Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 2 Kesunyian

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Kalau kamu harus memilih antara tempat yang sunyi dan tempat yang ramai, yang mana yang akan kau pilih?

Sebuah ruangan sepi ketika kamu ingin membaca buku atau belajar?

Atau sebuah tempat ramai saat kamu ingin jalan-jalan bersama teman-temanmu atau makan?

Tergantung tujuanmu, pilihanmu bisa saja berubah.

Namun, meskipun sesuai dengan tujuanmu, sebuah tempat yang terlalu sunyi akan membuatmu tidak nyaman dan sebuah tempat yang terlalu ramai akan mengusikmu.

Mau sunyi ataupun ramai, semuanya memang masalah kadarnya.

Meski demikian, dari kedua pilihan itu, aku sedikit lebih menyukai kesunyian – mungkin karena aku terbiasa berada di tempat-tempat yang sepi.

Yang aku maksud adalah:

Toko Barang Antik Tsukumodo masih saja sesepi biasanya.



Orang mungkin akan menyamakannya dengan timangan lembut dalam rahim.

Ketika aku sedang menyerahkan diriku kepada kesunyian yang membungkusku dalam sebuah selimut kehangatan yang nyaman, sebuah gelembung perlahan melayang mendekatiku.

Aku menyentuhnya.

Gelembung itu meletus menjadi "Re".

Sebuah gelembung lain datang dan melayang ke atas.

Aku menyentuhnya.

Kali ini meletus menjadi "Fa".

Satu per satu, gelembung-gelembung itu melayang di sekitarku.

Satu, dua, tiga—tidak, lebih dari itu. Seratus, dua ratus, tiga ratus, lebih banyak. Lebih banyak, lebih banyak.

Akhirnya, not-not mulai meletus dari gelembung-gelembung itu tanpa sentuhanku; mereka meletus menjadi not-not musik. Dan not-not yang tak terhitung jumlahnya ini perlahan tumbuh menjadi melodi.

Ini adalah rahim seorang induk dari musik.

Dan aku adalah salah satu dari sedikit orang yang diizinkan masuk ke alam ini.

Tugasku adalah mengumpulkan not-not itu saat mereka terlahir dan membawa mereka ke dunia luar.

Di sini, tidak ada apa-apa kecuali aku dan not-not itu.

Tidak ada manusia lain, ataupun suara berisik lain.

Hanya aku dan not-not yang baru lahir.


"———"


Ada gangguan dari luar.

Itu terasa seperti berada di dalam balon berisi air yang diletuskan dengan sebuah jarum.

Akibatnya, segalanya hancur berkeping-keping.

Timangan yang kuikuti dan kesunyian itu—segalanya—tercerai berai.

Suara-suara yang baru saja lahir tumpah. Mereka merembes melewati jemariku.

Aku dipaksa kembali pada kesadaranku.

Aku berada di ruangan yang sama seperti biasanya.

Lembaran-lembaran musik di atas meja di sebelahku terisi dengan not-not.

Saat aku sedang berada dalam dunia suara, tangan-tanganku akan secara otomatis menuliskan not-not suara yang kukumpulkan.

Begitulah bagaimana aku menggubah. Sebuah cara yang hanya aku yang bisa melakukannya, tanpa membutuhkan instrumen musik jenis apa pun.

Tetapi musik di lembaran itu terhenti setengah jalan. Not-not itu berubah dan hancur—karena suara yang mengganggu. Karena gangguan itu, not-not yang telah kukumpulkan itu mati begitu mereka dilahirkan.

Ruangan ini kedap suara dari langit-langit hingga lantainya. Tidak, bukan untuk mencegah bunyi-bunyi keluar. Aku tinggal di sebuah kota hantu yang ditinggalkan para penduduknya. Tidak ada rumah yang berpenghuni di sekitar rumahku.

Tujuanku membuat ruangan kedap suara ini adalah untuk mencegah suara apapun dapat masuk.

Semua ini agar aku dapat menggubah tanpa gangguan.

Namun, sekat itu hanya dapat mengurangi suaranya, bukan menghapus seluruhnya.

Oleh sebab itu, kebisingan dari luar dapat tembus ke dalam ruanganku—sang rahim musik—dan menyebabkan polusi suara.

Segera setelah polusi itu menghancurkan visualisasiku, segalanya berakhir. Not-not di sekelilingku akan terbang menjauh dan meninggalkan komposisi yang mati.

(Aku sudah begitu nyaris...)

Dikuasai oleh amarah, aku pun menjeblak pintu dan menaiki tangga menuju ruang tamu di lantai bawah.

Sesampainya di sana, aku mendapati pembantuku, Mei, tertidur sambil bersandar pada kursi. Di lantai tergeletak sebuah cangkir teh. Aku tidak tahu apakah suara yang barusan kudengar adalah suara benturan kepalanya dengan meja atau dentingan cangkir tehnya pada lantai, tapi aku tidak tahan memikirkan bahwa hal-hal sesepele itu telah membunuh bunyi-bunyiku.

Biasanya, suara lembut seperti ini tidak akan terdengar sampai ke dalam ruang kedap suara, tapi telingaku ini kelewat sensitif hingga dapat menangkap suara-suara kecil sekalipun. Dan karena itulah aku selalu memperingatkan Mei untuk menghindari membuat bunyi apapun.

"Hei!" bentakku.

Mata Mei mengerjap dan terbuka.

Setelah mengenaliku dengan matanya yang sayu, ia cepat-cepat duduk dan bertanya,

"Anda sudah menyelesaikan pekerjaan Anda?"

"Kau sudah menghancurkannya."

Mei menyadari cangkir teh yang tidak sengaja dia jatuhkan ke lantai dan isinya yang tumpah. Ia pucat pasi.

Tampaknya ia sadar dengan apa yang telah dilakukannya, dan menggantungkan kepalanya dengan menyesal.

"Mood-ku sedang jelek. Aku mau jalan-jalan sebentar."

Meninggalkannya bersama peralatannya, aku pun meninggalkan rumah.


Namaku Eiji Kadokura. Usiaku 32 tahun. Aku menggubah musik. Sampai saat ini, aku sudah menggubah banyak lagu dan merasa cukup bangga karena diriku lumayan populer dan dikenal orang.

Genre-ku biasanya adalah musik-musik menenangkan yang ditugaskan padaku. Tapi, komposisiku yang paling terkenal kemungkinan besar adalah sebuah lagu klasik yang kutulis untuk seorang pemain biola terkenal, yang terjual jutaan keping meskipun genrenya tidak terlalu populer, berkat trend musik klasik baru-baru ini.

Hari ini, aku juga mengerjakan musik sebuah lagu yang merupakan tugasku untuk minggu ini. Yah, aku sedang mengerjakannya sampai aku mendapat gangguan dari pembantuku.

Sekali sebuah lagu tercerai-berai, selamanya ia akan hilang untukku.

Walau sisa-sisanya tersisa dalam ingatanku, tapi rasanya seperti kopian murahan kalau aku menyelesaikan lagu itu dengan sisa-sisa itu.

Ini seperti perasaanmu ketika balok-balok mainan yang kau susun mulai terguncang, dan meskipun ia bisa seimbang kembali, menaramu pada akhirnya tetap akan runtuh setelah beberapa balok ditambahkan.

Atau mungkin juga mirip dengan penyulaman kain: benang-benangmu habis dan kau harus menggunakan seutas benang yang lain—sebuah simpul akan tertinggal dan membuat kainmu terlihat tidak rapi.

Begitu pula dengan lagu, yang hancur tidak bisa ditambal.

Aku tidak tahan melihat sebuah lagu yang ditambal-tambal.

Aku harus memulai semuanya dari awal lagi.

Walau pun sudah tidak banyak waktu yang tersisa sebelum deadline.

Aku masuk ke mobilku dan mengendarainya menuju kafe langgananku.

Terletak di sebuah basement yang tenang, biasanya tempat itu menjadi tempat berlindung favoritku yang tenang. Namun pada hari itu, aku merasa kafé itu tidak mampu menenangkan diriku.

Gerombolan yang tediri dari sepuluh turis-turis aneh atau semacamnya sedang berkumpul di sana. Keberadaan mereka saja sudah cukup untuk menggangguku, tapi di atas semua itu, mereka tampak memperlakukan tempat itu seperti bar dan membuat sejumlah keributan.

Saat menyadari keberadaanku, penjaga kafé itu menundukkan kepalanya untuk meminta maaf.

Aku menerima permintaan maaf yang disertai sebuah saran untuk pergi saja untuk hari ini.

Dengan menahan keinginan untuk memberi pelanggan-pelanggan kasar itu pelajaran, aku mengangguk pada si penjaga dan pergi.

Karena aku sekarang malah tambah jengkel, kebisingan jalanan yang biasanya dapat kutolerir jadi sangat menggangguku.

Baik suara bising mesin mobil-mobil beserta klaksonnya yang menusuk telinga, suara ribut siswa-siswa yang berkeliaran dengan tawa mereka yang vulgar, teriakan sales yang tidak berhasil menarik pelanggan, maupun musik-musik murahan.

Mereka semua menggangguku.

Mengapa ada begitu banyak kebisingan dan kegaduhan di dunia ini?

Saat aku tidak sedang bekerja, aku tidak meminta kesunyian yang sempurna, tetapi hidup di tengah-tengah begitu banyak kebisingan dan kegaduhan ini terasa tak tertahankan. Aku tidak bisa mengerti bagaimana orang lain bisa menoleransinya.

Sambil melawan keinginan untuk berteriak kepada para pembuat kebisingan agar diam, aku berjalan kembali ke dalam sebuah gang sempit.

Setelah berjalan cukup jauh dari jalan utama, kebisingan terasa lumayan berkurang. Meskipun belum pudar seluruhnya, aku dapat menahannya dari kejauhan. Aku memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan ke sekeliling gang-gang itu.

"Sekarang, andai saja ada satu kafe lain di suatu tempat, mungkin aku akan puas untuk sementara waktu..."

Tepat ketika aku memikirkannya, aku menemukan sebuah toko yang kecil, eksentrik, dan antik di seberang mataku.

Sulit mengatakan dari eksteriornya toko apa itu. Berharap bahwa toko itu ternyata adalah sebuah kafé, aku mendorong pintunya terbuka.

Suara menyenangkan dari sebuah bel mengumumkan kedatangan seorang pelanggan.

Sangat disesalkan, bagaimanapun, toko itu bukanlah sebuah kafé. Berbagai macam benda dijajarkan di atas rak dengan tidak teratur. Ada toples, piring, barang-barang keramik, boneka-boneka yang berasal dari Jepang dan Barat, serta satu robot timah yang sendirian. Bahkan ada kamera. Kuduga tempat ini adalah semacam toko barang antik atau toko loak.

Karena penasaran, aku pun melihat-lihat.

"Selamat datang," kata seseorang padaku.

Di belakang counter duduk seorang wanita berpakaian serba hitam yang mempesona. Ia terlihat sedikit lebih muda dariku, namun hawanya yang tenang memberikannya aura yang agak dewasa dan misterius.

"Apakah Anda sedang mencari sesuatu yang spesifik?"

Yang kucari adalah suatu tempat yang sunyi. Toko ini memenuhi permintaanku dengan sempurna, tetapi mengatakan itu berarti mengakui di hadapannya bahwa aku tidak berniat membeli apa-apa.

"Aku hanya berpikir kalau aku mungkin menemukan beberapa hal yang unik."

Aku membuat jawaban itu dan melihat beberapa rak, pura-pura tertarik.

"Tapi ada sesuatu yang Anda cari, bukan?" katanya, seolah telah membaca pikiranku. "Katakan pada saya. Mungkin saja Anda bisa mendapatkan objek yang Anda inginkan?"

"Sudah kubilang, beberapa barang yang unik..."

"Anda tidak menginginkan 'beberapa hal'. Anda ingin'satu hal'."

"Hah?"

"Kalau Anda ingin 'beberapa hal', maka Anda akan pergi dengan tangan kosong. Yang Anda inginkan haruslah hal yang spesifik."

Mungkin dia sedang mempermainkanku dengan permainan kata, atau mungkin dia telah mengetahui niatanku untuk tidak membeli apa-apa dan ingin mengejar-ngejarku. Aku sudah merasa lumayan kesal, sehingga provokasi sekecil ini pun sudah terasa menggangguku.

"Kalau Anda benar-benar mempunyai apa yang kuinginkan, aku akan bersedia dengan senang hati membelinya."

"Ya, apakah itu?"

"Keheningan yang sempurna."

Ia memberiku tatapan agak bingung. Aku menyesal telah bersikap begitu kekanak-kanakan. Aku seharusnya menyebutkan beberapa barang yang mungkin dia punya atau langsung pergi saja.

"Maaf – Saya khawatir itu tidak tersedia di sini."

"Tentu saja. Aku minta maaf ju..."

"Itu ada di 'toko kolega' kami!"

Aku meragukan telingaku—tetapi segera merasa marah.

Dia sedang main-main dengan aku? "Tidak di sini"? Jangan membuatku tertawa.

"Itu akan jadi milikku kalau aku pergi ke toko kolega kalian itu? Kalau begitu tolong, tentu saja, katakan di mana tempatnya. Andaikan aku benar-benar dapat menemukan keheningan sempurna di sana, maka aku akan mendatanginya."

"Sebuah Relik yang dapat menciptakan ruang dengan keheningan sempurna dengan menangkis segala suara... Itu adalah, Mirror of Serenity[1]."

"Relik? Cermin Ketenangan?"

"Saya peringatkan, 'Relik' yang saya maksud bukanlah barang antik ataupun karya seni. 'Relik adalah istilah yang kami gunakan untuk alat-alat dengan kemampuan spesial yang diciptakan para leluhur yang sakti atau para penyihir, atau untuk benda-benda yang telah menyedot dendam pemiliknya atau kekuatan supranatural."

"Sebuah relik adalah sesuatu seperti batu yang membawa peruntungan buruk, atau boneka voodoo yang terkutuk atau tiga cermin yang menunjukkan bagaimana cara kematian Anda. Anda mungkin sudah mendengar beberapa dari mereka, dan Mirror of Serenity adalah salah satunya. Tapi saat ini kami tidak memilikinya!"

Aku tidak mengerti apa yang sedang dia bicarakan. Walau aku memang pernah mendengar tentang sebuah takhayul yang mengatakan bahwa benda-benda bisa mendapat sebuah jiwa setelah waktu yang lama, mendengarnya hanya akan memberikan pengaruh yang sebaliknya padaku.

"Jangan mempermainkanku. Tentu saja, aku akui aku tidak memasuki toko ini karena ingin membeli sesuatu. Tapi Anda tidak berhak untuk mengolok-olok saya karena itu. 'Relik', kata Anda? 'Mirror of Serenity'? Berhentilah mempermainkanku dengan membuat-buat nama-nama misterius!"

"Anda tidak percaya pada saya?"

"Tentu saja tidak. Keheningan sempurna itu tidak ada. Aku mempunyai sistem kedap suara yang lengkap di rumahku,tapi aku masih bisa mendengar suara-suara dari luar."

"Karena itu adalah ruangan kedap suara. Mirror of Serenity bekerja dengan cara yang berbeda. Benda itu menangkis suara."

"Jangan terlalu terbawa emosi..."

"Tempat ini mirip!"

Setelah itu aku akhirnya sadar.

Tidak ada satu suara pun di toko ini.

Memang, aku dan wanita itu sedang bercakap-cakap, jadi tentu saja ada suara. Akan tetapi, tidak ada suara bising dari luar. Aku tidak mendengar suara dari kejauhan yang mengusikku sampai aku memasuki toko ini, tidak sedikit pun.

Aku menajamkan telingaku dan mendengarkan baik-baik suara dari luar.

Tapi aku tidak mendengar apapun.

Tak peduli sistem kedap suara apa pun yang toko ini miliki, mustahil itu dapat menghalangi setiap suara dari telingaku.

Selama kami tidak berbicara, ada keheningan sempurna yang selama ini kuidam-idamkan.

"...tapi apa artinya ini?"

"Itu artinya tempat ini juga spesial. Tapi tempat ini tidak menciptakan keheningan yang sempurna— suara dari luar tidak masuk kemari hanya karena sebuah efek samping. Tetapi Mirror of Serenity akan menciptakan keheningan yang sempurna untuk Anda."

"Anda bilang benda itu bisa didapatkan di toko kolega Anda, bukan?"

Jantungku berdebar-debar di dalam dadaku, dan saat itu juga, aku merasa seolah-olah suara terkeras di dunia ini adalah suara debaran jantungku.

"Kalau aku pergi ke sana, apa aku bisa mendapatkan Mirror of Serenity itu?"

"Saya tidak bisa janji. Anda harus meminta pada pemilik tokonya. Tapi saya yakin Anda bisa mendapatkannya jika Anda ingin. Relik-relik akan secara alami menemukan jalan menuju pemilik yang cocok."

Aku pergi setelah menerima sebuah catatan berisi alamat dan jam buka toko koleganya itu.

"———"

Dalam sekejap, kebisingan kembali.

Semua bunyi yang sebelumnya lenyap kembali sesaat setelah aku meninggalkan toko itu.

Seolah-olah aku baru saja bermimpi.

Tiba-tiba, telepon selulerku berdering. Telepon dari asistenku, Mei. Dia memberitahuku bahwa seorang klien yang telah memesan sebuah gubahan sedang mampir di rumah.

Kami sudah menjadwalkan pertemuan hari ini, tapi aku benar-benar melupakannya.

Aku menjawab bahwa aku akan kembali dalam satu jam dan menuju area parkir.

Sebelum menutup telepon, ia mengatakan sesuatu yang membuatku tidak tenang.

Ia memintaku untuk tetap menyalakan ponselku.

Rupanya, ia telah mencoba beberapa kali gagal menghubungiku. Tetapi ponselku tidak pernah mati. Toko itu juga tidak berada di bawah tanah, jadi seharusnya aku masih dalam jangkauan komunikasi.

Sebuah hawa dingin menusuk tulangku dan aku berpikir untuk menengok toko itu kembali, tetapi tubuhku tidak mengizinkanku. Aku cepat-cepat meninggalkan daerah itu.

Sesampainya di rumah, Mei bertanya ke mana aku pergi.

Aku tidak bisa menjawab. Aku memang mengingat toko itu, namun entah mengapa aku tidak bisa mengingat di mana letaknya dan seperti apa si pelayan toko itu.

Hanya kertas dengan alamat beserta jam buka toko di tanganku yang membuatku percaya bahwa ini bukanlah mimpi.



Drrrrrrrrrrrrrrrrr.

Drrrrrrrrrrrrrrrrr.

Drrrrrrrrrrrrrrrrr.

"Diam sekarang juga!!" bentak pemilik toko itu.

Raungan Towako Setsusu menggema ke penjuru bangunan ini, namun dihanyutkan oleh suara yang lebih keras dari luar, menyebabkan raungannya kehilangan sebagian besar pengaruhnya.

Biasanya, penampilannya dicirikan oleh alisnya yang dicukur habis, mata yang percaya diri, dan rambut hitam berkilau yang tergerai lurus sampai pinggangnya. Namun, hari ini, kedua alisnya berkerut, matanya menyipit tidak senang, dan rambutnya berantakan karena terus-terusan digaruk.

Tsukumodo V2 17.jpg

"Meneriaki mereka tidak akan mengubah apa-apa!" Aku—Tokiya Kurusu—menjawab sambil bersandar ke meja kasir.

Towako-san membuat sebuah gerakan teatrikal menaruh tangannya di belakang telinga dan bertanya, "Kamu bilang apa?"

Aku mendekatkan wajahku ke telinganya dan berteriak, "Meneriaki mereka tidak akan mengubah apa-apa!"

"Memangnya bisa! Jangan teriak-teriak begitu!"

"Kamu juga tidak bisa mendengarku, kan!?"

"Diamlah, kalian berdua – aku tidak bisa konsentrasi ke bukuku," asisten kerjaku, Saki Maino, memprotes dengan cuek.

Rambutnya yang pucat mencapai setengah punggungnya dan berkilau keperakan di bawah cahaya, kulitnya jernih dan pucat. Ia berpakaian hitam-hitam : kemeja hitam berenda, rok hitam panjang dan sepasang sepatu boot hitam.

Ia sekitar satu kepala lebih pendek dariku (yang tingginya seperti rata-rata siswa laki-laki), dan begitu ramping sampai-samai sepertinya ia bisa patah hanya dengan sebuah pelukan. Ia berusia 16 tahun, lebih muda satu tahun dariku. Ia memang terlihat seperti gadis seusianya, tetapi karena pembawaannya, ia tampak sedikit lebih dewasa. Sebuah senyuman seterang bunga yang mekar (seperti yang disebutkan oleh arti namanya) gagal total menghiasi wajahnya; sebaliknya, ia sama sekali tak berekspresi seakan-akan menyangkal pepatah "nomen est omen."[2]

Oleh karena itu, Saki pun tampak sedikit kesal hari ini.

(Tapi, jangan lampiaskan pada kami, dong, Saki!)

Suara bising dari area konstruksi di dekat sini adalah penyebab kekesalannya, karena hiruk pikuk itu telah memekakkan telinga kami sejak tadi.

Sebelumnya, kami sudah menerima informasi bahwa pekerjaan konstruksi itu akan dimulai hari ini dan akan berlangsung selama seminggu, tapi kami tidak mengira perbaikan tu akan begitu memekakkan telinga.

Cukup berlawanan dengan kesunyian yang ada hingga kemarin, saat kami mungkin akan dikelilingi hembusan angin yang menggulingkan rumput yang terbawa serta.

Toko ini, Toko Barang Antik Tsukumodo (PALSU), menyediakan, sesuai namanya, Relik palsu.

Bukan barang antik atau karya seni, melainkan alat-alat berkemampuan khusus yang dibuat oleh para leluhur yang sakti atau penyihir, atau barang-barang yang telah menyedot dendam pemilik mereka atau kekuatan-kekuatan supranatural.

Dalam dongeng dan legenda, sering diceritakan artifak-artifak yang memiliki kekuatan khusus.

Misalnya, sebuah batu yang membawa keberuntungan, boneka yang rambutnya tumbuh setiap malam, cermin yang menampilkan penampilanmu di masa depan, pedang yang membawa kehancuran bagi siapa pun yang menariknya.

Semua orang hampir pasti pernah mendengar hal semacam itu.

Tapi masyarakat menganggapnya khayalan belaka karena mereka belum pernah melihat satu pun darinya; bahkan andaikata artifak itu tepat di depan mereka, mereka tetap tidak akan sadar; bahkan andaikan sebuah peristiwa misterius terjadi, itu pun akan dianggap kebetulan.

Sebagian masyarakat tidak peduli, sedangkan yang lainnya yakin bahwa hal-hal semacam itu tidak ada.

Akan tetapi, Relik memang benar-benar ada, dan dan lebih umum dari yang orang-orang pikirkan.

Akhir-akhir ini aku telah menangani sejumlah Relik : sebuah pendulum yang bisa memanggil kebetulan-kebetulan, sebuah patung yang mendorong kekuatan hidup seseorang, sebuah buku catatan yang membuat seseorang mengingat apapun yang dituliskan di dalamnya, dan juga sebuah dompet yang membuatku kehilangan seluruh pendapatanku kecuali jika pendapatanku dihabiskan pada hari diterimanya.

Tetapi, Relik-Relik semacam itu tidak untuk dijual di toko ini. Seperti yang kusebutkan sebelumnya, kami hanya menjual barang-barang palsu. Yang diletakkan di rak adalah benda-benda palsu yang pemilik toko ini beli karena ia mengira bahwa benda-benda itu asli.

Tentu saja, para pembeli yang datang berkunjung tidak tahu apa itu Relik. Oleh sebab itu, mereka merasa bahwa liontin yang tidak lazim, boneka tidak normal, jam tidak bergerak and batu tidak menarik yang kami tawarkan hanya akan membuang-buang waktu mereka, kemudian pergi sambil menyesal telah mampir awalnya.

Nah, andaikan mereka datang sejak awal. Hari-hari di mana kami tidak memiliki satu pelanggan pun akan menjadi wajar.

"Kenapa tidak kau tutup saja toko ini untuk seminggu?" saranku.

"Tapi itu akan menghentikan penjualan kita."

"Lagipula kita tidak akan mendapat satu pelanggan pun."

"Apa?"

"Kita tidak akan mendapat satu pelanggan pun!"

"Ya, lagipula tidak ada yang peduli!"

"Kamu tidak menyangkalnya!?"

"Kalian bisa tidak, sih, diam? Aku tidak bisa konsentrasi dengan bukuku."

(Kamu ngerti tidak, sih, kalau itu bukan salah kami? Dan bukankah kita sudah melewati ini?)

Kelihatannya, Saki pun terganggu oleh suara itu, meskipun kekesalan itu sama sekali tak ditampilkan di wajahnya.

"Kepalaku mulai sakit, nih. Beneran, bisa tidak, sih, kita melakukan sesuatu untuk ini daripada meratapinya? Towako-san, ada tidak Relik yang bisa mematikan suara?"

"Ayolah, jangan meminta hal yang... mungkin?"

"Mungkin?"

Towako-san berjalan keluar ruangan dengan a reflective look di wajahnya, sementara Saki menyingkirkan bukunya dan menghampiriku.

"Itu dia!"

Dengan kata-kata itu, Towako-san kembali dari gudang membawa sebuah cermin dengan kedua tangannya. Kacanya diselimuti secarik kain ungu. Bingkai kayu yang melingkarinya bersinar bagaikan lacquer dan bersandar pada sebuah sandaran.

"Itukah Relik yang bisa menyapu bunyi?"

"Nah, lihat saja."

Ia menarik kainnya.


Tiba-tiba, suara lenyap.


Suara bising dari area konstruksi lenyap.

Bukan menjadi tak bisa didengar; ini lebih seperti lenyap. Ditambah lagi, semua suara lain di sekitarku— orang-orang dan hiruk pikuk jalanan di luar, televisi di ruang tamu, dan lain sebagainya —juga lenyap.

"Apa yang terjadi?"

Aku mencoba bertanya, Apa yang terjadi? tetapi suaraku tak terdengar.

Aku sekali lagi mencoba menyuarakan kebingunganku, tetapi kembali gagal. Bukan hanya Towako-san yang tidak bisa mendengarku, aku bahkan tidak isa mendengar diriku sendiri bicara. Tidak, itu tidak sepenuhnya benar. Lebih cocok dikatakan bahwa tidak ada suara untuk didengar sejak awal.

Towako-san juga menyadari hal ini dan meneriakkan sesuatu padaku, yang—tentu saja—tidak dapat kudengar.

Daripada itu, aku mencoba mengekspresikan diriku dengan gerakan mulut.

Dengan secara provokatif menaruh tangan di belakang telinganya, Towako-san mengisyaratkan bahwa ia tidak dapat mendengar apa-apa.

Kali ini aku mencoba menyuruhnya untuk kembali menutup cerminnya, namun karena perubahan tiba-tiba pada gerakan mulutku, ia kebingungan dan mengerutkan alisnya.

Aku berulang kali menunjuk cermin itu dan membentuk kata-kata, "Tutup!" dengan bibirku.

Dengan—mungkin—suara marah yang keras, ia menaruh kain di atas cermin itu.

Dalam sekejap, suara-suara yang tadi hilang kembali.

Suara dari area konstruksi, hiruk pikuk dari kejauhan, langkah kaki Towako-san yang mendekat, dan...

"Demi kasih Tuhan, kenapa sih, kamu tidak mengerti juga? Aku ini tidak bisa mendengarmu!"

...suara tinjuan.

Sebenarnya, aku ingin membela diri-untuk mengatakan padanya bahwa aku juga tidak bisa mendengarnya-tetapi rasa ngilu yang berputar-putar di kepalaku mencegahku berkata apa-apa untuk beberapa saat.

"...Benda itu benar-benar mematikan semua suara, ya?"

"Itulah yang kukatakan padamu. Suara apa pun dari dalam daerah yang pantulannya lenyap. Suara dari luar semuanya dibelokkan, dan tidak ada suara yang bisa dihasilkan dalam area pantulannya. Singkatnya, ia menciptakan sebuah zona keheningan yang sempurna."

"Tapi, kau tidak bisa melakukan apa-apa di tempat seperti ini!"

Aku tidak pernah berpikir bahwa sulit sekali membuat orang mengerti tanpa menggunakan suara.

"Berkomunikasilah lewat pena dan kertas."

"Hah... Tapi entah mengapa ia terlalu sunyi sampai-sampai terasa lebih mengganggu daripada ketika berisik."

Kebisingan area konstruksi kini telah menurun ke tingkat di mana ia memungkinkan untuk berbicara normal, yang membuat kesunyian yang tidak natural beberapa waktu lalu terasa lebih buruk.

"Di samping itu, kita tidak bisa melayani para pelanggan seperti ini!"

"Kita juga tidak akan mendapat satu pelanggan pun, kan?"

"Kalian berdua..."

"Kamu masih dendam padaku soal hal itu?"

"Memangnya kenapa? Aku sudah terbiasa."

"Kalian berdua..."

"Yah, aku memang berpikir tidak akan ada satu pelanggan pun."

"Bisa tidak kau tunjukkan minimal sedikit perhatian?"

"Kalian berdua..."

"Bukannya tadi kau mengakuinya sendiri?"

"Tapi kau tidak boleh. Meskipun aku memang mengakuinya sendiri."

Tiba-tiba, kepala kami dicengkeram dari belakang dan dengan paksa dan ditengokkan ke arah pintu masuk.

"Kita kedatangan pelanggan."

Di arah yang ditunjuknya telah berdiri seorang pria dan seorang wanita.


"Jawabannya masih 'tidak'."

"Tidak bisakah kita langsung masuk ke persetujuan?"

"Tidak."

"Anda bisa miliki sebanyak yang Anda inginkan."

"Saya menolak tawaran apa pun."

Towako-san dan pria itu sudah berputar-putar dalam sikap ini selama beberapa lama. Pelanggan ini berusia sekitar 30-an tahun, mengenakan setelan mahal, dan mungkin telah menyaksikan apa yang baru saja terjadi dengan cermin itu. Dia terlihat memiliki minat kuat terhadapnya. Awalnya dia berdiri mematung di pintu masuk, namun setelah ia menyingkirkan rasa terkejutnya, ia mulai memaksa Towako-san untuk menjual cermin itu padanya.

Towako-san berulang kali menolak. Tampaknya tekadnya kuat, karena ia baru saja mengatakan pada pria itu bahwa ini bukan masalah uang.

Sebenarya, Towako-san tidak pernah menjual satu Relik pun pada siapa pun. Kami hanya menjual barang palsu, bukan Relik yang sesungguhnya. Ia lebih senang jika orang lain tidak mendapatkan Relik.

"Ngomong-ngomong, kenapa dia begitu menginginkan cermin itu?"

Pria itu jelas-jelas kaya – dia tadi menawarkan jumlah uang yang sangat banyak.

"Pria itu..." Saki menggumam saat berjalan menuju ruang tamu.

Ia kembali dengan membawa buku yang tadi dibacanya.

"Kupikir juga begitu."

Ada sebuah foto seorang pria di dalam buku. Profil yang menyertainya mengatakan bahwa namanya adalah Eiji Kadokura dan ia adalah seorang komposer.

(Aku mengerti. Masuk akal dia menginginkan lingkungan yang sunyi kalau dia komposer.)

"Tapi kenapa kau punya buku seperti itu?"

"Kupikir penjualan dan penggubahan banyak persamaannya."

"Memang sih, mereka kedengaran mirip."

"Aku serius!"

"Kalau begitu, katakan apa sebenarnya yang kau maksud."

"Menyediakan musik yang diinginkan orang dan menyediakan barang-barang yang diinginkan orang cukup mirip, kan?"

Saki tidak suka bercanda. Ia selalu sangat serius mengenai pekerjaannya dan tidak menghabiskan masalah maupun biaya untuk meningkatkan pelayanannya pada pelanggan.

Tentu saja, dilarang untuk tidak setuju padanya dan berkata bahwa bukunya, Menggubah itu mudah!, tidak ada hubungannya dengan layanan pelanggan. Aku juga tidak setuju dengan pernyataannya mengenai penjualan maupun penggubahan.

"Pokoknya, saya tidak menjualnya pada Anda. Dan saya tidak ada urusan dengan Anda," kata Towako-san telak sembari membawa cermin itu bersamanya menuju wilayah tempat tinggalnya.

"Tolong tunggu sebentar!"

"Saya khawatir saya harus meminta Anda untuk berhenti sampai di sini."

Bangunan yang meliputi toko itu juga berfungsi sebagai rumah Towako-san dan anak yang menumpang gratis di rumahnya, Saki. Karena pelanggan itu hendak mengikuti mereka keluar toko menuju area tempat tinggal pribadi mereka, aku harus menghalanginya.

"Tidak ada yang mau kudiskusikan dengan pekerja sambilan."

Aku tidak bisa apa-apa menerima pelecehan dalam sikapnya.

"Tidak ada yang mau kami diskusikan dengan Anda juga! Silakan pergi jika Anda tidak berniat membeli apa pun."

"Karena itulah aku ada di sini."

"Silakan pergi jika Anda tidak berniat membeli barang yang memang untuk dijual. Hanya karena ini toko, bukan berarti kami harus untuk menjual barang yang tidak untuk dijual."

Kadokura-san baru membuka mulutnya untuk kembali memprotes ketika dering poselnya terdengar di toko. Dengan kesal ia mengangkat telepon dan mendecakkan lidahnya setelah membaca tampilan layar.

"...panggilan menyangkut bisnis. Sepertinya aku tidak punya pilihan."

"Kami tidak berharap Anda akan mengunjungi toko kami lagi!"

"Aku akan datang!"

"Tolong jangan."

Pelanggan yang menyebalkan ini menegakkan bahunya dan meninggalkan toko.

"Dia pergi untuk sekarang," aku berteriak ke arah ruangan tempat Towako-san bersembunyi.

Dia mengomat-kamitkan "Oke" dengan tatapan tidak senang.

"Kenapa tidak kau jual saja padanya? Untuk jumlah uang yang lumayan..." aku bertanya dan langsung dipelototinya.

Kuulangi lagi : Towako-san anti memberikan Relik. Sebagian karena hobi mengoleksi barangnya, tapi sebagian besar karena ia tahu bahwa banyak orang yang kehidupannya hancur gara-gara Relik.

Haruskah aku bangga karena faktanya, aku telah menerima sebuah Relik darinya, sehingga aku seakan telah mendapatkan kepercayaannya?

"Permisi..." kata seorang wanita yang diantar Saki.

Ia adalah wanita yang tadi bersama Kadokura-san.

"Perkenankanlah saya meminta maaf atas sikap kasar Kadokura-sama."

Aku mengira ia adalah manajernya atau semacamnya. Tampaknya usianya tidak jauh lebih tua daripadaku, tetapi ia memancarkan aura wanita bisnis tulen.

"Tolong telepon nomor ini jika Anda berubah pikiran."

Ia mengeluarkan kartu nama dengan nama "Eiji Kadokura" dan informasi kontaknya.

Towako-san, bagaimanapun, tak menunjukkan tanda-tanda ingin menerima kartu itu. Kalah pada tatapan putus asanya, aku pun menerima kartu itu, dan dipelototi lebih tajam.

Tampaknya, Towako-san tidak menyetujui tindakanku. Ia seharusnya memberitahuku sebelum aku menerimanya.

"Senang bertemu dengan kalian," kata rekan Kadokura-san sambil membungkuk dan meninggalkan toko.

"Buang kartu itu sekarang."

"Tapi itu ‘kan agak..." gumamku saat aku mulai menoleh dan memandang ke arah rekan Kadokura-san pergi.


Kemudian, suara yang menyakitkan berdering di dalam kepalaku——


Tempat ini belum pernah kulihat sebelumnya.

Aku melihat sebuah ruangan.

Area pandanganku meliputi sebuah dinding—dan pintu yang tertutup.

Tergores-gores dengan garis-garis memanjang yang tak terhitung jumlahnya, pintu itu memberikan sebuah kesan yang ganjil.

Penglihatanku bergerak turun, membawa bagian bawah adegan ke dalam fokusnya.

Seorang wanita jatuh pingsan ke lantai.

Ia mengenakan gaun berenda dan meringkuk seperti bola, dan sama sekali kaku.

Ini—


"Ada apa?"

Suara Towako-san membawaku kembali. Pandangannya tampak bertanya-tanya padaku.

"Kau mendapat penglihatan?" tanya Saki tepat sasaran, mungkin ia telah menduganya dari tampangku.

Adegan yang kusaksikan setelah bunyi yang menyakitkan itu adalah gambaran masa depan yang diperlihatkan padaku oleh Relik milikku.

Mata kananku adalah buatan. Ia digantikan oleh sebuah Relik bernama "Vision[3]" yang kuterima dari Towako-san.

"Vision" terkadang memperlihatkan padaku kejadian-kejadian pada masa depan yang dekat.

Saat itu terjadi, rasa perih menjalar di kepalaku, sangat mirip dengan statik di TV, yang diikuti dengan potongan adegan dari masa depan.

Tetapi, "Vision" tidak akan memperlihatkanku seluruh masa depan: aku tidak bisa meramalkan angka undian yang menang, atau juara dalam kompetisi olah raga. Aku bahkan tidak bisa memprediksi cuaca, maupun memilih untuk melihat sebuah kejadian khusus dari masa depan.

Tapi ada satu jenis masa depan yang tak pernah gagal "Vision" tunjukkan padaku : Momen potensial kematianku atau kematian orang yang kukenal.

Yang baru saja kulihat adalah kematian yang akan menghampiri seseorang.

"Wanita itu... akan mati."


"Sialan!"

Aku menggulung sebuah lembar musik kosong dan melemparkannya ke dinding, dan langsung bersandar dengan lemas setelahnya. Tak mampu menahan beratku, kursi yang kududuki jatuh dan meninggalkan diriku memandangi langit-langit.

Ini salah satu kesalahan Mei yang menyeretku kembali dari lamunan kreatifku hari ini. Aku hanya punya masalah dalam konsentrasi.

Konsentrasiku belum juga membaik di pagi hari, dan sayangnya ini belum juga berakhir. Karena... Tidak, tidak masalah. Saat aku di zona ini, aku tidak akan kehilangan konsentrasi karena sesuatu yang sangat sepele.

Aku sedang mengalami kemunduran. Meski deadline sudah dekat, aku bahkan tidak punya bayangan. Kapan terakhir kalinya aku berada dalam kemunduran sebesar ini?

(...Benar, ketika aku baru saja meninggalkan rumah.)

Dulu, aku tinggal di sebuah apartemen reyot yang berusia lusinan tahun. Karena aku ingin menghindari segala jenis bunyi, aku memilih suatu tempat terpencil yang jauh dari kota. Aku tidak segugup sebelumnya, namun di bawah stres yang muncul karena kegelisahan akan hidup sebatang kara dan perubahan lingkungan, aku menemukan diriku sama sekali tidak bisa menulis satu lagu pun.

(Bagaimana aku mengatasi kemunduran itu dulu...?)

Aku tidak ingat. Kemunduran itu sudah berakhir bahkan sebelum aku mengetahuinya. Yah, tepatnya, aku belum menganggapnya suatu kemunduran saat itu.

(Tapi itu benar. Ini juga bukan suatu kemunduran.

Aku hanya memiliki beberapa masalah dalam konsentrasi.

Kalau aku berkonsentrasi, aku akan bisa menggubah lagi.)

Aku menenangkan diriku dengan memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam.

(Bayangkan. Bayangkanlah dunia suara...)


—Klang—


Aku mendengar suara yang sangat lembut sesuatu jatuh di lantai atas.

Bayanganku lenyap dan konsentrasiku menguap.

(Lagi...? Lagi-lagi...?)

"SIALAN!"

(Kenapa aku harus mendengarnya? Kenapa aku tidak bisa mengacuhkan bunyi-bunyi itu saja...)

Beberapa saat kemudian, sebuah ketukan pintu menyerbu ruangan dengan bunyi dan getarannya. Aku tidak mengacuhkannya, tetapi ketukan itu tidak kunjung berhenti. Bukankah aku sudah menyuruh Mei untuk tidak mengetuk lebih dari lima kali...?

"Diam!"

Aku membanting pintu. Dengan pekikan pendek, Mei jatuh terduduk. Akan tetapi, aku sama sekali tidak merasa bersalah.

"Ada apa?"

"Ah, ya. Saya dapat telepon menyangkut pekerjaan yang menunggu Anda."

"Bilang pada mereka aku akan menelepon nanti."

"Tapi... sepertinya ini agak mendesak..."

"Kubilang nanti!"

Aku sengaja membanting pintu. Bahkan, bunyi itu pun menggema di telingaku.

Aku sangat membutuhkan kesunyian yang sempurna.

Aku yakin aku bisa menulis musik jika aku memilikinya.

"Mirror of Serenity" terlintas di benakku.



"Selamat datang!"

Saat tengah terhanyut dalam kekaguman terhadap hunian mewah di depan mata kami, kami disambut oleh wanita yang menemani komposer Eiji Kadokura.

Namanya adalah Mei Oohashi dan ia merawat omposer itu. Sebagai bukti—atau mungkin bukan—ia berpakaian sebagai seorang maid[4]. Aura wanita bisnis yang dipancarkannya saat berada di toko hilang tak berbekas, dan sejujurnya, ia kini tampak sedikit lebih mencolok.

Mengikuti arah yang ditunjukkan Mei-san pada kami, aku, Saki, dan Towako-san berjalan menuju tempat tinggal-sekaligus-tempat kerja milik Eiji Kadokura.

Rumahnya terletak di sebuah daerah pinggiran yang jauh dari pusat kota. Pinggiran kota itu adalah sebuah distrik yang telah berubah menjadi sebuah kota hantu karena pengembangannya dihentikan. Meskipun ada banyak bangunan apartemen, tetapi tidak ada toko ataupun orang di stasiun kereta. Karena tempat tinggalnya lumayan jauh dari stasiun itu, kami harus menggunakan sebuah taksi yang jarang lewat untuk mencapainya. Ternyata, perjalanan ini cukup melelahkan. Jujur saja, aku tidak menyangka seorang komposer musik terkenal tingal di tempat semacam ini.

Aku curiga dia sengaja memilih lokasi ini karena ingin lari dari kehirukpikukan kota.

"Silahkan lewat sini."

Dibimbing Mei, kami berjalan melewati sebuah kebun dengan ukuran yang tidak akan bisa dibayangkan berada di kota, melalui gerbang besar tak berguna dan akhirnya tiba di sebuah ruang tamu, setelah melalui sebuah koridor yang panjang. Mei meminta kami untuk menunggu di sofa dan menghilang ke dapur untuk menyiapkan teh.

Ketika ia pergi, Kadokura-san muncul.

"Halo dan selamat datang. Aku sudah menunggu-nunggu kalian!"

Tsukumodo V2 41.jpg

Ia menyambut kami dengan tangan terbuka, meskipun, kalau boleh jujur, kami jelas bukan sasaran kebahagiaannya.

"Kau sudah membawa itu?"

Dengan cemberut, Towako-san menunjukkan cermin yang terbungkus kain di tasnya.

Sebuah senyum puas tersungging di wajah Kadokura-san.

Alasan kami datang kemari bukan untuk menyerahkan Mirror of Serenity padanya.

Namun, untuk mencegah masa depan yang telah "Vision" perlihatkan padaku—dengan kata lain, kematian Mei-san.

Saki menghentikanku yang hendak menghampiri Mei-san dan langsung menyuruhnya berhati-hati karena ia mungkin akan mati. Jelas suatu ide yang buruk untuk memberitahunya tanpa pikir panjang. Lagipula, kami tidak mempunyai petunjuk mengenai keadaan yang menyebabkan kematiannya. Jadi, pilihan terbaik kami adalah dengan mendekati dan mengawasinya.

Maka agar kami lebih dekat dengan Mei-san, kami menyerahkan tawaran berikut ini pada Kadokura-san:

Meskipun kami tidak menjual cermin itu, kami bersedia meminjamkan padanya untuk beberapa hari – namun hanya jika cermin itu tetap ada bersama kami sepanjang waktu.

Kadokura-san menyetujui syarat-syarat ini. Ia mungkin berpikir bahwa kami ingin menginap gratis di rumah seorang komposer terkenal sebagai imbalan untuk meminjamkan cermin padanya.

Namun, kami sama sekali tidak berminat pada hal itu. Kami harus menemukan dan menyingkirkan penyebab kematian Mei-san sebelum batas waktu peminjaman berakhir.

Sebenarnya, Towako-san tidak setuju dengan operasi ini karena tindakan kami sendiri bisa saja menjadi penyebab kematian Mei-san. Tetapi, itu sama saja berarti bahwa kematiannya juga bisa terjadi karena kami tidak bertindak. Jika demikian, kami tidak bisa hanya duduk berpangku tangan dan melakukan cara "tunggu dan lihat saja".

Untungnya, aku mendapat libur pada hari Jumat karena hari itu adalah hari ulang tahun sekolahku, memberikan kami total waktu tiga hari. Karena "Vision" tidak bisa melihat terlalu jauh ke masa depan, Aku yakin untuk mencari beberapa tanda untuk mencegah kematian Mei-san.

"Terima kasih sudah menunggu," kata Mei-san saat kembali dengan nampan yang membawa teh. Aroma teh hitam yang kaya menyebar di ruangan itu.

Saat wangi sedap itu menggelitik hidungnya, bukannya membelalakkan mata atau berseru, Saki malah membiarkan alisnya bergerak sedikit. Pandangannya terpaku pada perlengkapan teh itu. Ia tak berekspresi seperti biasanya, tapi aku tahu ia sangat terkejut. Apakah Mei-san membawakan kami sejenis teh yang luar biasa mahal?

Tanpa menyadari ketakjuban Saki, Mei-san meletakkan sebuah poci ke atas meja, diikuti sebuah cangkir di depan masing-masing dari kami. Perlengkapan teh itu adalah sebuah merk mahal yang sampai aku pun pernah mendengarnya.

Baru saja terlintas di benakku bahwa mengambil satu cangkir saja bisa mendatangkan keberuntungan, Mei-san menjatuhkan sebuah cangkir di atas meja.

Bersama dengan bunyi kelontengan, pegangan cangkir itu patah.

Hening.

"Ya ampun!" Mei-san berseru, "Ma-Maafkan saya! Maafkan saya! Akan segera saya bawakan cangkir teh yang baru!"

Ia memungut cangkir teh dan pegangannya yang patah dan memukul kepala Kadokura-san—bukan, tak sengaja membentur kepalanya—dengan nampan saat berputar.

"Ughn..."

"Gyaa! Maafkan saya, maafkan saya!"

"P-Pergi dan bawakan saja yang baru," Kadokura-san memberinya perintah dengan tenang. Jelas dia sudah terbiasa dengan perilaku pelayannya, karena ia sama sekali tak kewalahan merespons kepanikan Mei-san. "Saya meminta maaf atas kelakuannya, dia memang agak... ceroboh..."

"Gyaa!"

Jeritan Mei-san terdengar dari dapur, diikuti suara sesuatu yang jatuh ke lantai. Yah... setidaknya sih, tidak ada suara barang pecah lagi.

"Saya minta maaf atas kegaduhan ini."

...Mungkin salah satu alasan Kadokura-san menginginkan Mirror of Serenity yang bisa menciptakan keheningan adalah Mei-san sendiri.

"Ma-Maaf menunggu!"

Ia kembali dengan cangkir teh yang baru, dan aku mulai merasa tidak enak.

Karena terburu-buru, Mei-san membenturkan lututnya pada meja saat hendak meletakkan cangkir itu. Sentakan itu menyebabkan poci teh itu miring, namun tepat saat aku yakin benda itu akan jatuh, Saki memegangnya. Aku belum pernah melihatnya bergerak secepat itu sebelumnya. Mungkin kemampuan Saki naik mengimbangi harga teh hitam yang terancam bahaya itu?

"M-Maafkan saya, maafkan saya."

Mei-san terus membungkukkan kepalanya dan dengan penuh rasa terima kasih menjabat tangan Saki yang sedang memegangi poci.

"Hentikan itu dan ambilkan handuk."

Hanya sedikit teh yang tumpah, namun setelah menerima perintah tersebut, ia buru-buru kembali ke dapur untuk mencari handuk.

Bahkan tanpa harus melepas seragam maid lagi pun, aura "wanita bisnis yang profesional " darinya telah menguap seluruhnya.

"Lagi-lagi, biarkan saya meminta maaf untuknya, dia memang tidak bisa duduk tenang." Kadokura-san menundukkan kepala di tempatnya dan memandang Saki dengan senyum kecut. "Saya harap dia bisa setenang dirimu."

Aku melihat Saki, yang kini duduk di sebelahku.

"Apa tanganmu terbakar?"

"Ini bukan masalah besar," katanya menyangkal, tetapi ia mengelus tangannya di bawah meja.


Karena masih ada beberapa waktu sebelum makan malam, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian ke sekitar tempat tinggal Kadokura – bukan sekedar untuk melihat-lihat, tentu saja, tapi juga untuk tujuan penyelidikan.

Pintu yang kulihat dalam penglihatanku akan kematian Mei-san sangat aneh, seolah-olah ditandai dengan pola garis-garis yang aneh.

Kupikir dengan menemukan lokasi pintu itu, aku bisa meyakinkan Mei-san untuk tidak mendekatinya, atau aku akan menyingkirkan semua benda berbahaya di dekatnya – untuk menyelamatkannya dari kematian.

Lantai satu kediaman Kadokura-san memiliki sebuah ruang tamu yang luas, sebuah dapur dan lain sebagainya, sementara kamar Kadokura-san, Mei-san, dan para tamu terletak di lantai atas.

Selain itu, juga ada ruang bawah tanah lengkap dengan sistem kedap suaranya yang berfungsi sebagai studio milik Kadokura-san. Menurut keterangannya, dia selalu menggubah di ruang bawah tanah itu.

Aku hendak memeriksa ruangan khusus itu.

Aku sudah dengan cermat mengelilingi lantai satu dan ruangan-ruangan di lantai atas, tetapi tidak ada tanda-tanda dari pintu yang "Vision" perlihatkan padaku. Hanya lantai bawah tanah yang tersisa.

Tangga menuju ruang bawah tanah lebih panjang dari yang kukira dan berputar-putar, menunjukkan betapa dalamnya ruang bawah tanah tersebut. Kemungkinan besar, Kadokura-san ingin menyingkir dari bunyi-bunyi di luar sana sejauh mungkin. Aku tidak dapat mendengar langkah kakiku sendiri sebab sampai tangga itu sendiri pun dialasi karpet.

Pintu menuju ruang kerja itu akhirnya muncul di hadapanku.

Tetapi—

"...Meleset, ya."

Sepintas, pintu itu tampak seperti pintu dalam penglihatanku – bentuknya mirip sekali. Namun, tidak ada garis-garis pada pintu itu, jadi ini bukanlah pintu yang "Vision" tunjukkan padaku. Ini hanyalah pintu ruang bawah tanah.

"Mungkin pintu itu bahkan tidak berada di rumah ini?"

Jika demikian, kami akan terpaksa mengawasi Mei-san sendiri. Sejauh yang aku tahu, Saki sedang bersamanya untuk membantu pekerjaannya.

Aku memutuskan untuk ikut mengawasi Mei-san, dan menoleh ke arah tangga.

"Wuah!"

"Kyaa!"

Mei-san berdiri tepat di sana, membuatku menjerit kaget. Sebagai akibat dari seruanku, Mei-san kehilangan keseimbangannya dan terjatuh dari anak tangga.


Secara refleks aku menopangnya, tapi karena aku tidak siap, aku malah ikut terseret ke bawah bersamanya.

"A-Anda baik-baik saja? Maafkan saya, maafkan saya!"

"T-Tidak, aku yang mengagetkanmu..."

Mei-san kembali memohon maaf selagi masih berada di atas tubuhku. Aku berpikir—sudah berapa kali aku melihat dia seperti ini?

"Apa yang kamu lakukan di tempat gelap begitu?"

Saki memandangku dari atas dengan ekspresi yang dingin—oke, ekspresi yang sama seperti biasanya.

"Ti-Tidak ada! Kamu melihatku sendiri, jadi kamu ngerti, kan?"

"Bukan itu maksudku. Maksudku, apa yang sedang kau lakukan di bawah sini sendirian, tapi karena kulihat kamu membuat alasan, kurasa kamu memang sengaja melakukannya?"

""M-Maaf, Maino-san. Saya tidak bermaksud menempel pada pacar Anda! Itu tadi kecelakaan, jadi tolong jangan marah padanya!"

Setelah hening sejenak, Saki menjawab tanpa mengubah ekspresinya dengan berkata, "Dia bukan pacarku."

Mei-san berbalik untuk menghadapku.

"Eh? Anda bukan? Saya tadinya yakin kalian berpacaran, karena dia menjadi marah."

"Bukan. Kami tidak pacaran, dan dia tidak sedang marah. Dia memang selalu begitu."

"Benarkah?"

Karena tidak yakin, Mei-san memandangi wajah Saki. Tidak heran Mei-san tidak bisa memahami muka datar Saki.

"Ya, seperti yang Tokiya katakan: Aku tanpa ekspresi, tanpa emosi dan blak-blakan. Jadi, tolong jangan pikirkan hal itu," kata Saki dengan terus terang.

Tapi... hanya perasaanku atau dia entah mengapa memang terlihat agak marah? Kupikir aku harus belajar membaca perasaan di balik poker face-nya, tapi sepertinya, bukan itu yang jadi masalah.

"Ngomong-ngomong, lebih baik kita bawa ini masuk."

"Apa itu?"

"Ah, ini minuman energi yang suka Eiji-sama minum saat bekerja. Kami mau membawa masuk persediaannya," jelas Mei-san seraya menunjuk kardus kecil yang ia bawa bersama Saki.

Tetapi, bukan itu yang aku tanyakan.

"Pakaianmu."

"...Mei-san menyuruhku memakai ini."

Pada kesempatan yang langka ini, Saki, yang menyukai pakaian hitam lebih dari apapun, memakai apron putih bersih seperti seorang maid. Kemungkinan besar, dia diminta mengenakan seragam ini ketika ia menawarkan untuk membantu Mei-san. Fakta bahwa ia masih mengenakan gaun hitam di baliknya mungkin bentuk kompromi versinya.

"Anda terlihat manis saat memakai itu, Saki-san! Sekarang, lewat sini," desak Mei-san sambil membuka pintu dan mengisyaratkan pada Saki untuk ikut.

Saki menuruni tangga dan menginjak kakiku ketika ia berpapasan denganku.

"Aduh!"

"Oh? Maaf." ia berkata dengan cuek, kemudian memasuki ruangan.

Dia memang marah! Mei-san benar. Walaupun aku tidak tahu apa yang membuatnya tidak senang.


Demi kelanjutan pengawasan terhadap Mei-san, aku pun mengikutinya ke dalam ruangan.

Ruangan itu berukuran beberapa meter kuadrat. Meski aku tidak melihat satu alat musik pun, tumpukan lembaran-lembaran musik berserakan di atas meja dan lantai. Benar-benar terasa seperti ruang kerja seseorang yang menggeluti bisnis musik. Di situ juga ada sebuah laptop, jadi mungkin Kadokura-san menggunakannya sebagai pengganti instrumen aslinya saat menggubah.

"Saki-san, tolong letakkan itu di sana," pinta Mei-san sembari menunjuk kulkas kecil di pojokan.

Mei-san memungut lembar-lembar yang tercecer dan menatanya, kemudian mulai mengumpulkan botol-botol setengah kosong dan mengosongkan tempat sampah. Insiden dengan teh barusan membuatku sangsi, tetapi ia bekerja lebih efisien kali ini.

Setelah meninggalkan mereka dengan pekerjaan bersih-bersihnya masing-masing dan mengisi ulang stok minuman energi, aku menutup pintu. Ruangan itu sungguh terasa seolah-olah terisolasi dari dunia luar.

Meski aku bisa mendengar kedua gadis itu bekerja, suara-suara dari luar tidak terdengar. Yah, bukan cuma karena tidak ada orang di luar sana, kami juga ada di bawah tanah, jadi memang tidak ada bunyi, tapi itu kesan yang aku dapatkan. Mungkin karena sistem kedap suaranya.

Aku pikir dengan ruangan semacam ini, Kadokura-san tidak memerlukan Mirror of Serenity.

"Sudah selesai bersih-bersihnya?"

Pintu kembali terbuka dan Kadokura-san masuk.

Di tangannya Mirror of Serenity. Tampaknya ia mengambilnya dari Towako-san dan ingin mencobanya sesegera mungkin.

"Hampir."

"Tidak perlu sempurna," katanya absent-mindedly, dan melihat ke sekeliling ruangan. Tampaknya, ia sedang memikirkan tempat untuk menaruh cermin itu.

"Saya kagum! Bukankah sistem kedap suara di ruangan ini sempurna?" tanyaku.

Kadokura-san menjawab dengan senyum masam, "Memang, aku menghabiskan banyak uang untuk membangun ruangan ini. Tapi ini tidak sempurna. Aku masih bisa mendengar suara dari luar walau setelah aku menutup pintu."

"Benarkah?"

Aku tidak tahu seberapa baik sistem kedap suara bekerja, tapi kurasa akan sulit untuk sebuah bunyi untuk bisa sampai ke sini.

"Ya. Contohnya waktu Mei memecahkan cangkir di lantai atas," katanya, yang mengecilkan hati Mei-san dan membuatnya meminta maaf lagi.

"Anda seperti itu? Apa ada kerusakan pada sistem kedap suaranya?"

"Awalnya, itu juga yang kukatakan pada pembuatnya. Tapi sepertinya orang-orang biasa tidak mendengar hal-hal yang bisa kudengar. Dan aku tidak hanya mengkhayalkannya!"

"Sebagai contoh, sekali waktu Eiji-sama berada di ruangan ini bersama para pembuatnya, tuan mengatakan pada mereka bahwa tuan mendengarku memecahkan cangkir. Ternyata, tidak ada orang lain yang mendengar apa-apa, tetapi ketika mereka pergi ke ruang tamu untuk mengecek..."

"Mei memang menjatuhkan sebuah cangkir dari meja, seperti yang kubilang. Para pembuatnya pun sudah kehabisan akal."

(Jadi, dia mempunyai telinga yang istimewa?)

"Bukannya aku mendengar segalanya, tapi untuk beberapa alasan aku tidak melewatkan satu pun kecerobohannya."

"Telinga busuk."

"Kau bilang sesuatu, Mei?"

"Tidak, bukan apa-apa."

Sejujurnya, aku lebih tertarik dengan hubungan mereka dibandingkan dengan cerita yang baru saja kudengar.

Awalnya, kupikir hubungan mereka murni hubungan bisnis antara bos dan asisten, tapi mereka bercakap-cakap dengan sangat santai. Ditambah lagi, dia tidak memecat Mei-san meski gadis itu telah melakukan banyak kesalahan, dan tidak benar-benar marah dengan kecerobohannya.

"Kalau begitu, kami tidak akan mengganggu kalian lebih lama lagi. Selamat bekerja. Ayo pergi, Kurusu-san, Maino-san."

Setelah membungkuk pada Kadokura-san, ia meninggalkan ruangan sambil membawa kantong sampah. Kami mengikutinya, sementara Kadokura-san mulai menggubah.

Pintu yang berat itu tertutup dengan suara debuman dan memisahkannya dari kami.

Pada perjalanan kembali ke lantai satu, Saki mengajukan pertanyaan pada Mei-san,

"Bagaimana kau mengenal Kadokura-san?"

"Eh?"

"Karena agaknya kalian tidak terlihat seperti bos dan asisten."

Sepertinya, Saki mendapat kesan yang sama denganku mengenai hubungan mereka.

"Sebelumnya, saya adalah pegawai di rumah keluarga Kadokura."

"Seorang pegawai?"

"Eiji-sama berasal dari keluarga para dokter dan keluarganya memiliki sebuah rumah sakit. Waktu itu saya bekerja di mansion mereka. Di sanalah saya bertemu Eiji-sama."

"Dengan latar belakang seperti itu, aku kaget dia malah memilih menjadi komposer."

"Ya, seperti yang Anda katakan. Ayahnya dengan tegas menolak karier pilihannya. Wajar saja, karena Eiji-sama telah mendaftar di sebuah fakultas kedokteran waktu beliau memutuskan untuk beralih menjadi komposer. Pada akhirnya, beliau meninggalkan rumah, dan mengikuti jalan seorang dengan tekad yang bulat dan tak tergoyahkan."

"Apa itu artinya kau mengikuti dia?"

"Ya. Seperti yang Anda lihat sendiri, saya ini ceroboh dan selalu melakukan kesalahan. Tidak mungkin saya bisa tetap bekerja di mansion itu tanpa bantuan Eiji-sama. Saya tidak tahu berapa kali saya hampir dipecat, tetapi beliau selalu datang menyelamatkan saya."

Aku agak terkejut. Tidak, aku sangat terkejut. Sebab usaha memaksanya untuk mendapatkan Mirror of Serenity, kesanku terhadap Kadokura-san tidak terlalu positif. Kukira dia individualis seperti sebagian besar orang-orang yang sukses, tapi rupanya aku salah.

"Beliau sering kali memberikan kesan yang salah karena sifat keras kepala beliau, tapi beliau sebenarnya orang yang sangat baik!" tambah Mei-san, mungkin karena ia telah menduga pikiranku. "Akhir-akhir ini, beliau mengalami kemunduran dan mempunyai masalah dalam menggubah, tapi saya yakin beliau hanya membutuhkan dorongan untuk melewatinya, karena toh dulu beliau baik-baik saja tanpa ruang kedap suara. Saya percaya cermin itu akan menjadi pendorongnya. Terima kasih banyak telah meminjamkannya pada beliau."

Mei-san berhenti dan membungkuk dalam-dalam.

"Saya akan menyiapkan makan malam sekarang. Tolong tunggu di ruang tamu."

Sambil memandangi Mei-san, aku berkata pada Saki,

"Aku benar-benar ingin menyelamatkannya."

"Untuk itulah kita ada di sini, bukan?" jawabnya sembari menepuk punggungku.



Aku mengambang dalam sebuah kesunyian nyaman yang mencakup segalanya.

Meskipun ini hal yang sama, ini jelas terasa berbeda.

Kali ini, aku telah masuk ke dalam dunia suara dalam keheningan sempurna Mirror of Serenity.

Hanya itu yang berubah, namun segalanya tampak sangat berbeda.

Seperti sebuah bulatan yang sedikit tidak seimbang menjadi bulat secara utuh.

Seperti sebuah permukaan yang sedikit kasar menjadi halus dan mengkilap.

Seperti secangkir air yang sedikit tercemar menjadi bersih dan suci.

Dengan kata lain, ia menjadi sempurna.

Inilah kesempurnaan yang selama ini kuidam-idamkan.

(Suara-suara macam apa yang akan lahir di sini?

Aku akan mencobanya sekarang juga. Aku butuh sebuah pena dan kertas...)

"Uwa!!"

Setelah membuka mataku, aku melihat seseorang di pinggir pandanganku, menyebabkanku jatuh dari kursi karena terkejut.

Itu adalah Setsutsu-san. Aku sama sekali tidak menyadari kedatangannya.

Ia mendekati cermin dan dengan tenang membaliknya.

Dalam sekejap, dunia di sekitarku berubah. Suara-suara kembali seakan-akan sebuah saklar baru saja ditekan.

"Apa aku mengganggu?"

"Tidak, aku belum mulai menggubah."

"Kau cukup bersemangat, ya? Kau bahkan lupa mengunci pintunya."

Seperti kelihatannya, aku begitu tidak sabar sampai lupa mengunci pintu. Aku tidak menyadari ia masuk- aku takjub melihat begitu susahnya untuk menyadari seseorang tanpa suara, dan merasakan kekaguman yang besar pada cermin dan kekuatannya itu.

Sejauh ini, tidak ada sistem kedap suara yang berhasil mematikan semua suara dengan sempurna.

Tentu saja aku selalu mendengar ketukan Mei, bahkan aku bisa mendengar apa yang sedang ia lakukan di lantai atas. Para pembuat sistem kedap suara ini pergi dengan rasa tidak percaya, tapi sudah jelas, telingaku memang bisa mendengar suara-suara seperti itu.

Telingaku lebih tajam daripada telinga milik orang lain, dan tak peduli pada siapa pun aku meminta, tak ada yang bisa memberikan pengaturan yang akan memberi telingaku keheningan yang sempurna.

Aku sudah hampir menyerah. Kalau aku tidak secara tidak sengaja mengetahui Mirror of Serenity, aku pasti sudah menyerah. Aku hanya bisa berpikir bahwa cermin itu adalah anugerah dari yang di atas.

Tanpa memandangku, Setsutsu-san bertanya, "Apa kesan pertamamu terhadap cermin itu?" Pada saat yang sama, ia menelusuri bingkai cermin yang menghadap ke bawah itu dengan jarinya.

"Ini fantastis! Aku tidak percaya bahwa suatu hal yang mungkin untuk mematikan bunyi tidak berguna sampai ke tahap ini. Andai saja aku memiliki cermin ini, aku akan bisa dengan mudah menyelam ke dalam dunia suaraku."

"Kau tidak sadar kalau aku masuk ke ruangan ini, kan?"

"Ya, aku tak mendengar satu..."

"Kau bahkan tak merasakan kedatanganku, bukan?"

"Ah? Ya, memang."

"Tidakkah kau pikir tidak wajar untuk tidak menyadari ketika seseorang memasuki ruangan?"

"Itu hanya membuktikan betapa baiknya aku bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku."

"Kau salah : semua ini gara-gara Mirror of Serenity itu. Ia tidak hanya membungkam semua bunyi dari luar, tahu? Ia membungkam seluruh dunia luar, kalau boleh jujur."

"?"

"Ia tidak hanya berpengaruh pada suara, tapi juga pada semua hal-hal serupa seperti hawa keberadaan orang atau gelombang listrik. Itu sebabnya kau tidak menyadari orang yang berada tepat di sampingmu. Tidak hanya mengheningkan suara-suara keras, kau juga tidak menerima satu pun panggilan dari ponselmu. Artinya, ia bukannya memblokir ruangan ini secara fisik, jadi masih mungkin untuk masuk ke ruangan ini dari luar."

"Aku mengerti. Dengan kata lain, kalau aku mengunci pintunya dan kau tidak bisa masuk, aku mungkin sampai tidak sadar kalau aku sudah begadang semalaman?"

Setsutsu-san tersenyum mendengar gurauanku, tapi itu sama sekali bukanlah senyuman yang mengenakkan.

"Aku sangat berharap ini tidak akan jadi lebih buruk lagi."

"Eh?"

"Berhati-hatilah dan tahanlah dirimu agar tidak menggunakannya terlalu sering. Aku sedang meminjamkannya padamu untuk suatu keperluan, hanya itu. Barang ini di luar kemampuanku."

Dengan kata-kata itu, ia meninggalkan ruangan.



Pagi berikutnya.

Akhirnya, pada hari pertama kami kembali dengan tangan kosong dan harus mencari satu petunjuk hari ini.

Ketika aku meninggalkan kamar yang disediakan untukku, aku disapa oleh sebuah bunyi yang sangat gaduh.

Suara itu datang dari dapur, di mana, entah mengapa, Mei-san tergeletak dalam posisi tiarap di lantai. Tidak sulit mencari tahu penyebabnya.

Baik Kadokura-san maupun Saki tampak tidak terlalu memikirkannya. Kadokura-san tetap duduk di ruang tamu, sementara Saki memunguti beberapa sendok dan garpu yang Mei-san jatuhkan. Setelah beberapa saat, Mei-san tiba-tiba saja berdiri dan berulang-ulang meminta maaf dengan wajah yang pucat.

"Selamat pagi."

"Ah, pagi," kata Kadokura-san sembari mengangkat wajahnya dari koran yang sedang dibacanya. Kedua matanya merah.

"Anda tidak tidur nyenyak?"

"Aku tenggelam dalam pekerjaanku. Tahu-tahu, sudah pagi. Aku belum pernah bisa konsentrasi sebaik ini selama bertahun-tahun! Semua ini berkat cermin itu. Aku bahkan tidak bisa mendengar satu pun kecerobohan Mei."

Aku tidak bisa mengingkari senyum kecut di wajahku ketika aku mendengar bahwa Kadokura-san bahkan tidak memperkirakan kemungkinan bahwa Mei-san tidak melakukan kesalahan.

"Bukan bermaksud tidak sopan, tapi kenapa Anda mempekerjakan dia?" aku bertanya dengan suara pelan sehingga Mei-san tidak bisa mendengarku. "Kadokura-san, apa Anda sebenarnya orang yang sangat peduli? Dari yang saya dengar, Anda selalu bersikap seperti itu."

"Selalu? Apa Mei mengatakan sesuatu padamu?"

"Mm, ya. Beberapa hal."

"Ah, dia ember bocor lagi. Tapi, aku bukan orang yang yang baik hati atau semacamnya. Kau sudah tahu kalau aku datang dari keturunan para dokter dan bahwa dia bekerja di mansion keluargaku?"

"Ya."

"Dia itu fans pertamaku." Dia menurunkan korannya dan memandang kejauhan. "Ayahku, kau tahu, dulu mengernyit saat mendengar musik gubahanku—memberiku nasehat bahwa aku harus menggunakan waktuku untuk belajar. Karena itu, pegawai-pegawai mansion selalu mengawasiku dan melaporkan pada beliau saat mereka melihatku menggubah. Tapi, Mei satu-satunya yang tidak ikut-ikutan. Wah, dia bahkan menyukai musikku dan memintaku memainkan untuknya! Sampai-sampai, dia akan membelaku ketika aku bertikai dengan ayahku, dan saat aku memutuskan untuk meninggalkan rumah, ia bersikeras mengikutiku karena takut aku tidak bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Aku tidak akan ada di sini sekarang kalau bukan karena dia," katanya dan menambahkan candaan, "meski aku tidak pernah mengatakan ini padanya."

Dia cepat-cepat mengalihkan topiknya. "Ngomong-ngomong, di mana Setsutsu-san?"

"Masih tidur, kali? Dia bukan tipe orang yang suka bangun pagi."

"Aku sudah bangun!"

Bicara soal iblis. Towako-san menjawab selagi menuruni tangga.

"Apa kau tidur nyenyak?"

"Kasurnya luar biasa empuk. Beda sekali dengan yang biasanya aku tiduri."

"Senang mendengar itu."

"Yah, tapi sekarang punggungku sakit. Aku kangen kasurku sendiri! Apa kau ada perkembangan? Dari penampilanmu sepertinya kau begadang sampai malam," tunjuknya ketika ia menyadari matanya yang merah. Seluruh sikapnya, termasuk kesan tidak ramahnya bahwa ia ingin segera pulang, sangat tidak ramah.

"Maaf, tapi ini bukanlah sesuatu yang bisa kauselesaikan hanya dengan menghabiskan lebih banyak waktu. Ini masih akan mememerlukan beberapa usaha."

"Baiklah. Beritahu aku kalaukau sudah selesai. Kami tidak bisa menginap lama-lama."

"Apa kau memang harus buru-buru begitu?"

"Maaf, tapi tokoku tutup sekarang. Aku tidak bisa meninggalkannya seperti itu selamanya, kan?"

"Kalau itu masalahmu, kenapa tidak kau tinggalkan saja cermin itu di sini? Tenang saja, aku akan mengembalikannya saat..."

Mata Towako-san berkilat-kilat marah.

"A-Aku bercanda! Tentu saja aku akan mengembalikannya padamu waktu kau mau pergi!"

"Tentu saja. Sekali lagi, aku tidak punya secuil niat pun untuk melepaskan cermin itu. Tapi aku memang berniat untuk pulang besok. Selesaikan lagumu sebelum itu."

"Aku mengerti. Aku akan turun untuk menyelesaikan babak berikutnya!"

Setelah menyuruh Mei-san membawakan sarapan ke ruang kerjanya, ia menuruni tangga.

"Apa?" tanya Towako-san dengan mata ngantuk saat menyadari tatapanku.

"Aku cuma berpikir kalau kamu agak bete hari ini."

"Ya iyalah. Aku tidak sukarela ada di sini, juga tidak ingin dia menggunakan suatu Relik, tapi jangan bicarakan itu. Omong-omong, ada perkembangan?"

"Sayangnya, tidak."

"Kalau begitu, bekerjalah lebih keras. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku tidak berencana menginap di sini lebih lama lagi."



Aku menutup pintu menuju ruang bawah tanah di belakangku dan memastikan bahwa aku sudah sendirian.

"Brengsek! Dasar sapi bebal!" semburku, tak mampu lagi menahan perasaanku yang sebenarnya.

Lembaran-lembaran musik di atas meja menarik perhatianku. Dedaunan menutupi berbagai not musik.

Kenyataannya, aku hampir selesai.

Sebelumnya aku belum pernah menyelesaikan sebuah lagu secepat ini.

Kemunduranku terasa bagaikan menguap. Aku tidak pernah membayangkan bahwa konsentrasi saja bisa sangat mempercepat proses komposisiku. Ditambah lagi, hasil akhirnya berkualitas tinggi.

Aku memandangi Mirror of Serenity yang direbahkan.

Tak diragukan lagi, cermin itulah yang menyebabkan perkembangan yang hebat ini.

Tetapi, Setsutsu-san berencana mengambil kembali cermin itu setelah pekerjaanku selesai.

Aku tahu betul kalau cermin itu bukan milikku. Aku hanya meminjamnya dari para pegawai toko barang antik itu.

Meskipun demikian, aku tidak bisa membayangkan diriku melepaskan cermin itu lagi.

Salah mereka sendiri meminjamkannya padaku.

Salah mereka sendiri memamerkan padaku betapa hebatnya cermin itu.

Tidak mungkin aku melepaskannya begitu saja, kini setelah aku merasakan keajaibannya.

Mereka toh tidak bisa memanfaatkannya secara maksimal, dan hanya akan menggunakannya untuk hal-hal sepele– seperti menghapus kegaduhan dari konstruksi.

Itu adalah sebuah pelecehan bagi nilainya. Cermin itu tidak untuk digunakan oleh orang-orang bodoh seperti mereka.

Ia seharusnya digunakan untuk digunakan oleh orang yang bisa sepenuhnya menghargai potensinya – orang seperti diriku ini.

Di tanganku, ia akan membuatku bisa menciptakan musik-musik lagu yang berkualitas untuk semua orang, dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.

Bukankah itu juga manfaat cermin itu sendiri? Tentu saja. Cermin sehebat itu tidak akan ingin mengumpulkan debu di gudang-gudang, hanya untuk disalahgunakan sesekali untuk menghapus beberapa kebisingan kecil.

(Tapi apa yang harus kulakukan?)

Bagaimana aku bisa menjadi pemilik yang berhak atas cermin itu?

Bagaimana aku bisa membuka mata Setsutsu-san?

Bagaimana...caranya?



Hari kedua kami di rumah Kadokura-san sudah separuhnya berlalu.

Towako-san berencana untuk pulang pada hari berikutnya. Tidak terlalu karena tugas-tugas tokonya, tapi lebih karena ia tidak tahan untuk meminjamkan Reliknya. Aku harus sekolah, jadi aku juga tidak yakin bisa terus menginap di sini.

Tetapi, nyawa seorang manusia sedang berada di ujung tanduk. Aku tidak bisa pergi sebelum menemukan sebuah petunjuk.

"Kurusu-kun, bisa minta waktu sebentar?" Kadokura-san mencegatku ketika ia melihatku berjalan-jalan di sekitar bangunan rumah. "Aku ingin meminta bantuanmu."

"Ya?"

"Aku ingin kau mengantarkan ini," katanya dan menyerahkan tiga CD padaku. "Satu disk berisi komposisi baruku dan dua yang lainnya referensi alat-alat yang kugunakan. Aku ingin kau mengantarkannya ke klienku."

"Anda sudah selesai?"

"Hampir. Tapi aku ingin menerima beberapa umpan balik hari ini karena besok aku harus mengembalikan Mirror of Serenity. Jika klien itu tidak menyukai lagu itu, aku harus merevisinya."

Kurasa akan sangat menyusahkan untuknya jika harus merevisi komposisinya tanpa bantuan cermin itu.

"Ada pekerjaan lain yang sudah mesti kuurus. Aku benar-benar minta maaf sudah merepotkanmu, tapi bisakah aku minta bantuanmu untuk hal ini? Tentu saja kau tidak akan melakukannya dengan cuma-cuma!"

Kalau boleh bicara jujur, bayarannya sangat menggiurkan, tapi aku tidak punya waktu untuk permintaan seperti itu. Namun di lain pihak, karena kamilah yang menentukan batas waktu penggunaan cermin itu, rasanya sulit untuk menolaknya.

"Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pulang pergi?"

"Kurasa totalnya sekitar 2 jam ."

(Dua jam... Tidak terlalu lama. Kurasa aku bisa mengandalkan Saki untuk mengawasi Mei-san untuk sementara waktu.)

"Baiklah. Akan saya antarkan."

"Terima kasih. Biar kusuruh seseorang menyupirkan mobil untuk mengantarmu ke stasiun. Mei! Mei, kau di situ?"

"Um... apa mungkin Mei-san yang menyupir?"

"Ya, tapi jangan khawatir. Percaya tidak, dia punya SIM!"

Ya iyalah. Aku tidak berharap dia akan menyuruh orang tanpa Surat Izin Mengemudi memberiku tumpangan. Aku bertanya karena bagaimanapun, aku takut dengan caranya mengemudi. Tadinya kukira dia akan memesan sebuah taksi, seperti saat kami tiba kemari.

Dalam hati, aku sudah bisa melihat Mei-san meminta maaf karena terlibat kecelakaan.

Setidaknya, itu bukan sebuah "Vision."


Tepat saat menggenggam kemudi, Mei-san berubah menjadi orang yang berbeda. Aku tadinya berharap hasil yang lebih baik, tapi dia tetap sama saja.

Ini terlalu mengerikan. Kalau dia jadi sangat hati-hati seperti orang yang berbeda, itu pasti masih akan lebih baik daripada ini!

"Saya benar-benar minta maaf, karena telah tiba-tiba membuat Anda membantu kami," ia meminta maaf padaku saat aku duduk di kursi penumpang.

Sebenarnya, ialah yang seharusnya mengerjakan ini, tetapi Kadokura-san tampaknya memutuskan bahwa akan tidak sopan baginya untuk meninggalkan tamu-tamunya tak terurus selama beberapa jam.

"Yah, aku tidak terlalu keberatan, kok..."

Wanita yang duduk di bangku supir di sebelahku tidak menunjukkan tanda-tanda ketegangan. Meski menjadi penumpang, aku malah jauh lebih tegang dibandingkan dirinya.

"Ada yang salah?"

"Uh? Ah, em, kamu ganti baju, ya?" aku membohonginya karena aku tidak bisa mengakui bahwa aku ketakutan setengah mati dengan caranya mengemudi. Soal dia sudah ganti baju bukannya tidak benar – ia telah mengganti seragam pelayannya menjadi pakaian kasual : sebuah gaun kuning dengan kardigan.

"Ya, seragam maid-ku tidak terlalu cocok untuk pergi ke luar."

Kalau dipikir-pikir, ia memakai pakaian biasa ketika kami pertama kali bertemu di toko.

Pada titik ini, aku mengingat adegan yang "Vision" tunjukkan sekali lagi.

Perhatianku selama ini terpusat pada ruangan khusus di mana Mei ambruk, tapi faktanya, ada satu petunjuk aneh lainnya - pakaiannya. Busana berenda-renda yang saat itu ia kenakan adalah seragam maid.

"Um, apa kamu ganti baju setiap meninggalkan rumah?"

"Tentu saja! Saya cuma memakai seragam itu di rumah."

(Cuma di rumah? Berarti dia akan mati di rumah juga?)

"Tapi saya juga tidak bisa jalan-jalan seperti itu di sekitar kediaman kami di kota."

"Eh? Apa maksudmu?"

"Mansion di sini hanya untuk kerja, tapi tuan juga punya apartemen di kota. Tetapi, kegaduhan dari apartemen-apartemen lain sangat mengganggunya, jadi beliau hanya akan bekerja di sini atau di studio."

"Seperti apa apartemen itu?"

"Eh?"

"Um, kau tahu, aku berpikir seperti apa tempat tinggal seorang komposer musik. Mungkin seperti sebuah ruangan di salah satu pemukiman-pemukiman desainer trendi [5]? Mungkin ada desain-desain eksentrik di seluruh dinding dan pintu?"

"Saya pikir tidak ada yang istimewa, sih... Ah, mungkin Anda membaca wawancara yang dimuat baru-baru ini," Mei-san menambahkan. "Tuan hanya melakukan hal itu satu kali, dulu sekali!"

"Apa?"

"Hah? Bukankah Anda membicarakan insiden saat beliau menemukan ide bagus untuk sebuah lagu, tapi tidak menemukan satu kertas pun untuk menulis? Cerita di mana tuan akhirnya menggubah di atas dinding setelah menggambar garis-garis di atasnya?"

"Ah, y-ya! Tepat! Itu dia yang kumaksud."

(Aku mengerti. Garis-garis dalam Vision-ku mungkin digambar oleh Kadokura-san sebagai pengganti lembaran-lembaran musik.)

"Susah sekali membersihkannya, percayalah!" ia tersenyum masam dan mendadak menghentikan mobilnya. Mobil itu berhenti dengan sebuah sentakan.

"Mh? Ada apa?" tanyaku.

Memandangku dengan tatapan bingung, ia menjawab, "...Maafkan saya. Sepertinya roda-rodanya masuk ke parit."


Ini gawat.

Karena roda-roda mobil itu tersangkut di sebuah selokan, aku harus mendorong mobil dari belakang sementara Mei-san tetap berada di dalam mobil dan menginjak gas. Sebenarnya, tidak sulit untuk mengeluarkan mobil itu dari selokan, tapi sebagai gantinya tubuhku jadi bermandikan lumpur. Mulutku benar-benar terasa berpasir.

Butuh waktu lebih lama dari yang diperkirakan untuk sampai di stasiun, tapi aku masih bisa tepat waktu karena keretaku juga baru saja tiba.

Untuk pekerjaan selama dua jam ini aku akan menerima 10.000 yen. Tawaran yang cukup bagus. Tinggal menyerahkan CD-CD itu dan kembali ke mansion. Setelah itu, Mei-san akan menjemputku di stasiun kereta pada perjalanan pulang.

Setelah tiba di perusahaan klien dan menjelaskan urusanku pada seorang resepsionis, aku diantarkan ke ruang pertemuan. Setelah beberapa saat, seseorang mengetuk pintu dan masuk. Pria berjas itu sekitar 30-an tahun. Fakta bahwa ia bekerja pada hari Minggu sedikit membuatku merasa tidak enak padanya.

"Maaf membuat Anda menungggu. Kadokura-san sudah memberitahuku masalahnya."

"Ah, ya. Ini barang yang harus saya antarkan."

Aku membuka tas untuk mengeluarkan CD-CD itu. Akan tetapi...

"Hah?"

Hanya ada dua CD di dalam tas. Aku menaruhnya di atas meja dan mengaduk-aduk isi tas. Namun, tidak ada apa-apa di sana.

"Kami yang memberikan Kadokura-san dua CD ini. Ia tidak perlu mengembalikannya, tapi kuanggap saja dia lupa memberimu CD yang sebenarnya penting? Bukankah itu terlalu ceroboh untuknya? Atau gadis yang membantunya itu yang membuatnya terselip? Tidak apa-apalah, masih ada waktu sampai deadline. Kembalilah lain waktu. Aku akan menghubungi Kadokura-san dan memberitahunya. Sekarang kalau boleh, masih ada urusan yang harus kukerjakan." Dia menepuk pundakku dan meninggalkan ruangan.

(Tidak mungkin. Aku sudah memastikan isinya saat aku mendapat tas itu. CD itu ada di dalam sana. Apa yang terjadi...?)

"Ah!" seruku.

Ada lubang di dalam tas.


Saat aku kembali, malam sudah tiba.

(Aku tidak menyadari lubang itu. Apakah aku menjatuhkan CD itu di suatu tempat? Tapi aku tidak mendengar apa-apa. Atau aku tidak sadar?)

CD itu tidak ada di kantor urusan barang hilang di stasiun. Aku sudah mencari sepanjang rute dari stasiun sampai ke perusahaan klien dengan berjalan kaki, tapi tak beruntung. Aku juga sudah mengecek rute antara stasiun dan mansion, namun juga tidak menemukan apa-apa. Aku baru sadar–aku ‘kan naik mobil. Tapi aku tidak ingat fakta sederhana itu hingga aku kembali ke mansion—Aku sampai lupa bahwa Mei-san disuruh menjemputku di stasiun.

Kadokura-san telah menungguku dan mengantarkanku ke ruang bawah tanah begitu aku tiba.

"Klien itu meneleponku dan brought me up to date. Bersedia menjelaskan?" bisiknya pelan, namun disertai nada kemarahan yang terdengar jelas dalam suaranya.

"Anda lihat, ada lubang di tas ini..."

"Kau menjatuhkannya."

"...Sepertinya begitu."

Aku ingin menyangkalnya, tapi aku tidak punya bukti apa-apa untuk mendukungku. Memang bukan salahku kalau ada lubang di tas itu. Tetapi, saat aku menerima tugas pengantaran ini, aku seharusnya sudah mengeceknya.

"Bagaimana kau akan membayar semua ini?!"

"Saya minta maaf. Saya akan mengantarkan CD itu lagi besok. Akan saya minta Towako-san to meminjamkan cermin itu pada Anda satu hari lagi."

"Kau tidak mengerti!" Gelengnya sengit. "Itu satu-satunya sampel. Tidak ada kopiannya!"

"Apa...?"

"Bukan aku yang salah di sini! Sudah tidak ada waktu lagi. Kalianlah yang mengejar-ngejarku. Kalian berkata bahwa aku hanya punya waktu sampai besok, jadi aku tergesa-gesa. Siapa kira kau akan menghilangkan satu-satunya kopian itu?"

"Tak bisakah Anda membuatnya sekali lagi?"

Pertanyaan itu malah memberikan pengaruh sebaliknya.

"Kamu pintar sekali, ya? Membuat benda yang sama sekali lagi katamu? Mungkin kaukira hal itu mungkin karena aku yang membuatnya, tapi nyatanya tidak sesederhana itu. Sebuah komposisi bergantung pada momen penciptaannya. Mustahil aku bisa membuat ulang dengan sempurna sebuah lagu yang sama!"

"...Maafkan saya."

"Kamu pikir kamu bisa menggantinya cuma dengan meminta maaf? Di samping itu, bagaimana jika ada orang yang mengambil CD itu dan menjualnya sebagai karyanya sendiri? Aku bisa disebut penjiplak kalau aku membuat ulang komposisiku itu dan hal itu terjadi. Kamu sadar apa artinya ini? Komposisi itu tidak akan ada nilainya lagi!" Dengan tatapan sengit, ia mendekati mukaku. "Bagaimana kamu akan membayar semua ini?"

"...Apa yang Anda inginkan?"

"Memangnya siswa sepertimu sanggup menanggung kerugian uangnya?"

Aku bahkan tidak bisa membayangkan diriku membayar jumlah yang disebutkannya.

(Tapi, kalau itu satu-satunya jalan...)

"Tapi, kita bisa melakukan barter kalau kau mau."

"Eh?"

"Sebuah barter. Aku sudah kaya, jadi penyelesaian dengan tunai pun tidak akan memuaskanku."

"Dan apa yang akan dibarterkan?"

Saat itu aku begitu putus asa sampai aku tidak mempunyai firasat apa yang sedang terjadi.

"Cermin itu!" Kemarahannya surut seketika. "Berikan padaku 'Mirror of Serenity'. Dengan begitu, aku akan pura-pura tidak tahu apa-apa soal insiden ini."

"......!"

Dia mengelabuiku.

Pengantaran yang dimintanya padaku. Lubang di kantongnya. CD tanpa satu pun kopian.

Dia sengaja mengatur seluruh skenarionya. Semuanya berjalan menurut rencananya untuk mendapatkan "Mirror of Serenity."

"Bagaimana kedengarannya? Lagipula, cermin itu tidak berguna untukmu, kan? Bukankah ini tawaran yang bagus?"

"...Aku akan mencarinya."

"Apa katamu?"

"Aku akan pergi mencari CD itu."

"Nak..."

"Seperti yang telah berulang kali kami katakan, kami tidak berniat memberikannya padamu. Towako-san sudah berkata begitu, dan aku harus mengikuti aturannya."

"Ya ampun, kau ini sungguh pengecut. Aku tidak keberatan kalau kau pergi mencarinya, tapi sebaiknya kau temukan sebelum deadline. Kalau tidak..."

"Kalau aku tidak menemukannya, akan kubayar kerugiannya! Meski harus seumur hidupku!"

"Kata-kata yang bagus, Tokiya."

Kami menoleh ke arah suara yang datang dari pintu masuk. Itu adalah Towako-san, diikuti oleh Saki dan Mei-san, yang mencoba menghentikan mereka.

"Setsutsu-san, dengar, dia menghilangkan..."

"Berhenti sampai di situ. Aku tidak ke sini untuk mendengarkan dongeng murahanmu itu." Ia berjalan ke sampingku dan menepuk kepalaku. "Idih, jangan bego gitu, dong."

"Maafkan aku. Percayalah, aku pasti akan menemukan..."

"Tidak ada gunanya. Kau tidak akan menemukannya. Kalau semua ini adalah trik untuk mendapatkan cermin itu, maka CD itu tidak akan tergeletak di tempat mana pun."

"Bukankah kamu agak terlalu memaksa?" katanya seraya menatap Towako-san tajam.

"Nah, itu dia yang kusebut maling yang tidak tahu malu. Tapi, baiklah."

Towako-san mendekati "Mirror of Serenity" dan melemparkannya dengan sembrono pada Kadokura-san. Hendak mencegahnya jatuh, Kadokura-san buru-buru menangkapnya dan mendekapnya erat-erat.

"Pergilah dan perlakukanlah seperti anakmu."

"Eh?"

"Itu milikmu." Ia mengangkat sebelah sudut mulutnya dengan sinis dan menatap Kadokura-san dalam-dalam. "Seperti yang kau bilang, kami tidak bisa memanfaatkan cermin ini dengan baik. Hanya ada satu alasan aku tidak memberikannya padamu meski kami mengetahui hal itu : karena cermin ini akan menyakiti kalian berdua."

"Membahayakan? Pada diriku?"

"'Pada diriku'? Itukah yang kukatakan? Tapi, cocoklah untuk dirimu. Aku tidak akan mengulanginya. Kalau kau benar-benar kelewatan mendengarnya, kau akan menyesalinya seumur hidup. Aku bukan peramal nasib, sungguh, tapi perkembangan ini jelas bisa ditebak."

Towako-san berbalik dan meninggalkan ruangan. Saki mengikutinya, tapi aku tidak tahu apakah aku akan ikut pergi atau tidak.

Tujuan kami belum tercapai.

Aku memandang Mei-san. Pandangan kami bertemu dan ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya.

Yang artinya ia tidak ingin bicara apa-apa lagi pada kami, yang telah menghina Kadokura-san, tanpa memahami keadaannya?

Aku mengikuti Towako-san ke luar ruangan. Namun ada satu hal yang tidak bisa kutahan lagi.

"Tolong jangan pergi ke tempat mana pun yang dekat dengan pintu-pintu dengan garis-garis di atasnya. Kalau tidak, sesuatu yang buruk akan terjadi."

Aku tidak bisa melihat wajahnya saat aku mengucapkan hal itu.



Mereka pergi dengan kata-kata perpisahan murahan.

Aku tidak peduli. Sama sekali tidak. Asalkan "Mirror of Serenity" tetap ada di tanganku.

"...Haha... Ha... Hahahahahaha!"

Aku tidak bisa menahan tawaku lagi. Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku sungguh-sunguh tertawa seperti ini. Aku begitu gembira – aku merasa lebih gembira daripada waktu aku menjadi cukup populer untuk merilis rekaman pertamaku.

Usai tertawa, aku merasakan pandangan Mei padaku.

"Ada apa? Semuanya baik-baik saja, jadi tertawalah bersamaku!"

"...Ya."

Namun ia bahkan tidak tersenyum.

"Kenapa mukamu muram begitu? Kau setuju, kan, kalau aku yang memilikinya, maka cermin itu akan ada di tangan yang lebih baik?

"...Ya."

Tetapi ia masih tidak tersenyum.

"Terserahlah. Berikan padaku."

"...Ya."

"Berikan CD itu padaku!"

"Ah, ya."

Ia datang dan mengeluarkan sebuah CD dari kantongnya. Sudah jelas itu adalah hasil komposisiku.

Aku menyuruh Mei mencuri CD itu dengan suatu dalih dan melubangi tas itu. Tentu saja sebenarnya aku tidak perlu mengantarkan CD itu. Aku bisa saja mengirim file-nya lewat e-mail.

Seluruh pengantaran ini adalah sebuah tipuan yang sudah kuatur untuk mendapatkan "Mirror of Serenity."

Aku mengingat kata-kata wanita yang memberitahuku tentang cermin ini.

Meskipun sosoknya hanya meninggalkan sebuah kesan samar padaku dan aku sulit mengingat wajahnya, kata-katanya tetap terpahat dengan jelas dalam ingatanku.

Tapi saya yakin Anda bisa mendapatkannya jika Anda ingin. Relik-relik secara alami menemukan jalan menuju pemilik yang cocok—

Sekarang kalau kupikir-pikir, pertemuan itu adalah langkah pertamaku menuju cermin itu. Tidak, bahkan itu hanyalah peristiwa tak terelakkan yang mengantarkanku pada "Mirror of Serenity".

"Um..." gumam Mei, masih memasang raut muram, dan berdiri di depanku.

"Ada apa?"

"Um... tidak harus langsung, satu hari juga tidak apa-apa, tapi setelah bangkit dari kemunduran Anda, bisakah Anda mengembalikan..."

Sebuah suara kering terdengar ke penjuru ruang kedap suara itu.

Mei terjatuh ke lantai, memegangi pipinya yang baru saja kutampar.

"Kau lebih peduli pada mereka? Kau lebih memihak orang-orang yang baru kau kenal selama beberapa hari daripada seseorang yang telah kau kenal hampir sepanjang hidupmu?"

"Saya tidak 'memihak' mereka. Tapi menipu mereka itu..."

"Diam!"

Aku menyentakkannya dan mendorongnya keluar dari studio.

"Cukup sudah. Aku ingin sendirian. Naiklah ke lantai atas. Dan jangan ganggu aku! ...Tidak, jatuh saja sebanyak yang kau mau! Lagipula, aku sudah mendapatkan 'Mirror of Serenity'."

Aku menutup pintu dan menarik kain dari "Mirror of Serenity" “milikku”.

Aku pun dikelilingi keheningan yang sempurna.



Kami naik sebuah kereta dan pulang.

Satu hari lebih awal dari yang direncanakan.

Towako-san mendengarkanku menjelaskan semuanya : bahwa aku disuruh mengantarkan sesuatu; bahwa Mei-san membawaku ke stasiun dan bahwa CD itu hilang tepat saat aku sampai di perusahaan klien; bahwa aku mencari ke mana-mana sepanjang perjalanan pulang namun tak menemukan apa pun.

"Aku mengerti."

"Aku cuma tidak mengerti bagaimana aku bisa kehilangan benda itu."

Seraya melihat ke luar jendela, Towako-san menguap dan berkata, "Jelas si pelayan yang mencurinya."

"Tidak mungkin..."

"Benarkah? Kalau kau meninggalkan tas itu pada satu titik, maka itu akan jadi kesimpulan yang logis, bukan?"

Towako-san bahkan tidak memperkirakan kemungkinan aku menjatuhkannya, dan langsung menyimpulkan seperti itu.

"Si pelayan akan melakukan apa saja demi pria ini, kan?" ia menambahkan.

(Oh, begitu. Jadi perasaan bersalah menyebabkan Mei-san mengalihkan pandangannya?)

Saki tiba-tiba memecahkan keheningan.

"Tokiya."

"Mh?"

"Kau mengatakan sesuatu padanya tepat sebelum kita pergi. Apa kau menemukan tempat yang kau lihat dalam 'Vision’-mu?”

"Tidak, aku hanya menyuruhnya menghindari pintu-pintu dengan garis-garis yang digambar di atasnya."

Pada akirnya, kami tidak menemukan bukti apa pun. Di samping itu, kuduga garis-garis itu belum digambar di pintu dalam "Vision"-ku, meskipun aku tidak mempunyai bukti yang mendukungnya.

"Jangan resah. Apa pun yang terjadi adalah kesalahan mereka sendiri."

Towako-san memiliki pandangan yang kukuh. Karena mereka telah menyalahgunakan niat baiknya setelah ia dengan murah hati meminjamkan pada mereka "Mirror of Serenity," aku bisa memahami mengapa ia tidak akan merasa iba pada mereka.

Akan tetapi, aku tidak bisa berpikir seperti itu.

Walau apa yang telah terjadi, aku tetap berdoa untuk keselamatan Mei-san.

...Aku merasa penuh dengan penyesalan ketika aku sadar bahwa hanya sebuah doa singkatlah yang telah kulakukan untuknya.

Mengapa begitu sulit untuk menyelamatkan orang lain?

"Tokiya. Stasiun berikutnya lima menit lagi," ucap Saki tiba-tiba.

"Apa maksudmu?"

"Aku cuma memberitahumu kalau kita akan sampai di stasiun selanjutnya dalam lima menit. Terserah padamu untuk melakukan hal yang berarti."

Hal yang berarti? Apa yang mungkin kulakukan?

Apakah turun dari kereta akan menjadi tindakan yang berarti? Mau turun atau tidak, jika aku mengikuti pilihan yang benar, maka aku akan melakukan sesuatu yang berarti.

Di samping itu, aku tentu saja tidak akan melakukan apa-apa hanya dengan pulang ke rumah.

"Kamu mau menyelamatkannya, kan?"

Penglihatan tentang kematian Mei-san terlintas di benakku.

(Mengapa kami melakukan perjalanan ini? Bukankah ini semua demi menyelamatkannya? Kecelakaan itu telah menyurutkan niatku. Tapi masih terlalu dini untuk menyerah. Tidak ada alasan untuk menyerah.)

Aku melihat ke arah Towako-san.

"Jangan lihat aku."

Ia terus menatap ke luar jendela.

"Aku pergi."

Aku berdiri dan berjalan menuju pintu.



Aku selesai.

Lembaran musik di hadapanku penuh dengan not-not.

Jam menunjukkan bahwa hari sudah pagi. Aku telah menyempurnakan seluruh komposisi dalam sebuah rentang waktu tanpa gangguan. Ini adalah pertama kalinya untukku.

Aku memandang "Mirror of Serenity". Tidak diragukan lagi.

Ia milikku sekarang.

Dengan bantuannya aku akan menciptakan sebuah terobosan baru.

Aku menengadahkan kepala. Aku mengira Mei akan membuat beberapa keributan, tetapi aku tidak mendengar apa-apa. Biasanya, keributan-keributannya hanya menggangguku, tapi kini aku merasa agak sedih dan sedikit merindukannya.

Aku sama sekali tenang, seakan-akan "Mirror of Serenity" juga menjamin sebuah pikiran yang hening.

Mendadak, perutku mulai keroncongan.

(Kalau kuingat-ingat, aku belum makan apa-apa dari kemarin karena aku tidak bisa berhenti menggubah.)

Aku meninggalkan ruangan untuk sarapan.

"Mh?"

Aku melihat sesuatu di sudut mataku dan berbalik menuju pintu.

"Apa itu?"

Banyak garis-garis yang digambar ke segala penjuru di atas permukaan pintu itu.

(Ini tidak ada kemarin. Apa yang terjadi?

Mei mungkin bisa memberitahuku.

Aku naik ke lantai satu, namun tak ada siapa pun di ruang tamu maupun dapur.

(Aneh. Apa gadis itu ketiduran?)

Tiba-tiba, sebuah memo di atas meja menarik perhatianku.

"Apa...?"

Aku membaca memo itu dan kehilangan kata-kata.


Pemakaman Mei berakhir tanpa keributan.

Ia tidak bangkit dari kematian, dan aku tidak mati mengikutinya. Sungguh, ini berakhir tanpa keributan apa pun. Ini... hanya berakhir dengan sederhana.

Dan kehidupan sehari-hariku pun kembali dimulai.

Dunia terus begerak seolah-olah tak ada yang terjadi, dan aku pun juga.

Aku membuka pintu menuju mansionku.

Aku menginap di apartemen kotaku untuk beberapa waktu karena jauh lebih nyaman.

Ini pertama kalinya aku ada di sini dalam satu minggu.

Aku tidak merasakan nostalgia.

Bukan karena baru satu minggu, melainkan karena tempat itu tidak terasa seperti tempat yang selama ini kutinggali.

Pada saat yang sama, jelas-jelas ini adalah rumah yang selama ini kutinggali, dan hanya ada satu hal yang hilang.

"Jadi karena itukah...?"

Aku menyadari mengapa bangunan ini tidak terasa seperti rumah lagi.

Jawabannya cukup jelas.

Meskipun ada sesuatu yang hilang—bahkan jika aku telah kehilangan sesuatu—ia tetaplah hanya sebuah rumah

Aku berjalan lurus menuju studio bawah tanahku.

Ada garis-garis yang tak terhitung jumlahnya di atas pintu.

Yang digambar oleh Mei.

Tak sanggup menahan rasa sakit dari serangan jantung yang perlahan-lahan merenggut nyawanya, ia pun berteriak meminta pertolonganku. Namun, berapa kali pun ia memanggil, tetap tidak ada jawaban. Waktu itu, aku telah menggunakan "Mirror of Serenity," jadi tidak mungkin suaranya dapat menjangkauku.

Ia sudah berulang kali menggedor pintu untuk membuat keberadaannya diketahui.

Entah sudah berapa kali ia mencakar-cakar pintu karena rasa sakitnya.

Pemandangan kedua tangannya sangat menyayat hati. Terus menggedor pintu membuat keduanya mengalami pendarahan dalam, kuku-kukunya patah dan sobek karena cakarannya, dan ujung-ujung jemarinya bersimbah darah.

Tapi, aku belum juga menyadari apapun.

Aku belum juga menyadarinya hingga detik terakhir.

Tidak, aku tidak menyadarinya sejak awal.

Menurut dokter, gejala-gejala kondisinya sudah ditunjukkan sejak dini.

Ada beberapa hal yang terlintas di benakku.

Benturan cangkir-cangkirnya, sendok dan garpunya yang jatuh, dan dirinya yang ambruk. Tidak satupun yang disebabkan oleh kecerobohan atau kelalaiannya.

Kemungkinan besar, rasa nyeri yang tiba-tiba di jantungnya menyebabkannya berhenti bergerak.

Aku belum sadar juga. Dan ia terus berpura-pura padaku hingga detik terakhir.

Kenapa ia tidak mengatakannya padaku?

Bahkan orang macam diriku pun akan menyediakan telinga padanya.

...Tidak, aku sudah mendengarnya dengan telingaku sendiri. Aku sudah mendengarkan tanda-tanda yang memanggil perhatianku pada penderitaannya. Aku sudah bisa mendengar tanda-tanda darinya yang tidak bisa didengar orang lain.

Aku malah membungkam tanda-tanda itu, yang mampu menembus sistem kedap suara mana pun, dengan menggunakan "Mirror of Serenity".

Karena cermin ini akan melukai kalian berdua—

Aku teringat kata-kata Setsutsu-san.

Waktu itu aku belum memahami maknanya. Aku hanya memikirkan diriku sendiri.

Meskipun peringatannya telah ditujukan kepada semua orang di sekitar "Mirror of Serenity"...

Aku mengalihkan pandangan dari pintu dan masuk ke studio. Setelah menutup pintu, ruangan itu terisi dengan kesunyian.

Awalnya, kukira cermin itu masih aktif, namun ternyata ia sudah terbalik.

Oh. Saat tidak ada orang di sekitarku, dan keadaan menjadi sesunyi ini, aku berpikir samar-samar. Mungkin, aku baru saja mendapatkan kesunyian yang telah lama kucari-cari.

Aku memejamkan mata.

Aku membayangkan dunia suara.

"........."

Aku memejamkan mataku sekali lagi.

Aku membayangkan dunia suara sekali lagi.

"........."

Tidak ada gunanya.

Aku ingin lari ke dunia itu. Tapi tidak bisa.

Mengapa. Mengapa ini begitu—


"Berisik—!"


Aku membuka mata.

Tidak ada apa pun.

Tidak ada seorang pun di sana.

Aku sudah membayangkannya dengan jelas.

Tetapi ini berisik.

Dunia ini terasa begitu berisik sampai membuatku hampir tuli.

Dunia ini, meski tak ada suara apa pun, terasa lebih berisik dari apa pun yang pernah kurasakan.

Aku tidak pernah membayangkan bahwa kesunyian tanpa kehadiran seseorang atau suatu hal bisa begitu berisik.

...Tidak, aku kenal ini. Bukankah aku sudah mengenal kesunyian ini?

Kemudian aku ingat.

Akhirnya, setelah sepanjang waktu ini, aku ingat.

Aku ingat keaadaan pada kemunduran pertamaku, yang terjadi singkat setelah aku meninggalkan rumahku.

Saat itu mirip dengan saat ini.

Aku hampir sinting karena kesunyian yang berlebihan dan memekakkan telingaku.

Yang menyelamatkanku darinya adalah Mei, yang mengikuti setelah aku meninggalkan rumahku.

Ia menyelamatkanku dari kesunyian.

Meski apa yang telah ia lakukan, aku malah menjauhkan diri darinya dan berusaha menciptakan kesunyian.

Namun, ia tetap berada di sisiku.

Aku memandang langit-langit.

Aku memfokuskan diri pada apa yang ada di baliknya.

Tapi tak ada apa pun di sana.

Hanya ada sebuah kesunyian hampa yang sempurna.

Gadis yang menciptakan keheningan yang hangat dan nyaman untukku sudah tidak ada lagi di dunia ini.



Setelah kembali ke mansion Kadokura-san, kami melihat Mei-san pingsan di depan pintu studio bawah tanahnya. Pintunya diliputi oleh goresan yang tak terhitung jumlahnya.

Kami segera memanggil ambulans, akan tetapi, ia sudah meninggal.

Kami memanggil Kadokura-san beberapa kali, tapi dia tak bereaksi sama sekali.

Kemungkinan besar, Mei-san juga telah mati-matian memanggil-manggilnya. Ia telah berteriak minta tolong sambil menahan rasa sakit yang begitu menyiksa hingga ia terus-terusan mencakar-cakar pintu. Tetapi ia belum juga sanggup menjangkaunya.

Kadokura-san tentunya telah menggunakan "Mirror of Serenity."

Dia mengembalikan cerminnya. Kami tidak pernah melihatnya lagi, namun suatu hari, Saki menemukan cermin itu di depan toko kami.

Sejak hari itu, aku belum mendengar satu pun komposisi baru dari Kadokura-san.

Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukannya sekarang.

Kuduga, penyesalannya telah mencegah dirinya melangkah ke depan.

Namun, aku juga merasakan penyesalan.

Aku terus-menerus berandai-andai : seperti seandainya aku tidak pulang ke rumah atau kembali lebih awal, atau tidak usah memberikan cermin itu pada Kadokura-san sejak awal.

"Itu kesetiaannya. Kau tidak bisa melakukan apa-apa dalam hal ini. Ini takdirmu," kata Towako-san menanggapi kematian gadis itu.

Aku tidak tahu apakah dia jujur, atau hanya berusaha membuatku merasa lebih baik.

Ini mungkin terdengar bodoh, tapi jika itu takdir, maka aku ingin mengubahnya.

Aku tidak bisa meraih apapun meski aku mengetahui masa depan.

Aku tidak bisa meraih apapun meski aku mengetahui seseorang akan mati.

Aku tidak bisa melakukan hal yang berarti saat itu meski aku kembali ke mansion Kadokura-san.

Tapi suatu hari nanti, mungkin aku akan menemukan cara untuk melawan takdir.



Translator Notes

  1. Cermin Ketenangan
  2. Artinya, "Nama adalah pertanda." Menyatakan bahwa sebuah nama menggambarkan sebuah benda atau seseorang. Nama Saki tertulis 舞野咲, yang dapat diartikan sebagai "Bunga yang mekar di arena dansa." Lihat juga Nominative determinism
  3. Penglihatan
  4. Pelayan wanita, pakaiannya biasanya gaun panjang dengan celemek berenda
  5. Sejenis bangunan apartemen yang lebih mementingkan desainnya daripada fungsinya.


Mundur ke Prolog Kembali ke Halaman Utama Maju ke Diri