Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 8

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Tuan Putri, Revolusionis[edit]

Kubawa basku kemudian berlari dari ruang kelas segera setelah sekolah berakhir untuk menuju ke atap. Begitu sampai di sana, kulihat seorang gadis berseragam sedang duduk di atas tepi pagar ram sambil menatap ke langit. Rambutnya tertiup angin, dan ia sepertinya sedang dalam suasana hati yang baik. Rupanya itu Kagurazaka-senpai.

"Bukankah kamu terlalu lamban, Shounen? Bel pulang sekolah saja sudah berhenti berbunyi."

"Tidak, Senpai yang datang terlalu cepat ...."

Bagaimana caranya ia bisa sampai ke sini sebelum bel berhenti berbunyi? Padahal saat itu pelajaran masih berlangsung.

"Melodi penanda waktu yang berasal dari pabrik seberang ini saling bersahutan dengan suara bel sekolah kita, yang secara kebetulan dan terdengar menarik, menghasilkan sebuah komposisi nada. Kuharap kamu bisa mendengarnya, Shounen."

"Hah?!" Omong-omong, bukannya agak bahaya duduk di tempat setinggi itu?

Senpai lalu melompat turun dari pagar dan mendarat tepat di depanku.

"Apa kamu sudah putuskan untuk bergabung dengan klub kami?"

"Yah ...," kuturunkan bas yang bergantung pada pundakku lalu menyandarkannya di pagar. Aku sedikit bimbang dengan kata-kataku, "Aku memang membutuhkan bantuan Senpai untuk mempelajari bas, tapi kalau bergabung dalam band ...."

"Kenapa?" senpai mengangkat alisnya yang tampak indah itu.

"Tidak, aku hanya ingin mendapatkan kembali ruang kelas itu supaya bisa mendengarkan CD-CD-ku. Aku tidak memainkan bas ini demi Senpai."

"Tapi tadi kamu cepat-cepat kemari seperti yang kuperintahkan."

"Itu hanya karena aku butuh bantuan Senpai supaya bisa memberi pelajaran pada Mafuyu."

"Jadi yang kamu maksud bantuan itu, kamu memanfaatkanku supaya bisa mengajarimu bermain bas? Jadi kamu memanfaatkanku seperti aku memanfaatkanmu, begitu?"

Cara ia mengatakan hal itu sedikit blakblakan, tapi aku tetap mengangguk dengan jujur. Untuk bisa menang melawan Mafuyu, aku tidak perlu menjaga citra diriku.

Sebuah senyuman muncul di wajah senpai.

"Hmm, jadi begitu. Rupanya kamu tidak lagi memiliki ekpresi seorang pecundang."

Senyumnya itu tidak sedramatis biasanya — justru, itu senyuman yang sangat alami. Aku terkejut.

"Bukankah ini bagus? Aku sudah memprediksi kalau kamu pada akhirnya pun akan tetap bergabung. Jadi, ayo kita mulai!"

Senpai berjongkok dan mengeluarkan berbagai macam barang dari tas punggungnya ke lantai. Sebuah amplifier mini dengan baterai di dalamnya, kabel untuk amplifier, dan juga senar pengganti untuk bas.

"... tapi, kenapa kita harus berlatih di atap?"

"Shounen, apa menurutmu langkah pertama dalam berlatih bas?"

Ia menanyakan itu padaku sambil mengeluarkan senar-senar dari tasnya lalu merentangkannya.

"Hmm ..., bukankah berlatih 'fingering langkah kepiting?"

Itu adalah jenis latihan berulang untuk melatih kemampuan dasar. Pemain menentukan tempo tetap, dan mulai menekan fret secara berurutan dari telunjuk sampai kelingking, lalu memainkan setiap skala secara berurutan. Karena tangan kiri sedikit demi sedikit bergerak mendekat secara horizontal, beberapa orang menyebutnya fingering langkah kepiting. Kedengarannya seperti latihan pemula, tapi itu adalah dasar dari bermain gitar. Biarpun begitu, senpai menggelengkan kepalanya.

"Ada hal lain yang perlu kamu lakukan sebelum itu. Itulah alasan kenapa aku memanggilmu ke atap."

Senpai menarik senar itu kuat-kuat di kedua ujungnya.

"Aku sudah membuat tali rentang dari atap ini sampai ke asrama seberang dengan sebuah senar. Kamu harus ke gedung seberang dengan berjalan di atasnya."

Aku terkejut. Hampir saja kujatuhkan basku ini sewaktu mengeluarkannya dari sarungnya.

"... eh?"

"Kamu tidak akan bisa menjadi pemain bas kalau tidak bisa menggantungkan hidupmu pada senar-senarnya. Akan kudoakan keselamatanmu. Mungkin kamu akan mati jika terjatuh, jadi sebaiknya siapkan terlebih dahulu mentalmu."

"Tidak, tidak, tidak, tidak, Senpai ini bicara apa?"

"Ya ampun," senpai mengangkat bahunya, "Untuk menjadi seorang pemain bas, kamu perlu melewati latihan khusus yang membahayakan hidupmu. Memangnya kamu tidak tahu? Bahkan para pemain bas terkenal di Jepang sudah melewati berbagai macam latihan yang membahayakan hidup mereka. Contohnya, memukul kepala berulang kali dengan kaleng timah, atau membiarkan diri terkena kobaran api atau ledakan gas ..., dan lain sebagainya."

"Pemain bas Jepang terkenal yang Senpai maksud itu ... siapa?"

"Mendiang Ikariya Chousuke."

"The Drifters itu grup lawak, 'kan?!" kubanting sarung bas yang kupegang ini ke lantai.

"The Drifters itu juga nama sebuah band! Mereka pernah jadi band pembuka sebelum konser The Beatles. Kamu memang tidak sopan, Shounen."

"Aku tahu itu, dan jangan mengalihkan pembahasan!"

"Soal tali rentang itu cuma bercanda. Hal pertama yang perlu kamu lakukan adalah mengganti senar basmu. Karena alat musik itu sudah disimpan di toko dalam waktu yang cukup lama, kelenturan senar-senarnya perlahan-lahan berkurang."

O-orang ini memang ....

Kurasa tidak ada gunanya mengatakan sesuatu, jadi aku mengganti ke-empat senarnya tanpa berkomentar.

"Alasan sebenarnya aku memanggilmu ke atap adalah itu!"

Kagurazaka-senpai menempelkan dirinya ke pagar dan menunjuk ke bawah. Tanpa perlu melihat ke arah yang ditunjuknya, bisa kupahami yang Senpai maksud adalah suara gitar yang kini sedang kudengar. Ruang kelas yang digunakan Mafuyu berlatih gitar berada tepat di bawah kami.

Padahal aku sudah mengajarinya cara membuat agar ruangan itu kedap suara dengan handuk, lantas kenapa aku masih bisa mendengar suara gitarnya? Suara riang melodi itu adalah <Pavane bagi Tuan Putri yang Mati> gubahan Ravel. Apa itu akibat dari keterkejutannya karena dipanggil hime-sama oleh teman-teman sekelas?

"Bermula dari tujuh hari yang lalu."

Kagurazaka lalu menyandarkan punggungnya di pagar dan menatap ke langit.

"Aku bolos mulai dari jam pelajaran pertama dan tinggal di sini sampai sekolah usai sambil mendengarkan suara jalanan."

Untuk apa sebenarnya ia pergi sekolah?

"Lalu matahari pun mulai terbenam, dan saat seolah akan turun hujan, terdengarlah suara gitar. Itu merupakan <Clavier Bertemperamen Sama> gubahan Bach dari Buku II. Akan tetapi, ia melewatkan fugue-nya dan memainkan preludenya saja. Aku begitu kesal hingga tidak menyadari kalau hujan sudah mulai turun — aku duduk dan terus mendengarkannya."

"Senpai bisa kena flu kalau seperti itu ...."

"Yang dimainkannya hanyalah prelude. Berlanjut terus hingga sampai di No. 24 dalam B minor — itu sebuah siksaan yang manis. Kemudian kudengar suara pintu terbuka, jadi kuintip ruang tersebut dan kulihat seorang gadis cantik berjalan keluar. Rambutnya berwarna merah tua yang tampak cerah — seperti sirup maple beku. Hal itu cukup untuk membuatku jatuh hati padanya.”

Basku terselip dari lututku lalu jatuh ke lantai.

"Anu ..., Senpai?"

"Hmm?"

"Tapi Mafuyu itu perempuan?"

"Memangnya kenapa? Aku suka dengan hal-hal yang cantik. Di mataku, jenis kelamin bukanlah masalah. Menurutmu kenapa aku membiarkan Aihara Chiaki bergabung sebagai rekan band kita? Alasannya adalah karena ia imut."

"Tolong jangan mengucapkan hal yang di luar dugaan tadi dengan santai begitu."

"Biar bagaimanapun, tidak pernah kusangka ia bisa memainkan drum sebaik itu dalam waktu kurang dari setahun."

"Chiaki bisa menangis jika tahu Senpai berkata begitu."

"Tidak masalah. Aku akan terus terang memberitahukan soal seleraku ini pada Rekan Chiaki."

"Jadi semua orang sungguh berpikir kalau Senpai adalah orang yang bisa mendapatkan apa pun yang diinginkan?"

Aku terkejut hingga tidak bisa berkata apa-apa. Tidak kusangka jika ia orang yang seperti itu. Seharusnya aku belajar bas sendiri — masih belum terlambat buatku untuk melarikan diri. Aku mulai menyetel basku sambil memikirkan hal itu.

"Akan tetapi, Ebisawa Mafuyu tidak mendengarkan sepatah kata pun ucapanku. Ditambah, saat aku melakukan pengamatan mendetail, untuk suatu alasan yang tidak diketahui, kamulah satu-satunya orang di sekolah ini yang dapat berbincang dengannya."

Aku terkejut dan mengangkat kepalaku.

Yang terlihat di depanku kini adalah senyum menggemaskan nan berbahaya milik senpai, yang pernah sekali ia gunakan di pekan itu.

"Karenanya, Shounen, aku butuh bantuanmu."

Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak bisa menatap langsung mata senpai — yang bisa kulakukan hanya mengalihkan pandanganku kembali pada bas di tanganku. Seumur hidup, itulah pertama kalinya seseorang berkata begitu padaku. Tidak, tunggu sebentar, tenangkan diri dan pikirkan pelan-pelan. Senpai bilang kalau aku hanyalah bidak yang akan digunakannya.

"Jadi rencana Senpai sesungguhnya adalah mengumpulkan sekumpulan gadis manis, 'kan? Bukan benar-benar mengenai band."

Kukatakan keraguan itu dalam diriku, tapi yang Kagurazaka-Senpai lakukan hanyalah memiringkan kepalanya dan menatapku dengan berulang kali mengedipkan mata.

Semua percakapan yang kulakukan dengannya bukanlah sekadar halusinasiku semata, 'kan? Pemikiran seperti itu tiba-tiba terlintas di benakku.

"Shounen, apa kamu tahu alasan manusia terlahir ke dunia ini?"

Apa maksud dari pertanyaan tiba-tiba ini? Mana mungkin aku tahu!

"Jawabannya sederhana. Manusia terlahir di dunia ini untuk cinta dan revolusi."

Tiba-tiba angin berhembus melewati kami, mengibaskan rambut panjang milik Senpai. Aku hampir terjatuh meski hanya merasakan hembusan ringan pada bahuku. Kenapa ia mengatakan semua ini? Apa aku salah paham mengenai arti dari kehidupan? Sejenak, pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benakku.

"Lev Trotsky .... Kamu mungkin tidak mengenalnya, 'kan?"

Aku sudah kehabisan tenaga menggelengkan kepala.

"Ia adalah revolusionis kedua sebelum yang terakhir! Ia kabur ke Meksiko setelah kalah dari koleganya, Joseph Stalin, di kancah persaingan politik. Ia mati sebelum menyaksikan awal dari revolusi dunia. Meski begitu, ketidakberuntungannya itu bukanlah karena tidak ada Stalin di sisinya ....."

Tanpa kusadari, senpai pun mengambil bas dari tanganku dan mencolokkan kabelnya ke amplifier.

"Ketidakberuntungannya itu karena Paul McCartney tidak di sisinya. Revolusionis terakhir, John Lennon — ia sangat beruntung memiliki Paul McCartney di sisinya."

Senpai menahan emosinya yang meluap-luap dan mulai memetik senar-senar bassku dengan kukunya. Serangkaian nada kuat dan tidak sesuai terdengar keras dari amplifier yang merangsang pendengaranku. Aku sama sekali tidak bisa mengerti — bagaimana bisa senar bas setebal itu bisa menciptakan suara bernada tinggi? ia memainkan prelude lagu The Beatles yang berjudul <Revolution>. Itu adalah lagu revolusi yang ditulis oleh John Lennon, dan itu adalah lagu yang sering disalahartikan.

"Karenanya, cinta, revolusi, dan musik adalah hal yang tidak terpisahkan dari hidupku. Kekuatan untuk mendorong ke revolusi tanpa akhir; kekuatan untuk menemukan Paul yang hanya ada untukku; dan kekuatan untuk mengubah pemikiran-pemikiran ini menjadi lagu yang aku nyanyikan — tidak ada perbedaan di antara ketiganya. Shounen, apa kamu puas dengan jawaban yang kuberikan?"

Apa jawaban tadi benar-benar ditujukkan untuk pertanyaanku ...?

"Ah, aku benar-benar tidak paham maksud perkataan Senpai."

Saat aku hampir mengutarakan pemikiranku lebih lanjut, senpai bergumam, "Ya ampun," sambil mengernyitkan alis dan menggelengkan kepalanya. Lalu ia kembali bicara, " Apa boleh buat. Untuk mudahnya agar kamu bisa paham, ini seperti, Terlepas dari soal mengumpulkan gadis-gadis manis, aku sebenarnya memang serius membentuk sebuah band."

"Kalau begitu, jelaskan saja seperti tadi dari awal!" Sarung bas itu kubanting kembali.

"Terasa lebih baik jika lebih puitis."

"Senpai selalu menganggap orang lain itu bodoh, 'kan? Dan berhentilah memasang wajah angkuh itu — aku tidak sedang memuji."

"Shounen, reaksimu cukup menarik. Sini, sini."

Senpai tersenyum malu-malu. Sini? Tidak sopan sekali!

"Baiklah, ayo kita mulai memodifikasi basmu. Aku sedikit kesusahan dengan kelihaianmu mengalihkan pembahasan."

Aku? Jadi ini salahku? Saat aku hendak akan membantah, senpai tiba-tiba mengembalikan bas itu padaku.

"Kita harus menciptakan bunyi yang sesuai sebelum kamu mulai berlatih. Lihat, aku sudah membawa berbagai macam pick up[1] di sini. Kamu sudah menyiapkan peralatanmu, 'kan?”

Senpai mengeluarkan beberapa suku cadang gitar dari tasnya. Pick up adalah suatu alat yang menangkap getaran dari senar. Dengan mengganti bagian ini, akan terjadi perubahan besar pada nada yang dikeluarkan alat musik. Modifikasi lainnya termasuk mengganti kabel bagian dalam dan semacamnya. Kasus yang paling ekstrim adalah membuat beberapa lubang pada gitar itu sendiri.

"... jadi, kita akan memodifikasi bas ini sekarang juga?"

"Bass Aria Pro II milikmu itu termasuk murah, tapi aku memilihnya secara khusus dengan mempertimbangkan timbre dari Stratocaster milik Ebisawa Mafuyu. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Bas ini tidak bisa mengeluarkan nada yang menyajikan respon sempurna terhadap gitar miliknya."

Senpai menunjuk ke bawah pagar pengaman. Serangkaian petikan cepat dan mengagumkan dari gitar yang dimainkan Mafuyu terdengar dari arah itu. Aku pun mengerti, jadi itulah alasan senpai memanggilku ke atap?

Aku dan senpai berulang kali mempertimbangkan bagaimana memodifikasi bas itu. Ini terasa begitu menarik, karena kebetulan aku juga cukup ahli dalam hal ini.

"... suara dari basmu sudah bisa disetarakan dengan bas milik Greg Lake."

Setelah dua jam, sembari memuji, Kagurazaka-senpai mengambil bas yang telah selesai itu di antara tumpukan serutan kayu, serpihan logam serta bagian-bagian dari potongan senar. Aku jadi sedikit tersipu karenanya.

"Kenapa kamu tidak mengutak-atik Les Paul milikku juga? Aku ingin membuat nadanya sedikit lebih berwarna."

"Tidak, aku tidak punya keberanian mengutak-atik gitar semahal itu."

Senpai cuma tertawa lalu mulai membereskan peralatan dan sampah-sampah yang ada.

"Usahakan sesering mungkin untuk menyambungkan basmu ke amplifier saat kamu sedang berlatih, sehingga tubuhmu bisa merasakan suaranya dan mengingatnya sewaktu bermain di pertunjukkan yang sesungguhnya nanti."

Aku menggangguk, dan sekali lagi mencolokkan bass ku ke amplifier mini. Kejernihan suara bas ini benar-benar berbeda dengan saat pertama kali aku membelinya. Ini dimodifikasi sedemikian rupa agar dapat menandingi kejernihan timbre gitar Mafuyu yang dimainkan dengan ketepatan menakjubkan. Kalau pun ditanya, aku cukup percaya diri dengan hasil modifikasiku.

Sejak saat senpai yang secara tidak masuk akal memaksaku membeli bas ini, aku tidak sungguh merasa kalau alat musik ini adalah milikku. Akan tetapi, bas ini kini terasa seperti bas yang telah berlumuran keringat kerja kerasku selama sepuluh tahun — aku bisa menggunakannya dengan nyaman. Ini adalah rekan yang kuciptakan dari awal. Akhirnya aku pun bisa mulai berlatih.

"Tentu saja aku tidak akan membuatmu berlatih hal-hal dasar berulang kali. Itu tidak perlu, karena kamu bisa berlatih sendiri di rumah. Mungkin ini sedikit mendadak, tapi sekarang aku ingin kamu memainkan sebuah lagu untukku.”

Senpai meletakkan sebuah lembar partitur yang ditulis tangan tepat di depanku.

"kamu tahu lagu ini?"

Aku mengangguk. Tidak ada judul di partitur itu, tapi aku langsung tahu setelah melihatnya sekilas.

"Aku tidak akan membantah kalau melodi bas memang tidak begitu menarik perhatian. Hampir tidak ada lagu yang dapat dikenali orang-orang hanya dari suara bas saja. Tapi ada satu pengecualian, yaitu lagu ini. Karenanya, kurasa semua pemain bas harus memulai dari lagu ini, dan juga berhenti di lagu ini."

Lagu itu adalah <Stand by Me> karya Ben E. King. *Bum, bum, badabum, bum* .... Seperti itulah ritme basnya — memang benar, hanya dengan dua bait, kita bisa menyimpan nadanya dalam ingatan.

"Kalau begitu sesuaikan ritmemu dengan metronom dan mainkan lagu ini! Terus mainkan sampai malam tiba dan bintang-bintang bermunculan, mengerti?"

Setelah selesai menyanyikan liriknya, senpai melambaikan tangannya sebelum membuka pintu dan pergi. Aku mendesah, duduk di lantai dan mengambil basku.

Meski senpai sudah sering mengejutkanku, tidak sekalipun aku berpikir kalau ia akan membuatku memainkan lagu secepat ini.

Hei! Bukankah harusnya ia ada di sini bersamaku?[2]

Setelah satu jam berlatih, aku merasa ada sesuatu yang janggal. Pada dasarnya, aku tidak tahu perasaan apa ini.

Hingga aku melepaskan jari-jariku dari senar dan menghentikan metronom, aku baru menyadarinya—

Aku tidak lagi mendengar suara gitar Mafuyu. Aku menengadah dan melirik sekilas ke jam di atas tembok pintu masuk — hampir jam enam. Mafuyu biasanya akan terus bermain sampai waktunya gerbang sekolah ditutup, jadi seharusnya ia belum pulang. Mungkin ia pergi ke toilet atau semacamnya?

Kutingkatkan sedikit tempo dari metronomnya dan mulai bermain dari awal lagi. Kali ini, aku menggumamkan liriknya sambil bermain.

Akan tetapi, ritme dari liriknya berbeda dengan ritme bas, sehingga membuatku kesulitan memainkannya. Jari-jariku sekali lagi berhenti bermain karena perasaan janggal yang kurasakan sedari tadi.

Pintu atap seharusnya tertutup, namun ternyata kini sedikit terbuka. Kusandarkan basku ke pagar lalu berjalan menuju pintu. Sewaktu membukanya, aku melihat Mafuyu yang ketakutan sedang berdiri di balik pintu. ia mundur selangkah, tapi langkahnya meleset dan hampir saja jatuh dari anak tangga di belakangnya. Saat tangannya bergerak liar di udara, segera kuraih lengannya dan menariknya ke atas.

"... Kamu sedang apa di sini?"

Setelah dengan susah payah menegakkan dirinya, Mafuyu menyingkirkan tanganku dari lengannya. Ia segera memalingkan wajahnya lalu menjawab,

"Kedengarannya berisik sekali di atas sini."

Kulirik bas di belakangku dengan sedikit terkejut. Ia bisa mendengarnya? Tapi aku tadi tidak membuat suara seberisik itu.

"Kenapa kamu berlatih di tempat seperti ini?" Mafuyu menatap tajam ke arahku. Ia sepertinya agak tidak senang.

"Bukankah aku sudah mengajarimu cara membuat ruangan itu kedap suara dengan handuk?"

"Kalau aku melakukannya, aku tidak bisa cepat-cepat kabur kalau sesuatu muncul di ruangan itu.”

Sesuatu yang muncul di ruangan itu apa?

"Itu ..., saat sesuatu itu ... muncul di ruangan ... atau semacamnya."

Mafuyu menundukkan kepalanya sambil mengucapkan hal yang ambigu.

"Oh, maksudmu seperti kelabang atau kecoak?"

"Wa! Wa!" Mafuyu menutup kedua telinganya sambil menginjak kakiku beberapa kali. Aduh! Dirinya itu kenapa?!

Ia mengubah situasi ini menjadi sesuatu yang agak konyol, jadi yang bisa kulakukan hanyalah kembali ke basku. Untuk suatu alasan yang tidak kuketahui, Mafuyu mengikutiku.

"Eh ... Ada apa lagi?"

"Nadanya sumbang."

Mafuyu menggembungkan pipinya dan menunjuk basku dengan sedikit kesal.

"Eh?"

"Senar ketiga terlalu datar. Rasanya sangat tidak nyaman saat aku mendengarkannya tadi. Jadi kamu tidak menyadarinya?"

Aku pun mengecek tuner-ku, dan memang sedikit sumbang. Ia bisa mendengarnya dari tiga lantai di bawahku? Sehebat itukah dirinya?

"Pinjam."

Saat aku sedang mencoba memperbaikinya, Mafuyu tiba-tiba merampas bas itu dariku. Ia segera memutar pemutar senarnya beberapa kali untuk memperbaiki nadanya lalu mengembalikannya padaku.

"Terima kasih bantuannya! Aku akan membayarmu sepuluh yen setiap kali kamu melakukannya, jadi mohon bantuannya lagi ke depannya."

"Dasar bodoh."

Aku tiba-tiba teringat sesuatu, dan mulai memainkan <Stand By Me>.

"Apa judul lagu ini? Aku pernah mendengarnya di suatu tempat," tanya Mafuyu. Luar biasa, tepat seperti perkataan Senpai. Untuk seorang gadis yang diasuh di bawah pengaruh musik klasik, ini mungkin satu-satunya lagu yang bisa dikenali Mafuyu hanya dari suara basnya saja.

"Judulnya <Stand By Me>."

"... menceritakan tentang apa?"

"Tentang apa? Eh? Hmm ..., ceritanya tentang seseorang yang berjalan menyusuri rel kereta, kemudian tiba-tiba ia menemukan mayat di sebelah jalur rel itu."

Mafuyu mengerutkan alisnya.

"... apa ini bualanmu lagi?"

"Tidak, aku tidak bohong," walau sebenarnya itu adalah sinopsis dari film dengan judul yang sama dan bukan lirik dari lagu itu.

Tidak lama kemudian, Mafuyu duduk di samping pintu atap sambil mendengarkan teknik basku yang masih kasar. Sebenarnya sampai kapan ia mau berdiri di sana? Sulit bagiku untuk bermain kalau kau ada ia di sini, kuharap ia segera kembali ke tempatnya. Mungkin karena Mafuyu mengamati permainanku, aku jadi salah memainkan nada beberapa kali.

"Apa kamu senang?"

Tiba-tiba Mafuyu menggumamkan pertanyaan itu. Aku berhenti bermain dan menengadah ke atas.

"... apa kamu senang saat memainkan bas?"

Aku tidak paham bagaimana menjawab pertanyaan mendadak darinya itu.

"Hmm, lumayan. Cukup menyenangkan bisa sedikit demi sedikit memainkan lagu yang kusuka."

"Begitukah?"

Mafuyu tidak terlihat tertarik sedikit pun. Yang dilakukannya hanya mengamati lantai.

Kutanyakan pertanyaan yang sama padanya, "Apa kamu tidak senang saat memainkan gitar?"

"Tidak sama sekali."

"Kalau tidak senang, kenapa kamu tidak berhenti saja?"

"Kenapa kamu tidak mati saja?"

Aku menggenggam leher basku kuat-kuat lalu menarik napas dalam-dalam. Baiklah, tidak apa-apa, jangan marah. Tidak akan ada habisnya kalau aku terus-terusan menganggap serius kata-katanya. Aku harus bersikap lebih dewasa.

"Kalau memang tidak senang, kenapa setiap hari kamu terus menutup dirimu di ruang latihan untuk bermain gitar? Pulang dan mainkan saja pianomu itu!"

"Bukan urusanmu."

Tentu saja itu urusanku! Ia sudah mengambil paksa tempat istirahatku. Iya, 'kan?

"Kalau begitu ..., bisakah untuk tidak menggemboknya? Di hari Jumat, seusai sekolah kamu langsung pulang ke rumah, 'kan? Bisakah di hari itu saja kamu membiarkanku menggunakan ruang latihan?"

"Tahu dari mana kalau hari Jumat aku langsung pulang ke rumah? Dasar maniak!"

Ini tidak ada hubungannya dengan maniak atau bukannya diriku. Hal tadi bisa dengan mudah kulihat dengan kedua mataku ini.

"Tidak! Jangan dekat-dekat denganku!"

Percakapan kami pun berakhir seperti itu.

Aku terus berlatih dengan tenang, tapi Mafuyu tidak terlihat berniat akan pergi. Ia berjalan mondar-mandir di sekitar pintu, ragu-ragu apakah sebaiknya kembali ke bawah atau tidak. Dirinya itu sedang apa?

"—Hime-sama?"

Mafuyu terkejut dan berbalik ke arahku.

"Apa kamu juga memangilku seperti itu?"

"Terus aku harus memanggilmu seperti apa? Ebisawa?"

Tatapannya tajam ke arahku.

"Mafuyu?"

Kali ini ia menundukkan pandangannya ke bawah lalu mengangguk sambil sedikit menggigit bibirnya. Jadi dia bisa menerimanya kalau aku memanggil dengan nama depannya? Tapi sulit bagiku memanggilnya seperti itu!

"Katakan saja kalau ada yang mau kamu katakan. Kemarin aku sudah bilang begitu, 'kan?"

"Kenapa sikapmu sok hebat begitu?"

Apa hak dirinya berkata seperti itu padaku? Akan tetapi, saat aku bermaksud menatap balik padanya, Mafuyu mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Seolah ia ingin mengatakan sesuatu yang canggung — ia bergumam pelan,

"... ada sesuatu yang bergerak-gerak di belakang kabinet dan berdengung."

Eh? Oh ..., jadi itu alasannya datang kemari?

"Kamu punya pembasmi serangga, 'kan?"

"Aku sudah menyemprotkannya ke seluruh ruangan sebelum cepat-cepat kabur ke sini."

Ya ampun, bukan begitu cara menggunakan pembasmi serangga! Itu bukan jenis boron yang digunakan untuk mengasapi serangga sampai mati.

"Tidak ada gunanya kalau kamu tidak menyemprotkan langsung ke serangganya!"

"Kamu menyuruhku melakukan hal seperti itu?"

Mafuyu mengatakannya sambil menggertakkan giginya dengan air mata di sudut matanya. Tubuhnya tampak sedikit gemetaran. Apa begini caranya minta tolong pada orang lain? Meski begitu, kalau kubiarkan, Mafuyu tidak akan pernah menggunakan ruangan itu lagi, yang berarti kemenangan ada di tanganku?

"Kalau kamu tidak ingin melakukannya, bagaimana kalau kembalikan saja ruangan itu padaku layaknya seorang wanita dewasa?"

"Dasar berengsek!" ucap Mafuyu padaku sambil menahan air mata, "Baiklah, biar kulakukan sendiri."

Mafuyu lalu membanting pintu, dan dari langkah-langkah kakinya terdengar seperti menuruni tangga. Silakan dan berusahalah semampunya!

Aku pun lanjut memainkan <Stand by Me>.

Meski begitu, aku agak penasaran bagaimana hasilnya, jadi aku mengintip dari sela-sela pagar ram.

Mafuyu berdiri di luar ruang latihan dengan kaku, tangan kirinya mengepal. Setelah menatap gagang pintu selama beberapa saat, ia pun meraihnya, namun segera berhenti, seolah tenaga dalam dirinya habis tersedot. Ia berdiri di sana tanpa bergerak, dan punggungnya gemetaran tiada henti. Karena ia terlihat sangat menderita, kumatikan amplifier, meletakkan basku lalu berdiri.

Ternyata suara berdengung itu bukan disebabkan oleh serangga. Setelah melewati anak tangga yang menuju lapangan, aku pun masuk ke ruang latihan. kucoba menggoyangkan kabinetnya dan sesuatu yang tersangkut di belakangnya tiba-tiba jatuh dengan suara *pak*. Ternyata itu adalah sampul depan dari album pertama Iron Maiden. Suara berdengung itu mungkin suara gemerisik dari halaman sampul depan tersebut yang disebabkan oleh resonansi gitar Mafuyu.

Sebenarnya aku sempat berpikir akan kehilangan sampul depan itu untuk selama-lamanya. Itu sebabnya aku sangat senang saat mendapatkannya kembali. Dengan senangnya, kutunjukkan sampul itu ke Mafuyu yang di dalamnya ada gambar zombie mengerikan — dan jelas saja, ia pun menyemprotkan pembasmi serangga tadi ke wajahku sambil berteriak dan menangis.



Catatan Penerjemah[edit]

  1. Pick up, adalah perangkat yang berfungsi sebagai transduser yang menangkap getaran mekanik dari senar dan mengubahnya menjadi sinyal listrik yang kemudian diteruskan ke pengeras suara.
  2. Ucapan Kagurazaka-senpai dan monolog Nao yang bersahutan ini adalah bagian dari lirik <Stand By Me>
Mundur ke Bab 7 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 9