Difference between revisions of "Hakomari (Indonesia):Jilid 5 Bab 1"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Line 6: Line 6:
   
 
<div style="word-wrap: break-word">
 
<div style="word-wrap: break-word">
  +
<div style="width: 100%; overflow:auto;">
===◆◆◆ Daiya Oomine - 06/09 MINGGU 12:05 ◆◆◆===
 
''"Saya benar-benar kaget, iya. ...Iya. Iya. Tentu saja saya sudah pernah dengar mengenai 'Manusia Anjing,' tapi saya kira itu cuma buatan TV. Saya tak pernah menyangka seorang 'Manusia Anjing' akan muncul di halaman belakang saya sendiri!"''
 
   
  +
[[Image:Hakomari5_p14.jpg|1000px]]
Televisi LCD itu menampilkan seorang wanita yang wajahnya kabur oleh mosaik. Meski sudah disamarkan secara elektronis, nada jijik ibu rumah tangga paruh baya itu tetap terdengar jelas dan lantang.
 
   
  +
</div>
''"X itu orangnya seperti apa (nama disamarkan oleh suara buatan)?"''
 
   
  +
__NOTOC__
''"Mm... biasa saja. Tapi dia memang sangat pendiam. Kalau disapa, dia cuma bergumam pelan yang tidak jelas isinya, jadinya orang tidak tahu sebenarnya dia itu menjawab atau tidak!"''
 
   
''"Apa dia pernah melakukan sesuatu yang menarik perhatian anda?"''
 
<!--
 
''"...Pernah. Akhir-akhir ini, atau lebih tepatnya, saat orang tuanya hilang... apa istilahnya? Shut-ins? Setahu saya dia mengurung diri di rumah. Pekerjaan dia apa? ...Mana saya tahu?"''
 
   
''"Bisa tolong dijelaskan lebih lanjut mengenai orang tuanya yang menghilang?"''
 
   
''"Iya. ...Ah, but I should mention that his parents might have moved away without him. I just heard a rumor that they disappeared. I don't know any details. X was never on good terms with his neighbors."''
 
   
''"I see... Do you know what trait all the 'Dog Humans' share?"''
 
   
  +
===◆◆◆ Oomine Daiya - Minggu, 6 September 12:05 ◆◆◆===
The middle-aged woman is clearly taken aback.
 
   
''"...Iya. Mereka semua itu penjahat kan? Dan kejahatan mereka biasanya cukup berat."''
 
   
  +
<i>"Saya sangat kaget, ya. ...Ya. Ya. Tentu saya pernah dengar 'Manusia Anjing', tapi, saya kira itu cuma akal-akalan TV saja. Saya tidak mengira 'Manusia Anjing' akan ada di halaman rumah saya sendiri!"</i>
''"X's criminal record is unknown at this point, but do you..."''
 
   
  +
Televisi LCD menunjukkan seorang wanita yang wajahnya disensor. Wanita rumah tangga yang sudah paruh baya itu didistorsikan suaranya dengan bantuan elektronik, tapi nada kemuakan dirinya yang dikeluarkan dengan keras dan jelas.
''"I merely spotted X on all fours barking, that's all. I'm afraid I have nothing more to—"''
 
   
  +
<i>"X (nama disensor dengan suara komputer) ini orang seperti apa sebelumnya?"
The middle-aged woman probably ran out of useful information: the camera cut back to the studio and zoomed in on the moderator and a few commentators.
 
   
  +
"Hm... sangat biasa. Tapi ia sangat pendiam. Saat kau sapa, ia akan bersuara sangat pelan sampai orang tidak tau dia ini menjawab atau tidak!"
No one seemed to know whether to discuss this phenomenon in a serious or a joking manner. The participants' awkward attempts at commenting on this utterly mysterious incident were just ambiguous nonsense.
 
   
  +
"Pernahkan ia melakukan hal yang menarik perhatianmu?"
I shift my position on my bed and smile scornfully.
 
   
  +
"...Yah, ya. Belakangan ini, setelah orang tuanya menghilang... apa yang orang-orang sebut? Pengangguran? Saya fikir dia mengucilkan dirinya sendiri di rumah. Apa yang ia lakukan untuk hidup? ...Siapa tau? Saya tidak tau."
Just as I planned, the variety shows have started to cover the "Dog Humans" every day.
 
   
  +
"Bisakah Anda menghubungkannya dengan hilangnya orang tuanya?"
When a person suddenly loses his ability to speak and starts crawling about on all fours for no explicable reason - that's the "Dog Human" phenomenon. No variety show would want to miss out on such a sensational topic.
 
   
  +
"Ya. ...Ah, tapi saya harus bilang bahwa orang tuanya mungkin pergi tanpanya. Aku hanya mendengar sebuah rumor bahwa mereka menghilang. Saya tidak tau lagi detailnya. X tidak pernah baik jika dengan tetangganya."
But no matter how much attention the topic gets, the underlying cause won't come to light. Many doctors and scientists are trying to get to the bottom of the "Dog Human" phenomenon, but regardless of their approach, they'll never discover that a 'box' is the cause.
 
   
  +
"Begitu... Apakah Anda tau apa ciri yang dimiliki semua 'Manusia Anjing'?"</i>
Thus, the commentators inevitably disappoint the audience with trite conclusions like "they are just acting" or "they talk themselves into believing that they are dogs" or "it's a mental illness." Even the fishy psychic, who was probably added to the panel just for laughs, managed to do more for the audience by saying that "God has inflicted this on us as a trial for the conceited human race, in order to teach us that we are merely animals."
 
   
  +
Si wanita paruh-baya itu dengan biasa menjawab. <i>"...Ya. Mereka semua kriminal, 'kan? Dan kejahatan mereka cukup serius."
Heh.
 
   
  +
"Riwayat kejahatan 'X' masih belum diketahui sekarang, tapi apa Anda tau?"
That's such bullshit.
 
   
  +
"Saya cuma lihat X menggonggong dan gaya berdiri dengan 4 kaki macam anjing, cuma itu. Saya takut tidak ada hal lagi untuk—"</i>
If you're discussing "conceitedness," then the idea that God would bother to put us on trial is far more conceited. I mean, do humans care if vermin are conceited?
 
   
  +
Si wanita paruh-baya mungkin sudah tidak punya informasi penting: layarnya terpotong kembali ke studio dan melakukan zoom in pada moderatornya dan beberapa komentator.
Only a human could come up with something as absurd as creating "Dog Humans."
 
   
  +
Tak ada yang tau apakah perbincangan tentang fenomena ini serius atau hanya candaan belaka. Komentar partisipan yang kikuk pada insiden misterius ini hanya hal dengan banyak maksud yang tidak memberi pengaruh apapun.
Just as I turned back to the TV, the moderator concluded today's "Dog Human" special report with some empty words.
 
   
  +
Aku mengubah posisiku dari kasur dan menyeringai. Seperti yang kurencanakan, acara-acara mulai menampilkan "Manusia Anjing" setiap hari.
''"We hope with all our hearts that he will recover soon."''
 
   
  +
Saat seseorang tiba-tiba kehilangan kemampuannya untuk bicara dan mulai merangkak dengan tangan dan kakinya tanpa alasan apapun - itulah fenomena "Manusia Anjing". Tidak ada acara yang ingin melewati topik yang sangat sensasional
"We hope he will recover soon," huh?
 
   
  +
Tapi tak peduli berapa banyak perhatian yang topik itu dapatkan, alasan utamanya tidak akan mendapat titik terangnya. Banyak doktor dan ilmuwan mencoba mengetahui dasar fenomena "Manusia Anjing", tapi tak peduli sejauh mana pendekatannya, mereka tak akan pernah tau bahwa sebuah 'box' adalah penyebabnya.
The moderator won't be able to say that for much longer.
 
   
  +
Meski begitu, komentatornya telah mengecewakan penonton dengan kesimpulan biasa seperti "mereka hanya akting" atau "mereka berbicara pada diri mereka bahwa mereka adalah anjing" atau "itu sakit jiwa." Bahkan pencari tau ilmu alam, yang mungkin bisa ikut ke panel itu hanya untuk tawaan, melakukan hal yang lebih pada penonton dengan berkata bahwa "Tuhan telah memberikan ini pada kita sebagai cobaan untuk menghindari kesombongan manusia, untuk mengajarkan kita kalau kita hanyalah binatang." Heh
"X" aka "Katsuya Tamura" is really a criminal who has killed his parents - but his criminal acts are concealed from the public for now. Once his actions are revealed, that moderator won't be able to casually wish for his recovery anymore.
 
   
  +
Omong kosong.
Right now, only Katsuya Tamura and I know about his crimes, but before long, everyone else will find out.
 
   
  +
Jika kau mendiskusikan "kesombongan", maka Tuhan yang merepotkan kita sebagai cobaan itu jauh lebih sombong. Maksudku, apa manusia peduli jika hewan itu sombong?
Public opinion can't ignore the fact that every "Dog Human" so far has turned out to be a felon, and the police can't ignore public opinion. So, the police will find some pretext to investigate, and will soon discover the bones of Katsuya Tamura's parents in his garden.
 
   
  +
Hanya manusia yang bisa melakukan sesuatu seabsurd membuat "Manusia Anjing."
And then Katsuya Tamura will go where he belongs: to prison. No... perhaps he'll be sent elsewhere because of his mental problems, but that's besides the point. My goal isn't to punish criminals who would otherwise remain at liberty.
 
   
  +
Saat aku menyalakan TV lagi, moderatornya menyimpulkan laporan khusus hari ini tentang"Manusia Anjing" dengan kata-kata kosong.
If the Katsuya Tamura incident goes according to plan... then I won't have to make any more preparations. The power of my 'box' can actually make anyone into a "Dog Human" - I deliberately use my power to find people who have committed crimes and only transform those criminals.
 
   
  +
<i>"Kami harap dengan segenap hatinya ia akan pulih secepatnya."</i> "Pulih secepatnya," hah?
I do so in order to force public perception to equate "Dog Human" with "criminal."
 
   
  +
Moderatornya tak mampu berkata lebih lama lagi.
''"A mutt on four legs is a criminal."''
 
   
  +
"X" alias "Katsuya Tamura" adalah kriminal nyata yang telah membunuh orang tuanya - tapi aksi kriminalnya sekarang disembunyikan dari masyarakat. Setelah aksinya telah terbuktikan, moderator itu tak mungkin mampu dengan biasa mengharapkan pulih lagi.
Once that association spreads, "Dog Humans" will automatically be treated as lawbreakers.
 
   
  +
Sekarang, hanya Katsuya Tamura dan aku yang tau kejahatannya, tapi tak lama lagi, semuanya akan tau.
What will be the consequences of my experiment in social engineering?
 
   
  +
Pendapat manyarakat tak bisa melepas kenyataan bahwa setiap "Manusia Anjing" telah berubah menjadi ancaman, dan polisi tidak bisa melepas pendapat publik. Jadi, para polisi akan berdalih untuk menginvestigasi, dan tak lama akan menemukan tulang orang tua Katsuya Tamura di tamannya.
Being a "Dog Human" is as miserable as it gets. Everyone is disgusted by the sight of "Dog Humans" losing their senses, crawling naked on the ground, and barking. No one will pity them since they're not considered human anymore-especially because everyone will believe all "Dog Humans" are criminal scum.
 
   
  +
Dan Katsuya Tamura akan pergi ke tempat di mana ia seharusnya berada : penjara. Tidak... mungkin ia akan dikirim ke tempat lain karena masalah mentalnya, tapi kesampingkan itu. Tujuanku bukanlah menghukum kriminal yang masih berada dalam kebebasan.
Everyone will fear becoming a "Dog Human."
 
   
  +
Jika insiden Katsuya Tamura berjalan sesuai dengan rencana... maka aku tak perlu membuat persiapan lagi. Kekuatan 'box' bisa membuat setiap orang menjadi "Manusia Anjing" - aku dengan berhati-hati menggunakan kekuatanku untuk mencari orang-orang yang melakukan kejahatan dan hanya mengubah kriminal itu.
The public will realize that committing crimes might turn them into "Dog Humans." But without knowing exactly what causes the transformation, people will have no choice but to avoid criminal activity, and live perfectly innocent lives in order to avoid becoming the target of public scorn.
 
   
  +
Aku melakukan itu untuk memaksa persepsi masyarakat agar menyetarakan "Manusia Anjing" dengan "Kriminal."
This will put a stop to crime.
 
   
  +
"Anjing yang berdiri dengan 4 kaki adalah kriminal."
Of course the absolute number of "Dog Humans" is totally insufficient. It is necessary to make people believe that criminals become "Dog Humans" with a probability bordering on certainty. In order to accomplish this, I will need to create more "Dog Humans" - legions of them.
 
   
  +
Setelah pemikiran itu menyebar, "Manusia Anjing" akan secara otomatis dianggap sebagai pelanggar hukum.
Once my task is done, no one will be able to ignore this phenomenon anymore.
 
   
  +
Apa yang menjadi konsekuensi eksperimenku dalam sosial?
I focus on the TV once again.
 
   
  +
Menjadi "Manusia Anjing" itu menyedihkan. Semuanya merasa menjijikan pada "Manusia Anjing" yang kehilangan inderanya, merangkak dengan telanjang di tanah, dan menggonggong. Tidak ada yang mengasihani mereka karena mereka tidak dianggap manusia-terutama karena semua percaya semua "Manusia Anjing" adalah sampah masyarakat.
The topic has changed and a new video has appeared on the screen. Some pedestrian probably used his smart phone to record it: the picture is blurry and the surprised voice of the video-taker can be heard in the background.
 
   
  +
Semua akan takut menjadi "Manusia Anjing"
I can see the main street of the Kabukichou district in Shinjuku, where dozens of adult men and women have thrown themselves to the ground.
 
   
  +
Masyarakat akan sadar bahwa melakukan kriminal bisa mengubah mereka menjadi "Manusia Anjing." Tapi tanpa mengetahui penyebab perubahannya, orang-orang tak memiliki cara lain kecuali menghindari kriminalitas., dan hidup dengan normal untuk menghindari target hinaan publik.
It's impossible to determine what kind of group they belong to at first glance because the men and women seem to have absolutely nothing in common: there are yakuza, office workers, transsexuals, regular women, and so on.
 
   
  +
Ini akan menghentikan kejahatan.
They're gathered around a single individual, and they throw themselves to the ground before him with tears in their eyes.
 
   
  +
Tentu jumlah "Manusia Anjing" itu tidak cukup. Penting untuk membuat orang-orang percaya kalau kriminal akan jadi "Manusia Anjing" dari kemungkinan menjadi keyakinan. Untuk itu, aku harus membuat banyak "Manusia Anjing- pasukan dari mereka.
The camera captures the person standing in their midst - a young man with silver hair and pierced ears who is looking down at the people around him with cold eyes.
 
   
  +
Setelah tugasku selesai, tak ada yang bisa mengabaikan fenomena ini lagi.
Naturally that's me, Daiya Oomine.
 
   
  +
Aku fokus pada TV sekali lagi.
"—Hmph."
 
   
  +
Topik telah berubah dan video baru muncul di layar. Beberapa pejalan kaki mungkin menggunakan ponsel pintarnya untuk merekamnya: gambarnya buram dan suara dari pengambil video yang terkejut bisa terdengar.
Again, events are proceeding according to my plans. I was sure that someone would film it if I set up such a performance on a major street, now that camera phones are ubiquitous.
 
   
  +
Aku bisa melihat jalanan utama dari distrik Kabukichou di Shinjuku, di mana banyak laki-laki dewasa dan wanita menjatuhkan diri mereka ke tanah.
I even planned for the event to end up on TV.
 
   
  +
Sangat tidak mungkin menebak grup apa mereka ini saat pertama memandang karena laki-laki dan wanita itu terlihat begitu biasa: ada yakuza, pekerja kantoran, transeksual, wanita biasa, dan lainnya.
The commentators at the studio frown at the video and make assumptions that totally miss the mark, like "is this some new cult?"
 
   
  +
Mereka berkumpul di hadapan satu orang, dan menjatuhkan mereka ke tanah dihadapannya dengan air mata di matanya.
The truth is something entirely different, of course.
 
   
  +
Kameranya menangkap seseorang berdiri di tengah mereka - seorang lelaki dengan rambut perak dan tindikkan di telinga yang melihat ke bawah pada orang disekitarnya dengan tatapan dingin.
I created the "Dog Human" phenomenon and the collective genuflection with my powers.
 
   
  +
Tentu itu aku, Oomine Daiya. "—Hmph."
No one at the studio has linked these two events yet, but there will be people who will associate these two sensational incidents due to their simultaneous occurrence. People on the web have started to suspect some kind of relation between the two without giving it much thought, but they are actually on the right track.
 
   
  +
Lagi-lagi, acaranya berlangsung seperti rencanaku. Aku yakin seseorang akan merekamnya jika aku melakukannya di jalanan besar, karena sekarang ponsel berkamera ada di mana-mana.
That video is a precursor to my ultimate goals.
 
   
  +
Aku bahkan merencanakan kalau itu akan berakhir di TV.
Once society can no longer ignore the "Dog Human" phenomenon, I'll teach the masses just who it is that stands in their midst.
 
   
  +
Komentator di studio mengerutkan dahi mereka dan membuat asumsi yang jauh dari sasaran, seperti "apa ini agama baru?"
And at that point, my plan will start in earnest.
 
   
  +
Kenyataannya adalah sesuatu yang sangat berbeda, tentu. Aku membuat fenomena "Manusia Anjing" dan orang-orang berlutut karena kekuatanku.
   
  +
Tak ada satupun di studio yang menghubungkan kedua kejadian itu, tapi mungkin akan ada orang-orang yang menghubungkan kedua insiden yang sensasional karena kejadian yang serempak. Orang-orang di intuernet mulai memberikan hubungan keduanya tanpa berfikir panjang, tapi mereka berada di jalur yang benar.
   
  +
Video itu adalah penunjuk pada tujuan terbesarku.
I leave the business hotel and walk along the streets of Shinjuku.
 
   
  +
Setelah manyarakat tak bisa mengabaikan fenomena "Manusia Anjing", aku akan memberitau pada media masa siapa yang berada yang ditengah mereka.
It's Sunday afternoon. Crowded. Unable to stand this huge mass of people, I'm struck by a dizzy spell.
 
   
  +
Pada saat itu, rencanaku akan mulai dengan kesungguhan.
I know by now that most people are sinners. My 'box' has forced me to come to the conclusion that legions of people are hiding polluted sludge within their bodies.
 
   
By now, a crowd like this feels no different than a wriggling garbage sack to me.
 
   
  +
Aku meninggalkan hotel bisnis itu dan berjalan di sepanjang jalan Shinjuku.
...Well, I've gotten used to that, too.
 
   
  +
Ini minggu siang. Penuh. Tak bisa berdiri di manusia dengan jumlah besar, aku terjebak dengan sihir pemberi rasa pusing.
It's already September, but the temperature shows no sign of declining, making it as hot as it was during the middle of summer. I look at my watch. It's 2 p.m.
 
   
  +
Aku tau sekarang kalau hampir semua manusia adalah pendosa. 'Box'-ku memaksaku untuk berada di kesimpulan bahwa pasukan manusia menyembunyikan kotoran dalam tubuh mereka.
As the sun moves across the sky, my shadow slowly lengthens.
 
   
  +
Sekarang, sekumpulan orang seperti ini terasa tak berbeda dengan memberikan sekantung sampah padaku.
One after another, the people around me tread on the shadow that I've cast.
 
   
  +
...Yah, aku sudah biasa pada hal itu, sih.
   
  +
Sekarang sudah September, tapi suhunya tak menunjukkan penurunan, membuatnya sepanas seperti di pertengahan musim panas. Aku melihat jamku. Pukul 2 siang.
   
  +
Karena matahari bergerak melewati langit, bayanganku perlahan memanjang.
Which <u>automatically activates my 'box'</u>.
 
   
  +
Setelah itu, orang-orang melangkahi bayangan yang telah kubuat.
   
   
  +
Yang <u>secara otomatis mengaktifkan 'box'-ku</u>.
Every time someone walks into my shadow, my body gets penetrated by sins. Sins, sins, sins.
 
   
"......"
 
   
  +
Setiap kali orang-orang berjalan kedalam bayanganku, tubuhku terasuki oleh dosa. Dosa, dosa, dosa.
When I first started using my 'box', I was unable to remain standing. But by now, it's just a matter of routine. I'm no longer the man who broke under that disgusting feeling. I have already prevailed over my weakness.
 
  +
  +
"......."
  +
  +
Saat pertama kaliku menggunakan 'box', aku tak tahan untuk berdiri. Tapi sekarang, ini hanyalah rutinitas. Aku tak lagi orang yang hancur dibawah perasaan menjijikan itu. Aku sudah melawan kelemahanku.
   
  +
Hanya saja tugas ini tak menyenangkan.
This is just an unpleasant chore.
 
   
 
"Ugh!"
 
"Ugh!"
   
  +
Perasaan buruk yang kurasakan itu terlalu banyak - aku ingin menangis
The ugliness that I'm feeling is just too much - I have to cry out.
 
   
  +
Apa-apaan ini? Apa-apaan perasaan menjijikan ini, seperti seseorang yang muntah, dengan minyak sayur dan larva serangga kedalam blender dan membuatku meminum hasilnya?
What the fuck is this? What is this repulsive feeling, like someone threw vomit, foul salad oil and insect larvae into a blender and made me drink the results?
 
   
  +
Manusia busuk macam apa yang memikul sampah dosa itu?
What kind of human scum bears such a horrible sin?
 
   
  +
Aku mengelus pelipisku dan melihat pada orang yang berdiri di atas bayanganku agar aku bisa melihat wajahnya.
I rub my temples and turn to the person standing in my shadow so I can look him in the face.
 
   
 
"......"
 
"......"
   
  +
Mengejutkan.
What a surprise.
 
   
  +
Seorang gadis SMA dengan rambut bob yang bisa dikatakan sebagai gadis yang kelihatanya naif. Meski ini akhir pekan, dia mengenakan seragam sekolahnya. Parasnya yang polos menunjukkan kebalikan dari pendosa. Faktanya, dia kelihatan terlalu polos untuk menjadi kumpulan gila kota ini.
Turns out it's a middle school girl with a black bob cut who could be best described as naive-looking. Even though it's the weekend, she's wearing her school uniform. Her pure looks are the opposite of a sinner's. In fact, she seems too pure to be part of this city's madding crowd.
 
   
  +
Mendengar rintihanku dan melihat perubahan wajahku, dia memberikan pandangan yang mencurgakan. ...Cih, kau fikir siapa yang bersalah akan hal ini?
Having heard my groan and seeing my contorted face, she gives me a suspicious glance. ...Tch, who do you think is to blame for this?
 
   
  +
Mata kita bertemu, tapi dia mencoba melewatiku.
Our eyes meet, but she just tries to pass me by.
 
   
  +
"Menyerahlah pada balas dendammu. Aku kasihan padamu, tapi kau memanen apa yang kau tanam."
"Give up on your revenge. I pity you, but you reap what you sow."
 
   
  +
Gadis itu berhenti dan melihat padaku. Alasan dia tak memiliki ekspresi mungkin karena dia belum menyadari situasinya.
The girl stops and turns to me. The reason for her lack of expression is probably that she has yet to realize the situation that she's in.
 
   
  +
"Kau mungkin ingin menghukum orang-orang yang bersalah, tapi orang yang membayar untuk tubuhmu tak sama dengan orang yang memberimu AIDS. Maupun jika mereka bekerja sama. Dosa mereka tidak seburuk seperti hal yang kau rencanakan pada mereka. Sepertinya kau tidak setuju denganku, sih."
"You may want to punish wrongdoers, but the guys who pay for your body aren't the same as the guy who gave you AIDS. Nor are they somehow in cahoots. Their sins certainly aren't as grave as what you plan to do to them. I guess you don't agree with me, though."
 
   
  +
Matanya mulai menunjukkan kebingungan, tapi dia sebaliknya bertahan tak berekspresi. Mungkin dia tidak bagus dalam mengekspresikan dirinya...
Her eyes start to show some confusion, but she otherwise remains poker-faced. Maybe she's not good at expressing herself...
 
   
  +
"Jadi berhentilah menjual tubuhmu dan menyebarkan HIV." Dengan wajah yang tak berubah, dia membuka mulutnya.
"So stop selling your body and spreading HIV."
 
   
  +
"...Tolong jangan katakan omong kosong itu di publik."
With an utterly deadpan look on her face, she opens her mouth.
 
   
  +
Dia akhirnya bicara. Aku harus membuatnya tegang agar bisa mendengar suara lemahnya. Seperti dia tak begitu energetik.
"...Please don't say such nonsense in public."
 
   
  +
"Jangan khawatir! Lihat, tak ada yang memperhatikan kita. Kau bodoh jika harus memperhatikan setiap orang yang kau lewati di jalan. Sekumpulan orang ini tak akan peduli meski jika seorang buronan melewat."
She speaks at last. I have to strain to hear her frail voice. Looks like she's also not very energetic.
 
   
  +
Yah, beda halnya jika seseorang mulai berakting seperti anjing...
"Don't worry! Look, there's no one paying any attention to us. You'd go nuts if you had to pay attention to every single person you pass on the street. This bunch wouldn't care if a wanted criminal were strolling by."
 
   
  +
"Bagaimana kamu tau apa yang kulakukan...?"
Well, it'd be an entirely different story though if someone started to act like a dog...
 
   
  +
"Aku tak tau. Aku hanya merasakan bau busuk dosamu."
"How can you know what I'm doing...?"
 
   
  +
Ekspresi tak bernyawanya mulai berubah. Seperti dia ingin mengertukan dahinya, tapi karena dia buruk dalam mengekspresikan dirinya, dia hanya sedikit menerlingkan sebelah matanya.
"I don't. I merely sensed your reeking sin."
 
   
  +
Dia berbalik dariku dan mulai pergi. Sepertinya dia akhirnya mulai lari.
Her somewhat lifeless expression starts to change. Most likely she wanted to frown, but because she's so bad at expressing herself, she just squints a bit.
 
   
  +
"Kau tak bisa lari. Kau sudah dalam kendaliku." Aku menurutp mataku.
She turns away from me and dashes off. Looks like she's finally trying to escape.
 
   
  +
Aku menutup pandanganku. <u>Aku menutup diriku</u>.
"You can't escape. You're already under my control."
 
   
  +
Kembali saat dia melangkahi bayanganku, aku menyerap dosanya. Sekarang aku sampai di kedalaman hatiku dan menggapainya.
I close my eyes.
 
   
  +
Sebuah rasa sakit menusuk isi tubuhku.
I close my vision. <u>I close myself</u>.
 
   
  +
Saat menahan sakit ini, aku mencari di fikiranku tentang fikirannya. Campuran menjijikan dari pemikiran menjijikan orang lain yang tak terhitung ada di dalam kepalaku, membuatku ingin menahan hidungku bahkan saat tak ada bau busuk. Aku membayangkan isi dari ceret penyihir yang diisi tanaman beracun dan kadal.
Back when she stepped into my shadow, I absorbed her sin. I now reach into the depths of my heart and grope for it.
 
   
  +
Rasa sakitnya terasa seperti hanya ilusi: itu hanya kengerian hatiku. Hatiku berjuang dengan segala kemampuannya melawan sentuhan kotor, dan hasilnya memberikan rasa sakit. Setan, itu seperti pusat cacing pita menggeliat di dalamku.
A numbing pain pierces my innards.
 
   
  +
Saat menahan sekumpulan benda menjijikan, aku akhirnya menemukan pemikirannya dari semua yang kusimpan dalam kepalaku. Mereka membentuk sebuah "bayangan."
While enduring this pain, I search within my mind for her specific thoughts. The dirty jumble of countless others' repulsive thoughts that are in my head, makes me want to hold my nose even when there's no physical stench. I imagine the contents of a witch's cauldron filled with poisonous plants and lizards.
 
   
  +
Setiap bayangan itu adalah dosa seseorang. Sampai sangat dalam memasuki ceret menjijikan itu——<u>aku menangkap bayangannya</u>.
The pain I feel is most likely a mere illusion: it's just my heart cringing. My heart is struggling with all its might against touching such filth, and causing me pain as a result. Hell, it's like a host of tapeworms squirming inside me.
 
   
  +
“Uh, ah...!”
While resisting the waves of disgust, I finally find her thoughts among all the others that I hold in my head. They resemble a "shadow."
 
   
  +
Beberapa meter dariku, gadis SMA itu meringkuk ke bawah.
Each of these shadow-like thoughts is someone's sin.
 
   
  +
Aku berhasil mengendalikannya.
Reaching even deeper into this repulsive cauldron——<u>I grab her shadow</u>.
 
   
  +
Aku membuka mataku.
"Uh, ah...!"
 
   
  +
Aku mencoba dengan kuat menahan rasa sakitku dengan menekan tanganku dengan keras ke dadaku, dan perlahan mendekatinya.
Several meters from me, the middle schooler crouches down.
 
   
  +
"Ah, aaaaahaaaaaah!" dia menangis dan menggelepar-gelepar dalam rasa sakit. Responnya menarik perhatian orang-orang di sekitar kami, tapi tak ada satupun ingin menolonhnya. Semua hanya mengabaikannya atau menonton dengan tak berdaya.
I've finished taking control.
 
   
  +
"Keadaan menyedihkan ini hanyalah kau yang menghadapi dosamu secara langsung. Kau menyadarinya, 'kan?"
I open my eyes.
 
   
  +
Tanpa mengatakan apapun, dia terus menangis.
I try to forcefully suppress the numbness within me by pressing my hand hard against my chest, and slowly approach her.
 
   
  +
"Jangan khawatir. Aku tak akan mengubahmu menjadi 'Manusia Anjing'. Hanya mereka yang lepas dari kewajibannya dengan mematikan otaknya dan tak merasakan dosa - adalah sampah yang lebih buruk dari anjing. Itu tidak berlaku padamu. Kau menderita. Kau hanya jadi menderita. Ini artinya kau masih memiliki kesempatan untuk tumbuh. Tapi aku yakin kau harus di monitori. Lalu—"
"Ah, aaaaahaaaaaah!" she cries and convulses in pain.
 
   
  +
Aku melempar bayangan dari dosanya ke dalam mulutku. "—<u>jadilah budak dari dosamu</u>."
Her response draws the attention of the people around us, but no one is willing to help her out. Everyone is either just ignoring her or watching helplessly.
 
   
  +
Sebuah rasa pahit luar biasa menyebar dalam mulutku. Dengan melakukannya, aku telah menaklukannya.
"This distress is merely the result of your being directly confronted by your sins. You realize that, right?"
 
   
  +
'Box' yang kudapatkan: 'Hukuman dan Bayangan Dosa'.
Without saying a word, she continues to cry.
 
   
  +
Singkatnya, kekuatan 'box'-ku adalah menggunakan perasaan berdosa yang ada jauh di dalam targetnya untuk membawanya dalam kendaliku.
"Don't worry. I'm not going to turn you into a "Dog Human." Only those who have escaped from their responsibilities by turning off their brains and no longer retain any feelings of guilt - are the real scum who are lower than mutts. That doesn't apply to you. You are suffering. You have just become desperate. This means that you still have a chance for growth. But I think you need to be monitored. Therefore—"
 
   
  +
Tapi aku sudah mengadakan kondisi tambahan padaku. Untuk mengendalikan seseorang, aku harus secara langsung menghadapi dosanya. Ini artinya aku harus melihat bagian terburuk dari jiwa seseorang. Contohnya, gadis SMA di hadapanku ini mendapatkan HIV karena prostistusi dan jadi putus asa. Sebagai balas dendam, dia menjual tubuhnya untuk menginfeksikan para pria yang melakukan sex dengannya. Meskipun sangat tersakiti karena merasa bersalah akan kelakuannya, meskipun rasa sakitnya karena penyesalan, dia tak bisa menghentikannya. Dosanya sudah mengambil dirinya, menjadi tak terkendali dan merusak orang lain juga.
I throw the shadow of her sin into my mouth.
 
   
  +
Aku membebankan diriku dengan dosa-dosa ini.
"—<u>become a slave of your sin</u>."
 
   
  +
Aku bahkan membebaniku dengan rasa sakit yang bersatu dengan dosa-dosa itu.
An incredible bitterness spreads in my mouth.
 
   
  +
Sebagai konsekuensinya, aku juga terserang.
By doing so, I have subjugated her.
 
  +
  +
Tapi hanya dengan begitu, aku bisa mengendalikan targetku.
   
  +
—Sebuah ‘box’ bisa mengabulkan ‘keinginan’. Tapi tidak ada yang dengan keinginan yang tidak dikacaukan sepenuhnya. Sebuah ‘box’ mengabulkan semacam ‘keinginan’ yang dikacaukan dengan bentuk terdistorsi yang tepat.
   
  +
Aku tak menjadi pengecualian terhadap aturan ini. Karena kerealisan yang membebani, aku tak bisa membuat diriku mempercayai sepenuhnya kekuatan ‘box’. Aku hanya pasrah dan merasakan itu, yang menurutku, hanya mimpi saja.
   
  +
Jika kau menggunakan ‘box’ tanpa berfikir, ‘keinginan’-mu akan kacau dan takkan menjadi kenyataan.
The 'box' I obtained: the 'Shadow of Sin and Punishment'.
 
   
  +
Tapi beruntung, aku sadar akan aturan ini. Meski begitu, aku memutuskan tidak menggunakan ‘box’ langsung setelah mendapatnya dari ‘O”, dan malah mencari jalan untuk mengendalikannya.
In a nutshell, the power of my 'box' uses the feelings of guilt deep inside the target to bring him or her under my control.
 
   
  +
Tak lama, aku mendapatkan kesempatan untuk dapat menjadi ahli mengendalikan ‘box’-ku dalam “Permainan Kebosanan” Kamiuchi Koudai. Aku mendapatkan pencerahan.
But I have imposed additional conditions upon myself. In order to control someone, I have to directly confront their sins. This essentially means that I have to look at the ugliest parts of people's souls. For example, the middle school girl before me caught HIV due to prostitution and despaired. As revenge, she has been selling her body to infect the men who have sex with her. Despite the deep suffering she experiences due to the guilt of her acts, despite her pangs of remorse, she can't stop herself. Her sin has already taken on a life of its own, gone out of control and is damaging others as well.
 
   
  +
Kau tidak boleh meminta ‘keinginan’-mu secara langsung pada ‘box’. Kau harus meminta ‘keinginan’ yang <i>digunakan</i> untuk mengabulkan ‘keinginan’-mu.
I burden myself with these sins.
 
   
  +
Bayangkan kau ingin menghancurkan dunia. Saat kau meminta secara langsung tujuanmu, ‘keinginan’ itu secara otomatis menjadi tidak jelas dan meragukan di waktu yang sama, menghambatmu menjadi ahli ‘box’-nya. Malah, kau harus mengambil jalan yang tak langsung dan ‘menginginkan’ tombol pemicu sebuah bencana nuklir. ‘Keinginan’ seperti itu cukup kuat untuk menghancurkan dunia dan sangat mendasar untuk mudah di bayangkan.
I even burden myself with the harmful ill will that is attached to these sins.
 
   
  +
Tentu itu mungkin tetap menjadi ‘harapan’ absurd. Jika kau percaya ‘box’ memiliki kekuatan untuk mengabulkannya. Itu karena, aku sudah melihat kekuatan yang tak bisa dipercaya dari ‘box’. Bukan masalah untukku membayangkan sesuatu yang mudah seperti mengendalikan semua senjata nuklir yang ada.
As a consequence, I also get attacked.
 
   
  +
Bahkan seorang realis sepertiku bisa mengendalikan ‘box’ dengan sikap ini.
But only by doing so can I control my target.
 
   
  +
‘Keinginan’-ku sebenarnya adalah “menghabisi semua orang bodoh yang tak punya fikiran .” Aku menahan diri untuk mencoba mengabulkan ‘keinginan’ ini secara langsung dan jadi meminta senjata untuk melakukannya.
—A 'box' can grant any 'wish'. But there is no one with a perfectly undistorted wish. A 'box' grants such distorted 'wishes' in their exact distorted form.
 
   
  +
<i>Mengendalikan orang lain</i>.
I'm no exception to this rule. Because of my burdensome sense of realism, I can't bring myself to fully believe in the power of the 'boxes'. I can't help but feel that, on some level, it's just a pipe dream.
 
   
  +
Itu senjata yang kugunakan.
If you use a 'box' thoughtlessly, your 'wish' will be twisted and not come true.
 
   
  +
Itu mungkin sifat alamiku yang membuatku mengabulkan ‘keinginan’-ku. Orang lain mungkin telah gagal, karena tak percaya bahwa mereka bisa mengendalikan orang lain. Tapi aku selalu berfikir bahwa mungkin untuk mengendalikan orang lain dengan kata-kataku dan aksiku. Terlepas dari mungkin atau tidak mungkin jadi kenyataan, itu bukan masalah, karena kepercayaanku pada <i>kemungkinan</i> untuk mengendalikan telah mengabulkan ‘keinginan’-ku tanpa ada kekacauan. Dengan membuat beberapa kondisi yang keras pada diriku, aku bahkan menjadikan ‘keinginan’-ku lebih. Setelah melakukan itu, aku akhirnya mampu mendapat kekuatanku.
Fortunately though, I was aware of this rule. Thus, I decided against using my 'box' immediately after receiving it from 'O', and instead sought a way to master it.
 
   
  +
Tapi kekuatan ini terlalu lemah dibandingkan dengan tujuan terbesarku. Itu adalah kekuatan yang membutuhkan pendekatan yang gila. Aku tidak pernah membenci pemikiranku yang realis sampai sekarang.
Before long, I was given the chance to gain mastery over my 'box' within Koudai Kamiuchi's "Game of Idleness." I was able to become enlightened.
 
   
  +
Tapi, aku tak peduli.
You mustn't try to grant your 'wish' directly with the 'box'. You have to 'wish' for the ''means'' to grant your 'wish'.
 
   
  +
Lagi pula, kekuatan ini terasa cocok dan pantas.
Imagine that you wanted to destroy the world. When you wish directly for that goal, the 'wish' automatically becomes vague and doubtful at the same time, preventing you from mastering the 'box'. Instead, you should take an indirect route and 'wish' for a switch that can trigger a nuclear holocaust. Such a 'wish' has enough force to destroy the world and is concrete enough to be easily visualized.
 
   
  +
Dan artinya itu sangat cocok denganku, 'kan?
Of course that may still be an absurd 'wish'. You have to be able to believe that a 'box' has enough power to grant it. That said, I have already seen the unbelievable power of the 'boxes'. It's no problem for me to imagine something as basic as control over existing nuclear arsenals.
 
   
  +
“Maukah kau berhenti untuk balas dendammu yang tak masuk akal?” Aku bertanya pada gadis yang masih meringkuk dan menangis itu.
Even a realist like me can master the 'boxes' in this manner.
 
   
  +
“Ahaahh,” dia mendesah dengan tidak jelas saat mengangguk dengan keras.
My true 'wish' is to "wipe out all those thoughtless fools." I refrained from trying to grant this 'wish' directly and instead asked for a weapon to do so.
 
   
  +
Tak dapat diragukan gads itu akan menghentikan dirinya— mengalahkan dendamnya. Sepertinya aku tak perlu lagi mengendalikannya.
''Controlling others''.
 
   
  +
Karena aku sudah selesai, aku pergi. Tiba-tiba dua laki-laki yang sepertinya murid kuliahan berdiri menghalangiku.
That's the weapon I've chosen.
 
   
  +
“…Hei, apa yang sudah kau lakukan pada gadis itu?”
It's probably my basic nature that lets me grant my 'wish'. Anyone else would probably have failed, unable to believe that they can control others. But I've always considered it possible to control others with my words and actions to a certain extent. While that might or might not be true, it doesn't matter, because my belief in the ''possibility'' of control let me grant my 'wish' without distortion. By imposing some strict conditions on myself, I solidified my 'wish' even more. After doing so, I was finally able to obtain my power.
 
   
  +
Suaranya terdengar tenang, tapi kedua murid itu terbakar dengan rasa marah dan kelihatannya takkan membiarkanku lewat. Kelihatannya, mereka fikir aku menggoda gadis itu.
But this power is terribly weak compared to my ultimate goal. It's a power that requires me to take a ridiculously roundabout approach. I have never hated my realist's mindset as much as I do now.
 
   
  +
“Aku tak melakukan apapun. ‘Kan?” Kataku dan berbalik pada gadis itu.
That being said, I don't really mind.
 
   
  +
Dia dengan cepat menghapus air matanya dan berdiri.
After all, this power feels extremely fit and proper.
 
   
  +
“Ya. Tidak ada apa-apa,” gadis itu berkata dan mengangkat kepalanya.
And doesn't that mean that it suits me perfectly?
 
   
  +
Meskipun dia tak melakukan apapun yang aneh, murid-murid itu mundur.
   
  +
—Kenapa?
   
  +
Setelah melihatnya, aku mengerti respon mereka— tak aneh mereka mundur saat mereka melihat raut wajahnya.
   
  +
Senyumnya jelas-jelas tidak natural— itu seperti ujung mulutnya ditarik oleh benang. Cahaya yang pudar berkilapan di matanya. —Oh tidak, jangan pola <i>itu</i>…
"Will you stop your pointless revenge?" I ask the girl who's still crouching and crying.
 
   
  +
“Orang ini adalah tuhan.” Tolong jangan.
"Ahaahh," she pants incomprehensibly while nodding vigorously.
 
   
  +
Hal yang kulakukan hanya mencampur-adukkan perasaannya dengan rasa bersalah. Aku siap mengendalikannya, dan pada akhirnya tak kulakukan. Tapi itu kelihatan seperti dia sudah bisa menentramkan perasaannya karena aku menariknya kedalam rasa sesal dan membuatnya menghadapinya. Aku secara tidak sengaja memberikan sesuatu yang sama dengan sesi konseling sempurna dengan sukses yang instan.
There's no doubt that this girl will stop her self-defeating revenge. There seems to be no special need to control her.
 
   
  +
Karena aku berhasil di momen ini dengan kekuatan misterius, dia fikir aku tuhan. Itu adalah pola yang terjadi dari waktu ke waktu ketika aku menggunakan ‘box’-ku.
Since I'm done here, I walk away. Suddenly two men who look like college students stand in my way.
 
   
  +
Dengan perkembangan ini, anak kuliahan itu sepertinya tidak mampu melakukan apapun dan berjalan pergi dengan ekspresi yang berubah.
"...Hey, what have you done to that girl?"
 
   
  +
Aku juga, mengubah air mukaku dan melihat si gadis SMA. Dia bernafas dengan cepat dan tersenyum seperti sedang memandangi benda angkasa.
The speaker's tone is calm, but both students are burning with righteous indignation and don't seem to plan on letting me pass. Apparently, they think that I harassed the girl.
 
   
  +
Ya ampun, jangan panggil aku tuhan. Hentikan itu. Serius. Itu menjijikan. Itu membuatku merasa seperti seseorang memasukkan jari ke dalam tenggorokanku. Aku tidak seperti tuhan, maupun ingin menjadi tuhan.
"I haven't done anything. Right?" I say and turn to her.
 
   
  +
Tapi.
She hurriedly wipes away her tears and stands up.
 
   
  +
"——Benar. Aku tuhan."
"Yes. Nothing at all," she says as she raises her head.
 
   
  +
Aku harus membuatnya memanggilku seperti tiu. Aku masihlah seorang yang lemah. Aku belum membuang "diri"-ku yang masih percaya sifat manusia yang penuh kebaikan, sebelum aku mengenakan anting. Itu kenapa aku sangat menderita karena membebani diriku dengan dosa-dosa orang lain.
Even though she hasn't done anything unusual, the students shrink back.
 
   
  +
Jika itu biasa untuk seorang manusia menderita karena itu, maka aku harus berhenti menjadi manusia. Aku harus tak berhati. Jika aku mencekik Kamiuchi Koudai sampai mati saja belum cukup untuk melampaui kelemahanku, maka aku harus membunuh lagi. Itulah bagaimana pentingnya menghapus kelemahanku. Aku akan melampaui diriku.
—Why?
 
   
  +
Jika aku harus menjadi sama dengan tuhan untuk memenuhi tujuanku, aku harus menjadi tuhan.
After looking at her, I understand their response - no wonder they shrunk back when they caught a glimpse of her face.
 
 
Her smile is utterly unnatural - it looks as if the corners of her mouth are being pulled up by strings. A dull light is glittering in her eyes.
 
 
—Oh no, not ''that'' pattern...
 
 
"This man is a god."
 
 
Please don't.
 
 
All I did was stir up her feelings of guilt. I prepared to control her, but in the end I didn't. But it looks like she was able to reconcile her feelings because I sucked up her remorse and confronted her with it. I accidentally provided something akin to a perfect counseling session with instant success.
 
 
Because I accomplished this in a single moment with a mysterious power, she thinks I'm a god. It's a pattern that occurs from time to time when I use my 'box'.
 
 
With this newest development, the college students seem to have hit their limit and walk away with contorted faces.
 
 
I, too, contort my face and look at the schoolgirl. She is breathing wildly and smiling as if gazing at a celestial being.
 
 
For heaven's sake, don't call me a god. Stop that. Seriously. It's disgusting. It feels like someone stuck a finger down my throat. I'm not god-like, nor do I want to become a god.
 
 
But.
 
 
"——Right. I'm a god."
 
 
I have to let them call me that.
 
 
I'm still a wimp. I haven't completely thrown away my "self" from back when I still believed in the benevolence of human nature, back before I started getting my piercings. That's why I suffer so much from burdening myself with other people's sins.
 
 
If it's normal for a human to suffer from doing that, then I must stop being human. I must become heartless. If choking Koudai Kamiuchi to death wasn't enough to overcome my weakness, then I just have to kill again. That's how important it is to erase my weakness.
 
 
I will transcend myself.
 
 
If I have to become akin to a god to accomplish my goal, I shall become a god.
 
   
 
"......"
 
"......"
   
  +
Aku melihat gadis yang memujaku.
I look at the girl who's worshipping me.
 
   
  +
Tidak ada alasan untukku mengendalikannya ... tapi tidak ada alasan untuk tidak mengendalikannya juga. Bagaimana bisa aku menjadi tuhan jika aku tidak siap untuk mengambil martabatnya dan menghancurkannya?
There's no special need to control her... but then there's no reason ''not'' to take control of her either. How can I become a god if I'm not prepared to steal her dignity and wreck her?
 
   
  +
Menghancurkan hidupnya hanya seperti mainan anak-anak.
It's child's play to ruin her life.
 
   
  +
Lagipula hidupnya sudah berakhir. Lalu— "Tinggalkan semuanya untukku."
Her life's as good as over anyway. Then—
 
   
  +
Aku menyentuh "Bayangan Dosa"-nya yang ada di dalam dadaku dan mulai mengendalikannya.
"Abandon everything for me."
 
 
I touch the "Shadow of her Sin" that's within my chest and start controlling her.
 
   
 
"...Ah..."
 
"...Ah..."
   
  +
Dia mendesah dengan nafsu dan bersandar padaku. Seperti meminta untuk dikuasai, ia melihat padaku dengan mata yang berkaca-kaca.
She lets out a sensual moan and leans against me. As if begging to be dominated, she looks up at me with moist eyes.
 
   
  +
"Gembiralah. Aku bahkan bisa memberi seorang pelacur sampah sepertimu alasan untuk hidup. Yah, baiklah. Pertama, jilat sepatuku sekarang."
"Rejoice. I can give even a filthy whore like you a purpose. Well, let's see. First of all, lick my shoes right now."
 
   
  +
"Aaah, terimakasih banyak! Terimakasih banyak!!!"
"Oooh, thank you so much! Thank you so much!!!"
 
   
  +
Tanpa berfikir, gadis itu mulai menjilati tapak sepatuku.
Without hesitation, the girl starts to lick the soles of my boots.
 
   
  +
"Aku senang. Sangat senang. Sungguh sebuah kebahagian untuk menyentuh apa yang kau kenakan, bahkan jika itu hanya dengan lidahku!"
"I'm happy. I'm so happy. What bliss it is to touch something you put on, even if it's just with my tongue!"
 
   
  +
Saat bermandikan rasa penasaran dan hinaan dari orang-orang sekitar, aku fikir:
While bathing in the curiosity and scorn of the surrounding people, I think:
 
   
  +
Bodohnya. Membuatnya melakukan itu hanya membuatku sangat malu. Itu membuatku sakit. Tapi aku harus membuat orang-orang seperti itu.
How stupid. Making her do something like that only makes me feel embarrassed at best. It makes me sick. But I have to subdue everyone like that.
 
   
  +
Aku harus meninggalkan perasaanku yang tidak berarti. "——Ngh!"
I have to let go of my insignificant personal feelings.
 
   
  +
Tapi aku masih sedih. Aku—menyentuh antingku. Sekarang, aku punya enam anting di telingaku. Aku merasakan keinginan kuat untuk membuat lubang dalam tubuhku, yang mana adalah alasan kenapa aku mendapat anting-anting itu. "———"
"——Ngh!"
 
   
  +
Untuk suatu alasan, wajah Kirino Kokone muncul di fikiranku.
But I am still grieving.
 
   
  +
Meski aku seharusnya membuang perasaanku padanya, wajahnya muncul di fikiranku.
I—touch one of my piercings.
 
   
  +
Tetapi, Kirino Kokone dalam fikiranku, tidak begitu nyata, manusia boneka Barbie yang mengenakan kontak mata, secara konstan mengubah-ubah gaya rambutnya, dan butuh lebih dari sejam setiap pagi untuk makeupnya.
By now, I have a total of six piercings in my ears. I felt the strong urge to create holes in my body, which is why I got those piercings.
 
   
  +
Kirino Kokone yang kulihat adalah seorang gadis polos dan sensitif yang selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Sebelumnya, mata yang sadar diri berada dibalik kacamatanya hanya melihat padaku.
"———"
 
   
  +
Aku menjauhkan gambaran mentalku dari wajah Kiri.
For some reason, Kokone Kirino's face crosses my mind.
 
   
  +
Ya, aku tau! Cintaku pada Kiri adalah halangan terbesar untuk mencapai tujuanku.
Even though I'm supposed to throw away my feelings for her, her face crosses my mind.
 
   
  +
Aku mengamati gadis yang masih menjilati sepatuku.
The Kokone Kirino in my thoughts, however, is not that superficial, Barbie doll of a woman who puts in contacts, constantly changes her haircut, and needs more than an hour every morning for her makeup.
 
   
  +
Aku akan mengubah dunia.
The Kokone Kirino I see is that timid and sensitive girl who always used to follow me wherever I went. Back then, the self-conscious eyes behind her glasses looked only at me.
 
   
  +
Aku akan merevolusikan dunia! "...Ya."
I shake off my mental image of Kiri's face.
 
   
  +
Untuk membuat hal itu mungkin, <u>aku harus meninggalkan Kirino Kokone</u>.
Yeah, I know! My attachment to Kiri is the greatest obstacle to achieving my goal.
 
   
I gaze down at the girl who is still licking my shoes.
 
   
  +
Aku juga harus mengalahkan musuh terbesarku.
I will change the world.
 
   
  +
"<i>Aku juga akan bertemu dengan Zero no Maria</i>."
I will revolutionize the world!
 
   
  +
Orang bodoh yang terubah keyakinannya oleh permainan pembunuhan dan telah memilih untuk mengejar tujuannya dengan tekad yang absolut.
"...Right."
 
   
  +
Si spesialis dalam menghancurkan 'keinginan' akan berhadapan denganku. Kali ini, dia takkan masuk kedalam 'box'; malahan dia akan mengambil bertindak sendiri dan memilih untuk menghancurkan 'box'-ku.
In order to make that possible, <u>I must abandon Kokone Kirino</u>.
 
   
  +
—Hoshino Kazuki.
   
  +
Aku akan bertarung denganmu.
   
  +
===◇◇◇ ◇◇◇ Hoshino Kazuki - Minggu, 6 September 14:05 ◇◇◇ ◇◇◇===
I will also have to defeat my greatest enemy.
 
   
''"I will go meet the zeroth Maria."''
 
   
  +
Kokone tidak berubah meskipun Daiya telah menghilang. Tak peduli jika dia fikir Daiya akan menghilang; reaksinya yang kurang masih sangat tidak masuk akal. Ini membuatku berkesimpulan:
A certain simpleton who was transformed by the killer game and has resolved to pursue his goal with absolute determination.
 
   
  +
<u>Sifat periang Kokone hanya kebohongan</u>.
That specialist in crushing 'wishes' will appear before me without fail. This time, he won't be drawn in by a 'box'; instead he'll take action of his own accord and attempt to crush my 'box'.
 
   
  +
Bukan hanya sekarang, tapi selama aku mengenalnya.
—Kazuki Hoshino.
 
   
  +
Sejujurnya, aku sudah sadar kalau sifat periangnya terasa terpaksa dan palsu. Aku juga menyadari bahkan Haruaki dan Daiya tahu tentang dia yang asli, mereka bermain dengan keriangannya yang terpaksa.
I will fight against you.
 
   
  +
Dan aku sadar kalau Daiya selalu terlihat tidak senang dengannya.
===◇◇◇ Kazuki Hoshino - 09/06 SUN 14:05 ◇◇◇===
 
   
  +
Di waktu yang sama, aku tidak pernah berfikir pililhan Kokone begitu signifikan.
Kokone didn't change even after Daiya disappeared.
 
   
  +
Lalu, semuanya mengenakan topeng pada derajat tertentu saat berbicara dengan orang lain. Mogi-san, contohnya, memberitauku kalau dia memiliki sedikit masalah di masa lalu untuk menjaga kontak sosialnya. "Jika Kokone mencoba mejadi orang seperti itu, maka tak ada yang salah dengan pilihannya."
It doesn't matter if she expected Daiya to disappear; her lack of reaction was still extremely unnatural. This led me to the following conclusion:
 
   
  +
Itu yang kufikirkan.
<u>Kokone's cheery personality is just a facade.</u>
 
   
  +
Tapi aku pasti salah.
Not just right now, but for the entire time that I've known her.
 
   
  +
Atau insinden-insiden itu tidak pernah terjadi.
Truth be told, I've long been aware that her cheerful attitude is somewhat forced and fake. I also realized that even though Haruaki and Daiya knew her true self, they played along with her forced cheeriness anyway.
 
   
And I noticed that Daiya always seemed unhappy about the situation.
 
   
  +
"Tidak, serius Kazu-kun, kamu ini jahat! Maksudku, mungkin salah untuk memberi Kasumi harapan dengan terlalu baik sama dia, tapi ayolah, kamu ngerti posisinya, 'kan?
At the same time, I never thought Kokone's choice was that significant.
 
   
  +
Insinden itu terjadi setelah sekolah.
After all, everyone wears a mask to a certain degree when dealing with other people. Mogi-san, for example, told me that she had struggled quite a bit in the past to maintain her social contacts. "If Kokone is deliberately trying to become that kind of person, then there's nothing wrong with her choice."
 
   
  +
"Kau harusnya tau kenapa Kasumi ingin kembali ke sekolah! Kazu-kun, apa kamu sadar betapa buruknya pengaruh sikapmu padanya, terutama setelah kesulitan yang dia lewati untuk pulih?!"
That's what I thought.
 
   
  +
Kokone memarahiku karena aku meninggalkan Mogi-san kemarin dan malah ke apartemen Maria.
But I must have been mistaken.
 
   
  +
"Asal tau saja: kamu <i>sangat</i> salah jika kamu fikir dia akan baik saja hanya karena dia terlihat riang setelah kecelakaannya! Tidak ada yang akan baik-baik saja dengan tubuh yang seperti itu! Kasumi hanya telihat kuat karena dia tidak ingin kita khawatir!"
Otherwise the following incident would never have occurred.
 
   
  +
Itu adalah Juli, sebelum libur musim panas. Meski sudah lebih pukul 5 sore, matahari masih bersinar terang melalui jendela, membuat kelas sangat terang. Mungkin itu cukup panas juga, aku tidak ingat.
   
  +
Kokone dengan menyedihkannya menahan tangisannya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain memandangnya dengan empati untuk temannya, salah sepertinya untukku karena memikirkan itu saat dimarahi.
   
  +
Tapi aku tidak bisa hanya mengangguk dan tersenyum.
"No, but seriously Kazu-kun, that was awful of you! I mean sure, it may be wrong to get Kasumi's hopes up by being too gentle, but come on, you understand the position she's in, don't you?"
 
   
  +
Aku mengerti maksud Kokone.
It was after school when that incident occurred.
 
   
  +
Tentu aku ingin berbaik hati pada Mogi-san.
"You should know well enough ''why'' Kasumi wants to come back to school! Kazu-kun, do you even realize how horribly your behavior has affected her, especially after all the hardships she's borne while trying to recover?!"
 
   
  +
Tapi aku sudah memilih Maria.
Kokone was scolding me because I had left Mogi-san the day before to go to Maria's apartment instead.
 
   
  +
Lagi pula, aku sudah meyakinkan diriku kalau aku mengabdikan diriku pada Maria.
"I want you to know: you're ''seriously'' mistaken if you think that she's okay just because she seemed cheerful after her accident! No one would be okay with their body in such a state! Kasumi is just trying to appear strong because she doesn't want us to worry!"
 
   
  +
"Kokone, aku telah memilih Maria———..."
It was July, just before the summer holidays. Even though it was already past 5 p.m., the sun still shone strongly through the windows, keeping the classroom brightly lit. It was probably quite hot, too, but I can't really remember.
 
   
  +
Kokone menjawab dengan hal lain, meskipun mungkin terkejut dengan keteguhanku.
Kokone was desperately trying to hold back her tears. I couldn't help but admire her empathy for her friend, as wrong as it was for me to be thinking about that while being scolded.
 
   
  +
"T-Tapi kemarin itu tidak seharusnya seperti itu! Tidak bisakah kau menunggu sampai Kasumi lebih baikkan lagi?! Perlakukanlah dia dengan lembut meski hanya sebentar!"
But I couldn't just nod and smile.
 
   
  +
Aku hanya diam.
I understood Kokone's point quite well. Of course I want to be gentle with Mogi-san.
 
   
  +
Bukan karena aku setuju dengan Kokone, tapi karena semua yang akan kukatakan hanya akan melukai perasaannya.
But I have already picked Maria.
 
   
  +
Sejujurnya, tidak peduli apa yang dia katakan padaku, meski dia membenciku dan tak pernah berbicara padaku lagi, pilihanku tidak akan berganti. Aku menganggap Kokone sebagai teman dekat dan aku tak ingin kehilangannya, tapi itu tidak ada urusannya denganku memilih Maria.
Therefore, I made it clear that I would devote myself to Maria.
 
   
  +
Aku mengerti apa yang Kokone maksud. Tapi kapan waktunya? Apakah itu ada? Apakah aku harus bilang pada Mogi-san hanya setelah dia kembali sekolah? Bagaimana jika tepat setelah Mogi-san selesai rehabilitasi dan akhirnya memenuhi keinginan sendiri untuk hidup menjadi seorang siswi yang normal di sisiku? Apakah itu adalah waktu yang tepat untuk mengatakan pada Mogi-san kalau aku memilih Maria? Tentu tidak.
"Kokone, I have chosen Maria———..."
 
   
  +
Mogi-san akan tetap menderita meski jika aku menahan diri untuk mengatakan pilihanku.
Kokone replied with another objection, despite being somewhat shocked by my unshakable attitude.
 
   
  +
"Katakan sesuatu, Kazu-kun! Tolong, jangan sakiti Kasumi lebih dari ini!"
"B-But that's no excuse for acting like that yesterday! Couldn't you at least wait until Kasumi's recovered further?! Treating her gently for a tiny bit longer shouldn't be a problem!"
 
   
  +
Aku juga tak ingin menyakitinya.
I remained silent.
 
   
  +
Aku ingin berkata pada Kokone dengan segenap hatiku, tapi sebagai orang <i>yang</i> menyakiti Mogi-san, aku tidak berhak melakukan itu.
Not because I agree with Kokone, but because everything I want to say would only hurt her feelings.
 
   
  +
Aku mengambil ponselku. Kokone mengeluh, "apa yang kau lihat sekarang?!" Aku hanya mengabaikannya dan menemukan foto yang baru kucari.
In all honesty, no matter what she tells me, even if she hates me and never speaks to me again, my choice won't change. I consider Kokone a dear friend and I don't want to lose her, but that has nothing to do with my choosing Maria.
 
   
  +
Itu adalah gambar Mogi-san membuat tanda peace dengan piyamanya.
I understood what Kokone was trying to get at. But when would the perfect moment be? Does it even exist? Was I supposed to tell Mogi-san only after she'd returned to school? How about right after Mogi-san had completed an exhausting rehabilitation and finally fulfilled her wish of living a normal student's life by my side? Could that possibly be the best time to tell Mogi-san that I had chosen Maria?
 
   
  +
Aku sangat menyukai foto itu. Senyum Mogi-san yang seperti bunga matahari selalu menyemangatiku.
Of course not.
 
   
  +
Melihatnya, aku mengerti kenapa aku pernah mencintainya di dunia dan waktu yang berbeda. Adalah wajar kalau aku mencintai dengan gadis yang memberikanku senyuman yang hangat dan penuh kasih. Itu adalah foto yang sangat berharga yang kumiliki.
Mogi-san would still suffer even if I held off on telling her about my decision.
 
   
  +
Meski begitu—aku menghapusnya.
"Say something, Kazu-kun! Please, don't hurt Kasumi any more than this!"
 
   
  +
Karena aku tidak bisa memilih Mogi-san lagi.
I don't want to hurt her either.
 
   
I wanted to tell Kokone that with all my heart, but as the one who ''was'' hurting Mogi-san, I had no right to do so.
 
   
  +
Aku tetap diam dan terus memandangi Kokone. dia kelihatanya kalah oleh tatapan tabahku, dan tidak mengatakan apapun.
I took out my cell phone. Kokone complained, "what are you looking at now?!" I just ignored her and found the picture that I was looking for.
 
   
  +
Karena hanya kami yang ada di kelas, itu benar-benar tenang.
It was an image of Mogi-san making a peace sign in her pajamas.
 
   
  +
—Ya, sangat hening.
I was really fond of that picture. Mogi-san's sunflower-like smile always cheered me up.
 
   
  +
Itu mungkin kenapa dua gadis dari kelas kami fikir kalau kelasnya sepi. Karena itu mereka mulai berbicara buruk tentang Kokone dari saat mereka kembali ke kelas dari aktivitas klub mereka. "Hei, Kokone emang kayak pelacur belakangan ini." ...tanpa berfikir sedikitpun kalau target dari gosip buruk itu ada di sini.
Looking at it, I understood why I could have loved her in a different world and a different time. It was only natural that I would fall in love with a girl that gave me such a warm, loving smile. It was a very, very precious picture of mine.
 
   
  +
"Bukannya dia cuma pelacur yang suka cari perhatian? Rengekannya soal kaca matanya kemarin ganggu banget. Maksudku, ayolah, kita nggak peduli soal wajahmu! Jika kamu gak ingin ngobrol dengan kita, ya ngobrol aja sama dirimu di cermin!"
Therefore—I deleted it.
 
   
  +
"Yah, seriusan! Itu ganggu banget kalau dia ngomongin tentang dirinya sendiri! Dan, dia tidak seimut seperti yang dia buat-buat. Itu seperti siang dan malam kalau kamu bandingkan wajahnya sama wajah Maria-sama. Aku yakin wajahnya Maria-sama setidaknya tiga kali lebih cantik!"
Because I could not choose Mogi-san anymore.
 
   
  +
"Haha, Kou, kau kejam banget!"
   
  +
Aku ingat suara senang itu. Mereka berasal dari dua gadis dari kelas kami yang berteman dengan Kokone. Mereka bertiga sering makan siang bersama.
   
  +
"Tapi kamu tidak bisa menolaknya. Bukankah Kokone cuma mengandalkan make-up-nya? Ya ampun, dia payah amat buat populer sama cowok."
I remained silent and continued to stare at Kokone. She seemed defeated by my steadfast look, and didn't say anything else.
 
   
  +
"Hm... Tapi dia populer... Apa cowok itu gak bisa melihat apa yang ada dibalik make-up itu?"
As we were the only ones in the classroom, it was completely quiet.
 
   
  +
"Oh, mereka akan jatuh cinta padamu jika kau imut dan bertingkah sok kenal. Juga lelaki itu gak malu jika gadisnya cantik, 'kan?"
—Yes, there was a deep silence.
 
   
  +
"Dan itu yang membuatnya sempurna!"
That's probably why those two girls from our class thought that the classroom was empty. Because of that mistake, they started trash talking Kokone on their way back to the classroom from their club activities.
 
   
  +
"Hey, apa dia fikir semuanya menyukainya? Maksudku, kita cuma sama dia karena dia memikat cowok."
"Man, Kokone sure is acting slutty lately."
 
   
  +
"Ya, dia sangat berguna untuk itu."
...without having the faintest idea that the target of their malicious gossip was right there.
 
   
  +
"Tapi ya ampun itu bikin kesel. Dan dia lebih gak berguna sejak pangeran lidah tajam kita telah berhenti datang ke sekolah."
"Isn't she a real attention whore? Her whining about her glasses yesterday really pissed me off. I mean, come on, we don't give a shit about your face! If you don't want to talk to us, then just talk to yourself in the mirror!"
 
   
  +
"Oh, Mii-chan, Oomine-kun favoritmu, 'kan?"
"Yeah, totally! It's so annoying that she's always talking about herself! Besides, she's not nearly as cute as she makes herself out to be. It's like day and night if you compare her face to Maria-sama's. I bet Maria-sama's at least three times as pretty!"
 
   
  +
"Dia sangat dingin, tapi aslinya dia sangat baik! dia penuh dengan martabat dan tidak vulgar! Cuma aku yang mengertimu, Daiya-kyun ku!"
"Haha, Kou, you're so terrible!"
 
   
  +
"Oh hentikan, Mii-chan! Kamu cuma bilang itu karena parasnya, 'kan!"
I recognized those amused voices. They belonged to two girls from our class who had befriended Kokone. All three of them would often have lunch together.
 
   
  +
"Kau benar. Orang jelek pantas untuk mati!"
"But you can't deny any of it. Isn't Kokone just relying on her make-up? Oh boy, she's so desperate to get popular with the guys."
 
   
  +
"Tapi Oomine-kun pacaran sama Kokone?"
"Mh... but she ''is'' popular... are guys really unable to see through all that BS?"
 
   
  +
"Nghh, kalau ditambah 'pernah', mungkin?" "Aah, bisa jadi. Mungkin dia berhasil menggodanya, tapi mereka pisah saat Daiya menyadari seperti apa dia?"
"Oh, they'll fall for you if you're somewhat cute and act overly friendly. I guess guys are also less shy if the girl is only somewhat cute, no?"
 
   
  +
Aku ingin menutup telingaku untuk menghindar dari fitnahan mereka, tapi apa yang bisa kulakukan kalau korbannya berada di sisiku?
"And that's what makes her perfect!"
 
   
  +
Suaranya jadi lebih dekat, pasti, gadis itu akan bertatap muka dengan Kokone. Tidak bisa membuat pilihan, aku ingin mengalihkan diriku dari Kokone.
"Hey, I wonder if she thinks that everyone likes her? I mean, we just hang around with her because she attracts the guys."
 
   
  +
<i>Dia pasti seputih kapur dan ketakutan. Mungkin dia mulai menangis... Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku membantunya sembunyi dan menunggu mereka pergi? Setelah itu aku bisa pergi bersamanya ke Mickey D, mendengar kesedihannya dengan saksama dan mencoba menenangkannya dengan kemampuan terbaikku...</i>
"Yeah, she's really useful that way."
 
   
  +
Tapi tidak perlu menenangkannya. dia tidak begitu marah.
"But god does it stress me out. And she's gotten much less useful ever since our sharp-tongued prince has stopped coming to school."
 
   
  +
Kokone—<u>tersenyum terhibur</u>.
"Oh, Mii-chan- Oomine-kun was your favorite, wasn't he?"
 
   
  +
".........Eh?"
"He's got a hard shell, but in reality he's really gentle! He's overflowing with dignity and not vulgar in the slightest! I'm the only one who really understands you, my Daiya-kyun!"
 
   
  +
Sekarang, aku heran. Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa tetap tenang dari komentar buruk itu.
"Oh cut that out, Mii-chan! You're only saying that because of his looks, aren't you!"
 
   
  +
Setelah melihat kelakuannya setelah itu, aku mengerti kenapa dia sangat terhibur.
"You've got a point there. Ugly people deserve to die anyway!"
 
   
  +
Apa yang kokone rasakan saat ini pasti— "Fufu..."
"But is Oomine-kun dating Kokone?"
 
   
  +
—kesombongan.
"Mhh, if you make it past tense, maybe?"
 
   
  +
Kedua gadis itu membuka pintu kelas. Saat mereka melihat Kokone, mereka jadi kaku dalam sekejap.
"Aah, that could be. Maybe she managed to seduce him, but they broke up when he realized what she's really like?"
 
   
  +
"O-Oh, kau di sini?"
I wanted to cover my ears to escape from their unbearable slander, but how could I do so with their victim standing right beside me?
 
   
  +
Dalam kekauan di wajah mereka, ketenangan Kokone masih bertahan dengan sempurna. "Ya, aku di sini"
Their voices drew nearer, and at any moment, the girls would come face-to-face with Kokone. Unable to make a decision, I wanted to turn back toward Kokone.
 
   
  +
Mereka bingung akan betapa tenangnya dia. "Um... Kokone...?
''She must be white as chalk and petrified. Maybe she's starting to cry... What should I do? Should I help her hide and wait for them to leave? After that I could go with her to Mickey D's, listen carefully to her woes and try to comfort her to the best of my ability...''
 
   
  +
"Jadi itu apa yang kamu pendapat kalian. Aku agak bodoh, jadi aku tidak sadar. Jujur, aku minta maaf! Aku akan coba untuk berubah jadi lebih baik, aku janji."
But there was no need to comfort her.
 
   
  +
"U-Um, ya, Kokone..."
She wasn't at all upset.
 
   
  +
"Ya, ya. Ketika ngomongin hal buruk seseorang, terkadang sampai kelewatan, 'kan? Tapi itu cuma karena kamu terbawa suasana, bukan berarti kamu berfikir seperti itu. Ya, aku tau."
Kokone was—<u>smiling in amusement</u>.
 
   
  +
Kelihatannya ia memaafkan komentar buruk mereka. Meski mereka sedang berhati-hati, wajah mereka mulai sedikit santai.
".........Huh?"
 
   
  +
"B-Benar!" "Kami cuma terbawa suasana," kata mereka mereka memberi alasan. Senyum Kokone masih belum berubah.
At the time, I was baffled. I didn't understand how she would be able to maintain her composure in the face of such vile comments.
 
   
  +
"Tapi kamu tau, karena aku dengar apa yang kalian omongin, sedikit kecanggungan akan tetap ada... kalian ngerti itu, 'kan?"
Ah, but hindsight is 20/20. Having witnessed her subsequent behavior, I can guess why she was so amused.
 
   
  +
"Y-Ya."
What Kokone felt at the time must have been—
 
   
  +
"Tapi gini aja: kenapa gak biarkan aku bilang beberapa hal sebagai gantinya? Dengan begitu kita akan jadi teman lagi!"
"Fufu..."
 
   
  +
"Y-Ya, kamu benar. Katakan aja apapun yang kamu mau." Setelah "temannya" menyetujuinya, Kokone membuka mulutnya dan bicara.
—a sense of superiority.
 
   
  +
Dia melihat mereka tepat pada matanya dan berbicara dengan tepat dan jelas.
The two girls opened the classroom door. Once they saw Kokone, they stiffened in a ridiculously abrupt manner.
 
   
  +
"Mati aja, lacur jelek."
"O-Oh, you were here?"
 
   
  +
Matanya melebar atas ketidak percayaan.
In contrast to their stiff faces, Kokone's countenance remained perfectly normal.
 
   
  +
"Kalian busuk seperti pelacur kepanasan. Wajah kalian sangat jelek, gak ada satu orangpun di dunia yang bisa berdiri di samping kalian yang bisa buat kalian lebih cantik. Kalian bilang aku pandai menarik perhatian lelaki? Katakan itu lagi kalau muka kalian gak terlalu jelek untuk bisa melakukan itu! Bahkan kalau kau ingin membuatku sebagai magnet lelaki, apa untungnya - bahkan seorang yang butapun tidak akan tertarik pada sekumpulan pelacur yang sejelek kalian!"
"Yes, I was."
 
   
  +
Setelah Kokone mulai menyatakannya, salah satu dari kedua gadis itu berubah merah karena amarah, sementara satunya berubah pucat karena takut.
They were confused by how calm she was.
 
   
  +
"Hahaha, aku cuma bisa tertawa! Maksudku, kalian sadar kalau kalian tau keunggulanku gara-gara kecemburuan bodohmu, 'kan? Bukannya menyakitkan karena jadi kelas rendah? Tolong jangan lakukan itu lagi, ya? Aku gak sesempurna itu. Lalu, ku kasih tau: kalian pelacur murahan yang hidup cuma buat aku keliatan lebih baik lagi."
"Um... Kokone...?"
 
   
  +
Kemarahan di matanya telah hilang tiba-tiba, dan senyum riangnya kembali ke wajahnya.
"So that's what you think of me. I'm a little dense, you know, so I didn't notice. Honestly, I'm sorry! I'll try to change for the better, I promise."
 
   
  +
"Baiklah, sekarang lupakan semua dan kita jadi teman lagi!"
"U-Um, yeah, Kokone..."
 
   
  +
Gadis-gadis itu tidak pernah bicara sepatah katapun pada Kokone sejak itu.
"I know, I know. When you speak ill of someone, it's easy to go a little overboard, right? But that's only because you get carried away, not because you actually feel that way. Yeah, I know."
 
   
She seemed quite forgiving of their cruel comments. While they were still wary, their faces started to relax a bit.
 
   
  +
Saat mengingat insiden itu, aku menggunakan Laptop kakakku, Luu-chan untuk menonton video Youtube tentang sekumpulan orang aneh di Shinjuku. Sekarang aku tau:
"E-Exactly!" "We just got carried away," they said while making up excuses. Kokone's smile remained unchanged.
 
   
  +
Kenapa Kokone bisa berkata hal buruk pada kedua gadis itu, tapi menitikkan air mata pada Mogi-san.
"But you know, because I heard what you said, some awkwardness will remain... you do understand that, right?"
 
   
  +
Tadinya aku fikir kalau tujuan Kokone sebenarnya itu "mendalamkan kedangkalan", kesan riang yang susah payah ia coba untuk nyatakan. Tapi itu salah. Malahan, sekarang aku yakin kalau Kokone dipaksa untuk bertingkah seperti itu. Itu mungkin satu-satunya pilihannya, meski jika itu artinya sepenuhnya membuatnya tersakiti.
"Y-Yeah."
 
   
  +
Tanpa membuatnya stres seperti itu, Kokone tidak bisa bertahan sebagai dirinya.
"But I've got a solution: why don't you let me say some things in return? Then we'll be even and we can go back to being friends!"
 
   
  +
Dan aku curiga kalau kedua gadis itu secara tidak sengaja melanggar sampai ke bagian terlarang sifat Kokone.
"Y-Yeah, you're right. Say whatever you want."
 
   
  +
Meski begitu dia melawannya.
After her "friends" agreed to her proposal, Kokone opened her mouth and spoke.
 
   
  +
Sejauh ini, aku belum menemukan apa <i>penyebabnya melawan konflik dalam dirinya</i>.
She looked them straight in the eyes and spoke clearly and precisely.
 
   
  +
Tapi aku yakin Daiya tau kebenarannya.
"Drop dead, you ugly bitches."
 
   
  +
"Ah, aku juga sudah lihat video itu! Ia bocah yang luar biasa, bukan? Sangat karismatik untuk seseorang seumurnya."
Their eyes widened in disbelief.
 
   
  +
Saat mengintip ke layar, "teman sekamarku" berkomentar yang benar-benar salah. Aku berbalik. "...Hey, itu Umaibō-ku, 'kan?"
"You're as nasty as a pair of bitches in heat. Your faces are so ugly, there's not a single person in the entire world who you could stand next to make you look better. You said that all I'm good for is attracting guys? Say that again when your own goddamn mugs aren't too ugly to get the job done! Even if you want to use me as a guy magnet, what's the point - not even a blind man would be interested in a bunch of bitches as ugly as you!"
 
   
  +
Saat aku mengatakannya, Luu-chan membuka bungkus dari Umaibō rasa saos Tonkatsu.
As Kokone's words began to register, one of the two girls turned red with anger, while the other one turned pale with fright.
 
   
  +
"Tapi kamu pakai komputerku, 'kan?"
"Hahaha, I can't help laughing! I mean, you realize that you've acknowledged my superiority with your stupid envy, right? Is it that painful to be so inferior? Please don't overdo it, okay? I'm not ''that'' perfect. At any rate, let me tell you this: you're worthless bitches whose only purpose in life is to make me look even better."
 
   
  +
"Ya, tapi itu ga ada hubungannya."
The angry glint in her eyes that had been piercing them disappeared abruptly, and a cheerful smile reappeared on her face.
 
   
  +
Dia dengan malas mengeluarukan dompetnya dan menekan koin 10-yen ke tanganku.
"All right, now let's forget everything and be friends again!"
 
   
  +
...Bukan itu yang aku maksud... Terserah.
Those girls haven't spoken a single word to Kokone ever since.
 
   
  +
Saat mengunyah Umaibō, ia menambah hal yang tak beda jauh:
   
  +
"Apa ini orang-orang yang akan merevolusikan dunia?"
   
  +
Aku mengembalikan pandanganku ke layar laptop.
While recalling that incident, I'm using my sister Luu-chan's laptop to watch a Youtube video of a weird group of people in Shinjuku.
 
   
  +
Ya... mungkin.
By now I know:
 
   
  +
Daiya mungkin mencba menghancurkan dunia dengan 'box'-nya.
How Kokone was able to say such cruel things to those two girls, while shedding tears for Mogi-san.
 
   
I used to think that Kokone's goal was to actually internalize the superficial, cheery image that she tried so hard to project. But that's not true. In fact, now I'm sure that Kokone was forced to act that way. It was somehow her only choice, even if it meant straining herself to the utmost.
 
   
  +
Dan jika ia menggunakan 'box', ia pasti melibatkan Maria.
Without stressing herself like that, Kokone could not stay herself.
 
   
  +
Jika itu terjadi, kehidupan biasa Maria pasti akan hilang dan sekali lagi dia akan dikendalikan oleh "Otonashi Aya."
And I suspect those two girls had accidentally encroached upon a forbidden part of Kokone's personality.
 
   
  +
"......Aku—"
Therefore she snapped.
 
   
  +
—tidak akan membuat itu terjadi. Tidak peduli apapun yang terjadi.
So far, I haven't discovered ''what's' been driving her internal conflict.
 
   
  +
Saat dalam "Permainan Kebosanan," aku sadar kalau musuhku adalah "Otonashi Aya" yang menjadi "Otonashi Maria" dan membuat Maria mati. Demi Maria, aku harus membebaskan dunia dari 'O' dan 'box'. Aku harus menghentikan Daiya, tapi bagaimana?
But I bet Daiya knows the truth.
 
   
  +
Aku bukan 'pemilik'. Tergantung dari 'box' yang Daiya gunakan, aku mungkin tidak punya apapun untuk melawannya. Jadi bagaimana aku harus melindungi Maria?
"Ah, I've also seen that video! He's an amazing boy, isn't he? So charismatic for someone his age."
 
 
While peeking at the screen, my "roommate" made a comment that totally missed the mark. I turn around.
 
 
"...Hey, that's my Umaibō, isn't it?"
 
 
While I'm saying that, Luu-chan opens a package of Tonkatsu-sauce<ref>A thick sauce is manufactured in Japan under brand names such as 'Bulldog', which reflect its English origins, but this is a brown sauce more similar to HP Sauce rather than any type of Worcestershire Sauce.</ref>-flavored Umaibō<ref>Umaibō (うまい棒) or "delicious stick" is a small, puffed, cylindrical corn snack that resides at the bottom of most Japanese convenience store candy shelves.</ref>.
 
 
"But you're using my computer, right?"
 
 
"Yeah. But that's irrelevant."
 
 
She reluctantly took out her wallet and pressed a 10-yen coin into my hand.
 
 
...That's not what I meant... whatever.
 
 
While munching on the Umaibō, she adds indifferently:
 
 
"I wonder if it's people like that who revolutionize the world?"
 
 
I return my gaze to the laptop screen.
 
 
Yeah... perhaps.
 
 
Daiya might be trying to destroy the world with his 'box'.
 
 
 
 
And if he's using a 'box', he will definitely get Maria involved.
 
 
Once that happens, Maria's regular life will be lost and she will once more be overtaken by "Aya Otonashi."
 
 
"......I—"
 
 
—won't let that happen. No matter what.
 
 
During the "Game of Idleness," I realized that my enemy is the "Aya Otonashi" who has possessed "Maria Otonashi" and is leading Maria to her death. For Maria's sake, I must free the world from 'O' and 'boxes'.
 
 
I have to stop Daiya.
 
 
But how?
 
 
I'm no 'owner'. Depending on what Daiya's 'box' is capable of, I may not have anything to use against him.
 
 
So how am I supposed to protect Maria?
 
   
 
"———"
 
"———"
   
  +
Hanya ada satu jawaban pendek.
There is one extremely simple solution.
 
   
  +
Itu adalah cara yang inginku hindari dengan segenap hati, sebuah cara yang butuh pengkhianatan pada diriku yang asli. Ah, kenapa aku harus peduli? Aku sudah siap untuk membuat tanganku kotor. Malahan, aku sudah menodainya dengan mengabaikan Kamiuchi Koudai. Lagipula—
It's a method that I want to avoid with all my heart, a method that would require me to betray my former self. Ah, but why do I still care? I have prepared myself to get my hands dirty. In fact, I already ''have'' besmirched them by abandoning Koudai Kamiuchi.
 
   
Therefore—
 
   
  +
<i>Meski aku harus mendapatkan dan menggunakan 'box', aku tidak peduli</i>.
   
   
  +
Pertarungan 'box' lawan 'box' dimulai.
<u>Even if I have to obtain and use a 'box', I don't care anymore.</u>
 
   
  +
Sebuah pertarungan dari 'keinginan'-ku untuk menghancurkan 'box' melawan 'keinginan' Daiya.
   
  +
Aku tidak tau 'keinginan' Daiya. Tapi itu bukanlah sesuatu yang akan ia perjuangkan tanpa pandang bulu.
   
  +
Tapi apapun itu—
Let the clash of 'box' versus 'box' begin.
 
   
  +
"Aku tidak tahan."
A clash of my 'wish' to crush the 'boxes' versus Daiya's 'wish'.
 
   
  +
Semua 'keinginan' yang bergantung pada sebuah 'box' hanyalah sampah. Tak peduli seberapa pentingnya 'keinginan' itu bagi Daiya, itu sampah. Aku akan menghancurkannya sampai jadi kecil dan kuhapus, sampai tidak meninggalkan apapun.
I don't know what Daiya's 'wish' is. But it's definitely something he will fight for with no holds barred.
 
   
  +
Bahkan jika aku harus membunuh Daiya.
But whatever it is—
 
   
  +
"...Kazu-chan, belakangan ini kamu mulai serem. Matamu memberikan kesan pembunuh, tau."
"I can't stand it."
 
   
  +
Aku mengabaikan ocehan Luu-chan, dan mematikan komputernya.
All 'wishes' that have to depend on a 'box' are utter shit. No matter how important that 'wish' is to Daiya, it's shit. I'll beat it to a pulp and wipe it out, leaving not a single stain.
 
 
Even if I have to kill Daiya.
 
 
"...Kazu-chan, you have been a little scary lately. Your eyes just took on a bit of a murderous look, you know?"
 
 
I ignore Luu-chan's ramblings, and shut down the computer.
 
 
I have come to a resolution.
 
 
I will fight against Daiya.
 
</div>
 
   
  +
Aku sudah yakin. Aku akan bertarung melawan Daiya.
   
 
<references />
 
<references />
Line 760: Line 682:
 
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
 
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
 
|-
 
|-
  +
| Sebelumnya [[Hakomari (Indonesia):Jilid 5 Prolog|Prolog]]
| Back to [[Utsuro no Hako:Volume5 Prologue|Prologue]]
 
  +
| Kembali ke [[Hakomari (Indonesia)|Halaman Utama]]
| Return to [[Utsuro no Hako to Zero no Maria|Main Page]]
 
  +
| Selanjutnya [[Hakomari (Indonesia):Jilid 5 Bab 2|Adegan 1]]
| Forward to [[Utsuro no Hako:Volume5 Scene 1|Scene 1]]
 
 
|-
 
|-
 
|}
 
|}

Revision as of 17:01, 31 July 2016

Hakomari5 p14.jpg


Hakomari5 p14.jpg




◆◆◆ Oomine Daiya - Minggu, 6 September 12:05 ◆◆◆

"Saya sangat kaget, ya. ...Ya. Ya. Tentu saya pernah dengar 'Manusia Anjing', tapi, saya kira itu cuma akal-akalan TV saja. Saya tidak mengira 'Manusia Anjing' akan ada di halaman rumah saya sendiri!"

Televisi LCD menunjukkan seorang wanita yang wajahnya disensor. Wanita rumah tangga yang sudah paruh baya itu didistorsikan suaranya dengan bantuan elektronik, tapi nada kemuakan dirinya yang dikeluarkan dengan keras dan jelas.

"X (nama disensor dengan suara komputer) ini orang seperti apa sebelumnya?"

"Hm... sangat biasa. Tapi ia sangat pendiam. Saat kau sapa, ia akan bersuara sangat pelan sampai orang tidak tau dia ini menjawab atau tidak!"

"Pernahkan ia melakukan hal yang menarik perhatianmu?"

"...Yah, ya. Belakangan ini, setelah orang tuanya menghilang... apa yang orang-orang sebut? Pengangguran? Saya fikir dia mengucilkan dirinya sendiri di rumah. Apa yang ia lakukan untuk hidup? ...Siapa tau? Saya tidak tau."

"Bisakah Anda menghubungkannya dengan hilangnya orang tuanya?"

"Ya. ...Ah, tapi saya harus bilang bahwa orang tuanya mungkin pergi tanpanya. Aku hanya mendengar sebuah rumor bahwa mereka menghilang. Saya tidak tau lagi detailnya. X tidak pernah baik jika dengan tetangganya."

"Begitu... Apakah Anda tau apa ciri yang dimiliki semua 'Manusia Anjing'?"

Si wanita paruh-baya itu dengan biasa menjawab. "...Ya. Mereka semua kriminal, 'kan? Dan kejahatan mereka cukup serius."

"Riwayat kejahatan 'X' masih belum diketahui sekarang, tapi apa Anda tau?"

"Saya cuma lihat X menggonggong dan gaya berdiri dengan 4 kaki macam anjing, cuma itu. Saya takut tidak ada hal lagi untuk—"

Si wanita paruh-baya mungkin sudah tidak punya informasi penting: layarnya terpotong kembali ke studio dan melakukan zoom in pada moderatornya dan beberapa komentator.

Tak ada yang tau apakah perbincangan tentang fenomena ini serius atau hanya candaan belaka. Komentar partisipan yang kikuk pada insiden misterius ini hanya hal dengan banyak maksud yang tidak memberi pengaruh apapun.

Aku mengubah posisiku dari kasur dan menyeringai. Seperti yang kurencanakan, acara-acara mulai menampilkan "Manusia Anjing" setiap hari.

Saat seseorang tiba-tiba kehilangan kemampuannya untuk bicara dan mulai merangkak dengan tangan dan kakinya tanpa alasan apapun - itulah fenomena "Manusia Anjing". Tidak ada acara yang ingin melewati topik yang sangat sensasional

Tapi tak peduli berapa banyak perhatian yang topik itu dapatkan, alasan utamanya tidak akan mendapat titik terangnya. Banyak doktor dan ilmuwan mencoba mengetahui dasar fenomena "Manusia Anjing", tapi tak peduli sejauh mana pendekatannya, mereka tak akan pernah tau bahwa sebuah 'box' adalah penyebabnya.

Meski begitu, komentatornya telah mengecewakan penonton dengan kesimpulan biasa seperti "mereka hanya akting" atau "mereka berbicara pada diri mereka bahwa mereka adalah anjing" atau "itu sakit jiwa." Bahkan pencari tau ilmu alam, yang mungkin bisa ikut ke panel itu hanya untuk tawaan, melakukan hal yang lebih pada penonton dengan berkata bahwa "Tuhan telah memberikan ini pada kita sebagai cobaan untuk menghindari kesombongan manusia, untuk mengajarkan kita kalau kita hanyalah binatang." Heh

Omong kosong.

Jika kau mendiskusikan "kesombongan", maka Tuhan yang merepotkan kita sebagai cobaan itu jauh lebih sombong. Maksudku, apa manusia peduli jika hewan itu sombong?

Hanya manusia yang bisa melakukan sesuatu seabsurd membuat "Manusia Anjing."

Saat aku menyalakan TV lagi, moderatornya menyimpulkan laporan khusus hari ini tentang"Manusia Anjing" dengan kata-kata kosong.

"Kami harap dengan segenap hatinya ia akan pulih secepatnya." "Pulih secepatnya," hah?

Moderatornya tak mampu berkata lebih lama lagi.

"X" alias "Katsuya Tamura" adalah kriminal nyata yang telah membunuh orang tuanya - tapi aksi kriminalnya sekarang disembunyikan dari masyarakat. Setelah aksinya telah terbuktikan, moderator itu tak mungkin mampu dengan biasa mengharapkan pulih lagi.

Sekarang, hanya Katsuya Tamura dan aku yang tau kejahatannya, tapi tak lama lagi, semuanya akan tau.

Pendapat manyarakat tak bisa melepas kenyataan bahwa setiap "Manusia Anjing" telah berubah menjadi ancaman, dan polisi tidak bisa melepas pendapat publik. Jadi, para polisi akan berdalih untuk menginvestigasi, dan tak lama akan menemukan tulang orang tua Katsuya Tamura di tamannya.

Dan Katsuya Tamura akan pergi ke tempat di mana ia seharusnya berada : penjara. Tidak... mungkin ia akan dikirim ke tempat lain karena masalah mentalnya, tapi kesampingkan itu. Tujuanku bukanlah menghukum kriminal yang masih berada dalam kebebasan.

Jika insiden Katsuya Tamura berjalan sesuai dengan rencana... maka aku tak perlu membuat persiapan lagi. Kekuatan 'box' bisa membuat setiap orang menjadi "Manusia Anjing" - aku dengan berhati-hati menggunakan kekuatanku untuk mencari orang-orang yang melakukan kejahatan dan hanya mengubah kriminal itu.

Aku melakukan itu untuk memaksa persepsi masyarakat agar menyetarakan "Manusia Anjing" dengan "Kriminal."

"Anjing yang berdiri dengan 4 kaki adalah kriminal."

Setelah pemikiran itu menyebar, "Manusia Anjing" akan secara otomatis dianggap sebagai pelanggar hukum.

Apa yang menjadi konsekuensi eksperimenku dalam sosial?

Menjadi "Manusia Anjing" itu menyedihkan. Semuanya merasa menjijikan pada "Manusia Anjing" yang kehilangan inderanya, merangkak dengan telanjang di tanah, dan menggonggong. Tidak ada yang mengasihani mereka karena mereka tidak dianggap manusia-terutama karena semua percaya semua "Manusia Anjing" adalah sampah masyarakat.

Semua akan takut menjadi "Manusia Anjing"

Masyarakat akan sadar bahwa melakukan kriminal bisa mengubah mereka menjadi "Manusia Anjing." Tapi tanpa mengetahui penyebab perubahannya, orang-orang tak memiliki cara lain kecuali menghindari kriminalitas., dan hidup dengan normal untuk menghindari target hinaan publik.

Ini akan menghentikan kejahatan.

Tentu jumlah "Manusia Anjing" itu tidak cukup. Penting untuk membuat orang-orang percaya kalau kriminal akan jadi "Manusia Anjing" dari kemungkinan menjadi keyakinan. Untuk itu, aku harus membuat banyak "Manusia Anjing- pasukan dari mereka.

Setelah tugasku selesai, tak ada yang bisa mengabaikan fenomena ini lagi.

Aku fokus pada TV sekali lagi.

Topik telah berubah dan video baru muncul di layar. Beberapa pejalan kaki mungkin menggunakan ponsel pintarnya untuk merekamnya: gambarnya buram dan suara dari pengambil video yang terkejut bisa terdengar.

Aku bisa melihat jalanan utama dari distrik Kabukichou di Shinjuku, di mana banyak laki-laki dewasa dan wanita menjatuhkan diri mereka ke tanah.

Sangat tidak mungkin menebak grup apa mereka ini saat pertama memandang karena laki-laki dan wanita itu terlihat begitu biasa: ada yakuza, pekerja kantoran, transeksual, wanita biasa, dan lainnya.

Mereka berkumpul di hadapan satu orang, dan menjatuhkan mereka ke tanah dihadapannya dengan air mata di matanya.

Kameranya menangkap seseorang berdiri di tengah mereka - seorang lelaki dengan rambut perak dan tindikkan di telinga yang melihat ke bawah pada orang disekitarnya dengan tatapan dingin.

Tentu itu aku, Oomine Daiya. "—Hmph."

Lagi-lagi, acaranya berlangsung seperti rencanaku. Aku yakin seseorang akan merekamnya jika aku melakukannya di jalanan besar, karena sekarang ponsel berkamera ada di mana-mana.

Aku bahkan merencanakan kalau itu akan berakhir di TV.

Komentator di studio mengerutkan dahi mereka dan membuat asumsi yang jauh dari sasaran, seperti "apa ini agama baru?"

Kenyataannya adalah sesuatu yang sangat berbeda, tentu. Aku membuat fenomena "Manusia Anjing" dan orang-orang berlutut karena kekuatanku.

Tak ada satupun di studio yang menghubungkan kedua kejadian itu, tapi mungkin akan ada orang-orang yang menghubungkan kedua insiden yang sensasional karena kejadian yang serempak. Orang-orang di intuernet mulai memberikan hubungan keduanya tanpa berfikir panjang, tapi mereka berada di jalur yang benar.

Video itu adalah penunjuk pada tujuan terbesarku.

Setelah manyarakat tak bisa mengabaikan fenomena "Manusia Anjing", aku akan memberitau pada media masa siapa yang berada yang ditengah mereka.

Pada saat itu, rencanaku akan mulai dengan kesungguhan.


Aku meninggalkan hotel bisnis itu dan berjalan di sepanjang jalan Shinjuku.

Ini minggu siang. Penuh. Tak bisa berdiri di manusia dengan jumlah besar, aku terjebak dengan sihir pemberi rasa pusing.

Aku tau sekarang kalau hampir semua manusia adalah pendosa. 'Box'-ku memaksaku untuk berada di kesimpulan bahwa pasukan manusia menyembunyikan kotoran dalam tubuh mereka.

Sekarang, sekumpulan orang seperti ini terasa tak berbeda dengan memberikan sekantung sampah padaku.

...Yah, aku sudah biasa pada hal itu, sih.

Sekarang sudah September, tapi suhunya tak menunjukkan penurunan, membuatnya sepanas seperti di pertengahan musim panas. Aku melihat jamku. Pukul 2 siang.

Karena matahari bergerak melewati langit, bayanganku perlahan memanjang.

Setelah itu, orang-orang melangkahi bayangan yang telah kubuat.


Yang secara otomatis mengaktifkan 'box'-ku.


Setiap kali orang-orang berjalan kedalam bayanganku, tubuhku terasuki oleh dosa. Dosa, dosa, dosa.

"......."

Saat pertama kaliku menggunakan 'box', aku tak tahan untuk berdiri. Tapi sekarang, ini hanyalah rutinitas. Aku tak lagi orang yang hancur dibawah perasaan menjijikan itu. Aku sudah melawan kelemahanku.

Hanya saja tugas ini tak menyenangkan.

"Ugh!"

Perasaan buruk yang kurasakan itu terlalu banyak - aku ingin menangis

Apa-apaan ini? Apa-apaan perasaan menjijikan ini, seperti seseorang yang muntah, dengan minyak sayur dan larva serangga kedalam blender dan membuatku meminum hasilnya?

Manusia busuk macam apa yang memikul sampah dosa itu?

Aku mengelus pelipisku dan melihat pada orang yang berdiri di atas bayanganku agar aku bisa melihat wajahnya.

"......"

Mengejutkan.

Seorang gadis SMA dengan rambut bob yang bisa dikatakan sebagai gadis yang kelihatanya naif. Meski ini akhir pekan, dia mengenakan seragam sekolahnya. Parasnya yang polos menunjukkan kebalikan dari pendosa. Faktanya, dia kelihatan terlalu polos untuk menjadi kumpulan gila kota ini.

Mendengar rintihanku dan melihat perubahan wajahku, dia memberikan pandangan yang mencurgakan. ...Cih, kau fikir siapa yang bersalah akan hal ini?

Mata kita bertemu, tapi dia mencoba melewatiku.

"Menyerahlah pada balas dendammu. Aku kasihan padamu, tapi kau memanen apa yang kau tanam."

Gadis itu berhenti dan melihat padaku. Alasan dia tak memiliki ekspresi mungkin karena dia belum menyadari situasinya.

"Kau mungkin ingin menghukum orang-orang yang bersalah, tapi orang yang membayar untuk tubuhmu tak sama dengan orang yang memberimu AIDS. Maupun jika mereka bekerja sama. Dosa mereka tidak seburuk seperti hal yang kau rencanakan pada mereka. Sepertinya kau tidak setuju denganku, sih."

Matanya mulai menunjukkan kebingungan, tapi dia sebaliknya bertahan tak berekspresi. Mungkin dia tidak bagus dalam mengekspresikan dirinya...

"Jadi berhentilah menjual tubuhmu dan menyebarkan HIV." Dengan wajah yang tak berubah, dia membuka mulutnya.

"...Tolong jangan katakan omong kosong itu di publik."

Dia akhirnya bicara. Aku harus membuatnya tegang agar bisa mendengar suara lemahnya. Seperti dia tak begitu energetik.

"Jangan khawatir! Lihat, tak ada yang memperhatikan kita. Kau bodoh jika harus memperhatikan setiap orang yang kau lewati di jalan. Sekumpulan orang ini tak akan peduli meski jika seorang buronan melewat."

Yah, beda halnya jika seseorang mulai berakting seperti anjing...

"Bagaimana kamu tau apa yang kulakukan...?"

"Aku tak tau. Aku hanya merasakan bau busuk dosamu."

Ekspresi tak bernyawanya mulai berubah. Seperti dia ingin mengertukan dahinya, tapi karena dia buruk dalam mengekspresikan dirinya, dia hanya sedikit menerlingkan sebelah matanya.

Dia berbalik dariku dan mulai pergi. Sepertinya dia akhirnya mulai lari.

"Kau tak bisa lari. Kau sudah dalam kendaliku." Aku menurutp mataku.

Aku menutup pandanganku. Aku menutup diriku.

Kembali saat dia melangkahi bayanganku, aku menyerap dosanya. Sekarang aku sampai di kedalaman hatiku dan menggapainya.

Sebuah rasa sakit menusuk isi tubuhku.

Saat menahan sakit ini, aku mencari di fikiranku tentang fikirannya. Campuran menjijikan dari pemikiran menjijikan orang lain yang tak terhitung ada di dalam kepalaku, membuatku ingin menahan hidungku bahkan saat tak ada bau busuk. Aku membayangkan isi dari ceret penyihir yang diisi tanaman beracun dan kadal.

Rasa sakitnya terasa seperti hanya ilusi: itu hanya kengerian hatiku. Hatiku berjuang dengan segala kemampuannya melawan sentuhan kotor, dan hasilnya memberikan rasa sakit. Setan, itu seperti pusat cacing pita menggeliat di dalamku.

Saat menahan sekumpulan benda menjijikan, aku akhirnya menemukan pemikirannya dari semua yang kusimpan dalam kepalaku. Mereka membentuk sebuah "bayangan."

Setiap bayangan itu adalah dosa seseorang. Sampai sangat dalam memasuki ceret menjijikan itu——aku menangkap bayangannya.

“Uh, ah...!”

Beberapa meter dariku, gadis SMA itu meringkuk ke bawah.

Aku berhasil mengendalikannya.

Aku membuka mataku.

Aku mencoba dengan kuat menahan rasa sakitku dengan menekan tanganku dengan keras ke dadaku, dan perlahan mendekatinya.

"Ah, aaaaahaaaaaah!" dia menangis dan menggelepar-gelepar dalam rasa sakit. Responnya menarik perhatian orang-orang di sekitar kami, tapi tak ada satupun ingin menolonhnya. Semua hanya mengabaikannya atau menonton dengan tak berdaya.

"Keadaan menyedihkan ini hanyalah kau yang menghadapi dosamu secara langsung. Kau menyadarinya, 'kan?"

Tanpa mengatakan apapun, dia terus menangis.

"Jangan khawatir. Aku tak akan mengubahmu menjadi 'Manusia Anjing'. Hanya mereka yang lepas dari kewajibannya dengan mematikan otaknya dan tak merasakan dosa - adalah sampah yang lebih buruk dari anjing. Itu tidak berlaku padamu. Kau menderita. Kau hanya jadi menderita. Ini artinya kau masih memiliki kesempatan untuk tumbuh. Tapi aku yakin kau harus di monitori. Lalu—"

Aku melempar bayangan dari dosanya ke dalam mulutku. "—jadilah budak dari dosamu."

Sebuah rasa pahit luar biasa menyebar dalam mulutku. Dengan melakukannya, aku telah menaklukannya.

'Box' yang kudapatkan: 'Hukuman dan Bayangan Dosa'.

Singkatnya, kekuatan 'box'-ku adalah menggunakan perasaan berdosa yang ada jauh di dalam targetnya untuk membawanya dalam kendaliku.

Tapi aku sudah mengadakan kondisi tambahan padaku. Untuk mengendalikan seseorang, aku harus secara langsung menghadapi dosanya. Ini artinya aku harus melihat bagian terburuk dari jiwa seseorang. Contohnya, gadis SMA di hadapanku ini mendapatkan HIV karena prostistusi dan jadi putus asa. Sebagai balas dendam, dia menjual tubuhnya untuk menginfeksikan para pria yang melakukan sex dengannya. Meskipun sangat tersakiti karena merasa bersalah akan kelakuannya, meskipun rasa sakitnya karena penyesalan, dia tak bisa menghentikannya. Dosanya sudah mengambil dirinya, menjadi tak terkendali dan merusak orang lain juga.

Aku membebankan diriku dengan dosa-dosa ini.

Aku bahkan membebaniku dengan rasa sakit yang bersatu dengan dosa-dosa itu.

Sebagai konsekuensinya, aku juga terserang.

Tapi hanya dengan begitu, aku bisa mengendalikan targetku.

—Sebuah ‘box’ bisa mengabulkan ‘keinginan’. Tapi tidak ada yang dengan keinginan yang tidak dikacaukan sepenuhnya. Sebuah ‘box’ mengabulkan semacam ‘keinginan’ yang dikacaukan dengan bentuk terdistorsi yang tepat.

Aku tak menjadi pengecualian terhadap aturan ini. Karena kerealisan yang membebani, aku tak bisa membuat diriku mempercayai sepenuhnya kekuatan ‘box’. Aku hanya pasrah dan merasakan itu, yang menurutku, hanya mimpi saja.

Jika kau menggunakan ‘box’ tanpa berfikir, ‘keinginan’-mu akan kacau dan takkan menjadi kenyataan.

Tapi beruntung, aku sadar akan aturan ini. Meski begitu, aku memutuskan tidak menggunakan ‘box’ langsung setelah mendapatnya dari ‘O”, dan malah mencari jalan untuk mengendalikannya.

Tak lama, aku mendapatkan kesempatan untuk dapat menjadi ahli mengendalikan ‘box’-ku dalam “Permainan Kebosanan” Kamiuchi Koudai. Aku mendapatkan pencerahan.

Kau tidak boleh meminta ‘keinginan’-mu secara langsung pada ‘box’. Kau harus meminta ‘keinginan’ yang digunakan untuk mengabulkan ‘keinginan’-mu.

Bayangkan kau ingin menghancurkan dunia. Saat kau meminta secara langsung tujuanmu, ‘keinginan’ itu secara otomatis menjadi tidak jelas dan meragukan di waktu yang sama, menghambatmu menjadi ahli ‘box’-nya. Malah, kau harus mengambil jalan yang tak langsung dan ‘menginginkan’ tombol pemicu sebuah bencana nuklir. ‘Keinginan’ seperti itu cukup kuat untuk menghancurkan dunia dan sangat mendasar untuk mudah di bayangkan.

Tentu itu mungkin tetap menjadi ‘harapan’ absurd. Jika kau percaya ‘box’ memiliki kekuatan untuk mengabulkannya. Itu karena, aku sudah melihat kekuatan yang tak bisa dipercaya dari ‘box’. Bukan masalah untukku membayangkan sesuatu yang mudah seperti mengendalikan semua senjata nuklir yang ada.

Bahkan seorang realis sepertiku bisa mengendalikan ‘box’ dengan sikap ini.

‘Keinginan’-ku sebenarnya adalah “menghabisi semua orang bodoh yang tak punya fikiran .” Aku menahan diri untuk mencoba mengabulkan ‘keinginan’ ini secara langsung dan jadi meminta senjata untuk melakukannya.

Mengendalikan orang lain.

Itu senjata yang kugunakan.

Itu mungkin sifat alamiku yang membuatku mengabulkan ‘keinginan’-ku. Orang lain mungkin telah gagal, karena tak percaya bahwa mereka bisa mengendalikan orang lain. Tapi aku selalu berfikir bahwa mungkin untuk mengendalikan orang lain dengan kata-kataku dan aksiku. Terlepas dari mungkin atau tidak mungkin jadi kenyataan, itu bukan masalah, karena kepercayaanku pada kemungkinan untuk mengendalikan telah mengabulkan ‘keinginan’-ku tanpa ada kekacauan. Dengan membuat beberapa kondisi yang keras pada diriku, aku bahkan menjadikan ‘keinginan’-ku lebih. Setelah melakukan itu, aku akhirnya mampu mendapat kekuatanku.

Tapi kekuatan ini terlalu lemah dibandingkan dengan tujuan terbesarku. Itu adalah kekuatan yang membutuhkan pendekatan yang gila. Aku tidak pernah membenci pemikiranku yang realis sampai sekarang.

Tapi, aku tak peduli.

Lagi pula, kekuatan ini terasa cocok dan pantas.

Dan artinya itu sangat cocok denganku, 'kan?

“Maukah kau berhenti untuk balas dendammu yang tak masuk akal?” Aku bertanya pada gadis yang masih meringkuk dan menangis itu.

“Ahaahh,” dia mendesah dengan tidak jelas saat mengangguk dengan keras.

Tak dapat diragukan gads itu akan menghentikan dirinya— mengalahkan dendamnya. Sepertinya aku tak perlu lagi mengendalikannya.

Karena aku sudah selesai, aku pergi. Tiba-tiba dua laki-laki yang sepertinya murid kuliahan berdiri menghalangiku.

“…Hei, apa yang sudah kau lakukan pada gadis itu?”

Suaranya terdengar tenang, tapi kedua murid itu terbakar dengan rasa marah dan kelihatannya takkan membiarkanku lewat. Kelihatannya, mereka fikir aku menggoda gadis itu.

“Aku tak melakukan apapun. ‘Kan?” Kataku dan berbalik pada gadis itu.

Dia dengan cepat menghapus air matanya dan berdiri.

“Ya. Tidak ada apa-apa,” gadis itu berkata dan mengangkat kepalanya.

Meskipun dia tak melakukan apapun yang aneh, murid-murid itu mundur.

—Kenapa?

Setelah melihatnya, aku mengerti respon mereka— tak aneh mereka mundur saat mereka melihat raut wajahnya.

Senyumnya jelas-jelas tidak natural— itu seperti ujung mulutnya ditarik oleh benang. Cahaya yang pudar berkilapan di matanya. —Oh tidak, jangan pola itu

“Orang ini adalah tuhan.” Tolong jangan.

Hal yang kulakukan hanya mencampur-adukkan perasaannya dengan rasa bersalah. Aku siap mengendalikannya, dan pada akhirnya tak kulakukan. Tapi itu kelihatan seperti dia sudah bisa menentramkan perasaannya karena aku menariknya kedalam rasa sesal dan membuatnya menghadapinya. Aku secara tidak sengaja memberikan sesuatu yang sama dengan sesi konseling sempurna dengan sukses yang instan.

Karena aku berhasil di momen ini dengan kekuatan misterius, dia fikir aku tuhan. Itu adalah pola yang terjadi dari waktu ke waktu ketika aku menggunakan ‘box’-ku.

Dengan perkembangan ini, anak kuliahan itu sepertinya tidak mampu melakukan apapun dan berjalan pergi dengan ekspresi yang berubah.

Aku juga, mengubah air mukaku dan melihat si gadis SMA. Dia bernafas dengan cepat dan tersenyum seperti sedang memandangi benda angkasa.

Ya ampun, jangan panggil aku tuhan. Hentikan itu. Serius. Itu menjijikan. Itu membuatku merasa seperti seseorang memasukkan jari ke dalam tenggorokanku. Aku tidak seperti tuhan, maupun ingin menjadi tuhan.

Tapi.

"——Benar. Aku tuhan."

Aku harus membuatnya memanggilku seperti tiu. Aku masihlah seorang yang lemah. Aku belum membuang "diri"-ku yang masih percaya sifat manusia yang penuh kebaikan, sebelum aku mengenakan anting. Itu kenapa aku sangat menderita karena membebani diriku dengan dosa-dosa orang lain.

Jika itu biasa untuk seorang manusia menderita karena itu, maka aku harus berhenti menjadi manusia. Aku harus tak berhati. Jika aku mencekik Kamiuchi Koudai sampai mati saja belum cukup untuk melampaui kelemahanku, maka aku harus membunuh lagi. Itulah bagaimana pentingnya menghapus kelemahanku. Aku akan melampaui diriku.

Jika aku harus menjadi sama dengan tuhan untuk memenuhi tujuanku, aku harus menjadi tuhan.

"......"

Aku melihat gadis yang memujaku.

Tidak ada alasan untukku mengendalikannya ... tapi tidak ada alasan untuk tidak mengendalikannya juga. Bagaimana bisa aku menjadi tuhan jika aku tidak siap untuk mengambil martabatnya dan menghancurkannya?

Menghancurkan hidupnya hanya seperti mainan anak-anak.

Lagipula hidupnya sudah berakhir. Lalu— "Tinggalkan semuanya untukku."

Aku menyentuh "Bayangan Dosa"-nya yang ada di dalam dadaku dan mulai mengendalikannya.

"...Ah..."

Dia mendesah dengan nafsu dan bersandar padaku. Seperti meminta untuk dikuasai, ia melihat padaku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Gembiralah. Aku bahkan bisa memberi seorang pelacur sampah sepertimu alasan untuk hidup. Yah, baiklah. Pertama, jilat sepatuku sekarang."

"Aaah, terimakasih banyak! Terimakasih banyak!!!"

Tanpa berfikir, gadis itu mulai menjilati tapak sepatuku.

"Aku senang. Sangat senang. Sungguh sebuah kebahagian untuk menyentuh apa yang kau kenakan, bahkan jika itu hanya dengan lidahku!"

Saat bermandikan rasa penasaran dan hinaan dari orang-orang sekitar, aku fikir:

Bodohnya. Membuatnya melakukan itu hanya membuatku sangat malu. Itu membuatku sakit. Tapi aku harus membuat orang-orang seperti itu.

Aku harus meninggalkan perasaanku yang tidak berarti. "——Ngh!"

Tapi aku masih sedih. Aku—menyentuh antingku. Sekarang, aku punya enam anting di telingaku. Aku merasakan keinginan kuat untuk membuat lubang dalam tubuhku, yang mana adalah alasan kenapa aku mendapat anting-anting itu. "———"

Untuk suatu alasan, wajah Kirino Kokone muncul di fikiranku.

Meski aku seharusnya membuang perasaanku padanya, wajahnya muncul di fikiranku.

Tetapi, Kirino Kokone dalam fikiranku, tidak begitu nyata, manusia boneka Barbie yang mengenakan kontak mata, secara konstan mengubah-ubah gaya rambutnya, dan butuh lebih dari sejam setiap pagi untuk makeupnya.

Kirino Kokone yang kulihat adalah seorang gadis polos dan sensitif yang selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Sebelumnya, mata yang sadar diri berada dibalik kacamatanya hanya melihat padaku.

Aku menjauhkan gambaran mentalku dari wajah Kiri.

Ya, aku tau! Cintaku pada Kiri adalah halangan terbesar untuk mencapai tujuanku.

Aku mengamati gadis yang masih menjilati sepatuku.

Aku akan mengubah dunia.

Aku akan merevolusikan dunia! "...Ya."

Untuk membuat hal itu mungkin, aku harus meninggalkan Kirino Kokone.


Aku juga harus mengalahkan musuh terbesarku.

"Aku juga akan bertemu dengan Zero no Maria."

Orang bodoh yang terubah keyakinannya oleh permainan pembunuhan dan telah memilih untuk mengejar tujuannya dengan tekad yang absolut.

Si spesialis dalam menghancurkan 'keinginan' akan berhadapan denganku. Kali ini, dia takkan masuk kedalam 'box'; malahan dia akan mengambil bertindak sendiri dan memilih untuk menghancurkan 'box'-ku.

—Hoshino Kazuki.

Aku akan bertarung denganmu.

◇◇◇ ◇◇◇ Hoshino Kazuki - Minggu, 6 September 14:05 ◇◇◇ ◇◇◇

Kokone tidak berubah meskipun Daiya telah menghilang. Tak peduli jika dia fikir Daiya akan menghilang; reaksinya yang kurang masih sangat tidak masuk akal. Ini membuatku berkesimpulan:

Sifat periang Kokone hanya kebohongan.

Bukan hanya sekarang, tapi selama aku mengenalnya.

Sejujurnya, aku sudah sadar kalau sifat periangnya terasa terpaksa dan palsu. Aku juga menyadari bahkan Haruaki dan Daiya tahu tentang dia yang asli, mereka bermain dengan keriangannya yang terpaksa.

Dan aku sadar kalau Daiya selalu terlihat tidak senang dengannya.

Di waktu yang sama, aku tidak pernah berfikir pililhan Kokone begitu signifikan.

Lalu, semuanya mengenakan topeng pada derajat tertentu saat berbicara dengan orang lain. Mogi-san, contohnya, memberitauku kalau dia memiliki sedikit masalah di masa lalu untuk menjaga kontak sosialnya. "Jika Kokone mencoba mejadi orang seperti itu, maka tak ada yang salah dengan pilihannya."

Itu yang kufikirkan.

Tapi aku pasti salah.

Atau insinden-insiden itu tidak pernah terjadi.


"Tidak, serius Kazu-kun, kamu ini jahat! Maksudku, mungkin salah untuk memberi Kasumi harapan dengan terlalu baik sama dia, tapi ayolah, kamu ngerti posisinya, 'kan?

Insinden itu terjadi setelah sekolah.

"Kau harusnya tau kenapa Kasumi ingin kembali ke sekolah! Kazu-kun, apa kamu sadar betapa buruknya pengaruh sikapmu padanya, terutama setelah kesulitan yang dia lewati untuk pulih?!"

Kokone memarahiku karena aku meninggalkan Mogi-san kemarin dan malah ke apartemen Maria.

"Asal tau saja: kamu sangat salah jika kamu fikir dia akan baik saja hanya karena dia terlihat riang setelah kecelakaannya! Tidak ada yang akan baik-baik saja dengan tubuh yang seperti itu! Kasumi hanya telihat kuat karena dia tidak ingin kita khawatir!"

Itu adalah Juli, sebelum libur musim panas. Meski sudah lebih pukul 5 sore, matahari masih bersinar terang melalui jendela, membuat kelas sangat terang. Mungkin itu cukup panas juga, aku tidak ingat.

Kokone dengan menyedihkannya menahan tangisannya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain memandangnya dengan empati untuk temannya, salah sepertinya untukku karena memikirkan itu saat dimarahi.

Tapi aku tidak bisa hanya mengangguk dan tersenyum.

Aku mengerti maksud Kokone.

Tentu aku ingin berbaik hati pada Mogi-san.

Tapi aku sudah memilih Maria.

Lagi pula, aku sudah meyakinkan diriku kalau aku mengabdikan diriku pada Maria.

"Kokone, aku telah memilih Maria———..."

Kokone menjawab dengan hal lain, meskipun mungkin terkejut dengan keteguhanku.

"T-Tapi kemarin itu tidak seharusnya seperti itu! Tidak bisakah kau menunggu sampai Kasumi lebih baikkan lagi?! Perlakukanlah dia dengan lembut meski hanya sebentar!"

Aku hanya diam.

Bukan karena aku setuju dengan Kokone, tapi karena semua yang akan kukatakan hanya akan melukai perasaannya.

Sejujurnya, tidak peduli apa yang dia katakan padaku, meski dia membenciku dan tak pernah berbicara padaku lagi, pilihanku tidak akan berganti. Aku menganggap Kokone sebagai teman dekat dan aku tak ingin kehilangannya, tapi itu tidak ada urusannya denganku memilih Maria.

Aku mengerti apa yang Kokone maksud. Tapi kapan waktunya? Apakah itu ada? Apakah aku harus bilang pada Mogi-san hanya setelah dia kembali sekolah? Bagaimana jika tepat setelah Mogi-san selesai rehabilitasi dan akhirnya memenuhi keinginan sendiri untuk hidup menjadi seorang siswi yang normal di sisiku? Apakah itu adalah waktu yang tepat untuk mengatakan pada Mogi-san kalau aku memilih Maria? Tentu tidak.

Mogi-san akan tetap menderita meski jika aku menahan diri untuk mengatakan pilihanku.

"Katakan sesuatu, Kazu-kun! Tolong, jangan sakiti Kasumi lebih dari ini!"

Aku juga tak ingin menyakitinya.

Aku ingin berkata pada Kokone dengan segenap hatiku, tapi sebagai orang yang menyakiti Mogi-san, aku tidak berhak melakukan itu.

Aku mengambil ponselku. Kokone mengeluh, "apa yang kau lihat sekarang?!" Aku hanya mengabaikannya dan menemukan foto yang baru kucari.

Itu adalah gambar Mogi-san membuat tanda peace dengan piyamanya.

Aku sangat menyukai foto itu. Senyum Mogi-san yang seperti bunga matahari selalu menyemangatiku.

Melihatnya, aku mengerti kenapa aku pernah mencintainya di dunia dan waktu yang berbeda. Adalah wajar kalau aku mencintai dengan gadis yang memberikanku senyuman yang hangat dan penuh kasih. Itu adalah foto yang sangat berharga yang kumiliki.

Meski begitu—aku menghapusnya.

Karena aku tidak bisa memilih Mogi-san lagi.


Aku tetap diam dan terus memandangi Kokone. dia kelihatanya kalah oleh tatapan tabahku, dan tidak mengatakan apapun.

Karena hanya kami yang ada di kelas, itu benar-benar tenang.

—Ya, sangat hening.

Itu mungkin kenapa dua gadis dari kelas kami fikir kalau kelasnya sepi. Karena itu mereka mulai berbicara buruk tentang Kokone dari saat mereka kembali ke kelas dari aktivitas klub mereka. "Hei, Kokone emang kayak pelacur belakangan ini." ...tanpa berfikir sedikitpun kalau target dari gosip buruk itu ada di sini.

"Bukannya dia cuma pelacur yang suka cari perhatian? Rengekannya soal kaca matanya kemarin ganggu banget. Maksudku, ayolah, kita nggak peduli soal wajahmu! Jika kamu gak ingin ngobrol dengan kita, ya ngobrol aja sama dirimu di cermin!"

"Yah, seriusan! Itu ganggu banget kalau dia ngomongin tentang dirinya sendiri! Dan, dia tidak seimut seperti yang dia buat-buat. Itu seperti siang dan malam kalau kamu bandingkan wajahnya sama wajah Maria-sama. Aku yakin wajahnya Maria-sama setidaknya tiga kali lebih cantik!"

"Haha, Kou, kau kejam banget!"

Aku ingat suara senang itu. Mereka berasal dari dua gadis dari kelas kami yang berteman dengan Kokone. Mereka bertiga sering makan siang bersama.

"Tapi kamu tidak bisa menolaknya. Bukankah Kokone cuma mengandalkan make-up-nya? Ya ampun, dia payah amat buat populer sama cowok."

"Hm... Tapi dia populer... Apa cowok itu gak bisa melihat apa yang ada dibalik make-up itu?"

"Oh, mereka akan jatuh cinta padamu jika kau imut dan bertingkah sok kenal. Juga lelaki itu gak malu jika gadisnya cantik, 'kan?"

"Dan itu yang membuatnya sempurna!"

"Hey, apa dia fikir semuanya menyukainya? Maksudku, kita cuma sama dia karena dia memikat cowok."

"Ya, dia sangat berguna untuk itu."

"Tapi ya ampun itu bikin kesel. Dan dia lebih gak berguna sejak pangeran lidah tajam kita telah berhenti datang ke sekolah."

"Oh, Mii-chan, Oomine-kun favoritmu, 'kan?"

"Dia sangat dingin, tapi aslinya dia sangat baik! dia penuh dengan martabat dan tidak vulgar! Cuma aku yang mengertimu, Daiya-kyun ku!"

"Oh hentikan, Mii-chan! Kamu cuma bilang itu karena parasnya, 'kan!"

"Kau benar. Orang jelek pantas untuk mati!"

"Tapi Oomine-kun pacaran sama Kokone?"

"Nghh, kalau ditambah 'pernah', mungkin?" "Aah, bisa jadi. Mungkin dia berhasil menggodanya, tapi mereka pisah saat Daiya menyadari seperti apa dia?"

Aku ingin menutup telingaku untuk menghindar dari fitnahan mereka, tapi apa yang bisa kulakukan kalau korbannya berada di sisiku?

Suaranya jadi lebih dekat, pasti, gadis itu akan bertatap muka dengan Kokone. Tidak bisa membuat pilihan, aku ingin mengalihkan diriku dari Kokone.

Dia pasti seputih kapur dan ketakutan. Mungkin dia mulai menangis... Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku membantunya sembunyi dan menunggu mereka pergi? Setelah itu aku bisa pergi bersamanya ke Mickey D, mendengar kesedihannya dengan saksama dan mencoba menenangkannya dengan kemampuan terbaikku...

Tapi tidak perlu menenangkannya. dia tidak begitu marah.

Kokone—tersenyum terhibur.

".........Eh?"

Sekarang, aku heran. Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa tetap tenang dari komentar buruk itu.

Setelah melihat kelakuannya setelah itu, aku mengerti kenapa dia sangat terhibur.

Apa yang kokone rasakan saat ini pasti— "Fufu..."

—kesombongan.

Kedua gadis itu membuka pintu kelas. Saat mereka melihat Kokone, mereka jadi kaku dalam sekejap.

"O-Oh, kau di sini?"

Dalam kekauan di wajah mereka, ketenangan Kokone masih bertahan dengan sempurna. "Ya, aku di sini"

Mereka bingung akan betapa tenangnya dia. "Um... Kokone...?

"Jadi itu apa yang kamu pendapat kalian. Aku agak bodoh, jadi aku tidak sadar. Jujur, aku minta maaf! Aku akan coba untuk berubah jadi lebih baik, aku janji."

"U-Um, ya, Kokone..."

"Ya, ya. Ketika ngomongin hal buruk seseorang, terkadang sampai kelewatan, 'kan? Tapi itu cuma karena kamu terbawa suasana, bukan berarti kamu berfikir seperti itu. Ya, aku tau."

Kelihatannya ia memaafkan komentar buruk mereka. Meski mereka sedang berhati-hati, wajah mereka mulai sedikit santai.

"B-Benar!" "Kami cuma terbawa suasana," kata mereka mereka memberi alasan. Senyum Kokone masih belum berubah.

"Tapi kamu tau, karena aku dengar apa yang kalian omongin, sedikit kecanggungan akan tetap ada... kalian ngerti itu, 'kan?"

"Y-Ya."

"Tapi gini aja: kenapa gak biarkan aku bilang beberapa hal sebagai gantinya? Dengan begitu kita akan jadi teman lagi!"

"Y-Ya, kamu benar. Katakan aja apapun yang kamu mau." Setelah "temannya" menyetujuinya, Kokone membuka mulutnya dan bicara.

Dia melihat mereka tepat pada matanya dan berbicara dengan tepat dan jelas.

"Mati aja, lacur jelek."

Matanya melebar atas ketidak percayaan.

"Kalian busuk seperti pelacur kepanasan. Wajah kalian sangat jelek, gak ada satu orangpun di dunia yang bisa berdiri di samping kalian yang bisa buat kalian lebih cantik. Kalian bilang aku pandai menarik perhatian lelaki? Katakan itu lagi kalau muka kalian gak terlalu jelek untuk bisa melakukan itu! Bahkan kalau kau ingin membuatku sebagai magnet lelaki, apa untungnya - bahkan seorang yang butapun tidak akan tertarik pada sekumpulan pelacur yang sejelek kalian!"

Setelah Kokone mulai menyatakannya, salah satu dari kedua gadis itu berubah merah karena amarah, sementara satunya berubah pucat karena takut.

"Hahaha, aku cuma bisa tertawa! Maksudku, kalian sadar kalau kalian tau keunggulanku gara-gara kecemburuan bodohmu, 'kan? Bukannya menyakitkan karena jadi kelas rendah? Tolong jangan lakukan itu lagi, ya? Aku gak sesempurna itu. Lalu, ku kasih tau: kalian pelacur murahan yang hidup cuma buat aku keliatan lebih baik lagi."

Kemarahan di matanya telah hilang tiba-tiba, dan senyum riangnya kembali ke wajahnya.

"Baiklah, sekarang lupakan semua dan kita jadi teman lagi!"

Gadis-gadis itu tidak pernah bicara sepatah katapun pada Kokone sejak itu.


Saat mengingat insiden itu, aku menggunakan Laptop kakakku, Luu-chan untuk menonton video Youtube tentang sekumpulan orang aneh di Shinjuku. Sekarang aku tau:

Kenapa Kokone bisa berkata hal buruk pada kedua gadis itu, tapi menitikkan air mata pada Mogi-san.

Tadinya aku fikir kalau tujuan Kokone sebenarnya itu "mendalamkan kedangkalan", kesan riang yang susah payah ia coba untuk nyatakan. Tapi itu salah. Malahan, sekarang aku yakin kalau Kokone dipaksa untuk bertingkah seperti itu. Itu mungkin satu-satunya pilihannya, meski jika itu artinya sepenuhnya membuatnya tersakiti.

Tanpa membuatnya stres seperti itu, Kokone tidak bisa bertahan sebagai dirinya.

Dan aku curiga kalau kedua gadis itu secara tidak sengaja melanggar sampai ke bagian terlarang sifat Kokone.

Meski begitu dia melawannya.

Sejauh ini, aku belum menemukan apa penyebabnya melawan konflik dalam dirinya.

Tapi aku yakin Daiya tau kebenarannya.

"Ah, aku juga sudah lihat video itu! Ia bocah yang luar biasa, bukan? Sangat karismatik untuk seseorang seumurnya."

Saat mengintip ke layar, "teman sekamarku" berkomentar yang benar-benar salah. Aku berbalik. "...Hey, itu Umaibō-ku, 'kan?"

Saat aku mengatakannya, Luu-chan membuka bungkus dari Umaibō rasa saos Tonkatsu.

"Tapi kamu pakai komputerku, 'kan?"

"Ya, tapi itu ga ada hubungannya."

Dia dengan malas mengeluarukan dompetnya dan menekan koin 10-yen ke tanganku.

...Bukan itu yang aku maksud... Terserah.

Saat mengunyah Umaibō, ia menambah hal yang tak beda jauh:

"Apa ini orang-orang yang akan merevolusikan dunia?"

Aku mengembalikan pandanganku ke layar laptop.

Ya... mungkin.

Daiya mungkin mencba menghancurkan dunia dengan 'box'-nya.


Dan jika ia menggunakan 'box', ia pasti melibatkan Maria.

Jika itu terjadi, kehidupan biasa Maria pasti akan hilang dan sekali lagi dia akan dikendalikan oleh "Otonashi Aya."

"......Aku—"

—tidak akan membuat itu terjadi. Tidak peduli apapun yang terjadi.

Saat dalam "Permainan Kebosanan," aku sadar kalau musuhku adalah "Otonashi Aya" yang menjadi "Otonashi Maria" dan membuat Maria mati. Demi Maria, aku harus membebaskan dunia dari 'O' dan 'box'. Aku harus menghentikan Daiya, tapi bagaimana?

Aku bukan 'pemilik'. Tergantung dari 'box' yang Daiya gunakan, aku mungkin tidak punya apapun untuk melawannya. Jadi bagaimana aku harus melindungi Maria?

"———"

Hanya ada satu jawaban pendek.

Itu adalah cara yang inginku hindari dengan segenap hati, sebuah cara yang butuh pengkhianatan pada diriku yang asli. Ah, kenapa aku harus peduli? Aku sudah siap untuk membuat tanganku kotor. Malahan, aku sudah menodainya dengan mengabaikan Kamiuchi Koudai. Lagipula—


Meski aku harus mendapatkan dan menggunakan 'box', aku tidak peduli.


Pertarungan 'box' lawan 'box' dimulai.

Sebuah pertarungan dari 'keinginan'-ku untuk menghancurkan 'box' melawan 'keinginan' Daiya.

Aku tidak tau 'keinginan' Daiya. Tapi itu bukanlah sesuatu yang akan ia perjuangkan tanpa pandang bulu.

Tapi apapun itu—

"Aku tidak tahan."

Semua 'keinginan' yang bergantung pada sebuah 'box' hanyalah sampah. Tak peduli seberapa pentingnya 'keinginan' itu bagi Daiya, itu sampah. Aku akan menghancurkannya sampai jadi kecil dan kuhapus, sampai tidak meninggalkan apapun.

Bahkan jika aku harus membunuh Daiya.

"...Kazu-chan, belakangan ini kamu mulai serem. Matamu memberikan kesan pembunuh, tau."

Aku mengabaikan ocehan Luu-chan, dan mematikan komputernya.

Aku sudah yakin. Aku akan bertarung melawan Daiya.



Sebelumnya Prolog Kembali ke Halaman Utama Selanjutnya Adegan 1

-->