Difference between revisions of "Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 3"
Gwilthyunman (talk | contribs) m |
Cucundoweh (talk | contribs) |
||
Line 1: | Line 1: | ||
+ | <div align=justify><span style="font-family: Maiandra GD; font-size:110%"> |
||
− | ===Kebohongan, Bento, Partita=== |
||
+ | == '''Kebohongan, Bento, Partita''' == |
||
− | Di pagi hari saat homeroom, saat wali kelas kami – yang dijuluki pensiunan (karena dia terlihat seperti Mito Koumon) - membawa seorang gadis ke ruang kelas, suasana di kelas membeku dalam sekejap. Aku tidak menyadari perubahan suasana karena mengantuk sambil mendengarkan discman-ku. |
||
− | Hanya waktu Chiaki, yang duduk di depanku, membalikkan badan dan mendorong pundakku, aku dengan cepat melepas earphone-ku. Tidak peduli apakah ada homeroom atau tidak, ruang kelas ini selalu dipenuhi percakapan di pagi hari. Akan tetapi, aku hanya bisa mendengar beberapa teman sekelasku yang berbisik pada waktu itu. |
||
+ | Di pagi hari, sewaktu sesi bimbingan kelas, ketika wali kelas kami – yang dijuluki Go-Inkyo<ref>ご隠居 (ごいんきょ). Sebutan bagi orang yang telah pensiun dalam masa kerja. Namun terkadang sebutan tersebut bisa disematkan untuk orang yang ditetuakan, biasanya dalam suatu instansi.</ref> (karena beliau terlihat seperti Mito Koumon)<ref>[http://en.wikipedia.org/wiki/Mito_K%C5%8Dmon Mito Koumon] adalah serial drama dari Jepang yang berkisah seputar sosok kehidupan Mito Mitsukuni, mantan wakil shogun dan daimyo kedua wilayah Mito. Dalam serial tersebut Mitsukuni menyamar sebagai seorang pensiunan pedagang jajanan, dengan memakai nama Mitsuemon.</ref> – membawa serta seorang gadis masuk ke dalam kelas, seketika itu juga suasana kelas langsung membeku. Aku tak menyadari perubahan suasana yang terjadi, karena saat itu aku merasa mengantuk sembari mendengarkan ''discman''-ku. |
||
− | “Hey, apa dia......” |
||
+ | Baru setelah Chiaki, yang duduk di depanku, berbalik dan mendorong bahuku, dengan cepat kulepas ''earphone'' yang menempel di telingaku. Tak peduli ada atau tidaknya sesi bimbingan kelas, ruang kelas ini selalu dipenuhi percakapan di tiap paginya. Meski begitu, aku masih bisa mendengar beberapa teman sekelas yang berbisik kala itu. |
||
− | “Yup, sepertinya begitu.” |
||
+ | "Hei, gadis ini ''kan''..." |
||
− | “Ebisawa—“ |
||
+ | "Yak, sepertinya begitu." |
||
− | “Eh~? Benar-benar dia? Bukannya mereka bilang keberadaannya tidak diketahui?” |
||
+ | "Ebisawa—" |
||
− | Aku melihat ke podium pengajar, dan discmanku hampir jatuh ke lantai. Gadis di podium menata rambutnya ke belakang punggungnya. Karena gaya rambut itu sama persis dengan yang ada di iklan, semua langsung mengenalinya. Dia memang Ebisawa Mafuyu. Dia menggenakan seragam sekolah kami, tapi terasa seolah seseorang mengerjai kami. Ada apa ini? Aku tidak mengerti apa yang Pensiunan katakan, dan untuk sesaat aku tidak bisa memahami fakta kalau dia pindah ke sekolah kami. |
||
+ | "Eh~? Serius? Padahal kata orang, keberadaannya kini belum diketahui, 'kan?" |
||
− | “Kita persilahkan Ebisawa memperkenalkan dirinya.” |
||
+ | Pandanganku tertuju ke podium pengajar, dan ''discman''-ku hampir saja jatuh ke lantai. Gadis di podium itu menata rambutnya ke belakang. Karena gaya rambut itu sama persis dengan yang ada di iklan, maka semua orang langsung mengenalinya. Ia memang Ebisawa Mafuyu. Ia mengenakan seragam sekolah kami, tapi itu terasa seolah seseorang telah mengerjai kami. Apa-apaan ini? Aku tak mengerti apa yang Go-Inkyo katakan, dan untuk sesaat aku tak bisa memahami fakta kalau ia pindah ke sekolah kami. |
||
− | Pesiunan mengatakannya dengan santai, dan menyerahkan kapur padanya. Mafuyu memegang kapur itu hanya dengan ibu jari dan telunjuknya. Setelah menatapnya dengan pandangan tidak nyaman dengan wajah memucat, dia berputar untuk menghadap papan tulis. Tepat pada saat itu, kapur yang dipegangnya terselip dari jari-jarinya, dan suara patahan yang mengejutkan memecah keheningan ruang kelas. |
||
+ | "Dipersilakan bagi Ebisawa-san untuk memperkenalkan diri." Kata Go-Inkyo dengan santai sambil menyerahkan sebatang kapur kepada gadis itu. |
||
− | Kesunyian yang lebih senyap mengikutinya. Yang dilakukan Mafuyu hanya menatap membatu pada kapur (yang mungkin hancur). Pensiunan cuma mengelus jenggotnya perlahan, namun bahkan untuk kami para murid baru yang baru masuk selama satu bulan, kami semua tahu kalau gerakan itu menunjukkan kalau guru kami itu tidak yakin apa yang barusan terjadi. |
||
+ | Mafuyu memegang kapur itu dengan ibu jari dan telunjuknya saja. Setelah memandang tak nyaman pada kapur tersebut disertai wajah memucat, ia berputar menghadap papan tulis. saat itu juga, kapur yang dipegangnya terselip dari jari-jarinya, dan suara patahan tiba-tiba memecah keheningan ruang kelas. |
||
− | “Mmm, yah......” Guru kami mengeluarkan suara lemah, dan sesudah mengambil kapur yang pecah menjadi dua, dia memberikannya pada Mafuyu. Akan tetapi, saat Mafuyu mengambil kapur itu, jarinya sudah terlihat jelas gemetaran. |
||
+ | Kesunyian yang lebih senyap mengikuti setelahnya. Yang dilakukan Mafuyu hanyalah terdiam menatap pada kapur (yang mungkin sudah hancur). Go-Inkyo hanya bisa mengelus pelan-pelan jenggot kebanggaannya, sedangkan bagi kami, para murid yang baru masuk sekitar satu bulan, tahu bahwa gelagat sensei yang semacam itu adalah pertanda jika beliau tak percaya dengan apa yang terjadi. |
||
− | Pada akhirnya, Mafuyu menatap ke lantai dan menggelengkan kepalanya. Dia meletakkan kapur di tempat kapur. |
||
+ | "Hmm, yah..." Ujar sensei dengan suara lemah, dan sesudah mengambil kapur yang terpecah jadi dua itu, beliau memberikannya pada Mafuyu. Akan tetapi, saat Mafuyu mengambil kapur tersebut, jari-jarinya jelas tampak gemetaran. |
||
− | “Aku tidak mau menulis namaku.” |
||
+ | Pada akhirnya, Mafuyu menatap ke lantai dan menggelengkan kepalanya. Ia lalu meletakkan kapur itu pada tempatnya. |
||
− | Sesudah dia mengatakan hal itu, terasa seolah udara di dalam kelas dialiri arus listrik. Tunggu sebentar, apa yang sebenarnya gadis itu katakan? |
||
+ | "Saya tak mau menulis nama." |
||
− | “Cuma nama saja tidak apa-apa kan?” Pensiunan berkata. Dia berkata dengan pelan dan menggunakan nada rendah, tapi dia jelas-jelas bingung apa yang harus dia lakukan karena tangannya bergerak-gerak di samping pahanya sendiri. |
||
+ | Setelah ia mengatakan hal tersebut, udara di dalam kelas terasa seolah dialiri arus listrik. Tunggu, apa yang sebenarnya dara muda itu katakan? |
||
− | “Aku tidak mau.” |
||
+ | "Cuma nama saja harusnya tak apa-apa, 'kan?" Kata Go-Inkyo. Beliau berkata dengan nada rendah dan pelan, namun jelas terlihat kebingungan yang beliau tampakkan dari gerakan tangan di sekitar pahanya. |
||
− | “Mmmmm...... Kenapa?” |
||
+ | "Saya tak mau." |
||
− | “Aku tidak suka nama keluargaku.” |
||
+ | "Hmm... kenapa?" |
||
− | Kata-kata Mafuyu memiliki efek mirip dengan menuangkan udara cair pada ruang kelas yang sudah membeku. Aku menyadari ekpresi Mafuyu saat dia menggigit bibir bawahnya. Itu adalah ekspresi yang sama dengan hari itu – di hari dimana kami pertama bertemu, ekspresi yang dimilikinya saat kami berpisah. |
||
+ | "Saya tak suka nama marga saya." |
||
− | Tapi tentu saja, aku tidak mengatakan sepatah kata pun. Yang menjadi pahlawan menyelamatkan hari adalah seorang teman sekelas perempuan yang duduk di depan. |
||
+ | Efek perkataan Mafuyu terasa bagai sedang menuangkan nitrogen cair pada ruang kelas yang sudah membeku. Kusadari pula ekpresi Mafuyu sewaktu ia menggigit bagian bawah bibirnya. Itu adalah ekspresi yang sama seperti yang ditunjukkannya hari itu – hari di mana kami pertama kali bertemu, ekspresi yang ditunjukkannya ketika kami berpisah. |
||
− | “Tidak apa-apa, Pak. Kami semua sudah tahu namanya.” |
||
+ | Tapi tentu saja, aku tak berbicara sepatah kata pun. Yang menjadi penyelamat kala itu adalah anak perempuan yang duduk di kursi depan. |
||
− | “Yeah. Namanya Ebisawa Mafuyu kan?” |
||
+ | "Tak apa-apa, Sensei. Kami semua sudah tahu namanya, kok." |
||
− | “Yup—“ |
||
+ | "Benar. Namanya Ebisawa Mafuyu, 'kan?" |
||
− | Suasana kelas menjadi sangat aneh. Bisik-bisik seperti “Dia pianis itu” dan “Aku pernah melihatnya di iklan”, bergantian satu sama lain. Aku menyadari kaki ramping Mafuyu bergetar sedikit karena reaksi teman sekelas kami. Aku mungkin satu-satunya yang menyadari tanda bahaya. |
||
+ | "Yak—" |
||
− | “Ah, mmm, kalau begitu......” Pensiunan melihat ke arah Mafuyu, dan berkata dengan tenang,”Ebisawa, apa kau punya sesuatu yang ingin kau katakan pada teman-teman sekelasmu?” |
||
+ | Suasana kelas berubah jadi begitu aneh. Bisik-bisik seperti "Ia ''kan'' pianis yang itu..." dan "Aku pernah melihatnya di iklan", saling bersahutan. Kusadari kaki ramping Mafuyu sedikit gemetar akibat reaksi yang ditunjukkan teman sekelas kami. Mungkin aku satu-satunya orang yang menyadari tanda bahaya itu. |
||
− | Seorang gadis tiba-tiba mengangkat tangannya dan bertanya,”Boleh aku tahu kapan kamu akan mengeluarkan album berikutnya?” |
||
+ | "Ah, hmm, kalau begitu..." Go-Inkyo melihat ke arah Mafuyu, dan berkata dengan tenang. "Ebisawa-san, apa ada yang ingin kausampaikan pada teman-teman sekelasmu?" |
||
− | Aku tidak begitu ingat namanya, tapi aku ingat kalau gadis itu memang banyak bicara. Pertanyaan itu adalah ujung tombak dari rentetan pertanyaan berikutnya. |
||
+ | Seorang gadis tiba-tiba mengangkat tangannya dan bertanya. "Boleh tahu kapan kau akan mengeluarkan album berikutnya?" |
||
− | “Bukankan kau bilang kau akan belajar di Universitas Musik?” |
||
+ | Aku tak begitu ingat namanya, tapi aku ingat kalau gadis itu memang banyak bicara. Pertanyaan itu adalah ujung tombak dari rentetan pertanyaan berikutnya. |
||
− | “Tidak ada iklan baru tentangmu. Kenapa begitu?” |
||
+ | "Bukankah kau pernah bilang akan belajar ke Sekolah Musik?" |
||
− | Beberapa anak laki-laki yang masih bingung tentang situasi ini bertanya, |
||
+ | "Tak ada lagi iklan baru yang menyertakanmu. Kenapa begitu?" |
||
− | “Iklan apa?” “Itu lho iklan asuransi. Maksudmu kamu gak tahu?” “Ah, iklan itu. Aku tahu.” Hmmm? Benarkah?” Ruang kelas tiba-tiba berubah menjadi ribut. |
||
+ | Beberapa anak laki-laki yang masih bingung tentang situasi ini bertanya. "Iklan apa?" "Itu ''lho'' iklan asuransi. Masa enggak tahu?" "Oh, iklan itu. Aku tahu." "Hmmm? Yang benar?" Suasana ruang kelas tiba-tiba menjadi ramai. |
||
− | Mafuyu menatap langit-langit dengan pandangan tegang, dan saat itulah dia tiba-tiba berkata dengan suara tajam, nyaring, |
||
+ | Mafuyu menatap langit-langit dengan pandangan tegang, dan saat itulah ia tiba-tiba berkata dengan suara nyaring dan melengking. |
||
− | “Tolong lupakan semuanya.” |
||
+ | "Tolong lupakan semuanya." |
||
− | Kesunyian yang meliputi ruang kelas seperti permukaan danau yang membeku. |
||
+ | Kesunyian yang meliputi ruang kelas tampak bagai permukaan danau yang membeku. |
||
− | Suara tegang Mafuyu terus bergema di ruang kelas – seperti waktu itu. |
||
+ | Suara tegang Mafuyu terus bergema di ruang kelas – sama seperti waktu itu. |
||
− | “...... Aku akan menghilang di bulan Juni, jadi tolong lupakan aku.” |
||
+ | "...aku akan menghilang di bulan Juni, jadi kumohon, lupakan saja aku." |
||
− | Tidak satupun berkata-kata setelah mendengar Mafuyu mengatakan hal itu, tidak pula mereka tahu apa yang harus mereka katakan. Hal yang menyelamatkan kami dari ketidaktahuan ini, adalah bell yang menandakan akhir homeroom. |
||
+ | Tak seorang pun berbicara setelah mendengar Mafuyu berkata begitu, dan tak seorang pun tahu harus seperti apa lagi berkata-kata. Hal yang menyelamatkan kami dari ketidaktahuan ini adalah, bunyi bel yang menandakan akhir sesi bimbingan kelas. |
||
− | “Ah, be-begitukah? Kalau begitu...... Mafuyu, tolong duduk di kursi yang ada di sana.” |
||
+ | "Ah, be-begitukah? Kalau begitu... Ebisawa-san, silakan duduk di kursi yang ada di sana." |
||
− | Pensiunan menunjuk ke belakang kelas. Saat aku tersadar, aku menyadari kalau ada satu kursi kosong di samping kiriku. |
||
+ | Go-Inkyo menunjuk ke belakang kelas. Saat aku tersadar, kusadari kalau ternyata ada satu kursi kosong di samping kiriku. |
||
− | “Ketua kelas ini adalah Terada, jadi silahkan bertanya padanya apa yang kamu belum pahami.” |
||
+ | "Di sini yang menjabat ketua kelas adalah Terada-san, jadi silakan bertanya padanya apa yang belum kaupahami." |
||
− | Terada adalah teman sekelas yang pertama menanyakan pertanyaan pada Mafuyu. Pensiunan lalu menjepit daftar hadir dan catatan pelajaran yang sudah terbendel di bawah lengannya, dan dengan cepat berjalan keluar kelas. |
||
+ | Terada-san adalah anak yang pertama kali bertanya pada Mafuyu. Go-Inkyo lalu menjepit daftar hadir dan catatan pelajaran yang sudah terbundel di bawah lengannya, dan dengan cepat berjalan keluar dari kelas. |
||
− | Mafuyu menahan nafas, dan mengatur pernafasannya sedikit. Dia lalu meneliti ruang kelas sekali dengan pandangan tidak ramah dan waspada, sebelum melangkah turun dari podium pengajar tanpa suara. Ruang kelas sunyi senyap. Semuanya menatap pada setiap gerakannya saat dia berjalan di antara deretan meja dan tempat duduk. Mungkinkah Mafuyu akan menghilang dalam sekejap kalau pandangan kami berhenti sebentar saja? Gak, itu kedengarannya sangat bodoh – gak mungkin, tapi aku tetap mengikuti mereka pada akhirnya. Mungkin karena semua tatapan itu, tapi Mafuyu dengan sengaja meutupi wajahnya saat dia melewati kursiku. Suara langkah kaki yang tiba-tiba berhenti di sampingku— |
||
+ | Mafuyu lalu meneguk air liurnya dan sedikit mengatur pernapasan. Sesekali ia meneliti ruang kelas dengan pandangan tak ramah dan penuh waspada, sebelum melangkah turun dari podium pengajar tanpa bersuara. Ruang kelas pun sunyi senyap. Semuanya menatap pada setiap gerakannya saat ia berjalan di antara deretan meja dan tempat duduk. Mungkinkah Mafuyu memang akan menghilang andai kami sekejap saja melepaskan pandangan darinya? Ah, itu kedengarannya sangat bodoh – mustahil, namun akhirnya aku tetap mengikuti perbuatan mereka. Mungkin dikarenakan semua tatapan tersebut, hingga Mafuyu sengaja menutupi wajahnya saat melewati kursiku. Suara langkah kaki tiba-tiba berhenti di sampingku— |
||
− | “—Ah!” |
||
+ | "—ah!" |
||
− | Dia menyadarinya. Mafuyu menunjuk dengan jarinya yang sedikit bergetar padaku, dan berteriak kaget, “K-K-Kenapa kau ada di sini?” Aku memeluk kepalaku dengan kedua lengan, dan meletakkannya di meja. Aku menyadari kalau semuanya memandangiku. Tinggalkan aku sendiri. |
||
+ | Ia menyadarinya. Mafuyu menunjuk ke arahku dengan jarinya yang sedikit gemetar, dan berteriak sambil terkejut. "Ke-ke-kenapa kau ada di sini?" |
||
− | “Apa? Kalian berdua saling kenal?” |
||
+ | Kulingkari kepalaku dengan kedua lengan, lalu menempelkannya ke meja. Kusadari kalau semua anak di kelas ini sedang memandangiku. Sudahlah, jangan ganggu aku. |
||
− | Chiaki menatap Mafuyu, lalu menatapku. Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali, seolah ingin mengelap meja sampai bersih dengan dahiku. |
||
+ | "Apa? Jadi kalian berdua saling kenal?" Chiaki menatap Mafuyu, lalu menatapku. Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali, seakan hendak mengelap meja dengan dahiku hingga bersih. |
||
− | “Tidak tidak tidak, aku gak kenal dia. Dia pasti salah orang.” |
||
+ | "Enggak, enggak, enggak, aku enggak kenal sama anak ini. Ia pasti salah orang." |
||
− | Tapi Mafuyu bilang,”Kenapa kau bohong!?” |
||
+ | Namun Mafuyu lalu berkata. "Kenapa kau berbohong!?" |
||
− | “Bukannya kau sendiri yang memintaku melupakanmu?” |
||
+ | "Bukannya kau sendiri yang memintaku untuk melupakanmu?" |
||
− | “Benarkan, kau ingat! Aku dulu yang memintamu melupakan aku!” |
||
+ | "Nah, itu kau ingat! Kau ingat kalau aku yang dulu memintamu untuk melupakanku!" |
||
− | Ahhhh...... Aku gak tahu lagi deh. |
||
+ | Ahhhh... aku enggak tahu lagi, deh. |
||
− | “Mmm, karenanya sudah kubilang kan kalau aku sudah melupakan semuanya. Terus siapa sih kamu?” |
||
+ | "Hmm, makanya tadi kubilang kalau aku sudah lupa semuanya. Lagi pula, kau ini siapa?" |
||
− | “Pembohong!” |
||
+ | "Dasar pembohong!" |
||
− | Kurasa percakapan kami pasti kedengaran sangat bodoh. Obrolan antar teman sekelas kami menjadi semakin keras dan keras, sementara pandangan penasaran Chiaki bahkan lebih menusuk. Jam kedua adalah sastra lama yang paling aku benci, namun pada saat itu, pemandangan nenek tua guru bahasa itu kelihatan seperti penyelamat di mataku. |
||
+ | Kurasa percakapan kami tadi pasti terdengar sangat bodoh. Obrolan antar teman sekelas kami pun menjadi semakin keras, sementara tatap mata penasaran Chiaki bahkan terasa lebih menusuk. Jam kedua adalah mata pelajaran Sastra Lama yang paling kubenci, namun di saat yang sama, sosok guru bahasa yang sudah tua bangka itu terlihat seperti sang penyelamat di mataku. |
||
+ | <span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span> |
||
− | Meski aku mempertimbangkan wajah cantiknya yang sulit dipercaya dan statusnya sebagai seorang celebriti, Mafuyu adalah tipe gadis yang aku tidak mau dekat-dekat dengannya secara sengaja. Sejak hari dia pindah ke sini, dia akan dikelilingi sekelompok gadis yang ingin tahu dan menanyainya berbagai pertanyaan. Tapi selain kadang-kadang menjawab “Gak tahu” dan “Aku gak mau jawab”, dia hampir tidak pernah menjawab pertanyaan mereka. |
||
+ | Meski aku mempertimbangkan wajah cantik nan rupawan juga status selebritinya, Mafuyu adalah tipe gadis yang sengaja tak ingin kudekati. Sejak hari ia pindah ke sekolah ini, dirinya terus dikelilingi sekelompok gadis yang ingin tahu dan ingin bertanya berbagai hal padanya. Namun kadang, selain berkata "Enggak tahu" dan "Aku tak mau jawab", ia sulit sekali memberi jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut. |
||
− | “Kenapa dia pindah ke sini di waktu yang aneh?” |
||
+ | "Kenapa di saat yang kurang pas begini, ia malah pindah ke sekolah ini?" |
||
− | Saat istirahat makan siang, Chiaki menatap ke arah kerumunan orang itu dan bertanya, |
||
+ | Saat istirahat makan siang, Chiaki menatap ke arah kerumunan orang itu dan pelan-pelan bertanya, |
||
− | “Sekolah kita cuma SMA biasa, dan dia memilih senirupa sebagai mata pelajaran pilihan. Jadi kenapa?” |
||
− | + | "Sekolah kita ''kan'' cuma SMA biasa, lalu ia mengambil Seni Rupa sebagai mata pelajaran pilihan. Kenapa begitu, ya?" |
|
+ | Di sekolah ini, kami harus memilih antara Musik, Seni Rupa atau Kaligrafi sebagai mata pelajaran seni pilihan. Sejujurnya, rasanya agak aneh seorang pianis tak memilih bidang yang lebih ia kuasai. |
||
− | “Tanyakan langsung pada orangnya dan kau akan tahu jawabanya.” |
||
+ | "Kalau mau tahu, tanya langsung sama orangnya sana." |
||
− | Chiaki melambaikan tangannya dan berkata,”Aku tidak bisa melewati tembok manusia yang mengelilinginya.” Dia lalu mengambil beberapa potong makanan dari bentoku dan memakannya dengan gigitan besar. Akhir-akhir ini, aku menyiapkan lebih banyak makanan di bento ku, mengantisipasi dia mengambil sebagian darinya. |
||
+ | Chiaki melambaikan tangannya dan berkata. "Aku tak bisa menerobos tembok manusia yang mengelilinginya." Ia lalu mengambil beberapa potong makanan dari ''bento''-ku dan memakannya dalam gigitan besar. Akhir-akhir ini, aku menyiapkan lebih banyak makanan di ''bento''-ku, mengantisipasi kalau-kalau ia mengambil sebagiannya. |
||
− | “Terus, kapan dan dimana kau bertemu dengannya?” |
||
+ | "Terus, kapan dan di mana kau bertemu dengannya?" |
||
− | “......Di mimpiku?” |
||
+ | "...di dalam mimpi?" |
||
− | “Kau mau melayang ke UKS?” |
||
+ | "Kau mau kulempar ke UKS, ya?" |
||
− | “Gak. Argh, susah ngejelasin semuanya.” |
||
+ | "Enggak, enggak. Duh, susah menjelaskannya." |
||
− | “Masih ada banyak waktu sebelum istirahat makan siang selesai, jadi kau bisa menjelaskannya dari awal.” Mata Chiaki menunjukkan pandangan keras kepala meskipun ia tersenyum. Saat aku mencoba menghindari topik itu, dia sudah menghabiskan bentoku secepat yang dia bisa. |
||
+ | "Masih ada banyak waktu sebelum istirahat makan siang selesai, jadi kau bisa menjelaskannya dari awal." Tatapan Chiaki menunjukkan tampang seolah tak ingin dibantah walau kini ia sedang tersenyum. Saat aku berusaha menghindari topik itu, tahu-tahu ia sudah menghabiskan ''bento''-ku dengan begitu cepatnya. |
||
− | Mafuyu terus menunjukkan perilaku anti sosial saat pelajaran tanpa peduli sedikitpun – dia tidak mencatat, dan buku pelajarannya sering jatuh ke lantai. Ada beberapa guru yang tidak memberinya perlakuan khusus meski dia murid pindahan, dan segera memintanya naik ke podium pengajar; tapi dia bersikeras tinggal di kursinya dengan menjawan,”Aku tidak mau.” Sejujurnya, aku pikir dia sangat keren, karena aku tidak mungkin melakukannya meski aku mau. Dari apa yang Chiaki katakan padaku, yang dia lakukan saat pelajaran olahraga cuma duduk dan mengamati dari pinggiran. |
||
+ | Mafuyu terus menunjukkan perilaku anti sosial selama pelajaran berlangsung tanpa sedikit pun ada rasa peduli – ia tak mencatat, dan buku pelajarannya sering jatuh ke lantai. Meski ia murid pindahan, tapi ada beberapa guru yang tak memberinya perlakuan khusus, dan segera memintanya naik ke podium pengajar; tapi ia bersikeras tetap duduk di kursinya dengan menjawab. "Saya tak mau." Jujur, kupikir sikapnya itu tampak begitu keren, karena tak mungkin aku mampu melakukan hal tersebut meski aku ada keinginan untuk melakukannya. Dari yang Chiaki katakan padaku, yang ia lakukan saat pelajaran Olahraga hanyalah duduk dan mengamati dari pinggir lapangan. |
||
− | Saat istirahat akan siang di hari kedua dia pindah, sepertinya Mafuyu menganggap situasinya dikelilingi gadis-gadis ingin tahu itu terasa sedikit tidak tertahankan, dan meminta bantuanku beberapa kali dengan menatapku penuh harap melalui celah tembok manusia. Yah, aku gak bisa membantu meski kau menginginkannya. |
||
+ | Saat istirahat makan siang di hari kedua kepindahannya ke sekolah ini, sepertinya Mafuyu menganggap situasi yang dikelilingi gadis-gadis penasaran itu membuatnya sedikit geregetan, dan beberapa kali seolah meminta bantuanku dengan menatap penuh harap pada diriku melalui celah tembok manusia. Yah, aku tak bisa membantunya meski ia mengharapkannya. |
||
− | Sebagian besar pertanyaan yang ditanyakan para gadis itu hal-hal remeh seperti, seperti apa studio itu; celebriti mana yang ada di perusahaan penyiaran, dan apakah dia pernah menemui mereka. Saat aku akan memundurkan kursiku dan berlari menjauh dari kerumunan itu, aku mendengar seseorang menggebrak meja dengan suara *bam* yang tiba-tiba. Aku menoleh, dan melihat Mafuyu berdiri di tengah kerumunan para gadis, dan menunjukku melalui celah tembok manusia. Dia berkata dengan air mata di matanya,”Tanya orang itu. Maniak itu punya semua albumku, dan dia seharusnya tahu banyak tentangku.” |
||
+ | Sebagian besar pertanyaan yang ditanyakan para gadis itu adalah hal-hal tak penting berupa, seperti apa studio itu; selebriti mana yang ada di perusahaan penyiaran, dan apakah ia kenal dengan mereka. Saat aku akan memundurkan kursiku dan berlari menjauh dari kerumunan tersebut, tiba-tiba kudengar suara *bam*, yang menandakan ada seseorang yang menggebrak meja. Aku menoleh, dan melihat Mafuyu berdiri di tengah kerumunan para gadis, dan menunjukku melalui celah tembok manusia. Dia berkata sambil berlinang air mata. "Tanya anak itu. Maniak itu punya semua albumku, dan harusnya ia tahu banyak tentangku." |
||
− | Eh? Apa? |
||
+ | Hah? Apa? |
||
− | Mafuyu menendang jatuh kursi itu, dan berlari melewatiku dan keluar dari ruang kelas dalam sekejap. |
||
+ | Mafuyu menendang jatuh kursinya, dan berlari melewatiku lalu keluar dari ruang kelas dalam sekejap. |
||
− | Pandangan yang tidak terhitung jumlahnya terarah padaku, dan ketua kelas Terada yang pertama bicara,”...... Apa hubungan antara maniak ini dan Ebiawa?” Kenapa kau memanggilku maniak!? |
||
+ | Tatapan yang tak terhitung jumlahnya terarah padaku, dan ketua kelas Terada yang pertama bicara. "...apa hubungan antara maniak ini dengan Ebisawa?" Kenapa aku dipanggil maniak!? |
||
− | “Dari percakapanmu dengannya, kedengaranya seperti kau sudah mengenalnya.” |
||
+ | "Dari percakapanmu dengannya, kedengaran seperti kau sudah mengenalnya." |
||
− | “Yeah.” |
||
+ | "Ya, ya." |
||
− | Sialan gadis itu, dia benar-benar mengatakan hal tak bertanggung jawab semacam itu, cuma untuk melarikan diri dari mereka...... |
||
+ | Gadis sialan, ia benar-benar mengatakan hal yang tak bertanggung jawab cuma untuk melarikan diri dari mereka... |
||
− | Seorang cowok berkata,”Cowok pesolek ini mungkin tahu dia karena ayahnya kritikus musik.” |
||
+ | Seorang anak lelaki berkata. "Anak pesolek ini mungkin tahu, karena ayahnya kritikus musik.” |
||
− | “Musik clasik, huh.” |
||
+ | "Musik klasik, ya..." |
||
− | “Jadi kau sudah mengenalnya?” |
||
+ | "Jadi kau sudah mengenalnya?" |
||
− | “Ayahmu pasti tahu banyak tentangnya kan?” |
||
+ | "Ayahmu pasti tahu banyak tentangnya, 'kan?" |
||
− | “Tanyakan beberapa pertanyaan saat kau pulang! Seperti kenapa Ebisawa memilih belajar di sekolah ini. Ebisawa menolak mengatakan apapun mengenai dirinya.” |
||
+ | "Tanyakan beberapa pertanyaan saat kaupulang nanti! Seperti alasan Ebisawa-san memilih belajar di sekolah ini. Ebisawa-san menolak bicara apa pun mengenai dirinya." |
||
− | Aku tidak mungkin tahu hal semacam itu kan? Kalian pikir dunia musik klasik itu kecil? Meski aku memikirkannya, aku mengangguk ambigu untuk kabur dari tempat itu. |
||
+ | Mana mungkin aku tahu soal yang begitu, ya 'kan? Mereka pikir dunia musik klasik itu kecil? Meski aku jadi kepikiran, dengan ambigu kuanggukan saja kepalaku agar bisa kabur dari situ. |
||
− | Meski begitu, dia masih tetap ingin berbicara pada Mafuyu meski diperlakukan dingin olehnya. Apakah usaha ketua kelas itu berasal dari keinginan agar Mafuyu dapat bergaul dengan seisi kelas, atau berasal dari kesabaran tinggi yang dia dapat dari perasaan ingin tahu? Aku tidak tahu. Mungkin sebagian kecil dari keduanya. |
||
+ | Padahal sudah diperlakukan dingin begitu, namun ia masih saja ingin berbicara pada Mafuyu. Apa ketua kelas memang bermaksud ingin berusaha agar Mafuyu dapat bergaul dengan seisi kelas, atau itu karena kesabaran tingkat tingginya yang lahir dari sebuah rasa ingin tahu? Aku enggak tahu, deh. Mungkin sebagian kecil dari keduanya. |
||
+ | <span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span> |
||
− | Sesudah kembali ke rumah di hari itu, aku akhirnya mengerti seberapa kecil sebenarnya dunia ini. |
||
+ | Hari itu, sekembalinya ke rumah, akhirnya kusadari betapa kecil dunia ini sesungguhnya. |
||
− | “Tetsurou, kau masih ingat Ebisawa Mafuyu?” |
||
+ | "Tetsurou, kau masih ingat Ebisawa Mafuyu?" |
||
− | Saat aku mempersiapkan makan malam, aku menanyakan pertanyaan itu pada ayahku, yang berada di ruang makan saat itu. Aku sudah lupa sejak kapan aku mulai memanggil ayahku dengan namanya - mungkin beberapa saat setelah ibuku meninggalkan rumah? Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak bisa menganggapnya sebagai ayahku segera setelah itu. |
||
+ | Kutanyakan hal itu pada ayahku sewaktu aku mempersiapkan makan malam, yang kala itu juga berada di ruang makan. Aku sudah lupa sejak kapan aku mulai memanggil ayahku dengan nama depannya – apa mungkin sesaat setelah ibuku pergi dari rumah? Aku tak tahu kenapa, tapi aku tak bisa lagi menganggapnya sebagai seorang ayah setelah kejadian itu. |
||
− | Tetsurou duduk di kursi dengan mengenakan jersey. Dia bermain drum dengan mangkok dan sumpitnya dengan irama Waltz Tcaikovsky, yang terdengar keras dari speaker. Dia terus berteriak,”Makan malam belum siap?” Apakah itu bagaimana seorang pria berumur empat puluh tahun – dengan seorang anak laki-laki pula – berperilaku? |
||
+ | Tetsurou duduk jongkok di atas kursi dengan mengenakan ''jersey''-nya. Beliau menggunakan mangkok dan sumpitnya untuk bermain drum dengan irama Waltz Tcaikovsky, yang terdengar nyaring lewat pengeras suara. Beliau terus meneriakkan. "Makan malamnya belum siap?" Memangnya seperti itukah pria berumur empat puluh tahunan – yang juga telah memiliki anak lelaki – berperilaku? |
||
− | Tetsurou menoleh, tapi tangannya masih bermain drum dengan mangkok. Kemarahan yang tiba-tiba berkembang dalam diriku. Aku merebut sumpitnya, dan mematikan speaker. Yang dilakukan Tetsurou cuma merengut seperti anak kecil. |
||
+ | Tetsurou menoleh, tapi tangannya masih bermain drum dengan mangkok. Kemarahan yang tiba-tiba, mulai berkembang dalam diriku. Aku merebut sumpitnya, lalu mematikan pengeras suara. Yang dilakukan Tetsurou cuma merengut seperti anak kecil. |
||
− | “Aku bertanya, apa kau masih ingat seseorang bernama Ebisawa Mafuyu?” |
||
+ | "Aku tanya, apa kau masih ingat orang yang bernama Ebisawa Mafuyu?" |
||
− | “Mmm? Yeah, aku ingat. Ebisawa Mafuyu, huh, Bach masih yang paling cocok untuknya. Ada beberapa bagian yang tidak mengalir dengan lembut di dekat semua partita nya, tapi itulah yang membuatnya mempesona. Terkadang, ada muncul beberapa anak muda yang bisa memainkan musik Bach dengan sangat baik. Contohnya......” |
||
+ | "Hmm? Ya, aku ingat. Ebisawa Mafuyu, ya, Bach masih yang paling cocok untuknya. Ada beberapa bagian yang tak mengalir dengan lembut di dekat semua ''partita''-nya,<ref>[http://en.wikipedia.org/wiki/Partita Partita] adalah bagian tersendiri untuk alat musik tunggal yang dimainkan sebagai iringan dalam sebuah orkestra maupun konser.</ref> tapi di situlah letak pesonanya. Terkadang, ada muncul beberapa anak muda yang bisa memainkan musik Bach dengan sangat baik. Contohnya..." |
||
− | “Cukup, aku tidak mau mendengar pandanganmu mengenai hal itu.” |
||
+ | "Cukup, aku tak mau dengar pandanganmu mengenai hal itu." |
||
− | Lupakan. Dia mungkin cuma salah satu dari sekian jumlah pianis di mata Tetsurou, jadi bisa dipahami kalau dia hanya berbicara hal-hal mengenai musik. Saat aku akan berjalan kembali ke dapur dengan pikiran seperti itu, Tetsurou berbicara lagi, |
||
+ | Lupakan saja, deh. Di mata Tetsurou, gadis itu mungkin cuma salah satu dari sekian banyak pianis yang ada, jadi bisa dimaklumi kalau beliau hanya bicara hal-hal mengenai musik saja. Saat aku akan berjalan kembali ke dapur sambil memikirkan hal tersebut, Tetsurou lanjut berbicara. |
||
− | “Tapi kudengar dia pindah ke sekolahmu?’’ |
||
+ | "Tapi Ayah dengar ia pindah ke sekolahmu?" |
||
− | “Bagaimana kau tahu?” |
||
+ | "Bagaimana kau bisa tahu?" |
||
− | Aku berputar terkejut, dan hampir jatuh sesudah menendang pot. |
||
+ | Aku berbalik karena terkejut, dan hampir terjatuh setelah tak sengaja menendang pot. |
||
− | “Ebichiri dan Aku teman sekelas di sekolahmu. Dan karena Ebichiri adalah kepala sekolah, dia pasti akan memaksanya belajar di sana tanpa alasan.” |
||
+ | "Ebichiri dan Ayah dulunya pernah jadi teman sekelas di sekolahmu. Karena Ebichiri adalah direktur di sekolah itu, sudah pasti ia akan memaksa anaknya untuk belajar di sana." |
||
− | “Ah......benar, dia putrinya.” |
||
+ | "Ah... benar juga, gadis itu ''kan'' putrinya." |
||
− | Ebisawa Chisato – atau lebih sering dipanggil Ebichiri – adalah salah satu dari sedikit konduktor yang terkenal. Dia dulunya bekerja penuh untuk Symphonic Orchestra Boston dan Chicago, dan juga salah satu musisi terkenal. Kebetulan, Tetsurou adalah yang memberinya nama panggilan itu – kritik benar-benar sekumpulan orang menakutkan. (Catatan penerjemah: Ebichiri adalah udang dengan saus cabai, dan kedengaran seperti nama aslinya) |
||
+ | Ebisawa Chisato – atau lebih sering dipanggil Ebichiri – adalah salah satu dari sedikit konduktor terkenal. Ia pernah mengabdikan penuh dirinya untuk Orkestra Simfoni Boston dan Chicago, dan ia juga merupakan salah satu musisi terkenal dunia. Kebetulan, Tetsurou-lah yang memberinya nama panggilan tersebut – kritikus memang orang-orang mengerikan.<ref>[http://en.wikipedia.org/wiki/Ebi_chili Ebichiri/Ebichili] adalah udang dengan saus cabai, dan terdengar seperti singkatan dari nama Ebisawa Chisato</ref> |
||
− | Salah satu topik yang sering dibicarakan saat debut Mafuyu, adalah ayahnya ‘Ebichiri yang terkenal di dunia’. Pasti ada beberapa orang yang mencoba membuat pasangan ayah dan anak bermain di panggung yang sama, tapi Mafuyu menghilang dari dunia musik sebelum penampilan seperti itu menjadi kenyataan. |
||
+ | Salah satu topik yang sering diperbincangkan ketika Mafuyu memulai debut adalah, ternyata ia anak dari ‘Ebichiri yang namanya dikenal di seluruh dunia’. Pasti ada beberapa orang yang ingin coba memasangkan ayah dan anak tersebut untuk tampil dalam satu panggung, namun Mafuyu lebih dulu menghilang dari dunia musik sebelum hal itu menjadi kenyataan. |
||
− | “Masalahnya adalah, sekolah kami tidak lagi punya musik sebagai subyek utama, jadi kenapa dia masih pindah ke sana?” |
||
+ | "Masalahnya adalah, sekolah kami tak lagi punya Musik sebagai mata pelajaran utama, kok ia masih mau saja pindah ke sekolah itu?" |
||
− | “Aku dengar karena keluhan terus-menerus dari putrinya. Sudah diputuskan kalau dia akan masuk ke Universitas Musik, tapi putrinya bilang dia tidak mau. Dia tidak punya pilihan selain mengijinkannya belajar di SMA biasa, dan kemudian dia pindah ke sekolahmu. Dia tidak lagi memainkan piano kan? Aku merasa dia salah satu tipe pianis yang bersifat merusak setelah mendengar lagunya pertama kali. Countermelody-nya terdengar seperti pertengkaran antar anggota keluarga. |
||
+ | "Ayah dengar itu karena putrinya yang terus-menerus mengeluh. Padahal sudah dipastikan kalau ia akan dimasukkan ke Sekolah Musik, tapi putrinya bilang kalau ia tak mau. Ebichiri tak punya pilihan selain mengizinkannya belajar di SMA biasa, makanya gadis tersebut pindah ke sekolahmu. Ia tak lagi bermain piano, 'kan? Saat pertama kali mendengar permainan pianonya, Ayah merasa kalau ia salah satu tipe pianis yang bersifat merusak. Melodi balasannya terdengar seperti pertengkaran antar anggota keluarga." |
||
− | Hmm? Tapi...... |
||
+ | Hmm? Tapi... |
||
− | Aku mendengarkan dia memainkan piano di hari itu di <Toko Swalayan dari Keinginan Hati>. |
||
+ | Hari itu aku mendengarnya bermain piano saat di <Toko Swalayan Keinginan Hati>. |
||
− | Dia...... tidak lagi bermain piano? Kenapa? |
||
+ | Jadi ia... tak lagi bermain piano? Kenapa? |
||
− | “Oi, makan malam belum siap?” |
||
+ | "Woi, makan malamnya belum siap?" |
||
− | “Makan malam~belum~siap?” Tetsurou mulai menyanyikan kata-kata itu bersama dengan nada <Non più andrai> dari <The Marriage of Figaro>. Sialan, kau berisik. Kunyah rekamanmu atau semacamnya! |
||
+ | "Makan malamnya~belum~siap?" Tetsurou mulai menyanyikan kata-kata itu dengan nada <Non più andrai> dari <The Marriage of Figaro>. Berisik, tahu. Kunyah Saja rekaman atau apalah sana! |
||
− | Kalau dia benar-benar meninggalkan piano karena suatu alasan, dan memilih belajar di sekolah kami daripada Universitas Musik pada akhirnya, jadi masuk akal untuk waktu kepindahannya yang aneh. Meskipun begitu, kenapa dia meninggalkan piano? |
||
+ | Kalau ia benar-benar meninggalkan piano karena suatu alasan, dan akhirnya memilih belajar di sekolah kami daripada di Sekolah Musik, maka masuk akal jika ia pindah di waktu yang kurang pas begini. Meski begitu, kenapa ia sampai meninggalkan piano? |
||
− | Aku menggelengkan kepalaku dan tidak ingin memikirkan lebih jauh mengenai hal itu. Kalau mereka mendengar hal yang barusan ayahku katakan, teman-temanku mungkin akan berfikir kalau aku memang tahu banyak tentang Mafuyu. Kami cuma teman sekelas yang duduk bersebelahan, dan sepertinya dia memiliki sesuatu yang tidak ingin diketahui orang lain. Karena tidak mungkin dia mengganggu hidupku dengan kemauannya sendiri, satu-satunya yang bisa kulakukan adalah mengabaikannya kan? |
||
+ | Aku menggelengkan kepalaku dan tak ingin lebih jauh memikirkan hal tersebut. Kalau anak-anak di kelasku mendengar hal yang barusan dikatakan ayahku, mereka mungkin akan berpikir kalau aku memang banyak tahu tentang Mafuyu. Kami cuma teman sekelas yang duduk bersebelahan, dan tampaknya ia memiliki sesuatu yang tak ingin diketahui oleh orang lain. Karena tak mungkin ia mengganggu hidupku atas kemauannya sendiri, satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah mengabaikannya saja, ya 'kan? |
||
− | Akan tetapi, Mafuyu datang mengganggu hidupku di hari berikutnya— |
||
+ | Tapi tetap saja, Mafuyu datang mengganggu hidupku di hari berikutnya— |
||
− | —dengan cara yang sama sekali tidak terduga. |
||
+ | |||
+ | — dengan cara yang sama sekali tak terduga. |
||
+ | |||
+ | |||
+ | <noinclude> |
||
+ | |||
+ | ===Catatan Penerjemah=== |
||
+ | |||
+ | <references/> |
||
+ | |||
+ | {| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;" |
||
+ | |- |
||
+ | | '''Mundur ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 2|Bab 2]] |
||
+ | | '''Kembali ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia)|Halaman Utama]] |
||
+ | | '''Lanjut ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 4|Bab 4]] |
||
+ | |- |
||
+ | |} |
||
+ | </noinclude> |
Revision as of 01:05, 6 December 2013
Kebohongan, Bento, Partita
Di pagi hari, sewaktu sesi bimbingan kelas, ketika wali kelas kami – yang dijuluki Go-Inkyo[1] (karena beliau terlihat seperti Mito Koumon)[2] – membawa serta seorang gadis masuk ke dalam kelas, seketika itu juga suasana kelas langsung membeku. Aku tak menyadari perubahan suasana yang terjadi, karena saat itu aku merasa mengantuk sembari mendengarkan discman-ku.
Baru setelah Chiaki, yang duduk di depanku, berbalik dan mendorong bahuku, dengan cepat kulepas earphone yang menempel di telingaku. Tak peduli ada atau tidaknya sesi bimbingan kelas, ruang kelas ini selalu dipenuhi percakapan di tiap paginya. Meski begitu, aku masih bisa mendengar beberapa teman sekelas yang berbisik kala itu.
"Hei, gadis ini kan..."
"Yak, sepertinya begitu."
"Ebisawa—"
"Eh~? Serius? Padahal kata orang, keberadaannya kini belum diketahui, 'kan?"
Pandanganku tertuju ke podium pengajar, dan discman-ku hampir saja jatuh ke lantai. Gadis di podium itu menata rambutnya ke belakang. Karena gaya rambut itu sama persis dengan yang ada di iklan, maka semua orang langsung mengenalinya. Ia memang Ebisawa Mafuyu. Ia mengenakan seragam sekolah kami, tapi itu terasa seolah seseorang telah mengerjai kami. Apa-apaan ini? Aku tak mengerti apa yang Go-Inkyo katakan, dan untuk sesaat aku tak bisa memahami fakta kalau ia pindah ke sekolah kami.
"Dipersilakan bagi Ebisawa-san untuk memperkenalkan diri." Kata Go-Inkyo dengan santai sambil menyerahkan sebatang kapur kepada gadis itu.
Mafuyu memegang kapur itu dengan ibu jari dan telunjuknya saja. Setelah memandang tak nyaman pada kapur tersebut disertai wajah memucat, ia berputar menghadap papan tulis. saat itu juga, kapur yang dipegangnya terselip dari jari-jarinya, dan suara patahan tiba-tiba memecah keheningan ruang kelas.
Kesunyian yang lebih senyap mengikuti setelahnya. Yang dilakukan Mafuyu hanyalah terdiam menatap pada kapur (yang mungkin sudah hancur). Go-Inkyo hanya bisa mengelus pelan-pelan jenggot kebanggaannya, sedangkan bagi kami, para murid yang baru masuk sekitar satu bulan, tahu bahwa gelagat sensei yang semacam itu adalah pertanda jika beliau tak percaya dengan apa yang terjadi.
"Hmm, yah..." Ujar sensei dengan suara lemah, dan sesudah mengambil kapur yang terpecah jadi dua itu, beliau memberikannya pada Mafuyu. Akan tetapi, saat Mafuyu mengambil kapur tersebut, jari-jarinya jelas tampak gemetaran.
Pada akhirnya, Mafuyu menatap ke lantai dan menggelengkan kepalanya. Ia lalu meletakkan kapur itu pada tempatnya.
"Saya tak mau menulis nama."
Setelah ia mengatakan hal tersebut, udara di dalam kelas terasa seolah dialiri arus listrik. Tunggu, apa yang sebenarnya dara muda itu katakan?
"Cuma nama saja harusnya tak apa-apa, 'kan?" Kata Go-Inkyo. Beliau berkata dengan nada rendah dan pelan, namun jelas terlihat kebingungan yang beliau tampakkan dari gerakan tangan di sekitar pahanya.
"Saya tak mau."
"Hmm... kenapa?"
"Saya tak suka nama marga saya."
Efek perkataan Mafuyu terasa bagai sedang menuangkan nitrogen cair pada ruang kelas yang sudah membeku. Kusadari pula ekpresi Mafuyu sewaktu ia menggigit bagian bawah bibirnya. Itu adalah ekspresi yang sama seperti yang ditunjukkannya hari itu – hari di mana kami pertama kali bertemu, ekspresi yang ditunjukkannya ketika kami berpisah.
Tapi tentu saja, aku tak berbicara sepatah kata pun. Yang menjadi penyelamat kala itu adalah anak perempuan yang duduk di kursi depan.
"Tak apa-apa, Sensei. Kami semua sudah tahu namanya, kok."
"Benar. Namanya Ebisawa Mafuyu, 'kan?"
"Yak—"
Suasana kelas berubah jadi begitu aneh. Bisik-bisik seperti "Ia kan pianis yang itu..." dan "Aku pernah melihatnya di iklan", saling bersahutan. Kusadari kaki ramping Mafuyu sedikit gemetar akibat reaksi yang ditunjukkan teman sekelas kami. Mungkin aku satu-satunya orang yang menyadari tanda bahaya itu.
"Ah, hmm, kalau begitu..." Go-Inkyo melihat ke arah Mafuyu, dan berkata dengan tenang. "Ebisawa-san, apa ada yang ingin kausampaikan pada teman-teman sekelasmu?"
Seorang gadis tiba-tiba mengangkat tangannya dan bertanya. "Boleh tahu kapan kau akan mengeluarkan album berikutnya?"
Aku tak begitu ingat namanya, tapi aku ingat kalau gadis itu memang banyak bicara. Pertanyaan itu adalah ujung tombak dari rentetan pertanyaan berikutnya.
"Bukankah kau pernah bilang akan belajar ke Sekolah Musik?"
"Tak ada lagi iklan baru yang menyertakanmu. Kenapa begitu?"
Beberapa anak laki-laki yang masih bingung tentang situasi ini bertanya. "Iklan apa?" "Itu lho iklan asuransi. Masa enggak tahu?" "Oh, iklan itu. Aku tahu." "Hmmm? Yang benar?" Suasana ruang kelas tiba-tiba menjadi ramai.
Mafuyu menatap langit-langit dengan pandangan tegang, dan saat itulah ia tiba-tiba berkata dengan suara nyaring dan melengking.
"Tolong lupakan semuanya."
Kesunyian yang meliputi ruang kelas tampak bagai permukaan danau yang membeku.
Suara tegang Mafuyu terus bergema di ruang kelas – sama seperti waktu itu.
"...aku akan menghilang di bulan Juni, jadi kumohon, lupakan saja aku."
Tak seorang pun berbicara setelah mendengar Mafuyu berkata begitu, dan tak seorang pun tahu harus seperti apa lagi berkata-kata. Hal yang menyelamatkan kami dari ketidaktahuan ini adalah, bunyi bel yang menandakan akhir sesi bimbingan kelas.
"Ah, be-begitukah? Kalau begitu... Ebisawa-san, silakan duduk di kursi yang ada di sana."
Go-Inkyo menunjuk ke belakang kelas. Saat aku tersadar, kusadari kalau ternyata ada satu kursi kosong di samping kiriku.
"Di sini yang menjabat ketua kelas adalah Terada-san, jadi silakan bertanya padanya apa yang belum kaupahami."
Terada-san adalah anak yang pertama kali bertanya pada Mafuyu. Go-Inkyo lalu menjepit daftar hadir dan catatan pelajaran yang sudah terbundel di bawah lengannya, dan dengan cepat berjalan keluar dari kelas.
Mafuyu lalu meneguk air liurnya dan sedikit mengatur pernapasan. Sesekali ia meneliti ruang kelas dengan pandangan tak ramah dan penuh waspada, sebelum melangkah turun dari podium pengajar tanpa bersuara. Ruang kelas pun sunyi senyap. Semuanya menatap pada setiap gerakannya saat ia berjalan di antara deretan meja dan tempat duduk. Mungkinkah Mafuyu memang akan menghilang andai kami sekejap saja melepaskan pandangan darinya? Ah, itu kedengarannya sangat bodoh – mustahil, namun akhirnya aku tetap mengikuti perbuatan mereka. Mungkin dikarenakan semua tatapan tersebut, hingga Mafuyu sengaja menutupi wajahnya saat melewati kursiku. Suara langkah kaki tiba-tiba berhenti di sampingku—
"—ah!"
Ia menyadarinya. Mafuyu menunjuk ke arahku dengan jarinya yang sedikit gemetar, dan berteriak sambil terkejut. "Ke-ke-kenapa kau ada di sini?"
Kulingkari kepalaku dengan kedua lengan, lalu menempelkannya ke meja. Kusadari kalau semua anak di kelas ini sedang memandangiku. Sudahlah, jangan ganggu aku.
"Apa? Jadi kalian berdua saling kenal?" Chiaki menatap Mafuyu, lalu menatapku. Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali, seakan hendak mengelap meja dengan dahiku hingga bersih.
"Enggak, enggak, enggak, aku enggak kenal sama anak ini. Ia pasti salah orang."
Namun Mafuyu lalu berkata. "Kenapa kau berbohong!?"
"Bukannya kau sendiri yang memintaku untuk melupakanmu?"
"Nah, itu kau ingat! Kau ingat kalau aku yang dulu memintamu untuk melupakanku!"
Ahhhh... aku enggak tahu lagi, deh.
"Hmm, makanya tadi kubilang kalau aku sudah lupa semuanya. Lagi pula, kau ini siapa?"
"Dasar pembohong!"
Kurasa percakapan kami tadi pasti terdengar sangat bodoh. Obrolan antar teman sekelas kami pun menjadi semakin keras, sementara tatap mata penasaran Chiaki bahkan terasa lebih menusuk. Jam kedua adalah mata pelajaran Sastra Lama yang paling kubenci, namun di saat yang sama, sosok guru bahasa yang sudah tua bangka itu terlihat seperti sang penyelamat di mataku.
Meski aku mempertimbangkan wajah cantik nan rupawan juga status selebritinya, Mafuyu adalah tipe gadis yang sengaja tak ingin kudekati. Sejak hari ia pindah ke sekolah ini, dirinya terus dikelilingi sekelompok gadis yang ingin tahu dan ingin bertanya berbagai hal padanya. Namun kadang, selain berkata "Enggak tahu" dan "Aku tak mau jawab", ia sulit sekali memberi jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut.
"Kenapa di saat yang kurang pas begini, ia malah pindah ke sekolah ini?"
Saat istirahat makan siang, Chiaki menatap ke arah kerumunan orang itu dan pelan-pelan bertanya,
"Sekolah kita kan cuma SMA biasa, lalu ia mengambil Seni Rupa sebagai mata pelajaran pilihan. Kenapa begitu, ya?"
Di sekolah ini, kami harus memilih antara Musik, Seni Rupa atau Kaligrafi sebagai mata pelajaran seni pilihan. Sejujurnya, rasanya agak aneh seorang pianis tak memilih bidang yang lebih ia kuasai.
"Kalau mau tahu, tanya langsung sama orangnya sana."
Chiaki melambaikan tangannya dan berkata. "Aku tak bisa menerobos tembok manusia yang mengelilinginya." Ia lalu mengambil beberapa potong makanan dari bento-ku dan memakannya dalam gigitan besar. Akhir-akhir ini, aku menyiapkan lebih banyak makanan di bento-ku, mengantisipasi kalau-kalau ia mengambil sebagiannya.
"Terus, kapan dan di mana kau bertemu dengannya?"
"...di dalam mimpi?"
"Kau mau kulempar ke UKS, ya?"
"Enggak, enggak. Duh, susah menjelaskannya."
"Masih ada banyak waktu sebelum istirahat makan siang selesai, jadi kau bisa menjelaskannya dari awal." Tatapan Chiaki menunjukkan tampang seolah tak ingin dibantah walau kini ia sedang tersenyum. Saat aku berusaha menghindari topik itu, tahu-tahu ia sudah menghabiskan bento-ku dengan begitu cepatnya.
Mafuyu terus menunjukkan perilaku anti sosial selama pelajaran berlangsung tanpa sedikit pun ada rasa peduli – ia tak mencatat, dan buku pelajarannya sering jatuh ke lantai. Meski ia murid pindahan, tapi ada beberapa guru yang tak memberinya perlakuan khusus, dan segera memintanya naik ke podium pengajar; tapi ia bersikeras tetap duduk di kursinya dengan menjawab. "Saya tak mau." Jujur, kupikir sikapnya itu tampak begitu keren, karena tak mungkin aku mampu melakukan hal tersebut meski aku ada keinginan untuk melakukannya. Dari yang Chiaki katakan padaku, yang ia lakukan saat pelajaran Olahraga hanyalah duduk dan mengamati dari pinggir lapangan.
Saat istirahat makan siang di hari kedua kepindahannya ke sekolah ini, sepertinya Mafuyu menganggap situasi yang dikelilingi gadis-gadis penasaran itu membuatnya sedikit geregetan, dan beberapa kali seolah meminta bantuanku dengan menatap penuh harap pada diriku melalui celah tembok manusia. Yah, aku tak bisa membantunya meski ia mengharapkannya.
Sebagian besar pertanyaan yang ditanyakan para gadis itu adalah hal-hal tak penting berupa, seperti apa studio itu; selebriti mana yang ada di perusahaan penyiaran, dan apakah ia kenal dengan mereka. Saat aku akan memundurkan kursiku dan berlari menjauh dari kerumunan tersebut, tiba-tiba kudengar suara *bam*, yang menandakan ada seseorang yang menggebrak meja. Aku menoleh, dan melihat Mafuyu berdiri di tengah kerumunan para gadis, dan menunjukku melalui celah tembok manusia. Dia berkata sambil berlinang air mata. "Tanya anak itu. Maniak itu punya semua albumku, dan harusnya ia tahu banyak tentangku."
Hah? Apa?
Mafuyu menendang jatuh kursinya, dan berlari melewatiku lalu keluar dari ruang kelas dalam sekejap.
Tatapan yang tak terhitung jumlahnya terarah padaku, dan ketua kelas Terada yang pertama bicara. "...apa hubungan antara maniak ini dengan Ebisawa?" Kenapa aku dipanggil maniak!?
"Dari percakapanmu dengannya, kedengaran seperti kau sudah mengenalnya."
"Ya, ya."
Gadis sialan, ia benar-benar mengatakan hal yang tak bertanggung jawab cuma untuk melarikan diri dari mereka...
Seorang anak lelaki berkata. "Anak pesolek ini mungkin tahu, karena ayahnya kritikus musik.”
"Musik klasik, ya..."
"Jadi kau sudah mengenalnya?"
"Ayahmu pasti tahu banyak tentangnya, 'kan?"
"Tanyakan beberapa pertanyaan saat kaupulang nanti! Seperti alasan Ebisawa-san memilih belajar di sekolah ini. Ebisawa-san menolak bicara apa pun mengenai dirinya."
Mana mungkin aku tahu soal yang begitu, ya 'kan? Mereka pikir dunia musik klasik itu kecil? Meski aku jadi kepikiran, dengan ambigu kuanggukan saja kepalaku agar bisa kabur dari situ.
Padahal sudah diperlakukan dingin begitu, namun ia masih saja ingin berbicara pada Mafuyu. Apa ketua kelas memang bermaksud ingin berusaha agar Mafuyu dapat bergaul dengan seisi kelas, atau itu karena kesabaran tingkat tingginya yang lahir dari sebuah rasa ingin tahu? Aku enggak tahu, deh. Mungkin sebagian kecil dari keduanya.
Hari itu, sekembalinya ke rumah, akhirnya kusadari betapa kecil dunia ini sesungguhnya.
"Tetsurou, kau masih ingat Ebisawa Mafuyu?"
Kutanyakan hal itu pada ayahku sewaktu aku mempersiapkan makan malam, yang kala itu juga berada di ruang makan. Aku sudah lupa sejak kapan aku mulai memanggil ayahku dengan nama depannya – apa mungkin sesaat setelah ibuku pergi dari rumah? Aku tak tahu kenapa, tapi aku tak bisa lagi menganggapnya sebagai seorang ayah setelah kejadian itu.
Tetsurou duduk jongkok di atas kursi dengan mengenakan jersey-nya. Beliau menggunakan mangkok dan sumpitnya untuk bermain drum dengan irama Waltz Tcaikovsky, yang terdengar nyaring lewat pengeras suara. Beliau terus meneriakkan. "Makan malamnya belum siap?" Memangnya seperti itukah pria berumur empat puluh tahunan – yang juga telah memiliki anak lelaki – berperilaku?
Tetsurou menoleh, tapi tangannya masih bermain drum dengan mangkok. Kemarahan yang tiba-tiba, mulai berkembang dalam diriku. Aku merebut sumpitnya, lalu mematikan pengeras suara. Yang dilakukan Tetsurou cuma merengut seperti anak kecil.
"Aku tanya, apa kau masih ingat orang yang bernama Ebisawa Mafuyu?"
"Hmm? Ya, aku ingat. Ebisawa Mafuyu, ya, Bach masih yang paling cocok untuknya. Ada beberapa bagian yang tak mengalir dengan lembut di dekat semua partita-nya,[3] tapi di situlah letak pesonanya. Terkadang, ada muncul beberapa anak muda yang bisa memainkan musik Bach dengan sangat baik. Contohnya..."
"Cukup, aku tak mau dengar pandanganmu mengenai hal itu."
Lupakan saja, deh. Di mata Tetsurou, gadis itu mungkin cuma salah satu dari sekian banyak pianis yang ada, jadi bisa dimaklumi kalau beliau hanya bicara hal-hal mengenai musik saja. Saat aku akan berjalan kembali ke dapur sambil memikirkan hal tersebut, Tetsurou lanjut berbicara.
"Tapi Ayah dengar ia pindah ke sekolahmu?"
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Aku berbalik karena terkejut, dan hampir terjatuh setelah tak sengaja menendang pot.
"Ebichiri dan Ayah dulunya pernah jadi teman sekelas di sekolahmu. Karena Ebichiri adalah direktur di sekolah itu, sudah pasti ia akan memaksa anaknya untuk belajar di sana."
"Ah... benar juga, gadis itu kan putrinya."
Ebisawa Chisato – atau lebih sering dipanggil Ebichiri – adalah salah satu dari sedikit konduktor terkenal. Ia pernah mengabdikan penuh dirinya untuk Orkestra Simfoni Boston dan Chicago, dan ia juga merupakan salah satu musisi terkenal dunia. Kebetulan, Tetsurou-lah yang memberinya nama panggilan tersebut – kritikus memang orang-orang mengerikan.[4]
Salah satu topik yang sering diperbincangkan ketika Mafuyu memulai debut adalah, ternyata ia anak dari ‘Ebichiri yang namanya dikenal di seluruh dunia’. Pasti ada beberapa orang yang ingin coba memasangkan ayah dan anak tersebut untuk tampil dalam satu panggung, namun Mafuyu lebih dulu menghilang dari dunia musik sebelum hal itu menjadi kenyataan.
"Masalahnya adalah, sekolah kami tak lagi punya Musik sebagai mata pelajaran utama, kok ia masih mau saja pindah ke sekolah itu?"
"Ayah dengar itu karena putrinya yang terus-menerus mengeluh. Padahal sudah dipastikan kalau ia akan dimasukkan ke Sekolah Musik, tapi putrinya bilang kalau ia tak mau. Ebichiri tak punya pilihan selain mengizinkannya belajar di SMA biasa, makanya gadis tersebut pindah ke sekolahmu. Ia tak lagi bermain piano, 'kan? Saat pertama kali mendengar permainan pianonya, Ayah merasa kalau ia salah satu tipe pianis yang bersifat merusak. Melodi balasannya terdengar seperti pertengkaran antar anggota keluarga."
Hmm? Tapi...
Hari itu aku mendengarnya bermain piano saat di <Toko Swalayan Keinginan Hati>.
Jadi ia... tak lagi bermain piano? Kenapa?
"Woi, makan malamnya belum siap?"
"Makan malamnya~belum~siap?" Tetsurou mulai menyanyikan kata-kata itu dengan nada <Non più andrai> dari <The Marriage of Figaro>. Berisik, tahu. Kunyah Saja rekaman atau apalah sana!
Kalau ia benar-benar meninggalkan piano karena suatu alasan, dan akhirnya memilih belajar di sekolah kami daripada di Sekolah Musik, maka masuk akal jika ia pindah di waktu yang kurang pas begini. Meski begitu, kenapa ia sampai meninggalkan piano?
Aku menggelengkan kepalaku dan tak ingin lebih jauh memikirkan hal tersebut. Kalau anak-anak di kelasku mendengar hal yang barusan dikatakan ayahku, mereka mungkin akan berpikir kalau aku memang banyak tahu tentang Mafuyu. Kami cuma teman sekelas yang duduk bersebelahan, dan tampaknya ia memiliki sesuatu yang tak ingin diketahui oleh orang lain. Karena tak mungkin ia mengganggu hidupku atas kemauannya sendiri, satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah mengabaikannya saja, ya 'kan?
Tapi tetap saja, Mafuyu datang mengganggu hidupku di hari berikutnya—
— dengan cara yang sama sekali tak terduga.
Catatan Penerjemah
- ↑ ご隠居 (ごいんきょ). Sebutan bagi orang yang telah pensiun dalam masa kerja. Namun terkadang sebutan tersebut bisa disematkan untuk orang yang ditetuakan, biasanya dalam suatu instansi.
- ↑ Mito Koumon adalah serial drama dari Jepang yang berkisah seputar sosok kehidupan Mito Mitsukuni, mantan wakil shogun dan daimyo kedua wilayah Mito. Dalam serial tersebut Mitsukuni menyamar sebagai seorang pensiunan pedagang jajanan, dengan memakai nama Mitsuemon.
- ↑ Partita adalah bagian tersendiri untuk alat musik tunggal yang dimainkan sebagai iringan dalam sebuah orkestra maupun konser.
- ↑ Ebichiri/Ebichili adalah udang dengan saus cabai, dan terdengar seperti singkatan dari nama Ebisawa Chisato
Mundur ke Bab 2 | Kembali ke Halaman Utama | Lanjut ke Bab 4 |