Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 9 Bab 4"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
(Created page with "==Bab 4: Itulah Mengapa, Totsuka Saika Merasa Terkagum== ===4-1=== Setelah menghabiskan waktu di klub, aku berpindah haluan<!--shifted gears--> ke mode bekerja di pusat komuni...")
 
m
 
(4 intermediate revisions by 2 users not shown)
Line 5: Line 5:
 
Aku menunggu Isshiki untuk datang di pintu masuk sejenak, tapi dia tidak pernah muncul meskipun sudah waktu yang sama seperti biasa.
 
Aku menunggu Isshiki untuk datang di pintu masuk sejenak, tapi dia tidak pernah muncul meskipun sudah waktu yang sama seperti biasa.
   
Itu mungkin dia sudah pergi ke dalam terlebih dulu. Aku berhenti menunggu Isshiki dan memutuskan untuk pergi ke dalam menuju Ruang Latihan.
+
Mungkin dia sudah masuk ke dalam terlebih dulu. Aku berhenti menunggu Isshiki dan memutuskan untuk masuk ke dalam menuju Ruang Seminar.
   
 
Terasa lebih hening daripada biasanya di dalam pusat komunitas itu. Mereka tidak menggelar dansa biasa mereka atau aktivitas klub entah apa hari ini.
 
Terasa lebih hening daripada biasanya di dalam pusat komunitas itu. Mereka tidak menggelar dansa biasa mereka atau aktivitas klub entah apa hari ini.
   
Sekalipun begitu, ada suara percakapan yang merembes dari Ruang Latihan yang sedang kami pakai.
+
Sekalipun begitu, ada suara percakapan yang merembes dari Ruang Seminar yang sedang kami pakai.
   
Aku memasuki ruangan itu setelah membuka pintu geser itu dengan ribut dan sebagian besar suara terutama datang dari SMA Kaihin Sogo. Sebaliknya, pihak SMA Sobu agak membisu.
+
Aku memasuki ruangan itu setelah membuka pintu geser itu dengan ribut dan sebagian besar suaranya terutama datang dari SMA Kaihin Sogo. Sebaliknya, pihak SMA Sobu agak membisu.
   
 
“Apa kabar.”
 
“Apa kabar.”
   
Aku memberi sapaanku dan setelah aku meletakkan tasku, aku tiba-tiba menyadarinya. Isshiki yang kupikir sudah pergi tidak terlihat dimanapun.
+
Aku memberi sapaanku dan setelah aku meletakkan tasku, aku tiba-tiba menyadarinya. Isshiki yang kupikir sudah masuk duluan tidak terlihat dimanapun.
   
 
“Di mana Isshiki?”
 
“Di mana Isshiki?”
Line 29: Line 29:
 
“Aku mengirimkannya pesan hanya untuk berjaga-jaga, tapi…”
 
“Aku mengirimkannya pesan hanya untuk berjaga-jaga, tapi…”
   
Menilai dari bagaimana dia berbicara pada si wakil ketua, gais ini mungkin seorang anak kelas sepuluh. Dia mungkin antara sekretaris atau bendahara. Dengan kacamata dan rambut kepang, dia mengenakan baju seragamnya seperti yang dinyatakan oleh peraturan sekolah dan sementara dia terlihat sepert tipe orang yang penurut, dia entah kenapa terlihat bimbang.
+
Menilai dari bagaimana dia berbicara pada si wakil ketua, gais ini mungkin anak kelas sepuluh. Dia mungkin antara sekretaris atau bendahara. Dengan kacamata dan rambut kepang, dia mengenakan baju seragamnya seperti yang dinyatakan oleh peraturan sekolah dan sementara dia terlihat sepert tipe orang yang penurut, dia entah kenapa terlihat bimbang.
   
Walaupun dia itu seorang anak kelas sepuluh seperti Isshiki, kelihatannya dia tidak seramah seperti yang bisa kalian duga dengannya. Aku masih belum pernah melihatnya benar-benar berbicara dan bahkan baru saja tadi, dia memutuskan untuk menghubungi Isshiki dengan hanya suatu pesan teks. Apakah itu dari pesan ataupun dari telepon, pasti ada suatu garis pembatas entah di mana, huh? Sungguh rumit…
+
Walaupun dia itu anak kelas sepuluh seperti Isshiki, kelihatannya dia tidak seramah seperti yang bisa kalian duga dengannya. Aku masih belum pernah melihatnya benar-benar berbicara dan bahkan baru saja tadi, dia memutuskan untuk menghubungi Isshiki dengan hanya suatu pesan teks. Entahkah itu dari pesan ataupun dari telepon, pasti ada suatu garis pembatas entah di mana, huh? Sungguh rumit…
   
 
Selagi gadis itu berganti-gantian melihat ke arahku dan ke arah wakil ketua dengan segan, dia menghela selagi dia berkata.
 
Selagi gadis itu berganti-gantian melihat ke arahku dan ke arah wakil ketua dengan segan, dia menghela selagi dia berkata.
Line 39: Line 39:
 
Ketika dia mengatakan hal itu, aku menyadari kemungkinan itu. Sebelum Isshiki menjadi ketua OSIS, dia adalah manajer klub sepak bola. Itu masih belum berubah sampai sekarang.
 
Ketika dia mengatakan hal itu, aku menyadari kemungkinan itu. Sebelum Isshiki menjadi ketua OSIS, dia adalah manajer klub sepak bola. Itu masih belum berubah sampai sekarang.
   
Jika Isshiki sedang melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan yaitu menunjukkan diriku di klub, maka itu berarti dia mungkin masih belum dapat mengecek ponselnya. Kalau begitu, mungkin akan lebih cepat untuk pergi menjemputnya langsung.
+
Jika Isshiki sedang melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan yaitu menampakkan diriku di klub, maka itu berarti dia mungkin masih belum dapat mengecek ponselnya. Kalau begitu, mungkin akan lebih cepat untuk pergi menjemputnya langsung.
   
 
“Aku akan pergi menjemputnya.”
 
“Aku akan pergi menjemputnya.”
Line 45: Line 45:
 
“Ah, ya. Terima kasih.”
 
“Ah, ya. Terima kasih.”
   
Si wakil ketua itu melihatku pergi<!--saw me off--> selagi aku meninggalkan Ruang Latihan itu.
+
Si wakil ketua itu melihatku pergi<!--saw me off--> selagi aku meninggalkan Ruang Seminar itu.
   
 
Dari sana, aku melintasi rute yang kuambil tadi kembali ke arah jalan yang baru saja kulalui.
 
Dari sana, aku melintasi rute yang kuambil tadi kembali ke arah jalan yang baru saja kulalui.
Line 51: Line 51:
 
Dengan sepedaku, paling cepat hanya butuh beberapa menit untuk sampai ke sekolah. Itu tidak begitu memakan waktu. Dengan sepedaku membuat suara melengking selagi aku mengayuhnya, aku buru-buru pergi ke sekolah.
 
Dengan sepedaku, paling cepat hanya butuh beberapa menit untuk sampai ke sekolah. Itu tidak begitu memakan waktu. Dengan sepedaku membuat suara melengking selagi aku mengayuhnya, aku buru-buru pergi ke sekolah.
   
Di sekolah yang lumayan lebar itu terdapat klub baseball, klub sepak bola, klub rugbi, dan klub trek dan lapangan yang tercampur bersama yang sedang berlatih dengan rajin seperti yang selalu mereka lakukan.
+
Di sekolah yang lumayan lebar itu terdapat klub baseball, klub sepak bola, klub rugbi, dan klub trek dan lapangan yang tercampur bersama nan sedang berlatih dengan rajin seperti yang selalu mereka lakukan.
   
 
Walaupun matahari sedang terbenam, kelompok orang-orang yang kukenal itu cukup cerah. Aku memarkirkan sepedaku di dekat sekolah dan menuju kelompok pemain sepak bola yang sedang berkeliaran di sana.<!--hanging around-->
 
Walaupun matahari sedang terbenam, kelompok orang-orang yang kukenal itu cukup cerah. Aku memarkirkan sepedaku di dekat sekolah dan menuju kelompok pemain sepak bola yang sedang berkeliaran di sana.<!--hanging around-->
Line 67: Line 67:
 
Tobe berbicara padaku dengan tingkah yang benar-benar bersahabat. Aku tidak yakin apa dia itu tolol atau apa, tapi kenapa orang ini selalu bertingkah terlampau familier…? Itu tidak seperti dia orang yang jahat, jadi itu bukan suatu masalah yang begitu besar.
 
Tobe berbicara padaku dengan tingkah yang benar-benar bersahabat. Aku tidak yakin apa dia itu tolol atau apa, tapi kenapa orang ini selalu bertingkah terlampau familier…? Itu tidak seperti dia orang yang jahat, jadi itu bukan suatu masalah yang begitu besar.
   
Yah, waktu yang pas. Aku rasa aku akan menanyakan Tobe.
+
Yah, pas sekali<!--good timing/waktu yang pas-->. Aku rasa aku akan menanyakan Tobe.
   
 
“Apa Isshiki ada di sini?”
 
“Apa Isshiki ada di sini?”
Line 85: Line 85:
 
“Oh, begitu. Maaf, terima kasih. Sampai jumpa.”
 
“Oh, begitu. Maaf, terima kasih. Sampai jumpa.”
   
Kelihatannya kami melewati satu sama lain entah di mana. Itu membuang-buang waktu saja. Aku mencengkram gagang sepedaku, siap untuk kembali dengan segera dan mengucapkan terima kasih pada mereka berdua.
+
Kelihatannya kami melewati satu sama lain entah di mana. Ini membuang-buang waktu saja. Aku mencengkram gagang sepedaku, siap untuk kembali dengan segera dan mengucapkan terima kasih pada mereka berdua.
   
 
“Aah, tak usah kuatir men, tak usah kuatir.”
 
“Aah, tak usah kuatir men, tak usah kuatir.”
Line 105: Line 105:
 
Hayama menarik lepas handuk yang terbalut di lehernya dan selagi dia dengan lembut melipatnya, dia berkata.
 
Hayama menarik lepas handuk yang terbalut di lehernya dan selagi dia dengan lembut melipatnya, dia berkata.
   
“Terdengar seperti ada begitu banyak masalah<!--Sounds like a lot of trouble-->.”
+
“Terdengar sangat merepotkan<!--Sounds like a lot of trouble-->.”
   
 
Aku tidak begitu yakin apa yang sedang dimaksudkannya. Aku memiringkan kepalaku, mempertanyakan apa yang dia maksudkan. Menilai dari bagaimana bentuk ekspresiku itu, Hayama membentuk suatu senyuman.
 
Aku tidak begitu yakin apa yang sedang dimaksudkannya. Aku memiringkan kepalaku, mempertanyakan apa yang dia maksudkan. Menilai dari bagaimana bentuk ekspresiku itu, Hayama membentuk suatu senyuman.
Line 119: Line 119:
 
“Ya. Dia tidak memberitahu apapun yang spesifik mengenai apa yang sedang dia lakukan, tapi dia terlihat cukup sibuk.”
 
“Ya. Dia tidak memberitahu apapun yang spesifik mengenai apa yang sedang dia lakukan, tapi dia terlihat cukup sibuk.”
   
Aku mengerti. Jadi ini adalah sirkuit gadis kompleks<ref> </ref> dimana dia ingin mencegah dirinya menganggu orang lain sementara memastikan apa yang mereka lakukan diketahui oleh orang lain. Aku benar-benar mengerti. Tidak, aku tidak mengerti.
+
Aku mengerti. Jadi ini adalah sirkuit gadis kompleks<ref> Saber Marionette J </ref> dimana dia ingin mencegah dirinya menganggu orang lain sementara memastikan apa yang mereka lakukan diketahui oleh orang lain. Aku benar-benar mengerti. Tidak, aku tidak mengerti.
   
 
Apa yang tidak kumengerti adalah tingkah laku Hayama.
 
Apa yang tidak kumengerti adalah tingkah laku Hayama.
Line 137: Line 137:
 
Suatu suara yang bergema pelan seakan suara itu terdengar agak terkesan. Tapi walaupun itu mungkin terdengar mengenakkan di telingaku, itu juga dilumuri dengan sindiran bagiku. Karena itu, nada bicaraku menjadi tajam.
 
Suatu suara yang bergema pelan seakan suara itu terdengar agak terkesan. Tapi walaupun itu mungkin terdengar mengenakkan di telingaku, itu juga dilumuri dengan sindiran bagiku. Karena itu, nada bicaraku menjadi tajam.
   
“Itulah jenis klubnya. Tidak ada alasan khusus untuk menolak. Tidak sepertimu, toh, aku punya waktu senggang.”
+
“Seperti itulah klubnya. Tidak ada alasan khusus untuk menolak. Tidak sepertimu, toh, aku punya waktu senggang.”
   
 
“Apa itu saja?”
 
“Apa itu saja?”
Line 159: Line 159:
 
Hayama terlihat seperti dia sedang memikirkan sesuatu selagi dia menutup mulutnya erat-erat dan mengembalikan pandangannya ke arahku. Walaupun matahari senja sudah mulai tercermin di wajahnya, misteriusnya tidak ada kehangatan di sana.
 
Hayama terlihat seperti dia sedang memikirkan sesuatu selagi dia menutup mulutnya erat-erat dan mengembalikan pandangannya ke arahku. Walaupun matahari senja sudah mulai tercermin di wajahnya, misteriusnya tidak ada kehangatan di sana.
   
“…Aku bukanlah orang sebaik yang kamu bayangkan itu<!--I’m not as nice of a guy as you make me out to be-->.”
+
“…Aku bukanlah orang sebaik yang kamu bayangkan<!--I’m not as nice of a guy as you make me out to be-->.”
   
 
Dia kemudian mengatakan hal tersebut dengan nada menantang. Mata dingin menusuknya menatapiku di tempat dengan hening<!-- in place quietly-->.
 
Dia kemudian mengatakan hal tersebut dengan nada menantang. Mata dingin menusuknya menatapiku di tempat dengan hening<!-- in place quietly-->.
Line 231: Line 231:
 
Tapi satu alasan yang berkontribusi pada lingkungan semacam itu adalah diriku. Tidak banyak hal yang bisa kulakukan, tapi meskipun begitu, aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan untuk setidaknya memberikan dukungan.
 
Tapi satu alasan yang berkontribusi pada lingkungan semacam itu adalah diriku. Tidak banyak hal yang bisa kulakukan, tapi meskipun begitu, aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan untuk setidaknya memberikan dukungan.
   
Walaupun untuk sekarang ini, satu-satunya hal yang benar-benar bisa kulakukan adalah untuk memegangi kantong plastik toko swalayan itu.
+
Walaupun untuk sekarang ini, satu-satunya hal yang benar-benar bisa kulakukan adalah memegangi kantong plastik toko swalayan itu.
   
 
<br />
 
<br />
Line 240: Line 240:
 
===4-2===
 
===4-2===
   
Akankah sesuatu yang bagus keluar makin lama kamu menanganinya?
+
Akankah sesuatu yang bagus muncul semakin lama kamu menanganinya?
   
Aku pikir sebenarnya, pertanyaan tersebut merupakan suatu proposal tiada-akhit bagi mereka-mereka yang membuat sesuatu.
+
Aku pikir sebenarnya, pertanyaan tersebut merupakan suatu proposal tiada-akhir bagi mereka-mereka yang membuat sesuatu.
   
 
“Masih ada sedikit lagi. Seharusnya masih tidak apa-apa. Hanya tinggal sedikit lagi dan aku akan bisa melakukannya…” Itu suatu kejadian yang umum bagi semuanya ambruk total selagi pemikiran itu memenuhi kepalamu<!--for everything to collapse on top of itself-->. Pada waktu-waktu tersisa yang kamu miliki, kamu akan bermalas-malasan, asal-asalan mengerjakan sesuatu<!--cut corner--> dan menganggap remeh masalah. Persis begitulah manusia itu. Tenang?<!--composure--> Apa-apaan yang sedang kamu katakan? Ini adalah apa yang kamu sebut sebagai sedang bertindak ceroboh!<ref> Samurai X. Kutipan Shishio Makoto </ref>
 
“Masih ada sedikit lagi. Seharusnya masih tidak apa-apa. Hanya tinggal sedikit lagi dan aku akan bisa melakukannya…” Itu suatu kejadian yang umum bagi semuanya ambruk total selagi pemikiran itu memenuhi kepalamu<!--for everything to collapse on top of itself-->. Pada waktu-waktu tersisa yang kamu miliki, kamu akan bermalas-malasan, asal-asalan mengerjakan sesuatu<!--cut corner--> dan menganggap remeh masalah. Persis begitulah manusia itu. Tenang?<!--composure--> Apa-apaan yang sedang kamu katakan? Ini adalah apa yang kamu sebut sebagai sedang bertindak ceroboh!<ref> Samurai X. Kutipan Shishio Makoto </ref>
   
Bahkan sekarang, situasinya sudah kacau balau di hadapanku selagi aku sedang mengatakan<!--blown up--> “itu masih bisa diselamatkan, itu masih bisa diselamatkan, Madgascar!”<ref> </ref>
+
Bahkan sekarang, situasinya sudah kacau balau di hadapanku selagi aku sedang mengatakan<!--blown up--> “itu masih bisa diselamatkan, itu masih bisa diselamatkan, Madgascar!”<ref> [https://www.youtube.com/watch?v=1Z2HMQ4gea0 Video] – Lelucon ini mengenai dua pria yang terdampar di sebuah gunung salju. Pria yang satu berpikir mereka tidak akan tertolong jadi dia pergi tidur saja. Pria yang lain mulai berteriak, kita masih bisa tertolong, kita masih bisa tertolong, dan kemudian berkata Madagascar dan menemukannya di atas globe. Lelucon ini datang dari pelafalan yang sama dimana “kita masih dapat tertolong” itu “madatasukaru” dan “Madagascar” dilafalkan “madagasukaru”. </ref>
   
Hari ini, kita ditetapkan untuk bertemu murid SD dari sekolah di dekat sini sesuai dengan apa yang diajukan SMA Kaihin Sogo hari itu. Tidak ada satu detail apapun yang diputuskan dengan hanya proporsi skalanya membengkak lebih besar.<!--swelling up to bigger proportions.-->
+
Hari ini, kita ditetapkan untuk bertemu murid SD dari sekolah di dekat sini sesuai dengan apa yang diajukan SMA Kaihin Sogo hari itu. Tidak ada satu detail apapun yang diputuskan dengan hanya proporsi skalanya yang membengkak lebih besar.<!--swelling up to bigger proportions.-->
   
 
“Mari kita memutuskan hal-hal bersama-sama mulai sekarang! Aku ingin kalian berusaha keras dan memberitahu kami apapun<!--put yourself out there-->!”
 
“Mari kita memutuskan hal-hal bersama-sama mulai sekarang! Aku ingin kalian berusaha keras dan memberitahu kami apapun<!--put yourself out there-->!”
Line 254: Line 254:
 
Tamanawa yang terlampau menyegarkan itu menyambut anak SD itu dengan cara yang menular itu.
 
Tamanawa yang terlampau menyegarkan itu menyambut anak SD itu dengan cara yang menular itu.
   
Ketika dia melakukannya, para murid SD itu semua menjawab “kita semua berharap dapat bekerja sama dengan kalian” dengan serembak dalam suara tidak teratur mereka.
+
Ketika dia melakukannya, para murid SD itu semua menjawab “kita semua berharap dapat bekerja sama dengan kalian” dengan serempak dalam suara tidak teratur mereka.
   
 
Seperti yang bisa kalian duga, tidak seluruh murid SD yang berpartisipasi sebab hanya beberapa yang dipilih, mungkin dari sesuatu seperti OSIS SD.
 
Seperti yang bisa kalian duga, tidak seluruh murid SD yang berpartisipasi sebab hanya beberapa yang dipilih, mungkin dari sesuatu seperti OSIS SD.
Line 266: Line 266:
 
Tsurumi Rumi masih sendirian, tidak berbeda dari masa selama liburan musim panas itu.
 
Tsurumi Rumi masih sendirian, tidak berbeda dari masa selama liburan musim panas itu.
   
Ketika aku menatap ke arahnya terus menerus, dia terlihat seperti dia menyadariku juga selagi dia menyipitkan matanya. Dia memalingkan pandangannya dan melihat ke lantai.
+
Ketika aku menatap ke arahnya terus menerus, dia terlihat seperti dia menyadariku juga sebab dia menyipitkan matanya. Dia memalingkan pandangannya dan melihat ke lantai.
   
Tingkah lakunya itu berkebalikan degan anak-anak SD bersenda gurau di sekelilingnya dan ingatan akan apa yang aku lakukan padanya muncul kembali.
+
Tingkah lakunya itu berkebalikan dengan anak-anak SD yang bersenda gurau di sekelilingnya dan ingatan akan apa yang aku lakukan padanya muncul kembali.
   
 
Itu di Desa Chiba selama liburan musim panas. Aku menghancurkan hubungan manusia yang mengelilingi Tsurumi Rumi di perjalanan kamping sekolah yang diikuti gadis-gadis itu. Itu juga melibatkan tindakan mendorong peran menjadi orang jahat pada Hayama dan yang lain.
 
Itu di Desa Chiba selama liburan musim panas. Aku menghancurkan hubungan manusia yang mengelilingi Tsurumi Rumi di perjalanan kamping sekolah yang diikuti gadis-gadis itu. Itu juga melibatkan tindakan mendorong peran menjadi orang jahat pada Hayama dan yang lain.
Line 284: Line 284:
 
Setelah aku menjawab singkat, aku melihat sekali lagi ke arah Rumi dan yang lain.
 
Setelah aku menjawab singkat, aku melihat sekali lagi ke arah Rumi dan yang lain.
   
Kelihatannya para gadis dalam kelompok bersama dia pada perjalanan kamping itu juga tidak ada di sini. Dengan kata lain, aku sepenuhnya tidak bisa tahu akan bagaimana keadaan hubungannya dengan orang lain sekarang ini. Untuk mencoba memikirkannya lebih jauh lagi aku hanya bisa menebak-nebak. Kalau begitu, aku akan berhenti di sana.
+
Kelihatannya para gadis dalam kelompok yang sama dengannya pada perjalanan kamping itu juga tidak ada di sini. Dengan kata lain, aku sepenuhnya tidak bisa tahu akan bagaimana keadaan hubungannya dengan orang lain sekarang ini. Untuk mencoba memikirkannya lebih jauh lagi aku hanya bisa menebak-nebak. Kalau begitu, aku akan berhenti di sana.
   
 
Sekarang ini, ada hal lain untuk dipikirkan. Dan itu adalah bagaimana menangani anak-anak SD ini pada sekarang ini.
 
Sekarang ini, ada hal lain untuk dipikirkan. Dan itu adalah bagaimana menangani anak-anak SD ini pada sekarang ini.
Line 302: Line 302:
 
Sebagai respon terhadap permintaan Tamanawa, bahkan Isshiki membuat tampang sulit.
 
Sebagai respon terhadap permintaan Tamanawa, bahkan Isshiki membuat tampang sulit.
   
Namun, fakta bahwa dia sudah memintanya membuatnya terlambat bagi dia untuk berkata “maaf, ternyata tidak bisa melakukannya”. Aku tidak yakin apa yang mungkin Tamanawa katakan dalam negosiasinya, tapi menyerahkan itu pada mereka membuat pihak kami merasa ada kewajiban terhadap mereka. Untuk tidak dapat menghentikan pendapatnya selama diskusi itu merupakan salah langkah yang menyakitkan.
+
Namun, fakta bahwa dia sudah memintanya membuatnya terlambat bagi dia untuk berkata “maaf, ternyata tidak bisa”. Aku tidak yakin apa yang mungkin Tamanawa katakan dalam negosiasinya, tapi menyerahkan itu pada mereka membuat pihak kami merasa ada kewajiban terhadap mereka. Untuk tidak dapat menghentikan pendapatnya selama diskusi itu merupakan salah langkah yang menyakitkan.
   
 
Jika kami membuat percekcokan di sini, kesan terhadap kedua sekolah kami, sekolah SD itu, dan rencana yang sudah disetujui oleh berbagai institusi akan memburuk. Ditambah itu, pada sekarang ini kami sudah terjebak dalam kebuntuan dan membuat suatu percekcokan hanya akan menambah sensasinya lebih jauh lagi.
 
Jika kami membuat percekcokan di sini, kesan terhadap kedua sekolah kami, sekolah SD itu, dan rencana yang sudah disetujui oleh berbagai institusi akan memburuk. Ditambah itu, pada sekarang ini kami sudah terjebak dalam kebuntuan dan membuat suatu percekcokan hanya akan menambah sensasinya lebih jauh lagi.
   
Jika mereka naik, maka kita turun<!--If they stood up, then we’d stand down-->… Jauh dari mendapat kesulitan<!--It was far from being in a bind-->, masing-masing dari mereka semua itu penyihir, penyihir<!--every single one of them were witches, witches--><ref> </ref>!
+
Jika mereka naik, maka kita turun<!--If they stood up, then we’d stand down-->… Jauh dari mendapat kesulitan<!--It was far from being in a bind-->, masing-masing dari mereka semua itu penyihir, penyihir<!--every single one of them were witches, witches--><ref> [https://www.youtube.com/watch?v=GpCS5NQhRdA Video] – Kalimat dari lagu ini. Kalimat aslinya adalah masing-masing dari mereka adalah para gadis yang berkilau! </ref>!
   
Jika kami saja tidak tahu apa yang mesti kami lakukan, maka begitu juga adanya bagi para murid SD itu. Meskipun merka dibawa kemari, mereka sedang berkerumun dalam satu kelompok terlihat tidak yakin akan apa yang mesti mereka lakukan.
+
Jika kami saja tidak tahu apa yang mesti kami lakukan, maka begitu juga adanya bagi para murid SD itu. Meskipun mereka dibawa kemari, mereka sedang berkerumun dalam satu kelompok terlihat tidak yakin tentang apa yang mesti mereka lakukan.
   
 
Tapi bahkan di dalam kelompok itu ada seseorang yang sangat menonjol sekali.
 
Tapi bahkan di dalam kelompok itu ada seseorang yang sangat menonjol sekali.
Line 328: Line 328:
 
“Tunggu. Pertama batu?”
 
“Tunggu. Pertama batu?”
   
Selagi mereka terus berbicara, mereka kelihatannya telah lupa bahwa itu adalah percakapan rahasia selagi suara mereka terus bertambah sampai cukup keras untuk kami dengar.
+
Selagi mereka terus berbicara, mereka kelihatannya telah lupa bahwa itu adalah percakapan rahasia selagi suara mereka terus menguat sampai cukup keras untuk kami dengar.
   
Ada sesuatu seperti itu, kamu tahu? Budaya dimana kamu mencoba memutuskan segala sesuatu dengan permainan gunting-batu-kertas. Itu mirip dengan duel pikiran hitam dan putih dimana kamu akan berduel untuk segala hal. <ref> </ref>. Dan jadi, para penyendiri yang ikut bermain sendirian dan keluar sebagai pemenangnya, mereka lalu berakhir mengatakan “oke, pemenangnya yang harus melakukannya~!”. Kalau begitu, kamu seharusnya cukup memutuskannya dengan suara mayoritas, astaga. Dengan begitu, kamu cukup bisa pasrah saja. Diri SDku itu super menyedihkan.
+
Ada sesuatu seperti itu, kamu tahu? Budaya dimana kamu mencoba memutuskan segala sesuatu dengan permainan gunting-batu-kertas. Itu mirip dengan duel pikiran hitam dan putih dimana kamu akan berduel untuk segala hal. <ref> Yuigoh ZEXAL. Mengacu pada duel antara Astral dan Number 96 yang masing-masing adalah putih dan hitam. </ref>. Dan jadi, para penyendiri yang ikut bermain sendirian dan keluar sebagai pemenangnya, mereka lalu berakhir mengatakan “oke, pemenangnya yang harus melakukannya~!”. Kalau begitu, kamu seharusnya cukup memutuskannya dengan suara mayoritas, astaga. Dengan begitu, kamu cukup bisa pasrah saja. Diri SDku itu super menyedihkan.
   
 
Yah, cerita-cerita mengenaiku tidak ada artinya di sini. Ketika aku melihat ke arah para murid SD ingin tahu apa yang sedang mereka lakukan, ada suatu hasil yang mengejutkan.
 
Yah, cerita-cerita mengenaiku tidak ada artinya di sini. Ketika aku melihat ke arah para murid SD ingin tahu apa yang sedang mereka lakukan, ada suatu hasil yang mengejutkan.
Line 358: Line 358:
 
“Aah, maaf.”
 
“Aah, maaf.”
   
Setelah mengatakan itu, si wakil ketua melihat ke arah Isshiki. Mempertimbangkan alur sistematik dalam pembagian peran, hal pertama yang mesti dilakukan adalah untuk memastikannya dengan Isshiki.
+
Setelah mengatakan itu, si wakil ketua melihat ke arah Isshiki. Mempertimbangkan alur sistematik dalam pembagian peran, hal pertama yang mesti dilakukan adalah untuk mencari tahu itu dengan Isshiki.
   
 
“Isshiki.”
 
“Isshiki.”
Line 372: Line 372:
 
“Tidak…”
 
“Tidak…”
   
Menilai dari bagaimana Tamanawa dan yang lain itu, hanya akan mendapat jawaban kira-kira “kamu baru tanya sekarang<!--you’re asking now-->?” Karena kami ditugaskan untuk menangani mereka, kami sendiri yang harus memikirkannya<!--we had to think for ourselves.-->.
+
Menilai dari bagaimana Tamanawa dan yang lain itu, itu hanya akan mendapat jawaban kira-kira “kamu baru tanya sekarang<!--you’re asking now-->?” Karena kami ditugaskan untuk menangani mereka, kami sendiri yang harus memikirkannya<!--we had to think for ourselves.-->.
   
 
“Untuk sementara waktu, aku rasa hal-hal yang akan perlu tapi tidak akan menganggu. Kira-kira seperti mendekorasi atau membuat pohon akan bisa. Atau mungkin membeli bahan-bahannya juga…”
 
“Untuk sementara waktu, aku rasa hal-hal yang akan perlu tapi tidak akan menganggu. Kira-kira seperti mendekorasi atau membuat pohon akan bisa. Atau mungkin membeli bahan-bahannya juga…”
Line 388: Line 388:
 
“Ada apa?”
 
“Ada apa?”
   
Tamanawa bertanya dengan senyuman menyegarkan. Aku tidak begitu bagus dengan tipe-tipe orang ini yang memberikan aura baik hati ini. Entah kenapa, suatu wajah yang kukenali akan muncul di pikiranku<!--flicker by-->. Karena aku sudah mengantisipasi<!--jump ahead--> akan kesadaranku bahwa aku begitu buruk dengan orang-orang ini, caraku berbicara terdengar kasar.
+
Tamanawa bertanya dengan senyuman menyegarkan. Aku tidak begitu bagus dengan tipe-tipe orang ini yang memberikan aura baik hati ini. Entah kenapa, suatu wajah yang kukenali akan muncul di pikiranku<!--flicker by-->. Karena aku sudah mengantisipasi<!--jump ahead--> kesadaranku bahwa aku begitu buruk dengan orang-orang ini, caraku berbicara terdengar kasar.
   
 
“Um, bahkan dengan semua penolong itu, jika kita tidak ada sesuatu yang diputuskan, kita benar-benar tidak bisa melakukan apapun…”
 
“Um, bahkan dengan semua penolong itu, jika kita tidak ada sesuatu yang diputuskan, kita benar-benar tidak bisa melakukan apapun…”
Line 406: Line 406:
 
“Itu benar. Kita sebaiknya juga memikirkan bagaimana menangani hal itu bersama-sama=.”
 
“Itu benar. Kita sebaiknya juga memikirkan bagaimana menangani hal itu bersama-sama=.”
   
Itu seperti bekerja lembur demi menggelar suatu konferensi untuk menyingkirkan kerja lembur, bukan? Aku berpikir tentang bagaimana aku seharusnya membuat hal itu mencapai<!--get across--> dirinya selagi aku menggaruk kepalaku dan Tamanawa sengaja membuat senyuman baik hati itu seakan dia menyadari ketidak-sabaranku.
+
Itu seperti bekerja lembur demi menggelar suatu konferensi untuk menyingkirkan kerja lembur, bukan? Aku berpikir tentang bagaimana aku seharusnya membuat hal itu tersampaikan pada<!--get across--> dirinya selagi aku menggaruk kepalaku dan Tamanawa sengaja membuat senyuman baik hati itu seakan dia menyadari ketidak-sabaranku.
   
 
“Aku mengerti kamu sedang terburu-buru, tapi mari kita berusaha yang terbaik bersama dan MEMBANTU<!--cover--> satu sama lain.”
 
“Aku mengerti kamu sedang terburu-buru, tapi mari kita berusaha yang terbaik bersama dan MEMBANTU<!--cover--> satu sama lain.”
Line 412: Line 412:
 
Tamanawa membuat gerakan yang sedikit berlebih-lebihan itu dan menepuk bahuku seakan mencoba menyemangatiku. Dia tidak menggunakan sebegitu banyak tenaga, tapi bahuku tetap saja merosot.
 
Tamanawa membuat gerakan yang sedikit berlebih-lebihan itu dan menepuk bahuku seakan mencoba menyemangatiku. Dia tidak menggunakan sebegitu banyak tenaga, tapi bahuku tetap saja merosot.
   
Itu terlihat seperti tidak ada gunanya tidak peduli akan apa yang kukatakan.
+
Itu terlihat seperti tidak ada gunanya tidak peduli apa yang kukatakan.
   
 
Aku mungkin sedang mengulangi perkataanku, tapi ada sesuatu yang dinamakan afinitas pada manusia. Akan tetapi, aku merasa bahwa Tamanawa dan aku mungkin memiliki afinitas yang paling buruk. Tapi kemungkinan bahwa itu bukan sepenuhnya salah Tamanawa.
 
Aku mungkin sedang mengulangi perkataanku, tapi ada sesuatu yang dinamakan afinitas pada manusia. Akan tetapi, aku merasa bahwa Tamanawa dan aku mungkin memiliki afinitas yang paling buruk. Tapi kemungkinan bahwa itu bukan sepenuhnya salah Tamanawa.
   
Dan benar. Ada banyak saat-saat dimana menggabungkan pendapat dan sudut pandang banyak orang, sesuatu yang dapat diwujudkan dari itu akan berakhir luar biasa. Itu mungkin hanya karena cara aku memikirkannya itu cuma berbeda.
+
Dan benar. Ada banyak saat-saat dimana menggabungkan pendapat dan sudut pandang banyak orang, sesuatu yang dapat diwujudkan dari itu akan berakhir luar biasa. Itu mungkin cuma karena cara aku memikirkannya itu hanyalah berbeda.
   
 
Untuk bekerja sama dengan orang, untuk bergantung pada seseorang, itu adalah sesuatu yang memakan waktu. Karena kurangnya pengalamanku dalam bagian itu, itu mungkin alasan kenapa aku tidak bisa mengerti cara Tamanawa melakukan sesuatu.
 
Untuk bekerja sama dengan orang, untuk bergantung pada seseorang, itu adalah sesuatu yang memakan waktu. Karena kurangnya pengalamanku dalam bagian itu, itu mungkin alasan kenapa aku tidak bisa mengerti cara Tamanawa melakukan sesuatu.
   
Aku berada di sini setelah membuat banyak kesalahan. Aku kali ini mungkin saja salah mengenai sesuatu juga.
+
Aku berada di sini setelah membuat banyak kesalahan. Aku kali ini mungkin saja juga salah mengenai sesuatu.
   
 
“…Aku mengerti. Tapi kita sebaiknya menggelar konferensi itu segera.”
 
“…Aku mengerti. Tapi kita sebaiknya menggelar konferensi itu segera.”
Line 439: Line 439:
 
Konferensi hari ini digelar untuk mendiskusikan detail-detail yang lebih spesifik mengenai acaranya.
 
Konferensi hari ini digelar untuk mendiskusikan detail-detail yang lebih spesifik mengenai acaranya.
   
“Sampai sekarang ini, kita sudah bisa memutuskan pada DESAIN UTAMAnya<!--grand design-->, tapi hari ini, mari kita membuat DISKUSI mengenai bagian-bagian tentang KREATIVITAS.”
+
“Sampai sekarang ini, kita sudah dapat memutuskan pada DESAIN UTAMAnya<!--grand design-->, tapi hari ini, mari kita membuat DISKUSI mengenai bagian-bagian tentang KREATIVITAS.”
   
 
Tamanawa mengambil posisi yang mirip dengan seorang moderator itu dan membuka diskusinya dengan pidato bertele-tele.
 
Tamanawa mengambil posisi yang mirip dengan seorang moderator itu dan membuka diskusinya dengan pidato bertele-tele.
Line 459: Line 459:
 
“Namun aku rasa kita benar-benar tidak bisa menyingkirkan aspek TRADISIONAL darinya, huh?”
 
“Namun aku rasa kita benar-benar tidak bisa menyingkirkan aspek TRADISIONAL darinya, huh?”
   
“Tapi mengenai tuntutannya itu terhadap kita, itu sebaiknya berkaitan<!--in line--> dengan murid SMA, benar?”
+
“Tapi mengenai tuntutan terhadap kita, itu sebaiknya selaras<!--in line/berkaitan--> dengan murid SMA, benar?”
   
 
Diskusinya sedang perlahan-lahan menjadi abstrak lagi. Tidak bagus, jika begini terus konferensinya tidak akan ada bedanya dengan diskusi yang sudah kita lakukan selama ini.
 
Diskusinya sedang perlahan-lahan menjadi abstrak lagi. Tidak bagus, jika begini terus konferensinya tidak akan ada bedanya dengan diskusi yang sudah kita lakukan selama ini.
Line 465: Line 465:
 
Seperti yang bisa kalian duga, Tamanawa kelihatannya menyadari hal ini juga. Setelah satu anggukan, dia memanggil semua orang.
 
Seperti yang bisa kalian duga, Tamanawa kelihatannya menyadari hal ini juga. Setelah satu anggukan, dia memanggil semua orang.
   
“Itu harus berhubungan dengan Natal, tapi sesuatu yang berkaitan dengan kita, begitu. Sesuatu seperti apa contohnya?”
+
“Itu harus berhubungan dengan Natal, tapi sesuatu yang selaras dengan kita, begitu. Sesuatu seperti apa contohnya?”
   
 
Dari sana, pendapat muncul satu demi satu seperti permainan asosiasi kata.
 
Dari sana, pendapat muncul satu demi satu seperti permainan asosiasi kata.
Line 475: Line 475:
 
“Bukankah JAZZ itu lebih berorientasi Natal?”
 
“Bukankah JAZZ itu lebih berorientasi Natal?”
   
“kalau begitu kita mungkin lebih baik cukup membuat paduan suara. Kita juga bisa meminjam sebuah ORGAN PIPA.”
+
“Kalau begitu kita mungkin lebih baik cukup membuat paduan suara saja. Kita juga bisa meminjam sebuah ORGAN PIPA.”
   
 
Anggota SMA Kaihin Sogo memiliki banyak motivasi selagi mereka dengan giat melemparkan ide-ide. Satu orang akan mengajukan sesuatu dan orang lain akan memperluas kemungkinan dari ide tersebut dan kemudian mereka akan menyuarakan suatu ide yang sepenuhnya baru.
 
Anggota SMA Kaihin Sogo memiliki banyak motivasi selagi mereka dengan giat melemparkan ide-ide. Satu orang akan mengajukan sesuatu dan orang lain akan memperluas kemungkinan dari ide tersebut dan kemudian mereka akan menyuarakan suatu ide yang sepenuhnya baru.
Line 493: Line 493:
 
“Bagus. Sekarang, mari kita diskusikan itu semua.”
 
“Bagus. Sekarang, mari kita diskusikan itu semua.”
   
Lelucon macam apa itu? Apa itu sejenis lelucon Chibalia<ref> </ref>? Aku melihat ke arah wajah Tamanawa, tapi dia terlihat sangat serius. Malahan, senyuman menyegarkan yang dia buat menunjukkan bahwa dia sedang menikmati alur dari konferensi itu.
+
Lelucon macam apa itu? Apa itu sejenis lelucon Chibalia<ref> Chiba + Italia </ref>? Aku melihat ke arah wajah Tamanawa, tapi dia terlihat sangat serius. Malahan, senyuman menyegarkan yang dia buat menunjukkan bahwa dia sedang menikmati alur dari konferensi itu.
   
…Dengan “itu semua”, kamu maksud masing-masing pendapat yang muncul<!--every single one-->? Dalam artian, menyelidiki keuntungan dan kerugian yang memungkinkan dari semua itu satu per satu?
+
…Dengan “itu semua”, kamu maksud masing-masing pendapat yang ada<!--every single one-->? Dalam artian, menyelidiki keuntungan dan kerugian yang memungkinkan dari semua itu satu per satu?
   
Aku mendapat perasaan kami pasti tidak punya waktu sebanyak itu yang tersisa. Acara Nayal hanya tinggal sekitar seminggu lagi. Tidak peduli apa yang kami putuskan untuk dilakukan, mempertimbangkan waktu yang kami perlukan untuk mempersiapkan, berlatih, dan mengkoordinasikan diri kami, kami harus memulai persiapannya sekarang juga atau akan ada masalah.
+
Aku mendapat perasaan kami pasti tidak punya sisa waktu sebanyak itu. Acara Natal hanya tinggal sekitar seminggu lagi. Tidak peduli apa yang kami putuskan untuk dilakukan, mempertimbangkan waktu yang kami perlukan untuk mempersiapkan, berlatih, dan mengkoordinasikan diri kami, kami harus memulai persiapannya sekarang juga atau akan ada masalah.
   
“Bukankah itu akan lebih cepat untuk memilih salah satu dari itu semua saja sekarang?”
+
“Bukankah itu akan lebih cepat untuk memilih salah satu dari semua itu sekarang?”
   
 
Aku tidak bisa menahan diriku selagi aku mengatakannya dan Tamanawa memejamkan matanya dan dengan pelan menggelengkan kepalanya.
 
Aku tidak bisa menahan diriku selagi aku mengatakannya dan Tamanawa memejamkan matanya dan dengan pelan menggelengkan kepalanya.
Line 507: Line 507:
 
“Tidak, seperti yang kubilang…”
 
“Tidak, seperti yang kubilang…”
   
“Kita sudah membuat masalahnyanya mendekati satu sama lain secara sistematis, jadi aku rasa kita punya banyak waktu untuk melakukan ini bersama-sama.”
+
“Kita sudah membuat masalahnya mendekati satu sama lain secara sistematis, jadi aku rasa kita punya banyak waktu untuk melakukan ini bersama-sama.”
   
 
Bahkan dengan usahaku untuk menyanggahnya, Tamanawa berkata demikian tanpa mengalah.
 
Bahkan dengan usahaku untuk menyanggahnya, Tamanawa berkata demikian tanpa mengalah.
Line 533: Line 533:
 
Aku tidak keberatan jika suatu diskusi formal dipilih demi mengajukan banyak ide.
 
Aku tidak keberatan jika suatu diskusi formal dipilih demi mengajukan banyak ide.
   
Tapi di dalam diskusi dan konferensi yang kami gelar dimana tidak ada ide siapapun yang ditolak, tidak bisa menduga akan ada kesimpulan yang dapat terlihat.
+
Tapi di dalam diskusi dan konferensi yang kami gelar dimana tidak ada ide siapapun yang ditolak, tidak ada kesimpulan yang dapat terlihat dalam pandangan.
   
 
Konferensi yang kupikir sedang berjalan dengan lancar mulai terlihat tidak masuk akal.
 
Konferensi yang kupikir sedang berjalan dengan lancar mulai terlihat tidak masuk akal.
   
Ketika aku menyadarinya, tanganku yang mencatat notulennya telah berhenti. Aku dengan santai membiarkan tanganku bergantung di bawah meja dan duduk di sana dengan hening mengamati konferensi tersebut.
+
Ketika aku menyadarinya, tanganku yang mencatat notulennya telah berhenti. Aku dengan santai membiarkan tanganku bergantung di bawah meja dan duduk di sana mengamati konferensi tersebut dengan hening.
   
 
Ekspresi yang kumiliki sepenuhnya berbeda dari ekspresi orang-orang yang dengan semangat terlibat dalam diskusi itu.
 
Ekspresi yang kumiliki sepenuhnya berbeda dari ekspresi orang-orang yang dengan semangat terlibat dalam diskusi itu.
   
Mereka memiliki senyuman cemerlang dan bersemagat yang terbentuk di wajah mereka.
+
Mereka memiliki senyuman cemerlang dan bersemangat yang terbentuk di wajah mereka.
   
 
Saat itulah ketika aku menyadarinya.
 
Saat itulah ketika aku menyadarinya.
Line 547: Line 547:
 
Mereka semua sedang menikmati saat-saat ini. Dengan kata lain, mereka sedang menikmati percakapan dengan satu sama lain ini.
 
Mereka semua sedang menikmati saat-saat ini. Dengan kata lain, mereka sedang menikmati percakapan dengan satu sama lain ini.
   
Apa yang mereka inginkan bukanlah What they wanted wasn’t the very idea of volunteer service, tapi mengakui-diri mereka melakukan aktivitas tersebut.
+
Apa yang mereka inginkan bukanlah pemikiran menjadi relawan itu sendiri<!--What they wanted wasn’t the very idea of volunteer service-->, tapi mengakui-diri bahwa mereka sedang melakukan aktivitas tersebut.
   
Itu tidak seperti mereka ingin melakukan pekerjaan. Mereka hanya ingin terbenam dalam perasaan bekerja. Mereka hanya ingin mereasa bahwa mereka sebenarnya sedang melakukannya.
+
Itu tidak seperti mereka ingin melakukan pekerjaan. Mereka hanya ingin terbenam dalam perasaan bekerja. Mereka hanya ingin merasa bahwa mereka sebenarnya sedang melakukannya.
   
 
Dan kemudian, mereka akan merasa mereka melakukan semua hal yang mereka bisa, dimana pada akhirnya, semua itu berubah menjadi nihil.
 
Dan kemudian, mereka akan merasa mereka melakukan semua hal yang mereka bisa, dimana pada akhirnya, semua itu berubah menjadi nihil.
Line 564: Line 564:
   
 
<br />
 
<br />
  +
===4-4===
  +
  +
Pada akhirnya, bahkan ketika waktunya sudah mendekati akhir, konferensinya tidak selesai dan kesimpulannya ditunda ke lain hari.
  +
  +
Untuk sementara ini, hal terdekat dengan sebuah kesimpulan adalah bahwa kita sudah mengupas tuntas kemungkinan dari setiap pendapat dan dengan itu, kita akan mendiskusikannya lagi dan mengakhirinya untuk hari ini.
  +
  +
Murid SD itu sudah pulang beberapa waktu yang lalu. Kami, yang tetap tinggal, mengatur persiapan untuk juga pulang dan pergi satu per satu.
  +
  +
Aku berpisah dari Isshiki dan anggota OSIS lain dan ketika aku mengayuh sepedaku dari pusat komunitas, itu menghantamku.
  +
  +
Aku lapar… Karena aku tidak bisa berpikiran jernih<!--out of it--> sepanjang waktu selama konferensi itu, aku berakhir lupa memakan makanan ringannya.
  +
  +
Akan ada makan malam jika aku langsung pulang ke rumah, tapi aku tidak bisa menyingkirkan kelaparanku<!--my empty stomach--> dari otakku. Seharusnya tidak apa-apa untuk makan sedikit saja… Aku menghentikan sepedaku untuk sejenak dan mengirim pesan sesingkat seperti pesan telegram pada Komachi dengan pesan “tidak perlu makan hari ini”.
  +
  +
Aku kemudian memasukkan lokasiku sekarang ini dan status perutku ke dalam pertimbangan dan memikirkan tentang apa makanan terbagus untuk dimakan. Mereka bilang bahwa lapar merupakan penyedap terhebat, tapi itu salah. Bagiku, penyedap terhebat adalah seseorang mentraktirku. Tapi, yah, karena aku sendirian, tidak mungkin ada orang yang akan mentraktirku. Aku juga harus mempertimbangkan kondisi dompetku juga.
  +
  +
Jadi itu berarti… ramen, ya.
  +
  +
Setelah aku memutuskannya, aku segera bergerak<!--got into motion-->.
  +
  +
Selagi aku menyandungkan variasi tema lagu Nausicca, lanlan ♪lanlalalaramen ♪<ref> [https://www.youtube.com/watch?v=qx2b-nK_Q8o Video] </ref>, Aku dengan riang mengayuh sepedaku melintasi jalan.
  +
  +
Aku menyebrangi jembatan penyebrangannya dan sampai ke depan Stasiun Inage. Jika aku pergi melewati bundaran di depan stasiun, distrik perbelajaan dimana terdapat sederetan toko makanan dan minuman, ''arcade'', tempat bowling dan karaoke akan muncul ke dalam pandangan. Jika aku berputar ke kiri pada lampu lalu lintas di depan dan pergi sedikit lebih jauh lagi, aku akan sampai pada tempat tujuanku.
  +
  +
Aku menunggu lampu lalu lintasnya untuk berubah dari merah menjadi hijau.
  +
  +
Dan di sana, aku menemukan seseorang yang tak kusangka.
  +
  +
Di atas jersey SMA Sobunya terdapat sebuah jaket dan disekeliling lehernya terdapat syal yang lembut. Dia adalah Totsuka.
  +
  +
Totsuka terlihat seperti dia juga menyadari keberadaanku. Selagi dia mengatur tas tenis di punggungnya yang terlihat agak berat, dia melambaikan tangannya ke arahku.
  +
  +
Ketika lampu lalu lintas berganti, dia melihat ke arah kiri dan kanannya sebelum berlari ke mari.
  +
  +
“Hachiman!”
  +
  +
Yang keluar bersama dengan suara yang memanggil namaku adalah nafas putih Totsuka.
  +
  +
Terkejut bisa kebetulan bertemu dengannya di tengah kota seperti ini, aku merespon dengan mengangkat tanganku dengan pelan.
  +
  +
“Yo.”
  +
  +
“Uh huh, yo!”
  +
  +
Totsuka ikut mengangkat tangannya sedikit dengan senyuman malu-malu seakan sapaan kasar tadi itu memalukan. Aaah, aku merasa tersembuhkan…
  +
  +
Itu tidak begitu sering aku mendapat kesempatan untuk bertemu Totsuka di luar sekolah. Dipikir lagi, aku dari awalpun tidak pernah keluar, jadi bagi kami untuk bertemu seperti ini membuatku sepenuhnya merasa bahwa ada mukzijat dan keajaiban.
  +
  +
Yah, tidak ada yang namanya mukzijat dan keajaiban, begitulah dunia ini. Jadi, kenapa Totsuka di sini?
  +
  +
“Apa yang sedang kamu lakukan di tempat seperti ini?”
  +
  +
Ketika aku menanyakannya, Totsuka meremas tas tenisnya dan mengangkatnya untuk menunjukkannya.
  +
  +
“Aku sedang kembali dari sekolahku.”
  +
  +
Berbicara mengenai itu, tidak hanya Totsuka masuk dalam klub tenis, dia juga mendaftar di sekolah tenis. Dan jadi sekolah itu agak dekat dari sini, kurasa… Baiklah, mulai sekarang, ayo bertengger di sini pada jam-jam segini tanpa alasan. Tunggu, tapi jika kita berakhir sering bertemu, itu pastilah akan menjijikan jadi mari kita cukup melakukannya sekali seminggu.
  +
  +
Selagi aku dengan sepenuh hati membuat jadwal mingguanku, Totsuka melihat ke arahku dengan heran, yang masih menaiki sepeda.
  +
  +
“Kamu juga, Hachiman, ada apa? Rumahmu bukan ke arah sini, bukan?”
  +
  +
“Aah, Aku hanya berpikir mau pergi memakan sesuatu.”
  +
  +
“Oh begitu ya.”
  +
  +
Ketika aku menjawab, Totsuka mengangguk percaya dan berhenti sejenak seakan untuk berpikir. Dia kemudian memiringkan kepalanya sedikit dan melihatku dengan mata menengadah dan malu-malu.
  +
  +
“…Aku boleh ikut denganmu juga?”
  +
  +
“Heh?”
  +
  +
Tubuhku secara refleks mengeras mendengar kata-kata tak terduga itu. Aku berakhir membuat suara yang agak tolol.
  +
  +
Selama jangka waktu tersebut, Totsuka sedang meremas syal di sekeliling kerahnya dan dengan risih menggoyangkan tubuhnya selagi dia menunggu jawabanku.
  +
  +
“Ah, ya. Tentu saja.”
  +
  +
Ketika aku mengatakan itu, Totsuka membuat sebuah helaan yang terlihat begitu mirip dengan suatu kelegaan. Dia kemudian membuat senyuman yang elastis dan lembut.
  +
  +
“Yey. Jadi, mau makan apa, huh?”
  +
  +
“Apapun tidak masalah bagiku.”
  +
  +
Setelah mengatakan itu, aku menyadari bahwa jawaban ini<!--correspondence--> begitu buruk. “Apapun tidak masalah” itu tidak bagus ketika kamu sedang berurusan dengan para gadis. Omong-omong, aku dengar bahwa, jika para lelaki mengatakan sesuatu yang spesifik seperti “ramen” atau “udon”, mereka akan membuat tampang yang benar-benar jijik. Dengan kata lain, ketika para gadis menanyakanmu “kamu ingin makan apa?”, kamu harus menjawab dengan sesuatu yang mungkin ingin dimakan mereka. Ada apa dengan permainan mustahil ini? Apa para gadis itu suatu fasilitas pelatihan esper?
  +
  +
Tapi Totsuka itu seorang laki-laki, jadi tidak masalah.
  +
  +
Totsuka berkedip tanpa henti dan menanyakanku.
  +
  +
“Hachiman, bukannya kamu sudah memutuskan apa yang mau kamu makan?”
  +
  +
Kamu tahu, sebenarnya itu… dirimu! Aku hampir saja akan mengucapkan kalimat yang akan diucapkan sang Serigala dari cerita Si Gadis Berkerudung Merah, tapi tidak mungkin aku bisa melakukannya. Maksudku, bagaimanapun juga aku ini manusia…<ref> Kinnikuman – Kalimat yang diucapkan oleh Geronimo. </ref>
  +
  +
“Sama sekali belum, aku cuma macam datang ke sini, itu saja. Itulah kenapa, apapun tidak masalah.”
  +
  +
Aku sengaja mengatakannya dengan nada seorang pria sejati.
  +
  +
Walaupun aku sedang dalam suasana ingin memakan ramen, alasannya itu karena proses eleminasi. Karena aku sering makan sendirian, aku tanpa sadar memilih tempat duduk di konter. Tidak ada masalah kalau tokonya tidak ramai tapi untuk mengambil satu meja ketika aku sendirian membuatku merasa bersalah.
  +
  +
Lagipula, meskipun itu bukan ramen, untuk bisa makan bersama Totsuka akan membuat segalanya terasa enak. Aku tadi mengatakan bahwa ditraktir itu merupakan penyedap terhebat, tapi aku menarik itu kembali. Penyedap terbaik pastilah harus Totsuka. Jika Momoya <ref> [http://www.momoya.co.jp/ Momoya] </ref> mulai menjual memakai “ini Totsuka”, itu akan buruk. Itu bukan masalah tentang barang-barangnya terjual habis sebab itu akan menjadi suatu masalah dibeli oleh suatu perusahaan.
  +
  +
Selagi kami berbicara tentang mau makan apa, Totsuka menepuk tangannya.
  +
  +
“Ah. Kalau begitu bagaimana kalau yakiniku?”
  +
  +
Hei, hei, mereka cenderung mengatakan sesuatu tentang seorang pria dan wanita memakan yakiniku bersama <ref> Itu adalah sebuah sindirian seksual dimana memakan daging itu memberikan kesan memiliki hasrat jasmaniah dalam budaya Jepang. Kalimat aslinya begini “Pria dan wanita yang memakan yakiniku bersama-sama itu sedang bercinta.” </ref>, tapi bagaimana bisa begitu kalau itu dua pria yang memakannya bersama…?
  +
  +
Selagi aku memikirkan tentang itu, Totsuka terlihat seakan dia menyadari sesuatu<--came up with something--> dan mengerang selagi dia memiringkan kepalanya sambil memikirkannya.
  +
  +
“Tapi yakiniku sedikit mahal, huh?”
  +
  +
“Itu benar. Seperti yang mereka katakan, itu memakan dompetmu.”
  +
  +
“Itulah Hachiman, huh…”
  +
  +
Dia membuat sebuah tawa risau.
  +
  +
Namun, yakiniku, huh…
  +
  +
Kalau kamu ingin makan daging, maka seharusnya ada tempat lain… Selagi aku melihat ke sekeliling, cabang makanan cepat saji, ''First Kitchen'' terlihat ke dalam pandangan. Karena posisinya langsung dari stasiun yang terletak-stategis, itu adalah toko yang sering dikunjungi oleh murid-murid di area ini. Di luar toko itu terdapat suatu spanduk tergantung yang bertuliskan “yakiniku galbi gulung” di atasnya.
  +
  +
“Kenapa tidak kita pergi ke sana?”
  +
  +
Ketika aku menunjukkannya, Mata Totsuka berbinar-binar.
  +
  +
“Ya, itu mungkin bagus!”
  +
  +
Setelah mendapatkan persetujuan Totsuka, kami memasuki ''First Kitchen'' di dekat stasiun itu. Namun, ada apa dengan kependekan ''First Kitchen'' itu<ref> First Kitchen dilafalkan sebagai “fakkin” dalam bahasa Jepang. Kalian seharusnya sudah tahu. </ref>? Itu terasa agak menyinggung untuk beberapa alasan.
  +
  +
Bagian dalam toko hangat yang tiba-tiba berubah dari tiupan angin dingin di luar itu begitu ramai. Kelihatannya orang-orang dari perjalanan pulang mereka dari les dan tempat kerja telah mampir ke mari.
  +
  +
Ketika kami mengantri di depan kasir, Totsuka membuat helaan kecil. Pipinya agak sedikit merona.
  +
  +
“Pemanas di dalam sini cukup kuat, huh?”
  +
  +
Selagi dia mengatakan itu, Totsuka mengenggam syalnya. Pakaiannya bergemerisik selagi dia melepaskan syal itu dari sekeliling lehernya dan tengkuknya terlihat luar biasa memikat. Aku sendiri mulai merona setelah aku melihatnya sekilas.
  +
  +
Sungguh aneh. Sungguh aneh sekali. Totsuka itu laki-laki. Alasan kenapa pipiku memerah sekarang itu karena pemanasnya atau kemungkinannya karena aku sedang mulai sakit. Tenang. Tenang dan baca sebuah haiku!
  +
  +
Mungkinkah aku sakit, hm? Tidak mungkin aku sakit, benar! Benar sekali, yap (sakit).
  +
  +
…Ini pastilah suatu penyakit. Dari awalpun untuk membaca suatu haiku saja sudah berarti aku telah sepenuhnya sakit.
  +
  +
Selagi aku di dalam hati merasa panik selagi mengantri, akhirnya sudah sampai giliran kami. Menilai dari keramaiannya, itu akan lebih cepat untuk memesan pada saat bersamaan daripada satu per satu.
  +
  +
Aku berdiri di samping Totsuka dan kami berdua melihat pada menunya.
  +
  +
Ketika aku melakukannya, Totsuka menunjuk pada yakiniku galbi gulung itu.
  +
  +
“Ah, Hachiman. Ayo kita pilih yang ini.”
  +
  +
“Ya. Kalau begitu, kita mau pesan itu.”
  +
  +
Setelah membayar tagihannya dan mendapatkan yakiniku galbi gulungnya, kami pergi ke lantai dua.
  +
  +
Untungnya, masih ada meja yang kosong. Kami menghempaskan diri kami ke tempat duduknya dan segera mulai makan. Kami pertama mengigit komponen utamanya, yakiniku galbi gulung.
  +
  +
Aku dengan segera meneriakkan “ini leeeeeeeeezaaaaaaaaaaaaaaaazaaaaaaaaaaaaaaaat!”<ref> [https://www.youtube.com/watch?v=-FKChBsYtJc Master Ajikko] </ref> saat cahaya menyala dari baik mata dan mulutku selagi aku menjelajahi ruang hampa udara di luar angkasa. Itu tidak seberlebih-lebihan itu, tapi mempertimbangkan dari apa yang direkomendasikan Totsuka, yah, rasanya enak biasa.
  +
  +
Sementara rasanya enak biasa, aku tidak begitu yakin alasan kenapa Totsuka menyarankan ini.
  +
  +
“…Namun, kenapa yakiniku?”
  +
  +
Aku pergi makan dengan Totsuka beberapa kali sebelumnya, tapi aku ingat dia itu hanya makan sedikit. Juga, jika aku akan memilih, dia sudah pasti lebih terasa seperti seseorang yang lebih suka sayuran daripada daging…
  +
  +
Ketika aku menanyakannya, Totsuka dengan malu-malu berbicara.
  +
  +
“Aku pikir itu akan bagus untuk dimakan saat kamu lelah jadi…”
  +
  +
Ha, begitu ya. Dia memang baru saja selesai melakukan sedikit olahraga, jadi dia mungkin sedikit lapar. Jadi itu sesuatu seperti asupan protein setelah berolahraga atau semacamnya. Mungkin.
  +
  +
Atau begitulah yang sesuka hati kujelaskan pada diriku sendiri, tapi Totsuka menambahkan dengan suara kecil.
  +
  +
“Itu karena kamu akhir-akhir ini agak terlihat seperti itu, Hachiman…”
  +
  +
“Sungguh?”
  +
  +
Aku sadar akan kelelahanku. Namun, itu lebih berkaitan dengan keadaan mentalku. Itulah kenapa aku memberitahunya dengan tampang seakan itu tidak ada apa-apa dan Totsuka dengan pelan menggelengkan kepalanya.
  +
  +
Tangan yang memegang makanannya telah berhenti dan Totsuka dengan takut-takut melihat ke arah wajahku.
  +
  +
“Apa sesuatu, terjadi?”
  +
  +
Baik mata dan suara Totsuka itu baik hati. Itu hanya bahwa pandangan Totsuka terlihat lebih tulus dari dirinya yang biasa dan ketulusan itu menekanku.
  +
  +
Sebelum menjawab. Aku menyesap teh oolongku. Jika aku tidak melakukan itu, aku merasa seperti suaraku yang keluar malah akan terasa kering.
  +
  +
“…Tidak sungguh. Sama sekali tiiidak ada apa-apa.”
  +
  +
Berkat menelan beragam hal, suaraku keluar dengan lebih halus dari yang kukira. Nadaku lebih terang dari biasanya dan itu kemungkinan aku telah mencampurkan suatu senyuman ke dalamnya yang dimaksudkan untuk mencegah Totsuka untuk tidak perlu khawatir lebih jauh lagi.
  +
  +
Namun, ekspresi Totsuka terlihat sedikit kesepian sebagai respon senyumanku.
  +
  +
“…Begitu ya. Aku rasa Hachiman benar-benar tidak akan mengatakan apa-apa, huh?”
  +
  +
Aku tidak tahu bagaimana bentuk ekspresi Totsuka dengan wajah tertunduk murungnya dan bahu merosotnya. Tapi suara yang selanjutnya terdengar depresi.
  +
  +
“Kalau itu Zaimokuza, Aku heran apa dia tahu mengenainya…?”
  +
  +
“Tidak, orang itu tidak ada hubungannya dengan ini.”
  +
  +
Ketika dia tiba-tiba mengangkat suatu nama yang tak ada hubungannya, aku agak sedikit terkejut. Tapi di dalam hati Totsuka, di sana kelihatannya ada suatu hubungan sebab dia menggelengkan kepalanya dan mendongakkan wajahnya.
  +
  +
“Tapi kamu membicarakannya dengan Zaimokuza sebelumnya.”
  +
  +
Ketika dia berkata “sebelumnya”, Aku akhirnya sadar apa yang sedang dia katakan.
  +
  +
Selama pemilihan ketua OSIS itu, satu-satunya orang yang kuminta sarannya di luar keluargaku, Komachi, adalah Zaimokuza. Setelah itu, jumlah orang yang bekerja sama denganku meningkat karena pengaturan Komachi, tapi satu-satunya orang yang kucari sendiri untuk membicarakannya hanyalah Zaimokuza sendiri. Tapi itu tidak seperti aku ada maksud khusus untuk membuat sesuatu yang spesial. Itu hanya persoalan dapat bertemu dengan Zaimokuza terlebih dulu dan karena dia mudah untuk diajak berbincang, aku tidak perlu bimbang untuk mendapat kerja samanya.
  +
  +
Itu kelihatannya Totsuka menganggapnya dengan cara yang berbeda..
  +
  +
“Aku hanya merasa itu agak enak. Aku hanya benar-benar cemburu kamu bisa berbicara padanya mengenai hal-hal semacam itu atau semacamnya…”
  +
  +
Totsuka berbicara dengan canggung dan dengan pelan, kata demi kata. Caranya mengatakan itu terdengar seakan tindakan itu merupakan sesuatu yang patut dipuji.
  +
  +
Tapi itu salah. Itu sudah pasti bukanlah sesuatu seindah yang dibayangkan oleh Totsuka. Aku merasa itu adalah tindakan yang terlampau munafik dan egois yang memperalat kebaikan orang lain hanya untuk memuaskan kepentinganku sendiri.
  +
  +
Totsuka tidak tahu apa-apa mengenai itu.
  +
  +
Itulah kenapa bahkan sekarang dia sedang memberikanku kata-kata menghangatkan ini.
  +
  +
“Aku tidak merasa aku akan bisa berguna, tapi…”
  +
  +
Aku dapat melihat Totsuka meremas kemeja jerseynya di bawah meja. Bahu tipisnya sedikit bergetar. Aku tidak ingin dia menguatirkannya lebih banyak dari yang diperlukannya.
  +
  +
Aku kuatir tentang bagaimana aku sebaiknya memuluskan masalahnya dan selagi aku menggaruk kepalaku, aku berbicara dengan terbata-bata.<!--I spoke in clusters.-->
  +
  +
“Bukan seperti itu. Sungguh, itu bukan masalah yang besar. Itu hanya sesuatu yang diminta Isshiki padaku, jadi aku hanya sedikit sibuk dengan itu… Sebagian besar itu karena akulah yang mendorong posisi ketuanya pada dia jadi, yah, jadi itu bagian darinya. Hanya itu saja”
  +
  +
Aku mencoba untuk merangkumnya dengan kejujuran yang terang-terangan sementara tidak menyuarakan apa-apa selain itu. Berkat itu, aku tergagap-gagap pada sebagian besar kata-kataku.
  +
  +
Tapi Totsuka mengangkat wajahnya seakan kata-kata itu benar-benar lebih baik diucapkan. Dan seakan untuk memastikan kebenarannya, dia melihat ke arahku dengan mata yang tulus.
  +
  +
“Sungguh?”
  +
  +
“Ya. Itulah kenapa kamu tidak perlu kuatir.”
  +
  +
Jika aku menghabiskan sedikit lebih lama lagi untuk berpikir saja, aku mendapat perasaan aku akan menjawab sesuatu yang lain. Itulah kenapa aku menjawab dengan segera.
  +
  +
“Begitu ya.”
  +
  +
Dia membuat helaan lega dan Totsuka meraih kopinya. Bahkan setelah satu sesapan, tangannya tidak melepaskan cangkirnya. Dia mencengkram cangkir itu seakan sedang menghangatkan telapak tangannya dan bergugam.
  +
  +
“Hachiman, ternyata kamu benar-benar keren.”
  +
  +
“Ha?”
  +
  +
Kekagetanku mungkin tercermin pada wajahku. Totsuka yang melihat pada wajahku tercengang.
  +
  +
“A-Aku tidak memaksudkannya dengan cara yang aneh!”
  +
  +
Totsuka melambaikan kedua tangannya dengan panik dan membantahnya. Wajahnya sepenuhnya merah dan selagi dia bermain-main dengan rambutnya, dia memulai dengan “um” sebelum berbicara.
  +
  +
“Itu, itu agak sulit untuk dikatakan tapi… Bahkan ketika itu menyakitkan ataupun sulit, kamu tetap berusaha yang terbaik tanpa mengomplain. Aku hanya merasa, itu benar-benar, keren…”
  +
  +
Ketika dia menjelaskan itu, aku menjadi tak perlunya sadar diri. Aku meletakkan daguku pada tanganku dan berpaling. Tanpa sengaja, nada bicaraku menjadi terdengar kasar.
  +
  +
“…Bukan begitu, sungguh. Aku juga menyuarakan komplain dan kekesalanku.”
  +
  +
“Ahaha, itu benar.”
  +
  +
Totsuka tersenyum lega. Dengan senyuman baik hati itu, dia berbicara dengan suara kecil yang segan.
  +
  +
“…Tapi, beritahu aku saja jika kamu dalam masalah, oke?”
  +
  +
Dia menanyakannya untuk yang terakhir kali untuk jaga-jaga dan aku mengangguk tanpa berkata-kata. Itu persis karena betapa tulusnya dia menanyakan itu sehingga aku rasa aku sebaiknya jangan dengan mudahnya menuangkannya ke dalam kata-kata. Bagi Totsuka yang melihat kejujuran dan kerja sama itu sebagai sesuatu yang indah, maka lebih bagus begitu saja.<!--then that was even more so.-->
  +
  +
Ketika aku setuju, Totsuka mengangguk balik.
  +
  +
Setelah itu, suatu keheningan yang aneh lahir. Totsuka terlihat entah kenapa malu dan sedang tertunduk ke bawah.
  +
  +
Aku bisa mengerti dari pengalaman bahwa suasananya sudah lebih santai ketimbang tadi dan aku dengan santai berkata.
  +
  +
“Mau makan sesuatu yang manis?”
  +
  +
“Ah, itu terdengar bagus. Seperti makanan pencuci mulut.”
  +
  +
Totsuka segera mengangkat wajahnya dan menyetujuinya.
  +
  +
“Oke, aku akan pergi membeli sesuatu. Tunggu sebentar.”
  +
  +
Aku berdiri tanpa menunggu jawaban positif atau negatif dari Totsuka.
  +
  +
Ketika aku berjalan ke bawah, kasirnya masih ramai seperti biasa. Kelihatannya akan memakan waktu agak lama sebelum sampai giliranku.
  +
  +
Dengan keramaian lalu lalang orang yang masuk dan keluar, pemanas di dekat kasir lumayan kuat. Itu terasa seperti kepalaku menjadi pusing<!--hazy--> jadi aku memutuskan untuk pergi keluar untuk sejenak.
  +
  +
Malam Desember itu dingin, tapi sensasi membekukan ini terasa enak pada wajah terbakarku. Karena aku keluar tanpa mantel dan syalku, angin kering itu merayap masuk dari tengkukku. Tubuhku segera mengerut.<!--shrink-->
  +
  +
Selagi aku berdiri di sana sendirian bergemetaran di sudut jalan, satu orang yang lewat melemparkan pandangan aneh padaku. Yang lain tidak memperhatikan diriku.
  +
  +
Pada saat itu, kata-kata yang diucapkan Totsuka tadi terlintas dalam pikiranku.
  +
  +
“Keren”, huh…
  +
  +
Itu bukan sesuatu seperti itu. Mungkin itu hanya diriku sedang bersikap keras kepala. Aku rasa itu mungkin sesuatu yang seserhana bahwa aku sedang mencoba untuk pamer.
  +
  +
Aku hanya sedang bersikap keras kepala sehingga aku bisa mempertahankan apa yang sudah kuputuskan di dalam hatiku bagaimana aku benar-benar seharusnya terlihat.
  +
  +
Bahkan sekarang juga, monster logika memuakkan ini, monster sadar-diri yang menantang ini sedang mengintai dari dalam diriku ini.
  +
  +
Kalau aku harus menyadari keberadaan hal tersebut, maka aku mungkin akan bisa menerima kata-kata Totsuka dengan positif.
  +
  +
Tapi wajah senyuman Yuigahama yang dipaksa-paksakan, ekspresi tertekan yang kadang-kadang akan ditunjukkan Isshiki, Tsurumi Rumi sedang sendirian, dan di atas itu semua, senyuman hening namun pasrah Yukinoshita itu membuatku bertanya sekali lagi.
  +
  +
Apa itu benar-benar tepat?
  +
  +
Aku membuat helaan kecil dan mendongak ke atas pada langit malam tak berbintang itu. Yang mengisi langit terlihat itu yang diterangi oleh pendaran kota adalah awan.
  +
  +
<noinclude>
  +
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
  +
|-
  +
| '''Mundur ke''' [[Oregairu (Indonesia):Jilid 9 Bab 3|Bab 3]]
  +
| '''Kembali ke''' [[Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteru (Indonesia)|Halaman Utama]]
  +
| '''Lanjut ke''' [[Oregairu (Indonesia):Jilid 9 Bab 5|Bab 5]]
  +
|-
  +
|}
 
==Catatan Translasi==
 
==Catatan Translasi==
 
<references> <references/>
 
<references> <references/>

Latest revision as of 12:04, 24 June 2015

Bab 4: Itulah Mengapa, Totsuka Saika Merasa Terkagum[edit]

4-1[edit]

Setelah menghabiskan waktu di klub, aku berpindah haluan ke mode bekerja di pusat komunitas yang kutuju.

Aku menunggu Isshiki untuk datang di pintu masuk sejenak, tapi dia tidak pernah muncul meskipun sudah waktu yang sama seperti biasa.

Mungkin dia sudah masuk ke dalam terlebih dulu. Aku berhenti menunggu Isshiki dan memutuskan untuk masuk ke dalam menuju Ruang Seminar.

Terasa lebih hening daripada biasanya di dalam pusat komunitas itu. Mereka tidak menggelar dansa biasa mereka atau aktivitas klub entah apa hari ini.

Sekalipun begitu, ada suara percakapan yang merembes dari Ruang Seminar yang sedang kami pakai.

Aku memasuki ruangan itu setelah membuka pintu geser itu dengan ribut dan sebagian besar suaranya terutama datang dari SMA Kaihin Sogo. Sebaliknya, pihak SMA Sobu agak membisu.

“Apa kabar.”

Aku memberi sapaanku dan setelah aku meletakkan tasku, aku tiba-tiba menyadarinya. Isshiki yang kupikir sudah masuk duluan tidak terlihat dimanapun.

“Di mana Isshiki?”

Setelah aku bertanya, si wakil ketua yang duduk di dekatku membuat wajah kebingungan dan berkata.

“Dia masih belum di sini… Dia tidak bersamamu?”

Aku menggelengkan kepalaku sebagai jawabannya dan si wakil ketua menanyai anggota yang lain.

“Apa ada orang yang mendengar sesuatu darinya?”

“Aku mengirimkannya pesan hanya untuk berjaga-jaga, tapi…”

Menilai dari bagaimana dia berbicara pada si wakil ketua, gais ini mungkin anak kelas sepuluh. Dia mungkin antara sekretaris atau bendahara. Dengan kacamata dan rambut kepang, dia mengenakan baju seragamnya seperti yang dinyatakan oleh peraturan sekolah dan sementara dia terlihat sepert tipe orang yang penurut, dia entah kenapa terlihat bimbang.

Walaupun dia itu anak kelas sepuluh seperti Isshiki, kelihatannya dia tidak seramah seperti yang bisa kalian duga dengannya. Aku masih belum pernah melihatnya benar-benar berbicara dan bahkan baru saja tadi, dia memutuskan untuk menghubungi Isshiki dengan hanya suatu pesan teks. Entahkah itu dari pesan ataupun dari telepon, pasti ada suatu garis pembatas entah di mana, huh? Sungguh rumit…

Selagi gadis itu berganti-gantian melihat ke arahku dan ke arah wakil ketua dengan segan, dia menghela selagi dia berkata.

“Dia mungkin masih berada di klubnya.”

Ketika dia mengatakan hal itu, aku menyadari kemungkinan itu. Sebelum Isshiki menjadi ketua OSIS, dia adalah manajer klub sepak bola. Itu masih belum berubah sampai sekarang.

Jika Isshiki sedang melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan yaitu menampakkan diriku di klub, maka itu berarti dia mungkin masih belum dapat mengecek ponselnya. Kalau begitu, mungkin akan lebih cepat untuk pergi menjemputnya langsung.

“Aku akan pergi menjemputnya.”

“Ah, ya. Terima kasih.”

Si wakil ketua itu melihatku pergi selagi aku meninggalkan Ruang Seminar itu.

Dari sana, aku melintasi rute yang kuambil tadi kembali ke arah jalan yang baru saja kulalui.

Dengan sepedaku, paling cepat hanya butuh beberapa menit untuk sampai ke sekolah. Itu tidak begitu memakan waktu. Dengan sepedaku membuat suara melengking selagi aku mengayuhnya, aku buru-buru pergi ke sekolah.

Di sekolah yang lumayan lebar itu terdapat klub baseball, klub sepak bola, klub rugbi, dan klub trek dan lapangan yang tercampur bersama nan sedang berlatih dengan rajin seperti yang selalu mereka lakukan.

Walaupun matahari sedang terbenam, kelompok orang-orang yang kukenal itu cukup cerah. Aku memarkirkan sepedaku di dekat sekolah dan menuju kelompok pemain sepak bola yang sedang berkeliaran di sana.

Selagi aku mengamati mereka dari jauh, tim sepak bola itu dibagi menjadi dua tim dan kelihatannya sedang memainkan pertandingan mini.

Isshiki tidak ada di sana, tapi seorang gadis manajer lain (imut) ada di sana dan di tangannya terdapat sebuah stopwatch dan sebuah peluit. Dia membunyikan peluit itu.

Ketika dia melakukannya, pemain-pemainnya menjadi santai dan berjalan ke arah sini menuju samping bangunan sekolah. Kelihatannya, itu waktu istirahat mereka dan mereka sedang akan merehidrasi diri mereka dengan botol air mereka yang mereka tinggalkan di sana.

Di dalam kelompok itu, aku menemukan Tobe. Juga menyadari keberadaanku, dia dengan pelan mengangkat tangannya dan berjalan ke arahku. Ada apa denganmu? Jika kamu melakukan sesuatu seperti itu, orang-orang akan berpikir kita itu teman. Hentikan itu.

“Oooh, lihat siapa ini? Bukanka' itu Hikitani-kun? Ada apa?”

Tobe berbicara padaku dengan tingkah yang benar-benar bersahabat. Aku tidak yakin apa dia itu tolol atau apa, tapi kenapa orang ini selalu bertingkah terlampau familier…? Itu tidak seperti dia orang yang jahat, jadi itu bukan suatu masalah yang begitu besar.

Yah, pas sekali. Aku rasa aku akan menanyakan Tobe.

“Apa Isshiki ada di sini?”

“Irohasu? Irohasu di… huh? Tidak di sini, huh? Hayato-kuun, apa ente tahu di mana Irohasu?”

Tobe melihat sekeliling mencari Isshiki, tapi menyadari bahwa dia tidak ada di sini, dia memanggil dengan suara keras pada Hayama yang ada di dekat sana.

Hayama mengambil sebuah handuk dari si manajer (imut), memakainya untuk mengelap keringatnya, dan berjalan ke arah kami. Wow, gadis manajer benar-benar memberikanmu sebuah handuk. Jika itu terjadi padaku, aku hanya akan menjadi tidak perlunya berkeringat karena terlalu gugup.

“Iroha bilang dia ada sesuatu yang perlu dilakukannya jadi dia pergi lebih awal.”

Hayama menjawab Tobe dan Tobe melihat ke arahku.

“Begitulah, Hikitani-kun.”

“Oh, begitu. Maaf, terima kasih. Sampai jumpa.”

Kelihatannya kami melewati satu sama lain entah di mana. Ini membuang-buang waktu saja. Aku mencengkram gagang sepedaku, siap untuk kembali dengan segera dan mengucapkan terima kasih pada mereka berdua.

“Aah, tak usah kuatir men, tak usah kuatir.”

Tobe dengan pelan melambai tangannya dan mengatakan itu dengan senyuman cemerlang. Tapi yang di sampingnya dengan ekspresi dingin adalah Hayama.

“Tobe, mengenai pembagian tim untuk pertandingan mini selanjutnya, ambil alih itu untukku.”

“Eh? Aah, aye, aye.”

Tobe tiba-tiba diberi perintah dan dia berlari kecil ke lapangan. Entah kenapa, itu terlihat seperti dia sedang di usir dari sini.

Itu tidak akan begitu bagus juga untuk tetap di sini terlalu lama. Aku mendorong sepedaku sehingga aku bisa kembali ke pusat komunitas itu secepat mungkin. Di sana, suatu suara memanggil ke arahku jauh dari belakangku.

“…Apa kamu punya waktu sebentar?”

Ketika aku berpaling ke belakang, ada seorang pria di sana.

Hayama menarik lepas handuk yang terbalut di lehernya dan selagi dia dengan lembut melipatnya, dia berkata.

“Terdengar sangat merepotkan.”

Aku tidak begitu yakin apa yang sedang dimaksudkannya. Aku memiringkan kepalaku, mempertanyakan apa yang dia maksudkan. Menilai dari bagaimana bentuk ekspresiku itu, Hayama membentuk suatu senyuman.

“Kamu sedang melakukan banyak hal setelah dimintai bantuan oleh OSIS bukan? Jaga Iroha baik-baik.”

“Apa, jadi kamu tahu?”

Aku pikir sudah pasti Isshiki merahasiakan insiden kali ini dari Hayama.

Hayama membuat senyuman getir.

“Ya. Dia tidak memberitahu apapun yang spesifik mengenai apa yang sedang dia lakukan, tapi dia terlihat cukup sibuk.”

Aku mengerti. Jadi ini adalah sirkuit gadis kompleks[1] dimana dia ingin mencegah dirinya menganggu orang lain sementara memastikan apa yang mereka lakukan diketahui oleh orang lain. Aku benar-benar mengerti. Tidak, aku tidak mengerti.

Apa yang tidak kumengerti adalah tingkah laku Hayama.

“Ya? Jadi jika kamu mengetahuinya, maka kamu seharusnya membantu dia.”

Dari awalpun, hubungan Hayama dengan Isshiki itu jauh lebih dalam daripada hubungan Isshiki denganku. Isshiki memang mengatakan alasan mengapa dia tidak meminta bantuan Hayama, tapi jika itu si Hayama yang kubayangkan, maka jika ia menyadari bahwa dia sedang sibuk, dia akan menyebutkan satu atau dua patah kata tentang memberikan bantuan.

Tapi ketika Hayama menyipitkan matanya dan memasang suatu senyuman di wajahnya, dia mengatakan sesuatu yang mengejutkan.

“Itu tidak seperti dia meminta bantuanku. Orang yang diminta bantuan olehnya itu kamu.”

“Dia hanya menggunakanku sebanyak yang dia bisa.”

“Jika kamu diminta bantuan, toh, kamu tidak benar-benar menolaknya.”

Suatu suara yang bergema pelan seakan suara itu terdengar agak terkesan. Tapi walaupun itu mungkin terdengar mengenakkan di telingaku, itu juga dilumuri dengan sindiran bagiku. Karena itu, nada bicaraku menjadi tajam.

“Seperti itulah klubnya. Tidak ada alasan khusus untuk menolak. Tidak sepertimu, toh, aku punya waktu senggang.”

“Apa itu saja?”

“…Apa yang sedang coba kamu katakan?”

Pertanyaan yang menekannya membuatku jengkel.

Walaupun aku mengembalikan pertanyaannya, Hayama tidak menjawab dengan senyuman getirnya masih menahan bentuknya. Untuk seberapa heningnya itu, aku sampai bisa mendengar suara keras dari klub-klub lain. Meskipun begitu, tempat Hayama dan aku sedang berdiri membuat itu terasa seperti keributan itu begitu jauh sekali.

Keheningan itu menyengati telingaku jadi aku mencoba mengisinya dengan berbicara.

“…Dari awalpun, kamu juga tidak bisa menolak. Itu tidak seperti hanya karena klub juga.”

“Aku heran tentang itu…”

Hayama memalingkan wajahnya dariku dan melihat ke arah barat langit tersebut.

Awan-awan yang masih tertinggal itu mulai diwarnai dengan warna merah.

Hayama terlihat seperti dia sedang memikirkan sesuatu selagi dia menutup mulutnya erat-erat dan mengembalikan pandangannya ke arahku. Walaupun matahari senja sudah mulai tercermin di wajahnya, misteriusnya tidak ada kehangatan di sana.

“…Aku bukanlah orang sebaik yang kamu bayangkan.”

Dia kemudian mengatakan hal tersebut dengan nada menantang. Mata dingin menusuknya menatapiku di tempat dengan hening.

Suaraku hanya tidak mau keluar.

Itu adalah suatu nada yang dilapisi dengan suatu keparahan meskipun dia begitu kalem. Itu terasa seperti aku mendengar hal itu pada suatu waktu tertentu selama liburan musim panas. Dalam kegelapan malam tersebut, bukankah dia membuat ekspresi yang persis seperti ini waktu itu?

Aku berdiri di sana tanpa menjawab dan begitu pula dengan Hayama yang tidak mengatakan apapun lebih jauh lagi.

Satu-satunya hal yang saling kami tukarkan adalah tatapan kami, tanpa satu hal lainpun yang ditukarkan di antara kami. Waktu berhenti hanya seperti itu saja. Hanya suara tiada henti dari orang-orang dalam aktivitas klub mereka yang berlanjut yang juga berperan untuk menandakan perputaran waktunya.

Di antara suara-suara itu ada suatu suara yang sangat keras yang bisa terdengar.

“Hayato-kuuun, laaanjut!”

“Aku akan segera ke sana.”

Suara keras Tobe membuat Hayama sadar kembali dan dia menjawab pada Tobe yang berada di dalam lapangan. Dia kemudian dengan pelan mengangkat tangannya ke arahku dan mulai berjalan.

“Sampai jumpa…”

“…Ya, maaf menganggumu.”

Tidak perduli untuk melihat Hayama pergi ke kejauhan, aku menaiki sepedaku. Tanpa kusadari, kaki yang mengayuh memiliki kekuatan yang besar di dalamnya.

Perasaan memuakkan terhadap tingkah laku itu yang mencoba untuk menggali kebenarannya dan perasaan tidak nyaman yang mengikuti bahwa aku gagal menyadari sesuatu. Itu berdua tertanam di dasar perutku sampai ke titik itu membuatku merasa sakit.

Aku merasakan perasaan tidak senang ini terhadap tingkah laku Hayama.

Apa aku membuat suatu kesalahan mengenai bagaimana aku mengenali Hayama Hayato?

Aku pikir dia adalah orang yang baik. Tapi aku juga menyadari bahwa dia bukanlah hanya orang biasa. Ekspresi tak berperasaan yang akan ditunjukkannya demi tujuan untuk membuat semua orang akur. Aku pikir itulah jenis orang Hayama Hayato itu.

Namun, senyuman itu sedikit berbeda. Di satu sisi, itu adalah senyuman yang lembut dan baik hati, pokoknya sempurna. Tapi persis karena kesempurnaan tanpa cela inilah sehingga tidak ada batasan pada rasa dinginnya.

Itu adalah sesuatu yang mirip dengan apa yang pernah kulihat sebelumnya.

Saat aku mencari jawaban tersebut, selagi aku sedang mengayuh sepedaku, aku telah sampai ke pusat komunitas itu. Aku mengunci sepedaku dan baru saja aku akan menuju ke dalam, Isshiki baru keluar dari toko swalayan sedikit di seberang. Caranya berjalan dengan kepalanya tertunduk terlihat begitu lamban sekali.

“Isshiki.”

Ketika aku memanggilnya, Isshiki mendongakkan kepalanya. Menyadari keberadaanku, dia membagi kantong plastik toko swalayan itu ke dua tangan dan membuat helaan kecil. Dia kemudian menunjukkan suatu senyuman manis.

“Ah, Maafkan aku. Apa aku membuatmu menunggu sedikit?”

“Benar, sampai aku harus pergi mencarimu.”

“Ini adalah saat dimana kamu seharusnya berkata ‘Aku tidak menunggu sama sekali karena aku juga baru sampai’, bukan…?”

Isshiki berbicara dengan nada tidak senang selagi dia cemberut dan aku mengulurkan kedua tanganku tanpa berkata-kata. Melihat hal itu, Isshiki mendadak membuat suatu senyuman. Cara dia tersenyum terlihat seperti dia sedang membuat helaan kecil.

“…Kantong hari ini tidak seberat itu jadi tidak masalah.”

“Begitukah?”

“Ya.”

Isshiki menjawab dengan singkat. Benar, isi kantong-kantong plastik itu tidak terlihat banyak. Tapi tangan yang memegangi kantong plastik itu terlihat lebih berat dari biasanya.

“Kita sudah cukup telat, jadi kita sebaiknya bergegas.”

Setelah mengatakan hal itu, Isshiki memasuki pusat komunitasnya. Aku mengikuti di belakangnya.

Bahu Isshiki dari belakang terlihat sedikit merosot dibanding biasanya dan punggungnya terbungkuk ke depan dengan lesu.

Aah, motivasi orang tersebut sudah merosot, huh…? Senakal-nakalnya dia itu, dia mengejutkannya tidak begitu kuat hatinya.

Itu wajar. Dia mungkin lelah dengan situasinya karena baik acaranya itu sendiri dan masalah internal OSISnya masih tidak begitu mapan. Bagi seorang gadis kelas sepuluh di SMA itu merupakan situasi yang cukup berat baginya.

Tapi satu alasan yang berkontribusi pada lingkungan semacam itu adalah diriku. Tidak banyak hal yang bisa kulakukan, tapi meskipun begitu, aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan untuk setidaknya memberikan dukungan.

Walaupun untuk sekarang ini, satu-satunya hal yang benar-benar bisa kulakukan adalah memegangi kantong plastik toko swalayan itu.


× × ×


4-2[edit]

Akankah sesuatu yang bagus muncul semakin lama kamu menanganinya?

Aku pikir sebenarnya, pertanyaan tersebut merupakan suatu proposal tiada-akhir bagi mereka-mereka yang membuat sesuatu.

“Masih ada sedikit lagi. Seharusnya masih tidak apa-apa. Hanya tinggal sedikit lagi dan aku akan bisa melakukannya…” Itu suatu kejadian yang umum bagi semuanya ambruk total selagi pemikiran itu memenuhi kepalamu. Pada waktu-waktu tersisa yang kamu miliki, kamu akan bermalas-malasan, asal-asalan mengerjakan sesuatu dan menganggap remeh masalah. Persis begitulah manusia itu. Tenang? Apa-apaan yang sedang kamu katakan? Ini adalah apa yang kamu sebut sebagai sedang bertindak ceroboh![2]

Bahkan sekarang, situasinya sudah kacau balau di hadapanku selagi aku sedang mengatakan “itu masih bisa diselamatkan, itu masih bisa diselamatkan, Madgascar!”[3]

Hari ini, kita ditetapkan untuk bertemu murid SD dari sekolah di dekat sini sesuai dengan apa yang diajukan SMA Kaihin Sogo hari itu. Tidak ada satu detail apapun yang diputuskan dengan hanya proporsi skalanya yang membengkak lebih besar.

“Mari kita memutuskan hal-hal bersama-sama mulai sekarang! Aku ingin kalian berusaha keras dan memberitahu kami apapun!”

Tamanawa yang terlampau menyegarkan itu menyambut anak SD itu dengan cara yang menular itu.

Ketika dia melakukannya, para murid SD itu semua menjawab “kita semua berharap dapat bekerja sama dengan kalian” dengan serempak dalam suara tidak teratur mereka.

Seperti yang bisa kalian duga, tidak seluruh murid SD yang berpartisipasi sebab hanya beberapa yang dipilih, mungkin dari sesuatu seperti OSIS SD.

Jumlah mereka kira-kira hanya sepuluh.

Dan di dalam kelompok itu, aku menemukan seorang gadis kecil yang terlihat familier.

Karena dia terlihat jauh lebih dewasa daripada anak-anak di sekelilingnya, dengan sekilas saja sudah cukup untuk mengenalinya. Dengan rambut hitam yang panjang dan berkilau, dia sedang entah bagaimana menghasilkan eksterior yang dingin.

Tsurumi Rumi masih sendirian, tidak berbeda dari masa selama liburan musim panas itu.

Ketika aku menatap ke arahnya terus menerus, dia terlihat seperti dia menyadariku juga sebab dia menyipitkan matanya. Dia memalingkan pandangannya dan melihat ke lantai.

Tingkah lakunya itu berkebalikan dengan anak-anak SD yang bersenda gurau di sekelilingnya dan ingatan akan apa yang aku lakukan padanya muncul kembali.

Itu di Desa Chiba selama liburan musim panas. Aku menghancurkan hubungan manusia yang mengelilingi Tsurumi Rumi di perjalanan kamping sekolah yang diikuti gadis-gadis itu. Itu juga melibatkan tindakan mendorong peran menjadi orang jahat pada Hayama dan yang lain.

Dan hasilnya berada tepat di depan mataku.

Aku tidak tahu apakah itu benar atau salah. Entahkan dia terselamatkan dari apa yang dihasilkan tindakan itu adalah sesuatu yang hanya bisa diputuskan olehnya.

“Senpai, ada apa?”

Ketika aku berpaling ke belakang pada suara tersebut, Isshiki sedang membuat tampang ingin tahu.

“…Tidak ada apa-apa.”

Setelah aku menjawab singkat, aku melihat sekali lagi ke arah Rumi dan yang lain.

Kelihatannya para gadis dalam kelompok yang sama dengannya pada perjalanan kamping itu juga tidak ada di sini. Dengan kata lain, aku sepenuhnya tidak bisa tahu akan bagaimana keadaan hubungannya dengan orang lain sekarang ini. Untuk mencoba memikirkannya lebih jauh lagi aku hanya bisa menebak-nebak. Kalau begitu, aku akan berhenti di sana.

Sekarang ini, ada hal lain untuk dipikirkan. Dan itu adalah bagaimana menangani anak-anak SD ini pada sekarang ini.

Meskipun kita bertemu dengan murid SD itu, tidak ada pekerjaan khusus yang bisa kita tugaskan pada mereka.

Meski ada juga guru-guru di sini, kemungkinan bertindak sebagai pengawas mereka, tapi itu kelihatannya mereka berencana menyerahkan perencanaanya pada kami para murid SMA. Sapaan awal singkat dari Tamanawa kelihatannya telah sangat sukses mendapat dukungan mereka.

Dan berbicara mengenai Tamanawa, setelah pidatonya, dia datang ke arah kami dan membuat senyuman menyegarkan.

“Oke, bisakah aku menyerahkan urusan menangani mereka pada kalian?”

Memanggil mereka hanya untuk meninggalkan mereka… Meskipun kamu memberitahu kami untuk melakukan itu, satu-satunya hal yang bisa kami lakukan adalah berbincang-bincang karena kita masih belum memutuskan satu hal pun. Ditambah lagi, kita tidak bisa menahan pada murid SD itu terlalu larut. Jumlah waktu untuk bekerja itu terbatas. Sesuatu seperti “jujur saja, meskipun kita menahan mereka di sini…” adalah situasinya.

“…Mmm.”

Sebagai respon terhadap permintaan Tamanawa, bahkan Isshiki membuat tampang sulit.

Namun, fakta bahwa dia sudah memintanya membuatnya terlambat bagi dia untuk berkata “maaf, ternyata tidak bisa”. Aku tidak yakin apa yang mungkin Tamanawa katakan dalam negosiasinya, tapi menyerahkan itu pada mereka membuat pihak kami merasa ada kewajiban terhadap mereka. Untuk tidak dapat menghentikan pendapatnya selama diskusi itu merupakan salah langkah yang menyakitkan.

Jika kami membuat percekcokan di sini, kesan terhadap kedua sekolah kami, sekolah SD itu, dan rencana yang sudah disetujui oleh berbagai institusi akan memburuk. Ditambah itu, pada sekarang ini kami sudah terjebak dalam kebuntuan dan membuat suatu percekcokan hanya akan menambah sensasinya lebih jauh lagi.

Jika mereka naik, maka kita turun… Jauh dari mendapat kesulitan, masing-masing dari mereka semua itu penyihir, penyihir[4]!

Jika kami saja tidak tahu apa yang mesti kami lakukan, maka begitu juga adanya bagi para murid SD itu. Meskipun mereka dibawa kemari, mereka sedang berkerumun dalam satu kelompok terlihat tidak yakin tentang apa yang mesti mereka lakukan.

Tapi bahkan di dalam kelompok itu ada seseorang yang sangat menonjol sekali.

Tidak perlu melihat siapa itu karena itu adalah Rumi.

Bahkan ketika anak-anak lain akan diam-diam berbicara mengenai ini dan itu, dia akan berdiri di sana tanpa ikut ke dalamnya.

Murid-murid SD itu diam-diam melirik ke arah kami dan kemudian mulai berbisik pada telinga satu sama lain.

“Apa kita sebaiknya menanyakan mereka tentang apa yang akan kita lakukan?”

“Siapa?”

“Gunting-batu-kertas?”

“Oke… Mau berapa kali kita main?”

“Tunggu. Pertama batu?”

Selagi mereka terus berbicara, mereka kelihatannya telah lupa bahwa itu adalah percakapan rahasia selagi suara mereka terus menguat sampai cukup keras untuk kami dengar.

Ada sesuatu seperti itu, kamu tahu? Budaya dimana kamu mencoba memutuskan segala sesuatu dengan permainan gunting-batu-kertas. Itu mirip dengan duel pikiran hitam dan putih dimana kamu akan berduel untuk segala hal. [5]. Dan jadi, para penyendiri yang ikut bermain sendirian dan keluar sebagai pemenangnya, mereka lalu berakhir mengatakan “oke, pemenangnya yang harus melakukannya~!”. Kalau begitu, kamu seharusnya cukup memutuskannya dengan suara mayoritas, astaga. Dengan begitu, kamu cukup bisa pasrah saja. Diri SDku itu super menyedihkan.

Yah, cerita-cerita mengenaiku tidak ada artinya di sini. Ketika aku melihat ke arah para murid SD ingin tahu apa yang sedang mereka lakukan, ada suatu hasil yang mengejutkan.

“…Aku akan pergi.”

Dia mungkin mendengarkan percakapan mereka dari dekat. Rumi membuat tatapan kecil dan berkata begitu. Dia tidak terlihat begitu bersemangat akan itu, tapi tingkah kalemnya kelihatannya terlihat sombong pada anak-anak yang lain. Anak-anak itu melihat Rumi pergi selagi mereka berbicara dengan suara yang tidak percaya diri dan tertekan.

“Ah, oke…”

“Terima kasih…”

Rumi tidak menunjukkan respon pada suara lemah mereka selagi dia terus berjalan ke depan kami. Tentu saja, dia kelihatannya terlihat bimbang menanyaiku, jadi dia memanggil si wakil ketua di dekatnya.

“Apa yang harus kulakukan?”

Kendati usianya kecil, Rumi bertanya dengan tingkah laku yang lumayan kalem yang menyebabkan wakil ketua itu untuk menjawab dengan buru-buru.

“U-Uhhh…”

Si wakil ketua gelisah akan bagaimana dia sebaiknya menjawab dan dia melemparkanku pandangannya.

“Melakukan apa?”

“Jangan tanya aku…”

“Aah, maaf.”

Setelah mengatakan itu, si wakil ketua melihat ke arah Isshiki. Mempertimbangkan alur sistematik dalam pembagian peran, hal pertama yang mesti dilakukan adalah untuk mencari tahu itu dengan Isshiki.

“Isshiki.”

Dia memanggil Isshiki yang berada di dekat Tamanawa untuk datang ke mari. Isshiki dengan lembut permisi dari Tamanawa dan kembali dengan berlari kecil.

“Apa yang sebaiknya kita lakukan tentang pembagian pekerjaan pada murid SD ini?”

Ketika dia menanyakannya, Isshiki dengan pelan menyilangkan lengannya dan memiringkan kepalanya untuk berpikir.

“Uuumm… Kita masih belum memutuskan apapun, bukan…? Bukankah itu lebih baik untuk mencari tahu dengan mereka terlebih dahulu…?”

“Tidak…”

Menilai dari bagaimana Tamanawa dan yang lain itu, itu hanya akan mendapat jawaban kira-kira “kamu baru tanya sekarang?” Karena kami ditugaskan untuk menangani mereka, kami sendiri yang harus memikirkannya.

“Untuk sementara waktu, aku rasa hal-hal yang akan perlu tapi tidak akan menganggu. Kira-kira seperti mendekorasi atau membuat pohon akan bisa. Atau mungkin membeli bahan-bahannya juga…”

“…Aku rasa begitu. Oke, kalau begitu ayo kita katakan itu saja.”

Isshiki menganggukkan kepalanya dan mengatakan itu. Dia mengarahkan penjelasannya pada murid SD itu bersama dengan Rumi.

Beban kerja itu untuk sementara waktu seharusnya cukup. Tapi kita harus berpikir mengenai apa yang mesti kami lakukan di masa depan. Mempertimbangkan kami sedang berada dalam situasi dimana kita tidak tahu tentang apa yang mesti dilakukan, kita harus memikirkannya bahkan lebih jauh lagi. Kita harus menyelesaikan struktur kerangka acara ini, jika tidak kita hanya akan menjadi kerumunan massa kacau balau yang membuang-buang waktu.

Aku menyerahkan penanganan murid-murid SD itu pada Isshiki dan berjalan ke arah Tamanawa. Seharusnya, ini adalah apa yang seharusnya dilakukan Isshiki, tapi ada yang namanya afinitas pada manusia. Karena perbedaan usia mereka, Isshiki mungkin tidak bisa berterus terang padanya. Kalau begitu, inilah dimana aku harus melakukannya untuk dia.

Aku mendekati Tamanawa yang sedang mengobrol dengan ramah dengan kelompok temannya dan aku terbatuk pelan. Tamanawa kemudian menyadarinya dan berpaling ke belakang.

“Ada apa?”

Tamanawa bertanya dengan senyuman menyegarkan. Aku tidak begitu bagus dengan tipe-tipe orang ini yang memberikan aura baik hati ini. Entah kenapa, suatu wajah yang kukenali akan muncul di pikiranku. Karena aku sudah mengantisipasi kesadaranku bahwa aku begitu buruk dengan orang-orang ini, caraku berbicara terdengar kasar.

“Um, bahkan dengan semua penolong itu, jika kita tidak ada sesuatu yang diputuskan, kita benar-benar tidak bisa melakukan apapun…”

“Oke, kalau begitu mari kita semua memikirkan hal ini bersama.”

Bahkan aku sepenuhnya tidak bisa berkata-kata mendengar jawaban hampir-dengan-segera itu.

“Kita semua katamu… Jika kita hanya membuat diskusi samar dengan satu sama lain, kita tidak akan bisa memutuskan apapun. Untuk sekarang, kita sebaiknya mencoba untuk memilah-milah masalahnya dan itu akan lebih baik untuk mempertimbangkannya dari.”

“Tapi bukankah itu hanya akan mempersempit pandangan kita? Aku rasa kita semua sebaiknya mencari suatu solusi bersama.”

Tamanawa menyelaku tanpa mendengarkanku sampai akhir. Namun, jika aku mundur di sini, semuanya hanya akan terulangi lagi. Sekali lagi, aku mencoba untuk membuat suatu sanggahan dari arah yang berbeda.

“Tidak, tapi waktunya…”

“Itu benar. Kita sebaiknya juga memikirkan bagaimana menangani hal itu bersama-sama=.”

Itu seperti bekerja lembur demi menggelar suatu konferensi untuk menyingkirkan kerja lembur, bukan? Aku berpikir tentang bagaimana aku seharusnya membuat hal itu tersampaikan pada dirinya selagi aku menggaruk kepalaku dan Tamanawa sengaja membuat senyuman baik hati itu seakan dia menyadari ketidak-sabaranku.

“Aku mengerti kamu sedang terburu-buru, tapi mari kita berusaha yang terbaik bersama dan MEMBANTU satu sama lain.”

Tamanawa membuat gerakan yang sedikit berlebih-lebihan itu dan menepuk bahuku seakan mencoba menyemangatiku. Dia tidak menggunakan sebegitu banyak tenaga, tapi bahuku tetap saja merosot.

Itu terlihat seperti tidak ada gunanya tidak peduli apa yang kukatakan.

Aku mungkin sedang mengulangi perkataanku, tapi ada sesuatu yang dinamakan afinitas pada manusia. Akan tetapi, aku merasa bahwa Tamanawa dan aku mungkin memiliki afinitas yang paling buruk. Tapi kemungkinan bahwa itu bukan sepenuhnya salah Tamanawa.

Dan benar. Ada banyak saat-saat dimana menggabungkan pendapat dan sudut pandang banyak orang, sesuatu yang dapat diwujudkan dari itu akan berakhir luar biasa. Itu mungkin cuma karena cara aku memikirkannya itu hanyalah berbeda.

Untuk bekerja sama dengan orang, untuk bergantung pada seseorang, itu adalah sesuatu yang memakan waktu. Karena kurangnya pengalamanku dalam bagian itu, itu mungkin alasan kenapa aku tidak bisa mengerti cara Tamanawa melakukan sesuatu.

Aku berada di sini setelah membuat banyak kesalahan. Aku kali ini mungkin saja juga salah mengenai sesuatu.

“…Aku mengerti. Tapi kita sebaiknya menggelar konferensi itu segera.”

Setelah mengatakan itu, aku memaksa menelan keraguanku sendiri.

“Oke, kalau begitu mari kita menggelar konferensinya dengan segera.”

Tamanawa mengakhiri percakapan kami, memanggil murid-murid SMA Kaihin Sogo lain, dan memulai konferensinya.


× × ×


4-3[edit]

Konferensi hari ini digelar untuk mendiskusikan detail-detail yang lebih spesifik mengenai acaranya.

“Sampai sekarang ini, kita sudah dapat memutuskan pada DESAIN UTAMAnya, tapi hari ini, mari kita membuat DISKUSI mengenai bagian-bagian tentang KREATIVITAS.”

Tamanawa mengambil posisi yang mirip dengan seorang moderator itu dan membuka diskusinya dengan pidato bertele-tele.

Semua anggota SMA Kaihin Sogo mengangguk sebagai balasannya.

Satu orang pengawas murid SD itu yang kami tugaskan pekerjaan mendekorasi dan pihak kami, SMA Sobu, berpartisipasi dalam konferensi itu.

Untuk memasuki disuki mengenai hal spesifik dari acara itu, aku rasa konferensi itu sendiri akhirnya mendapatkan sedikit kemajuan.

Setelah memutuskan bahwa tidak ada suara yang keberatan akan proposalnya tadi, Tamanawa memulai dengan nada kalem.

“Karena kita sedang memulai dari TITIK NOL, semua orang sebaiknya dipersilahkan untuk mengatakan apa yang kalian inginkan.”

Setelah itu, tangan-tangan dari pihak Kaihin Sogo mulai teracungkan satu demi satu.

“Melakukan sesuatu yang sangat berala-Natal akan benar-benar bagus.”

“Namun aku rasa kita benar-benar tidak bisa menyingkirkan aspek TRADISIONAL darinya, huh?”

“Tapi mengenai tuntutan terhadap kita, itu sebaiknya selaras dengan murid SMA, benar?”

Diskusinya sedang perlahan-lahan menjadi abstrak lagi. Tidak bagus, jika begini terus konferensinya tidak akan ada bedanya dengan diskusi yang sudah kita lakukan selama ini.

Seperti yang bisa kalian duga, Tamanawa kelihatannya menyadari hal ini juga. Setelah satu anggukan, dia memanggil semua orang.

“Itu harus berhubungan dengan Natal, tapi sesuatu yang selaras dengan kita, begitu. Sesuatu seperti apa contohnya?”

Dari sana, pendapat muncul satu demi satu seperti permainan asosiasi kata.

“Aku merasa STANDAR untuk suatu ACARA wilayah seperti ini pastilah suatu KONSER Natal KLASIK.”

“Tapi itu akan bagus jika kita bisa menyediakan sesuatu untuk JIWA-JIWA muda juga. Seperti sebuah BAND.”

“Bukankah JAZZ itu lebih berorientasi Natal?”

“Kalau begitu kita mungkin lebih baik cukup membuat paduan suara saja. Kita juga bisa meminjam sebuah ORGAN PIPA.”

Anggota SMA Kaihin Sogo memiliki banyak motivasi selagi mereka dengan giat melemparkan ide-ide. Satu orang akan mengajukan sesuatu dan orang lain akan memperluas kemungkinan dari ide tersebut dan kemudian mereka akan menyuarakan suatu ide yang sepenuhnya baru.

Orkestra, band, konser jazz, paduan suara, tari, drama, gospel, musikal, closet drama[6], dan seterusnya…

Aku juga memiliki pekerjaan mencatat notulennya, jadi aku membuat suatu catatan mengenai semua pendapat yang diajukan itu.

Tren ini tidak buruk sama sekali. Bahkan mereka-mereka di OSIS kami juga mengacungkan tangan mereka untuk mengontribusikan beberapa pendapat mereka. Kelihatannya karena konferensi yang terdahulu memiliki suatu suasana yang membuatnya sulit berbicara sehingga itu mencegah mereka melemparkan ide-ide mereka secara aktif.

Aku terus menuliskan catatan untuk sedikit lebih lama lagi.

Apa kita menghabiskan semua pendapat kita? Ketika aku meninjau ulang daftar hal-hal yang disebutkan itu, aku dapat melihat suatu cahaya harapan yang kecil. Jika kita terus melanjutkan laju ini, kita mungkin bisa menyelesaikan detail-detailnya sebelum hari ini berakhir.

Persis selagi aku memiliki pemikiran itu Tamanawa mengucapkan sesuatu yang mengerikan.

“Bagus. Sekarang, mari kita diskusikan itu semua.”

Lelucon macam apa itu? Apa itu sejenis lelucon Chibalia[7]? Aku melihat ke arah wajah Tamanawa, tapi dia terlihat sangat serius. Malahan, senyuman menyegarkan yang dia buat menunjukkan bahwa dia sedang menikmati alur dari konferensi itu.

…Dengan “itu semua”, kamu maksud masing-masing pendapat yang ada? Dalam artian, menyelidiki keuntungan dan kerugian yang memungkinkan dari semua itu satu per satu?

Aku mendapat perasaan kami pasti tidak punya sisa waktu sebanyak itu. Acara Natal hanya tinggal sekitar seminggu lagi. Tidak peduli apa yang kami putuskan untuk dilakukan, mempertimbangkan waktu yang kami perlukan untuk mempersiapkan, berlatih, dan mengkoordinasikan diri kami, kami harus memulai persiapannya sekarang juga atau akan ada masalah.

“Bukankah itu akan lebih cepat untuk memilih salah satu dari semua itu sekarang?”

Aku tidak bisa menahan diriku selagi aku mengatakannya dan Tamanawa memejamkan matanya dan dengan pelan menggelengkan kepalanya.

“Daripada dengan cepat menyingkirkan ide-ide, kita sebaiknya melakukan sesuatu yang menggabungkan saran semua orang dengan suatu cara yang akan membuat semua orang merasa puas dengannya.”

“Tidak, seperti yang kubilang…”

“Kita sudah membuat masalahnya mendekati satu sama lain secara sistematis, jadi aku rasa kita punya banyak waktu untuk melakukan ini bersama-sama.”

Bahkan dengan usahaku untuk menyanggahnya, Tamanawa berkata demikian tanpa mengalah.

Tentu saja, persis seperti yang dikatakan Tamanawa. Salah satu cara melakukan sesuatu adalah dengan mencari-cari sebuah proposal yang menyatukan semuanya.

Namun, apa itu benar-benar tidak masalah?

Suatu perasaan tidak nyaman yang tidak mengenakkan nan mengikis menerjang bagian dalam perutku.

Tapi selagi aku tidak bisa memikirkan lebih banyak sanggahan lagi pada Tamanawa, konferensi itu berlanjut.

Dari sana, aspek konferensi itu sekali lagi berubah dari barusan tadi.

“Kenapa tidak kita menggabungkan musik-musiknya dan membuat sebuah KONSER Natal dengan beragam GENRE?”

“Jadi jika kita melihatnya dari arah sana, maka bukankah musik dan MUSIKAL menghasilkan sesuatu yang lumayan bagus?”

“Kenapa tidak kita cukup melakukan itu semua dan membuatnya menjadi sebuah film?”

Itu kelihatannya tujuan SMA Kaihin Sogo, seperti kata-kata Tamanawa, adalah untuk membuat sebuah proposal yang menyatukan segalanya. Isi dari diskusi itu berpindah ke arah bagaimana mereka akan pergi membuat semua ide mereka menjadi suatu kenyataan.

Hal melemparkan ide keluar itu sendiri bagus. Merangsang konferensinya merupakan sesuatu yang seharusnya disambut.

Aku tidak keberatan jika suatu diskusi formal dipilih demi mengajukan banyak ide.

Tapi di dalam diskusi dan konferensi yang kami gelar dimana tidak ada ide siapapun yang ditolak, tidak ada kesimpulan yang dapat terlihat dalam pandangan.

Konferensi yang kupikir sedang berjalan dengan lancar mulai terlihat tidak masuk akal.

Ketika aku menyadarinya, tanganku yang mencatat notulennya telah berhenti. Aku dengan santai membiarkan tanganku bergantung di bawah meja dan duduk di sana mengamati konferensi tersebut dengan hening.

Ekspresi yang kumiliki sepenuhnya berbeda dari ekspresi orang-orang yang dengan semangat terlibat dalam diskusi itu.

Mereka memiliki senyuman cemerlang dan bersemangat yang terbentuk di wajah mereka.

Saat itulah ketika aku menyadarinya.

Mereka semua sedang menikmati saat-saat ini. Dengan kata lain, mereka sedang menikmati percakapan dengan satu sama lain ini.

Apa yang mereka inginkan bukanlah pemikiran menjadi relawan itu sendiri, tapi mengakui-diri bahwa mereka sedang melakukan aktivitas tersebut.

Itu tidak seperti mereka ingin melakukan pekerjaan. Mereka hanya ingin terbenam dalam perasaan bekerja. Mereka hanya ingin merasa bahwa mereka sebenarnya sedang melakukannya.

Dan kemudian, mereka akan merasa mereka melakukan semua hal yang mereka bisa, dimana pada akhirnya, semua itu berubah menjadi nihil.

────Aah, itu benar-benar menjengkelkanku bagaimana itu persis seperti seseorang di luar sana dan bagaimana itu terlihat seperti dia sedang memamerkan kesalahan masa lalunya.

Dia pikir dia sudah menyelesaikan sesuatu, tapi faktanya, dia benar-benar sama sekali tidak menyelesaikan apapun.

Meskipun dia sama sekali tidak bisa melihat apapun.


× × ×


4-4[edit]

Pada akhirnya, bahkan ketika waktunya sudah mendekati akhir, konferensinya tidak selesai dan kesimpulannya ditunda ke lain hari.

Untuk sementara ini, hal terdekat dengan sebuah kesimpulan adalah bahwa kita sudah mengupas tuntas kemungkinan dari setiap pendapat dan dengan itu, kita akan mendiskusikannya lagi dan mengakhirinya untuk hari ini.

Murid SD itu sudah pulang beberapa waktu yang lalu. Kami, yang tetap tinggal, mengatur persiapan untuk juga pulang dan pergi satu per satu.

Aku berpisah dari Isshiki dan anggota OSIS lain dan ketika aku mengayuh sepedaku dari pusat komunitas, itu menghantamku.

Aku lapar… Karena aku tidak bisa berpikiran jernih sepanjang waktu selama konferensi itu, aku berakhir lupa memakan makanan ringannya.

Akan ada makan malam jika aku langsung pulang ke rumah, tapi aku tidak bisa menyingkirkan kelaparanku dari otakku. Seharusnya tidak apa-apa untuk makan sedikit saja… Aku menghentikan sepedaku untuk sejenak dan mengirim pesan sesingkat seperti pesan telegram pada Komachi dengan pesan “tidak perlu makan hari ini”.

Aku kemudian memasukkan lokasiku sekarang ini dan status perutku ke dalam pertimbangan dan memikirkan tentang apa makanan terbagus untuk dimakan. Mereka bilang bahwa lapar merupakan penyedap terhebat, tapi itu salah. Bagiku, penyedap terhebat adalah seseorang mentraktirku. Tapi, yah, karena aku sendirian, tidak mungkin ada orang yang akan mentraktirku. Aku juga harus mempertimbangkan kondisi dompetku juga.

Jadi itu berarti… ramen, ya.

Setelah aku memutuskannya, aku segera bergerak.

Selagi aku menyandungkan variasi tema lagu Nausicca, lanlan ♪lanlalalaramen ♪[8], Aku dengan riang mengayuh sepedaku melintasi jalan.

Aku menyebrangi jembatan penyebrangannya dan sampai ke depan Stasiun Inage. Jika aku pergi melewati bundaran di depan stasiun, distrik perbelajaan dimana terdapat sederetan toko makanan dan minuman, arcade, tempat bowling dan karaoke akan muncul ke dalam pandangan. Jika aku berputar ke kiri pada lampu lalu lintas di depan dan pergi sedikit lebih jauh lagi, aku akan sampai pada tempat tujuanku.

Aku menunggu lampu lalu lintasnya untuk berubah dari merah menjadi hijau.

Dan di sana, aku menemukan seseorang yang tak kusangka.

Di atas jersey SMA Sobunya terdapat sebuah jaket dan disekeliling lehernya terdapat syal yang lembut. Dia adalah Totsuka.

Totsuka terlihat seperti dia juga menyadari keberadaanku. Selagi dia mengatur tas tenis di punggungnya yang terlihat agak berat, dia melambaikan tangannya ke arahku.

Ketika lampu lalu lintas berganti, dia melihat ke arah kiri dan kanannya sebelum berlari ke mari.

“Hachiman!”

Yang keluar bersama dengan suara yang memanggil namaku adalah nafas putih Totsuka.

Terkejut bisa kebetulan bertemu dengannya di tengah kota seperti ini, aku merespon dengan mengangkat tanganku dengan pelan.

“Yo.”

“Uh huh, yo!”

Totsuka ikut mengangkat tangannya sedikit dengan senyuman malu-malu seakan sapaan kasar tadi itu memalukan. Aaah, aku merasa tersembuhkan…

Itu tidak begitu sering aku mendapat kesempatan untuk bertemu Totsuka di luar sekolah. Dipikir lagi, aku dari awalpun tidak pernah keluar, jadi bagi kami untuk bertemu seperti ini membuatku sepenuhnya merasa bahwa ada mukzijat dan keajaiban.

Yah, tidak ada yang namanya mukzijat dan keajaiban, begitulah dunia ini. Jadi, kenapa Totsuka di sini?

“Apa yang sedang kamu lakukan di tempat seperti ini?”

Ketika aku menanyakannya, Totsuka meremas tas tenisnya dan mengangkatnya untuk menunjukkannya.

“Aku sedang kembali dari sekolahku.”

Berbicara mengenai itu, tidak hanya Totsuka masuk dalam klub tenis, dia juga mendaftar di sekolah tenis. Dan jadi sekolah itu agak dekat dari sini, kurasa… Baiklah, mulai sekarang, ayo bertengger di sini pada jam-jam segini tanpa alasan. Tunggu, tapi jika kita berakhir sering bertemu, itu pastilah akan menjijikan jadi mari kita cukup melakukannya sekali seminggu.

Selagi aku dengan sepenuh hati membuat jadwal mingguanku, Totsuka melihat ke arahku dengan heran, yang masih menaiki sepeda.

“Kamu juga, Hachiman, ada apa? Rumahmu bukan ke arah sini, bukan?”

“Aah, Aku hanya berpikir mau pergi memakan sesuatu.”

“Oh begitu ya.”

Ketika aku menjawab, Totsuka mengangguk percaya dan berhenti sejenak seakan untuk berpikir. Dia kemudian memiringkan kepalanya sedikit dan melihatku dengan mata menengadah dan malu-malu.

“…Aku boleh ikut denganmu juga?”

“Heh?”

Tubuhku secara refleks mengeras mendengar kata-kata tak terduga itu. Aku berakhir membuat suara yang agak tolol.

Selama jangka waktu tersebut, Totsuka sedang meremas syal di sekeliling kerahnya dan dengan risih menggoyangkan tubuhnya selagi dia menunggu jawabanku.

“Ah, ya. Tentu saja.”

Ketika aku mengatakan itu, Totsuka membuat sebuah helaan yang terlihat begitu mirip dengan suatu kelegaan. Dia kemudian membuat senyuman yang elastis dan lembut.

“Yey. Jadi, mau makan apa, huh?”

“Apapun tidak masalah bagiku.”

Setelah mengatakan itu, aku menyadari bahwa jawaban ini begitu buruk. “Apapun tidak masalah” itu tidak bagus ketika kamu sedang berurusan dengan para gadis. Omong-omong, aku dengar bahwa, jika para lelaki mengatakan sesuatu yang spesifik seperti “ramen” atau “udon”, mereka akan membuat tampang yang benar-benar jijik. Dengan kata lain, ketika para gadis menanyakanmu “kamu ingin makan apa?”, kamu harus menjawab dengan sesuatu yang mungkin ingin dimakan mereka. Ada apa dengan permainan mustahil ini? Apa para gadis itu suatu fasilitas pelatihan esper?

Tapi Totsuka itu seorang laki-laki, jadi tidak masalah.

Totsuka berkedip tanpa henti dan menanyakanku.

“Hachiman, bukannya kamu sudah memutuskan apa yang mau kamu makan?”

Kamu tahu, sebenarnya itu… dirimu! Aku hampir saja akan mengucapkan kalimat yang akan diucapkan sang Serigala dari cerita Si Gadis Berkerudung Merah, tapi tidak mungkin aku bisa melakukannya. Maksudku, bagaimanapun juga aku ini manusia…[9]

“Sama sekali belum, aku cuma macam datang ke sini, itu saja. Itulah kenapa, apapun tidak masalah.”

Aku sengaja mengatakannya dengan nada seorang pria sejati.

Walaupun aku sedang dalam suasana ingin memakan ramen, alasannya itu karena proses eleminasi. Karena aku sering makan sendirian, aku tanpa sadar memilih tempat duduk di konter. Tidak ada masalah kalau tokonya tidak ramai tapi untuk mengambil satu meja ketika aku sendirian membuatku merasa bersalah.

Lagipula, meskipun itu bukan ramen, untuk bisa makan bersama Totsuka akan membuat segalanya terasa enak. Aku tadi mengatakan bahwa ditraktir itu merupakan penyedap terhebat, tapi aku menarik itu kembali. Penyedap terbaik pastilah harus Totsuka. Jika Momoya [10] mulai menjual memakai “ini Totsuka”, itu akan buruk. Itu bukan masalah tentang barang-barangnya terjual habis sebab itu akan menjadi suatu masalah dibeli oleh suatu perusahaan.

Selagi kami berbicara tentang mau makan apa, Totsuka menepuk tangannya.

“Ah. Kalau begitu bagaimana kalau yakiniku?”

Hei, hei, mereka cenderung mengatakan sesuatu tentang seorang pria dan wanita memakan yakiniku bersama [11], tapi bagaimana bisa begitu kalau itu dua pria yang memakannya bersama…?

Selagi aku memikirkan tentang itu, Totsuka terlihat seakan dia menyadari sesuatu<--came up with something--> dan mengerang selagi dia memiringkan kepalanya sambil memikirkannya.

“Tapi yakiniku sedikit mahal, huh?”

“Itu benar. Seperti yang mereka katakan, itu memakan dompetmu.”

“Itulah Hachiman, huh…”

Dia membuat sebuah tawa risau.

Namun, yakiniku, huh…

Kalau kamu ingin makan daging, maka seharusnya ada tempat lain… Selagi aku melihat ke sekeliling, cabang makanan cepat saji, First Kitchen terlihat ke dalam pandangan. Karena posisinya langsung dari stasiun yang terletak-stategis, itu adalah toko yang sering dikunjungi oleh murid-murid di area ini. Di luar toko itu terdapat suatu spanduk tergantung yang bertuliskan “yakiniku galbi gulung” di atasnya.

“Kenapa tidak kita pergi ke sana?”

Ketika aku menunjukkannya, Mata Totsuka berbinar-binar.

“Ya, itu mungkin bagus!”

Setelah mendapatkan persetujuan Totsuka, kami memasuki First Kitchen di dekat stasiun itu. Namun, ada apa dengan kependekan First Kitchen itu[12]? Itu terasa agak menyinggung untuk beberapa alasan.

Bagian dalam toko hangat yang tiba-tiba berubah dari tiupan angin dingin di luar itu begitu ramai. Kelihatannya orang-orang dari perjalanan pulang mereka dari les dan tempat kerja telah mampir ke mari.

Ketika kami mengantri di depan kasir, Totsuka membuat helaan kecil. Pipinya agak sedikit merona.

“Pemanas di dalam sini cukup kuat, huh?”

Selagi dia mengatakan itu, Totsuka mengenggam syalnya. Pakaiannya bergemerisik selagi dia melepaskan syal itu dari sekeliling lehernya dan tengkuknya terlihat luar biasa memikat. Aku sendiri mulai merona setelah aku melihatnya sekilas.

Sungguh aneh. Sungguh aneh sekali. Totsuka itu laki-laki. Alasan kenapa pipiku memerah sekarang itu karena pemanasnya atau kemungkinannya karena aku sedang mulai sakit. Tenang. Tenang dan baca sebuah haiku!

Mungkinkah aku sakit, hm? Tidak mungkin aku sakit, benar! Benar sekali, yap (sakit).

…Ini pastilah suatu penyakit. Dari awalpun untuk membaca suatu haiku saja sudah berarti aku telah sepenuhnya sakit.

Selagi aku di dalam hati merasa panik selagi mengantri, akhirnya sudah sampai giliran kami. Menilai dari keramaiannya, itu akan lebih cepat untuk memesan pada saat bersamaan daripada satu per satu.

Aku berdiri di samping Totsuka dan kami berdua melihat pada menunya.

Ketika aku melakukannya, Totsuka menunjuk pada yakiniku galbi gulung itu.

“Ah, Hachiman. Ayo kita pilih yang ini.”

“Ya. Kalau begitu, kita mau pesan itu.”

Setelah membayar tagihannya dan mendapatkan yakiniku galbi gulungnya, kami pergi ke lantai dua.

Untungnya, masih ada meja yang kosong. Kami menghempaskan diri kami ke tempat duduknya dan segera mulai makan. Kami pertama mengigit komponen utamanya, yakiniku galbi gulung.

Aku dengan segera meneriakkan “ini leeeeeeeeezaaaaaaaaaaaaaaaazaaaaaaaaaaaaaaaat!”[13] saat cahaya menyala dari baik mata dan mulutku selagi aku menjelajahi ruang hampa udara di luar angkasa. Itu tidak seberlebih-lebihan itu, tapi mempertimbangkan dari apa yang direkomendasikan Totsuka, yah, rasanya enak biasa.

Sementara rasanya enak biasa, aku tidak begitu yakin alasan kenapa Totsuka menyarankan ini.

“…Namun, kenapa yakiniku?”

Aku pergi makan dengan Totsuka beberapa kali sebelumnya, tapi aku ingat dia itu hanya makan sedikit. Juga, jika aku akan memilih, dia sudah pasti lebih terasa seperti seseorang yang lebih suka sayuran daripada daging…

Ketika aku menanyakannya, Totsuka dengan malu-malu berbicara.

“Aku pikir itu akan bagus untuk dimakan saat kamu lelah jadi…”

Ha, begitu ya. Dia memang baru saja selesai melakukan sedikit olahraga, jadi dia mungkin sedikit lapar. Jadi itu sesuatu seperti asupan protein setelah berolahraga atau semacamnya. Mungkin.

Atau begitulah yang sesuka hati kujelaskan pada diriku sendiri, tapi Totsuka menambahkan dengan suara kecil.

“Itu karena kamu akhir-akhir ini agak terlihat seperti itu, Hachiman…”

“Sungguh?”

Aku sadar akan kelelahanku. Namun, itu lebih berkaitan dengan keadaan mentalku. Itulah kenapa aku memberitahunya dengan tampang seakan itu tidak ada apa-apa dan Totsuka dengan pelan menggelengkan kepalanya.

Tangan yang memegang makanannya telah berhenti dan Totsuka dengan takut-takut melihat ke arah wajahku.

“Apa sesuatu, terjadi?”

Baik mata dan suara Totsuka itu baik hati. Itu hanya bahwa pandangan Totsuka terlihat lebih tulus dari dirinya yang biasa dan ketulusan itu menekanku.

Sebelum menjawab. Aku menyesap teh oolongku. Jika aku tidak melakukan itu, aku merasa seperti suaraku yang keluar malah akan terasa kering.

“…Tidak sungguh. Sama sekali tiiidak ada apa-apa.”

Berkat menelan beragam hal, suaraku keluar dengan lebih halus dari yang kukira. Nadaku lebih terang dari biasanya dan itu kemungkinan aku telah mencampurkan suatu senyuman ke dalamnya yang dimaksudkan untuk mencegah Totsuka untuk tidak perlu khawatir lebih jauh lagi.

Namun, ekspresi Totsuka terlihat sedikit kesepian sebagai respon senyumanku.

“…Begitu ya. Aku rasa Hachiman benar-benar tidak akan mengatakan apa-apa, huh?”

Aku tidak tahu bagaimana bentuk ekspresi Totsuka dengan wajah tertunduk murungnya dan bahu merosotnya. Tapi suara yang selanjutnya terdengar depresi.

“Kalau itu Zaimokuza, Aku heran apa dia tahu mengenainya…?”

“Tidak, orang itu tidak ada hubungannya dengan ini.”

Ketika dia tiba-tiba mengangkat suatu nama yang tak ada hubungannya, aku agak sedikit terkejut. Tapi di dalam hati Totsuka, di sana kelihatannya ada suatu hubungan sebab dia menggelengkan kepalanya dan mendongakkan wajahnya.

“Tapi kamu membicarakannya dengan Zaimokuza sebelumnya.”

Ketika dia berkata “sebelumnya”, Aku akhirnya sadar apa yang sedang dia katakan.

Selama pemilihan ketua OSIS itu, satu-satunya orang yang kuminta sarannya di luar keluargaku, Komachi, adalah Zaimokuza. Setelah itu, jumlah orang yang bekerja sama denganku meningkat karena pengaturan Komachi, tapi satu-satunya orang yang kucari sendiri untuk membicarakannya hanyalah Zaimokuza sendiri. Tapi itu tidak seperti aku ada maksud khusus untuk membuat sesuatu yang spesial. Itu hanya persoalan dapat bertemu dengan Zaimokuza terlebih dulu dan karena dia mudah untuk diajak berbincang, aku tidak perlu bimbang untuk mendapat kerja samanya.

Itu kelihatannya Totsuka menganggapnya dengan cara yang berbeda..

“Aku hanya merasa itu agak enak. Aku hanya benar-benar cemburu kamu bisa berbicara padanya mengenai hal-hal semacam itu atau semacamnya…”

Totsuka berbicara dengan canggung dan dengan pelan, kata demi kata. Caranya mengatakan itu terdengar seakan tindakan itu merupakan sesuatu yang patut dipuji.

Tapi itu salah. Itu sudah pasti bukanlah sesuatu seindah yang dibayangkan oleh Totsuka. Aku merasa itu adalah tindakan yang terlampau munafik dan egois yang memperalat kebaikan orang lain hanya untuk memuaskan kepentinganku sendiri.

Totsuka tidak tahu apa-apa mengenai itu.

Itulah kenapa bahkan sekarang dia sedang memberikanku kata-kata menghangatkan ini.

“Aku tidak merasa aku akan bisa berguna, tapi…”

Aku dapat melihat Totsuka meremas kemeja jerseynya di bawah meja. Bahu tipisnya sedikit bergetar. Aku tidak ingin dia menguatirkannya lebih banyak dari yang diperlukannya.

Aku kuatir tentang bagaimana aku sebaiknya memuluskan masalahnya dan selagi aku menggaruk kepalaku, aku berbicara dengan terbata-bata.

“Bukan seperti itu. Sungguh, itu bukan masalah yang besar. Itu hanya sesuatu yang diminta Isshiki padaku, jadi aku hanya sedikit sibuk dengan itu… Sebagian besar itu karena akulah yang mendorong posisi ketuanya pada dia jadi, yah, jadi itu bagian darinya. Hanya itu saja”

Aku mencoba untuk merangkumnya dengan kejujuran yang terang-terangan sementara tidak menyuarakan apa-apa selain itu. Berkat itu, aku tergagap-gagap pada sebagian besar kata-kataku.

Tapi Totsuka mengangkat wajahnya seakan kata-kata itu benar-benar lebih baik diucapkan. Dan seakan untuk memastikan kebenarannya, dia melihat ke arahku dengan mata yang tulus.

“Sungguh?”

“Ya. Itulah kenapa kamu tidak perlu kuatir.”

Jika aku menghabiskan sedikit lebih lama lagi untuk berpikir saja, aku mendapat perasaan aku akan menjawab sesuatu yang lain. Itulah kenapa aku menjawab dengan segera.

“Begitu ya.”

Dia membuat helaan lega dan Totsuka meraih kopinya. Bahkan setelah satu sesapan, tangannya tidak melepaskan cangkirnya. Dia mencengkram cangkir itu seakan sedang menghangatkan telapak tangannya dan bergugam.

“Hachiman, ternyata kamu benar-benar keren.”

“Ha?”

Kekagetanku mungkin tercermin pada wajahku. Totsuka yang melihat pada wajahku tercengang.

“A-Aku tidak memaksudkannya dengan cara yang aneh!”

Totsuka melambaikan kedua tangannya dengan panik dan membantahnya. Wajahnya sepenuhnya merah dan selagi dia bermain-main dengan rambutnya, dia memulai dengan “um” sebelum berbicara.

“Itu, itu agak sulit untuk dikatakan tapi… Bahkan ketika itu menyakitkan ataupun sulit, kamu tetap berusaha yang terbaik tanpa mengomplain. Aku hanya merasa, itu benar-benar, keren…”

Ketika dia menjelaskan itu, aku menjadi tak perlunya sadar diri. Aku meletakkan daguku pada tanganku dan berpaling. Tanpa sengaja, nada bicaraku menjadi terdengar kasar.

“…Bukan begitu, sungguh. Aku juga menyuarakan komplain dan kekesalanku.”

“Ahaha, itu benar.”

Totsuka tersenyum lega. Dengan senyuman baik hati itu, dia berbicara dengan suara kecil yang segan.

“…Tapi, beritahu aku saja jika kamu dalam masalah, oke?”

Dia menanyakannya untuk yang terakhir kali untuk jaga-jaga dan aku mengangguk tanpa berkata-kata. Itu persis karena betapa tulusnya dia menanyakan itu sehingga aku rasa aku sebaiknya jangan dengan mudahnya menuangkannya ke dalam kata-kata. Bagi Totsuka yang melihat kejujuran dan kerja sama itu sebagai sesuatu yang indah, maka lebih bagus begitu saja.

Ketika aku setuju, Totsuka mengangguk balik.

Setelah itu, suatu keheningan yang aneh lahir. Totsuka terlihat entah kenapa malu dan sedang tertunduk ke bawah.

Aku bisa mengerti dari pengalaman bahwa suasananya sudah lebih santai ketimbang tadi dan aku dengan santai berkata.

“Mau makan sesuatu yang manis?”

“Ah, itu terdengar bagus. Seperti makanan pencuci mulut.”

Totsuka segera mengangkat wajahnya dan menyetujuinya.

“Oke, aku akan pergi membeli sesuatu. Tunggu sebentar.”

Aku berdiri tanpa menunggu jawaban positif atau negatif dari Totsuka.

Ketika aku berjalan ke bawah, kasirnya masih ramai seperti biasa. Kelihatannya akan memakan waktu agak lama sebelum sampai giliranku.

Dengan keramaian lalu lalang orang yang masuk dan keluar, pemanas di dekat kasir lumayan kuat. Itu terasa seperti kepalaku menjadi pusing jadi aku memutuskan untuk pergi keluar untuk sejenak.

Malam Desember itu dingin, tapi sensasi membekukan ini terasa enak pada wajah terbakarku. Karena aku keluar tanpa mantel dan syalku, angin kering itu merayap masuk dari tengkukku. Tubuhku segera mengerut.

Selagi aku berdiri di sana sendirian bergemetaran di sudut jalan, satu orang yang lewat melemparkan pandangan aneh padaku. Yang lain tidak memperhatikan diriku.

Pada saat itu, kata-kata yang diucapkan Totsuka tadi terlintas dalam pikiranku.

“Keren”, huh…

Itu bukan sesuatu seperti itu. Mungkin itu hanya diriku sedang bersikap keras kepala. Aku rasa itu mungkin sesuatu yang seserhana bahwa aku sedang mencoba untuk pamer.

Aku hanya sedang bersikap keras kepala sehingga aku bisa mempertahankan apa yang sudah kuputuskan di dalam hatiku bagaimana aku benar-benar seharusnya terlihat.

Bahkan sekarang juga, monster logika memuakkan ini, monster sadar-diri yang menantang ini sedang mengintai dari dalam diriku ini.

Kalau aku harus menyadari keberadaan hal tersebut, maka aku mungkin akan bisa menerima kata-kata Totsuka dengan positif.

Tapi wajah senyuman Yuigahama yang dipaksa-paksakan, ekspresi tertekan yang kadang-kadang akan ditunjukkan Isshiki, Tsurumi Rumi sedang sendirian, dan di atas itu semua, senyuman hening namun pasrah Yukinoshita itu membuatku bertanya sekali lagi.

Apa itu benar-benar tepat?

Aku membuat helaan kecil dan mendongak ke atas pada langit malam tak berbintang itu. Yang mengisi langit terlihat itu yang diterangi oleh pendaran kota adalah awan.


Mundur ke Bab 3 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 5

Catatan Translasi[edit]

<references>

  1. Saber Marionette J
  2. Samurai X. Kutipan Shishio Makoto
  3. Video – Lelucon ini mengenai dua pria yang terdampar di sebuah gunung salju. Pria yang satu berpikir mereka tidak akan tertolong jadi dia pergi tidur saja. Pria yang lain mulai berteriak, kita masih bisa tertolong, kita masih bisa tertolong, dan kemudian berkata Madagascar dan menemukannya di atas globe. Lelucon ini datang dari pelafalan yang sama dimana “kita masih dapat tertolong” itu “madatasukaru” dan “Madagascar” dilafalkan “madagasukaru”.
  4. Video – Kalimat dari lagu ini. Kalimat aslinya adalah masing-masing dari mereka adalah para gadis yang berkilau!
  5. Yuigoh ZEXAL. Mengacu pada duel antara Astral dan Number 96 yang masing-masing adalah putih dan hitam.
  6. drama yang dibacakan bukan diperankan
  7. Chiba + Italia
  8. Video
  9. Kinnikuman – Kalimat yang diucapkan oleh Geronimo.
  10. Momoya
  11. Itu adalah sebuah sindirian seksual dimana memakan daging itu memberikan kesan memiliki hasrat jasmaniah dalam budaya Jepang. Kalimat aslinya begini “Pria dan wanita yang memakan yakiniku bersama-sama itu sedang bercinta.”
  12. First Kitchen dilafalkan sebagai “fakkin” dalam bahasa Jepang. Kalian seharusnya sudah tahu.
  13. Master Ajikko