Oregairu (Indonesia):Jilid 1 Bab 4
Meski Begitu, Kelas Berjalan Seperti Biasanya
Bel berakhirnya jam pelajaran ke empat pun berbunyi. Mendadak, suasana kelas menjadi lebih santai. Sebagian murid sudah berhamburan keluar membeli jajanan di kantin, sementara, sebagiannya mencari-cari kotal bekal mereka di dalam laci meja. Lalu sisanya, ada yang pergi ke kelas lain. Selama istirahat makan siang, ruang kelas kami memang selalu dipenuhi kehebohan. Dan tak ada tempat yang bisa kutuju jika hujan begini. Biasanya, aku punya tempat bagus untuk menikmati makan siangku, tapi mana aku mau kalau makan sambil basah-basahan.
Karena terpaksa, akhirnya kumakan saja roti yang kubeli dari toko kelontongan ini sendirian. Kalau cuaca sedang hujan begini, biasanya jam istirahat kuisi dengan membaca novel atau manga, tapi ternyata, buku-buku itu ketinggalan waktu aku membacanya di ruang klub kemarin. Ya sudahlah, nanti saja kuambil kalau sudah cukup istirahatnya.
Aku jadi ingat kalau kalimat, Melakukan sesuatu di akhir festival, berbeda dengan, Melakukan sesuatu saat festival telah berakhir.[1]
Lelucon yang bahkan aku sendiri tak menganggapnya lucu. Yah, memang sebanyak itulah waktu senggang yang kupunya saat istirahat. Walau selalu kepikiran macam-macam, sebenarnya cukup wajar bila aku menghabiskan waktuku ini untuk diriku sendiri, makanya, terkadang aku selalu membuat kesimpulan untuk berbagai hal.
Saat aku sudah di rumah, banyak hal yang bisa kulakukan bila sendirian. Contohnya, aku sering beryanyi keras-keras dengan penuh semangat. Dan ketika adikku datang, biasanya akan kualihkan seperti, Motto! Mott— ...selamat datang. Tentu saja, aku tak pernah bernyanyi di dalam kelas.
Sebenarnya aku pun sering memikirkan banyak hal. Bisa dibilang, para penyendiri itu ahli dalam pemikiran. Seperti yang kita tahu, manusia itu makhluk berakal, dan setiap manusia pasti akan berpikir. Namun di antara mereka, ada para penyendiri yang tak mau membuang waktunya untuk memikirkan manusia lain, sehingga pemikiran yang mereka miliki secara alami menjadi semakin mendalam dan lebih ilmiah.
Alhasil, para penyendiri punya pola pikir yang sangat berbeda dibanding manusia lain. Karenanya, di saat tertentu, para penyendiri kerap melontarkan konsep maupun gagasan yang berada di luar nalar manusia biasa.
Sulit untuk menyampaikan banyaknya informasi dengan keterbatasan komunikasi verbal yang dimiliki oleh para penyendiri. Fenomena tersebut mirip dengan sistem operasi sebuah komputer.
Butuh cukup waktu dalam mengunggah sejumlah besar informasi pada server untuk mengirim sebuah surel, hal yang sama juga dialami oleh para penyendiri yang kurang pandai berkomunikasi. Seperti itulah keadaannya. Menurutku, hanya karena lemahnya salah satu penunjang, bukan berarti itu jadi hal buruk. Mengirim surel bukan satu-satunya keutamaan dari sebuah komputer. Padahal masih ada Photoshop dan Internet, ya 'kan?
Pembahasan ini kini malah berubah menjadi penilaian yang didasarkan hanya pada salah satu faktor saja. Yah, walau aku menggunakan perumpamaan sebuah komputer, tapi aku bukan orang yang ahli dalam hal tersebut.
Biarpun begitu, aku ini ahli dalam memainkan game yang dianggap sulit oleh para anak lelaki di kursi depan kelasku ini. 'para anak lelaki' yang kumaksud yaitu mereka yang dengan sengaja membawa PSP ke sekolah. Mereka ialah Oda dan Tahara.
"Lo, kok malah pakai hammer, sih?!"
"Kalau pakai 'gunlance', nanti bakal jadi pembantaian."
Mereka tampak sedang bersenang-senang. Padahal aku juga memainkan game itu, dan kalau boleh jujur, aku juga mau bergabung bareng mereka.
Di masa lalu, para penyendiri adalah orang yang bisa memonopoli manga, anime maupun game untuk diri mereka sendiri. namun keadaannya sekarang, beberapa media telah berubah menjadi wadah yang mengharuskan para penyendiri untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
Sayangnya, akibat tampangku yang pas-pasan ini, maka ketika kucoba bergabung dengan mereka, aku malah dianggap resek juga cupu. Ya sudah, mau bagaimana lagi?
Catatan Penerjemah
- ↑ Dalam LN aslinya Hachiman membandingkan antara kalimat 後の祭り, ato no matsuri dengan 祭りの後, matsuri no ato, yang merupakan sebuah ungkapan, yang jika dalam Bahasa Indonesia mirip seperti ungkapan 'nasi sudah menjadi bubur', yang menandakan sesuatu yang sudah terlambat.
Kembali ke Halaman Utama | Lanjut ke Bab 5 |