Difference between revisions of "Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 2 Kesunyian"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
(Created page with "Kalau kamu harus memilih antara tempat yang sunyi dan tempat yang ramai, yang mana yang akan kau pilih? Sebuah ruangan sepi ketika kamu ingin membaca buku atau belajar? Ata...")
 
Line 321: Line 321:
 
"Diam sekarang juga!!" bentak pemilik toko itu.
 
"Diam sekarang juga!!" bentak pemilik toko itu.
   
Raungan Towako Setsusu menggema melalui bangunan itu, tapi dihanyutkan oleh suara yang lebih keras dari luar, menyebabkan raungannya kehilangan sebagian besar pengaruhnya.
+
Raungan Towako Setsusu menggema ke penjuru bangunan ini, namun dihanyutkan oleh suara yang lebih keras dari luar, menyebabkan raungannya kehilangan sebagian besar pengaruhnya.
   
Biasanya, penampilannya dicirikan oleh alisnya yang dicukur habis, mata yang percaya diri, dan rambut hitam lustrous yang tergerai lurus sampai pinggangnya. Namun, hari ini, kedua alisnya berkerut, matanya menyipit tidak senang dan rambutnya berantakan karena terus-terusan digaruk.
+
Biasanya, penampilannya dicirikan oleh alisnya yang dicukur habis, mata yang percaya diri, dan rambut hitam berkilau yang tergerai lurus sampai pinggangnya. Namun, hari ini, kedua alisnya berkerut, matanya menyipit tidak senang, dan rambutnya berantakan karena terus-terusan digaruk.
 
[[Image:Tsukumodo_V2_17.jpg|400px|right]]
 
[[Image:Tsukumodo_V2_17.jpg|400px|right]]
   
Line 332: Line 332:
 
Aku mendekatkan wajahku ke telinganya dan berteriak, "Meneriaki mereka tidak akan mengubah apa-apa!"
 
Aku mendekatkan wajahku ke telinganya dan berteriak, "Meneriaki mereka tidak akan mengubah apa-apa!"
   
"Can it! Jangan teriak-teriak seperti itu!"
+
"Memangnya bisa! Jangan teriak-teriak seperti itu!"
   
 
"Kamu juga tidak bisa mendengarku, kan!?"
 
"Kamu juga tidak bisa mendengarku, kan!?"
   
"Diamlah, kalian berdua – aku tidak bisa konsentrasi ke bukuku," my co-worker Saki Maino memprotes dengan cuek.
+
"Diamlah, kalian berdua – aku tidak bisa konsentrasi ke bukuku," asisten kerjaku, Saki Maino, memprotes dengan cuek.
   
 
Rambutnya yang pucat mencapai setengah punggungnya dan berkilau keperakan di bawah cahaya, kulitnya jernih dan pucat. Ia berpakaian hitam-hitam : kemeja hitam berenda, rok hitam panjang dan sepasang sepatu boot hitam.
 
Rambutnya yang pucat mencapai setengah punggungnya dan berkilau keperakan di bawah cahaya, kulitnya jernih dan pucat. Ia berpakaian hitam-hitam : kemeja hitam berenda, rok hitam panjang dan sepasang sepatu boot hitam.
Line 344: Line 344:
 
Oleh karena itu, Saki pun tampak sedikit kesal hari ini.
 
Oleh karena itu, Saki pun tampak sedikit kesal hari ini.
   
(Tapi, jangan lampiaskan ke kami, dong, Saki!)
+
(Tapi, jangan lampiaskan pada kami, dong, Saki!)
   
 
Suara bising dari area konstruksi di dekat sini adalah penyebab kekesalannya, karena hiruk pikuk itu telah menulikan telinga selama beberapa waktu.
 
Suara bising dari area konstruksi di dekat sini adalah penyebab kekesalannya, karena hiruk pikuk itu telah menulikan telinga selama beberapa waktu.
Line 354: Line 354:
 
Toko ini, Toko Barang Antik Tsukumodo (PALSU), menyediakan, sesuai namanya, Relik ''palsu''.
 
Toko ini, Toko Barang Antik Tsukumodo (PALSU), menyediakan, sesuai namanya, Relik ''palsu''.
   
Bukan barang antik atau karya seni, melainkan alat-alat berkemampuan khusus yang dibuat oleh para leluhur yang sakti atau penyihir, atau barang-barang yang telah menyedot dendam pemilik mereka or natural spiritual powers.
+
Bukan barang antik atau karya seni, melainkan alat-alat berkemampuan khusus yang dibuat oleh para leluhur yang sakti atau penyihir, atau barang-barang yang telah menyedot dendam pemilik mereka atau kekuatan-kekuatan supranatural.
   
 
Dalam dongeng dan legenda, sering diceritakan artifak-artifak yang memiliki kekuatan khusus.
 
Dalam dongeng dan legenda, sering diceritakan artifak-artifak yang memiliki kekuatan khusus.
Line 384: Line 384:
 
"Apa?"
 
"Apa?"
   
" Kita tidak akan mendapat satu pelanggan pun!"
+
"Kita tidak akan mendapat satu pelanggan pun!"
   
 
"Ya, lagipula tidak ada yang peduli!"
 
"Ya, lagipula tidak ada yang peduli!"
Line 466: Line 466:
 
Kebisingan area konstruksi kini telah menurun ke tingkat di mana ia memungkinkan untuk berbicara normal, yang membuat kesunyian yang tidak natural beberapa waktu lalu terasa lebih buruk.
 
Kebisingan area konstruksi kini telah menurun ke tingkat di mana ia memungkinkan untuk berbicara normal, yang membuat kesunyian yang tidak natural beberapa waktu lalu terasa lebih buruk.
   
"Di samping itu, kita tidak bisa melayani para pelanggan seperti itu!"<!-- Tokiya -->
+
"Di samping itu, kita tidak bisa melayani para pelanggan seperti ini!"<!-- Tokiya -->
   
 
"Kita juga tidak akan mendapat satu pelanggan pun, kan?"<!-- Towako -->
 
"Kita juga tidak akan mendapat satu pelanggan pun, kan?"<!-- Towako -->
Line 472: Line 472:
 
"Kalian berdua..."<!-- Saki -->
 
"Kalian berdua..."<!-- Saki -->
   
"Are you still holding that against me?"<!-- Tokiya -->
+
"Kamu masih dendam padaku soal hal itu?"<!-- Tokiya -->
   
 
"Memangnya kenapa? Aku sudah terbiasa."<!-- Towako -->
 
"Memangnya kenapa? Aku sudah terbiasa."<!-- Towako -->
Line 648: Line 648:
   
 
"Wanita itu... akan mati."
 
"Wanita itu... akan mati."
 
 
 
<div style="text-align: center;">◆</div>
 

Revision as of 07:28, 21 November 2012

Kalau kamu harus memilih antara tempat yang sunyi dan tempat yang ramai, yang mana yang akan kau pilih?

Sebuah ruangan sepi ketika kamu ingin membaca buku atau belajar?

Atau sebuah tempat ramai saat kamu ingin jalan-jalan bersama teman-temanmu atau makan?

Tergantung tujuanmu, pilihanmu bisa saja berubah.

Namun, meskipun sesuai dengan tujuanmu, sebuah tempat yang terlalu sunyi akan membuatmu tidak nyaman dan sebuah tempat yang terlalu ramai akan mengusikmu.

Mau sunyi ataupun ramai, semuanya memang masalah kadarnya.

Meski demikian, dari dua pilihan itu, aku sedikit lebih menyukai kesunyian – mungkin karena aku terbiasa berada di tempat-tempat yang sepi.

Apa yang kupelajari adalah:

Toko Barang Antik Tsukumodo masih saja sesunyi biasanya.



Orang mungkin akan menyamakannya dengan timangan lembut dalam rahim.

Ketika aku sedang menyerahkan diriku kepada kesunyian yang membungkusku dalam sebuah selimut kehangatan yang nyaman, sebuah gelembung perlahan melayang mendekatiku.

Aku menyentuhnya.

Gelembung itu meletus menjadi "Re".

Sebuah gelembung lain datang dan melayang ke atas.

Aku menyentuhnya.

Kali ini meletus menjadi "Fa".

Satu per satu, gelembung-gelembung itu melayang di sekitarku.

Satu, dua, tiga—tidak, lebih dari itu. Seratus, dua ratus, tiga ratus, lebih banyak. Lebih banyak, lebih banyak.

Akhirnya, not-not mulai meletus dari gelembung-gelembung itu tanpa sentuhanku; mereka meletus menjadi not-not musik. Dan not-not yang tak terhitung jumlahnya ini perlahan tumbuh menjadi melodi.

Ini adalah rahim seorang induk dari musik.

Dan aku adalah salah satu dari sedikit orang yang diizinkan masuk ke alam ini.

Tugasku adalah mengumpulkan not-not itu saat mereka terlahir dan membawa mereka ke dunia luar.

Di sini, tidak ada apa-apa kecuali aku dan not-not itu.

Tidak ada manusia lain, ataupun suara berisik lain.

Hanya aku dan not-not yang baru lahir.


"———"


Ada gangguan dari luar.

Itu terasa seperti berada di dalam balon berisi air yang diletuskan dengan sebuah jarum.

Akibatnya, segalanya hancur berkeping-keping.

Timangan yang kuikuti dan kesunyian itu—segalanya—tercerai berai.

Suara-suara yang baru saja lahir tersebar. Mereka merembes melewati jemariku.

Aku dipaksa kembali pada kesadaranku.

Aku berada di ruangan yang sama seperti biasanya.

Lembaran-lembaran musik di atas meja di sebelahku terisi dengan not-not.

Saat aku sedang berada dalam dunia suara, tangan-tanganku akan secara otomatis menuliskan not-not suara yang kukumpulkan.

Begitulah bagaimana aku menggubah. Sebuah cara yang hanya aku yang bisa melakukannya, tanpa membutuhkan instrumen musik jenis apa pun.

Tetapi musik on the score terhenti setengah jalan. Not-not itu berubah dan hancur—karena suara yang mengganggu. Karena gangguan itu, not-not yang telah kukumpulkan itu mati begitu mereka dilahirkan.

Ruangan ini kedap suara dari langit-langit hingga lantainya. Tidak, akan tetapi, to keep sounds from escaping. Aku tinggal di sebuah kota hantu yang ditinggalkan para penduduknya. Tidak ada rumah yang berpenghuni di sekitar rumahku.

Tujuanku membuat ruangan kedap suara ini adalah untuk mencegah suara apapun dapat masuk.

Semua ini agar aku dapat menggubah tanpa gangguan.

Namun, sekat itu hanya dapat mengurangi suaranya, bukan menghapus seluruhnya.

Oleh sebab itu, kebisingan dari luar dapat tembus ke dalam ruanganku—sang rahim musik—dan menyebabkan polusi suara.

Segera setelah polusi itu menghancurkan visualisasiku, segalanya berakhir. Not-not di sekelilingku akan terbang menjauh dan meninggalkan komposisi yang mati.

(Aku sudah begitu nyaris...)

Dikuasai oleh amarah, aku pun menjeblak pintu dan menaiki tangga menuju ruang tamu di lantai bawah.

Sesampainya di sana, aku mendapati pembantuku, Mei, tertidur sambil bersandar pada kursi. Di lantai tergeletak sebuah cangkir teh. Aku tidak tahu apakah suara yang barusan kudengar adalah suara benturan kepalanya dengan meja atau dentingan cangkir tehnya pada lantai, tapi aku tidak tahan memikirkan bahwa hal-hal sesepele itu telah membunuh bunyi-bunyiku.

Biasanya, suara lembut seperti ini tidak akan terdengar sampai ke dalam ruang kedap suara, tapi telingaku ini kelewat sensitif hingga dapat menangkap suara-suara kecil sekalipun. Dan karena itulah aku selalu memperingatkan Mei untuk menghindari membuat bunyi apapun.

"Hei!" bentakku.

Mata Mei mengerjap dan terbuka.

Setelah mengenaliku dengan her frowsy eyes, ia cepat-cepat duduk dan bertanya,

"Anda sudah menyelesaikan pekerjaan Anda?"

"Kau sudah menghancurkannya."

Mei menyadari cangkir teh yang tidak sengaja dia jatuhkan ke lantai dan isinya yang tumpah. Ia pucat pasi.

Tampaknya ia sadar dengan apa yang telah dilakukannya, dan menggantungkan kepalanya dengan menyesal.

"Mood-ku sedang jelek. Aku mau jalan-jalan sebentar."

Meninggalkannya bersama peralatannya, aku pun meninggalkan rumah.


Namaku adalah Eiji Kadokura. Usiaku 32 tahun. Aku menggubah musik. Sampai saat ini, aku sudah menggubah banyak lagu dan merasa cukup bangga karena diriku lumayan populer dan dikenal.

Genre-ku biasanya adalah musik-musik menenangkan yang biasanya kudapat dari tugas. Tapi, komposisiku yang paling terkenal kemungkinan besar adalah sebuah lagu klasik yang kutulis untuk seorang pemain violin terkenal, yang terjual jutaan keping meskipun genrenya tidak terlalu populer, berkat trend musik klasik baru-baru ini.

Hari ini, aku juga mengerjakan musik sebuah lagu yang merupakan tugasku untuk minggu ini. Yah, aku sedang mengerjakannya sampai aku mendapat gangguan dari pembantuku.

Sekali sebuah lagu tercerai berai, selamanya ia akan hilang untukku.

Walau sisa-sisanya tersisa dalam ingatanku, tapi rasanya seperti kopian murahan kalau aku menyelesaikan lagu itu dengan sisa-sisa itu.

Ini seperti perasaanmu ketika balok-balok mainan yang kau susun mulai terguncang, dan meskipun ia bisa seimbang kembali, menaramu pada akhirnya tetap akan runtuh setelah beberapa balok ditambahkan.

Atau mungkin juga mirip dengan penyulaman kain: benang-benangmu habis dan kau harus menggunakan seutas benang yang lain—sebuah simpul akan tertinggal dan membuat kainmu terlihat tidak rapi.

Begitu pula dengan lagu, yang hancur tidak bisa ditambal.

Aku tidak tahan melihat sebuah lagu yang ditambal-tambal.

Aku harus memulai semuanya dari awal lagi.

Walau pun sudah tidak banyak waktu yang tersisa sebelum deadline.

Aku masuk ke mobilku dan mengendarainya menuju kafe langgananku.

Terletak di sebuah basement yang tenang, biasanya tempat itu menjadi tempat berlindung favoritku yang tenang. Namun pada hari itu, aku merasa kafé itu tidak mampu menenangkan diriku.

Gerombolan yang tediri dari sepuluh turis-turis aneh atau semacamnya sedang berkumpul di sana. Keberadaan mereka saja sudah cukup untuk menggangguku, tapi di atas semua itu, mereka tampak memperlakukan tempat itu seperti bar dan membuat sejumlah keributan.

Saat menyadari keberadaanku, penjaga kafé itu menundukkan kepalanya untuk meminta maaf.

Aku menerima permintaan maaf yang disertai sebuah saran untuk pergi saja untuk hari ini.

Dengan menahan keinginan untuk memberi pelanggan-pelanggan kasar itu pelajaran, aku mengangguk pada si penjaga dan pergi.

Karena aku sekarang malah tambah jengkel, kebisingan jalanan yang biasanya dapat kutolerir jadi sangat menggangguku.

Baik suara bising mesin mobil-mobil dan klaksonnya yang menusuk telinga, suara-suara keras siswa-siswa yang berkeliaran dengan tawa mereka yang vulgar, teriakan pramuniaga yang tidak berhasil menarik pelanggan, ataupun musik-musik murahan.

Mereka semua menggangguku.

Mengapa ada begitu banyak kebisingan dan kegaduhan di dunia ini?

Saat aku tidak sedang bekerja, aku tidak meminta kesunyian yang sempurna, tetapi hidup di tengah-tengah begitu banyak kebisingan dan kegaduhan ini terasa tak tertahankan. Aku tidak bisa mengerti bagaimana orang lain bisa menoleransinya.

Sambil melawan keinginan untuk berteriak kepada para pembuat kebisingan agar diam, aku berjalan kembali ke dalam sebuah gang sempit.

Setelah berjalan cukup jauh dari jalan utama, kebisingan terasa lumayan berkurang. Meskipun belum pudar seluruhnya, aku dapat menahannya dari kejauhan. Aku memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan ke sekeliling gang-gang itu.

"Sekarang, andai saja ada satu kafe lain di suatu tempat, mungkin aku akan puas untuk sementara waktu..."

Tepat ketika aku memikirkannya, aku menemukan sebuah toko yang kecil, eksentrik, dan antik di seberang mataku.

Sulit mengatakan dari eksteriornya toko apa itu. Berharap bahwa toko itu ternyata adalah sebuah kafé, aku mendorong pintunya terbuka.

Suara menyenangkan dari sebuah bel mengumumkan kedatangan seorang pelanggan.

Sangat disesalkan, bagaimanapun, toko itu bukanlah sebuah kafé. Berbagai macam benda dijajarkan di atas rak dengan tidak teratur. Ada toples, piring, barang-barang keramik, boneka-boneka yang berasal dari Jepang dan Barat, serta satu robot timah yang sendirian. Bahkan ada kamera. Kuduga tempat ini adalah semacam toko barang antik atau toko loak.

Karena penasaran, aku pun melihat-lihat.

"Selamat datang," kata seseorang padaku.

Di belakang counter duduk seorang wanita berpakaian serba hitam yang mempesona. Ia terlihat sedikit lebih muda dariku, namun hawanya yang tenang memberikannya aura yang agak dewasa dan misterius.

"Apa Anda sedang mencari sesuatu yang spesifik?"

Yang kucari adalah suatu tempat yang sunyi. Toko ini memenuhi permintaanku dengan sempurna, tetapi mengatakan itu berarti mengakui di hadapannya bahwa aku tidak berniat membeli apa-apa.

"Aku hanya berpikir kalau aku mungkin menemukan beberapa benda unik."

Aku membuat jawaban itu dan melihat beberapa rak, pura-pura tertarik sekali.

"Tapi ada sesuatu yang Anda cari, bukan?" katanya, seolah telah membaca pikiranku. "Katakan pada saya. Mungkin saja Anda bisa mendapatkan objek yang Anda inginkan?"

"Sudah kubilang, beberapa barang yang unik..."

"Anda tidak menginginkan 'beberapa hal'. Anda ingin'satu hal'."

"Hah?"

"Kalau Anda ingin 'beberapa hal', maka Anda akan pergi dengan tangan kosong. Yang Anda inginkan haruslah hal yang spesifik."

Mungkin dia sedang mempermainkanku dengan permainan kata, atau mungkin dia telah mengetahui niatanku untuk tidak membeli apa-apa dan ingin mengejar-ngejarku. Aku sudah merasa lumayan kesal, sehingga provokasi sekecil ini pun sudah terasa menggangguku.

"Kalau kau benar-benar mempunyai apa yang kuinginkan, aku akan bersedia dengan senang hati membelinya."

"Ya, apakah itu?"

"Keheningan yang sempurna."

Ia memberiku tatapan agak bingung. Aku menyesal telah bersikap begitu kekanak-kanakan. Aku seharusnya menyebutkan beberapa barang yang mungkin dia punya atau langsung pergi saja.

"Maaf – Saya khawatir itu tidak tersedia di sini."

"Tentu saja. Aku minta maaf ju..."

"Itu ada di 'sister shop' kami!"

Aku meragukan telingaku—tetapi marah an instant later.

Dia sedang main-main dengan aku? "Tidak di sini"? Jangan membuatku tertawa.

"Itu akan jadi milikku kalau aku pergi ke that sister shop? Kalau begitu tolong, tentu saja, katakan di mana tempatnya. Jika aku benar-benar dapat menemukan keheningan sempurna di sana, that is."

"Sebuah Relik yang dapat menciptakan ruang dengan keheningan sempurna dengan menangkis segala suara... Itu adalah, Mirror of Serenity."

"Relik? Cermin Ketenangan?"

"Saya peringatkan, 'Relik' yang saya maksud bukanlah barang antik ataupun karya seni. 'Relik adalah istilah yang kami gunakan untuk alat-alat dengan kemampuan spesial yang diciptakan para leluhur yang sakti atau para penyihir, atau untuk benda-benda yang telah menyedot dendam pemiliknya atau kekuatan natural spiritual."

"Sebuah relik adalah sesuatu seperti batu yang membawa peruntungan buruk, atau boneka voodoo yang terkutuk atau tiga cermin yang menunjukkan bagaimana cara kematian Anda. Anda mungkin sudah mendengar beberapa dari mereka, dan the Mirror of Serenity adalah salah satunya. Tapi saat ini kami tidak memilikinya!"

Aku tidak mengerti apa yang sedang dia bicarakan. Walau aku memang pernah mendengar tentang sebuah takhayul yang mengatakan bahwa benda-benda bisa mendapat sebuah jiwa setelah waktu yang lama[1], mendengarnya hanya akan memberikan pengaruh yang sebaliknya padaku.

"Jangan mempermainkanku. Tentu saja, aku akui aku tidak memasuki toko ini karena ingin membeli sesuatu. Tapi Anda tidak berhak untuk mengolok-olok saya karena itu. 'Relik', kata Anda? 'Mirror of Serenity'? Berhentilah mempermainkanku dengan membuat-buat nama-nama misterius!"

"Anda tidak percaya pada saya?"

"Tentu saja tidak. Keheningan sempurna itu tidak ada. Aku mempunyai sistem kedap suara yang lengkap di rumahku,tapi aku masih bisa mendengar suara-suara dari luar."

"Karena itu adalah ruangan kedap suara. The Mirror of Serenity bekerja dengan cara yang berbeda. Benda itu menangkis suara."

"Jangan terlalu terbawa emosi..."

"Tempat ini mirip!"

Setelah itu aku akhirnya sadar.

Tidak ada satu suara pun di toko ini.

Memang, aku dan wanita itu sedang bercakap-cakap, jadi tentu saja ada suara. Akan tetapi, tidak ada suara bising dari luar. Aku tidak mendengar suara dari kejauhan yang mengusikku sampai aku memasuki toko ini, tidak sedikit pun.

Aku menajamkan telingaku dan mendengarkan baik-baik suara dari luar.

Tapi aku tidak mendengar apapun.

Tak peduli sistem kedap suara apa pun yang toko ini miliki, mustahil itu dapat menghalangi setiap suara dari telingaku.

Selama kami tidak berbicara, ada keheningan sempurna yang selama ini kuidam-idamkan.

"...tapi apa artinya ini?"

"Itu artinya tempat ini juga spesial. Tapi tempat ini tidak menciptakan keheningan yang sempurna— suara dari luar tidak masuk kemari hanya karena sebuah efek samping. Tetapi Mirror of Serenity akan menciptakan keheningan yang sempurna untuk Anda."

"Anda bilang benda itu bisa didapatkan di sister shop Anda, bukan?"

Jantungku berdebar-debar di dalam dadaku, dan saat itu juga, aku merasa seolah-olah suara terkeras di dunia ini adalah suara debaran jantungku.

"Kalau aku pergi ke sana, apa aku akan I get my hands on the Mirror of Serenity?"

"Saya tidak bisa berkata pasti. Anda harus meminta pada pemilik tokonya. Tapi saya yakin Anda bisa mendapatkannya jika Anda ingin. Relik-relik akan secara alami menemukan jalan menuju pemilik yang cocok."

Aku pergi setelah menerima sebuah catatan berisi alamat dan jam buka sister shop itu.

"———"

Dalam sekejap, kebisingan kembali.

Semua bunyi yang sebelumnya lenyap kembali sesaat setelah aku meninggalkan toko itu.

Seolah-olah aku baru saja bermimpi.

Tiba-tiba, telepon selulerku berdering. Telepon dari asistenku, Mei. Dia memberitahuku bahwa seorang klien yang telah requested a composition sedang mampir di rumah.

Kami sudah menjadwalkan pertemuan hari ini, tapi aku benar-benar melupakannya.

Aku menjawab bahwa aku akan kembali dalam satu jam dan menuju area parkir.

Sebelum menutup telepon, ia mengatakan sesuatu yang membuatku tidak tenang.

Ia memintaku untuk tetap menyalakan ponselku.

Rupanya, ia telah mencoba beberapa kali gagal menghubungiku. Tetapi ponselku tidak pernah mati. Toko itu juga tidak berada di bawah tanah, jadi seharusnya aku masih dalam jangkauan komunikasi.

Sebuah hawa dingin menusuk tulangku dan aku berpikir untuk menengok toko itu kembali, tetapi tubuhku tidak mengizinkanku. Aku cepat-cepat meninggalkan daerah itu.

Sesampainya di rumah, Mei asked me where I had been.

Aku tidak bisa menjawab. Aku memang mengingat toko itu, namun entah mengapa aku tidak bisa mengingat di mana letaknya dan seperti apa si pelayan toko itu.

Hanya kertas dengan alamat beserta jam buka toko di tanganku yang membuatku percaya bahwa ini bukanlah mimpi.



Drrrrrrrrrrrrrrrrr.

Drrrrrrrrrrrrrrrrr.

Drrrrrrrrrrrrrrrrr.

"Diam sekarang juga!!" bentak pemilik toko itu.

Raungan Towako Setsusu menggema ke penjuru bangunan ini, namun dihanyutkan oleh suara yang lebih keras dari luar, menyebabkan raungannya kehilangan sebagian besar pengaruhnya.

Biasanya, penampilannya dicirikan oleh alisnya yang dicukur habis, mata yang percaya diri, dan rambut hitam berkilau yang tergerai lurus sampai pinggangnya. Namun, hari ini, kedua alisnya berkerut, matanya menyipit tidak senang, dan rambutnya berantakan karena terus-terusan digaruk.

Tsukumodo V2 17.jpg

"Meneriaki mereka tidak akan mengubah apa-apa!" Aku—Tokiya Kurusu—menjawab sambil bersandar ke meja kasir.

Towako-san membuat sebuah gerakan teatrikal menaruh tangannya di belakang telinga dan bertanya, "Kamu bilang apa?"

Aku mendekatkan wajahku ke telinganya dan berteriak, "Meneriaki mereka tidak akan mengubah apa-apa!"

"Memangnya bisa! Jangan teriak-teriak seperti itu!"

"Kamu juga tidak bisa mendengarku, kan!?"

"Diamlah, kalian berdua – aku tidak bisa konsentrasi ke bukuku," asisten kerjaku, Saki Maino, memprotes dengan cuek.

Rambutnya yang pucat mencapai setengah punggungnya dan berkilau keperakan di bawah cahaya, kulitnya jernih dan pucat. Ia berpakaian hitam-hitam : kemeja hitam berenda, rok hitam panjang dan sepasang sepatu boot hitam.

Ia sekitar satu kepala lebih pendek dariku (yang tingginya seperti rata-rata siswa laki-laki), dan begitu ramping sampai-samai sepertinya ia bisa patah hanya dengan sebuah pelukan. Ia berusia 16 tahun, lebih muda satu tahun dariku. Ia memang terlihat seperti gadis seusianya, tetapi karena pembawaannya, ia tampak sedikit lebih dewasa. Sebuah senyuman seterang bunga yang mekar (seperti yang disebutkan oleh arti namanya) gagal total menghiasi wajahnya; sebaliknya, ia sama sekali tak berekspresi seakan-akan menyangkal pepatah "nomen est omen."[2]

Oleh karena itu, Saki pun tampak sedikit kesal hari ini.

(Tapi, jangan lampiaskan pada kami, dong, Saki!)

Suara bising dari area konstruksi di dekat sini adalah penyebab kekesalannya, karena hiruk pikuk itu telah menulikan telinga selama beberapa waktu.

Sebelumnya kami sudah menerima informasi bahwa pekerjaan konstruksi itu akan dimulai hari ini dan akan berlangsung selama seminggu, tapi kami tidak mengira perbaikan tu akan begitu menulikan telinga.

Cukup berlawanan dengan kesunyian yang ada hingga kemarin, saat kami mungkin akan dikelilingi hembusan angin yang menggulingkan rumput yang terbawa serta.

Toko ini, Toko Barang Antik Tsukumodo (PALSU), menyediakan, sesuai namanya, Relik palsu.

Bukan barang antik atau karya seni, melainkan alat-alat berkemampuan khusus yang dibuat oleh para leluhur yang sakti atau penyihir, atau barang-barang yang telah menyedot dendam pemilik mereka atau kekuatan-kekuatan supranatural.

Dalam dongeng dan legenda, sering diceritakan artifak-artifak yang memiliki kekuatan khusus.

Misalnya, sebuah batu yang membawa keberuntungan, boneka yang rambutnya tumbuh setiap malam, cermin yang menampilkan penampilanmu di masa depan, pedang yang membawa kehancuran bagi siapa pun yang menariknya.

Semua orang hampir pasti pernah mendengar hal semacam itu.

Tapi masyarakat menganggapnya khayalan belaka karena mereka belum pernah melihat satu pun darinya; bahkan andaikata artifak itu tepat di depan mereka, mereka tetap tidak akan sadar; bahkan andaikan sebuah peristiwa misterius terjadi, itu pun akan dianggap kebetulan.

Sebagian masyarakat tidak peduli, sedangkan yang lainnya yakin bahwa hal-hal semacam itu tidak ada.

Akan tetapi, Relik memang benar-benar ada, dan dan lebih umum dari yang orang-orang pikirkan.

Akhir-akhir ini aku telah menangani sejumlah Relik : sebuah pendulum yang bisa memanggil kebetulan-kebetulan, sebuah patung yang mendorong kekuatan hidup seseorang, sebuah buku catatan yang membuat seseorang mengingat apapun yang dituliskan di dalamnya, dan juga sebuah dompet yang membuatku kehilangan seluruh pendapatanku kecuali jika pendapatanku dihabiskan pada hari diterimanya.

Tetapi, Relik-Relik semacam itu tidak untuk dijual di toko ini. Seperti yang kusebutkan sebelumnya, kami hanya menjual barang-barang palsu. Yang diletakkan di rak adalah benda-benda palsu yang pemilik toko ini beli karena ia mengira bahwa benda-benda itu asli.

Tentu saja, para pembeli yang datang berkunjung tidak tahu apa itu Relik. Oleh sebab itu, mereka merasa bahwa liontin yang tidak lazim, boneka tidak normal, jam tidak bergerak and batu tidak menarik yang kami tawarkan hanya akan membuang-buang waktu mereka, kemudian pergi sambil menyesal telah mampir awalnya.

Nah, andaikan mereka datang sejak awal. Hari-hari di mana kami tidak memiliki satu pelanggan pun akan menjadi wajar.

"Kenapa tidak kau tutup saja toko ini untuk seminggu?" saranku.

"Tapi itu akan menghentikan penjualan kita."

"Lagipula kita tidak akan mendapat satu pelanggan pun."

"Apa?"

"Kita tidak akan mendapat satu pelanggan pun!"

"Ya, lagipula tidak ada yang peduli!"

"Kamu tidak menyangkalnya!?"

"Kalian bisa tidak, sih, diam? Aku tidak bisa konsentrasi dengan bukuku."

(Kamu ngerti tidak, sih, kalau itu bukan salah kami? Dan bukankah kita sudah melewati ini?)

Kelihatannya, Saki pun terganggu oleh suara itu, meskipun kekesalan itu sama sekali tak ditampilkan di wajahnya.

"Kepalaku mulai sakit, nih. Beneran, bisa tidak, sih, kita melakukan sesuatu untuk ini daripada meratapinya? Towako-san, ada tidak Relik yang bisa mematikan suara?"

"Ayolah, jangan meminta hal yang... mungkin?"

"Mungkin?"

Towako-san berjalan keluar ruangan dengan a reflective look di wajahnya, sementara Saki menyingkirkan bukunya dan menghampiriku.

"Itu dia!"

Dengan kata-kata itu, Towako-san kembali dari gudang membawa sebuah cermin dengan kedua tangannya. Kacanya diselimuti secarik kain ungu. Bingkai kayu yang melingkarinya bersinar bagaikan lacquer dan bersandar pada sebuah sandaran.

"Itukah Relik yang bisa menyapu bunyi?"

"Nah, lihat saja."

Ia menarik kainnya.


Tiba-tiba, suara lenyap.


Suara bising dari area konstruksi lenyap.

Bukan menjadi tak bisa didengar; ini lebih seperti lenyap. Ditambah lagi, semua suara lain di sekitarku— orang-orang dan hiruk pikuk jalanan di luar, televisi di ruang tamu, dan lain sebagainya —juga lenyap.

"Apa yang terjadi?"

Aku mencoba bertanya, Apa yang terjadi? tetapi suaraku tak terdengar.

Aku sekali lagi mencoba menyuarakan kebingunganku, tetapi kembali gagal. Bukan hanya Towako-san yang tidak bisa mendengarku, aku bahkan tidak isa mendengar diriku sendiri bicara. Tidak, itu tidak sepenuhnya benar. Lebih cocok dikatakan bahwa tidak ada suara untuk didengar sejak awal.

Towako-san juga menyadari hal ini dan meneriakkan sesuatu padaku, yang—tentu saja—tidak dapat kudengar.

Daripada itu, aku mencoba mengekspresikan diriku dengan gerakan mulut.

Dengan secara provokatif menaruh tangan di belakang telinganya, Towako-san mengindikasikan bahwa ia tidak dapat mendengar apa-apa.

Kali ini aku mencoba menyuruhnya untuk kembali menutup cerminnya, namun karena perubahan tiba-tiba pada gerakan mulutku, ia kebingungan dan mengerutkan alisnya.

Aku berulang kali menunjuk cermin itu dan membentuk kata-kata, "Tutup!" dengan bibirku.

Dengan—mungkin—suara marah yang keras, ia menaruh kain di atas cermin itu.

Dalam sekejap, suara-suara yang tadi hilang kembali.

Suara dari area konstruksi, hiruk pikuk dari kejauhan, langkah kaki Towako-san yang mendekat, dan...

"Demi kasih Tuhan, kenapa sih, kamu tidak mengerti juga? Aku tidak bisa mendengarmu!"

...suara tinjuan.

Sebenarnya, aku ingin membela diri-untuk mengatakan padanya bahwa aku juga tidak bisa mendengarnya-tetapi rasa ngilu yang berputar-putar di kepalaku mencegahku berkata apa-apa untuk beberapa saat.

"...Benda itu benar-benar mematikan semua suara, ya?"

"Itulah yang kukatakan padamu. Suara apa pun dari dalam daerah yang pantulannya lenyap. Suara dari luar semuanya dibelokkan, dan tidak ada suara yang bisa dihasilkan dalam area pantulannya. Singkatnya, ia menciptakan sebuah zona keheningan yang sempurna."

"Tapi kau tidak bisa melakukan apa-apa di tempat seperti ini!"

Aku tidak pernah berpikir bahwa sulit sekali membuat orang mengerti tanpa menggunakan suara.

"Berkomunikasilah lewat pena dan kertas."

"Hah... Tapi entah mengapa ia terlalu sunyi sampai-sampai terasa lebih mengganggu daripada ketika berisik."

Kebisingan area konstruksi kini telah menurun ke tingkat di mana ia memungkinkan untuk berbicara normal, yang membuat kesunyian yang tidak natural beberapa waktu lalu terasa lebih buruk.

"Di samping itu, kita tidak bisa melayani para pelanggan seperti ini!"

"Kita juga tidak akan mendapat satu pelanggan pun, kan?"

"Kalian berdua..."

"Kamu masih dendam padaku soal hal itu?"

"Memangnya kenapa? Aku sudah terbiasa."

"Kalian berdua..."

"Yah, aku memang berpikir tidak akan ada satu pelanggan pun."

"Bisa tidak kau tunjukkan minimal sedikit perhatian?"

"Kalian berdua..."

"Bukannya tadi kau mengakuinya sendiri?"

"Tapi kau tidak boleh. Meskipun aku memang mengakuinya sendiri."

Tiba-tiba, kepala kami dicengkeram dari belakang dan dengan paksa dan ditengokkan ke arah pintu masuk.

"Kita kedatangan pelanggan."

Di arah yang ditunjuknya telah berdiri seorang pria dan seorang wanita.


"Jawabannya masih 'tidak'."

"Tidak bisakah kita langsung masuk ke persetujuan?"

"Tidak."

"Anda bisa miliki sebanyak yang Anda inginkan."

"Saya menolak tawaran apa pun."

Towako-san dan pria itu sudah berputar-putar dalam sikap ini selama beberapa lama. Pelanggan ini berusia sekitar 30-an tahun, mengenakan setelan mahal, dan mungkin telah menyaksikan apa yang baru saja terjadi dengan cermin itu. Dia terlihat memiliki minat kuat terhadapnya. Awalnya dia berdiri mematung di pintu masuk, namun setelah ia menyingkirkan rasa terkejutnya, ia mulai memaksa Towako-san untuk menjual cermin itu padanya.

Towako-san berulang kali menolak. Tampaknya tekadnya kuat, karena ia baru saja mengatakan pada pria itu bahwa ini bukan masalah uang.

Sebenarya, Towako-san tidak pernah menjual satu Relik pun pada siapa pun. Kami hanya menjual barang palsu, bukan Relik yang sesungguhnya. Ia lebih senang jika orang lain tidak mendapatkan Relik.

"Omong-omong, kenapa dia begitu menginginkan cermin itu?"

Pria itu jelas-jelas kaya – dia tadi menawarkan jumlah uang yang sangat banyak.

"Pria itu..." Saki menggumam saat berjalan menuju ruang tamu.

Ia kembali dengan membawa buku yang tadi dibacanya.

"Kupikir juga begitu."

Ada sebuah foto seorang pria di dalam buku. Profil yang menyertainya mengatakan bahwa namanya adalah Eiji Kadokura dan ia adalah seorang komposer.

(Aku mengerti. Masuk akal dia menginginkan lingkungan yang sunyi kalau dia komposer.)

"Tapi kenapa kau punya buku seperti itu?"

"Kupikir penjualan dan penggubahan banyak persamaannya."

"Memang sih, mereka kedengaran mirip."

"Aku serius!"

"Kalau begitu, katakan apa maksudmu sebenarnya."

"Menyediakan musik yang diinginkan orang dan menyediakan barang-barang yang diinginkan orang cukup mirip, kan?"

Saki tidak suka bercanda. Ia selalu sangat serius mengenai pekerjaannya dan tidak menghabiskan masalah maupun biaya untuk meningkatkan pelayanannya pada pelanggan.

Tentu saja, dilarang untuk tidak setuju padanya dan berkata bahwa bukunya, Menggubah itu mudah!, tidak ada hubungannya dengan layanan pelanggan. Aku juga tidak setuju dengan pernyataannya mengenai penjualan maupun penggubahan.

"Pokoknya, saya tidak menjualnya pada Anda. Dan saya tidak ada urusan dengan Anda," kata Towako-san point-blank dan membawa cermin itu bersamanya menuju wilayah tempat tinggalnya.

"Tolong tunggu sebentar!"

"Saya khawatir saya harus meminta Anda untuk berhenti sampai di sini."

Bangunan yang meliputi toko itu juga berfungsi sebagai rumah Towako-san dan anak yang menumpang gratis di rumahnya, Saki. Karena pelanggan itu hendak mengikuti mereka keluar toko menuju area tempat tinggal pribadi mereka, aku harus menghalanginya.

"Tidak ada yang mau kudiskusikan dengan pekerja sambilan."

Aku tidak bisa apa-apa menerima penghinaan dalam sikapnya.

"Tidak ada yang mau kami diskusikan dengan Anda juga! Silakan pergi jika Anda tidak berniat membeli apa pun."

"Karena itulah aku ada di sini."

"Silakan pergi jika Anda tidak berniat membeli barang yang memang untuk dijual. Hanya karena ini toko, bukan berarti kami harus untuk menjual barang yang tidak untuk dijual."

Kadokura-san baru membuka mulutnya untuk kembali memprotes ketika dering poselnya terdengar di toko. Dengan kesal ia mengangkat telepon dan mendecakkan lidahnya setelah membaca tampilan layar.

"...panggilan menyangkut bisnis. Sepertinya aku tidak punya pilihan."

"Kami tidak berharap Anda akan mengunjungi toko kami lagi!"

"Aku akan datang!"

"Tolong jangan."

Pelanggan yang menyebalkan ini menegakkan bahunya dan meninggalkan toko.

"Dia pergi untuk sekarang," aku berteriak ke arah ruangan tempat Towako-san bersembunyi.

Dia mengomat-kamitkan "Oke" dengan tatapan tidak senang.

"Kenapa tidak kau jual saja padanya? Untuk jumlah uang yang lumayan..." aku bertanya dan langsung dipelototinya.

Kuulangi lagi : Towako-san anti memberikan Relik. Sebagian karena hobi mengoleksi barangnya, tapi sebagian besar karena ia tahu bahwa banyak orang yang kehidupannya hancur gara-gara Relik.

Haruskah aku bangga karena faktanya, aku telah menerima sebuah Relik darinya, sehingga aku seakan telah mendapatkan kepercayaannya?

"Permisi..." kata seorang wanita yang diantar Saki.

Ia adalah wanita yang tadi bersama Kadokura-san.

"Perkenankanlah saya meminta maaf atas sikap kasar Kadokura-sama."

Aku mengira ia adalah manajernya atau semacamnya. Tampaknya usianya tidak jauh lebih tua daripadaku, tetapi ia memancarkan aura wanita bisnis tulen.

"Tolong telepon nomor ini jika Anda berubah pikiran."

Ia mengeluarkan kartu nama dengan nama "Eiji Kadokura" dan informasi kontaknya.

Towako-san, bagaimanapun, tak menunjukkan tanda-tanda ingin menerima kartu itu. Kalah pada tatapan putus asanya, aku pun menerima kartu itu, dan dipelototi lebih tajam.

Tampaknya, Towako-san tidak menyetujui tindakanku. Ia seharusnya memberitahuku sebelum aku menerimanya.

"Senang bertemu dengan kalian," kata rekan Kadokura-san sambil membungkuk dan meninggalkan toko.

"Buang kartu itu sekarang."

"Tapi itu ‘kan agak..." gumamku saat aku mulai menoleh dan memandang ke arah rekan Kadokura-san pergi.


Kemudian, suara yang menyakitkan berdering di dalam kepalaku——


Tempat ini belum pernah kulihat sebelumnya.

Aku melihat sebuah ruangan.

Area pandanganku meliputi sebuah dinding—dan pintu yang tertutup.

Tergores-gores dengan garis-garis memanjang yang tak terhitung jumlahnya, pintu itu memberikan sebuah kesan yang ganjil.

Penglihatanku bergerak turun, membawa bagian bawah adegan ke dalam fokusnya.

Seorang wanita jatuh pingsan ke lantai.

Ia mengenakan gaun berenda dan meringkuk seperti bola, dan sama sekali kaku.

Ini—


"Ada apa?"

Suara Towako-san membawaku kembali. Pandangannya tampak bertanya-tanya padaku.

"Kau mendapat penglihatan?" tanya Saki tepat sasaran, mungkin ia telah menduganya dari tampangku.

Adegan yang kusaksikan setelah bunyi yang menyakitkan itu adalah gambaran masa depan yang diperlihatkan padaku oleh Relik milikku.

Mata kananku adalah buatan. Ia digantikan oleh sebuah Relik bernama "Vision" yang kuterima dari Towako-san.

"Vision" terkadang memperlihatkan padaku kejadian-kejadian pada masa depan yang dekat.

Saat itu terjadi, rasa perih menjalar di kepalaku, sangat mirip dengan statik di TV, yang diikuti dengan potongan adegan dari masa depan.

Tetapi, "Vision" tidak akan memperlihatkanku seluruh masa depan: aku tidak bisa meramalkan angka undian yang menang, atau juara dalam kompetisi olah raga. Aku bahkan tidak bisa memprediksi cuaca, maupun memilih untuk melihat sebuah kejadian khusus dari masa depan.

Tapi ada satu jenis masa depan yang tak pernah gagal "Vision" tunjukkan padaku : Momen potensial kematianku atau kematian orang yang kukenal.

Yang baru saja kulihat adalah kematian yang akan menghampiri seseorang.

"Wanita itu... akan mati."

  1. http://en.wikipedia.org/wiki/Tsukumogami
  2. Artinya, "Nama adalah pertanda." Menyatakan bahwa sebuah nama menggambarkan sebuah benda atau seseorang. Nama Saki tertulis 舞野咲, yang dapat diartikan sebagai "Bunga yang mekar di arena dansa." Lihat juga Nominative determinism