika kami yang bekerja sebagai teknisi berpendapat, kaulah tersangka disini karena lupa menghapus seluruh perintah tersebut, Higa-san.” Neheheheh. Yanai tertawa beberapa kali, lalu melanjutkan ceritanya: “Aku terus berpikir, jika seperti ini terus seluruh Underworld akan diformat total. Karena suatu saat pasti akan dihapus, makanya aku diam – diam menggunakan STL dan pergi untuk menemui Admii-chan. Kemudian... Ya Tuhan, aku tak pernah melihat sosok gadis secantik dia. Gadis yang di kurung Sugou-san dalam ALO memang cantik, tetapi kepribadian Admii-chan, suaranya, dan sikapnya benar – benar membuatku terpesona… — Gadis itu membuat kesepakatan denganku. Jika aku membantunya maka dia akan menjadi pelayanku. Di masa depan nanti ia akan menguasai seluruh dunia bersamaku, dan menjadikanku seorang raja …” — Tidak. Orang yang mencemari dunia itu adalah orang ini. Higa merasakan seluruh rambut di tubuhnya berdiri ketakutan. Yanai mungkin memang seorang pengkhianat, tetapi juga seorang idiot. Orang macam apa Administrator, sehingga mampu mengontrolnya sesuka hati? Tiba – tiba, wajah Yanai kembali kosong. “Tetapi… gadis itu kini telah mati. Dibunuh… bocah itu bukan hanya menghalangi eksperimen Sugou-san, ia juga membunuh Admii-chan. Jika aku tak membalaskan dendam Admii-chan, aku akan sangat kasihan padanya …” Yanai mengarahkan pistolnya kearah Higa. Senjata tangan otomatis akan leluasa jika setelah menembakkan peluru pertama, maka tembakan kedua akan tak perlu memerlukan tekanan yang lebih keras. Jika jari telunjuknya sedikit saja menyentuk pelatuk, peluru lain mungkin akan benar – benar melayang. “… YA, benar … YA, aku memang harus membunuh satu orang, sebagai tumbal untuk gadis itu …” Yanai menyipitkan matanya sambil gemetaran. … Sialan. Ia banar – banar serius kali ini. Higa hanya bisa pasrah dan menutup matanya. <center>***</center> — Aku tak akan sempat. Merasa jika Asuna, Klein, dan Lisbeth masih sangat jauh dari posisinya sekarang, Leafa menggigit bibirnya. Tetapi didepan matanya, hampir sekitar 3000 pasukan crimson telah menghalangi jalan di depannya. Ia telah meminta Rirupirin, sang ketua Orc untuk membawa bala bantuan menuju daerah selatan untuk menolong Asuna dan Kirito, tetapi mereka masih belum menemukan Pasukan Kerajaan Manusia. Menurut penjelasan Rirupirin, beberapa ratus orang yang dikepung pasukan yang dive dari Dunia Nyata adalah para Petarung Tangan Kosong yang termasuk pasukan Tanah Kegelapan seperti Orcs. Leafa terkejut mendengar penjelasan tersebut, tetapi langsung memutuskan untuk membantu mereka. “Aku akan maju ke pasukan musuh. Rirupirin, kamu dan anggotamu bergabunglah dengan Petarung Tangan Kosong, dan seranglah jika musuh menyerangmu. Atas saran ini, Rirupirin memprotes keras: “Aku juga ingin bertarung!” tetapi Leafa menggelengkan kepalanya, sambil menggenggam tangan gempal si Orcs lalu berkata: “Tidak, aku tak ingin ada satupun dari kalian yang tewas. Jangan khawatirkan aku... pulluhan ribu musuh seperti ini bukan hal sulit untuk dilawan kok.” Setelah berkata seperti itu, Leafa maju sendirian menuju pasukan crimson. Ia mengetahui jika Super Account Terraria memiliki HP yang sangat banyak dan kemampuan regenerasi yang tak terbatas. Terlebih lagi, orang – orang dari Underworld memiliki kehidupannya sendiri di dunia ini. Meskipun akan terlambat untuk membantu Kirito, Leafa tak bisa membiarkan para Orcs tewas sia – sia disini. Setelah membunuh puluhan musuh menggunakan serangan jarak super jauh, Leafa melaju menuju pasukan musuh tanpa keraguan. Untuk beberapa alasan, ia bisa menggunakan Sword Skills dengan jarak jauh beberapa kali lipat dibandingkan di ALO tanpa adanya jeda. Setiap kali cahaya bersinar di equipment Akun Terraria «Verduras Anima», musuh terpotong – potong dengan pola tetap. Tetapi ketika cooldown antara Sword Skill satu ke Sword Skill lainnya, banyak pedang melayang dan menebas armor dan bagian tubuhnya. Ia tak bisa menghindari itu semua, dan jumlah luka di tubuhnya semakin bertambah, membuat rasa sakit di kepalanya dan membuat matanya berkunang - kunang — Tetapi. “HA — AAH!!“ Ia berteriak dan menjejakkan kaki kanannya ke tanah. Cahaya kehijauan muncul dibawahnya dan seketika seluruh luka ditubuhnya telah sembuh. Leafa bisa menahan rasa sakit ini dan mulai berkonsentrasi mengayunkan pedang miliknya. Bahkan jika setiap bagian tubuhnya ditusuk, setidaknya ia akan menyingkirkan seluruh musuh dari dunia nyata. Meskipun lokasi dive dirinya telah melenceng jauh dari lokasi asli, ia ingin menyelamatkan penduduk Underworld sebanyak mungkin. Mereka adalah orang – orang yang ingin dilindungi Kirito. “Gadis ini benar – benar sinting!!“ Leafa menggunakan tangan kirinya untuk menghentikan sebuah pedang yang hendak diayunkan padanya. “Haiyah!!“ Satu lagi musuh yang berhasil ia lenyapkan. Leafa menggertakkan giginya pada pedang yang menancap ke tangannya, lalu membuang pedang tersebut sambil memuntahkan banyak darah dari mulut. <center>***</center> Kedua buah peluru mereka tampaknya saling berbenturan. Peluru yang ditembakkan dari dua buah sniper anti-material berbenturan satu sama lain, lalu menghilang di udara. Sinon tidak kehilangan keseimbangan kali ini, ia berdiri dengan dua kaki sambil bertumpu pada udara ketika menahan daya dorong yang muncul. Dihadapan matanya, Subtilizer juga masih berdiri tegap diatas makhluk bersayap miliknya. Ini pertama kalinya sinon mengalami pertarungan udara di tempat terbuka antar sesama sniper. Sebuah game seperti GGO tak akan mensupport pemain untuk terbang, terlebih lagi Hecate sebenarnya tak bisa digunakan sambil terbang kesana kemari. Daya dorong yang timbul dari setiap tembakan benar – benar diluar nalarnya. Pertarungan ini — Siapapun yang mampu bertahan dan mengenai sasaran adalah sang pemenang. Sinon berpikir seperti ini sambil menarik pelatuk. Subtilizer mungkin juga memiliki pikiran yang sama. Ketika Sinon terbang ke kanan untuk mendekatinya, musuh terbang ke kiri untuk melawan. Pada saat yang hampir bersamaan, keduanya mulai melaju dengan kecepatan penuh. Dalam kondisi ia tak kehilangan keseimbangan, Sinon menukik tajam ke suatu sudut. Sambil memfokuskan bidikannya dan juga berusaha menghindari bidikan musuh. Tetapi Subtilize telah mengangkat Barrett miliknya tiba – tiba dengan kecepatan mengagumkan, ia tampaknya telah memprediksi gerakan Sinon. — Datang!! Sinon menggertakkan giginya dan membuka matanya lebar –lebar. Percikan api meletus dari moncong senapan Barrett. Sinon terbang secepat mungkin sambil menikung ke kiri. Peluru musuh menabrak dadanya, hampir menembus ke kulitnya. Armor biru miliknya kini hancur. — Hindarilah! Ini adalah kesempatan terakhirnya. Ia harus menembak sebelum Subtilizer memiliki kesempatan lain. Akan tetapi, ketika Sinon mengangkat Hecate miliknya. Ia melihat peluru lain melayang kearahnya. Tembakan beruntun — mengapa bisa?! Ah… sial. Berbeda dari Hecate yang perlu dikokang setiap kali ingin menembak, Barrett milik musuh adalah sniper semi-automatic. Ketika pikiran ini melintas ke otak Sinon, kaki kiri Sinon telah terpotong di atas lutut. [[Image: Sword Art Online Vol 17 - 315.jpg|thumb]] <center>***</center> Masih mampu berdiri dalam situasi seperti ini, adalah Asuna yang menggunakan Super Account, Integrity Knight Renri, seorang penduduk asli Underworld dan naga kesayangannya, juga Siswi Swordswoman Tiese dan Ketua Penjaga Sortiliena. Mereka masih mengayunkan senjatanya deengan gagah berani. Meskipun matanya kelelahan, Asuna melihat Knight Renri bertarung dengan kokoh. Sekitar sepuluh menit lalu, si knight telah muncul di garis depan dan langsung melemparkan pisau terbang miliknya. Pisau tersebut berputar diudara sambil memotong musuh yang melaju kemari. Kekuatan hebat ini mampu memukul mundur musuh selama beberapa menit. Nafas api yang dimuntahkan sang naga juga membuat musuh ketakutan, membuat status Integrity Knight sebagai penunggang naga nomor satu di Underworld. Tetapi itu tak berlangsung lama hingga musuh menyadarinya. Ketika Knight Renri melemparkan senjatanya, tubuhnya sendiri benar – benar tak terlindungi. Ketika ia melempar pisaunya untuk menyapu pasukan garis depan, banyak tombak yang dilemparkan kearahnya dari samping. Pasukan musuh akhirnya menggunakan taktik bertempur seperti yang digunakan Asuna saat melawan pemain Amerika. Tombak - tombal tersebut bagaikan hujan di langit merah ini. Naga milik Renri melebarkan sayapnya dan tubuhnya untuk melindungi sang tuan dari gelombang serangan musuh. Tetapi ia langsung rubuh, sisik – sisiknya terkelupas dan mulai menumpahkan darah. Selanjutnya, gelombang hujan tombak mulai diluncurkan. Knight Renri melihat keatas pada tombak – tombak yang semakin mendekat, ia memeluk Tiese dan melindungi tubuhnya. Setelahnya, dua buah tombak menancap ke punggung Renri, membuatnya terjatuh diatas tubuh Tiese. Kehilangan kontrol, pisau lempar yang berputar diudara kini berhenti dan menancap di tanah. Pasa saat ini, di bagian lain medan peperangan, hasil pertempuran ini sudah bisa dipastikan. Mencoba melampiaskan kemarahan mereka, pasukan crimson masih menyeret – nyeret pemain Jepang yang telah jatuh kerena kelelahan. Lalu menancapkan senjata – senjata mereka ke tubuhnya. Daging dan darah menari – nari di udara, sambil ditemani teriakan – teriakan kesakitan, lalu menghilang bagaikan asap. Banyak armor dan perisai milik orang – orang telah retak dan hancur, mereka diseret ke tanah, benar – benar tanpa perlindungan. Air mata bercucuran dari wajah mereka karena tak bisa melihat darah yang terus mengalir dari luka yang muncul. Dua ribu pemain yang telah mengkonvert akun mereka dan perlindungan pada Pasukan Kerajaan Manusia kini telah terbuka. Untuk melindungi Pasukan Persediaan dan Regu Aschetic, hampir sebanyak 400 Penjaga Kerajaan Manusia telah membuntuk formasi melingkar dan kini sedang mengangkat pedang mereka. Wajah – wajah Penjaga mencerminkan keputusasaan akan datangnya serangan akhir yang dilancarkan pasukan crimson. “……… Berhenti………” Asuna mendengar sebuah suara lemah dari bibirnya. Itu bukanlah suara yang mencerminkan rasa sakit pada tubuhnya, melainkan suara putus asa dan duka yang telah mengelilingi kondisi sekitar. “Aku mohon.... berhenti.....” Ketika ia berbicara, rapier yang ada di tangan kanannya telah terjatuh. Air mata menetes ke pipinya, turun hingga ku ujung rapier. Tetapi pasukan crimson yang ada dihadapannya tak peduli, mereka mengangkat dua ratus senjata ke udara. — Seketika itu. Sebuah teriakan bagaikan petir menghentikan pedang – pedang yang akan dihujamkan kearah Asuna dari berbagai arah. “Berheennnttiiii!!” Seseorang yang mengucapkan kata – kata tersebut adalah si pria bertudung hitam yang dari tadi mengamati jalannya peperangan dari atap sana. Ia adalah hantu PoH, pemimpin dari guild merah — Laughing Coffin. Para pemain dari negara asing tampaknya menyadari jika pria bertudung hitam ini adalah sang komandan pasukan, mereka lalu menurunkan senjata. Si pria yang hendak mengeksekusi Asuna menggigit bibir dan menyarungkan pedangnya, tetapi sebagai ganti ia menendang Asuna. Asuna tersengkur, tetapi memaksa untuk berdiri bertumpu pada kedua lengannya yang tak bertenaga. Asuna mengangkat wajahnya dan melihat seorang pria tinggi menuju kearahnya, tudung hitamnya berkibar karena angin. Ia tampaknya berbicara pada pemain sekeliling menggunakan bahasa Korea, Asuna tak bisa memahami maksud perkataannya. Kemudian, para pasukan crimson mengangguk satu persatu dan menyampaikan pesan tersebut ke teman yang ada disampingnya. Tiba – tiba, si pria yang ada disamping Asuna menjambak rambutnya dan ditarik keatas. Asuna berteriak kesakitan, tetapi si pria tak menghiraukan dan menyeretnya kedepan. Hal yang sama juga terjadi disekeliling Asuna, mereka tampaknya mengumpulkan sisa – sisa pemain Jepang kedalam satu tempat. Si pria bertudung hitam lalu berjalan kearah Penjaga Kerajaan Manusia yang masih mengangkat pedangnya. Ia berbalik dan melambaikan tangan, membuat semacam tanda kepada ‘dia’ jika ia sedang menjambak rambut Asuna. Lalu Asuna merasakan sebuah tendangan di punggungnya dan melemparnya sejauh beberapa meter, lalu jatuh ke tanah. Satu persatu, pemain Jepang juga dikumpulkan disekitarnya. Hanya ada sekitar 200 orang tersisa. HP milik mereka semua hampir habis, padahal orang – orang ini adalah pemain kelas atas. Asuna melihat sekeliling, tetapi tak bisa menemukan Penguasa ALO, maupun anggota Sleeping Knights. Equipment mereka kalau tidak hancur maka telah dilepas secara paksa; apa yang tersisa adalah pakaian tipis yang menempel ditubuh. Banyak diantaranya telah terluka parah, dan pedang masih tertancap ke tubuhnya. Wajah mereka tampak frustasi dan tak bertenaga. Asuna tak tahan melihat mereka lagi. Ia juga ingin menyerah seperti mereka. Tetapi ia masih bisa melihat teman – temannya di pikirannya, seolah akan dihancurkan. Matanya menyisir daerah sekitar sekali lagi, lalu melihat seorang pemain wanita tertunduk tak jauh darinya, bahunya gemetaran. Rambut pendek berwarna merah jambu miliknya telah kotor, celemek miliknya juga telah robek sana – sini. Bergerak mendekatinya, Asuna kini memeluk sahabat terbaiknya tersebut. Tubuh Lisbeth melemah, ia menyandarkan kepalanya ke dada Asuna. Wajahnya gemetar, benar – benar berantakan, lalu ia berbisik: “Semuanya… Aku menghancurkan … akun… semuanya…” “Tidak… tidak, Liz!” Asuna berbisik sambil menangis. “Ini bukan salahmu, Liz. Ini salahku … Jika aku mampu menanganinya, jika aku mampu memprediksi hal semacam ini…” “Asuna… Aku… Aku tak tahu apapun. Betapa mengerikannya sebuah peperangan.. betapa menyedihkannya kehilangan... aku tak tahu apapun …” Asuna tak bisa menemukan jawaban yang tepat, lalu memeluk Lisbeth semakin erat. Air mata mulai menetes. Lalu ia mendengar sesegukan, membuatnya berbalik dan melihat Agil tak bergerak di tanah, dan Silica berlutut disampingnya. Luka Agil sangat parah dan cukup mengejutkan jika ia masih hidup. Luka tersebut mungkin disebabkan karena pertempuran sambil melindungi Silica. Tubuh besarnya banyak menancap pedang dan tombak, dan perutnya memiliki luka memar hantaman. Asuna melihatnya masih menggertakkan gigi, Agil pasti sangat kesakitan. Disamping Agil ia bisa melihat Klein duduk bersila di tanah. Lengan kirinya terluka dari bagian bahu, dan ia membalut luka tersebut menggunakan bandana miliknya. Kondisi semua pemain yang tersisa hampir sama. Si pria bertudung menatap ke 200 orang yang telah kalah, mengambil senjata, armor, dan moral mereka — ia menyeringai atas kemenangannya ini. Lalu ia berbalik dan melihat para Pasukan Penjaga Kerajaan Manusia. Asuna menunggu, ketakutan jika ia akan mulai membunuh mereka satu persatu. Tetapi dia malah memberikan perintah dalam bahasa Jepang. “Buang senjata kalian dan menyerahlah. Kami akan mengampuni kalian seperti para tahanan dibelakang kami.” Rasa terkejut mulai bermunculan di wajah para Penjaga, tetapi langsung tergantikan oleh amarah. Salah satu diantara mereka maju kedepan, berhadap – hadapan langsung dengan si pria; dia adalah pemimpin Penjaga, Sortiliena. Pedang miliknya sudah tumpul dan darah mengalir dari dahinya, mungkin karena terlalu sering bertempur di garis depan seperti Klein dan yang lain. Meskipun begitu, penampilan ini tidak membuat kecantikannya berkurang. Sortiliena berteriak: “… Lelucon macam apa ini?! Kau pikir kamu akan menyerah seperti ini …” “Lakukan apa yang ia minta—!!“ Asuna berteriak, memotong perkataan Sortiliena. Masih memeluk Lisbeth, Asuna mengangkat kepalanya dan memohon: “Kumohon... kamu tak boleh mati disini! Tak peduli seberapa besar penghinaan, kamu harus hidup!! Itulah… satu… satunya……” Harapan. Asuna merasakan dadanya dingin hingga ia tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Tetapi, meskipun Sortiliena dan para Penjaga seolah memprotes tindakan ini, gemetaran, lalu pada akhirnya mereka mulai merendahkan bahunya. Clang, clang. Melihat mereka kehilangan senjata satu persatu, pemain – pemain dari Dunia Nyata kini bersorak atas kemenangan ini dengan menyebut – nyebut nama negara mereka. Si pria bertudung mengangkat tangannya cepat – cepat, memanggil beberapa pemain dan memberikan isyarat pada mereka. Mereka lalu mengangguk, lalu menuju ke pasukan Kerajaan Manusia, dan mengelilingi mereka. Sebelum Asuna mengerti apa yang akan mereka lakukan, si pria bertudung melangkah kearah Asuna. Bahkan dalam jarak dekat ini, Asuna masih tak bisa melihat wajahnya yang tertutupi tudung tersebut. Ia hanya bisa melihat bibir dan untaian rambut keriting di lehernya. Bibirnya terbuka, lelu mengatakan sesuatu dengan suara gembira. “Hei, lama tak ketemu, «Flash».” — Orang ini adalah dia!! Asuna menahan nafasnya, dan mengeluarkan kata yang telah ia pendam dihatinya. “… Kau… PoH…!” “Aw, sungguh nama yang nostalgia. Aku senang kau bisa mengingatnya.” Pada saat ini, Klein yang masih memegangi lengan kanannya yang terluka melihat kearah si pria bertudung dengan emosi yang menyala. “Kau… kau benar - benar. Kau masih hidup … dasar pembunuh!!” Klein mencoba mencekiknya, tetapi pria terdekat menendangnya kesamping. Asuna menggeramkan giginya dan berbisik. “Apa ini … balas dendam? Balas dendam terhadap anggota pemain lantai atas yang telah menghancurkan Laughing Coffin…?” “………” PoH terdiam menatap Asuna beberapa saat. Asuna bisa melihat bahunya sedikit gemetar. Lalu, ia akhirnya tak bisa menahan hal tersebut. Tubuhnya bergetar ketika ia mengeluarkan teriakan bercampur tawa: heheheh, hahahah. Setelah tawanya berakhir. PoH mengacungkan jari tengahnya dan berbicara bahagia: “Ah, hmm… bagaimana mengungkapkannya dalam bahasa jepang ya … aku telah tinggal di Amerika cukup lama, aku lupa mengungkapkannya.” Jari tengahnya ia putarkan ke udara beberapa kali, lalu akhirnya berhenti. “Ah ya, ‘Apa kau bodoh?‘ sungguh tak masuk akal, benar begitu …” Dia menunduk, lurus menuju wajah Asuna dalam jarak dekat. Matanya bersinar dalam gelapnya tudung yang menyelimuti seluruh wajahnya. “… Aku ceritakan padamu deh. Orang yang membocorkan lokasi persembunyian Laughing Coffin pada pemain Lantai Atas, adalah aku.” “Appaa………” Asuna, Klein, dan bahkan Agil yang tertidur di tanah membuka mata mereka mendengar penjelasan tersebut. “Mengapa… kau melakukan hal itu …” “Biasanya, karena aku ingin melihat sekumpulan orang – orang bodoh saling bunuh … tetapi alasan utama aku melakukannya mungkin karena: Aku… ingin membuat kalian semua menjadi seorang «pembunuh». Kalian semua, maksudku adalah para pemain yang selalu memikirkan dirinya sendiri hebat, Para Pemain Lantai Atas yang selalu membanggakan diri mereka di garis depan. Persiapanku butuh waktu lama… aku harus mengirimkan peringatan pada anggota LaughCof pada detik – detik akhir, dan waktunya benar – benar tepat, mereka tak bisa lari tetapi mereka masih bisa melawan.” — Jadi itu mengapa informasi rahasia penyerangan lokasi persembunyian berhasil bocor? Asuna terkejut dan mulai berpikir. Demi alasan ini, para Pemain Lantai Atas yang diunggulkan secara level dan equipment malah menerima kerugian setelah pertempuran dimulai, beberapa diantara mereka terbunuh. Hanya ada beberapa orang yang membalik keadaan atas usaha Kirito yang mana seorang pemain solo untuk mengumpulkan kekuatan. Para Pemain Lantai Atas bisa membalikkan keadaan karena Kirito telah membereskan beberapa pemain atas Laughing Coffin… “… Jadi itu… tujuanmu?” Asuna menggeram. “Untuk membuat Kirito-kun… tunduk karena rasa bersalah telah melakukan PK…?” “Ya. Tepat sekali.“ PoH mengkonfirmasi jawaban Asuna sambul tertawa. “Pada saat itu, aku menonton pertempuran tersebut. Ketika Blackie-sensei menjadi marah dan membunuh dua orang. Aku tak bisa menahan tawa milikku. Rencana selanjutnyya adalah melumpuhkan kalian dengan racun Paralysis dan menginterogasi kalian secara langsung bagaimana perasaan kalian setelah melakukan PK … Yah tapi aku tak mengira jika permainan tersebut berakhir di lantai 75.” Untuk sesaat, gelombang kemarahan membuat Asuna lupa akan luka – lukanya. “Apa… Apa kau tak memikirkan penderitaan Kirito-kun setelah kejadian tersebut?!” “Oh, mengagumkan pastinya.” Suara PoH sedingin es menanggapi jawaban Asuna. “Tetapi, itu aneh. Jika ia benar – benar menyesali perbuatannya.... pastinya ia tak akan dive kedalam permainan VR lain, bukan begitu? Karena rasa bersalah telah membunuh dan semacamnya. Aku tahu ia disini, aku bisa merasakannya. Meskipun aku tak tahu mengapa ia bersembunnyi dibalik kereta barang itu... terserah, aku akan menanyakannya secara langsung.” PoH tersenyum pada Asuna, lalu ia berdiri. Diantara sorak – sorakan yang masih terjadi, suara mencekap nan dingin terdengar: “It’s show ti—me!” PoH mengucapkan kalimat khasnya dalam SAO. Lalu ia mengangkat tangan kanannya tiba – tiba, dan didepannya sudah ada — Disana ada kursi roda yang telah didorong oleh seorang pemain crimson, dan juga ada seorang gadis berpakaian abu – abu yang ditarik dibelakangnya. Ah… Berhenti. Jangan. Asuna berdoa dan memohon dalam hatinya. Klein tetapi berusaha untuk menghentikan PoH, tetapi langsung didorong dari belakang. PoH membungkuk, menatap kursi roda yang ada dihadapannya. “……… Hmm?” Ia membuat suara dan menyenggol kaki rapuh yang menggantung di kursi roda dengan kakinya. “Apa ini? Hei, Blackie, bangun. Kau dengar aku kan, Black Swordsman Yang Terhormat?” Bahkan ketika ia menyebut nama panggilannya — Kirito tidak menunjukkan reaksi apapun. Tubuhnya mengenakan pakaian hitam, tetapi itu tak menutupi jika tubuh Kirito sungguh sangat kurus. Ia bersender pada kursi roda, kepalanya tertunduk kebawah. Tangan kiri miliknya memegang dua buah pedang. Ronye berlari kesamping Asuna, air mata menetes lalu ia berbisik: “Kirito-senpai… ketika kamu bertarung, ia-ia mencoba untuk berdiri.. meskipun tak memiliki kekuatan... tetapi... air mata.. air mata... terus mengalir dari matanya …” “Ronye-san…” Asuna menjulurkan lengan kirinya dan memeluk tubuh ramping Ronye. Lalu ia melihat dan meneriaki PoH: “Kau paham kan. Ia bertarung, bertarung, dan terus bertarung dan akhirnya ia terluka parah. Berhentilah menjahilinya! Biarkan Kirito-kun istirahat!!” Tetapi si pria bertudung tak mempedulikan perkataan Asuna, dan masih terus menatap wajah Kirito dari jarak dekat. “Hei, hei, hei, kau bercanda kan! Bagaimana mungkin kita menutup pertunjukan seperti ini!? Hei, bangun! Hei, bangun! Selamat Paa… aagggiiii!!“ PoH menjulurkan kaki kirinya dan menendang kursi roda cukup keras. Kursi roda tersebut terlempar kencang dan tubuh yang duduk diatasnya terjatuh ke tanah. Asuna dan Klein mencoba berdiri bersamaan, tetapi dihentikan. Agil mengeluarkan raungan kemarahan, sementara Lisbeth, Silica, dan Ronye menjerit pelan. Tetapi PoH tak menanggapi mereka semua, ia malah berjalan kesamping Kirito dan membalikkan tubuhnya menggunakan ujung kakinya. “Apa ini… dia beneran hancur? Sang pahlawan besar kini hanyalah sebuah boneka?” Ia lalu menggenggam pedang putih yang ada di pelukan lengan kiri Kirito. Lalu ia menariknya dari sarung pedang dan mengetahui jika pedang putih ini hanyalah separuh bagian. PoH mencibir, dan hendak membuang pedang tersebut. Ketika — “Ah… Ah…” Kirito mengeluarkan suara serak, dan lengan kirinya berusaha mengambil pedang putih tersebut. “Huh?! Ia bergerak!! Kau menginginkannya?” [[Image: Sword Art Online Vol 17 - 330.jpg|thumb]] PoH mengayun – ayunkan pedang putih tersebut, seolah memanas – manasi Kirito. Ia lalu melukai lengan kiri Kirito yang masih menjulur ke udara, kemudian ia menendangnya. “Hei, katakan sesuatu!!“ PoH menampar pipi Kirito dengan tangan kirinya. Pandangan Asuna telah menjadi kemerahan karena amarah. Tetapi ketika ia hendak bangun, teriakan milik Klein meledak ke sekeliling. “Kau bangsat!! Jangan berani kau menyentuh Kirito, kau sialan — !!“ Ketika Klein hendak menyerang PoH, sebuah pedang besar ditusukkan ke punggungnya dan membuatnya tertancap ke tanah. Ia memuntahkan banyak darah dari mulutnya, tetapi Klein menghiraukannya dan mencoba untuk merangkak. “Hanya… KAU…!! Tak akan pernah… kumaafkan…” Crack!! Dengan suara berat, sebuah pedang besar kedua menembus punggung Klein lagi. Air mata tak terbendung kini membanjiri mata Asuna sekali lagi, seolah air mata ini tak akan kering. <center>***</center> Pada saat ini, rasa takut dalam hati Sinon untuk tak bisa terbang lebih besar ketimbang rasa sakit ketika kakinya diledakkan. Dihadapannya, Sinon yang tadi bisa terbang bebas dengan menginjak udara. Kini hanya bisa menghindar menggunakan kaki kanannya sambil ia terus turun kebawah. “Urgh………” Sinon menggeramkan giginya, menggubah gerakannya menjadi manuver yang ia bisa gunakan— terbang kebelakang tanpa henti. Darah yang mengalir dari kaki kirinya bagaikan garis – garis di udara. Ia membuat jarak antara dirinya dan Subtilizer semakin lebar secepat yang ia bisa, sambil mengincar musuh dan mengerahkan tembakan ketiga. Tetapi musuh bisa mengejarnya dengan mudah dan sniper musuh juga menembakkan tembakan keempat. Kedua buah peluru melaju pada lajur yang sama, menimbulkan suara dan gemercik api ketika saling bergoresan, dan berubah arah. Sinon mengokang snipernya, rasa takutnya semakin besar, ia lalu menembakkan peluru keempat. Dua buah bunyi keras terdengar bersamaan. Dua buah peluru saling bertubrukan, lalu menghilang. Tembakan kelima. Tembakan keenam. Hasilnya sama saja. Subtilizer memang sengaja mengincar dan menembak ketika Sinon menembak, membuat kedua peluru terus bertabrakan tanpa henti. Skill seperti itu tak ada dalam GGO, kesampingkan dunia ini. Tetapi di dunia ini, imajinasi menjadi sumber segala hal. Tak hanya Subtilizer yang menyadari hasil pertempuran saling tembak ini, Sinon juga harus menyadarinya; itulah mengapa kedua peluru terus menerus saling bertabrakan. Meskipun begitu, ketiga hal tindakan mengokang, mengincar musuh, dan menarik pelatuk, Sinon tak bisa melakukan hal lainnya. Tembakan ketujuh saling berbenturam lalu sisa peluru menghilang di udara. Kokang. Incar. — Click. Ketika jemari Sinon hendak menarik pelatuk, hanya timbul bunyi saja. Isi peluru Hecate II hanya tujuh biji. Ia tak punya peluru cadangan. Sebaliknya, Isi peluru Barrett XM500 adalah 10. Sisa dua peluru. Sinon bisa melihat dengan jelas jika musuh tersenyum dingin dari jarak 100 meter. Percikan api muncul dari ujung snipernya. Selain kaki kirinya, kini tangan kanan Sinon meledak juga. Hal tersebut membuatnya tak bisa lagi terbang lurus, ia mulai turun. Mengontrol daya dorong, Subtilizer mendekatkan mata kanannya ke bidikan, bersiap untuk melancarkan tembakan terakhir. Mata yang terlihat dari bidikan tersebut mengincar dada Sinon. — Maaf. Maaf, Asuna. Maaf, Yui. Maaf… Kirito. Setelah Sinon berguman sendiri. Tembakan kesepuluh XM500 terdengar. Peluru tersebut meninggalkan lintasan peluru, menuju armor biru Sinon, menyentuh pakaiannya, dan menembus tubuhnya — Bang!! Percikan api muncul sekali lagi. Sinon membuka matanya lebar – lebar, dan melihat peluru tersebut dihentikan oleh kalung silver yang sangat kecil. Berada di pusat percikan cahaya putih selebar dua millimeter adalah kekuatannya yang masih tersisa. Seketika Sinon melihat ini, air mata menetes ke pipinya. — Aku tak boleh menyerah. Aku tak boleh menyerah. Aku harus yakin. Percaya pada diriku sendiri. Percaya pada Hecate. Dan aku harus percaya pada dia yang memiliki kalung ini. Sinon mengangkat Hecate dan meletakkan jari telunjuknya ke pelatuk. Meskipun senjata ini telah diubah menjadi sebuah sniper menggunakan imajinasinya. Properti sistem miliknya tak berubah — benar, kemampuan dari Bow of Solus: kemampuan untuk menyerap energi sekitar menjadi kekuatannya sendiri. Maka ini pasti bisa menembakkan. Meskipun isi pelurunya kosong, Hecate pasti akan merespon. “Go… oooo——!!“ Sinon menarik pelatuk. Apa yang tertembak bukanlah sebuah peluru logam. Sebuah peluru cahaya putih murni menyembur dari ujung Hecate, membuat garis lurus seolah membelah langit. Senyum menghilang dari wajah Subtilizer. Ketika ia berusaha menghindar, cahaya putih menghantam Barrett. Sebuah bola api keemasan muncul, menelan Subtilizer — Sebuah bunyi dentuman hebat, sebuah ledakan. Sinon merasakan hantaman udara menabrak wajahnya, membuatnya terjatuh dan menghantam tanah. Ia tak memiliki kekuatan untuk merangkak, apalagi terbang. Rasa sakit yang muncul dari kekinya membuatnya semakin sulit untuk menjaga kesadarannya tetap terjaga. Meskipun begitu, Sinon tetap membuka kedua matanya untuk melihat hasil tembakan akhir miliknya. Angin menyapu asap hitam yang muncul di langit sana. Apa yang muncul — adalah Subtilizer yang masih berdiri di udara. Ia terluka. Seluruh tangan kanannya meledak akibat tembakan Sinon dan asap hitam masih mengepul dari punggungnya. Wajah bagian kanan miliknya hancur dan ia memuntahkan darah dari mulutnya. Aura membunuh akhirnya muncul dari wajah Subtilizer. — Ayo sini. Aku akan meladenimu sebanyak yang aku bisa. Sinon memfokuskan sisa – sisa kekuatannya, dan mencoba untuk mengangkat Hecate. Sedetik kemudian, Subtilizer berpaling. Makhluk bersayap yang ada dibawahnya kini berubah arah dan meninggalkan jejak asap hitam, ia terbang menuju selatan. Sinon meletakkan sniper miliknya ke tanah; ia benar – benar kelelahan. Ketika sniper ini menyentuh tanah, ia berubah kembali ke bentuk aslinya, busur putih. Ia menggunakan tenaga terakhirnya untuk mengangkat kedua tangan dan memegang kalung yang menjuntai. “……… Kirito…” Ia berbisik, air mata menetesi pipinya. <center>***</center> Leafa tak memiliki waktu untuk mencabut senjata yang tertancap ditubuhnya. Semua rasa sakit bercampur aduk, langsung menembus ke urat syarafnya. Beberapa luka miliknya cukup parah. Setiap saat ia bergerak, dua buah pedang yang saling menusuk perutnya menggesek organ dalamnya dan pedang yang tertancap dari punggungnya telah menembus jantung Leafa. Tetapi Leafa tidak berhenti bergerak. “Ura… AAHHHHH!!” Banyak darah menyembur ketika ia mengayunkan Sword Skill untuk kesepuluh kali — atau seratus kali. Katana «Verduras Anima» memotong horizontal dengan cahaya hijau.setelah beberapa saat berkonsentrasi, cahaya tersebut melebar dan banyak tubuh musuh terpotong. Beberapa musuh mengambil kesempatan cooldown ini, dan melaju kearahnya. Leafa mundur tetapi tak bisa menghindari semua serangan. Tombak besar berhasil mengiris lengan kirinya. Ia mencoba mengendalikan tubuhnya karena hampir terjatuh.... “HAAAHHH!!“ Pedang miliknya ia ayunkan sekali lagi, tiga orang terpotong lagi. Leafa mengambil lengannya yang terpotong dan memasangnya kembali, ia lalu menjejakkan kakinya ke tanah. Bunga dan rerumputan mucul bersamaan dengan cahaya hijau. HP miliknya kembali normal dan meskipun lukanya masih kelihatan, lengan kirinya telah tersambung kembali. Dalam situasi semacam ini, kemampuan infinite regeneration yang dimiliki Super Account Terraria tak bisa disebut lagi sebuah anugerah dewi. Lebih mirip sebuah kutukan. Tak peduli berapa banyak luka yang ia terima, berapa banyak rasa sakit yang dirasakan, ia tak akan kalah. Ia tak bisa mati, ia bukannya tak terkalahkan, Leafa malah merasakan sebuah siksaan. Satu – satunya hal yang membuat Leafa tetap bertahan adalah sebuah keyakinan. — Jika yang mengalami Onii-chan. Ia tak akan mundur dengan luka semacam ini. Aku tak boleh kalah. Mereka hanya tiga ribu orang. Aku bisa mengatasinya seorang diri. Karena.... aku... adalah.... Adik Perempuan..... «Black Swordsman» Kirito… Cahaya kemerahan menyala dari ujung katana yang ia genggam. Zoom! Katana tersebut ia hunuskan kedepan dan menembakkan sebuah pilar cahaya sejauh ribuan meter. Tubuh – tubuh musuh tertelan dan menghilang. “… Huff… Huff…….” Ketika ia bernafas, ia memuntahkan darah. Leafa mengelap mulutnya sambil gemetaran, lalu sebuah tombak datang dan menancap ke mata kirinya dan menembus ke kepala. Ia mundur beberapa lanngkah — tetapi Leafa tidak tewas. Ia menggenggam pegangan tombak dengan tangan kirinya dan mencabutnya. Sebuah sensasi rasa sakit mengerikan mengalir ke tengkoraknya. “Urgh… Uraaaaaaagh!” Ia berteriak, menginjakkan kakinya ketanah untuk memulihkan HP miliknya. Mata kirinya yang hancur kini telah pulih. Ia memandang sekeliling dan menyadari daerah sekitar hanya tersisa sekitar seratus orang. Leafa menyeringai, menjulurkan tangan kirinya yang berdarah kedepan, ia mengundang musuh untuk maju. Melawan pasukan yang menerjang dirinya, Leafa mengayunkan katana miliknya dengan keras . “Eeyah… AAAAAHHH!” Tebasan pedang. Darah menyembur ke udara ketika serangan Leafa menghantam pasukan musuh. Kira – kira tiga menit setelahnya, setelah musuh terakhir musnah. Tubuh Leafa telah tertancapi lebih dari sepuluh senjata. Perutnya mati rasa ketia ia terjatuh kebelakang, namun ia tak menyentuh tanah karena tertahan ujung senjata. Mendengarkan Rirupirin dan yang lain memanggil namanya, juga mendengar langkah kaki mendekatinya, Leafa menutup mata dan berbisik pelan: “Aku… Hebat, kan… Onii-chan…” <center>***</center> Ketika Yanai menarik pelatuk, sebuah teriakan datang dari telinga kiri Higa. “Higa-kun, menghindar!!” Huh? Menghindar… menghindari peluru? Sambil berpikir seperti itu, Higa mendengar sebuah suara benda jatuh dari atas saluran ini. Clang! Itu bukan suara sebuah tembakan. Suara benda jatuh dari pintu masuk diatas sana, lalu menghantam dahi Yanai. Mata Yanai terbuka lebar ketika melihat keatas. Tangan kirinya yang menggenggam tangga terpeleset. “Whoa… Tunggu…” Higa seolah lupa rasa sakit di pundaknya lalu merapatkan tubuhnya ke tangga. Sebuah obeng besar terjatuh, lalu sebuah pistol terjatuh. Akhirnya tubuh tak sadarkan diri Yanai terjatuh di saluran ini. “Hee… Heee!” Higa kembali ke posisi semula. “……… Ah.” Ketika Higa membuat keluhan itu, Yanai telah terjatuh kebawah sedalam 50 meter. Beberapa bunyi kelontangan terdengar ketika ia menghantam lantai. “………. Um.” Apa dia … mati? Tidak, sepertinya ia hanya mematahkan dua atau tiga tulang … tidak, mungkin lima atau enam … Sambil berpikir apa yang menimpa Yanai, sebuah teriakan terdengar di telinganya sekali lagi. “Higa-kun… Hei, Higa-kun!! Apa kamu baik – baik saja?! Jawab aku, hei!!“ “………. Ah, tidak, aku hanya terkejut … kau mampu membuat suara berisik seperti itu, Rinko-senpai.” “Bagaimana... bagaimana mungkin kamu memikirkan hal konyol seperti itu?! Apa kamu terluka? Apa ia menembakmu?!” “Ah, um…” Higa melihat luka di pundak kanannya. Jumlah darah yang hilang benar – benar banyak. Tangan kanannya mulai mati rasa, dan dingin. Pikirannya tak secepat biasanya. Tetapi Higa mengambil nafas panjang dan mengumpukan kekuatan di perutnya sesaat, lalu membalas seceria mungkin: “Tidak, aku baik – baik saja kok! Hanya luka gores. Aku akan melanjutkan operasi ini, tolong awasi monitor Kirito-kun, Senpai!!” “Apa kamu serius tak apa?! Aku akan coba percaya, oke?! Jika kamu menipuku aku tak akan memaafkanmu, oke?!” “Tentang itu… percaya saja padaku.” Higa melihat keatas dan melambaikan tangannya pada Rinko yang mengintip dari pintu masuk saluran. Karena jarak cukup jauh dan minim penerangan, seharusnya ia tak bisa milihat pendarahan Higa. “Nah… aku akan menuju monitor, dan jika gambarnya berubah aku akan mengabarimu! Semoga berhasil, Higa-kun!!” Seketika sosoknya menghilang, Higa keceplosan berbisik memanggil namanya: “Ah… Rin-Rinko-senpai.” “Apa, ada sesuatu?!” “Bukan… Um, uh…” — Tahu nggak? Di kampus, bukan hanya Kayaba-senpai dan si sialan Sugou yang mengagumimu, aku juga mengagumimu lho. Higa ingin berkata seperti itu, tetapi ia merasa jika ia mengungkapkannya... maka.... “Um, setelah ini semua berlalu, maukah kita makan bareng?” “… Oke. Aku akan mentraktirmu hamburger, daging asap, atau apalah, semoga berhasil!!” Lalu sosok Professor Koujiro benar – benar menghilang dari pandangan Higa. — Ia benar = benar pelit. Coba pikir, saat – saat «terakhir», kata – katanya tak terdengar keren. Higa tersenyum pahit, lalu membalikkan laptop di tangan kirinya. Ia meletakkan jarinya yang mati rasa ke keyboard dan mulai mengetik. STL #3… Connected to #4. #5, #6… Connected. Mungkin karena kehilangan banyak darah, kata – kata yang muncul didepan mata Higa kini berlipat ganda. Ia menggelengkan kepala dan berbisik dalam hati. — Baiklah, Kirito-kun, waktunya untuk bangun. <center>***</center> Sambil bercucuran airmata, Asuna menatap kekasihnya sambil berdoa. — Kumohon, Kirito-kun. Aku bersedia mencurahkan seluruh hatiku, hidupku, segalanya... jadi, bangunlah. — Kirito-kun. <center>***</center> — Kirito. <center>***</center> — Onii-chan. <center>***</center> ……… Sekarang… Kirito…
Summary:
Please note that all contributions to Baka-Tsuki are considered to be released under the TLG Translation Common Agreement v.0.4.1 (see
Baka-Tsuki:Copyrights
for details). If you do not want your writing to be edited mercilessly and redistributed at will, then do not submit it here.
You are also promising us that you wrote this yourself, or copied it from a public domain or similar free resource.
Do not submit copyrighted work without permission!
To protect the wiki against automated edit spam, please solve the following captcha:
Cancel
Editing help
(opens in new window)
Navigation menu
Personal tools
English
Not logged in
Talk
Contributions
Create account
Log in
Namespaces
Page
Discussion
English
Views
Read
Edit
View history
More
Search
Navigation
Charter of Guidance
Project Presentation
Recent Changes
Categories
Quick Links
About Baka-Tsuki
Getting Started
Rules & Guidelines
IRC: #Baka-Tsuki
Discord server
Annex
MAIN PROJECTS
Alternative Languages
Teaser Projects
Web Novel Projects
Audio Novel Project
Network
Forum
Facebook
Twitter
IRC: #Baka-Tsuki
Discord
Youtube
Completed Series
Baka to test to shoukanjuu
Chrome Shelled Regios
Clash of Hexennacht
Cube × Cursed × Curious
Fate/Zero
Hello, Hello and Hello
Hikaru ga Chikyuu ni Itakoro......
Kamisama no Memochou
Kamisu Reina Series
Leviathan of the Covenant
Magika no Kenshi to Basileus
Masou Gakuen HxH
Maou na Ore to Fushihime no Yubiwa
Owari no Chronicle
Seirei Tsukai no Blade Dance
Silver Cross and Draculea
A Simple Survey
Ultimate Antihero
The Zashiki Warashi of Intellectual Village
One-shots
Amaryllis in the Ice Country
(The) Circumstances Leading to Waltraute's Marriage
Gekkou
Iris on Rainy Days
Mimizuku to Yoru no Ou
Tabi ni Deyou, Horobiyuku Sekai no Hate Made
Tada, Sore Dake de Yokattan Desu
The World God Only Knows
Tosho Meikyuu
Up-to-Date (Within 1 Volume)
Heavy Object
Hyouka
I'm a High School Boy and a Bestselling Light Novel author, strangled by my female classmate who is my junior and a voice actress
The Unexplored Summon://Blood-Sign
Toaru Majutsu no Index: Genesis Testament
Regularly Updated
City Series
Kyoukai Senjou no Horizon
Visual Novels
Anniversary no Kuni no Alice
Fate/Stay Night
Tomoyo After
White Album 2
Original Light Novels
Ancient Magic Arc
Dantega
Daybreak on Hyperion
The Longing Of Shiina Ryo
Mother of Learning
The Devil's Spice
Tools
What links here
Related changes
Special pages
Page information