Difference between revisions of "Suzumiya Haruhi ~ Indonesian Version:Jilid1 Bab01"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
m
m (Selesai Sunting)
 
(12 intermediate revisions by 5 users not shown)
Line 1: Line 1:
  +
==Bab 1==
'''Chapter 1'''
 
   
Dengan begitu, aku masuk ke SMU di daerah sekitar rumah. Pada awalnya, aku menyesal karena sekolah baru itu terletak diatas bukit. Bahkan ketika musim semi, murid-murid sudah jelas akan menjadi panas berkeringat hanya dengan berjalan pada jalan menanjak. Jelas tujuanku ‘pergi ke sekolah dengan santai’ tidak akan berjalan dengan baik. Setiap kali aku mengingatnya, bersamaan dengan fakta yang harus kuhadapi bahwa aku akan melakukan prosedur ini setiap hari selama tiga tahun, aku jadi merasa lelah dan depresi. Hari ini aku sedikit terlambat bangun. Mungkin karena itulah aku berjalan agak cepat, dan barangkali karena itulah aku sangat lelah. Aku seharusnya bangun lebih cepat 10 menit, tapi, seperti yang kalian tahu, kita tidur dengan baik tepat sebelum bangun. Aku tidak ingin menyia-nyiakan 10 menit yang berharga itu, jadi aku menyerah pada pikiran itu, yang mana artinya aku harus mengulang latihan pagi ini selama tiga tahun kedepan. Ini terlalu menyedihkan.
+
Setelah aku masuk SMA dekat rumah, langsung saja kusesali, karena sekolah yang kudatangi itu duduk di atas bukit yang tinggi, yang terjal. Bahkan saat musim semi, aku menjadi gerah dan keringatan hanya karena mendaki jalan yang rasanya seperti mendaki gunung. Setiap kali kuingat ini, dan fakta bahwa untuk tiga tahun kedepan aku harus mengulang hal yang sama setiap pagi, aku sudah merasa capek dan muram lagi. Aku agak kesiangan hari ini, dan mungkin karena itulah aku berjalan agak cepat, atau barangkali karena itulah aku sangat lelah. Bisa saja aku bangun 10 menit lebih cepat, tapi seperti yang kalian semua tahu, tidur terbaikmu adalah tepat sebelum waktu bangun. Aku tak ingin menyia-nyiakan 10 menit yang berharga itu. Jadi kusadari aku memang takkan bisa bangun pagi, yang berarti aku harus mengulang latihan pagi ini selama tiga tahun ke depan. Ini terlalu menyedihkan.
   
Itu adalah alasan mengapa aku bermuka suram di acara penerimaan murid baru yang menghabiskan waktu ini. Orang lain memasang pandangan ‘memulai perjalanan baru’ pada muka mereka; kalian tahu kan, pandangan ‘penuh dengan pengharapan, tapi juga banyak ketidakpastian’ yang unik pada setiap murid baru ketika mereka masuk ke sekolah baru. Bagiku kasusnya lain lagi – banyak teman sekelas dari SMP-ku dulu yang masuk sekolah ini. Singkatnya beberapa dari temanku juga ada di sini. Dengan demikian, aku tidak terlalu cemas (atau gembira) seperti orang lain.
+
Itu adalah alasan muka cemberutku waktu upacara penerimaan murid baru. Semua orang di dalam aula besar berparas ‘memulai perjalanan baru’ yang tak berguna di muka mereka. Kalian tahu lah, paras unik: penuh harapan, namun juga penuh ketakpastian yang setiap murid baru kenakan saat mereka masuk ke sekolah baru. Untukku, tidak begitu — banyak teman sekelas dari SMP-ku dulu yang juga masuk sekolah ini. Singkatnya, beberapa temanku juga ada di sini. Jadinya, aku tak terlihat secemas — atau segembira — orang lain.
   
Murid laki-laki memakai jaket sport, dan perempuannya memakai seragam pelaut. Wah, kombinasi yang aneh yah. Mungkin kepala sekolah yang sedang memberikan ceramah yang membikin ngantuk memendam fetish pada seragam pelaut. Ketika aku berpikir tentang hal yang tidak berguna ini, acara yang membosankan ini akhirnya selesai. Aku, bersama teman-teman baru yang ‘tidak terlalu berhasrat’, masuk ke ruang kelas 1-5.
+
Laki-laki pakai jas blazer, dan perempuannya pakai seragam sailor. Wow, kombinasi yang lumayan aneh ya. Kali si kepala sekolah yang lagi ngasih ceramah monoton punya semacam fetish sama seragam sailor. Saat aku berpikir hal tak berguna ini, upacara bodoh ini akhirnya selesai. Aku, bersama teman-teman tak-begitu-menyambut sekelas yang baru, masuk ke ruang kelas 1-5.
<!-- fetish lebih dari sekedar rasa suka, CMIIW, coba lihat di wiki, secara saya tidak bisa membukanya karena keyword itu di-blok oleh admin internet kampus h3lm1-kun -->
 
   
Guru wali kelas kami, Okabe-sensei, dengan senyuman ‘berlatih selama satu jam di depan cermin’ nya, berjalan ke depan kelas dan memperkenalkan diri. Pertama-tama dia berkata bahwa dia adalah guru olahraga, dan guru penanggung jawab tim bola tangan. Lalu dia berlanjut kepada obrolan seperti bagaimana, dulu ketika dia masih seorang mahasiswa, dia masuk tim bola tangan, dan bahkan pernah memenangkan pertandingan, dan bagaimana sekolah ini kekurangan pemain bola tangan, jadi siapapun yang masuk tim akan langsung menjadi pemain utama. Dan dia lalu mengatakan seperti bagaimana bola tangan adalah olahraga yang paling menyenangkan di dunia. Baru saja aku berpikir dia tidak akan berhenti, dia tiba-tiba berkata:
+
Guru wali kelas kami, Okabe-sensei, dengan senyuman berlatih-selama-satu-jam-di-depan-cermin dia, berjalan ke depan kelas dan memperkenalkan diri. Pertama-tama dia berkata bahwa dia adalah guru olahraga, dan pelatih tim [[Suzumiya_Haruhi_%7E_Indonesian_Version:Jilid1_Catatan_dan_Referensi_Penerjemah#Handball|handball]]. Terus, dia lanjut ke hari-hari silam, seperti bagaimana, dulu ketika dia masih mahasiswa, dia pernah main handball di sebuah tim, bahkan memenangkan kejuaraan, dan bagaimana sekolah ini kurang sekali pemain handball, jadi siapapun yang masuk tim akan langsung jadi reguler. Dan lalu, dia melanjutkan tentang bagaimana handball itu olahraga yang paling menarik di dunia, dan seterusnya dan sebagainya, sebagainya, sebagainya. Tepat ketika aku berpikir dia takkan pernah berhenti, tiba-tiba dia berseru:
“Sekarang, mari kita memperkenalkan diri!”
 
<!-- mungkin lebih lazim kalau 'senyumannya yang dilatih selama satu jam di depan cermin h3lm1-kun -->
 
   
  +
“Sekarang, kenapa kalian tidak memperkenalkan diri satu-satu?”
Hal ini merupakan hal yang biasa, jadi aku tidak terlalu kaget.
 
   
  +
Hal semacam ini memang sudah diduga, jadi aku tidak benar-benar kaget.
Satu demi satu, murid yang berada di sebelah kiri kelas mulai memperkenalkan diri mereka. Mereka mengacungkan tangan, lalu mengumumkan nama, sekolah asal, dan hal sepele lainnya, seperti hobi atau makanan favorit. Beberapa murid berbicara dengan biasa, beberapa memperkenalkan diri dengan menarik, sedangkan beberapa lain mencoba mengatakan lelucon yang menurunkan temperatur ruangan ke derajat yang lebih adem. Ketika berlainan orang telah memperkenalkan diri, giliranku sebentar lagi tiba. Aku mulai gugup! Setiap orang mengerti bagaimana perasaanku sekarang, kan?
 
   
  +
Satu demi satu, anak-anak yang ada di sebelah kiri kelas mulai memperkenalkan diri mereka. Mereka mengacungkan tangan, lalu mengumumkan nama, asal sekolah mereka, dan hal sepele lainnya, seperti hobi atau makanan favorit. Sebagian bergumam melewatinya, beberapa memperkenalkan diri dengan menarik, sementara beberapa mencoba menceritakan lelucon garing yang menurunkan suasana ruangan. Saat orang lain memperkenalkan diri mereka, giliranku makin mendekat. Aku mulai gugup! Pastinya kau tahu bagaimana perasaanku waktu itu, kan?
Setelah aku mengatasinya dan menyelesaikan perkenalan yang dipikirkan baik-baik dan tidak terlalu panjang, tanpa tidak terlalu banyak tersandung dengan kata-kata, aku kemudian duduk, merasa lega setelah selesai melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan tapi harus. Tiba giliran murid di belakangku berdiri dan – ah, aku mungkin ‘gak akan pernah lupa selama hidupku – mengatakan sesuatu yang akan menjadi topik pembicaraan untuk waktu yang lama.
 
“Nama saya Suzumiya Haruhi, saya lulusan SMP Higashi.”
 
<!-- mungkin distandarin aja semuanya nama sekolah yang dipake nama jepangnya, klo saya sih sementara ini diterjemahkan ke indo, h3lm1-kun -->
 
   
  +
Setelah aku berhasil menyelesaikan perkenalan yang kupikir baik-baik, yang pendek tidak gagap sebaik-baiknya yang kubisa, aku duduk, merasa lega setelah selesai melakukan sesuatu yang tak menyenangkan tapi tak terelakkan. Orang di belakangku berdiri untuk gilirannya dan &mdash; ah, mungkin aku takkan pernah lupa seumur hidupku &mdash; mengucapkan kata-kata yang akan jadi legenda.
Sampai sini perkenalannya masih normal, jadi aku tidak perlu menengok ke belakang untuk melihatnya. Aku hanya melihat ke depan dan mendengarkan suaranya yang tegas.
 
“Saya tidak berminat pada orang biasa. Kalau diantara kalian ada alien, penjelajah waktu, slider, atau esper, silakan datang kedepan saya! Selesai.”
 
   
  +
“Namaku Suzumiya Haruhi, aku lulus dari SMP East.”
Mendengar hal tersebut, aku langsung menengok ke belakang.
 
   
  +
Sampai sini perkenalannya masih normal, jadi aku pun tak perlu repot menengok ke belakang untuk melihat. Aku hanya menatap ke depan dan mendengar suara renyahnya.
Dia memiliki rambut mulus yang hitam dan panjang. Wajahnya yang manis dipenuhi dengan keberanian dan tantangan ketika seluruh kelas menatapnya. Kesungguhan dan ketetapan hatinya bersinar melalui matanya yang menyilaukan dan alis matanya yang panjang. Bibirnya yang tipis menutup. Ini kesan pertamaku dari gadis ini.
 
   
  +
“Aku ga ada minat sama orang biasa. Kalau diantara kalian ada alien, penjelajah waktu, slider, atau esper, silakan, temui aku! Itu aja.”
Aku masih ingat bagaimana bercahayanya tenggorokannya yang putih – ternyata dia cukup cantik.
 
Haruhi, dengan matanya yang memancing pertanyaan, pelan-pelan melayangkan pandangannya ke penjuru kelas, kemudian memandangku (mulutku terbuka lebar), lalu duduk tanpa tersenyum sama sekali.
 
<!-- cuma sedikit alternatif yang lebih lazim, h3lm1-kun -->
 
Apa dia mencoba untuk mendramatisir keadaan?
 
   
  +
Mendengar hal tersebut, aku tak bisa tidak menengok.
Ketika itu, dalam pikiran semua murid pasti dipenuhi dengan tanda tanya, dan semuanya bingung bagaimana seharusnya mereka bereaksi. “Apa harus tertawa?” tidak ada seorang pun yang tahu.
 
Nah, menurut kesimpulanku, dia tidak mencoba untuk mendramatisir atau melucu, karena Haruhi selalu berwajah sungguh-sungguh.
 
   
  +
Dia memiliki rambut hitam panjang. Wajahnya yang manis dipenuhi dengan rupa berani dan menantang saat seluruh kelas menatapnya. Kesungguhan dan ketetapan hatinya bersinar melalui mata berkilaunya dan alis matanya yang panjang. Bibir tipisnya tertutup rapat. Inilah kesan pertamaku pada gadis ini.
Dia selalu serius.
 
   
  +
Aku masih ingat sebagaimana berkilaunya leher putihnya &mdash; berdiri dis ana adalah kecantikan yang menakjubkan.
Ini berdasarkan pengalaman masa laluku – jadi tidak akan salah.
 
   
  +
Haruhi, dengan mata provokatifnya, pelan-pelan mengamati kelas, berhenti untuk untuk memelototiku (mulutku terbuka lebar), dan lalu duduk tanpa banyak tersenyum.
Setelah sekitar 30 menitan kelas berada pada keadaan sunyi senyap, guru wali kelas, dengan sedikit keragu-raguan, menyuruh murid selanjutnya meneruskan, dan atmosfir yang tegang pun lepas.
 
   
  +
Tadi itu ngelucu ya?
   
  +
Ketika itu aku yakin di pikiran semua orang dipenuhi dengan tanda tanya, dan semuanya bingung apa seharusnya reaksi mereka. “Gue harus ketawa?” tiada yang tahu.
Begitulah kami bertemu.
 
Sangat tidak terlupakan. Aku ingin sekali percaya bahwa ini semua hanya kebetulan.
 
   
  +
Nah, dilihat dari kesimpulannya, itu bukan lelucon ataupun bahan tertawaan, karena Haruhi tak pernah berkata semacam itu.
   
  +
Dia selalu serius.
Setelah dia membuat perhatian semuanya tertuju padanya dihari pertama. Haruhi menjadi murid SMU perempuan yang lugu. Ini adalah damai sebelum badai menerjang! Aku akhirnya mengetahui semua itu sekarang.
 
   
  +
Ini berdasarkan pengalaman masa laluku &mdash; jadi tak bisa salah.
Bagaimanapun juga semua murid di sekolah ini datang dari salah satu dari keempat SMP di kota ini – Orang-orang dengan peringkat rata-rata. Ini tentu saja termasuk SMP Higashi; Oleh karena itu seharusnya ada murid yang lulus bersama Haruhi, yang mengetahui arti kesunyian Haruhi. Tapi sayangnya, aku tidak kenal seorang pun murid lulusan SMP Higashi. Makanya, tidak ada seorang pun yang bisa menjelaskan padaku seberapa seriusnya situasi ini. Itulah alasannya, beberapa hari setelah perkenalan yang mengejutkan itu, aku melakukan sesuatu yang enggak akan pernah lupa – aku mencoba mengajaknya bicara sebelum pelajaran dimulai.
 
<!-- alternatif yang tidak terlalu literer, h3lmi-kun -->
 
   
  +
Setelah sunyi gaib melayang ke sekeliling ruang kelas selama sekitar tiga puluhan detik, guru wali kelas, dengan ragu-ragu, mengisyaratkan murid selanjutnya untuk melanjutkan, dan suasana tegang terangkat.
Dadu ketidakberuntunganku sudah mulai dilemparkan, dan aku adalah orang yang mendorongnya jatuh.
 
Tahu ‘gak, ketika Haruhi duduk diam di kursinya, dia terlihat seperti murid perempuan manis yang normal, jadi aku berencana duduk di depannya supaya bisa dekat dengannya. Aku sebenarnya berpikir itu akan berhasil. Naif sekali aku. Tolong seseorang memukulku supaya sadar.
 
Tentu saja aku memulai percakapan denagn tidak sengaja.
 
   
“Yo!”
 
   
Aku memutar kepalaku ke belakang, dengan senyuman melayang-layang di wajahku.
 
   
  +
Begitulah cara kami bertemu pertama kali satu sama lain.
“Hal-hal yang kamu sebutkan pada perkenalan itu, semuanya serius?”
 
   
  +
Dengan khidmat aku bersumpah&mdash; aku pengin sekali percaya kalau ini semua hanya kebetulan.
Dengan tangan yang terlipat di dadanya, bibir menyatu dua-duanya, Suzumiya Haruhi mempertahankan posturnya, lalu menatap langsung ke mataku.
 
   
“’Hal-hal pada perkenalan’ apa?”
 
   
“Hal-hal tentang alien.”
 
   
“Apa kamu alien?”
 
   
Dia terlihat serius.
 
   
  +
Setelah menarik perhatian semua orang di hari pertama, Haruhi kembali jadi gadis SMA lugu.
“…bukan”
 
   
  +
Ini adalah saat tenang sebelum badai! Aku akhirnya mengetahui semua itu sekarang.
“Lalu, kamu mau apa?”
 
   
  +
Omong-omong, semua murid di sekolah ini datang dari salah satu dari keempat SMP di kota ini &mdash; orang-orang dengan nilai ujian biasa-biasa saja. Termasuk, tentu saja, SMP East; Oleh karena itu, seharusnya ada murid yang lulus bareng Haruhi yang tahu arti kebisuan Haruhi. Tapi sayangnya, aku tak kenal seorang pun murid lulusan SMP East; Makanya, tak ada seorang pun yang bisa menjelaskan padaku seberapa seriusnya situasi ini. Akibatnya, beberapa hari setelah perkenalan yang konyol itu, aku melakukan sesuatu hal yang sangat bodoh &mdash; aku mencoba mengajaknya bicara sebelum pelajaran dimulai!
“…Enggak, enggak apa-apa.”
 
   
  +
Domino ketidakberuntunganku sudah mulai berjatuhan, dan akulah orang yang mendorong blok pertama.
“Kalau begitu jangan ngomong denganku. Kamu hanya buang-buang waktuku aja”
 
  +
  +
Jadi begini, ketika Haruhi duduk diam di kursinya, dia terlihat seperti gadis manis yang normal. Lagipula, aku memang seharusnya duduk di depannya, dan kupikir supaya sekalian juga bisa dekat dengannya. Aku benar-benar berpikir ini akan berhasil. Naif sekali aku. Seseorang, tolong dong, pukul aku biar sadar.
   
  +
Tentu saja, aku memulai percakapannya dengan insiden waktu itu.
Pandangannya dingin sekali hingga tanpa sadar aku ngomong ”Maaf.”
 
   
  +
“Hei!”
Suzumiya Haruhi lalu melepaskan pandangannya dari ku dengan acuh nya, lalu melihat papan tulis dengan muka serius.
 
   
  +
Kuputar kepalaku ke belakang, dengan senyuman santai di wajahku.
Aku tadinya mau ngomong satu atau dua kata, tapi aku nggak punya kata-kata yang bagus. Untunglah, pada saat itu aku diselamatkan oleh guru wali yang datang ke kelas.
 
Aku memutar kepalaku kembali ke mejaku, hilang semangat. Lalu sadar ada beberapa orang sedang melihatku dengan pandangan tertarik pada wajah mereka. Ini tentu saja membuatku merasa sangat terganggu. Setelah aku memandang kembali pada mereka, bagaimanapun juga, aku memperhatikan, mereka mempunyai ekspresi ‘ketidakberdayaan’ yang sama pada wajah mereka. Beberapa dari mereka bahkan menganggukan kepala karena simpati.
 
Seperti yang aku katakan, pada awalnya aku merasa terganggu, tapi kemudian aku sadar bahwa mereka semua lulusan SMP Higashi.
 
   
  +
“Hal yang kamu sebutin pas perkenalan itu, semuanya serius tuh?”
   
  +
Dengan tangan terlipat di dadanya, bibir tertutup rapat, Suzumiya Haruhi mempertahankan postur tak ramahnya, lalu menatap langsung ke mataku.
Mengingat pertemuanku yang pertama dengan Haruhi berakhir dengan buruk, kupikir aku harus menjaga jarak darinya sementara ini untuk keselamatanku. Dengan pikiran seperti itu, satu minggu pun berlalu.
 
   
  +
“Hal macam apa?”
Tapi, seperti juga aku yang masih merupakan bagian dari kelas ini, selalu saja ada murid yang ingin berbicara pada Haruhi yang beralis mincing, dan bermulut cemberut.
 
Kebanyakan dari mereka adalah murid perempuan yang menganggap penting urusan ‘gak penting’; Begitu mereka melihat ada sesama murid perempuan yang terisolasi, mereka mencoba bersikap baik dan menolongnya. Ini merupakan hal yang baik, tetapi mereka sedikitnya harus memgecek dulu targetnya sebelumnya!
 
   
  +
“Hal soal alien dan semua itu lho.”
“Hai, kamu nonton tv ‘gak semalam? Sekitar jam sembilanan.”
 
   
  +
“Apa kamu alien?”
“Tidak.”
 
   
  +
Dia terlihat serius.
“Eh, kenapa?”
 
   
  +
“...bukan, tapi&mdash;”
“Aku ‘gak tahu.”
 
   
  +
“Kalo kamu bukan, terus, kamu mau apa?”
“Kamu harus nonton deh. Nonton dari tengah-tengah juga ‘gak akan pusing deh. Atau aku perlu ngejelasin ceritanya yang kemarin-kemarin?”
 
   
  +
“...Engga, engga apa-apa.”
“Berisik!”
 
   
  +
“Kalau gitu, jangan ngomong denganku. Kamu buang-buang waktuku aja”
Begitulah.
 
   
  +
Pandangannya dingin sekali hingga kudapati diriku menggagapkan ”maaf” sebagai balasannya, bahkan sebelum aku menyadarinya. Suzumiya Haruhi lalu melepaskan tatapannya dariku dengan penuh kehinaan, dan mulai mengernyit ke papan tulis.
Akan lebih mudah kalau saja dia menjawab tidak dengan wajah datar. Tapi tidak, dia harus menunjukan kekesalannya pada ekspresi dan juga suaranya. Ini akan membuat si korban percaya bahwa mereka melakukan kesalahan. Pada akhirnya mereka hanya bisa mengatakan “Begitu yah…kalau begitu aku…”, dan bertanya pada diri sendiri “Apa salahku?”, lalu pergi dengan perasaan sedih.
 
Jangan sedih; Kamu tidak melakukan kesalahan. Masalahnya ada pada otak Suzumiya Haruhi, bukan kamu.
 
   
  +
Tadinya aku mau balas bicara satu atau dua kalimat, tapi aku tak bisa berpikir apapun yang baik untuk diucapkan. Untunglah, pada saat itu, guru wali kelas datang ke ruang kelas, dan aku terselamatkan.
   
  +
Bingung, kuputar kepalaku kembali ke mejaku. Lalu aku sadar ada beberapa teman sekelas sedang melihatku dengan paras tertarik pada wajah mereka. Setelah aku balik memandang mereka, bagaimanapun juga, aku menyadari kalau mereka punya ekspresi yang sama pada wajah mereka seolah-olah mereka mau bilang, "engga heran". Beberapa dari mereka bahkan menganggukan kepala merasa simpati.
Walaupun aku tidak masalah makan sendirian, aku tidak ingin berpikir bahwa aku adalah seorang penyendiri, ketika yang lain makan siang bersama teman dengan senangnya. Maka dari itu, meski aku tidak peduli kalau yang lain salah paham, aku makan siang bersama Kunikida – teman se SMP dan Taniguchi yang duduk dekatku – lulusan SMP Higashi.
 
Kami mulai ngobrol tentang Haruhi.
 
   
  +
Entah bagaimana aku merasa terganggu! Tapi kemudian, aku jadi tahu bahwa mereka semua itu lulusan SMP East.
“Apa kamu mencoba ngobrol dengan Suzumiya?” Taniguchi bertanya polos.
 
   
Aku mengangguk.
 
   
“Lalu dia mengatakan hal yang aneh dan kamu ‘gak tahu harus bagaimana?”
 
   
“Betul!”
 
   
Taniguchi menaruh potongan telur rebus ke dalam mulutnya, mengunyah, lalu berkata:
 
“Kalau anak itu tertarik dengan kamu, dia ‘gak akan ngomong yang aneh-aneh seperti itu. Aku cuma pingin nyaranin kamu untuk menyerah saja! Kamu harusnya sudah tahu sekarang kalo dia itu nggak normal.”
 
<!-- hehe, klo dibikin bahasa gaul semua gimana yah? ini cuma contoh, klo translator se7, edit ndiri yah, banyak sih :). h3lm1-kun -->
 
   
  +
Mengingat kontak pertamaku dengan Haruhi berakhir buruk tiada hasil, kusadari aku harus jaga jarak dengannya sementara ini, demi keselamatan. Dengan pikiran seperti itu, satu minggu pun berlalu.
“Aku sekelas dengannya tiga tahun berturut-turut; Aku tahu bagaimana dia itu.”
 
   
  +
Tapi tetap saja, selalu saja ada orang-orang naif yang ingin mengobrol dengan Suzumiya Haruhi, yang selalu mengerutkan alisnya dan mengerucutkan bibirnya.
Dia menggunakan kalimat ini sebagai awal obrolannya.
 
”Dia selalu melakukan hal yang sangat membingungkan. Aku pikir dia sedikitnya akan berusaha untuk mengontrol dirinya sendiri begitu masuk SMU; tapi tampaknya tidak. Kamu dengar kan, perkenalannya itu?”
 
   
  +
Kebanyakan dari mereka itu cewek-cewek rewel yang hanya ingin membantu teman perempuan sekelas yang kesepian. Ini hal yang baik, tapi, paling tidak mereka seharusnya memgecek target mereka dulu sebelumnya!
“Tentang alien itu?”
 
   
  +
“Hai, kamu nonton sinetron ga semalem? Yang jam 9 itu lho.”
Kunikida yang sedang sibuk memisahkan tulang dari ikan gorengnya, menyela.
 
   
  +
“Engga.”
”Benar, yang itu. Bahkan ketika SMP dia selalu mengatakan dan melakukan banyak hal aneh. Contohnya, ada suatu kejadian di sekolah!”
 
  +
  +
“Eh, kenapa engga?”
  +
  +
“Sapa peduli.”
  +
  +
“Kamu harus nonton deh. Nonton dari tengah-tengah juga, ga bakalan jadi pusing. Perlu kuceritain cerita sebelum-sebelumnya?”
  +
  +
“Sekarang, pergi sana. Kamu ngeganggu!”
  +
  +
Yah, begitulah kejadiannya.
  +
  +
Kasar dan tak berekspresi. Seharusnya dia bisa saja memperlihatkan mereka satu ons tata krama! Caranya itu hanya akan membuat si korban percaya bahwa dia melakukan kesalahan. Pada akhirnya mereka tak punya pilihan selain berkata, “Gitu yah... kalau gitu, aku...”, dan bertanya pada dirinya sendiri, “Apa aku salah omong ya?”, sebelum merengek pergi.
  +
  +
Ga usah sedih gitu; kamu ga salah. Masalahnya ada pada otak Suzumiya Haruhi, bukan kamu.
  +
  +
  +
  +
  +
  +
Walau aku tak keberatan makan sendirian, aku tak ingin orang lain berpikir aku ini penyendiri sementara yang lain asik makan siang bersama teman mereka. Itulah kenapa aku makan siang bersama Kunikida, teman satu SMP-ku dulu dan cowok bernama Taniguchi dari SMP East, yang bangkunya dekat denganku.
  +
  +
Dan akhirnya, kebetulan kami bergosip soal Haruhi.
  +
  +
“Lo nyoba ngobrol ama Suzumiya, kan?” tanya Taniguchi tiba-tiba.
  +
  +
Aku mengangguk.
   
  +
“Dan, terus, dia ngomong soal hal-hal aneh dan ngehina lo dengan dingin?”
“Apa yang terjadi?”
 
  +
  +
Bener banget.
   
  +
Taniguchi menaruh potongan telur rebus ke dalam mulutnya, mengunyah, lalu berkata, mulutnya penuh:
“Kau tahu kan alat yang digunakan untuk menggambar garis putih pada lapangan? Apa namanya …yah, pokoknya itu, pada suatu malam dia masuk ke sekolah diam-diam dan dengan alat itu menggambar simbol yang besar sekali ditengah lapangan.”
 
   
  +
“Kalau lo tertarik sama tuh cewek, gue ga bakalan cerewet soal itu. Yang bisa gue saranin cuman, 'Lupain aja!' Loe harusnya udah tahu sekarang &mdash; yeah, dia itu sinting.”
Taniguchi dengan senyuman yang ‘gak mengenakkan pada wajahnya, dia mungkin teringat pada kejadian itu.
 
   
  +
Dia menambahkan bahwa dia sekelas denganya tiga tahun berturut-turut, dia mengenalnya baik sekali. Lalu, dia mulai menceritakan anekdot tentangnya.
“Sangat mengejutkan, aku pergi ke sekolah esok paginya dan yang ku lihat hanyalah lingkaran dan segitiga yang besar. Aku ‘gak tahu artinya apa, jadi aku pergi ke lantai empat untuk mendapat pandangan dari atas. Tapi itupun ‘gak membantu sama sekali – Aku masih ‘gak tahu arti dari simbol itu.”
 
   
  +
”Tingkah lakunya itu ga masuk di akal. Gue tadinya pikir paling engga dia bakalan berusaha ngontrol dirinya sendiri begitu masuk SMA, tapi ternyata, engga tuh. Lo denger perkenalannya, kan?”
“Ah, kurasa aku pernah melihatnya. Bukankah di koran juga ada cerita itu? Bahkan ada gambar yang diambil dari helikopter! Simbol itu terlihat seperti piktogram Nazca yang rusak.” Kata Kunikida.
 
   
  +
“Maksudmu soal alien itu?”
Aku ‘gak ingat pernah mendengarnya sebelum ini.
 
   
  +
Kunikida, yang sedang sibuk memisahkan tulang dari ikan gorengnya, menyela.
“Aku melihat artikel itu, aku melihatnya. Judulnya sesuatu seperti ‘Kekacauan misterius menimpa SMP saat malam’, bukan? Ada yang ingin menebak siapa yang melakukannya?”
 
   
  +
”Benar, yang itu. Bahkan pas SMP, dia selalu ngomong dan ngelakuin banyak hal aneh. Ya, gue jadi inget -- insiden vandalisasi sekolah, contohnya!”
“Jangan katakan dia yang melakukannya”
 
   
  +
“Apa tuh?”
“Dia sendiri yang mengaku. ‘gak salah lagi. Umumnya, dia dipanggil ke kantor kepala sekolah. Setiap guru ada di sana, menanyainya mengapa dia melakukan itu.”
 
   
  +
“Loe tahu alat yang dipake buat ngegambar garis dengan kapur putih, kan? Apa namanya ...yah, pokoknya itu, suatu malam dia nyelinap ke sekolah, dan, dengan tuh alat, ngegambar piktogram yang besar banget di tengah-tengah lapangan atletik.”
“Lalu, mengapa dia melakukan itu?”
 
   
  +
Taniguchi mulai menyeringai &mdash; mungkin dia lagi mengenang kejadian itu.
“Aku ‘gak tahu”, Taniguchi menjawab dengan datar, sambil berusaha menelan semulut penuh nasi.
 
   
  +
“Ngagetin gue banget! Gue pergi ke sekolah pagi-pagi, dan gue lihat ada lingkaran dan segitiga gede di tanah. Gue ga tahu apa tuh maksudnya, jadi gue pergi ke lantai empat biar dapet pandangan lebih luas. Itupun ga membantu &mdash; gue masih ga tahu itu simbol apaan.”
“Kudengar dia menolak berbicara apa-apa. Tentu saja ketika kau ditatap tajam olehnya, kau cenderung menyerah dengans segala yang kau rencanakan. Seseorang berkata dia membuat simbol itu untuk memanggil UFO, ada juga yang berkata bahwa itu adalah simbol magis dan digunakan untuk memanggil monster, atau bahwa dia mencoba untuk membuka gerbang ke dunia lain, dan lain-lain… da banyak spekulasi, tapi selama tersangka menolak berbicara, kita ‘gak akan pernah tahu apakah rumor itu betul atau tidak. Sampai hari ini masih merupakan misteri.”
 
   
  +
“Ah, kayaknya saya pernah ngeliatnya. Kayaknya di koran juga ada cerita itu? Ada gambar yang diambil dari udara! Simbol itu kelihatannya kayak garis-garis Nazca yang rusak.” Kata Kunikida.
Karena beberapa alasan, gambaran Haruhi, dengan pandangan ‘ketidakomongkosongan’, sibuk menggambar garis di tengah lapangan sekolah pada malam hari, melayang di pikiranku. Dia pasti sudah mempersiapkan alat menggambar dan bubuk putihnya sebelumnya di gudang penyimpanan; mungkin juga dia sudah bawa lampu senter! Di bawah temaramnya lampu kuning, Suzumiya Haruhi terlihat serius dan tragis…
 
  +
  +
Gue ga pernah denger yang kayak begituan.
   
  +
“Iya! Gue tau! Judulnya kalo ga salah ‘Bentuk misterius di Lapangan Lari SMP’, ya? Yah, coba tebak siapa yang ngelakuinnya?”
Baiklah, ini hanya imajinasiku saja.
 
  +
  +
“Jangan bilang kalo itu dia.”
  +
  +
“Dia sendiri ngaku kok, jadi ga salah lagi. Tentu aja, ngagetin para guru. Dia dipanggil ke kantor kepala sekolah. Semua guru ada di sana dan mereka semua menginterogasinya.”
   
  +
“Terus, kenapa dia ngelakuin itu?”
Tapi kabarnya, Suzumiya Haruhi mungkin benar-benar melakukan itu untuk memanggil UFO atau monster, atau bahkan gerbang dimensi lain. Dia mungkin melakukannya semalam penuh di lapangan, tapi tidak ada sesuatupun yang muncul, dan yang ada hanyalah perasaan yang kecewa saja, aku pikir begitu.
 
   
  +
“Menegetehe”, jawab Taniguchi datar, sambil berusaha menelan semulut penuh nasi.
“itu bukan satu-satunya yang dia lakukan!”
 
   
  +
“Gue denger dia nolak ngomong apapun. Jelas aja, pas dia melototin elo, lo cenderung nyerah sama apapun yang mau lo omongin. Beberapa bilang dia ngegambar simbol itu buat manggil UFO, yang lain bilang kalo itu tuh simbol magis dan digunain buat manggil setan, atau dia lagi nyoba ngebuka gerbang ke dunia paralel segala lah, bla-bla-bla Banyak spekulasinya, tapi selama si pelaku nolak berbicara, kita mungkin ga bakalan pernah tahu apakah rumor itu bener atau engga. Sampai hari ini, masih jadi misteri.”
Taniguchi melanjutkan makan siangnya.
 
   
  +
Karena beberapa alasan, gambaran Haruhi, dengan rupa serius, sibuk menggambar garis di tengah-tengah lapangan sekolah di malam hari, melayang-layang di benakku. Dia pasti sebelumnya ngambil alat gambar dan bubuk kapurnya dari gudang penyimpanan; bahkan mungkin juga dia bawa lampu senter! Di bawah temaramnya lampu kuning Suzumiya Haruhi mungkin terlihat suram, kalo ga tekun... OK, ini cuman imajinasi gue aja.
“begitu aku datang ke kelas pada suatu pagi aku mendapatkan semua meja sudah dipindahkan ke koridor, dan ada gambar bintang-bintang di atap sekolah. Suatu waktu yang lain dia berkeliling ke sekitar sekolah menempelkan kertas kutukan di mana-mana… kamu tahu kan, yang ditempelkan di dahinya vampir cina. Aku ‘gak ngerti dia.”
 
   
  +
Tapi, jujur aja, keliatannya Suzumiya Haruhi benar-benar mengharapkan UFO atau monster, atau bahkan gerbang dimensi, buat muncul. Dia mungkin kerja keras semalam penuh di lapangan, tapi, karena ga ada yang muncul, yang tersisa padanya hanyalah depresi, pikirku sendiri.
Betul, Suzumiya Haruhi sedang tidak ada di kelas, karena kalau ada kami ‘gak akan bisa berbicara tentang ini. Tapi juga, kalaupun dia mendengarkan perbincangan ini, dia gak akan mempedulikannya. Biasanya, Suzumiya Haruhi pegi keluar kelas setelah jam pelajaran ke-4, dan kembali sesaat sebelum pelajaran selanjutnya mulai. Dia tidak membawa kotak makannya, jadi aku menduga dia pergi ke kantin untuk makan siang; tapi itu tidak akan memakan waktu satu jam, kan? Selanjutnya, setiap akhir jam pelajaran, dia menghilang. Kemana perginya ya…?
 
   
  +
“Bukan cuman itu doang!”
“tapi dia tekenal di kalangan murid laki-laki!”
 
   
  +
Sekarang Taniguchi selesai makan siang, dan sedang membereskan bangkunya. Dia melanjutkan:
Taniguchi mulai lagi:
 
“dia manis, atletis, dan pintar. Walaupun dia itu agak aneh, kalau dia menutup mulutnya, dia sebenarnya tidak terlalu jelek.”
 
   
  +
“Pas gue dateng ke kelas pagi-pagi dan nemuin semua meja udah dikeluarin ke koridor, dan ada gambar bintang-bintang gede di atap sekolah. Kali lain, dia keliling ga jelas ke sekitar sekolah nempelin [[Suzumiya_Haruhi_%7E_Indonesian_Version:Jilid1_Catatan_dan_Referensi_Penerjemah#O-fuda|O-fuda]] di mana-mana... lo tahu kan, jimat itu, kayak yang ditempelin di jidatnya vampir cina. Gue bener-bener ga ngerti dia.”
“darimana kamu dengar semua gosip ini?” kunikida bertanya, dengan kotak bekalnya yang 2 kali lebih penuh dari punya Taniguchi.
 
   
  +
Betul, Suzumiya Haruhi sedang tidak ada di kelas saat itu, kalau tidak kami takkan mengobrol tentang ini. Tapi juga, kalaupun dia mendengar kami, dia mungkin takkan peduli. Biasanya, Suzumiya Haruhi langsung pergi keluar kelas setelah jam keempat, terus kembali tepat sebelum jam kelima. Dia tidak bawa bekal, jadi kuduga dia pergi ke kantin buat makan siang; tapi makan siang takkan makan waktu satu jam penuh, kan? Apalagi, tiap akhir jam pelajaran, dia menghilang. Dia pergi kemana sih ngomong-ngomong...?
“ada satu waktu dimana dia berganti pacar nonstop. Dari yang kudengar, hubungan yang terlama bertahan selama seminggu, yang paling sebentar hanya 5 menit setelah jadian. Sebagai tambahan, satu-satunya alasan Suzumiya memutuskan hubungan adalah ‘Aku ‘gak punya waktu untuk bersosialisasi dengan orang biasa.”
 
   
  +
“Tapi, dia tekenal banget di kalangan murid cowok!”
Sepertinya Taniguchi berpengalaman dalam hal ini. Setelah sadar akan tatapanku, dia jadi sedikit gugup.
 
   
  +
Taniguchi mulai lagi:
“aku dengar ini dari orang lain! Sungguh! Untuk beberapa alasan, dia tidak pernah menolak untuk jadian. Ketika kelas tiga, semuanya mengerti; jadi tidak ada yang ingin jadian dengannya lagi. Aku punya perasaan aneh, sejarah itu akan terulang lagi di SMU ini. Jadi aku memperingatkanmu sekarang: menyerah saja. Ini nasehat yang datang dari seseorang yang dulu sekelas dengannya.”
 
Ngomong aja apa yang kamu mau, aku tidak tertarik dengannya seperti itu.
 
Taniguchi menaruh kotak bekalnyake dalam tas, lalu tertawa jelek.
 
   
  +
“Dia manis, atletis, dan cerdas. Walaupun dia itu aneh, kalau dia tetap tutup mulut, dia sebenarnya lumayan juga.”
“kalau aku harus memilih, aku akan memilih dia, Asakura Ryouko.”
 
  +
  +
“Darimana kamu dengar semua gosip ini?” tanya Kunikida, kotak bekalnya dua kali lebih penuh dari punya Taniguchi.
   
  +
“Satu waktu dia nonstop gonta-ganti pacar. Dari yang gue denger, hubungan paling lama bertahan selama seminggu, yang paling sebentar cuman 5 menit setelah jadian. Sebagai tambahan, satu-satunya alasan Suzumiya mutusin pacarnya adalah ‘aku ga punya waktu buat bergaul sama manusia normal.'”
Taniguchi mengaggukkan dagunya ke arah kumpulan anak-anak perempuan beberapa meja dari sini. Di tengah-tengah grup yang sedang ngobrol, ada Asakura Ryoukodengan senyuman yang mengembang di wajahnya.
 
  +
  +
Kayaknya si Taniguchi ini ngomong dari pengalaman. Setelah sadar akan tatapanku, dia jadi sedikit gugup.
   
  +
“Gue denger ini dari orang lain! Sumpah! Karena beberapa alasan, dia ga pernah nolak kalo ditembak. Pas kelas tiga, semuanya ngerti; jadi, ga ada lagi yang pengen nembak dia. Gue punya perasaan aneh kalo sejarah itu bakal terulang lagi di SMA. Jadi, gue peringatin lo sekarang: nyerah aja lah. Ini nasehat dari seseorang yang dulu sekelas dengannya.”
“berdasarkan analisisku, dia masuk ke dalam daftar ‘tiga top termanis anak perempuan kelas satu’.”
 
   
  +
Ngomong terserah lo lah, gue ga tertarik sama dia dengan cara gitu.
“kamu mengecek semua murid perempuan kelas satu di sekolah ini?”
 
   
  +
Taniguchi menaruh kotak bekal kosongnya ke dalam tas, dan tertawa tertawa sinis.
“aku mengelompokkannya ke dalam kategori A sampai D dan, percaya ‘gak, aku hanya ingat nama-nama pada kategori A. Kita hanya mengalami masa SMU sekali seumur hidup – aku hanya ingin mengalaminya dengan sebahagia mungkin.”
 
   
  +
“Kalau gue harus milih, gue bakal milih dia, Asakura Ryouko.”
“jadi Asakura Ryouko itu termasuk kategori A?” Kunikida bertanya.
 
   
  +
Taniguchi menganggukkan dagunya ke arah kumpulan cewek-cewek beberapa bangku dari sini. Di tengah-tengah grup yang sedang ngobrol, dengan senyum cerah di wajahnya, ada Asakura Ryouko.
“Dia itu AA+! Ayolah, lihat saja wajahnya, kepribadiannya sudah pasti nomor 1.”
 
   
  +
“Berdasarkan analisis gue, dia tentunya masuk ke dalam daftar ‘Tiga Top Cewek Kelas Satu Termanis’.”
Walaupun mengacuhkan komentar Taniguchi yang egois, Asakura Ryouko adalah jenis anak perempuan manis yang berbeda dari Suzumiya Haruhi.
 
   
  +
“Lo ngecek semua murid cewek kelas satu di sekolah ini?”
Pertama-tama, dia itu sangat cantik; tambah lagi dia selalu membawa senyuman yang terkesan mengasihi. Kedua, kepribadiannya cocok dengan penjelasan dari Taniguchi. Hari-hari ini tidak ada seorang pun lagi yang berani mengajak berbicara pada Suzumiya Haruhi, kecuali Asakura Ryouko. Tak peduli bagaimana kejamnya Suzumiya Haruhi, Asakura Ryouko masih mencoba untuk berbicara kepadanya dari waktu ke waktu. Dia begitu bersemangat hingga seperti pengawas kelas. Ketiga, dari caranya menjawab pertanyaan dari guru saja, kamu akan tahu dia itu sangat pintar. Dia selalu menjawab pertanyaan dengan benar – di mata para guru mungkin dia adalah contoh murid teladan. Untuk melengkapinya, dia sangat akrab dengan para murid perempuan. Semester pertama baru berlangsung selama satu minggu, tapi dia sudah menjadi pusat perhatian semua murid perempuan di kelas. Dia seperti turun dari langit dan dilahirkan dengan daya tarik yang mengagumkan!
 
   
  +
“Gue kelompokin dari kategori A sampai D, dan percaya ga, gue cuman ingat nama cewek-cewek A. Kita ngalamin masa SMA cuma sekali &mdash; gue pengen ngalamin dengan sebahagia mungkin.”
Dibandingkan dengan Suzumiya Haruhi yang sering cemberut dan terobsesi dengan fiksi ilmiah, pilihannya tentu saja sudah pasti. Tetapi, kedua kandidat ini mungkin sama-sama terlalu tinggi di atas bukit bagi pahlawan kita Taniguchi untuk dipanjat. Tidak mungkin dia akan mendapatkan salah satu dari mereka ataupun keduanya.
 
   
  +
“Jadi Asakura Ryouko itu kategori A?” tanya Kunikida.
   
  +
“Dia itu AA+! Ayolah, lihat aja wajahnya. Kepribadiannya udah pasti nomor wahid.”
   
  +
Walaupun mengabaikan komentar egois Taniguchi, Asakura Ryouko memang cewek manis yang lumayan beda jenis dengan Suzumiya Haruhi.
Waktu itu masih bulan April, dan pada saat itu, Suzumiya berprilaku cukup baik. Bagiku, ini merupakan bulan yang tenang. Yang nantinya, akan ada satu bulan lagi sebelum Haruhi mulai mengacau.
 
   
  +
Pertama, dia itu sangat cantik; tambah lagi dia selalu memberi kesan peduli, seperti tersenyum. Kedua, kepribadiannya cocok dengan penjelasan Taniguchi. Hari-hari ini, tak ada lagi orang yang berani mengajak Suzumiya Haruhi bicara, kecuali Asakura Ryouko. Sebagaimana bengisnya Suzumiya Haruhi, Asakura Ryouko masih terus mencoba mengobrol dengannya dari waktu ke waktu. Dia begitu bersemangat hingga hampir berperan seperti pengawas kelas. Ketiga, dari caranya menjawab pertanyaan dari guru saja, kamu akan tahu dia itu sangat cerdas. Dia selalu menjawab benar pertanyaan-pertanyaannya &mdash; di mata para guru mungkin dia murid teladan. Terlebih lagi, dia populer sekali dengan cewek-cewek. Sekolah baru berlangsung seminggu, tapi dia sudah berhasil di perjalanannya untuk jadi pusat murid cewek di kelas. Seolah-olah dia itu jatuh dari langit dan dilahirkan dengan daya tarik mengagumkan!
Tapi, pada saat seperti ini pun, aku meneliti beberapa tingkah laku Haruhi yang eksentrik.
 
Mengapa aku mengatakan seperti itu?
 
   
  +
Dibandingkan dengan si Suzumiya Haruhi yang kadang-kadang cemberut, terobsesi sama fiksi ilmiah, pilihannya sudah jelas. Tetapi sekali lagi, kedua kandidat ini mungkin keduanya terlalu tinggi di atas bukit bagi pahlawan kita Taniguchi untuk dipanjat. Tak mungkin dia akan dapat salah satu dari keduanya.
Petunjuk #1: dia mengubah gaya rambutnya setiap hari. Lebih jauh lagi, menurut pengamatanku, ini ada susunannya. Hari senin, haruhi datang ke sekolah dengan rambutnya tergerai, tanpa diikat sama sekali. Pada hari selanjutnya, dia mengikatnya seperti buntut kuda. Walaupun aku benci mengakuinya, gaya rambut itu sangat cocok dengannya. Lalu dia mengikatnya menjadi dua pada hari selanjutnya, kemudian menjadi tiga pada hari selanjutnya; pada hari jum’at, dia mengikat rambutnya dengan pita menjadi empat. Tindakannya sangat aneh!
 
   
Senin = 0, Selasa = 1, Rabu = 3…
 
   
Dengan bertambahnya hari di suatu minggu, begitu juga jumlah buntut kuda nya; hari senin selanjutnya, seluruh proses akan dimulai lagi dari awal. Aku ‘gak ngerti mengapa dia melakukan itu. Melanjutkan logika yang terjadi, dia seharusnya mengikat rambutnya menjadi enam di hari minggu… aku tiba-tiba ingin melihat gaya rambutnya di hari minggu.
 
“petunjuk #2: pada pelajaran olah raga, kelas 1-5 dan 1-6 digabungkan dan belajar bersama, dengan murid perempuan dipisah dari murid laki-laki. Ketika ganti pakaian, murid perempuan pergi ke kelas 1-5, dan laki-laki ke kelas 1-6; ini artinya setiap pelajaran sebelumnya berakhir, murid laki-laki dari kelas kami (1-5) akan pindah ke kelas 1-6 untuk ganti pakaian.
 
Sayangnya, Haruhi tidak mengindahkan kami sama sekali, dan membuka seragam sailornya sebelum kami sempat pindah kelas.
 
   
Sepertinya, bagi dia, kami ini buah labu atau kantung kentang, dan dia sama sekali tidak memperdulikan. Tanpa ekspresi apa-apa, dia melempar seragamnya ke atas meja lalu memakai seragam olah raganya.
 
   
Pada saat itu, Asakura Ryouko mendorong murid laki-laki yang semuanya bermata terbelalak, terpaku, termasuk aku keluar dari kelas.
 
   
  +
Waktu itu masih bulan April, dan pada waktu itu, Suzumiya sebenarnya berprilaku cukup baik. Bagiku, ini merupakan bulan yang lumayan tenang. Paling tidak, akan ada satu bulan lagi sebelum Haruhi mulai tak terkendali.
Menurut desas-desus, para murid perempuan, dengan Asakura ryouko sebagai pemimpinnya, mencoba membicarakan ini dengan Haruhi, tetapi tidak ada gunanya. Setiap pelajaran olah raga, Haruhi mengacuhkan seluruh kelas lalu membuka seragamnya tanpa ada pandangan sekilaspun. Jadi, kami para murid laki-laki diminta untuk meninggalkan kelas begitu bel berbunyi kedua kalinya – karena permintaan dari Asakura Ryouko.
 
  +
  +
Tapi pada saat seperti ini pun, aku sudah meneliti beberapa tingkah eksentrik Haruhi.
   
  +
Kenapa bisa-bisanya aku bilang begitu?
Tapi sungguh, Haruhi memiliki figur yang yang sangat bagus... ahhh, ini bukan saatnya ngomongin hal seperti itu.
 
   
  +
Petunjuk #1: dia mengubah gaya rambutnya setiap hari. Lebih jauh lagi, menurut pengamatanku, ada semacam pola disana. Hari senin, Haruhi datang ke sekolah dengan rambutnya tergerai, tanpa diikat sama sekali. Hari selanjutnya, dia mengikat kuncir kuda. Walaupun aku benci mengakuinya, gaya rambut itu memang terlihat bagus untuknya. Lalu, dia akan mengikatnya jadi dua kuncir kuda di hari berikutnya, kemudian tiga kuncir kuda pada hari berikutnya; di hari jum’at, ada empat ikatan-pita kuncir kuda di kepalanya. Tindakannya penuh teka-teki!
Petunjuk #3: pada akhir pelajaran setiap harinya, Haruhi absen tiba-tiba. Ketika bel sekolah berbunyi, dia menarik tasnya lalu melesat keluar kelas. Logisnya, aku berpikir dia langsung pulang ke rumah; aku ‘gak pernah berpikir dia mengikuti semua klub ekskul di sekolah. Suatu hari, kulihat dia mengayunkan tongkatnya pada klub ekskul hoki. Kurasa dia juga ikut masuk ke klub basket. Jadi, pada dasarnya, dia mengikuti semua klub olah raga di sekolah. Tentu saja semua klub mengincarnya untuk jadi anggota tetap. Sudah pasti dia menolaknya. Penjelasannya adalah: ”menjengkelkan sekali bagiku melakukan aktivitas klub yang sama setiap hari.” Akhirnya, dia tidak mengikuti klub yang manapun juga.
 
   
  +
Senin = 0, Selasa = 1, Rabu = 2...
Maunya apa sih anak ini?
 
   
  +
Dengan bertambahnya hari di satu minggu, begitu juga jumlah kuncir kudanya; hari senin selanjutnya, seluruh proses akan dimulai lagi dari awal. Aku tak mengerti kenapa dia melakukan itu. Melanjutkan logika sebelumnya, dia seharusnya punya enam kuncir kuda di hari minggu... tiba-tiba aku ingin melihat gaya rambut hari minggunya.
Dari hal ini saja, kabar “murid perempuan kelas satu yang aneh” menyebar ke seluruh sekolah dengan cepat. Dalam waktu sebulan, ‘gak ada seorang murid pun yang tidak tahu siapa Suzumiya Haruhi. Beranjak ke bulan Mei, murid-murid masih banyak yang belum tahu siapa kepala sekolah di sini, tapi nama Suzumiya Haruhi sepertinya sudah terkenal.
 
   
  +
Petunjuk #2: Saat pelajaran olahraga, kelas 1-5 dan 1-6 digabungkan dan belajar bersama, dengan yang cewek dipisah dari yang cowok. Ketika ganti pakaian, para cewek pergi ke ruang kelas 1-5, dan cowok ke ruang kelas 1-6; ini artinya setiap pelajaran sebelumnya berakhir, cowok-cowok dari kelas kami (1-5) akan pindah ke ruangan lain untuk ganti pakaian.
Jadi, dengan segala hal yang terjadi – dan Haruhi penyebabnya – Mei datang.
 
   
  +
Sayangnya, Haruhi benar-benar tak mengindahkan cowok-cowok di kelas kami, dan membuka seragam sailornya sebelum kami sempat pindah kelas.
Walaupun aku secara pribadi berpikir bahwa nasib itu tidak bisa diprediksi sama halnya seperti monster Loch Ness, kalau nasib, di suatu tempat, mempengaruhi hidup manusia, takdirku mulai berjalan. Yang dapat kupikirkan, di suatu gunung yang jauh mungkin ada seorang tua yang sibuk menulisi kembali nasibku.
 
   
  +
Seolah-olah, baginya, kami ini buah labu atau kantung kentang, dan dia sama sekali tak peduli. Tanpa ekspresi apa-apa, dia melempar seragamnya ke atas meja dan mulai memakai seragam olahraganya.
Setelah hari libur golden week berakhir, aku berjalan ke sekolah, ‘gak tahu hari apa hari ini. Cerahnya cuaca Mei yang tidak natural menyorot kulit membuatku mandi keringat – jalan bukit yang terjal pun seperti tidak berujung. Apa yang terjadi dengan bumi, yah? Apakah terkena demam kuning atau semacamnya?
 
<!-- gimana nih klo qta bikin translator's note bahasa indo.... saya udah bikin dikit buat vol. 9 chp. 1, tapi lagi gak ada waktu buat bikin vol. lain; h3lm1-kun -->
 
   
  +
Pada saat itu, Asakura Ryouko mendorong para cowok yang terbelalak, terpaku, termasuk aku, keluar dari kelas.
“Yo, Kyon.”
 
   
  +
Menurut desas-desus, para cewek, dengan Asakura Ryouko sebagai pemimpinnya, mencoba membicarakan masalah ini dengan Haruhi, tapi tiada hasil. Setiap pelajaran olahraga, Haruhi mengabaikan seluruh kelas dan membuka seragamnya tanpa banyak lirik-lirik. Dan jadinya, kami para cowok diminta meninggalkan kelas di detik bel berbunyi &mdash; atas permintaan Asakura Ryouko.
Dari belakang, seseorang menepuk pundakku. Seseorang itu adalah Taniguchi.
 
Blazer nya tergantung begitu saja di pundaknya, dasinya berkerut dan menceng ke satu sisi.
 
   
  +
Tapi, beneran lho, Haruhi punya badan yang sangat bagus... argh, ini bukan saatnya ngomongin hal kayak gitu.
“waktu hari libur golden week, pergi kemana?”
 
   
  +
Petunjuk #3: setiap akhir pelajaran, Haruhi akan pergi [[Suzumiya_Haruhi_%7E_Indonesian_Version:Jilid1_Catatan_dan_Referensi_Penerjemah#AWOL|AWOL]]. Ketika bel sekolah berbunyi, dia akan menarik tasnya lalu melesat keluar kelas. Logisnya, aku pikir dia langsung pulang ke rumah; tak pernah kepikiran olehku kalau dia berpartisipasi di semua klub ekskul di sekolah. Suatu hari, kalian akan melihatnya mengoper bola di Klub Basket, dan selanjutnya kalian akan melihatnya menjahit sarung bantal di Klub Menjahit. Hari berikutnya, kalian akan melihatnya mengayunkan tongkat di Klub Hoki. Kupikir dia juga gabung sama Klub Basket. Jadi, pada dasarnya, dia mengikuti semua klub olahraga di sekolah. Tentu saja semua klub mengincarnya untuk jadi anggota, tentu saja, tapi dia menolak semuanya. Penjelasannya adalah: ”Menjengkelkan buatku ngelakuin aktivitas klub yang sama tiap hari.” Pada akhirnya, dia tidak mengikuti klub yang manapun juga.
“aku mengajak adikku pergi ke rumah nenek di pinggir kota.”
 
   
  +
Maunya apa sih nih anak?
“membosankan sekali.”
 
   
  +
Dari hal ini saja, kabar “cewek kelas satu yang aneh” secara instan menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Dalam waktu sebulan, tak ada seorang pun yang tak mengenal siapa Suzumiya Haruhi. Percepat ke bulan Mei, orang-orang mungkin masih banyak yang belum tahu siapa kepala sekolah di sini, tapi nama Suzumiya Haruhi sudah terkenal.
“baiklah, kamu sendiri pergi ke mana?”
 
   
  +
Jadi, dengan segala hal yang terjadi &mdash; dan Haruhi selalu jadi penyebabnya &mdash; Mei telah tiba.
“kerja paruh waktu.”
 
   
  +
Walau secara pribadi aku pikir bahwa takdir itu bahkan kurang bisa dipercaya daripada [[Suzumiya_Haruhi_%7E_Indonesian_Version:Jilid1_Catatan_dan_Referensi_Penerjemah#Monster_Loch_Ness|monster Loch Ness]], kalau takdir, di suatu tempat yang tak diketahui, aktif mempengaruhi hidup manusia, roda takdirku mungkin sudah mulai berputar. Bisa dibayangkan, di suatu gunung terpencil, mungkin ada orang tua yang sibuk menulis ulang takdirku.
“kamu ‘gak seperti orang kayak begitu.”
 
   
  +
Setelah liburan Golden Week berakhir, aku berjalan ke sekolah, tak yakin hari apa hari ini. Cuaca Mei yang cerah tak seperti biasanya meledakkan kulitku dan membuatku mandi keringat – jalan bukit terjal pun seperti tidak berujung. Bumi ini pengen apaan sih? Apa kena demam kuning atau semacamnya gitu?
“Kyon, kamu ini sudah SMU sekarang – mengapa masih membawa-bawa adik pergi ke rumah kakek dan nenekmu? Kamu sediknya harus tampak seperti murid SMU.”
 
   
  +
“Yo, Kyon.”
Ngomong-ngomong, Kyon itu aku. Bibiku lah yang pertama memanggilku seperti itu. Beberapa tahun yang lalu, bibiku yang sudah lama tidak ku jumpai tiba-tiba berkata padaku: “astaga, kyon sekarang sudah besar yah!” adikku berpikir bahwa itu lucu dan mulai memanggilku Kyon. Setelah kejadian itu, teman-temanku pun mulai memanggilku Kyon seperti adikku. Semenjak hari itu nama panggilanku berubah menjadi Kyon. Sialan! Dulu adikku biasanya memanggilku ‘oniichan (kakak)’.
 
“sudah merupakan tradisi di keluargaku berkumpul dengan saudara-saudara selama liburan Golden Week,” aku menjawab sambil menailki jalan berbukit.
 
   
  +
Dari belakang, seseorang menepuk pundakku. Dia adalah Taniguchi.
Berkeringat membuatku merasa tidak nyaman.
 
   
  +
Jas blazernya tergantung serampangan di pundaknya, dan dasinya kusut dan menceng ke satu sisi.
Taniguchi ngomong kesana kemari, menyombongkan bagaimana dia bertemu dengan banyak gadis cantik di tempat kerjanya, dan bagaimana dia berencana menggunakan uangnya untuk pergi berkencan dan sebagainya. Terus terang saja, topik seperti mimpi yang orang-orang punyai atau betapa mengagumkan dan lucunya peliharaan seseorang, dalam kamusku, adalah topik yang paling tidak menarik di dunia ini.
 
  +
  +
“Pas hari libur Golden Week pergi kemana?”
   
  +
“Gue ngajak adik gue ke rumah nenek di desa.”
Ketika aku mendengarkan jadwal kencan Taniguchi (tampaknya dia tidak berhenti hanya karena tidak ada orang yang mau diajak kencan), kami tiba di gerbang sekolah.
 
   
  +
“Bosen banget.”
   
  +
“Oke, terus lo sendiri kemana?”
   
  +
“Kerja paruh waktu tiap hari.”
Suzumiya Haruhi sudah duduk di bangkunya melihat ke luar ketika aku memasuki kelas. Di kepalanya tampak penjepit rambut seperti dua roti bundar; jadi hari ini hari rabu yah. Setelah aku duduk – untuk beberapa alasan yang masih membingungkanku, penjelasan yang masuk akal mungkin hanyalah aku yang menjadi gila, sebelum aku menyadarinya secara tidak sadar tiba-tiba aku berbicara lagi pada Suzumiya Haruhi.
 
   
  +
“Lo ga keliatan kayak orang macam gitu.”
“apa kamu mengganti gaya rambutmu setiap hari karena alien?”
 
   
  +
“Kyon, lo ini dah SMA sekarang &mdash; ngapain juga masih bawa-bawa adik ke rumah kakek dan nenek lo? Elo seenggaknya harus keliatan kayak murid SMA.”
“Seperti robot, Suzumiya Haruhi pelan-pelan memutar wajahnya menghadapku, dan dengan ekspresi yang sangat serius sekali menatapku. Sangat menakutkan sekali, sebenarnya.
 
   
  +
Ngomong-ngomong, Kyon itu aku. Bibiku lah yang pertama memanggilku seperti itu. Beberapa tahun yang lalu, bibi lama-tak-bertemu-aku tiba-tiba bicara kepadaku: “Astaga, Kyon sekarang sudah besar yah!” Adikku pikir kalau itu lucu dan mulai memanggilku Kyon. Setelah itu sisanya adalah sejarah &mdash; teman-temanku, mendengar adikku memanggilku Kyon, memutuskan untuk mengikutinya. Semenjak hari itu, panggilanku berubah jadi Kyon. Sialan, dulu adikku memanggilku "Onii-chan"!
“kapan kamu memperhatikannya?”
 
   
  +
“Udah jadi tradisi di keluarga gue kumpul ama saudara-saudara selama liburan Golden Week,” jawabku sambil mendaki bukit.
Nada bicaranya sangat dingin seperti sedang berbicara dengan batu di pinggir jalan saja.
 
Aku berhenti sebentar untuk berpikir.
 
   
  +
Sensasi berkeringat membuatku merasa tak nyaman.
“Hmmm… baru saja.”
 
   
  +
Taniguchi, panjang nafasnya seperti biasa, sesumbar tentang bagaimana dia bertemu dengan banyak gadis cantik di tempat kerjanya, dan bagaimana dia berencana menggunakan uang tabungannya untuk berkencan dan semacamnya. Terus terang saja, topik seperti mimpi yang orang-orang punya, atau betapa mengagumkan atau lucunya piaraan seseorang, adalah, dalam kamusku, topik yang paling membosankan di dunia ini.
“sungguh?”
 
   
  +
Saat aku mendengarkan jadwal kencan Taniguchi (tampaknya dia tak dihentikan oleh masalah kecil seperti bagaimana ketiadaan orang yang mau pergi dengannya), kami tiba di gerbang sekolah.
Haruhi menaruh dagunya pada telapak tangannya, terlihat jengkel.
 
   
“setidaknya begitulah yang kupikir, karena bagiku kamu terlihat berbeda setiap hari.”
 
   
Ini pertama kalinya kami melakukan percakapan!
 
   
  +
Suzumiya Haruhi sudah duduk di belakang bangkuku, melihat ke luar, ketika aku memasuki kelas. Tampak dua penjepit rambut seperti roti bundar di kepalanya; jadi hari ini hari rabu yah. Setelah duduk – karena beberapa alasan yang aku tak tahu, penjelasan yang masuk akal mungkin hanyalah aku yang jadi gila - sebelum kusadari, kudapati diriku sekali lagi bicara dengan Suzumiya Haruhi.
“untuk warna: Senin warna kuning, Selasa warna merah, Rabu biru, Kamis hijau, Jum’at warna emas, Sabtu coklat, dan Minggu warna putih.”
 
   
  +
“Lo ganti gaya rambut tiap hari gara-gara alien?”
Aku agak mengerti apa yang dia katakan.
 
   
  +
Seperti robot, Suzumiya Haruhi pelan-pelan memutar wajahnya menghadapku, dan menatapku dengan ekspresi yang sangat serius sekali. Sangat menakutkan sekali, sebenarnya.
“kalau begitu kalau menggunakan angka untuk mengganti warna, Senin = 0 dan Minggu = 6, kan?”
 
  +
  +
“Kapan kamu merhatiin?”
   
  +
Nada bicaranya sangat dingin seakan-akan sedang bicara dengan batu di pinggir jalan.
“benar.”
 
   
  +
Aku berhenti sebentar untuk berpikir.
“Tapi menurutku sih hari Senin = 1.”
 
   
  +
“Hmmm… baru-baru ini.”
“Siapa yang nanya pendapat kamu?”
 
   
“…begitu, yah?”
+
“Yang bener?”
   
  +
Haruhi menyandarkan dagu pada telapak tangannya, terlihat jengkel.
Sepertinya tidak puas dengan jawabanku, Haruhi mengerutkan dahi memandangku. Aku lalu duduk diam sambil merasa tidak enak dan membiarkan waktu berlalu begitu saja.
 
   
  +
“Kupikir setiap harinya ngasih image yang berbeda.”
“apa aku pernah melihatmu sebelumnya? Dulu sekali?”
 
  +
  +
Ini pertama kalinya kami mengobrol dengan baik dan benar!
   
  +
“Buat warna: Senin warna kuning, Selasa warna merah, Rabu biru, Kamis hijau, Jum’at warna emas, Sabtu coklat, dan Minggu warna putih.”
“tidak.”
 
   
  +
[[Suzumiya_Haruhi_%7E_Indonesian_Version:Jilid1_Catatan_dan_Referensi_Penerjemah#Warna_Pita_Rambut|Aku agak mengerti]] apa yang dia katakan.
Setelah aku menjawab, Okabe Sensei langsung memasuki kelas, dan percakapan kami pun berakhir.
 
   
  +
“Jadi, berarti, kalau pake angka buat ngeganti warna, Senin itu nol dan Minggu itu enam, kan?”
   
  +
“Benar.”
   
  +
“Tapi, bukannya seharusnya Senin itu satu.”
Walaupun percakapan kami yang yang pertama tidak bisa dibawa untuk pulang ke rumah, ini bisa jadi titik perubahan yang ku tunggu-tunggu!
 
   
  +
“Sapa yang nanya pendapat kamu?”
Dan lagi, satu-satunya kesempatanku berbicara pada Haruhi hanya sebentar sebelum pelajaran pertama, karena dia ‘gak pernah ada di tempat ketika istirahat. Tapi karena aku duduk di depan dia, aku yakin kesempatan berbicara padanya lebih besar daripada lain lain.
 
   
  +
“...Iyah, bener sih?”
Tapi hal yang sangat mengejutkanku adalah Haruhi menjawabku dengan semestinya. Aku tadinya berpikir dia akan menjawab seperti “berisik, bodoh, diam kau! Peduli amat!” kupikir aku sama anehnya dengan dia, karena punya keberanian mengajaknya berbicara.
 
   
  +
Sepertinya tak puas dengan jawabanku, Haruhi bersungut padaku. Aku hanya duduk diam tak nyaman disana dan membiarkan waktu berlalu begitu saja.
Karenanya ketika aku pergi ke sekolah hari esoknya dan melihat Haruhi, daripada dia mengikat rambutnya menjadi tiga, dia telah memotong rambut panjangnya, aku jadi merasa depresi.
 
   
  +
“Apa aku pernah ngeliat kamu sebelumnya? Dulu banget?”
Rambut panjang se pinggang menjadi rambut pendek sebahu. Maksudku, walaupun potongan rambut itu terlihat cocok dengannya, dia memotongnya setelah aku ngobrol tentang rambutnya! Dia jelas-jelas meremehkanku. Apaan sih!
 
   
  +
“Kayaknya engga.”
Ketika kutanya alasannya, dia menjawab:
 
“bukan apa-apa.”
 
   
  +
Setelah kujawab, Okabe-sensei masuk kelas, dan percakapan pertama kami pun berakhir.
Dia menjawab dengan nada bicara jengkel khasnya tapi tidak menunjukkan ekspresi yang berarti. Dia ‘gak akan memberi tahu alasannya.
 
Tapi aku sudah mengiranya begitu, jadi ‘gak apa-apa.
 
   
   
“apa kamu benar-benar ikut semua klub ekskul?”
 
   
Dari semenjak hari itu, berbicara dengannya sebentar sebelum pelajaran pertama menjadi kebiasaan sehari-hari. Tentu saja kalau aku tidak mencoba mengawalinya, Haruhi ‘gak akan menunjukkan reaksi apapun. Satu hal lagi kalau aku ngobrol tentang acara TV semalam, atau bagaimana cuaca hari ini, dan seterusnya – hal yang dia anggap sebagai “topik yang idiot”- dia akan mengacuhkanku. Tahu begitu, aku hati-hati memilih topik pembicaraan katika akan berbicara padanya.
 
   
   
  +
Walaupun percakapan pertama kami tiada apa-apanya untuk ditulis di rumah, ini bisa jadi titik perubahan yang kucari-cari!
[[Image:(Gambar)]]
 
''Dia memalingkan mukanya dengan jengkel, mengakhiri percakapan hari ini.''
 
   
  +
Dan lagi, satu-satunya kesempatanku mengobrol dengan Haruhi hanya waktu sebentar sebelum absensi, karena dia tak pernah ada di tempat waktu istirahat. Tapi karena aku duduk di depannya, aku cukup yakin kesempatan mengobrol dengannnya lebih besar daripada orang lain.
   
  +
Tapi hal yang paling mengejutkanku adalah Haruhi benar-benar menanggapiku dengan semestinya. Tadinya kupikir dia bakal jawab, “Dasar bego, diam kau! Peduli amat!” Kukira aku sama anehnya sama dia, karena benar-benar punya keberanian berbicara dengannya.
“apa ada klub yang lebih menyenangkan daripada yang lain? Aku sendiri ingin mengikutinya.”
 
   
  +
Karena itu, waktu aku datang ke sekolah hari esoknya dan menemukan bahwa, daripada mengikat rambutnya jadi tiga kuncir kuda, Haruhi telah memotong pendek rambut panjang dan semampainya, aku merasa agak depresi.
“tidak ada.” Haruhi menjawab datar. “sama sekali tidak ada.”
 
   
  +
Rambut sepinggang telah dipendekkan jadi potongan sebahu. Maksudku, walaupun gaya rambut itu memang terlihat cocok dengannya, dia memotongnya sehari setelah aku mengobrol tentang rambutnya! Jelas-jelas disengaja, kan?
Dia menegaskannya lagi, lalu menghela nafas. Apa dia mengeluh?
 
   
  +
Waktu kubilang ke Haruhi tentang itu -
“aku pikir SMU akan sedikit lebih baik. Pada akhirnya hanyalah pendidikan yang diperintahkan saja. Tidak ada perubahan sama sekali. Sepertinya aku salah masuk SMU.”
 
   
  +
“Engga juga.”
Oi, kriteria pemilihan sekolahmu itu seperti apa sih?
 
   
  +
Dia menjawab dengan nada bicara jengkel khasnya, tapi tak menunjukkan semacam ekspresi spesial. Dia takkan memberitahuku alasannya.
“klub olahraga dan klub kebudayaan sama saja. Kalau saja ada beberapa klub yang unik di sekolah ini…”
 
   
  +
Tapi aku sudah menduganya, jadi tak apa-apa.
“Oi, kamu punya hak apa memutuskan suatu klub itu normal atau tidak?”
 
   
“Berisik. Kalau aku suka pada satu klub, maka klub itu unik; kalu tidak maka klub itu biasa saja.”
 
   
“Benarkah? Aku sudah mengira kamu akan ngomong begitu.”
 
   
“Hmh!”
 
   
Dia memalingkan mukanya dengan jengkel, mengakhiri percakapan hari ini.
 
   
  +
“Lo beneran nyobain ikutan semua klub?”
  +
  +
Dari hari itu seterusnya, berbicara dengannya sebentar sebelum absensi jadi rutinitas sehari-hari. Tentu saja, kalau aku tak mencoba mengawalinya, Haruhi takkan bereaksi. Satu hal lagi, kalau aku bicara soal bagaimana acara TV semalam, atau bagaimana cuaca hari ini, dll &mdash; yang dia anggap sebagai “topik idiot” &mdash; dia hanya akan mengabaikanku. Tahu begitu, aku hati-hati memilih topik pembicaraan kapanpun aku mengobrol dengannya.
  +
[[Image:Sh_v1_01.jpg|thumb|''Dia memalingkan mukanya jengkel, menandai akhir percakapan hari ini.'']]
   
  +
“Ada klub yang lebih asik ga daripada yang lain? Gue sendiri pengen ikutan juga.”
   
  +
“Ga ada.” Haruhi menjawab datar. “Sama sekali ga ada.”
Pada hari yang lain:
 
“aku mendengar sesuatu pada satu hari. ‘gak begitu penting sih… apa kamu benar memutuskan semua pacarmu?”
 
   
  +
Dia menegaskannya lagi, lalu perlahan menghembuskan nafas. Dia menghela nafas tadi?
“kenapa aku harus mendengar hal ini dari kamu, sih?”
 
   
  +
“Kupikir SMA bakal sedikit lebih baik. Ternyata, sama aja kayak [[Suzumiya_Haruhi_%7E_Indonesian_Version:Jilid1_Catatan_dan_Referensi_Penerjemah#Pendidikan_Wajib|pendidikan wajib]]. Ga ada perubahan sama sekali. Kayaknya aku salah masuk SMA.”
Dia menyibakkan rambut pada bahunya, lalu menatapku dengan matanya yang hitam. Oh, selain dari tidak ada ekspresi apa-apa, wajah marah ini kayaknya sering terlihat.
 
   
  +
<!-- si Kyon lagi sarkasme nih disini, makanya "agak" dihaluskan hehe.... -->
“apa Taniguchi yang memberitahukan? Oh, aku ‘gak percaya setelah lulus SMP pun aku sekelas lagi dengan si bodoh itu. Apa dia penguntit yang gila?”
 
  +
Mbak, kriteria sekolah apakah yang anda gunakan ketika anda memutuskan sekolah mana untuk anda hadiri?
   
  +
“Klub olahraga dan klub kebudayaan sama saja. Kalo aja ada beberapa klub unik di sekolah...”
“aku pikir bukan,” pikirku.
 
  +
  +
“Yah, elo punya hak apa mutusin suatu klub itu normal apa engga?”
   
  +
“Berisik. Kalau aku suka sebuah klub, jadi itu klub unik; kalo engga, biasa aja.”
“aku ‘gak tau apa yang kamu dengar, tapi ‘gak masalah, lagipula sebagian besar memang benar.”
 
   
  +
“Iya gitu? Udah gue duga lo bakal ngomong gitu.”
“apa ‘gak ada seorang pun yang ingin kamu pacari dengan serius?”
 
   
  +
“Huh!”
“’gak ada satupun!”
 
   
  +
Dia memalingkan mukanya jengkel, menandai akhir percakapan hari ini.
Penolakan total sepertinya mottonya.
 
   
“yang manapun juga hanya orang bodoh, aku ‘gak bisa pacaran dengan serius. Semuanya sama mengajakku bertemu di stasiun kereta pada hari sabtu, lalu pergi nonton ke bioskop, ke taman bermain, atau ke tempat permainan. Pertama kalinya makan sama-sama pasti saat makan siang lalu pergi ke café minum the. Akhirnya mereka akan mengatakan ‘sampai besok’!”
 
   
“aku ‘gak pikir itu hal yang salah!” aku pikir begitu; tapi aku gak berani mengatakannya. Kalau Haruhi berkata itu jelek, maka itu jelek menurutnya.
 
   
“lalu, tidak salah lagi, mereka akan mengaku suka di telepon. Apaan sih! Ini subjek yang penting, seharusnya ngomong langsung dong!!”
 
   
Aku bisa menaruh simpati bagi mereka. Ngomong suatu hal – bagi mereka, setidaknya – sangat penting seperti itu kepada seseorang yang menganggapmu seperti seekor ulat mungkin membuat seseorang merasa gelisah. Mereka hilang keberanian begitu melihat ekspresimu! Aku membayangkan apa yang mereka rasakan ketika aku merespon Haruhi.
 
   
  +
Di hari yang lain:
“hmm, kamu benar. Kalau aku sih akan ngomong langsung ke orang nya.”
 
   
  +
“Gue denger-denger kemaren... ga terlalu penting sih... beneran lo mutusin semua pacar lo?”
“siapa yang peduli pendapatmu!”
 
  +
  +
“Kenapa aku harus dengar ini dari kamu lagi sih?”
  +
  +
Dia mengibaskan rambutnya keluar dari bahunya, lalu menatapku dengan mata hitam bercahayanya. Ampun deh, daripada ga berekspresi, ekspresi marah ini kayaknya lebih sering keliatan.
  +
  +
“Apa si Taniguchi yang cerita? Ampun deh, aku ga percaya sekelas ama si idiot itu lagi bahkan setelah aku lulus SMP. Dia bukan semacem penguntit psycho, kan?”
   
  +
“Kayaknya engga,” pikirku.
Apa. Apa aku melakukan sesuatu yang salah lagi?
 
   
  +
“Aku ga tau kamu denger apa, tapi ga masalah. Lagian sebagian besar emang benar.”
“masalahnya, apa semua anak laki-laki di dunia itu mahluk yang lemah akalnya? Aku memikirkan pertanyaan ini semenjak SMP.”
 
   
  +
“Bukannya ada orang di luar sana yang pengen kamu pacarin serius?”
Sekarang ‘gak ada perubahan kan!
 
   
  +
“Ga ada satupun!”
“lalu, anak laki-laki yang seperti apa yang kamu anggap ‘menarik’? apa memang harus alien?”
 
   
  +
Penolakan total kayaknya jadi mottonya.
“harus alien atau yang semacamnya selama itu tidak normal. Perempuan atau laki-laki.”
 
   
  +
“Semuanya goblok. Pokoknya aku ga bisa pacaran serius sama mereka. Tiap orang mesti ngajakin ketemuan di stasiun kereta pas hari sabtu, trus pasti pergi nonton, ke taman hiburan, atau ke tempat game. Pertama kalinya makan bareng mesti makan siang kencan, terus buru-buru ke kafe buat minum teh. Sore hari, mereka pasti bakal ngomong ‘Sampai besok!’”
“mengapa sih kamu tertarik sekali dengan selain meanusia?”
 
   
  +
“Gue pikir itu ga salah!” pikirku pribadi, tapi aku tak berani bilang keras-keras. Kalau Haruhi bilang itu jelek, maka, pasti jelek buat dia.
Ketika aku ngomong begitu Haruhi melihatku dengan remeh.
 
   
  +
“Terus, tanpa gagal, mereka bakalan nembak lewat telepon. Apa-apaan tuh! Ini subjek serius, paling engga bilang langsung hadap-hadapan!!”
“karena manusia itu tidak menyenangkan sama sekali!”
 
   
  +
Aku bisa bersimpati sama mereka. Bikin pengakuan penting &mdash; buat mereka, paling tidak &mdash; seperti itu ke seseorang yang melihatmu seakan-akan kamu itu cacing mungkin membuat siapapun merasa gelisah. Mereka hilang keberanian pas ngeliat ekspresi lo! Aku membayangkan apa yang mereka pikirkan saat aku merespon Haruhi.
“kalau itu… mungkin kamu benar.”
 
   
  +
“Hmm, lo bener. Kalo gue sih bakal ngajak tuh cewek keluar dan ngomong langsung ke dianya.”
Walaupun aku ‘gak bisa menandingi pikiran Haruhi; kalau memang murid pindahan yang manis itu setengah manusia dan setengah alien, bahkan aku pun menganggapnya hebat. Kalau Taniguchi, yang sedang duduk di dekatku memata-mataiku dan Haruhi, adalah seorang detektif dari masa depan, itu hal yang lebih hebat. Kalau Asakura Ryouko, yang oleh karena beberapa alasan terus tersenyum padaku, mempunyai kekuatan supranatural, maka kehidupan sekolahku bisa jadi sangat menyenangkan.
 
   
  +
“Siapa yang peduli sama kamu!”
Tapi tak satupun yang mungkin – tidak ada alien, pejelajah waktu, atau kekuatan supranatural di dunia ini. Baiklah, misalnya saja ada. Mereka ‘gak akan muncul begitu saja ke depan manusia biasa seperti kita dan berkata, “Halo, aku sebenarnya alien.”
 
   
  +
Apa yang... Apa gue salah ngomong lagi?
“MAKANYA!”
 
  +
  +
“Masalahnya, apa semua cowok di dunia itu makhluk bego? Aku keganggu terus sama pertanyaan ini dari SMP.”
   
  +
Sekarang ga makin baik, kan!
Haruhi tiba-tiba berdiri dan menjatuhkan kursinya ke belakang, membuat semua orang melihat ke arahnya.
 
   
  +
“Terus, cowok macam apa yang lo anggep ‘menarik’? Apa emang harus alien?”
“MAKANYA AKU BERUSAHA SEKUAT TENAGA!!”
 
   
  +
“Mau alien kek ato yang semacem itu kek yang penting ga normal. Bisa cowok bisa cewek.”
“Maaf saya terlambat!”
 
   
  +
“Napa sih lo nuntut banget sama yang selain manusia?”
Okabe-Sensei yang selalu optimis, yang sedang terengah-engah, terburu-buru masuk ke kelas. Ketika dia melihat seluruh kelas melihat Haruhi yang sedang berdiri, dia mengepalkan tangan, matanya menatap ke atas, dia sama terkejutnya dan hanya berdiri diam.
 
   
  +
Waktu aku mengoceh tentang itu Haruhi melihat remeh padaku.
“Hm… Pelajaran pertama akan segera dimulai!”
 
   
  +
“Abisnya manusia itu sama sekali ga asik!”
Haruhi langsung duduk lalu menatap mejanya. Huh!
 
   
  +
“Itu... mungkin lo bener.”
Aku berbalik, semuanya juga sama membalikkan kepala. Lalu Okabe-sensei, jelas sekali merasa terganggu karena huru-hara itu, terhuyung-huyung ke depan kelas lalu pura-pura batuk.
 
   
  +
Bahkan aku pun tak bisa membantah pemikiran Haruhi; kalo emang murid pindahan yang manis ini setengah-manusia setengah-alien, bahkan gue sendiri pun bakalan nganggap itu keren. Kalo Taniguchi, yang lagi duduk di dekat gue mata-matain Haruhi dan gue, ternyata seorang detektif dari masa depan, bakalan lebih keren lagi. Kalau Asakura Ryouko, yang, entah napa, selalu senyam-senyum ke gue, punya semacam kekuatan supranatural, maka kehidupan sekolah gue bakalan seasik yang bisa didapetin.
“Maaf saya telat. Eh… kalau begitu mari kita mulai!”
 
   
  +
Tapi ga satupun yang mungkin – ga ada alien, pejelajah waktu, ato kekuatan supranatural eksis di dunia ini. Oke, misalnya aja ada. Mereka ga bakalan muncul gitu aja ke depan rakyat rendahan macam kita dan ngomong, “Halo, aku sebenarnya alien lho.”
Dia mengulanginya, dan atmosfir kelas pun kembali normal – walaupun atmosfir ini sangat dibenci Haruhi!
 
   
  +
“MAKANYA!”
Mungkin, seperti beginilah hidup ini.
 
   
  +
Haruhi tiba-tiba berdiri dan menjatuhkan kursinya ke belakang, mengakibatkan semua orang menoleh dan melihatnya.
   
  +
“MAKANYA AKU BERUSAHA SEKUAT TENAGA!!”
   
  +
“Maaf saya terlambat!”
   
  +
Okabe-Sensei yang selalu optimis, yang lumayan kehabisan nafas, buru-buru masuk ke kelas. Ketika dia melihat seluruh kelas sedang melihat Haruhi yang sedang berdiri tegak, dia mengepalkan tangan, matanya menatap langit-langit, dia jadi sama terkejutnya dan hanya berdiri disana.
Tapi, sebenarnya, jauh di dalam hatiku aku iri pada Haruhi dengan pandangannya terhadap kehidupan.
 
  +
  +
“Mmm… Absensi akan segera dimulai!”
   
  +
Haruhi langsung duduk lalu memelototi sudut mejanya. Phiuh!
Dia masih berkeinginan untuk bertemu seseorang dari dunia supernatural yang lama sudah aku tinggalkan, dia tetap bersemangat untuk meraih mimpinya. Mungkin jika hanya duduk menunggu ‘gak akan ada hasil yang bisa didapatkan, jadi kita bisa bisa berusaha semampu kita. Inilah yang melatarbelakangi kenapa Haruhi melakukan perbuatan seperti menggambar garis putih di lapangan sekolah, menggambar simbol di atap sekolah, menempelkan kertas mantra dimana-mana.
 
   
  +
Aku berbalik; seluruh kelas mengikuti dan memutar kepala mereka juga. Lalu Okabe-sensei, terang sekali kebingungan karena kericuhan itu, terhuyung-huyung ke panggung kelas dan mengeluarkan batuk pelan.
Ah!
 
  +
  +
“Saya minta maaf karena telat. Eh... kalau gitu, kita mulai saja!”
   
  +
Dia mengulangi dirinya lagi, dan suasana kelas akhirnya kembali normal &mdash; walaupun suasana macam ini sangat dibenci Haruhi!
Aku tahu kapan ketika Haruhi memulai melakukan perbuatan yang aneh yang banyak orang menuduhnya sebagai penyihir. Menunggu ‘gak akan menghasilkan apa-apa, jadi kenapa ‘gak melakukan upacara aneh untuk memanggil mereka? Pada akhirnya, bagaimanapun, ‘gak ada yang terjadi. Mungkin itu alasannya mengapa Haruhi selalu terlihat “sialan – dengan – dunia – ini” di mukanya…?
 
   
  +
Mungkinkah hidup memang seperti itu?
“Hey, Kyon.”
 
   
Setelah sekolah berakhir, Taniguchi, dengan wajah yang membingungkan, mencoba memojokkanku.
 
   
Taniguchi, kamu seperti orang yang betul-betul bodoh dengan wajah seperti itu!
 
   
“Berisik! Aku gak peduli apa katamu. Ngomong-ngomong mantra apa yang kamu gunakan?”
 
   
“mantra?”
 
   
  +
Tapi jujur saja, jauh di lubuk hatiku, aku sangat iri dengan sikap Haruhi terhadap kehidupan.
Teknologi tinggi yang sudah maju tidak dapat dibedakan dari sihir! Aku ingat kalimat ini lalu bertanya kembali padanya. Dia lalu menunjuk pada bangku Haruhi yang sudah kosong.
 
  +
  +
Dia masih yakin bahwa dia akan bertemu seseorang dari dunia supranatural, keyakinan yang kutinggalkan lama sekali, dia antusias sekali berusaha meraih mimpinya. Kalau hanya duduk-duduk menunggu takkan menghasilkan apa-apa, itulah kita semua! Inilah kenapa Haruhi melakukan sesuatu seperti menggambar garis putih di lapangan sekolah, menggambar simbol di atap sekolah, menempel kertas jimat terkutuk dimana-mana.
   
  +
Hah!
“Ini pertama kalinya aku melihat Suzumiya berbicara dengan seseorang begitu lama! Apa sih yang kalian berdua bicara kan ?”
 
   
  +
Aku tak tahu kapan waktu Haruhi mulai melakukan hal-hal aneh yang membuat orang salah mengira kalau dia itu okultis. Menunggu tiada hasilnya, jadi, kenapa engga ngelakuin upacara aneh buat manggil mereka? Pada akhirnya, bagaimanapun juga, tak ada yang terjadi. Mungkin itu alasannya kenapa Haruhi selalu memakai paras "seluruh-dunia-sialan" di mukanya...?
Hmm, itu yah, apa yang kita bicarakan? Aku hanya bertanya pertanyaan yang biasa-biasa saja, hanya itu.
 
   
  +
“Hei, Kyon.”
“Wah, mengejutkan yah!”
 
   
  +
Setelah kelas berakhir, Taniguchi, dengan wajah kebingungan, mencoba memojokkanku. Taniguchi, lo bener-bener kayak orang bego tau ga dengan wajah kayak gitu!
Taniguchi terlihat begitu terkagum-kagum, lalu Kunikida muncul dari belakang Taniguchi.
 
   
  +
“Berisik! Gue gak peduli lo ngomong apa. Ngomong-ngomong pelet apa yang lo gunain?”
“Kyon, kamu kayaknya menyukai tipe cewek aneh”
 
   
  +
“Pelet apaan?”
Hey, jangan ngomong yang bisa bikin orang lain salah pengertian dong.
 
   
  +
[[Suzumiya_Haruhi_%7E_Indonesian_Version:Jilid1_Catatan_dan_Referensi_Penerjemah#Tiga_Hukum_Clarke|Setiap teknologi terdepan tiada bedanya dengan sihir!]] Aku jadi ingat kutipan ini saat bertanya balik kepadanya. Dia lalu menunjukkan jarinya pada bangku kosong Haruhi.
“Tapi ‘gak masalah kalau Kyon suka sama cewek-cewek aneh. Yang aku ‘gak ngerti tuh kenapa Suzumiya mau ngomong sama kamu? aku sama sekali ‘gak ngerti”
 
   
  +
“Ini pertama kalinya gue liat Suzumiya ngobrol sama orang lama banget! Lo berdua ngomong apaan aja sih?”
“Mungkin Kyon seaneh dia?”
 
  +
  +
Itu, ah, apa yang kita omongin ya? Gue cuman nanya pertanyaan yang biasa-biasa aja, itu aja.
   
  +
“Ini fenomena!”
“Mungkin. Maksudku nama seaneh Kyon pasti mempunyai sifat yang aneh juga kan?”
 
   
  +
Dengan sinis Taniguchi memakai ekspresi terkagum-kagum. Lalu, Kunikida muncul dari belakang Taniguchi.
Hentikan memanggilku Kyon, Kyon, Kyon! Daripada dipanggil dengan nama yang aneh begitu, panggil namaku yang asli! Paling - paling tidak aku ingin mendengar adikku sendiri memanggilku “Oniichan” (Kakak –penterjemah)
 
  +
  +
“Emang Kyon itu suka sama cewek-cewek aneh.”
   
  +
Woi, jangan ngomong yang bisa bikin orang salah paham dong.
“Aku juga ingin tahu”
 
   
  +
“Ga masalah kalo Kyon itu suka ama cewek-cewek aneh. Yang gue ga ngerti itu, kenapa si Suzumiya mau ngomong sama lo? Gue sama sekali ga ngerti.”
Suara riang dari seorang anak perempuan yang berasal entah darimana. Aku mengangkat kepalaku, dan tentu saja, aku melihat wajah lugu tersenyum, Asakura Ryoko.
 
   
  +
“Mungkin Kyon sama anehnya sama dia?”
“Aku mencoba berbicara pada Suzumiya Haruhi beberapa kali tapi sama sekali ‘gak bisa. Bisa kamu kasih tahu aku bagaimana aku seharusnya berbicara dengannya?”
 
   
  +
“Mungkin. Maksud gue, lo ga bisa ngarepin orang dengan panggilan kayak Kyon itu orang normal.”
Aku pura-pura berpikir tentang ini semua; Padahal, aku sama sekali ‘gak memikirkan apapun juga.
 
   
  +
Berhenti manggil gue Kyon, Kyon, Kyon! Daripada dipanggil dengan panggilan bodoh itu, mendingan panggil nama asli gue! Paling engga, gue pengen denger adik gue sendiri manggil gue “Onii-chan”!
“Aku ‘gak tahu tuh”
 
   
  +
“Saya juga kepengin tahu.”
Mendengar hal ini Asakura tersenyum.
 
   
  +
Suara riang seorang gadis muncul entah darimana. Kuangkat kepalaku, dan, tentu saja, melihat wajah tersenyum lugu Asakura Ryoko.
“Aku begitu lega sekarang. Dia tidak bisa terus terisolasi dari yang lain seperti itu, jadi baguslah kamu bisa berteman dengannya.”
 
   
  +
“Saya nyoba ngomong sama Suzumiya-san udah beberapa kali, tapi sama sekali ga bisa. Bisa ajarin saya gimana caranya bicara sama dia?”
Asakura Ryouko begitu peduli seakan-akan dia adalah seorang pengawas kelas. Dia terpilih menjadi pengawas kelas pada rapat kelas yang lalu.
 
   
  +
Aku bertingkah seolah-olah sedang berpikir tentang hal ini sebentar, tapi sebenarnya, aku sama sekali tidak sedang berpikir.
“Teman, ya?”
 
   
  +
“Entahlah.”
Aku menggelengkan kepala. Apakah benar-benar seperti itu? Tapi, satu-satunya ekspresi yang bisa ditunjukan Haruhi ketika kami bicara adalah wajah cemberutnya!
 
   
  +
Mendengar hal ini, Asakura tersenyum.
“Kamu harus terus menolong Suzumiya agar dia bisa menyatu dengan kita semua. Kita kan berada dalam satu kelas, jadi kita mengandalkan mu”
 
   
  +
“Saya lega banget sekarang. Dia ga bisa terus-terusan terisolasi dari teman sekelasnya kayak gitu, jadi baguslah kamu jadi temannya.”
Ah, walaupun kamu berkata begitu, aku ‘gak tahu apa yang harus aku lakukan!
 
   
  +
Asakura Ryouko peduli dengannya seperti seorang pengawas kelas, yah, dia ''memang'' pengawas kelas. Dia terpilih jadi pengawas kelas saat sesi absensi lama kami yang terakhir.
“Jika ada sesuatu yang perlu aku sampaikan kepada Suzumiya, Aku hanya tinggal menyuruhmu menyampaikannya pada Suzumiya”
 
   
  +
“Teman, ya?”
Tidak, tunggu! Aku kan bukan juru bicaranya!
 
   
  +
Aku menggelengkan kepala tak yakin. Emang bener kayak gitu ya? Tapi satu-satunya ekspresi yang Haruhi tunjukin ke aku kapan pun aku ngomong sama dia hanya wajah bersungutnya itu!
“Tolong yah?”Pintanya sungguh-sungguh, sambil merapatkan kedua telapak tangannya.
 
   
  +
“Kamu harus terus nolong Suzumiya-san biar dia bisa rukun sama semuanya. Kita toh satu kelas, jadi kami mengandalkanmu.”
Dihadapkan pada permintaanya, Aku hanya bisa meresponnya secara tidak jelas seperti “erm”, “ahh..”. Asakura mengiranya itu sebagai sebuah persetujuan dan dia tersenyum seperti bunga tulip yang berwarna kuning, lalu kembali ke kumpulan anak-anak perempuan. Ketika melihat bahwa anak-anak perempuan lain sedang memperhatikanku, rasanya hatiku seperti jatuh kedasar lembah.
 
   
  +
Hah. Kalaupun kamu ngomong begitu, aku ga tahu apa yang harus kulakukan!
“Kyon, kita teman baik kan..?”tanya Taniguchi, menatapku curiga.
 
   
  +
“Jika ada sesuatu yang perlu kusampaikan ke Suzumiya-san, saya hanya tinggal minta kamu sampaikan pesannya ke dia!”
“Apa yang terjadi disini?”
 
   
  +
Engga, tunggu! Aku kan bukan juru bicaranya!
Bahkan Kunikida, dengan mata tertutup dan kedua tangan menyilang di dada pun mengangguk.
 
   
  +
“Plis?” pintanya tulus, sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.
Ya Tuhan! Kenapa bisa, aku dikelilingi oleh orang-orang idiot ini?
 
   
  +
Berhadapan dengan permintaannya, aku hanya bisa memberi respon tak jelas seperti “erm” dan “ahh...”. Asakura anggap itu sebagai "oke", memberi senyumannya yang seperti tulip kuning, dan lalu kembali ke cewek-cewek lainnya. Setelah melihat kalau cewek-cewek lain sedang melihatku, rasanya jantungku telah jatuh kedasar lembah.
   
  +
“Kyon, kita sahabat, kan..?” tanya Taniguchi, menatapku curiga.
   
  +
“Apa yang terjadi sih disini?”
Tampaknya bahwa setiap orang di kelas perlu bertukar tempat duduk setiap bulan. Karena itu pengawas kelas Asakura menulis semua nomor tempat duduk di secarik kertas, lalu memasukannya ke sebuah kaleng kue, dan setiap orang akan mengambil dari dalamnya. Pada akhirnya, aku mendapat tempat duduk di baris kedua dari belakang dekat dengan jendela, aku bisa melihat lapangan sekolah dari situ. Tahu ‘gak siapa yang duduk tepat dibelakangku? Benar, yang selalu cemberut, Haruhi!
 
   
  +
Bahkan Kunikida, dengan mata tertutup dan kedua tangan bersilang di dada, pun mengangguk.
“Kenapa yang menyenangkan itu belum terjadi juga?! Seperti anak-anak SD yang menghilang satu persatu atau beberapa orang guru yang terbunuh di ruang kelas yang terkunci?”
 
   
  +
Ya Tuhan! Kok bisa gue dikelilingin orang-orang idiot ini?
“Jangan ngomong yang serem-serem dong!”
 
   
“Aku masuk ke grup peneliti misteri.”
 
   
“Oh?Apa yang terjadi?”
 
   
  +
Tampaknya seseorang memutuskan bahwa semua di kelas perlu tukaran bangku tiap bulan. Karena itu, sang pengawas kelas, Asakura, menulis semua nomor bangku di secarik kertas kecil, menaruhnya ke dalam [[Suzumiya_Haruhi_%7E_Indonesian_Version:Jilid1_Catatan_dan_Referensi_Penerjemah#Kaleng_Hatosabure|kaleng Hatosabure]], dan kami semua menarik darinya. Pada akhirnya, aku dapat tempat duduk di baris kedua dari belakang sebelah jendela yang menghadap lapangan. Tebak siapa yang duduk tepat dibelakangku? Benar sekali, si selalu bersungut Haruhi!
“Sangat bodoh sekali. ‘gak ada sesuatu yang menarik terjadi! Lagipula, semua anggota grup adalah pencinta novel detektif tapi tidak ada satupun yang menyerupai detektif!”
 
  +
  +
“Kenapa hal menarik itu blom kejadian juga sih?! Kayak anak-anak SD menghilang satu persatu, atau beberapa guru terbunuh di ruang kelas yang terkunci?”
  +
  +
“Jangan ngomong yang serem-serem ah!”
   
  +
“Aku gabung Kelompok Riset Misteri.”
“Yang begitu kan normal?”
 
   
  +
“Oh? Terus gimana?”
“Aku sebenarnya punya harapan pada grup peneliti supranatural”
 
   
  +
“Bloon banget. Ga ada yang menarik terjadi! Apalagi, semua anggota klubnya pencinta novel detektif, tapi ga ada satupun yang mirip detektif!”
“Benarkah?”
 
   
  +
“Bukannya itu normal?”
“tapi mereka semuanya hanya kumpulan maniak yang suka hal-hal gaib. apa yang begitu namanya menyenangkan?”
 
   
  +
“Aku sebenarnya berharap sama Kelompok Riset Supranatural.”
“tidak begitu.”
 
   
  +
“Yang bener?”
“ah, bosan! Kenapa sih di sekolah ini ‘gak ada klub yang menarik?”
 
   
  +
“Tapi, ternyata mereka semua cuman sekumpulan maniak okultisme. Itu kedengerannya asik ga menurutmu?”
“hm, ‘gak banyak yang bisa kamu lakukan tentang itu.”
 
   
  +
“Ga juga sih.”
“aku pikir setelah masuk SMU aku akan menemui suatu klub yang hebat! a~h, ini seperti mencoba mengikuti Liga Utama Baseball tapi akhirnya sadar di sekolah bahkan ‘gak ada tim Baseball nya.”
 
Haruhi terlihat seperti hantu yang siap untuk pergi mengutuk sekumpulan pembasmi hantu. Dia menatap langit dengan perasaan sebal lalu mengeluarkan nafas panjang.
 
   
  +
“Ah, men, bosen banget! Napa sih sekolah ini ga punya klub menarik yang bener?”
Haruskah aku mengasihaninya?
 
   
  +
“Yah, ga banyak yang bisa lo lakuin soal itu.”
Aku ‘gak tau klub seperti apa yang Haruhi suka. Mungkin diapun tidak tahu jawabannya. Dia hanya ingin “melakukan hal yang menyenangkan.” “sesuatu yang menyenangkan” itu apa? Apa itu termasuk memecahkan misteri pembunuhan? Mencari UFO? Atau pembasmian (setan)? Kupikir dia juga ‘gak tahu.
 
“kupikir ‘gak ada yang bisa kita lakukan mengenai hal itu.”
 
   
  +
“Kupikir setelah lulus trus masuk SMA aku bakalan nemuin klub mantep! Ha~h, ini kayak nyoba ikut Liga Utama Baseball dan terus nemu kalo di sekolah yang lo datengin bahkan ga punya tim Baseball.”
Aku memutuskan untuk mengeluarkan pendapat.
 
   
  +
Haruhi terlihat seperti semacam [[Suzumiya_Haruhi_%7E_Indonesian_Version:Jilid1_Catatan_dan_Referensi_Penerjemah#Banshee|banshee]] yang siap pergi ke ribuan biara Buddha untuk memberi beberapa kutukan. Dia tatap langit dengan hina dan menghembuskan desahan besar.
“pada akhirnya, manusia harus menghadapi apa yang ada di depan mereka. Kalau dipikir-pikir lagi, orang-orang yang tidak bisa menghadapinya mencoba menemukan atau membuat sesuatu sehingga memajukan peradaban. Seseorang ingin tebang jadi dia menciptakan pesawat. Seseorang ingin bergerak lebih cepat dan mudah maka dibuatlah mobil dan kereta. Tapi hal tersebut hanya terbatas untuk orang-orang yang memiliki kreativitas. Dengan kata lain, orang jeniuslah yang bisa membuat semuanya mungkin. Orang biasa seperti kita sebaiknya hidup secara biasa saja. Jangan terlalu impulsif hanya karena merasa berani.”
 
   
  +
Haruskah gue kasihani dia?
“Berisik.”
 
   
  +
Aku tak tahu klub macam apa yang Haruhi suka. Mungkin bahkan ''dia sendiri'' pun tak tahu jawabannya. Dia hanya ingin “melakukan hal yang menarik.” "Sesuatu yang menarik" itu apa? Apa itu termasuk memecahkan misteri pembunuhan? Mencari UFO? Atau pengusiran setan? Kupikir dia juga tak tahu.
Haruhi langsung memotong pidatoku yang agak bagus itu, atau setidaknya memang begitulah yang kupikir, lalu dia memalingkan kepalanya ke arah lain. Sepertinya sekarang dia sedang kesal. Tapi, kapan dia tidak? Aku sudah terbiasa sekarang.
 
   
  +
“Menurut gue apa boleh buat kalo emang ga ada.”
Anak ini mungkin tidak peduli dengan apa-apa – kecuali berhubungan dengan kekuatan gaib yang melewati batas kenyataan. Bagaimanapun juga, dunia ini tidak punya yang seperti itu. Benar lho, tidak ada.
 
   
  +
Kuputuskan untuk mengekspresikan pendapatku.
Hidup hukum-hukum fisika! Berkat itu, kita manusia bisa hidup dengan damai. Walaupun Haruhi merasa bosan mengenai hal ini.
 
   
  +
<!-- si Kyon lagi menggurui nih (nyoba jadi smartass). Jadi sekali lagi, "agak" dibakukan -->
Aku orang normal, kan?
 
  +
“Menilai dari hasilnya, manusia biasanya puas dengan keadaan mereka sekarang. Mereka yang tidak, tapinya, bakalan nyoba menciptakan atau menemukan sesuatu buat memajukan peradaban. Ada orang pengen terbang, jadi dia menciptakan pesawat. Ada orang pengen berpergian dengan gampang, maka dibuatlah mobil dan kereta. Tapi hal tersebut hanya dibuat oleh orang-orang yang punya bakat spesial. Hanya orang jenius yang bisa ngubah khayalan jadi kenyataan. Orang biasa kayak kita sebaiknya menjalani hidup kita sepenuhnya. Kita seharusnya ga boleh terlalu impulsif cuman karena kita ngerasa kayak petualang.”
   
  +
<!-- terang aja si Haruhi marah, lol -->
Sesuatu mungkin memicunya.
 
  +
“Berisik.”
   
  +
Haruhi memotong begitu saja ceramahku yang agak bermutu itu, atau setidaknya begitulah yang tadinya kupikir, dan memalingkan kepalanya ke arah lain. Kayaknya sekarang dia lagi murung banget. Tapi sekali lagi, kapan sih dia engga gitu? Gue udah terbiasa kok.
Mungkin itu karena percakapan di atas?
 
   
  +
Cewek ini mungkin tak peduli dengan apapun &mdash; kecuali yang berhubungan dengan kekuatan supranatural yang melewati batas kenyataan. Dunia ini ga punya yang kayak gitu, tapinya. Ga ada, beneran.
Karena aku sama sekali ‘gak melihatnya datang
 
  +
  +
Panjang umur Hukum-Hukum Fisika! Berkat kamu, kita para manusia bisa hidup dengan damai. Walau Haruhi mungkin jijik sama hal beginian.
   
  +
Aku normal, kan?
   
   
Sinar matahari yang hangat membuat semua orang di kelas mengantuk. Begitu aku hendak menganggukkan kepala karena tertidur, tarikan yang bertenaga tiba-tiba mendesak kerah bajuku lalu menarikku ke belakang. Karena tenaga yang dahsyat, kepalaku membentur ujung bangku di belakangku. Air mata keluar seketika dari mataku.
 
   
  +
Sesuatu pasti telah memicunya.
“Apa yang kamu lakukan!?”
 
   
  +
Mungkin karena percakapan diatas?
Aku langsung memutar kepalaku menghadap Haruhi, yang sabelah tangannya masih memegang kerahku, tersenyum lebar secerah matahari tropis – sungguh, ini pertama kalinya aku melihat senyuman seperti itu! Kalau senyuman bisa diukur dengan temperatur, mungkin senyumannya sepanas hutan tropis.
 
   
  +
Karena aku sama sekali tak pernah menduganya!
“aku mengerti!”
 
   
Hey, jangan ngomong sambil memuncratkan air ludahmu, dong!
 
   
“kenapa sebelumnya tidak terpikirkan, yah?”
 
   
  +
Sinar hangat matahari membuat semua orang di kelas mengantuk. Tepat ketika aku terkantuk-kantuk dan mulai tertidur, tenaga hebat tiba-tiba terkerahkan sendiri menuju kerah bajuku dan menarikku ke belakang. Karena tenaganya kuat sekali, kepalaku sampai terbentur ujung bangku di belakangku. Air mata keluar seketika dari mataku.
Mata Haruhi bersinar secerah bintang Alpha Albireo. Dia menatapku lurus. Dengan segan aku bertanya:
 
   
  +
“Lo ngapain sih!?”
“apa yang baru saja terpikir?”
 
   
  +
Kuputar kepalaku marah dan melihat Haruhi, yang satu tangannya masih menarik kerahku, tersenyum lebar secerah matahari tropis &mdash; sumpah, ini pertama kalinya aku melihat senyumnya! Kalau senyuman bisa diukur dengan suhu, mungkin senyuman dia sama panasnya dengan hutan hujan tropis.
“kalau tidak ada, aku bisa bikin itu sendiri!”
 
  +
  +
“Aku ngerti!”
   
  +
Woi, jangan muncratin ludah lo dong!
“bikin apa?”
 
   
  +
“Kenapa sebelumnya ga kepikiran ya?”
“sebuah klub.”
 
   
  +
Mata Haruhi bersinar seterang [[Suzumiya_Haruhi_%7E_Indonesian_Version:Jilid1_Catatan_dan_Referensi_Penerjemah#Bintang_Albireo_Alpha|bintang Alpha Albireo]]. Dia menatapku tajam. Dengan segan aku bertanya:
Kepalaku tiba-tiba sakit dan kupikir ini tidak ada hubungannya dengan kepalaku yang membentur meja tadi.
 
  +
  +
“Emang apa yang baru kepikiran?”
   
  +
“Kalo ga ada, ya kubikin sendiri aja!”
“sungguh? Ide yang cemerlang. Apa kamu bisa melepaskanku sekarang?”
 
   
  +
“Bikin apaan?”
“Sikap apaan tuh? Kamu harusnya lebih senang!”
 
   
  +
“Bikin KLUB!”
“tentang ide mu itu, kita bicarakan nanti. Sekarang aku ingin kamu memikirkan dimana kamu sekarang, LALU kamu bisa menceritakan kegembiraanmu itu nanti. Sekarang tenang dulu yah?”
 
   
  +
Kepalaku tiba-tiba sakit, dan kukira tak ada hubungannya dengan kepalaku yang kebentur meja barusan.
“maksudnya apa?”
 
   
  +
“Beneran? Ide yang sungguh cemerlang. Bisa lepasin gue sekarang?”
“kelas masih berlangsung.”
 
   
  +
“Sikap apaan tuh? Kau harusnya lebih senang!”
Haruhi akhirnya melepaskan kerahku. Aku mengusap belakang kepalaku yang mati rasa sambil berputar kembali. Aku menyadari semuanya terlihat kaku. Guru bahasa Inggris yang baru lulus, dengan kapur di tangannya, menatapku sambil terlihat seperti akan menangis.
 
   
  +
“Soal ide lo tadi, kita omongin ntar. Sekarang ini, gue pengen lo mempertimbangkan dimana kita sekarang. BARU lo bisa bagi-bagi suka-cita elo itu sama gue. Tapi pertama-tama, tenang dulu, oke?”
Aku memberi isyarat kepada Haruhi untuk segera duduk lalu mengangkat bahu kepada guru yang malang itu.
 
  +
  +
“Maksudnya apa?”
   
  +
“Pelajaran masih berlangsung.”
Silakan lanjutkan pelajarannya.
 
   
  +
Haruhi akhirnya melepas kerahku. Aku mengusap belakang kepalaku yang mulai mati rasa dan perlahan berputar kembali. Aku perhatikan seluruh kelas tampak total terkagum-kagum. Guru bahasa Inggris pemula yang baru lulus, dengan kapur di tangannya, menatapku dan kelihatannya seperti akan menangis.
Aku dengar Haruhi berkomat-kamit tentang sesuatu sambil duduk dengan segan. Guru lalu melanjutkan menulis pada papan tulis…
 
  +
  +
Kuberi isyarat pada Haruhi untuk segera duduk dan mengangkat bahu pada guru malang itu.
   
  +
"Silahkan, lanjutkan pelajarannya, Bu."
Membuat klub baru, yah?
 
   
  +
Kudengar Haruhi bergerutu tentang sesuatu sebelum dia duduk dengan segan. Guru lalu lanjut menulis pada papan tulis...
Hmmm….
 
   
  +
Bikin klub baru, ya?
Masa sih, aku sudah dihitung jadi anggotanya?
 
   
  +
Hmmmm...
Otak besarku yang sakit menambah kekhawatiranku.
 
   
  +
Jangan-jangan gue disuruh kerjasama lagi.
   
  +
Cerebrumku yang sakit hanya mulai menambah kekhawatiranku saja.
   
  +
<noinclude>
'''(Chapter 1 Selesai)'''
 
  +
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
<!-- otsukare-sama....... nice work...... sorry if there's too much mistakes in my editing; h3lm1-kun -->
 
  +
|-
  +
| Balik ke [[Suzumiya_Haruhi_%7E_Indonesian_Version:Jilid1_Prolog|Prolog]]
  +
| Kembali ke [[Suzumiya_Haruhi_%7E_Indonesian_Version|Halaman Utama]]
  +
| Lanjut ke [[Suzumiya_Haruhi_%7E_Indonesian_Version:Jilid1_Bab02|Bab 2]]
  +
|-
  +
|}
  +
</noinclude>

Latest revision as of 08:46, 7 September 2012

Bab 1[edit]

Setelah aku masuk SMA dekat rumah, langsung saja kusesali, karena sekolah yang kudatangi itu duduk di atas bukit yang tinggi, yang terjal. Bahkan saat musim semi, aku menjadi gerah dan keringatan hanya karena mendaki jalan yang rasanya seperti mendaki gunung. Setiap kali kuingat ini, dan fakta bahwa untuk tiga tahun kedepan aku harus mengulang hal yang sama setiap pagi, aku sudah merasa capek dan muram lagi. Aku agak kesiangan hari ini, dan mungkin karena itulah aku berjalan agak cepat, atau barangkali karena itulah aku sangat lelah. Bisa saja aku bangun 10 menit lebih cepat, tapi seperti yang kalian semua tahu, tidur terbaikmu adalah tepat sebelum waktu bangun. Aku tak ingin menyia-nyiakan 10 menit yang berharga itu. Jadi kusadari aku memang takkan bisa bangun pagi, yang berarti aku harus mengulang latihan pagi ini selama tiga tahun ke depan. Ini terlalu menyedihkan.

Itu adalah alasan muka cemberutku waktu upacara penerimaan murid baru. Semua orang di dalam aula besar berparas ‘memulai perjalanan baru’ yang tak berguna di muka mereka. Kalian tahu lah, paras unik: penuh harapan, namun juga penuh ketakpastian yang setiap murid baru kenakan saat mereka masuk ke sekolah baru. Untukku, tidak begitu — banyak teman sekelas dari SMP-ku dulu yang juga masuk sekolah ini. Singkatnya, beberapa temanku juga ada di sini. Jadinya, aku tak terlihat secemas — atau segembira — orang lain.

Laki-laki pakai jas blazer, dan perempuannya pakai seragam sailor. Wow, kombinasi yang lumayan aneh ya. Kali si kepala sekolah yang lagi ngasih ceramah monoton punya semacam fetish sama seragam sailor. Saat aku berpikir hal tak berguna ini, upacara bodoh ini akhirnya selesai. Aku, bersama teman-teman tak-begitu-menyambut sekelas yang baru, masuk ke ruang kelas 1-5.

Guru wali kelas kami, Okabe-sensei, dengan senyuman berlatih-selama-satu-jam-di-depan-cermin dia, berjalan ke depan kelas dan memperkenalkan diri. Pertama-tama dia berkata bahwa dia adalah guru olahraga, dan pelatih tim handball. Terus, dia lanjut ke hari-hari silam, seperti bagaimana, dulu ketika dia masih mahasiswa, dia pernah main handball di sebuah tim, bahkan memenangkan kejuaraan, dan bagaimana sekolah ini kurang sekali pemain handball, jadi siapapun yang masuk tim akan langsung jadi reguler. Dan lalu, dia melanjutkan tentang bagaimana handball itu olahraga yang paling menarik di dunia, dan seterusnya dan sebagainya, sebagainya, sebagainya. Tepat ketika aku berpikir dia takkan pernah berhenti, tiba-tiba dia berseru:

“Sekarang, kenapa kalian tidak memperkenalkan diri satu-satu?”

Hal semacam ini memang sudah diduga, jadi aku tidak benar-benar kaget.

Satu demi satu, anak-anak yang ada di sebelah kiri kelas mulai memperkenalkan diri mereka. Mereka mengacungkan tangan, lalu mengumumkan nama, asal sekolah mereka, dan hal sepele lainnya, seperti hobi atau makanan favorit. Sebagian bergumam melewatinya, beberapa memperkenalkan diri dengan menarik, sementara beberapa mencoba menceritakan lelucon garing yang menurunkan suasana ruangan. Saat orang lain memperkenalkan diri mereka, giliranku makin mendekat. Aku mulai gugup! Pastinya kau tahu bagaimana perasaanku waktu itu, kan?

Setelah aku berhasil menyelesaikan perkenalan yang kupikir baik-baik, yang pendek tidak gagap sebaik-baiknya yang kubisa, aku duduk, merasa lega setelah selesai melakukan sesuatu yang tak menyenangkan tapi tak terelakkan. Orang di belakangku berdiri untuk gilirannya dan — ah, mungkin aku takkan pernah lupa seumur hidupku — mengucapkan kata-kata yang akan jadi legenda.

“Namaku Suzumiya Haruhi, aku lulus dari SMP East.”

Sampai sini perkenalannya masih normal, jadi aku pun tak perlu repot menengok ke belakang untuk melihat. Aku hanya menatap ke depan dan mendengar suara renyahnya.

“Aku ga ada minat sama orang biasa. Kalau diantara kalian ada alien, penjelajah waktu, slider, atau esper, silakan, temui aku! Itu aja.”

Mendengar hal tersebut, aku tak bisa tidak menengok.

Dia memiliki rambut hitam panjang. Wajahnya yang manis dipenuhi dengan rupa berani dan menantang saat seluruh kelas menatapnya. Kesungguhan dan ketetapan hatinya bersinar melalui mata berkilaunya dan alis matanya yang panjang. Bibir tipisnya tertutup rapat. Inilah kesan pertamaku pada gadis ini.

Aku masih ingat sebagaimana berkilaunya leher putihnya — berdiri dis ana adalah kecantikan yang menakjubkan.

Haruhi, dengan mata provokatifnya, pelan-pelan mengamati kelas, berhenti untuk untuk memelototiku (mulutku terbuka lebar), dan lalu duduk tanpa banyak tersenyum.

Tadi itu ngelucu ya?

Ketika itu aku yakin di pikiran semua orang dipenuhi dengan tanda tanya, dan semuanya bingung apa seharusnya reaksi mereka. “Gue harus ketawa?” tiada yang tahu.

Nah, dilihat dari kesimpulannya, itu bukan lelucon ataupun bahan tertawaan, karena Haruhi tak pernah berkata semacam itu.

Dia selalu serius.

Ini berdasarkan pengalaman masa laluku — jadi tak bisa salah.

Setelah sunyi gaib melayang ke sekeliling ruang kelas selama sekitar tiga puluhan detik, guru wali kelas, dengan ragu-ragu, mengisyaratkan murid selanjutnya untuk melanjutkan, dan suasana tegang terangkat.


Begitulah cara kami bertemu pertama kali satu sama lain.

Dengan khidmat aku bersumpah— aku pengin sekali percaya kalau ini semua hanya kebetulan.



Setelah menarik perhatian semua orang di hari pertama, Haruhi kembali jadi gadis SMA lugu.

Ini adalah saat tenang sebelum badai! Aku akhirnya mengetahui semua itu sekarang.

Omong-omong, semua murid di sekolah ini datang dari salah satu dari keempat SMP di kota ini — orang-orang dengan nilai ujian biasa-biasa saja. Termasuk, tentu saja, SMP East; Oleh karena itu, seharusnya ada murid yang lulus bareng Haruhi yang tahu arti kebisuan Haruhi. Tapi sayangnya, aku tak kenal seorang pun murid lulusan SMP East; Makanya, tak ada seorang pun yang bisa menjelaskan padaku seberapa seriusnya situasi ini. Akibatnya, beberapa hari setelah perkenalan yang konyol itu, aku melakukan sesuatu hal yang sangat bodoh — aku mencoba mengajaknya bicara sebelum pelajaran dimulai!

Domino ketidakberuntunganku sudah mulai berjatuhan, dan akulah orang yang mendorong blok pertama.

Jadi begini, ketika Haruhi duduk diam di kursinya, dia terlihat seperti gadis manis yang normal. Lagipula, aku memang seharusnya duduk di depannya, dan kupikir supaya sekalian juga bisa dekat dengannya. Aku benar-benar berpikir ini akan berhasil. Naif sekali aku. Seseorang, tolong dong, pukul aku biar sadar.

Tentu saja, aku memulai percakapannya dengan insiden waktu itu.

“Hei!”

Kuputar kepalaku ke belakang, dengan senyuman santai di wajahku.

“Hal yang kamu sebutin pas perkenalan itu, semuanya serius tuh?”

Dengan tangan terlipat di dadanya, bibir tertutup rapat, Suzumiya Haruhi mempertahankan postur tak ramahnya, lalu menatap langsung ke mataku.

“Hal macam apa?”

“Hal soal alien dan semua itu lho.”

“Apa kamu alien?”

Dia terlihat serius.

“...bukan, tapi—”

“Kalo kamu bukan, terus, kamu mau apa?”

“...Engga, engga apa-apa.”

“Kalau gitu, jangan ngomong denganku. Kamu buang-buang waktuku aja”

Pandangannya dingin sekali hingga kudapati diriku menggagapkan ”maaf” sebagai balasannya, bahkan sebelum aku menyadarinya. Suzumiya Haruhi lalu melepaskan tatapannya dariku dengan penuh kehinaan, dan mulai mengernyit ke papan tulis.

Tadinya aku mau balas bicara satu atau dua kalimat, tapi aku tak bisa berpikir apapun yang baik untuk diucapkan. Untunglah, pada saat itu, guru wali kelas datang ke ruang kelas, dan aku terselamatkan.

Bingung, kuputar kepalaku kembali ke mejaku. Lalu aku sadar ada beberapa teman sekelas sedang melihatku dengan paras tertarik pada wajah mereka. Setelah aku balik memandang mereka, bagaimanapun juga, aku menyadari kalau mereka punya ekspresi yang sama pada wajah mereka seolah-olah mereka mau bilang, "engga heran". Beberapa dari mereka bahkan menganggukan kepala merasa simpati.

Entah bagaimana aku merasa terganggu! Tapi kemudian, aku jadi tahu bahwa mereka semua itu lulusan SMP East.



Mengingat kontak pertamaku dengan Haruhi berakhir buruk tiada hasil, kusadari aku harus jaga jarak dengannya sementara ini, demi keselamatan. Dengan pikiran seperti itu, satu minggu pun berlalu.

Tapi tetap saja, selalu saja ada orang-orang naif yang ingin mengobrol dengan Suzumiya Haruhi, yang selalu mengerutkan alisnya dan mengerucutkan bibirnya.

Kebanyakan dari mereka itu cewek-cewek rewel yang hanya ingin membantu teman perempuan sekelas yang kesepian. Ini hal yang baik, tapi, paling tidak mereka seharusnya memgecek target mereka dulu sebelumnya!

“Hai, kamu nonton sinetron ga semalem? Yang jam 9 itu lho.”

“Engga.”

“Eh, kenapa engga?”

“Sapa peduli.”

“Kamu harus nonton deh. Nonton dari tengah-tengah juga, ga bakalan jadi pusing. Perlu kuceritain cerita sebelum-sebelumnya?”

“Sekarang, pergi sana. Kamu ngeganggu!”

Yah, begitulah kejadiannya.

Kasar dan tak berekspresi. Seharusnya dia bisa saja memperlihatkan mereka satu ons tata krama! Caranya itu hanya akan membuat si korban percaya bahwa dia melakukan kesalahan. Pada akhirnya mereka tak punya pilihan selain berkata, “Gitu yah... kalau gitu, aku...”, dan bertanya pada dirinya sendiri, “Apa aku salah omong ya?”, sebelum merengek pergi.

Ga usah sedih gitu; kamu ga salah. Masalahnya ada pada otak Suzumiya Haruhi, bukan kamu.



Walau aku tak keberatan makan sendirian, aku tak ingin orang lain berpikir aku ini penyendiri sementara yang lain asik makan siang bersama teman mereka. Itulah kenapa aku makan siang bersama Kunikida, teman satu SMP-ku dulu dan cowok bernama Taniguchi dari SMP East, yang bangkunya dekat denganku.

Dan akhirnya, kebetulan kami bergosip soal Haruhi.

“Lo nyoba ngobrol ama Suzumiya, kan?” tanya Taniguchi tiba-tiba.

Aku mengangguk.

“Dan, terus, dia ngomong soal hal-hal aneh dan ngehina lo dengan dingin?”

Bener banget.

Taniguchi menaruh potongan telur rebus ke dalam mulutnya, mengunyah, lalu berkata, mulutnya penuh:

“Kalau lo tertarik sama tuh cewek, gue ga bakalan cerewet soal itu. Yang bisa gue saranin cuman, 'Lupain aja!' Loe harusnya udah tahu sekarang — yeah, dia itu sinting.”

Dia menambahkan bahwa dia sekelas denganya tiga tahun berturut-turut, dia mengenalnya baik sekali. Lalu, dia mulai menceritakan anekdot tentangnya.

”Tingkah lakunya itu ga masuk di akal. Gue tadinya pikir paling engga dia bakalan berusaha ngontrol dirinya sendiri begitu masuk SMA, tapi ternyata, engga tuh. Lo denger perkenalannya, kan?”

“Maksudmu soal alien itu?”

Kunikida, yang sedang sibuk memisahkan tulang dari ikan gorengnya, menyela.

”Benar, yang itu. Bahkan pas SMP, dia selalu ngomong dan ngelakuin banyak hal aneh. Ya, gue jadi inget -- insiden vandalisasi sekolah, contohnya!”

“Apa tuh?”

“Loe tahu alat yang dipake buat ngegambar garis dengan kapur putih, kan? Apa namanya ...yah, pokoknya itu, suatu malam dia nyelinap ke sekolah, dan, dengan tuh alat, ngegambar piktogram yang besar banget di tengah-tengah lapangan atletik.”

Taniguchi mulai menyeringai — mungkin dia lagi mengenang kejadian itu.

“Ngagetin gue banget! Gue pergi ke sekolah pagi-pagi, dan gue lihat ada lingkaran dan segitiga gede di tanah. Gue ga tahu apa tuh maksudnya, jadi gue pergi ke lantai empat biar dapet pandangan lebih luas. Itupun ga membantu — gue masih ga tahu itu simbol apaan.”

“Ah, kayaknya saya pernah ngeliatnya. Kayaknya di koran juga ada cerita itu? Ada gambar yang diambil dari udara! Simbol itu kelihatannya kayak garis-garis Nazca yang rusak.” Kata Kunikida.

Gue ga pernah denger yang kayak begituan.

“Iya! Gue tau! Judulnya kalo ga salah ‘Bentuk misterius di Lapangan Lari SMP’, ya? Yah, coba tebak siapa yang ngelakuinnya?”

“Jangan bilang kalo itu dia.”

“Dia sendiri ngaku kok, jadi ga salah lagi. Tentu aja, ngagetin para guru. Dia dipanggil ke kantor kepala sekolah. Semua guru ada di sana dan mereka semua menginterogasinya.”

“Terus, kenapa dia ngelakuin itu?”

“Menegetehe”, jawab Taniguchi datar, sambil berusaha menelan semulut penuh nasi.

“Gue denger dia nolak ngomong apapun. Jelas aja, pas dia melototin elo, lo cenderung nyerah sama apapun yang mau lo omongin. Beberapa bilang dia ngegambar simbol itu buat manggil UFO, yang lain bilang kalo itu tuh simbol magis dan digunain buat manggil setan, atau dia lagi nyoba ngebuka gerbang ke dunia paralel segala lah, bla-bla-bla Banyak spekulasinya, tapi selama si pelaku nolak berbicara, kita mungkin ga bakalan pernah tahu apakah rumor itu bener atau engga. Sampai hari ini, masih jadi misteri.”

Karena beberapa alasan, gambaran Haruhi, dengan rupa serius, sibuk menggambar garis di tengah-tengah lapangan sekolah di malam hari, melayang-layang di benakku. Dia pasti sebelumnya ngambil alat gambar dan bubuk kapurnya dari gudang penyimpanan; bahkan mungkin juga dia bawa lampu senter! Di bawah temaramnya lampu kuning Suzumiya Haruhi mungkin terlihat suram, kalo ga tekun... OK, ini cuman imajinasi gue aja.

Tapi, jujur aja, keliatannya Suzumiya Haruhi benar-benar mengharapkan UFO atau monster, atau bahkan gerbang dimensi, buat muncul. Dia mungkin kerja keras semalam penuh di lapangan, tapi, karena ga ada yang muncul, yang tersisa padanya hanyalah depresi, pikirku sendiri.

“Bukan cuman itu doang!”

Sekarang Taniguchi selesai makan siang, dan sedang membereskan bangkunya. Dia melanjutkan:

“Pas gue dateng ke kelas pagi-pagi dan nemuin semua meja udah dikeluarin ke koridor, dan ada gambar bintang-bintang gede di atap sekolah. Kali lain, dia keliling ga jelas ke sekitar sekolah nempelin O-fuda di mana-mana... lo tahu kan, jimat itu, kayak yang ditempelin di jidatnya vampir cina. Gue bener-bener ga ngerti dia.”

Betul, Suzumiya Haruhi sedang tidak ada di kelas saat itu, kalau tidak kami takkan mengobrol tentang ini. Tapi juga, kalaupun dia mendengar kami, dia mungkin takkan peduli. Biasanya, Suzumiya Haruhi langsung pergi keluar kelas setelah jam keempat, terus kembali tepat sebelum jam kelima. Dia tidak bawa bekal, jadi kuduga dia pergi ke kantin buat makan siang; tapi makan siang takkan makan waktu satu jam penuh, kan? Apalagi, tiap akhir jam pelajaran, dia menghilang. Dia pergi kemana sih ngomong-ngomong...?

“Tapi, dia tekenal banget di kalangan murid cowok!”

Taniguchi mulai lagi:

“Dia manis, atletis, dan cerdas. Walaupun dia itu aneh, kalau dia tetap tutup mulut, dia sebenarnya lumayan juga.”

“Darimana kamu dengar semua gosip ini?” tanya Kunikida, kotak bekalnya dua kali lebih penuh dari punya Taniguchi.

“Satu waktu dia nonstop gonta-ganti pacar. Dari yang gue denger, hubungan paling lama bertahan selama seminggu, yang paling sebentar cuman 5 menit setelah jadian. Sebagai tambahan, satu-satunya alasan Suzumiya mutusin pacarnya adalah ‘aku ga punya waktu buat bergaul sama manusia normal.'”

Kayaknya si Taniguchi ini ngomong dari pengalaman. Setelah sadar akan tatapanku, dia jadi sedikit gugup.

“Gue denger ini dari orang lain! Sumpah! Karena beberapa alasan, dia ga pernah nolak kalo ditembak. Pas kelas tiga, semuanya ngerti; jadi, ga ada lagi yang pengen nembak dia. Gue punya perasaan aneh kalo sejarah itu bakal terulang lagi di SMA. Jadi, gue peringatin lo sekarang: nyerah aja lah. Ini nasehat dari seseorang yang dulu sekelas dengannya.”

Ngomong terserah lo lah, gue ga tertarik sama dia dengan cara gitu.

Taniguchi menaruh kotak bekal kosongnya ke dalam tas, dan tertawa tertawa sinis.

“Kalau gue harus milih, gue bakal milih dia, Asakura Ryouko.”

Taniguchi menganggukkan dagunya ke arah kumpulan cewek-cewek beberapa bangku dari sini. Di tengah-tengah grup yang sedang ngobrol, dengan senyum cerah di wajahnya, ada Asakura Ryouko.

“Berdasarkan analisis gue, dia tentunya masuk ke dalam daftar ‘Tiga Top Cewek Kelas Satu Termanis’.”

“Lo ngecek semua murid cewek kelas satu di sekolah ini?”

“Gue kelompokin dari kategori A sampai D, dan percaya ga, gue cuman ingat nama cewek-cewek A. Kita ngalamin masa SMA cuma sekali — gue pengen ngalamin dengan sebahagia mungkin.”

“Jadi Asakura Ryouko itu kategori A?” tanya Kunikida.

“Dia itu AA+! Ayolah, lihat aja wajahnya. Kepribadiannya udah pasti nomor wahid.”

Walaupun mengabaikan komentar egois Taniguchi, Asakura Ryouko memang cewek manis yang lumayan beda jenis dengan Suzumiya Haruhi.

Pertama, dia itu sangat cantik; tambah lagi dia selalu memberi kesan peduli, seperti tersenyum. Kedua, kepribadiannya cocok dengan penjelasan Taniguchi. Hari-hari ini, tak ada lagi orang yang berani mengajak Suzumiya Haruhi bicara, kecuali Asakura Ryouko. Sebagaimana bengisnya Suzumiya Haruhi, Asakura Ryouko masih terus mencoba mengobrol dengannya dari waktu ke waktu. Dia begitu bersemangat hingga hampir berperan seperti pengawas kelas. Ketiga, dari caranya menjawab pertanyaan dari guru saja, kamu akan tahu dia itu sangat cerdas. Dia selalu menjawab benar pertanyaan-pertanyaannya — di mata para guru mungkin dia murid teladan. Terlebih lagi, dia populer sekali dengan cewek-cewek. Sekolah baru berlangsung seminggu, tapi dia sudah berhasil di perjalanannya untuk jadi pusat murid cewek di kelas. Seolah-olah dia itu jatuh dari langit dan dilahirkan dengan daya tarik mengagumkan!

Dibandingkan dengan si Suzumiya Haruhi yang kadang-kadang cemberut, terobsesi sama fiksi ilmiah, pilihannya sudah jelas. Tetapi sekali lagi, kedua kandidat ini mungkin keduanya terlalu tinggi di atas bukit bagi pahlawan kita Taniguchi untuk dipanjat. Tak mungkin dia akan dapat salah satu dari keduanya.



Waktu itu masih bulan April, dan pada waktu itu, Suzumiya sebenarnya berprilaku cukup baik. Bagiku, ini merupakan bulan yang lumayan tenang. Paling tidak, akan ada satu bulan lagi sebelum Haruhi mulai tak terkendali.

Tapi pada saat seperti ini pun, aku sudah meneliti beberapa tingkah eksentrik Haruhi.

Kenapa bisa-bisanya aku bilang begitu?

Petunjuk #1: dia mengubah gaya rambutnya setiap hari. Lebih jauh lagi, menurut pengamatanku, ada semacam pola disana. Hari senin, Haruhi datang ke sekolah dengan rambutnya tergerai, tanpa diikat sama sekali. Hari selanjutnya, dia mengikat kuncir kuda. Walaupun aku benci mengakuinya, gaya rambut itu memang terlihat bagus untuknya. Lalu, dia akan mengikatnya jadi dua kuncir kuda di hari berikutnya, kemudian tiga kuncir kuda pada hari berikutnya; di hari jum’at, ada empat ikatan-pita kuncir kuda di kepalanya. Tindakannya penuh teka-teki!

Senin = 0, Selasa = 1, Rabu = 2...

Dengan bertambahnya hari di satu minggu, begitu juga jumlah kuncir kudanya; hari senin selanjutnya, seluruh proses akan dimulai lagi dari awal. Aku tak mengerti kenapa dia melakukan itu. Melanjutkan logika sebelumnya, dia seharusnya punya enam kuncir kuda di hari minggu... tiba-tiba aku ingin melihat gaya rambut hari minggunya.

Petunjuk #2: Saat pelajaran olahraga, kelas 1-5 dan 1-6 digabungkan dan belajar bersama, dengan yang cewek dipisah dari yang cowok. Ketika ganti pakaian, para cewek pergi ke ruang kelas 1-5, dan cowok ke ruang kelas 1-6; ini artinya setiap pelajaran sebelumnya berakhir, cowok-cowok dari kelas kami (1-5) akan pindah ke ruangan lain untuk ganti pakaian.

Sayangnya, Haruhi benar-benar tak mengindahkan cowok-cowok di kelas kami, dan membuka seragam sailornya sebelum kami sempat pindah kelas.

Seolah-olah, baginya, kami ini buah labu atau kantung kentang, dan dia sama sekali tak peduli. Tanpa ekspresi apa-apa, dia melempar seragamnya ke atas meja dan mulai memakai seragam olahraganya.

Pada saat itu, Asakura Ryouko mendorong para cowok yang terbelalak, terpaku, termasuk aku, keluar dari kelas.

Menurut desas-desus, para cewek, dengan Asakura Ryouko sebagai pemimpinnya, mencoba membicarakan masalah ini dengan Haruhi, tapi tiada hasil. Setiap pelajaran olahraga, Haruhi mengabaikan seluruh kelas dan membuka seragamnya tanpa banyak lirik-lirik. Dan jadinya, kami para cowok diminta meninggalkan kelas di detik bel berbunyi — atas permintaan Asakura Ryouko.

Tapi, beneran lho, Haruhi punya badan yang sangat bagus... argh, ini bukan saatnya ngomongin hal kayak gitu.

Petunjuk #3: setiap akhir pelajaran, Haruhi akan pergi AWOL. Ketika bel sekolah berbunyi, dia akan menarik tasnya lalu melesat keluar kelas. Logisnya, aku pikir dia langsung pulang ke rumah; tak pernah kepikiran olehku kalau dia berpartisipasi di semua klub ekskul di sekolah. Suatu hari, kalian akan melihatnya mengoper bola di Klub Basket, dan selanjutnya kalian akan melihatnya menjahit sarung bantal di Klub Menjahit. Hari berikutnya, kalian akan melihatnya mengayunkan tongkat di Klub Hoki. Kupikir dia juga gabung sama Klub Basket. Jadi, pada dasarnya, dia mengikuti semua klub olahraga di sekolah. Tentu saja semua klub mengincarnya untuk jadi anggota, tentu saja, tapi dia menolak semuanya. Penjelasannya adalah: ”Menjengkelkan buatku ngelakuin aktivitas klub yang sama tiap hari.” Pada akhirnya, dia tidak mengikuti klub yang manapun juga.

Maunya apa sih nih anak?

Dari hal ini saja, kabar “cewek kelas satu yang aneh” secara instan menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Dalam waktu sebulan, tak ada seorang pun yang tak mengenal siapa Suzumiya Haruhi. Percepat ke bulan Mei, orang-orang mungkin masih banyak yang belum tahu siapa kepala sekolah di sini, tapi nama Suzumiya Haruhi sudah terkenal.

Jadi, dengan segala hal yang terjadi — dan Haruhi selalu jadi penyebabnya — Mei telah tiba.

Walau secara pribadi aku pikir bahwa takdir itu bahkan kurang bisa dipercaya daripada monster Loch Ness, kalau takdir, di suatu tempat yang tak diketahui, aktif mempengaruhi hidup manusia, roda takdirku mungkin sudah mulai berputar. Bisa dibayangkan, di suatu gunung terpencil, mungkin ada orang tua yang sibuk menulis ulang takdirku.

Setelah liburan Golden Week berakhir, aku berjalan ke sekolah, tak yakin hari apa hari ini. Cuaca Mei yang cerah tak seperti biasanya meledakkan kulitku dan membuatku mandi keringat – jalan bukit terjal pun seperti tidak berujung. Bumi ini pengen apaan sih? Apa kena demam kuning atau semacamnya gitu?

“Yo, Kyon.”

Dari belakang, seseorang menepuk pundakku. Dia adalah Taniguchi.

Jas blazernya tergantung serampangan di pundaknya, dan dasinya kusut dan menceng ke satu sisi.

“Pas hari libur Golden Week pergi kemana?”

“Gue ngajak adik gue ke rumah nenek di desa.”

“Bosen banget.”

“Oke, terus lo sendiri kemana?”

“Kerja paruh waktu tiap hari.”

“Lo ga keliatan kayak orang macam gitu.”

“Kyon, lo ini dah SMA sekarang — ngapain juga masih bawa-bawa adik ke rumah kakek dan nenek lo? Elo seenggaknya harus keliatan kayak murid SMA.”

Ngomong-ngomong, Kyon itu aku. Bibiku lah yang pertama memanggilku seperti itu. Beberapa tahun yang lalu, bibi lama-tak-bertemu-aku tiba-tiba bicara kepadaku: “Astaga, Kyon sekarang sudah besar yah!” Adikku pikir kalau itu lucu dan mulai memanggilku Kyon. Setelah itu sisanya adalah sejarah — teman-temanku, mendengar adikku memanggilku Kyon, memutuskan untuk mengikutinya. Semenjak hari itu, panggilanku berubah jadi Kyon. Sialan, dulu adikku memanggilku "Onii-chan"!

“Udah jadi tradisi di keluarga gue kumpul ama saudara-saudara selama liburan Golden Week,” jawabku sambil mendaki bukit.

Sensasi berkeringat membuatku merasa tak nyaman.

Taniguchi, panjang nafasnya seperti biasa, sesumbar tentang bagaimana dia bertemu dengan banyak gadis cantik di tempat kerjanya, dan bagaimana dia berencana menggunakan uang tabungannya untuk berkencan dan semacamnya. Terus terang saja, topik seperti mimpi yang orang-orang punya, atau betapa mengagumkan atau lucunya piaraan seseorang, adalah, dalam kamusku, topik yang paling membosankan di dunia ini.

Saat aku mendengarkan jadwal kencan Taniguchi (tampaknya dia tak dihentikan oleh masalah kecil seperti bagaimana ketiadaan orang yang mau pergi dengannya), kami tiba di gerbang sekolah.


Suzumiya Haruhi sudah duduk di belakang bangkuku, melihat ke luar, ketika aku memasuki kelas. Tampak dua penjepit rambut seperti roti bundar di kepalanya; jadi hari ini hari rabu yah. Setelah duduk – karena beberapa alasan yang aku tak tahu, penjelasan yang masuk akal mungkin hanyalah aku yang jadi gila - sebelum kusadari, kudapati diriku sekali lagi bicara dengan Suzumiya Haruhi.

“Lo ganti gaya rambut tiap hari gara-gara alien?”

Seperti robot, Suzumiya Haruhi pelan-pelan memutar wajahnya menghadapku, dan menatapku dengan ekspresi yang sangat serius sekali. Sangat menakutkan sekali, sebenarnya.

“Kapan kamu merhatiin?”

Nada bicaranya sangat dingin seakan-akan sedang bicara dengan batu di pinggir jalan.

Aku berhenti sebentar untuk berpikir.

“Hmmm… baru-baru ini.”

“Yang bener?”

Haruhi menyandarkan dagu pada telapak tangannya, terlihat jengkel.

“Kupikir setiap harinya ngasih image yang berbeda.”

Ini pertama kalinya kami mengobrol dengan baik dan benar!

“Buat warna: Senin warna kuning, Selasa warna merah, Rabu biru, Kamis hijau, Jum’at warna emas, Sabtu coklat, dan Minggu warna putih.”

Aku agak mengerti apa yang dia katakan.

“Jadi, berarti, kalau pake angka buat ngeganti warna, Senin itu nol dan Minggu itu enam, kan?”

“Benar.”

“Tapi, bukannya seharusnya Senin itu satu.”

“Sapa yang nanya pendapat kamu?”

“...Iyah, bener sih?”

Sepertinya tak puas dengan jawabanku, Haruhi bersungut padaku. Aku hanya duduk diam tak nyaman disana dan membiarkan waktu berlalu begitu saja.

“Apa aku pernah ngeliat kamu sebelumnya? Dulu banget?”

“Kayaknya engga.”

Setelah kujawab, Okabe-sensei masuk kelas, dan percakapan pertama kami pun berakhir.



Walaupun percakapan pertama kami tiada apa-apanya untuk ditulis di rumah, ini bisa jadi titik perubahan yang kucari-cari!

Dan lagi, satu-satunya kesempatanku mengobrol dengan Haruhi hanya waktu sebentar sebelum absensi, karena dia tak pernah ada di tempat waktu istirahat. Tapi karena aku duduk di depannya, aku cukup yakin kesempatan mengobrol dengannnya lebih besar daripada orang lain.

Tapi hal yang paling mengejutkanku adalah Haruhi benar-benar menanggapiku dengan semestinya. Tadinya kupikir dia bakal jawab, “Dasar bego, diam kau! Peduli amat!” Kukira aku sama anehnya sama dia, karena benar-benar punya keberanian berbicara dengannya.

Karena itu, waktu aku datang ke sekolah hari esoknya dan menemukan bahwa, daripada mengikat rambutnya jadi tiga kuncir kuda, Haruhi telah memotong pendek rambut panjang dan semampainya, aku merasa agak depresi.

Rambut sepinggang telah dipendekkan jadi potongan sebahu. Maksudku, walaupun gaya rambut itu memang terlihat cocok dengannya, dia memotongnya sehari setelah aku mengobrol tentang rambutnya! Jelas-jelas disengaja, kan?

Waktu kubilang ke Haruhi tentang itu -

“Engga juga.”

Dia menjawab dengan nada bicara jengkel khasnya, tapi tak menunjukkan semacam ekspresi spesial. Dia takkan memberitahuku alasannya.

Tapi aku sudah menduganya, jadi tak apa-apa.



“Lo beneran nyobain ikutan semua klub?”

Dari hari itu seterusnya, berbicara dengannya sebentar sebelum absensi jadi rutinitas sehari-hari. Tentu saja, kalau aku tak mencoba mengawalinya, Haruhi takkan bereaksi. Satu hal lagi, kalau aku bicara soal bagaimana acara TV semalam, atau bagaimana cuaca hari ini, dll — yang dia anggap sebagai “topik idiot” — dia hanya akan mengabaikanku. Tahu begitu, aku hati-hati memilih topik pembicaraan kapanpun aku mengobrol dengannya.

Dia memalingkan mukanya jengkel, menandai akhir percakapan hari ini.

“Ada klub yang lebih asik ga daripada yang lain? Gue sendiri pengen ikutan juga.”

“Ga ada.” Haruhi menjawab datar. “Sama sekali ga ada.”

Dia menegaskannya lagi, lalu perlahan menghembuskan nafas. Dia menghela nafas tadi?

“Kupikir SMA bakal sedikit lebih baik. Ternyata, sama aja kayak pendidikan wajib. Ga ada perubahan sama sekali. Kayaknya aku salah masuk SMA.”

Mbak, kriteria sekolah apakah yang anda gunakan ketika anda memutuskan sekolah mana untuk anda hadiri?

“Klub olahraga dan klub kebudayaan sama saja. Kalo aja ada beberapa klub unik di sekolah...”

“Yah, elo punya hak apa mutusin suatu klub itu normal apa engga?”

“Berisik. Kalau aku suka sebuah klub, jadi itu klub unik; kalo engga, biasa aja.”

“Iya gitu? Udah gue duga lo bakal ngomong gitu.”

“Huh!”

Dia memalingkan mukanya jengkel, menandai akhir percakapan hari ini.



Di hari yang lain:

“Gue denger-denger kemaren... ga terlalu penting sih... beneran lo mutusin semua pacar lo?”

“Kenapa aku harus dengar ini dari kamu lagi sih?”

Dia mengibaskan rambutnya keluar dari bahunya, lalu menatapku dengan mata hitam bercahayanya. Ampun deh, daripada ga berekspresi, ekspresi marah ini kayaknya lebih sering keliatan.

“Apa si Taniguchi yang cerita? Ampun deh, aku ga percaya sekelas ama si idiot itu lagi bahkan setelah aku lulus SMP. Dia bukan semacem penguntit psycho, kan?”

“Kayaknya engga,” pikirku.

“Aku ga tau kamu denger apa, tapi ga masalah. Lagian sebagian besar emang benar.”

“Bukannya ada orang di luar sana yang pengen kamu pacarin serius?”

“Ga ada satupun!”

Penolakan total kayaknya jadi mottonya.

“Semuanya goblok. Pokoknya aku ga bisa pacaran serius sama mereka. Tiap orang mesti ngajakin ketemuan di stasiun kereta pas hari sabtu, trus pasti pergi nonton, ke taman hiburan, atau ke tempat game. Pertama kalinya makan bareng mesti makan siang kencan, terus buru-buru ke kafe buat minum teh. Sore hari, mereka pasti bakal ngomong ‘Sampai besok!’”

“Gue pikir itu ga salah!” pikirku pribadi, tapi aku tak berani bilang keras-keras. Kalau Haruhi bilang itu jelek, maka, pasti jelek buat dia.

“Terus, tanpa gagal, mereka bakalan nembak lewat telepon. Apa-apaan tuh! Ini subjek serius, paling engga bilang langsung hadap-hadapan!!”

Aku bisa bersimpati sama mereka. Bikin pengakuan penting — buat mereka, paling tidak — seperti itu ke seseorang yang melihatmu seakan-akan kamu itu cacing mungkin membuat siapapun merasa gelisah. Mereka hilang keberanian pas ngeliat ekspresi lo! Aku membayangkan apa yang mereka pikirkan saat aku merespon Haruhi.

“Hmm, lo bener. Kalo gue sih bakal ngajak tuh cewek keluar dan ngomong langsung ke dianya.”

“Siapa yang peduli sama kamu!”

Apa yang... Apa gue salah ngomong lagi?

“Masalahnya, apa semua cowok di dunia itu makhluk bego? Aku keganggu terus sama pertanyaan ini dari SMP.”

Sekarang ga makin baik, kan!

“Terus, cowok macam apa yang lo anggep ‘menarik’? Apa emang harus alien?”

“Mau alien kek ato yang semacem itu kek yang penting ga normal. Bisa cowok bisa cewek.”

“Napa sih lo nuntut banget sama yang selain manusia?”

Waktu aku mengoceh tentang itu Haruhi melihat remeh padaku.

“Abisnya manusia itu sama sekali ga asik!”

“Itu... mungkin lo bener.”

Bahkan aku pun tak bisa membantah pemikiran Haruhi; kalo emang murid pindahan yang manis ini setengah-manusia setengah-alien, bahkan gue sendiri pun bakalan nganggap itu keren. Kalo Taniguchi, yang lagi duduk di dekat gue mata-matain Haruhi dan gue, ternyata seorang detektif dari masa depan, bakalan lebih keren lagi. Kalau Asakura Ryouko, yang, entah napa, selalu senyam-senyum ke gue, punya semacam kekuatan supranatural, maka kehidupan sekolah gue bakalan seasik yang bisa didapetin.

Tapi ga satupun yang mungkin – ga ada alien, pejelajah waktu, ato kekuatan supranatural eksis di dunia ini. Oke, misalnya aja ada. Mereka ga bakalan muncul gitu aja ke depan rakyat rendahan macam kita dan ngomong, “Halo, aku sebenarnya alien lho.”

“MAKANYA!”

Haruhi tiba-tiba berdiri dan menjatuhkan kursinya ke belakang, mengakibatkan semua orang menoleh dan melihatnya.

“MAKANYA AKU BERUSAHA SEKUAT TENAGA!!”

“Maaf saya terlambat!”

Okabe-Sensei yang selalu optimis, yang lumayan kehabisan nafas, buru-buru masuk ke kelas. Ketika dia melihat seluruh kelas sedang melihat Haruhi yang sedang berdiri tegak, dia mengepalkan tangan, matanya menatap langit-langit, dia jadi sama terkejutnya dan hanya berdiri disana.

“Mmm… Absensi akan segera dimulai!”

Haruhi langsung duduk lalu memelototi sudut mejanya. Phiuh!

Aku berbalik; seluruh kelas mengikuti dan memutar kepala mereka juga. Lalu Okabe-sensei, terang sekali kebingungan karena kericuhan itu, terhuyung-huyung ke panggung kelas dan mengeluarkan batuk pelan.

“Saya minta maaf karena telat. Eh... kalau gitu, kita mulai saja!”

Dia mengulangi dirinya lagi, dan suasana kelas akhirnya kembali normal — walaupun suasana macam ini sangat dibenci Haruhi!

Mungkinkah hidup memang seperti itu?



Tapi jujur saja, jauh di lubuk hatiku, aku sangat iri dengan sikap Haruhi terhadap kehidupan.

Dia masih yakin bahwa dia akan bertemu seseorang dari dunia supranatural, keyakinan yang kutinggalkan lama sekali, dia antusias sekali berusaha meraih mimpinya. Kalau hanya duduk-duduk menunggu takkan menghasilkan apa-apa, itulah kita semua! Inilah kenapa Haruhi melakukan sesuatu seperti menggambar garis putih di lapangan sekolah, menggambar simbol di atap sekolah, menempel kertas jimat terkutuk dimana-mana.

Hah!

Aku tak tahu kapan waktu Haruhi mulai melakukan hal-hal aneh yang membuat orang salah mengira kalau dia itu okultis. Menunggu tiada hasilnya, jadi, kenapa engga ngelakuin upacara aneh buat manggil mereka? Pada akhirnya, bagaimanapun juga, tak ada yang terjadi. Mungkin itu alasannya kenapa Haruhi selalu memakai paras "seluruh-dunia-sialan" di mukanya...?

“Hei, Kyon.”

Setelah kelas berakhir, Taniguchi, dengan wajah kebingungan, mencoba memojokkanku. Taniguchi, lo bener-bener kayak orang bego tau ga dengan wajah kayak gitu!

“Berisik! Gue gak peduli lo ngomong apa. Ngomong-ngomong pelet apa yang lo gunain?”

“Pelet apaan?”

Setiap teknologi terdepan tiada bedanya dengan sihir! Aku jadi ingat kutipan ini saat bertanya balik kepadanya. Dia lalu menunjukkan jarinya pada bangku kosong Haruhi.

“Ini pertama kalinya gue liat Suzumiya ngobrol sama orang lama banget! Lo berdua ngomong apaan aja sih?”

Itu, ah, apa yang kita omongin ya? Gue cuman nanya pertanyaan yang biasa-biasa aja, itu aja.

“Ini fenomena!”

Dengan sinis Taniguchi memakai ekspresi terkagum-kagum. Lalu, Kunikida muncul dari belakang Taniguchi.

“Emang Kyon itu suka sama cewek-cewek aneh.”

Woi, jangan ngomong yang bisa bikin orang salah paham dong.

“Ga masalah kalo Kyon itu suka ama cewek-cewek aneh. Yang gue ga ngerti itu, kenapa si Suzumiya mau ngomong sama lo? Gue sama sekali ga ngerti.”

“Mungkin Kyon sama anehnya sama dia?”

“Mungkin. Maksud gue, lo ga bisa ngarepin orang dengan panggilan kayak Kyon itu orang normal.”

Berhenti manggil gue Kyon, Kyon, Kyon! Daripada dipanggil dengan panggilan bodoh itu, mendingan panggil nama asli gue! Paling engga, gue pengen denger adik gue sendiri manggil gue “Onii-chan”!

“Saya juga kepengin tahu.”

Suara riang seorang gadis muncul entah darimana. Kuangkat kepalaku, dan, tentu saja, melihat wajah tersenyum lugu Asakura Ryoko.

“Saya nyoba ngomong sama Suzumiya-san udah beberapa kali, tapi sama sekali ga bisa. Bisa ajarin saya gimana caranya bicara sama dia?”

Aku bertingkah seolah-olah sedang berpikir tentang hal ini sebentar, tapi sebenarnya, aku sama sekali tidak sedang berpikir.

“Entahlah.”

Mendengar hal ini, Asakura tersenyum.

“Saya lega banget sekarang. Dia ga bisa terus-terusan terisolasi dari teman sekelasnya kayak gitu, jadi baguslah kamu jadi temannya.”

Asakura Ryouko peduli dengannya seperti seorang pengawas kelas, yah, dia memang pengawas kelas. Dia terpilih jadi pengawas kelas saat sesi absensi lama kami yang terakhir.

“Teman, ya?”

Aku menggelengkan kepala tak yakin. Emang bener kayak gitu ya? Tapi satu-satunya ekspresi yang Haruhi tunjukin ke aku kapan pun aku ngomong sama dia hanya wajah bersungutnya itu!

“Kamu harus terus nolong Suzumiya-san biar dia bisa rukun sama semuanya. Kita toh satu kelas, jadi kami mengandalkanmu.”

Hah. Kalaupun kamu ngomong begitu, aku ga tahu apa yang harus kulakukan!

“Jika ada sesuatu yang perlu kusampaikan ke Suzumiya-san, saya hanya tinggal minta kamu sampaikan pesannya ke dia!”

Engga, tunggu! Aku kan bukan juru bicaranya!

“Plis?” pintanya tulus, sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.

Berhadapan dengan permintaannya, aku hanya bisa memberi respon tak jelas seperti “erm” dan “ahh...”. Asakura anggap itu sebagai "oke", memberi senyumannya yang seperti tulip kuning, dan lalu kembali ke cewek-cewek lainnya. Setelah melihat kalau cewek-cewek lain sedang melihatku, rasanya jantungku telah jatuh kedasar lembah.

“Kyon, kita sahabat, kan..?” tanya Taniguchi, menatapku curiga.

“Apa yang terjadi sih disini?”

Bahkan Kunikida, dengan mata tertutup dan kedua tangan bersilang di dada, pun mengangguk.

Ya Tuhan! Kok bisa gue dikelilingin orang-orang idiot ini?


Tampaknya seseorang memutuskan bahwa semua di kelas perlu tukaran bangku tiap bulan. Karena itu, sang pengawas kelas, Asakura, menulis semua nomor bangku di secarik kertas kecil, menaruhnya ke dalam kaleng Hatosabure, dan kami semua menarik darinya. Pada akhirnya, aku dapat tempat duduk di baris kedua dari belakang sebelah jendela yang menghadap lapangan. Tebak siapa yang duduk tepat dibelakangku? Benar sekali, si selalu bersungut Haruhi!

“Kenapa hal menarik itu blom kejadian juga sih?! Kayak anak-anak SD menghilang satu persatu, atau beberapa guru terbunuh di ruang kelas yang terkunci?”

“Jangan ngomong yang serem-serem ah!”

“Aku gabung Kelompok Riset Misteri.”

“Oh? Terus gimana?”

“Bloon banget. Ga ada yang menarik terjadi! Apalagi, semua anggota klubnya pencinta novel detektif, tapi ga ada satupun yang mirip detektif!”

“Bukannya itu normal?”

“Aku sebenarnya berharap sama Kelompok Riset Supranatural.”

“Yang bener?”

“Tapi, ternyata mereka semua cuman sekumpulan maniak okultisme. Itu kedengerannya asik ga menurutmu?”

“Ga juga sih.”

“Ah, men, bosen banget! Napa sih sekolah ini ga punya klub menarik yang bener?”

“Yah, ga banyak yang bisa lo lakuin soal itu.”

“Kupikir setelah lulus trus masuk SMA aku bakalan nemuin klub mantep! Ha~h, ini kayak nyoba ikut Liga Utama Baseball dan terus nemu kalo di sekolah yang lo datengin bahkan ga punya tim Baseball.”

Haruhi terlihat seperti semacam banshee yang siap pergi ke ribuan biara Buddha untuk memberi beberapa kutukan. Dia tatap langit dengan hina dan menghembuskan desahan besar.

Haruskah gue kasihani dia?

Aku tak tahu klub macam apa yang Haruhi suka. Mungkin bahkan dia sendiri pun tak tahu jawabannya. Dia hanya ingin “melakukan hal yang menarik.” "Sesuatu yang menarik" itu apa? Apa itu termasuk memecahkan misteri pembunuhan? Mencari UFO? Atau pengusiran setan? Kupikir dia juga tak tahu.

“Menurut gue apa boleh buat kalo emang ga ada.”

Kuputuskan untuk mengekspresikan pendapatku.

“Menilai dari hasilnya, manusia biasanya puas dengan keadaan mereka sekarang. Mereka yang tidak, tapinya, bakalan nyoba menciptakan atau menemukan sesuatu buat memajukan peradaban. Ada orang pengen terbang, jadi dia menciptakan pesawat. Ada orang pengen berpergian dengan gampang, maka dibuatlah mobil dan kereta. Tapi hal tersebut hanya dibuat oleh orang-orang yang punya bakat spesial. Hanya orang jenius yang bisa ngubah khayalan jadi kenyataan. Orang biasa kayak kita sebaiknya menjalani hidup kita sepenuhnya. Kita seharusnya ga boleh terlalu impulsif cuman karena kita ngerasa kayak petualang.”

“Berisik.”

Haruhi memotong begitu saja ceramahku yang agak bermutu itu, atau setidaknya begitulah yang tadinya kupikir, dan memalingkan kepalanya ke arah lain. Kayaknya sekarang dia lagi murung banget. Tapi sekali lagi, kapan sih dia engga gitu? Gue udah terbiasa kok.

Cewek ini mungkin tak peduli dengan apapun — kecuali yang berhubungan dengan kekuatan supranatural yang melewati batas kenyataan. Dunia ini ga punya yang kayak gitu, tapinya. Ga ada, beneran.

Panjang umur Hukum-Hukum Fisika! Berkat kamu, kita para manusia bisa hidup dengan damai. Walau Haruhi mungkin jijik sama hal beginian.

Aku normal, kan?


Sesuatu pasti telah memicunya.

Mungkin karena percakapan diatas?

Karena aku sama sekali tak pernah menduganya!


Sinar hangat matahari membuat semua orang di kelas mengantuk. Tepat ketika aku terkantuk-kantuk dan mulai tertidur, tenaga hebat tiba-tiba terkerahkan sendiri menuju kerah bajuku dan menarikku ke belakang. Karena tenaganya kuat sekali, kepalaku sampai terbentur ujung bangku di belakangku. Air mata keluar seketika dari mataku.

“Lo ngapain sih!?”

Kuputar kepalaku marah dan melihat Haruhi, yang satu tangannya masih menarik kerahku, tersenyum lebar secerah matahari tropis — sumpah, ini pertama kalinya aku melihat senyumnya! Kalau senyuman bisa diukur dengan suhu, mungkin senyuman dia sama panasnya dengan hutan hujan tropis.

“Aku ngerti!”

Woi, jangan muncratin ludah lo dong!

“Kenapa sebelumnya ga kepikiran ya?”

Mata Haruhi bersinar seterang bintang Alpha Albireo. Dia menatapku tajam. Dengan segan aku bertanya:

“Emang apa yang baru kepikiran?”

“Kalo ga ada, ya kubikin sendiri aja!”

“Bikin apaan?”

“Bikin KLUB!”

Kepalaku tiba-tiba sakit, dan kukira tak ada hubungannya dengan kepalaku yang kebentur meja barusan.

“Beneran? Ide yang sungguh cemerlang. Bisa lepasin gue sekarang?”

“Sikap apaan tuh? Kau harusnya lebih senang!”

“Soal ide lo tadi, kita omongin ntar. Sekarang ini, gue pengen lo mempertimbangkan dimana kita sekarang. BARU lo bisa bagi-bagi suka-cita elo itu sama gue. Tapi pertama-tama, tenang dulu, oke?”

“Maksudnya apa?”

“Pelajaran masih berlangsung.”

Haruhi akhirnya melepas kerahku. Aku mengusap belakang kepalaku yang mulai mati rasa dan perlahan berputar kembali. Aku perhatikan seluruh kelas tampak total terkagum-kagum. Guru bahasa Inggris pemula yang baru lulus, dengan kapur di tangannya, menatapku dan kelihatannya seperti akan menangis.

Kuberi isyarat pada Haruhi untuk segera duduk dan mengangkat bahu pada guru malang itu.

"Silahkan, lanjutkan pelajarannya, Bu."

Kudengar Haruhi bergerutu tentang sesuatu sebelum dia duduk dengan segan. Guru lalu lanjut menulis pada papan tulis...

Bikin klub baru, ya?

Hmmmm...

Jangan-jangan gue disuruh kerjasama lagi.

Cerebrumku yang sakit hanya mulai menambah kekhawatiranku saja.


Balik ke Prolog Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 2