Difference between revisions of "Hakomari (Indonesia):Jilid 1 Ke-27755 kali (2)"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
m
Line 1: Line 1:
  +
==Ke-27,755 kali (2)==
<i>
 
"Ini mungkin agak terlambat, tapi akhirnya aku menyadari kalau aku tidak membutuhkanmu."
+
<i>"Ini mungkin agak terlambat, tapi akhirnya aku menyadari kalau aku tidak membutuhkanmu."
   
 
Dia menggerakkan kepalanya. Mungkin itu terlalu tiba-tiba baginya.
 
Dia menggerakkan kepalanya. Mungkin itu terlalu tiba-tiba baginya.
Line 160: Line 160:
 
Aku hanya tidak ingin untuk---
 
Aku hanya tidak ingin untuk---
   
"---mati!!"
+
"---mati!!"</i>
</i>
 
   
 
<noinclude>
 
<noinclude>
 
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
 
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
 
|-
 
|-
  +
| Balik ke [[Utsuro_no_Hako Bahasa Indonesia:Jilid 1 Ke-27755 kali|Ke-27,755 kali]]
| Back to [[Utsuro no Hako:Volume1 27755th time Bahasa Indonesia|27755th time]]
 
| Return to [[Utsuro no Hako to Zero no Maria Bahasa Indonesia|Main Page]]
+
| Kembali ke [[Utsuro no Hako to Zero no Maria Bahasa Indonesia|Halaman Utama]]
  +
| Lanjut ke [[Utsuro_no_Hako Bahasa Indonesia:Jilid 1 Ke-27755 kali (3)|Ke-27,755 kali (3)]]
| Forward to [[Utsuro no Hako:Volume1 27755th time (3) Bahasa Indonesia|27755th time (3)]]
 
 
|-
 
|-
 
|}
 
|}

Revision as of 03:32, 1 August 2012

Ke-27,755 kali (2)

"Ini mungkin agak terlambat, tapi akhirnya aku menyadari kalau aku tidak membutuhkanmu."

Dia menggerakkan kepalanya. Mungkin itu terlalu tiba-tiba baginya.

"Sebenarnya, sudah lama aku menyadari kalau kau itu adalah pengganggu, apa kau tahu? Tapi aku tidak ingin menjadi begitu kejam. Lagi pula, kita kan «teman», dulunya."

Tapi, kita bukan teman lagi.

Kupikir dia masih menganggapku sebagai seorang «teman». Hingga kemarin, kami begitu akrab hingga kami mau mendengarkan masalah cinta satu sama lain. Tapi sekarang aku sudah berubah, aku tidak bisa berpikir seperti itu lagi. Oleh karena itu, kamu bukanlah «teman» lagi.

Bukan hanya itu masalahnya bagiku. Dia tidak mungkin meragukanku, meskipun aku telah berubah. Bahkan ketika aku berbicara padanya dengan sangat berbeda dibanding yang dulu, dia tidak bisa menyadarinya.

--«Tidak ada seorangpun yang bisa mengganggu perubahanku».

Itu adalah aturan dari dunia ini.

Misalkan, di dunia biasa, aku berubah sedangkan orang lain tetap seperti biasanya. Baginya, dia menganggapku sebagai seorang teman. Jadi jika aku berubah, dia akan menganggapku tidak seperti biasanya. Itu jelas-jelas mengganggu kebebasanku untuk berubah. Itu mungkin mirip seperti reaksi terhadap seseorang yang tiba-tiba mencat pirang rambutnya ketika liburan musim panas. Kemungkinan bagiku akan menjadi terbatas jika aku berada di lingkungan dimana aku tidak bisa berubah dengan bebas.

Kalau itu terjadi, permohonanku satu-satunya, yaitu «melewati hari ini tanpa penyesalan», tidak akan bisa terkabul.

Itulah kenapa aturan yang praktis itu dibuat.

Benar. Dunia ini seluruhnya dibuat untuk memudahkanku.


Dan meski begitu--


Dan meski begitu... apa? Aku tidak bisa memikirkan hal yang selanjutnya.

Aku merasa kalau aku tidak boleh memikirkan hal itu.

Karena itu aku mengabaikan pikiran itu dan mengganti topik pembicaraannya.

"Tidakkah kau pikir kalau 'cinta' mirip dengan menumpahkan kecap keatas pakaian putih?"

Dia terlihat tidak mengerti pengandaianku dan menggelengkan kepalanya.

"Coba misalkan kau menumpahkan kecap di atas pakaian putihmu, oke? Bahkan jika kau membersihkannya, noda-nodanya akan tetap tersisa. Mereka akan menetap disana selamanya. Jadi, kau akan tetap mengingat 'Aah, aku menumpahkan kecap disitu...' ketika kau melihat mereka. Tidak mungkin kau akan lupa karena noda-nodanya menetap disana selamanya."

Aku membuka sebuah laci lemari.

"Itu membuatku muak, kau tahu."

Aku menggenggam pisau dapur didalam laci dengan erat.

"Yang kumaksud adalah, kenyataan kalau noda seperti itu menghancurkan pikiranku."

Aku mengeluarkan pisau dapur itu.

Aku telah menggunakan pisau dapur ini untuk tujuan yang sama beberapa kali. Pisau disini adalah yang paling tajam.

Dia menjadi pucat ketika melihatku menggenggam sebuah pisau. Dia bertanya padaku, "Apa yang akan kau lakukan dengan benda itu?" meskipun dia pasti bisa membayangkannya. Tapi dia tidak bisa mempercayai kalau aku akan benar-benar melakukan apa yang dia «perkirakan».

"Kau ingin tahu apa yang akan kulakukan dengan benda ini? Ufufu..."

Tapi kau tahu? Maaf. Itu sepertinya---

"Aku akan menolakmu!"

---seperti apa yang kau bayangkan.


Aku *****nuh ****** dengan sebuah *****.


Aku mencoba untuk tidak memikirkan perasaan yang gelap, dan menyakitkan yang akan muncul itu. Meskipun sia-sia saja melawan perasaan itu, meskipun aku harus menolaknya hanya karena tujuanku, aku mencoba melawannya. Karena aku tidak ingin merasakan perasaan ini. Karena aku selalu bersikap seperti aku tidak bisa merasakan perasaan itu hingga sekarang.

Dia terjatuh dan memuntahkan darah.

Dia pasti kesakitan. Kasihan sekali.

Mungkin, aku gagal. Seharusnya aku *****nuhnya secepat mungkin sehingga dia tidak bisa merasakan rasa sakit lagi.

"Kau tahu, gagal dalam melakukan ini bisa agak menakutkan. Anak laki-laki bisa memunculkan kekuatan yang tidak masuk akal ketika mereka terpojok. Bahkan seorang anak laki-laki yang kurus sekalipun jauh lebih kuat daripada aku. Di pukul dengan tenaga seperti itu sangat menyakitkan. Tapi yang lebih menakutkan adalah mata mereka saat mereka memukulku. Mereka melihatku seperti kalau aku adalah sampah. Kenapa aku gagal lagi? ...ah, benar. Karena aku menggunakan sebuah pisau murahan hanya karena itu terlihat keren. Apa kau tahu, kalau membunuh orang dengan benda seperti itu sangat sulit? Dan itu tidak menyenangkan. Menusuk atau memotong orang. Itu menjijikan! Aku bisa muntah karenanya. Aku juga pernah menangis, menanyakan diriku sendiri kenapa aku harus melakukan hal yang tidak menyenangkan seperti itu. Tapi apa kau tahu? Pada akhirnya, hal yang sama akan terjadi terus menerus selama orang yang dibicarakan terus mengambil tindakan yang sama. Dan karena itu, masa depan yang kuinginkan tidak akan pernah datang. Jadi apa yang harus kulakukan selain menghapus orang itu? Itu tidak bisa tertolong, ya kan? Tidakkah itu kejam? Kenapa aku harus melakukan hal seperti itu?"

Dia melihatku dengan mata yang tidak bertenaga.

"Tapi kau tahu? Mungkin aku tidak perlu menusukmu seperti itu. Pada akhirnya, 'menolak' bisa dilakukan hanya dengan menguatkan pikiran seseorang. Tapi, aku tidak menemukan cara yang lain. Aku tidak bisa 'menolak' siapapun selain dengan cara membunuh mereka dengan tanganku sendiri. Tidak semudah itu untuk 'menolak' seseorang dari dasar hatimu. Aku melakukannya dengan menaruh sebuah beban dihatiku. Dan dengan menciptakan perasaan bersalah itu, aku memaksa diriku untuk melarikan diri dari orang itu. Karena itu aku bisa bebar-benar berpikir kalau aku tidak ingin bertemu dengan orang itu lagi - aku 'menolak' mereka. Pada saat itu tidak ada orang yang bisa mengingat orang itu lagi, tidak peduli apapun yang terjadi."

Dia menurunkan kepalanya, sepertinya tidak mampu mengangkatnya lagi.

"Aku tahu! Itu salahku kan? Itu semua salahku, ya kan? Tapi beritahu aku, apa yang harus kulakukan? ...Maaf. Kau pasti tidak mengerti, benar kan? Aah, kenapa aku berbicara begitu banyak? Aku tahu kenapa. Aku sangat gelisah, sangat gelisah, sangat gelisah, hingga aku tidak bisa diam. Aku diam-diam berharap kalau kau akan memaafkanku jika aku memberitahumu alasanku. Tapi aku tahu; tidak mungkin kau akan memaafkanku, benar kan? Maafkan aku. Sungguh, Aku minta maaf. Maafkan aku, maafkan aku. Maafkan aku karena aku begitu egois. Tapi apa kau tahu? Akulah yang paling menderita. Aku menyalahkan diriku sendiri. Aku tahu kalau aku melakukan sesuatu yang buruk. Jadi, sejujurnya, aku tidak peduli apa yang kau pikirkan tentangku."

Aku heran, sebenarnya aku bicara pada siapa?

Tapi entah kenapa aku merasa kalau itu tidak penting. Lagipula, aku tidak pernah berbicara serius dengan seseorang. Aku bahkan tidak pernah menganggap orang yang terbaring itu sebagai seorang «teman».

Lagipula aku sendirian.

"T-Tidak--"

Meski begitu, Aku tidak ingin mengakuinya.

Meski itu membuatku lebih menyadari seberapa sendiriannya aku, berada di tempat seperti ini, aku hanya bisa berteriak:

Tolong datanglah!

Cepatlah datang!

"Kazu-kun!"

Aku berpikir, sejak kapan... sejak kapan aku memanggil namanya dengan begitu mudahnya? Meski aku sudah sangat sering mendapat izin darinya untuk memanggil namanya seperti itu didalam pengulangan ini, dia tidak pernah mengingatnya.

Dalam sekejap pintunya terbuka.

Dia disini.

Orang yang sudah kutunggu-tunggu, Kazuki Hoshino, disini.

Kazu-kun kehilangan kata-katanya karena melihat pemandangan yang mengerikan ini. Disebelahnya ada gadis yang menyebalkan itu, Aya Otonashi, yang hidup didalam 'box'ku seperti seekor parasit.

"...akhirnya kau datang, Kazu-kun."

Aku terkejut dengan kata-kataku sendiri.

Betapa bodohnya aku?

Sudah berapa banyak dia menghianati harapanku? Bukankah aku sudah menyerah tentang dia beberapa kali diantara penghianatan yang tak terhitung jumlahnya itu?

Ini bahkan bukan kebetulan dia muncul disini. Aku memutuskan untuk mengundangnya kemari, untuk menunjukkan ini padanya.

Meski begitu aku tetap saja berharap untuk sebuah keajaiban karena dia muncul disaat seperti itu, seperti dulu. Aku mulai berharap kalau dia akan membawaku kembali ke dunia yang sesungguhnya.

Meski --- tidak mungkin itu akan terjadi.

Mata Kazu-kun terbuka lebar.

"Kazuki. Aku bisa menebak perasaanmu. Tapi seharusnya kau sudah tahu."

Gadis itu mengatakan sesuatu.


"Kalau si 'pemilik' adalah --- Kasumi Mogi."


Kazu-kun mengarahkan matanya yang terbuka lebar itu kearah ****** yang terbaring di lantai.

Siapa yah namanya tadi? Oh yah. Aku lupa. Aku bahkan lupa kalau aku lupa.

"...ke-kenapa---"

Kau mau tahu kenapa aku melakukannya?

Aku tidak bisa menyembunyikan kekesalanku terhadap ketidak pekaan Kazuki.

Memperlihatkan kebencian dimataku, aku meneriakkan isi pikiranku padanya.

"Mati!"

Itu tidak cukup.

"Mati, mati."

Itu masih tidak cukup.

"Mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati."

Aku hanya tidak ingin untuk---

"---mati!!"


Balik ke Ke-27,755 kali Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Ke-27,755 kali (3)