Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 8 Bab 1"
Line 696: | Line 696: | ||
The one who said that and came in was Hiratsuka-sensei. |
The one who said that and came in was Hiratsuka-sensei. |
||
− | |||
− | ==Catatan Translasi== |
||
− | <references> <references/> |
||
<noinclude> |
<noinclude> |
||
Line 708: | Line 705: | ||
|- |
|- |
||
|} |
|} |
||
+ | |||
+ | ==Catatan Translasi== |
||
+ | <references> <references/> |
Revision as of 17:05, 15 April 2015
Misal.
Ini adalah cerita tenang permisalan.
Misalkan, jika hidup ini seperti permainan dimana kita bisa sekali saja kembali ke pilihan save point di masa lalu, apakah hidup ini akan berubah?
Jabawannya adalah Tidak.
Karena hal semacam itu hanyalah mungkin didapatkan oleh mereka yang memiliki pilihan dalam hidupnya. Tetapi untuk mereka yang sejak awal tidak memiliki pilihan hal semacam itu tidak ada artinya sama sekali.
oleh karena itu tidak ada penyesalan. bisa dikatakan bahwa semua tentang hidup itu adalah sebuah kesulitan.
Lagipula, sudah terlambat untuk membicarakan ini semua. Membicarakan tentang permisalan tak akan ada ujungnya, sekalipun di bicarakan tidak ada yang akan berubah. dan mustahil untuk kembali ke pilihan yang sudah dipilih.
karena skenario kehidupan itu satu arah. maka sia-sia saja membicarakan permisalan.
Peperangan, Kemiskinan atau Diskirminasi banyak hal yang memberikan rasa berdosa. misalnya seperti tidak mengambil tawaran pekerjaan saat sedang mencari pekerjaan, dan ini cukup umum untuk mereka yang bekerja part time, jumlah uang di dompet mereka akan menipis seiring memucatnya warna perut mereka .
didunia ini, dimanakah sesuatu yang bernama kebenaran berada? di dunia yang salah ini, kebenaran itu tidak bisa dikatakan kebenaran lagi. oleh karena itu, kesalahan itu sendiri adalah kebenaran. Tidak ada artinya untuk kehilangan sesuatu untuk bertahan hidup, karena semuanya akan hilang suatu saat nanti. ini adalah hakekat yang sebenarnya.
tapi meskipun begitu, karena suatu hal bisa hilanglah, hal itu menjadi indah. karena suatu hal bisa berakhirlah, hal itu mempunyai arti.
Stagnasi atau halangan, dengan kata lain tempat beristirahat. Berpura-pura tidak tahu dan ketundukan itu bukanlah hal yang baik. Kau harus selalu menyadari bahwa kerugian, kehilangan akan selalu ada.
suatu saat sekali-kali kita akan perlahan melihat kembali pada apa yang telah hilang dengan rindu dan kasih bagaikan harta berharga. Bagaikan kebahagian seorang yang perlahan-lahan memiringkan cangkir sake, kebahagian yang sendiri dan tertutup.
Ini adalah Pagi Hari yang tidak menyenangkan.
Terdengan bunyi tak-tak dari angin dingin yang menggoyang-goyang jendela, cuaca hari ini baik dan sangat cerah. udara hangat didalam kamar yang mengundang kantuk.
Sungguh, Ini adalah pagi yang cukup tidak menyenangkan.
Hari Senin aku kembali dari wisata sekolah, dengan bermalas-malasan aku memaksa tubuh yang gak karuan ini untuk pergi ke kamar kecil.
Terlihat dibayangan cermin, mata yang masih setengah tidur. Dia yang berada di sana adalah wajah yang sangat kukenali keberadaanya .... Yup, Seperti biasa, Cukup untuk antiklimak, benar-benar seperti biasa, tidak ada bedanya sedikitpun.
Tidak mempunyai motivasi pergi kesekolah, selalu ingin tidak melakukan apa-apa, dan sebelum keluar rumahpun sudah merasakan home sick, semuanya adalah diriku yang biasanya.
hanya saja air yang kugunakan untuk membasuh mukaku ini terasa sedikit lebih dingin daripada biasanya. Musim gugur sudah berlalu, bisa dikatakan bulan ini sudah masuk musim salju, hanya tinggal satu bulan lagi kita akan meninggalkan tahun.
kedua orang tuaku sudah berangkat terlebih dahulu untuk menghindari jam sibuk. Untuk musim yang akan datang, jika berangkat kerja pada saat-saat terakhir atau sedikit terlambat maka bisa dipastikan akan sangat ramai sekali. Seperti yang kuduga bahwa manusia, sekalipun orang dewasa akan terlihat lemah pada pagi hari dimusim salju. siapapun juga akan ingin tetap berada di dalam kasur dan bermalas-malasan hingga detik-detik terakhir.
Akan tetapi meskipun begitu, mereka mempunyai alasan untuk tetap pergi ke kantor. Dan adapula orang-orang yang tetap aktif apapun alasannya/halangannya (ProAktif)
Akan tetapi, karena itu adalah permintaan dari masyarakat, mereka pun ikut melakukannya, agar tidak terlempar keluar dari alirannya, pasti akan ada alasan yang bisa digunakan untuk memperbudak seseorang. Manusia Bergerak untuk mendapatkan sesuatu, dan, untuk tidak kehilangan sesuatu.
Didalam cermin terpantul wajah yang cukup di atas rata-rata dan sederhana. dan juga terlihat mata yang kusam dan busuk dengan level ultra high school yang tidak biasa. Oleh karena itu inilah aku, oleh karena itu inilah hikigaya hachiman. Setelah puas dengan diriku yang tidak berubah sedikitpun dari masalalu itu aku pergi ke kamar mandi.
Ketika masuk ke ruang tengah, terlihat sosok adikku komachi sedang berdiri di dapur di depan pemanas teko elektrik dengan postur/sikap yang mengesankan. Mungkin karena orang tua ku sudah sarapan lebih dulu, menu sarapan hari ini sudah habis. dan jika komachi memberikan aku secangkir teh maka aku pun siap berangkat.
ketika aku menarik kursi, komachi yang sedang menuangkan air panas kedalam teko teh tiba-tiba melihat ke belakang.
"Oh, Kakak Selamat Pagi"
"Oo, Selamat Pagi"
Setelah aku membalas salam nya, kemudian komachi pun terlihat sedikit terkesan dan berkata.
"... Hmmm Keliatanya hari ini matanya sudah benar-benar bangun ya"
Dikatakan seperti itu aku memiringkan kepalaku, apakah setiap hari aku itu selalu lemah dipagi hari? Enggak, Gaperlu di pikirkan pun aku itu lemah dipagi hari. bukan saja karena tekanan darah yang rendah tapi juga karena ga ada motivasi sedikitpun. Jadi apa yang dikatan komachi tidak salah. aku benar-benar bangun pagi hari ini.
"... Oh,.. itu karena aku mencuci muka dengan air dingin"
karena apa yang dikatakannya tepat, komachi terlihat heran dengan suasana ini dan melihat padaku.
"Humn... menurut komachi sih airnya ga ada bedanya dengan yang biasa"
"Tapi menurutku hari ini terasa tiba-tiba menjadi lebih dingin, daripada itu cepat habiskan makanannya dan ayo berangkat kesekolah"
"a.. Un"
Komachi datang dengan membawa secangkir teh, terdengar suara tap-tap dari sandalnya. Sepertinya dirumahku ini tidak memilih "ayataka(merek teh botol)" melainkan teh yang ada dalam teko.
duduk dikursi, dengan menyatukan tangan, kami berdua mengucapkan "selamat makan" dengan suara kecil.
pada musim dingin di rumah hikigaya, makanan yang hangat atau sup dari daging ikan mentah dan sayuran yang diberi cuka sering muncul dalam menu sarapan.
bisa dibilang dengan memakan sup itu akan menghangatkan tubuh sebelum keluar rumah, aku benar-benar bisa merasakan rasa cinta dari ibuku.
karena tidak tahan panas akupun meniup-niup sup rasa daging ikan mentah yang diberi cuka untuk mendinginkannya, dihadapanku komachi pun melakukan hal yang sama, dan mata kita bertemu.
Komachi meletakan mangkok supnya, dan tiba-tiba berkata.
"... Kak"
"Apa?"
Setelah respon pendek ini, garis mata komachi terlihat gelisah ingin menanyakan sesuatu.
"Kak, Apa ada sesuatu yang terjadi?"
"Ga ada... Lagipula, Sebaliknya hidupku selama ini berlalu begitu saja tanpa terjadi apapun. "Ningen Benji Saiougauma"(Check Google), jika di pikir-pikir dengan terjadinya sesuatu mungkin akan membuat sesuatu lebih baik. Misalnya Seseorang yang memiliki penyakit kronis lalu pergi ke rumah sakit dan kembali dalam keadaan sehat. Karena itu jika dilihat dari segi paradox tidak terjadi apa-apa itulah yang bisa dikatakan penuh drama"
Setelah mengatakan semua itu, Mata komachi berkedip-kedip karena terkejut.
"Apa kakak baik-baik saja?"
Tak Terpengaruh, Sama sekali tidak terpengaruh.
Bena-benar ga terpengaruh kata-kataku sedikitpun, Iya sih emang bukan sesuatu yang penting tapi paling engga berikan sedikit reaksi atau apa gitu, padahal buat yang tadi aku sudah memikirkan banyak hal....
Apakah karena ini hari senin? makanya dia sulit menangkap kata-kata ku.
"Engga,... Pokoknya sih, Ga ada apa-apa"
Akupun memakan telur mata sapi dengan sumpitku, telur mata sapi itu sebenarnya makanan jepang atau barat ya? Mendengar jawabanku, komachi pun terdiam dan perlahan menggeser mangkok supnya, lalu mencondongkan badannya dan menatap wajahku.
"Kak, Apa kau tau?"
"Apanya? Mameshiba(Check Google)?"
ataukah tentang kucing dalam kotak? karena adiku ini tipe gadis dalam kotak juga.Tapi, mungkin juga Monster makanan berbentuk anak anjing, kita berdua kebetulan sedang makan. Mungkinkah, panda dengan badan besar itu? tapi komachi bukan panda maniak. Adiku yang sedang mencondongkan badanya ke arahku secara natural akan memperlihatkan isi dadanya.
Jadi, Yup lebih baik aku ga tau.
Postur adikku saat ini sangatlah menggemaskan.
Setelah puas menelitiku, komachi pun menghela nafas.
"Kakak itu memang biasanya mengatakan hal-hal bodoh, tapi pas lagi ga enak badan kakak itu makin sering mengatakan hal-hal bodoh"
"Oh... Begitu..."
Seperti biasa penilainya itu menyakitkan, Tapi karena yang dikatakan adiku ini ada benarnya aku pun tak bisa bicara apa-apa. tetapi bisa menganalisaku secara detail hanya dari kata-kata saja adiku ini seorang penyidik psikologis? Metode pengarsiapan macam apa itu?
"Oh ya ka..."
Komachi terlihat ragu-ragu dengan yang ingin dia katakan, sembari menusuk-nusuk salad dengan sumpit dan memainkan tomat chery ditangannya.entah kenapa aku bisa memprediksi kata-kata yang sudah berada di ujung lidahnya, karena kita ini saudara? ataukah karena kita sedang memikirknya hal yang sama.
lalu, komachi perlahan meletakan sumpitnya dan menatap kearahku.
"Apa ini ada kaitanya dengan... yui-san dan yukino-san?"
sambil mendengarkan komachi, aku terus melanjutkan sarapan pagiku. bicara sambil makan itu tidak sopan, perlahan aku menelan sarapanku. bersamaan dengan sup rasa daging ikan mentah yang diberi cuka tertelan juga banyak perasaan dihati ini.
".... Apa mereka berdua mengatakan sesuatu sama kamu?"
"... Ga"
Komachi perlahan menggelengkan kepalanya.
"Mereka berdua itu bukan orang yang akan membicarakan hal seperti itu begitu saja, kakak juga pasti tahu kan?"
mendengar komachi berkata seperti itu aku pun tak punya kata-kata untuk membantahnya.
Yukinoshita ataupun Yuigahama, mereka itu memang sering mengatakan hal-hal yang aneh dan sepele tetapi mereka itu bukanlah tipe orang yang akan tiba-tiba curhat dengan adik orang lain.
"Ini Cuma... Komachi punya perasaan seperti itu"
Setelah mengatakan itu komachi sekilas melirik ke arahku untuk melihat reaksiku. Karena kita berdua selalu tinggal bersama, pasti akan ada hal-hal yang disadarinya sekalipun diinginkan ataupun tidak.
"Oh.. Iya"
Setelah Percakapan yang tidak begitu penting ini aku melihat kearah jarum jam dinding yang berdetak perlahan dan melanjutkan sarapan pagiku. tetapi komachi tetap melihatku dengan tenang dan memperhatikan gerak gerikku.
"Sambil makan juga ga apa-apa kok, Oh iya ngomong-ngomong"
Sepertinya komachi masih terus ingin melanjutkan topik ini, dia terlihat sangat ingin mengetahui permasalahannya. Pandanganku melayang pada 2 hari yang lalu dan teringat suatu hal.
"Kalo ga salah, Hal seperti ini Sebelumnya pernah terjadikan?"
"Hal seperti ini?"
Ingatan ku semakin terlihat jelas, yang komachi ingin katakan mungkin adalah kejadian sekitar bulan juli lalu. kalau di pikir-pikir hal seperti ini memang pernah terjadi dan aku tidak berubah sedikitpun sejak saat itu, aku gitu loh.
Tak ada peningkatan ataupun perubahan sedikitpun.
Komachi memegang cangkir tehnya dengan erat untuk menghangatkan tangannya Terlihat sebatang daun teh melayang tegak dipermukaannya.
".... Tapi, Yang waktu itu agak sedikit berbeda"
"Itu sudah pasti, Manusia itu akan selalu berubah setiap hari misalnya dalam waktu 5 atau 7 tahun saja sel-sel dalam tubuh manusia akan berubah bukan? Oleh karena itu manusia adalah-"
"Iya Iya"
Terlihat lelah dengan apa yang ku katakan komachi tertawa ringan, lalu komachi melepaskan tangannya dari cangkir teh dan meletakannya di lutut.
"... Jadi, apa yang sudah kakak lakukan?"
"Jangan menyalahkan semuanya padaku"
Meskipun aku berkata seperti itu, Komachi hanya diam dan terus menatap mataku. jika diperlakukan seperti ini yang keluar dari pikiran hanya hal-hal buruk saja. karena otakku Bergerak kasar seperti ini, otomatis aku mengalihkan pandangan mataku.
"... Ga ada apa-apa, Sejak awal juga memang ga ada apa-apa"
Komachi pun menghela nafas panjang.
"Sekalipun mungkin kakak itu ga bersalah, tapi ada kemungkinan kalau kakak itu memang sudah melakukan sesuatu, ga ada cara lain... ayo kita bicarakan hal ini satu persatu"
"Meskipun kau bicara seperti itu...."
Aku selalu memikirkan kejadian itu sejak kembali dari kyoto meskipun beberapa hari telah berlalu, benar aku memikirkannya. apakah ada kesalahan yang dibuat? apakah masih ada masalah yang tersisa? aku terus memikirkan kejadian itu.
Tapi, jalan keluar yang kupilih itu adalah jalan keluar terbaik dan paling efektif. tidak ada pilihan dengan kemungkinan berhasil dan aman ditambah lagi dengan waktu yang sangat terbatas dan sedikitnya pilihan yang ada. Ku pikir hasil seperti ini bisa dikatakan cukup baik.
Berhasil terhindar dari kemungkinan terburuk, Berhasil menyelesaikan satu "permintaan", meskipun prosesnya belum bisa dipuji sepenuhnya. tapi hasilnya tetap ada.
Tapi, Tidak perlu menjelaskan semuanya secara detail pada komachi, cukup aku saja yang tahu dan mengerti semua ini.
"Setelah dipikir lagi, Memang Ga ada apa-apa"
Sambil merendahkan bahu, aku menepis semuanya sebagai candaan. dengan ini percakapan pun berakhir, dan aku melahap sisa sarapan pagi.
Tetapi komachi masih berisikeras melanjutkan.
"Hah~ Berkata itu lagi, Jadi Apa yang terjadi?"
Memiringkan lehernya, meletakan tangannya di dagu, dan tersenyum ringan. Aksi seperti ini memang terlihat sangat menggemaskan, Akan tetapi tekad kuat bisa dirasakan. Postur badannya seolah-olah mengatakan tidak akan menerima penjelasan yang setengah-setengah.
Tapi Perlakuan seperti ini menyebalkan juga. Biasanya sikap komachi yang ingin ikut campur ini tidak menggangu sama sekali, dan pasti akan berakhir dan dihilangkan dengan tawa. Meskipun mengatakan sesuatu yang serius pasti akan hilang bagaikan asap. Pada awalnya komachi itu engga bakal terlalu ikut campur.
Meskipun komachi melakukan apa yang biasa dilakukannya, tapi jika secara sengaja terus ingin ikut campur seperti ini, kesal juga.
"..... nyebelin tau ga. Udah cukup"
"....."
Karena kata-kata kasarku barusan komachi terlihat tercengang, tapi kondisi terdiam seperti itu hanya sesaat saja sesaat kemudian . Bahunya langsung bergetar, Matanya terbuka lebar dan membalas dengan suara tinggi.
".... Kata-kata macam apa itu!"
"Bukan apa-apa kok, Aku cuma berkata seperti biasanya. Lagipula kamu emang nyebelin dan ngeselin"
Bisa dipastikan kata-kata tadi itu belum pernah kukatakan. Tapi seberapapun aku menangkalnya, kata-kata yang tadi kuucapkan tak akan bisa diambil kembali.
Komachipun memicingkan matanya dan menatap kearahku, kemudian perlahan-lahan garis matanya jatuh ke bawah.
".... Hunn, baiklah ga akan ku tanya lagi"
"Tolong lakukan seperti itu"
Percakapan kami berdua terpotong dan hilang dari meja makan, kami berdua melanjutkan makan dalam kesunyian, waktupun terasa beku dan bergerak begitu lambat.
Komachi meminum habis supnya, lalu mengumpulkan peralatan makan dan membawanya ke tempat cuci. dan langsung menuju pintu dan berhenti diambang pintu. kemudian dia berkata tanpa melihat kearah ku.
"Komachi pergi duluan, jangan lupa kunci pintunya"
"Ya"
Setelah percakapan pendek ini, komachi menutup pintu. sesaat terdengar suara kecil dari arahnya.
".... Sudah kuduga, pasti ada sesuatu yang terjadi"
Tertingal sendiri di ruang tengah aku pun mengambil cangkir teh. panasnya sudah hilang dan hanya menyisakan hangat-hangat kuku.
Entah sudah berapa tahun sejak terakhir kali aku dan komachi bertengkar seperti ini, meskipun ini sedikit terlambat. Aku merasa sedikit khawatir. Komachi jarang sekali marah, akan tetapi, kemarahan jenis ini bisa dikatakan berasal dari neraka. apalagi dia sedang memasuki masa remaja. ketika pulang nanti entah wajah apa yang akan dia buat.
ini adalah saudara di dunia nyata.
Berhubungan dengan orang lain itu sulit.
Pemandangan jalan menuju ke sekolah sepenuhnya tenggelam dalam warna musim gugur.
Dedaunan dari pepohonan yang berjajar di sepanjang jalur pesepeda di Jalan Hanamigawa justru menghiasi jalur pepohonan yang berjalan panjang atau jatuh ke lantai. Langit membentang jauh dan meluas di atas kepala sementara angin laut yang beku menghembusi jalan, mengalahkan kehangatan musim panas.
Sekecil seperti seharusnya, ini sungguh seperti musim sedikit lagi berganti. Lebih rincinya, pergantian dari musim panas ke musim gugur mudah sekali untuk dilihat dengan matamu. Dan sekalinya penghujung musim gugur, kau lalu akan melihat warna musim dingin mulai muncul.
Pergantian teratur pada musim-musim mungkin cuma menjadi waktu yang kau bisa lihat bermacam—macam perubahan dengan matamu sendiri.
Apa yang bisa para tetangga lakukan pada penghujung musim gugur ini?
Perkataan dari seorang haiku terkenal.
Uniknya musim ini adalah kesayuan, keadaan yang buruk dan bahkan kemungkinan kepingan kesepian mereka yang menyebabkan orang-orang penasaran apa yang tetangga mereka bisa lakukan.
Kesepian adalah apa yang disebut kekesalan dari keingintahuan seseorang masalah kebahagiaan orang lain. Untuk menghindari kesepianmu sendiri, kau mengkhawatirkan orang lain.
Tapi jika kau melihatnya dengan cara berbeda, itu mungkin hanya lah manifestasi keinginan untuk mengkhawatirkan dirimu sendiri.
Orang yang bercermin pada sisi lain cermin adalah cuma seorang yang asing atau itu yang mereka katakan. Akan tetapi, orang asing itu pada akhirnya merupakan orang itu sendiri.
Oleh karena itu, orang-orang sesungguhnya hanya berpikir dirinya sendiri.
Ketika orang-orang ingin tahu masalah kebahagiaan orang lain, mereka membandingkan dirinya sendiri; sebuah tindakan hanya untuk menentukan posisi mereka sendiri dengan memastikannya dengan orang lain.
Penggunaan orang lain untuk membangun posisi mereka sendiri, minim dari bentuk kejujuran sedikitpun. Melakukannya dengan cara ini adalah kesalahan.
Seperti, pengisolasian adalah keadilan yang sama benarnya dengan jawaban tepat.
Sepedaku kertak-kertuk seraya aku meneruskan ke depan. Kadang-kadang, ada suara derakan karat besi datang dari sepeda entah di mana. Bagaimanapun juga, aku mengayuh yanpa mengkhawatirkannya.
Berdasarkan waktunya, kau tidak akan telat tapi kau pasti akan datang ke kelas pada menit terakhir.
Inilah waktu berangkatku biasanya.
Saat aku memasuki area parkir sepeda, ada orang-orang yang berlari dengan buru-buru.
Aku mengunci sepedaku dan buru-buru melalui pintu masuk depan seperti orang-orang lainnya. Kapanpun aku sendiri, aku akan berjalan dengan langkah cepat. Ini adalah kemampuan yang diukir pada diriku sejak aku hampir tidak pernah berjalan bersama seseorang. Di tempat ini, aku mungkin hanya berakhir jadi dipertimbangkan untuk perlombaan jalan Tokyo Olympics sebagai perwakilan Jepang. Yeah benar.
Pintu masuk depan selalu cukup penglihatan karena itu memancarkan atmosfir nyaman.
Salam pagi dan percakapan menambah keributan yang memenuhi tangga yang banjir sampai dengan lorong gedung.
Dengan acara terbesar, karya wisata, akhirnya selesai, orang-orang tsudah kembali ke kehidupan siswa SMA normal.
Kelas tidak ada bedanya.
Aku mengendap tanpa bersuara melewati gang antara meja-meja di kelas yang penuh percakapan. Ketika aku berhasil ke tempat dudukku, aku perlahan menarik kursiku.
Aku duduk sunyi dan menunggu homeroom pagi mulai.
Meski aku mencoba untuk menghindarinya, telingaku dan mataku akan lanjut mengolah informasi dari harmoni mereka sendiri.
Karena teman sekelasku tidak bereaksi terhadapku, kelihatannya pengakuan cinta palsu dari hari yang lalu tidak tersebar ke public. Yah, itu kelihatan hampir tepat. Coba pikirkan secara logis, tidak akan ada orang yang ingin menyebarkan rumor masalah itu.
Aku yakin Tobe, Ebina, dan bahkan Hayaman tidak akan merasa senang betul masalah itu jika itu menjadi bahan perbincangan di sekolah.
Atmosfir kelas sama seperti biasanya. Bahkan kenyataannya, atmosfirnya kelihatan jadi lebih baik dari biasanya.
Dengan jelas, telah melewati percobaan karya wisata bersama, hubungan mereka telah mendalam bahkan lebih jauh. Tapi tidak, bukan itu masalahnya.
Malahan, mungkin karena waktu tersisa yang mereka lewatkan.
Pergi ke tempat dingin seperti Kyoto adalah salah satu acara terbesar dalam kehidupan siswa SMA dan mereka bisa melihat perubahan pertama musim. Sekarang itu usai, sepertinya semuanya kurang lebih jadi lebih sadar terhadap situasi mereka.
November sebentar lagi akan berakhir. Saat kami sudah setengah jalan menuju Desember, kami akan libur musim dingin yang mana akhir tahun dan berlanjut ke Januari. Kemudian Februari yang memiliki hari tersedikit dibanding bulan biasanya dan sisa Maret akan diselesaikan dengan libur musim semi. Sisa waktu lanjut berdetik, jam demi jam. Singkatnya, sisa waktu yang telah dilalui di kelas ini hampir tiga bulan.
Itulah kenapa mereka ingin menghargai momen ini.
Tapi untuk apa mereka menghargai momen ini? Teman mereka bukanlah orang yang disebutkan sedikitnya.
Tidak, apa yang mereka hargai adalah masa muda mereka. Saat-saat ini yang mereka terpikat padanya adalah apa yang menurut mereka berharga.
Seeraya aku secara acak mengamati, menganalisis, dan mendapatkan kesimpulanku, aku menguap kecil.
Memikirkan semua hal tidak jelas ini adalah bukti aku kelelahan.
Ini adalah hari pertama setelah liburan dan aku bisa merasakan tubuhku sudah memberat ke bawah padaku.
Agar menghilangkan rasa sakit pundakku, aku merenggangkan leherku memutar.
Wajah biasa teman sekelasku datang ke pandangan dan mereka ribut berbincang seperti biasa. Di tempat lain adalah seseorang dengan ponytail melihat ke luar melalui jendela. Kawasaki sedang di kelas dan berdiri di sana terlihat gelisah. Akan tetapi, dia terlihat kuat dan tidak berubah seperti selama ini.
Ketika aku melihat lebih lanjut dia, di sana ada sebuah grup dengan dua sampai tiga gadis menunjukkan foto karyawisatanya masing-masing satu sama lain. Dalam grup para gadis itu ada Sagami yang sedang bersenang-senang. Dia sesekali, bahkan jarang, seperti tidak melihat kebaikan apapun dari pertumbuhan dibanding melalui semua peristiwa itu sejak sebelumnya. Well, aku tidak sungguh-sungguh ingin ikut campur dengannya sama sekali, jadi aku tidak terlalu peduli. Aku tidak bisa mendengar bentuk apapun penghinaan datang dari mereka yang mana mungkin terima kasih kepada karyawisata.
Grup Sagami bukanlah satu-satunya yang membicarakan karyawisata karena ada grup lain menyebar di dalam kelas yang melakukan hal serupa.
Akan tetapi, nantinya percakapan ini tentang karyawisata akan berubah menjadi memori dan tenggelam ke kedalaman memori mereka. Saat mereka melihat foto mereka lagi, memori akan mendesak kembali hanya untuk mengubah sesuatu berbeda.
Ini tidak hanya berlaku pada karya wisata, karena aku yakin saat ini pun sama saja.
Tentu, mereka yang menyadari bahwa tinggal sedikit dan jauhnya jarak. Mungkin juga mereka sudah menyadari dan tinggal bermulut besar untuk bersenang-senang.
Sedikit demi sedikit, orang-orang akan bertindak layaknya mereka tidak pernah menyadari apapun dan berpura-pura seperti mereka tidak pernah menyadari apapun sejak awal.
Itulah kenapa semua dari mereka mungkin melakukan hal yang sama.
Aku lanjut melihat sekeliling kelas, khususnya bagian belakang.
Semuanya sama, pemandangan yang tidak berubah.
“Kau tahu, kita selamat kembali ke Chiba, benar? Di Jalur Keiyou, mereka sudah memasuki suasana Natal, jadi aku panik di sana. Seperti, iklan Disney Land sungguh gila!”
Orang yang bermain dengan rambut di belakangnya dengan sikap jenaka adalah Tobe. Dia hanya semangat seperti dia sebelum karyawisata.
“Disney Land ikut campur!” “Aku mengerti.”
Ooka dan Yamato bertingkah seperti biasa dan diikuti bersama dengan Tobe.
“Disney Land huh~”
Orang yang mengatakan itu sambil bermain dengan rambut pirang keritingnya menggunakan ujung jarinya terlihat melamun adalah Miura. Jika Miura adalah salah satu dari para gadis yang mendongak ke arah pangeran Disney, aku pikir itu akan membuatnya cukup feminim.
“Sekarang sudah waktunya musim itu huh…….”
Orang dengan senyum di wajahnya saat mengistirahatkan dagunya pada tangannya adalah Hayama. Mendengarkan mereka adalah Yuigahama yang menaruh jari telunjuk di dagunya dan seraya matanya melayang ke atas ke langit-langit, dia berbicara seperti ia mengingat sesuatu.
“Ah, ngomong-ngomong, aku pikir mereka membangun sebuah wahana baru di sana.”
Setelah ia berbicara, Ebina menyilangkan lengannya dan mulai berpikir.
“Eh? Bukannya itu untuk bagian resort? Terkadang susah menentukan mana yang…… itu dia, mana yang di atas dan di bawah.” “Ebina, hentikan.”
Ebina dipukul ringan di kepalanya oleh Miura tapi tersenyum sesudahnya.
Grup Hayama sama seperti biasanya. Aku merasa sedikit lega melihatnya.
Ini adalah dunia yang mereka harapkan; sebuah dunia tersendat yang tidak pernah berubah.
Dunia mereka ini nantinya akan hancur dan membusuk, tapi itu bukan mengatakannya itu belum terjadi. Jadi mungkin itu pada akhirnya merupakan bentuk sesungguhnya.
Baik Hayama dan Ebinda tidak menganggu sisi ini.
Itu memang keputusan yang tepat. Jika mereka menginginkan lanjut seperti mereka sebelum dan setelah karyawisata, maka interaksi antara mereka satus sama lain tidak akan berubah. Tapi itu juga berarti bahwa jarak antara aku dan mereka menjadi abadi.
Sambil menatapi mereka dengan bodoh, mataku mendadak bertemu dengan milik Yuigahama.
“…”
“…”
Tidak selama itu sebenarnya dan hanya beberapa detik sudah terlewati. Tapi cukup aneh, ini terasa lebih lama dari yang seharusnya. Layaknya tatapan kami mencoba saling menyelidiki, aku buru-buru mengalihkan mataku dalam gelisah.
Aku mengistirahatkan tubuhku pada tangan kiri dan menutup mataku. Meski aku mengalihkan mata, telingaku masih lanjut bekerja.
“Apa itu benar? Kayak kita akan pergi ke Disney Land, seperti di sini!” “Begitu huh?” “Yeah”
Percakapan mereka tidak punya hal penting di dalamnya, tapi bagaimanapun juga, grup Hayama lanjut berbincang. Di sana, gelak tawa Yuigahama bercampur dengan yang lainnya yang mana dia kelihatan jadi lega sembari ia membelai dadanya.
…Tapi sungguh, benar-benar tidak ada hal penting di dalam percakapan mereka. Itu akan buruk jika percakapannya karena mood saja.
Pada catatan yang sama, mereka bisa dengan mudah hanya tinggal bercakapan satu sama lain sementara secara langsung menghindari permasalahan sebenarnya. Kemungkinan lainnya adalah mereka memberlakukan sandiwara untuk menstimulasi dinamika grup mereka biasanya dari sebelum karyawisata.
Bagaimanapun juga, adalah hal yang indah memiliki teman. Kasih saying satu sama lain dan menjadi pelindung satu sama lain merupakan hal yang indah. Mereka menjaga penampilan mereka cukup baik. Tentu itu akan jadi indah.
Dengan demikian, rumusnya terdiri dari elemen-elemen yang sangat sederhana itu: menjadi hubungan baik yang sama indahnya dengan kasih saying dan menjadi pelindung yang lainnya. Seperti yang kuduga, kepekaan matematikaku sedang buruk. Ngomong-ngomong, rumus matematika yang selesai itu indah menurut salah satu cabang dari sains. Aku bisa tahu dari mana mereka berasal. Ada perasaan keamanan dalam kenyataan yang digambarkan untuk abadi. Tapi, lagipula, terlalu bersemangat masalah sebuah rumus matematika akan membuatku terlihat seperti saintis sesat. Seperti yang kuduga, sains dan matematika menjijikan.
Seraya aku memikirkan hal tak berguna untuk meghabiskan waktu, aku membuka mataku perlahan untuk mengecek waktu. Bel akan berdering sebentar lagi…
Pada saat itu, sosok yang buru-buru datang tepat waktu ke kelas muncul di luar kelas. Dia sedang tergesa-gesa meski langkahnya terlihat santai.
Orang yang membuka pintu gemetar dan menjulurkan kepalanya melewati celah untuk melihat ke dalam kelas adalah Totsuka. Setelah ia memastikan situasi di dalam kelas, dia mendesah. Totsuka menyapu keringatnya dan melihat ke arloji miliknya.
“Yay, aku datang tepat waktu…”
Totsuka mengangguk dengan ekspresi lega dan bertukar salam dengan teman sekelas sepanjang perjalanan ke kursinya.
Sedikit setengah jalan ke arah kursinya, Totsuka menyadari aku sedang melihat ke arahnya, sepanjang waktu kalau aku tambahkan, dan mendekatiku. Sebenarnya, apa yang harus ditanyakan di sini adalah kenapa aku melihatnya sepanjang waktu, tapi aku akan melemparkan pertanyaan itu; apakah ada orang yang tidak selalu melihat seseorang?
Karena Totsuka sudah berlari untuk sampai ke kelas, dia terengah-engah degan wajah memerah. Dia pasti sudah melakukan latihan pagi karena kelelahan tercermin di matanya masuk ke dalamku.
“Pagi, Hachiman.” “…Yeah, pagi.”
Aku berdeham untuk menghindari terlalu semangat akan situasinya dan menyapanya. Tapi setenang aku seperti biasanya, ini bukan sepertiku sebenarnya. Aku merespon dengan sebuah nada yang cocok.
Namun, Totsuka melihatku dengan kebingungan dan anehnya tenang. Tangan yang dia dengan lembut mengangkatnya terjebak di udara.
“…” “Kenapa?”
Ketika aku menanyai Totsuka melambaikan tangannya untuk menyudahinya dan tersenyum.
“Ah, tidak apa-apa, hanya berpikir kau mengatakan hai seperti biasanya.” “…” Ketika mendengar itu, aku bergeser sedikit lebih awal untuk reaksiku. Adakah yang berbeda dari biasanya?
Tapi memikirkan masalah itu mungkin tidak akan meberikanku sebuah jawaban.
Aku menonaktifkan otakku dan berbicara.
“Aah… Yeah, benar. Seperti biasanya. Apa kamu latihan pagi?” “Yap, sudah lama sekali aku senang dalam hal ini. Ah, masih merasa capek dari karyawisata?”
Aku mengingat kembali perjalanan kembali menuju rumahku. Aku tidur hampir sepanjang perjalanan di dalam Shinkansen. Dia pasti berbicara tentang itu. Sebagian besar, aku setengah bangun, tapi aku benar-benar tidak sedang dalam mood untuk bicara dengan siapapun pada waktu itu… Umm, maksudku aku tidak persis dalam mood terbaik dan aku tidak ingin membiarkan Totsuka melihat sisiku itu, kau tahu?
Maksudku, sebenarnya aku ingin berbicara sebagai Hikigaya Hachiman yang keren di depan Totsuka. Apa yang orang ini katakana?
“Ah, yeah, aku baik-baik saja.” “Aku mengerti, itu bagus berarti.”
Totsuka membalas dengan sebuah senyum dan pada saat itu, bel berbunyi. Totsuka melambai dan pergi untuk ke kursinya. Aku tersenyum dengan nyaman menanggapinya.
Benar,sebenarnya aku tidak capek sama sekali. Atau harus kukatakan, lelah yang telah aku derita sebelumnya, sudah tertiup pergi baru saja.
Saat pelajaran kelas berakhir satu per satu, aku bisa merasakan tubuhku mulai semakin lemas. aku memulai kebiasaanku menghitung sisa waktu jam pulang sekolah.
Dan kemudian, Hari ini ditutup dengan wali kelas kami lagi yang juga berarti akhir dari hitung mundurku.
Waktu telah selesai.
Aku mengambil tasku yang tidak ada hal penting didalamnya dan berdiri.
Orang-orang dengan cepat berangsur keluar dari kelas menuju klub mereka dan berjalan pulang kerumah. Aku bisa merasakan tatapan menusuk di punggungku tapi akhirnya lenyap ketika aku menutup pintu geser dibelakangku.
Lorong tenggelam dalam suasana yang santai. Murid-murid berjalan bolak-balik menuju arah yang berbeda. Mereka tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti meskipun berjalan begitu santai.
Aku memilih untuk berjalan di sisi lorong yang tidak terkena oleh sinar matahari agar tidak merasakan panas seperti sisi yang lain
Aku turun menuruni tangga dan memerhatikan kalau kepadatan siswa tidak setinggi seperti biasanya. alasannya mungkin karena beberapa murid masih terjebak di kelas.
Tidak seorang pun ada yang memanggilku atau bertanya padaku selagi aku terus berjalan ke pintu depan. Aku tiba tanpa hambatan.
Mulai dari sini, aku akan mengganti sepatuku dan berjalan menuju parkir sepeda. Setelah membuka kunci sepedaku, Aku akan berjalan pulang sambil melamum. Dalam waktu singkat, aku akhirnya akan bisa pulang dengan aman dan sehat.
Tetapi sangatlah tidak seperti diriku
Aku adalah aku. Selalu sama seperti itu. Itulah mengapa aku harus menghabiskan waktu seperti yang aku selalu lakukan.
Saat aku keluar dari pintu depan, mesin penjual otomatis mulai terlihat.
Tiba waktunya untuk mengganti topik. Aku memilih kopi kalengan. Tapi sekali lagi, apa yang aku pilih bukanlah merek Ayataka.
“…Ini benar-benar pahit.”
Aku meneguk habis kopinya dan melemparkan kaleng kosong ke tempat sampah. Rasa pahit masih tertinggal dalam mulutku dan berlarian tidak akan membuatnya hilang.
Seperti biasa, kakiku terasa berat, tapi aku memaksa diriku untuk bergerak. Aku mengambil rute yang berbeda dari yang biasanya aku pakai untuk pergi ke ruang klub.
Saat aku berjalan melintasi lorong dan menaiki tangga, pikiran yang menjengkelkan mulai mengisi kepalaku. Aku membuat desahan kecil selagi aku berjalan.
Setelah menyita waktuku, aku akhirnya berada di depan ruang klub.
Sebelum aku meletakkan tanganku di pintu, aku menarik napas dalam-dalam.
At that moment, I could hear voices leaking out from the inside. I couldn’t make heads or tails of what they were talking about, but it seems like they were here already.
Having confirmed that, I opened the door in one motion.
Once I did, they stopped talking.
“…”
The three of us were silent. Yukinoshita and Yuigahama, who were fixated on me, had a look of surprise.
They probably thought I wouldn’t bother coming since it was so late already. They were half correct. I wasn’t particularly that motivated to come here after all.
I was just being stubborn, that’s all. It was just the stubbornness of someone who was shredded to pieces by the malicious and uncooperative intent of others.
This show of resistance belonged only to me for the sake of not denying my past, my actions, and my beliefs.
I greeted them with a nod and proceeded to my designated spot.
Once I situated myself in the chair I pulled out, I took out an unfinished book from my bag. The bookmark that marked my spot in the book was still the same as it was before the field trip.
When I began reading, time that was frozen began to move again.
Laid out on the table were quilt tea cozies with baked sweets and chocolates. Lined up one by one were a tea cup and mug with steam arising from both.
The room felt warm and smelled of tea possibly from water that was recently just boiled.
However, I could feel the warmth of the room gradually drop and drop.
Yukinoshita looked at me with cold piercing eyes.
“…So you came after all.”
“Yep, as you can see.”
I answered nonchalantly and flipped the page I was on despite having only read a little less than half of it.
Yukinoshita didn’t say a word after that.
Yuigahama snuck hesitant glances at me, but the only thing she did was place her mug to her mouth.
But true enough, the mood was incredibly stuffy. It was pretty much asking me why I came.
The criticizing silence continued.
My eyes followed along the lines of the book. I rested my back against the chair and loosened my shoulders as I flipped the pages. It was the start of the unproductive period where I unconsciously began to count down the remaining time between the remaining pages of the book and when it was time to head home.
Someone had cleared their throat, the rustling of clothes could be heard, and someone could be heard fidgeting.
Even the ticking of the long hand of the clock could be heard.
As if that was the trigger, Yuigahama slightly breathed in and spoke up.
“Ah, speaking of which, everyone was acting really normal. Um, that is… everyone…”
Although she was in the middle of her speech, her words grew increasingly mumbled as if the stale atmosphere was crushing her. But, Yukinoshita and I were looking directly at her.
By everyone, she probably meant Tobe, Ebina, Hayama and even Miura.
But she was right. The field trip was over but that group hadn’t change at all. They were on good terms like always and that was something you could take from just looking at them.
“…Right, just looking at them gives me the impression there’s nothing wrong.”
It wasn’t like I was proud of what I did. In fact, what I did was probably classified as the worst things you could do. Regardless, the fact that what I did didn’t go wasted saved me.
That’s why it was fine to consider that as my own honest opinion.
“…I see. Then, that’s fine.”
Yukinoshita followed the rim of her tea cup with her fingertips as she said that. But, her weary gaze was directed at the surface of the tea and her expression indicated she wasn’t in the least convinced.
As if Yuigahama mustered her strength after that conversation was over, she laughed heartily while caressing the ball of hair on her head.
“I mean, it was a little scary, but I didn’t really have anything to worry about. Everyone’s just… normal.”
That summoned energy lost momentum halfway through. She lowered her despondent face downwards and the words she uttered at the very end sounded hollow.
“…I don’t really know what they’re thinking about anymore.”
Exactly who were those words directed at? The chance that the word everyone included people not limited to Hayama and his groupies startled me.
As I sat there with no response, Yukinoshita spoke up.
“…That’s how it was originally. There’s no way we’d understand what they’d be thinking about anyway.”
Yuigahama became quiet again after hearing those blunt words. The warmth of the mug that Yuigahama gripped onto had already disappeared.
Seeing Yuigahama look hurt, Yukinoshita continued on with her words with “besides”.
“Even if people knew what each other were thinking, whether we’ll understand or not is a different problem.”
Yukinoshita stretched out her hand to the tea cup she was looking down on. Although the tea should’ve been cold by now, she drank it slowly and carefully and silently placed the cup back on the saucer without making any noise. It was as if she hated the sound.
The silence questioned me. Regarding the meaning of her words, that is.
“…Sounds about right.”
There wasn’t a need to think about it since the meaning was obvious. What Yukinoshita said was absolutely correct and there was no fault that I could nitpick. It was indeed the truth.
I let out a short sigh and straightened up.
“Well, you don’t need to worry about it too much. As long as we act like normal, then that would be the best thing, right?”
If we wanted to continue in the same way without changing, then we should do the same with our surroundings too. The bonds between people were easily breakable after all. It was a combination of internal and external factors.
Yuigahama repeated my words slowly.
“We should act normal too… yeah…”
She nodded despite not looking too confident and convinced.
I nodded as well in response.
This was our decision.
No, it was my decision.
But just one person didn’t show signs of consent. Yukinoshita Yukino gazed directly at me. As I sat there feeling the pressure from her gaze, Yukinoshita slowly began to speak.
“Normal… I see, to you, that would be normal.”
“…Yeah.”
When I answered, Yukinoshita let out a small sigh.
“…You won’t change, is that it?”
It felt like I had been told something like that before. But the meaning laced in those words back then was completely different. This time, her words had no warmth as if she had given up, as if something had ended.
Those words pricked at my chest.
“You… Um…”
Yukinoshita looked like she had trouble trying to say something as her words were cut off abruptly. Her eyes wandered around as if she was trying to look for the words she wanted to say.
—-Ahh, this was surely the continuation from before.
The words that she had swallowed back then, she was going to tell me them.
I relaxed my body that grew stiff unknowingly and waited for Yukinoshita to continue.
Yukinoshita gripped at her skirt. Her shoulders slightly shook. Finally looking determined, her throat began to move.
But, the words just wouldn’t come out.
“Yu-Yukinon! U, Um, um you see……”
Yuigahama forcefully placed her mug on the table and hoping to talk, interrupted the conversation. It was as if she had a feeling that what Yukinoshita was going to say were words that shouldn’t be said.
But that was nothing more than procrastination. The way she acted as if she was trying to pretend she didn’t notice could only be seen as if she was trying to keep a secret under wraps.
The stagnant mood continued and the two tried to look for words to say, only to give birth to silence.
How much were they looking for? It definitely wasn’t anything trivial. The only thing in motion was the small hand of the clock.
Still, the sound of knocking came from the door as if minding the ticking time.
We all faced the door, but no one spoke up.
Once more, there were more knocks to confirm.
“Come in.”
The one who answered was me. I wasn’t all that loud, but it seems it had reached past the door.
The door clattered open.
“Coming in.”
The one who said that and came in was Hiratsuka-sensei.
Mundur ke Ilustrasi Novel | Kembali ke Halaman Utama | Lanjut ke Bab 2 |
Catatan Translasi
<references>