Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 7 Bab 6"
(18 intermediate revisions by the same user not shown) | |||
Line 1: | Line 1: | ||
==Bab 6: Yukinoshita Yukino diam-diam pergi ke kota di sore hari== |
==Bab 6: Yukinoshita Yukino diam-diam pergi ke kota di sore hari== |
||
− | Ketika aku tersadar kembali, aku |
+ | Ketika aku tersadar kembali, aku sedang terkapar di atas futon. |
“Langit-langit yang asing…”<ref>Referensi Evangelion.</ref> |
“Langit-langit yang asing…”<ref>Referensi Evangelion.</ref> |
||
Line 15: | Line 15: | ||
“Ah, Hachiman, apa kamu sudah bangun?” |
“Ah, Hachiman, apa kamu sudah bangun?” |
||
− | Totsuka, yang sedang duduk di sampingku memeluk lututnya, berdiri, berlutut, dan menatapi wajahku. |
+ | Totsuka, yang sedang duduk di sampingku sambil memeluk lututnya, berdiri, berlutut, dan menatapi wajahku. |
“Ah, ya. Tidak tunggu, apa sebenarnya yang sedang terjadi disini…?” |
“Ah, ya. Tidak tunggu, apa sebenarnya yang sedang terjadi disini…?” |
||
Line 39: | Line 39: | ||
Dengan kata lain, aku melewatkan kesempatan untuk berbenam dengan Totsuka berhargaku!? |
Dengan kata lain, aku melewatkan kesempatan untuk berbenam dengan Totsuka berhargaku!? |
||
− | Karena aku dihantam oleh syok seberat itu, aku melompat berdiri dari futonku. Kelihatannya aku |
+ | Karena aku dihantam oleh syok seberat itu, aku melompat berdiri dari futonku. Kelihatannya mungkin aku perlu pergi membunuh Dewa… |
Selagi aku mengertakkan gigiku karena frustasi, Totsuka menunjuk dengan tegas ke arah pintu masuk ruangan itu. |
Selagi aku mengertakkan gigiku karena frustasi, Totsuka menunjuk dengan tegas ke arah pintu masuk ruangan itu. |
||
Line 51: | Line 51: | ||
“Oh begitu, trims.” |
“Oh begitu, trims.” |
||
− | Aku lebih suka menjadi seunit dengan Totsuka dan pergi mandi bersama, tapi aku akan mengesampingkannya untuk kunikmati besok saja. Maksudku, karya wisata ini akan berlangsung selama tiga hari empat malam. Juga |
+ | Aku lebih suka menjadi seunit dengan Totsuka dan pergi mandi bersama, tapi aku akan mengesampingkannya untuk kunikmati besok saja. Maksudku, karya wisata ini akan berlangsung selama tiga hari empat malam. Juga masih ada dua kesempatan lagi yang tersisa untuk pergi berendam. Terlebih lagi, kita akan pergi ke penginapan di Arashiyama yang berarti berendam di kolam air panas. Sebuah kamar mandi terbuka. Itu akan menjadi yang terbaik. |
− | Aku mandi |
+ | Aku mandi dengan gembira. |
Pas setelah aku keluar dari kamar mandi, mataku bertemu dengan mata Tobe, yang sedang tergeletak di lantai. Aku rasa dia kehilangan motivasinya setelah kalah telak. Tapi, dia melompat berdiri kembali dan memanggil diriku. |
Pas setelah aku keluar dari kamar mandi, mataku bertemu dengan mata Tobe, yang sedang tergeletak di lantai. Aku rasa dia kehilangan motivasinya setelah kalah telak. Tapi, dia melompat berdiri kembali dan memanggil diriku. |
||
− | “Oh, Hikitani. Kamu sudah bangun, eh? Mau Mahjong sama kita? Benar-benar peredup semangat melihat |
+ | “Oh, Hikitani. Kamu sudah bangun, eh? Mau Mahjong sama kita? Benar-benar peredup semangat melihat betapa kuat orang-orang itu.” |
Hei, apakah kamu mengajakku karena akan menjadi kemenangan mudah buatmu sebab aku kelihatannya lemah? Huh? |
Hei, apakah kamu mengajakku karena akan menjadi kemenangan mudah buatmu sebab aku kelihatannya lemah? Huh? |
||
− | Tapi, kamu tahu, aku rasa dia datang |
+ | Tapi, kamu tahu, aku rasa dia datang mengajak dan berbicara denganmu adalah salah satu dari poin baik Tobe. Namun, aku sebenarnya bukanlah tipe pria yang mengikuti alurnya dan bekerja sama dengan orang lain. |
− | “Sori. Tidak tahu bagaimana cara perhitungan poinnya.” |
+ | “Sori. Tidak tahu bagaimana cara perhitungan poinnya bekerja.” |
Tobe tidak berusaha mendorong masalahnya lebih jauh lagi setelah aku dengan lembut menolak tawarannya. Dia menjawab dengan “apa kamu serius” dan pergi kembali ke lingkaran Mahjong itu. |
Tobe tidak berusaha mendorong masalahnya lebih jauh lagi setelah aku dengan lembut menolak tawarannya. Dia menjawab dengan “apa kamu serius” dan pergi kembali ke lingkaran Mahjong itu. |
||
Line 69: | Line 69: | ||
Aku benar-benar tidak tahu bagaimana menghitung poinnya. CPU di dalam game biasanya secara otomatis menghitungkannya untukmu, itulah mengapa. |
Aku benar-benar tidak tahu bagaimana menghitung poinnya. CPU di dalam game biasanya secara otomatis menghitungkannya untukmu, itulah mengapa. |
||
− | Totsuka ikut ke dalam grup Mahjong itu |
+ | Totsuka juga ikut ke dalam grup Mahjong itu dan kelihatannya dia sedang diajari aturannya, tapi sesaat setelah dia melihatku, dia melambaikan tangannya. |
− | Lalu sekarang, apa yang mau |
+ | Lalu sekarang, apa yang mau kulakukan? Aku sedang berpikir mungkin aku sebaiknya pergi tidur, hanya untuk diinterupsi oleh pintu yang dicampakkan dengan berani. |
− | “Hachimaaan, mari kita bermain dengan |
+ | “Hachimaaan, mari kita bermain dengan Uno saja daripada melakukan hal-hal sepele lain!” |
Zaimokuza datang untuk mengajakku seperti bagaimana Nakajima akan pergi mengajak Isono.<ref>Referensi pada anime terpanjang berjudul 'Sazae-san'. Nakajima adalah teman dari Isono Katsuo.</ref> |
Zaimokuza datang untuk mengajakku seperti bagaimana Nakajima akan pergi mengajak Isono.<ref>Referensi pada anime terpanjang berjudul 'Sazae-san'. Nakajima adalah teman dari Isono Katsuo.</ref> |
||
Line 79: | Line 79: | ||
“…Tidakkah kamu ada sesuatu untuk dilakukan dengan kelasmu?” |
“…Tidakkah kamu ada sesuatu untuk dilakukan dengan kelasmu?” |
||
− | Karena dia telah memasuki ruangannya |
+ | Karena dia telah memasuki ruangannya seperti sudah seharusnya, aku pikir aku harus menanyakannya. Selagi Zaimokuza membuka mulutnya, dia menerjang ke arahku untuk memelukku. Aku melepaskannya dariku dan mendudukannya. |
“Dengarkan aku Hachiemon. Orang-orang itu mengerikan. ‘Sori Zaimokuza. Permainan ini hanya untuk empat orang’ adalah apa yang mereka bilang padaku dan aku harus menunggu giliranku seperti seorang pecundang menyedihkan.” |
“Dengarkan aku Hachiemon. Orang-orang itu mengerikan. ‘Sori Zaimokuza. Permainan ini hanya untuk empat orang’ adalah apa yang mereka bilang padaku dan aku harus menunggu giliranku seperti seorang pecundang menyedihkan.” |
||
Line 93: | Line 93: | ||
Jangan mencoba meniru si Kerajaan Krayon dari Alam Mimpi.<ref> The Crayon Kingdom of Dreams. Anime 70 episode dari '97-'99</ref> |
Jangan mencoba meniru si Kerajaan Krayon dari Alam Mimpi.<ref> The Crayon Kingdom of Dreams. Anime 70 episode dari '97-'99</ref> |
||
− | + | “…Tapi, memainkan sebuah permainan yang menghancurkan tali pertemanan dalam karya wisata?” |
|
− | Entahkah Dokapon ataupun Momotetsu<ref> Semacam Monopoli </ref>, semuanya adalah permainan yang mengeluarkan setan di dalam diri seseorang. |
+ | Entahkah Dokapon ataupun Momotetsu<ref> Semacam Monopoli </ref>, semuanya adalah permainan yang mengeluarkan setan di dalam diri seseorang. Itu tidak masalah kalau itu hanya suatu rencana keji yang dikomploti oleh orang jahat. Toh itu akan menjadi alat yang berguna ketika pertempuran di mulai. |
− | Masalahnya adalah suasana |
+ | Masalahnya adalah suasana buruknya ketika kamu memainkan permainannya dengan sekelompok orang-orang pemarah. Tali pertemanan akan pasti menjadi tegang sebagai hasilnya. Jika kita mempertimbangan masalah lain, maka si orang itu yang kehilangan motivasinya dan menyuruh semuanya “kamu yang gerakkan pionku saja” sambil membaca manga merupakan masalah yang satu lagi. |
Aku memang ingat sesuatu seperti itu terjadi sekali saat di sekolah dasar. |
Aku memang ingat sesuatu seperti itu terjadi sekali saat di sekolah dasar. |
||
Line 129: | Line 129: | ||
Tch, pria ini harus menanyakan tentang hal yang paling menjengkelkan. Aku bergolak dengan niat membunuh dan pas saat aku baru akan menjawabnya, dia tiba-tiba memalingkan kepalanya ke arah Totsuka. |
Tch, pria ini harus menanyakan tentang hal yang paling menjengkelkan. Aku bergolak dengan niat membunuh dan pas saat aku baru akan menjawabnya, dia tiba-tiba memalingkan kepalanya ke arah Totsuka. |
||
− | + | “Kalau begitu tidak apa-apa. Kemana kamu akan pergi Tuan Totsuka?” |
|
“Um, Aku pikir kita akan pergi ke Vihara Eigamura dan Ryouan-ji. Setelah itu—“ |
“Um, Aku pikir kita akan pergi ke Vihara Eigamura dan Ryouan-ji. Setelah itu—“ |
||
− | Totsuka meletakkan kartunya di lututnya dan membuat postur melihat ke atas untuk mencoba mengingat apalah tempat itu. Karena dia terlihat sangat imut, aku |
+ | Totsuka meletakkan kartunya di lututnya dan membuat postur melihat ke atas untuk mencoba mengingat apalah tempat itu. Karena dia terlihat sangat imut, aku melemparkan diriku ke dalam percakapannya. |
“Setelah itu Vihara Ninna-ji dan Vihara Kinkaku-ji.” |
“Setelah itu Vihara Ninna-ji dan Vihara Kinkaku-ji.” |
||
Line 141: | Line 141: | ||
Selagi dia mengatakannya, Totsuka segera membuang selembar kartu. |
Selagi dia mengatakannya, Totsuka segera membuang selembar kartu. |
||
− | Pas |
+ | Pas setelah itu, Zaimokuza melompat berdiri dan menunjukku dengan penuh semangat. |
“Oke, Hachiman, kamu tidak mengatakan UNOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!” |
“Oke, Hachiman, kamu tidak mengatakan UNOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!” |
||
Line 155: | Line 155: | ||
Zaimokuza berteriak dengan kegembiraan atas keberhasilannya dan ketika dia mengangkat tangannya, Totsuka juga mengangkat tangannya dan mereka saling tos. |
Zaimokuza berteriak dengan kegembiraan atas keberhasilannya dan ketika dia mengangkat tangannya, Totsuka juga mengangkat tangannya dan mereka saling tos. |
||
− | Huh, apa-apaan, mereka berdua |
+ | Huh, apa-apaan, mereka berdua bersekongkol bersama? Tidak tunggu, aku juga mau tos dengan Totsuka… |
Itu kotor, Zaimokuza, benar-benar kotor. |
Itu kotor, Zaimokuza, benar-benar kotor. |
||
− | Dia merebut |
+ | Dia merebut ''timing''nya dariku ketika dia memanggilku. Itu benar-benar tidak adil… |
Tapi, aku sepenuhnya puas karena Totsuka yang sedang bergembira sangatlah menggemaskan. |
Tapi, aku sepenuhnya puas karena Totsuka yang sedang bergembira sangatlah menggemaskan. |
||
Line 165: | Line 165: | ||
“Hachiman, pinalti, pinalti!” |
“Hachiman, pinalti, pinalti!” |
||
− | “Memang, Hachiman! Permainan pinaltilah itu! Tetap |
+ | “Memang, Hachiman! Permainan pinaltilah itu! Tetap dalam posisimu saat kami memikirkan hukumanmu!” |
− | Mereka berdua benar-benar bersemangat tinggi, sebuah efek samping dari suasana meriah pada malam |
+ | Mereka berdua benar-benar bersemangat tinggi, sebuah efek samping dari suasana meriah pada malam karya wisata. |
− | Yang lain juga |
+ | Yang lain juga melakukan hal yang sama dan grup Mahjong di arah yang lain itu benar-benar luar biasa bersemangatnya dengan ide yang mirip seperti permainan pinalti. |
“Baik, si pecundang besar akan…” |
“Baik, si pecundang besar akan…” |
||
Line 177: | Line 177: | ||
“Pergi ke ruangan para gadis dan ambil beberapa permen!” |
“Pergi ke ruangan para gadis dan ambil beberapa permen!” |
||
− | “Oh, apa kamu seriuuuus, kalian harus |
+ | “Oh, apa kamu seriuuuus, kalian harus mengheeeeeeeentikan itu!” |
− | Itu terlontar… Mengusulkan untuk pergi ke ruangan para gadis |
+ | Itu terlontar… Mengusulkan untuk pergi ke ruangan para gadis kurang lebih adalah hal yang normal bagi kelompok di sebelah sana. Tapi, Hayama berusaha untuk menahan kegembiraan mereka dalam responnya akan usulan itu. |
− | “Ah, tentang itu, Atsugi sedang menunggu di atas |
+ | “Ah, tentang itu, Atsugi sedang menunggu di atas tangga.” |
“Tidak lucu…” |
“Tidak lucu…” |
||
− | Yamato menyegel |
+ | Yamato menyegel ketat mulutnya. |
− | Si guru pendidikan jasmani, Atsugi, memancarkan aura yang mengintimidasi dan berkat dialek Hiroshimanya yang misterius, kamu tidak bisa tidak berada |
+ | Si guru pendidikan jasmani, Atsugi, memancarkan aura yang mengintimidasi dan berkat dialek Hiroshimanya yang misterius, kamu tidak bisa tidak berada sebagai pihak penerima ekspresi wajah kerasnya. Terlebih lagi karena posisinya sebagai guru pendidikan jasmani, dia sering berbaur dengan klub-klub olahraga, jadi mereka mungkin tidak begitu pandai berurusan dengannya. Aku tidak lebih pandai, tentu saja. |
“Baik kalau begitu, menyatakan cinta pada para gadis! Ayo kita mulai!” |
“Baik kalau begitu, menyatakan cinta pada para gadis! Ayo kita mulai!” |
||
Line 211: | Line 211: | ||
“Yah, kamu tahu Tobe, kamu betul pecundang. Kalau begitu, kenapa tidak kamu pergi membelikan kami beberapa jus sebagai permainan hukumanmu?” |
“Yah, kamu tahu Tobe, kamu betul pecundang. Kalau begitu, kenapa tidak kamu pergi membelikan kami beberapa jus sebagai permainan hukumanmu?” |
||
− | “Meskipun aku tidak kalah!? |
+ | “Meskipun aku tidak kalah!? Meski aku sedang akan pergi membeli sesuatu karena toh aku haus!” |
− | Jadi toh kamu pergi juga… Sungguh orang jujur… Itu merupakan hukuman yang ringan dari Hayama, tapi dia tentu |
+ | Jadi toh kamu pergi juga… Sungguh orang yang jujur… Itu merupakan hukuman yang ringan dari Hayama, tapi dia tentu menyakitinya dengan kata-kata itu tadi… |
Ketika Totsuka melihat Tobe keluar dari ruangannya, dia bergugam. |
Ketika Totsuka melihat Tobe keluar dari ruangannya, dia bergugam. |
||
Line 219: | Line 219: | ||
“Ah, kita juga agak haus huh?” |
“Ah, kita juga agak haus huh?” |
||
− | “Memang. Yah kalau begitu, Hachiman, permainan |
+ | “Memang. Yah kalau begitu, Hachiman, permainan pinaltimu adalah persis itu. Belikan kami beberapa minuman.” |
“Baiklah. Apa yang kalian mau? Ramen untuk Zaimokuza, kalau begitu?” |
“Baiklah. Apa yang kalian mau? Ramen untuk Zaimokuza, kalau begitu?” |
||
Line 225: | Line 225: | ||
“Hmph, itu adalah usulan yang menarik…” |
“Hmph, itu adalah usulan yang menarik…” |
||
− | “Jangan berpikiran |
+ | “Jangan berpikiran aneh.” |
Kelihatannya Zaimokuza perlu memakan waktu sejenak untuk memberikan jawabannya jadi aku melihat ke arah Totsuka. Sesaat setelah aku melihatnya, Totsuka tersenyum, nipa~. |
Kelihatannya Zaimokuza perlu memakan waktu sejenak untuk memberikan jawabannya jadi aku melihat ke arah Totsuka. Sesaat setelah aku melihatnya, Totsuka tersenyum, nipa~. |
||
Line 241: | Line 241: | ||
<br /> |
<br /> |
||
− | Suara langkah kakiku bergema saat aku menuruni |
+ | Suara langkah kakiku bergema saat aku menuruni tangga. |
− | Kamar-kamar di lantai atas |
+ | Kamar-kamar di lantai atas dikhususkan untuk para gadis. Menurut desas-desus, Atsugi sedang berjaga-jaga di atas tangga untuk mencegah lelaki manapun untuk pergi lebih jauh, tapi tidaklah layak menghabiskan waktu dan usahaku untuk memastikannya. |
Mesin sodanya berada di lobi yang berlokasi di lantai satu. |
Mesin sodanya berada di lobi yang berlokasi di lantai satu. |
||
− | Kami diperbolehkan untuk berkeliaran di lobi jika sudah hampir waktunya tidur. Tapi, karena semua orang sedang sibuk berbaur dengan teman-teman mereka, tidak ada seorangpun yang mau repot-repot datang ke bawah sini. Itu untuk mengatakan, satu-satunya orang yang akan datang ke bawah sini adalah orang-orang seperti aku dan Tobe yang dipaksa untuk membeli barang karena permainan pinalti. |
+ | Kami diperbolehkan untuk berkeliaran di lobi jika sudah hampir waktunya tidur. Tapi, karena semua orang sedang sibuk berbaur dengan teman-teman mereka, tidak ada seorangpun yang mau repot-repot datang ke bawah sini. Itu untuk mengatakan bahwa, satu-satunya orang yang akan datang ke bawah sini adalah orang-orang seperti aku dan Tobe yang dipaksa untuk membeli barang karena permainan pinalti. |
− | Pada sudut lobi di depan mesin penjual minumannya |
+ | Pada sudut lobi di depan mesin penjual minumannya terdapat Tobe. |
Dia mengambil sekaleng minuman dan membeli lebih banyak lagi setelahnya. Tobe menyadari diriku sesaat setelah aku mendekat. |
Dia mengambil sekaleng minuman dan membeli lebih banyak lagi setelahnya. Tobe menyadari diriku sesaat setelah aku mendekat. |
||
Line 261: | Line 261: | ||
Tapi, aku dapat merasakan tatapan aneh ini menusuk punggungku, jadi aku berpaling. |
Tapi, aku dapat merasakan tatapan aneh ini menusuk punggungku, jadi aku berpaling. |
||
− | + | Yang anehnya, Tobe masih berdiri disana. |
|
“Ada apa?” |
“Ada apa?” |
||
− | Ketika aku dengan ragu menanyakan |
+ | Ketika aku dengan ragu menanyakan pertanyaannya pada Tobe yang masih berada disini meski telah menyelesaikan tugasnya, dia tergelak. |
− | “Naaah, Hikitani, kamu sedang bekerja cukup keras dan semua itu demi diriku. Aku |
+ | “Naaah, Hikitani, kamu sedang bekerja cukup keras dan semua itu demi diriku. Aku agak mau berterima kasih pada ente atau semacamnya? Kayak, Umpan bagus<ref> Assist dalam sepak bola. Umpan yang menghasilkan gol</ref> atau begitulah.” |
Untuk informasimu, umpan itu tidak tercatat jika kamu tidak menyarangkan golnya. |
Untuk informasimu, umpan itu tidak tercatat jika kamu tidak menyarangkan golnya. |
||
− | “Aku tidak benar-benar |
+ | “Aku tidak benar-benar berbuat banyak. Yang sebetulnya melakukan usaha terbanyak adalah Yuigahama. Pergi berterimakasih pada dia.” |
“Aah, Aku memang berencana melakukan itu juga. Tapi aku pikir aku akan berterimakasih pada ente juga. Berkat ente berdua, Aku sudah akan siap untuk menyatakan cinta, ente tahu? Tapi aku akan bergantung pada ente juga besok!” |
“Aah, Aku memang berencana melakukan itu juga. Tapi aku pikir aku akan berterimakasih pada ente juga. Berkat ente berdua, Aku sudah akan siap untuk menyatakan cinta, ente tahu? Tapi aku akan bergantung pada ente juga besok!” |
||
Line 277: | Line 277: | ||
Setelah dia mengatakannya, dia segera bergegas pergi. |
Setelah dia mengatakannya, dia segera bergegas pergi. |
||
− | Hm, Aku rasa dia semacam pria yang baik. Entahpun itu hal yang bagus atau hal yang buruk, dia adalah tipe yang bergerak mengikuti alurnya. Dengan kata lain, dia adalah |
+ | Hm, Aku rasa dia semacam pria yang baik. Entahpun itu hal yang bagus atau hal yang buruk, dia adalah tipe yang bergerak mengikuti alurnya. Dengan kata lain, dia adalah budak dari suasananya… |
− | Namun, mungkin karena dia memiliki sifat seperti itulah makanya tidak ada apapun yang berkembang dengan Ebina. Tidak usah |
+ | Namun, mungkin karena dia memiliki sifat seperti itulah makanya tidak ada apapun yang berkembang dengan Ebina. Tidak usah dipikir-pikirpun dapat terlihat mengapa dia tidak dapat membuat pendekatan yang cocok karena dia akan merespon pada setiap detik yang berubah di dalam suasana. |
− | Itu akan menjadi perjalanan yang |
+ | Itu akan menjadi perjalanan yang penuh gelombang… |
Pernyataan cinta, huh? Itu tidak akan mudah, tapi aku harap itu akan sukses untuknya. |
Pernyataan cinta, huh? Itu tidak akan mudah, tapi aku harap itu akan sukses untuknya. |
||
− | Karena aku tiba-tiba disergap |
+ | Karena aku tiba-tiba disergap dengan rasa lelah, aku memutuskan untuk meminum sedikit kopi MAX manis untuk mengusirnya. |
+ | Aku melotot pada pilihan-pilihan yang tersedia di mesin penjual minuman itu dari atas, satu per satu. |
||
− | I stared at the selection of choices in the vending machine from the top, one by one. |
||
…? |
…? |
||
+ | Sekali lagi, aku melotot pada pilihan-pilihannya, tapi kali ini dari bawah. |
||
− | Once more, I stared at the choices, but this time from the bottom. |
||
+ | Lagi, seakan aku sedang mencari buku GaGaGa di toko buku, aku dengan hati-hati memeriksa setiap pilihan. Jika aku memutuskan untuk mencarinya dengan cepat, aku mendapat firasat aku akan sepenuhnya melompati buku bertulang-belakang biru itu. |
||
− | Again, as if I was looking for the GaGaGa books at a bookstore, I carefully examined each selection. If I decided to cut corners, I get the feeling I’d completely skip over the blue spine of that book. |
||
− | + | Tapi, tidak peduli seberapa banyak kalipun kucari, aku tidak dapat menemukan kaleng gula itu (MAX). |
|
− | Eh… |
+ | Eh… apa yang sedang terjadi disini? |
− | + | Aku terus mencari dan mencari, tapi hanya kopi Pachimon MAX yang dijual disini! |
|
+ | Ini adalah Kyoto… Seperti yang diduga dari kastil kerajaan yang terbentang selama ribuan tahun… |
||
− | This is Kyoto… As expected of the royal castle spanning thousands of years… |
||
+ | Aku berkompromi dan sebagai gantinya aku mengambil sekaleng café au laut. Yah, panjang kalengnya sama jadi minumannya sama, kurasa. |
||
− | I compromised and went with a café au laut instead. Well, the can was just as long so same thing, I suppose. |
||
+ | Aku membuka kalengnya dan terbenam ke dalam sofa di sudut lobi tersebut. |
||
− | I opened the can and sank onto the sofa in the corner of the lobby. |
||
+ | Walaupun aku ditugaskan untuk membeli minuman sebagai hukuman karena kalah, Aku tidak ada keinginan dalam diriku untuk kembali ke ruangan yang berubah menjadi sebuah rumah Mahjong. |
||
− | Although I was entrusted with buying drinks as punishment for losing, I didn’t have it in me to return to the room that was turned into a Mahjong parlor. |
||
+ | Selagi aku menyesap sedikit kopi yang agak manis itu, sebuah sosok yang kukenal muncul dari sudut lobi itu. |
||
− | As I took a small sip of the slightly sweet coffee, a recognizable figure appeared from the corner of the lobby. |
||
− | + | Orang yang muncul sambil berjalan cepat dengan gaya seperti bangsawan itu adalah Yukinoshita Yukino. |
|
+ | Dia sedang menampilkan penampilan kasarnya dengan rambut diikat ke atas seakan dia baru saja keluar dari kamar mandi, pemandangan langka. |
||
− | She was sporting a rough appearance with her hair tied up as if she had just gotten out of the bath, a rare sight. |
||
[[Image:YahariLoveCom_v7-159.jpg|thumb|200px]] |
[[Image:YahariLoveCom_v7-159.jpg|thumb|200px]] |
||
+ | Yukinoshita menuju ke arah sudut cinderamata hotel tersebut dalam penampilan saat ininya. |
||
− | Yukinoshita headed in the direction of the souvenir corner of the hotel in her current appearance. |
||
+ | Ketika dia sampai kesana, dia dengan saksama menatap pada salah satu raknya… Yah, bagi Yukinoshita untuk memeriksa benda apapun dengan sebegitu seriusnya berarti dia akan membeli benda itu. |
||
− | When she got there, she was intently staring at one of the shelves… Well, for Yukinoshita to be examining whatever item so seriously meant she was going to get it. |
||
− | Yukinoshita |
+ | Yukinoshita meletakkan tangannya ke bibirnya, berpikir sejenak, dan setelah akhirnya memutuskan, dia menjulurkan tangannya menuju barang dagangan itu. Tapi, pas pada saat tersebut. Persis pada saat tersebut ketika Yukinoshita memperhatikan sekelilingnya. |
+ | Tentu saja, matanya bertemu dengan mataku karena aku sedang menatapnya sepanjang waktu tersebut. |
||
− | Of course, her eyes met with mine since I was staring at her the entire time. |
||
+ | Yukinoshita menarik kembali tangan terjulurnya dan kembali ke jalan asal datangnya dengan ekspresi yang dipalsukan. |
||
− | Yukinoshita pulled back her stretched out hand and returned to the path she came from with a feigned expression. |
||
− | + | …Pola lama yang sama. Aku mengomunikasikan sebuah “selamat malam” pada Yukinoshita dan menyesap sisa dari café au laitku. |
|
− | + | Tapi, Yukinoshita dengan cepat berjalan ke arahku. |
|
+ | Dia berdiri di depanku dengan tangannya tersilang dan melihat ke bawah pada posisi sedang dudukku. |
||
− | She stood in front of me with her arms crossed and looked down towards me in my sitting position. |
||
+ | “Cukup kebetulan bertemu denganmu selarut ini.” |
||
− | “Quite the coincidence to meet you this late at night.” |
||
+ | “Itu adalah sesuatu yang seharusnya kamu katakan tadi…” |
||
− | “That’s something that should’ve been said earlier…” |
||
+ | Daripada itu, aku terkejut dia bersusah payah datang untuk memberitahuku itu. Namun, ada apa dengan gadis ini dan tingkah angkuhnya…? |
||
− | Rather, I was surprised that she took the trouble to come tell me that. Still, what’s with this girl and that haughty attitude of hers…? |
||
+ | “Apa yang salah? Apakah kamu melarikan diri karena terlalu sulit untuk tetap tinggal di dalam ruangan itu?” |
||
− | “What’s wrong? Did you run away since it was too difficult to stay in the room?” |
||
+ | “Orang-orang muda itu menugaskanku dengan sebuah misi, itu saja. Kamu?” |
||
− | “The young folks entrusted me with a mission, that’s all. You?” |
||
− | Yukinoshita |
+ | Yukinoshita menghela dengan ekspresi muak. |
+ | “…Teman sekelasku menarikku ke dalam diskusi mereka. Mengapa mereka begitu suka membicarakan tentang hal-hal itu?” |
||
− | “…My classmates pulled me into their discussions. Why do they like talking about those things so much?” |
||
+ | J-Jenis percakapan apakah itu… Itu tidak menarik minatku, tapi rasanya dia akan marah denganku jika aku menanyakannya jadi aku simpan ke dalam hatiku. Malahan, saat-saat seperti ini adalah saat ketika aku mengatakan sesuatu untuk memastikan keselamatanku. |
||
− | W-What kind of conversation could that be… It wasn’t of any interest to me, but it felt like she’d get angry at me if I asked about it so I kept it to myself. Instead, times like this were where I should say something to ensure my well-being. |
||
+ | “Yah, kamu seharusnya mempertimbangkan untuk terlibat ke dalamnya sendiri jika kamu akan ditanyakan tentangnya. Bukan sesuatu yang buruk, benar?” |
||
− | “Well, you should consider getting into it yourself if you’re going to get asked about it. Not a bad thing, right?” |
||
+ | “Kamu berbicara macam itu tidak ada hubungannya denganmu. Pada awalnya, selama Festival Budaya, kamu…” |
||
− | “You talk like it has nothing to do with you. In the first place, during the Culture Festival, you…” |
||
+ | Tatapan yang melihat ke bawah padaku berubah menjadi lototan yang menusukku pada pertengahan kalimatnya. |
||
− | The stare that looked down on me turned into a sharp glare that pierced at me halfway through. |
||
− | + | “A-Aku…? Tidak, tunggu. Aku tidak salah disini.” |
|
+ | Aku tidak tahu apa yang sedang dimaksudkannya, tapi untuk sekarang, aku memastikan untuk berkeras tentangnya. Ketika aku melakukannya, Yukinoshita menekan dahinya dan menutup matanya. Dia membuka mulutnya dengan pasrah. |
||
− | I hadn’t a clue what she was referring to, but for now, I made sure to be insistent about it. When I did, Yukinoshita pressed against her temples and closed her eyes. She opened her mouth in resignation. |
||
+ | “…Tidak ada apa-apa. Jadi, apa yang sedang kamu lakukan disini?” |
||
− | “…It’s nothing. So, what are you doing here?” |
||
+ | “Istirahat sedikit dari bersenang-senang. Bagaimana denganmu? Bukankah kamu akan membeli sebuah cinderamata?” |
||
− | “A little break from fun. How about you? Weren’t you going to buy a souvenir?” |
||
+ | “Tidak sama sekali. Sesuatu hanya menarik minatku, itu saja.” |
||
− | “Not at all. Something just caught my eye, that’s all.” |
||
− | Yukinoshita |
+ | Yukinoshita mengalihkan pandangannya dengan sedikit helaan. |
+ | Iyakah? Aku pikir sudah pasti dia akan membelinya karena dia sedang melihatnya dengan sangat serius, tapi aku rasa dia hanya melihat pada Pan-san edisi spesial Kyoto.<ref>Boneka fantasi, panda dengan tanda seperti bintang disekitar mata kirinya.</ref>. |
||
− | Is that so? I thought for sure she was going to buy it since she was looking at it so seriously, but I suppose she was just looking at the Kyoto special edition of Pan-san<ref>Fancy toy, panda with a star-like spot around its left eye.</ref>. |
||
+ | “Apa kamu tidak membeli cinderamata apapun?” |
||
− | “Aren’t you buying any souvenirs?” |
||
+ | “Itu hanya akan mengangguku jika aku membelinya sekarang. Aku akan membelinya pada perjalanan pulang.” |
||
− | “It’ll just get in the way if I buy them now. I’ll buy them on the way home.” |
||
+ | “Oh, begitu. Apa kamu sudah memutuskan apa yang akan kamu beli?” |
||
− | “I see. Have you already decided what to buy?” |
||
− | + | “Kira-kira. Yah, pada dasarnya itu hanyalah barang-barang yang Komachi ingin kubelikan. Ah, adakah tempat dengan dewa pengetahuan disekitar sini?” |
|
− | + | Aku pikir aku akan menanyakannya. Jangan kecewakan aku, Nona Yukipedia. Yukinoshita mengedip dan memalingkan kepalanya. |
|
+ | “Berdoa untuk kesuksesan Komachi?” |
||
− | “Praying for Komachi’s success?” |
||
“Yep.” |
“Yep.” |
||
+ | Ketika aku menjawabnya, Yukinoshita tersenyum. Sebagai abangnya, aku sangat senang bahwa adik perempuanku dicintai oleh begitu banyak orang. |
||
− | When I answered, Yukinoshita smiled. As the older brother, I’m very happy that my little sister was loved by so many people. |
||
+ | “…Mari kita lihat.” |
||
− | “…Let’s see.” |
||
+ | Yukinoshita duduk di sampingku sambil merenung. Yah, toh berbincang sambil berdiri sangat melelahkan. Aku mengikutinya dengan membuat sedikit jarak diantara dia dan aku. |
||
− | Yukinoshita sat down next to me while in thought. Well, making conversation while standing was tiring after all. I followed up by making some distance between her and me. |
||
− | + | “Kuil Kitano Tenman-gu cukup terkenal.” |
|
− | “Tenman-gu huh, |
+ | “Tenman-gu huh, Aku akan mengingatnya.” |
+ | Aku juga akan menuju kesana saat kita bisa berkeliaran sesuka kita pada hari ketiga. Juga ada jimat yang akan kubeli, tapi membuat doa pasti akan menghabiskanku sedikit uang. Menenteng sebuah hamaya <ref> anak panah pengusir setan [http://id.wikipedia.org/wiki/Hamaya Hamaya]</ref> selama perjalanan pulang juga merepotkan... dipikir lagi, apakah orang itu masih akan diberkati bahkan jika mereka tidak menulis di plakat kayunya? |
||
− | I’ll head over there too once we get to move around as we want on the third day. There’s also the charm that I’ll have to buy, but making a prayer was definitely going to cost some money. Carrying a hamaya on the way home might be a pain too... then again, would the person still be blessed even if they didn’t write on the wooden plaque? |
||
− | + | “…Tidak masalah jika kamu khawatir tentang Komachi, tapi bagaimana tentang permintaannya?” |
|
− | Agh, |
+ | Agh, sial, aku sedang berenang kesana kemari dalam pikiranku tadi. |
+ | “Permintaannya kira-kira bisa dibilang tidak berjalan baik, tapi juga tidak berjalan buruk.” |
||
− | “It’s along the lines of not going well, but not going bad either.” |
||
− | + | Ketika aku menjawabnya, Yukinoshita mengalihkan matanya, terlihat menyesal. |
|
+ | “Maafkan aku, aku tidak banyak membantu karena aku berada di kelas lain.” |
||
− | “I’m sorry, I’m not of much help since I’m in another class.” |
||
+ | “Tidak usah khawatir akan itu. Aku berada di dalam kelas yang sama dan aku tidak melakukan apapun.” |
||
− | “Don’t worry about it. I’m in the same class and I haven’t done squat.” |
||
+ | “Aku rasa kamu seharusnya sedikit lebih khawatir akan itu…” |
||
− | “I think you should at least be a little concerned there…” |
||
+ | Selagi kami meneruskan perbincangannya, Ibu Hiratsuka berjalan lewat. Dia sedang memakai sebuah mantel di atas setelannya dan untuk alasan tertentu, dia sedang memakai kacamata hitam meskipun di luar gelap gulita. |
||
− | As we continued the conversation, Ms. Hiratsuka passed by. She was wearing a coat over her suit and for some reason, she was wearing sunglasses even though it was dark out. |
||
+ | Sesaat setelah dia menyadari keberadaan kami, dia terlihat jelas kelimbungan. |
||
− | As soon as she noticed us, she looked obviously bewildered. |
||
− | + | “M-Mengapa kalian ada disini?” |
|
+ | “Yah, aku cuma datang kemari untuk membeli sedikit minuman. Apa yang sedang kamu lakukan pada jam segini, guru?” |
||
− | “Well, I just came here to buy some drinks. What are you doing here at this hour, teach?” |
||
− | “M-Mmm… |
+ | “M-Mmm… J-Jangan beritahu siapapun, oke? Rahasiakan ini, oke?” |
+ | Ibu Hiratsuka berkeras dalam peringatannya dan karena dia terlihat lebih feminin dari biasanya, jantungku melompati beberapa detakan. Aku agak sedikit malu dan kata-kata “Shizukaimut” mengapung-apung di kepalaku, tapi kata-kata selanjutnya menghancurkan pemikiran itu. |
||
− | Ms. Hiratsuka was insistent with her reminders and since she looked more feminine than usual, my heart skipped a few beats. I was a little embarrassed and the words “Shizukacute” floated around in my head, but her next words completely destroyed the thought. |
||
− | “U-Um… |
+ | “U-Um… A-Aku hanya mau pergi… Pergi makan sedikit ramen…” |
+ | Dia tidak bagus. Aku mau kamu mengembalikan kata-kata junjunganku kembali. |
||
− | She’s no good. I’d like you to return my words of adoration back. |
||
− | + | Baik Yukinoshita dan aku melihat ke arahnya dengan putus asa, tapi Ibu Hiratsuka menyilangkan lengannya dan membetulkan posturnya seakan sesuatu terlintas di pikirannya. |
|
− | “Hm. |
+ | “Hm. Yah, jika itu kalian berdua, seharusnya tidak ada masalah.” |
− | + | “Katakan lagi?” |
|
+ | Setelah beberapa saat mencoba untuk menafsirkan arti kata-katanya, Yukinoshita memalingkan kepalanya. |
||
− | After a moment of trying to decipher the meaning of her words, Yukinoshita turned her head. |
||
− | + | Ibu Hiratsuka tersenyum singkat pada Yukinoshita dan ketika dia melihat ke arahku, dia menunjukkanku seringai nakal. |
|
− | + | “Aku yakin Yukinoshita akan menjaga rahasianya, tapi sayangnya, aku tidak bisa mengatakan hal yang sama dengan Hikigaya.” |
|
+ | “Itu kejam…” |
||
− | “That’s cruel…” |
||
+ | Aku pasti akan pergi melaporkanmu. Kendati aku tidak memiliki orang untuk melaporkan dirinya. |
||
− | I’m definitely going to tell on you. I don’t have anyone to tell though. |
||
+ | Setelah menyaksikan tingkah melawanku, Ibu Hiratsuka mengosongkan tenggorokannya dan menambahkan. |
||
− | Having looked at my rebellious attitude, Ms. Hiratsuka cleared her throat and added. |
||
+ | “Maka dari itu, aku akan mentraktir kalian semangkuk ramen agar kalian diam. Jadi, bagaimana kalau kita makan sedikit ramen?” |
||
− | “As such, I’ll treat you to a bowl in return for your silence. So, how about some ramen?” |
||
− | …Ramen, |
+ | …Ramen, kamu bilang? Jadi singkatnya, pergi denganmu, huh? |
+ | Ramen Kyoto, ini akan menjadi yang pertama untukku. Perutku sudah siap untuk mencerna, mungkin sebuah efek samping masa muda. Malahan, hanya mendengar kata ramen saja sudah membuat perutku terasa lebih kosong. |
||
− | Kyoto ramen, this’ll be my first time. My stomach was already ready to digest, possibly a side effect from youth. Rather, just hearing the words ramen made my stomach feel emptier. |
||
− | + | “Yah, jika anda berkata begitu.” |
|
− | + | Ketika aku menjawabnya, Ibu Hiratsuka mengangguk senang. |
|
− | Aaah, |
+ | Aaah, tidak bisa menunggu untuk makan ramen Kyoto. Saat pikiran tersebut berkeliaran dengan merajalela di kepalaku, Yukinoshita, yang sedang duduk disampingku, dengan diam berdiri. |
− | + | “Yah kalau begitu, aku akan pergi balik.” |
|
− | + | Dia membungkuk dengan cantik pada Ibu Hiratsuka dan berpaling ke arah berlawanan. Ibu Hiratsuka memanggil Yukinoshita dari belakang. |
|
− | “Yukinoshita, |
+ | “Yukinoshita, kamu juga ikut makan.” |
+ | “Tidak, itu…” |
||
− | “No, that’s…” |
||
− | Yukinoshita |
+ | Yukinoshita berpaling di setengah jalan dan menurunkan matanya dengan tampang kesusahan. Ibu Hiratsuka tersenyum menyeringai ketika dia melihatnya. |
+ | “Oh, kamu bisa menganggapnya sebagai kegiatan ekstrakulikuler. Toh masih belum begitu larut.” |
||
− | “Oh, you can think of it as extracurricular activities. It’s not that late after all.” |
||
+ | “Tapi, aku masih berpakaian seperti ini.” |
||
− | “But, I’m still dressed as I am right now.” |
||
+ | Dia meremas manset longgar pada lengan baju di setiap tangannya dan membentangkannya seakan dia sedang membungkuk. Ibu Hiratsuka menanggalkan mantelnya dan melemparkannya kepada Yukinoshita yang enggan. |
||
− | She squeezed the loose cuffs on the sleeves of each hand and spread out her dress as if she was making a bow. Ms. Hiratsuka took off her coat and tossed it to the reluctant Yukinoshita. |
||
− | + | “Kamu bisa memakai itu.” |
|
+ | Oh sayang, ada apa dengannya? Begitu keren. Aku akan bisa jatuh cinta padanya jika begini terus. Memang, zamannya sedang demam-demamnya dengan “Shizukakeren” dan bukan “Shizukaimut”. |
||
− | Oh dear, what’s with her? So cool. I’m gonna fall for her at this rate. Indeed, the times were all about the “Shizukacool” and not “Shizukacute”. |
||
− | + | “Tidak ada celah untuk menolak, huh…” |
|
+ | “Sepertinya begitu.” |
||
− | “Looks like it.” |
||
− | Yukinoshita |
+ | Yukinoshita menghela pelan dan memakai mantel yang disodorkan padanya dengan pasrah. |
+ | “Kalau begitu ayo kita pergi sekarang.” |
||
− | “Now then, let’s get going.” |
||
+ | Mengajak kita bersama dalam perjalanannya, Ibu Hiratsuka berjalan dalam sepatu hak tingginya dan selagi suara hantaman sepatu hak tingginya dengan lantai bergema, dia dengan gagahnya menuju Kyoto di malam hari. |
||
− | Taking us along for the trip, Ms. Hiratsuka walked along on her heels and as the sounds of the heels hitting the floor echoed, she gallantly headed for the night Kyoto. |
||
<br /> |
<br /> |
||
Line 491: | Line 491: | ||
<br /> |
<br /> |
||
+ | Angin malamnya sangatlah dingin dan tidak mengenakkan saat kita berjalan keluar dari hotel itu. Aku seharusnya menyadari aku pergi keluar dengan pakaian dalam ruangan juga… |
||
− | The night breeze was uncomfortably cold as we made our way from the hotel. I should note that I’m out here in my indoor clothes too… |
||
− | “Kyoto |
+ | “Kyoto sungguh dingin.” |
− | + | Ibu Hiratsuka melihat pakaianku dan memberiku senyuman mengejek. |
|
+ | Pas kita sampai ke jalanannya, Ibu Hiratsuka menaikkan tangannya sedikit. Seketika, sebuah taksi ukuran kecil yang sedang meluncur di sekitar berhenti tiba-tiba. |
||
− | Once we made it onto the street, Ms. Hiratsuka slightly raised her hand. Immediately, a small sized taxi that was cruising by stopped abruptly. |
||
− | + | “Masuk dulu, Yukinoshita.” |
|
− | Yukinoshita |
+ | Yukinoshita dipandu oleh yang bertindak sebagai pengiring, Ibu Hiratsuka. Setelah dia mengatur mantelnya, dia mengangguk pada Ibu Hiratsuka dan menaikki mobilnya. |
− | + | Selanjutnya, Ibu Hiratsuka juga membukakan jalan untukku. |
|
[[Image:YahariLoveCom v7-167.jpg|thumb|200px]] |
[[Image:YahariLoveCom v7-167.jpg|thumb|200px]] |
||
− | + | “Kamu juga, Hikigaya.” |
|
− | + | “Tidak apa-apa, guru, anda boleh masuk duluan.” |
|
+ | Namun, aku menolak gagasannya. Ketika aku menolaknya, Ibu Hiratsuka terkejut serta terkesan dan merespon sesuai dengan reaksinya. |
||
− | However, I objected to the notion. When I did, Ms. Hiratsuka had a surprised and impressed reaction and responded accordingly. |
||
+ | “Oh, kamu termasuk tipe perempuan-dulu? Betapa dewasanya dirimu. Tapi, kamu tidak perlu khawatir tentangku.” |
||
− | “Oh, you’re the ladies-first type? How you’ve grown. But, you don’t need to worry about me.” |
||
− | “Eh… |
+ | “Eh… T-Tidak peduli berapa banyak tahun yang sudah anda lalui, anda masihlah seorang perempuan anda tahu! Tolong lebih percaya dalam diri anda!” |
− | + | Dengan seringai lebar terpampang di wajahnya, Ibu Hiratsuka mencengkram dahiku. |
|
+ | “Itu karena kursi jok tengah di belakang memiliki peluang kematian terbesar, mengerti kamu…” |
||
− | “It’s because the middle seat in the back has the highest rate of death, you see…” |
||
“Ouch, ouch, ouch.” |
“Ouch, ouch, ouch.” |
||
+ | Oleh cakar besi yang mencengkram kepalaku, Aku dilempar ke dalam taxi. Beliau kelihatannya telah menambah variasi serangannya, kendatipun pukulan tubuh sederhana. Ini tentunya merupakan penampilan perkembangan diri kita bersama bagi kita berdua. |
||
− | With the iron claw grasping my head, I was thrown inside the taxi. She seemed to have increased the variations of her attacks, simple body blows notwithstanding. This was clearly a mutual display of growth for the both of us. |
||
− | + | “…Bodoh.” |
|
+ | “Diam. Itu bentuk kebaikkanku.” |
||
− | “Shaddup. It’s my form of kindness.” |
||
+ | “Aku rasa pandanganmu tentang kebaikan itu benar-benar salah…” |
||
− | “I think your idea of kindness is completely mistaken…” |
||
− | + | Ibu Hiratsuka duduk di sampingku. Aku sedang berada dalam kesan bahwa tiga orang di kursi jok belakang taksi kecil ini akan sempit, tapi karena Yukinoshita dan Ibu Hiratsuka memiliki figur langsing, ternyata ada lebih banyak ruang dari yang kupikirkan. Phew… Aku tidak yakin apa yang akan kulakukan jika kita terjepit bersama di ruangan kecil ini. |
|
− | + | “Bawa kami ke Ichijouji.” |
|
− | + | Ibu Hiratsuka menginstruksikan supirnya dan taksinya berangkat ke sana. |
|
− | Ichijouji; |
+ | Ichijouji; disana merupakan tempat yang mungkin familier bagi mereka-mereka yang menyukai Miyamoto Musashi. Di atas tanah Ichijouji inilah tertanam pohon pinus sagarimatsu, terkenal sebagai saksi bisu akan duel hidup dan mati antara Musashi dengan Aliran Yoshioka. Menurut orang, cerita ini sebenarnya bukan berdasarkan sejarah aktual dan malahan bercabang dari karya literatur jauh di masa lalu. |
+ | Biarpun begitu, Ichijouji jelas terlihat sebagai salah satu area ramen yang kompetitif, menonjol, dibuktikan dari banyak kedai terkenal yang berjajar sisi-demi-sisi. |
||
− | With that being said, Ichijouji was apparently one of the prominent, competitive ramen areas, evident from the many famous stores lined side by side. |
||
− | + | Itu semua percakapannya sampai kami sampai ke tujuan kami. Taxi itu cepat juga. Jauh lebih cepat daripada salamander. <ref>Bahamut Lagoon</ref> |
|
+ | Dan pas ketika kami turun dari taxinya, sebuah pemandangan mengejutkan terpampang di depan mataku. |
||
− | And once we got off the taxi, a shocking scene laid before my eyes. |
||
− | + | “I-Ini adalah Tenka Ippin…” |
|
+ | Memang, Tenka Ippin, yang terbaik di bawah langit. Dan aku tidak mengacu pada keindahannya disini. Aku hanya mendengar rumor-rumor tentang tempat ini. Di dalam sup yang mereka pakai merupakan cairan yang kekentalannya menyelimuti mienya, merendamkan sumpit yang kamu tancapkan ke dalamnya. |
||
− | Indeed, Tenka Ippin, the best under the heavens. And I don’t mean beauty here. I’ve heard nothing but rumors of this place. In the soup they use was a liquid consistency that enwraps around the noodles, submerging the chopsticks that you stick in. |
||
− | + | Saat aku gemetar dalam gairahku, Yukinoshita berbicara di belakangku. |
|
− | + | “Apakah kedai ini terkenal?” |
|
+ | “Ya, sebetulnya kedainya cukup sukses di seluruh negara ini.” |
||
− | “Yeah, it’s quite a hit throughout the nation actually.” |
||
+ | “Apakah kita benar-benar harus bersusah payah untuk datang kemari…?” |
||
− | “Did we really have to go out of our way to come here…?” |
||
+ | Sekarang setelah dia mengatakannya, itu benar. Namun, ada alasan lain mengapa aku begitu tersentuh. |
||
− | Now that she mentioned it, that was true. However, there was another reason why I was so moved. |
||
+ | “Kamu tahu… untuk alasan tertentu, tidak ada satupun kedai ini di Chiba. Di seluruh kawasan Kanto, hanya Chiba satu-satunya tanpa kedai ini…” |
||
− | “You see… for some reason, there isn’t a store in Chiba. In the entire Kanto region, Chiba’s the only one without it…” |
||
− | + | Menurut sejarah panjang dan luasku (dalam tujuh belas tahun), Chiba dipuji sebagai tempat yang dijanjikan (olehku), tapi bagaimanapun juga, aku tidak dapat menganggap Chiba sempurna. Salah satu alasan untuk ketidaksempurnaan ini adalah kedai yang satu ini, Tenka Ippin. |
|
− | + | “Yah, pada entah kapan, ada berdiri satu kedai di Chiba.” |
|
+ | Menyelesaikan rokok sebelum-makan malamnya dengan energetik, Ibu Hiratsuka menghantam lantainya. |
||
− | Finishing up her before-dinner smoke energetically, Ms. Hiratsuka stomped the floor. |
||
− | + | “I-Itu dia! Satu-satunya ramenpedia berjalan di Chiba! Tidak, maksudku Satu-satunya dan single!” |
|
− | + | “Kamu salah dalam cara membenarkan kalimatmu, Hikigaya.” |
|
“Ouch ouch ouch.” |
“Ouch ouch ouch.” |
||
+ | Suaranya terdengar riang, tapi tengkorakku berkata lain. |
||
− | Her voice sounded cheerful, but my skull was saying otherwise. |
||
+ | “Ada begitu banyak kedainya di seluruh Jepang, tapi pastilah lebih menabjubkan untuk berada di depan kedai pusatnya. Kamu tidak bisa tahu tentang rasanya juga jika itu adalah cabang kedainya yang kecil. Aku selalu ingin mencoba makan disini sekali.” |
||
− | “There are stores all over Japan, but it’s definitely more awe-inspiring to be here in front of the main store. You can’t say anything about the taste if it was a small chain shop either. I always wanted to try eating here once.” |
||
+ | Setelah akhirnya melepaskan kepalaku, Ibu Hiratsuka memandang bagian luar kedainya dengan mata penuh emosi. |
||
− | After finally releasing my head, Ms. Hiratsuka gazed at the outline of the store with eyes full of emotion. |
||
+ | “Kalau begitu sekarang mari kita masuk.” |
||
− | “Now then, let’s enter.” |
||
+ | Untungnya, ada banyak tempat kosong di dalam kedainya. |
||
− | Luckily, there were plenty of seats in the store. |
||
− | + | Kami duduk pada meja kedainya dengan susunan Ibu Hiratsuka, Yukinoshita, dan kemudian aku. |
|
+ | “Kotteri<ref>[https://farm5.staticflickr.com/4049/4577792873_c3460882b7.jpg Kotteri]</ref>.” |
||
− | “Kotteri.” |
||
− | + | Ibu Hiratsuka memesan bahkan tanpa melihat menu sekejap pun. Yah, aku sendiri ingin merasakan kotteri dari TenPin, dengan rumor-rumornya dan semacamnya. |
|
− | + | “Sama denganku disini.” |
|
“…” |
“…” |
||
− | + | Aku tidak mendengar pesanan dari Yukinoshita jadi aku melihat ke arahnya. Ketika aku melihatnya, aku tidak dapat tidak terdiam ketika aku melihat bagaimana gelisahnya Yukinoshita saat dia melihat ke sekelilingnya. |
|
+ | Dia menarik lengan bajuku. |
||
− | She pulled at my sleeve. |
||
− | + | “…Hei, apa itu sup?” |
|
+ | Itu seakan ekspresinya penuh dengan ketakutan. Tidak, sebenarnya itu mungkin beneran ketakutan. Tapi, kamu tahu, bagaimana tepatnya kamu akan makan jika kamu setakut ini? Dan naritake itu, itu tidak memiliki banyak sup karena itu hanyalah lemak. Namun itu super enak. |
||
− | It was as if her expression was full of fear. No, that actually might’ve been correct. But, you know, how exactly are you going to eat if you’re this scared? And that naritake, it wasn’t so much soup as it was just fat. It’s super good though. |
||
− | + | Ibu Hiratsuka tergelak melihat tingkah lucu Yukinoshita dan membukakan menu untuknya. |
|
+ | “Ada juga sup assari. Aku rasa itu lebih cocok dengan seleramu.” |
||
− | “There’s assari soup too. I think it might be more to your liking.” |
||
− | “Ah, |
+ | “Ah, tidak terima kasih. Aku merasa kenyang hanya dengan melihatnya…” |
+ | Yukinoshita yang terkejut menggeleng kepalanya dengan ekspresi ketakutan yang mirip seekor kucing. |
||
− | Yukinoshita shook her head in surprise with a frightened expression that resembled a cat. |
||
− | “Oh? |
+ | “Oh? Jika begitu, kenapa tidak kita pesan porsi kecil saja dan kamu bisa mencoba sedikit.” |
− | + | Bahkan dengan saran Ibu Hiratsuka, Yukinoshita masih terlihat takut, tapi dia dengan enggan menggangguk setuju. |
|
+ | Setelah kami memesan, perlu sedikit waktu sebelum ramennya di bawa kepada kami. |
||
− | Once we made our orders, it took some time before the ramen was brought to us. |
||
+ | Aku mengangkat sumpitnya dan menepuk tanganku. |
||
− | I picked up the chopsticks and clapped my hands. |
||
+ | “Terima kasih untuk makanannya.” |
||
− | “Thank you for the food.” |
||
+ | Hooo boi! Rasa kental yang tertinggal pada sumpit ini! Aku tidak bisa puas merasakannya! |
||
− | Hooo boy! The thick feeling that’s left on these chopsticks! I can’t get enough of it! |
||
− | + | Sup mengalir yang sepenuhnya menyelimuti mienya. Tekstur supnya yang kental dan dalam adalah sesuatu yang hanya dapat kamu rasakan di tempat seperti Tora no Ana di Chiba. |
|
+ | Apa-apaan ini, ini sangat enaaaaaak! |
||
− | What the heck, this is gooood! |
||
− | + | “Mari, Yukinoshita.” |
|
+ | Ms. Hiratsuka denngan pelan meletakkan seporsi makanan kecil di depan Yukinoshita. Yukinoshita terlihat sedikit kebingungan, tapi setelah meletakkan keteguhan hatinya, dia mengambil sumpit dan sendok. Dia dengan lembut membetulkan rambut di belakang telinganya dan dengan pelan mengangkat sendoknya ke mulutnya. Caranya meminum dan menelan sup pekatnya begitu memikat sampai aku harus memalingkan mataku. |
||
− | Ms. Hiratsuka softly placed a small dish in front of Yukinoshita. Yukinoshita looked a little lost, but having set her resolve, she grabbed chopsticks and a spoon. She gently adjusted her hair behind her ears and slowly lifted the spoon to her mouth. The way she had drunk and swallowed the dense soup was so excessively captivating that I had to avert my eyes. |
||
+ | Setelah mengelap sup di sekeliling mulutnya, dia membuat ekspresi yang sungguh serius. |
||
− | After wiping the soup around her mouth, she made a really serious expression. |
||
+ | “…Sungguh rasa yang ganas.” |
||
− | “…What a violent taste.” |
||
− | Yay, |
+ | Yay, begitu akurat. |
+ | Saat kami menyambut rasa lezat ramennya, dengan waktu yang selarut ini, aku tidak dapat tidak berpikir apakah bertindak seperti ini merupakan hal yang baik atau tidak. Pemikiran itu keluar dari bibirku. |
||
− | As we welcomed the delicious taste of ramen, as late as it was, I couldn’t help but think whether doing this was a good thing or not. The thought left my lips. |
||
+ | “Namun, apa seorang guru boleh melakukan hal ini?” |
||
− | “Still, should a teacher really be doing this?” |
||
− | + | Begitulah yang kukatakan, tapi Ibu Hiratsuka tetap kalem. |
|
+ | “Tentu saja tidak. Itulah mengapa aku membayar untuk membungkam mulutmu.” |
||
− | “Of course not. That’s why I’m paying for your silence.” |
||
+ | “Bukankah itu lebih tidak seperti seorang guru…?” |
||
− | “Isn’t that even less becoming of a teacher…?” |
||
− | Yukinoshita |
+ | Yukinoshita merespon dengan nada terkejut, tapi Ibu Hiratsuka terus makan tanpa terlihat gelisah sedikitpun. |
+ | “Guru itu manusia dan juga orang dewasa. Kami juga melakukan kesalahan yang bisa orang lain lakukan entahpun kami sadar akannya atau tidak.” |
||
− | “Teachers are human as are adults. We commit mistakes just as any other person would whether we’re aware of it or not.” |
||
+ | “Tidakkah anda akan ditegur jika anda tertangkap?” |
||
− | “Won’t you be reprimanded if you get caught?” |
||
+ | Meski aku mungkin akan ikut tertarik ke dalamnya juga. |
||
− | I’ll probably get dragged into that too though. |
||
+ | “Itu tidak akan terjadi. Paling tidak, mereka hanya akan memanggilku sebagai tindakan formal, memberiku beberapa kata ketidaksetujuan, dan berhenti di situ.” |
||
− | “That won’t happen. At the very least, they’ll just call me in as a formal measure, give me a few words of disagreement, and keep it at that.” |
||
+ | “Bisakah anda menyebut itu teguran…?” |
||
− | “Can you really call that a scolding…?” |
||
− | + | Aku setuju dengan Yukinoshita. Ibu Hiratsuka meminum sisa sup di mangkuknya dan dengan anggun menyapu mulutnya dengan serbet. Dia lalu berpaling ke arah kami. |
|
+ | “Itu berbeda. Disuruh untuk tidak menimbulkan masalah dan disuruh untuk menyelesaikan masalah merupakan sepenuhnya dua hal yang berbeda. |
||
− | “It’s different. Being told to not cause any trouble and being asked to clean up any problems are completely different. |
||
− | + | “Aku tidak paham.” |
|
+ | “…Aku bingung. Mungkin itu karena kami tidak ada pengalaman ditegur?” |
||
− | “…I wonder. Maybe it’s because we don’t have any experience being scolded?” |
||
− | Yukinoshita |
+ | Yukinoshita meletakkan tangan yang dikepal pelannya ke dagunya dan sedang melamun untuk menggali memorinya. Ibu Hiratsuka menganggukan kepalanya setelah melihat ke arah Yukinoshita. |
+ | “Oh begitu, kalau demikian mariku tegur kamu dengan benar. Aku sebenarnya tidak berencana untuk menegur tapi aku rasa aku agak sedikit terlalu polos.” |
||
− | “I see, then let me scold you properly. I wasn’t really planning on doing any scolding but I guess I was a little too naïve.” |
||
+ | “Tidak, tidak apa-apa kalau tidak ditegur.” |
||
− | “No, that’s quite all right.” |
||
+ | Aku melambaikan tanganku dan menolak tawarannya. Jika dia menegur lagi dan aku menderita lebih banyak luka fisik lagi, aku akan menjadi barang bekas dan aku akan memintamu untuk mempertanggungjawabkannya dan buat aku jadi suamimu. Tapi tunggu, itu sebetulnya tujuanku selama ini… |
||
− | I waved my hands and declined the offer. If she does any more and I suffer even more body injuries, I’ll become used goods and I’ll have to have you take responsibility and take me for a husband. But wait, that’s actually my goal all along… |
||
− | + | Selagi aku resah akan berbagai hal, Yukinoshita terlihat benar-benar kalem. |
|
+ | “Aku tidak keberatan karena aku tidak pernah ditegur sebelumnya.” |
||
− | “I don’t mind since I’ve never been scolded before.” |
||
− | “Yukinoshita, |
+ | “Yukinoshita, ditegur bukanlah pasti sesuatu yang buruk. Itu hanya berarti bahwa seseorang sedang menjagamu.” |
+ | Bahu Yukinoshita jatuh sedikit mendengar kata-kata Ibu Hiratsuka. Dia menurunkan kepalanya dan melihat ke bawah. Aku tidak tahu apakah ada sesuatu yang menarik perhatiannya atau tidak. |
||
− | Yukinoshita’s shoulders dropped slightly from Ms. Shiratsuka’s words. She lowered her head and looked downwards. I hadn’t the slightest idea if something had caught her eyes or not. |
||
− | + | Ibu Hiratsuka dengan lembut menepuk bahu Yukinoshita. |
|
+ | “Aku sedang menjagamu, jadi jangan khawatir dan buat semua kesalahan yang kamu inginkan.” |
||
− | “I’m looking over you, so don’t worry and make all the blunders you want.” |
||
+ | Kami turun dari taksi yang membawa kami kembali dan Ibu Hiratsuka mulai berjalan ke arah berlawanan dari hotelnya. |
||
− | We got off the taxi that drove us back and Ms. Hiratsuka began walking in the opposite direction of the hotel. |
||
+ | “Aku akan pergi membeli sedikit sake untuk sesi minum. Sampai jumpa. Hati-hati di jalan.” |
||
− | “I’m going to go buy some sake for a good drinking session. See you. Be careful on your way back.” |
||
+ | Apa itu benar-benar tidak masalah? |
||
− | Is that really okay? |
||
− | + | Ibu Hiratsuka melambaikan tangannya dan kami merespon dengan cara yang sama. Yukinoshita dan aku mulai berjalan menuju penginapannya. Kami berdua membisu tapi aku rasa ini sepenuhnya alami bagi kami berdua. |
|
“……” |
“……” |
||
Line 697: | Line 697: | ||
“……” |
“……” |
||
− | Yukinoshita |
+ | Yukinoshita berada pada beberapa langkah di depanku. |
+ | Tapi, tiba-tiba dia berhenti. Dia mulai melihat sekeliling dengan resah. |
||
− | But, suddenly she stopped. She started looking around restlessly. |
||
+ | …Aku rasa ini apa yang kalian sebut nalar wajar yang dibangun dari pengalaman, tapi aku agak mengerti mengapa Yukinoshita sedang sangat bermasalah. |
||
− | …I guess this was what you’d call common sense built from experience, but I somewhat understood why Yukinoshita was having a lot of trouble. |
||
− | + | “Ke kananmu.” |
|
− | + | “…O-Oh begitu.” |
|
+ | Dia merapikan mantelnya yang belum dikembalikannya pada Ibu Hiratsuka dan menutupi wajahnya untuk menghindari tiupan angin malam. |
||
− | She adjusted the coat that she hadn’t given back to Ms. Hiratsuka and covered her face to avoid the night breeze. |
||
− | + | Aku tersenyum getir, menarik nafas pelan, dan mulai berjalan di depan Yukinoshita. Setidaknya aku akan menunjukkannya jalan kembali. |
|
+ | Suara langkah kakinya melambat mengindikasikan bahwa dia tahu tentang apa yang ingin aku lakukan. |
||
− | The sound of her footsteps slowing down indicated that she had an idea of what I wanted to do. |
||
+ | Tapi suara langkah kaki itu dengan perlahan menjauh. |
||
− | But the sound of those footsteps gradually grew farther. |
||
− | + | Berpikir bahwa itu aneh, aku berpaling hanya untuk melihat bahwa jarak antara aku dan Yukinoshita sudah cukup lebar. |
|
+ | “Jika kamu sebegitu jauhnya dariku, kamu akan tersesat lagi…” |
||
− | “If you’re that far apart from me, you’ll get lost again…” |
||
− | + | “Tidak… um…” |
|
+ | Aku bertanya padanya tapi aku tidak mendapatkan respon yang jelas. Dia mengangkat mantelnya dan menimbun wajahnya pada kerah mantelnya yang meredam suaranya. |
||
− | I asked her but I didn’t get a clear response. She lifted up her coat and buried her face in the collar which drowned out her voice. |
||
+ | Aku tidak mengerti apa yang sedang dia coba katakan, tapi akan menjengkelkan jika kita berpisah disini dan akhrinya dia tersesat. Dengan pemikiran itu, aku menunggunya untuk datang ke arahku. |
||
− | I had no idea what she was trying to say, but it’d be a pain if we separated here and she ended up getting lost. With that in mind, I waited for her to come my way. |
||
− | + | Selagi kami berdiri di posisi saling berhadapan, Yukinoshita dan aku menatap satu sama lain. Namun, apa-apaan yang sedang kita lakukan disini…? |
|
− | + | Selagi kami berdiri di sana untuk sesaat, Yukinoshita mengeluarkan helaan pasrah. |
|
+ | “Aku tidak akan keberatan jika kamu pergi duluan…” |
||
− | “I wouldn’t have minded if you went ahead…” |
||
+ | Dia bergugam dan dengan enggan berjalan ke sisiku. Hal ini mirip seperti telah berhasil membujuk seekor kucing liar kurasa. |
||
− | She murmured and reluctantly walked up to my side. This was similar to winning over a stray cat I suppose. |
||
− | “Nah, |
+ | “Nah, Aku rasa tidak masalah jika aku pergi duluan atau tidak. Toh tempatnya tepat disana.” |
+ | “…Mungkin tidak untukmu, tapi bermasalah buatku.” |
||
− | “…Maybe not for you, but it does for me.” |
||
+ | Aku tidak dapat tidak merespon dengan jawaban yang tidak jelas. Yah, itu dianggap sebagai tingkah baik untuk bertindak seakan kamu tidak mendengar apapun jika pihak lain terlihat seperti mereka sedang kesusahan untuk mengatakan sesuatu. |
||
− | I couldn’t help but respond with an inarticulate answer. Well, it’s considered good manners to act like you didn’t hear anything if the other party looked like they were having trouble saying something. |
||
− | + | “Apa masalahnya?” |
|
+ | “Um… di malam selarut ini… dilihat bersama-sama itu agak…” |
||
− | “Um… this late at night… being seen together is a bit…” |
||
+ | Cuacanya tidak sebegitu dingin namun Yukinoshita menyelinap ke dalam mantelnya sambil menyembunyikan wajahnya. |
||
− | It wasn’t all that cold yet Yukinoshita was retreating back into her coat while hiding her face. |
||
− | + | “…O-Oh begitu.” |
|
+ | Sekarang setelah dikatakannya, aku dengan kalem mulai berpikir tentang situasi kami sekarang ini. Benar, semua yang kami lakukan hanya bertemu satu sama lain saat hampir jam malam. |
||
− | Now that she mentioned it, I calmly began thinking about our current situation. Sure, all we did was meet with each other almost near night time. |
||
+ | Itu tentunya sesuatu yang tidak perlu begitu disadari dan dikhawatirkan dan bahkan juga aneh. Sama sekali tidak ada apapun. |
||
− | It was definitely something not to be so conscious of and not to be worried about and even weird either. Totally nothing at all. |
||
− | + | Aku harus mencatat bahwa ini adalah yang pertama kalinya aku melihat Yukinoshita seperti ini. |
|
+ | Dia akan tetap menjaga matanya terpaku pada kakiku hanya agar dia tidak akan tersesat sekaligus sambil berhati-hati akan sekelilingnya. |
||
− | She would keep her eyes peeled to my feet just so she wouldn’t get lost all the while being cautious of her surroundings. |
||
+ | Caranya dengan malu-malu menyembunyikan matanya dan caranya menjulurkan tangannya sedikit ke arahku untuk menghentikanku berjalan terlalu jauh ke depan hanya untuk menariknya kembali adalah hal yang tidak pernah kulihat dilakukannya sebelumnya. |
||
− | The way she’d embarrassingly hide her eyes and the way she’d slightly extend her hands out to me to stop me from going too far ahead only to pull them back were things I’d never seen her do before. |
||
+ | Tingkah canggung tersebut menular dan aku secara tidak sadar mulai menggerakkan tangan dan kaki kananku bersamaan. Karena itu, penginapannya terasa jauh. |
||
− | Those awkward gestures were infectious and I unconsciously started to move my right hand and foot in unison. Because of that, the inn felt far. |
||
+ | Baik Yukinoshita dan aku sama sekali tidak berjalan berdampingan tapi selagi kami berjalan, itu terasa seperti kita tidak sebegitu dekat namun kita juga tidak sebegitu jauh dari satu sama lain. |
||
− | Both Yukinoshita and I were by no means walking alongside each other but as we walked, it felt like we weren’t at all close yet we weren’t at all far away from each other either. |
||
+ | Sesaat setelah kami akhirnya sampai ke lobi hotelnya, aku tiba-tiba merasa letih. |
||
− | Once we finally made it up to the lobby of the hotel, I suddenly felt tired. |
||
+ | Di depan pasti akan ada murid. Jika Yukinoshita sedang was-was akan sekelilingnya, maka akan lebih baik untuk berpisah disini. |
||
− | There were definitely going to be students ahead. If Yukinoshita’s being conscious of her surroundings, then it’d be best to separate here. |
||
− | + | Aku menghentikan langkahku untuk membiarkan Yukinoshita maju duluan dan aku menaikkan tanganku sedikit. |
|
− | + | “Sampai jumpa.” |
|
+ | “…Kamu juga, selamat malam… Um, terima kasih telah memanduku kembali.” |
||
− | “…You as well, good night… Um, thank you for walking me back.” |
||
+ | Setelah dia menjawab, dia mulai berjalan duluan. Kami sudah berada di dalam ruangan namun dia masih memakai mantelnya. Karena dia berjalan begitu cepat, manset mantelnya terus melambai kesana-kemari. |
||
− | After she answered, she started on ahead. We’re already indoors yet she was still wearing the coat. Since she was walking so fast, the cuffs of the coat kept fluttering around. |
||
+ | Aku memikirkan tentang hal-hal tak berguna seperti apakah dia berencana untuk mengembalikan mantelnya atau tidak selagi berjalan kembali ke ruanganku. |
||
− | I thought about useless things like whether she was planning to return the coat back or not while making my way back to my room. |
||
+ | Ketika aku masuk, ruangannya masih digunakan sebagai sebuah rumah Mahjong. |
||
− | When I entered, the room was still being used as a mahjong parlor. |
||
− | “Ah, Hachiman, |
+ | “Ah, Hachiman, selamat datang kembali.” |
− | Totsuka |
+ | Totsuka dan Zaimokuza sedang memainkan ''old maid''. |
+ | “Kemana kamu pergi? kamu benar-benar lamban.” |
||
− | “Where did you go? You took your time.” |
||
− | + | “Benarkah?” |
|
+ | Yah, sudah kira-kira dua jam kubilang sejak aku pergi. |
||
− | Well, it was about two hours I’d say since I left. |
||
+ | “Jadi, dimana minuman dan ramenku?” |
||
− | “So, where’s my nourishment and ramen?” |
||
“Ah.” |
“Ah.” |
||
+ | Oh iya, aku masih di tengah permainan pinaltiku. |
||
− | Oh right, I was still in the middle of my punishment game. |
||
+ | “Jangan bilang kamu lupa?” |
||
− | “Don’t tell me you forgot?” |
||
− | + | Aku tidak menghiraukan Zaimokuza yang sedang melihatku seakan aku adalah seorang idiot. Malahan aku memasang tingkah profokatif. |
|
− | “…Hmph, |
+ | “…Hmph, macam benar saja. Aku membawanya oke… Tepat disini.” |
+ | Aku menunjuk tajam pada perutku dan muka Zaimokuza berubah warna karena syok. |
||
− | I pointed sharply at my stomach and Zaimokuza’s face was colored with shock. |
||
+ | “A-Apa!? Kamu pergi keluar untuk makan… sungguh pria yang mengerikan…” |
||
− | “W-What!? You went out to eat… what a frightening man…” |
||
− | Zaimokuza |
+ | Zaimokuza menyapu keringat di alisnya dan memandangku dengan hormat. Hmph, terlalu enteng. |
+ | Tapi, ada satu orang lagi yang tidak tertipu dengannya. |
||
− | But, there was one more person who didn’t fall for it. |
||
− | + | “Kalau begitu, kurasa kamu akan pergi sekali lagi, huh?” |
|
− | Totsuka |
+ | Totsuka tersenyum dan menuntut pesanannya lagi. Phew, Totsuka super menakutkan… |
+ | <noinclude> |
||
+ | {| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;" |
||
+ | |- |
||
+ | | '''Mundur ke''' [[Oregairu (Indonesia):Jilid 7 Bab 5|Bab 5]] |
||
+ | | '''Kembali ke''' [[Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteru (Indonesia)|Halaman Utama]] |
||
+ | | '''Lanjut ke''' [[Oregairu (Indonesia):Jilid 7 Bab 7|Bab 7]] |
||
+ | |- |
||
+ | |} |
||
==Catatan Translasi== |
==Catatan Translasi== |
||
<references> <references/> |
<references> <references/> |
Latest revision as of 15:30, 6 December 2014
Bab 6: Yukinoshita Yukino diam-diam pergi ke kota di sore hari[edit]
Ketika aku tersadar kembali, aku sedang terkapar di atas futon.
“Langit-langit yang asing…”[1]
Aku memilah-milah memoriku. Hari ini seharusnya adalah hari karya wisatanya.
Pada hari pertama, kami pergi ke Vihara Kiyomizu-dera diikuti dengan Vihara Nanzen-ji. Untuk alasan tertentu, kami juga harus berjalan ke Vihara Ginkaku-ji. Musim gugur ini memanglah pemandangan yang menabjubkan dan bahkan perjalanan di sepanjang kanal Jalan Setapak Filsuf[2] merupakan olahraga penutup yang bagus. Suasana hati antara Tobe dan Ebina dalam perjalanan santai mereka juga terlihat agak bagus.
Dan begitulah, dengan penyelesaian rencana hari ini, kami lalu pergi ke penginapan kami, menyantap makan malam kami, dan itulah itu.
Itulah itu, jadi mengapa aku sedang tertidur disini sekarang ini?
“Ah, Hachiman, apa kamu sudah bangun?”
Totsuka, yang sedang duduk di sampingku sambil memeluk lututnya, berdiri, berlutut, dan menatapi wajahku.
“Ah, ya. Tidak tunggu, apa sebenarnya yang sedang terjadi disini…?”
Apakah aku memanggil keluar Raja Crimson[3] dan entah bagaimana terlempar sepanjang jalan sampai ke kehidupan-pasca-nikahku-dengan-Totsuka-dimulai-sekarang TAMAT?
Begitulah yang kupikir, tapi yang jelas bukan itu yang terjadi karena aku dapat mendengar suara keras dan riuh datang entah dari mana di dalam ruangan ini.
“Arrrgh. Dia benar-benar mengelabuiku.”
“Hayato terlalu kuat!”
Ketika aku mengintip ke arah asal suara-suara tersebut, suara itu rupanya dari pria-pria dari kelasku yang sedang bersenang-senang, tertawa dan bertukar kata-kata diikuti dengan suara tepukan dan letusan.
Oke, aku sudah ada gambaran bagus akan apa yang sedang terjadi disini.
Rupanya, rencanaku untuk tidur sesaat setelah aku pulang setelah mengacaukan ritme kehidupan sehari-hariku tidak berhasil. Seluruh sore hari ini dihabiskan berjalan kesana-kemari dan setelah kita sampai ke salah satu penginapan acak dan menyantap hidangan besar, detik pas aku sampai ke ruanganku, aku jatuh pingsan.
“Waktu berbenam sudah selesai, tapi kata guru kamu bisa pakai kamar mandi di dalam ruangnya.”
“A-Apa!?”
Dengan kata lain, aku melewatkan kesempatan untuk berbenam dengan Totsuka berhargaku!?
Karena aku dihantam oleh syok seberat itu, aku melompat berdiri dari futonku. Kelihatannya mungkin aku perlu pergi membunuh Dewa…
Selagi aku mengertakkan gigiku karena frustasi, Totsuka menunjuk dengan tegas ke arah pintu masuk ruangan itu.
A-Apa maksudnya itu? Apakah mungkin dia sedang memberitahuku “Kamu begitu cabul, Hachiman. Bagi seorang cabul sepertimu, kamu boleh pergi berbenam di kolam taman sendirian saja” barangkali? Meski aku sebenarnya bukan seorang cabul ataupun pangeran…[4]
Aku tidak dapat tidak khawatir akan prospek itu, tapi Totsuka melanjutkan kata-katanya dengan nada yang lembut.
“Kamar mandi ada di sebelah sana.[5]”
“Oh begitu, trims.”
Aku lebih suka menjadi seunit dengan Totsuka dan pergi mandi bersama, tapi aku akan mengesampingkannya untuk kunikmati besok saja. Maksudku, karya wisata ini akan berlangsung selama tiga hari empat malam. Juga masih ada dua kesempatan lagi yang tersisa untuk pergi berendam. Terlebih lagi, kita akan pergi ke penginapan di Arashiyama yang berarti berendam di kolam air panas. Sebuah kamar mandi terbuka. Itu akan menjadi yang terbaik.
Aku mandi dengan gembira.
Pas setelah aku keluar dari kamar mandi, mataku bertemu dengan mata Tobe, yang sedang tergeletak di lantai. Aku rasa dia kehilangan motivasinya setelah kalah telak. Tapi, dia melompat berdiri kembali dan memanggil diriku.
“Oh, Hikitani. Kamu sudah bangun, eh? Mau Mahjong sama kita? Benar-benar peredup semangat melihat betapa kuat orang-orang itu.”
Hei, apakah kamu mengajakku karena akan menjadi kemenangan mudah buatmu sebab aku kelihatannya lemah? Huh?
Tapi, kamu tahu, aku rasa dia datang mengajak dan berbicara denganmu adalah salah satu dari poin baik Tobe. Namun, aku sebenarnya bukanlah tipe pria yang mengikuti alurnya dan bekerja sama dengan orang lain.
“Sori. Tidak tahu bagaimana cara perhitungan poinnya bekerja.”
Tobe tidak berusaha mendorong masalahnya lebih jauh lagi setelah aku dengan lembut menolak tawarannya. Dia menjawab dengan “apa kamu serius” dan pergi kembali ke lingkaran Mahjong itu.
Aku benar-benar tidak tahu bagaimana menghitung poinnya. CPU di dalam game biasanya secara otomatis menghitungkannya untukmu, itulah mengapa.
Totsuka juga ikut ke dalam grup Mahjong itu dan kelihatannya dia sedang diajari aturannya, tapi sesaat setelah dia melihatku, dia melambaikan tangannya.
Lalu sekarang, apa yang mau kulakukan? Aku sedang berpikir mungkin aku sebaiknya pergi tidur, hanya untuk diinterupsi oleh pintu yang dicampakkan dengan berani.
“Hachimaaan, mari kita bermain dengan Uno saja daripada melakukan hal-hal sepele lain!”
Zaimokuza datang untuk mengajakku seperti bagaimana Nakajima akan pergi mengajak Isono.[6]
“…Tidakkah kamu ada sesuatu untuk dilakukan dengan kelasmu?”
Karena dia telah memasuki ruangannya seperti sudah seharusnya, aku pikir aku harus menanyakannya. Selagi Zaimokuza membuka mulutnya, dia menerjang ke arahku untuk memelukku. Aku melepaskannya dariku dan mendudukannya.
“Dengarkan aku Hachiemon. Orang-orang itu mengerikan. ‘Sori Zaimokuza. Permainan ini hanya untuk empat orang’ adalah apa yang mereka bilang padaku dan aku harus menunggu giliranku seperti seorang pecundang menyedihkan.”
Tidaklah menunggu giliranmu itu normal? Lagi pula, kamu sedang berbaur dengan baik bersama mereka dan aku pikir itu cukup bagus buatmu. Pergi bergaul sama mereka, men.
“Oh, permainan apa yang kalian mainkan?”
Totsuka datang dengan sebuah pertanyaan dan Zaimokuza membusungkan dadanya.
“Npaka, npaka, si Kerajaan Dopakon dari Alam Mimpi[7] !”
Jangan mencoba meniru si Kerajaan Krayon dari Alam Mimpi.[8]
“…Tapi, memainkan sebuah permainan yang menghancurkan tali pertemanan dalam karya wisata?”
Entahkah Dokapon ataupun Momotetsu[9], semuanya adalah permainan yang mengeluarkan setan di dalam diri seseorang. Itu tidak masalah kalau itu hanya suatu rencana keji yang dikomploti oleh orang jahat. Toh itu akan menjadi alat yang berguna ketika pertempuran di mulai.
Masalahnya adalah suasana buruknya ketika kamu memainkan permainannya dengan sekelompok orang-orang pemarah. Tali pertemanan akan pasti menjadi tegang sebagai hasilnya. Jika kita mempertimbangan masalah lain, maka si orang itu yang kehilangan motivasinya dan menyuruh semuanya “kamu yang gerakkan pionku saja” sambil membaca manga merupakan masalah yang satu lagi.
Aku memang ingat sesuatu seperti itu terjadi sekali saat di sekolah dasar.
“Jadi begitu ya, mari kita main UNO.”
“Ah, itu terdengar bagus. Mereka sedang mengajariku aturan Mahjong tapi aku tidak mengerti sama sekali.”
Zaimokuza menarik keluar kartu UNO dari kantong dadanya dan mengocok kartunya seperti seorang penyulap.
Dia mulai membagikan kartu-kartunya.
“Aku akan memulai duluan.”
Sesaat setelah dia mengatakannya, dia tiba-tiba menampilkan sejumlah kartu R.
“Riba, riba, riba, riba, riba!”
Riba, riba, riba, riba benar-benar menjengkelkan, apakah kamu menyanyikan Somebody Tonight atau semacamnya?
Aturan arahnya berganti ke arah berlawanan berkat kartu reverse Zaimokuza, membuatnya menjadi giliranku setelahnya diikuti dengan Totsuka. Dari sini, permainannya berlanjut sama seperti setiap permainan UNO lain: Aku membuang selembar kartu, kartu skip itu, hanya untuk dihantam oleh kartu Draw Two yang kubalas dengan kartu Draw Four dengan warna kartu yang kurasa tidak akan dimiliki mereka.
Pas aku menyadari permainannya sedang pada puncaknya, aku hanya memiliki sisa dua kartu. Zaimokuza dan Totsuka memiliki total lima kartu jadi aku berada pada posisi superior.
Aku kemudian menyambut hangat giliranku. Pas saat aku sedang akan membuang satu kartuku, Zaimokuza membuat erangan kecil dan memanggilku.
“Omong-omong, Hachiman, rencananya kemana kamu akan pergi besok?”
“Huh? Jangan mengangkat hal-hal yang tidak relevan di tengah pertandingan.”
Tch, pria ini harus menanyakan tentang hal yang paling menjengkelkan. Aku bergolak dengan niat membunuh dan pas saat aku baru akan menjawabnya, dia tiba-tiba memalingkan kepalanya ke arah Totsuka.
“Kalau begitu tidak apa-apa. Kemana kamu akan pergi Tuan Totsuka?”
“Um, Aku pikir kita akan pergi ke Vihara Eigamura dan Ryouan-ji. Setelah itu—“
Totsuka meletakkan kartunya di lututnya dan membuat postur melihat ke atas untuk mencoba mengingat apalah tempat itu. Karena dia terlihat sangat imut, aku melemparkan diriku ke dalam percakapannya.
“Setelah itu Vihara Ninna-ji dan Vihara Kinkaku-ji.”
“Ah, itu benar.”
Selagi dia mengatakannya, Totsuka segera membuang selembar kartu.
Pas setelah itu, Zaimokuza melompat berdiri dan menunjukku dengan penuh semangat.
“Oke, Hachiman, kamu tidak mengatakan UNOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!”
“Kh, huh…”
Pada saat kenyataan itu menghantamku, aku sudah terlambat. Totsuka sudah membuang kartunya.
“Yaaaay!!”
“Yaaaaay!”
Zaimokuza berteriak dengan kegembiraan atas keberhasilannya dan ketika dia mengangkat tangannya, Totsuka juga mengangkat tangannya dan mereka saling tos.
Huh, apa-apaan, mereka berdua bersekongkol bersama? Tidak tunggu, aku juga mau tos dengan Totsuka…
Itu kotor, Zaimokuza, benar-benar kotor.
Dia merebut timingnya dariku ketika dia memanggilku. Itu benar-benar tidak adil…
Tapi, aku sepenuhnya puas karena Totsuka yang sedang bergembira sangatlah menggemaskan.
“Hachiman, pinalti, pinalti!”
“Memang, Hachiman! Permainan pinaltilah itu! Tetap dalam posisimu saat kami memikirkan hukumanmu!”
Mereka berdua benar-benar bersemangat tinggi, sebuah efek samping dari suasana meriah pada malam karya wisata.
Yang lain juga melakukan hal yang sama dan grup Mahjong di arah yang lain itu benar-benar luar biasa bersemangatnya dengan ide yang mirip seperti permainan pinalti.
“Baik, si pecundang besar akan…”
Yamato, yang menyatakan, melirik ke arah Oooka.
“Pergi ke ruangan para gadis dan ambil beberapa permen!”
“Oh, apa kamu seriuuuus, kalian harus mengheeeeeeeentikan itu!”
Itu terlontar… Mengusulkan untuk pergi ke ruangan para gadis kurang lebih adalah hal yang normal bagi kelompok di sebelah sana. Tapi, Hayama berusaha untuk menahan kegembiraan mereka dalam responnya akan usulan itu.
“Ah, tentang itu, Atsugi sedang menunggu di atas tangga.”
“Tidak lucu…”
Yamato menyegel ketat mulutnya.
Si guru pendidikan jasmani, Atsugi, memancarkan aura yang mengintimidasi dan berkat dialek Hiroshimanya yang misterius, kamu tidak bisa tidak berada sebagai pihak penerima ekspresi wajah kerasnya. Terlebih lagi karena posisinya sebagai guru pendidikan jasmani, dia sering berbaur dengan klub-klub olahraga, jadi mereka mungkin tidak begitu pandai berurusan dengannya. Aku tidak lebih pandai, tentu saja.
“Baik kalau begitu, menyatakan cinta pada para gadis! Ayo kita mulai!”
Oooka dengan cepat melontarkan usulan lain dan segera mendalaminya. Tobe dan Yamato mengomplain dengan booan diikuti dengan yang lain. Hayama tersenyum getir saat dia menjatuhkan sebuah batu.
Mereka terus menerus membuang tsumo-tsumo dan ketika akhirnya giliran Tobe, dia meninggikan suaranya.
“Ah, tsumo.”
Ketika dia menjatuhkan batunya, semua orang menghela.
“Tch, mengapa kamu harus mengatakannya, kamu tidak berguna. Pergi nyatakan cinta.”
“Kami akan membunuh ente. Pergi keluar dari sini dan nyatakan cintamu, ente pecundang.”
Oooka dan Yamato mengutuknya.
“Ada apa dengan perlakuan itu, yo!?”
Tobe melawan sementara Hayama tertawa saat dia menjatuhkan batu-batunya.
“Yah, kamu tahu Tobe, kamu betul pecundang. Kalau begitu, kenapa tidak kamu pergi membelikan kami beberapa jus sebagai permainan hukumanmu?”
“Meskipun aku tidak kalah!? Meski aku sedang akan pergi membeli sesuatu karena toh aku haus!”
Jadi toh kamu pergi juga… Sungguh orang yang jujur… Itu merupakan hukuman yang ringan dari Hayama, tapi dia tentu menyakitinya dengan kata-kata itu tadi…
Ketika Totsuka melihat Tobe keluar dari ruangannya, dia bergugam.
“Ah, kita juga agak haus huh?”
“Memang. Yah kalau begitu, Hachiman, permainan pinaltimu adalah persis itu. Belikan kami beberapa minuman.”
“Baiklah. Apa yang kalian mau? Ramen untuk Zaimokuza, kalau begitu?”
“Hmph, itu adalah usulan yang menarik…”
“Jangan berpikiran aneh.”
Kelihatannya Zaimokuza perlu memakan waktu sejenak untuk memberikan jawabannya jadi aku melihat ke arah Totsuka. Sesaat setelah aku melihatnya, Totsuka tersenyum, nipa~.
“Aku akan serahkan padamu Hachiman.”
“Baiklah.”
Aku berdiri dan meninggalkan ruangannya.
Suara langkah kakiku bergema saat aku menuruni tangga.
Kamar-kamar di lantai atas dikhususkan untuk para gadis. Menurut desas-desus, Atsugi sedang berjaga-jaga di atas tangga untuk mencegah lelaki manapun untuk pergi lebih jauh, tapi tidaklah layak menghabiskan waktu dan usahaku untuk memastikannya.
Mesin sodanya berada di lobi yang berlokasi di lantai satu.
Kami diperbolehkan untuk berkeliaran di lobi jika sudah hampir waktunya tidur. Tapi, karena semua orang sedang sibuk berbaur dengan teman-teman mereka, tidak ada seorangpun yang mau repot-repot datang ke bawah sini. Itu untuk mengatakan bahwa, satu-satunya orang yang akan datang ke bawah sini adalah orang-orang seperti aku dan Tobe yang dipaksa untuk membeli barang karena permainan pinalti.
Pada sudut lobi di depan mesin penjual minumannya terdapat Tobe.
Dia mengambil sekaleng minuman dan membeli lebih banyak lagi setelahnya. Tobe menyadari diriku sesaat setelah aku mendekat.
“Oh, Hikitani, kerja bagus~.”
“Ya.”
Sapaannya selalu “kerja bagus~” entahkah pagi ataupun malam. Itu hampir serupa dengan sapaan “yahallo” Yuigahama. Setelah kami bertukar sapaan, aku berganti tempat dengan Tobe dan berdiri di depan mesin penjual minuman itu.
Tapi, aku dapat merasakan tatapan aneh ini menusuk punggungku, jadi aku berpaling.
Yang anehnya, Tobe masih berdiri disana.
“Ada apa?”
Ketika aku dengan ragu menanyakan pertanyaannya pada Tobe yang masih berada disini meski telah menyelesaikan tugasnya, dia tergelak.
“Naaah, Hikitani, kamu sedang bekerja cukup keras dan semua itu demi diriku. Aku agak mau berterima kasih pada ente atau semacamnya? Kayak, Umpan bagus[10] atau begitulah.”
Untuk informasimu, umpan itu tidak tercatat jika kamu tidak menyarangkan golnya.
“Aku tidak benar-benar berbuat banyak. Yang sebetulnya melakukan usaha terbanyak adalah Yuigahama. Pergi berterimakasih pada dia.”
“Aah, Aku memang berencana melakukan itu juga. Tapi aku pikir aku akan berterimakasih pada ente juga. Berkat ente berdua, Aku sudah akan siap untuk menyatakan cinta, ente tahu? Tapi aku akan bergantung pada ente juga besok!”
Setelah dia mengatakannya, dia segera bergegas pergi.
Hm, Aku rasa dia semacam pria yang baik. Entahpun itu hal yang bagus atau hal yang buruk, dia adalah tipe yang bergerak mengikuti alurnya. Dengan kata lain, dia adalah budak dari suasananya…
Namun, mungkin karena dia memiliki sifat seperti itulah makanya tidak ada apapun yang berkembang dengan Ebina. Tidak usah dipikir-pikirpun dapat terlihat mengapa dia tidak dapat membuat pendekatan yang cocok karena dia akan merespon pada setiap detik yang berubah di dalam suasana.
Itu akan menjadi perjalanan yang penuh gelombang…
Pernyataan cinta, huh? Itu tidak akan mudah, tapi aku harap itu akan sukses untuknya.
Karena aku tiba-tiba disergap dengan rasa lelah, aku memutuskan untuk meminum sedikit kopi MAX manis untuk mengusirnya.
Aku melotot pada pilihan-pilihan yang tersedia di mesin penjual minuman itu dari atas, satu per satu.
…?
Sekali lagi, aku melotot pada pilihan-pilihannya, tapi kali ini dari bawah.
Lagi, seakan aku sedang mencari buku GaGaGa di toko buku, aku dengan hati-hati memeriksa setiap pilihan. Jika aku memutuskan untuk mencarinya dengan cepat, aku mendapat firasat aku akan sepenuhnya melompati buku bertulang-belakang biru itu.
Tapi, tidak peduli seberapa banyak kalipun kucari, aku tidak dapat menemukan kaleng gula itu (MAX).
Eh… apa yang sedang terjadi disini?
Aku terus mencari dan mencari, tapi hanya kopi Pachimon MAX yang dijual disini!
Ini adalah Kyoto… Seperti yang diduga dari kastil kerajaan yang terbentang selama ribuan tahun…
Aku berkompromi dan sebagai gantinya aku mengambil sekaleng café au laut. Yah, panjang kalengnya sama jadi minumannya sama, kurasa.
Aku membuka kalengnya dan terbenam ke dalam sofa di sudut lobi tersebut.
Walaupun aku ditugaskan untuk membeli minuman sebagai hukuman karena kalah, Aku tidak ada keinginan dalam diriku untuk kembali ke ruangan yang berubah menjadi sebuah rumah Mahjong.
Selagi aku menyesap sedikit kopi yang agak manis itu, sebuah sosok yang kukenal muncul dari sudut lobi itu.
Orang yang muncul sambil berjalan cepat dengan gaya seperti bangsawan itu adalah Yukinoshita Yukino.
Dia sedang menampilkan penampilan kasarnya dengan rambut diikat ke atas seakan dia baru saja keluar dari kamar mandi, pemandangan langka.
Yukinoshita menuju ke arah sudut cinderamata hotel tersebut dalam penampilan saat ininya.
Ketika dia sampai kesana, dia dengan saksama menatap pada salah satu raknya… Yah, bagi Yukinoshita untuk memeriksa benda apapun dengan sebegitu seriusnya berarti dia akan membeli benda itu.
Yukinoshita meletakkan tangannya ke bibirnya, berpikir sejenak, dan setelah akhirnya memutuskan, dia menjulurkan tangannya menuju barang dagangan itu. Tapi, pas pada saat tersebut. Persis pada saat tersebut ketika Yukinoshita memperhatikan sekelilingnya.
Tentu saja, matanya bertemu dengan mataku karena aku sedang menatapnya sepanjang waktu tersebut.
Yukinoshita menarik kembali tangan terjulurnya dan kembali ke jalan asal datangnya dengan ekspresi yang dipalsukan.
…Pola lama yang sama. Aku mengomunikasikan sebuah “selamat malam” pada Yukinoshita dan menyesap sisa dari café au laitku.
Tapi, Yukinoshita dengan cepat berjalan ke arahku.
Dia berdiri di depanku dengan tangannya tersilang dan melihat ke bawah pada posisi sedang dudukku.
“Cukup kebetulan bertemu denganmu selarut ini.”
“Itu adalah sesuatu yang seharusnya kamu katakan tadi…”
Daripada itu, aku terkejut dia bersusah payah datang untuk memberitahuku itu. Namun, ada apa dengan gadis ini dan tingkah angkuhnya…?
“Apa yang salah? Apakah kamu melarikan diri karena terlalu sulit untuk tetap tinggal di dalam ruangan itu?”
“Orang-orang muda itu menugaskanku dengan sebuah misi, itu saja. Kamu?”
Yukinoshita menghela dengan ekspresi muak.
“…Teman sekelasku menarikku ke dalam diskusi mereka. Mengapa mereka begitu suka membicarakan tentang hal-hal itu?”
J-Jenis percakapan apakah itu… Itu tidak menarik minatku, tapi rasanya dia akan marah denganku jika aku menanyakannya jadi aku simpan ke dalam hatiku. Malahan, saat-saat seperti ini adalah saat ketika aku mengatakan sesuatu untuk memastikan keselamatanku.
“Yah, kamu seharusnya mempertimbangkan untuk terlibat ke dalamnya sendiri jika kamu akan ditanyakan tentangnya. Bukan sesuatu yang buruk, benar?”
“Kamu berbicara macam itu tidak ada hubungannya denganmu. Pada awalnya, selama Festival Budaya, kamu…”
Tatapan yang melihat ke bawah padaku berubah menjadi lototan yang menusukku pada pertengahan kalimatnya.
“A-Aku…? Tidak, tunggu. Aku tidak salah disini.”
Aku tidak tahu apa yang sedang dimaksudkannya, tapi untuk sekarang, aku memastikan untuk berkeras tentangnya. Ketika aku melakukannya, Yukinoshita menekan dahinya dan menutup matanya. Dia membuka mulutnya dengan pasrah.
“…Tidak ada apa-apa. Jadi, apa yang sedang kamu lakukan disini?”
“Istirahat sedikit dari bersenang-senang. Bagaimana denganmu? Bukankah kamu akan membeli sebuah cinderamata?”
“Tidak sama sekali. Sesuatu hanya menarik minatku, itu saja.”
Yukinoshita mengalihkan pandangannya dengan sedikit helaan.
Iyakah? Aku pikir sudah pasti dia akan membelinya karena dia sedang melihatnya dengan sangat serius, tapi aku rasa dia hanya melihat pada Pan-san edisi spesial Kyoto.[11].
“Apa kamu tidak membeli cinderamata apapun?”
“Itu hanya akan mengangguku jika aku membelinya sekarang. Aku akan membelinya pada perjalanan pulang.”
“Oh, begitu. Apa kamu sudah memutuskan apa yang akan kamu beli?”
“Kira-kira. Yah, pada dasarnya itu hanyalah barang-barang yang Komachi ingin kubelikan. Ah, adakah tempat dengan dewa pengetahuan disekitar sini?”
Aku pikir aku akan menanyakannya. Jangan kecewakan aku, Nona Yukipedia. Yukinoshita mengedip dan memalingkan kepalanya.
“Berdoa untuk kesuksesan Komachi?”
“Yep.”
Ketika aku menjawabnya, Yukinoshita tersenyum. Sebagai abangnya, aku sangat senang bahwa adik perempuanku dicintai oleh begitu banyak orang.
“…Mari kita lihat.”
Yukinoshita duduk di sampingku sambil merenung. Yah, toh berbincang sambil berdiri sangat melelahkan. Aku mengikutinya dengan membuat sedikit jarak diantara dia dan aku.
“Kuil Kitano Tenman-gu cukup terkenal.”
“Tenman-gu huh, Aku akan mengingatnya.”
Aku juga akan menuju kesana saat kita bisa berkeliaran sesuka kita pada hari ketiga. Juga ada jimat yang akan kubeli, tapi membuat doa pasti akan menghabiskanku sedikit uang. Menenteng sebuah hamaya [12] selama perjalanan pulang juga merepotkan... dipikir lagi, apakah orang itu masih akan diberkati bahkan jika mereka tidak menulis di plakat kayunya?
“…Tidak masalah jika kamu khawatir tentang Komachi, tapi bagaimana tentang permintaannya?”
Agh, sial, aku sedang berenang kesana kemari dalam pikiranku tadi.
“Permintaannya kira-kira bisa dibilang tidak berjalan baik, tapi juga tidak berjalan buruk.”
Ketika aku menjawabnya, Yukinoshita mengalihkan matanya, terlihat menyesal.
“Maafkan aku, aku tidak banyak membantu karena aku berada di kelas lain.”
“Tidak usah khawatir akan itu. Aku berada di dalam kelas yang sama dan aku tidak melakukan apapun.”
“Aku rasa kamu seharusnya sedikit lebih khawatir akan itu…”
Selagi kami meneruskan perbincangannya, Ibu Hiratsuka berjalan lewat. Dia sedang memakai sebuah mantel di atas setelannya dan untuk alasan tertentu, dia sedang memakai kacamata hitam meskipun di luar gelap gulita.
Sesaat setelah dia menyadari keberadaan kami, dia terlihat jelas kelimbungan.
“M-Mengapa kalian ada disini?”
“Yah, aku cuma datang kemari untuk membeli sedikit minuman. Apa yang sedang kamu lakukan pada jam segini, guru?”
“M-Mmm… J-Jangan beritahu siapapun, oke? Rahasiakan ini, oke?”
Ibu Hiratsuka berkeras dalam peringatannya dan karena dia terlihat lebih feminin dari biasanya, jantungku melompati beberapa detakan. Aku agak sedikit malu dan kata-kata “Shizukaimut” mengapung-apung di kepalaku, tapi kata-kata selanjutnya menghancurkan pemikiran itu.
“U-Um… A-Aku hanya mau pergi… Pergi makan sedikit ramen…”
Dia tidak bagus. Aku mau kamu mengembalikan kata-kata junjunganku kembali.
Baik Yukinoshita dan aku melihat ke arahnya dengan putus asa, tapi Ibu Hiratsuka menyilangkan lengannya dan membetulkan posturnya seakan sesuatu terlintas di pikirannya.
“Hm. Yah, jika itu kalian berdua, seharusnya tidak ada masalah.”
“Katakan lagi?”
Setelah beberapa saat mencoba untuk menafsirkan arti kata-katanya, Yukinoshita memalingkan kepalanya.
Ibu Hiratsuka tersenyum singkat pada Yukinoshita dan ketika dia melihat ke arahku, dia menunjukkanku seringai nakal.
“Aku yakin Yukinoshita akan menjaga rahasianya, tapi sayangnya, aku tidak bisa mengatakan hal yang sama dengan Hikigaya.”
“Itu kejam…”
Aku pasti akan pergi melaporkanmu. Kendati aku tidak memiliki orang untuk melaporkan dirinya.
Setelah menyaksikan tingkah melawanku, Ibu Hiratsuka mengosongkan tenggorokannya dan menambahkan.
“Maka dari itu, aku akan mentraktir kalian semangkuk ramen agar kalian diam. Jadi, bagaimana kalau kita makan sedikit ramen?”
…Ramen, kamu bilang? Jadi singkatnya, pergi denganmu, huh?
Ramen Kyoto, ini akan menjadi yang pertama untukku. Perutku sudah siap untuk mencerna, mungkin sebuah efek samping masa muda. Malahan, hanya mendengar kata ramen saja sudah membuat perutku terasa lebih kosong.
“Yah, jika anda berkata begitu.”
Ketika aku menjawabnya, Ibu Hiratsuka mengangguk senang.
Aaah, tidak bisa menunggu untuk makan ramen Kyoto. Saat pikiran tersebut berkeliaran dengan merajalela di kepalaku, Yukinoshita, yang sedang duduk disampingku, dengan diam berdiri.
“Yah kalau begitu, aku akan pergi balik.”
Dia membungkuk dengan cantik pada Ibu Hiratsuka dan berpaling ke arah berlawanan. Ibu Hiratsuka memanggil Yukinoshita dari belakang.
“Yukinoshita, kamu juga ikut makan.”
“Tidak, itu…”
Yukinoshita berpaling di setengah jalan dan menurunkan matanya dengan tampang kesusahan. Ibu Hiratsuka tersenyum menyeringai ketika dia melihatnya.
“Oh, kamu bisa menganggapnya sebagai kegiatan ekstrakulikuler. Toh masih belum begitu larut.”
“Tapi, aku masih berpakaian seperti ini.”
Dia meremas manset longgar pada lengan baju di setiap tangannya dan membentangkannya seakan dia sedang membungkuk. Ibu Hiratsuka menanggalkan mantelnya dan melemparkannya kepada Yukinoshita yang enggan.
“Kamu bisa memakai itu.”
Oh sayang, ada apa dengannya? Begitu keren. Aku akan bisa jatuh cinta padanya jika begini terus. Memang, zamannya sedang demam-demamnya dengan “Shizukakeren” dan bukan “Shizukaimut”.
“Tidak ada celah untuk menolak, huh…”
“Sepertinya begitu.”
Yukinoshita menghela pelan dan memakai mantel yang disodorkan padanya dengan pasrah.
“Kalau begitu ayo kita pergi sekarang.”
Mengajak kita bersama dalam perjalanannya, Ibu Hiratsuka berjalan dalam sepatu hak tingginya dan selagi suara hantaman sepatu hak tingginya dengan lantai bergema, dia dengan gagahnya menuju Kyoto di malam hari.
Angin malamnya sangatlah dingin dan tidak mengenakkan saat kita berjalan keluar dari hotel itu. Aku seharusnya menyadari aku pergi keluar dengan pakaian dalam ruangan juga…
“Kyoto sungguh dingin.”
Ibu Hiratsuka melihat pakaianku dan memberiku senyuman mengejek.
Pas kita sampai ke jalanannya, Ibu Hiratsuka menaikkan tangannya sedikit. Seketika, sebuah taksi ukuran kecil yang sedang meluncur di sekitar berhenti tiba-tiba.
“Masuk dulu, Yukinoshita.”
Yukinoshita dipandu oleh yang bertindak sebagai pengiring, Ibu Hiratsuka. Setelah dia mengatur mantelnya, dia mengangguk pada Ibu Hiratsuka dan menaikki mobilnya.
Selanjutnya, Ibu Hiratsuka juga membukakan jalan untukku.
“Kamu juga, Hikigaya.”
“Tidak apa-apa, guru, anda boleh masuk duluan.”
Namun, aku menolak gagasannya. Ketika aku menolaknya, Ibu Hiratsuka terkejut serta terkesan dan merespon sesuai dengan reaksinya.
“Oh, kamu termasuk tipe perempuan-dulu? Betapa dewasanya dirimu. Tapi, kamu tidak perlu khawatir tentangku.”
“Eh… T-Tidak peduli berapa banyak tahun yang sudah anda lalui, anda masihlah seorang perempuan anda tahu! Tolong lebih percaya dalam diri anda!”
Dengan seringai lebar terpampang di wajahnya, Ibu Hiratsuka mencengkram dahiku.
“Itu karena kursi jok tengah di belakang memiliki peluang kematian terbesar, mengerti kamu…”
“Ouch, ouch, ouch.”
Oleh cakar besi yang mencengkram kepalaku, Aku dilempar ke dalam taxi. Beliau kelihatannya telah menambah variasi serangannya, kendatipun pukulan tubuh sederhana. Ini tentunya merupakan penampilan perkembangan diri kita bersama bagi kita berdua.
“…Bodoh.”
“Diam. Itu bentuk kebaikkanku.”
“Aku rasa pandanganmu tentang kebaikan itu benar-benar salah…”
Ibu Hiratsuka duduk di sampingku. Aku sedang berada dalam kesan bahwa tiga orang di kursi jok belakang taksi kecil ini akan sempit, tapi karena Yukinoshita dan Ibu Hiratsuka memiliki figur langsing, ternyata ada lebih banyak ruang dari yang kupikirkan. Phew… Aku tidak yakin apa yang akan kulakukan jika kita terjepit bersama di ruangan kecil ini.
“Bawa kami ke Ichijouji.”
Ibu Hiratsuka menginstruksikan supirnya dan taksinya berangkat ke sana.
Ichijouji; disana merupakan tempat yang mungkin familier bagi mereka-mereka yang menyukai Miyamoto Musashi. Di atas tanah Ichijouji inilah tertanam pohon pinus sagarimatsu, terkenal sebagai saksi bisu akan duel hidup dan mati antara Musashi dengan Aliran Yoshioka. Menurut orang, cerita ini sebenarnya bukan berdasarkan sejarah aktual dan malahan bercabang dari karya literatur jauh di masa lalu.
Biarpun begitu, Ichijouji jelas terlihat sebagai salah satu area ramen yang kompetitif, menonjol, dibuktikan dari banyak kedai terkenal yang berjajar sisi-demi-sisi.
Itu semua percakapannya sampai kami sampai ke tujuan kami. Taxi itu cepat juga. Jauh lebih cepat daripada salamander. [13]
Dan pas ketika kami turun dari taxinya, sebuah pemandangan mengejutkan terpampang di depan mataku.
“I-Ini adalah Tenka Ippin…”
Memang, Tenka Ippin, yang terbaik di bawah langit. Dan aku tidak mengacu pada keindahannya disini. Aku hanya mendengar rumor-rumor tentang tempat ini. Di dalam sup yang mereka pakai merupakan cairan yang kekentalannya menyelimuti mienya, merendamkan sumpit yang kamu tancapkan ke dalamnya.
Saat aku gemetar dalam gairahku, Yukinoshita berbicara di belakangku.
“Apakah kedai ini terkenal?”
“Ya, sebetulnya kedainya cukup sukses di seluruh negara ini.”
“Apakah kita benar-benar harus bersusah payah untuk datang kemari…?”
Sekarang setelah dia mengatakannya, itu benar. Namun, ada alasan lain mengapa aku begitu tersentuh.
“Kamu tahu… untuk alasan tertentu, tidak ada satupun kedai ini di Chiba. Di seluruh kawasan Kanto, hanya Chiba satu-satunya tanpa kedai ini…”
Menurut sejarah panjang dan luasku (dalam tujuh belas tahun), Chiba dipuji sebagai tempat yang dijanjikan (olehku), tapi bagaimanapun juga, aku tidak dapat menganggap Chiba sempurna. Salah satu alasan untuk ketidaksempurnaan ini adalah kedai yang satu ini, Tenka Ippin.
“Yah, pada entah kapan, ada berdiri satu kedai di Chiba.”
Menyelesaikan rokok sebelum-makan malamnya dengan energetik, Ibu Hiratsuka menghantam lantainya.
“I-Itu dia! Satu-satunya ramenpedia berjalan di Chiba! Tidak, maksudku Satu-satunya dan single!”
“Kamu salah dalam cara membenarkan kalimatmu, Hikigaya.”
“Ouch ouch ouch.”
Suaranya terdengar riang, tapi tengkorakku berkata lain.
“Ada begitu banyak kedainya di seluruh Jepang, tapi pastilah lebih menabjubkan untuk berada di depan kedai pusatnya. Kamu tidak bisa tahu tentang rasanya juga jika itu adalah cabang kedainya yang kecil. Aku selalu ingin mencoba makan disini sekali.”
Setelah akhirnya melepaskan kepalaku, Ibu Hiratsuka memandang bagian luar kedainya dengan mata penuh emosi.
“Kalau begitu sekarang mari kita masuk.”
Untungnya, ada banyak tempat kosong di dalam kedainya.
Kami duduk pada meja kedainya dengan susunan Ibu Hiratsuka, Yukinoshita, dan kemudian aku.
“Kotteri[14].”
Ibu Hiratsuka memesan bahkan tanpa melihat menu sekejap pun. Yah, aku sendiri ingin merasakan kotteri dari TenPin, dengan rumor-rumornya dan semacamnya.
“Sama denganku disini.”
“…”
Aku tidak mendengar pesanan dari Yukinoshita jadi aku melihat ke arahnya. Ketika aku melihatnya, aku tidak dapat tidak terdiam ketika aku melihat bagaimana gelisahnya Yukinoshita saat dia melihat ke sekelilingnya.
Dia menarik lengan bajuku.
“…Hei, apa itu sup?”
Itu seakan ekspresinya penuh dengan ketakutan. Tidak, sebenarnya itu mungkin beneran ketakutan. Tapi, kamu tahu, bagaimana tepatnya kamu akan makan jika kamu setakut ini? Dan naritake itu, itu tidak memiliki banyak sup karena itu hanyalah lemak. Namun itu super enak.
Ibu Hiratsuka tergelak melihat tingkah lucu Yukinoshita dan membukakan menu untuknya.
“Ada juga sup assari. Aku rasa itu lebih cocok dengan seleramu.”
“Ah, tidak terima kasih. Aku merasa kenyang hanya dengan melihatnya…”
Yukinoshita yang terkejut menggeleng kepalanya dengan ekspresi ketakutan yang mirip seekor kucing.
“Oh? Jika begitu, kenapa tidak kita pesan porsi kecil saja dan kamu bisa mencoba sedikit.”
Bahkan dengan saran Ibu Hiratsuka, Yukinoshita masih terlihat takut, tapi dia dengan enggan menggangguk setuju.
Setelah kami memesan, perlu sedikit waktu sebelum ramennya di bawa kepada kami.
Aku mengangkat sumpitnya dan menepuk tanganku.
“Terima kasih untuk makanannya.”
Hooo boi! Rasa kental yang tertinggal pada sumpit ini! Aku tidak bisa puas merasakannya!
Sup mengalir yang sepenuhnya menyelimuti mienya. Tekstur supnya yang kental dan dalam adalah sesuatu yang hanya dapat kamu rasakan di tempat seperti Tora no Ana di Chiba.
Apa-apaan ini, ini sangat enaaaaaak!
“Mari, Yukinoshita.”
Ms. Hiratsuka denngan pelan meletakkan seporsi makanan kecil di depan Yukinoshita. Yukinoshita terlihat sedikit kebingungan, tapi setelah meletakkan keteguhan hatinya, dia mengambil sumpit dan sendok. Dia dengan lembut membetulkan rambut di belakang telinganya dan dengan pelan mengangkat sendoknya ke mulutnya. Caranya meminum dan menelan sup pekatnya begitu memikat sampai aku harus memalingkan mataku.
Setelah mengelap sup di sekeliling mulutnya, dia membuat ekspresi yang sungguh serius.
“…Sungguh rasa yang ganas.”
Yay, begitu akurat.
Saat kami menyambut rasa lezat ramennya, dengan waktu yang selarut ini, aku tidak dapat tidak berpikir apakah bertindak seperti ini merupakan hal yang baik atau tidak. Pemikiran itu keluar dari bibirku.
“Namun, apa seorang guru boleh melakukan hal ini?”
Begitulah yang kukatakan, tapi Ibu Hiratsuka tetap kalem.
“Tentu saja tidak. Itulah mengapa aku membayar untuk membungkam mulutmu.”
“Bukankah itu lebih tidak seperti seorang guru…?”
Yukinoshita merespon dengan nada terkejut, tapi Ibu Hiratsuka terus makan tanpa terlihat gelisah sedikitpun.
“Guru itu manusia dan juga orang dewasa. Kami juga melakukan kesalahan yang bisa orang lain lakukan entahpun kami sadar akannya atau tidak.”
“Tidakkah anda akan ditegur jika anda tertangkap?”
Meski aku mungkin akan ikut tertarik ke dalamnya juga.
“Itu tidak akan terjadi. Paling tidak, mereka hanya akan memanggilku sebagai tindakan formal, memberiku beberapa kata ketidaksetujuan, dan berhenti di situ.”
“Bisakah anda menyebut itu teguran…?”
Aku setuju dengan Yukinoshita. Ibu Hiratsuka meminum sisa sup di mangkuknya dan dengan anggun menyapu mulutnya dengan serbet. Dia lalu berpaling ke arah kami.
“Itu berbeda. Disuruh untuk tidak menimbulkan masalah dan disuruh untuk menyelesaikan masalah merupakan sepenuhnya dua hal yang berbeda.
“Aku tidak paham.”
“…Aku bingung. Mungkin itu karena kami tidak ada pengalaman ditegur?”
Yukinoshita meletakkan tangan yang dikepal pelannya ke dagunya dan sedang melamun untuk menggali memorinya. Ibu Hiratsuka menganggukan kepalanya setelah melihat ke arah Yukinoshita.
“Oh begitu, kalau demikian mariku tegur kamu dengan benar. Aku sebenarnya tidak berencana untuk menegur tapi aku rasa aku agak sedikit terlalu polos.”
“Tidak, tidak apa-apa kalau tidak ditegur.”
Aku melambaikan tanganku dan menolak tawarannya. Jika dia menegur lagi dan aku menderita lebih banyak luka fisik lagi, aku akan menjadi barang bekas dan aku akan memintamu untuk mempertanggungjawabkannya dan buat aku jadi suamimu. Tapi tunggu, itu sebetulnya tujuanku selama ini…
Selagi aku resah akan berbagai hal, Yukinoshita terlihat benar-benar kalem.
“Aku tidak keberatan karena aku tidak pernah ditegur sebelumnya.”
“Yukinoshita, ditegur bukanlah pasti sesuatu yang buruk. Itu hanya berarti bahwa seseorang sedang menjagamu.”
Bahu Yukinoshita jatuh sedikit mendengar kata-kata Ibu Hiratsuka. Dia menurunkan kepalanya dan melihat ke bawah. Aku tidak tahu apakah ada sesuatu yang menarik perhatiannya atau tidak.
Ibu Hiratsuka dengan lembut menepuk bahu Yukinoshita.
“Aku sedang menjagamu, jadi jangan khawatir dan buat semua kesalahan yang kamu inginkan.”
Kami turun dari taksi yang membawa kami kembali dan Ibu Hiratsuka mulai berjalan ke arah berlawanan dari hotelnya.
“Aku akan pergi membeli sedikit sake untuk sesi minum. Sampai jumpa. Hati-hati di jalan.”
Apa itu benar-benar tidak masalah?
Ibu Hiratsuka melambaikan tangannya dan kami merespon dengan cara yang sama. Yukinoshita dan aku mulai berjalan menuju penginapannya. Kami berdua membisu tapi aku rasa ini sepenuhnya alami bagi kami berdua.
“……”
“……”
Yukinoshita berada pada beberapa langkah di depanku.
Tapi, tiba-tiba dia berhenti. Dia mulai melihat sekeliling dengan resah.
…Aku rasa ini apa yang kalian sebut nalar wajar yang dibangun dari pengalaman, tapi aku agak mengerti mengapa Yukinoshita sedang sangat bermasalah.
“Ke kananmu.”
“…O-Oh begitu.”
Dia merapikan mantelnya yang belum dikembalikannya pada Ibu Hiratsuka dan menutupi wajahnya untuk menghindari tiupan angin malam.
Aku tersenyum getir, menarik nafas pelan, dan mulai berjalan di depan Yukinoshita. Setidaknya aku akan menunjukkannya jalan kembali.
Suara langkah kakinya melambat mengindikasikan bahwa dia tahu tentang apa yang ingin aku lakukan.
Tapi suara langkah kaki itu dengan perlahan menjauh.
Berpikir bahwa itu aneh, aku berpaling hanya untuk melihat bahwa jarak antara aku dan Yukinoshita sudah cukup lebar.
“Jika kamu sebegitu jauhnya dariku, kamu akan tersesat lagi…”
“Tidak… um…”
Aku bertanya padanya tapi aku tidak mendapatkan respon yang jelas. Dia mengangkat mantelnya dan menimbun wajahnya pada kerah mantelnya yang meredam suaranya.
Aku tidak mengerti apa yang sedang dia coba katakan, tapi akan menjengkelkan jika kita berpisah disini dan akhrinya dia tersesat. Dengan pemikiran itu, aku menunggunya untuk datang ke arahku.
Selagi kami berdiri di posisi saling berhadapan, Yukinoshita dan aku menatap satu sama lain. Namun, apa-apaan yang sedang kita lakukan disini…?
Selagi kami berdiri di sana untuk sesaat, Yukinoshita mengeluarkan helaan pasrah.
“Aku tidak akan keberatan jika kamu pergi duluan…”
Dia bergugam dan dengan enggan berjalan ke sisiku. Hal ini mirip seperti telah berhasil membujuk seekor kucing liar kurasa.
“Nah, Aku rasa tidak masalah jika aku pergi duluan atau tidak. Toh tempatnya tepat disana.”
“…Mungkin tidak untukmu, tapi bermasalah buatku.”
Aku tidak dapat tidak merespon dengan jawaban yang tidak jelas. Yah, itu dianggap sebagai tingkah baik untuk bertindak seakan kamu tidak mendengar apapun jika pihak lain terlihat seperti mereka sedang kesusahan untuk mengatakan sesuatu.
“Apa masalahnya?”
“Um… di malam selarut ini… dilihat bersama-sama itu agak…”
Cuacanya tidak sebegitu dingin namun Yukinoshita menyelinap ke dalam mantelnya sambil menyembunyikan wajahnya.
“…O-Oh begitu.”
Sekarang setelah dikatakannya, aku dengan kalem mulai berpikir tentang situasi kami sekarang ini. Benar, semua yang kami lakukan hanya bertemu satu sama lain saat hampir jam malam.
Itu tentunya sesuatu yang tidak perlu begitu disadari dan dikhawatirkan dan bahkan juga aneh. Sama sekali tidak ada apapun.
Aku harus mencatat bahwa ini adalah yang pertama kalinya aku melihat Yukinoshita seperti ini.
Dia akan tetap menjaga matanya terpaku pada kakiku hanya agar dia tidak akan tersesat sekaligus sambil berhati-hati akan sekelilingnya.
Caranya dengan malu-malu menyembunyikan matanya dan caranya menjulurkan tangannya sedikit ke arahku untuk menghentikanku berjalan terlalu jauh ke depan hanya untuk menariknya kembali adalah hal yang tidak pernah kulihat dilakukannya sebelumnya.
Tingkah canggung tersebut menular dan aku secara tidak sadar mulai menggerakkan tangan dan kaki kananku bersamaan. Karena itu, penginapannya terasa jauh.
Baik Yukinoshita dan aku sama sekali tidak berjalan berdampingan tapi selagi kami berjalan, itu terasa seperti kita tidak sebegitu dekat namun kita juga tidak sebegitu jauh dari satu sama lain.
Sesaat setelah kami akhirnya sampai ke lobi hotelnya, aku tiba-tiba merasa letih.
Di depan pasti akan ada murid. Jika Yukinoshita sedang was-was akan sekelilingnya, maka akan lebih baik untuk berpisah disini.
Aku menghentikan langkahku untuk membiarkan Yukinoshita maju duluan dan aku menaikkan tanganku sedikit.
“Sampai jumpa.”
“…Kamu juga, selamat malam… Um, terima kasih telah memanduku kembali.”
Setelah dia menjawab, dia mulai berjalan duluan. Kami sudah berada di dalam ruangan namun dia masih memakai mantelnya. Karena dia berjalan begitu cepat, manset mantelnya terus melambai kesana-kemari.
Aku memikirkan tentang hal-hal tak berguna seperti apakah dia berencana untuk mengembalikan mantelnya atau tidak selagi berjalan kembali ke ruanganku.
Ketika aku masuk, ruangannya masih digunakan sebagai sebuah rumah Mahjong.
“Ah, Hachiman, selamat datang kembali.”
Totsuka dan Zaimokuza sedang memainkan old maid.
“Kemana kamu pergi? kamu benar-benar lamban.”
“Benarkah?”
Yah, sudah kira-kira dua jam kubilang sejak aku pergi.
“Jadi, dimana minuman dan ramenku?”
“Ah.”
Oh iya, aku masih di tengah permainan pinaltiku.
“Jangan bilang kamu lupa?”
Aku tidak menghiraukan Zaimokuza yang sedang melihatku seakan aku adalah seorang idiot. Malahan aku memasang tingkah profokatif.
“…Hmph, macam benar saja. Aku membawanya oke… Tepat disini.”
Aku menunjuk tajam pada perutku dan muka Zaimokuza berubah warna karena syok.
“A-Apa!? Kamu pergi keluar untuk makan… sungguh pria yang mengerikan…”
Zaimokuza menyapu keringat di alisnya dan memandangku dengan hormat. Hmph, terlalu enteng.
Tapi, ada satu orang lagi yang tidak tertipu dengannya.
“Kalau begitu, kurasa kamu akan pergi sekali lagi, huh?”
Totsuka tersenyum dan menuntut pesanannya lagi. Phew, Totsuka super menakutkan…
Mundur ke Bab 5 | Kembali ke Halaman Utama | Lanjut ke Bab 7 |
Catatan Translasi[edit]
<references>
- ↑ Referensi Evangelion.
- ↑ Jalan Setapak dari Nanzen-ji sampai Ginkaku-ji Peta
- ↑ http://jjba.wikia.com/wiki/King_Crimson
- ↑ http://en.wikipedia.org/wiki/The_%22Hentai%22_Prince_and_the_Stony_Cat.
- ↑ Kamar mandi disini adalah "Unit-bath" dimana toilet dan tempat berendam (Bak) dijadikan satu
- ↑ Referensi pada anime terpanjang berjudul 'Sazae-san'. Nakajima adalah teman dari Isono Katsuo.
- ↑ Game Dokapon Kingdom disebut sebagai game 'Penghancur Pertemanan' karena elemen kunci dalam gamenya adalah saling menghambat laju pemain lain. Jadi akan banyak pengkhianatan, pencurian, orang bermuka dua, ataupun pembunuh bayaran/bandit yang mengincarmu atas bayaran pemain lain
- ↑ The Crayon Kingdom of Dreams. Anime 70 episode dari '97-'99
- ↑ Semacam Monopoli
- ↑ Assist dalam sepak bola. Umpan yang menghasilkan gol
- ↑ Boneka fantasi, panda dengan tanda seperti bintang disekitar mata kirinya.
- ↑ anak panah pengusir setan Hamaya
- ↑ Bahamut Lagoon
- ↑ Kotteri