Oregairu (Indonesia):Jilid 4 Bab 7

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 7: Pada Akhirnya, Tsurumi Rumi Memilih Jalannya Sendiri[edit]

7-1[edit]

Tidak peduli bagaimana pun kamu mengartikannya, uji keberanian adalah aktivitas perkemahan di luar ruangan. Toh kami tidak mungkin memakai makeup prostetik atau efek visual[1]. Seperti yang kurang lebih semua orang ingat, aktivitas ini sederhana: kamu menempelkan jimat-jimat, mengendap-endap dalam kegelapan malam untuk mengguncang-guncang pohon dan mengejar-ngejar orang dengan memakai topeng.

Meski begitu, hutan di malam hari sendiri sudah menakutkan. Setiap kali pepohonan berdesir, suara manusia yang bukan berasal dari dunia ini menggelitik telingamu, dan ketika angin berhembus, mereka yang sudah mati mengelus pipimu.

Suasana semacam itu yang menyelubungi kami selagi kami meninjau jalur untuk uji keberanian tersebut, menyusun rencana untuk malam ini selagi kami melakukannya. Setelah kami mengamati jalurnya dari awal sampai akhir, kami menyelesaikannya dengan menempelkan sekumpulan jimat kertas jerami pada kotak cuaca yang telah dihias sehingga menyerupai sebuah kuil[2]. Anak SD itu diminta untuk membawa selembar jimat kembali.

Walaupun sejumlah besar pekerjaannya sudah mereka lakukan untuk kami, kami memeriksa lokasi-lokasi yang berbahaya supaya anak SD tersebut tidak kesasar dari jalurnya dan tersesat. Kami menaruh kerucut berwarna untuk menandai tempat kami akan memerankan peran monster kami; singkatnya kami cuma berjalan bolak balik untuk mencegah anak-anak itu melewati tempat ini.

Walaupun aku tidak pernah berpartisipasi dalam obrolannya, karena itu adalah sebuah obrolan, namun aku memetakannya secara menyeluruh di dalam otakku. Mappy tahu – jalan ini buntu[3].

Ketika aku kembali ke area siaga, Yukinoshita memecahkan keheningan tersebut.

“Jadi, apa yang akan dilakukan?”

Apa yang akan dilakukan jelas tidak ada hubungannya degan uji keberanian ini.

Dia sedang bertanya bagaimana kami akan menolong Tsurumi Rumi dari takdirnya. Dia tidak mendapatkan jawaban dari yang lain, yang dari tadi cukup senang untuk berbagi pendapat mereka. Malah, keheningan menyelubungi mereka.

Ini adalah masalah yang sulit untuk ditangani.

Tidak ada yang akan terjadi kalau kami hanya merapalkan “kalian seharusnya baik-baikan dengan satu sama lain” seperti sebuah mantra, dan meskipun kami berhasil memperbaiki situasinya dengan memberitahu mereka apa yang seharusnya mereka lakukan, di kemudian hari sejarah hanya akan berulang. Kalau, katakan saja, Hayama memaksakan Rumi ke dalam kelompok mereka, mereka akan melihat padanya seakan dia itu sesuatu yang sangat menganggu. Hayama itu orang yang populer, dan mereka semua mungkin akan akrab demi dirinya. Tapi Hayama tidak mungkin dapat terus memantau mereka 24 jam sehari selama seumur hidupnya. Kami harus melakukan sesuatu untuk akar permasalahannya.

Selama ini semua yang kami lakukan hanyalah menghindari jawaban yang sudah jelas.

Hayama berbicara dengan perlahan dan hati-hati. “Rumi‐chan mungkin hanya perlu berbicara dengan mereka semua, kurasa. Kita akan membuat situasi dimana hal itu dapat terjadi.”

“Tapi kalau kamu melakukannya, mereka mungkin akan bersikap jahat dengan Rumi‐chan…” kata Yuigahama dengan mata murung.

Tapi Hayama masih berpegang pada pendapatnya. “Kalau begitu mereka bisa berbicara empat mata dengannya satu per satu.”

“Itu sama saja. Mereka mungkin saja bersikap baik di depannya, tapi semuanya akan dimulai lagi di belakangnya. Perempuan itu lebih menakutkan dari yang pernah kamu bayangkan, Hayato‐kun,” kata Ebina‐san sambil bergetar.

Seperti yang bisa kalian duga, itu membuat Hayama terdiam.

“Apa, serius? Itu mengerikan!” Entah kenapa, Miura merasa gelisah. Yah, dia itu tipe orang yang berbicara terang-terangan. Karena dia selalu menjadi sang ratu, mungkin dia tidak peduli dengan politik di balik layar, meski itu mungkin terdengar mengejutkan bagimu.

Bagaimanapun juga, menjadi seorang riajuu itu menyusahkan. Mungkin memiliki teman itu bukanlah hal yang bagus; kamu juga harus berbagi hal-hal yang buruk. Tidak, pada kasus ini, mereka menawarkan kambing hitam untuk mempertahankan status quo.

Hanya saja, status quo ini sendiri merupakan segudang masalah.

Kalau begitu, itulah apa yang harus kami urus. “Aku ada ide.”

“Ditolak.” Yukinoshita langsung menolakku.

“Kamu cepat sekali menarik kesimpulan… orang sepertimu tidak pandai membeli rumah atau semacamnya.” Menurutku, dia sebaiknya lebih matang sedikit mempertimbangkan sesuatu. “Yah, dengar dulu. Ini uji keberanian. Kita sebaiknya memanfaatkannya.”

“Bagaimana kita memanfaatkannya?” Totsuka memiringkan kepalanya.

Demi Totsuka, aku memutuskan untuk menjelaskan penjelasanku semanusiawi mungkin. “Kamu tahu kata orang apapun bisa terjadi dalam uji keberanian?”

Begitulah yang coba kukatakan, tapi semua orang tercengang. Ebina-san terlihat begitu curiga sampai kupikir dia akan menginterogasiku.

Yuigahama, yang mengangguk sambil berpikir dalam-dalam, menepuk tangannya seakan sesuatu terbersit dalam benaknya. “Kamu buat jantung semua orang berdetak kencang dengan Efek Spasiboǃ Kemudian mereka akrab jadinya, atau semacamnya?”

“Kurasa maksudmu Efek Plasebo[4],” kata Hayama dengan senyuman yang tidak sampai ke matanya. Matanya penuh dengan rasa kasihan.

“…bahkan sebelum itu, kamu sedang membicarakan soal Efek Jembatan Gantung [5].” Yukinoshita menurunkan pandangannya, terlihat agak sedih.

Entah kapan, suasana sudah menjadi seperti ziarah pemakaman Yuigahama Yui.

“A-Aku sudah pahamǃ Yang penting intinya!” gugam Yuigahama, wajahnya merona merah terang.

“Ininya juga salah,” kataku. “Pikirkan apa yang sering terjadi pada uji keberanian.”

“…mati karena kaget, kurasa. Memang, tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik yang tertinggal, jadi hal itu dapat dijelaskan sebagai kecelakaan, kurasa. Aku pikir bertindak sejauh itu tidaklah manusiawi.” Yukinoshita menatapku dengan mata mencela.

“Salah. Proses berpikirmu itu yang lebih tidak manusiawi…” Dengan satu batukan, aku menampilkan jawabanku. “Jawaban yang benar adalah – bertubrukan dengan preman ketika kamu sedang mencoba memfoto hantu dan kemudian dikejar-kejar oleh mereka.”

“Itu tidak pernah terjadi.” Hayama dan Yukinoshita membantahku dengan serempak.

“Diamlah, itu benar-benar terjadi.”

Memang terjadi. Tahu, kejadiannya itu, aku terinspirasi oleh gadis yang agak tidak beruntung ini yang sendirian berkata, “Aku dapat melihat hantu…” Berpikir aku akan terlihat keren sekali kalau aku juga bisa melihat hantu, aku pergi memfoto hantu.

Tapi apa yang kutemukan bukanlah hantu tapi malah sekelompok preman. Mereka bertubrukan padaku pada saat yang paling buruk, tepat di tengah uji keberanian mereka sendiri.

Aku memancing amarah mereka, itu semua karena aku menakuti mereka sampai bulu kuduk mereka merinding, dan kemudian aku dikejar oleh mereka dan – yah, sebaiknya kita jangan melanjutkan cerita itu.

Yukinoshita menghela jijik. “Omong-omong kamu tidak sedang menarik semacam kesimpulan klise seperti manusia-lah yang paling menakutkan dari semuanya, bukan?”

“Namun preman memang agak menakutkan.” angguk Komachi dengan bijak.

Tapi‐

“Kurang pas. Ya, itu tidak salah untuk mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk paling menakutkan dari semuanya, tapi ketakutan itu bukan dalam bentuk preman.”

“Kalau begitu persisnya dalam bentuk apa…?” tanya Yukinoshita padaku.

Aku berhenti sejenak sebelum menjawab.

“Orang paling menakutkan adalah orang yang dekat denganmu. Karena kamu akan mempercayakan nyawamu pada mereka, kamu tidak akan pernah membayangkan mereka akan menusukmu dari belakang. Sesuatu yang menakutkanmu adalah sesuatu yang tidak kalian sangka. Seperti kata orang, musuh terbesarmu bisa jadi teman terbaikmu.”

Aku mencoba menjelaskannya dengan istilah seumum mungkin, tapi semua orang masih tercengang.

“Aku akan menjelaskannya dengan istilah yang konkret.” Ini bukanlah suatu hal yang sulit ditangkap. “Manusia cenderung menunjukkan watak asli mereka pada situasi yang genting. Ketika mereka benar-benar ketakutan, mereka akan melakukan apapun untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Mereka tidak akan mampu memikirkan tentang orang lain. Mereka mungkin bahkan mengorbankan salah satu dari mereka untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Tidak mungkin kamu bisa akrab dengan seseorang setelah sisi jelek mereka ditunjukkan dengan begitu terang-terangan. Begitulah cara kita memecah belah mereka.”

Aku mendiskusikan isi rencanaku dengan nada yang acuh tak acuh, tapi reaksi mereka bertolak belakang dariku. Mereka semua mengernyit dan terdiam.

“Kalau semua orang menjadi seorang penyendiri, tidak ada yang akan bertengkar.”

Aku sengaja memilih kata-kata tersebut dengan masak-masak.

7-2[edit]

“Wh‐whoa…”

Yuigahama melangkah mundur ketika aku selesai berbicara. Mata Yukinoshita menyipit sesipit yang dimungkinkan manusia, menatap tajam padaku dari celah tersebut.

“Hikitani‐kun, kamu punya sisi yang begitu keji…”

Bahkan Hayama, yang tidak pernah mengatakan hal yang buruk mengenai siapapun, merasa jijik. Itu agak membuatku ingin menangis. Aku tidak pernah merasa seperti ini semenjak sewaktu SD ketika kelas kami merawat hewan, hanya saja udang karang kami memakan satu sama lain, yang kemudian aku yang disalahkan untuk itu saat upacara sekolah.

Hanya Totsuka yang mengangguk kuat dengan kagum. “Hachiman, banyak sekali yang kamu pikirkan.”

Kalau orang lain yang mengatakannya, itu akan terdengar seperti sindiran, tapi ketika Totsuka yang mengatakannya, aku bisa bersumpah dia sedang memujiku tanpa ragu-ragu. Kalau ternyata kata-kata itu palsu, aku mungkin saja akan menghancurkan dunia yang kita kenal ini.

Yukinoshita merenung sejenak. “Tidak ada yang punya ide lain…” suaranya melemah. “Kalau begitu, kita tidak punya banyak pilihan.” Dia kelihatannya sudah mencapai sebuah keputusan.

Sekarang atau tidak usah sama sekali. Tidak banyak hal lain yang bisa kita lakukan.

Tapi Hayama tampak tidak senang mengenainya. “Itu tidak akan menyelesaikan masalahnya, bukan?” tanyanya pada akhirnya.

Memang, seperti yang Hayama katakan. Ini bukanlah jawaban yang benar. Tidak usah dikatakan lagi ini memang salah.

“Tapi kita bisa menghapus masalahnya.”

Ketika aku mengangkat kepalaku, Hayama menatap tepat pada mataku. Pandangannya begitu terang-terangan sehingga aku berpaling, merasa gugup.

Tapi dia tidak salah.

Kalau kamu kuatir dengan hubunganmu, maka hancurkan saja hubungan itu dan kekuatiranmu akan sirna. Potong akar penyebab siklus kekalahanmu. Tidak masalah. Aku tidak boleh melarikan diri itu hanya dipikirkan oleh orang yang kuat. Itu salah karena itulah apa yang dipaksakan dunia padamu.

Kata-kata “Aku tidak salah – dunia ini yang salah” mungkin terdengar seperti alasan, tapi kata-kata itu tentu tidak sepenuhnya salah. Tidak mungkin kamu terus salah sepanjang waktu. Ada banyak kejadian dimana tetangaamu, masyarakat dan dunia ini yang salah.

Kalau tidak ada orang bersedia mengakuinya, maka aku akan mengakuinya.

Hayama menatap tepat padaku. Tapi kemudian dia mendadak tersenyum lebar.

“Jadi begitu caramu memikirkannya, huh… Aku agak paham kenapa dia mengamatimu.”

Baru saja aku mau bertanya siapa dia yang dikatakannya, Hayama segera meneruskan.

“Oke. Kita akan lakukan rencana ini… namun, aku bertaruh mereka akan bekerja sama dan menangani masalah ini sebagai satu kelompok. Aku ingin percaya bahwa itulah watak asli mereka ketika dalam situasi seperti itu. Aku yakin sebenarnya mereka itu anak yang baik.”

Berhadapan dengan senyuman cemerlang Hayama yang menyilaukan, aku kehilangan kata-kata. Meskipun kami setuju pada cara yang sama, sedalam apa persisnya perselisihan pendapat kami?

“Huh? Ini begitu menyebalkan,” kata Miura.

“Sial,” kata Tobe. “Aku juga tidak mau ikut.”

Setelah Hayama menenangkan keluhan getir Miura dan Tobe, dia berpaling padaku. “Kita akan melakukan rencana Hikitani-kun. Kamu auteur-nya disini.”

“…oke.”

Meskipun peran Hayama itu tidak menyenangkan untuk dilakukan, dia masih menegaskan bahwa dia akan melakukannya.

Kalau begitu, aku harus mempersiapkan diriku juga.

Juga, apaan maksudnya auteur? Aku heran apa yang harus kulakukan.

7-3[edit]

Saat kami melakukan persiapan untuk uji keberanian, Hiratsuka-sensei memanggil kami untuk pergi ke salah satu kamar dalam rumah tamu.

“Aku ingin kalian untuk menampilkan cerita hantu untuk meningkatkan ketegangan uji keberanian nanti,” kata Hiratsuka‐sensei, mengumumkan misi kami selanjutnya.

Mengenai uji keberanian, cerita hantu tidak bisa dilewatkan. Kalau kami bisa meningkatkan ketegangannya dengan cerita hantu, bahkan kami akan terlihat seperti hantu tergantung setakut apa yang mereka rasakan.

Orang bilang bahwa “Wujud asli hantu hanyalah rumput yang layu”, tapi ketika manusia dikuasai oleh perasaan yang dinamakan rasa takut, mereka cenderung akan berhalusinasi mengenai penampakan yang aneh dan ganjil.

Kalian bisa bilang fenomena hantu itu kira-kira muncul dari kesan dan kesalah-pahaman subjektif. Singkatnya, merasa bahwa masih ada jagung dalam kaleng sup jagung kental atau melihat mangkuk bergerak setelah kamu menuangkan sup miso panas ke dalamnya juga merupakan penafsiran secara subjektif. Kamu salah memahami mekanisme yang kamu lihat. Tidak ada sesuatu di dunia ini yang begitu misterius.

“Apa ada yang tahu cerita hantu?” tanya Hiratsuka‐sensei pada kami.

Kami saling bertukar pandang.

Yah, ini bukan acara Pendongeng Tamori, jadi kami tidak siap sedia sekumpulan cerita hantu[6]. Satu-satunya yang mengangkat tangannya selain aku adalah Totsuka.

“Hmph. Totsuka dan… Hikigaya, huh. Kombinasi yang hanya membuatku merasa takut. Ceritakan sedikit mengenai cerita kalian.”

Untuk membuat latar cerita uji keberanian nanti, kami akan menampilkan cerita hantu kami di depan dua kelas dengan masing-masing tiga puluh murid – artinya, di depan enam puluh murid. Tentu saja, kami tidak boleh menceritakan cerita yang terlalu membosankan.

Kami meminjam sebuah kamar di dalam rumah tamu tersebut dan duduk berkeliling membentuk lingkaran. Kami bahkan menyiapkan lilin untuk menambah suasananya.

Totsuka dan aku menyetujui urutan untuk menceritakan cerita kami hanya dengan tatapan mata. Setelah melakukannya, Totsuka mengangkat tangannya dengan segan, tanpa menghiraukan tatapan hening yang kami lakukan tadi.

“Oke, aku akan mulai dulu…”

Cahaya di dalam kamar itu sudah dimatikan, meninggalkan hanya beberapa lilin redup yang untuk dipakai sebagai sumber cahaya. Ketika angin lemah berhembus lewat jendela yang sedikit terbuka itu, cahaya lilin bergerak-gerak dan bayangan tipis mereka berubah-ubah.

“Ini sebuah cerita mengenai senpaiku. Senpaiku itu semacam pembalap jalanan.

“Suatu hari, dia menantang ke puncak gunung sendirian seperti yang selalu dilakukannya. Tapi kemudian dia dicegat oleh mobil patroli. Dia pikir ini aneh karena dia belum melewati batas kecepatan saat itu. Kemudian, polwan yang turun dari mobil patroli itu berkata padanya.

“‘Dua orang berkendara tanpa helm itu melanggar hukum… huh? Apa yang terjadi dengan gadis yang kamu bonceng?’ tanyanya.

“Senpai selalu pergi sendirian; dia tidak pernah membonceng siapapun. Jadi kalau begitu… persisnya siapa yang polwan itu lihat…? Dan kemudian keesokan harinya…”

Totsuka menyeka tetesan keringat dari dahinya dan menelan dengan keras.

“Senpai berdance dengan hard luck [7].”

Ceritanya antiklimatik. Ada apa dengan Inggris aneh itu? Dia kebanyakan membaca manga yankee

Semua orang yang mendengarkan terlihat kecewa. Tapi Totsuka terus bercerita. Aku harus mengagumi kekuatan tekadnya.

“Senpai itu sekarang ayah dari dua orang anak. Dia berhenti menjadi pembalap jalanan dan mulai bekerja. Kemudian dia membentuk keluarga yang bahagia setelah menikahi polwan yang mencegatnya hari itu. Sekarang ini, istrinya jauh lebih menakutkan dari hantu.”

“Siapa yang ingin mendengar cerita menghangatkan hati seperti itu…?” kata Hiratsuka‐sensei dengan jijik.

Heh, Aku juga tidak tahan kalau sesuatu seperti itu disebut cerita hantu. Aku akan mengajari brandalan ini apa itu ketakutan yang sebenarnya.

“Sekarang giliranku.”

Aku mendekatkan lilinnya padaku, membiarkannya bergesek di lantai. Bayangan api tersebut berubah. Aku akan menceritakan kepada mereka cerita yang benar-benar menakutkan – percayalah!

“Ini sebuah kisah nyata…”

Setelah aku memakai kalimat pembuka yang umum itu, suara bisikan segera berhenti. Aku dapat mendengar setiap nafas yang mereka tarik.

“Ini terjadi sewaktu SD, sewaktu sekolah kami mengadakan perkemahan. Mereka memutuskan untuk menyelenggarakan uji keberanian tahunan ini. Benar… itu terjadi pada malam damai seperti malam ini.

“Kami dibagi ke dalam kelompok, ditugaskan untuk membawa kembali selembar jimat kertas dari sebuah kuil kecil di dalam hutan. Semua berjalan dengan lancar sampai akhirnya nomor kami dipaanggil. Tapi, ya, mereka mungkin menyebutnya uji keberanian, tapi semua trik-triknya dibuat oleh para guru. Tidak ada hantu yang berkeliaran.

Orang-orangan sawah dan guru yang menaruh sprei ke atas kepala mereka mungkin membuat kami ketakutan, namun kami masih berhasil mengambil selembar jimat dari kuil tersebut dan kembali dengan aman.

“Tidak ada yang terjadi sama sekali, hanya suatu acara menyenangkan dengan sedikit teriakan dan pekikan. Atau begitulah yang kupikir. Kemudian salah satu anggota kelompok kami, Yamashita‐kun, tiba-tiba berkata.

“‘Apa seseorang mengambil jimatnya?’

“Kata-kata itu sudah cukup untuk membuat kelompok kami gaduh. ‘Kamu ya?’ ‘Bukan, bukan aku.’ ‘Bukan aku juga…’ ‘Siapa kalau begitu?’ Anggota kelompokku berkata mereka tidak bisa ingat siapa yang mengambil jimatnya. Aku begitu ketakutan, kalian tahu. Sepatu botku gemetaran, aku hampir meneteskan air mata.

“Karena…”

Suaraku melemah.

Semua pandangan ditujukan padaku – tidak, bukan padaku, tapi mungkin pada kegelapan hitam pekat yang berada di belakangku.

“…tidak ada yang menyadari bahwa aku yang mengambilnya…”

Selagi aku mengakhiri ceritaku, aku meniup lilin tersebut.

Dalam keheningan mematikan yang menyelubungi ruangan tersebut, aku mendengar Yuigahama menghela. “Itu cuma cerita seorang penyendiri.”

“Itu akan lebih menakutkan kalau Hikigaya-kun ternyata akrab dengan orang yang menjalani uji keberanian bersamanya.” Yukinoshita juga melemparkanku tatapan yang dingin.

Dia tepat sekali, jadi aku tidak dapat menyuarakan bantahan apapun.

“Astaga, apa cuma itu cerita terbaik yang bisa kalian pikirkan?” Hiratsuka‐sensei menghela dengan dalam, dalam sekali.

“Errr, apa yang anda harap kalau anda meminta para amatiran mendadak menceritakan sebuah cerita horor…?” tanyaku.

“Hmph… tapi itu adalah kemampuan yang sangat dicari-cari bagi orang dewasa yang sudah bekerja. Karena, kamu akan diminta untuk ‘menceritakan cerita yang lucu’ pada pesta minum-minum. Kamu tidak akan mendapat kesempatan untuk mengasah kemampuan berceritamu lagi. Itu membuat hubungan kerjamu berjalan dengan mulus.”

Itu mengejutkanku. A-Aku tidak tahu…

“Apa yang anda katakan…? Karena aku sudah tidak ada harapan lagi, aku sebaiknya tidak bekerja. Itulah lingkungan pekerjaan yang seharusnya kumiliki, bukan?”

“Kamu terlalu negatif… Akan kutunjukkan kalian bagaimana caranya,” kata Hiratsuka‐sensei selagi dia menyalakan salah satu lilin tersebut.

Semakin tua semakin bijak – sesuatu semacam itu. Pada akhirnya, kami akan mendengarkan cerita hantu orang dewasa. Dengan ekspresi penuh dengan harapan (“Dia akan menceritakannya pada kitaǃ Cerita asli yang akan membuat kita gemetaran!”) kami berpaling ke arah Hiratsuka‐sensei.

Hiratsuka‐sensei menerima tatapan kami dengan senyuman tak kenal takut dan kemudian dengan perlahan mulai menceritakan kisahnya.

“Aku mengenal seseorang yang bisa kalian katakan sahabat karibku. Kita sebut saja dia Kinoshita Haruka. Tapi lima tahun silam, Kinoshita Haruka menghilang… yang dikatakannya padaku sebelum dia menghilang hanya,‘Aku akan pergi duluan’. Semenjak saat itu, aku tidak pernah berjumpa dengannya…

“Tapi terjadi sesuatu beberapa hari yang lalu. Seorang wanita yang kukenal muncul di hadapanku. Ekspresinya letih dan senyuman yang tipis terpampang pada wajahnya. Dia adalah sahabatku, yang seharusnya menghilang. Baru saja aku akan memanggilnya, aku melihat sesuatu di belakangnya – wajah yang menyeringai…”

Selagi Hiratsuka-sensei bercerita, wajahnya memucat. Itu terlihat seakan dia mengingat rasa takutnya pada saat itu. Ekspresi pucat pasinya juga membuat bulu kuduk kami merinding.

“…anak yang dipikulnya sudah berusia tiga tahun. Itu benar-benar menakutkan.”

Hiratsuka‐sensei meniup lilin di depannya dan ruangan itu menjadi gelap gulita.

Dalam keheningan canggung yang menyelubungi ruangan tersebut, aku tidak dapat menahan diriku.

“Yang dilakukannya hanya mengganti namanya dan memiliki anak…” gugamku tanpa sadar.

Seseorang cepat nikahi dia, astaga. Kalau tidak, mungkin aku sendiri yang akan menikahinya karena kasihan.

Akhirnya, kelihatannya tidak ada satu pun dari kami yang pandai menceritakan kisah horor, jadi kami memutuskan untuk memutar DVD Cerita Hantu Sekolah di dalam rumah tamu.

7-4[edit]

Selagi anak SD tersebut terfokus dengan DVD tersebut, anak SMA terus mempersiapkan uji keberaniannya.

Sementara Yukinoshita dan yang lain mengurus persiapannya, aku dipanggil oleh Hayama untuk membahas detail-detail rencananya. Setelah kami memutuskan inti dan poin-poin utamanya, kami mulai membahas detailnya.

“Kita sebaiknya hanya menangani kelompok Rumi‐chan saja, ya?” he asked.

“Ya, kamu benar. Itu perlu waktu, jadi kamu sebaiknya buat mereka giliran terakhir. Apa kamu akan melakukan semacam trik ketika mereka menarik undiannya?”

“Nah, itu tidak realistis dan akan memakan terlalu banyak waktu. Kita panggil kelompoknya saja sendiri. Ya… kita akan jelaskan itu supaya meningkatkan ketegangannya dengan tidak memberi mereka waktu untuk mempersiapkan mental mereka.”

Diskusi ini dengan Hayama berjalan tanpa kendala. Aku pikir aku cukup hebat dalam segi otak, tapi aku dapat merasa bahwa Hayama selalu selangkah di depanku. Sesuatu yang mungkin terdengar seperti alasan untuk berdalih terdengar masuk akal dari mulutnya, jadi semua ini cukup misterius.

“Kalau begitu aku serahkan ini padamu,” kataku pada akhirnya.

“Baiklah. Bagaimana kamu akan membawa mereka kesana?”

“Aku akan menyingkirkan kerucut berwarnanya dan membuat mereka menyusuri jalur yang buntu. Kamu dan yang lain harus menunggu di ujung sana.”

“Baiklah. Juga, soal Tobe dan Yumiko, aku ragu mereka akan ingat arahan sedetail itu.”

Ah, jadi kelihatannya mereka tidak terlalu pandai menghafal sesuatu.

“Kamu sebaiknya mengirimkan catatan pada ponsel mereka. Itu tidak akan terlihat janggal kalau mereka memainkan ponsel mereka. Malahan, itu mungkin akan terasa lebih nyata kalau mereka memainkannya dengan malas-malasan.”

“Aku tidak terpikirkan cara itu…”

Hayama memainkan jarinya pada tabletnya dan menuliskan sesuatu dengan mendetail. Sikap professionalnya sungguh menabjubkan.

Bagaimanapun, itu terasa menyenangkan untuk berbicara soal pekerjaan. Kamu tidak perlu menghabiskan waktu mencari-cari topik pembicaraan, dan tidak perlu mempertimbangkan perasaan lawan bicaramu. Itu terasa menyenangkan dimaafkan untuk mengatakan sesuatu yang kasar karena itu semua adalah bagian dari proses pekerjaan.

“Jadi seperti ini, huh? Akan kuberi arahannya pada Tobe dan Yumiko.”

“Kuserahkan itu padamu,” kataku, walaupun mungkin itu sesuatu yang tidak perlu kuberitahu lagi.

“Baiklah, sampai jumpa nanti.”

Setelah diskusi kami berakhir, aku berpisah dengan Hayama, yang pergi berbicara dengan Miura dan Tobe. Untuk sekarang, aku memutuskan untuk membantu Yukinoshita dan yang lain mempersiapkannya.

Aku mungkin menyebutnya persiapan, tapi itu bukan suatu acara yang besar. Singkatnya, kami hanya perlu berjalan kesana kemari dan menakuti anak-anak itu.

Untuk acara ini, daripada membuat latar sebuah rumah hantu yang mendetail, lebih penting untuk membuat suasana permainan yang memiliki kesan yang kuat. Khususnya untuk anak SD, atraksi fisik akan lebih menarik bagi mereka dibanding menyempurnakan latar cerita acara ini. Sederhananya, muncul dari kegelapan dan membuat mereka berteriak kaget akan lebih menyenangkan bagi mereka. Dulu sewaktu aku masih SD, Jason Voorhes[8] mendadak muncul entah dari mana, jimat-jimat ditumpuk di suatu tempat, dan hantu dengan sprei di kepala mereka bergentayangan tanpa arah dan tujuan di garis finish – itu adalah gambaran sebuah kekacauan.

Tempat ini, yang menyelenggarakan perkemahan yang baru saja kuceritakan, menyimpan kostum-kostum monster untuk acara seperti ini. Para guru bertanggung jawab untuk menyiapkan kostum tersebut untuk kami.

Mereka memang mempersiapkannya, tapi aku jadi menggaruk-garuk kepalaku ketika aku melihat beberapa kostum tersebut.

“Kostum setan kecil… telinga dan ekor kucing… yukata putih… topi penyihir lengkap dengan mantel dan jubah… kostum miko…”

Benar, itu menyolok, tapi bukankah ada batasannya untuk hal semacam ini? Ini sudah hampir mirip Halloween.

Menurut Hiratsuka‐sensei, kali ini seorang guru SD yang menyiapkan kostum-kostumnya. Namun tidak peduli dari sudut pandang manapun kamu memikirkannya, kamu hanya bisa menyimpulkan bahwa dia hanya ingin melihat gadis SMA mengenakan kostum cosplay. Ini membuatku juga ingin menjadi seorang guru.

Untuk memulainya, Ebina-san mengambil kostum miko. Ebina-san, yang memiliki tampang yang polos dan murni walaupun berada dalam kelompok Miura, terlihat cukup cantik mengenakan kostum bergaya-Jepang. Tapi harus kukatakan, dia lebih terlihat misterius daripada menakutkan. Aku heran apa dia akan menghasilkan kesan yang menyeramkan jika dia bertugas di sebuah kuil.

Selagi aku memikirkan tentang posisi kami masing-masing, aku melihat sekelilingku pada mereka yang lain.

Saat aku melakukannya, aku melihat Totsuka merapikan topi penyihir pada kepalanya. Dia menarik benang pada lengan baju jubahnya. “Aku heran apa penyihir juga termasuk monster…” gugamnya, terdengar bingung.

“Yah, kalau dalam artian luasnya, ya.” Kecuali itu sebenarnya sebuah kostum penyihir wanita tidak peduli bagaimanapun kamu melihatnya. Sharanraaaan[9].

“Tapi ini tidak menakutkan, bukan?”

“Nah, itu menakutkan. Itu sudah bagus.”

Ya, itu benar-benar menakutkan. Jika begini terus, aku mungkin akan berakhir menjalani rute Totsuka, jadi ya, itu menakutkan. Heh… apa kamu yang merapalkan sihir terlarang itu padaku?[10] Apa-apaan yang sedang kukatakan?

“Onii‐chan, onii‐chan.”

Seseorang menepuk bahuku – tidak, sensasinya terasa lebih lembut dibanding tepukan. Ketika aku melihat ke belakang bahuku, sebuah kaki kucing yang terlihat seperti sebuah boneka memanggil-manggilku dengan semangat.

“Apa itu – monster kucing?”

“Kurasa begitu…”

Aku heran apa ini salah satu pertunjukkan musikal dari Shiki Theatre Company [11]… sampai aku sadar itu adalah adikku.

Komachi yang dibalut dengan kulit hitam palsu, memakai telinga dan ekor kucing.

“Aku tidak begitu paham, tapi itu imut jadi aku tidak peduli” kataku.

Gadis yang cantik akan terlihat manis tidak peduli pakaian apapun yang dipakainya. Mungkin dia bahkan akan terlihat manis mengenakan mobile suit. Sumber: Nobel Gundam dari G Gundam.

Selagi Komachi menggerakkan dan mengepalkan kaki kucing besarnya, berusaha untuk mengamati gerakannya, sesosok manusia yang mirip hantu muncul entah dari mana.

“…”

Hantu itu dengan lembut meraih telinga kucing Komachi.

Elus, elus.

“Er, um… Yukino‐san?”

Tepuk, tepuk.

Yukinoshita kali ini mengincar ekornya.

Pencet, pencet.

Kemudian dia mengangguk. Apa apaan? Pemahaman macam apa yang didapatnya? Berhenti terlihat seperti seseorang yang dengan lancarnya mengutarakan pendapat pakar mereka. Dia terlihat baru saja ingin berkata Saudara-Saudari Sekalian, Bagus Sekali Pamerannya.

“Kostummu bagus,” katanya setelah jeda panjang. “Agak cocok denganmu.”

“Terima kasih banyak. Yukino-san, kamu juga terlihat super keren! Benarkan, onii‐chan?”

“Yep. Kimono cocok sekali denganmu. Kamu benar-benar mirip Yuki‐onna. Sudah berapa banyak orang yang kau bunuh[12]?”

“…apa itu usahamu untuk memuji?” alis Yukinoshita mendadak mengernyit. Intensitasnya yang mendadak membuat hawa dingin menjalari sumsumku.

“Ah, suasana dingin itu. Kamu benar-benar mirip Yuki-onna. Bagai pinang dibelah dua.”

Saat aku memuji dirinya, Yukinoshita menjentikkan rambutnya ke belakang bahunya dan melihat tepat pada mataku. “Kamu juga bagai pinang di belah dua, Hikigaya‐kun. Kamu cocok menjadi zombie. Mata busukmu itu sudah level-Hollywood.”

“Tapi aku tidak memakai makeup atau kostum.”

Aku menatap tajam pada Yukinoshita dengan mata yang sayu, tapi berpaling secara insting ketika dia membalas menatapku.

Sekarang setelah aku tidak melihat ke arah Yukinoshita, pandanganku jatuh pada Yuigahama, yang sedang risau mengenakan kostum setannya.

Baru saja ketika aku berpikir dia sedang membuat senyuman di depan cermin besar itu, dia segera menggelengkan kepalanya dengan kuat, seakan memutuskan itu tidak bagus. Kemudian, baru saja kupikir dia menghela kecil dan menundukkan kepalanya, dia membuat pose yang riang. Dia seperti seseorang pada malam sebelum acara cosplay perdana mereka.

YahariLoveCom v4-241.jpg

“Kamu kelihatan sibuk di sana,” panggilku padanya.

“Oh, Hikki…”

Yuigahama memeluk dirinya sendiri dalam usaha untuk menyembunyikan tubuhnya. Rasa tak percaya dirinya juga terlihat pada ekspresi wajahnya.

Aku berkata. “Um, kamu tahu‐”

Mata murungnya melirik ke atas dengan sembunyi-sembunyi, menanti-nanti kata-kataku. “Er, um… bagaimana kamu rasa?”

“Kalau kamu sedikit saja terlihat aneh, aku akan mengatakannya dan mengejekmu… sayang aku tidak bisa melakukannya.”

Er, apa…? Yuigahama kebingungan sejenak, tapi kemudian dia menyeringai dan tertawa seakan dia telah paham artinya.

“Kamu puji saja aku secara langsung… booooodoh.” Yuigahama mengecamku dengan riang sebelum berpaling kembali pada cerminnya dengan suasana hati yang lebih baik dari sebelumnya.

Komachi, yang mungkin telah melihatnya secara keseluruhan dari awal sampai akhir, tergelak geli dan menyeringai puas. “Onii‐chan, kamu sungguh Hinedere[13].”

“Jangan buat istilah aneh.”

Selagi perasaan yang bahwa ini semua usaha sia-sia yang tak terlukiskan menerjangku, kelompok Hayama kembali.

Ketika aku melihat ke arah mereka, Miura dan Tobe sudah menyelesaikan persiapan mereka seluruhnya. Khususnya Miura terlihat teramat menakutkan meskipun dia tidak memakai kostum. Dengan kata lain, dia memang menakutkan sepanjang waktu.

“Hayama.”

Ketika aku memanggil Hayama, dia mengangguk singkat dan mulai berkata.

“Baiklah, ayo kita mulai diskusi terakhir kita.”

Hanya tersisa sedikit waktu sebelum uji keberanian tersebut dimulai.

Meskipun mereka sepenuhnya sadar bahwa ini akan menyisakan perasaan yang tidak enak setelahnya dan tidak ada hal bagus yang akan muncul darinya, tidak ada orang yang mampu menghentikannya, dan maka waktu terus berjalan dengan lajunya sendiri.

7-5[edit]

Mungkin berusaha untuk meningkatkan suasananya, sebuah api unggun diletakkan pada garis start. Setiap kali tumpukan kayu bakar digeser, percikan api akan melayang-layang.

“Baaaaaaaaiklah! Selanjutnya kelompok ini!”

Ketika Komachi menunjuk pada satu kelompok, anak-anak itu memekik heboh. Setelah semua anggota kelompok itu berdiri, ribut ketika mereka melakukannya, mereka berbaris dan menuju ke garis start.

Tiga puluh menit telah berlalu semenjak dimulainya uji keberanian ini. Kalau kamu menghitung jumlah yang tersisa, kamu akan mendapati bahwa sekitar tujuh puluh persen kelompok sudah pergi.

Seperti yang telah Hayama sarankan, rencana ini berjalan dengan mulus ketika kami memilih kelompoknya saat itu juga tanpa menentukan urutannya. Anak SD tersebut, yang menunggu-nunggu sambil bertanya-tanya kapan giliran mereka, terlihat sedikit gugup. Kalau Hayama, dia menghela lega setelah dia melihat sendiri bahwa situasinya berjalan sesuai rencananya. Persis setelah itu, dia membisikkan sesuatu pada telinga Miura dan Tobe. Mungkin mereka sedang berdiskusi mengenai tahap akhir rencananya.

“Ketika kalian mulai, tolong ambil selembar jimat dari kuil kecil di dalam hutan.” Totsuka menyatakan peraturan sederhana tersebut selagi dia berdiri menghadap jalur masuk ke dalam hutan tersebut dalam kostum penyihir wanitanya. Awalnya, dia mengucapkan kalimatnya dengan tergagap-gagap, mungkin karena dia gugup, tapi akhirnya dia sudah terbiasa dengannya setelah memasukkan satu demi satu kelompok. Sekarang dia melakukannya dengan cukup sempurna, seperti yang bisa kalian lihat.

Mungkin tidak masalah membiarkan Komachi dan Totsuka mengurusnya sekarang. Lagipula, ada Hiratsuka-sensei bersama mereka. Seharusnya tidak akan muncul masalah besar.

Dengan diam-diam, aku mulai berjalan agar aku dapat mengamati bagaimana uji keberanian ini berjalan. Waktunya untuk melihat bagaimana kabar yang lain.

Aku berjalan menyusuri semak pepohonan untuk beberapa saat agar anak SD tersebut tidak menyadari keberadaanku.

Yang pertama berada di posisinya adalah Yuigahama.

Ketika anak SD itu berpapasan, dia melompat keluar dari bayang-bayang pohon.

“Rawr! Akan kumakan kalian!”

…ada apa dengan usaha lemahnya itu untuk menakuti mereka? Apa dia itu Gachapin[14]?

Sama sekali tidak merasa terganggu dengan gadis remaja bloon yang mendadak muncul, anak SD tersebut tertawa terbahak-bahak dan berjalan pergi.

Setelah anak SD itu tidak terlihat lagi, Yuigahama menundukkan bahunya dan mengisak.

“Wow… kayaknya aku yang kelihatan bodoh…”

Aw…

Aku rasa aku akan membuatnya risih kalau aku memanggilnya, aku memutuskan untuk membiarkannya untuk sekarang. Aku terus memakai jalan singkat, memotong lewat semak pepohonan, dan terus berjalan ke depan.

Di sepanjang jalan, aku dapat mendengar teriakan dari anak SD tersebut.

Mereka semua sekaligus berbicara dan tertawa tentang betapa membosankannya ini dan ini sama sekali tidak menakutkan. Aku heran apa mereka memang tidak merasa takut. Tapi ketika aku membuat suara gemersik pada rumput, suara mereka segera memudar.

“Apa itu barusan?” “Aku rasa aku melihat sesuatu.” “Tidak ada apa-apa…” Aku dapat mendengar mereka mengatakan hal semacam itu.

Hal paling menakutkan dari semuanya adalah sesuatu yang tidak dapat kamu lihat. Tanpa menunjukkan diriku, aku bergegas ke tempat selanjutnya.

Jauh di dalam hutan, terasa gelap gulita, dan itu saja sudah cukup untuk membuat kulitku merinding. Sekarang mungkin saja musim panas, tapi malam pada dataran tinggi ini terasa dingin. Berkat itu, aku tidak bisa tahu apa aku hanya merasa dingin atau sensasi dingin itu berasal dari keberadaan suatu makhluk yang tak dikenal.

Jalanku diterangi oleh cahaya bulan dan bintang yang berubah-ubah. Selagi aku terus berjalan, jalannya bercabang dua.

Sesosok makhluk putih bertengger di depan sana. Cahaya bulan bersinar menembus celah ranting, menampilkan kulit seputih kapur, sementara angin membuat sosok tersebut bergoyang bagaikan ilusi.

Aku tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun.

Bukan karena aku takut. Aku begitu terpesona dengan kecantikan yang jelas di depan mataku sampai hawa dingin menjalari sumsumku. Terasa salah bagiku untuk mendekat atau membuka mulutku, seakan kecantikan itu melambangkan sebuah garis yang tidak boleh dilewati.

Aku yakin banyak hal di dunia ini yang menjadi demikian selagi waktu berputar. Saat cerita mengenainya diturunkan dari generasi ke generasi, mereka menjadi sosok supranatural. Pemikiran asal itu terbersit dalam benakku.

Selagi Yukinoshita Yukino tetap menjadi hantu, aku hanya bisa berdiri di sana seakan setengah sadar. Cahaya bulan yang terang dan angin dingin dan sepoi berhembus pada tubuhku.

Waktu berhenti, meskipun setelah beberapa detik berlalu.

Dia berpaling ke belakang, telah menyadari keberadaan seseorang. Pandangannya jatuh padaku; aku berada di balik bayang-bayang pohon.

“Ahhhh!”

Terkejut melihat kemunculanku yang tiba-tiba, Yukinoshita melompat mundur dua meter.

“…Hikigaya‐kun?”

Mata Yukinoshita bergerak pesat dan dia kemudian mengelus dadanya dengan lega.

Apa-apaan dengan reaksi itu…? Dia membuatku merona. “Kulihat kamu bekerja dengan keras.”

“Kupikir kamu hantu… matamu sudah menjadi mata zombie.”

Pak, reaksi itu sama sekali tidak imut. Dia membuatku mendengus. “Bukankah kamu bilang hantu itu tidak ada?”

“Benar.”

“Menurutku kamu kelihatan agak ketakutan barusan,” kataku.

Yukinoshita bereaksi dengan geram. Dia dengan santai menatapku dan mulai berceramah panjang lebar.

“Aku tidak takut, sama sekali tidak. Kalau kamu percaya hal semacam itu ada, otakmu akan semaunya menyambungkan gambar tersebut pada korteks visualmu. Dari sudut pandang medis, itu cukup jelas bahwa pemikiran seseorang akan menghasilkan suatu efek pada tubuhmu. Maka dari itu, tidak ada yang namanya hantu. Atau, dengan kata lain, mereka tidak ada kalau kamu tidak percaya bahwa mereka itu ada. Sudah pasti.”

Itu begitu terlihat seperti sebuah alasan… terutama menambahkan kata “sudah pasti” di ujungnya.

“Omong-omong, aku heran berapa lama lagi ini akan berlanjut,” ujarnya.

“Sudah selesai tujuh puluh persen. Sebentar lagi selesai.”

“…Begitu ya. Kita harus di sini untuk beberapa saat lagi,” dia menghela kakɯ.

Pada saat itu, rumput bergemersik. Bahu Yukinoshita mengeras sebagai reaksinya. Jadi dia benar-benar ketakutan, huh.

Oh, sial. Anak SD itu sudah hampir kemari. Kalau begini terus, mereka akan melihatku dengan jelas. Baru saja aku akan bersembunyi di balik bayang pohon, sesuatu menarikku dengan kuat. Ketika aku berpaling ke belakang, Yukinoshita telah mengenggam lengan bajuku.

“Ada apa…?” tuntutku.

“Huh? Oh…”

Yukinoshita pastilah bertindak secara tak sadar, karena ketika dia mendengar pertanyaanku, dia terlihat bingung. Setelah dia menyadari apa yang dilakukannya, dia melepaskan lengan bajuku seakan bajuku terbakar dan segera berpaling.

“…sama sekali tak ada apa-apa. Lagipula, bukankah kamu sebaiknya cepat bersembunyi?”

“Sori. Kelihatannya kita sudah terlambat.”

Sebelum aku dapat bergerak, anak SD tersebut berbelok ke jalur ini. Anak yang menuntun jalannya melihatku dengan jelas.

Berpapasan dengan seorang pria dengan pakaian biasa akan menghancurkan suasana horornya. Aku tidak ingin merusak uji keberanian mereka.

Atau begitulah yang kupikir, tapi mata anak SD itu melebar karena takut.

“Z‐zombie?!”

“Bukan, itu setan!”

“Aku tidak suka tatapan matanyaǃ Ayo kita lari!”

Anak SD itu lari secepat yang mereka bisa. Aku melihat ke atas langit yang berbintang, merasa ingin menangis.

Yukinoshita tersenyum lebar dan menepuk bahuku. “Bagus sekali. Kamu menakuti anak itu. Sekarang mereka akan menyimpan kenangan yang menabjubkan berkat mata busukmu, bukan?”

“Kamu tidak tahu cara menghibur seseoraang…” Kenapa gadis ini harus menimpaku dengan tangga setelah aku jatuh? “Baiklah, aku pergi dulu sekarang.”

“Baiklah. Sampai nanti.”

Meninggalkan Yukinoshita di sana, aku berjalan maju. Anak SD itu memang pergi duluan, tapi aku dapat mengambil jalan singkat kalau aku menyelip melewati semak pepohonan ini.

Mengabaikan hampir semua jalurnya, aku bergerak menuju api unggun yang terletak di garis finish.

Di dekat kuil pada garis finish, Ebina-san sedang bolak-balik melambaikan sebatang ranting pohon segar. Aku heran apa dia sedang mencoba merapal mantra atau semacamnya. Mungkin saja.

“Aku doakan aaaaaanda atas nama kahyangan!” Dia bahkan melakukan ritual doa Shinto.

Bagaimanapun, gadis ini benar-benar serius. Setidaknya dalam melakukan ritual doa Shinto. Wow, aku merasa bodoh.

Yah, seorang miko tiba-tiba muncul di depanmu ketika kamu tidak waspada memang cukup menakutkan. Miko itu bahkan melakukan seluruh ritual doa Shinto. Jelas mengerikan.

Ketika aku mendekat, Ebina-san melihatku dan berpaling ke belakang. “Hai, Hikitani‐kun.”

“Halo. Kamu tidak harus serius sekali.”

“Aku juga bisa merapalkan kalimat onmyouji[15].”

“Begitu ya…”

Aku heran apa itu kalimat onmyouji…. apa itu seperti Seimei x Douman atau semacamnya[16]? Ini menjadi begitu rumit jadi aku tidak paham lagi. Satu hal yang pasti: Ebina-san yang biasa jauh lebih menakutkan dari cosplay miko ini.

Aku berlari ketakutan, mengucapkan sapaan sampai jumpa nanti selagi aku kabur dengan kecepatan penuh.

7-6[edit]

Setelah aku selesai berkeliling, aku kembali ke garis start, dimana tersisa dua atau tiga kelompok lagi.

Komachi menunjuk kelompok baru, yang segera bergegas pergi. Setelah kami yakin anak-anak itu telah pergi, kelompok Hayama mulai bergerak.

“Baiklah, Hikitani‐kun. Kami pergi dulu sekarang, jadi aku serahkan sisanya padamu.”

“Oke.”

Setelah menyelesaikan percakapan yang agak singkat dan formal itu, aku melihat Hayama dan dua orang lainnya berjalan pergi, dan kemudian menunggu giliran Rumi untuk sampai.

Api unggun berdecak, apinya menari-nari dalam hembusan angin.

Dari kejauhan di tengah-tengah hutan, teriakan – baik pekikan dan sorakan – terdengar.

Selama aku menunggu, aku mengamati apa yang Rumi lakukan. Di tengah sukacita semua orang, hanya bibir Rumi yang terkunci. Dari sudut pandang guru di dekatnya, dia tidak terpisah dari kelompoknya, namun dari sudut pandang gadis itu sendiri, jarak yang dirasakannya sangat jelas; dia telah terpisahkan dari mereka di sekelilingnya.

Karena Rumi juga memahaminya, dia menjaga jarak selangkah dari yang lain. Melihat betapa kerasnya usaha yang dia lakukan demi orang lain membuat dadaku sedikit terkepal lagi.

Komachi menarik ponsel dari kantongnya dan melihat waktunya. “Baiklah!” dia mengumumkan dengan nyaring. “Selanjutnya kelompok ini!”

Dari dua kelompok yang tersisa, satu kelompok memekik senang. Kelompok terakhir menghela baik karena kecewa dan lega.

Didorong oleh Komachi dan Totsuka, kelompok kedua terakhir itu beranjak pergi.

Setelah aku melihat mereka pergi, aku diam-diam meninggalkan tempat itu.

Tujuanku adalah persimpangan pada jalur pegunungan tersebut. Kerucut berwarna menutup jalurnya, mengubahnya menjadi jalan satu arah yang dingin. Aku bersembunyi di semak-semak sehingga aku tidak berpapasan dengan anak SD tersebut, kurang lebih seperti yang kulakukan saat berkeliling sebelumnya. Embun malam yang menetes jatuh dari dedaunan terasa dingin saat disentuh. Selagi malam mulai larut, udara di luar juga mulai mendingin.

Aku melesat melewati tempat Yuigahama berada, menyelip melewati wilayah kendali Yukinoshita selagi aku berlari. Aku berlari sampai ke tempat yang membagi jalurnya menjadi dua: jalur pegunungan dan jalur berliku-liku yang mengelilingi hutan, yang membawamu lebih dekat menuju kuil kecil di garis finish.

Karena aku terus berlari, aku sedikit terengah-engah. Setelah aku mengendalikan nafasku, aku menyembunyikan diriku di balik bayang-bayang pohon di dekatku. Ini bukan untuk menakuti anak-anak itu tapi hanya untuk tidak terlihat oleh mereka.

Kelompok kedua terakhir berjalan pergi, suara ribut mereka memudar di kejauhan. Setelah aku yakin mereka sudah pergi, aku memindahkan kerucut berwarna tersebut. Aku menghalangi jalur yang mengarah ke kuil dan membuka jalur yang tidak mengarah ke garis finish.

Hayama, Miura dan Tobe menunggu mereka pada jalur yang mengarah ke gunung. Aku berjalan ke arah mereka dan mengugamkan satu hal pada mereka.

“Sudah waktunya. Kuserahkan ini padamu.”

“Baik,” jawab Hayama singkat selagi dia duduk pada batu di dekatnya. Miura dan Tobe mengikutinya supaya mereka dapat menunggu arahannya dari dekat.

Setelah memastikan mereka bertiga sudah siap siaga, aku kembali menuju persimpangan tersebut dan menyelip ke dalam bayang-bayang pohon lagi.

Aku menunggu kelompok Rumi untuk tiba, menghitung setiap menit. Satu menit. Dua menit. Sudah hampir waktunya mereka berangkat.

Selagi malam semakin larut, kegelapan di dalam hutan semakin gulita. Dengan pelan, aku memejamkan mataku di dalam kegelapan ini dan memusatkan perhatianku pada telingaku. Aku dapat mendengar suara kicauan burung hantu dan ayunan ranting.

Telingaku menarik perhatianku ketika sesuatu bersuara di dekat sini.

Aku dapat mendengar suara beberapa orang. Suara riang mereka semakin mendekat. Tidak ada suara Rumi di antaranya. Tapi ketika gadis itu berjalan cukup dekat bagiku untuk mengenali mereka dengan tatapanku, Aku dapat melihat sosok Rumi dengan jelas. Dari semua orang di kelompok itu, hanya mulutnya yang tertutup dengan kuat.

Tapi itu, juga, akan berakhir malam ini.

Ketua kelompok itu menunjuk ke arah persimpangan. Walaupun dia melirik jalur yang dihalangi kerucut berwarna itu dengan penuh minat, kakinya mengarah langsung pada jalur yang terbuka. Semua anggota kelompok tersebut mengikutinya, tidak sedetikpun meragukan arahannya.

Aku mengendap-endap dan mengikuti mereka dari belakang, menjaga suatu jarak yang cukup.

Pada saat itu, suatu suara yang pelan memanggil namaku.

“Hikigaya‐kun. Bagaimana situasinya?”

Ketika aku berpaling ke belakang, Yukinoshita dan Yuigahama sedang berdiri berdampingan. Karena kelompok Rumi adalah kelompok yang terakhir berangkat, mereka sudah menyelesaikan peran mereka berpura-pura menjadi monster.

“Sekarang ini, mereka sedang menuju ke arah Hayama dan yang lain. Aku akan pergi melihatnya, tapi bagaimana dengan kalian?”

“Tentu saja aku ikut,” kata Yukinoshita.

“Aku juga,” kata Yuigahama.

Mereka berdua mengangguk. Aku mengangguk balik pada mereka, dan kemudian kami mulai bergerak dengan perlahan dan hati-hati.

Kelompok Rumi sedang berbicara dengan lebih keras dalam usaha untuk mengusir ketakutan mereka terhadap kegelapan. Selagi mereka berjalan, berbicara dengan riang tanpa henti, seseorang mendadak berkata “Ah”.

Beberapa orang berdiri di hadapan mereka.

“Oh, kakak-kakak SMA.”

Setelah mereka melihat mereka adalah kelompok Hayama, anak SD itu berlari ke arah mereka.

“Mereka memakai pakaian super biasa!”

“Parah sekali!”

“Lebih keras sedikit usahanya!”

“Uji keberanian ini sama sekali tidak menakutkan!”

“Mereka mungkin sudah SMA, tapi mereka bodoh sekali!”

Saat melihat wajah-wajah yang mereka kenal, mereka mungkin melepaskan semua rasa gugup mereka yang terpendam. Dengan begitu bersemangat, anak SD itu mengejek-ejek kelompok Hayama.

Tapi ketika anak SD tersebut mendekat, Tobe berpaling dengan kasar.

“Huh?” gertaknya dengan nada yang rendah dan agresif. “Kelen lagi bicara sama siapa?”

“Hei, kalian ga terlalu sombong? Kita bukan teman lu, tahu?”

Dalam sekejap, anak SD tersebut berhenti di tempat.

“Err…”

Dalam upaya untuk memahami apa yang dikatakan pada mereka, mereka dengan susah payah berusaha untuk menenangkan diri mereka. Tapi Miura meneruskan, bahkan tidak memberikan mereka kesempatan tersebut.

“Oh iya, barusan tadi ada yang mengatai aku bodoh, huh? Siapa dari kalian yang bilang itu?”

Tidak ada yang menjawab pertanyaannya. Mereka hanya bertukar pandangan.

Melihat mereka bersikap seperti itu, Miura mendecakkan lidahnya dengan frustasi. “Aku tanya siapa dari kalian yang mengatakannya. Ada yang bilang itu. Siapa dia? Lidah kalian putus? Cepat katakan.”

“Aku minta maaf…” seseorang meminta maaf dengan lemah.

Tapi Miura tidak memerdulikannya. “Apa? Aku tidak bisa dengar kau.”

“Kalian main-main sama kami? Huh? Woi.” Tobe menatap tajam anak-anak SD itu, membuat mereka mundur selangkah.

Tapi Miura sudah ada di sana.

“Lakukan, Tobe, lakukan saja. Kamu tahu itu tugas kita untuk mengajari sopan santun pada anak-anak ini, bukan?”

Tanpa ada kesempatan untuk melarikan diri, anak SD tersebut perlahan terpojokkan. Sebelum mereka menyadarinya, mereka sudah terperangkap dalam segitiga yang dibentuk Hayama, Miura dan Tobe.

Tobe yang mengancam langsung dengan kekerasan.

Miura yang memojokkan mereka dengan setiap kata-katanya yang menusuk.

Dan Hayama yang menyebarkan ketakutan yang luar biasa dengan menatap mereka dengan dingin tanpa berkata-kata.

Setengah menit yang lalu mereka begitu bersemangat, jadi berbeda jelas dengan ini. Mereka mungkin ingin menendang diri mereka sendiri karena mengatakan hal bodoh dengan begitu riang. Waktu main-main sudah usai – satu pukulan membuat mereka jatuh terpuruk.

Tobe menunjukkan dirinya membunyikan tinjunya.

“Hayama‐san, boleh kuhabisi bocah ini?” katanya, mengepalkan tinjunya. “Boleh kubuat babak belur mereka?”

Ketika nama Hayama dipanggil, semua anak SD tersebut serempak melihat ke arahnya. Karena dia yang paling baik, dia akan membantu kita bukan? Dia pasti akan melerainya dengan senyuman lembutnya itu – harapan samar semacam itu bermunculan.

Tapi Hayama mengangkat sudut mulutnya dengan sengit dan menuturkan kalimat yang persis sesuai dengan diskusi kami.

“Kita buat seperti ini. Aku akan biarkan setengah dari kalian lari. Setengah lagi tetap di sini. Kalian boleh diskusi sendiri siapa yang tetap di sini,” katanya, suaranya bergema dengan begitu dinginnya sampai terdengar kejam.

Di tengah-tengah keheningan dimana kamu bahkan bisa mendengar suara peniti jatuh, anak SD tersebut bertukar pandangan. Tanpa berkata-kata, hanya dengan tatapan, mereka melirik satu sama lain menanyakan apa yang harus mereka lakukan.

“…kami benar-benar minta maaf,” kata seseorang yang bahkan lebih lemah dari sebelumnya, hampir menangis.

Namun, meski begitu, Hayama tidak menghentikannya. “Aku tidak ingin kalian meminta maaf. Aku bilang setengah dari kalian tetap di sini.” Dia berhenti sejenak. “Pilih sekarang.”

Setiap kali kata-katanya yang dingin terdengar, bahu anak-anak itu bergetar dengan hebat.

“Hei, kalian tidak dengar dia? Atau mungkin kalian sudah dengar tapi kalian abaikan dia?” pancing Miura pada mereka.

“Cepat tinggalkan seseorang di sini. Atau kau saja? Woi!” kata Tobe dengan mengancam sambil menendang tanah.

“Tsurumi, kamu tetap di sini…”

“…ya, kamu di sini saja.”

Muncul keheningan.

Setelah berdiskusi dengan berbisik, mereka telah memutuskan seekor kambing hitam. Rumi tetap terdiam, tidak mengutarakan pendapatnya dan juga tidak berkata tidak mau. Aku sudah memprediksi di sisi mana Rumi berada, tapi siapa yang akan ditinggal bersamanya setelah ini masih tanda tanya.

Tiba-tiba helaan yang tak kusadari menyelip dariku. Sampai sekarang, semuanya berjalan sesuai rencana. Pertanyaannya sekarang adalah sejauh apa mereka akan terus bertindak sesuai dengan yang kurencanakan.

Di sampingku, Yukinoshita juga menghela. “Kamu mengincar apa yang terjadi setelah ini.”

“Ya. Kita akan hancurkan hubungan di sekeliling Tsurumi Rumi.”

Yuigahama, yang mendengarkan bisikan percakapan kami, mengugamkan sesuatu dengan samar.

“…Aku heran apa tidak masalah menghancurkannya.”

“Tidak masalah,” kataku. “Kalau hubungan mereka itu dipaksakan, satu kali pukul akan menghancurkannya berkeping-keping.”

“Hubungan mereka akan hancur?” tanya Yuigahama, merasa tidak enak.

Aku mengangguk lemah. “Ya, mungkin. Kalau gadis-gadis itu memang teman sejati seperti yang dikatakan Hayama, itu mungkin tidak akan terjadi dan begitulah akhirnya. Tapi mungkin bukan begitu adanya di sini.”

“Benar. Hanya manusia berpemikiran serupa yang akan berkumpul mengelilingi seseorang yang merasa senang dan nikmat untuk menipu orang lain,” kata Yukinoshita selagi dia melirik ke kejauhan. Tidak, dia mengatakannya seakan dia sedang melirik ke masa lalunya.

Memang benar, itu tidak berhenti di sana, seperti dugaan Yukinoshita.

Ketika Rumi didorong ke depan, rasa pedih terlihat pada wajah Hayama untuk sesaat, namun segera digantinya dengan tampang yang dingin.

“Jadi kalian sudah memutuskan satu orang. Baiklah, dua lagi. Cepat.”

Dua orang dari sekelompok lima orang. Mereka mungkin sudah memilih satu orang, tapi mereka masih butuh dua lagi. Siapa yang bersalah dan siapa yang harus bertanggung jawab? Perburuan penyihir telah dimulai.

“…kalau Yuka tidak mengatakan itu tadi.”

“Itu salah Yuka.”

“Ya…”

Seseorang menyebutkan sebuah nama dan yang lain mengikutinya. Seseorang berdiri di sana untuk mengantarnya ke panggung eksekusi, seseorang memotong talinya, dan yang lain menunggu hasilnya.

Namun tidak ada orang yang mau begitu saja menerima nasib tersebut.

“Tidakǃ Hitomi dulu yang membuka mulut besarnya!”

“Aku tidak mengatakan apapunǃ Aku tidak melakukan kesalahan apapunǃ Mori-chan yang sikapnya jelekǃ Dia selalu seperti itu. Dia juga bersikap seperti itu sama guru.”

“Huuh? Aku? Apa hubungannya sikapku biasanya dengan ini? Hitomi yang mulai dulu dan setelah itu Yuka. Kenapa ini salahku?” bantahnya dengan sengit.

Tidak akan mengejutkan kalau dia mencengkram kerah seseorang. Bahkan dengan melihat mereka dari agak jauh saja, suasananya terasa begitu menusuk sampai membuat tenggorokanku sakit.

“Hentikan saja sudah. Ayo kita semua minta maaf…”

Akhirnya air mata telah dimulai – karena takut, karena putus asa, mungkin bukan karena benci. Atau mungkin air mata ini berniat untuk memancing rasa kasihan.

Tapi sikap Miura tetap tidak bergeming bahkan setelah berhadapan dengan air mata tersebut. Malah, dia membuat jelas rasa bencinya dan menutup ponsel yang dimainkannya dengan keras. Amarahnya berkobar bagaikan api. “Satu hal yang paling kubenci adalah gadis yang berpikir menangis akan menyelesaikan segalanya. Hayato, apa yang akan kamu lakukan? Mereka cuma ulang-ulang begini.”

“…dua orang lagi. Cepat pilih,” kata Hayama dengan kaku, setelah mematikan perasaannya.

Setelah itu, Tobe memeragakan gerakan-gerakan tinju. “Hayato‐kun, itu lebih cepat kalau aku buat mereka semua babak belur saja.”

“Aku akan beri mereka tiga puluh detik.”

Seakan dia merasa situasinya tidak akan berakhir jika ini terus berlanjut, dia membuat batasan waktu. Dengan lebih tegas, dia memaksakan belenggu yang dinamakan waktu pada mereka.

“Dia tidak akan melepaskan kita meski kita minta maaf… apa kita panggil guru saja?”

“Uh‐uh, Aku tidak jamin apa yang akan terjadi kalau mulutmu bocor. Aku tahu wajah kalian.” Tobe dengan mudahnya menghancurkan saran tersebut dengan satu kalimat saja.

Tanpa pilihan apapun, mereka berhenti berbicara. Setelah mereka terdiam, hanya waktu yang terus berdetak.

“Dua puluh detik lagi.” Hanya ada suara Hayama.

Setelah jeda singkat, seseorang dari kelompok itu bergugam pelan.

“…harus Yuka.”

“Yuka, tetap di sini.” Suara yang mengikutinya sedikit lebih keras.

“…Aku juga merasa itu ide yang bagus.” Suara yang datang setelahnya terdengar kalem.

Seseorang di dalam kelompok itu bereaksi, kemungkinan besar Yuka. Wajahnya memucat. Dia melirik tajam pada wajah seorang gadis yang masih belum membuka mulutnya.

Gadis yang menerima tatapan Yuka itu menurunkan pandangannya dan memalingkan wajahnya.

“…maaf, tapi kita tidak ada pilihan.”

Ketika Yuka mendengar kata-kata itu, mulutnya bergetar. Dia bersikap seakan dia tidak paham apa yang baru saja terjadi.

Di sampingku, Yuigahama menahan helaannya.

“Tidak ada pilihan, huh…”

Itu benar, tidak ada pilihan.

Tidak ada orang yang bisa membalik situasinya dengan begitu saja. Berkat itu, meskipun seseorang merasa sangsi, mereka tidak akan melakukan apapun untuk itu.

Kamu tidak dapat membalik pendapat mayoritas. Ada kalanya dimana kamu tidak ada pilihan selain bertindak melawan perasaanmu yang sesungguhnya.

Karena “semua orang” berkata begitu, “semua orang” melakukannya, jadi jika kamu tidak melakukannya, kamu tidak termasuk salah satu dari “semua orang” lagi.

Tapi “semua orang” bukan satu orang. Mereka tidak berbicara dan mereka tidak memukulmu. Mereka tidak marah dan mereka tidak tertawa. “Semua orang” adalah ilusi yang diciptakan oleh sihir pendapat mayoritas. Itu adalah hantu yang terbentuk tanpa sepengetahuan siapapun. Itu adalah roh hantu yang diciptakan demi menyelubungi kejahatan kecil setiap individu. Lewat perubahan yang mengerikan, dia akan menerkam semua orang di luar lingkaran pertemanan mereka dan bahkan menyebarkan kutukan pada temannya sendiri. Mantan anggota juga akan menjadi penghalang baginya.

Itulah kenapa aku membencinya.

Aku membenci sebuah dunia yang menekankan “semua orang”.

Aku membenci kedamaian hambar yang dibangun di atas para kambing hitam.

Aku membenci ide-ide hampa yang hanya dibuat dengan kebohongan, bahkan sampai menutupi kebaikan dan keadilan, membuat mereka dicap sebagai oportunis belaka, sebagai duri di sisimu seiring berjalannya waktu.

Kamu tidak dapat mengubah masa lalu juga tidak dapat mengubah dunia. Kamu tidak dapat mengubah apa yang telah terjadi juga tidak dapat mengubah “semua orang”. Tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, kamu tidaklah merasa wajib untuk membudakkan dirimu pada sistem tersebut.

Kamu dapat membuang pergi masa lalumu, menghancurkan dunia di bawah kakimu dan biarkan itu semua menjadi sesuatu yang tak berarti.

“Sepuluh, sembilan…” Hitung mundur Hayama masih berlanjut.

Rumi hanya memejamkan matanya tanpa bersuara. Dia memegangi kamera digital yang bergantung pada lehernya dengan erat seakan itu adalah sebuah jimat pelindung. Di dalam hatinya, dia mungkin melakukan sesuatu yang mirip berdoa.

“Delapan, tujuh…”

Anak-anak SD itu membuat teriakan marah dan isakan. Hutan gelap tersebut menyerap kebencian mereka dan membuat kegelapan mereka terlihat setingkat lebih gelap.

Sudah hampir waktunya. Sudah lebih dari cukup waktu berlalu bagi mereka untuk sadar dengan dirinya sendiri dan sadar dengan niat jahat orang di sekeliling mereka. Sekarang yang perlu kami lakukan hanya muncul dan berkata “Kalian tertipu!” dengan suara yang riang dan datar. Aku hanya bisa melihat masa depan yang penuh dengan celaan dan kecaman di depanku, tapi aku dapat menahan sebanyak ini. Dengan pemikiran seperti itu melintas pada benakku, aku berdiri.

“Tunggu.”

Seseorang menarik kausku, membuat leherku menyentak.

Aku bernafas megap. “Kenapa?”

Ketika aku melihat ke belakang bahuku, Yuigahama sedang melihat ke arah Rumi dengan sungguh-sungguh. Telah menangkap maksudnya juga, aku duduk lagi.

“Lima, empat, tiga…”

“Permisi…”

Ketika Rumi mengangkat tangannya untuk menyela suara Hayama, hitung mundurnya berhenti. Kenapa? Pandangan Hayama jatuh pada Rumi, menyuarakan pertanyaan yang tak terucap.

Saat itulah ketika itu terjadi.

Cahaya yang terang menyelubungi sekelilingnya. Bip bip bip – suara mesin berbunyi terus menerus. Terjangan cahaya membanjiri kegelapan malam itu dan memutihkan dunia sejauh mata memandang.

7-7[edit]

“Kalian bisa lari? Ke siniǃ Cepat!”

Di tengah-tengah dunia antara hitam dan putih tersebut, aku dapat mendengar suara Rumi. Kemudian banyak langkah kaki yang berlari melewatiku. Aku tahu sesuatu telah terjadi, tapi saat aku menyadarinya beberapa saat telah berlalu.

“Barusan tadi… apa itu flash?” aku menggosok mataku, yang sudah semakin terbiasa dengan kegelapan ini.

Rumi mungkin memakai kamera digital yang bergantung pada lehernya. Itu benar-benar tak terduga sampai terasa baru saja dilempari flashbang.

Hayama, Tobe dan Miura juga hanya bisa berdiri di tempat.

“Apa gadis itu baru saja menyelamatkan mereka semua?” sela Yukinoshita dengan pelan… seakan dia tidak dapat mempercayainya.

“Mungkin mereka ternyata akrab juga?” tanya Yuigahama padaku, terlihat sedikit senang.

“Tidak mungkin kamu bisa benar-benar akrab dengan seseorang yang merendahkanmu,” kataku.

“Oh iya…” Yuigahama menatap ke bawah dengan sedikit kecewa.

Namun, meskipun demikian, ada sesuatu yang dapat kukatakan mengenai semua ini.

“Tapi kalau dia bisa terpikir untuk menolong mereka, meskipun mereka tahu mereka itu palsu, maka dia pastilah tulus, aku yakin,” kataku.

Yukinoshita juga mengangguk seakan dia tidak membantahnya. “Kurasa begitu,” katanya setelah berpikir beberapa saat.

“Nah, aku juga tidak begitu tahu.”

“Apa-apaan? Ditarik kembali pula…” kata Yuigahama kesal.

Apa yang bisa kukatakan? Aku sungguh masih belum mengetahuinya.

“Tapi k'mu tahu, itu bagus untuk mendapat seseorang yang tulus,” kata Yuigahama, seraya tersenyum.

“Tidak ada yang namanya orang yang 100̥% jahat di dunia ini. Dalam kondisi normal, semua orang itu kurang lebih baik, atau, setidaknya, normal. Tapi goda saja mereka, dan mereka mungkin akan tiba-tiba berubah. Itulah yang membuat manusia begitu menakutkan. Kamu harus terus waspada.”

Aku mengulang kalimat yang mendadak terbersit dalam otakku.

“Apa-apaan semua yang kamu katakan itu…? Aneh.” Yuigahama melihatku dengan curiga. Bajingan kasar ini.

Namun, Yukinoshita mengangguk paham. “Natsume Sōseki, ya.”

“Ya. Sōseki menulis begitu, tapi kalau kamu memandangnya dari sisi lain, tidak ada yang namanya orang yang 100% baik di dunia ini, tapi goda saja mereka, dan mereka mungkin akan tiba-tiba menjadi orang baik. Kurasa begitu.”

Yuigahama memiringkan kepalanya sedikit ketika aku mengatakan semua itu. “Hmm? Apa itu artinya kamu tidak bisa tahu seseorang itu tulus atau tidak?”

“Kurang lebih. Kebenaran yang objektif itu buku In a Grove oleh entah siapa.”

In a Grove itu ditulis oleh Akutagawa Ryuunosuke…”

Seperti biasa, kami terlibat sedang berbicara mengenai dua pakar bahasa Jepang yang terkenal, tapi Yukinoshita menghela jijik dan Yuigahama memiringkan kepalanya karena bingung. Kurasa aku sebaiknya membaca tentang Sōseki dengan baik…

Ketika aku berusaha keras memeras otakku untuk mencari sesuatu yang keren untuk dikatakan mengenai karya Sōseki, kelompok Hayama berjalan ke arah kami.

“Kalian melakukannya dengan baik,” panggil Hayama pada kami.

“Ya. Kerja bagus, kalian.” Aku juga berterima kasih pada Tobe dan Miura atas usaha keras mereka. Kalau mereka tidak ada di sana, dari awal pun kami tidak akan menyelesaikan apapun, jadi kamu mungkin bisa bilang mereka adalah sang MVP[17].

“Pak, aku tid'k akan melakukan itu lagi,” kata Tobe. “Mataku masih perih'.”

“Hei, boleh kami istirahat untuk hari ini?” tanya Miura.

“Boleh kami serahkan sisanya padamu? Aku juga agak letih,” Hayama menghela, memang terlihat sangat letih. Mungkin itu meletihkan bagi seseorang untuk memerankan orang jahat ketika dia biasanya begitu baik pada semua orang; itu tidak cocok dengannya.

“Ya, aku akan melakukan semua yang perlu dilakukan,” kataku. “Tidak begitu susah.”

“Terima kasih. Aku menghargainya.” Hayama tersenyum tipis sebelum kembali ke kamarnya bersama dengan Miura dan Tobe.

“Kita sebaiknya ganti baju juga,” kata Yukinoshita.

“Oh, ya. Hari ini terasa begitu panjang,” kata Yuigahama.

“Tentu,” kataku. “Sampai jumpa nanti.”

Meninggalkan Yukinoshita dan Yuigahama, aku berjalan menuju lapangan.

Aku dapat melihat api unggunnya dengan jelas, berkobar dengan cemerlang.

7-8[edit]

Selagi mereka mengelilingi si jago merah, anak SD itu menyanyikan bagian chorusnya. Itu adalah salah satu lagu tentang berteman selamanya dan semacam itulah. Bagiku, itu lagu yang membuatku trauma.

Komachi, Totsuka dan Ebina‐san juga kembali untuk berganti baju, jadi aku menatap apinya dengan hampa sendirian.

Ketika lagunya berakhir, akhirnya sudah waktunya melakukan tarian dansa yang super menarik, super romantis itu. Memandangnya dari luar lingkaran, itu aneh bagaimana aku dapat melihat sesuatu yang mengagumkan mengenai acara yang begitu kubenci.

Tapi setiap gadis dalam kelompok Rumi memiliki tampang yang masam. Karena mereka barusan menampilkan sisi buruk mereka pada satu sama lain dengan terang-terangan, jelas mereka akan seperti itu.

Semua orang dalam kelompok itu mengabaikan satu sama lain. Tapi terkadang, mereka akan melirik ke samping ke arah Rumi. Aku ingin tahu apa malam ini akan menjadi malam dimana mereka mulai berbicara padanya, sedikit demi sedikit.

Aku tidak ada sesuatu yang khusus untuk dikerjakan, jadi aku mencari Hiratsuka-sensei. Ketika aku menemukannya, aku melihatnya berbicara dan berbaur dengan guru-guru SD tersebut. Ketika aku mendekatinya, Hiratsuka-sensei juga melihatku. Dia menghentikan percakapannya dan berjalan ke arahku.

“Kerja bagus untuk uji keberanian tadi. Kamu boleh istirahat dulu hari ini. Aku dengar tidak banyak lagi yang perlu dilakukan. Tidak masalah melakukannya besok. Apa kamu menyelesaikan masalahmu itu?”

“Y‐ya… er, Aku heran.”

Selagi aku kesusahan menjawab, Yukinoshita, yang entah kapan selesai mengganti pakaiannya, berjalan ke arah kami.

“Yang kami lakukan cuma mengeroyok mereka, membuat mereka menangis dan menaburkan bibit perpecahan pada pertemanan mereka.”

“Penjelasanmu membuat itu terdengar keji…”

“Tapi sebenarnya begitu bukan.”

“Kamu bilang begitu, tapi itu, er…”

Aku tidak bisa menyangkalnya. Sederhananya, dia benar dan itu membuatku merasa risih.

Hiratsuka‐sensei memiringkan kepalanya seakan dia juga tidak tahu bagaimana sebaiknya dia menanggapinya. “Aku tidak begitu mengerti, tapi… dari yang kulihat, kelihatannya kamu tidak menanganinya sendirian. Malah kalian bekerja sama… yah, terserahlah. Itu khas kalian.”

Hiratsuka‐sensei tersenyum selagi dia melihat anak-anak SD tersebut menarikan tarian rakyat. Kemudian dia kembali bersosialisasi.

Itu meninggalkanku sendiri bersama Yukinoshita. Yukinoshita memanggil namaku seakan dia merasa namaku sedikit sulit untuk diucapkan.

“Hikigaya‐kun… sebenarnya kamu ingin menyelesaikan masalah ini untuk siapa?”

“Aku melakukannya untuk Rumi Rumi, kurasa,” jawabku, sambil mengangkat bahuku.

Maksudku, lihat. Tidak ada orang yang secara langsung menyuruh kami untuk melakukannya. Aku hanya menangani satu hal: Bagaimana aku bisa membuat rencana untuk membuat Tsurumi Rumi berdamai dengan sekelilingnya?

Selain itu, aku tidak pernah berniat menghubungkan tindakanku dengan sesuatu. Meskipun seseorang memikul bebannya atas pilihannya sendiri, aku tidak akan mereka-rekanya. Aku juga tidak merasa aku telah memperoleh apapun.

“…Begitu ya. Baguslah.”

Dengan itu, Yukinoshita berhenti menanyaiku dan memalingkan matanya ke arah api unggun di tengah-tengah lapangan. Tarian rakyatnya baru saja usai dan mereka bubar untuk malam ini.

Pada jalur persis di samping kami, para murid berjalan menyusurinya.

Rumi jatuh tepat ke dalam lapangan pandangku.

Dia mengenalku, dan namun dia dengan oh, begitu santainya memalingkan pandangannya. Ketika dia berpapasan denganku, dia menolak untuk melihat ke arahku sedikitpun.

“Kurasa tidak ada hadiah untukmu,” gurau Yukinoshita.

“Tidak seperti aku melakukan sesuatu yang baik untuknya. Realistis saja. Yang kulakukan hanya menakut-nakuti beberapa anak dan menghancurkan pertemanan mereka. Ditambah lagi, aku memanfaatkan orang lain untuk melakukannya… itu adalah cara yang terburuk, jadi tidak ada yang patut diucapkan terima kasih.”

“Kurasa begitu.” Yukinoshita berhenti sejenak. “Tapi itu cukup melegakan untuk menghilangkan orang yang mengusikmu. Lagipula, gadis itu melangkah maju lewat kekuatan tekadnya sendiri, bukan? Kamu mungkin menggunakan cara yang ilegal dan merencanakannya dengan buruk, tapi kamu yang menyediakan kesempatan itu untuknya, Hikigaya‐kun.”

Yukinoshita memaparkan kebenaran tanpa embel-embel apapun padaku, sejujur dan seterus terang seperti biasanya.

“Dan jadi aku rasa bahwa, meski tidak ada orang yang akan pernah memujimu, kamu akan dimaafkan jika ada hal baik yang dihasilkannya.”

Untuk sekali ini, Yukinoshita tidak memandang rendah padaku dengan sikap menusuk dan tidak mengenakkannya. Dia tersenyum dengan lembut padaku. Tapi dalam sesaat, pandangannya berpaling pada suatu tempat di belakangku. Mata Yukinoshita terpaku pada Yuigahama dan yang lain.

Mereka memegangi ember dan kembang api pada tangan mereka. Komachi dan Totsuka menyergap Hiratsuka-sensei, merebut mancisnya dan segera mulai memainkan kembang api mereka. Hiratsuka-sensei malah terlihat senang.

“Yukinon, maaf membuatmu menunggu!” kata Yuigahama. “Untukmu, kembang api.”

“Terima kasih, tapi aku tidak ikut main. Main dengan orang lain saja. Aku akan menonton saja dari sini.”

“Oh paaaak, setelah aku susah-susah membelinya…” cibir Yuigahama sambil mengeluh.

“Aku sudah tidak ada tenaga lagi untuk bermain-main,” Yukinoshita menenangkan Yuigahama. “Hati-hati dengan apinya, oke.”

Setelah mengucapkan isi pikirannya, Yukinoshita duduk di atas bangku agak jauh dari sana.

“Kamu itu nenek-nenek ya…?” tanyaku.

Kami juga meminjam mancis dari Hiratsuka-sensei dan menyalakan lilin yang dipersiapkan untuk menyalakan kembang apinya.

Kembang api ini kelihatannya dibeli di toko swalayan. Aku membaginya kepada Komachi dan yang lain.

Ketika aku menyalakannya, kembang api tersebut bergemercik dan api berwarna hijau meletus. Whoa, cantik sekali.

…tapi aku bingung apa memainkan kembang api batangan ini benar-benar cara yang tepat untuk bermain kembang api. Kelihatannya berbeda dengan memanggang kutu kayu. Apa kamu seharusnya melihatinya saja? Kalau ini kembang api roket, kamu hanya bisa memakai imajinasimu. Kamu akan melakukan pengeboman. Aku sudah baca Zukkoke Sannin‐gumi, tahu[18]

“Yukinon! Kamu harus lihat ini!” teriak Yuigahama. Dia sedang melambai-lambaikan empat batang kembang api di setiap tangannya dengan gaya yang menyolok. Apa itu gaya-Vega atau semacamnya[19]? Tolong jangan coba ini di rumah, anak-anak.

Selagi Yuigahama menari-nari, jejak cahaya kembang api melukis langit yang kosong tersebut dengar suara gemercik. Melihat Komachi dan Totsuka berputar-putar dengan kembang api yang berdengung, aku bertanya-tanya apa begini seharusnya caramu memainkannya. Namun, kembang api itu akan segera padam jika kamu memainkannya dengan cara yang begitu menyolok, kira-kira persis saat percikan kembang apinya baru muncul.

Aku menyalakannya, menutupinya sebisa mungkin dengan tubuhku sehingga aku dapat melindunginya dari hembusan angin. Ketika aku melakukannya, Yuigahama diam-diam berjalan ke sampingku dan duduk. Dia perlahan menyalakannya, menutupinya dengan tubuhnya seperti yang kulakukan.

Selagi kembang api tersebut menyala bergemercik, batang itu berpendar oranye. Dia sampai barusan bermain-main dengan begitu gembira, dan anehnya sekarang dia diam.

“…apa kamu rasa Rumi-chan dan yang lain akan baik-baik saja?”

“Bukan kita yang memutuskannya.”

“Tapi tren aneh mereka akan berhenti setelah ini.”

“Dan sebagai gantinya, mereka kehilangan teman mereka,” kataku selagi sisa kembang apiku jatuh dari batangnya. Cahaya oranye cerah itu, menyerupai besi yang berpijar, jatuh ke tanah dan cahayanya segera padam.

Yuigahama memberiku kembang api lagi dan memberitahuku untuk menyalakannya.

“…namun, masalahnya selesai, kamu tahu? Membeberkannya semua dengan terang-terangan itu terasa menabjubkan bagimu. Aku sudah berusaha keras untuk membuka lembaran baru ini, jadi percayalah dengan kata-kataku.”

Sumber: Gahama-san, kurasa? Kata-katanya cukup persuasif. Kalau begitu, mungkin aku dapat membiarkan diriku untuk mempercayainya.

Aku mendekatkan kembang api yang kumain-mainkan dengan tanganku pada lilinnya. Asap tipis membumbung dengan suara hiss dan kembang api memercik dengan bentuk seperti globe.

Kembang api yang Yuigahama pegang padam dengan suara hiss yang redup. Seakan Yuigahama telah menunggu-nunggu kembang apinya untuk padam, dia membisikkan sesuatu dengan lembut.

“Hei, Hikki. Kamu melakukan semuanya, kamu tahu.”

“Apa?”

“Hal yang kita bicarakan tempo hari. Kita tidak barbekyu, tapi kita memasak kari, dan meskipun kita tidak pergi ke kolam renang, tapi kita bermain-main di air.

YahariLoveCom v4-273.jpg

Kita tidak berkemah untuk bersenang-senang tapi kita mengikuti perkemahan. Dan kita melakukan uji keberanian dan bagian menakuti-nakuti-orangnya.”

“Itu semua kamu anggap melakukannya?”

Aku merasa semua itu jauh berbeda. Tapi Yuigahama hanya membuang kembang api yang telah padam dan mengeluarkan kembang api yang baru.

“Itu semua kira-kira sama saja, jadi ya!” Dia berhenti sejenak. “Ditambah lagi, kita sedang menonton kembang api bersama-sama.”

“Yah, itu juga.”

“Semuanya terjadi. Jadi itu artinya… kamu harus membuat bagian dimana kita jalan-jalan bersama juga terjadi.”

Kehilangan kata-kata, aku menatap ke arah Yuigahama seakan aku sedang tertarik ke arahnya. Ketika mata kami bertemu, Yuigahama tertawa. Kembang apinya menyala.

Meskipun dia telah mengatakan itu semua padaku, jawabanku sudah pasti.

“…kapan-kapan, kurasa.”

7-9[edit]

Pada saat kami membersihkan sisa kembang apinya setelahnya, hari sudah larut. Semalam kami juga menyelesaikan tugas kami sekitar jam ini.

Persis seperti semalam, aku mandi di dalam bangunan administrasi dan kemudian menyusuri jalan menuju bungalo, sambil terpapar pada angin malam. Karena malam ini adalah malam terakhirku, aku dapat berlama-lama di kamar mandi.

Saat sampai ke bungalo, aku mendapati bahwa lampunya sudah dipadamkan. Semua orang kelihatannya sudah tertidur.

Ketika aku beranjak ke kasur di sudut kamar, yang mungkin telah Totsuka letakkan di sana untukku, suatu helaan dalam terselip dariku.

…maukah kamu menjadi istriku.

“Hikitani‐kun…”

“Hayama, huh. Apa aku membangunkanmu?”

“Nah, Aku cuma sulit tertidur, itu saja.”

Yah, kurasa tidak mungkin mereka semua bisa tidur dengan nyenyak setelah dipaksa untuk melakukan apa yang dilakukannya hari ini. Aku cuma melihatnya dari balik bayang-bayang dan aku merasa tidak enak mengenainya. “Maaf aku mendesakkan peran orang jahatnya padamu.”

“Aku tidak keberatan, sungguh. Aku tidak merasa begitu murung mengenai itu. Itu hanya membangkitkan kenangan… dulu, aku tidak melakukan apapun ketika kejadian yang sama terjadi di hadapanku,” kata Hayama, tidak bergurau ataupun murung, tapi terasa sesuatu yang mirip mendambakan.

Tak mengetahui apapun tentang masa lalu Hayama dan Yukinoshita, aku tidak tahu bagaimana aku sebaiknya menjawabnya. Daripada membuat jawaban yang umum, aku hanya bisa berpura-pura tidur.

“Situasinya mungkin akan menjadi lebih baik kalau Yukinoshita-san bersikap seperti kakaknya.”

Ah, jadi orang ini juga mengenal Haruno, mungkin bertemu dia di rumahnya atau semacamnya. Tapi meskipun kami mengenal orang yang sama, aku harus membantah Hayama.

“Nah… kamu tidak perlu berkata begitu. Hanya membayangkan Yukinoshita dengan kemampuan sosial yang baik saja membuatku gemetaran.”

“Haha, kurasa kamu benar.”

Tempat ini gelap sehingga aku tidak dapat melihatnya, tapi sulit untuk membayangkan senyuman Hayama dari caranya berbicara. Nadanya mendadak turun, dan aku dapat mendengarnya bernafas kecil.

“…hei, Aku heran bagaimana jadinya situasi itu kalau kita memasuki SD yang sama, Hikitani‐kun.”

Aku segera menjawab pertanyaannya. “Itu jelas. Berarti hanya akan bertambah seorang penyendiri di sekolahmu.”

“Kamu rasa begitu?”

“Kurasa begitu.” Suaraku begitu pekat dengan rasa percaya diri.

Aku dapat mendengar sedikit tawa pelan Hayama. Untuk mengalihkanku dari fakta bahwa dia sedang tertawa, Hayama terbatuk kecil.

“Kurasa banyak hal yang akan berakhir berbeda. Hanya saja… meski begitu…”

Ada suatu jeda seakan dia sedang memilih kata-katanya.

“Aku mungkin tidak akan akrab denganmu, Hikigaya‐kun.”

Hening. Untuk sejenak setelah kata-kata tak terduga itu, otakku kosong. Aku heran bagaimana Hayama, yang bisa akrab dengan siapapun juga, bisa mengatakan hal semacam itu padaku. Aku tidak mengatakan apapun untuk beberapa saat, dan kemudian aku membuat suara yang mencela.

“…sialan kamu. Itu barusan mengejutkanku.”

“Cuma bercanda. 'Mat Malam.”

“Ya. Selamat malam.”

Mungkin saat itu adalah saat pertama kalinya aku mengenal Hayama Hayato sebagai seorang manusia yang sesungguhnya. Dan Hayama telah mengenal Hikigaya Hachiman dengan cara yang persis sama.

Nada suaranya tidak hanya baik hati. Nada yang kasar dan kejam tersembunyi di sana.

Instingku memberitahuku bahwa dia tidak mengucapkan kebohongan apapun – tidak satupun.


Mundur ke Bab 6 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 8

Catatan Tranlasi[edit]

<references>

  1. Prosthetic makeup, biasanya dipakai untuk membuat wajah2 horor. VFX atau visual effect, dipakai untuk membuat lingkungan yang terlihat nyata seperti membuat rumah horor dan sebagainya. Contoh foto sebelum dan sesudah visual effect.
  2. Kotak cuaca / Kotak Stevenson / Stevenson screen adalah kotak yang melindungi alat meteorologi (termomoter, barometer, higrometer,dsb) dari hujan dan radiasi matahari langsung namun masih membiarkan udara bebas bersirkulasi di dalamnya.
  3. “Mappy tahu” adalah variasi meme internet Jepang “Moppy tahu”. “Moppy” adalah julukan dari fans untuk Houki, pemain utama perempuan dari Infinite Stratos. Kata “Moppy tahu” sering dipakai untuk lelucon singkat.
  4. Efek plasebo artinya efek orang yang tidak makan obat sama dengan efek orang yang makan obat
  5. Suspension Bridge Effect
  6. Tamori adalah aktor Jepang yang membawa acara televisi Jepang Yonimo Kimyō na Monogatari (Cerita yang Tak Biasa).
  7. Kata “hard luck” dan “dance” mengacu pada cuplikan ikonik dalam manga balap Kaze Densetsu Bukkomi no Taku. Salah satu karakternya mengalami kecelakaan dalam sirkuit. Pemain utamanya kemudian berkata, “Orang yang mengalami ‘kecelakaan’ berdansa (dance) dengan nasib sial (hard luck).” Kata “dance” dan “hard luck” ditulis dengan kanji, tapi diucapkan dalam bahasa Inggris.
  8. Pembunuh berantai dalam kisah Friday the 13th
  9. Dia mengutip lirik lagu pembuka anime Majokko Megu‐chan (harfiah. ‘Meg Kecil si Penyihir Wanita’.)
  10. Dia mengutip lirik dari lagu J‐pop Mahou wo Kaketa no wa Kimi yang dibawakan Misia.
  11. Dia mengacu pada kisah, The Cat Who Wished to Be a Man, sebuah buku cerita fantasi anak oleh Lloyd Alexander. Cerita itu diadaptasi menjadi sebuah pertunjukkan musikal yang populer di Jepang.
  12. Yuki‐onna adalah roh wanita dalam dongeng rakyat Jepang. Mereka biasanya digambarkan cantik dan tenang, namun keji dalam membunuh manusia yang kesasar ke dalam salju.
  13. Variasi “tsundere” dll. “hine” artinya “aneh”.
  14. Karakter televisi Jepang yang populer. Gachapin adalah dinosaurus hijau dengan gigi yang mencuat ke depan. Mirip Teletubies.
  15. Onmyouji adalah praktisi onmyoudou, sejenis ilmu gaib tradisional Jepang. Coba baca Tokyo Ravens untuk memperdalamnya.
  16. Mengacu pada onmyouji terkenal Abe no Seimei dan rivalnya, Ashiya Douman
  17. Most Valuable Player.
  18. Novel Anak-anak
  19. Karakter game Street Fighter.