Difference between revisions of "Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 3"
Gwilthyunman (talk | contribs) m |
Cucundoweh (talk | contribs) m (terakhir edit dah) |
||
(6 intermediate revisions by 2 users not shown) | |||
Line 1: | Line 1: | ||
+ | <div align=justify><span style="font-family: Maiandra GD; font-size:110%"> |
||
− | ===Kebohongan, Bento, Partita=== |
||
+ | == '''Kebohongan, Bento, Partita''' == |
||
− | Di pagi hari saat homeroom, saat wali kelas kami – yang dijuluki pensiunan (karena dia terlihat seperti Mito Koumon) - membawa seorang gadis ke ruang kelas, suasana di kelas membeku dalam sekejap. Aku tidak menyadari perubahan suasana karena mengantuk sambil mendengarkan discman-ku. |
||
− | Hanya waktu Chiaki, yang duduk di depanku, membalikkan badan dan mendorong pundakku, aku dengan cepat melepas earphone-ku. Tidak peduli apakah ada homeroom atau tidak, ruang kelas ini selalu dipenuhi percakapan di pagi hari. Akan tetapi, aku hanya bisa mendengar beberapa teman sekelasku yang berbisik pada waktu itu. |
||
+ | Di pagi hari, sewaktu ''homeroom'', ketika wali kelas kami — yang dijuluki goinkyo<ref>ご隠居 (ごいんきょ). Sebutan bagi orang yang telah pensiun dalam masa kerja. Namun terkadang sebutan tersebut bisa disematkan untuk orang yang ditetuakan, biasanya dalam suatu instansi.</ref> Di pagi hari, sewaktu ''homeroom'', ketika wali kelas kami — yang dijuluki goinkyo (karena beliau terlihat seperti Mito Koumon)<ref>[http://en.wikipedia.org/wiki/Mito_K%C5%8Dmon Mito Koumon] adalah serial drama dari Jepang yang berkisah seputar sosok kehidupan Mito Mitsukuni, mantan wakil shogun dan daimyo kedua wilayah Mito. Dalam serial tersebut Mitsukuni menyamar sebagai seorang pensiunan pedagang jajanan, dengan memakai nama Mitsuemon.</ref> — membawa serta seorang gadis masuk ke dalam kelas, seketika itu juga suasana kelas langsung membeku. Aku tidak menyadari perubahan suasana yang terjadi, karena saat itu aku merasa mengantuk sembari mendengarkan ''discman''-ku. |
||
− | “Hey, apa dia......” |
||
+ | Baru setelah Chiaki, yang duduk di depanku, berbalik dan mendorong bahuku, dengan cepat kulepas ''earphone'' yang menempel di telingaku. Tidak peduli ada atau tidaknya ''homeroom'', ruang kelas ini selalu dipenuhi percakapan di tiap paginya. Meski begitu, aku masih bisa mendengar beberapa teman sekelas yang berbisik kala itu. |
||
− | “Yup, sepertinya begitu.” |
||
+ | "Hei, gadis ini ...." |
||
− | “Ebisawa—“ |
||
+ | "Yak, sepertinya begitu." |
||
− | “Eh~? Benar-benar dia? Bukannya mereka bilang keberadaannya tidak diketahui?” |
||
+ | "Ebisawa—" |
||
− | Aku melihat ke podium pengajar, dan discmanku hampir jatuh ke lantai. Gadis di podium menata rambutnya ke belakang punggungnya. Karena gaya rambut itu sama persis dengan yang ada di iklan, semua langsung mengenalinya. Dia memang Ebisawa Mafuyu. Dia menggenakan seragam sekolah kami, tapi terasa seolah seseorang mengerjai kami. Ada apa ini? Aku tidak mengerti apa yang Pensiunan katakan, dan untuk sesaat aku tidak bisa memahami fakta kalau dia pindah ke sekolah kami. |
||
+ | "Eh~? Serius? Padahal kata orang, keberadaannya kini belum diketahui, 'kan?" |
||
− | “Kita persilahkan Ebisawa memperkenalkan dirinya.” |
||
+ | Pandanganku tertuju ke podium pengajar, dan ''discman''-ku hampir saja jatuh ke lantai. Gadis di podium itu menata rambutnya ke belakang. Karena gaya rambut itu sama persis dengan yang ada di iklan, maka semua orang langsung mengenalinya. Ia memang Ebisawa Mafuyu. Ia mengenakan seragam sekolah kami, tapi itu terasa seolah seseorang telah mengerjai kami. Apa-apaan ini? Aku tidak mengerti apa yang goinkyo katakan, dan untuk sesaat aku tidak bisa memahami fakta kalau ia pindah ke sekolah kami. |
||
− | Pesiunan mengatakannya dengan santai, dan menyerahkan kapur padanya. Mafuyu memegang kapur itu hanya dengan ibu jari dan telunjuknya. Setelah menatapnya dengan pandangan tidak nyaman dengan wajah memucat, dia berputar untuk menghadap papan tulis. Tepat pada saat itu, kapur yang dipegangnya terselip dari jari-jarinya, dan suara patahan yang mengejutkan memecah keheningan ruang kelas. |
||
+ | "Dipersilakan bagi Ebisawa-san untuk memperkenalkan diri," kata goinkyo dengan santai sambil menyerahkan sebatang kapur kepada gadis itu. |
||
− | Kesunyian yang lebih senyap mengikutinya. Yang dilakukan Mafuyu hanya menatap membatu pada kapur (yang mungkin hancur). Pensiunan cuma mengelus jenggotnya perlahan, namun bahkan untuk kami para murid baru yang baru masuk selama satu bulan, kami semua tahu kalau gerakan itu menunjukkan kalau guru kami itu tidak yakin apa yang barusan terjadi. |
||
+ | Mafuyu memegang kapur itu dengan ibu jari dan telunjuknya saja. Setelah memandang tidak nyaman pada kapur tersebut disertai wajah memucat, ia berputar menghadap papan tulis. Saat itu juga, kapur yang dipegangnya terselip dari jari-jarinya, dan suara patahan tiba-tiba memecah keheningan ruang kelas. |
||
− | “Mmm, yah......” Guru kami mengeluarkan suara lemah, dan sesudah mengambil kapur yang pecah menjadi dua, dia memberikannya pada Mafuyu. Akan tetapi, saat Mafuyu mengambil kapur itu, jarinya sudah terlihat jelas gemetaran. |
||
+ | Kesunyian yang lebih senyap mengikuti setelahnya. Yang dilakukan Mafuyu hanyalah terdiam menatap pada kapur (yang mungkin sudah hancur). Goinkyo hanya bisa mengelus pelan-pelan jenggot kebanggaannya, sedangkan bagi kami, para murid yang baru masuk sekitar satu bulan, tahu bahwa gelagat sensei yang semacam itu adalah pertanda jika beliau tidak percaya dengan apa yang terjadi. |
||
− | Pada akhirnya, Mafuyu menatap ke lantai dan menggelengkan kepalanya. Dia meletakkan kapur di tempat kapur. |
||
+ | "Hmm, yah ...," ujar sensei dengan suara lemah, dan sesudah mengambil kapur yang terpecah jadi dua itu, beliau memberikannya pada Mafuyu. Akan tetapi, saat Mafuyu mengambil kapur tersebut, jari-jarinya jelas tampak gemetaran. |
||
− | “Aku tidak mau menulis namaku.” |
||
+ | Pada akhirnya, Mafuyu menatap ke lantai dan menggelengkan kepalanya. Ia lalu meletakkan kapur itu pada tempatnya. |
||
− | Sesudah dia mengatakan hal itu, terasa seolah udara di dalam kelas dialiri arus listrik. Tunggu sebentar, apa yang sebenarnya gadis itu katakan? |
||
+ | "Saya tidak mau menulis nama." |
||
− | “Cuma nama saja tidak apa-apa kan?” Pensiunan berkata. Dia berkata dengan pelan dan menggunakan nada rendah, tapi dia jelas-jelas bingung apa yang harus dia lakukan karena tangannya bergerak-gerak di samping pahanya sendiri. |
||
+ | Setelah ia mengatakan hal tersebut, udara di dalam kelas terasa seolah dialiri arus listrik. Tunggu, apa yang sebenarnya dara muda itu katakan? |
||
− | “Aku tidak mau.” |
||
+ | "Cuma nama saja harusnya tidak apa-apa, 'kan?" kata goinkyo. Beliau berkata dengan nada rendah dan pelan, namun jelas terlihat kebingungan yang beliau tampakkan dari gerakan tangan di sekitar pahanya. |
||
− | “Mmmmm...... Kenapa?” |
||
− | + | "Saya tidak mau." |
|
+ | "Hmm .... Kenapa?" |
||
− | Kata-kata Mafuyu memiliki efek mirip dengan menuangkan udara cair pada ruang kelas yang sudah membeku. Aku menyadari ekpresi Mafuyu saat dia menggigit bibir bawahnya. Itu adalah ekspresi yang sama dengan hari itu – di hari dimana kami pertama bertemu, ekspresi yang dimilikinya saat kami berpisah. |
||
+ | "Saya tidak suka nama marga saya." |
||
− | Tapi tentu saja, aku tidak mengatakan sepatah kata pun. Yang menjadi pahlawan menyelamatkan hari adalah seorang teman sekelas perempuan yang duduk di depan. |
||
+ | Efek perkataan Mafuyu terasa bagai sedang menuangkan nitrogen cair pada ruang kelas yang sudah membeku. Kusadari pula ekpresi Mafuyu sewaktu ia menggigit bagian bawah bibirnya. Itu adalah ekspresi yang sama seperti yang ditunjukkannya hari itu — hari di mana kami pertama kali bertemu, ekspresi yang ditunjukkannya ketika kami berpisah. |
||
− | “Tidak apa-apa, Pak. Kami semua sudah tahu namanya.” |
||
+ | Tapi tentu saja, aku tidak berbicara sepatah kata pun. Yang menjadi penyelamat kala itu adalah anak perempuan yang duduk di kursi depan. |
||
− | “Yeah. Namanya Ebisawa Mafuyu kan?” |
||
+ | "Tidak apa-apa, Sensei. Kami semua sudah tahu namanya, kok." |
||
− | “Yup—“ |
||
+ | "Benar. Namanya Ebisawa Mafuyu, 'kan?" |
||
− | Suasana kelas menjadi sangat aneh. Bisik-bisik seperti “Dia pianis itu” dan “Aku pernah melihatnya di iklan”, bergantian satu sama lain. Aku menyadari kaki ramping Mafuyu bergetar sedikit karena reaksi teman sekelas kami. Aku mungkin satu-satunya yang menyadari tanda bahaya. |
||
+ | "Yak—" |
||
− | “Ah, mmm, kalau begitu......” Pensiunan melihat ke arah Mafuyu, dan berkata dengan tenang,”Ebisawa, apa kau punya sesuatu yang ingin kau katakan pada teman-teman sekelasmu?” |
||
+ | Suasana kelas berubah jadi begitu aneh. Bisik-bisik seperti, "Bukannya ia pianis yang itu ...," dan "Aku pernah melihatnya di iklan", saling bersahutan. Kusadari kaki ramping Mafuyu sedikit gemetar akibat reaksi yang ditunjukkan teman sekelas kami. Mungkin aku satu-satunya orang yang menyadari tanda bahaya itu. |
||
− | Seorang gadis tiba-tiba mengangkat tangannya dan bertanya,”Boleh aku tahu kapan kamu akan mengeluarkan album berikutnya?” |
||
+ | |||
+ | "Ah, hmm, kalau begitu ...," goinkyo melihat ke arah Mafuyu, dan berkata dengan tenang. "Ebisawa-san, apa ada yang ingin kamu sampaikan pada teman-teman sekelasmu?" |
||
+ | |||
+ | Seorang gadis tiba-tiba mengangkat tangannya dan bertanya. "Boleh tahu kapan kamu akan mengeluarkan album berikutnya?" |
||
Aku tidak begitu ingat namanya, tapi aku ingat kalau gadis itu memang banyak bicara. Pertanyaan itu adalah ujung tombak dari rentetan pertanyaan berikutnya. |
Aku tidak begitu ingat namanya, tapi aku ingat kalau gadis itu memang banyak bicara. Pertanyaan itu adalah ujung tombak dari rentetan pertanyaan berikutnya. |
||
− | + | "Bukankah kamu pernah bilang akan belajar ke Sekolah Musik?" |
|
− | + | "Tidak ada lagi iklan baru yang menyertakanmu. Kenapa begitu?" |
|
− | Beberapa anak laki-laki yang masih bingung tentang situasi ini bertanya, |
+ | Beberapa anak laki-laki yang masih bingung tentang situasi ini bertanya. "Iklan apa?" "Itu, lo ..., iklan asuransi. Masa enggak tahu?" "Oh, iklan itu. Aku tahu." "Hmm? Yang benar?" Suasana ruang kelas tiba-tiba menjadi ramai. |
+ | Mafuyu menatap langit-langit dengan pandangan tegang, dan saat itulah ia tiba-tiba berkata dengan suara nyaring dan melengking. |
||
− | “Iklan apa?” “Itu lho iklan asuransi. Maksudmu kamu gak tahu?” “Ah, iklan itu. Aku tahu.” Hmmm? Benarkah?” Ruang kelas tiba-tiba berubah menjadi ribut. |
||
+ | "Tolong lupakan semuanya." |
||
− | Mafuyu menatap langit-langit dengan pandangan tegang, dan saat itulah dia tiba-tiba berkata dengan suara tajam, nyaring, |
||
+ | Kesunyian yang meliputi ruang kelas tampak bagai permukaan danau yang membeku. |
||
− | “Tolong lupakan semuanya.” |
||
− | + | Suara tegang Mafuyu terus bergema di ruang kelas — sama seperti waktu itu. |
|
+ | "... aku akan menghilang di bulan Juni, jadi kumohon, lupakan saja aku." |
||
− | Suara tegang Mafuyu terus bergema di ruang kelas – seperti waktu itu. |
||
+ | Tidak seorang pun berbicara setelah mendengar Mafuyu berkata begitu, dan tidak seorang pun tahu harus seperti apa lagi berkata-kata. Hal yang menyelamatkan kami dari ketidaktahuan ini adalah bunyi bel yang menandakan akhir homeroom. |
||
− | “...... Aku akan menghilang di bulan Juni, jadi tolong lupakan aku.” |
||
+ | "Ah, be-begitukah? Kalau begitu ..., Ebisawa-san, silakan duduk di kursi yang ada di sana." |
||
− | Tidak satupun berkata-kata setelah mendengar Mafuyu mengatakan hal itu, tidak pula mereka tahu apa yang harus mereka katakan. Hal yang menyelamatkan kami dari ketidaktahuan ini, adalah bell yang menandakan akhir homeroom. |
||
+ | Goinkyo menunjuk ke belakang kelas. Saat aku tersadar, kusadari kalau ternyata ada satu kursi kosong di samping kiriku. |
||
− | “Ah, be-begitukah? Kalau begitu...... Mafuyu, tolong duduk di kursi yang ada di sana.” |
||
+ | "Di sini yang menjabat ketua kelas adalah Terada-san, jadi silakan bertanya padanya apa yang belum kamu pahami." |
||
− | Pensiunan menunjuk ke belakang kelas. Saat aku tersadar, aku menyadari kalau ada satu kursi kosong di samping kiriku. |
||
+ | Terada-san adalah anak yang pertama kali bertanya pada Mafuyu. Goinkyo lalu menjepit daftar hadir dan catatan pelajaran yang sudah terbundel di bawah lengannya, dan dengan cepat berjalan keluar dari kelas. |
||
− | “Ketua kelas ini adalah Terada, jadi silahkan bertanya padanya apa yang kamu belum pahami.” |
||
+ | Mafuyu lalu meneguk air liurnya dan sedikit mengatur pernapasan. Sesekali ia meninjau ruang kelas dengan pandangan tidak ramah dan penuh waspada, sebelum melangkah turun dari podium pengajar tanpa bersuara. Ruang kelas pun sunyi senyap. Semuanya menatap pada setiap gerakannya saat ia berjalan di antara deretan meja dan tempat duduk. Mungkinkah Mafuyu memang akan menghilang andai kami sekejap saja melepaskan pandangan darinya? Ah, itu kedengarannya sangat bodoh — mustahil, namun akhirnya aku tetap mengikuti perbuatan mereka. Mungkin dikarenakan semua tatapan tersebut, hingga Mafuyu sengaja menutupi wajahnya saat melewati kursiku. Suara langkah kaki tiba-tiba berhenti di sampingku— |
||
− | Terada adalah teman sekelas yang pertama menanyakan pertanyaan pada Mafuyu. Pensiunan lalu menjepit daftar hadir dan catatan pelajaran yang sudah terbendel di bawah lengannya, dan dengan cepat berjalan keluar kelas. |
||
+ | "—ah!" |
||
− | Mafuyu menahan nafas, dan mengatur pernafasannya sedikit. Dia lalu meneliti ruang kelas sekali dengan pandangan tidak ramah dan waspada, sebelum melangkah turun dari podium pengajar tanpa suara. Ruang kelas sunyi senyap. Semuanya menatap pada setiap gerakannya saat dia berjalan di antara deretan meja dan tempat duduk. Mungkinkah Mafuyu akan menghilang dalam sekejap kalau pandangan kami berhenti sebentar saja? Gak, itu kedengarannya sangat bodoh – gak mungkin, tapi aku tetap mengikuti mereka pada akhirnya. Mungkin karena semua tatapan itu, tapi Mafuyu dengan sengaja meutupi wajahnya saat dia melewati kursiku. Suara langkah kaki yang tiba-tiba berhenti di sampingku— |
||
+ | Ia menyadarinya. Mafuyu menunjuk ke arahku dengan jarinya yang sedikit gemetar, dan berteriak sambil terkejut. "Ke-ke-kenapa kamu ada di sini?" |
||
− | “—Ah!” |
||
+ | Kulingkari kepalaku dengan kedua lengan, lalu menempelkannya ke meja. Kusadari kalau semua anak di kelas ini sedang memandangiku. Sudahlah, jangan ganggu aku. |
||
− | Dia menyadarinya. Mafuyu menunjuk dengan jarinya yang sedikit bergetar padaku, dan berteriak kaget, “K-K-Kenapa kau ada di sini?” Aku memeluk kepalaku dengan kedua lengan, dan meletakkannya di meja. Aku menyadari kalau semuanya memandangiku. Tinggalkan aku sendiri. |
||
+ | "Apa? Jadi kalian berdua saling kenal?" Chiaki menatap Mafuyu, lalu menatapku. Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali, seakan hendak mengelap meja dengan dahiku hingga bersih. |
||
− | “Apa? Kalian berdua saling kenal?” |
||
+ | "Enggak, enggak, enggak, aku enggak kenal sama anak ini. Ia pasti salah orang." |
||
− | Chiaki menatap Mafuyu, lalu menatapku. Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali, seolah ingin mengelap meja sampai bersih dengan dahiku. |
||
+ | Namun Mafuyu lalu berkata. "Kenapa kamu berbohong!?" |
||
− | “Tidak tidak tidak, aku gak kenal dia. Dia pasti salah orang.” |
||
+ | "Bukannya kamu sendiri yang memintaku untuk melupakanmu?" |
||
− | Tapi Mafuyu bilang,”Kenapa kau bohong!?” |
||
+ | "Nah, itu kamu ingat! Kamu ingat kalau aku yang dulu memintamu untuk melupakanku!" |
||
− | “Bukannya kau sendiri yang memintaku melupakanmu?” |
||
+ | Ahhhh ..., aku enggak tahu lagi, deh. |
||
− | “Benarkan, kau ingat! Aku dulu yang memintamu melupakan aku!” |
||
+ | "Hmm, makanya tadi kubilang kalau aku sudah lupa semuanya. Lagi pula, kamu ini siapa?" |
||
− | Ahhhh...... Aku gak tahu lagi deh. |
||
+ | "Dasar pembohong!" |
||
− | “Mmm, karenanya sudah kubilang kan kalau aku sudah melupakan semuanya. Terus siapa sih kamu?” |
||
+ | Kurasa percakapan kami tadi pasti terdengar sangat bodoh. Obrolan antar teman sekelas kami pun menjadi semakin keras, sementara tatap mata penasaran Chiaki bahkan terasa lebih menusuk. Jam kedua adalah mata pelajaran Sastra Lama yang paling kubenci, namun di saat yang sama, sosok guru bahasa yang sudah tua itu terlihat seperti sang penyelamat di mataku. |
||
− | “Pembohong!” |
||
+ | <span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span> |
||
− | Kurasa percakapan kami pasti kedengaran sangat bodoh. Obrolan antar teman sekelas kami menjadi semakin keras dan keras, sementara pandangan penasaran Chiaki bahkan lebih menusuk. Jam kedua adalah sastra lama yang paling aku benci, namun pada saat itu, pemandangan nenek tua guru bahasa itu kelihatan seperti penyelamat di mataku. |
||
+ | Meski aku mempertimbangkan wajah cantik jelita dan status selebritinya, Mafuyu adalah tipe gadis yang sengaja tidak ingin kudekati. Sejak hari kepindahannya di sekolah ini, dirinya terus dikelilingi sekelompok gadis yang ingin tahu dan ingin bertanya berbagai hal padanya. Namun kadang, selain berkata, "Enggak tahu" dan "Aku tidak mau jawab", ia sulit sekali memberi jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut. |
||
+ | "Kenapa di saat yang kurang pas begini, ia malah pindah ke sekolah ini?" |
||
− | Meski aku mempertimbangkan wajah cantiknya yang sulit dipercaya dan statusnya sebagai seorang celebriti, Mafuyu adalah tipe gadis yang aku tidak mau dekat-dekat dengannya secara sengaja. Sejak hari dia pindah ke sini, dia akan dikelilingi sekelompok gadis yang ingin tahu dan menanyainya berbagai pertanyaan. Tapi selain kadang-kadang menjawab “Gak tahu” dan “Aku gak mau jawab”, dia hampir tidak pernah menjawab pertanyaan mereka. |
||
+ | Saat istirahat makan siang, Chiaki menatap ke arah kerumunan orang itu dan pelan-pelan bertanya. |
||
− | “Kenapa dia pindah ke sini di waktu yang aneh?” |
||
+ | "Padahal sekolah kita cuma SMA biasa, lalu ia mengambil Seni Rupa sebagai mata pelajaran pilihan. Kenapa begitu, ya?" |
||
− | Saat istirahat makan siang, Chiaki menatap ke arah kerumunan orang itu dan bertanya, |
||
− | + | Di sekolah ini, kami harus memilih antara Musik, Seni Rupa atau Kaligrafi sebagai mata pelajaran seni pilihan. Sejujurnya, rasanya agak aneh seorang pianis tidak memilih bidang yang lebih ia kuasai. |
|
+ | "Kalau mau tahu, tanya langsung sama orangnya sana." |
||
− | Di sekolah kami, kami harus memilih antara musik, senirupa, atau kaligrafi sebagai mata pelajaran seni pilihan. Sejujurnya, rasanya agak aneh seorang pianis tidak memilih bidang yang lebih dia kuasai. |
||
+ | Chiaki melambaikan tangannya dan berkata. "Aku enggak bisa menerobos tembok manusia yang mengelilinginya," ia lalu mengambil beberapa potong makanan dari bento-ku dan memakannya dalam gigitan besar. Akhir-akhir ini, aku menyiapkan lebih banyak makanan di bento-ku, mengantisipasi kalau-kalau ia mengambil sebagiannya. |
||
− | “Tanyakan langsung pada orangnya dan kau akan tahu jawabanya.” |
||
+ | "Terus, kapan dan di mana kamu bertemu dengannya?" |
||
− | Chiaki melambaikan tangannya dan berkata,”Aku tidak bisa melewati tembok manusia yang mengelilinginya.” Dia lalu mengambil beberapa potong makanan dari bentoku dan memakannya dengan gigitan besar. Akhir-akhir ini, aku menyiapkan lebih banyak makanan di bento ku, mengantisipasi dia mengambil sebagian darinya. |
||
+ | "... di dalam mimpi?" |
||
− | “Terus, kapan dan dimana kau bertemu dengannya?” |
||
+ | "Kamu mau kulempar ke UKS, ya?" |
||
− | “......Di mimpiku?” |
||
+ | "Enggak, enggak. Duh, susah menjelaskannya." |
||
− | “Kau mau melayang ke UKS?” |
||
+ | "Masih ada banyak waktu sebelum istirahat makan siang selesai, jadi kamu bisa menjelaskannya dari awal," tatapan Chiaki menunjukkan tampang seolah tidak ingin dibantah, walau kini ia sedang tersenyum. Saat aku berusaha menghindari topik itu, tahu-tahu ia sudah menghabiskan bento-ku dengan begitu cepatnya. |
||
− | “Gak. Argh, susah ngejelasin semuanya.” |
||
+ | Mafuyu terus menunjukkan perilaku antisosial selama pelajaran berlangsung tanpa sedikit pun ada rasa peduli — ia tidak mencatat, dan buku pelajarannya sering jatuh ke lantai. Meskipun statusnya masih murid pindahan, tapi ada beberapa guru yang tidak memberinya perlakuan khusus, dan segera memintanya naik ke podium pengajar; namun ia bersikeras tetap duduk di kursinya dengan menjawab, "Saya tidak mau," jujur, kupikir sikapnya itu tampak begitu keren, karena tidak mungkin aku mampu berbuat begitu meski aku ada keinginan untuk melakukannya. Dari yang Chiaki katakan padaku, yang ia lakukan saat pelajaran Olahraga hanyalah duduk dan mengamati dari pinggir lapangan. |
||
− | “Masih ada banyak waktu sebelum istirahat makan siang selesai, jadi kau bisa menjelaskannya dari awal.” Mata Chiaki menunjukkan pandangan keras kepala meskipun ia tersenyum. Saat aku mencoba menghindari topik itu, dia sudah menghabiskan bentoku secepat yang dia bisa. |
||
+ | Saat istirahat makan siang di hari kedua kepindahannya ke sekolah ini, sepertinya Mafuyu menganggap situasi yang dikelilingi gadis-gadis penasaran itu membuatnya sedikit geregetan, dan beberapa kali seolah meminta bantuanku dengan menatap penuh harap pada diriku melalui celah tembok manusia. Yah, aku tidak bisa membantunya meski ia mengharapkannya. |
||
− | Mafuyu terus menunjukkan perilaku anti sosial saat pelajaran tanpa peduli sedikitpun – dia tidak mencatat, dan buku pelajarannya sering jatuh ke lantai. Ada beberapa guru yang tidak memberinya perlakuan khusus meski dia murid pindahan, dan segera memintanya naik ke podium pengajar; tapi dia bersikeras tinggal di kursinya dengan menjawan,”Aku tidak mau.” Sejujurnya, aku pikir dia sangat keren, karena aku tidak mungkin melakukannya meski aku mau. Dari apa yang Chiaki katakan padaku, yang dia lakukan saat pelajaran olahraga cuma duduk dan mengamati dari pinggiran. |
||
+ | Sebagian besar pertanyaan yang ditanyakan para gadis itu adalah hal-hal tidak penting berupa, seperti apa studio itu; selebriti mana yang ada di perusahaan penyiaran, dan apakah ia kenal dengan mereka. Saat aku akan memundurkan kursiku dan berlari menjauh dari kerumunan tersebut, tiba-tiba kudengar suara ''*bam*'', yang menandakan ada seseorang yang menggebrak meja. Aku menoleh, dan melihat Mafuyu berdiri di tengah kerumunan para gadis, dan menunjukku melalui celah tembok manusia. Dia berkata sambil berlinang air mata. "Tanya anak itu. Maniak itu punya semua albumku, dan harusnya ia tahu banyak tentangku." |
||
− | Saat istirahat akan siang di hari kedua dia pindah, sepertinya Mafuyu menganggap situasinya dikelilingi gadis-gadis ingin tahu itu terasa sedikit tidak tertahankan, dan meminta bantuanku beberapa kali dengan menatapku penuh harap melalui celah tembok manusia. Yah, aku gak bisa membantu meski kau menginginkannya. |
||
+ | Hah? Apa? |
||
− | Sebagian besar pertanyaan yang ditanyakan para gadis itu hal-hal remeh seperti, seperti apa studio itu; celebriti mana yang ada di perusahaan penyiaran, dan apakah dia pernah menemui mereka. Saat aku akan memundurkan kursiku dan berlari menjauh dari kerumunan itu, aku mendengar seseorang menggebrak meja dengan suara *bam* yang tiba-tiba. Aku menoleh, dan melihat Mafuyu berdiri di tengah kerumunan para gadis, dan menunjukku melalui celah tembok manusia. Dia berkata dengan air mata di matanya,”Tanya orang itu. Maniak itu punya semua albumku, dan dia seharusnya tahu banyak tentangku.” |
||
+ | Mafuyu menendang jatuh kursinya, dan berlari melewatiku lalu keluar dari ruang kelas dalam sekejap. |
||
− | Eh? Apa? |
||
+ | Tatapan yang tidak terhitung jumlahnya terarah padaku, dan Ketua Kelas Terada-san yang pertama bicara. |
||
− | Mafuyu menendang jatuh kursi itu, dan berlari melewatiku dan keluar dari ruang kelas dalam sekejap. |
||
− | + | "... apa hubungan antara maniak ini dengan Ebisawa-san?" kok aku dipanggil maniak!? |
|
− | + | "Dari percakapanmu dengannya, kedengaran seperti kamu sudah mengenalnya." |
|
+ | "Ya, ya." |
||
− | “Yeah.” |
||
− | + | Gadis sialan, ia benar-benar mengatakan hal yang tidak bertanggung jawab cuma untuk melarikan diri dari mereka .... |
|
− | Seorang |
+ | Seorang anak lelaki berkata. "Anak pesolek ini mungkin tahu, karena ayahnya kritikus musik.” |
+ | "Musik klasik, ya ...." |
||
− | “Musik clasik, huh.” |
||
− | + | "Jadi kamu sudah mengenalnya?" |
|
− | + | "Ayahmu pasti tahu banyak tentangnya, 'kan?" |
|
− | + | "Tanyakan beberapa pertanyaan saat kamu pulang nanti! Seperti alasan Ebisawa-san memilih belajar di sekolah ini. Ebisawa-san menolak bicara apa pun mengenai dirinya." |
|
− | + | Mana mungkin aku tahu soal yang begitu, ya 'kan? Mereka pikir dunia musik klasik itu kecil? Meski aku jadi kepikiran, dengan ambigu, kuanggukan saja kepalaku agar bisa kabur dari situ. |
|
− | + | Padahal sudah diperlakukan dingin begitu, namun ia masih saja ingin berbicara pada Mafuyu. Apa ketua kelas memang bermaksud ingin berusaha agar Mafuyu dapat bergaul dengan seisi kelas, atau itu karena kesabaran tingkat tingginya yang lahir dari sebuah rasa ingin tahu? Aku enggak tahu, deh. Mungkin sebagian kecil dari keduanya. |
|
+ | <span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span> |
||
− | + | Hari itu, sekembalinya ke rumah, akhirnya kusadari betapa kecil dunia ini sesungguhnya. |
|
− | + | "Tetsurou, kamu masih ingat Ebisawa Mafuyu?" |
|
− | + | Kutanyakan hal itu pada ayahku sewaktu aku mempersiapkan makan malam, yang kala itu juga berada di ruang makan. Aku sudah lupa sejak kapan aku mulai memanggil ayahku dengan nama depannya — apa mungkin sesaat setelah ibuku pergi dari rumah? Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak bisa lagi menganggapnya sebagai seorang ayah setelah kejadian itu. |
|
− | Tetsurou duduk di kursi dengan mengenakan jersey. |
+ | Tetsurou duduk jongkok di atas kursi dengan mengenakan ''jersey''-nya. Beliau menggunakan mangkok dan sumpitnya untuk bermain drum dengan irama ''waltz'' gubahan Tcaikovsky, yang terdengar nyaring lewat pengeras suara. Beliau terus meneriakkan. "Makan malamnya belum siap?" memangnya seperti itukah pria berumur empat puluh tahunan — yang juga telah memiliki anak lelaki — berperilaku? |
− | Tetsurou menoleh, tapi tangannya masih bermain drum dengan mangkok. Kemarahan yang tiba-tiba berkembang dalam diriku. Aku merebut sumpitnya, |
+ | Tetsurou menoleh, tapi tangannya masih bermain drum dengan mangkok. Kemarahan yang tiba-tiba, mulai berkembang dalam diriku. Aku merebut sumpitnya, lalu mematikan pengeras suara. Yang dilakukan Tetsurou cuma merengut seperti anak kecil. |
− | + | "Aku tanya, apa kamu masih ingat orang yang bernama Ebisawa Mafuyu?" |
|
− | + | "Hmm? Ya, aku ingat. Ebisawa Mafuyu, ya, Bach masih yang paling cocok untuknya. Ada beberapa bagian yang tidak mengalir dengan lembut di dekat semua ''partita''-nya,<ref>[http://en.wikipedia.org/wiki/Partita Partita] adalah bagian tersendiri untuk alat musik tunggal yang dimainkan sebagai iringan dalam sebuah orkestra maupun konser.</ref> tapi di situlah letak pesonanya. Terkadang, muncul beberapa anak muda yang bisa memainkan musik Bach dengan sangat baik. Contohnya ...." |
|
− | + | "Cukup, aku tidak mau dengar pandanganmu mengenai hal itu." |
|
− | Lupakan. |
+ | Lupakan saja, deh. Di mata Tetsurou, gadis itu mungkin cuma salah satu dari sekian banyak pianis yang ada, jadi bisa dimaklumi kalau beliau hanya bicara hal-hal mengenai musik saja. Saat aku akan berjalan kembali ke dapur sambil memikirkan hal tersebut, Tetsurou lanjut berbicara. |
− | + | "Tapi Ayah dengar ia pindah ke sekolahmu?" |
|
− | + | "Bagaimana kamu bisa tahu?" |
|
− | Aku |
+ | Aku berbalik karena terkejut, dan hampir terjatuh setelah tidak sengaja menendang pot. |
− | + | "Ebichiri dan Ayah dulunya pernah jadi teman sekelas di sekolahmu. Karena Ebichiri adalah direktur di sekolah itu, sudah pasti ia akan memaksa anaknya untuk belajar di sana." |
|
− | + | "Ah ..., benar juga, gadis itu kan putrinya." |
|
− | Ebisawa Chisato |
+ | Ebisawa Chisato — atau lebih sering dipanggil Ebichiri<ref>[http://en.wikipedia.org/wiki/Ebi_chili Ebichiri/Ebichili] adalah udang yang dimasak dengan saus cabai, dan terdengar seperti singkatan dari nama Ebisawa Chisato.</ref> — adalah salah satu dari sedikit konduktor terkenal. Ia pernah mengabdikan penuh dirinya untuk Orkestra Simfoni Boston dan Chicago, dan ia juga merupakan salah satu musisi terkenal dunia. Kebetulan, Tetsurou-lah yang memberinya nama panggilan tersebut — kritikus memang orang-orang mengerikan. |
− | Salah satu topik yang sering |
+ | Salah satu topik yang sering diperbincangkan ketika Mafuyu memulai debut adalah; ternyata ia anak dari 'Ebichiri yang namanya dikenal di seluruh dunia'. Pasti ada beberapa orang yang ingin coba memasangkan ayah dan anak tersebut untuk tampil dalam satu panggung, namun Mafuyu lebih dulu menghilang dari dunia musik sebelum hal itu menjadi kenyataan. |
− | + | "Masalahnya, sekolah kami tidak lagi punya Musik sebagai mata pelajaran utama, kok ia masih mau saja pindah ke sekolah itu?" |
|
− | + | "Ayah dengar itu karena putrinya yang terus-menerus mengeluh. Padahal sudah dipastikan kalau ia akan dimasukkan ke Sekolah Musik, tapi putrinya bilang kalau ia tidak mau. Ebichiri tidak punya pilihan selain mengizinkannya belajar di SMA biasa, makanya gadis tersebut pindah ke sekolahmu. Ia tidak lagi bermain piano, 'kan? Saat pertama kali mendengar permainan pianonya, Ayah merasa kalau ia salah satu tipe pianis yang bersifat merusak. Melodi balasannya terdengar seperti pertengkaran antar anggota keluarga." |
|
− | Hmm? Tapi |
+ | Hmm? Tapi .... |
− | + | Hari itu aku mendengarnya bermain piano saat di <Toko Swalayan Keinginan Hati>. |
|
− | + | Jadi ia ... tidak lagi bermain piano? Kenapa? |
|
− | + | "Oi, makan malamnya belum siap?" |
|
− | + | "Makan malamnya~belum~siap?" Tetsurou mulai menyanyikan kata-kata itu dengan nada pada bagian <Engkau tidak 'kan pergi lagi> dari <Pernikahan Figaro>. Berisik, tahu. Kunyah saja rekaman atau apalah sana! |
|
− | Kalau |
+ | Kalau ia benar-benar meninggalkan piano karena suatu alasan, dan akhirnya memilih belajar di sekolah kami daripada di Sekolah Musik, maka masuk akal jika ia pindah di waktu yang kurang pas begini. Meski begitu, kenapa ia sampai meninggalkan piano? |
− | Aku menggelengkan kepalaku dan tidak ingin |
+ | Aku menggelengkan kepalaku dan tidak ingin lebih jauh memikirkan hal tersebut. Kalau anak-anak di kelasku mendengar hal yang barusan dikatakan ayahku, mereka mungkin akan berpikir kalau aku memang banyak tahu tentang Mafuyu. Kami cuma teman sekelas yang duduk bersebelahan, dan tampaknya ia memiliki sesuatu yang tidak ingin diketahui oleh orang lain. Karena tidak mungkin ia mengganggu hidupku atas kemauannya sendiri, satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah mengabaikannya saja, ya 'kan? |
− | + | Tapi tetap saja, Mafuyu datang mengganggu hidupku di hari berikutnya— |
|
—dengan cara yang sama sekali tidak terduga. |
—dengan cara yang sama sekali tidak terduga. |
||
+ | |||
+ | |||
+ | <noinclude> |
||
+ | |||
+ | ===Catatan Penerjemah=== |
||
+ | |||
+ | <references/> |
||
+ | |||
+ | {| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;" |
||
+ | |- |
||
+ | | '''Mundur ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 2|Bab 2]] |
||
+ | | '''Kembali ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia)|Halaman Utama]] |
||
+ | | '''Lanjut ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 4|Bab 4]] |
||
+ | |- |
||
+ | |} |
||
+ | </noinclude> |
Latest revision as of 09:57, 11 October 2016
Kebohongan, Bento, Partita[edit]
Di pagi hari, sewaktu homeroom, ketika wali kelas kami — yang dijuluki goinkyo[1] Di pagi hari, sewaktu homeroom, ketika wali kelas kami — yang dijuluki goinkyo (karena beliau terlihat seperti Mito Koumon)[2] — membawa serta seorang gadis masuk ke dalam kelas, seketika itu juga suasana kelas langsung membeku. Aku tidak menyadari perubahan suasana yang terjadi, karena saat itu aku merasa mengantuk sembari mendengarkan discman-ku.
Baru setelah Chiaki, yang duduk di depanku, berbalik dan mendorong bahuku, dengan cepat kulepas earphone yang menempel di telingaku. Tidak peduli ada atau tidaknya homeroom, ruang kelas ini selalu dipenuhi percakapan di tiap paginya. Meski begitu, aku masih bisa mendengar beberapa teman sekelas yang berbisik kala itu.
"Hei, gadis ini ...."
"Yak, sepertinya begitu."
"Ebisawa—"
"Eh~? Serius? Padahal kata orang, keberadaannya kini belum diketahui, 'kan?"
Pandanganku tertuju ke podium pengajar, dan discman-ku hampir saja jatuh ke lantai. Gadis di podium itu menata rambutnya ke belakang. Karena gaya rambut itu sama persis dengan yang ada di iklan, maka semua orang langsung mengenalinya. Ia memang Ebisawa Mafuyu. Ia mengenakan seragam sekolah kami, tapi itu terasa seolah seseorang telah mengerjai kami. Apa-apaan ini? Aku tidak mengerti apa yang goinkyo katakan, dan untuk sesaat aku tidak bisa memahami fakta kalau ia pindah ke sekolah kami.
"Dipersilakan bagi Ebisawa-san untuk memperkenalkan diri," kata goinkyo dengan santai sambil menyerahkan sebatang kapur kepada gadis itu.
Mafuyu memegang kapur itu dengan ibu jari dan telunjuknya saja. Setelah memandang tidak nyaman pada kapur tersebut disertai wajah memucat, ia berputar menghadap papan tulis. Saat itu juga, kapur yang dipegangnya terselip dari jari-jarinya, dan suara patahan tiba-tiba memecah keheningan ruang kelas.
Kesunyian yang lebih senyap mengikuti setelahnya. Yang dilakukan Mafuyu hanyalah terdiam menatap pada kapur (yang mungkin sudah hancur). Goinkyo hanya bisa mengelus pelan-pelan jenggot kebanggaannya, sedangkan bagi kami, para murid yang baru masuk sekitar satu bulan, tahu bahwa gelagat sensei yang semacam itu adalah pertanda jika beliau tidak percaya dengan apa yang terjadi.
"Hmm, yah ...," ujar sensei dengan suara lemah, dan sesudah mengambil kapur yang terpecah jadi dua itu, beliau memberikannya pada Mafuyu. Akan tetapi, saat Mafuyu mengambil kapur tersebut, jari-jarinya jelas tampak gemetaran.
Pada akhirnya, Mafuyu menatap ke lantai dan menggelengkan kepalanya. Ia lalu meletakkan kapur itu pada tempatnya.
"Saya tidak mau menulis nama."
Setelah ia mengatakan hal tersebut, udara di dalam kelas terasa seolah dialiri arus listrik. Tunggu, apa yang sebenarnya dara muda itu katakan?
"Cuma nama saja harusnya tidak apa-apa, 'kan?" kata goinkyo. Beliau berkata dengan nada rendah dan pelan, namun jelas terlihat kebingungan yang beliau tampakkan dari gerakan tangan di sekitar pahanya.
"Saya tidak mau."
"Hmm .... Kenapa?"
"Saya tidak suka nama marga saya."
Efek perkataan Mafuyu terasa bagai sedang menuangkan nitrogen cair pada ruang kelas yang sudah membeku. Kusadari pula ekpresi Mafuyu sewaktu ia menggigit bagian bawah bibirnya. Itu adalah ekspresi yang sama seperti yang ditunjukkannya hari itu — hari di mana kami pertama kali bertemu, ekspresi yang ditunjukkannya ketika kami berpisah.
Tapi tentu saja, aku tidak berbicara sepatah kata pun. Yang menjadi penyelamat kala itu adalah anak perempuan yang duduk di kursi depan.
"Tidak apa-apa, Sensei. Kami semua sudah tahu namanya, kok."
"Benar. Namanya Ebisawa Mafuyu, 'kan?"
"Yak—"
Suasana kelas berubah jadi begitu aneh. Bisik-bisik seperti, "Bukannya ia pianis yang itu ...," dan "Aku pernah melihatnya di iklan", saling bersahutan. Kusadari kaki ramping Mafuyu sedikit gemetar akibat reaksi yang ditunjukkan teman sekelas kami. Mungkin aku satu-satunya orang yang menyadari tanda bahaya itu.
"Ah, hmm, kalau begitu ...," goinkyo melihat ke arah Mafuyu, dan berkata dengan tenang. "Ebisawa-san, apa ada yang ingin kamu sampaikan pada teman-teman sekelasmu?"
Seorang gadis tiba-tiba mengangkat tangannya dan bertanya. "Boleh tahu kapan kamu akan mengeluarkan album berikutnya?"
Aku tidak begitu ingat namanya, tapi aku ingat kalau gadis itu memang banyak bicara. Pertanyaan itu adalah ujung tombak dari rentetan pertanyaan berikutnya.
"Bukankah kamu pernah bilang akan belajar ke Sekolah Musik?"
"Tidak ada lagi iklan baru yang menyertakanmu. Kenapa begitu?"
Beberapa anak laki-laki yang masih bingung tentang situasi ini bertanya. "Iklan apa?" "Itu, lo ..., iklan asuransi. Masa enggak tahu?" "Oh, iklan itu. Aku tahu." "Hmm? Yang benar?" Suasana ruang kelas tiba-tiba menjadi ramai.
Mafuyu menatap langit-langit dengan pandangan tegang, dan saat itulah ia tiba-tiba berkata dengan suara nyaring dan melengking.
"Tolong lupakan semuanya."
Kesunyian yang meliputi ruang kelas tampak bagai permukaan danau yang membeku.
Suara tegang Mafuyu terus bergema di ruang kelas — sama seperti waktu itu.
"... aku akan menghilang di bulan Juni, jadi kumohon, lupakan saja aku."
Tidak seorang pun berbicara setelah mendengar Mafuyu berkata begitu, dan tidak seorang pun tahu harus seperti apa lagi berkata-kata. Hal yang menyelamatkan kami dari ketidaktahuan ini adalah bunyi bel yang menandakan akhir homeroom.
"Ah, be-begitukah? Kalau begitu ..., Ebisawa-san, silakan duduk di kursi yang ada di sana."
Goinkyo menunjuk ke belakang kelas. Saat aku tersadar, kusadari kalau ternyata ada satu kursi kosong di samping kiriku.
"Di sini yang menjabat ketua kelas adalah Terada-san, jadi silakan bertanya padanya apa yang belum kamu pahami."
Terada-san adalah anak yang pertama kali bertanya pada Mafuyu. Goinkyo lalu menjepit daftar hadir dan catatan pelajaran yang sudah terbundel di bawah lengannya, dan dengan cepat berjalan keluar dari kelas.
Mafuyu lalu meneguk air liurnya dan sedikit mengatur pernapasan. Sesekali ia meninjau ruang kelas dengan pandangan tidak ramah dan penuh waspada, sebelum melangkah turun dari podium pengajar tanpa bersuara. Ruang kelas pun sunyi senyap. Semuanya menatap pada setiap gerakannya saat ia berjalan di antara deretan meja dan tempat duduk. Mungkinkah Mafuyu memang akan menghilang andai kami sekejap saja melepaskan pandangan darinya? Ah, itu kedengarannya sangat bodoh — mustahil, namun akhirnya aku tetap mengikuti perbuatan mereka. Mungkin dikarenakan semua tatapan tersebut, hingga Mafuyu sengaja menutupi wajahnya saat melewati kursiku. Suara langkah kaki tiba-tiba berhenti di sampingku—
"—ah!"
Ia menyadarinya. Mafuyu menunjuk ke arahku dengan jarinya yang sedikit gemetar, dan berteriak sambil terkejut. "Ke-ke-kenapa kamu ada di sini?"
Kulingkari kepalaku dengan kedua lengan, lalu menempelkannya ke meja. Kusadari kalau semua anak di kelas ini sedang memandangiku. Sudahlah, jangan ganggu aku.
"Apa? Jadi kalian berdua saling kenal?" Chiaki menatap Mafuyu, lalu menatapku. Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali, seakan hendak mengelap meja dengan dahiku hingga bersih.
"Enggak, enggak, enggak, aku enggak kenal sama anak ini. Ia pasti salah orang."
Namun Mafuyu lalu berkata. "Kenapa kamu berbohong!?"
"Bukannya kamu sendiri yang memintaku untuk melupakanmu?"
"Nah, itu kamu ingat! Kamu ingat kalau aku yang dulu memintamu untuk melupakanku!"
Ahhhh ..., aku enggak tahu lagi, deh.
"Hmm, makanya tadi kubilang kalau aku sudah lupa semuanya. Lagi pula, kamu ini siapa?"
"Dasar pembohong!"
Kurasa percakapan kami tadi pasti terdengar sangat bodoh. Obrolan antar teman sekelas kami pun menjadi semakin keras, sementara tatap mata penasaran Chiaki bahkan terasa lebih menusuk. Jam kedua adalah mata pelajaran Sastra Lama yang paling kubenci, namun di saat yang sama, sosok guru bahasa yang sudah tua itu terlihat seperti sang penyelamat di mataku.
Meski aku mempertimbangkan wajah cantik jelita dan status selebritinya, Mafuyu adalah tipe gadis yang sengaja tidak ingin kudekati. Sejak hari kepindahannya di sekolah ini, dirinya terus dikelilingi sekelompok gadis yang ingin tahu dan ingin bertanya berbagai hal padanya. Namun kadang, selain berkata, "Enggak tahu" dan "Aku tidak mau jawab", ia sulit sekali memberi jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut.
"Kenapa di saat yang kurang pas begini, ia malah pindah ke sekolah ini?"
Saat istirahat makan siang, Chiaki menatap ke arah kerumunan orang itu dan pelan-pelan bertanya.
"Padahal sekolah kita cuma SMA biasa, lalu ia mengambil Seni Rupa sebagai mata pelajaran pilihan. Kenapa begitu, ya?"
Di sekolah ini, kami harus memilih antara Musik, Seni Rupa atau Kaligrafi sebagai mata pelajaran seni pilihan. Sejujurnya, rasanya agak aneh seorang pianis tidak memilih bidang yang lebih ia kuasai.
"Kalau mau tahu, tanya langsung sama orangnya sana."
Chiaki melambaikan tangannya dan berkata. "Aku enggak bisa menerobos tembok manusia yang mengelilinginya," ia lalu mengambil beberapa potong makanan dari bento-ku dan memakannya dalam gigitan besar. Akhir-akhir ini, aku menyiapkan lebih banyak makanan di bento-ku, mengantisipasi kalau-kalau ia mengambil sebagiannya.
"Terus, kapan dan di mana kamu bertemu dengannya?"
"... di dalam mimpi?"
"Kamu mau kulempar ke UKS, ya?"
"Enggak, enggak. Duh, susah menjelaskannya."
"Masih ada banyak waktu sebelum istirahat makan siang selesai, jadi kamu bisa menjelaskannya dari awal," tatapan Chiaki menunjukkan tampang seolah tidak ingin dibantah, walau kini ia sedang tersenyum. Saat aku berusaha menghindari topik itu, tahu-tahu ia sudah menghabiskan bento-ku dengan begitu cepatnya.
Mafuyu terus menunjukkan perilaku antisosial selama pelajaran berlangsung tanpa sedikit pun ada rasa peduli — ia tidak mencatat, dan buku pelajarannya sering jatuh ke lantai. Meskipun statusnya masih murid pindahan, tapi ada beberapa guru yang tidak memberinya perlakuan khusus, dan segera memintanya naik ke podium pengajar; namun ia bersikeras tetap duduk di kursinya dengan menjawab, "Saya tidak mau," jujur, kupikir sikapnya itu tampak begitu keren, karena tidak mungkin aku mampu berbuat begitu meski aku ada keinginan untuk melakukannya. Dari yang Chiaki katakan padaku, yang ia lakukan saat pelajaran Olahraga hanyalah duduk dan mengamati dari pinggir lapangan.
Saat istirahat makan siang di hari kedua kepindahannya ke sekolah ini, sepertinya Mafuyu menganggap situasi yang dikelilingi gadis-gadis penasaran itu membuatnya sedikit geregetan, dan beberapa kali seolah meminta bantuanku dengan menatap penuh harap pada diriku melalui celah tembok manusia. Yah, aku tidak bisa membantunya meski ia mengharapkannya.
Sebagian besar pertanyaan yang ditanyakan para gadis itu adalah hal-hal tidak penting berupa, seperti apa studio itu; selebriti mana yang ada di perusahaan penyiaran, dan apakah ia kenal dengan mereka. Saat aku akan memundurkan kursiku dan berlari menjauh dari kerumunan tersebut, tiba-tiba kudengar suara *bam*, yang menandakan ada seseorang yang menggebrak meja. Aku menoleh, dan melihat Mafuyu berdiri di tengah kerumunan para gadis, dan menunjukku melalui celah tembok manusia. Dia berkata sambil berlinang air mata. "Tanya anak itu. Maniak itu punya semua albumku, dan harusnya ia tahu banyak tentangku."
Hah? Apa?
Mafuyu menendang jatuh kursinya, dan berlari melewatiku lalu keluar dari ruang kelas dalam sekejap.
Tatapan yang tidak terhitung jumlahnya terarah padaku, dan Ketua Kelas Terada-san yang pertama bicara.
"... apa hubungan antara maniak ini dengan Ebisawa-san?" kok aku dipanggil maniak!?
"Dari percakapanmu dengannya, kedengaran seperti kamu sudah mengenalnya."
"Ya, ya."
Gadis sialan, ia benar-benar mengatakan hal yang tidak bertanggung jawab cuma untuk melarikan diri dari mereka ....
Seorang anak lelaki berkata. "Anak pesolek ini mungkin tahu, karena ayahnya kritikus musik.”
"Musik klasik, ya ...."
"Jadi kamu sudah mengenalnya?"
"Ayahmu pasti tahu banyak tentangnya, 'kan?"
"Tanyakan beberapa pertanyaan saat kamu pulang nanti! Seperti alasan Ebisawa-san memilih belajar di sekolah ini. Ebisawa-san menolak bicara apa pun mengenai dirinya."
Mana mungkin aku tahu soal yang begitu, ya 'kan? Mereka pikir dunia musik klasik itu kecil? Meski aku jadi kepikiran, dengan ambigu, kuanggukan saja kepalaku agar bisa kabur dari situ.
Padahal sudah diperlakukan dingin begitu, namun ia masih saja ingin berbicara pada Mafuyu. Apa ketua kelas memang bermaksud ingin berusaha agar Mafuyu dapat bergaul dengan seisi kelas, atau itu karena kesabaran tingkat tingginya yang lahir dari sebuah rasa ingin tahu? Aku enggak tahu, deh. Mungkin sebagian kecil dari keduanya.
Hari itu, sekembalinya ke rumah, akhirnya kusadari betapa kecil dunia ini sesungguhnya.
"Tetsurou, kamu masih ingat Ebisawa Mafuyu?"
Kutanyakan hal itu pada ayahku sewaktu aku mempersiapkan makan malam, yang kala itu juga berada di ruang makan. Aku sudah lupa sejak kapan aku mulai memanggil ayahku dengan nama depannya — apa mungkin sesaat setelah ibuku pergi dari rumah? Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak bisa lagi menganggapnya sebagai seorang ayah setelah kejadian itu.
Tetsurou duduk jongkok di atas kursi dengan mengenakan jersey-nya. Beliau menggunakan mangkok dan sumpitnya untuk bermain drum dengan irama waltz gubahan Tcaikovsky, yang terdengar nyaring lewat pengeras suara. Beliau terus meneriakkan. "Makan malamnya belum siap?" memangnya seperti itukah pria berumur empat puluh tahunan — yang juga telah memiliki anak lelaki — berperilaku?
Tetsurou menoleh, tapi tangannya masih bermain drum dengan mangkok. Kemarahan yang tiba-tiba, mulai berkembang dalam diriku. Aku merebut sumpitnya, lalu mematikan pengeras suara. Yang dilakukan Tetsurou cuma merengut seperti anak kecil.
"Aku tanya, apa kamu masih ingat orang yang bernama Ebisawa Mafuyu?"
"Hmm? Ya, aku ingat. Ebisawa Mafuyu, ya, Bach masih yang paling cocok untuknya. Ada beberapa bagian yang tidak mengalir dengan lembut di dekat semua partita-nya,[3] tapi di situlah letak pesonanya. Terkadang, muncul beberapa anak muda yang bisa memainkan musik Bach dengan sangat baik. Contohnya ...."
"Cukup, aku tidak mau dengar pandanganmu mengenai hal itu."
Lupakan saja, deh. Di mata Tetsurou, gadis itu mungkin cuma salah satu dari sekian banyak pianis yang ada, jadi bisa dimaklumi kalau beliau hanya bicara hal-hal mengenai musik saja. Saat aku akan berjalan kembali ke dapur sambil memikirkan hal tersebut, Tetsurou lanjut berbicara.
"Tapi Ayah dengar ia pindah ke sekolahmu?"
"Bagaimana kamu bisa tahu?"
Aku berbalik karena terkejut, dan hampir terjatuh setelah tidak sengaja menendang pot.
"Ebichiri dan Ayah dulunya pernah jadi teman sekelas di sekolahmu. Karena Ebichiri adalah direktur di sekolah itu, sudah pasti ia akan memaksa anaknya untuk belajar di sana."
"Ah ..., benar juga, gadis itu kan putrinya."
Ebisawa Chisato — atau lebih sering dipanggil Ebichiri[4] — adalah salah satu dari sedikit konduktor terkenal. Ia pernah mengabdikan penuh dirinya untuk Orkestra Simfoni Boston dan Chicago, dan ia juga merupakan salah satu musisi terkenal dunia. Kebetulan, Tetsurou-lah yang memberinya nama panggilan tersebut — kritikus memang orang-orang mengerikan.
Salah satu topik yang sering diperbincangkan ketika Mafuyu memulai debut adalah; ternyata ia anak dari 'Ebichiri yang namanya dikenal di seluruh dunia'. Pasti ada beberapa orang yang ingin coba memasangkan ayah dan anak tersebut untuk tampil dalam satu panggung, namun Mafuyu lebih dulu menghilang dari dunia musik sebelum hal itu menjadi kenyataan.
"Masalahnya, sekolah kami tidak lagi punya Musik sebagai mata pelajaran utama, kok ia masih mau saja pindah ke sekolah itu?"
"Ayah dengar itu karena putrinya yang terus-menerus mengeluh. Padahal sudah dipastikan kalau ia akan dimasukkan ke Sekolah Musik, tapi putrinya bilang kalau ia tidak mau. Ebichiri tidak punya pilihan selain mengizinkannya belajar di SMA biasa, makanya gadis tersebut pindah ke sekolahmu. Ia tidak lagi bermain piano, 'kan? Saat pertama kali mendengar permainan pianonya, Ayah merasa kalau ia salah satu tipe pianis yang bersifat merusak. Melodi balasannya terdengar seperti pertengkaran antar anggota keluarga."
Hmm? Tapi ....
Hari itu aku mendengarnya bermain piano saat di <Toko Swalayan Keinginan Hati>.
Jadi ia ... tidak lagi bermain piano? Kenapa?
"Oi, makan malamnya belum siap?"
"Makan malamnya~belum~siap?" Tetsurou mulai menyanyikan kata-kata itu dengan nada pada bagian <Engkau tidak 'kan pergi lagi> dari <Pernikahan Figaro>. Berisik, tahu. Kunyah saja rekaman atau apalah sana!
Kalau ia benar-benar meninggalkan piano karena suatu alasan, dan akhirnya memilih belajar di sekolah kami daripada di Sekolah Musik, maka masuk akal jika ia pindah di waktu yang kurang pas begini. Meski begitu, kenapa ia sampai meninggalkan piano?
Aku menggelengkan kepalaku dan tidak ingin lebih jauh memikirkan hal tersebut. Kalau anak-anak di kelasku mendengar hal yang barusan dikatakan ayahku, mereka mungkin akan berpikir kalau aku memang banyak tahu tentang Mafuyu. Kami cuma teman sekelas yang duduk bersebelahan, dan tampaknya ia memiliki sesuatu yang tidak ingin diketahui oleh orang lain. Karena tidak mungkin ia mengganggu hidupku atas kemauannya sendiri, satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah mengabaikannya saja, ya 'kan?
Tapi tetap saja, Mafuyu datang mengganggu hidupku di hari berikutnya—
—dengan cara yang sama sekali tidak terduga.
Catatan Penerjemah[edit]
- ↑ ご隠居 (ごいんきょ). Sebutan bagi orang yang telah pensiun dalam masa kerja. Namun terkadang sebutan tersebut bisa disematkan untuk orang yang ditetuakan, biasanya dalam suatu instansi.
- ↑ Mito Koumon adalah serial drama dari Jepang yang berkisah seputar sosok kehidupan Mito Mitsukuni, mantan wakil shogun dan daimyo kedua wilayah Mito. Dalam serial tersebut Mitsukuni menyamar sebagai seorang pensiunan pedagang jajanan, dengan memakai nama Mitsuemon.
- ↑ Partita adalah bagian tersendiri untuk alat musik tunggal yang dimainkan sebagai iringan dalam sebuah orkestra maupun konser.
- ↑ Ebichiri/Ebichili adalah udang yang dimasak dengan saus cabai, dan terdengar seperti singkatan dari nama Ebisawa Chisato.
Mundur ke Bab 2 | Kembali ke Halaman Utama | Lanjut ke Bab 4 |