Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 4: Difference between revisions

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Gwilthyunman (talk | contribs)
mNo edit summary
Cucundoweh (talk | contribs)
m Penyuntingan Terakhir...
 
(3 intermediate revisions by 2 users not shown)
Line 1: Line 1:
==Stratocaster, Teh Merah==
<div align=justify><span style="font-family: Maiandra GD; font-size:110%">
Saat sekolah usai, Mafuyu menghilang dari ruang kelas dalam sekejap mata. Sejak dia pindah ke sini, keberadaannya menjadi misteri terbesar Kelas Ketiga Tahun Pertama.
== '''Stratocaster, Teh Merah''' ==


“Sepatunya masih ada di rak, jadi kurasa dia tidak langsung pulang ke rumah.”


“Ketua, kemarin kau pulang jam berapa?”
Saat sekolah usai, Mafuyu langsung menghilang dari ruang kelas. Sejak kepindahannya kemari, keberadaan dirinya sepulang sekolah telah menjadi misteri terbesar Kelas 1-3.


“Hmm—sekitar jam lima.
"Sepatunya masih ada di rak, jadi kurasa ia tidak langsung pulang ke rumah."


“Aku melihat Mafuyu di dekat ruang guru.”
"Ketua, kemarin kamu pulang jam berapa?"


Homeroom akan segera dimulai, tapi Mafuyu tidak terlihat dimanapun. Sekelompok gadis sudah berkumpul di sekitar mejanya (yang mana berada di sampingku), dan bertukar informasi yang mereka miliki di antara mereka sendiri. Berhentilah mencampuri urusan orang lain!
"Hmm— sekitar jam lima."


“Aku pikir dia suka menggambar karena dia memiliih senirupa sebagai mata pelajaran pilihan, jadi aku mencobanya mengajaknya bergabung ke klub seni...... tapi dia kabur setelah mengatakan hal aneh padaku. Apa maksudnya itu!”
"Aku sempat melihat Mafuyu di dekat ruang guru."


“Ngomong-ngomong, gadis itu tidak melakukan apapun saat pelajaran kan? Yang dia lakukan cuma membuka buku gambarnya dan membiarkannya! Apa ada yang salah dengan otaknya?”
Sesi bimbingan kelas akan segera dimulai, tapi keberadaan Mafuyu masih belum terlihat. Sekelompok anak perempuan sudah berkumpul di sekitar mejanya — yang berada di sebelahku — dan saling bertukar informasi hanya untuk kalangan mereka sendiri. Berhentilah mencampuri urusan orang lain!


“Dia seharusnya memilik musik saja. Dia juga membuat masalah bagi para guru kan?
"Kupikir ia suka menggambar karena memilih Seni Rupa sebagai mata pelajaran pilihan, jadi aku coba mengajaknya untuk bergabung ke Klub Seni .... Tapi ia kabur setelah mengatakan hal aneh padaku. Apa-apaan itu?!"


Semua penilaian tentang Mafuyu merosot semakin ke bawah saat mereka terus berbicara, meski hal sepeti itu sudah terduga.
"Omong-omong, anak itu tidak melakukan apa-apa selama jam pelajaran, 'kan? Yang dilakukannya cuma membuka buku gambar dan meletakkannya begitu saja! Apa ada yang salah dengan otaknya?"


“Maniak, apa kau tahu sesuatu mengenainya?
"Harusnya ia memilih Musik saja. Ia juga sudah sering membuat masalah bagi para guru, 'kan?"


Mereka tiba-tiba membuatku bergabung dengan pembicaraan mereka.
Semua penilaian tentang Mafuyu semakin merosot tajam sejalan dengan berlanjutnya pembicaraan mereka, walau hal demikian itu sudah bisa ditebak.


“Bisakah kalian tidak memanggilku seperti itu......”
"Maniak, apa ada yang kamu tahu tentangnya?"


“Lalu bagaimana kalau ‘Kritikus Ekslusif Mafuyu’?”
Tiba-tiba aku dilibatkan dalam pembicaraan mereka.


“Wow, kedengaran seperti penguntit.
"Bisa tidak, kalian tidak memanggilku dengan sebutan itu ...."


“Aku juga tidak mau dipanggil begitu.”
"Bagaimana kalau ''Kritikus Ekslusif Mafuyu''?"


“Terus bagaimana kalau aku gabungkan keduanya jadi ‘Maniak Kritikus’?”
"Wah, kedengarannya seperti penguntit."


“Jangan asal menggabungkan kata seenaknya!” Karena fitnah tanpa dasar Mafuyu, aku menghadapi krisis dalam hidupku. “Kami cuma bertemu sekali sebelum sekolah dimulai, jadi aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya.
"Aku juga tidak mau dipanggil begitu."


Kenapa mereka menatapku dengan pandangan tidak percaya!
"Terus bagaimana kalau keduanya digabung, jadi, ''Kritikus Maniak''?"


Bel mulai berbunyi, tapi Mafuyu masih belum masuk kelas, dan Chiaki juga belum datang, seperti biasa. Sepertinya dia berlatih drum di suatu tempat setiap pagi. Keuntungan menjadi drummer adalah kau bisa berlatih hampir dimana saja, asal kau punya sepasang stick drum, sebuah metronom dan sekumpulan majalah tua.
"Jangan seenaknya menggabung-gabungkan kata!" berkat fitnah Mafuyu yang tidak berdasar itu, aku pun menjalani masa suram dalam hidupku. "Kami cuma satu kali bertemu, itu pun sebelum masuk SMA, jadi aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya."


Saat bel berhenti berdentang dan guru mulai menutup buku hadir, pintu belakang kelas tiba-tiba terbuka.
Kenapa mereka malah menatapku dengan pandangan tidak percaya?!


“Aku aman! Aku aman kan?” Chiaki berteriak sambil berlari ke dalam kelas, dan karena suatu alasan, dia menarik Mafuyu bersamanya. Mafuyu yang pendiam menunjukkan ekspresi galak, dan mengibas-lepas tangan Chiaki yang menggengam tangannya.
Bel mulai berbunyi, tapi Mafuyu masih belum masuk ke kelas, dan seperti biasanya, Chiaki juga belum datang. Sepertinya, setiap pagi ia berlatih bermain drum di suatu tempat. Keuntungan menjadi seorang penabuh drum adalah bisa berlatih hampir di mana saja, asal punya sepasang stik drum, sebuah metronom dan sekumpulan majalah tua.


Guru kami lumayan baik, dan berkata pada mereka,”Aku tidak akan menganggap kalian berdua telat, jadi segera duduk di kursi kalian masing-masing.” Kalau Chiaki sendirian, guru kami mungkin tanpa ragu akan menganggapnya telat.
Bel pun berhenti berbunyi, tapi di saat sensei hendak menutup buku hadir, pintu belakang kelas tiba-tiba terbuka.


“Maaf, pinjami catatanmu sebentar. Aku akan menyalinnya dengan cepat.
"Masih sempat! Aku masih sempat, 'kan?" teriak Chiaki sambil berlari masuk ke kelas. Tanpa alasan yang jelas, ia menarik Mafuyu bersamanya. Mafuyu yang terdiam menunjukkan wajah kesal, dan berusaha melepas genggaman tangan Chiaki yang mencengkeramnya.


Chiaki merebut buku catatanku sesudah duduk.
Guru kami sebetulnya orang yang baik, pada mereka berdua beliau berkata. "Sensei tidak akan anggap kalian telat, segeralah duduk di kursi kalian masing-masing," kalau cuma Chiaki saja yang telat, sensei mungkin tidak akan ragu mencap telat pada daftar hadirnya.


Aku melihat ke punggungnya saat dia menyalin catatanku dengan cepat, dan bertanya dengan suara pelan,”Dari mana kalian berdua?”
"Maaf, pinjami catatanmu sebentar. Akan kusalin dengan cepat."


“Aku berlatih di koridor lantai tiga, dan aku melihat Mafuyu. Sepertinya dia tersesat.”
Chiaki merebut buku catatanku sesudahnya ia duduk.


“Aku tidak tersesat......” Mafuyu bergumam. Aku diam-diam menatap sekilas ke arahnya – dia sepertinya sedikit marah, dan wajahnya juga agak memerah. Itu artinya...... gadis ini sebenarnya buta arah? Sekolah ini memang agak besar, tapi tetap saja aneh kan tersesat saat menuju kelasmu sendiri?
Kutatap punggungnya saat ia menyalin catatanku dengan menggebu-gebu, lalu kutanyakan dengan suara pelan. "Kalian berdua dari mana?"


“Aku mengambil jalan memutar ke ruang musik, dan saat aku kembali......”
"Aku berlatih di koridor lantai tiga, lalu kulihat ada Mafuyu. Sepertinya ia tersesat."


“Baiklah, aku akan segera memulai pelajaran, jadi kalian berdua hentikan obrolan kalian,” bentak guru itu, dan teman sekelas kami tertawa tertahan.
"Aku enggak tersesat ...," gumam Mafuyu. Aku diam-diam menatap sekilas ke arahnya — ia tampak sedikit marah, wajahnya pun agak memerah. Apa artinya ... gadis ini ternyata buta arah? Sekolah ini memang cukup luas, tapi tetap saja aneh jika tersesat saat menuju kelas sendiri, ya 'kan?


Ruang musik? Kenapa di sana? Keraguanku cuma bertahan sebentar sih, karena guru memintaku menjawab pertanyaan di tugas kami. Karenanya, satu-atunya hal yang bisa kulakukan adalah memusatkan diri mengambil kembali buku catatanku dari Chiaki.
"Aku mengambil jalan memutar menuju ruang musik, dan saat aku kembali ...."


Seperti biasa, aku kabur dari usaha Chiaki menarikku ke klubnya seusai sekolah. Aku berjalan turun ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang kupinjam, sebelum berjalan menuju arah ruang kelas yang tidak terpakai di belakang bangunan utama sekolah. Saat aku berbelok melewati pojok bangunan dan melihat cerobong asap pembakaran, suara lembut gitar elektrik mengalir ke telingaku.
"Baik, Sensei akan mulai pelajarannya, jadi berhenti dulu mengobrolnya," tegur sensei, dan teman sekelas kami pun menahan tawanya.


Suara itu berasal dari ruang kelas yang kugunakan. Dan aku tiba-tiba berfikir: apa aku meninggalkan ruang itu dengan CD masih diputar? Sial! Tapi saat aku berjalan mendekati pintu dan mendengarkan, aku menyadari kalau bukan itu yang terjadi. Dari dalam ruang kelas, keluar nada yang belum pernah kudengar sebelumnya, tapi sangat akrab dengan melodi itu di saat yang bersamaan.
Ruang musik? Untuk apa ke sana? Kebimbanganku tidak bertahan lama, karena sensei memintaku menjawab pertanyaan yang ada di PR kami. Maka dari itu, satu-satunya yang bisa kulakukan adalah fokus mengambil kembali buku catatanku dari Chiaki.


<Hungarian Rhapsody No. 2> Liszt.
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>


Ini adalah piano solo yang sangat sulit. Saat endearing friska, nadanya akan dibarengi dengan not-not yang dimainkan berulang-ulang dengan kecepatan tinggi; terlebih, yang aku dengarkan adalah versi gitarnya. Apa ini? Aku tidak punya CD yang sehebat itu..... tidak, tunggu, ini dimainkan langsung – jadi ada seseorang memainkanya saat ini, dengan gitar elektrik yang terpasang dengan amplifier yang aku modifikasi.
Seperti biasa, saat sekolah usai, aku menghidar dari upaya Chiaki yang memaksaku untuk bergabung ke klubnya. Aku berjalan turun ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang kupinjam, lalu menuju ke arah ruang kelas tidak terpakai yang ada di belakang gedung utama sekolah. Saat berbelok melewati pojok gedung — yang cerobong asap pembakarannya terlihat jelas — suara gitar listrik yang teredam terdengar sampai ke telingaku.


Suara itu berasal dari ruang kelas yang selama ini kugunakan. Mendadak terlintas di pikiranku: Apa aku meninggalkan ruangan itu dalam keadaan CD masih diputar? Sial! Tapi saat kudekati pintu dan mendengarkannya baik-baik, kusadari kalau ternyata aku salah sangka. Dari dalam ruang kelas, terdengar nada yang belum pernah kudengar sebelumnya, tapi di saat bersamaan, melodi itu sungguh tidak asing bagiku.


Mau tidak mau, aku merinding. Tidak mungkin nada seperti ini dimainkan satu orang sendirian, meski dia memiliki empat tangan. Akan tetapi, melodi yang masuk ketelingaku jelas-jelas berasal dari satu gitar. Jadi siapakah orang ini......?
<Rapsodi Orang Hongaria No. 2> gubahan Liszt.


Aku meraih pegangan pintu.
Sebuah permainan solo piano yang sangat sulit. Selama ''friska''<ref>Friska adalah bagian cepat dari Csárdás yang merupakan tarian daerah asal Hungaria, yang juga hampir sering ditemukan pada Hungarian Rhapsody gubahan Liszt, di mana bentuknya pun mengambil dari tarian tersebut.</ref> yang memanjakan telinga, nadanya dibarengi dengan not-not yang dimainkan berulang-ulang pada kecepatan tinggi; terlebih, yang kudengarkan adalah versi gitarnya. Apa-apaan ini? Aku tidak punya CD yang sehebat itu .... Eh, tunggu, ini dimainkan secara langsung — berarti saat ini ada seseorang yang memainkannya dengan gitar listrik yang terpasang pada amplifier yang sudah kumodifikasi.


Saat itu, piano besar yang terkubur dalam tempat pembuangan muncul di kepalaku.
Aku hanya bisa merinding. Tidak mungkin nada seperti itu dimainkan seorang diri, meski ia punya empat tangan sekalipun. Akan tetapi, melodi yang masuk ke telingaku ini jelas-jelas berasal dari satu gitar. Jadi, siapa yang memainkannya ...?


Aku mendorong pegangannya turun secara diagonal, dan memutarnya di saat yang bersamaan. *Kacha*—sebuah logam yang teredam terdengar, dan aku bisa merasakan sensasi kunci terlepas melalui tanganku. Saat aku membuka pintu, musik itu berhenti dengan bunyi berdecit.
Kuraih pegangan pintu.


Mafuyu duduk di meja panjang dan menatapku dengan ekpresi terkejut. Gitar dipernis miliknya hampir jatuh dari kakinya. Aku rasa ekspresiku saat itu hampir sama dengannya.
Saat itu, ingatan tentang piano besar yang terkubur dalam tempat pembuangan muncul kembali di ingatanku.


Kenapa—Mafuyu ada di sini? Di ruang kelasku (yang aku gunakan tanpa ijin), dan memegang sebuah gitar? Apa sih yang sebenarnya terjadi di sini? Kapan dan bagaimana mimpi ini dimulai? Mungkinkah, semua yang terjadi sejak pertemuanku dengannya saat liburan musim semi hanyalah mimpi—
Kudorong pegangannya turun secara diagonal, dan memutarnya di saat yang bersamaan. ''*Kacha*'' — bunyi logam yang teredam pun terdengar, dan aku bisa merasakan sensasi kunci yang terlepas itu melalui tanganku ini. Saat aku membuka pintu, musik itu berhenti dengan suara berdecit.


...... Kenapa?”
Mafuyu duduk di meja panjang dan menatapku dengan ekpresi terkejut. Gitar pernisan miliknya hampir jatuh dari pahanya. Kurasa ekspresiku saat itu hampir serupa dengan ekspresinya.


Mafuyu mulai tersadar sedikit lebih cepat dan bicara duluan. Aku juga melangkah mundur sedikit dalam keterkejutan.
Kenapa bisa — Mafuyu ada di sini? Di ruang kelasku (yang kugunakan tanpa izin), sambil memegang sebuah gitar? Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Kapan dan bagaimana mimpi ini dimulai? Mungkinkah, semua yang terjadi sejak pertemuanku dengannya saat libur musim semi hanyalah sebuah mimpi—


“Eh? Ah, gak.......tunggu, hentikan, kau bisa membunuhku kalau kau memukulku dengan gitarmu itu!”
"... kenapa?"


Wajah mafuyu bersemu merah, dan dia mengayunkan Statocaster yang agak berat miliknya itu ke arahku saat dia mengejarku. Aku membanting pintu menutup agar bisa kabur darinya.
Mafuyu mulai tersadar sedikit lebih cepat dan duluan bicara. Aku pun sedikit mundur ke belakang karena kaget.


...... Kenapa kau ada di sini? Maniak! Penguntit!
"Eh? Ah, enggak .... Tunggu, hentikan, bisa mati aku kalau kamu hantam dengan gitarmu itu!"


Jeritan Mafuyu terdengar dari celah pintu. Tunggu, seharusnya aku yang menanyakan pertanyaan itu!
Wajah mafuyu sudah memerah. Sambil mengejarku, ia ayunkan Statocaster miliknya yang agak berat itu ke arahku. Kubanting pintu saat menutupnya agar bisa kabur dari Mafuyu.


“Aku sudah menggunakan ruang kelas ini dari awal, jadi kenapa kau masuk seenaknya?” meski aku juga menggunakannya tanpa ijin......
"... kenapa kamu ada di sini? Dasar Maniak! Penguntit!"


“Aku...... aku sudah mendapat ijin dari Miss Mukoujima.
Jeritan Mafuyu terdengar dari celah pintu. Tunggu, seharusnya akulah yang menanyakan pertanyaan itu!


“Eh?
"Sejak awal, ruang kelas ini memang sudah kupergunakan, jadi kenapa kamu malah masuk seenaknya?" yah, walau aku juga menggunakannya tanpa izin ....


Miss Mukoujima Maki, meski semua orang memanggilnya Maki. Dia guru musik yang masih muda dan dianggap mudah bergaul dan menakutkan di saat bersamaan. Begitu ya, jadi itu alasannya pergi ke ruang musik pagi tadi? Tidak, tunggu, kenapa dia diijinkan menggunakan ruang kelas? Jadi itu berarti kalau aku meminta ijin pada guru, aku juga boleh menggunakan ruang kelas?
"Aku ..., aku sudah dapat izin dari Mukoujima-sensei."


“Cepat enyah dari sini!”
"Hah?"


Dia mengatakan hal itu, tapi aku sudah memindahkan setumpuk besar CD ku, memperlengkap komponen amplifier, dan bahkan mempersiapkan beberapa bantal – aku sudah menghabiskan banyak tenaga untuk membuat ruang kelas itu senyaman mungkin! Meski kau ingin aku menghilang, aku tidak bisa mengharapkanku berkata,”Baiklah kalau begitu” dan pergi sesuai perintah!
Mukoujima Maki-sensei, meski kadang ada yang memanggilnya Maki-chan. Beliau guru Musik yang masih muda dan dianggap mudah bergaul sekaligus tegas di saat bersamaan. Begitu rupanya, jadi itu sebabnya Mafuyu beralasan pergi ke ruang musik pagi tadi? Eh, tunggu, kenapa ia diizinkan menggunakan ruang kelas ini? Itu berarti, kalau aku meminta izin pada guru, apa aku juga boleh menggunakan ruang kelas ini?


“...... Eh, apa yang terjadi? Kenapa guru......”
"Cepat enyah dari sini!"


Dia tidak menjawab, melainkan sebuah suara seperti cakaran kuku raksasa pada dinding terdengar – itu adalah suara arus balik gitar elektrik. Hentikan, kalau tidak amplifiernya akan rusak!
Itulah yang dikatakannya, padahal aku sudah memindahkan setumpuk besar CD-ku, melengkapi komponen ''amplifier'', bahkan mempersiapkan beberapa alas duduk — sudah kuhabiskan banyak tenaga untuk membuat ruang kelas ini agar menjadi senyaman mungkin! Meski ia ingin aku enyah dari sini, jangan harap aku akan berkata, ''Baiklah kalau begitu''. Lalu pergi sesuai perintahnya!
 
"... eh, apa-apaan itu? Bisa-bisanya sensei ...."
 
Ia tidak menjawab. Yang terdengar justru suara seperti kuku raksasa yang sedang mencakar tembok — ternyata itu suara ''feedback'' dari gitar listrik. Cepat hentikan, kalau tidak ''amplifier''-nya bisa rusak!


Yang bisa kulakukan cuma mendesah dan menjauh dari pintu ruang kelas.
Yang bisa kulakukan cuma mendesah dan menjauh dari pintu ruang kelas.


Kembali ke bangunan sekolah, gelombang kemarahan berkembang dalam diriku saat aku berjalan di koridor. Tempat itu adalah daerah kekuasaanku – dia datang belakangan, tapi dia berada di sana, duduk dengan nyaman. Siapa yang bisa menerimanya? Kalau begitu, aku akan mengeluh pada Miss Maki. Akan tetapi, kemarahanku menghilang saat aku mendekati pintu ruang persiapan musik. Sebuah poster Ohtsuki Kenji ditempel di pintu geser – mungkinkah Miss Maki adalah penggemar band rock Kinniku Shoujo Tai? Terus, memangnya tidak apa-apa baginya menempel poster semacam itu terang-terangan di pintu masuk ruang guru?
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>


Aku berlomba saling-tatap dengan Ohtsuki Kenji saat aku mencoba menenangkan diri. Aku bisa mendengar samar-samar melodi yang menenangkan dari sebuah konser band yang berlatih di ruang sebelah – memainkan sebuah musik background dari simulasi game <Take the ‘A’ train>.
Kembali ke gedung sekolah, gelombang kemarahan dalam diriku bergejolak saat berjalan menyusuri koridor. Tempat itu adalah daerah kekuasaanku — ia datang belakangan, tapi ia sudah ada di sana sambil duduk dengan santainya. Mana bisa aku terima? Kalau begitu, aku mau protes sama Maki-sensei. Tapi entah kenapa, kemarahanku mereda saat kudekati pintu ruang persiapan musik. Sebuah poster Ohtsuki Kenji ditempel di pintu geser — mungkinkah sensei adalah penggemar band rock Kinniku Shoujo Tai? Terus, apa tidak jadi masalah bagi beliau jika terang-terangan menempel poster semacam itu di pintu masuk ruang guru?


Tidak peduli apa katamu, kau juga menggunakan ruang kelas tanpa ijin—kalau aku komplain pada Miss Maki, aku juga akan kena masalah.
Aku beradu tatap dengan Ohtsuki Kenji saat berusaha menenangkan diri. Bisa kudengar samar-samar melodi santai dari latihan sebuah konser band di ruang sebelah — sebuah musik latar dari game simulasi <Take the 'A' train>.


Mmm, meskipun begitu, kalau kau mau aku mundur begitu saja seperi itu, kalau begitu—
Tidak peduli ia mau bilang apa, ia juga menggunakan ruang kelas tanpa izin — kalau aku protes pada sensei, nanti aku bisa kena masalah.


“Ya? Kau mencariku?”
Hmm, meskipun begitu, kalau ia mau supaya aku menyerah begitu, yah—


Aku melompat kaget dari sebuah suara yang tiba-tiba muncul di belakangku, dan keningku membentur wajah Ohtsuki Kenji. Aku memutar kepalaku, dan melihat Miss Maki berdiri di belakangku dengan senyum ringan di wajahnya. Dia mengenakkan blus putih dan rok mini – dan karena dia begitu cocok dengan pakaian semacam itu, murid-murid diam-diam memanggilnya ‘Guru Erotis’.  Dia adalah alasan murid cowok tahun pertama yang memilih senirupa atau kaligrafi sebagai mata pelajaran pilihan hidup dalam penyesalan. Akan tetapi, sesudah mengikuti pelajarannya, justru murid cowok yang memilih musik sebagai mata pelajaran pilihanlah memiliki penyesalan lebih dalam sekarang.
"Ya? Kamu mencari Sensei?"


“Eh? Ah, bukan apa-apa.
Aku melompat kaget, bersamaan dengan suara yang mendadak muncul dari belakangku, keningku pun membentur wajah Ohtsuki Kenji. Aku menoleh ke belakang, dan melihat Maki-sensei sudah berdiri di belakangku sambil sedikit tersenyum. Beliau mengenakan blus putih dipadu dengan rok mini, dan karena beliau begitu cocok dengan pakaian semacam itu, para murid diam-diam menjulukinya ''Guru Erotis''. Beliaulah alasan kenapa murid kelas satu khususnya lelaki yang memilih Seni Rupa atau Kaligrafi sebagai mata pelajaran pilihan, menjalani hidupnya dengan penyesalan. Meski begitu, seusai mengikuti pelajaran beliau, justru murid lelaki yang memilih Musik sebagai mata pelajaran pilihanlah yang akhirnya lebih menyesal.


“Tidak apa-apa, masuk saja. Aku sedang ingin minum teh. Kau mau menemaniku?”
"Eh? Ah, bukan apa-apa."


Dengan itu, Miss Maki menyeretku masuk ruang persiapan.
"Jangan khawatir, masuk saja. Sensei juga sedang ingin minum teh. Mau temani Sensei?"


Ruang persiapan musik hanya berukuran setengah dari ruang kelas biasa. Karena ada sebuah rak yang dipenuhi lembaran not musik, dan juga sebuah piano biasa, tempat ini cukup penuh sesak.
Dengan itu, beliau pun menyeretku masuk ke ruang persiapan.


“Oh, ada air panas di teko, dan kantung tehnya ada di laci. Juga, potong kue madunya sekalian.
Ruang persiapan musik hanya berukuran setengah dari ruang kelas biasa. Karena ada sebuah rak yang dipenuhi lembaran not musik serta sebuah piano biasa, tempat ini pun jadi cukup sesak.


Jadi kau menyerahkan semuanya padaku?
"Oh, ada air panas di teko, terus kantung tehnya ada di laci. Lalu, potong kue madunya sekalian, ya."


“Ah, secangkir teh sudah cukup, dan potong kuenya menjadi tiga bagian.”
Jadi semuanya aku yang kerjakan, nih?


“Eh? Miss Maki tidak minum?”
"Ah, tehnya satu cangkir saja, lalu potong kuenya jadi tiga bagian."


“Apa yang kau katakan? Itu untukku, tentu saja. Aku tidak pernah bilang kalau kau juga dapat.”
"Eh? Sensei tidak minum?"


Apa lagi yang bisa kukatakan?
"Kamu ini bicara apa? Teh itu jelas untuk Sensei. Tidak ada yang bilang kalau itu untuk dirimu."


“Kalau kau benar-benar mau minum teh bagaimanapun juga, aku bisa mengijinkanmu menghisap kantung teh yang sudah tidak berasa itu.”
Yah, aku harus berkata apa lagi?


Tidak terima kasih. Ahh, aku mau pulang sajalah......
"Kalau kamu sebegitunya mau minum teh, hisap saja ampas kantung tehnya. Sensei bolehkan, kok."


Miss Maki menepuk punggungku dan berkata kalau itu cuma lelucon. Aku akhirnya bisa duduk di kursi saat aku menyelesaikan dua porsi teh dan kue. Tepat saat itu, Miss Maki tiba-tiba berkata,
Tidak, terima kasih. Ah, aku pulang saja, deh ....


“Kau di sini bermaksud membicarakan tentang ruang musik kan?”
Sensei lalu menepuk punggungku dan berkata kalau itu cuma lelucon. Aku akhirnya bisa duduk di kursi setelah menyiapkan dua porsi teh dan kue. Tepat saat itu, sensei tiba-tiba berkata.


"Kamu kemari mau membahas soal ruang musik di gedung itu, 'kan?"


Aku hampir menyemburkan teh yang baru kuseruput.
Aku hampir menyemburkan teh yang baru kuseruput.


“Ba-bagaimana kau tahu?
"Ba-bagaimana Sensei bisa tahu?"


“Ara ara. Aku sudah tahu semuanya. Seperti bagaimana kau sudah menggunakan ruang kelas tanpa ijin selama dua minggu; bagaimana kau memodifikasi CD player untuk mencolokkannya dengan input device external; atau bagaimana kau sudah memperbaiki kabel penerima radio...... dan bagaimana bantalnya sangat nyaman untuk diduduki......”
"Wah, kamu ini. Sensei sudah tahu semuanya, kok. Contohnya tentang kamu yang telah menggunakan ruang kelas tanpa izin selama dua minggu; bagaimana kamu memodifikasi pemutar CD agar bisa dihubungkan ke perangkat audio luar; atau tentang kamu yang telah memperbaiki kabel penerima radio ..., juga tentang alas duduk di sana, yang sangat nyaman ketika diduduki ...."


"Ahh ....!"


“Ahhhhhhhhhhhhh!”
[[Image:SP1 0061.JPG|250px|thumbnail]]


Aku benar-benar mempertimbangkan apakah aku seharusnya bersembunyi saja di bawah meja atau semacamnya. Tunggu dulu, kalau aku melakukannya, aku akan dibantai Miss Maki.
Aku jadi berpikir apa aku seharusnya bersembunyi saja di bawah meja atau semacamnya. Tunggu dulu, kalau aku melakukannya, bisa-bisa nanti aku dibantai.


“Tapi karena kau membersihkan tempat itu dengan sangat baik, aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula aku satu-satunya yang tahu.
"Tapi karena kamu membersihkan tempat itu dengan begitu teliti, Sensei pura-pura saja tidak melihatnya. Lagi pula, cuma Sensei saja satu-satunya orang yang tahu."


“Maaf maaf, aku tidak akan melakukannya lagi.
"Maaf, maaf, saya tidak akan melakukannya lagi."


“Karena Mafuyu bisa langsung menggunakannya begitu saja, waktunya sangat tepat.
"Karena Mafuyu bisa langsung mempergunakannya, jadi Sensei rasa itu kebetulan sekali."


Aku melepaskan tanganku yang memeluk kepalaku, dan menatap wajah Miss Maki.
Kulepaskan kedua tangan yang melindungi kepalaku, lalu menatap wajah sensei.


Dia berkata sambil tertawa,”Kau ingin mengeluhkan hal itu kan?
Beliau lalu berkata sambil tertawa. "Kamu mau protes tentang hal itu, 'kan?"


“Tidak...... lagipula aku tidak dalam posisi untuk mengeluh.
"Tidak .... Lagi pula saya tidak dalam posisi mau protes, kok."


“Tidak apa-apa bagiku kalau kau ingin menggunakannya. Aku tidak bisa menolakmu sesudah memberi Mafuyu ijin spesial untuk menggunakan ruang itu. Kalian berdua harus mencoba berhubungan baik satu sama lain.
"Tidak masalah bagi Sensei kalau kamu juga mau menggunakannya. Asalkan Mafuyu sudah memberi izin khusus padamu, Sensei tidak akan keberatan. Kalian berdua mestinya saling mencoba akrab satu sama lain."


“Tidak, itu tidak mungkin.
"Tidak, sepertinya itu mustahil."


Ngomong-ngomong, aku benar-benar bingung mengenai situasinya.
Bicara soal itu, aku benar-benar bingung mengenai situasinya.


“Mungkinkah, Miss Maki dan Mafuyu sudah saling kenal?
"Jangan-jangan, Sensei dan Mafuyu sudah saling kenal, ya?"


“Ya. Aku adalah murid ayahnya, dan dulu aku sering bermain dengan Mafuyu setiap waktu.
"Ya. Sensei dulu pernah jadi murid ayahnya, dan dulu Sensei sering sekali bermain bersama Mafuyu."


Ekspresi Miss Maki sedikit kesepian.
Ekspresi sensei tampak sedikit kesepian.


“Sedangkan Mafuyu...... sesuatu terjadi, dan dia akhirnya pindah ke sekolah ini. Dia mengatakan padaku dia ingin sebuah ruangan yang bisa dia gunakan sendiri. Memang ini keinginan putri Kepala Sekolah yang sedikit memaksa, tapi karena dia tidak membuat masalah bagi siapapun......
"Sedangkan Mafuyu ..., ada sesuatu yang telah terjadi, hingga akhirnya ia pindah ke sekolah ini. Ia bilang pada Sensei kalau ia ingin sebuah ruangan yang bisa ia gunakan sendiri. Itu memang permintaan egois dari seorang putri kepala sekolah, tapi karena ia tidak membuat masalah bagi siapa pun, jadinya ...."


“Jadi begitu......” Jadi para guru diam-diam sudah menyetujuinya.
"Oh, begitu ...," jadi para guru diam-diam sudah menyetujuinya.


“Jadi kau bisa mengguanakan ruang itu juga, kalau kau mau berbagi dengan Mafuyu.
"Jadi, kamu juga bisa menggunakan ruang tersebut, itupun kalau kamu mau berbagi dengan Mafuyu."


Jadi pada akhirnya, akulah yang diusir keluar!
Jadi pada akhirnya, akulah yang diusir keluar!


“Tapi, kenapa dia memainkan gitar? Aku dengar dia tidak lagi bermain piano, apa itu benar? Dia sebenarnya akan masuk Universitas Musik kan? Kenapa dia pindah ke sekolah ini?
"Tapi, kenapa ia memainkan gitar? Saya dengar ia tidak lagi bermain piano, apa itu benar? Ia sebenarnya mau masuk ke Sekolah Musik, 'kan? Lalu kenapa ia malah pindah ke sekolah ini?"
 
"Sensei tidak bisa mengatakannya padamu ...," ekspresi sensei segera berubah jadi serius. "... lagi pula, ia sendiri tidak ingin ada orang lain yang tahu. Sejujurnya ..., menurut Sensei, akan lebih baik kalau ia tidak melakukan hal itu, namun pada akhirnya, keputusan tetap ada di tangan Mafuyu sendiri."
 
Aku tidak mengerti sedikit pun tentang yang sedang sensei bahas di sini, dan Mafuyu juga tidak menjelaskan apa pun padaku.
 
Karenanya, masalah terbesar bagiku saat ini adalah tentang apa yang harus kulakukan dengan ruang kelas tersebut. Kalau masalahnya adalah pihak sekolah tahu kalau aku menggunakan ruang kelas itu tanpa izin, lalu dengan keras melarangku untuk mempergunakannya lagi, maka aku dengan ikhlas merelakannya. Akan tetapi, kalau aku harus duduk di samping Mafuyu sambil mendengarkan CD-ku sementara ia bermain gitar, biar bagaimanapun caranya, jelas tidak mungkin bisa aku melakukannya!
 
"Kenapa kamu tidak mencoba bicara padanya? Siapa tahu kalian bisa saling berbagi ruang kelas bersama, ya 'kan?"
 
"Saya sudah coba bicara, tapi ia malah berusaha membunuh saya dengan hantaman gitarnya."


“Aku tidak bisa memberitahukannya padamu......” ekspresi Miss Maki segera berubah serius. “...... Lagipula, dia sendiri tidak ingin orang lain tahu. Sejujurnya...... Aku pikir sebaiknya dia tidak melakukan hal itu, dan pada akhirnya, keputusan ada di tangan Mafuyu.”
"Kamu itu terlalu cepat menyerah! Anak muda macam apa itu?"


Aku tidak mengerti sedikitpun apa yang terjadi di sini, dan Mafuyu juga tidak menjelaskan apapun padaku.
Seusai rentetan omelan yang tiba-tiba dari Maki-sensei, akhirnya aku pun diizinkan meninggalkan ruang persiapan musik.


Karenanya, masalah terbesar bagiku adalah apa yang harus kulakukan dengan ruang kelas itu. Kalau masalahnya adalah sekolah tahu aku menggunakan ruang kelas itu tanpa ijin, dan dengan marah melarangku menggunakannya lagi, aku pasti akan segera menyerah. Akan tetapi, kalau kau ingin aku duduk di samping Mafuyu dab mendengarkan CD ku sementara dia bermain gitar, tidak mungkin aku bisa melakukannya, tidak peduli bagaimanapun!


“Kenapa kau tidak mencoba bicara padanya, cari tahu apa kalian berdua bisa berbagi ruang kelas?”
<noinclude>


“Tapi dia mencoba memukulku sampai mati dengan gitarnya saat aku mencoba bicara padanya?”
===Catatan Penerjemah===


“Kau menyerah terlalu cepat! Bagaimana mungkin ada anak muda seperti itu?”
<references/>


Sesudah rentetan omelan tiba-tiba dari Miss Maki, aku akhirnya diijinkan meninggalkan ruang persiapan musik.
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
|-
| '''Mundur ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 3|Bab 3]]
| '''Kembali ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia)|Halaman Utama]]
| '''Lanjut ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 5|Bab 5]]
|-
|}
</noinclude>

Latest revision as of 03:35, 5 September 2016

Stratocaster, Teh Merah[edit]

Saat sekolah usai, Mafuyu langsung menghilang dari ruang kelas. Sejak kepindahannya kemari, keberadaan dirinya sepulang sekolah telah menjadi misteri terbesar Kelas 1-3.

"Sepatunya masih ada di rak, jadi kurasa ia tidak langsung pulang ke rumah."

"Ketua, kemarin kamu pulang jam berapa?"

"Hmm— sekitar jam lima."

"Aku sempat melihat Mafuyu di dekat ruang guru."

Sesi bimbingan kelas akan segera dimulai, tapi keberadaan Mafuyu masih belum terlihat. Sekelompok anak perempuan sudah berkumpul di sekitar mejanya — yang berada di sebelahku — dan saling bertukar informasi hanya untuk kalangan mereka sendiri. Berhentilah mencampuri urusan orang lain!

"Kupikir ia suka menggambar karena memilih Seni Rupa sebagai mata pelajaran pilihan, jadi aku coba mengajaknya untuk bergabung ke Klub Seni .... Tapi ia kabur setelah mengatakan hal aneh padaku. Apa-apaan itu?!"

"Omong-omong, anak itu tidak melakukan apa-apa selama jam pelajaran, 'kan? Yang dilakukannya cuma membuka buku gambar dan meletakkannya begitu saja! Apa ada yang salah dengan otaknya?"

"Harusnya ia memilih Musik saja. Ia juga sudah sering membuat masalah bagi para guru, 'kan?"

Semua penilaian tentang Mafuyu semakin merosot tajam sejalan dengan berlanjutnya pembicaraan mereka, walau hal demikian itu sudah bisa ditebak.

"Maniak, apa ada yang kamu tahu tentangnya?"

Tiba-tiba aku dilibatkan dalam pembicaraan mereka.

"Bisa tidak, kalian tidak memanggilku dengan sebutan itu ...."

"Bagaimana kalau Kritikus Ekslusif Mafuyu?"

"Wah, kedengarannya seperti penguntit."

"Aku juga tidak mau dipanggil begitu."

"Terus bagaimana kalau keduanya digabung, jadi, Kritikus Maniak?"

"Jangan seenaknya menggabung-gabungkan kata!" berkat fitnah Mafuyu yang tidak berdasar itu, aku pun menjalani masa suram dalam hidupku. "Kami cuma satu kali bertemu, itu pun sebelum masuk SMA, jadi aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya."

Kenapa mereka malah menatapku dengan pandangan tidak percaya?!

Bel mulai berbunyi, tapi Mafuyu masih belum masuk ke kelas, dan seperti biasanya, Chiaki juga belum datang. Sepertinya, setiap pagi ia berlatih bermain drum di suatu tempat. Keuntungan menjadi seorang penabuh drum adalah bisa berlatih hampir di mana saja, asal punya sepasang stik drum, sebuah metronom dan sekumpulan majalah tua.

Bel pun berhenti berbunyi, tapi di saat sensei hendak menutup buku hadir, pintu belakang kelas tiba-tiba terbuka.

"Masih sempat! Aku masih sempat, 'kan?" teriak Chiaki sambil berlari masuk ke kelas. Tanpa alasan yang jelas, ia menarik Mafuyu bersamanya. Mafuyu yang terdiam menunjukkan wajah kesal, dan berusaha melepas genggaman tangan Chiaki yang mencengkeramnya.

Guru kami sebetulnya orang yang baik, pada mereka berdua beliau berkata. "Sensei tidak akan anggap kalian telat, segeralah duduk di kursi kalian masing-masing," kalau cuma Chiaki saja yang telat, sensei mungkin tidak akan ragu mencap telat pada daftar hadirnya.

"Maaf, pinjami catatanmu sebentar. Akan kusalin dengan cepat."

Chiaki merebut buku catatanku sesudahnya ia duduk.

Kutatap punggungnya saat ia menyalin catatanku dengan menggebu-gebu, lalu kutanyakan dengan suara pelan. "Kalian berdua dari mana?"

"Aku berlatih di koridor lantai tiga, lalu kulihat ada Mafuyu. Sepertinya ia tersesat."

"Aku enggak tersesat ...," gumam Mafuyu. Aku diam-diam menatap sekilas ke arahnya — ia tampak sedikit marah, wajahnya pun agak memerah. Apa artinya ... gadis ini ternyata buta arah? Sekolah ini memang cukup luas, tapi tetap saja aneh jika tersesat saat menuju kelas sendiri, ya 'kan?

"Aku mengambil jalan memutar menuju ruang musik, dan saat aku kembali ...."

"Baik, Sensei akan mulai pelajarannya, jadi berhenti dulu mengobrolnya," tegur sensei, dan teman sekelas kami pun menahan tawanya.

Ruang musik? Untuk apa ke sana? Kebimbanganku tidak bertahan lama, karena sensei memintaku menjawab pertanyaan yang ada di PR kami. Maka dari itu, satu-satunya yang bisa kulakukan adalah fokus mengambil kembali buku catatanku dari Chiaki.

Seperti biasa, saat sekolah usai, aku menghidar dari upaya Chiaki yang memaksaku untuk bergabung ke klubnya. Aku berjalan turun ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang kupinjam, lalu menuju ke arah ruang kelas tidak terpakai yang ada di belakang gedung utama sekolah. Saat berbelok melewati pojok gedung — yang cerobong asap pembakarannya terlihat jelas — suara gitar listrik yang teredam terdengar sampai ke telingaku.

Suara itu berasal dari ruang kelas yang selama ini kugunakan. Mendadak terlintas di pikiranku: Apa aku meninggalkan ruangan itu dalam keadaan CD masih diputar? Sial! Tapi saat kudekati pintu dan mendengarkannya baik-baik, kusadari kalau ternyata aku salah sangka. Dari dalam ruang kelas, terdengar nada yang belum pernah kudengar sebelumnya, tapi di saat bersamaan, melodi itu sungguh tidak asing bagiku.

<Rapsodi Orang Hongaria No. 2> gubahan Liszt.

Sebuah permainan solo piano yang sangat sulit. Selama friska[1] yang memanjakan telinga, nadanya dibarengi dengan not-not yang dimainkan berulang-ulang pada kecepatan tinggi; terlebih, yang kudengarkan adalah versi gitarnya. Apa-apaan ini? Aku tidak punya CD yang sehebat itu .... Eh, tunggu, ini dimainkan secara langsung — berarti saat ini ada seseorang yang memainkannya dengan gitar listrik yang terpasang pada amplifier yang sudah kumodifikasi.

Aku hanya bisa merinding. Tidak mungkin nada seperti itu dimainkan seorang diri, meski ia punya empat tangan sekalipun. Akan tetapi, melodi yang masuk ke telingaku ini jelas-jelas berasal dari satu gitar. Jadi, siapa yang memainkannya ...?

Kuraih pegangan pintu.

Saat itu, ingatan tentang piano besar yang terkubur dalam tempat pembuangan muncul kembali di ingatanku.

Kudorong pegangannya turun secara diagonal, dan memutarnya di saat yang bersamaan. *Kacha* — bunyi logam yang teredam pun terdengar, dan aku bisa merasakan sensasi kunci yang terlepas itu melalui tanganku ini. Saat aku membuka pintu, musik itu berhenti dengan suara berdecit.

Mafuyu duduk di meja panjang dan menatapku dengan ekpresi terkejut. Gitar pernisan miliknya hampir jatuh dari pahanya. Kurasa ekspresiku saat itu hampir serupa dengan ekspresinya.

Kenapa bisa — Mafuyu ada di sini? Di ruang kelasku (yang kugunakan tanpa izin), sambil memegang sebuah gitar? Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Kapan dan bagaimana mimpi ini dimulai? Mungkinkah, semua yang terjadi sejak pertemuanku dengannya saat libur musim semi hanyalah sebuah mimpi—

"... kenapa?"

Mafuyu mulai tersadar sedikit lebih cepat dan duluan bicara. Aku pun sedikit mundur ke belakang karena kaget.

"Eh? Ah, enggak .... Tunggu, hentikan, bisa mati aku kalau kamu hantam dengan gitarmu itu!"

Wajah mafuyu sudah memerah. Sambil mengejarku, ia ayunkan Statocaster miliknya yang agak berat itu ke arahku. Kubanting pintu saat menutupnya agar bisa kabur dari Mafuyu.

"... kenapa kamu ada di sini? Dasar Maniak! Penguntit!"

Jeritan Mafuyu terdengar dari celah pintu. Tunggu, seharusnya akulah yang menanyakan pertanyaan itu!

"Sejak awal, ruang kelas ini memang sudah kupergunakan, jadi kenapa kamu malah masuk seenaknya?" yah, walau aku juga menggunakannya tanpa izin ....

"Aku ..., aku sudah dapat izin dari Mukoujima-sensei."

"Hah?"

Mukoujima Maki-sensei, meski kadang ada yang memanggilnya Maki-chan. Beliau guru Musik yang masih muda dan dianggap mudah bergaul sekaligus tegas di saat bersamaan. Begitu rupanya, jadi itu sebabnya Mafuyu beralasan pergi ke ruang musik pagi tadi? Eh, tunggu, kenapa ia diizinkan menggunakan ruang kelas ini? Itu berarti, kalau aku meminta izin pada guru, apa aku juga boleh menggunakan ruang kelas ini?

"Cepat enyah dari sini!"

Itulah yang dikatakannya, padahal aku sudah memindahkan setumpuk besar CD-ku, melengkapi komponen amplifier, bahkan mempersiapkan beberapa alas duduk — sudah kuhabiskan banyak tenaga untuk membuat ruang kelas ini agar menjadi senyaman mungkin! Meski ia ingin aku enyah dari sini, jangan harap aku akan berkata, Baiklah kalau begitu. Lalu pergi sesuai perintahnya!

"... eh, apa-apaan itu? Bisa-bisanya sensei ...."

Ia tidak menjawab. Yang terdengar justru suara seperti kuku raksasa yang sedang mencakar tembok — ternyata itu suara feedback dari gitar listrik. Cepat hentikan, kalau tidak amplifier-nya bisa rusak!

Yang bisa kulakukan cuma mendesah dan menjauh dari pintu ruang kelas.

Kembali ke gedung sekolah, gelombang kemarahan dalam diriku bergejolak saat berjalan menyusuri koridor. Tempat itu adalah daerah kekuasaanku — ia datang belakangan, tapi ia sudah ada di sana sambil duduk dengan santainya. Mana bisa aku terima? Kalau begitu, aku mau protes sama Maki-sensei. Tapi entah kenapa, kemarahanku mereda saat kudekati pintu ruang persiapan musik. Sebuah poster Ohtsuki Kenji ditempel di pintu geser — mungkinkah sensei adalah penggemar band rock Kinniku Shoujo Tai? Terus, apa tidak jadi masalah bagi beliau jika terang-terangan menempel poster semacam itu di pintu masuk ruang guru?

Aku beradu tatap dengan Ohtsuki Kenji saat berusaha menenangkan diri. Bisa kudengar samar-samar melodi santai dari latihan sebuah konser band di ruang sebelah — sebuah musik latar dari game simulasi <Take the 'A' train>.

Tidak peduli ia mau bilang apa, ia juga menggunakan ruang kelas tanpa izin — kalau aku protes pada sensei, nanti aku bisa kena masalah.

Hmm, meskipun begitu, kalau ia mau supaya aku menyerah begitu, yah—

"Ya? Kamu mencari Sensei?"

Aku melompat kaget, bersamaan dengan suara yang mendadak muncul dari belakangku, keningku pun membentur wajah Ohtsuki Kenji. Aku menoleh ke belakang, dan melihat Maki-sensei sudah berdiri di belakangku sambil sedikit tersenyum. Beliau mengenakan blus putih dipadu dengan rok mini, dan karena beliau begitu cocok dengan pakaian semacam itu, para murid diam-diam menjulukinya Guru Erotis. Beliaulah alasan kenapa murid kelas satu khususnya lelaki yang memilih Seni Rupa atau Kaligrafi sebagai mata pelajaran pilihan, menjalani hidupnya dengan penyesalan. Meski begitu, seusai mengikuti pelajaran beliau, justru murid lelaki yang memilih Musik sebagai mata pelajaran pilihanlah yang akhirnya lebih menyesal.

"Eh? Ah, bukan apa-apa."

"Jangan khawatir, masuk saja. Sensei juga sedang ingin minum teh. Mau temani Sensei?"

Dengan itu, beliau pun menyeretku masuk ke ruang persiapan.

Ruang persiapan musik hanya berukuran setengah dari ruang kelas biasa. Karena ada sebuah rak yang dipenuhi lembaran not musik serta sebuah piano biasa, tempat ini pun jadi cukup sesak.

"Oh, ada air panas di teko, terus kantung tehnya ada di laci. Lalu, potong kue madunya sekalian, ya."

Jadi semuanya aku yang kerjakan, nih?

"Ah, tehnya satu cangkir saja, lalu potong kuenya jadi tiga bagian."

"Eh? Sensei tidak minum?"

"Kamu ini bicara apa? Teh itu jelas untuk Sensei. Tidak ada yang bilang kalau itu untuk dirimu."

Yah, aku harus berkata apa lagi?

"Kalau kamu sebegitunya mau minum teh, hisap saja ampas kantung tehnya. Sensei bolehkan, kok."

Tidak, terima kasih. Ah, aku pulang saja, deh ....

Sensei lalu menepuk punggungku dan berkata kalau itu cuma lelucon. Aku akhirnya bisa duduk di kursi setelah menyiapkan dua porsi teh dan kue. Tepat saat itu, sensei tiba-tiba berkata.

"Kamu kemari mau membahas soal ruang musik di gedung itu, 'kan?"

Aku hampir menyemburkan teh yang baru kuseruput.

"Ba-bagaimana Sensei bisa tahu?"

"Wah, kamu ini. Sensei sudah tahu semuanya, kok. Contohnya tentang kamu yang telah menggunakan ruang kelas tanpa izin selama dua minggu; bagaimana kamu memodifikasi pemutar CD agar bisa dihubungkan ke perangkat audio luar; atau tentang kamu yang telah memperbaiki kabel penerima radio ..., juga tentang alas duduk di sana, yang sangat nyaman ketika diduduki ...."

"Ahh ....!"

Aku jadi berpikir apa aku seharusnya bersembunyi saja di bawah meja atau semacamnya. Tunggu dulu, kalau aku melakukannya, bisa-bisa nanti aku dibantai.

"Tapi karena kamu membersihkan tempat itu dengan begitu teliti, Sensei pura-pura saja tidak melihatnya. Lagi pula, cuma Sensei saja satu-satunya orang yang tahu."

"Maaf, maaf, saya tidak akan melakukannya lagi."

"Karena Mafuyu bisa langsung mempergunakannya, jadi Sensei rasa itu kebetulan sekali."

Kulepaskan kedua tangan yang melindungi kepalaku, lalu menatap wajah sensei.

Beliau lalu berkata sambil tertawa. "Kamu mau protes tentang hal itu, 'kan?"

"Tidak .... Lagi pula saya tidak dalam posisi mau protes, kok."

"Tidak masalah bagi Sensei kalau kamu juga mau menggunakannya. Asalkan Mafuyu sudah memberi izin khusus padamu, Sensei tidak akan keberatan. Kalian berdua mestinya saling mencoba akrab satu sama lain."

"Tidak, sepertinya itu mustahil."

Bicara soal itu, aku benar-benar bingung mengenai situasinya.

"Jangan-jangan, Sensei dan Mafuyu sudah saling kenal, ya?"

"Ya. Sensei dulu pernah jadi murid ayahnya, dan dulu Sensei sering sekali bermain bersama Mafuyu."

Ekspresi sensei tampak sedikit kesepian.

"Sedangkan Mafuyu ..., ada sesuatu yang telah terjadi, hingga akhirnya ia pindah ke sekolah ini. Ia bilang pada Sensei kalau ia ingin sebuah ruangan yang bisa ia gunakan sendiri. Itu memang permintaan egois dari seorang putri kepala sekolah, tapi karena ia tidak membuat masalah bagi siapa pun, jadinya ...."

"Oh, begitu ...," jadi para guru diam-diam sudah menyetujuinya.

"Jadi, kamu juga bisa menggunakan ruang tersebut, itupun kalau kamu mau berbagi dengan Mafuyu."

Jadi pada akhirnya, akulah yang diusir keluar!

"Tapi, kenapa ia memainkan gitar? Saya dengar ia tidak lagi bermain piano, apa itu benar? Ia sebenarnya mau masuk ke Sekolah Musik, 'kan? Lalu kenapa ia malah pindah ke sekolah ini?"

"Sensei tidak bisa mengatakannya padamu ...," ekspresi sensei segera berubah jadi serius. "... lagi pula, ia sendiri tidak ingin ada orang lain yang tahu. Sejujurnya ..., menurut Sensei, akan lebih baik kalau ia tidak melakukan hal itu, namun pada akhirnya, keputusan tetap ada di tangan Mafuyu sendiri."

Aku tidak mengerti sedikit pun tentang yang sedang sensei bahas di sini, dan Mafuyu juga tidak menjelaskan apa pun padaku.

Karenanya, masalah terbesar bagiku saat ini adalah tentang apa yang harus kulakukan dengan ruang kelas tersebut. Kalau masalahnya adalah pihak sekolah tahu kalau aku menggunakan ruang kelas itu tanpa izin, lalu dengan keras melarangku untuk mempergunakannya lagi, maka aku dengan ikhlas merelakannya. Akan tetapi, kalau aku harus duduk di samping Mafuyu sambil mendengarkan CD-ku sementara ia bermain gitar, biar bagaimanapun caranya, jelas tidak mungkin bisa aku melakukannya!

"Kenapa kamu tidak mencoba bicara padanya? Siapa tahu kalian bisa saling berbagi ruang kelas bersama, ya 'kan?"

"Saya sudah coba bicara, tapi ia malah berusaha membunuh saya dengan hantaman gitarnya."

"Kamu itu terlalu cepat menyerah! Anak muda macam apa itu?"

Seusai rentetan omelan yang tiba-tiba dari Maki-sensei, akhirnya aku pun diizinkan meninggalkan ruang persiapan musik.



Catatan Penerjemah[edit]

  1. Friska adalah bagian cepat dari Csárdás yang merupakan tarian daerah asal Hungaria, yang juga hampir sering ditemukan pada Hungarian Rhapsody gubahan Liszt, di mana bentuknya pun mengambil dari tarian tersebut.
Mundur ke Bab 3 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 5