Editing
Oregairu (Indonesia):Jilid 4 Bab 7
(section)
Jump to navigation
Jump to search
Warning:
You are not logged in. Your IP address will be publicly visible if you make any edits. If you
log in
or
create an account
, your edits will be attributed to your username, along with other benefits.
Anti-spam check. Do
not
fill this in!
===7-6=== Setelah aku selesai berkeliling, aku kembali ke garis ''start'', dimana tersisa dua atau tiga kelompok lagi. Komachi menunjuk kelompok baru, yang segera bergegas pergi. Setelah kami yakin anak-anak itu telah pergi, kelompok Hayama mulai bergerak. “Baiklah, Hikitani‐kun. Kami pergi dulu sekarang, jadi aku serahkan sisanya padamu.” “Oke.” Setelah menyelesaikan percakapan yang agak singkat dan formal itu, aku melihat Hayama dan dua orang lainnya berjalan pergi, dan kemudian menunggu giliran Rumi untuk sampai. Api unggun berdecak, apinya menari-nari dalam hembusan angin. Dari kejauhan di tengah-tengah hutan, teriakan – baik pekikan dan sorakan – terdengar. Selama aku menunggu, aku mengamati apa yang Rumi lakukan. Di tengah sukacita semua orang, hanya bibir Rumi yang terkunci. Dari sudut pandang guru di dekatnya, dia tidak terpisah dari kelompoknya, namun dari sudut pandang gadis itu sendiri, jarak yang dirasakannya sangat jelas; dia telah terpisahkan dari mereka di sekelilingnya. Karena Rumi juga memahaminya, dia menjaga jarak selangkah dari yang lain. Melihat betapa kerasnya usaha yang dia lakukan demi orang lain membuat dadaku sedikit terkepal lagi. Komachi menarik ponsel dari kantongnya dan melihat waktunya. “Baiklah!” dia mengumumkan dengan nyaring. “Selanjutnya kelompok ini!” Dari dua kelompok yang tersisa, satu kelompok memekik senang. Kelompok terakhir menghela baik karena kecewa dan lega. Didorong oleh Komachi dan Totsuka, kelompok kedua terakhir itu beranjak pergi. Setelah aku melihat mereka pergi, aku diam-diam meninggalkan tempat itu. Tujuanku adalah persimpangan pada jalur pegunungan tersebut. Kerucut berwarna menutup jalurnya, mengubahnya menjadi jalan satu arah yang dingin. Aku bersembunyi di semak-semak sehingga aku tidak berpapasan dengan anak SD tersebut, kurang lebih seperti yang kulakukan saat berkeliling sebelumnya. Embun malam yang menetes jatuh dari dedaunan terasa dingin saat disentuh. Selagi malam mulai larut, udara di luar juga mulai mendingin. Aku melesat melewati tempat Yuigahama berada, menyelip melewati wilayah kendali Yukinoshita selagi aku berlari. Aku berlari sampai ke tempat yang membagi jalurnya menjadi dua: jalur pegunungan dan jalur berliku-liku yang mengelilingi hutan, yang membawamu lebih dekat menuju kuil kecil di garis ''finish''. Karena aku terus berlari, aku sedikit terengah-engah. Setelah aku mengendalikan nafasku, aku menyembunyikan diriku di balik bayang-bayang pohon di dekatku. Ini bukan untuk menakuti anak-anak itu tapi hanya untuk tidak terlihat oleh mereka. Kelompok kedua terakhir berjalan pergi, suara ribut mereka memudar di kejauhan. Setelah aku yakin mereka sudah pergi, aku memindahkan kerucut berwarna tersebut. Aku menghalangi jalur yang mengarah ke kuil dan membuka jalur yang tidak mengarah ke garis ''finish''. Hayama, Miura dan Tobe menunggu mereka pada jalur yang mengarah ke gunung. Aku berjalan ke arah mereka dan mengugamkan satu hal pada mereka. “Sudah waktunya. Kuserahkan ini padamu.” “Baik,” jawab Hayama singkat selagi dia duduk pada batu di dekatnya. Miura dan Tobe mengikutinya supaya mereka dapat menunggu arahannya dari dekat. Setelah memastikan mereka bertiga sudah siap siaga, aku kembali menuju persimpangan tersebut dan menyelip ke dalam bayang-bayang pohon lagi. Aku menunggu kelompok Rumi untuk tiba, menghitung setiap menit. Satu menit. Dua menit. Sudah hampir waktunya mereka berangkat. Selagi malam semakin larut, kegelapan di dalam hutan semakin gulita. Dengan pelan, aku memejamkan mataku di dalam kegelapan ini dan memusatkan perhatianku pada telingaku. Aku dapat mendengar suara kicauan burung hantu dan ayunan ranting. Telingaku menarik perhatianku ketika sesuatu bersuara di dekat sini. Aku dapat mendengar suara beberapa orang. Suara riang mereka semakin mendekat. Tidak ada suara Rumi di antaranya. Tapi ketika gadis itu berjalan cukup dekat bagiku untuk mengenali mereka dengan tatapanku, Aku dapat melihat sosok Rumi dengan jelas. Dari semua orang di kelompok itu, hanya mulutnya yang tertutup dengan kuat. Tapi itu, juga, akan berakhir malam ini. Ketua kelompok itu menunjuk ke arah persimpangan. Walaupun dia melirik jalur yang dihalangi kerucut berwarna itu dengan penuh minat, kakinya mengarah langsung pada jalur yang terbuka. Semua anggota kelompok tersebut mengikutinya, tidak sedetikpun meragukan arahannya. Aku mengendap-endap dan mengikuti mereka dari belakang, menjaga suatu jarak yang cukup. Pada saat itu, suatu suara yang pelan memanggil namaku. “Hikigaya‐kun. Bagaimana situasinya?” Ketika aku berpaling ke belakang, Yukinoshita dan Yuigahama sedang berdiri berdampingan. Karena kelompok Rumi adalah kelompok yang terakhir berangkat, mereka sudah menyelesaikan peran mereka berpura-pura menjadi monster. “Sekarang ini, mereka sedang menuju ke arah Hayama dan yang lain. Aku akan pergi melihatnya, tapi bagaimana dengan kalian?” “Tentu saja aku ikut,” kata Yukinoshita. “Aku juga,” kata Yuigahama. Mereka berdua mengangguk. Aku mengangguk balik pada mereka, dan kemudian kami mulai bergerak dengan perlahan dan hati-hati. Kelompok Rumi sedang berbicara dengan lebih keras dalam usaha untuk mengusir ketakutan mereka terhadap kegelapan. Selagi mereka berjalan, berbicara dengan riang tanpa henti, seseorang mendadak berkata “Ah”. Beberapa orang berdiri di hadapan mereka. “Oh, kakak-kakak SMA.” Setelah mereka melihat mereka adalah kelompok Hayama, anak SD itu berlari ke arah mereka. “Mereka memakai pakaian super biasa!” “Parah sekali!” “Lebih keras sedikit usahanya!” “Uji keberanian ini sama sekali tidak menakutkan!” “Mereka mungkin sudah SMA, tapi mereka bodoh sekali!” Saat melihat wajah-wajah yang mereka kenal, mereka mungkin melepaskan semua rasa gugup mereka yang terpendam. Dengan begitu bersemangat, anak SD itu mengejek-ejek kelompok Hayama. Tapi ketika anak SD tersebut mendekat, Tobe berpaling dengan kasar. “Huh?” gertaknya dengan nada yang rendah dan agresif. “Kelen lagi bicara sama siapa?” “Hei, kalian ga terlalu sombong? Kita bukan teman lu, tahu?” Dalam sekejap, anak SD tersebut berhenti di tempat. “Err…” Dalam upaya untuk memahami apa yang dikatakan pada mereka, mereka dengan susah payah berusaha untuk menenangkan diri mereka. Tapi Miura meneruskan, bahkan tidak memberikan mereka kesempatan tersebut. “Oh iya, barusan tadi ada yang mengatai aku bodoh, huh? Siapa dari kalian yang bilang itu?” Tidak ada yang menjawab pertanyaannya. Mereka hanya bertukar pandangan. Melihat mereka bersikap seperti itu, Miura mendecakkan lidahnya dengan frustasi. “Aku tanya siapa dari kalian yang mengatakannya. Ada yang bilang itu. Siapa dia? Lidah kalian putus? Cepat katakan.” “Aku minta maaf…” seseorang meminta maaf dengan lemah. Tapi Miura tidak memerdulikannya. “Apa? Aku tidak bisa dengar kau.” “Kalian main-main sama kami? Huh? Woi.” Tobe menatap tajam anak-anak SD itu, membuat mereka mundur selangkah. Tapi Miura sudah ada di sana. “Lakukan, Tobe, lakukan saja. Kamu tahu itu tugas kita untuk mengajari sopan santun pada anak-anak ini, bukan?” Tanpa ada kesempatan untuk melarikan diri, anak SD tersebut perlahan terpojokkan. Sebelum mereka menyadarinya, mereka sudah terperangkap dalam segitiga yang dibentuk Hayama, Miura dan Tobe. Tobe yang mengancam langsung dengan kekerasan. Miura yang memojokkan mereka dengan setiap kata-katanya yang menusuk. Dan Hayama yang menyebarkan ketakutan yang luar biasa dengan menatap mereka dengan dingin tanpa berkata-kata. Setengah menit yang lalu mereka begitu bersemangat, jadi berbeda jelas dengan ini. Mereka mungkin ingin menendang diri mereka sendiri karena mengatakan hal bodoh dengan begitu riang. Waktu main-main sudah usai – satu pukulan membuat mereka jatuh terpuruk. Tobe menunjukkan dirinya membunyikan tinjunya. “Hayama‐san, boleh kuhabisi bocah ini?” katanya, mengepalkan tinjunya. “Boleh kubuat babak belur mereka?” Ketika nama Hayama dipanggil, semua anak SD tersebut serempak melihat ke arahnya. Karena dia yang paling baik, dia akan membantu kita bukan? Dia pasti akan melerainya dengan senyuman lembutnya itu – harapan samar semacam itu bermunculan. Tapi Hayama mengangkat sudut mulutnya dengan sengit dan menuturkan kalimat yang persis sesuai dengan diskusi kami. “Kita buat seperti ini. Aku akan biarkan setengah dari kalian lari. Setengah lagi tetap di sini. Kalian boleh diskusi sendiri siapa yang tetap di sini,” katanya, suaranya bergema dengan begitu dinginnya sampai terdengar kejam. Di tengah-tengah keheningan dimana kamu bahkan bisa mendengar suara peniti jatuh, anak SD tersebut bertukar pandangan. Tanpa berkata-kata, hanya dengan tatapan, mereka melirik satu sama lain menanyakan apa yang harus mereka lakukan. “…kami benar-benar minta maaf,” kata seseorang yang bahkan lebih lemah dari sebelumnya, hampir menangis. Namun, meski begitu, Hayama tidak menghentikannya. “Aku tidak ingin kalian meminta maaf. Aku bilang setengah dari kalian tetap di sini.” Dia berhenti sejenak. “Pilih sekarang.” Setiap kali kata-katanya yang dingin terdengar, bahu anak-anak itu bergetar dengan hebat. “Hei, kalian tidak dengar dia? Atau mungkin kalian sudah dengar tapi kalian abaikan dia?” pancing Miura pada mereka. “Cepat tinggalkan seseorang di sini. Atau kau saja? Woi!” kata Tobe dengan mengancam sambil menendang tanah. “Tsurumi, kamu tetap di sini…” “…ya, kamu di sini saja.” Muncul keheningan. Setelah berdiskusi dengan berbisik, mereka telah memutuskan seekor kambing hitam. Rumi tetap terdiam, tidak mengutarakan pendapatnya dan juga tidak berkata tidak mau. Aku sudah memprediksi di sisi mana Rumi berada, tapi siapa yang akan ditinggal bersamanya setelah ini masih tanda tanya. Tiba-tiba helaan yang tak kusadari menyelip dariku. Sampai sekarang, semuanya berjalan sesuai rencana. Pertanyaannya sekarang adalah sejauh apa mereka akan terus bertindak sesuai dengan yang kurencanakan.<!--how far they would dance according to my strings.--> Di sampingku, Yukinoshita juga menghela. “Kamu mengincar apa yang terjadi setelah ini.” “Ya. Kita akan hancurkan hubungan di sekeliling Tsurumi Rumi.” Yuigahama, yang mendengarkan bisikan percakapan kami, mengugamkan sesuatu dengan samar. “…Aku heran apa tidak masalah menghancurkannya.” “Tidak masalah,” kataku. “Kalau hubungan mereka itu dipaksakan, satu kali pukul akan menghancurkannya berkeping-keping.” “Hubungan mereka akan hancur?” tanya Yuigahama, merasa tidak enak. Aku mengangguk lemah. “Ya, mungkin. Kalau gadis-gadis itu memang teman sejati seperti yang dikatakan Hayama, itu mungkin tidak akan terjadi dan begitulah akhirnya. Tapi mungkin bukan begitu adanya di sini.” “Benar. Hanya manusia berpemikiran serupa yang akan berkumpul mengelilingi seseorang yang merasa senang dan nikmat untuk menipu orang lain,” kata Yukinoshita selagi dia melirik ke kejauhan. Tidak, dia mengatakannya seakan dia sedang melirik ke masa lalunya. Memang benar, itu tidak berhenti di sana, seperti dugaan Yukinoshita. Ketika Rumi didorong ke depan, rasa pedih terlihat pada wajah Hayama untuk sesaat, namun segera digantinya dengan tampang yang dingin. “Jadi kalian sudah memutuskan satu orang. Baiklah, dua lagi. Cepat.” Dua orang dari sekelompok lima orang. Mereka mungkin sudah memilih satu orang, tapi mereka masih butuh dua lagi. Siapa yang bersalah dan siapa yang harus bertanggung jawab? Perburuan penyihir telah dimulai. “…kalau Yuka tidak mengatakan itu tadi.” “Itu salah Yuka.” “Ya…” Seseorang menyebutkan sebuah nama dan yang lain mengikutinya. Seseorang berdiri di sana untuk mengantarnya ke panggung eksekusi, seseorang memotong talinya, dan yang lain menunggu hasilnya. Namun tidak ada orang yang mau begitu saja menerima nasib tersebut. “Tidakǃ Hitomi dulu yang membuka mulut besarnya!” “Aku tidak mengatakan apapunǃ Aku tidak melakukan kesalahan apapunǃ Mori-chan yang sikapnya jelekǃ Dia selalu seperti itu. Dia juga bersikap seperti itu sama guru.” “Huuh? Aku? Apa hubungannya sikapku biasanya dengan ini? Hitomi yang mulai dulu dan setelah itu Yuka. Kenapa ini salahku?” bantahnya dengan sengit. Tidak akan mengejutkan kalau dia mencengkram kerah seseorang. Bahkan dengan melihat mereka dari agak jauh saja, suasananya terasa begitu menusuk sampai membuat tenggorokanku sakit. “Hentikan saja sudah. Ayo kita semua minta maaf…” Akhirnya air mata telah dimulai – karena takut, karena putus asa, mungkin bukan karena benci. Atau mungkin air mata ini berniat untuk memancing rasa kasihan. Tapi sikap Miura tetap tidak bergeming bahkan setelah berhadapan dengan air mata tersebut. Malah, dia membuat jelas rasa bencinya dan menutup ponsel yang dimainkannya dengan keras. Amarahnya berkobar bagaikan api. “Satu hal yang paling kubenci adalah gadis yang berpikir menangis akan menyelesaikan segalanya. Hayato, apa yang akan kamu lakukan? Mereka cuma ulang-ulang begini<!--They just repeated themselves-->.” “…dua orang lagi. Cepat pilih,” kata Hayama dengan kaku, setelah mematikan perasaannya. Setelah itu, Tobe memeragakan gerakan-gerakan tinju. “Hayato‐kun, itu lebih cepat kalau aku buat mereka semua babak belur saja.” “Aku akan beri mereka tiga puluh detik.” Seakan dia merasa situasinya tidak akan berakhir jika ini terus berlanjut, dia membuat batasan waktu. Dengan lebih tegas, dia memaksakan belenggu yang dinamakan waktu pada mereka. “Dia tidak akan melepaskan kita meski kita minta maaf… apa kita panggil guru saja?” “Uh‐uh, Aku tidak jamin apa yang akan terjadi kalau mulutmu bocor. Aku tahu wajah kalian.” Tobe dengan mudahnya menghancurkan saran tersebut dengan satu kalimat saja. Tanpa pilihan apapun, mereka berhenti berbicara. Setelah mereka terdiam, hanya waktu yang terus berdetak. “Dua puluh detik lagi.” Hanya ada suara Hayama. Setelah jeda singkat, seseorang dari kelompok itu bergugam pelan. “…harus Yuka.” “Yuka, tetap di sini.” Suara yang mengikutinya sedikit lebih keras. “…Aku juga merasa itu ide yang bagus.” Suara yang datang setelahnya terdengar kalem. Seseorang di dalam kelompok itu bereaksi, kemungkinan besar Yuka. Wajahnya memucat. Dia melirik tajam pada wajah seorang gadis yang masih belum membuka mulutnya. Gadis yang menerima tatapan Yuka itu menurunkan pandangannya dan memalingkan wajahnya. “…maaf, tapi kita tidak ada pilihan.” Ketika Yuka mendengar kata-kata itu, mulutnya bergetar. Dia bersikap seakan dia tidak paham apa yang baru saja terjadi. Di sampingku, Yuigahama menahan helaannya. “Tidak ada pilihan, huh…” Itu benar, tidak ada pilihan. Tidak ada orang yang bisa membalik situasinya dengan begitu saja. Berkat itu, meskipun seseorang merasa sangsi, mereka tidak akan melakukan apapun untuk itu. Kamu tidak dapat membalik pendapat mayoritas. Ada kalanya dimana kamu tidak ada pilihan selain bertindak melawan perasaanmu yang sesungguhnya. Karena “semua orang” berkata begitu, “semua orang” melakukannya, jadi jika kamu tidak melakukannya, kamu tidak termasuk salah satu dari “semua orang” lagi. Tapi “semua orang” bukan satu orang. Mereka tidak berbicara dan mereka tidak memukulmu. Mereka tidak marah dan mereka tidak tertawa. “Semua orang” adalah ilusi yang diciptakan oleh sihir pendapat mayoritas. Itu adalah hantu yang terbentuk tanpa sepengetahuan siapapun. Itu adalah roh hantu yang diciptakan demi menyelubungi kejahatan kecil setiap individu. Lewat perubahan yang mengerikan, dia akan menerkam semua orang di luar lingkaran pertemanan mereka dan bahkan menyebarkan kutukan pada temannya sendiri. Mantan anggota juga akan menjadi penghalang baginya. Itulah kenapa aku membencinya. Aku membenci sebuah dunia yang menekankan “semua orang”. Aku membenci kedamaian hambar yang dibangun di atas para kambing hitam. Aku membenci ide-ide hampa yang hanya dibuat dengan kebohongan, bahkan sampai menutupi kebaikan dan keadilan, membuat mereka dicap sebagai oportunis belaka, sebagai duri di sisimu seiring berjalannya waktu. Kamu tidak dapat mengubah masa lalu juga tidak dapat mengubah dunia. Kamu tidak dapat mengubah apa yang telah terjadi juga tidak dapat mengubah “semua orang”. Tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, kamu tidaklah merasa wajib untuk membudakkan dirimu pada sistem tersebut. Kamu dapat membuang pergi masa lalumu, menghancurkan dunia di bawah kakimu dan biarkan itu semua menjadi sesuatu yang tak berarti. “Sepuluh, sembilan…” Hitung mundur Hayama masih berlanjut. Rumi hanya memejamkan matanya tanpa bersuara. Dia memegangi kamera digital yang bergantung pada lehernya dengan erat seakan itu adalah sebuah jimat pelindung. Di dalam hatinya, dia mungkin melakukan sesuatu yang mirip berdoa. “Delapan, tujuh…” Anak-anak SD itu membuat teriakan marah dan isakan. Hutan gelap tersebut menyerap kebencian mereka dan membuat kegelapan mereka terlihat setingkat lebih gelap. Sudah hampir waktunya. Sudah lebih dari cukup waktu berlalu bagi mereka untuk sadar dengan dirinya sendiri dan sadar dengan niat jahat orang di sekeliling mereka. Sekarang yang perlu kami lakukan hanya muncul dan berkata “Kalian tertipu!” dengan suara yang riang dan datar. Aku hanya bisa melihat masa depan yang penuh dengan celaan dan kecaman di depanku, tapi aku dapat menahan sebanyak ini. Dengan pemikiran seperti itu melintas pada benakku, aku berdiri. “Tunggu.” Seseorang menarik kausku, membuat leherku menyentak. Aku bernafas megap. “Kenapa?” Ketika aku melihat ke belakang bahuku, Yuigahama sedang melihat ke arah Rumi dengan sungguh-sungguh. Telah menangkap maksudnya juga<!--Having picked up the hint too-->, aku duduk lagi. “Lima, empat, tiga…” “Permisi…” Ketika Rumi mengangkat tangannya untuk menyela suara Hayama, hitung mundurnya berhenti. Kenapa? Pandangan Hayama jatuh pada Rumi, menyuarakan pertanyaan yang tak terucap. Saat itulah ketika itu terjadi. Cahaya yang terang menyelubungi sekelilingnya. Bip bip bip – suara mesin berbunyi terus menerus. Terjangan cahaya membanjiri kegelapan malam itu dan memutihkan dunia sejauh mata memandang.
Summary:
Please note that all contributions to Baka-Tsuki are considered to be released under the TLG Translation Common Agreement v.0.4.1 (see
Baka-Tsuki:Copyrights
for details). If you do not want your writing to be edited mercilessly and redistributed at will, then do not submit it here.
You are also promising us that you wrote this yourself, or copied it from a public domain or similar free resource.
Do not submit copyrighted work without permission!
To protect the wiki against automated edit spam, please solve the following captcha:
Cancel
Editing help
(opens in new window)
Navigation menu
Personal tools
English
Not logged in
Talk
Contributions
Create account
Log in
Namespaces
Page
Discussion
English
Views
Read
Edit
View history
More
Search
Navigation
Charter of Guidance
Project Presentation
Recent Changes
Categories
Quick Links
About Baka-Tsuki
Getting Started
Rules & Guidelines
IRC: #Baka-Tsuki
Discord server
Annex
MAIN PROJECTS
Alternative Languages
Teaser Projects
Web Novel Projects
Audio Novel Project
Network
Forum
Facebook
Twitter
IRC: #Baka-Tsuki
Discord
Youtube
Completed Series
Baka to test to shoukanjuu
Chrome Shelled Regios
Clash of Hexennacht
Cube × Cursed × Curious
Fate/Zero
Hello, Hello and Hello
Hikaru ga Chikyuu ni Itakoro......
Kamisama no Memochou
Kamisu Reina Series
Leviathan of the Covenant
Magika no Kenshi to Basileus
Masou Gakuen HxH
Maou na Ore to Fushihime no Yubiwa
Owari no Chronicle
Seirei Tsukai no Blade Dance
Silver Cross and Draculea
A Simple Survey
Ultimate Antihero
The Zashiki Warashi of Intellectual Village
One-shots
Amaryllis in the Ice Country
(The) Circumstances Leading to Waltraute's Marriage
Gekkou
Iris on Rainy Days
Mimizuku to Yoru no Ou
Tabi ni Deyou, Horobiyuku Sekai no Hate Made
Tada, Sore Dake de Yokattan Desu
The World God Only Knows
Tosho Meikyuu
Up-to-Date (Within 1 Volume)
Heavy Object
Hyouka
I'm a High School Boy and a Bestselling Light Novel author, strangled by my female classmate who is my junior and a voice actress
The Unexplored Summon://Blood-Sign
Toaru Majutsu no Index: Genesis Testament
Regularly Updated
City Series
Kyoukai Senjou no Horizon
Visual Novels
Anniversary no Kuni no Alice
Fate/Stay Night
Tomoyo After
White Album 2
Original Light Novels
Ancient Magic Arc
Dantega
Daybreak on Hyperion
The Longing Of Shiina Ryo
Mother of Learning
The Devil's Spice
Tools
What links here
Related changes
Special pages
Page information