Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 7: Difference between revisions

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Tony Yon (talk | contribs)
(telat lagi--aku tahu)
 
Cucundoweh (talk | contribs)
m terakhir edit dah
Line 1: Line 1:
<div align=justify><span style="font-family: Maiandra GD; font-size:110%">
==Handuk, Pembasmi serangga, Plester==
==Handuk, Pembasmi serangga, Plester==


Dibandingkan dengan gitar elektrik, kelebihan yang dapat dilihat dengan jelas dari bass elektrik adalah kau hampir tidak bisa mendengar apa-apa darinya kalau kau tidak mencolokkannnya ke sumber listrik.
Dibandingkan gitar listrik, kelebihan yang terlihat jelas dari bas listrik adalah suaranya baru bisa didengar jika sudah dihubungkan ke sumber listrik.


Aku membeli bass itu di bawah bujukan Kagurazaka-senpai, dan membawanya ke kelas di hari berikutnya. Dengan segera aku dikelilingi oleh teman-teman sekelasku. “Ayo mainkan sesuatu, apa sajalah.” Meski semuanya memintaku untuk bermain, aku tetap berdalih,”Tapi ini bass, jadi suaranya tidak akan terdengar!” dan kabur. Hal ini tidak akan berhasil kalau yang kubawa adalah gitar, jadi baguslah aku membeli bass – dengan pemikiran itu di kepalaku aku juga bisa menghibur diriku sedikit dari akibat dipermainkan oleh Senpai.
Aku membeli bas tersebut atas bujukan Kagurazaka-senpai dan membawanya ke kelas keesokan harinya. Dengan segera aku dikelilingi teman-teman sekelasku. "Ayolah. Mainkan apa saja," meski semuanya memintaku untuk bermain, aku tetap berdalih, "Tapi ini bas, jadi suaranya tidak akan terdengar!" kemudian kabur. Bakal beda ceritanya kalau yang kubawa adalah gitar, jadi baguslah aku membeli bas — dengan pemikiran itu, aku juga bisa sedikit menghibur diriku yang sudah dipermainkan senpai.


“Tapi kenapa bass?
"Tapi kenapa bas?"


Seorang cowok menanyakan padaku hal yang tidak kupikirkan sebelumnya.
Seorang anak lelaki menanyakan hal yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya.


“Ah, aku juga kepikiran. Kau tidak benar-benar memerlukannya kan?
"Ah, aku juga jadi kepikiran. Lagi pula, kamu tidak begitu memerlukannya, 'kan?"


“Hey, kritikus, sebaiknya kau menjelaskannya dengan istilah yang gampang.
"Hei, Kritikus, lebih baik kamu menjelaskannya dengan istilah yang gampang."


“Jangan memanggilku kritikus!” Aku mengambil bass itu dari tangan teman sekelasku, dan meletakkannya kembali ke cover-nya. Sebenarnya, tidak mungkin menjelaskan semuanya dengan baik pada mereka dengan kata-kata saja, tapi untuk menjaga reputasi semua basist di dunia, aku harus mengarang sesuatu.
"Jangan memanggilku kritikus!" kurebut bas itu dari tangan teman sekelasku, lalu memasukkannya kembali ke pembungkusnya. Sebenarnya, menjelaskan pada mereka tidak akan efektif jika hanya lewat kata-kata saja, tapi untuk menjaga reputasi semua pemain bas di dunia, maka aku harus memberikan mereka gambaran.


“Kalian, duduk di sana.
"Kalian, duduk di sana."


“Baik, Profesor Nao.:
"Baik, Nao-sensei."


“Tolong jangan gunakan istilah musik saat menjelaskan.
"Tolong jangan pakai istilah musik sewaktu menjelaskan."


Ugh, mereka benar-benar mengantisipasi pidatoku. Beberapa cowok duduk seiza di sekitar kursiku, jadi aku tidak boleh mengatakan sesuatu yang salah di saat seperti ini. Apa yang harus kulakukan? Aku menjilat bibirku dan berfikir bagaimana aku harus memulai penjelasanku.
Cih, mereka benar-benar mengantisipasi pidatoku. Beberapa anak lelaki duduk bersimpuh di sekitar kursiku, karenanya, di saat begini aku tidak boleh sampai salah bicara. Bagaimana ini? Kujilati bibirku sambil memikirkan cara untuk memulai penjelasanku.


...... Baiklah kalau begitu, mari kita mulai dengan mengingat wajah Pensiunan.
"... baiklah, mari kita mulai dengan mengingat wajah goinkyo."


“Kenapa?
"Lo, kok?"


“Jangan bertanya. Lakukan saja sesuai perintahku.
"Jangan banyak tanya. Lakukan saja perintahku."


Beberapa cowok menutup mata mereka, sementara sebagian lain menatap langit-langit. Karana dia terlihat sama persis dengan Mito Koumon, sangatlah mudah mengingat wajah guru kami itu.
Beberapa anak lelaki memejamkan mata mereka, sementara sebagian lainnya menatap langit-langit. Karena beliau terlihat sama persis seperti Mito Koumon, jadi sangat mudah untuk mengingat wajah guru kami itu.


“Baiklah selanjutnya, coba pisahkan janggut dari wajahnya. Selesai?
"Baiklah selanjutnya, coba pisahkan janggut dari wajahnya. Sudah?"


...... Baik, selesai.
"... baik, sudah."


“Ah, kelihatan seperti Enari Kazuki saat dia masih muda.”<ref>Aktor Jepang/pembawa acara/komedian</ref>
"Ah, kelihatan seperti Enari Kazuki saat masih muda."


“Enari kan memang masih muda?”
"Enari memang masih muda."


“Oke oke. Selanjutnya, bayangkan Pensiunan tanpa rambut.”
"Oke, oke. Selanjutnya, bayangkan goinkyo tanpa rambut.”


“Profesor Nao, apa ini ada artinya? Semacam tes psikologi atau semacamnya?
"Nao-sensei, ini maksudnya apa, ya? Semacam tes psikologi begitu, ya?"


“Kau akan segera tahu. Bagaimana? Kalian bisa membayangkannya?
"Kalian akan tahu nanti. Bagaimana? Kalian bisa membayangkannya?"


“Aku bisa, tapi bukannya rambut Pensiunan cukup lebat?
"Bisa sih, tapi bukannya rambut goinkyo cukup lebat?"


“Dibandingkan dengan jenggotnya, masih lebih mudah menghilangkan rambutnya.
"Dibandingkan jenggot, masih lebih mudah menghilangkan rambutnya."


“Dan ini langkah terakhir. Hilangkan garis wajahnya, dan bayangkan bagaimana dia terlihat.
"Dan ini langkah terakhir. Hilangkan garis wajahnya, lalu bayangkan seperti apa rupa beliau sekarang."


Wajah semuanya menunjukkan ekspresi seperti: “Eh?
Wajah semua anak seperti hendak berkata, "Eh?"


“Apa maksudmu?
"Apa maksudmu?"


“Aku tidak mengerti!
"Aku tidak paham!"


“Apa yang kau maksud dengan garis wajah? Telinga dan semacamnya?
"Garis wajah itu maksudnya apa? Telinga dan semacamnya, begitu?"


“Bukan, bukan yang itu. Yang kumaksud adalah buang bentuk wajahnya. Bayangkan matanya, hidungnya, dan mulutnya muncul dari permukaan yang datar. Ok, bayangkan seperti itu.
"Bukan, bukan itu. Yang kumaksud adalah buang bentuk wajahnya. Bayangkan seperti mata, hidung, dan mulutnya muncul dari permukaan datar. Ya, seperti itu."


Teman-teman sekelasku mengeluarkan desahan “Hmm, hmm......” satu persatu. Beberapa dari mereka menekankan jari-jarinya ke jidat mereka, sementara yang lain menjambak rambut mereka sendiri.
Satu persatu teman-teman sekelasku bergumam, "Hmm .... Hmm ...." beberapa dari mereka menekan jari-jarinya ke dahi mereka, sementara yang lain menjambak rambut mereka sendiri.


...... Tidak bisa, tidak mungkin bisa dilakukan. Tidak akan ada artinya kalau kau membuang garis wajahnya!
"... tidak bisa, itu tidak mungkin bisa. Hal yang sia-sia kalau membuang garis wajahnya!"


“Coba lebih keras! Kalian selalu mengatakan dengan bangga kalau ‘Dalam pikiranku, aku bisa membuang pakaian renang yang dikenakan oleh para gravure idol yang cantik-cantik itu, tidak peduli siapa mereka!’ kan?”
"Sekeras apa pun aku mencoba, lingkar wajahnya selalu muncul di pikiranku."


Urm, kalian sebenarnya tidak perlu berusaha sekeras itu.
"Coba lebih keras! Kalian selalu mengatakan dengan bangga, ''Dalam pikiranku, aku bisa membuang pakaian renang yang dikenakan oleh para model vulgar yang cantik-cantik itu, siapa pun mereka!'' ya, 'kan?"


Mereka berjuang dengan keras selama sekitar dua menit sebelum menyerah. Karenanya, aku membuat kesimpulanku.
Eng ..., padahal mereka tidak perlu berusaha sekeras itu.


“Jadi kalau kau menggunakan analogi menghilangkan garis wajah ke istilah musik, bass terlihat seperti garis wajah buatku. Kalian mengerti?”
Mereka berjuang keras selama sekitar dua menit sebelum akhirnya menyerah. Karena itu aku langsung memberi kesimpulan.


Para penontonku masih terlihat sangat bingung.
"Sekarang, gunakan analogi tadi pada istilah musik, maka bas terlihat seperti garis wajah buatku. Kalian paham?"


“Jadi seperti bagaimana kalian bisa membayangkan lagu-lagu dimainkan bahkan tanpa gitar dan instrument lainnya, tapi kau tidak bisa membayangkan lagu itu tanpa bass. Dan karenanya, aku tidak bisa menjelaskan dengan baik kenapa bass begitu penting buatku.”
Orang-orang yang menontonku masih terlihat sangat bingung.


“Jadi begitu......”
"Itu seperti kalian membayangkan lagu-lagu dimainkan tanpa gitar ataupun alat musik lainnya, tapi tidak bisa membayangkannya tanpa bas. Dan karenanya, aku tidak bisa menjelaskan dengan baik kenapa bas begitu penting buatku."


“Aneh. Aku merasa seolah aku mengerti apa yang ingin dia katakan, tapi di saat bersamaan aku juga tidak mengerti.
"Jadi begitu ...."


"Aneh. Rasanya aku bisa mengerti apa yang ingin kamu sampaikan, tapi di saat bersamaan, aku juga masih belum paham."


Jadi kalian mengerti atau tidak? Akan tetapi, akan mengkhawatirkan kalau kalian mengerti, karena yang kukatakan cuma omong kosong.
Mereka ini mengerti atau tidak, sih? Akan tetapi, aku lebih khawatir kalau mereka mengerti, karena yang kukatakan tadi cuma omong kosong.


“Tapi Profesor Nao benar-benar mengagumkan. Kau punya potensi untuk meneruskan seni dari ayahmu.
"Tapi Nao-sensei benar-benar mengesankan. Kamu punya potensi untuk meneruskan seni dari ayahmu."


“Tidak mungkin aku akan mewarisinya!” Kenapa aku harus membiarkan diriku dikatai seperti itu oleh teman sekelasku?
"Mana mungkin aku mewarisinya!" kenapa aku harus membiarkan diriku dikatai seperti itu oleh teman sekelasku?


Dan dengan itu, bell persiapan kelas berbunyi. Pada saat yang bersamaan, pintu belakang kelas – yang merupakan pintu yang dekat dengan bagian kanan belakang dari mejaku – terbuka.
Setelahnya, bel persiapan kelas berbunyi. Pada saat yang bersamaan, pintu belakang kelas pintu yang dekat dengan bagian kanan belakang dari mejaku – terbuka.


Mafuyu berdiri di dekat pintu. Pandanganya pertama mendarat ke mejaku yang dikerumuni beberapa orang cowok, dan berpindah ke cover gitar di tanganku. Wajahnya tiba-tiba berubah.
Mafuyu berdiri di dekat pintu. Pandangan pertamanya mendarat ke mejaku yang dikerumuni beberapa anak, lalu berpindah ke sarung gitar di tanganku. Wajahnya tiba-tiba berubah.


...... Minggir.”
"... minggir."


Sebuah kata yang lembut dan dingin dari Mafuyu cukup untuk membuat para cowoko yang mendengarkan omong kosongku menyingkir dari jalannya...... Oi oi, jangan ke mejaku, cepat kembali ke kursi kalian masing-masing!
Sebuah kata yang lembut dan dingin dari Mafuyu cukup untuk membuat para anak lelaki, yang mendengarkan omong kosongku tadi, menyingkir dari jalan .... Oi, oi, jangan ke mejaku, cepat kembali ke kursi masing-masing!


“Profesor Nao......” Salah satu cowok itu mendekatkan wajahnya kesampingku, dan berbisik, “Apa ini? Apa alasanmu mengambil bass karena Ebisawa?
"Nao-sensei ...," salah satu anak mendekatkan wajahnya ke sampingku, lalu berbisik, "Jadi ini? Jadi alasanmu mengambil bas itu karena Ebisawa-san?"


“Eh? A-Apa?” Suaraku menjadi sedikit aneh.
"Eh? A-apa?" suaraku menjadi sedikit aneh.


“Kau sering ke lapangan akhir-akhir ini kan?
"Belakangan ini kamu sering ke lapangan, 'kan?"


“Jadi begitu, jadi dia akan bisa menjadi lebih dekat dengannya dengan bass miliknya ini? Pintar sekali Profesor!
"Begitu, jadi dia bisa lebih dekat dengan perempuan itu karena basnya ini? Pintar sekali, Sensei!"


Para cowok itu melirik wajah Mafuyu. Jangan meng-gossip-kan orang saat kalain ada di dekatnya!
Para anak lelaki tersebut melirik ke arah Mafuyu. Jangan bergosip kalau orangnya masih ada di sekitar!


Karena sikapnya yang waspada, semenjak hari keduanya dia pindah ke sini, hampir semua gadis di kelas telah menjadi musuhnya. Akan tetapi, tidak satupun cowok memperdulikan hal itu dan terus mengkhawatirkannya. Yang menunjukkan jalan saat kami pindah kelas, atau meminjaminya buku pelajaran saat dia lupa membawanya semuanya dilakukan oleh para cowok.
Karena sikap sinisnya itu, semenjak hari kedua kepindahannya kemari, hampir semua perempuan di kelas telah menjadi musuhnya. Biarpun begitu, tidak satu pun dari anak lelaki di kelas yang memedulikan hal tersebut, dan malah mengkhawatirkannya. Yang menunjukkan jalan saat kami pindah kelas, atau meminjaminya buku pelajaran saat ia lupa membawanya semuanya dilakukan oleh para anak lelaki.


Para cowok yang selalu berkumpul di sekitar mejaku mungkin melalukan hal itu untuk alasan yang sama? Cowok benar-benar bodoh.
Para anak lelaki yang selalu berkumpul di sekitar mejaku ini mungkin melalukan hal tersebut untuk alasan yang sama. Mereka benar-benar bodoh.


“Oh iya, Ebisawa......”
"Oh, iya, Ebisawa-san ...."


Salah satu cowok pemberani berbalik dan berkata pada Mafuyu. Mafuyu mengalihkan pandangannya dari buku pelajarannya ke wajahnya, dan dengan pelan berkata,”Tolong jangan panggil aku dengan nama keluargaku.
Salah satu anak pemberani berbalik dan berkata pada Mafuyu. Mafuyu mengalihkan pandangannya dari buku pelajarannya ke wajah anak itu, dan dengan pelan berkata, "Tolong jangan memanggilku dengan nama margaku."


“Kalau begitu—Mafuyu......”
"Kalau begitu— Mafuyu ...."


“Jangan memanggilku dengan nama depanku juga. Menjijikkan.
"Jangan memanggilku dengan nama depan juga. Menjijikkan."


“Mafuyu memanggilku menjijikkan...... satu-satunya alasan hidupku telah hancur.
"Mafuyu menganggapku menjijikkan .... Satu-satunya alasanku untuk hidup telah sirna."


“Jangan khawatir, wajahmu tidak semenjijikkan yang kau pikirkan.
"Jangan khawatir, wajahmu tidak semenjijikkan yang kamu pikir."


“Benar, wajahku. Tunggu dulu, apa maksudmu?
"Benar, wajahku. Tunggu, apa maksudmu?"


Pindahlah ke tempat lain kalau kalian ingin melakukan manzai<ref>Stand-up komedi tradisional di jepang.</ref>. Ngomong-ngomong dia emang pernah bilang sebelumnya di hari pertamanya di sini, tapi apa dia benar-benar membenci nama keluarganya seperti itu? Aku selalu berfikir kalau dia cuma berbohong karena keadaanya saat itu. Tapi kenapa? Apa seseorang mengejeknya di masa lalu dan memberinya nama panggilan ‘Ebimayo’<ref>Udang mayonaise</ref> atau semacamnya?
Pindahlah ke tempat lain kalau ingin melakukan komedi spontan. Bicara soal itu, ia memang pernah mengatakannya saat hari pertamanya di sini, tapi apa sebegitunya ia membenci nama marganya sendiri? Aku selalu berpikir kalau ia cuma berbohong karena keadaannya saat itu. Tapi kenapa? Apa di masa lalu ada seseorang yang mengejeknya dan memberinya nama panggilan Ebimayo<ref>Ebimayo adalah hidangan udang yang dibaluri dengan mayonaise.</ref>?
“Jadi Ebisawa bermain di band juga? Akankah guru pianomu marah kalau dia tahu kamu bermain gitar?


Pada saat dia berbicara padanya dengan semangat 45, sisi wajah Mafuyu membeku.
"Jadi Ebisawa-san bermain band juga? Apa guru pianomu akan marah jika tahu kalau kamu bermain gitar?"


“Dan juga, kamu sangat hebat dalam membagi waktu, karena kamu bisa berlatih dua instrumen yang berbeda di saat yang bersamaan.
Sewaktu anak itu berbicara padanya dengan semangat menggebu, sisi wajah Mafuyu membeku.


“Bukannya dia berlatih di saat yang bersamaan, kurasa? Karena lagunya sama.
"Lalu, kamu hebat juga dalam membagi waktu, karena bisa berlatih dua alat musik berbeda di saat bersamaan."


“Bagaimana mungkin!”
"Kurasa ia berlatih dua alat musik sekaligus. Karena komposisi yang dimainkannya sama."


Mafuyu mengalihkan pandangannya kembali ke buku pelajarannya. Akan tetapi, aku menyadari kalau pandangannya sedikit kosong.
"Yang benar?!"


“Bagaimana...... kalian bisa tahu?” Saat dia berbicara dengan kepala menunduk rendah, para cowok perlahan-lahan menjadi tenang pada saat bersamaan.
Mafuyu mengalihkan pandangannya kembali ke buku pelajarannya. Meski begitu, kusadari kalau pandangannya sedikit kosong.


“Urm...... Yah......”
"Bagaimana ... kalian bisa tahu?" saat ia berbicara dengan kepala menunduk, para anak lelaki perlahan menjadi tenang.


“Kau selalu berlatih di lapangan seusai sekolah kan? Kami bisa mendengarmu setiap waktu.
"Eng .... Yah ...."


“Ah, itu sangat terkenal loh! Semuanya tahu mengenai hal itu.
"Kamu selalu berlatih di lapangan sepulang sekolah, 'kan? Kami bisa mendengarmu sepenuhnya."
 
"Ah, itu terkenal sekali, lo! Semua anak tahu soal itu."


Mafuyu tiba-tiba berdiri. Bibirnya gemetaran, dan wajahnya berubah hijau.
Mafuyu tiba-tiba berdiri. Bibirnya gemetaran, dan wajahnya berubah hijau.


“Selama ini....... bisa terdengar?
"Selama ini ... bisa terdengar?"
Oh, sial. Dia tidak tahu? Sambil merengut mengantisipasi apa yang mungkin akan terjadi, aku dengan pelan memotong,


“Yah...... aku tidak mengatakannya padamu, tapi sound-proof di ruang kelas itu tidak sempurna. Suaranya akan keluar lewat celah-celah pintu.
Oh, sial. Ia tidak tahu? Sambil merengut mengantisipasi apa yang mungkin akan terjadi, dengan pelan aku menyela.


Wajah Mafuyu menjadi pucat pasi dalam sekejap, dan kemudian menjadi merah. Bibirnya gemetaran tanpa henti.
"Yah ..., aku memang tidak mengatakannya, tapi kemampuan kedap suara ruang kelas itu tidak sempurna. Suara bisa keluar lewat celah-celah pintu.


Aku memeluk kepalaku dan tiarap di mejaku mengantisipasi pukulan yang akan datang darinya, tapi yang kudapat cuma suara langkah kaki berlari menjauh dariku, diikuti suara pintu tertutup.
Wajah Mafuyu menjadi pucat pasi dalam sekejap, kemudian menjadi merah. Bibirnya gemetaran tanpa henti.


Sebuah kesunyian yang tidak nyaman menyelimuti seluruh Kelas Tiga Tahun Pertama.
Kurebahkan sambil kulindungi kepalaku di atas meja, mengantisipasi pukulan yang akan datang darinya, tapi yang kudapat hanya suara langkah kaki berlari menjauh diikuti suara pintu tertutup.


Aku menganggkat kepalaku. Semuanya pura-pura tidak tahu apa-apa, tapi tatapan mereka mengatakan kalau akulah yang bertanggung jawab akan hal ini.
Sebuah kesunyian yang tidak nyaman menyelimuti seluruh kelas I-3.


...... Nao, apa yang kau tunggu? Kejar dia!”
Kuangkat kepalaku. Semuanya pura-pura tidak mengerti, namun tatapan mereka berkata kalau akulah yang bertanggung jawab terhadap hal ini.


Cowok yang kehilangan alasan hidupnya karena Mafuyu menganggapnya menjijikkan, mengatakan hal itu padaku dengan dingin.
"... Nao, apa yang kamu tunggu? Cepat kejar!"


“Kenapa aku?”
Anak yang kehilangan alasan hidup karena Mafuyu menganggap dirinya menjijikkan tadi, mengatakan hal itu dengan dingin padaku.


“Karena kaulah yang bertugas menghadapi Mafuyu!” Ketua kelas Terasa mengatakan hal itu untuk suatu alasan yang tidak kuketahui, dan para gadis di sekitarnya mengangguk bersamaan dengan “Mhmm!”. Tunggu, aku yang bertugas? Apa maksudnya itu?
"Kenapa aku?"


“Cepat pergi, atau kalau tidak pelajaran akan dimulai! Cepat!
"Karena kamu yang bertugas menghadapi Ebisawa-san!" sang ketua kelas, Terada-san, tanpa alasan jelas, mengatakan itu padaku. Dan para anak perempuan di sekitarnya bersamaan mengangguk sambil berucap, "Mhmm!"


Aku tidak mengerti apa yang mereka rencanakan, tapi ada sesuatu di dunia ini yang disebut atmosfir dari situasi, yang merupakan hal yang sulit ditahan. Aku didorong oleh hal itu juga, dan berdiri dari kursiku.
Tunggu, aku yang bertugas? Apa maksudnya itu?


Saat aku keluar dari ruang kelas, aku hampir bertabrakan dengan Chiaki yang terenggah saat dia berpapasan denganku.
"Ayo lekas, kalau tidak, pelajaran akan dimulai! Cepat!"


“Apa yang kau lakukan? Aku lihat Ebisawa beberapa waktu lalu......
Aku tidak mengerti apa yang mereka rencanakan, tapi ada sesuatu di dunia ini yang dikenal dengan suasana keadaan, sesuatu yang sulit untuk ditahan. Terdorong oleh hal itu, aku beranjak dari kursiku.


“Kemana dia pergi?”
Saat keluar dari ruang kelas, aku hampir bertabrakan dengan Chiaki yang berlari ke arahku sambil terengah-engah.


“Eh? Ah, hmm, dia barusan berjalan turun tangga—Nao? Tunggu! Nao, kau mau kemana?”
"Kamu ini sedang apa? Barusan aku melihat Ebisawa-san ....


Bell persiapan berbunyi hampir bersamaan dengan saat aku mendorong Chiaki ke samping untuk berlari menjauh dari ruang kelas.
"Ia pergi ke mana?"


"Eh? Ah, eng ..., baru saja ia menuruni anak tangga tadi— Nao? Tunggu! Nao, kamu mau ke mana?"


Bel persiapan kelas berbunyi hampir bersamaan dengan saat kugeser Chiaki ke samping agar bisa berlari menjauh dari ruang kelas.


Mafuyu mengunci diri di ruang kelas dekat lapangan. Meski pintunya tertutup rapat dan tidak ada suara terdengar dari dalam, aku langsung mengetahuinya saat aku memasuki lapangan – gembok yang tergantung di pintu terbuka.
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>


Aku bediri di depan ruang musik lama, dan mulai mengatur pemikiranku untuk beberapa saat. Apa yang sedang kulakukan? Aku mengikuti kemauan teman-teman sekelasku dan keluar mencari Mafuyu, tapi apa yang harus kulakukan setelahnya? Apa aku harus meminta maaf padanya? Apa sebenarnya kesalahanku?
Mafuyu mengunci diri di ruang kelas dekat lapangan. Meski pintunya tertutup rapat dan tidak terdengar suara dari dalam, aku langsung mengetahuinya saat aku memasuki lapangan, saat melihat gembok yang tergantung di pintu terbuka.


Aku seharusnya kembali ke ruang kelas saja, dan berkata pada teman sekelasku,”Aku tidak tahu dia pergi kemana?” dan membiarkannya. Akan tetapi, kakiku tidak mau bergerak.
Aku bediri di depan ruang musik lama, dan mulai menyusun pemikiranku. Sedang apa aku ini? Aku mengikuti kemauan teman-teman sekelasku dan keluar mencari Mafuyu, tapi aku harus apa? Apa aku harus meminta maaf padanya? Lantas, salahku itu apa?


Segera setelahnya, bell persiapan kelas yang kedua berbunyi, aku pasti sudah telat untuk masuk kelas sekarang. Lupakan, sebaiknya aku sekalian saja bolos di jam pertama! Seharusnya bukan masalah besar melewatkan satu atau dua pelajaran sesekali. Terlebih lagi, ada yang ingin kukatakan pada Mafuyu. Aku meraih pegangan pintu, dan menekannya ke bawah secara diagonal dengan sedikit memaksa.
Harusnya aku kembali saja ke ruang kelas dan berkata pada teman-teman di sana, "Aku tidak tahu ia pergi ke mana?" kemudian membiarkannya. Akan tetapi, kakiku ini tidak mau bergerak.


Mafuyu menumpuk tiga bantal di meja, dan dia duduk di atasnya dengan tangannya memeluk lututnya. Meski tahu aku memasuki ruang kelas itu, yang dia lakukan cuma mengangkat wajahnya dari lututnya.
Segera setelahnya, bel persiapan kelas yang kedua berbunyi, aku pasti sudah telat untuk masuk kelas sekarang. Lupakan, sebaiknya aku sekalian saja bolos di jam pertama! Seharusnya bukan masalah besar sesekali melewatkan satu atau dua pelajaran. Terlebih lagi, ada yang ingin kukatakan pada Mafuyu. Aku meraih gagang pintu, dan menekannya ke bawah secara diagonal dengan sedikit paksa.


“Sia-sia kalau kau menggunakan bantal seperti itu. Aku membawa ketiga bantal itu ke sini agar bisa tidur di atasnya kalau kau menjejerkannya di meja. Aku tidak bercanda, jadi jangan ditumpuk seperti itu.
Mafuyu sudah menumpuk tiga alas duduk di atas meja, dan ia duduk di atasnya sambil tangannya merangkul lutut. Saat aku memasuki ruang kelas itu, yang ia lakukan hanya mengangkat wajahnya dari lutut.


Mafuyu cuma sedikit merubah posisinya – dia menaikkan tubuhnya sedikit untuk mengambil dua bantal dengan tangan kirinya, sebelum melemparnya ke wajahku. Aku melempar satu kembali padanya, dan meletakan yang satunya di lantai agar aku bisa duduk di atasnya.
"Sungguh disayangkan jika kamu mempergunakannya seperti itu. Aku membawa ketiga alas itu ke sini agar bisa kutaruh berjejer di atas meja, lalu kugunakan sebagai alas tidur. Aku tidak bercanda, jadi jangan ditumpuk begitu."


“Kenapa kau di sini?”
Mafuyu tidak begitu banyak mengubah posisinya, namun ia mengangkat tubuhnya sedikit untuk mengambil dua alas dengan tangan kirinya, sebelum melemparkannya ke wajahku. Aku melempar satu kembali ke tempatnya semula, dan meletakkan yang satunya di lantai agar aku bisa duduk di atasnya.


Mafuyu bertanya dengan suara serak.
"Untuk apa kamu ke sini?" tanya Mafuyu dengan suara serak.


“Aku ke sini karena aku ingin membolos, tapi aku tidak menyangka ada orang lain di sini. Whoa, kebetulan sekali meski aku sedikit terganggu akan hal ini.
"Aku ke sini karena ingin membolos, tapi aku tidak menyangka ada orang lain lagi di sini. Wah, kebetulan sekali meski aku jadi sedikit terganggu."


“Pembohong.
"Pembohong."


Bagaimana kau tahu kalau aku sedang berbohong? Tunjukkan buktinya! Tahu kan, bukti! Tapi kau benar sih aku memang berbohong.
Tahu dari mana kalau aku berbohong? Tunjukkan buktinya! Ayo tunjukkan! Tapi benar juga, sih aku memang berbohong.


“Kenapa...... kau tidak memberitahuku?
"Kenapa ... kamu tidak memberitahuku?" tanya Mafuyu berbisik sembari memandang ke bawah. Aku menoleh ke belakang untuk melihat celah di pintu, yang menyebabkan kedap suara ruang itu tidak sempurna.


Mafuyu menatap lantai dan bertanya dengan berbisik. Aku menoleh ke belakang untuk melihat ke celah di pintu, yang menyebabkan sound-proof di ruang itu tidak sempurna.
"Yah, kamu tidak pernah bertanya, sih!"


“Yah, karena kau tidak pernah bertanya!”
Lagi-lagi aku dilempar alas. Kenapa ia sampai marah begitu?


Lagi-lagi aku dihantam dengan bantal. Kenapa kau marah pada hal semacam itu?
"Bukanlah hal buruk meski suaranya terdengar keluar. Toh, kamu juga tidak sedang melakukan hal yang memalukan."


“Bukan hal yang buruk meski suaranya terdengar keluar. Lagipula kau tidak sedang melakukan hal yang memalukan kan.”
"Bukan begitu."


“Kau salah.
Mafuyu merangkul erat kedua kakinya hingga menempel dada dan meringkuk di pojok meja. Aku tidak bisa berkomunikasi dengannya. Apa yang harus kulakukan?


Mafuyu memeluk kedua kakinya di dadanya dengan erat, dan meringkuk di pojok meja. Aku tidak bisa berkomunikasi dengannya. Apa yang harus kulakukan?
"Kamu sudah pernah merilis CD permainan pianomu, tapi kamu tidak mengizinkan orang lain mendengarkanmu bermain gitar? Bukannya itu aneh?"


“Kau sudah pernah merilis CD permainan pianomu, tapi kau tidak mengijinkan orang lain mendengarkanmu bermain gitar? Bukannya itu aneh?”
"Kamu tahu apa?"


“Apa sih yang kau tahu?”
Mafuyu melontarkan sebuah pertanyaan yang terujar pelan di antara kami.


Mafuyu melempar sebuah pertanyaan yang terjatuh dengan lembut di antara kami.
Tiba-tiba sebuah gelombang amarah naik di dalam diriku.


Tiba-tiba—sebuah gelombang kemarahan naik di dalam diriku.
"Ya, mana kutahu!"


“Bagaimana aku bisa tahu!” Aku mengalihkan pandanganku dari Mafuyu. Kalau aku tidak melakukannya, aku tidak tahu apa yang akan Mafuyu lakukan setelah dia menghabiskan cadangan bantal yang dia gunakan untuk melempariku. “Itu karena kau tidak mau mengatakan apapun kan? Katakan saja dengan jujur apa yang mengganggumu, karena aku tidak tahu bagaimana caranya membaca pikiran!”
Aku mengalihkan pandanganku dari Mafuyu. Kalau tidak kulakukan, aku tidak tahu apa yang akan Mafuyu lakukan setelah ia menghabiskan cadangan alas yang ia gunakan untuk melempariku.


Ini sama dengan saat kami pertama bertemu, dan terjadi lagi saat hari pertamanya pindah sekolah. Mafuyu tidak mengatakan apapun, membiarkanku kebingungan apa aku harus ikut campur dan mengkhawatirkannya. Akan tetapi, yang kudapat hanyalah pandangan jijiknya, atau dia komplain padaku.
"Soalnya kamu tidak mau bilang apa-apa, 'kan? Katakan saja dengan jujur apa yang mengganggumu, karena aku tidak tahu cara membaca pikiran!”


“—Kalau aku memberitahumu, apa kau akan membantuku?”
Ini sama dengan saat kami pertama bertemu, dan terjadi lagi saat hari pertamanya pindah sekolah. Mafuyu tidak mengatakan apa pun, membuatku mengira-ngira apa aku harus ikut campur dan mengkhawatirkannya. Akan tetapi, yang kudapat hanyalah pandangan jijik, ataupun keluhnya soal diriku.


Aku mengangkat kepalaku ketakutan, dan memandang Mafuyu. Mata berair miliknya itu terlihat seperti air dari sungai yang mengalir ke sungai – warnanya memudar dan muram.
"—Kalau aku memberitahumu, apa kamu akan membantuku?"


“Kalau aku mengatakan padamu semua yang menggangguku, akankah kau melakukan sesuatu untukku? Kalau aku ingin kau berenang ke Amerika, akankah kau berenang ke sana untukku? Kalau aku ingin kau memotong tangan kananmu dan memberikannya padaku, akankah kau benar-benar memotongnya untukku? Kalau aku ingin kau mati, akankah kau mati untukku?”
Dengan takut-takut kuangkat kepalaku dan memandang Mafuyu. Matanya yang menangis itu tampak seperti aliran sungai yang bermuara ke laut — warnanya memudar dan muram.


Aku tidak bisa berkata-kata. Yang kurasakan cuma hawa dingin di sekitarku. Perasaan itu seperti kalau aku mencoba mengintip ke dasar jurang yang sangat dalam di malam yang gelap tanpa bulan, dan melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihat dari permukaan air.
"Kalau kukatakan padamu segala yang menggangguku, apa kamu akan melakukan sesuatu untukku? Kalau aku ingin kamu berenang ke Amerika, apa kamu akan berenang ke sana untukku? Kalau aku ingin kamu memotong tangan kananmu dan memberikannya padaku, apa kamu akan benar-benar memotongnya untukku? Kalau aku ingin kamu mati, apa kamu akan mati untukku?"


“Kalau kau tidak bisa melakukannya, jangan bicara seenaknya.
Aku tidak bisa berkata-kata. Yang kurasakan cuma hawa dingin di sekitarku. Perasaan itu seperti ketika mencoba mengintip ke dasar jurang yang sangat dalam di malam yang gelap tanpa bulan, dan melihat sesuatu yang seharusnya tidak terlihat dari permukaan air.


“Urm...... apa kau benar-benar ingin aku melakukan hal-hal itu untukmu?”
"Kalau kamu tidak bisa melakukannya, jangan bicara seenaknya."


Mafuyu menggeleng. Sepertinya dia diam-diam menangis sedikit.
"Eng .... Apa kamu benar-benar ingin agar aku melakukan semua itu untukmu?"


“Tidak.
Mafuyu menggeleng. Sepertinya ia diam-diam sedikit menangis.


“Kalau...... kau tidak mengatakannya dengan jelas, bagaimana orang lain bisa tahu? Cukup mengatakannya pada orang lain mengenai hal itu. Kau tidak akan kehilangan apa-apa.”
"Tidak."


“Kalau begitu kembalikan aku ke masa lalu, kembali ke saat aku mulai memainkan piano.
"Kalau ... kamu tidak mengatakannya dengan jelas, bagaimana orang lain bisa tahu? Cukup katakan saja. Kamu tidak akan rugi apa-apa."


“Aku bukan Tuhan, jadi bagaimana aku bisa melakukannya!”
"Kalau begitu, kembalikan aku ke masa lalu, kembali ke saat aku mulai memainkan piano."


Yang berarti—memang ada sesuatu yang mengganggunya. Kenapa dia begitu membenci piano?
"Aku bukan Tuhan, jadi bagaimana aku bisa melakukannya?!"


Dan juga......
Yang berarti, memang ada sesuatu yang mengganggunya. Kenapa ia begitu membenci piano?


“Bagaimana dengan yang ini – tolong berhenti mengikutiku. Kau mengganggu pemandangan.
Dan juga ....


Aku tidak mengikutimu! Ini adalah satu hal yang harus kuperjelas dengannya.
"Bagaimana dengan yang ini — tolong berhenti mengikutiku. Kamu mengganggu pemandangan."


“Aku sudah mengatakannya berkali-kali, aku sudah menggunakan tempat ini sejak awal. Orang yang seenaknya menerobos masuk ke tempat ini adalah kau kan? Jadi aku tidak mengikutimu.
Aku tidak mengikutinya! Ini adalah satu hal yang harus kuperjelas padanya.


Aku melirik ke pojok ruangan. Stratocaster yang tidak di hias miliknya diletakkan di sana.
"Sudah kukatakan berkali-kali, sejak awal aku sudah menggunakan tempat ini. Orang yang seenaknya menerobos masuk ke tempat ini adalah kamu sendiri, 'kan? Jadi aku tidak mengikutimu."


Aku berdiri, membuka loker, dan mengeluarkan handuk yang telah digunakan berkali-kali.
Aku melirik ke pojok ruangan. Stratocaster polos miliknya diletakkan di sana.


“Lihat, di sini ada celah di sisi pintu yang ini, ya kan? Kau harus menutupnya dengan handuk ini. Hasilnya tidak akan sempurna, tapi kau akan mendapatkan sound proof yang lebih baik dengan cara ini. Dan juga ini......”
Aku berdiri, membuka loker, dan mengeluarkan handuk yang selama ini sudah begitu sering digunakan.


Aku mengeluarkan sebuah sapu dan pengki dari loker dan menunjukkannya padanya.
"Lihat, ada celah di sisi pintu yang ini, 'kan? Kamu harus menutupnya dengan handuk ini. Hasilnya memang tidak sempurna, tapi kamu akan punya kedap suara yang lebih baik dengan cara ini. Dan juga ini ...."


“Bersihkan tempat ini dengan benar. Tidak bisakah kau melihat seberapa kotornya di sisi bawah tembok dan lantai? Aku berkerja keras untuk membuatnya sebersih sekarang ini. Ingatlah ini: Aku di sini untuk mendapatkan ruanganku kembali. Tidak mungkin aku akan membiarkan seorang gitaris muda sepertimu, yang bahkan belum pernah mendengarkan musik rock, terus menunjukkan sikap aroganmu!”
Aku mengeluarkan sebuah sapu dan pengki dari loker, lalu menunjukkan barang-barang tersebut padanya.


Aku mengatakan kata-kata angkuh itu tanpa sadar, dan menyesalinya segera setelahnya. Mafuyu menatapku dalam keadaan tercengang, dengan mata yang masih dipenuhi air mata. Tidak lama setelahnya, dia menarik nafas dalam, dan berkata,
"Bersihkan tempat ini dengan benar. Apa kamu tidak melihat betapa kotornya sekitaran tembok dan lantai itu? Aku bekerja cukup keras untuk membuatnya sebersih sekarang ini. Perlu kamu ingat, aku di sini untuk mendapatkan ruanganku kembali. Tidak mungkin aku membiarkan seorang gitaris muda sepertimu, yang bahkan belum pernah mendengarkan musik rock, terus bersikap arogan!"


“......Jadi itu alasanmu membawa bass ke sekolah?”
Aku mengatakan kata-kata angkuh itu tanpa sadar, lalu menyesalinya segera setelahnya. Mafuyu menatapku dalam keadaan tercengang dengan mata yang masih diliputi air mata. Tidak lama setelahnya, ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata,


Dia benar-benar menangis seperti anak kecil beberapa saat lalu, jadi kenapa dia menunjukkan ekspresi menyebalkan sekarang? Tidak bolehkah aku membawa bassku ke sini?
"... jadi itu alasanmu membawa bas ke sekolah?"


“Apa kau pikir kau bisa menang cuma dengan berganti ke bass? Idiot!”
Beberapa saat lalu, ia benar-benar menangis seperti anak kecil. Lantas kenapa ia sekarang menunjukkan ekspresi menyebalkan? Memangnya aku tidak boleh membawa bas ke sini?


“Silahkan ngomong sesukamu. Aku tidak bisa bermain dengan bagus sekarang, tapi aku pasti bisa dengan segera mengejarmu. Baiklah, ayo kita selesaikan urusan kita untuk terakhir kalinya dengan ruangan ini sebagai hadiahnya!
"Apa kamu pikir bisa menang hanya dengan beralih ke bas? Dasar bodoh!"


Sambil mengatakan hal itu, aku mengambil sapu itu dan mengarahkan gagangnya ke Mafuyu. Aku mengatakannya! Mafuyu sepertinya sudah tidak bisa mengatakan sepatah kata pun – dia cuma berdiri di sana dengan mata terbelalak. Aku mengartikannya sebagai dia terkejut akan kata-kataku, daripada kebingungan akan tindakanku.
"Silakan bicara sesukamu. Permainanku yang sekarang memang masih belum bagus, tapi aku pasti bisa segera mengejarmu. Baiklah, kita selesaikan urusan kita untuk selamanya dengan ruangan ini sebagai hadiahnya!"


[[Image:SP1 0107.JPG|250px|thumbnail]]


Setelah mengembalikan sapu dan pengki itu ke loker, aku mengeluarkan semprotan kaleng dan meletakkannya di meja. Setelah melihat semprotan kaleng itu, Mafuyu memiringkan kepalanya kebingungan.
Sambil mengatakan hal itu, kuambil sapu tadi dan mengarahkan gagangnya ke Mafuyu. Aku mengatakannya! Mafuyu sepertinya sudah tidak bisa apa-apa lagi — ia cuma berdiri di sana dengan mata terbelalak. Kuanggap ia lebih terkejut karena kata-kataku ketimbang bingung akan tindakanku.


...... Pembasmi serangga?”
Setelah mengembalikan sapu dan pengki tadi ke loker, kuambil semprotan kaleng dan meletakkannya di meja. Setelah melihat semprotan kaleng tersebut, Mafuyu memiringkan kepalanya karena bingung.


“Yeah. Terkadang kau akan menemukan kelabang di dalam ruangan, meski agak jarang kau akan menemukan kecoak akhir-akhir ini.
"... pembasmi serangga?"


Tidak lama setelah aku meninggalkan ruangan itu, aku bisa mendengar sudara pintu terbuka dengan cepat di belakangku. Aku menoleh, dan melihat Mafuyu berlari keluar ruangan dengan wajah pusat pasi.
"Betul. Kadang kamu bisa bertemu kelabang di ruangan ini, meski belakangan ini kamu akan jarang bertemu kecoak."


“...... Apa lagi! Aku sudah pergi sesuai permintaanmu, jadi duduklah di sana dengan tenang. Lagi pula kau masih akan dianggap telat meski kau kembali ke kelas sekarang—“
Tidak lama setelah aku meninggalkan ruangan, bisa kudengar suara pintu terbuka keras di belakangku. Aku menoleh, dan melihat Mafuyu berlari keluar ruangan dengan wajah pusat pasi.


“Ke-ke-kenapa kau tidak mengatakan hal ini padaku sejak awal?”
"... apa lagi?! Aku sudah pergi seperti yang kamu minta, jadi diami tempat itu dengan tenang. Lagi pula, kamu masih dianggap telat meski kembali ke kelas sekarang—"


Wajahnya yang hampir menangis membuatnya benar-benar terlihat seperti anak kecil.
"Ke-ke-kenapa kamu tidak mengatakannya sejak awal?"


“Kenapa? Karena kau tidak bertanya!” Jawabanku sama dengan sebelumnya. “Kau sudah berada di sana selama ini kan? Bukan masalah.
Wajahnya, yang sudah hampir menangis, membuatnya benar-benar tampak seperti anak kecil.


“Idiot!
"Kenapa? Kamu tidak pernah bertanya, sih!" jawabku sama seperti sebelumnya. "Selama ini kamu sudah menempatinya, 'kan? Jadi itu bukan masalah."


Lengan atasku dipukul olehnya berkali-kali. Gadis yang menyusahkan.
"Dasar bodoh!"


Lengan atasku dipukulnya berkali-kali. Gadis yang menyusahkan.


Pad akhirnya, kamu kembali ke kelas setelah jam pertama berakhir. Karena Mafuyu memegang lenganku dengan ekspresi hampir menanggis, aku cuma bisa mengaku kalah. Aku menghabiskan waktu kurang lebih satu jam di ruang latihan membunuh semua serangga yang bisa kutemukan, serta menutup semua celah di mana serangga bisa masuk dengan plester.
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>


Aku tidak berfikir hal itu ada gunanya sih. Makhluk seperti kelabang dan semacamnya bisa dengan mudah masuk melewati lubang yang cuma selebar dua milimeter kan?
Akhirnya, kami kembali ke kelas setelah jam pertama berakhir. Karena Mafuyu memegang lenganku dengan ekspresi hampir menangis, aku cuma bisa mengaku kalah. Kuhabiskan waktu kurang lebih satu jam di ruang latihan untuk membunuh semua serangga yang bisa kutemukan, serta menutup dengan plester semua celah di mana serangga bisa masuk.


“Ah, sang Putri sudah kembali.”
Kupikir itu tidak ada gunanya. Makhluk seperti kelabang dan semacamnya bisa dengan mudah masuk melewati lubang yang hanya selebar dua milimeter, 'kan?


“Jadi kalian benar-benar kembali bersama huh......”
"Ah, hime-sama sudah kembali."


Aku merasa sedikit terintimidasi saat semuanya memandang ke arah kami di saat kami melangkah ke dalam ruangan. Tunggu dulu...... putri?
"Jadi kalian benar-benar kembali bareng ...."


Ketua kelas Terada berjalan mendekat, bersandar ke meja, dan berkata,
Aku merasa sedikit terintimidasi saat semuanya memandang ke arah kami sewaktu melangkah ke dalam ruangan. Eh, tunggu ..., hime-sama?


“Setelah mendiskusikannya, kelas ini telah memutuskan kalau kami akan memanggilmu ‘Putri’ mulai hari ini.”
Ketua kelas, Terada-san berjalan mendekat, menempel ke meja, dan berkata,


Wajah Mafuyu menjadi putih pucat pada awalnya, tapi segera menjadi merah. Aku selalu merasa meski dia tidak mau banyak bicara, siapapun bisa dengan mudah mengetahui apa yang dipikirkannya dari perubahan ekspresinya.
"Setelah berdiskusi, kelas ini telah memutuskan kalau kami akan memanggilmu hime-sama mulai hari ini."


...... Ke-kenapa?”
Awalnya wajah Mafuyu berubah putih pucat, tapi kemudian segera memerah. Aku selalu merasa meski ia tidak mau banyak bicara, siapa pun bisa dengan mudah mengetahui apa yang dipikirkannya lewat perubahan ekspresinya.


“Kau tidak suka dipanggil baik dengan namamu ataupun nama keluargamu kan? Sangat merepotkan bagi kami untuk berbicara padamu karenanya.”
"... ke-kenapa?"


“Ja-jadi itu alasannya......”
"Kamu tidak suka dipanggil dengan namamu ataupun nama margamu, 'kan? Sangat merepotkan bagi kami jika ingin berbicara denganmu."


Seorang gadis di samping Ketua kelas dengan santai berkata,”Kalau kau bersujud dan meminta maaf, kami tidak akan memanggilmu dengan nama memalukan seperti itu.
"Ja-jadi itu alasannya ...."


“......Gak akan.
Seorang anak perempuan di samping Ketua kelas dengan santai berkata, "Kalau kamu berlutut dan meminta maaf, kami tidak akan memanggilmu dengan nama memalukan itu."


“Oh, baiklah. Kalau begitu, mohon bantuannya mulai sekarang, Tuan Putri.
"... tidak akan."


“Besok adalah piketmu, Tuan Putri. Karenannya, kau harus datang lebih awal, jangan seperti biasa dimana kau selalu hampir telat.
"Oh, baiklah. Kalau begitu, mohon kerja samanya mulai sekarang, Hime-sama."


Ah, dia lagi-lagi hampir menangis. Ada apa dengan semuanya – apa mereka menjahili pendtang baru? Tapi adalah salah Mafuyu sendiri sampai pada keadaan ini, jadi aku tidak merasa kasihan padanya sedikit pun. Tapi meski begitu, ada apa sih dengan jarak besar perbedaan sikap pada anak muda Jepang zaman sekarang?
"Besok giliran Anda piket, Hime-sama. Karena itu, Anda harus datang lebih awal. Jangan seperti biasanya di mana Anda selalu hampir telat."


“Ah, kalau ada yang Tuan Putri butuhkan, kau bisa mengatakannya pada Nao.” Kalimat dingin dari ketua kelas langsung mengunci takdirku tanpa perlu menunggu persetujuanku. Aku hampir jatuh dari kursi mendengarnya.
Ah, ia lagi-lagi hampir menangis. Ada apa dengan murid-murid kelas ini — apa mereka menjahili pendatang baru? Tapi memang salah Mafuyu sendiri hingga ia mengalami ini. Itu sebabnya, sedikit pun aku tidak merasa kasihan padanya. Biarpun begitu, ada apa dengan perbedaan sikap pada anak muda Jepang zaman sekarang?


“Kenapa aku?”
"Ah, kalau ada yang Hime-sama butuhkan, Anda bisa mengatakannya pada Nao," kalimat dingin dari ketua kelas langsung meyegel takdirku tanpa perlu menunggu persetujuanku. Aku hampir jatuh dari kursi ketika mendengarnya.


“Nao, begini ya.”
"Kenapa aku?"


Cowok yang duduk di kursi diagonal di depanku menjelaskan,
"Nao, begini, ya ...."


“Kita selalu memanggil pangeran atau putri ‘Yang Mulia’, kan? Kau tahu kenapa?
Anak lelaki yang duduk di kursi di samping depanku menjelaskan, "Kita selalu memanggil pangeran atau tuan putri dengan sebutan Yang Mulia, 'kan? Kamu tahu kenapa?"


“Aku tidak tahu...... dan apa hubungan antara dua hal itu?
"Aku tidak tahu ..., dan apa hubungan antara dua hal itu?"


“Itu artiya, ‘kita adalah orang-orang yang berada dibawahnya dan melayani mereka’ – seperti itu. Dan sangatlah tidak sopan berbicara langsung kepada bangsawan, kita cuma bisa berbicara pada pelayannya.
"Itu artiya, kita adalah orang-orang bawahannya yang juga melayani mereka — seperti itu. Dan sangatlah tidak sopan berbicara langsung kepada keluarga kerajaan, kita hanya bisa berbicara pada pelayannya saja."


“Ohhh—“ “Aku mempelajari hal lain hari ini.” Cowok-cowok bodoh di sekitarku menjadi bersemangat.
"Ohhh—" "Hari ini aku dapat pengetahuan baru," para anak lelaki bodoh di sekitarku menjadi bersemangat.


“Yang berarti, pelayan yang kita bicarakan adalah kamu!
"Yang artinya, sang pelayan yang dimaksud adalah dirimu!"


“Aku? Kenapa?” Meski aku memprotes dengan memukulkan tinjuku ke meja berulang kali, tidak seorang pun menghiraukanku karena keputusan itu telah diterima oleh kelas dengan anggota yang berlimpah, dan terlalu kuat bagiku untuk menolaknya. Aku melihat ke arah satu-satunya yang mungkin menjadi penyelamatku Chiaki. Akan tetapi, yang dilakukannya cuma melihat ke arah Mafuyu dan aku dengan pandangan curiga. Dia lalu membuat wajah aneh sebelum berbalik menghadap podium pengajaran.
"Aku? Kenapa?" meski aku memprotes dengan berulang kali memukulkan tinjuku ke meja, tidak seorang pun menghiraukanku; karena keputusan itu telah diterima oleh banyaknya murid di kelas ini, dan terlalu kuat bagiku untuk menolaknya. Aku melihat ke arah satu-satunya yang mungkin menjadi penyelamatku Chiaki. Akan tetapi, yang dilakukannya hanyalah melihat ke arahku dan Mafuyu dengan pandangan curiga. Ia lalu menunjukkan ekspresi aneh sebelum berbalik menghadap podium pengajar.
 
 
<noinclude>
 
===Catatan Penerjemah===


==Catatan penerjemah==
<references/>
<references/>
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
|-
| '''Mundur ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 6|Bab 6]]
| '''Kembali ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia)|Halaman Utama]]
| '''Lanjut ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 8|Bab 8]]
|-
|}
</noinclude>

Revision as of 15:15, 25 September 2016

Handuk, Pembasmi serangga, Plester

Dibandingkan gitar listrik, kelebihan yang terlihat jelas dari bas listrik adalah suaranya baru bisa didengar jika sudah dihubungkan ke sumber listrik.

Aku membeli bas tersebut atas bujukan Kagurazaka-senpai dan membawanya ke kelas keesokan harinya. Dengan segera aku dikelilingi teman-teman sekelasku. "Ayolah. Mainkan apa saja," meski semuanya memintaku untuk bermain, aku tetap berdalih, "Tapi ini bas, jadi suaranya tidak akan terdengar!" kemudian kabur. Bakal beda ceritanya kalau yang kubawa adalah gitar, jadi baguslah aku membeli bas — dengan pemikiran itu, aku juga bisa sedikit menghibur diriku yang sudah dipermainkan senpai.

"Tapi kenapa bas?"

Seorang anak lelaki menanyakan hal yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya.

"Ah, aku juga jadi kepikiran. Lagi pula, kamu tidak begitu memerlukannya, 'kan?"

"Hei, Kritikus, lebih baik kamu menjelaskannya dengan istilah yang gampang."

"Jangan memanggilku kritikus!" kurebut bas itu dari tangan teman sekelasku, lalu memasukkannya kembali ke pembungkusnya. Sebenarnya, menjelaskan pada mereka tidak akan efektif jika hanya lewat kata-kata saja, tapi untuk menjaga reputasi semua pemain bas di dunia, maka aku harus memberikan mereka gambaran.

"Kalian, duduk di sana."

"Baik, Nao-sensei."

"Tolong jangan pakai istilah musik sewaktu menjelaskan."

Cih, mereka benar-benar mengantisipasi pidatoku. Beberapa anak lelaki duduk bersimpuh di sekitar kursiku, karenanya, di saat begini aku tidak boleh sampai salah bicara. Bagaimana ini? Kujilati bibirku sambil memikirkan cara untuk memulai penjelasanku.

"... baiklah, mari kita mulai dengan mengingat wajah goinkyo."

"Lo, kok?"

"Jangan banyak tanya. Lakukan saja perintahku."

Beberapa anak lelaki memejamkan mata mereka, sementara sebagian lainnya menatap langit-langit. Karena beliau terlihat sama persis seperti Mito Koumon, jadi sangat mudah untuk mengingat wajah guru kami itu.

"Baiklah selanjutnya, coba pisahkan janggut dari wajahnya. Sudah?"

"... baik, sudah."

"Ah, kelihatan seperti Enari Kazuki saat masih muda."

"Enari memang masih muda."

"Oke, oke. Selanjutnya, bayangkan goinkyo tanpa rambut.”

"Nao-sensei, ini maksudnya apa, ya? Semacam tes psikologi begitu, ya?"

"Kalian akan tahu nanti. Bagaimana? Kalian bisa membayangkannya?"

"Bisa sih, tapi bukannya rambut goinkyo cukup lebat?"

"Dibandingkan jenggot, masih lebih mudah menghilangkan rambutnya."

"Dan ini langkah terakhir. Hilangkan garis wajahnya, lalu bayangkan seperti apa rupa beliau sekarang."

Wajah semua anak seperti hendak berkata, "Eh?"

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak paham!"

"Garis wajah itu maksudnya apa? Telinga dan semacamnya, begitu?"

"Bukan, bukan itu. Yang kumaksud adalah buang bentuk wajahnya. Bayangkan seperti mata, hidung, dan mulutnya muncul dari permukaan datar. Ya, seperti itu."

Satu persatu teman-teman sekelasku bergumam, "Hmm .... Hmm ...." beberapa dari mereka menekan jari-jarinya ke dahi mereka, sementara yang lain menjambak rambut mereka sendiri.

"... tidak bisa, itu tidak mungkin bisa. Hal yang sia-sia kalau membuang garis wajahnya!"

"Sekeras apa pun aku mencoba, lingkar wajahnya selalu muncul di pikiranku."

"Coba lebih keras! Kalian selalu mengatakan dengan bangga, Dalam pikiranku, aku bisa membuang pakaian renang yang dikenakan oleh para model vulgar yang cantik-cantik itu, siapa pun mereka! ya, 'kan?"

Eng ..., padahal mereka tidak perlu berusaha sekeras itu.

Mereka berjuang keras selama sekitar dua menit sebelum akhirnya menyerah. Karena itu aku langsung memberi kesimpulan.

"Sekarang, gunakan analogi tadi pada istilah musik, maka bas terlihat seperti garis wajah buatku. Kalian paham?"

Orang-orang yang menontonku masih terlihat sangat bingung.

"Itu seperti kalian membayangkan lagu-lagu dimainkan tanpa gitar ataupun alat musik lainnya, tapi tidak bisa membayangkannya tanpa bas. Dan karenanya, aku tidak bisa menjelaskan dengan baik kenapa bas begitu penting buatku."

"Jadi begitu ...."

"Aneh. Rasanya aku bisa mengerti apa yang ingin kamu sampaikan, tapi di saat bersamaan, aku juga masih belum paham."

Mereka ini mengerti atau tidak, sih? Akan tetapi, aku lebih khawatir kalau mereka mengerti, karena yang kukatakan tadi cuma omong kosong.

"Tapi Nao-sensei benar-benar mengesankan. Kamu punya potensi untuk meneruskan seni dari ayahmu."

"Mana mungkin aku mewarisinya!" kenapa aku harus membiarkan diriku dikatai seperti itu oleh teman sekelasku?

Setelahnya, bel persiapan kelas berbunyi. Pada saat yang bersamaan, pintu belakang kelas — pintu yang dekat dengan bagian kanan belakang dari mejaku – terbuka.

Mafuyu berdiri di dekat pintu. Pandangan pertamanya mendarat ke mejaku yang dikerumuni beberapa anak, lalu berpindah ke sarung gitar di tanganku. Wajahnya tiba-tiba berubah.

"... minggir."

Sebuah kata yang lembut dan dingin dari Mafuyu cukup untuk membuat para anak lelaki, yang mendengarkan omong kosongku tadi, menyingkir dari jalan .... Oi, oi, jangan ke mejaku, cepat kembali ke kursi masing-masing!

"Nao-sensei ...," salah satu anak mendekatkan wajahnya ke sampingku, lalu berbisik, "Jadi ini? Jadi alasanmu mengambil bas itu karena Ebisawa-san?"

"Eh? A-apa?" suaraku menjadi sedikit aneh.

"Belakangan ini kamu sering ke lapangan, 'kan?"

"Begitu, jadi dia bisa lebih dekat dengan perempuan itu karena basnya ini? Pintar sekali, Sensei!"

Para anak lelaki tersebut melirik ke arah Mafuyu. Jangan bergosip kalau orangnya masih ada di sekitar!

Karena sikap sinisnya itu, semenjak hari kedua kepindahannya kemari, hampir semua perempuan di kelas telah menjadi musuhnya. Biarpun begitu, tidak satu pun dari anak lelaki di kelas yang memedulikan hal tersebut, dan malah mengkhawatirkannya. Yang menunjukkan jalan saat kami pindah kelas, atau meminjaminya buku pelajaran saat ia lupa membawanya — semuanya dilakukan oleh para anak lelaki.

Para anak lelaki yang selalu berkumpul di sekitar mejaku ini mungkin melalukan hal tersebut untuk alasan yang sama. Mereka benar-benar bodoh.

"Oh, iya, Ebisawa-san ...."

Salah satu anak pemberani berbalik dan berkata pada Mafuyu. Mafuyu mengalihkan pandangannya dari buku pelajarannya ke wajah anak itu, dan dengan pelan berkata, "Tolong jangan memanggilku dengan nama margaku."

"Kalau begitu— Mafuyu ...."

"Jangan memanggilku dengan nama depan juga. Menjijikkan."

"Mafuyu menganggapku menjijikkan .... Satu-satunya alasanku untuk hidup telah sirna."

"Jangan khawatir, wajahmu tidak semenjijikkan yang kamu pikir."

"Benar, wajahku. Tunggu, apa maksudmu?"

Pindahlah ke tempat lain kalau ingin melakukan komedi spontan. Bicara soal itu, ia memang pernah mengatakannya saat hari pertamanya di sini, tapi apa sebegitunya ia membenci nama marganya sendiri? Aku selalu berpikir kalau ia cuma berbohong karena keadaannya saat itu. Tapi kenapa? Apa di masa lalu ada seseorang yang mengejeknya dan memberinya nama panggilan Ebimayo[1]?

"Jadi Ebisawa-san bermain band juga? Apa guru pianomu akan marah jika tahu kalau kamu bermain gitar?"

Sewaktu anak itu berbicara padanya dengan semangat menggebu, sisi wajah Mafuyu membeku.

"Lalu, kamu hebat juga dalam membagi waktu, karena bisa berlatih dua alat musik berbeda di saat bersamaan."

"Kurasa ia berlatih dua alat musik sekaligus. Karena komposisi yang dimainkannya sama."

"Yang benar?!"

Mafuyu mengalihkan pandangannya kembali ke buku pelajarannya. Meski begitu, kusadari kalau pandangannya sedikit kosong.

"Bagaimana ... kalian bisa tahu?" saat ia berbicara dengan kepala menunduk, para anak lelaki perlahan menjadi tenang.

"Eng .... Yah ...."

"Kamu selalu berlatih di lapangan sepulang sekolah, 'kan? Kami bisa mendengarmu sepenuhnya."

"Ah, itu terkenal sekali, lo! Semua anak tahu soal itu."

Mafuyu tiba-tiba berdiri. Bibirnya gemetaran, dan wajahnya berubah hijau.

"Selama ini ... bisa terdengar?"

Oh, sial. Ia tidak tahu? Sambil merengut mengantisipasi apa yang mungkin akan terjadi, dengan pelan aku menyela.

"Yah ..., aku memang tidak mengatakannya, tapi kemampuan kedap suara ruang kelas itu tidak sempurna. Suara bisa keluar lewat celah-celah pintu.”

Wajah Mafuyu menjadi pucat pasi dalam sekejap, kemudian menjadi merah. Bibirnya gemetaran tanpa henti.

Kurebahkan sambil kulindungi kepalaku di atas meja, mengantisipasi pukulan yang akan datang darinya, tapi yang kudapat hanya suara langkah kaki berlari menjauh diikuti suara pintu tertutup.

Sebuah kesunyian yang tidak nyaman menyelimuti seluruh kelas I-3.

Kuangkat kepalaku. Semuanya pura-pura tidak mengerti, namun tatapan mereka berkata kalau akulah yang bertanggung jawab terhadap hal ini.

"... Nao, apa yang kamu tunggu? Cepat kejar!"

Anak yang kehilangan alasan hidup karena Mafuyu menganggap dirinya menjijikkan tadi, mengatakan hal itu dengan dingin padaku.

"Kenapa aku?"

"Karena kamu yang bertugas menghadapi Ebisawa-san!" sang ketua kelas, Terada-san, tanpa alasan jelas, mengatakan itu padaku. Dan para anak perempuan di sekitarnya bersamaan mengangguk sambil berucap, "Mhmm!"

Tunggu, aku yang bertugas? Apa maksudnya itu?

"Ayo lekas, kalau tidak, pelajaran akan dimulai! Cepat!"

Aku tidak mengerti apa yang mereka rencanakan, tapi ada sesuatu di dunia ini yang dikenal dengan suasana keadaan, sesuatu yang sulit untuk ditahan. Terdorong oleh hal itu, aku beranjak dari kursiku.

Saat keluar dari ruang kelas, aku hampir bertabrakan dengan Chiaki yang berlari ke arahku sambil terengah-engah.

"Kamu ini sedang apa? Barusan aku melihat Ebisawa-san ....”

"Ia pergi ke mana?"

"Eh? Ah, eng ..., baru saja ia menuruni anak tangga tadi— Nao? Tunggu! Nao, kamu mau ke mana?"

Bel persiapan kelas berbunyi hampir bersamaan dengan saat kugeser Chiaki ke samping agar bisa berlari menjauh dari ruang kelas.

Mafuyu mengunci diri di ruang kelas dekat lapangan. Meski pintunya tertutup rapat dan tidak terdengar suara dari dalam, aku langsung mengetahuinya saat aku memasuki lapangan, saat melihat gembok yang tergantung di pintu terbuka.

Aku bediri di depan ruang musik lama, dan mulai menyusun pemikiranku. Sedang apa aku ini? Aku mengikuti kemauan teman-teman sekelasku dan keluar mencari Mafuyu, tapi aku harus apa? Apa aku harus meminta maaf padanya? Lantas, salahku itu apa?

Harusnya aku kembali saja ke ruang kelas dan berkata pada teman-teman di sana, "Aku tidak tahu ia pergi ke mana?" kemudian membiarkannya. Akan tetapi, kakiku ini tidak mau bergerak.

Segera setelahnya, bel persiapan kelas yang kedua berbunyi, aku pasti sudah telat untuk masuk kelas sekarang. Lupakan, sebaiknya aku sekalian saja bolos di jam pertama! Seharusnya bukan masalah besar sesekali melewatkan satu atau dua pelajaran. Terlebih lagi, ada yang ingin kukatakan pada Mafuyu. Aku meraih gagang pintu, dan menekannya ke bawah secara diagonal dengan sedikit paksa.

Mafuyu sudah menumpuk tiga alas duduk di atas meja, dan ia duduk di atasnya sambil tangannya merangkul lutut. Saat aku memasuki ruang kelas itu, yang ia lakukan hanya mengangkat wajahnya dari lutut.

"Sungguh disayangkan jika kamu mempergunakannya seperti itu. Aku membawa ketiga alas itu ke sini agar bisa kutaruh berjejer di atas meja, lalu kugunakan sebagai alas tidur. Aku tidak bercanda, jadi jangan ditumpuk begitu."

Mafuyu tidak begitu banyak mengubah posisinya, namun ia mengangkat tubuhnya sedikit untuk mengambil dua alas dengan tangan kirinya, sebelum melemparkannya ke wajahku. Aku melempar satu kembali ke tempatnya semula, dan meletakkan yang satunya di lantai agar aku bisa duduk di atasnya.

"Untuk apa kamu ke sini?" tanya Mafuyu dengan suara serak.

"Aku ke sini karena ingin membolos, tapi aku tidak menyangka ada orang lain lagi di sini. Wah, kebetulan sekali — meski aku jadi sedikit terganggu."

"Pembohong."

Tahu dari mana kalau aku berbohong? Tunjukkan buktinya! Ayo tunjukkan! Tapi benar juga, sih — aku memang berbohong.

"Kenapa ... kamu tidak memberitahuku?" tanya Mafuyu berbisik sembari memandang ke bawah. Aku menoleh ke belakang untuk melihat celah di pintu, yang menyebabkan kedap suara ruang itu tidak sempurna.

"Yah, kamu tidak pernah bertanya, sih!"

Lagi-lagi aku dilempar alas. Kenapa ia sampai marah begitu?

"Bukanlah hal buruk meski suaranya terdengar keluar. Toh, kamu juga tidak sedang melakukan hal yang memalukan."

"Bukan begitu."

Mafuyu merangkul erat kedua kakinya hingga menempel dada dan meringkuk di pojok meja. Aku tidak bisa berkomunikasi dengannya. Apa yang harus kulakukan?

"Kamu sudah pernah merilis CD permainan pianomu, tapi kamu tidak mengizinkan orang lain mendengarkanmu bermain gitar? Bukannya itu aneh?"

"Kamu tahu apa?"

Mafuyu melontarkan sebuah pertanyaan yang terujar pelan di antara kami.

Tiba-tiba sebuah gelombang amarah naik di dalam diriku.

"Ya, mana kutahu!"

Aku mengalihkan pandanganku dari Mafuyu. Kalau tidak kulakukan, aku tidak tahu apa yang akan Mafuyu lakukan setelah ia menghabiskan cadangan alas yang ia gunakan untuk melempariku.

"Soalnya kamu tidak mau bilang apa-apa, 'kan? Katakan saja dengan jujur apa yang mengganggumu, karena aku tidak tahu cara membaca pikiran!”

Ini sama dengan saat kami pertama bertemu, dan terjadi lagi saat hari pertamanya pindah sekolah. Mafuyu tidak mengatakan apa pun, membuatku mengira-ngira apa aku harus ikut campur dan mengkhawatirkannya. Akan tetapi, yang kudapat hanyalah pandangan jijik, ataupun keluhnya soal diriku.

"—Kalau aku memberitahumu, apa kamu akan membantuku?"

Dengan takut-takut kuangkat kepalaku dan memandang Mafuyu. Matanya yang menangis itu tampak seperti aliran sungai yang bermuara ke laut — warnanya memudar dan muram.

"Kalau kukatakan padamu segala yang menggangguku, apa kamu akan melakukan sesuatu untukku? Kalau aku ingin kamu berenang ke Amerika, apa kamu akan berenang ke sana untukku? Kalau aku ingin kamu memotong tangan kananmu dan memberikannya padaku, apa kamu akan benar-benar memotongnya untukku? Kalau aku ingin kamu mati, apa kamu akan mati untukku?"

Aku tidak bisa berkata-kata. Yang kurasakan cuma hawa dingin di sekitarku. Perasaan itu seperti ketika mencoba mengintip ke dasar jurang yang sangat dalam di malam yang gelap tanpa bulan, dan melihat sesuatu yang seharusnya tidak terlihat dari permukaan air.

"Kalau kamu tidak bisa melakukannya, jangan bicara seenaknya."

"Eng .... Apa kamu benar-benar ingin agar aku melakukan semua itu untukmu?"

Mafuyu menggeleng. Sepertinya ia diam-diam sedikit menangis.

"Tidak."

"Kalau ... kamu tidak mengatakannya dengan jelas, bagaimana orang lain bisa tahu? Cukup katakan saja. Kamu tidak akan rugi apa-apa."

"Kalau begitu, kembalikan aku ke masa lalu, kembali ke saat aku mulai memainkan piano."

"Aku bukan Tuhan, jadi bagaimana aku bisa melakukannya?!"

Yang berarti, memang ada sesuatu yang mengganggunya. Kenapa ia begitu membenci piano?

Dan juga ....

"Bagaimana dengan yang ini — tolong berhenti mengikutiku. Kamu mengganggu pemandangan."

Aku tidak mengikutinya! Ini adalah satu hal yang harus kuperjelas padanya.

"Sudah kukatakan berkali-kali, sejak awal aku sudah menggunakan tempat ini. Orang yang seenaknya menerobos masuk ke tempat ini adalah kamu sendiri, 'kan? Jadi aku tidak mengikutimu."

Aku melirik ke pojok ruangan. Stratocaster polos miliknya diletakkan di sana.

Aku berdiri, membuka loker, dan mengeluarkan handuk yang selama ini sudah begitu sering digunakan.

"Lihat, ada celah di sisi pintu yang ini, 'kan? Kamu harus menutupnya dengan handuk ini. Hasilnya memang tidak sempurna, tapi kamu akan punya kedap suara yang lebih baik dengan cara ini. Dan juga ini ...."

Aku mengeluarkan sebuah sapu dan pengki dari loker, lalu menunjukkan barang-barang tersebut padanya.

"Bersihkan tempat ini dengan benar. Apa kamu tidak melihat betapa kotornya sekitaran tembok dan lantai itu? Aku bekerja cukup keras untuk membuatnya sebersih sekarang ini. Perlu kamu ingat, aku di sini untuk mendapatkan ruanganku kembali. Tidak mungkin aku membiarkan seorang gitaris muda sepertimu, yang bahkan belum pernah mendengarkan musik rock, terus bersikap arogan!"

Aku mengatakan kata-kata angkuh itu tanpa sadar, lalu menyesalinya segera setelahnya. Mafuyu menatapku dalam keadaan tercengang dengan mata yang masih diliputi air mata. Tidak lama setelahnya, ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata,

"... jadi itu alasanmu membawa bas ke sekolah?"

Beberapa saat lalu, ia benar-benar menangis seperti anak kecil. Lantas kenapa ia sekarang menunjukkan ekspresi menyebalkan? Memangnya aku tidak boleh membawa bas ke sini?

"Apa kamu pikir bisa menang hanya dengan beralih ke bas? Dasar bodoh!"

"Silakan bicara sesukamu. Permainanku yang sekarang memang masih belum bagus, tapi aku pasti bisa segera mengejarmu. Baiklah, kita selesaikan urusan kita untuk selamanya dengan ruangan ini sebagai hadiahnya!"

Sambil mengatakan hal itu, kuambil sapu tadi dan mengarahkan gagangnya ke Mafuyu. Aku mengatakannya! Mafuyu sepertinya sudah tidak bisa apa-apa lagi — ia cuma berdiri di sana dengan mata terbelalak. Kuanggap ia lebih terkejut karena kata-kataku ketimbang bingung akan tindakanku.

Setelah mengembalikan sapu dan pengki tadi ke loker, kuambil semprotan kaleng dan meletakkannya di meja. Setelah melihat semprotan kaleng tersebut, Mafuyu memiringkan kepalanya karena bingung.

"... pembasmi serangga?"

"Betul. Kadang kamu bisa bertemu kelabang di ruangan ini, meski belakangan ini kamu akan jarang bertemu kecoak."

Tidak lama setelah aku meninggalkan ruangan, bisa kudengar suara pintu terbuka keras di belakangku. Aku menoleh, dan melihat Mafuyu berlari keluar ruangan dengan wajah pusat pasi.

"... apa lagi?! Aku sudah pergi seperti yang kamu minta, jadi diami tempat itu dengan tenang. Lagi pula, kamu masih dianggap telat meski kembali ke kelas sekarang—"

"Ke-ke-kenapa kamu tidak mengatakannya sejak awal?"

Wajahnya, yang sudah hampir menangis, membuatnya benar-benar tampak seperti anak kecil.

"Kenapa? Kamu tidak pernah bertanya, sih!" jawabku sama seperti sebelumnya. "Selama ini kamu sudah menempatinya, 'kan? Jadi itu bukan masalah."

"Dasar bodoh!"

Lengan atasku dipukulnya berkali-kali. Gadis yang menyusahkan.

Akhirnya, kami kembali ke kelas setelah jam pertama berakhir. Karena Mafuyu memegang lenganku dengan ekspresi hampir menangis, aku cuma bisa mengaku kalah. Kuhabiskan waktu kurang lebih satu jam di ruang latihan untuk membunuh semua serangga yang bisa kutemukan, serta menutup dengan plester semua celah di mana serangga bisa masuk.

Kupikir itu tidak ada gunanya. Makhluk seperti kelabang dan semacamnya bisa dengan mudah masuk melewati lubang yang hanya selebar dua milimeter, 'kan?

"Ah, hime-sama sudah kembali."

"Jadi kalian benar-benar kembali bareng ...."

Aku merasa sedikit terintimidasi saat semuanya memandang ke arah kami sewaktu melangkah ke dalam ruangan. Eh, tunggu ..., hime-sama?

Ketua kelas, Terada-san berjalan mendekat, menempel ke meja, dan berkata,

"Setelah berdiskusi, kelas ini telah memutuskan kalau kami akan memanggilmu hime-sama mulai hari ini."

Awalnya wajah Mafuyu berubah putih pucat, tapi kemudian segera memerah. Aku selalu merasa meski ia tidak mau banyak bicara, siapa pun bisa dengan mudah mengetahui apa yang dipikirkannya lewat perubahan ekspresinya.

"... ke-kenapa?"

"Kamu tidak suka dipanggil dengan namamu ataupun nama margamu, 'kan? Sangat merepotkan bagi kami jika ingin berbicara denganmu."

"Ja-jadi itu alasannya ...."

Seorang anak perempuan di samping Ketua kelas dengan santai berkata, "Kalau kamu berlutut dan meminta maaf, kami tidak akan memanggilmu dengan nama memalukan itu."

"... tidak akan."

"Oh, baiklah. Kalau begitu, mohon kerja samanya mulai sekarang, Hime-sama."

"Besok giliran Anda piket, Hime-sama. Karena itu, Anda harus datang lebih awal. Jangan seperti biasanya di mana Anda selalu hampir telat."

Ah, ia lagi-lagi hampir menangis. Ada apa dengan murid-murid kelas ini — apa mereka menjahili pendatang baru? Tapi memang salah Mafuyu sendiri hingga ia mengalami ini. Itu sebabnya, sedikit pun aku tidak merasa kasihan padanya. Biarpun begitu, ada apa dengan perbedaan sikap pada anak muda Jepang zaman sekarang?

"Ah, kalau ada yang Hime-sama butuhkan, Anda bisa mengatakannya pada Nao," kalimat dingin dari ketua kelas langsung meyegel takdirku tanpa perlu menunggu persetujuanku. Aku hampir jatuh dari kursi ketika mendengarnya.

"Kenapa aku?"

"Nao, begini, ya ...."

Anak lelaki yang duduk di kursi di samping depanku menjelaskan, "Kita selalu memanggil pangeran atau tuan putri dengan sebutan Yang Mulia, 'kan? Kamu tahu kenapa?"

"Aku tidak tahu ..., dan apa hubungan antara dua hal itu?"

"Itu artiya, kita adalah orang-orang bawahannya yang juga melayani mereka — seperti itu. Dan sangatlah tidak sopan berbicara langsung kepada keluarga kerajaan, kita hanya bisa berbicara pada pelayannya saja."

"Ohhh—" "Hari ini aku dapat pengetahuan baru," para anak lelaki bodoh di sekitarku menjadi bersemangat.

"Yang artinya, sang pelayan yang dimaksud adalah dirimu!"

"Aku? Kenapa?" meski aku memprotes dengan berulang kali memukulkan tinjuku ke meja, tidak seorang pun menghiraukanku; karena keputusan itu telah diterima oleh banyaknya murid di kelas ini, dan terlalu kuat bagiku untuk menolaknya. Aku melihat ke arah satu-satunya yang mungkin menjadi penyelamatku — Chiaki. Akan tetapi, yang dilakukannya hanyalah melihat ke arahku dan Mafuyu dengan pandangan curiga. Ia lalu menunjukkan ekspresi aneh sebelum berbalik menghadap podium pengajar.



Catatan Penerjemah

  1. Ebimayo adalah hidangan udang yang dibaluri dengan mayonaise.
Mundur ke Bab 6 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 8