Oregairu (Indonesia):Jilid 1 Bab 3
Berulang Kali, Yui Yuigahama Bersikap Gelisah
"Biar Ibu tebak, jangan-jangan kau punya trauma saat di kelas Tata Boga, ya?"
Sudah kuserahkan makalah untuk mata pelajaran PKK sebagai pengganti absenku saat di kelas Tata Boga, namun entah kenapa aku masih dipanggil ke ruang guru.
Rasanya ini lebih mirip déjà vu saja. Kenapa yang menceramahiku justru Bu Hiratsuka?
"Maaf, Bu, bukannya Ibu ini guru Bahasa Jepang?"
"Ibu merangkap sebagai guru BK di sini. Bu Tsurumi yang memberi wewenang pada Ibu untuk menyelesaikan masalah ini."
Kulihat Bu Tsurumi sedang asyik menyiram bunga penghias di pojok ruangan. Bu Hiratsuka pun sejenak memandang beliau sebelum mengarahkan pandangannya kembali padaku.
"Pertama, Ibu mau dengar alasanmu bolos dari kelas Tata Boga. Jelaskan dengan singkat."
"Yah, saya hanya tak habis pikir kenapa dalam kelas Tata Boga saya mesti kerja berkelompok dengan murid lain..."
"Hikigaya, jawabanmu itu tak masuk akal. Apa sesakit itu kenanganmu saat kerja berkelompok? Atau jangan-jangan tak ada yang mau mengajakmu berkelompok?" Bu Hiratsuka memandangku, berlagak seolah cemas.
"Jelas tidak. Bu Hiratsuka ini bicara apa? Ini kan cuma tentang pelatihan memasak dalam kelas Tata Boga. Artinya, pelatihan semacam ini tak berguna jika diterapkan dalam kehidupan nyata. Contohnya ibu saya. Beliau bisa memasak karena belajar sendiri. Dengan kata lain, memasak adalah hal yang harus dipelajari sendiri! Sebaliknya, menghubungkan antara pelatihan memasak dengan kerja berkelompok adalah hal yang keliru!"
"Hal yang kaubicarakan tadi jelas berbeda dengan yang Ibu maksud."
"Maaf, Bu! Jadi Bu Hiratsuka mau bilang kalau ibu saya salah?! Sungguh keterlaluan! Sudahlah, tak ada yang perlu dijelaskan lagi! Saya mau keluar!" Jawabku seraya berpaling pergi.
"Hei! Jangan buat seolah Ibu yang jahat di sini, terus kau mencak-mencak tak keruan begitu padahal Ibulah yang harusnya marah!"
...rencanaku gagal, ya? Soalnya Bu Hiratsuka langsung merentangkan lengannya dan menarik bagian belakang kerah bajuku. Untuk beberapa saat wajah kami saling berhadapan, dan beliau menggantung kerahku layaknya mengangkat seekor anak kucing. Sial. Andai saja saat itu kujawab, Salah, toh? Saya ini bodoh banget, ya? Sambil menjulurkan lidah keluar, mungkin saja aku tak bakal jadi begini.
Beliau lalu menghela napas dan menepuk lembar laporanku dengan bagian belakang tangannya.
"Cara Membuat Kari Yang Lezat — untuk bagian ini tak ada masalah. Justru bagian setelah ini yang jadi masalahnya. 1. Potong bawang merah secara melintang, lalu iris tipis dan bumbui. Irisan tipis bawang merah akan mudah meresap dengan bumbu, sama halnya orang awam yang gampang terpengaruh dengan sekitarnya... kenapa hal itu malah kaucampur dengan sarkasme? Harusnya itu kaucampur dengan daging."[1]
"Maaf, Bu, tolong berhenti bermain kata-kata... saya yang mendengarnya pun jadi ikut malu."
"Meski Ibu sudah tak ada niat lagi untuk membacanya. Paling-paling kau sudah tahu kalau Ibu bakal menyuruhmu untuk mengerjakan ulang." Bu Hiratsuka benar-benar terlihat sangar ketika sebatang rokok terhimpit di antara bibirnya.
"Memangnya kau bisa masak?" Tanya Bu Hiratsuka. Ekspresi beliau tampak sedikit kaget sewaktu membalik laporanku.
Pernyataan tersebut sudah terlalu melecehkan. Murid SMA zaman sekarang setidaknya sudah bisa memasak kari sendiri.
"Bisa, dong. Jika mempertimbangkan rencana masa depan, tentu saja saya bisa."
"Jadi maksudmu, kau sudah di umur yang wajar untuk hidup sendiri, begitu?"
"Bukan, bukan itu alasannya."
"Eh?" Tampang beliau seakan ingin bertanya, Lalu, apa?
"Soalnya, memasak adalah keahlian yang wajib dikuasai oleh bapak rumah tangga."
Setelah mendengar jawabku, beliau lalu mengedipkan mata bulatnya yang digarisi dengan maskara itu sekitar dua sampai tiga kali.
"Oh, kau mau jadi bapak rumah tangga, toh?"
"Ya begitu, deh, itu salah satu pilihan..."
"Setidaknya hentikan dulu tatapan mesummu itu selagi kau bicara tentang impian. Kalau mau membahas hal tersebut, harusnya kau menatap dengan mata penuh harap... Ibu cuma mau tahu saja, kok. Memangnya seperti apa sih rencanamu terhadap masa depan?"
Mungkin bukan ide bagus jika aku menjawab, Harusnya Ibu lebih khawatir tentang masa depan Ibu sendiri. Karena itu aku memilih untuk mengalah dengan memberi jawaban logis.
"Yah, saya akan coba berkuliah di perguruan tinggi mana pun yang mau menerima saya."
"Oh, begitu." Bu Hiratsuka mengangguk, isyarat setuju akan jawabanku. "Lantas, selesai kuliah kau mau cari kerja apa?"
"Akan saya cari wanita cantik nan terpandang untuk dinikahi, jadi wanita tersebut bisa selalu mendukung saya hingga akhir hayat nanti."
"Yang Ibu tanya itu kerja! Jawab dengan spesifik!"
"Kan sudah saya bilang: Bapak rumah tangga."
"Kalau seperti itu, hidupmu malah tak jauh beda seperti gigolo! Sebuah cara hidup yang mengerikan untuk dijalani. Mereka menyinggung tentang masalah pernikahan pada pasangan mereka, lalu tanpa disadari mereka sudah tinggal dalam satu rumah, bahkan mereka membuat kunci duplikat dan mulai menaruh barang-barang mereka ke dalam rumah pasangannya. Lalu ketika saatnya mereka berpisah, tanpa tanggung-tanggung mereka ikut membawa pergi perabotan pasangannya seperti gelandangan yang sedang menjarah toko!" Cerocos Bu Hiratsuka, yang tanpa sadar menguak rahasianya sendiri dengan begitu detil. Sambil menggebu-gebu beliau menceritakan hal tersebut, air matanya pun berlinang.
Sungguh kasihan aku melihat beliau... sampai-sampai aku ingin menghiburnya.
"Tenang saja, Bu! Saya takkan mungkin seperti itu. Saya tetap akan mengurus segala urusan rumah tangga dan menjadi gigolo terbaik yang pernah ada!"
"Teori Superstring gila macam apa itu?!"[2]
Saat mendengar cita-citaku yang telah dilecehkan sebegitu hinanya, diriku merasa seolah dipaksa berada di ujung perbatasan. Impianku sudah seperti di ambang kehancuran, karena itu aku mencoba berargumen untuk membela diri.
"Kedengarannya malah enggak enak kalau Ibu menyebut saya gigolo, soalnya kan, menjadi bapak rumah tangga juga enggak buruk-buruk amat."
"Hmm..." Bu Hiratsuka menatap tajam ke arahku sambil bersandar pada kursinya yang berdecit. Sikap tubuh beliau seakan berkata, Baiklah, kemukakan pendapatmu.
"Berkat kehidupan masyarakat yang telah mengakui kesetaraan gender seperti sekarang, sebuah hal yang wajar jika kaum wanita sudah membuat kemajuan di dalamnya. Bu Hiratsuka sampai bisa berprofesi sebagai guru begini adalah bukti nyata dari hal tersebut."
"...yah, Ibu pikir kau benar."
Kurasa aku berhasil menarik perhatian beliau. Berarti aku kini hanya harus lanjut bicara saja.
"Meski begitu, hanya butuh matematika sederhana untuk mengetahui fakta bahwa besarnya jumlah wanita yang memasuki dunia kerja ternyata berbanding lurus dengan jumlah pria yang kehilangan pekerjaan. Maksud saya, bukankah jumlah lapangan kerja akan selalu terbatas?"
"Betul..."
"Ambil contoh, ada sebuah perusahaan yang lima puluh tahun lalu memiliki tenaga kerja yang sepenuhnya diisi oleh seratus orang pria. Jika kemudian lima puluh orang wanita dipekerjakan di perusahaan tersebut, berarti lima puluh orang pria sisanya harus mencari pekerjaan di tempat lain. Namun itu hanyalah perhitungan yang benar-benar sederhana. Bila Ibu mempertimbangkan kemerosotan ekonomi yang terjadi seperti saat sekarang, maka hanya masalah waktu hingga para tenaga kerja pria jatuh dalam masa kemunduran."
Bu Hiratsuka merenung sembari menggaruk dagunya sewaktu mendengar argumenku.
"Lanjutkan."
"Bagi pihak perusahaan sendiri, yang ada justru mereka mengurangi jumlah tenaga kerjanya. Semua ini akibat dari meluasnya penggunaan komputer dan berkembangnya Internet yang memungkinkan sebuah efisiensi kerja teroptimal dalam rangka meningkatkan tingkat efisiensi per kapita secara besar-besaran. Jika Ibu bertanya pada masyarakat tentang pendapat mereka, mungkin Ibu akan menemukan jawaban semacam, Memang tak ada salahnya jika kau bekerja keras, tapi itu malah merepotkan... kemudian, hal-hal seperti istilah, saling berbagi tugas kerja pun mulai bermunculan. Yah, kurang lebih seperti itu, deh."
"Ya, pendapat itu bisa diterima."
"Karena peralatan rumah tangga sudah semakin jauh berkembang dan juga lebih beraneka ragam, alhasil, takkan jadi masalah walau siapa pun yang menggunakannya. Bahkan kaum pria dapat melakukan berbagai pekerjaan rumah dengan baik."
"Eh, tunggu sebentar." Potong Bu Hiratsuka saat kujelaskan argumenku dengan penuh semangat tadi. Beliau lalu sedikit berdeham dan langsung menatap ke arahku. "Memang cukup sulit untuk tahu cocok atau tidaknya suatu hal, itu sebabnya... hal tersebut tak selalu berjalan sesuai dengan keinginanmu..."
"Yah, mungkin itu hanya berlaku bagi Ibu."
[Keadaan hening seketika.]
"...apa?" Kursi yang sempat beliau duduki tadi mendadak berputar sewaktu beliau mendaratkan tendangannya di pergelangan kakiku. Sakitnya bukan main. Setelah itu, tatapan geram beliau tertuju ke arahku. Aku kemudian lanjut berbicara untuk memperjelas maksud perkataanku sebelumnya.
"Ja-jadi intinya! Sewaktu Ibu memikirkan bagaimana beratnya membangun masyarakat yang ternyata di dalamnya ada orang yang bisa sukses tanpa bekerja, maka akan terasa konyol dan salah kalau ada yang terus-menerus menggerutu tentang pekerjaan atau mengeluh karena tak cukupnya lapangan kerja yang tersedia!"
Kesimpulan yang sangat tepat. Bekerjalah dan kau 'kan dipercundangi. Bekerjalah dan kau 'kan dipercundangi.
"...benar-benar, deh. Kau memang benar-benar sudah busuk." Bu Hiratsuka lalu menghela napas panjang. Kemudian, segera setelahnya, beliau menyengir dan tertawa kecil seakan baru terpikir sesuatu.
"Andai saja ada anak perempuan yang pernah menawarkanmu masakan buatannya sendiri, Ibu yakin kau akan mengubah cara pikirmu yang sudah busuk itu..."
Bersamaan dengan itu, Bu Hiratsuka lalu berdiri dan mulai menarik bahuku menuju pintu.
"Tu-tunggu dulu! Ibu ini mau apa?! Aduh-duh! Sakit, Bu!"
"Kembalilah kemari saat kau sudah belajar tentang martabat seorang tenaga kerja di Klub Layanan Sosial." Kemudian, dengan kuncian jepit pada bahuku, beliau lalu mengekang tubuh ini dengan sekuat tenaga dan menarikku keluar pintu.
Baru saja aku hendak berbalik dan mengeluh, tahu-tahu pintu sudah dibanting dengan keras. Kurasa itu artinya, Segala bentuk keberatan, bantahan, protes maupun keluhan takkan Ibu terima.
Saat-saat itu rasanya bagai diriku habis didepak dari sekolah saja, bahuku terasa begitu nyeri sewaktu Bu Hiratsuka menguncinya... bila saja waktu itu aku mencoba melarikan diri, mungkin aku bakal dihabisi.
Orang yang mengekang tubuhku dengan gerak refleks cepat dan terukur seperti tadi adalah makhluk yang benar-benar mengerikan.
Dan tanpa menyisakan pilihan, kuputuskan untuk datang ke klub yang mengatasnamakan Layanan Sosial itu, yang menurut pengamatanku, salah satu kegiatannya adalah memecahkan teka-teki. Walau disebut sebagai sebuah klub, namun aku tak pernah tahu seperti apa kegiatan utama klub tersebut. Ditambah lagi, sosok ketua klubnya sendiri pun jauh lebih misterius. Sebenarnya ada apa sih dengan perempuan itu?
Seperti biasa, Yukinoshita sedang asyik membaca bukunya.
Setelah saling bertukar salam, aku bergerak sedikit menjauh, kutarik sebuah kursi, kemudian duduk. Lalu kuambil sebuah buku dari dalam tasku.
Yang ada sekarang, Klub Layanan Sosial sudah berubah menjadi Klub Membaca Untuk Kawula Muda.[3] Tapi kesampingkan dulu leluconnya... memangnya kegiatan apa yang pernah dilakukan klub ini? Lalu sebenarnya bagaimana kelanjutan dari pertandingan yang harus kami ikuti tempo hari?
Tak disangka, suara ketukan pintu menjawab pertanyaanku. Yukinoshita tertahan sewaktu membalik lembar bukunya, dengan sigap ia menaruh pembatas ke dalamnya.
"Silakan masuk." Jawabnya seraya mengahadap pintu.
"Pe-permisi." Suara itu terdengar sedikit gelisah... gugup, mungkin? Pintu hanya bergeser sedikit, lalu seorang perempuan menyelipkan tubuhnya melalui celah kecil itu. Pasti ia tak mau jika sampai ada orang yang melihatnya masuk ke tempat ini.
Rambut coklatnya yang ikal dan sepanjang bahu itu berayun ketika ia berjalan. Tatapannya cemas menjelajahi sekitar ruangan. Lalu ketika pandangannya tertuju padaku, ia terhenyak.
...memangnya aku ini apa? Monster?
"Ko-kok ada Hikki di sini?!"
"...sebenarnya aku bagian dari klub ini."
Atau harusnya aku bilang saja, Kenapa kau memanggilku Hikki? Lalu yang terpenting, perempuan ini siapa?
Jujur, aku sungguh tak tahu, namun dari penampilannya, ia tampak seperti perempuan gaul kebanyakan — perempuan norak yang heboh di masa remajanya. Aku sering melihat perempuan sejenis ini: Rok pendek, tiga kancing blus yang terbuka, rambut yang disemir pirang, dan kilauan kalung dengan liontin hati yang sengaja ia perlihatkan di sekitar dadanya. Penampilan tersebut benar-benar melanggar aturan sekolah.
Aku tak punya urusan dengan perempuan semacam itu. Nyatanya, aku memang tak punya urusan dengan perempuan mana pun.
Meski begitu, sikapnya menunjukkan seolah ia ada di lingkungan yang mengenalku. Aku ragu apakah tak apa jika kubilang, Maaf, kau ini siapa, ya?
Aku juga menyadari kalau pita yang tergantung di dadanya itu ternyata berwarna merah. Di sekolah kami, setiap kelas dapat dikenali lewat warna pitanya. Pita berwarna merah menandakan kalau ia duduk di kelas 2 sama sepertiku.
...bukan berarti aku menyadari itu karena aku menatap dadanya. Soalnya jalur pandangku saat itu sedang tertuju ke sana... lagi pula, dadanya juga cukup besar, sih...
"Baiklah, untuk sementara duduk saja dulu." Dengan santai kutarik sebuah kursi dan mempersilakannya duduk. Perlakuan sopanku ini bukan bermaksud untuk menutupi rasa bersalah tadi. Wajar jika aku ingin memberi kesan baik padanya lewat sikap tulusku. Aku ini lelaki terhormat. Itu semua sudah tampak dari cara berpakaianku.
"Te-terima kasih..." Ia tampak kebingungan saat menanggapi tawaranku dan perlahan mulai duduk.
Yukinoshita yang duduk di hadapannya, mulai melakukan pendekatan. "Yui Yuigahama, bukan?"
"Ka-kau mengenalku?"
Si Yui Yuigahama ini langsung merasa senang, seakan-akan ada status tersendiri bagi orang-orang yang dikenali Yukinoshita.
"Kau pasti banyak tahu, ya... jangan-jangan kau tahu nama semua orang di sekolah ini?" Tanyaku.
"Tidak juga. Aku tak tahu kalau kau sekolah di sini."
"Begitu, toh..."
"Jangan berkecil hati; itu salahku. Akulah yang tak menyadari lemahnya hawa keberadaanmu, lagi pula, tak ada niat bagiku untuk berharap agar perhatianku tak tertuju padamu. Itu semua hanya karena lemahnya pikiranku saja."
"Jadi maksud dari kata-kata tadi hanya untuk membesarkan hatiku, begitu? Cara menghibur yang payah. Ujung-ujungnya, kau juga memberi kesimpulan kalau semua itu salahku."
"Aku tak bermaksud menghiburmu. Aku memang sedang menyindirmu." Ucap Yukinoshita sambil berpaling seraya mengibaskan rambutnya ke belakang.
"Kelihatannya... klub ini menyenangkan." Ujar Yuigahama dengan tatapan berbinar yang tertuju ke arah kami berdua.
Perempuan ini... pikirannya pasti hanya dipenuhi padang bunga matahari dan aster saja.
"Komentar barusan sama sekali tak mengenakkan... di sisi lain, kesalahpahamanmu itu benar-benar mengganggu." Tatapan dingin Yukinoshita membuat gugup Yuigahama.
"Oh, bukan, bagaimana bilangnya, ya?" Ia melambaikan tangannya tanda menyangkal. "Aku hanya berpikir sikap kalian berdua begitu alami! Eng, maksudku, Hikki jadi berbeda sekali dengan yang di kelas. Ternyata ia bisa bicara panjang lebar."
"Jelas aku bisa bicara. Dasar kau ini..." Memangnya aku tampak seperti orang yang punya keterbatasan dalam berkomunikasi, apa?
"Oh, iya benar. Yuigahama juga duduk di kelas F."
"Hah, yang benar?" Tanyaku.
"Jangan-jangan kau memang tak pernah tahu, ya?" Yukinoshita balik bertanya.
Yuigahama tampak terkejut oleh ucapan Yukinoshita.
Sial.
Tak ada yang paham bagaimana sakitnya tak dikenali oleh teman sekelas lebih dari aku. Karenanya, sebelum ia ikut merasakan sakit yang sama, kucoba untuk menutupi salah paham tadi.
"Te-tentu saja aku tahu."
"...lalu kenapa kau memalingkan mata?" Tanya Yukinoshita.
Yuigahama kemudian menatapku dengan pandangan sinis. "Bukannya itu yang membuatmu jadi tak punya teman, Hikki? Maksudku, tingkahmu aneh dan itu rasanya menjijikkan."
Kini aku ingat perempuan sinis ini. Tentu saja, para perempuan lain di kelasku juga memandang hina diriku. Pasti ia salah satu dari kelompok yang sering bergerombol di sekitar Klub Sepak Bola.
Apa-apaan itu? Berarti ia salah satu musuhku, dong? Percuma saja tadi aku bersikap baik padanya.
"...dasar bispak."[4] Tanpa sengaja aku mengumpat.
"Apa? Siapa yang kausebut bispak?!" Yuigahama spontan berseru. "Aku ini masih pera— aaahhh! Lupakan!" Wajahnya langsung memerah dan tangannya bolak-balik melambai, seakan berusaha menarik kembali kata-katanya. Dasar plin-plan.
Yukinoshita mulai bicara, seolah ingin meredakan kepanikan Yuigahama. "Itu bukan hal yang memalukan. Di usia kita ini, jika masih pera—"
"A-aaahhh, berhenti! Kau ini bicara apa?! Untuk ukuran anak kelas 2 SMA, itu jelas memalukan! Yukinoshita, di mana sisi kewanitaanmu?!"[5]
"...hal yang tak penting."
Buset. Entah bagaimana, tapi Yukinoshita baru saja meningkatkan tingkat kesinisannya beratus kali lipat.
"Biar kau bilang begitu, kata kewanitaan justru semakin terdengar bispak bagiku." Tambahku.
"Kau berkata begitu lagi! Mengatai orang lain bispak itu enggak sopan, tahu! Hikki, kau menjijikkan!" Yuigahama lalu menampakkan wajah geram mengejek dan melihatku dengan mata berkaca-kaca.
"Mengataimu bispak tak ada hubungannya dengan menjijikkannya diriku. Dan jangan memanggilku Hikki."
Soalnya panggilan itu terdengar seperti hikikomori, 'kan?[6] ...oh, pasti ia juga bermaksud menyindirku. Itu pasti semacam nama ejekan buatku yang beredar di kelas.
Kejam sekali, 'kan? Sampai-sampai aku ingin menangis mendengarnya.
Bergosip di belakang orang itu enggak baik.
Itu sebabnya aku langsung berkata blak-blakan dengan suara lantang. Jika suaraku tak terdengar, maka perkataanku ini tak ada efeknya!
"Dasar bispak."
"Ka-kau! Menjengkelkan! Benar-benar menjijikkan! Kenapa tak mati saja sana?!"
Padahal sudah bersikap sopan, yang ada, aku malah jadi bersikap keras begini, bahkan aku terpaksa bungkam setelah mendengar ucapannya.
Di dunia ini ada banyak kata yang harusnya tak boleh diucapkan begitu saja, terutama yang menyangkut nyawa manusia. Jika belum siap memikul tanggung jawab atas nyawa, maka seseorang tak ada hak untuk berkata demikian.
Sejenak keheningan berlalu, dengan maksud menegurnya, kulontarkan tanggapan serius dengan nada menggebu-gebu.
"Sekali lagi kaubilang mati saja atau kubunuh kau seenak udelmu, 'kan kucincang kau."
"Ah... ma-maaf, bukan maksud... eh, apa?! Kau barusan bilang begitu! Kau barusan sungguh-sungguh berkata ingin membunuhku!"
Yuigahama mungkin terlambat sadar, ternyata ia memang orang yang plin-plan. Meski begitu, aku sempat terkejut. Ia terlihat seperti perempuan yang bisa meminta maaf dengan sopan.
Ia tampak berbeda dari penampilan yang dikesankannya. Aku sempat yakin kalau ia sama saja dengan para gadis di kelompoknya, para lelaki di Klub Sepak Bola dan semua orang di sekitarnya. Awalnya kupikir, di kepalanya itu hanya berisi hal-hal seperti yang ada di dalam novel karya Ryuu Murakami,[7] yang selalu dipenuhi seks, narkoba dan hal bejat lainnya.
Yuigahama lalu menghela napas. Bersikap terlalu aktif pasti membuatnya capek.
"Eng, begini. tadi aku sempat mendengarnya dari Bu Hiratsuka, tapi... katanya klub ini bisa mengabulkan keinginan para murid, ya?" Yuigahama memecah keheningan sesaat.
"Masa, sih?" Aku malah yakin kalau ini hanya klub membaca yang tak ada habisnya.
Yukinoshita benar-benar mengabaikan pertanyaanku dan justru menjawab pertanyaan Yuigahama.
"Tidak juga. Hakikatnya, tujuan klub ini terletak pada cara memberi pertolongan bagi orang lain. Terkabul atau tidaknya keinginanmu tergantung dari dirimu sendiri." Tanggapan Yukinoshita tampak dingin dan penuh penyangkalan.
"Bedanya di mana?" Tanya Yuigahama dengan wajah penuh ragu. Sebenarnya itulah yang ingin kutanyakan tadi.
"Apakah kau akan memberi ikan pada orang kelaparan atau mengajarinya cara menangkap ikan? Di situlah letak perbedaannya. Intinya, seorang sukarelawan tak memberi hasil melainkan menyediakan cara. Kurasa, mendorong seseorang untuk mandiri adalah jawaban yang paling tepat."
Pidatonya barusan persis seperti yang termuat pada buku nilai moral, sebuah prinsip tanpa arti yang sering digaungkan di berbagai sekolah — Kegiatan klub akan memberi kesempatan pada para murid untuk mempertunjukkan kemampuannya dalam hal kemandirian sebagaimana murid lainnya. Begitulah pemahaman baruku mengenai sebuah kegiatan klub. Dan, yah, Bu Hiratsuka juga sempat bicara mengenai pekerjaan, itu artinya, klub pun ikut berjuang demi kepentingan murid.
"Wah, hebat banget!" Seru Yuigahama dengan tatapan yang seakan berkata, Kau sudah membuka mataku, aku jadi mengerti sekarang! Aku sedikit cemas kalau di masa depan nanti otaknya mungkin bakal dicuci oleh sekte pemuja setan.
Penjelasan Yukinoshita tadi tak punya dasar ilmiah, apalagi untuk perempuan berdada besar seperti Yuigahama ini, pastinya sulit untuk paham... setidaknya itu anggapan yang berkembang di masyarakat, namun jika ditanya, dengan yakin akan kujawab kalau perempuan ini adalah salah satu buktinya.
Di sisi lain... Yukinoshita punya kecerdasan mumpuni, akal sehat yang tak tertandingi, juga dada yang rata seperti tembok.
"Aku tak bisa menjanjikan kalau keinginanmu dapat terkabul, tapi sebisa mungkin aku akan membantumu."
Yuigahama lalu mulai bicara seakan baru teringat tujuannya datang ke tempat ini.
"Eng, begini! Aku mau coba membuat kue kering..." Ujar Yuigahama sembari menatapku.
Aku ini bukan kue kering, tahu. Sebenarnya aku tahu kalau anak-anak di kelas memperlakukanku layaknya angin lalu, meski terdengar sama, namun artinya berbeda.[8]
"Hikigaya." Yukinoshita lalu mengarahkan wajahnya ke lorong sambil menggerakkan mulutnya tanpa bersuara. Pergi sana. Padahal ia bisa saja berkata baik-baik. Seperti, Kau mengganggu pemandangan, jadi bisa tidak, kau pergi dari sini? Aku akan menghargainya andai kau tak pernah kembali lagi kemari.
Jika ia sedang ingin berbicang mengenai masalah perempuan, maka apa boleh buat. Memang ada hal tertentu di dunia ini yang hanya bisa diperbincangkan antar sesama perempuan saja. Ambil contoh saat mata pelajaran Penjaskes, yang di dalamnya ada hal-hal seperti, Lelaki dilarang masuk, Ruang kelas sedang digunakan untuk mata pelajaran khusus perempuan. Jumlah contohnya pun cukup banyak.
Kira-kira itu mata pelajaran yang seperti apa, ya? Hal-hal yang begitu itu masih mengusik pikiranku sampai sekarang.
"...aku mau beli Sportop dulu."[9]
Aku harus menunjukkan kalau aku orang yang sangat pengertian, bisa membaca situasi dan bertindak tanpa perlu pamer. Andai aku seorang perempuan, pasti aku sudah jatuh cinta dengan diriku sendiri.
Seraya tanganku menempel ke pintu untuk pergi keluar, Yukinoshita memanggilku. Mungkinkah ia punya perasaan yang ingin disampaikannya padaku?
"Aku titip Yasai Seikatsu 100 Strawberry Mix, ya."[10]
Ternyata ia sudah terbiasa menyuruh orang seenak dengkulnya... dasar Yukinoshita. Perempuan ini memang sulit ditebak.
Tak butuh waktu sampai sepuluh menit untuk menuju lantai satu paviliun lalu kembali lagi ke lantai tiga. Bila aku berjalan dengan santai dan tak tergesa-gesa, mungkin pembicaraan mereka sudah selesai duluan sebelum aku datang.
Tak masalah seperti apa orangnya; yang jelas Yuigahama adalah klien pertama kami. Dengan kata lain, kedatangannya adalah tanda dimulainya pertandingan antara diriku dengan Yukinoshita.
Yah, aku juga tak begitu ingin menang, kok. Jadi bukan masalah kalau aku hanya berfokus pada meminimalkan luka saja.
Kantin sekolah punya mesin minuman mencurigakan yang berada di luar gedung. Mesin itu menjual beberapa minuman bersoda aneh dalam kemasan kotak yang jarang dijual di toko-toko pada umumnya. Tampilan minuman tersebut sangat bagus untuk ukuran minuman bermerek tiruan, itu sebabnya aku jadi tertarik.
Yang membuatku tertarik adalah minuman bersoda yang bermerek Sportop. Aromanya mirip seperti permen biasa dan komposisinya mengikuti tren yang sedang marak saat ini, nol kalori dan bebas gula. Rasanya pun cukup enak.
Saat kumasukkan dua koin bernilai Rp. 10.000 ke dalam mesin minuman, terdengar suara menderu layaknya sebuah kapal induk udara, yang kemudian menjatuhkan Yasai Seikatsu serta Sportop yang tadi kupilih. Setelahnya, kembali kumasukkan koin bernilai Rp. 10.000 dan menekan tombol Otoko no Café au Lait.
Pasti terasa aneh jika di antara tiga orang yang berkumpul, hanya dua orang saja yang menenggak minuman. Karena alasan itu, kuputuskan untuk membeli lagi minuman buat Yuigahama.
Biaya yang sudah kukeluarkan untuk minuman-minuman ini berjumlah Rp. 30.000, itu artinya, aku sudah menghabiskan separuh dari uang sanguku. Bangkrut, deh.
"Lambat sekali." Ucap Yukinoshita sambil merebut Yasai Seikatsu dari tanganku. Ia lalu menusuk minuman tersebut dengan sedotan dan mulai meminumnya. Hanya tinggal Sportop dan Otoko no Café au Lait saja yang tersisa.
Tampaknya Yuigahama sadar kalau Otoko no Café au Lait ini untuknya.
"...oh, iya." Katanya, sembari mengambil uang senilai Rp. 10.000 dari dalam dompetnya yang mirip kantung koin.
"Ah, enggak usah."
Maksudku, Yukinoshita saja tak mengganti uangku, lagi pula, aku membelinya atas dasar kemauanku sendiri. Walau mungkin cukup wajar jika aku menerima uang dari Yukinoshita, namun untuk Yuigahama, aku tak punya hak untuk menerima uang darinya. Jadi daripada aku mengambil uang Rp. 10.000 yang dipegangnya itu, lebih baik kuserahkan saja Otoko no Café au Lait ini langsung ke tangannya.
"Ta-tapi aku masih belum mengganti uangmu!" Yuigahama bersikeras menyodorkan uangnya padaku. Pasti akan terasa mengganggu bila terus memperdebatkan masalah tersebut, karena itu aku menjauh lalu duduk di dekat Yukinoshita.
Yuigahama tampak sedikit berat hati saat menaruh kembali uangnya.
"...terima kasih." Ucapnya dengan suara pelan, lalu tersenyum senang sambil malu-malu menggenggam Otoko no Café au Lait itu dengan kedua tangannya.
Tentu itu adalah ucapan terima kasih yang paling berkesan yang pernah kuterima sepanjang hidupku. Ucapan itu memang hanya bernilai Rp. 10.000; tapi bisa dibilang kalau ia membayarku lebih dengan senyum di wajahnya tadi.
"Pembicaraan kalian sudah selesai?" Dengan rasa puas, kucoba membuat Yukinoshita untuk ikut memberikan apresiasi yang semestinya kudapatkan.
"Sudah. Berkat tak adanya dirimu, pembicaraan kami bisa berjalan dengan lancar. Jadi, terima kasih."
Dan tentunya itu adalah ucapan terima kasih yang paling tak berkesan yang pernah kuterima sepanjang hidupku.
"...oh, baguslah. Jadi, apa yang mau kalian lakukan sekarang?"
"Kami mau ke ruang PKK. Kau juga harus ikut."
"Ruang PKK?"
Itu adalah ruang siksaan yang mengatasnamakan kelas Tata Boga, di mana setiap jam pelajarannya harus membentuk kelompok yang anggotanya dipilih sendiri oleh para murid. Itu memang ruang siksaan. Di tempat itu pun terdapat bermacam pisau juga tempat pembakaran. Ruang yang memang sangat berbahaya dan harusnya tak sembarang orang boleh masuk ke sana.
"Lalu, mau apa kita di sana?"
Selain kelas Senam dan karyawisata, kelas Tata Boga adalah satu dari tiga kegiatan sekolah yang dikenal paling bisa menimbulkan trauma. Tak mungkin ada penyendiri yang benar-benar bisa merasa senang akan tiga hal tersebut. Maksudku, bayangkanlah sekelompok orang-orang yang dengan senangnya mengobrol satu sama lain dan saling mengakrabkan diri di antara sesama mereka... lalu bayangkan keheningan yang mendadak muncul ketika aku mencoba bergabung di kelompok tersebut... ya, rasanya sungguh tak tertahankan.
"Kue kering... aku mau membuat kue kering."
"Hah? Kue kering?" Aku tak mengerti yang ia ucapkan, makanya aku hanya bisa menjawab seperti tadi.
"Rupanya Yuigahama ingin membuat kue kering buatannya sendiri untuk diberikan pada seseorang. Namun, karena tak percaya diri dengan kemampuannya, makanya ia meminta bantuan kita. Begitulah permintaannya." Jelas Yukinoshita, yang langsung menyingkirkan keraguanku.
"Kenapa kita juga harus ikut-ikutan bantu? ...minta saja bantuan sama teman-temanmu sana."
"Eng... ya-yah, soalnya... aku enggak mau jika mereka sampai tahu, bisa-bisa aku jadi bahan ejekan bila mereka tahu tentang hal ini... mana bisa mereka memaklumi hal yang serius begini..." Tatapan tajam Yuigahama terarah kepadaku saat ia menjawabnya.
Kuhela napas barang sebentar.
Jujur, yang namanya masalah asmara itu tak mudah untuk diatasi. Tak sekadar masalah siapa suka sama siapa, bagiku menghafal sebuah kosakata justru lebih bermanfaat. Semestinya, hal semacam membantu mengatasi masalah asmara seorang gadis bukanlah sesuatu yang wajar. Dan, yah, aku pun tak begitu tertarik dengan kisah asmara, apalagi memikirkannya.
Tapi kupikir-pikir lagi... tentang pembicaraan serius yang mereka perbincangkan sebelumnya... sudah pasti itu tentang masalah tadi...
Ya ampun.
Sejujurnya, bila ada orang yang sedang punya sesuatu mengenai masalah asmara, yang bisa kita lakukan hanyalah berkata: Jangan menyerah! Semua pasti akan berjalan lancar, kok! Dan jika akhirnya tak berjalan lancar, maka kita hanya tinggal berkata: Ternyata orang itu memang benar-benar berengsek!
"Huh." Desahku saat menatap mata Yuigahama.
"Ah..." Yuigahama tertunduk, kehilangan kata-kata. Ia lalu menggenggam lipatan di pinggir roknya, bahunya sedikit gemetar.
"Ah... ahaha. Pa-pasti tampak aneh, ya? Orang sepertiku sampai mau coba membuat kue kering buatan sendiri... rasanya seperti ingin berusaha melakukan hal yang biasanya perempuan lakukan... maaf, ya, Yukinoshita. Enggak apa-apa, kok. Aku enggak memaksa."
"Yah, jika kau memang mau, aku tak keberatan... oh, aku tahu. jika kau mencemaskan anak itu, maka tak perlu kaupikirkan. Ia sama sekali tak punya standar moral,[11] karena itu akan kupaksa ia ikut serta."
Entah bagaimana, rasanya undang-undang negara ini tak berlaku untukku. Maksudku, kerja paksa macam apa ini?
"Bukan begitu, sungguh enggak apa-apa, kok! Maksudku, membuat kue kering memang enggak cocok buatku dan pasti terasa aneh... aku sudah pernah bertanya pada Yumiko dan Mari, tapi mereka bilang kalau itu sudah ketinggalan zaman." Sesekali Yuigahama melirik ke arahku.
"...ya. Aku juga tak akan menyangka jika perempuan yang penampilannya heboh sepertimu, sampai mau membuat kue kering." Ujar Yukinoshita, seakan ingin membuat terpuruk Yuigahama yang sebelumnya memang sudah terpuruk.
"Be-benar! Rasanya aneh, 'kan?!" Yuigahama tertawa gelisah seolah menunggu reaksi dari kami. Ia langsung menundukkan pandangannya ketika melihatku, seolah hendak menantangku. Rasanya ia seperti ingin memintaku supaya memberi tanggapan.
"...yah, aku tak bisa bilang kalau... yang mau kaulakukan itu aneh, tak cocok buatmu, atau itu bukan bagian dari dirimu. Sebenarnya, aku hanya tak bisa untuk pura-pura tak peduli. Itu saja."
"Yang kaukatakan itu malah lebih buruk!" Bentak Yuigahama. "Hikki, aku sungguh enggak menyangka! Kau benar-benar membuatku jengkel. Asal kau tahu, sebenarnya aku bisa kalau aku serius!"
"Malah kata-kata barusan itu tak layak untuk kaupakai. Kata-kata itu lebih pantas diucapkan oleh ibumu sambil berlinangan air mata. Ibu selalu mengira kalau kau pasti bisa asal mau serius... tapi nyatanya, kau memang tak bisa. Begitu, deh."
"Alah, paling-paling ibumu sendiri sudah angkat tangan!"
"Kesimpulan yang masuk akal." Yukinoshita segera mengangguk. Sementara, air mata Yuigahama sudah mulai berlinang.
Ah, biarkan saja. Meski bersikap pasrah rasanya juga menyakitkan...
Aku jadi merasa tak enak sudah merusak suasana hati Yuigahama, padahal ia sudah berterus terang menjelaskan keinginannya untuk membuat kue kering. Terlebih, pertandingan antara diriku dengan Yukinoshita ini masih berlangsung.
"Yah, aku memang hanya bisa memasak kari, tapi aku tetap akan membantumu." Dengan setengah hati kutawarkan bantuanku.
"...te-terima kasih." Yuigahama lalu menghela napas lega.
"Kami memang tak berharap apa pun dari kemampuan memasakmu. Kami hanya ingin agar kau mencicipi kue keringnya dan memberi pendapat."
Yah, jika Yukinoshita yang bilang begitu dan sudut pandang anak lelaki memang dibutuhkan, berarti sudah jelas kalau hal yang baru disinggung tadi bakal jadi tugasku. Ada banyak sekali anak lelaki yang tak suka memakan kue, jadi tugasku di sini adalah mencocokkan rasa kue tersebut dengan selera anak lelaki. Terlebih, kupikir sebagian besar makanan akan terasa nikmat andai saja aku bukan orang yang pemilih.
...kira-kira itu bakal membantu, enggak, ya?
Ruang PKK kini sudah dilputi oleh aroma vanili. Yukinoshita membuka lemari pendingin, seakan ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya, lalu mengambil beberapa liter susu juga telur. Ia mengeluarkan timbangan dan sebuah mangkuk besar, kemudian menyiapkan beberapa butir telur, serta menggunakan bermacam peralatan memasak yang belum begitu kukenal.
Entah bagaimana, tampaknya manusia super sempurna ini juga sungguh hebat dalam hal memasak.
Setelah selesai dengan persiapan cepatnya tadi, ia kenakan celemeknya, seolah ingin menunjukkan kalau saat ini adalah waktunya memasak. Yuigahama pun ikut mengenakannya, namun sepertinya sudah kelihatan kalau ia belum pernah sekalipun mengenakan celemek; ia mengikat talinya dengan sembrono, sampai-sampai jadi kusut.
"Ikatan tali celemekmu kusut. Apa kau sungguh tak tahu caranya mengikat celemek?"
"Maaf. Terima kasih... eh, apa?! Kalau cuma mengikatnya saja, aku bisa, kok!"
"Kalau begitu, tolong ikat celemeknya dengan benar. Jika tidak, nanti kau bisa berakhir seperti anak itu – yang tak bisa kembali lagi ke titik balik hidupnya."
"Jangan menggunakanku sebagai contoh negatif. Memangnya aku ini Namahage?"[12]
"Padahal ini pertama kalinya kau bisa tampak berguna bagi orang lain, harusnya kau sedikit senang... oh, tapi jangan cemas; meski kau membandingkan dirimu dengan Namahage, aku takkan mau macam-macam dengan kulit kepalamu, jadi tenang saja."
"Siapa juga yang cemas soal... hei, hentikan. Jangan pandang rambutku dengan senyum mencurigakan itu." Dengan maksud menghindar dari senyumnya – sebuah ekspresi yang biasanya tak pernah ia tunjukkan – kulindungi rambut ini dengan tanganku.
Kudengar tawa cekikik dari Yuigahama. Dan sudah ditebak, ia masih berusaha mengikat celemeknya sembari menyaksikan perdebatanku dengan Yukinoshita dari kejauhan.
"Jadi kau masih belum mengikatnya? Atau jangan-jangan kau memang tak bisa? ...ya ampun, ayo sini. Kubantu kau mengikatnya." Yukinoshita tampak frustasi, sekilas memberi isyarat pada Yuigahama.
"...ah, enggak apa-apa, kok." Gumam Yuigahama, menampakkan sedikit keraguan, dan bolak-balik melihat ke arahku dan ke arah Yukinoshita. Ia tampak seperti anak kecil yang sedang tersesat dan gelisah.
"Cepat sini." Nada bicara Yukinoshita yang dingin seakan menyingkirkan keraguan Yuigahama. Aku tak tahu apakah ia sedang marah atau tidak, yang pasti ia terlihat sedikit menakutkan.
"Ma-ma-ma-maaf!" Jawab Yuigahama dengan suara terpekik, lalu berjalan mendekat pada Yukinoshita. Memangnya ia anak anjing, apa?
Yukinoshita lalu bergerak ke belakang Yuigahama dan segera mengikat ulang tali celemek perempuan itu.
"Yukinoshita... rasanya kau jadi seperti kakakku saja, ya?"
"Yang jelas adikku takkan jadi separah dirimu." Yukinoshita mendesah dan tampak tak senang, namun entah kenapa, aku sebenarnya setuju dengan pemikiran Yuigahama.
Kalau melihat Yukinoshita yang dewasa bersanding dengan Yukinoshita yang kekanak-kanakan, rasanya memang seperti sedang melihat kakak-adik. Kalau dilihat lagi, memang terasa ada semacam jalinan kekeluargaan di antara mereka.
Di sisi lain, jika kebanyakan pria setengah baya menganggap bahwa perempuan akan tampak bagus bila mengenakan celemek tanpa memakai apa-apa di baliknya, justru menurutku akan terlihat sangat bagus jika ada seragam sekolah di balik celemek tersebut.
Saat membayangkannya, hatiku terasa begitu hangat dan tanpa sadar aku menyengir sendiri.
"He-hei, Hikki..."
"A-apa?" Suaraku terbata. Sial. Mungkin tampang di wajahku sempat terlihat menjijikkan tadi. Dan tanpa sengaja, jawaban gugupku malah menambah betapa jijiknya hal tersebut.
"Ba-bagaimana pendapatmu terhadap perempuan yang pandai memasak?"
"Bukannya aku enggak suka, sih. Bukan pula seolah para lelaki menganggap itu sebagai hal yang menarik."
"Be-begitu, toh..." Setelah mendengarnya, Yuigahama tersenyum lega. "Baiklah! Kita mulai sekarang!" Ia gulung lengan bajunya, memecahkan telur dan mulai mengocoknya. Lalu ditambahkannya tepung terigu, kemudian gula, mentega dan sedikit perisa, termasuk aroma vanili di dalamnya.
Meski aku bukan orang yang ahli dalam seni memasak, tapi bisa kulihat dengan jelas kalau kemampuan Yuigahama masih jauh dari normal. Aku yakin, bagi dirinya, membuat kue kering adalah hal yang berada di luar jangkauan. Padahal itu hal yang sangat sederhana, jadi bukan hal sulit untuk mengetahui seberapa jauh kompetensi dirinya dari standar normal. Kemampuan Yuigahama yang sebenarnya, tanpa ditutup-tutupi, telah terpampang jelas.
Yang pertama, kocokan telur. Masih ada cangkang yang ikut tercampur di dalamnya. Yang kedua, perisanya masih menggumpal. Yang ketiga, menteganya masih keras. Bisa ditebak, ia keliru mengganti tepung dengan garam, dan berlebihan menuang susu beserta aroma vanilinya hingga tumpah dari mangkuk.
Ketika sekilas pandanganku tertuju ke Yukinoshita, bisa kulihat wajahnya yang pucat sembari menaruh tangan di dahinya. Bahkan untuk juru masak payah sepertiku saja, sampai merinding. Apalagi Yukinoshita yang memang hebat dalam memasak, hal ini pasti sebuah aib besar.
"Sekarang kita perlu..." Yuigahama terhenti dan mengambil bubuk kopi.
"Kopi? Kukira itu untuk diminum, mungkin akan mudah dicerna kalau dijadikan makanan, ya? Ide yang hebat."
"Eh? Bukan begitu. Justru ini bahan rahasianya. Anak lelaki enggak suka makanan manis, 'kan?" Wajah Yuigahama memerah sembari melanjutkan perkerjaannya. Dengan pandangan terfokus pada tangannya, adonan hitam segera terbentuk di tengah-tengah mangkuknya.
"Pastinya itu tak lagi jadi bahan rahasia."
"Waduh!? Ih. Biar nanti kutambahkan tepung saja supaya jadi lebih bagus." Nyatanya, ia cuma mengganti adonan hitam itu menjadi adonan yang lebih putih. Kemudian, gelombang besar dari kocokan telur mulai menyapu adonan tersebut, yang seakan menggambarkan kejinya neraka.
Biar kusimpulkan: Kemampuan memasak Yuigahama memang payah. Ini bukan tentang masalah mampu atau tidaknya – untuk kemampuan dasar saja ia tak punya. Sikap plin-plannya di luar kewajaran, bahkan untuk melakukan hal yang mudah saja, ia gagal. Ia adalah orang yang tak ingin kujadikan partner saat tugas di laboratorium. Yang ada, ia cukup plin-plan untuk membuat dirinya sendiri terbunuh.
Akhirnya benda itu pun selesai dipanggang, dan keluarlah kue panas yang terlihat gosong. Dari baunya saja bisa kutebak kalau rasanya pahit.
"Ko-kok bisa?" Yuigahama terpaku ngeri saat melihat sebuah aib di hadapannya.
"Aku sungguh tak mengerti... bagaimana mungkin ada kesalahan yang bisa terjadi secara berturut-turut...?" Gumam Yukinoshita. Kurasa ia berkata pelan begitu agar tak didengar Yuigahama. Meski begitu, ia tadi terlihat keceplosan karena geregetan.
Yuigahama mengambil aib itu dan meletakkannya di atas piring. "Mungkin kelihatannya saja begini, tapi... mana kita tahu sebelum mencicipinya!"
"Kau benar. Di sini kita punya orang yang bertugas untuk itu."
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Yukinoshita. Benda aneh ini kausuruh aku... kalau yang begini, namanya pengujian racun."
"Kok racun, sih?! ...racun ...ya, mungkin saja ini memang beracun?" Dibandingkan sangkalan yang dipaksakannya di awal, Yuigahama kini malah tampak cemas sambil memiringkan kepalanya, seakan ingin bertanya, Bagaimana ini?
Hal tersebut sudah tak perlu dijawab lagi. Kupalingkan wajahku dari ekspresi Yuigahama yang seperti anak anjing itu dan coba menarik perhatian Yukinoshita.
"Hei, apa ini benar-benar harus kumakan? Ini sangat mirip dengan batu arang yang dijual di Joyful Honda."[13]
"Karena kami tak memakai bahan-bahan yang tak layak konsumsi, mestinya kau akan baik-baik saja. Setidaknya begitu. Dan..." Yukinoshita terhenti sejenak, lalu mulai berbisik. "...aku juga akan memakannya, jadi kau tak perlu risau."
"Serius? Apa jangan-jangan kau ini memang orang baik? Atau barangkali kau suka padaku?"
"...setelah kupikir lagi, lebih baik kau makan semuanya dan mati sendiri saja sana."
"Maaf. Tadi aku sempat kaget, makanya aku jadi mengoceh tak jelas." Semua gara-gara kue kering ini... meski patut dipertanyakan, apakah aib yang ada di hadapan kami ini masih bisa disebut kue kering.
"Aku memintamu untuk mencicipinya, bukan justru mempersoalkannya. Terlebih, aku sudah terlanjur menyetujui permintaan Yuigahama. Setidaknya aku harus bertanggung jawab." Yukinoshita menarik piring itu ke sisinya. "Jika tak bisa menemukan akar permasalahannya, situasi seperti ini takkan berakhir. Walau itu tak bisa dianggap sebagai harga yang dibutuhkan untuk sebuah rasa ingin tahu."
Yukinoshita memandangku setelah mengambil satu dari aib berwarna hitam itu – yang mungkin akan salah dikira batu bara. Matanya tampak sedikit berkaca-kaca. "Kita takkan mati, 'kan?"
"Justru itu yang mau kutanyakan..." Kupandangi Yuigahama, yang juga sedang memandang kami, yang seolah juga ingin ikut bergabung.
...bagus. Alangkah baiknya jika ia saja yang memakan semuanya. Ia pun harus mengerti penderitaan orang lain.
Catatan Penerjemah
- ↑ Huruf kanji untuk kata sarkasme adalah 皮肉 (hiniku) yang di dalamnya memuat huruf kanji 肉 (niku) yang berarti daging. Sehingga pada kalimat tersebut, Bu Hiratsuka memang sengaja bermain kata-kata.
- ↑ Teori Superstring merupakan teori untuk menyelesaikan masalah dimensi dalam ilmu fisika, karena saat terjadi Big Bang sewaktu semesta kita terbentuk, diketahui bahwa terdapat sepuluh dimensi dalam semesta kita, padahal saat ini kita hidup dalam empat dimensi. Dalam teori ini lintasan dimensi digambarkan sebagai string (tali) dengan panjang tak terhingga. Karena adanya dimensi yang lebih dari empat itulah kemudian muncul angan-angan ilmuwan untuk bisa pergi sejauh ribuan hingga jutaan tahun cahaya dalam waktu singkat, yaitu dengan cara lintas dimensi.
- ↑ Mungkin di kalimat ini Hachiman sedang menyinggung serial 青年のための読書クラブ (Seinen no Tame no Dokusho Club). yang bisa diartikan secara harfiah menjadi Klub Membaca Untuk Kawula Muda.
- ↑ Sebenarnya kata yang dipakai pada novel aslinya adalah ビッチ (bitchi), kata serapan dari Bahasa Inggris yaitu bitch. Tapi untuk kata tersebut, di Jepang konotasinya berbeda dengan arti kata sebenarnya dari Bahasa Inggris (yang berarti semacam pekerja seks komersial), dan lebih condong kepada perempuan yang gampang untuk diajak berhubungan seks dengan lawan jenis. Di sini sengaja memilih istilah bispak (bisa dipakai), karena memang pengertiannya serupa, juga untuk lokalisasi istilah.
- ↑ Untuk pergaulan di zaman sekarang, yang membedakan perempuan bisa disebut sebagai seorang gadis atau seorang wanita, biasanya dilihat dari perawan atau tidaknya perempuan tersebut. Seorang perempuan bisa disebut sebagai wanita jika sudah pernah berhubungan seks. Sedang kalau masih disebut sebagai gadis, berarti perempuan tersebut masih perawan dan cenderung masih dianggap anak kecil.
- ↑ Hikikomori adalah sebutan bagi orang-orang yang kehidupannya mengurung diri di dalam kamar. Biasanya mereka menjauhi orang-orang dan sulit bergaul di lingkungan masyarakat.
- ↑ Ryuu Murakami adalah pengarang novel Almost Transparent Blue yang isi ceritanya memuat masalah pergaulan bebas dan narkoba di kalangan pemuda Jepang.
- ↑ Pada LN aslinya kata yang dipakai adalah クッキー (kukkii), kata serapan dari Bahasa Inggris cookie, dan terdengar seperti 空気 (kuuki) yang berarti udara. Harfiahnya, Hachiman berkata, anak-anak di kelas memperlakukanku seperti udara.
- ↑ Sportop adalah merek minuman energi yang populer di kalangan anak SMA.
- ↑ Yasai Seiktasu adalah merek populer minuman jus sayuran di Jepang.
- ↑ Standar moral merupakan sebuah dasar dalam memutuskan apakah suatu tindakan atau aktivitas yang dilakukan benar atau salah.
- ↑ Namahage adalah orang yang memakai kostum iblis guna menakut-nakuti anak-anak yang punya kelakuan buruk.
- ↑ Nama toko di Jepang.
Mundur ke Bab 2 | Kembali ke Halaman Utama | Lanjut ke Bab 4 |