Difference between revisions of "Fate/Zero:Prologue 1~ Indonesian Version"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
(ganti mari jadi biarkan, let's disini kalo diterjemahin kayaknya kurang pas klo pake mari)
Line 1: Line 1:
 
[[Image:Fate_Zero_Prologue.jpg|200px|thumb|Prologue]]
 
[[Image:Fate_Zero_Prologue.jpg|200px|thumb|Prologue]]
 
===8 tahun yang lalu===
 
===8 tahun yang lalu===
Mari kita ceritakan sebuah cerita.
+
Biarkan kami ceritakan sebuah cerita.
   
 
Sebuah cerita tentang seorang pria, yang memegang teguh jalan hidupnya lebih daripada orang lain, dan disudutkan ke dalam keputusasaan oleh mimpinya.
 
Sebuah cerita tentang seorang pria, yang memegang teguh jalan hidupnya lebih daripada orang lain, dan disudutkan ke dalam keputusasaan oleh mimpinya.

Revision as of 01:17, 2 July 2011

Prologue

8 tahun yang lalu

Biarkan kami ceritakan sebuah cerita.

Sebuah cerita tentang seorang pria, yang memegang teguh jalan hidupnya lebih daripada orang lain, dan disudutkan ke dalam keputusasaan oleh mimpinya.

Impian pria itu sangat murni.

Dia bermimpi agar semua orang di dunia ini bahagia; hanya itu yang dia inginkan.

Itu adalah impian kekanak-kanakan yang dimiliki semua anak laki-laki paling tidak sekali, sesuatu yang mereka tinggalkan saat mereka menyadari betapa kejamnya realita dunia.

Setiap kebahagiaan memerlukan pengorbanan, pengertian tersebut adalah sesuatu yang semua anak belajar saat mereka tumbuh dewasa.

Tetapi, pria ini berbeda.

Mungkin karena dia adalah yang paling bodoh diantara yang lainya. Mungkin ada sesuatu yang aneh dengan kepalanya. Atau mungkin, dia adalah seseorang yang bisa kita sebut 'Santa', yang memikul kehendak Tuhan. Sesuatu yang tidak mungkin dimengerti oleh orang biasa.

Dia menyadari bahwa semua yang hidup di dunia ini, hanya memiliki dua alternatif: pengorbanan, atau keselamatan...

Setelah mengetahui hal itu, dia tidak akan mungkin lagi mengosongkan kedua piringan di timbanganya...

Sejak saat itu, dia meneguhkan hatinya untuk mejadi seseorang yang mengatur timbangan tersebut.

Demi melenyapkan kesedihan di dunia ini, tidak ada lagi cara yang lebih baik.

Demi menyelamatkan walaupun hanya satu orang, dia harus membunuh satu orang di sisi yang lain.

Untuk membiarkan sejumlah mayoritas hidup, dia harus membunuh sejumlah minoritas.

Oleh karena itu, bukannya menyelamatkan orang demi menolong orang lain, dia menyempurnakan diri dalam seni membunuh.

Lagi dan lagi, dia membasahi kedua tangannya dengan darah, tetapi pria itu tidak pernah ragu.

Tidak pernah mempertanyakan kebenaran dalam tindakanya, maupun meragukan cita-citanya, dia memaksa dirinya untuk mengatur kedua sisi timbangannya dengan sempurna.

Tidak pernah salah menimbang sebuah nyawa.

Tanpa mempertimbangkan kebaikan seseorang, tidak juga dengan umurnya, semua nyawa diukur sama rata.

Tanpa diskriminasi, pria itu menyelamatkan orang, dan juga tanpa diskriminasi, dia membunuh.

Tapi sayang, dia terlambat menyadarinya.

Untuk menimbang segalanya dengan sama rata, itu sama saja dengan tidak pernah mencintai seseorang.

Kalau saja dia lebih cepat mengukir hukum yang mutlak itu kedalam jiwanya lebih awal, dia mungkin dapat mendapatkan keselamatan.

Membekukan hatinya sampai mati, membentuk tubuhnya menjadi timbangan mesin yang tidak memiliki darah maupun air mata, dia menjalankan hidup memisah-misahkan mereka yang harus mati, dan mereka yang akan hidup. Mungkin tidak ada penderitaan untuk pria itu. Tetapi pria itu salah.

Senyuman penuh kebahagiaan siapapun mengisi dadanya dengan kebanggaan, dan teriakan keputusasaan siapapun merobek hatinya.

Kemarahan bercampur dengan kebencian, dan pria itu menjadi penuh dengan penyesalan saat air mata kesendirian merindukan tangan-tangan terjulur kepadanya. Walaupun dia mengejar mimpi yang melampaui kemampuan manusia - Dia, sendiri, masih manusia.

Berapa kali banyaknya pria itu dihukum oleh kontradiksi ini?

Dia mengenal arti persahabatan. Dia mengenal arti cinta.

Tapi saat menaruh nyawa seseorang yang ia cintai, dan ribuan orang asing, ke kiri dan kanan timbangan-

Dia tidak pernah membuat kesalahan.

Lebih dari mencintai seseorang, untuk menimbang nyawa orang (yang dikasihi) itu sama dengan yang lainnya, dia harus menilainya tanpa pilih kasih, dan tanpa pilih kasih merelakannya.

Bahkan saat bersama orang-orang yang disayanginya, dia selalu kelihatan seperti menangis.

Dan sekarang, pria itu sedang dijatuhi hukuman yang terberat.

Di luar jendela, badai salju telah membekukan segalanya. Malam musim dingin tersebut telah membekukan seluruh hutan.

Ruangan itu berada di dalam sebuah kastil kuno dibangun diatas tanah yang beku, tetapi ruangan itu diselimuti oleh hangatnya api lembut yang menyala di perapian.

Di dalam kehangatan ruangan tersebut, pria itu menggendong kehidupan baru di rangkulannya.

Sesuatu yang sangat kecil- sebuah tubuh yang sangat kecilnya, ia kelihatan bisa lenyap seketika, dan tidak ada berat yang bisa menyatakan bahwa dia telah siap.

Bahkan gerakan yang paling lembut bisa berbahaya, seperti halnya salju yang diambil dengan tangan, dapat hancur bahkan dengan sedikit hentakan.

Di dalam kerapuhan itu, sang anak melindungi temperatur tubuhnya dengan tertidur, bernafas dengan lembutnya. Itu adalah semua yang dapat dilakukan detakan di dalam dadanya saat itu.

"Jangan khawatir, dia hanya tertidur."

Saat pria itu mengangkat bayi itu di rangkulannya, sang ibu, membaringkan tubuhnya di atas sofa, tersenyum kepada mereka.

Dari mukanya yang masih pucat, bayi itu belum pulih sepenuhnya, meskipun demikian, wajah cantiknya yang mirip dengan permata tidak bberkurang kecantikannya.

Lebih daripada semua itu, kebahagiaan yang mengisi senyumnya menghapus kelelahan yang seharusnya menodai wajah lembutnya.

"Dia selalu menangis dan susah ditenangkan, bahkan dengan kepada perawat yang seharusnya dia sudah biasa. Ini pertama kalinya dia membiarkan dirinya digendong dengan tenang... Dia mengerti, ya kan? Kalau kau itu adalah orang yang baik"

"..."

Tanpa menjawab, kebingungan, pria itu membandingkan sang ibu diatas ranjang dengan bayi di dalam gendongannya. Apakah senyum Irisviel pernah terlihat seindah itu?

Dia pada awalnya adalah seorang wanita tanpa kebahagiaan. Tidak ada seorang pun yang pernah mengajarkan arti kata “bahagia” padanya. Dia bukanlah ciptaan Tuhan, dia diciptakan oleh tangan manusia... Sebagai sebuah homunculus, perlakuan seperti itu sudah biasa bagi wanita itu. Irisviel tidak pernah punya mimpi. Diciptakan sebagai alat, dibesarkan sebagai alat, mungkin memang dari awal dia tidak pernah mengerti arti kebahagiaan.

Tapi sekarang- dia tersenyum.

"Aku bahagia bisa memiliki bayi ini."

Dengan lembutnya sambil menunjukkan cintanya, Irisviel von Einsbern berkata, dan menjaga anaknya yang tertidur.

"Mulai saat ini, yang pertama dan terpenting, dia adalah imitasi manusia. Ini pasti akan sulit, dan dia mungkin akan membenci ibunya yang telah memberikannya hidup penuh kesukaran. Tapi, walaupun begitu, aku bahagia. Anak ini sangat cantik; dia sempurna."

Penampilannya memang tidak ada yang aneh, dan, kalau dilihat, dia adalah bayi yang manis, tapi-

Saat masih berada di dalam kandungan ibunya, ratusan praktik magis telah dilakukan pada bayi yang belum lahir itu untuk merubahnya supaya, bahkan lebih dari ibunya, ia berbeda dari manusia. Walaupun dia lahir, kegunaanya dibatasi, supaya ia memiliki tubuh yang hanya terdiri dari kumpulan ratusan sirkuit magis. Ini adalah wujud sesungguhnya anak Irisviel yang sangat dicintainya.

Walaupun mengalami kelahiran yang kejam tersebut, Irisviel tetap berkata, "Aku baik-baik saja." Melahirkan sesuatu yang terkutuk, terlahir sebagai yang terkutuk, dia tetap mencintai anaknya, bangga akannya, dan tersenyum.

Alasan di balik kekuatan ini, keteguhan hatinya itu, adalah karena dia, tanpa ada keraguan, seorang "Ibu".

Gadis yang seharusnya hanya sebuah alat saja menemukan cinta dan menjadi wanita, dan menemukan kekuatan yang tidak akan hancur sebagai seorang ibu. Itu adalah sebuah wajah "kebahagiaan" yang tidak seorang pun dapat merebutnya. Saat itu, kamar sang ibu dan anaknya yang dilindungi oleh kehangatan perapian terbebas dari keputusassan dan kesedihan.

Tetapi- pria itu tahu. Kalau dunia yang ia hidup di dalamnya, badai salju di luar jendela adalah yang paling tepat.

"Iri, aku-"

Mengeluarkan satu kata itu, dada pria itu seperti ditusuk oleh sebilah pisau. Pisau itu adalah wajah damai sang bayi yang tertidur dan senyum indah sang ibu.

"Aku adalah orang yang, suatu hari, akan membunuhmu."

Saat dia merasa akan muntah darah, Irisviel mengangguk dengan wajah tenang untuk membalas perkataanya.

"Aku mengerti. Tentu saja. Itu adalah mimpi Einsberns. Itu adalah kegunaanku."

Itu adalah masa depan yang sudah ditetapkan.

Enam tahun telah berlalu, sejak pria itu membawa istrinya ke tempat kematiannya. Sebagai korban yang akan menyelamatkan dunia, Irisviel harus mati supaya ia menggapai mimpinya.

Itu adalah sesuatu yang telah didiskusikan berkali-kali oleh keduanya,sesuatu yang mereka telah setujui. Pria itu telah menangis dan berteriak putus asa atas keputusan itu, mengutuk dirinya, dan setiap kali, Irisviel memaafkan dia, dan menopang dia.

"Aku tahu tentang mimpimu, aku percaya pada doa-doamu; itulah mengapa aku ada disini. Kau telah menuntunku kemari. Kau telah memberikan aku hidup yang bukan sebagai alat untuk dipakai saja.”

Untuk impian yang sama, wanita itu mengorbankan dirinya. Dia telah menjadi bagian dari pria itu karenanya. Itu adalah wujud cinta wanita bernama Irisviel. Karena itu adalah wanita itu, pria itu sanggup mengijinkannya.

“Kau tidak perlu menangisi aku. Aku telah menjadi bagian dari kamu. Menahan dalam kesengsaraanmu karena perpisahan sudah cukup.”

“… Bagaimana dengan anak ini?”

Tubuh bayi itu sangat ringan seperti bulu burung, tetapi berat seperti dari dimensi lain membuat lutut pria itu gemetar.

Dia belum bisa mengerti, ataupun siap, untuk sesuatu yang harus dia lakukan saat menaruh bayi itu diatas timbangan yang dia bawa karena mimpinya.

Tidak pernah menghakimi ataupun memaafkan, adalah jalan hidup pria itu.

Tetapi, bahkan untuk jiwa yang murni itu, jalan hidupnya adalah kejam.

Tanpa mempertimbangkan kebaikan seseorang, tidak juga dengan umurnya, semua nyawa diukur sama rata-

“Aku… tidak pantas menggendong anak ini.”

Pria itu mengeluarkan suaranya, walaupun kebahagiannya baru saja dihancurkan oleh kegilaannya.

Satu tetes air mata jatuh keatas pipi lembut bayi itu yang sedang ia gendong.

Menangis dalam diam, pria itu jatuh berlutut diatas satu lutut.

Untuk mengalahkan kekejaman dunia ini, dia menjadi seseorang yang lebih kejam… Namun, untuk pria itu yang masih mempunyai orang-orang yang ia cintai, mereka telah dijatuhi hukuman yang paling berat.

Orang-orang yang paling ia cintai di dunia ini.

Meskipun harus menghancurkan dunia ini, dia mau melindungi mereka.

Tapi, pria itu mengerti. Suatu hari akan tiba dimana mimpi yang ia kejar meminta mereka sebagai tumbal- keputusan seperti apa pria seperti Emiya Kiritsugu akan lakukan?

Kiritsugu menangis, ketakutan kalau hari itu akan datang, takut akan kemungkinan satu-banding-seribu itu.

Pria itu memeluk dirinya dengan erat. Irisviel bangkit dari tempat tidur dan menaruh tanganya dengan lembut ke atas pundak suaminya yang sedang menangis.

“Jangan lupa. Bukankah ini mimpimu? Sebuah dunia dimana tidak seorang pun menangis seperti ini. Delapan tahun lagi… Dan semuanya akan berakhir. Kita akan menyelesaikan mimpi ini. Aku yakin cawan suci itu akan menyelamatkanmu.”

Istrinya, mengerti sepenuhnya tentang penderitaanya, menghapus air mata Kiritsugu dengan lembut.

“Setelah hari itu tiba, kau harus menggendong anak ini, Ilyasviel, lagi. Busungkan dadamu seperti layaknya seorang ayah.”



Back to Color Illustrations Return to Main Page Forward to Prologue: 3 tahun yang lalu