Hakomari (Indonesia):Jilid 5 Bab 4
Adegan Ketiga: Ulangi, Kembali, Kembali
- 1. RUANG KELAS
- Ruang kelas dari murid SMA Kelas 1-6; pulang sekolah. Itu adalah pengulangan ke-1533 dari 'Kelas Penolakan'. Diluar, langitnya mendung seperti sebelumnya di pengulangan ke-1532. OTONASHI MARIA duduk di meja guru dan berbicara pada OOMINE DAIYA.
- Ia telah mengetahui kalau MARIA bukan hanya murid pindahan biasa dan kelihatan sangat peduli padanya.
- DAIYA
- ...Jangan menatapku. Aku tidak suka tatapanmu. Itu terasa seperti kau bisa melihat apa yang ada dibalik diriku.
- MARIA
- Itu cukup benar asal kamu tau. Itu karena, aku tau hal lebih dari seorang murid pindahan biasa ketahui di hari pertamanya. Aku sudah memeriksa setiap murid di sini untuk mencari 'pemilik' 'Kelas Penolakan'.
- DAIYA menunjukkan seyuman tajam dan berlaga untuk menghinanya.
- DAIYA
- Tak masuk akal. Biar kutanya: apa yang kau tau?
- MARIA
- Aku tau apa yang ada dibalik punggung Kirino Kokone.
- Wajah Daiya terlihat menegang.
- DAIYA
- ...Kenapa kau tau itu? Hal yang mustahil Kiri tunjukkan pada "siapapun", adalah itu. Bahkan aku hanya melihatnya sekali. ..hei, jangan bilang kau orang yang menyakitinya?
- MARIA
- Ini ke-22 kalinya.
- DAIYA
- Apa?
- MARIA
- Ini ke-22 kalinya kamu menanyakan itu setelah mendengar punggung Kirino Kokone.
- DAIYA mengerutkan dahinya.
- Ia tidak mengingat pernah menanyakannya. Sebagai satu-satunya orang yang bisa mempertahankan ingatannya di 'Kelas Penolakan', MARIA juga jadi satu-satunya saksi.
- Ingatan yang dia lalui sendiri melintasi fikiran MARIA dan membuatnya mendesah karena kelelahan.
- MARIA
- Biar kujelaskan caranya.
- MARIA memberi tau DAIYA kalau dia telah menghabiskan 2 Maret yang sama 1533 kali. Untuk sesaat, Daiya mendengar yang dikatakannya tanpa mengatakan apapun.
- DAIYA
- Oh. Kau menyebut punggung Kiri agar aku percaya cerita anehmu. Tapi, hei, kau pasti telah menyewa detektif atau apalah itu untuk mengetahui masa lalu Kiri.
- MARIA
- Apa kamu ingin aku menceritakan cerita yang hanya kamu dan satu orang lainnya ketahui?
- DAIYA
- ...Apa?
- MARIA
- Teman masa lalumu, Karino Miyuki menembakmu, tapi kamu tolak.
- Mata DAIYA melebar untuk sesaat, tapi ia langsung menahan keterkejutannya.
- DAIYA
- Ya, itu cerita yang hanya aku dan Rino ketahui. Aku belum pernah menceitakannya pada orang lain, dan aku yakin dia juga. Mustahil untuk mengetahuinya dengan cara biasa.
- MARIA
- Ya. Aku tidak mungkin tau itu kalau bukan kamu yang menceritakan itu sendiri.
- DAIYA
- Mustahil. Mau 'Kelas Penolakan' itu ada atau tidak, aku tak akan menceritakannya pada siapapun.
- MARIA
- Masuk akal kalau kamu tidak mau melakukannya kalau di kondisi biasa. Kamu bahkan bilang sendiri: kalau kamu tidak pernah mau menceritakan insiden yang membawa penderitaan pada Kirino.
- DAIYA menatap MARIA dengan tegang karena dia telah membawa pembicaraan yang menjengkelkan. Tatapannya mengganggu Maria, tapi dia tidak menunjukkan kepedulian. Dia telah bisa menutupi perasaanya sebelum pengulangannya masuk empat digit angka.
- MARIA
- Ada alasannya.
- DAIYA
- Omong kosong! Aku yakin 100% mustahil kuberitau padamu insiden itu!
- Pengungkapan keberatannya yang keras membuat Maria sedikit kecewa, tapi dia berpura-pura tidak terpengaruh dan terus bicara.
- MARIA
- Kamu mengatakan rahasia terburukmu karena kamu ingin membantuku. Itu ada di pengulangan yang ke-1532.
- DAIYA
- Kau bercanda? Untuk membantumu? Kalau kau ingin bohong, setidaknya buat kebohonganmu bisa dipercaya!
- MARIA
- Sebuah ‘kotak’ yang bisa 'mengabulkan' segala keinginan.
- DAIYA
- ...Terus?
- MARIA
- Sikapmu berubah setelah kamu menyadari kalau semua yang kukatakan tentang ‘kotak’ ini benar. Kamu seharusnya tau kenapa. Kamu punya 'keinginan' yang ingin kamu penuhi apapun yang terjadi.
- DAIYA
- ......(menaikkan alisnya.)
- MARIA
- Kelihatannya kamu punya firasat. Kamu menginginkan ‘kotak’, jadi sebagai ganti pertolonganmu, kamu memintaku untuk mendapatkan satu.
- DAIYA
- ...(merenung)...Tapi karena aku itu skeptis, aku tak pernah percaya cerita soal ‘kotak’ dan 'Kelas Penolakan' itu dengan mudah. Tetapi, aku memberitau padamu sesuatu yang kau tidak seharusnya tau—sesuatu tentang diriku dan Rino—dan untuk membantumu agar aku percaya padamu. Pada diriku di masa depan—diriku di pengulangan ke-1553—agar tau kalau kau tau mengatakan kebenarannya.
- MARIA
- Baiklah.
- DAIYA
- ...cih...aku tak ingin mengakuinya, tapi orang berdarah dingin, yang melakukan pendekatan untuk mendapatkan hasil itu adalah diriku.
- Setelah hatiya tenang, Maria keluar dari bangku guru.
- Dia duduk di meja guru itu untuk memberikannya keyakinan yang kuat, tapi sifat baiknya sendiri membuatnya merasa tidak nyaman duduk di sana.
- DAIYA
- Sekarang aku tau di mana aku berada, tapi bagaimana denganmu? Apa yang kau dapat setelah memberitauku soal ini?
- MARIA
- Aku bisa menjadikanmu rekan.
- DAIYA
- Kau butuh?
- MARIA
- Kau lihat, aku kebingungan. Aku harus mengganti pendekatanku.
- DAIYA
- Jadi kalau kau butuh rekan, kenapa kau memilihku?
- MARIA
- Itu pertanyaan retoris. Kamu orang terpintar di kelas ini. Terlalu pintar sampai kufikir kamulah si 'pemilik' itu, meski tidak ada alasan lain untuk mencurigaimu. Kamu bukan lagi dalam daftar yang mencurigakanku lagi, karena kamu tidak punya kesadaran 'pemilik'.
- DAIYA
- Pintar, 'kah? Yah, kau benar, tapi alasannya masih terlalu lemah kalau kau memaksaku menjadi rekanmu. Aku yakin kau sudah punya rekan lain juga, memanfaatkan ingatan kita yang hilang, 'kan? Partner sampah macam apa kau!
- MARIA
- Jangan kuatir. Aku tidak tau kedepannya, tapi kamu rekan pertamaku. Kamu juga yang pertama kusukai untukku jadikan rekan. Mungkin karena—
- MARIA berhenti sebentar, tapi kemudian dia melanjutkan.
- MARIA
- Kamu mirip denganku.
◆◆◆ Oomine Daiya - Jum'at, 11 September 20:01 ◆◆◆
Supaya jelas saja: targetku adalah Otonashi Maria.
Kalau Kazu masih berfikir aku akan mengincar Kiri, dan berfikir kalau aku akan mengincarnya sebelum Maria, maka akan mudah untuk kukalahkan.
Tapi, bukan berarti aku bisa santai sekarang.
"—U...ghk!" Aku mengerang di pintu masuk.
Menonton "Terpisah 60 Kaki dan 6 Inci" dalam 'Teater Penghancur Keinginan' telah buatku hancur.
...Aku tak pernah sadar.
Aku tak pernah berfikir barang sedetik kalau Haruaki punya ketertarikan terhadap Kiri. Aku selalu berfikir kalau Haruaki mengorbankan kehidupan baseballnya untuk masuk SMA karena ia. Tidak bisa melupakan yang terjadi pada Kiri. Aku tidak tau kalau rasa cintanya juga termasuk.
Ya. Aku bukan hanya mengacaukan hidup Kiri, tapi juga hidup Haruaki. Aku selalu menikmati hidupku meski sudah mengacaukan hidup orang lain.
"......Berisik."
—Jangan berfikir seperti itu, aku!
Kalau aku menyalahkan diriku, aku akan diserang lagi oleh "Bayangan Dosa" dari dalam tubuhku. Mereka berada di keabadian dan menunggu kesempatan untuk menyerang balik. Sekali saja lengah dan mereka akan mengamuk.
"Ugh!"
Tiba-tiba aku mendapatkan rasa mual... Aku harus bertahan. Kalau aku muntah, rasanya seperti aku akan memuntahkan nyawaku.
Harus kutelan.
Harus kutelan semua.
"Jahatnya," Yanagi mengatakannya dengan tangan yang mengusap punggungku. "Kalau saja kamu nggak mengejar Kirino-san dan memberinya ke Usui-san, pasti nggak akan seperti itu."
"......Hah?"
"Aku sering ke kelasmu untuk bertemu Kazuki-san, Kirino-san sama Usui-san selalu ceria. Tapi mereka cuma pura-pura senang untukmu, 'kan? Mereka harus seperti itu karena mereka nggak bisa tentram lagi, 'kan?"
Dengan senyuman kecil, dia terus mengusap punggungku dan melanjutkan.
"Itu semua untukmu, 'kan?"
Aku tau maksudnya...maksud dari kalimat itu.
—MEREKA BEGITU KARENA SALAHMU!
Tepat. Tepatepatepat ...tepat.
Kegelisahan merangkak keluar tengkorakku seperti serangga dan membuat mataku sakit. Senyuman menjijikan gadis itu menyakitiku. Tak peduli dia benar atau tidak, senyumannya membuatku kesal.
Disaat kumemikirkannya—
Aku mencekiknya.
"——— Aaaaaaaaaaaah!"
Aku tak tau kenapa aku berteriak.
Tubuhku, tanganku, tenggorokanku bergerak sendirinya, seperti sesuatu telah mengambil alih tubuhku. Aku bergerak secara otomatis. Tapi aku tau kalau aku sendirilah yang mengambil alih...aku dikendalikan diriku sendiri.
"Aakkh!"
Setelah mendengar erangan Yanagi dan melihat wajahnya yang memucat, aku kembali mendapat kendali diriku.
Dengan cepat kulepaskan tanganku dari lehernya.
Yanagi terjatuh ke tanah dan sedikit batuk-batuk.
"Uh, gh—"
Aku melihat tanganku.
Brengsek... Apa yang terjadi denganku? Mencekik seorang gadis...itu gila. Kalau aku belum kembali, pasti sudah berakhir dengan buruk.
Aku menjadi sadar—hanya sedikit saja perbedaan bisa membuat kesalahan fatal.
Aku menyentuh anting di telinga kananku.
Ah, bajingan, jangan terpengaruhomong kosong. Aku tak bisa kembali. Aku tak punya waktu untuk memikirkan pemikiran bodoh.
Aku harus kembali pada diriku yang lama. Aku harus kembali menjadi orang yang tenang dan perhitungan.
"Yanagi," panggilku dengan ketenangan yang kupaksakan.
Dia menatapku dengan air mata dalam matanya.
"Kau fikir aku belum sadar?"
Setelah batuk beberapa kali, dia bertanya, "... Apa, yang kamu bicarakan?"
"Apa yang kau katakan tadi bertujuan untuk membuatku menderita dan sebagai keinginan Kazu."
Dia diam untuk beberapa detik.
"...? Apa maksudmu? Aku nggak ngerti maksudnya."
Dia memainkan peran lugunya dan memasang wajah yang bingung, seperti dia tak tau maksudku.
Aku lebih terpukau ketimbang marah. Gadis licik. Kalau aku belum sadar sifat aslinya, aku pasti sudah tertipu.
"Kazu mengirimmu kemari untuk membebaniku, 'kan?"
"......," dia tetap diam untuk waktu yang cukup untuknya mempelajari mimik wajahku. "Aku nggak ngerti maksudnya. Aku cuma dipaksa kemari karena [perintah]-mu, Oomine-san. Bagaimana bisa Kazuki-san ada hubungannya?"
Hmph, kurasa aku mengerti.
"Aku sudah mengira pasti dirimu."
Kali ini dia melebarkan matanya.
"K-Kenapa? Kalau 'gitu seharusnya orang lain selain aku yang dapat informasinya lebih dulu! Karena masih ada ribuan [pelayan] selain aku!"
"Ini Kazu yang kita bicarakan; ia sudah mengincarmu tepat setelah kau jadi [pelayan]. Setelah tertangkap, kau mengatakan [perintah] yang aku berikan, dan membuatnya sadar kalau [perintah] tak dapat dihentikan. Sekarang, apa yang akan ia lakukan? Mudah: ia akan memberimu informasi agar [perintah] yang kubuat tidak meningkat. Juga, ia ingin menyakitiku dengan mengirim seseorang yang ada di sisinya. Kau sangat cocok untuk peran itu. Pertama, kau licik, dan kedua, kau cinta padanya dan mudah untuk dikendalikan," aku tersenyum dan melanjutkan. "Jadi? Aku benar?"
Yanagi tak menjawab.
"Oh, bahkan kau tak mau menjawab, kau akan menjawab kalau aku memberimu [perintah]. Tapi itu tidak perlu. Sikapmu sendiri sudah mengatakannya."
"Uh..."
"Kuakui Kazuki cukup kuat. Tapi jika berhubungan dengan taktik, ia takkan memenangkannya. Pada akhirnya, ia hanya akan menari dalam permainanku."
Ia mengirim Yanagi padaku sebagai mata-mata untuk melindunginya sendiri dan menyerangku.
Tapi ia tak mengerti bahwa menggunakan orang lain itu beresiko. Sebagai pemilik 'Hukuman dan Bayangan Dosa', aku sudah mengerti keburukan orang-orang sekarang jauh lebih buruk.
Itu kenapa Kazu akan kalah.
"Yanagi, kau suka Kazu, 'kan?"
"...T-Terus?"
"Kalau memungkinkan, kau ingin Kazu membalas perasaanmu, 'kan?"
"Yah... Mungkin..."
Kelihatannya dia belum sadar kenapa aku membicarakan masalah ini.
"Aku punya rencana agar Kazu peduli padamu."
"......"
Dia ini licik, dan kelihatannya Yanagi sadar apa maksudku.
"Kazu dan Otonashi punya hubungan yang sangat kuat. Tentu, mustahil untuk untuk menghancurkannya. Itu takkan berubah meskipun kau menolongnya. Kau tau itu, 'kan?"
"...Apa yang ingin kamu ungkapkan?" Tanya dia, meskipun dia sudah tau jawabannya.
Aku akan mengatakannya langsung untuknya.
"Khianati Kazu."
Mimik Yanagi tak berubah.
"Aku sudah berencana untuk menghancurkan hubungannya agar tujuan Kazu hancur. Kau dan aku punya ketertarikan yang sama."
Yanagi tetap diam, tapi kemudian dia menatapku.
"Apa yang kamu maksud? Aku nggak peduli soal ketertarikan dan rasa sukanya. Kenapa aku harus bekerja sama sama orang yang membunuhku di permainan itu dan menjebakku sekarang? Apa kamu fikir kalau aku akan mengkhianati orang yang kusuka buatmu?"
"...Kau fikir keadaan Kazu yang sekarang itu yang ia sukai?"
"Jangan ubah pembicaraannya, tolong. Aku tau kamu hebat buat mengacau."
"Kau tak berfikir begitu, 'kan? Kazu yang menolak keinginannya untuk mendapatkan 'box' dan membuat 'O' terus berada di dekatnya tak akan baik untuk Kazu."
"Jangan abaikan aku."
"Siapa yang harus disalahkan? Siapa yang membuatnya begitu?"
"...Dengar,"
"Otonashi Maria."
Yanagi menelan kembali apa yang akan dia katakan setelah mendengar nama itu.
Aku terus mengamati reaksinya dengan dekat.
"Ia bertarung denganku sekarang karena Otonashi. Karena ia menyukainya, ia memilih untuk berurusan dengan 'box' dan menghalangiku. Supaya jelas saja: aku tidak peduli dengan Kazu. Aku tak punya keinginan sedikitpun untuk membunuhnya, maupun mengalahkannya. Malahan, aku ingin membuatnya bahagia. Maksudku, aku tak berlawanan dengannya, 'kan?"
"......"
"Kalau Otonashi menghilang, ia takkan punya alasan untuk melawanku, dan ia akan dibebaskan dari 'box'. Benar: tindakkan yang ia lakukan takkan membawanya kedalam kebahagiaan. Untuk kebahagiaannya, Kazu kalah atau menang tidak berpengaruh. Jadi bagaimana kau bisa membuat situasi yang cocok untuknya?"
Aku mengatakannya dengan gamblang.
"Otonashi harus dijauhkan dari Kazu. Jika itu terjadi, ia akan hidup dengan bebas."
"......"
"Ia bisa hidup senang."
"......Tapi Kazuki-san nggak mengharapkan itu."
Setidaknya Yanagi menjawab omonganku.
Aku senang secara mental, tapi tentu aku menyembunyikan kesenangan itu dari Yanagi.
"Keinginannya bukan hanya kesenangannya. Otonashi tak percaya akan apa yang ia lakukan, tapi Kazu yakin kalau tindakannya itu untuk Otonashi. ...Ya, kau, sebut saja, 'menolong Kazu untuk Otonashi'."
Aku menyebutnya begitu karena aku yakin Yanagi tak memikirkan Otonashi.
"Kau sepemikiran dengan Kazu?"
"Itu..."
"Biar kujelaskan lagi: kita punya ketertarikan yang sama. Yah... Kau mungkin membenciku, jadi aku takkan meyakinkanmu untuk bekerja sama denganku. Tapi apapun yang kau lakukan, tindakkanku takkan berubah. Aku akan menghancurkan tujuan Kazu. Dan untuk itu—"
Aku menyentuh salah satu antingku.
"Aku akan memisahkan mereka."
"......U..uh..."
Yanagi, yang seharusnya takkan pernah ingin bekerja sama denganku, mulai ragu.
Kurasa dia punya beberapa masalah kalau bekerja sama denganku atau melawan keinginan Kazu. Tapi Yanagi sudah memikirkannya, karena dia fikir kalau dia bisa membuat Kazu bahagia dengan mengabaikan perasaan itu.
".........Serius?"
"Maksudmu?"
"Apa kamu benar tak ada maksud menyakiti Kazuki-san?"
...Dan dia menanyakan hal semacam itu. Dia jelas-jelas mencari alasan untuk bekerja sama denganku. Dia ingin aku memberinya sedikit dorongan.
"Aku takkan menyakitinya...kurasa. Tapi, aku akan memisahkan Otonashi darinya, yang artinya ia akan menderita."
"Oh...begitu."
Sepertinya, dia sudah memilih untuk mengkhianatinya.
Dia akan melawan perasaannya sendiri dan mematuhiku. Meski itu artinya dia akan menderita akan penyesalan akibat mengkhianati Kazu, dia akan percaya kalau dia melakukan itu untuk Kazu.
Indah sekali cintanya.
—Yah.
Semua yang kukatakan itu kebohongan, sih.
Aku sudah mengira pasti dirimu. Itu kebohongan pertama.
Dari awal aku tidak mengira Yanagi, dan tidak berfikir kalau Kazu akan mengirim seseorang sampai dia sampai.
Aku menyadari ini karena kedatangan Yanagi terasa mencurigakan. Yanagi, dari 998 [pelayan]-ku, adalah yang pertama datang - itu terlalu aneh untuk hanya dianggap sebagai kebetulan.
Jelas-jelas Kazu sudah menatanya agar kemari.
Yah, mungkin kebohonganku bukan hanya gertakkan, tapi itu bisa membuat Yanagi menjauh dari pemikiran yang berbahaya dan membuatnya memikirkan lagi pada siapa dia harus bersatu.
Perkataan kalau Kazu takkan melawanku lagi setelah Otonashi hilang juga kebohongan.
Kazu melawan keberadaan 'box'. Ia melawanku tentu karena aku 'pemilik'. Itu sifatnya.
Terakhir, aku juga berbohong kalau ia akan bahagia setelah Otonashi dipisahkan darinya.
Aku tentu berfikir kalau Otonashi akan tumbuh dalam Kazu, itu bukan kebohongan. Tapi mustahil untuk melepas sesuatu yang sudah tertanam sangat dalam di dalam tubuhnya. Karena mereeka sudah menghabiskan seumur hidup bersama, ada sebuah hubungan yang takkan terhancurkan dari mereka. Memaksa menarik akar dari bagian yang sudah menjalar ke seluruh tubuhnya itu sesulit menghancurkan kanker yang sudah menyebar di mana-mana tanpa harus membunuh pasiennya. Itu juga jadi alasan kenapa aku berhenti untuk membuat Kazu dan Kiri bersama.
Sebut saja Otonashi berpisah dengan Kazu: kalau itu terjadi, ia takkan melupakannya. Ia mungkin akan lebih terpengaruh oleh Otonashi.
Hubungan yang erat adalah sebuah kutukan juga. Ia takkan bisa terlepas dari hubungan kuat itu.
Tetapi, aku tak berencana untuk membuat Yanagi dan Kazu bersama.
Semuanya kebohongan.
Yanagi hanya memperoleh kebencian darinya dengan menolongku.
Tapi tidak mudah untuk mengetahui kebohonganku.
Orang-orang sangat tertarik pada pemikiran yang sangat diinginkan. Yanagi juga sangat rapuh. Dia ingin percaya kalau dia bisa membuat Kazu bahagia dan menjadi kekasihnya.
Itu kenapa dia membuat pilihan yang ia mau.
"Apa yang kamu ingin aku lakukan?"
Yanagi Yuuri memilih—pengkhianatan.
"Apa yang bisa kulakukan?"
Wajahnya berubah dalam kehinaan.
Menahan perasaannya dan penyesalannya, Yanagi Yuuri memberikanku pertolongan untuk mempermainkan Hoshino Kazuki meskipun dia membenciku.
Bahkan tanpa sadar kalau ini hanya akan membuat Kazu hancur.
—Hahaha, makhluk yang menyedihkan. Kalau ini selesai, aku akan memberimu lolipop!
Menyembunyikan kesenanganku, kukatakan:
"Tak lama lagi, Otonashi akan kemari. Setelah dia di sini, kau hanya perlu gunakan lidah fasihmu seperti biasa untuk mengendalikan pembicaraannya. Itu caramu menolongku."
"...Bagaimana caramu membawa dia ke sini?"
"Tak lama lagi, dia akan mengirim Otonashi kemari."
"Dia?"
Aku menggumamkan nama orang yang bisa menggunakan kekuatanku:
"Shindou Iroha."
◇◇◇ Hoshino Kazuki - Jum'at, 11 September 20:26 ◇◇◇
Aku dapat telepon dari Iroha-san.
"Aku nggak mau bilang ini karena terlalu memalukan dan terdengar kayak penjahat yang mainstream, tapi persetan, lebih mudah kalau begini. Umm... Aku menyekap Otonashi Maria, jadi dengar yang apa yang kubilang kalau ingin dia kembali."
"...Kenapa?" Gumamku sendiri sembari menuju jalan kereta yang menanjak seperti yang dia maksud, sendirian seperti perintahnya.
Kenapa Iroha-san menculik Maria...?
Aku langsung menelepon Maria, hanya untuk memastikan.
—Tapi Maria tidak menjawab.
Ya, aku tau: itu bukan bukti nyata kalau dia diculik. Mungkin Maria hanya tidak mendengar ada telepon masuk.
Tapi karena aku tidak bisa berhubungan dengannya, aku harus memikirkan jalan terburuk dan pergi ke jalan kereta sendirian seperti yang diperintahkan - meski tau itu hanya jebakan.
"Kenapa?" ...karena aku pasti akan memilih menolong Maria.
Dan tentu, Iroha-san membuat perintahnya dengan pemikiran itu.
"...... Cih!"
Sial!
Aku sudah tau kalau dia adalah seorang [pelayan] karena 'Hukuman dan Bayangan', tapi sulit untuk membayangkan Iroha-san mematuhi Daiya.
Dan lagi, bagaimana dia bisa menculik Maria?
Maksudku, Yuuri-san bilang kalau tindakan yang melawan nilai moral pastilah telah [diperintahkan].
Dengan pengetahuan yang terbatas akan situasi di luar teater itu, Daiya tidak mungkin bisa memberi [perintah] sejelas "culik Maria dan pancing Kazu ke bawah jalan kereta dengan mengancamnya." Meski kalau Daiya memberi [perintah] itu, Iroha- san pastilah orang yang salah untuk melakukannya karena dia memiliki keinginan kuat dan pandai. Salah satu pemuja Daiya pasti akan lebih baik - seorang pemuja akan mengerjakan [perintah] Daiya dengan baik dan tanpa kecacatan. Kalau Iroha, ia meresikokan dia untuk mencari kesalahan di [perintah]-nya dan melakukan hal yang tidak terduga untuk mengacaukan rencananya.
Kesimpulanku, Iroha-san memilih untuk menculik Maria.
Saatku berlari, aku menarik lengan bajuku dan melihat jamnya. 20:27. Film ketiga, "Ulangi, Kembali, Kembali," akan dimulai. Masih ada tiga jam tiga puluh tiga menit lagi sampai hari ini berakhir.
Hari yang biasanya kusebut pendek, kini mulai terasa tidak ada akhirnya.
✵
Aku sampai di tempat yang dia tunjukkan.
Itu adalah gang di bawah jalan kereta yang disebelahnya terdapat. Sungai, jauh dari pusat kota.
Gambaran dengan pilok di tembok menjelaskan kalau ini tempat berandalan. Lampu jalanan yang paling dekat terlalu jauh untuk memberikan penerangan di tempat ini. Hal yang terlihat memancarkan cahaya hanyalah dari setengah bagian kanan wajah Iroha-san dari lentera yang dia siapkan.
Aku mendekatinya, menginjak rumput liar yang tumbuh. Aku tidak bisa melihat siapapun karena terlalu gelap, tapi aku merasakan keberadaan orang lain. Mereka mungkin tidak mencoba sembunyi dariku. Menurutku, mereka ingin keberadaannya yang setengah tersembunyi membuatku merasa gelisah.
Iroha-san duduk di samping coretan pilok di tembok.
"Guk, guk! Uuuh...!"
Di atas lelaki yang telanjang yang berdiri seperti anjing.
"Ya, ya, bocah kecil. Kazuki-kun sampai, 'kan?"
Si lelaki kursi itu menggonggong seperti anjing.
"...Ugh."
Aku merasakan perasaan menjijikan yang tidak bisa kujelaskan. Tubuhnya yang gemuk dan meliuk-liuk membuatku merasa lebih jijik.
Meski aku tidak ingin melihatnya, aku tidak ingin mengalihkan pandanganku juga. Pemikiran sesaat akan dirinya membuatku mengalihkan pandangan itu sulit. Enyahlah dari pandanganku! Aku tidak ingin berurusan dengan orang mesum yang gila!
—Sesuatu tiba-tiba saja memasuki kepalaku dan aku mencoba tenang.
"Fenomena ini..."
Ya, aku pernah melihatnya.
Aku tidak habis fikir kalau itu sampai seburuk ini pada kenyataannya, meski aku pernah dengar tentang ini di TV.
"'Manusia Anjing'." Gumamku—dan sadar. "Jadi 'Manusia Anjing' ada karena Daiya..."
"Tepat! Oh, tapi yang buat ini aku, bukan Oomine-kun."
"Apa? ...Tapi, bagaimana kamu bisa melakukannya, Iroha-san?"
"Aah, apa harus kujelaskan dari awal? Oke, 'gini, Kazuki-kun: aku punya kemampuan yang sama kayak Oomine-kun!"
"Eh? Tapi 'gimana—"
...Tunggu, Yuuri-san bilang kalau 'Hukuman dan Bayangan Dosa' itu dibagikan. Apa artinya bukan hanya Daiya yang bisa mengendalikan kekuatan itu?
Yang lain juga bisa...?
"Khusus informasi buatmu, aku satu-satunya orang yang punya kemampuan sama kayak Oomine-kun sekarang, jadi santai saja."
Aku merasa cukup lega setelah dia mengatakan itu.
...Jangan, aku tidak seharusnya merasa lega sekarang. Aku harus memastikan keselamatan Maria.
Aku melihat-lihat sekitar dengan melepas pandanganku dari si lelaki yang telanjang.
"Di mana Maria...?"
"Bukan di sini," jawabnya.
"Apa kamu benar menyekap..."
"Tentu. Lagian, karena [perintah] sebelumnya, aku jadi bisa tau di mana dia tinggal."
"Apa yang akan kamu lakukan padanya? Apa yang harus aku lakukan?"
Iroha-san menatap padaku. Tanpa menjawab, dia turun dari "Manusia Anjing".
Dan menendang kepalanya.
Dengan mengeluarkan seperti anjing yang kesakitan, si "Manusia Anjing" menatap ke atas pada Iroha-san dengan mata anak anjing.
Aku hanya mampu mengerutkan dahiku pada hal menjijikan yang terjadi di hadapanku.
...Tidak, bukan itu. Aku tidak sadar untuk sesaat karena merasa menjijikan, tapi bukan itu reaksi yang seharusnya kukeluarkan.
"A-Apa yang kamu lakukan?! Lelaki itu hanya [diperintahkan] untuk bertingkah seperti anjing! Ia juga manusia seperti aku dan kamu!"
"Manusia? Cih. Lihat lelaki ini - ia makhluk menyedihkan. Menjijikan, 'kan?"
"Yah, benar...tapi itu karena kamu membuatnya begitu!"
"Hah, serius? Asal kau tau, dia ini pedofil!"
"Apa?"
Apa katanya?
"Lelaki ini lolicon[1] yang sudah jadi sampah bahkan sebelum jadi anjing! Kekuatan 'box' ini memang cuma mengendalikan orang, tapi itu juga bisa buat secara sekilas melihat dosa orang lain, tau? Jadi, mudah buat cari sampah."
"...Apa kamu hanya mengincar kriminal?"
"Aku ingin coba membuat 'Manusia Anjing'. Tapi aku butuh orang yang pantas untuk dihukum. Yah, dan tiba-tiba saja ketemu orang ini! Memang 'gak harus lelaki ini, tapi kurasa itu cocok. Lagian, aku buat lelaki ini 'gak menambah korban lagi. Ia selalu melakukannya, umm, yah - memerkosa anak perempuan. Dan itu 'gak lagi bisa ditolong."
"......Tapi...apa itu benar?"
"Ya. Lelaki ini kalau nafsu pasti akan mendorong batangnya ke dalam lubang anak perempuan yang lagi menangis."
Iroha-san menendang kepalanya lagi.
Si "Manusia Anjing" mengeluarkan tangisan mengerikan.
Aku bisa hanya menatapnya.
"Hei, kamu 'gak bisa ngomong sekarang."
"Eh?"
"Kamu 'gak bilang jangan tendang lelaki ini."
Iroha-san memerintahkan si "Manusia Anjing" yang masih menangis, "Merangkak!" Lelaki itu berdiri seperti anjing, menunjukkan bokongnya padaku.
"Kamu mengakui kalau makhluk ini goblok."
"T-Tidak..."
"Ya, itu pasti."
Dia menatap ke bawah pada si "Manusia Anjing", meludahinya dan bersandar pada tembok dengan ekspresi yang tidak berubah.
"Dalam hatimu, kamu pasti berharap orang kayak begini lebih baik mati, ya, 'kan?"
"Tidak!"
"Tapi coba dengar tentang korbannya: gadis-gadis kecil, yang jadi kacau dan 'gak ingin keluar dari kamarnya, dengan orang tua yang bercerai karena mereka 'gak ingin anak-anaknya menderita lagi? Setelah ia menghancurkan begitu banyak orang, masih bisa kau bilang si goblok ini untuk hidup?"
"...A-aku bisa..."
Aku ingin ia menebus dosa-dosanya, dan aku yakin kalau ia tidak bisa dimaafkan, tapi hukuman mati itu tetaplah salah...menurutku. Keyakinanku sudah goyah karena ia terlalu menyeramkan sebagai "Manusia Anjing".
"Mmm? Yah, tadinya aku setuju dengan pendapatmu, sih. Tapi, pendapat itu cuma berlaku di masyarakat minoritas! Manusia selalu berfikiran dalam hitam dan putih, sangat baik dan sangat buruk. Misalnya film dari Hollywood: tentu kau merasa senang saat si penjahat dikalahkan si pahlawan, 'kan? Biasanya, kita juga ingin orang-orang yang membuat kejahatan yang 'gak bisa diampuni untuk dihukum mati. Artinya: adalah hal normal kalau ingin setan-setan itu menghilang."
"...Aku tidak berfikir begitu."
"Tapi itu kenyataan! Oke oke- aku tau maksudmu. Aku juga dulu fikir itu salah. Kufikir kalau orang yang teriak 'bunuh mereka', 'mati aja', dan semacamnya cuma orang bodoh. Bahkan. Kalaupun melakukan kejahatan, itu cuma satu bagian orang itu, dan bisa saja orang itu punya sisi baiknya untuk jadi manusia yang lebih baik, jadi aku yakin kalau kau 'gak akan menekan tombol 'eksekusi' kalau kau kenal lelaki ini. Dan lagi, orang-orang yang ingin si pendosa mati itu munafik? Memangnya sesuci apa mereka? Ada banyak orang yang fikir minum-minuman dan mengemudi itu keren. Apa mereka 'gak peduli tentang orang lain? Ya, mereka cuma mengikuti apa yang mereka ikuti! Yah, itulah pemikiranku sebelum kudapat kemampuan ini," katanya sebelum tersenyum.
"...sekarang?"
"Ya, sekarang begini! Si pendosa mati 'aja."
Tidak ada keraguan dalam perkataannya.
"Memang, banyak orang yang fikir kalau hukum mati adalah jawaban itu bodoh. Tapi meski kau memberii pendapat soal cara untuk mengevaluasi si pendosa itu, jawaban paling benarnya tetap saja hukuman mati. Aku mungkin congkak, sudah membunuh orang di 'Permainan Kebosanan', tapi aku masih yakin kalau orang-orang itu berbeda dengan kami yang punya akal. Masih banyak orang brengsek yang 'gak akan bisa diampuni dan buatmu ingin muntah! Tapi kau akan terkejut akan betapa bodohnya, dan sangat 'gak punya empatinya, juga yang keluar dari mulutnya cuma sampah! Cuma orang begitu yang melakukan kejahatan. Mereka 'gak bisa beradaptasi dengan masyarakat. Misalnya orang ini: apa yang lelaki ini katakan saatku suruh mengasihani anak kecil yang diperkosanya? 'Tapi aku tidak tahan', 'mereka 'tidak beruntung', 'aku tau aku salah, tapi mau bagaimana lagi?' Kau paham? Apa kau sadar betapa menjijikannya orang ini? Mereka 'gak pernah belajar. Mereka 'gak. Tau betapa menderitanya korbanya. Mereka 'gak sadar. Mereka 'gak segan memuaskan nafsunya dan mengedepankannya tanpa memikirkan hak orang lain. Sekarang aku sadar kalau mereka dilahirkan sebagai sampah - mereka 'gak bisa lari dari takdir."
Si "Manusia Anjing" menggonggong.
"Jadi aku memberinya sosok yang cocok untuknya."
Iroha-san mengerutkan dahinya ketika melirik si "Manusia Anjing" yang sekarang berguling-guling dinbelakangnya. Dia tidak bisa mentolerir sikap menjijikannya meskipun dia sendiri yang membuatnya.
"Kau bisa memaafkan orang semacam itu?" Katanya sembari menepuk tangannya untuk suatu alasan.
Saat itu juga.
"WOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!!"
Suara teriakkan bergema di lorong ini.
"Apa—"
Apa?
Aku melihat sekelilingku dan langsung sadar akan apa yang terjadi.
Sekumpulan orang dengan tas kertas coklat di pasang di kepalanya menghampiri kami.
Perasaan yang kurasa saat mereka datang kemari tidak salah. Sekarang aku tau kalau mereka [pelayan] Iroha-san.
Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena sangat gelap, tapi mereka tidak memiliki ciri khas lain selain kertas coklatnya. Pakaiannya bervariasi - beberapanya mengenakan seragam sekolahku, yang lainnya mengenakan gaun - dengan umur dan jenis kelamin yang bermacam-macam.
Orang-orang itu berkumpul dan mulai mengelilingi kami.
Aneh. Sangat aneh untuk melihat sekumpuan orang yang tidak punya kesamaan, yang bertingkah seperti pasukan yang sempurna.
Apa yang akan terjadi? Harus seperti apa aku?
Aku tidak tau apa yang akan Iroha-san lakukan, jadi aku tidak tau harus bereaksi seperti apa. Aku sangat kebingungan.
Tanpa memperdulikanku, Iroha-san mengeraskan suaranya.
"Hukum lelaki ini!"
"Hukuman!" "Hukuman!" "Hukuman!"
"Hukuman!" "Hukuman!" "Hukuman!"
"Hukuman!" "Hukuman!" "Hukuman!"
"Hukuman!" "Hukuman!" "Hukuman!"
"Hukuman!" "Hukuman!" "Hukuman!"
"Hukuman!" "Hukuman!" "Hukuman!"
"Hukuman!" "Hukuman!" "Hukuman!"
"Hukuman!" "Hukuman!" "Hukuman!"
"Hukuman!" "Hukuman!" "Hukuman!"
"Hukuman!" "Hukuman!" "Hukuman!"
"Hukuman!" "Hukuman!" "Hukuman!"
"Hukuman!" "Hukuman!" "Hukuman!"
Aku dikejutkan dengan teriakkan yang tiba-tiba itu.
Hampir dua puluh lelaki dan wanita berteriak sembari mengangkat tangannya ke udara.
...A-Apa ini?
Aku tau mereka hanya mengikuti [perintah] Iroha-san, tapi aku tidak bisa hanya diam kalau mereka ada di depanku. Aku merasakan perasaan yang sama saatku menonton video orang-orang yang bersujud di depan Daiya. Saat genap dua puluh orang melakukan hal yang aneh dengan sangat sinkron, itu terasa sangat mengganggu.
Sekumpulan orang dengan kertas di kepalanya terus berteriak sembari menarik kaki si "Manusia Anjing". Mereka menahannya dengan kuat dari belakang dan menunjukkan tubuh telanjang si lelaki itu pada Iroha-san.
Lalu, dia mengeluarkan sebuah pisau.
"I-Iroha-san, jangan..."
Tapi dia tidak melihat padaku.
"Ini [perintah] buatmu, pedo. Berhenti bertingkah seperti anjing."
Si "Manusia Anjing" langsung berubah. Wajahnya berubah menjadi lelaki yang ketakutan. Ia mungkin sadar saat menjadi "Manusia Anjing", karena ia tidak kaget - tapi takut.
"A-Aah! Tolong jangan! A-Aku salah! Aku tidak akan menyerang gadis lain!"
"Hah? Kau serius? Kau 'gak bisa memperbaiki yang sudah kau lakukan, 'kan? Keperawanan mereka 'gak bisa kembali, 'kan? Ah, ya. Ayo, potong burungmu dengan pisau ini."
"A-A—"
"Bagaimana lagi kau akan menebus dosamu, hah?"
"A-Aku tidak akan menyentuh gadis lagi! Aku janji!"
"Ha! Kapan kau mau berhenti beromong kosong? Yang kau tunjukkan itu cuma omongan rendahan biasa, dan bukan yang kau akan patuhi, 'kan? Itu seperti kau pergi kerestoran dan bilang 'sekarang aku takkan pergi tanpa membayar tagihannya', ya? Ya, 'kan? Membayar dengan meminta maaf? Memangnya kau siapa? Kalau kau merasa bersalah, maka lakukan hal yang bisa mengobati hati anak itu, dasar goblok!"
"M-Mengobati? A-Apa yang harus aku lakukan?"
"Pakai otakmu. Kalau kau berempati pada mereka, kau harus cari tau sendiri. Ambil contoh, kau bisa membayar mereka seratus juta yen[2]"
"S-Seratus juta? Tidak mungkin! Aku bahkan tidak punya pekerjaan—"
Setelah mendengar itu, Iroha-san meluncurkan kepalannya tanpa fikir panjang. Sekali, dua kali, tiga kali. Dia memukulnya tanpa berekspresi.
—Ah.
Tidak peduli apa yang akan lelaki itu katatakan, ia tidak akan dimaafkan.
"Ah, ugh, gha! Ugh!"
Darah keluar dari mulutnya.
Orang-orang dengan kertas coklat di kepalanya menahannya tanpa mengatakan apapun. Tidak ada yang peduli soal lukanya.
Iroha-san meneruskan seperti tidak ada yang terjadi.
"Kau memohon karena kau takut, bukan karena kau sadar. Aku bisa memprediksi kalau kau akan terus melakukan aksi busukmu kalau kubebaskan. Jadi akan kuhentikan itu!"
Iroha-san menepuk tangannya lagi.
"Oke, ini [perintah]. Katakan, apa hukuman yang cocok untuknya?"
Mereka menjawabnya.
"Mati."
"Mati."
"Mati."
"Mati," "Mati kau sampah," "Matilah, dasar kriminal," "Matilah dengan rasa sakit," "Matilah brengsek," "Matilah, kamu busuk," "Matilah orang mesum," "Matilah, kau pantas mati," "Matilah," "Mati sekarang."
"Mati."
"Mati."
"Mati."
Mereka menjawab karena [perintah].
Tapi mereka berkata jujur.
Sekitar dua puluh orang dengan jujurnya mengharapkan kematiannya.
"Hah...," dia mendesah. "Sudah diputuskan kalau kau harus mati."
Dia membawa pisaunya mendekati lelaki itu.
"Hentikan! Hentikan! Hentikan! Aku belum pernah menyakiti kalian, 'kan?! Ini bukan urusanmu! Memangnya siapa kalian—GAAAAAAAAH!"
Iroha-san memotong segenggam penuh rambut lelaki itu tanpa terdorong oleh lelaki itu. Suara dari sesuatu yang tersobek menggema.
Salah satu orang dengan kertas di kepalanya berbisik, "mati," dan menepuk tangannya untuk memberi semangat.
Orang lain mengikuti gerakannya dan juga membisikkan "mati". Sedikit demi sedikit, meluas dan menghasilkan sebuah chorus dengan kata "mati". Mereka mulai menepukkan tangan dalam ritme kebencian untuk kematiannya. "Mati," plak. "Mati," plak. "Mati," plak. "Mati," plak. "Mati," plak. Mati-mati-mati-mati-mati-mati-mati-mati-mati-plak-plak-plak-plak-plak-plak-plak-plak-plak.
Ritme kesenangan berbunyi "mati" terus bersuara.
Melihat mereka, aku hanya mampu berfikir:
—Ah, benar. Ia pantas mati.
Tanpa mampu memohon lagi, si lelaki itu menunjukkan rasa takut dan gemetaran.
"Menangislah, brengsek. Menyesallah karena sudah lahir, brengsek. Menderitalah, dasar babi."
Iroha-san menodongkan pisaunya tepat di bola mata lelaki itu.
"Kematianmu akan membuat semua korbanmu terharu."
Melihatnya di ambang membuat kesalahan terburuk, aku akhirnya sadar.
"Iroha-san, henti—"
Tetapi, tiga orang lelaki menahanku dari belakang. Pandanganku dihalangi tangan seseorang. Aku tidak bisa melihat apapun.
"Iroha-san! Jangan!"
Kalau kamu melakukannya, kamu tidak akan bisa kembali.
Kamu akan terjebak selamanya oleh 'box' dan tidak akan bisa kembali ke keseharianmu.
Tapi—
"Ini [perintah]. Saat pisauku menyentuhmu, berubahlah jadi anjing."
"UAAAAAAAAAAAAAAAAAAHN!!!"
Aku tidak bisa menghentikannya.
Apa yang bergema di lorong ini bukanlah teriakkan seorang lelaki, tapi gonggongan anjing.
Lelaki di belakangku melepasku dan menjauh.
Hal pertama yang kulihat adalah lelaki telanjang yang diselimuti darah. Meskipun itu pemandangan yang menjijikan, aku juga merasakan kepuasan yang sangat menjijikan jauh di dalamku.
Teriakkannya sangat menyedihkan, dan pemikiran kalau hal itu menyentuh gendang telingaku membuatku merasa jijik. Tapi aku merasakan sedikit kepuasan saatku lihat tubuh gemuknya yang sudah mati masih bergerak.
Aku berbeda dengan "Manusia Anjing" itu. Aku tidak bodoh maupun jelek. Mereka mendapat balasan mereka karena mereka "Manusia Anjing".
Suatu kelegaan. Suatu kekuatan.
Tapi aku terlalu mengerti kenapa Daiya membuat fenomena "Manusia Anjing".
Akan buruk kalau "Manusia Anjing" jadi hal yang biasa. Mereka tidak akan dianggap manusia lagi, dan hanya akan diejek dan dilihat sebagai sesuatu yang pantas dihukum. Orang-orang akan menganggap kematiannya sangat diinginkan. Sekali pemikiran itu menyerang seluruh dunia, dunia kita akan ditutupi oleh 'box' miliknya dan menjadi 'kacau'.
Aku tidak bisa membiarkannya.
Jadi, aku tidak akan menyerah, aku mencoba mendekat dan menolong si lelaki yang masih bergerak itu.
"Jangan bergerak!"
Tapi Iroha-san menghentikanku.
"'Gak akan kubiarkan. Kalau bergerak, keselamatan Otonashi Maria akan terancam."
"Apa?!"
Kamu membuat Maria sebagai alat tawar-menawar?!
"K-Kenapa kamu lakukan itu? Kenapa kamu ingin membunuhnya? Memangnya apa maksudnya?!"
"Yah, 'gak ada maksudnya sih."
"Lalu kenapa?!"
"Tapi kami akan terus melakukan ini. Kami akan buat dunia baru dengan cara ini."
Ya.
Karena itu tujuan mereka. Dunia yang Daiya dan Iroha-san inginkan. Apa yang kulihat—orang-orang yang menginginkan kematian dari orang bodoh dan langsung membunuhnya— adalah, apa yang akan 'Hukuman dan Bayangan Dosa' bawa.
"Itu kenapa aku 'gak akan biarkan kau ikut campur. Kalau iya, kau akan menghalangi jalan kami. Kau akan jadi tembok penghalang. Percaya atau tidak, aku tau kau akan jadi penghalang yang sangat besar. Tapi, 'gak akan kubiarkan kau menghalangi kami di sini!"
Orang-orang dengan kertas di kepalanya hanya mengelilingi dan menonton kami.
Dari kelilingan mereka, Iroha-san berjalan mendekatiku.
"Ya. Kurasa ini saatnya untuk memberi tau apa yang kuinginkan untukmu mendapatkan Otonashi-san kembali."
Saat Iroha-san mendekatiku, lenteranya mulai menyinari wajahnya yang kelihatan menyeramkan.
Dia menarik daguku mendekati wajahnya.
"Mulai sekarang jangan melawan lagi."
Wajahnya yang tidak begitu terang diwarnai oleh merah.
Garis merah mengalir ke bawah pipinya seperti dia menangis dengan darah. Pupil matanya yang membesar karena gelap tertuju padaku dan menahanku di tempat.
"Buktinya, gertakkan gigimu dan lihatlah bagaimana ia mati. Lakukan itu seperti anak kecil yang menangis karena ibunya 'gak membelikannya permen," katanya sebelum melepas daguku. Dia mencoba menghapus cairan merah di bibirnya dengan tangannya, tapi itu justru membuatnya tersebar ke mana-mana.
Ah... Jadi begitu.
—Iroha-san tidak akan bisa kembali.
Dia tidak akan bisa kembali ke "kehidupan sehari-hari"-nya—hidup tanpa 'box'. Matanya setajam pemburu, dan memotongku seperti pisau. Wajahnya jadi pudar oleh kegilaan.
Fikiran Iroha-san sudah di tempat lain. Kalau kutolong orang itu, dia mungkin akan menyakiti Maria. Sejauh itulah dia dari kenyataan.
Apa yang akan dia lakukan padaku? Dari apa yang kulihat, dia tidak akan melepaskanku. Kalau dia memang berada di sisi Daiya, dia mungkin akan menggunakan [pelayan] di sekitar sini untuk menangkapku dan membuatku membuang 'Teater Penghancur Keinginan'.
—Tidak akan kubiarkan.
Tapi bagaimana caraku melawan penyekapan Maria?
Aku tidak punya jawaban. Dan tidak ada jawaban yang mudah. Aku tidak punya pilihan selain menunggu tindakan Iroha-san.
Iroha-san sadar kalau aku tidak bisa melakukan apapun, dan mengeluarkan ponselnya dengan tenang. Tanpa melakukan hal lain, dia menjelaskan, "Kamu tau? [Perintah] itu 'gak perlu dikatakan. Jadi intinya, aku bilang ini sebenarnya karena aku bertaruh padamu."
Dia menelepon - aku bisa dengan jelas mendengar suara lelaki yang keluar dari speaker teleponnya, tapi aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.
Iroha-san menjawab lelaki itu:
"Ya, perkosa Otonashi Maria."
"Apa——?!" Seruku.
Apa? Apa yang dia katakan?
Dengan senyum kemenangan, Iroha-san menegaskan:
"Apa aku belum bilang buktikan kalau kamu 'gak akan melawan kami? Masa kamu fikir mengabaikan si 'Manusia Anjing' yang 'gak berguna dan menjijikan itu sebagai bukti yang cukup? Yah, itu kenapa aku lakukan ini. Kalau kau masih 'gak melawan padahal sudah dibeginikan, aku akan percaya padamu."
"Kamu......"
Aku terbakar amarah.
"Kamu punya fikiran atau tidak?!"
"'Gak jadi? Oke, terserah. Kalau 'gini aku akan terus memojokkanmu. Aku akan melakukan hal yang buat kamu ga bisa melakukan apa-apa. Dan itulah kenapa Otonashi-san akan diperkosa."
"Iroha-san, kamu sadar soal omonganmu? Kamu tidak ada bedanya dengan pedofil yang kamu benci!"
"Beda. Aku 'gak melakukannya buat kepuasanku. Aku punya tujuan. Tidak ada perang, meski tujuannya buat keadilan, yang bisa didapat tanpa membunuh pasukan musuh. Bahkan bisa jadi penduduk juga jadi korban. Beberapa pasukan bahkan bisa gila karena tekanannya dan membantai penduduk sipil. Tapi, keadilan ya keadilan. Meski ada sedikit kesalahan, hal yang benar ya benar."
"Omong kosong! Apa yang kamu lakukan tidak mungkin benar! Kesahalan sedikit dengkulmu! Jangan banyak omong kosong!"
"Wah, kamu paham apa yang aku omongin?" Dengan senyum muaknya Iroha-san menjawabku.
Percuma... Aku tidak bisa membujuknya dengan akal. Dengan sedikit melihat ke mata coklatnya, terlihat nihilnya kewarasan, dan itu cukup untukku mengerti.
Tetapi, aku harus menghentikannya apapun yang terjadi.
Intinya, Iroha-san hanya harus percaya kalau aku menyerahkan diri.
...Kalau begitu, ada pilihan yang sudah jelas.
"Kalau kamu ingin menghancurkan perlawananku, tidak perlu berlebihan!"
"Ya." Sembari mengamati diriku, Iroha-san memaksaku melanjutkan.
Ini rencana yang beresiko. Aku bisa saja kehilangan kekuatan untuk melawannya, tapi setidaknya aku bisa menghindari pemerkosaan Maria.
Aku mengungkapkan isi fikiranku.
"Jadikan aku [pelayan]-mu."
Benar. Kalau itu terjadi, menyakiti Maria hanya akan tidak berarti. Tidak ada cara lain untuk mengungkapkan kepatuhanku.
Tapi jawabannya Iroha-san tidak terduga olehku:
"'Gak mungkin. Aku sudah coba."
"...Eh?"
"Emangnya kamu fikir lentera ini buat apa? Buat bayangan! ...ah, mungkin kamu belum tau cara kerja 'Hukuman dan Bayangan Dosa', ya? Yah, mungkin kujelaskan buatmu. Oke, dengar: kalau kamu menginjak bayanganku, atau aku menginjak bayanganmu, aku bisa [mengendalikan] kamu. Aku sudah coba tadi. Tapi emangnya kamu sudah jadi [pelayan], Kazuki-kun? 'Gak ada yang berubah, 'kan?"
"...kamu tidak bisa membuatku jadi [pelayan]?"
"Aku 'gak tau, sih, tapi tadi 'gak bisa."
"Kenapa...?"
"Karena kamu 'pemilik'! 'Box'-nya menghalangi satu sama lain. Seperti waktu Oomine-kun bisa bebas meski sudah masuk ke dalam 'Permainan Kebosanan'. Aku yakin kalau aku sudah menginjak bayanganmu pas kamu datang, tapi 'gak bisa kukendalikan. Dan sama halnya Otonashi-san."
"Kamu juga mencoba Maria jadi [pelayan]?"
"Yah, begitulah. Lebih gampang kalau 'gitu, 'kan?" Jelasnya.
"Jadi mustahil untuk membuat 'pemilik' jadi [pelayan]..."
"Mmm.... Itu gak sepenuhnya benar. Menurut Otonashi-san, mungkin saja kalau kamu menyerah. Kalau ya, bisa aku coba lagi?"
Dengan santainya, Iroha-san melangkah ke depan dan—
—menginjak bayanganku.
Pergerakannya terlalu mulus sampai aku sulit percaya kalau dia menggunakan 'box'-nya.
Karena dia bertindak dengan acuh-tak acuh, dia menginjak bayanganku bahkan sebelum aku berfikir untuk menghindarinya. Apapun yang Iroha-san katakan, tidak ada bukti yang mengatakan kalau aku tidak bisa jadi [pelayan] saat dia menginjak bayanganku. Mungkin percobaan pertamanya gagal karena suatu hal? Dan lagi, aku seharusnya tidak dengan mudahnya membiarkan dia menginjak bayanganku.
"......"
Aku tidak merasakan perbedaan apapun.
"......kamu bisa menjadikan orang lain menjadi [pelayan] kecuali si 'pemilik'?"
"Ya. Aku sangat ingin bisa ketemu dengan orang yang 'gak bisa kutaklukkan."
Aku masih tidak merasakan apapun.
Meski dia sudah menginjak bayanganku, aku masih tidak terpengaruh.
"Kalau orang seperti itu memang ada, orang itu pastilah orang aneh."
Iroha-san berbohong.
Tidak...itu kurang tepat. Dia tidak berbohong - cuma dia salah.
Iroha-san bilang kalau dia bisa membuat siapapun menjadi [pelayan] asalkan bukan seorang 'pemilik'. Dia sudah membuat kesalahan.
Karena aku bukan si 'pemilik'.
Hoshino Kazuki bukanlah 'pemilik' dari 'Teater Penghancur Keinginan'.
"Paham? Itu kenapa aku menolak untuk membuat Otonashi-san selamat dan gantinya dirimu jadi [pelayan]-ku."
"Artinya...?"
"Ya. Ini saatnya kembali ke acara utama dan hancurkan hatimu."
Kalau sudah begini, aku tidak bisa menghentikannya lagi dengan kata-kataku.
Meski sakit, aku sadari kenyataan itu.
Namun, aku menyadari sesuatu.
Pisau yang berdarah tergeletak dekat kakiku.
Aku menatap Iroha-san.
Aku tau kalau Iroha-san itu orang yang luar biasa. Dia mungkin agak kaku soal mengetahui perasaan orang, tapi di sisi lain, dia juga sangat peduli dengan orang lain. Karena dia sadar dengan kemampuannya, dia menggunakannya untuk menolong orang lain - yang menjelaskan alasan tindakannya sekarang. Kalau aku punya wakttu untuk perbincangan lagi, Iroha-san pasti akan menyadari kesalahan yang dia buat.
Tapi sudah tidak ada waktu lagi.
Aku sadar kalau mustahil untuk menolong Maria dan Iroha-san di waktu yang terbatas ini.
Jadi—
Jadi———
"........."
Meski begitu, aku setidaknya akan mengeluarkan usaha terakhirku.
"......Kamu salah, Iroha-san."
"Ya?" Dia menjawab dengan keengganan.
"Kamu dan Daiya itu salah."
"Cuma memastikan: soal apa?"
"Mencoba memperbaiki dunia dengan membunuh orang itu salah!"
"Supaya jelas: aku 'gak tertarik dengan pendapat yang memberi pelajaran etika, oke? Membunuh pembunuh sebelum dia membunuh ratusan orang itu pilihan yang benar, 'kan? Sebagai tambahan, hukumannya bisa berguna juga sebagai alat pencegah buat menakuti kriminal yang sok-sokan lainnya dan supaya 'gak ada kejahatan lagi. Sampai kami dapat 'box' ini, kami 'gak bisa melakukan apa-apa. Ayolah, jawab: kok bisa hal ang kulakukan ini salah?"
"...memang, aku tidak menganggap kalau mengikat si kriminal bodoh yang hanya mengganggu orang itu salah. Ada juga orang yang tidak pantas hidup. Aku tidak ingin percaya itu, tapi itu kenyataannya."
"Ya, 'kan? Kamu menolaknya cuma karena itu pendapat yang populer. Itu bikin kamu menganggap kalau yang kami lakukan itu salah."
"Tidak. Karena...bagaimana caramu memilih?"
"...milih apa?"
Hkenapa dia belum mengerti?
Kemarahan dan kejengkelan bergejolak di dalam tubuhku.
Aku menatap Iroha-san yang bodoh.
"Yang pantas untuk mati."
Iroha-san menahan nafasnya, dan kelihatannya sadar dengan perasaanku.
"Bagaimana kamu dan Daiya, yang tidak sempurna bisa tau siapa yang pantas mati? Memangnya pilihanmu mustahil untuk salah?"
"K-Kami—"
"Tentu tidak. Kamu memilih membunuh orang dengan informasi yang tidak sempurna."
"...ya, aku 'gak bisa bilang kalau aku punya kesalahan 0%. Tapi apa bedanya dengan sistem hukum kita? Enggak semua hukuman mati dari hakim itu adil. ...dan, pilihan yang kupilih itu sulit untuk salah. Misalnya, semua orang pasti setuju kalau, setidaknya, si pedofil ini pantas mati."
"Kamu yakin? Memang benar kalau ia menyakiti banyak orang, tapi mungkin juga ia punya potensi untuk menyelamatkan orang banyak. Maka ia tidak perlu mati oleh logikamu."
"Hah? 'Gak mungkin sampah seperti ini punya potensi!"
"Kurasa kamu mungkin benar, tapi kenapa kamu bisa begitu yakin?"
"...aku bisa. Cuma sekali lihat, aku tau betapa bodohnya orang ini. 'Gak mungkin ia bisa menyelamatkan orang lebih banyak dari yang ia lukai."
"Tapi itu cuma anggapanmu! Meski kamu tidak lebih spesial dari orang lain, kamu akan mulai berfikir kalau kamu spesial karena kamu dapat 'Hukuman dan Bayangan Dosa'. Meski kamu mendapat 'box', sebenarnya kamu diracuni perasaan kalau kamu berkuasa, dan percaya kalau kamu akan terus jadi hakim. Apa kamu tau disebut apa itu?"
Aku melanjutkan.
"Itu namanya serakah."
"......"
"Mudah untuk memprediksi apa yang akan terjadi! Pertama, kamu akan memilih pendosa untuk pengeliminasian yang semua orang setujui. Tapi itu cuma awalnya. Kamu terlalu serakah sampai kamu jadi kehilangan dirimu sendiri. Sedikit demi sedikit, kamu akan mulai memilih orang yang jatuh di area hitam. Kamu akan jadi lebih buruk secara terus menerus, dan pada akhirnya, kamu akan mengubah orang-orang yang ada dalam fikiranmu menjadi 'Manusia Anjing'. Baik dan jahatnya bukan masalah, dan kamu akan menghapus orang-orang yang menyulitkanmu. Mungkinkah itu terlambat? Dan juga, kamu ingin menghancurkanku dan Maria hanya karena kami menghalangi jalan kalian."
Kejengkelanku makin bertambah saatku bicara.
Kenapa Iroha-san dan Daiya tidak mengerti hal sesimpel itu, padahal mereka itu seharusnya sangat pintar? Apa mereka tidak bisa memikirkan akibat yang sudah kukatakan?
"Apa yang kamu lakukan bukanlah penghukuman maupun pembersihan dosa. Itu pembunuhan. Kalian berdua telah terobsesi dengan kemampuan yang 'box' berikan, dan dikendalikan benda itu untuk berbuat dosa. Apa yang kalian akan lakukan tidak ada bedanya dengan pembantaian yang ada di sejarah manusia! Kalian tidak membuat revolusi - kalian cuma membuat kesalahan lain tanpa adanya keadilan!"
Aku mendekati Iroha-san.
"Tetapi, aku akan menghentikanmu."
Aku juga berdiri di samping pisaunya.
"......"
Iroha-san kelihatannya sedikit kebingungan.
Apa yang kukatakan itu benar, dan dia juga sadar soal itu.
Dan, dia pun menjawab:
"......Apa-apaan wajah itu?"
"...wajah?"
"Ya, wajahmu! Padahal kamu ingin melawanku dengan kata-katamu," dia melanjutkan, "kenapa kamu bisa tenangya senyum 'gitu?"
Untuk menjawabanya, secara tidak sadar tanganku menyentuh wajahku.
"Biasanya, kamu 'gak akan senyum 'gitu. Dan lagi, orang biasa 'gak akan bisa ngomong yang kamu bilang tadi."
"...aku tidak mengatakan hal aneh ataupun kasar!"
"Yah, emang 'gak sih. Tapi orang biasa 'gak bisa buat pernyataan yang seobjektif itu di situasi ini. Kalau cewek yang kamu suka diculik dan kamu sudah kehilangan kesabaran, kamu 'gak bisa dengan santainya membuat argumen yang kompleks 'gitu."
"Maksudnya, aku harus lebih emosional?"
"Aku 'gak bilang harus lebih emosional atau beralasan. Yang kamu lakukan itu ada di tingkatan yang berbeda. Kamu 'gak bisa dengan santainya melakukan itu. Kamu ya...'gak bisa..."
Campuran dari kebingungan dan ketakutan muncul di wajahnya.
"Darimana—"
Dengan ekspresi itu, dia bertanya:
"Darimana kamu melihat dunia?"
Aku tidak mengerti maksudnya.
Tapi Daiya pernah menanyakan hal yang sama-sama sulit kumengerti seperti itu. Ia bilang padaku kalau aku mengambang, atau semacamnya. Pertanyaannya mungkin berarti sama.
Aah... Mungkin aku tidak normal. Aku terus menolaknya, tapi kurasa ini saatnya menyerah.
Bahkan terdengar lebih membingungkan saatku ubah hal itu menjadi kata-kata, tapi kalau aku jelaskan tentang diriku:
Terlalu sedikit "diriku" dalam tubuhku.
"...cukup, Kazuki-kun. Apapun yang terjadi, aku 'gak akan berhenti."
"Kamu tidak setuju denganku?"
"Mungkin kamu benar. Bisa saja kami sedikit serakah, dan kami tidak sempurna dan bisa saja membuat kesalahan. Tapi 'gak ada alasan untuk 'gak bertindak. Kami 'gak bisa begitu saja menyerah cuma karena itu. Kita seharusnya 'gak kalah sama realitas dan langsung menerima kejahatan sebagai hal yang 'gak bisa dihindari. Kita seharusnya 'gak lengah. Aku 'gak akan begitu. Tapi terimakasih dengan kritikanmu, aku akan menyimpannya baik-baik dan akan berfikir dulu sebelum membunuh orang!"
"Kalau hanya berfikir saja tidak akan memperbaiki keadilanmu!"
"Yah, terserah, tapi aku 'gak menganggap kalau cara ini salah."
Setelah mengatakannya—dia terus berbicara dengan mata yang dipenuhi kegilaan.
"Tapi, aku 'gak akan berhenti. Dan 'gak akan mengubah keputusanku soal Otonashi-san."
Hah. Jadi begitu.
Desahan lemas keluar dari bibirku.
"Apa maksud keluhanmu itu? Kamu menyerah? Apa aku menghancurkan semangatmu?"
"Ya, aku menyerah!"
Menyerah untuk tidak membunuhmu.
Baiklah. Aku tidak boleh dia tau maksudku. Kalau tidak kulakukan dengan instan, aku bisa dikalahkan oleh [pelayan] yang mengelilingiku.
Aku harus menusuknya tanpa ragu. Aku tidak boleh membuatnya merasakan keinginan membunuhku.
Bunuh.
Aku hanya perlu menusuknya di jantungnya dan langsung mematikannya, tapi lakukannya dengan santai seperti aku hanya bersenandung dengan irama yang tidak asing.
"...Orang yang pantas mati?"
Iroha-san fikir kalau manusia semacam itu memang ada.
Pada akhirnya, kami juga manusia - jadi itu bukanlah hal yang bisa kita pilih untuk diri kita sendiri. Bahkan aku bisa menyebutkan beberapa orang yang pantas untuk mati, tapi itu salah. Itu pasti salah.
Kalau itu bukan masalahnya, maka apa yang akan kulakukan sekarang tidak bisa dimaafkan. Aku tidak ingin itu. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri karena tindakanku ini.
Aku melakukan kesalahan yang sama seperti yang mereka lakukan.
Orang yang kurasa pantas mati.
Dari pandanganku—
—semua orang yang menyakiti Maria pantas mati.
Lalu, kutusuk pisau itu ke dalam jantung Iroha-san.
Aku tidak membuat gerakkan yang berlebihan.
Aku hanya menunggu pandangannya untuk teralihkan sedikit, mengambil pisaunya dan menusuknya saatku berdiri. Mata pisaunya menghilang ke dalam tubuhnya.
Mati.
Tidak ada hal semacam itu di dalam fikiranku.
Bahkan aku tidak menginginkan pembunuhan ini. Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan. Itu saja.
Ah, mungkin...
Mungkinkah sifatku ini aneh menurut orang lain?
Kalau iya, aku tidak boleh membiarkan Maria melihatku. Ya, kalau dia melihatnya, kami akan—
"Apa...apa yang kamu lakukan, Kazuki?"
Jantungku berhenti berdetak.
"Ah, aaah...!" Kenapa?
Kenapa dia...?
Caranya memanggilku. Cara pengucapannya. Suara darinya.
Suara yang sangat kucintai itu adalah—
"......kenapa...kamu...melakukan itu, Kazuki?"
Seorang gadis dengan kertas coklat di kepalanya menghampiriku.
"Um, ah...!"
...Kenapa aku tidak sadar? Kenapa aku tidak menyadarinya padahal aku seharusnya bisa merasakan keberadaannya, bahkan tanpa melihat wajahnya?
Mudah. Karena gelap, dan aku tidak memperhatikan setiap orang dengan kantong kertas di kepala mereka. Kenapa aku tidak memikirkan alasan Iroha-san memanggilku di tempat gelap begini?
Kenapa aku tidak menyadari apa yang sangat ingin disembunyikan Iroha-san?
Gadis kurus itu melepas kantong dari kepalanya.
"Maria."
Itu Maria.
Tidak bisa diragukan lagi, itu Maria.
"Kazuki...," dia memanggilku dengan suara yang gemetaran.
"Kenapa...?"
"Karena aku yang minta."
Iroha-san menjawab pertanyaanku, memberikan jawaban yang sudah kuketahui. Meski pisau di tanganku masih menusuk dadanya...
...Ya, tentu aku sadar. Sadar kalau di saat aku menusuknya, aku tidak merasa aku memotong sesuatu.
Iroha-san menarik keluar pisau yang seharusnya menusuk jantungnya, dan mendorong mata pisaunya pada telapak tanganku. Aku tidak merasa adanya tusukkan. Pisaunya hanya terdorong ke dalam gagangnya.
Tidak mungkin aku bisa membuuh seseorang dengan pisau itu—bukan, benda aman itu.
"Apa kamu ingin tau disebut apa opini secara objektif soal kelakuanmu beberapa saat yang lalu, Kazuki-kun?"
Meski aku masih sangat terkejut, Iroha-san mengeluarkan kata:
"Itu namanya 'serakah'."
Dia mengambil pisau palsu dari tanganku yang melemas.
"Ini [perintah], anjing. Menggonggong."
Si lelaki telanjang yang seharusnya mati kesakitan bangkit. Ia berdiri seperti anjing dan berlarian di sekitar kami, menggonggong dengan biasa tanpa mempedulikan kalau dirinya sudah diwarnai merah darah.
"Bukannya aku sudah bilang kalau 'gak perlu mengatakan [perintah]?"
Iroha-san menusuk si "Manusia Anjing" yang berlarian. Meskipun itu tidak seharusnya sakit, ia berteriak kesakitan,
"GYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHN," dan pingsan kembali.
"Kami menumpahkan darah palsu saat kamu 'gak lihat. Dan aku [memerintahkan] 'Manusia Anjing' ini untuk berteriak dan bertingkah seperti kesakitan sewaktu kutusuk. Kamu menelannya kayak orang bodoh."
Aah, benar, aku tidak pernah melihatnya benar-benar menusuknya karena kerumunan tadi menghalangi pandanganku. Aku hanya mendengar teriakkannya dan melihatnya menggeliat kesakitan, diselimuti warna merah. Karena terlalu gelap, darah palsu sangat sulit untuk dibedakan dengan darah asli, dan mudah untuknya menyembunyikan kantung darahnya.
"...Kenapa, kenapa kamu..."
"Yah, soalnya aku [diperintah] Oomine-kun. Ia memberiku satu [perintah]: 'tunjukkan pengkhianatan Hoshino Kazuki pada Otonashi Maria.'"
Iroha-san memindahkan pandangannya pada Maria.
"Yah, itu ternyata sulit! Maksudku, dia dengan buta percaya kamu. Dan jelas-jelas dia 'gak akan percaya kalau kamu mengkhianatinya."
Maria menggigit bibirnya.
"Tapi membawa Otonashi-san kemari sangat gampang. Aku pakai cara yang sama sepertimu, Kazuki-kun: aku mengancamnya. Bilang 'kalau kamu 'gak patuh atau coba-coba menipuku, [pelayan]-ku akan membunuh Kazuki-kun' saja sudah lebih dari cukup untuk Otonashi-san mengikutiku, padahal itu jelas-jelas mencurigakan. Memang, permintaan seaman seperti 'tonton saja kami' itu cukup gampang untuknya patuhi. Dan kutunjukkan," Iroha-san mengatakannya sembari menusukkan pisau palsunya pada dadanya, "caramu membunuhku."
Semua—
Semua yang dia lakukan dan katakan hanya untuk menunjukkan Maria kalau aku ingin membunuh? Menaruh pisau yang terjangkau olehku, menyalakan amarahku dengan mengatakan kalau dia akan memerkosa Maria, dan membuatku memikirkan rencana pembunuhan palsu di depan mataku...
Dan pada akhirnya, aku menusuknya dengan pisau palsu itu seperti yang dia inginkan.
Iroha-san menjentikkan jarinya. Dengan begitu, kerumunan orang dengan kantong kertas di kepalanya pergi dengan santai dan senangnya - seperti mereka mengatakan kalau mereka telah selesai di sini.
"Aku disuruh menonton karena kamu mungkin akan membunuh Shindou," kata Maria dengan tatapan yang menghindari mataku. "Aku tidak percaya dia. Padahal dia bilang padaku kalau Oomine sudah menggunakan 'box'-nya dan aku sadar kalau dia berkata benar, aku tidak percaya kalau kamu akan membunuh. Menyelesaikan permasalahan dengan membunuh orang lain—itu tidak dapat diterima. Sekali kamu membunuh, kamu sudah jadi makhluk rendah dan kepercayaanmu akan kehilangan artinya. Kamu seharusnya tau perasaanku tentang ini. Kamu juga seharusnya tau kalau aku tidak bisa bekerja sama dengan orang seperti itu. Tetapi, kamu......"
Saat kehilangan kata-kata, dia hanya menggelengkan kepalanya.
"...tidak, jangan buat hal ini hanya tentangku. Tapi aku masih belum mengerti, Kazuki. Pertama, kamu bukan pembunuh. Meski cuma percobaan pembunuhan, kenyataan kalau kamu mencoba membunuh seseorang saja sudah membuat kepedihan karena penyesalan. Dibebani dosa seberat itu, kamu tidak bisa kembali ke 'keseharianmu', dan lagi, 'keseharian' itu akan kacau karena kamu jadi orang yang beda. Ah, tapi masalahnya bukan hanya secara psikologis, tapi juga hukum akan mencabut 'keseharian'-mu kalau kamu membunuh, bukan begitu? Tetapi, kamu...orang yang menghargai 'keseharian'-nya di atas segala hal lain tidak akan memilih untuk membunuh."
Dia mengepalkan tangannya.
"Tidak mungkin kamu akan membunuh......tidak mungkin! Tidak mungkin Kazuki melakukannya!"
Maria memberikanku tatapan yang memohon sesuatu.
"...ya, pasti! Kamu tidak akan! Kamu tidak akan melakukannya! Kamu pasti dikendalikan. Mungkin saja, kamu dikendalikan 'Hukuman dan Bayangan Dosa' itu dan dipaksa melakukan itu. Ya, 'kan? Kazuki, katakan! Apa aku benar?" Dia mengatakannya sembari menggoncangkan pundakku.
"Tolong bilang kalau kamu bukan orang yang melakukan hal buruk itu."
Maria memohon padaku dengan seluruh tubuhnya. Meski dia sudah melihat keburukanku di depan matanya sendiri, dia ingin aku menyangkalnya. Meskipun dia sangat tau kalau aku salah, dia masih meminta kalau itu tidak terjadi.
Aku tidak percaya Maria berlaku seperti ini. Aku tidak percaya ini, tapi...
Kalau begitu, aku akan memanfaatkan perasaanya.
Aku akan terus membohonginya.
"Benar!"
Menjijikan. Kata-kataku ingin membuatku muntah.
Tapi kalau kuakui kenyataanya, Maria akan hancur bersamaku dan tidak bisa kembali.
Tetapi, aku punya tempat untuk berbohong, tidak peduli sebusuk apa itu.
"Jadi," bisiknya. "Jadi begitu."
Dia kelihatan lega.
Maria percaya pada kebohonganku. Dia membiarkan dirinya tertipu.
Ya...benar. Maria tidak ingin berpisah denganku. Dia masih ingin percaya padaku. Hubungan kami tidak bisa terpisah semudah itu.
Jadi aku harus berbohong sampai akhir.
"Maria, dengar—"
"Fufu, aku senang! Dengan ini—"
Dengan ekspresi kelegaan, Maria melanjutkan:
"Aku tidak perlu lagi...percaya siapapun."
".........eh?"
Ekspresinya.
Dan kata-katanya.
Tidak selaras.
"Aku...tidak, sejujurnya, aku sudah sadar sejak lama! Jadi—"
Jadi—
Setelah mengucapkan apa yang dia katakan beberapa saat yang lalu, dia melanjutkan seperti ini:
"Jadi—kamu mengkhianatiku."
"Ah......"
Semua tenagaku menghilang dan tanganku jatuh dengan lemasnya pada kedua sisi tubuhku.
Aku hanya menatap Maria dengan diam.
"Oh, begini. Hei, aku tadinya bisa membaca fikiranmu hanya dengan melihat pergerakkan otot wajahmu! Aku tidak bisa lagi, tapi bukannya aku sudah menghabiskan seumur hidupku bersammau? Aku masih bisa melihat hal semudah kebohongan. Tapi aku berjuang untuk mengatakan pada diriku "tidak ada buktinya." Aku menghindari masalahnya sampai ada pembuktian yang jelas tentang pengkhianatanmu. Sekarang aku sadar. Kebohonganmu yang ceroboh itu membuatku sadar kalau kamu berubah menjadi sesuatu yang menyedihkan."
Aku baru saja berfikir kalau hubungan kami tidak bisa semudah itu dihancurkan.
...Kenapa aku bisa sebodoh ini?
Aku sudah terlalu sering mengkhianatinya. Aku telah menipunya sejak 'Permainan Kebosanan'. Aku mungkin sudah menghancurkan hubungan kami yang hampir mustahil untuk dihancurkan sedikit demi sedikit.
Dan sekarang, berkat pengkhianatanku, hubungan ini akhirnya hancur.
"Aah, aku sangat senang! Aku tau seharusnya aku tidak begitu. Aku menyalahkan diriku sendiri karena menipu diriku sendiri, dan akhirnya menderita. Aku hanya 'box', jadi aku tidak seharusnya punya hati manusia. Tidak seharusnya aku dekat dengan seseorang dan berhubungan dengannya. Meski demikian, aku tidak bisa berpisah denganmu, Kazuki, dan kucari alasan untuk bersamamu, seperti bertemu 'O'. Bahkan aku ketakutan! Takut akan kehilangan tujuan dan menghilang!"
Itu tujuanku - aku ingin "Aya" menghilang agar "Maria" bisa hidup.
Tapi...
"Tapi...kamu menghianatiku dan memberitau padaku kalau aku salah. Kamu membuatku sadar betapa lemahnya aku. Kamu membuatku melakukan itu."
Setiap kata yang dia katakan menusuk jantungku.
Maria adalah orang terakhir yang paling tidak ingin kusakiti. Dia adalah yang sangat ingin kulindungi.
Akan tetapi, dia orang yang sangat kusakiti, dan orang yang kuhancurkan.
"...Maria, dengar. Itu semua karena—"
Aku tidak bisa membiarkannya pergi.
Tetapi,
"Jangan!"
Maria berbalik dariku.
"Eh?"
"Jangan panggil aku Maria."
Aku bahkan tidak boleh mengatakannya.
"Aku membuang nama itu sejak lama. Itu datang kembali karena kamu memilih terus menggunakannya, meskipun aku sangat menghargainya. Tapi hubungan kita berakhir sekarang, tidak perlu lagi menggunakan nama itu. Hidupku sebagai Maria sudah berakhir."
Dengan kata-kata itu, Maria kembali melihatku dan menatap langsung pada mataku—
Dia mengatakannya.
"Aku 'box' yang dipanggil Otonashi Aya."
Di saat itu.
Sebuah gambaran muncul di fikiranku dan menandakan awal kilas balik.
Itu adalah gambar pucat, basi, luntur, dan kacau.
Itu adalah kelas yang terus mengulang.
A Maria dalam warna coklat berdiri di podium. Dia memperkenalkan dirinya. Aku tidak bisa memastikan ekspresinya. Ada ratusan dan ribuan ekspresi, aku tidak bisa memastikan ekspresinya yang nyata. "Aku Otonashi Aya. Senang berkenalan dengan kalian," "Aku Otonashi Aya...salam," "Otonashi Aya," "Otonashi Aya," dia terus mengatakan itu di dunia yang mengulang itu. Dan seiring waktu berjalan, emosinya menghilang dari wajahnya. Dia menggunakan waktu yang tidak terbatas itu untuk membuat sifat lain. Dia menolak semua orang untuk menjadi 'box' yang sempurna.
Gadis yang berdiri di sana.
Ekspresi gadis yang berdiri di sana.
"......Ah......"
Akhirnya aku sadar. Aku belum pernah sadar sebelumnya karena aku selalu bersamanya.
Maria telah mulai mengungkapkan perasaanya seperti orang biasa. Dia mulai bisa sedih, marah, dan tertawa seperti orang biasa.
Aku tidak sadar. Aku mungkin bisa memilih jalan lain kalau aku sadar lebih awal, aku gagal.
Maria telah kehilangan perasaan biasanya lagi.
Bisikkan "Tidak..." Keluar dari bibirku. "Aku akan terus memanggilmu Maria!"
"......"
Tanpa mengacuhkannya, dia menyodorkan tangannya pada Iroha-san. Iroha-san langsung mengerti maksud Maria, dan memberikannya pisau palsu itu.
"Kazuki. Kamu telah berubah. Di saat kamu menusuk dada Shindou dengan mainan itu, kamu berubah. Kamu bukan rekanku lagi, tapi menjadi keberadaan yang ada untuk merusakku. Lalu—"
Maria membuatku memegang pisaunya untuk suatu alasan.
"—sekarang kamu musuhku."
Aku tidak tau kenapa, tapi Maria memelukku dengan lemah-lembut dibarengi sebuah senyuman.
"...Maria?"
Mungkin dia tidak ingin aku pergi? Meski itu aneh, aku memikirkan hal yang sayup itu.
Seperti yang kukira, kenyataannya berbeda jauh.
Begitu.
Pisau yang kupegang menusuk dadanya.
"Ah..."
Tentu itu hanya mainan. Itu tidak menyakiti Maria. Tapi kebetulan itu hanya mainan hari ini.
"Begitulah," bisiknya. "Saat aku bersamamu, kamu menusuk hatiku seperti ini."
Dia mengatakannya dengan nada yang sangat lemah, yang mana memberikan kata-katanya pengaruh yang lebih besar.
Dia benar.
Itu apa yang aku coba lakukan. Itulah yang terjadi saatku bertemu dengannya sebagai lawan: aku menusuk hati Maria.
"Kazuki."
Tubuh Maria kurus dan rapuh seperti biasa.
Dia melanjutkan dengan pisau di tanganku masih di dadanya:
"Terimakasih."
Gadis yang lembut ini akan terus bertarung sendiri. Dia akan bertarung meskipun dikhianati dan ditusuk. Dia akan terus bertarung demi orang asing, mengabaikan kebahagiaannya sendiri.
Aku bisa melihat akhirnya.
Kekalahan.
Di masa depan...bukan, tidak lama lagi, Maria akan roboh akibat beban itu. Mengasah jiwanya seperti bilah pedanng, dia akan menghilang lagi setelah diisi oleh kekosongan.
Meski aku bisa membayangkan takdirnya, aku tidak bisa menghentikannya.
Maria melepas pelukannya.
Akhirnya, dia terlepas dari pisaunya.
Dia mengambilnya dari tanganku dan mengembalikannya pada Iroha-san, yang telah menonton kami tanpa melakukan apapun.
Bahkan tidak berkeinginan untuk melihatku, Maria berbalik dan pergi.
"Kazuki," bisiknya, "aku tidak bisa menghabiskan hamburgerku sendiri."
Bodoh, aku tidak menyadarinya sejak awal, tapi—
Itu adalah kata-kata perpisahan Maria.
◆◆◆ Oomine Daiya - Jum'at, 11 September 20:57 ◆◆◆
"Karena kamu mirip denganku," jelas Otonashi Maria di layar.
Menjawabnya, aku menggumam, " Apa...?"
Yanagi dan aku telah diteleportasikan untuk ke sekian kalinya dan menonton film ketiga. Yanagi duduk di belakang-kananku, dan di sampingku adalah cangkang Otonashi Maria. Otonashi jadi karakter utama di film ini.
"Ulangi, Kembali, Kembali."
Aku bingung. Kenapa Otonashi? Kami tak punya ingatan khusus. Aku tak dekat seperti aku dengan Rino dan Haruaki. Kalau ini menunjukkan dosaku, apakah aku melakukan sesuatu pada Otonashi tanpa menyadarinya? Bukankah Otonashi takk punya pengaruh yang kuat untuk membuatku menderita?
Tadinya kufikir begitu.
Tapi prediksiku salah.
Yang kulihat sangatlah tak terduga.
Itu adegan dari 'Kelas Penolakan' yang mana aku tak seharusnya memiliki ingatan ini. Otonashi dan aku mencari jalan untuk keluar.
"Aku bekerja sama dengan Otonashi...? Sebelum Kazu?"
Itu hal yang aneh. Terlebih, hubunganku dengan Otonashi tidak buruk (seperti sekarang) atau asal-asalan (seperti biasanya)
Malahan, aku menunjukkan kefamiliaran.
"Apa-apaan wajah bodohku itu?"
...Bukan, kurasa pasti begitu.
Aku melihat wajah Otonashi di layar.
Dia telah menutupi dirinya dalam keseriusan.
Tapi tidak berarti dia telah melampaui batas; itu hanya karena dia masih mengingat semua ingatan dari pengulangan dunia itu, yang membuatnya seperti itu.
Orang lain mungkin tidak bisa mengungkapkan perbedaannya, kecuali aku.
Aku bisa mengatakan kalau sifatnya ini dibuatnya sendiri.
Apa yang tersisa hanyalah gadis, yang seperti diriku, berjuang sendiri untuk mendapatkan sesuatu. Tentunya aku merasa kalau itu tidak asing.
"Tolong aku!"
Karena itu, mungkin, kukatakan hal bodoh itu di pengulangan 2 Maret yang ke-1536.
...Wow, tunggu! Apa kau ingin membunuhku dengan mempermalukanku? Apa 'Teater Penghancur Keinginan' telah mengubah caranya dan sekarang akan menghinaku?
Bagaimana bisa aku mengingat apa yang terjadi di 'Kelas Penolakan'? ...fikirku, tapi langsung membenarkannya: aku tak punya ingatannya. Tak seperti Kazu, aku tak bisa membawa hal semacam itu. Tetapi, seperti yang terjadi dalam 'Permainan Kebosanan', di mana NPC-ku bisa mengetahui rencanaku sendiri, aku bisa mengetahui rencanaku sendiri dengan akurat dengan bantuan penjelasan Otonashi.
Mungkin saja, dia telah masuk ke kriteria minimum untuk jadi rekanku.
"Aku bingung. Apa yang bisa kulakukan untuk Kiri? Tak ada! Kalau kusentuh dia, dia jadi pucat. Kalau kupeluk, dia mengingat masa lalunya dan menangis. Apapun yang kulakukan hanya akan menyakitinya. Tapi dia membutuhkanku. Dia tak bisa sendiri. Kalau kutinggalkan dia sendiri, dia mudah untuk membuat kesalahan besar. Kalau kudekatinya dan meninggalkannyanya itu salah, katakan, apa yang harus kulakukan?"
Apa-apaan yang kukatakan itu...mengatakan hal itu pada Otonashi tak akan mengubah apapun. Dia lemah sepertiku. Tetapi, diriku yang di waktu berbeda itu terus bicara.
"Kufikir kau bisa menolongku," kata diriku di layar. "Mungkin kau bisa menemukan cara untuk Kiri di suatu tempat di pengulangan ini."
Cara seperti itu tak akan pernah ada!
Diriku di layar ini terlalu bodoh bahkan aku sangat ingin meneriakkan dengan seluruh kemampuan sampai mencapainya. Aku ternyata sangat bodoh dulu.
Tapi jawaban Otonashi tak membantu. Masalah kami terus ada hingga sekarang, jadi kutau kalau dia belum pernah dapat solusinya.
Tetapi dia mengatakan:
"Baiklah. Akan kucaritau."
Adegan selanjutnya adalah "pindah sekolah" ke-1539. Dia berkata padaku:
"Aku dapat solusinya."
Apa? Tak ada solusinya.
...Pasti takkan ada.
"Setidaknya, aku tau apa yang sangat baik untukmu lakukan pada Kirino."
"Hal yang baik...apa itu?"
Memalukan, diriku yang ada di layar tak bisa menyembunyikan kesenangannya.
Aku pasti dibodohi dengan kata pemberi semangat itu. Aku pasti berharapan kalau ada solusi yang tidak bisa kufikirkan.
Tapi Otonashi hanya berkata:
"Tinggalkan dia."
Itu berlalu tanpa berkata kalau aku kecewa. Aku jadi marah.
"Jangan bercanda! Lalu siapa yang akan menolongnya? Atau kau ingin bilang kalau Kiri sudah baik-baik saja!"
"...tidak, luka Kirino sangat dalam. Mungkin itu tidak akan bisa sembuh."
"Lalu kenapa kau bilang aku harus meninggalkannya?!"
"Karena dia tidak akan bisa diselamatkan siapapun."
"Apa maksudmu?!"
"Sedalam itulah luka Kirino. Kau tidak akan menumbuhkan tangan yang sudah putus, 'kan? Luka yang dalam bukanlah hal yang bisa disembuhkan.
"Jangan sok pintar! Apa kau sudah menyerah karena kau sudah menghabiskan banyak waktu di 'Kelas Penolakkan'? Kalau kau kehilangan tanganmu, masih bisa kau ganti dengan tangan palsu lewat operasi, 'kan?"
"Mungkin ada orang yang cocok untuk melakukannya. Meski tidak akan mengobati lukanya sepenuhnya, itu akan jadi obat merah yang baik. Tapi Oomine, kamu tidak cocok untuk melakukannya."
"Kenapa?! Memangnya siapa yang bisa selain aku!"
"Kamu seharusnya sadar," mimik Otonashi berubah dalam rasa pahit, "kamu justru yang membuat lukanya tidak tersembuhkan."
Aku terdiam.
"Karenamu, Kirino ingin kembali pada dirinya yang semula. Dia tidak bisa menerima tangan palsunya meski itu bisa menyelamatkannya—karena jika dia menerima hal seperti itu, dia tidak akan bisa kembali jadi semula. Jelas, dengan ada di sisinya, kamu membuatnya diam di tempat."
Ya, aku tau. Bahkan versi diriku yang pengecut itu seharusnya tau kalau ia jujur pada dirinya sendiri.
"Masih belum sadar? Tapi, kamu...tidak, karena itu, mungkin. Karena kamu sudah sadar, kamu mencari cara untuk menolongnya. Memang benar kalau meninggalkannya bukanlah solusi yang benar—kalau kamu, orang yang sangat mengerti dia, meninggalkannya, masalah baru bisa saja datang. Dan tentu, kesimpulanku kalau melepasnya adalah pilihan terbaik. Lagipula, kamu tidak bisa melakukan apapun untuk Kirino selain terus merusaknya."
"Kalau kulakukan, dia mendertia, dan mungkin membuat kesalahan yang membuatnya lebih menderita. Dia bisa saja terjebak di suatu perputaran. Dan kau masih menyuruhku untuk berpisah dengannya?"
"Ya."
"Ngajak berantem??"
"Tidak. Kalau kamu pergi, dia mungkin terikat kesedihan, kalau kamu tetap didekatnya, dia akan terikat kesedihan. Dan bukan hanya itu. Andai kamu tidak pergi, bukan hanya dia akan tetap tenggelam di kesedihan, lukamu sendiri akan jadi lebih buruk."
"Aku tidak peduli soal diriku!"
"Bodoh! Tentu harus!" Dia mengejutkanku dengan ledakkan emosinya - sangat jauh dari dari sifat dinginnya. "Apa kamu—ingin jadi sepertiku?"
Itu adalah teriakkan tenangnya yang pahit.
Sekarang, aku paham maksudnya.
Saat ini, aku akan dilanda kehancuran. Dan aku yakin kalau itu juga akan terjadi pada Otonashi. Ah, benar, ini masuk akal: sampai saat ini, semua yang dia lakukan bukanlah apa-apa melainkan penghancuran diri. Dia hidup untuk sesuatu yang bukan dirinya.
Dia berfikir kalau sudah cukup satu orang saja untuk keberadaan itu, dan dialah orangnya.
Tetapi, tak mungkin aku akan menerima hal seperti itu dari gadis misterius yang baru saja pindah. Kamu mungkin rekan pada "2 Maret" sebelumnya, tapi aku tak punya ingatan itu.
Tak seperti Kazu, kata-kata Otonashi tidak berarti untukku.
"Kalau kau tak mau membantuku, aku takkan bekerja sama denganmu lagi."
"...Oomine."
Tapi, Otonashi telah bersamaku untuk lebih dari 1539 hari. Dilihat dari sikapnya, itu sudah lebih dari cukup untuk dekat denganku.
Oleh karena itu, keinginannya untuk menolongku telah tumbuh kuat.
"Kalau kamu sangat ingin menyembuhkan lukanya, hanya ada satu cara, dan aku akan menerimanya. Aku akan berhasil untuk dirimu dan untuk orang lain."
Itu kenapa dia berkata padaku:
"Akan kusempurnakan 'box' milikku."
Tapi karena kami tidak bisa menerima cara itu, kami menjadi rekan.
Tapi meski telah terjadi hal yang seharusnya memisahkan kami, kami terus menjadi rekan.
Alasannya mudah: karena Otonashi masih belum yakin untuk berpisah denganku pada pengulangan 2 Maret yang ke-1539. Dan itu, itu sudah cukup menolak perpisahan kami, karena ingatanku selalu dikembalikan. Meski itu baru kusadari, Otonashi tidak sedingin itu untuk menganggap rasa sakit yang dia berikan padaku di pengulangan itu tidak pernah terjadi. Dia tetap mengingat insiden itu meskipun mustahil kuingat.
Tidak ada saling percaya lagi di antara kami.
Dan pada pengulangan 2 Maret yang ke-1542, kami berhasil mencapai Mogi.
Tapi kami sudah berada di batasnya saat itu. Kami tak bisa membuat kemajuan. 'Kelas Penolakan' ada karena 'keinginan' Mogi untuk melalui 3 Maret tanpa ada penyesalan, dan juga dirancang untuk membuat semua orang yang menemukan si 'pemilik' untuk kehilangan ingatannya. Setelah pengulangan ke-1543, Otonashi lupa kalau Mogi adalah si pelaku.
Kami berhasil meraih Mogi beberapa kali setelah itu. Karena Otonashi tidak bisa menerima kekerasan, dia tak bisa menghancurkan 'box' Mogi, dan kata-kataku tak mencapai Mogii. Terlebih, aku tak mendapat ingatan dan frustasi yang dibuat oleh pengulangan tak terbatas itu, jadi aku tak begitu nekat untuk melancarkan serangan pada Mogi. Masalahnya tak separah itu di perspektifku untuk meyakinkan diri untuk menyakitinya, meski itu satu-satunya jalan.
Kami tak menemukan jalan. Dan pada akhirnya, Kazu jadi satu-satunya yang bisa melawan 'box' milik Mogi.
Karena itu, hubunganku dengan Otonashi berakhir.
"Selamat tinggal."
Pada 2 Maret ke-1635, setelah ratusan kali kami bersama sebagai rekan, Otonashi akhirnya menyerah.
Aku kebingungan, karena ucapan selamat tinggalnya yang tiba-tiba.
Pelajaran pertama baru saja selesai, dan Kazu duduk di sampingku.
Ia juga sama, dan bertanya: "Daiya, kamu kenal dia?"
"Tidak."
Alasan keterkejutanku bukan karena dia menghentikan pertemanan kami, tapi karena Otonashi hanya orang asing untukku, sebab ingatanku akan terhapus dalam 'Kelas Penolakan'. Kata selamat tinggal sudah tak masuk akal.
Ternyata, Otonashi kelihatan tersakiti oleh sikapku. Meski dia seharusnya terbiasa kebingungan melihat semua orang setelah mengulangi hari yang sama sebanyak itu, dia tak bisa dengan begitu saja mengabaikannya.
...Kenapa?
Aku tak punya petunjuk, tapi aku bisa berpendapat: Otonashi sendirian di dunia itu, tapi dengan bekerja sama denganku, dia berhasil menemukan seseorang untuk mengungkapkan pengalamannya dari mengulangi hari yang sama terus menerus. Itu pertama kalinya dia dibebaskan dari kesendirian dalam 'Kelas Penolakan'.
Tapi dia kembali sendiri lagi.
Selamanya sendiri dalam dunia yang mungkin akan terulang selamanya.
Kalau itu benar...maka untuk menjelaskannya semudah ini: dia kesepian.
Itu artinya dia masih belum berpengalaman sampai "pindah sekolah" ke-1635.
Tanpa mengatakan apapun soal 'box', Otonashi melanjutkan:
"Setelah pengulangan ke-1635 berakhir, kamu akan lupa. Dan mungkin, kamu tidak akan bisa mengikuti arahanku. Jadi, apa yang akan kukatakan hanya akan memuaskan diriku sendiri saja. Tapi, biar kukatakan ini:"
Tanpa mempedulikan kebingunganku yang bertambah-tambah, dia melanjutkan.
"Jangan pernah gunakan 'box'. Jangan."
Itu adalah peringatan yang "aku" yang sekarang takkan ingat.
"Kamu akan mencoba mengabulkan 'permintaan' yang mustahil kalau kamu mendapatkan 'box'. Kamu hanya akan mengikuti faham sendiri yang tidak akan bisa kamu lawan—sepertiku."
Tapi apa yang dia maksudkan dengan kata-kata itu?
Hal itu berlalu tanpa dia mengatakan kalau peringatannya tak berguna; aku pasti lupa seperti yang dia katakan, dan berakhir menggunakan 'box'. Seperti dia hanya bicara pada dirinya sendiri.
Ah, begitu.
Dia hanya bicara pada dirinya sendiri. Otonashi hanya mengeluarkan dirinya sendiri menjadi kata-kata. Otonashi hanya ingin mencoba mengeluarkan fikirannya dari kesengsaraan dengan mengeluarkan frustasinya, yang mana takkan ada yang mendengarnya, pada kekosongan dunia itu.
Saat itu, Otonashi jadi sangat lemah.
"Aku tau 'keinginan itu berakhirnya di mana. Itu,"
Jadi, dia mengungkapkan sendiri akhir cerita tentang dirinya.
"Kehancuran."
Itu pengungkapan perasaan yang menyedihkan.
Yang seharusnya menggapai hatiku.
"...Hah? Kau ini bicara apa?"
Tapi aku tidak langsung ingat waku yang kuhabiskan bersama pun aku tak menjawabnya dengan kata-kata yang menenangkannya.
Itu bukan keajaiban.
Mustahil kami berdua bisa membuat keajaiban.
Di layar, aku hanya menatap gadis asing yang bicara tak masuk akal. Dan akhirnya, aku mengabaikannya dan pergi dengan Kazu.
Otonashi ditinggal sendiri di kelas.
Dia masih berdiri, dikelilingi bisikkan dengan rasa penasaran dari teman sekelas kami.
Menggemertakkan giginya dan kepalannya, Otonashi terus mengeluarkan omongannya pada kekosongan dari tempatku tadi.
"Tapi apa yang akan aku lakukan kalau kamu mengetahui 'box'-nya dan mendapatkannya? Aku tidak akan mengambilnya darimu. Aku akan melawan 'pemilik' lain, tapi aku tidak akan melawan kamu."
Tidak melawanku?
Apa? Itu benar-benar—
"———"
Tunggu. Kenyataannya, otonashi belum melakukan apapun padaku sejak aku kembali ke sekolah dengan 'Hukuman dan Bayangan Dosa'.
Hei, mungkinkah...?
Tiba-tiba saja aku memikirkan sebuah kemungkinan.
Aku berfikir kalau dia tak menyerangku karena dia ditipu oleh Kazu, atau hanya bermain-main bersamanya meski sudah tau kebohongannya. Tetapi, aku selalu yakin kalau Kazu-lah penyebabnya tetap diam.
Tapi jika dia yang di layar ini mengatakan kebenarannya, apakah dia tidak tau cara melawan 'box' milikku?
"Mungkin aku akan bekerja sama lagi denganmu—Tidak, bukan begitu. Aku tidak akan melakukannya. Tetapi aku tidak ingin melawanmu juga. Tujuan kita berada di arah yang sama. Kita tidak pernah ditakdirkan menjadi rekan. Ya, kenyataanya, kita—"
Kata-kata yang dia katakan selajutnya tidak begitu tabu. Tapi mimiknya berubah dan dia dengan pahitnya dia mengatakan:
"Jiwa yang sama, mungkin."
Oh, jadi itu alasan yang membuat Otonashi terlihat seperti itu.
Karena, itu artinya Otonashi dan aku hancur.
"......Aku kasihan pada Kazuki-san."
Sebuah suara menarik perhatianku kembali ke dunia nyata.
Dengan ekspresi tidak puas, Yanagi Yuuri berbisik sambil menonton filmnya.
Dia merasa kasihan pada Kazu? Reaksi macam apa itu? Seperti dia melihat Otonashi menyelingkuhi Kazu.
...Kurasa aku bosa mengerti dia. Tanpa maksud menganggap Otonashi tak setia atau apapun, tapi Yanagi mungkin berfikir kalau hubungan Otonashi dan Kazu itu sesuatu yang suci. Tetapi, hubungan Otonashi denganku dalam 'Kelas Penolakan', dan waktu yang kuhabiskan sebagai satu-satunya orang yang dipercaya Otonashi, pasti terlihat seperti pengkhianatan untuk Yanagi.
...Aku sulit mengakuinya, sih.
Aku juga menganggap cerita 'Kelas Penolakkan' itu hanyalah penyatuan hubungan antara Otonashi dan Kazu. Aku fikir tak ada yang lainnya.
Tapi bukan hanya itu. Tentu, itu memang wajar. Otonashi tak menghabiskan waktu seumur hidup hanya bersama Kazu. Ya, Kazu memang satu-satunya yang bisa mengingat pengulangan sebelumnya dan berada di sisinya, tapi Otonashi juga saling berhubungan dengan murid kelas kami.
Tentu, aku salah satunya. Karena aku tak bisa mempertahankan ingatanku, aku tak bisa langsung menyebutnya "Maria" saat dia memperkenalkan dirinya sebagai "Otonashi Aya," dan aku tak bisa sepenuhnya menjadi rekannya. Tapi meski aku terus melupakannya, Otonashi masih mau menghabiskan waktu bersamaku.
Dalam dunia yang berulang itu, ada juga cerita tentangku dan Otonashi.
Merenungkan katanya, aku berbisik: "Pondering her words, I whisper: "Hancur, 'kah..."
Tak perlu untuknya menunjukkan itu padaku, si realis ulung.
Kalau kugunakan 'box', aku akan menghancurkan diriku sendiri.
Karena aku tau kemampuanku, aku juga tau batasku, aku sadar kalau aku akan kacau, tak peduli seberapa keras aku melawan, apapun yang kulakukan.
Kesadaran akan batasku juga menetukan batas 'box'-ku, yang membuatku tak bisa menguasainya.
Ya ampun...kenapa aku ada di saat aku tak bisa kembali setelah mengetahui ini? Kenapa aku menjerat semua orang yang tak ada hubungannya dan menghancurkan hidup mereka hanya untuk keinginanku? Parahnya, aku sudah membunuh. Aku sudah sampai di saat di mana aku tak bisa berkata "aku berhenti".
Kenapa kugunakan 'box'?
Sejak kapan kumulai jadi seperti orang yang seperti aku yang sekarang?
—Kamu punya keinginan?
Ah. Aku ingat.
Sudah terlambat untukku sejak aku bertemu 'O' dan mempelajari 'box'.
Setelah kutau soal mereka, aku harus menggunakannya. Meski aku tau 'keinginanku' takkan pernah jadi nyata, aku harus menggunakannya. Kalau ada kesempatan untuk 'keinginan'-ku, yang sudah gagal untukku capai, berhasil kudapat, aku akan membayar berapapun dan mendapatkannya.
Semua tindakanku tak kufikirkan, dan kehancuranku tak terhindarkan.
Kalau 'O' memberi 'box' padaku dengan semua hal itu dalam fikiranku— aku menghentikan pemikiranku.
...Sudah cukup. Cukup. Tinggalkan masalah ini.
Filmnya masih berlanjut.
Aku memilih untuk terfokus padanya.
"Oomine. Kalau kamu gagal dan sudah tak punya harapan lagi, aku akan menyelamatkanmu. Aku ada untuk hal itu. Kalau semua menjadi salah—"
Sendirian di kelas, Otonashi yang ada di layar melanjutkan.
"Aku memperbolehkanmu menggunakan 'Kebahagian yang Tak Sempurna' milikku."
"Aku telah memilih kalau aku tidak pernah bilang itu."
Suara Otonashi terdengar dari atasku, bukan dari speaker.
"Lagipula, pembicaraan itu tidak pernah ada buatmu. Juga percuma kalau cuma aku yang tau, aku memilih kalau itu tidak pernah terjadi. Bukan hanya pembicaraanku bersamamu, tapi beberapa hal lain juga."
Sebuah bayangan terbuat di layar, diproyeksikan oleh orang yang berdiri di tengah-tengah sinar proyeksi—seperti mengatakan kalau dia berdiri di atas 'Teater Penghancur Keinginan' dan film yang sedang berlangsung.
"———"
Aku tak ingin mengakuinya, tapi aku terkejut. Meskipun dia terlihat sama seperti biasanya, seperti yang kulihat biasanya, aku masih canggung.
Apa mungkin reaksi seperti itu saat hanya melihat manusia itu mungkin terjadi? ...yah, aku itu baru kulakukan. Untuk sesaat, aku lupa cara bernafas, dan mataku melebar dan mulutku sedikit terbuka untuk tanpa alasan. Sosoknya telah mencampur adukkan ritme jantungku, membuatku berkeringat, dan jariku menjadi gemetaran.
Hanya dengan berdiri di sana, dia membuatku terpesona. Hanya menatapku, dia memberikan tekanan yang sangat kuat padaku sampai keberadaannya tak hanya menyesakkan nafas, tapi tajam seperti bilah pedang.
Dalam pemandangan itu, sebuah nama keluar dari bibirku seakan merenggut keberanianku.
"Otonashi Aya."
Hanya setelah membisikannya dengan keras, aku sadar kalau aku menggunakan nama yang benar.
"Memutuskan kalau itu tak pernah terjadi, kah... Kenapa belum pernah kusadari," kata Otonashi, "kalau aku seharusnya memilih pilihan yang sama dengan hubunganku bersama Kazuki?"
Dia memanggil dirinya "Maria" sampai sekarang karena ada seseorang yang mengingat nama itu membuatnya seperti itu.
Tapi dia menghentikannya.
Dia telah menjadi musuhnya.
Terbebaskan sihir itu, tak ada lagi nama yang cocok untuknya selain "Otonashi Aya". "Maria" tak lagi cocok untuknya.
Dia bukan lagi manusia, sekarang dia telah menghancurkan ikatan abadinya dengan Kazu yang pernah dia jadikan tujuan. Di saat dia tau bisa melakukannya, dia berhenti menjadi manusia. Aku mengerti itu lebih dari siapapun, karena kami memiliki tujuan yang sama. Perasaannya terhadap idealisme sudah sangat besar. Dia, yang berhasil menolak diri lamanya, adalah sikap idealku - keberadaan yang ada hanya untuk sebuah tujuan.
—Tak ada lagi Zero no Maria di manapun di planet ini.
Siapapun, bahkan Kazu, takkan mungkin mengembalikan "Otonashi Maria" sekarang. Bahkan sangat mustahil untuknya berhenti ketimbang diriku.
Dirinya yang melampaui batas menyebabkan cangkang jatuh dari mataku. Meski kenyataannya itu adalah sebuah bukti kalau aku takkan bisa menguasai 'box' milikku, aku takkan mungkin membiarkan diriku terus mengetahuinya.
Mengetahui—
'O'.
◇◇◇ Hoshino Kazuki - Jum'at, 11 September 21:44 ◇◇◇
"Kalah sama Oomine-kun lagi, Kazuki-kun?"
Setelah waktu yang lama, aku kembali dari perasaan shock-ku dan telingaku sekali lagi mulai menerima suara.
Aku memandangi sekitar lagi dan melihat Iroha-san menatap ke atas padaku sembari duduk dan mengistirahatkan dagunya di kedua tangannya. Dia jadi satu-satunya orang yang masih di lorong ini.
Aku melihat jamku. Aku telah berdiri di sini tanpa melakukan apapun selama hampir setengah jam. Film ke-3, "Ulangi, Kembali, Kembali," akan berakhir.
"Hmm...," dia mendesah seperti seorang ibu yang dengan sabarnya menunggu anaknya untuk tenang. "Ayolah, serahkan 'Teater Penghancur Keinginan' punyamu dan jadi [pelayan]-ku. Aku akan melakukan hal yang bisa menghabiskanmu."
Aku masih kesulitan memfokuskan fikiranku. Pandanganku masih bergerak maju-mundur, membuat coretan di temboknya seperti sebuah seni yang hebat. Sulit untuk menelan. Kenyataan kalau lubang hidungku berada di tengah wajahku membuatku jengkel. Aku menyadari ada tanah di dalam kuku jariku dan anehnya kurasakan sedikit malu.
Persetan.
Persetan soal 'Teater Penghancur Keinginan' itu dan [pelayan-pelayan] itu.
Maria.
Aku telah menyakiti Maria.
Aku tidak bisa menghentikan Maria.
Dia tidak akan menjadi "Otonashi Maria" lagi. Dia menjadi "Otonashi Aya" selamanya.
Masihkah aku bisa membalikkan semua dan mengembalikan Maria?
Aku memikirkannya dan menemukan sebuah kesimpulan:
—Tidak mungkin.
———Mustahil.
Aku tidak lagi punya tujuan.
"...Iroha-san."
Untuk suatu alasan, dengan wajah yang hampa, aku menanyakan hal yang mengangguku.
"Apa?"
"Tadi itu hanya kepura-puraan untuk menunjukkan Maria kalau aku mengkhianatinya, 'kan?"
Kenapa aku menanyakan ini? Ya, ini memang menggangguku, tapi sekarang aku tidak punya diri yang tersisa untuk mengkhawatirkan itu.
"Sudah kubilang, 'kan?"
"Tapi," aku melanjutkan sebisaku untuk mencari solusi, "kamu tidak bohong saat kamu bilang kamu memilih orang yang pantas mati, 'kan?"
Matanya melebar, dan ujung murutnya naik.
"Ya." Matanya dipenuhi kegilaan. "Akan kulakukan apapun untuk memusnahkan sampah itu!"
Tanpa menggunakan fikiran, aku berfikir:
...Seperti yang kukira.
Aku benar saat kufikir kalau Iroha-san tidak bisa kembali ke kesehariannya lagi.
Tujuan yang dia katakan dengan panjang sebelum "Manusia Anjing" bukan kebohongan. Anggapanku kalau dia membuat kesalahan itu memang benar.
Daiya dan Iroha-san akan terus mengejar tujuannya yang salah itu. Meski mereka menyadari kesalahannya, mereka tidak mau kembali lagi, dan akan terus dipaksa melakukannya sampai mereka hancur. Seperti yang Maria inginkan.
Seseorang harus menghentikannya.
Tapi sudah terlambat untukku. Aku sudah kehilangan tujuanku dan merasa tidak peduli lagi.
Aku sudah menyerah.
"........."
Menyerah?
Pada apa? Maria? Aku?
Ya. Ya, aku menyerah. Tidak ada cara lagi, jadi aku tidak punya pilihan.
Tapi sebenarnya memikirkan soal menyerah membuat tubuhku sangat panas, membuatnya terasa bisa meleleh kapanpun. Tangan dan kakiku seperti akan terputuskan dari sendi-sendinya. Pilihan itu sebenarnya terlarang. Tapi aku harus menghindarinya.
Terlebih—
"—Omong kosong."
Apa perasaan yang terkumpul di dalam diriku?
Apa aku marah? Pada Iroha-san?
Tentu itu masuk akal. Aku ditipu olehnya. Dia memainkanku dan menunjukkan Maria kalau aku sudah berubah, dan membuatku berpisah dengannya.
Terlebih, Iroha-san membuat orang yang tidak bersalah jadi terlibat di kesalahannya.
Bukan hanya itu.
Perasaan ini tidak tertuju pasanya.
Karena, aku tau dia bukan orang jahat. Keinginannya menghancurkan kriminal bodoh kebetulan tidak berlawanan dengan pandanganku. Dan lagi, aku merasa kalau ini bukan salahnya sampai-sampai dia berpendapat seperti itu.
Benar kalau dia mengejar keinginannya.
Tapi itu masihlah tidak masuk akalku; memangnya dia merasa seperti ini? Apa dia menginginkan ini bahkan sebelum mendapat 'Hukuman dan Bayangan Dosa'?
...Sebelum dia mendapat kekuatan itu dari Daiya?
"Aku punya pertanyaan."
"Apa?"
Aku menatap Iroha-san lagi. Wajahnya yang dinodai darah menunjukkan bayangan dirinya yang sebelumnya. Matanya yang memancarkan daya tarik yang kuat telah dikotori.
Itu bukan ekspresi yang orang biasa lakukan. Iroha-san telah hancur.
Kapan?
"Memangnya semenyakitkan itu sampai kamu tidak bisa menahan rasa sakitnya?"
"Hah?"
"Aku membicarakan saat kamu mendapat 'Hukuman dan Bayangan Dosa'!"
Ya, pasti di saat itulah dia hancur.
Aku curiga dia dipaksa melakukan sesuatu ketika dia menerima kekuatan itu. Bukan, mungkin bukan hanya itu. Mungkin dia harus terus menderita karena bisa menggunakakn kekuatannya, dilihat dari apa yang Daiya pikul sekarang.
"......kenapa kamu tanya itu?"
Itu konfirmasi yang jelas.
Dan sekarang aku sadar.
Kenapa dia melakukannya?
Jawabannya:
Itu hanya penderitaan dan perlawanannya.
Ketika dia menerima 'Hukuman dan Bayangan Dosa', dia hancur karena dia telah terlemahkan oleh 'Permainan Kebosanan'.
Dikacaukan perasaan negatif, dia secara tidak sadar menggapai cara mengeluarkan mereka. Karena tanpa melakukannya, hatinya takkan mampu menahannya.
Dia menemukan sesuatu untuk mengeluarkan rasa frustasinya langsung.
Itu adalah usul bodoh Daiya. Menjadi tidak bisa percaya orang lain, dia terbawa ide itu. Dia mencoba melawan kemenyedihkannya dirinya dengan menghabisi mereka yang dia anggap sampah dengan alasan memperbaiki dunia.
Daiya memaksanya melakukan itu.
Daiya mengorbankan Iroha-san untuk 'keinginan'-nya.
Jadi apakah perasaan yang memburamkan pandanganku ditujukan pada Daiya?
......Tidak.
Daiya tidak berbeda dari rtoha-san. Ia telah mendapat 'box' untuk menetralkan dirinya yang tersiksa. Aku menganggapnya sebagai korban juga.
Aku kesal padanya karena membuat Maria meninggalkanku dan mengubah Iroha-san menjadi dirinya yang sekarang. Tapi perasaan ini berbeda.
...Marah?
Bukan. Mirip, tapi bukan kemarahan. Tidak ada yang seringan kemarahan.
Emosi yang tidak tertahankan ini pastilah—kebencian.
Pada siapa?
Ah.
Kalau ini kebencian, maka hanya ada satu targetnya.
Hanya satu makhluk yang akan sangat kubenci.
"——'O'."
"Kamu memanggilku?"
Aku tidak dikejutkan kedatangannya.
Aku sudah mengiranya.
Aku menatap 'O'.
"Penampilan macam apa itu?"
Seorang gadis cantik yang berdiri di atas semua hal dan semuanya, muncul. Tapi karena ia terlalu cantik, ia terlihat tidak nyata dan palsu, dan membuat kesan yang tidak kuterima.
Tapi kenapa hal ini muncul di fikiranku, padahal wajahnya tidak mirip?
Gadis berambut panjang itu...mirip Otonashi Maria.
"...bisa kamu katakan siapa kamu?" Tanya Iroha-san.
"Ya, kita belum pernah ada waktu. Aku berfikir kalau kamu akan langsung tau siapa aku, tapi kalau belum, biar kuperkenalkan diriku. Aku 'O'."
"'O'? Kamu?" Katanya, dan tiba-tiba saja membelalakan matanya, seperti dia baru menyadari sesuatu, dan melakukan gerakkan bertahan. "Kau datang kemari untuk melindungi Kazuki-kun...?"
"Hehe."
'O' tidak menyalahkan ataupun membenarkan maksudnya.
"Oomine-kun bilang kalau kau ada di sisi Kazuki-kun. Apa kau datang kemari karena ia dalam bahaya?"
"Aku tidak pernah menolongnya, tapi ia memang punya urusan denganku."
"Kau ingin menghalangi, 'kan?!"
'O' mengabaikannya dan mengalihkan pandagannya.
"Entahlah," 'O' menunjukkan itu padaku, tanpa peduli pada Iroha-san yang makin hingar-bingar.
"...H-Hei!"
"Kamu menarik perhatianku karena aku merasa kalau kamu berbeda dengan manusia lain."
"......cih!"
Iroha-san sadar kalau dia tidak ada peran dalam pembicaraan ini dan tenggelam dalam ketenangan.
Kelihatannya, dia telah berfikir kalau tidak ada gunanya dirinya mengetahui sosok itu.
"Tapi aku tidak mengerti kenapa kamu, dan hanya kamu, yang spesial, dan hubungan kita. Tetapi, setelah melihatmu menusuk gadis ini tadi, aku akhirnya bisa mendapat suatu kepastian. Tetapi, biarku yakinkan dulu sekarang."
Aku menaikkan alisku dan terus menatap 'O'.
"Untuk itu...ya, kurasa kuberitau padamu sedikit pengetahuan soal diriku."
"...apa yang kamu katakan...? Kamu fikir itu bisa mengubah semua? Mustahil."
"Oh, aku tidak begitu yakin soal itu. Kamu bisa saja sedikit lebih dekat denganku, siapa tau?"
"Dekat? Jangan bercanda."
"Kamu tidak biasanya bertemu dengan makhluk yang mengabulkan 'permintaan' dengan bentuk yang tidak asing lagi! Juga kamu tidak bisa menerimanya langsung. Keseluruhan 'diriku' itu bukanlah apa-apa melainkan 'kekuatan' yang bahkan tidak memiliki keinginan. Lalu kenapa aku di sini ada sebagai 'O' dan memiliki keinginan? Itu karena 'seseorang' telah memberi bentuk terhadap 'O' melalui sebuah 'keinginan'."
"'Seseorang'...?"
Apa maksud 'O'? Jadi ia dibuat oleh seseorang yang juga merupakan fenomena gaib?
"Mari fikirkan 'keinginan' yang bisa menggapai itu. Baik, coba fikirkan ini: 'aku ingin membuat keinginan semua orang terkabulkan'."
"———!!"
Mungkin...
Mungkin "seseorang" itu......
Sekali lagi, aku memikirkan tentang apa 'O' itu. Ia adalah pembagi 'box' dan telah menarik beberapa orang disekitarku ke dalam kegilaan dan kehancuran. Ia adalah makhluk yang mengabulkan 'keinginan' palsu.
Akan tetapi—
"Aku yakin kamu faham! 'Seseorang' itu tidak sadar soal itu. Dia bahkan tidak tau kalau 'box'-nya bekerja seperti itu. Dia tidak sadar kalau dia bisa mengabulkan 'keinginan' seseorang. Tapi itu kenyataannya!"
'O' mencerminkan apa yang kufikirkan.
"'Kebahagiaan yang Tak Sempurna' milik Otonashi Maria adalah 'box' yang memberikan nyawa untukku, 'O'."
Aku sudah mengira jawaban itu, tetapi masih terkejut saat 'O' mengatakannya langsung.
Tapi aku langsung menggelengkan kepalaku.
"Mustahil. Maria tidak bisa melakukannya."
"Jangan salah sangka: makhluk yang mengabulkan 'keinginan' telah ada bahkan sebelum dia menggunakan 'box'-nya. Atau dia tidak akan bisa mendapat 'box'. Dia tidak membuatku dari nol. Apa yang dia lakukan hanyalah memberiku bentuk dan membawaku ke sisinya. Apa itu masih terdengar mustahil untukmu?"
"Aku—"
...Aku fikir itu bisa saja. Aku sudah pernah melihat hal yang lebih aneh dari itu.
"Tapi Maria mengatakan padaku kalau dia telah menolak semua orang untuk tidak menggunakan 'Kebahagian yang Tak Sempurna' miliknya..."
"Pernahkah kamu melihatnya sendiri?"
"Eh?"
"Kamu hanya menelan kata-katanya begitu saja, 'kan? Kata-kata dari orang penderita amnesia, yang mana setiap kali seseorang menggunakan 'box' miliknya, kehilangan semua ingatan dari orang itu dan lingkungannya."
"......Tapi."
Ketika itu, sebenarnya aku merasakannya. Aku menyentuh dada Maria dan mengalami kesedihan yang tidak berakhir dalam 'Kebahagiaan yang Tidak Sempurna'. Aku melihat orang-orang yang telah dia buang.
"Kamu kelihatan tidak yakin. Tapi ingat, kamu juga telah menyentuh 'box' dari 'pemilik' selain dia. Bukankah kamu merasakan hal yang mirip dengan itu?
"Eh...?"
Ya. Aku memang menyentuh 'Kelas Penolakkan' Mogi-san.
"Kelihatannya kamu sudah melihatnya sendiri, tapi sebenarnya, saat itu kamu menghadapi gambaran mental dari seseorang terhadap 'box' mereka sendiri."
Artinya tempat di bawah laut yang kulihat ketika kusentuh dada Maria itu...
"Apa yang kamu rasakan saat menyentuhnya hanyalah gambaran mental. Untuknya, memang dia telah mengunci semua pemakai kedalam 'box' miliknya; karena itu adalah yang menjadi alasan kenapa 'box' mengacaukan kenyataan. Tapi sebenarnya bukan begitu. Pemandangan itu hanya menunjukkan betapa dia merasa menyesal karena hanya bisa memberikan solusi yang tidak sempurna untuk orang-orang yang dia coba selamatkan, meski sudah berempati dengan mereka dan jadi mengerti kesedihan mereka. Ya—"
'O' melanjutkan perkataannya, dan tetap mempertahankan air wajahnya yang anggun.
"Ya—pemandangan itu hanya gambaran kesedihannya."
Aku mengingat tempat yang kulihat dulu.
Sebuah teater dengan kebahagiaan palsu di dalam lau yang dingin namun sangat terang. Seseorang sedang menangis di suatu tempat, dikelilingi dan tenggelam dalam tawaan yang tidak akan berakhir. Dalam medan perang sepi di mana siapapun tidak akan menang.
Itu kesedihan Maria.
...Maria.
Jadi akhirnya, aku masih ingin menyelamatkannya!
"...jadi aku benar," "bisik 'O' ketika dia melihat ekspresiku.
"Apa maksudku?"
Tanpa menjawabku, 'O' hanya menatapku.
Jengkel karena 'O', aku mengeluhkan sesuatu yang menggangguku.
"...'O', kamu hanya membicarakan Maria, tapi apa kamu tidak ingin bicara tentangku?"
"Tenang; hal penting diutamakan. Tapi tentu, kita akan menuju maksudnya sekarang...ini hal baru yang ingin kupastikan. 'Keinginan' dari 'seseorang' itu adalah membuat semua keinginan menjadi nyata, yang merupakan alasan kenapa aku, 'O' ada. Tetapi, 'box' dibuat untuk menganalisa sebuah keinginan dengan sempurna. Bahkan mereka mengabulkan keraguan si pengguna. Jadi dalam bentuk apa keraguan 'seseorang' itu dikabulkan?"
"...tidak ada hubungannya denganku."
"Ada, loh."
"Hm?"
"Ingat Yanagi Nana, cinta pertamamu."
Nama yang muncul dengan tiba-tiba ini membuatku kebingungan.
"...K-Kenapa dia?"
"Karena 'seseorang' itu menggunakan 'box'-nya pada Yanagi Nana."
"———!!"
"Oh ya, kamu tidak tau. Tentu kamu kaget. Tapi kamu ingin aku langsung ke maksudnya, 'kan? Aku takut aku tidak memberimu waktu untuk tenang."
Dasar monster sarkastik.
"Yah, aku tidak tau perasaanmu, tapi untuk Yanagi Nana, kamu adalah penyelamat. Kamu sangat menolongnya daripada siapapun, bahkan dari pacarnya, Kijima Touji. Dan tentu, 'dia' yang dekat dengan Yanagi Nana tau itu. Kamu telah memberikan kesan yang kuat untuk 'dia'. Yah, butuh waktu yang panjang agar dianggap penyelamat oleh seseorang. Tetapi, 'dia' secara tidak sadar membuat peraturan baru di dalam dirinya: Hoshino Kazuki pantas menjadi penyelamat.
"...itu tidak masuk akal."
"Yakin? Masih ada lagi! ...'Dia' berkeinginan yang saling berlawanan setelah melihat penyelamat. Di satu sisi, dia ingin mengabulkan 'keinginan' apapun yang terjadi, tapi di sisi lain, dia ingin seseorang menghentikannya."
Aku tau itu. Dia bilang padaku tentang perasaannya di dalam 'Permainan Kebosanan'.
"Keraguannya akan 'keinginan' cocok dengan bagian dari keinginannya untuk menghentikannya, jadi mereka bersatu. Sebuah 'box' yang mengabulkan keinginan. Dengan kata lain, 'box' juga mengabulkan keinginannya yang melawan dirinya sendiri kalau seorang penyelamat akan datang dan menghancurkan 'keinginan'-nya sendiri."
—Apa?
Setelah menganggapku sebagai penyelamat?
Artinya penyelamat yang mendapat kekuatan untuk menghancurkan 'keinginan' dari 'box' miliknya?
"Pernahkah kamu berfikir tentang alasan kamu tidak kehilangan ingatan saat berada dalam 'Kelas Penolakkan' meski kamu bukan 'pemilik'? Alasan kenapa kamu tidak terpengaruh Shindou Iroha saat menginjak bayanganmu? Bukankah masuk akal kalau kamu dipengaruhi 'Kebahagiaan yang Tak Sempurna' selama ini, jadi bisa menahan kekuatan 'box' itu?"
'Kebahagiaan yang Tak Sempurna' punya dua kekuatan.
Kekuatan untuk menciptakan 'O'.
Dan untuk "penyelamat".
"'Box'-nya menganggap dirimu sebagai penyelamat. Atau harus kukatakan..."
"Hoshino Kazuki, kamu adalah kesatria yang harus menghentikan Otonashi Maria."
Kesatria.
Aku...satria Maria.
Aku mendapat kekuatan dari Maria?
"———"
Aku melihat telapak tanganku. Kututup, kubuka. Tutup, buka. Batu, kertas.
Ah...mereka hanya tangan biasa, lemah dan kecil ketimbang yang lain yang seumuran. Tidak kurasakan kekuatan di dalamnya.
Tetapi...entah kenapa, sesuatu terasa aneh. ...bukan, itu salah.
Sebaliknya.
—Perasaan aneh yang selalu menarikku dari sisi kesadaranku telah menghilang.
"Yah, kenapa tidak kamu coba sendiri?"
"Coba? Bagaimana?" Tanyaku.
'O' menatap Iroha-san seperti dia baru ingat kalau dia di sana, dan menjawab tanpa menggerakkan tubuhnya.
"Hancurkan 'box'-nya, terserah dia mau atau tidak."
"Apa——?!" Iroha-san menyeru itu dan menatap padaku.
Kamu tidak perlu melihatku seperti itu. Kenapa aku harus mengikuti petunjuk seseorang seperti 'O', yang merupakan yang sangat kubenci? Meski jika aku punya kekuatan untuk menghancurkan 'box' milikmu, tetap aku tidak ingin melakukannya.
Tetapi,
".............................................................................................................................................................................................................. .......................................................................Heh, hehe."
Aku tidak tahan lagi.
"Kazuki-kun...?"
Iroha-san mengubah mimik wajahnya. Tetapi tetap tidak bisa kutahan tawaku.
"Heh, hehe... a, ha, ahahahahaha!"
"...apa? Apa yang lucu?"
Ya ampun, perasaan apa yang bergejolak ini?
Apa dorongan yang kuat ini?
—Aku ingin mencobanya.
—Kekuatan ini.
—Kuhancurkan 'box' yang sangat dia sayangi.
Aah, aku tidak lagi merasa terlalu sedikit "diriku" di dalamku.
Menjijikan. Aku bingung kenapa aku merasa begitu dan dari mana datangnya itu. Seperti aku terdorong oleh kekuatan dari luar, seperti keinginanku dikendalikan oleh kekuatan itu. Aku baru saja merasakan fenomena itu: meski aku baru saja jatuh ke dalam kesedihan setelah kudapati bahwa mustahil Maria bisa diselamatkan, perasaan itu entah kenapa terhapuskan jadi aku mencoba mencari solusinya dengan bertanya pada Iroha-san.
Akhirnya, kudapat penjelasan.
Semua karena Maria.
Itu salahnya. Dia membawa malapetaka ke dalam hidupku. 'Box' Maria adalah akar dari semua kejahatan. Karena salahnya membuatku mencoba menusuk Iroha-san, kesalahannya juga aku mau membiarkan Mogi-san mati setelah kuhancurkan 'box' miliknya, itu salah Maria.
Aku di bawah kendali Maria.
"Heh, ha, ahahahahahahahahahaha, HAHA, hahahahahahahahahahahahahahahaha hahahahahahahahahahahahahahahaha hahahahahahahahahahahahahahahaha hahahahahahahahahahahahahahahahaha!"
Dan itu—rasanya luar biasa.
Karena itu artinya aku berada di sisi dirinya yang paling benar. Tentu terasa baik saat itu sudah menjadi tujuanku sejak awal.
Aku selalu merasa berdosa karena ingin menyingkirkan Otonashi Aya yang berlawanan dengan keinginan Maria. Untuk satu hal, aku tidak tau apakah itu hal yang benar, dan di sisi lain, aku tidak ingin membuatnya lebih sedih.
Tapi sekarang sudah diizinkan Maria.
Sudah kudapatkan alasan untuk menghancurkan Aya untuk sebuah kerajaan.
Bukan masalah untukku mewujudkan keinginan buruk ini.
Aah, Maria.
Mariaku sayang.
Tidak peduli seberapa buruknya kebencianmu padaku dan perlawanan juga tangisanmu, aku akan menghancurkan 'box' milikmu. Aku akan menghancurkannya hingga menjadi serpihan. Kuhancurkan coretan yang kamu buat sendiri di depan matamu. Kuhancurkan, remukkan, musnahkan, dan buang.
Aah, jantungku berdetak kesenangan. Aku bernafas dengan cepat karena mabuknya diriku.
Kekuatan.
Kekuasaan.
Kemahakuasaan.
"...ada apa, Kazuki-kun?" Iroha-san bertanya.
Dia menyadari nafasku, dan melihatku menekan dadaku dengan tanganku saatku sembari berjongkok.
Ya, pasti. Sebelum kubunuh Otonashi Aya, harusku pastikan kekuatanku.
"W-Waah...kenapa kamu menatapku?"
Dan kugunakan gadis penggila 'box' ini.
—tapi bagaimana caraku menghancurkan 'box'?
Kufikirkan dengan akalku cara-cara yang memungkinkan...untuk sesaat, tapi aku ragu kalau itu akan membantu. Keberanianku berkata kalau aku harus melihatnya sendiri.
Jadi, kubuat gambar dalam fikiranku.
Kubayangkan diriku sebagai seorang satria di gurun berdarah. Pasukan berzirah musuh dengan senjata lengkap berdiri di jalanku sejauh mata memandang. Aku menusuk mereka dengan pedang panjangku, membuat gunung mayat, dan tidak pernah berhenti meski itu melahirkan kebencian dan dendam.
Semua demi bertemu Maria.
Demi menyelamatkannya dari kastil tempat dia diculik, aku mengumpulkan mayat untuk membentuk gunung dengan tinggi yang sama. Kupanjat menara daging busuk itu seperti tangga untuk mencapai Maria.
Untuk menyelamatkannya.
Aah.
"Aah."
Ketemu.
"Ketemu."
Tidak ada hal yang datang ke otak. Aku hanya menyambungkan bagian-bagian yang kutemukan. Seperti aku dengan acak menyelesaikan puzzle cincin tanpa memikirkannya. Dengan perasaan itu, aku menemukannya—
—'box'.
—cara yang benar untuk menggunakan 'box'.
Setelah kamu memikirkan cara menggunakan 'box', kamu tidak bisa menguasainya. Kamu tidak boleh mengisi 'box' dengan keinginanmu, dan hanya tau saja kalau itu memang ada. Semua yang kamu perlu lakukan hanyalah mempercayai kalau kekuatan pengabul 'keinginan' itu ada. Kita hanya perlu percaya pada diri kita dan mengejar tujuannya.
'Box'-nya bisa terus kosong. Tidak, itu harus terus kosong.
Itu yang kusadari.
Dan itu saja cukup. Dengan pengetahuan itu saja, aku bisa mendapatkan kekuatan kesatria untuk menghancurkan 'box'. Bisa kudapatkan alat yang mengabulkan keinginanku—
'Utsuro no Hako .'
"...yah, kita mulai?"
Aku menggenggam wajah Iroha-san dengan tanganku, menutup matanya dalam telapak tanganku, dan kugunakan tangan lain untuk menangkap tangannya dan menjatuhkannya ke tanah.
"Eh? Uh...?"
Aku duduk di atasnya. Iroha-san menatapku dengan mata yang melebar. Kelihatannya, itu berlalu dengan terlalu cepat.
Kelambatannya itu fatal. Sudah sangat terlambat. Dia sudah kalah.
Tanpa basa-basi, kutusuk tanganku bagai pedang ke dalam dadanya.
"EH? Ah! Nng! ...Ungh!!"
Kutarik keluar.
Aku mengeluarkan tiruan murahan 'Hukuman dan Bayangan Dosa'.
".......Eh? Eh? Apa?"
Aku tersenyum saatku lihat dia melawan dan gagal untuk memahami situasinya sekarang.
Mudah sekali.
Apa semudah ini mengeluarkan 'box' seseorang itu?
Kulihat 'box'-nya. Itu keras dan berbentuk lingkaran, sangat hitam seperti bola meriam, tapi aku yakin milik Daiya akan berbeda. Rasa nyeri si 'pemilik' terasa dari 'box' kecil di tanganku, tapi aku tidak peduli.
"...Ah?" Hanya setelah melihat benda yang kupegang Iroha baru menyadari apa yang kulakukan padanya. "Ah...! Aah!"
Dia bertingkah seperti aku menarik keluar jantungnya.
Dia mencengkram dadanya dan melihat padaku dengan wajah pucat.
"Apa...apa yang kau lakukan?"
Tidak perlu kujelaskan.
Aku tetap diam, dan Iroha-san meneruskannya.
"B-Bagaimana kau bisa melepas 'box'?!"
...Kenapa? Bagaimana harus kujawab?
Karena aku 'satria'. Itu jawabannya, tapi itu tidak akan berarti untuk Iroha-san.
Terus, bagaimana?
Hal pertama yang muncul di fikiranku adalah apa yang Daiya pernah katakan padaku.
—Ya ampun, Daiya memang tajam. Analisanya selalu tepat. Mungkin tadi aku menolaknya, tapi ia memang benar!
Aku menutup mataku, dan kujelaskan:
"Aku ada untuk menghancurkan 'keinginan' orang-orang."
Secara tidak langsung, itu adalah pendeklarasian kalau aku adalah musuhnya.
Matanya yang melebar mengarah pada wajahku. Setelah melihat ekspresiku, dia mengalihkan pandangannya pada 'box' yang kupegang di tanganku.
Setelah melakukannya beberapa kali, dia sadar apa maksudku dan makin pucat.
"Jangan... Jangan! Jangan dihancurkan!"
"Tidak ada kebenaran dari menggunakan 'box'."
"Mau bagaimana lagi! Setelah kupelajari. Setelah aku tau soal kekuatan yang bisa buat keajaiban! Aku tidak bisa hidup tanpa itu... Aku tidak bisa hidup tanpa 'box' lagi! Kembalikan!"
Oh. Setelah kamu menemukan jalan pintas, kamu tidak bisa hidup tanpa itu. Aku yakin 'O' pernah berkata seperti itu. Artinya hanya dengan mempelajari 'box' telah memberi pengaruh besar.
Mau bagaimana lagi. Harus kuberi dia pelajaran.
"Apa manteranya?"
"Ah?"
"Memohonlah padaku, mohon supaya aku tidak menghancurkan 'box' milikmu! Ya, sujudlah padaku."
"...ada apa denganmu, Kazuki-kun? Apa maksudnya?"
"Kamu bahkan tidak bisa membuat dirimu seperti itu? Kalau begitu itu cuma 'keinginan' bodoh! Kamu belum siap untuk menelan pil pahitnya, padahal kamu ingin mengorbankan orang lain."
"Kau tidak menjawab pertanyaanku!"
"Karena aku tidak akan menjawab pertanyaanmu! Mulai memohon!"
Setelah menyadari keseriusanku, Iroha-san menggigit bibirnya.
"...kamu tidak bisa membohongiku. Tidak ada jaminan kamu tidak akan menghancurkan 'box' punyaku meski aku menghina diriku sendiri."
"Memang tidak ada jaminan. Asal kamu sujud di hadapanku, tidak akan kuhancurkan 'box' ini. Jangan cerewet!"
Dia tidak menjawab dan malah melihat 'O'.
"Percuma! 'O' tidak akan menolongmu."
"......cih!"
"Aku tau melakukan itu bukan hal baik. Kamu bisa menunggu ada celah di pertahananku dan mengembalikan 'box' milikmu. Itu kenapa kamu melihat 'O' - karena kamu berharap ia akan ikut campur dan memberikan celah itu. Tapi percuma. Karena 'O' sendiri yang menyuruhku, jadi ia tidak akan menghalangiku. Aku tau kamu akan mencari bagian rusak di zirahku, jadi aku tidak akan lengah."
"Ugh..."
"Kalau kamu tidak ingin aku menghancurkan 'box'-mu, kamu harus memuaskan keinginanku. Sujud padaku tidak mungkin percuma, 'kan? Menghancurkan 'box' ini mungkin benar, tapi kalau kamu bisa meyakinkanku, tidak akan kulakukan."
Secara teknis, aku berkata jujur.
Aku tidak yakin dia akan berubah fikiran, tapi kalau iya, maka tentu tidak akan kuhancurkan 'box'-nya.
"......"
Iroha-san tenggelam dalam ketenangan.
Untuk sesaat, dia tidak bergerak.
Tetapi sebenarnya,
"U, uuuuuuh..."
Dia mulai menangis.
Masih terbaring di tanah, dia dialiri air mata. Seperti anak yang meminta sesuatu, dia menangis dan mengusap wajahnya.
Dan dia melakukan hal yang kukatakan. Dia sujud kepadaku, menyentuhkan jidatnya ke tanah.
Jujur, aku terkejut.
—Iroha-san itu? Si Iroha-san yang berkeinginan kuat sampai memotong jarinya untuk mencapai tujuannya di 'Permainan Kebosanan'...?
"Kumohon. Tolong jangan hancurkan. Tolong kembalikan," suaranya terdengar gemetaran dengan air mata yang mengalir.
Dia tidak melakukannya karena aku menyuruhnya, tapi karena memohon dan bersujud sajalah yang bisa dia lakukan. Seperti anak malang yang tau kalau orang tuanya yang terus menyakitinya tidak akan berhenti sampai dia memohon dan menangis.
Dengan brutal kupojokkan Iroha-san.
Mustahil untuk hatiku tidak merasakan sakit karena hal itu.
"...tanpanya...itu...aku tidak bisa hidup lagi..."
Iroha-san mengharapkan 'box' ini seperti seorang pecandu.
Dia benar-benar percaya kalau 'box' ini adalah hal yang dia butuhkan. Dia fikir dia tidak bisa hidup tanpa 'box', dan itu bisa jadi begitu setelah dia mengetahui tentangnya dan mulai menggunakannya.
Seperti itulah cara kerja 'box' itu.
Mereka menghancurkan seseorang sampai mereka tidak bisa kembali lagi.
"...ya. Kamu tidak bisa hidup lagi tanpa 'box'. Kalau kamu kehilangannya, rasa sakit yang mendalam di hatimu akan terus menyakitimu."
"...ya. Jadi, tolong kembalikan. Aku mau melakukan apapun yang kamu mau..."
Dengan kesedihan akan tangisan Iroha-san, aku memegang 'box'-nya di depan wajahnya.
Dia pasti percaya kalau aku tidak akan mengembalikannya, jadi dia terkejut. Melihat senyuman lembutku dan 'box' di depan matanya, wajah sedihnya luntur dengan kelegaan.
"T-Terimakasih..." Katanya dengan senang saat dia menggapainya dengan tangan serakahnya.
"Terimakasih?" Kumiringkan kepalaku. "Meski kubilang padamu kalau aku akan menyakitimu sampai mati?"
"Eh?"
"Kamu tidak fikir aku akan mengembalikan ini, 'kan?" Kataku saatku hancurkan 'box'-nya.
Bubuk hitam menyembur di sela-sela jariku seperti baru saja kuremukkan serangga besar, menodai tanganku dan wajahnya.
Wajah Iroha-san membeku dengan dirinya yang dimandikan sisa 'box' miliknya sendiri.
Dia menyentuh wajahnya dan mencarinya lagi dan lagi untuk mengerti apa yang baru terjadi. Terus menerus, dia memastikan kehancuran 'box'-nya dengan jarinya yang gemetaran- tidak ingin percaya kehancurannya, meskipun itu semua terlalu nyata.
"Uh, ah—"
Akhirnya, dia menerima kenyataanya.
"TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK!"
Entah karena kehancuran 'box'-nya berefek pada tubuhnya, atau kejutan secara psikis, mata Iroha-san berputar ke atas dan dia pingsan.
"Hah," kumenghela nafasku selagi melihat ke bawah padanya.
Menangis dan memohon?
Kamu bercanda?
Aku mengira ini akan terjadi. Aku bahkan mengira kalau aku akan merasa kasihan untuk beberapa waktu ketika melihatnya memohon. Tetapi, kalau ada cara untuk menyentuh hatiku, dan meyakinkanku untuk tidak menghancurkan 'box' miliknya, itu tentulah bukan memohon dan memuaskan perasaan kasihanku. Seharusnya, dia bangkit karena idealnya meski dia sedang dalam keadaan yang menyedihkan, dan menghadapiku dengan kemampuan luar biasa di dalam jiwanya saat di situasi seperti tadi.
Kalau Iroha-san masih punya fikiran, dia akan melakukannya, dan mungkin meyakinkanku untuk memikirkan kembali anggapanku pada 'box'.
Tapi dia tidak mampu. Iroha-san yang lama tidak akan pernah sujud dan pingsan. Dia kehilangan dirinya sendiri.
Bukankah itu bukti kalau dia menari pada tawaran 'box'-nya dan itu justru membuat hal lebih buruk untuknya?
Itu kenapa aku menunjukkan kehancuran 'box'-nya dengan sangat jelas. Aku memberitaunya kalau dia tidak akan bisa mendapat kembali 'box'-nya.
Aku tidak tau apakah dia bisa pulih dari hal ini; jujur saja, menurutku tidak. Tapi itu lebih baik ketimbang mendapatkan 'box' baru dan terus berbuat kesalahan. Jauh lebih baik ketimbang dia menyakiti orang lain karena kepercayaan bodohnya. Iroha-san harus hidup tanpa 'box'.
Kalau tidak, Iroha-san, matilah dalam api dan jangan menggangguku.
"Sekarang terbukti," 'O' berkata saatku melihat pada Iroha-san. "Kamu sudah dipengaruhi oleh 'Kebahagiaan yang Tidak Sempurna'. Kamu mendapat kekuatan 'kesatria'."
"Ya," aku meresponnya dan menatap 'O'.
Ekspresi di wajah yang sangat cantik dari 'O' bukanlah wajah tenang yang biasa kulihat. Ini ekspresi yang seperti boneka. Boneka yang dibentuk dengan sempurna dan luar biasa sehingga terasa lebih aneh ketimbang cantik, ekspresi palsu gadis sempurna itu menjijikkan.
Ah—benar.
Secara tidak sadar, sudah kuketahui dirinya yang sebenarnya, dan itulah kenapa ia...bukan, dia[3] selalu terasa menjijikan.
Tepat. Aku sudah ingat sekarang. Ketika kulihat sosoknya di saat yang hanya bisa kuingat dalam mimpi, dia terlihat seperti dia yang sekarang.
Itulah sosok 'O' yang sebenarnya.
Dan itulah ekspresi yang dia tunjukkan dengan sosok aslinya.
Itu artinya dia telah memutuskan untuk menghadapiku dengan langsung.
"Kazuki-kun. Aku pernah berkata kalau tujuan kita sama. Tapi kelihatannya pernyataan itu benar dari satu sudut, tapi salah di sudut lain. Kita ada dan hidup untuk Maria. Kita sama dalam hal itu. Tapi aku hidup untuk menghabulkan 'keinginan'-nya, sementara kamu menghancurkannya. Meski tindakan kita sama karena dia, peran kita jelas berlawanan. Ya ampun, memalukan sekali aku masih merasa kita ini sama. Aku harus menahan perasaan ini. Yah, lagipula kita ini—"
"Ya. Kita ini—"
Musuh.
Kami tidak mengatakannya.
Tidak perlu.
Akan kukalahkan 'O'.
Itu sama saja mengembalikan Maria ke-0. Kedua tujuan ini berhubungan.
"Tapi aku takut kamu tidak bisa menang, Kazuki-kun. Mungkin mudah untukmu memusnahkanku karena kamu hanya perlu menghancurkan 'Kebahagiaan yang Tak Sempurna' seperti yang kamu lakukan pada 'box' Shindou Iroha. Tapi meski itu sama dengan mengalahkanku, itu tidak membuatmu menang. Hanya dengan menghancurkannya," dia melihat pada Iroha-san, "kamu bisa saja menghancurkan sifat Otonashi Maria seperti yang kamu lakukan pada gadis ini - atau bahkan lebih buruk. Shindou Iroha mungkin bisa kembali, tapi mustahil untuk Otonashi Maria. Dia telah menahan dirinya sampai batasnya untuk mempertahankan dirinya. Keseimbangannya sangat tidak stabil sehingga menghancurkan 'box'-nya akan menghancurkan dirinya. Aku yakin kamu tau itu, tapi hanya supaya jelas: kalau kamu memaksa menghancurkan 'box' miliknya, hatinya akan hancur dan tidak akan mungkin bisa pulih.
Aku tidak ingin mengakuinya, tapi 'O' mungkin benar.
Aku tidak bisa menyelamatkan Maria hanya dengan menghancurkan 'box' miliknya. Kalau kulakukan, dia akan roboh dengan fikiran 'Otonashi Aya' yang dia buat, dan tidak akan kembali.
Percuma saja kalau dia tidak ingin membuang 'box'-nya dengan dirinya sendiri.
Tapi—
"Itu mustahil," 'O' mengatakannya seperti dia membaca fikiranku. "Karena kamu mengkhianatinya, dia telah meyakinkan fikirannya selamanya. Kamu mengerti maksudnya, 'kan? Artinya dia tidak akan menyerahkan 'box'-nya dengan sendirinya. Kekuatan dari keinginannya sangat kuat sampai dia tidak akan menyerah meski sudah di penghujung hidupnya. Kamu sudah sering melihatnya, jadi kamu sudah terlalu tau itu, 'kan?"
Ya, aku sudah melihatnya terlalu sering.
Tentang Maria yang tidak akan menggunakan kekerasan meski dia akan terbunuh. Bagaimana dia tidak akan mengorbankan seseorang hanya karena agar dirinya bahagia.
Untuk menghancurkan 'box'-nya untuk kepentingannya.
Maria tidak akan melakukan itu. Dia tidak akan bertingkah untuk kebahagiaannya sendiri. Aku menyerah terlalu cepat, karena berfikir mustahil untuk menyelamatkannya.
Tetapi.
"Aku bisa melakukannya!
Aku telah tau kalau aku adalah penyelamat.
Aku telah tau kalau aku adalah 'kesatria'.
"Maria akan menyerahkan 'box' miliknya padaku!"
Aku tidak tau caraku mencapai tujuan itu, tapi aku masih percaya pada kekuatanku sekarang setelah kuterima 'box' milikku.
Kekuatan yang dibuat Maria sendiri karena dia yang menginginkannya, jadi mustahil aku akan gagal.
Kubuat keajaiban yang akan memutar balikkan semua.
"Karena aku punya 'Box Kosong'."
Tidak ada yang bisa menghentikanku.
Mm...pertama, aku akan mendapatkan Maria dari Daiya. Setelahnya, aku akan melawan Maria dan membuatnya menyerahkan 'box'-nya.
"Oh. Kalau begitu aku hanya perlu menghancurkan 'Box Kosong'."
'O' akan menjadi musuhku.
...Ah, hanya sekarang aku menyadari diri 'O' yang sebenarnya. Aku akhirnya sadar ketika aku yakin kalau dia musuhku.
Kenapa aku tidak menyadari hal sejelas ini lebih awal? Aku seharusnya menyadarinya lebih awal. Setidaknya, aku telah mengetahuinya setelah kulihat dirinya yang sekarang. Maksudku, bukankah dia ini memang mirip sejak pertama kali kulihat dia?
'O'
Hanyalah inisial. Maria telah menciptakan makhluk ini, jadi mungkin dia secara tidak sadar memberinya nama 'O', karena dia tidak asing dengannya. Kalau begitu, hanya satu nama yang bisa kufikirkan.
Dia ingin menjadi makhluk yang mengabulkan 'keinginan'. Dan itu adalah 'O'. —Secara logika, 'O' adalah ideal-nya.
Dan ada lagi nama orang yang selalu menjadi panutan Maria dan ingin menjadi orang itu.
Ya, akarnya memang sama. Itu kenapa aku menganggap mereka berdua musuhku.
Aku memanggil nama 'O' dengan kebencian mendalam.
"'O'"
Aku tidak tau asal dari nama itu. Mungkin ada orang yang menjadi inspirasinya. Otonashi, jadi mungkin dari keluarga Maria.
Apa yang kutau adalah kami berdua, 'O' dan aku, ada karena Maria.
Tapi kami tidak boleh ada di saat yang sama. Karena kami berlawanan satu sama lain dari sisi kami yang sangat dalam, hanya satu dari kami yang bisa bertahan. Tapi aku tidak akan kalah.
Jadi biar kujelaskan maksudku.
"Akan kubunuh kau, 'Otonashi Aya'."
Balik Ke Adegan Kedua | Kembali Ke Halaman Utama | Lanjut Ke Catatan Pengarang |