Hakomari (Indonesia):Jilid 5 Bab 2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Adegan Pertama: Close-up Selamat Tinggal



  • 1. LUAR HOTEL - MALAM
  • Hotelnya cukup besar dan terlihat seperti hotel bisnis. Malam telah datang, tapi tidak begitu gelap.
  • 2.RUANG HOTEL
  • Sebuah ruangan biasa tanpa banyak furnitur. Bentuknya seperti hotel pada kebanyakannya. KAMIUCHI KOUDAI, seorang siswa SMP kelas 2, telah membawa KARINO MIYUKI kesana. Dia dikelilingi sekumpulan lelaki dengan senyuman yang cabul. Wajahnya pucat karena takut. Dibalik para lelaki itu adalah sebuah kasur untuk dua orang.
  • MIYUKI
  • K-Kou-chan!
  • Mengabaikan MIYUKI, KOUDAI menutup pintunya. Tanpa melewati momen itu, MIYUKI mencoba kabur. Salah satu lelaki menghalangi jalannya. Mencari sebuah tempat untuk sembunyi, dia dengan instingnya berlari ke kamar mandi.
  • Beruntung, ada kunci di pintu kamar mandi. MIYUKI mengunci pintunya. Dia duduk di depannya. Bernafas dengan cepat. Bayangan para lelaki bisa terlihat dari pintu yang transparan.
  • LAKI-LAKI 1
  • Kemari, Miyuki-chan-ku yang manis!
  • LAKI-LAKI 2
  • Jangan begitu ketakutan! Ayo, kita senang-senang bersama!
  • LAKI-LAKI 3
  • Apa kau tau berapa yang kami bayar untukmu!?
  • Saat para lelaki menggedor-gedorkan pintu, bibir MIYUKI gemetaran. Dia memeluk dirinya dengan kuat. Dia membuat beberapa kesalahan ketika dia dengan takut membuka tas sekolahnya. MIYUKI akhirnya menarik resletingnya dan mengambil ponselnya yang terdapat banyak gantungannya.
  • Dia mulai mengetik dengan jari yang gemetaran.
  • 3. LAYAR PONSEL
  • "Tolong! Orang-orang aneh mencoba untuk". MIYUKI yang pucat menulis di ponsel. Tiba-tiba dia berhenti. Kameranya bergerak ke bawah ke akhir pesannya, yang hanya bertuliskan: "Tolong aku."
  • 4.KARINO (FLASHBACK)
  • Di potong pada MIYUKI yang masih seumuran anak SD, dengan pipi memerah, tersenyum saat OOMINE DAIYA mengelus rambutnya.
  • Di sampingnya adalah KIRINO KOKONE. Dia berdiri dekat DAIYA dengan ekspresi yang gelisah.
  • 5. KAMAR MANDI
  • Di ambang tangisannya, MIYUKI terus mengetik. Kameranya mendekati layar ponsel: "Tolong aku Dai-kun!" Dia menekan sebuah tombol. "E-mailmu telah terkirim.

◆◆◆ Oomine Daiya - Rabu, 9 September 08:10 ◆◆◆

Jika seseorang membuat film tentang hidupku, dia akan tau kalau tidak berguna menunggu skenario barunya tertulis sendirinya; cerita perjuanganku sampai melewati batas mungkin terdengar asli, tapi takkan begitu diterima. Hal seperti 'box' dan 'O' terlalu absurd di kalangan penonton biasa.

Tapi, mungkin bagian yang melibatkan kehidupan cinta lamaku akan menarik banyak penonton. Ah, tapi jika begitu, filmnya haruslah dapat akhir yang bahagia. Sebut saja aku mati karena sakit; Kiri akan terbiasa dengan kematianku, dan terus maju. Bagaimana dengan ending itu? Kalau beberapa dekade lalu, itu mungkin akan jadi hit.

Sialnya, pada realitanya aku tidak mati. Hidup masih berlanjut meski tragedi menghalang dan meninggalkan bekas luka permanen.

Cerita Oomine Daiya telah lama berakhir.

Tirainya telah turun.

Jadi, aku harus membawa sisa kehidupan manusiaku pada sebuah akhir.


Untuk itu, aku kembali ke sekolah.


"Oh Kazu-kun... Kenapa tidak jujur saja kalau kamu terpesona akan kecantikanku?"

"Sekarang bukalah matamu, Hoshii! 'Tidak. Aku cuma melihatmu karena kukira aku lihat lalat raksasa.'"

Kiri dan Haruaki saling bercanda meski kelas akan segera dimulai.

Aku mencoba mengikutinya saat duduk di atas mejaku:

"Aku selalu menggunakan kata 'haus darah' tanpa fikir panjang, Kiri, tapi terima kasih padamu aku akhirnya mengerti arti nyatanya. Aku takkan salah gunakan itu di masa depan. Terima kasih."

"Eh? Aah, apa kecerdasanku membuatmu tidak bisa bertahan dari kepayahan dirimu dan membuatmu merasa ingin darah dirimu sendiri? Selamat!"

Sungguh sebuah omongan palsu dan dangkal. Itu sama seperti menyalin beberapa lagu populer dengan melihat susunan nadanya

Sangat menyakitkan untuk melihat mereka melakukan basa-basi palsu ini.

Aku menghilang untuk waktu yang lama. Selain itu, aku mendapat 'box' dan berubah. Juga, beberapa orang di kelasku mungkin telah melihat video Shinjuku itu dan melihat peranku. Dan, aku kembali di akhir libur musim panas. Tidak mungkin aku bisa dengan mudah kembali ke keseharian di sekolah setelah satu hari itu.

Kehangatan yang telah Kiri perjuangkan sudah menghilang. Sebagai buktinya, beberapa gadis menjauhinya.

Seperti, keseharian di sekolah akan hancur meski aku kembali atau tidak. Kedatangan Otonashi Maria dan variasi 'box' yang melibatkan Hoshino Kazuki telah membuka banyak retakan di dalamnya. Juga, Kazu mungkin bisa menjaga kedamaian jika ia ingin - sekarang ia telah mengalahkan 'Permainan Kebosanan', Kazu takkan kerepotan dengan sesuatu yang tidak berarti lagi.

Keseharian yang salah ini adalah akhir.

Dan aku akan mengakhirinya dengan serangan mematikan.

Kemarin aku membuat beberapa murid dalam kendaliku. Sekolah ini menandakan titik mulai rencanaku.

Jika semua yang disebabkan 'box' itu "kacau," aku akan menutup dunia ini dalam "kekacauan."

Aku menggunakan ponselku untuk menulis pesan pada seorang pembunuh. Satu murid yang sudah kukontrol telah memberikan info kontaknya.

"Ini Oomine Daiya. Aku ingin bicara, jadi bertemulah denganku di atap saat istirahat makan siang. Akan kupastikan pintunya terbuka."

Ketua OSIS, Shindou Iroha menerima permintaanku, dan muncul di atap sekolah saat istirahat makan siang.

"Lama tak bertemu, Oomine-kun. Hmm? Ah, itu tidak benar. Aku yakin ini pertama kalinya kita benar-benar bicara." Katanya. "Tak bisakah kamu cari tempat yang lebih baik buat menembakku? Aku sangat berkeringat."

Aku mengira kalau dia masih dalam pemulihan dari 'Permainan Kebosanan', tapi... gadis ini punya nyali untuk bicara dengan biasanya pada seseorang yang dia musuhi dalam pertarungan hingga mati. Itulah Shindou Iroha.

Alasan itu menjadi dorongan untukku memanggilnya.

"Kau ingat sudah membunuhku, 'kan?"

Pertanyaan secara terus-terangku membuat matanya melebar untuk beberapa detik, tapi dia langsung tertawa dengan "kamu kelihatan sangat hidup kalau kamu tanya aku!"

"Kelihatannya kau ingat."

Shindou mengerutkan bibirnya dan menggaruk kepalanya. Dia mungkin terlihat keren, tapi sebenarnya tidak. Wajahnya menunjukkan kalau itu hanya akting.

"Yah, biarkan aku menggali ingatan burukmu. Kau seharusnya cukup pintar untuk tau kalau insiden itu bukan mimpi maupun ilusi. Tapi aku percaya kalau ada beberapa kekosongan di ingatanmu. Apakah kau ingat identitas pelakunya?"

Shindou sedikit ragu, dan menjawab dengan suara pelan.

"...itu Kamiuchi, 'kan?"

"Benar. Karena kau ingat, aku yakin kau pernah berfikir bagaimana Kamiuchi Koudai bisa melakukan hal seperti itu," kataku. Lalu, aku menyebutkan beberapa kata. "Ia punya 'box'."

Shindou menungguku untuk melanjutkan. Tetapi, aku tetap menutup mulutku, yakin kalau aku telah cukup jelas.

Melihatku tetap diam, dia menggaruk kepalanya.

"Umm... Bukannya penjelasanmu agak pendek?"

"Bukannya sudah cukup untukmu mengerti setidaknya sedikit tentang apa yang terjadi?"

"Sepertinya kamu menganggapku berlebihan. Aku tidak pandai dalam menggambarkan kesimpulan, kamu tau? ...Tapi sebuah 'box', ya. Dari omonganmu, aku yakin kalau itu adalah alat yang membawa permainan kematian itu? Atau itu sebagai kekuatan untuk membuat permainan itu?"

Seperti yang kukira, Shindou bisa memberikan gambarannya dari hanya informasi yang sedikit.

Bukan hanya itu, dia bahkan bisa menyimpulkan: "Jadi? Apa kamu juga dapat salah satu 'box' itu, Oomine-kun?"

Heh, siapa yang kau bilang tidak pandai dalam menggambarkan kesimpulan?

"Ya. Karena ini tidak dikhususkan untuk membuat game kematian, aku punya 'box' sekarang. Yah, aku yakin itu tidak sulit untukmu mengerti, karena sudah kujelaskan persoalannya setelah memanggilmu ke sini."

"Yah, aku sadar kalau hawa di sekitarmu berubah, dan itu menjelaskan kalau sesuatu telah terjadi."

Hawa sekitarku berubah?

Tidak mengejutkan, mungkin, setelah semua yang kulakukan karena jadi 'pemilik'.

"Dan 'box' itu apa?"

"Sebuah benda yang bisa mengabulkan segala permintaan."

"Segala permintaan? Tidak buruk. Tapi biasanya, tidak seharusnya kamu ambil, 'kan? Itu bisa saja kayak benda terkutuk. Macam peralatan yang tidak bisa diambil di RPG terkenal. Ah, biar kujelaskan: aku masih punya akal untuk tidak percaya cerita 'box' itu. Tapi karena kita sampai pada hal seperti itu, aku jadi berasumsi kalau itu memang ada," katanya. Dengan sikap yang santai, Shindou menambahkan, "Jadi, apa harapanmu, Oomine-kun? Penerimaan cinta? Manis sekali!"

"Revolusi dunia."

Shindou tiba-tiba jadi diam.

"...kamu serius?" "Ya."

Tidak tau harus bagaimana, Shindou menjawab tanpa ekspresi apapun:

"Hah... terserah. Aku ngerti. Jadi artinya kamu mencoba berdiri di barisan depan untuk mengubah dunia dengan kekuatan itu? Dengar, Oomine-kun - aku tidak yakin kamu serius, dan aku tidak yakin kamu mampu."

Dia tidak memikirkan kata-katanya.

Tetap, perhitungannya sangat alami karena dirinya hanya tau aku dari 'Permainan Kebosanan'.

Sebagai NPC, yang kulakukan hanya menolak berkontak dengan orang lain, aku tidak mendukung siapapun. Orang yang ingin "berdiri di barisan depan" harus melindungi pemain lain seperti yang dilakukan Shindou.

Jika ditanya siapa yang bisa menjadi pemimpin yang baik saat itu, semua pasti memilih Shindou.

Tapi karena itu, aku harus mengalahkannya. Itu kenapa aku memanggilnya—

—ke atap yang cerah, di mana aku membuat bayangan tebal.

"Biar kuberi tau caraku mengubah dunia."

"Ya?" Shindou menjawab dengan enggan. "Kamu tau, aku tidak tertarik kalau boleh jujur. Aku akan mendengarmu kalau kamu memaksa sih, tapi bisakah kita pergi ke kantin? Aku terbakar di atas sini."

"Tidak."

"Aha. Sampai jumpa. Kamu tau e-mail-ku, jadi kirim saja pesan. Pastikan kamu kasih judulnya 'rencana *brilianku* untuk mengubah dunia.' Pft. Kamu terlalu banyak menonton anime, Oomine-kun. Jika kamu mengirimku e-mail seperti itu, aku tidak akan membukanya, apalagi dibaca."

Dia berbalik dariku, tapi aku kembali ke depannya.

"Hei. Aku tau aku begitu mempesona bahkan kamu tidak ingin aku pergi, tapi gadis tidak suka lelaki pemaksa, tau? Jika aku itu Yuuri, aku akan menangis di hadapan penggemarku dan menggoda mereka agar memberikanmu pukulan."

Shindou menghindar dengan memutariku. Tapi itu tidak penting. Aku sudah mencapai tujuanku.

Aku sudah membuatnya menginjak bayanganku.


Lalu—

Dosa akan pembunuhan merasukiku.


Ini sangat kuat...

Sangat sulit untukku berdiri.

Saat aku menghadapi gadis SMA itu, ada perasaan kebencian yang kuat, tapi dosa baru ini seperti silet tajam. Itu perasaan yang sangat buruk. Sesaat saja goyah dan dosa yang menusukku itu akan memotong isi perutku.

Tapi aku menyerap dosa seperti tiu.

"Shindou," aku berkata dari belakangnya, "Tenggelamlah dalam dosamu."

Aku menggenggam bayangan dosa yang baru saja kudapat—

"———!!"

—ku telan.

"Uh...Ah,...AH!"

Sesaat sebelum mencapai gagang pintunya, Shindou tiba-tiba mengerang. Wajahnya terkacaukan rasa sakit dan dia terjatuh ke tanah, seperti jantungnya telah dihancurkan. Dia dibasahi keringat dingin. Shindou merasakan sakit yang sama seperti yang kurasakan.

Menderitalah. Ini dosamu.

Aku melihatnya saat dia menatapku dengan posisi jongkok.

"Apa... yang kau... lakukan?!"

"Meski terlihat tenang, kau masih tak bisa menahannya. Kau hanya hebat dalam menyembunyikannya, huh."

"Aku tanya apa yang kau lakukan!"

"Aku hanya membuatmu mengingat dosamu."

"...Hah?"

"Baiklah. Biar kuberikan penjelasan tentang 'box'-ku, 'Hukuman dan Bayangan Dosa'. Itu adalah 'box' yang membuatku bisa menaklukkan manusia dan mengendalikan mereka atas kehendakku. Sekali aku menelan 'Bayangan Dosa' seseorang, mereka ingat saat rasa sakit dari penyesalannya ada di saat terburuk. Tepatnya, ia mengingat perasaan yang ia rasakan di saat itu. Dalam kasusmu, adalah dosa yang kau buat saat 'Permainan Kebosanan'."

"...P-Perasaan ini dari... yang dulu...? Pantas... tak asing," dia berkata dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kau sudah [tertaklukkan]. Sekarang aku bisa mengendalikanmu."

Memegangi dadanya, dia bangun dan menunjukkan sikap perlawanan.

"Kamu fikir dengan [menaklukkanku] seperti ini bisa membuktikan kemampuan tinggimu atau apa?"

"Itu tidak ada artinya, bukan?" Shindou mengerutkan alisnya.

"...J-Jadi apa maksudnya?"

"Kekuatan 'Hukuman dan Bayangan Dosa' terjadi melalui bayangan. Lihat bayanganku di tanah? Itulah. Bayangan ini, yang menjadi lebih gelap dari hitam karena dosa yang tak terhitung bercampur di dalam, adalah 'box'-ku. Tapi 'box' ini bukan milikku seorang. Itu dibagikan untuk semua orang yang dosanya telah terserap."

"...Apa itu artinya..."

"Artinya kau bisa menggunakannya juga."

Shindou melebarkan matanya

"Tunggu. Artinya, kamu memanggilku kemari karena kamu ingin...?" Dia cepat mengerti. Menebak yang akan kukatakan, dia melanjutkan: "Kamu ingin membuatku jadi rekanmu?"

Aku menjawab dengan mengangkat ujung mulutku.

Aku ingin meningkatkan kesempatanku menang dari Kazuki dan temannya. Untuk itu, aku butuh semangat yang tak terpatahkan dari Iroha Shindou.

"Tentunya, kalau kau menolak tujuanku, kau takkan bekerja sama. Jadi, akan kujelaskan apa yang akan kulakukan."

“...Ya, ya, aku ngerti. Tapi lakukanlah sesuatu pada rasa sakit ini!”

“Tidak mungkin. Dari awal itu adalah rasa sakitmu. Aku hanya membangunkannya. Lakukan saja sendiri. Kecuali, kau tak pantas akan kekuatanku, dan aku hanya akan mengambil keuntungan darimu sebagai pengikut.”

“Dasar brengsek...! Cih, ya- ya, aku ngerti! Jangan remehkan aku, oke? Selama aku tau darimana datangnya ini, sangat mudah untukku kendalikan! Tunggu sampai aku menenangkan kepalaku! Akan kuhancurkan rencanamu hanya dengan kata-kataku!” dia masih menghinaku... dan kemudian mengambil nafas panjang, seperti dia baru saja menyelesaikan latihan-latihan yang berat.

Setelah beberapa helaan, dia mulai tenang. “Baiklah, lanjutkan,” Shindou menyuruhku, dia telah sepenuhnya pulih.

Tidak buruk. Aku tidak mengira dia bisa tenang hanya dalam beberapa detik.

“Baiklah. Aku berencana untuk menguatkan moral manusia. Untuk itu, akan kubuat dunia dengan perspektif yang melihat jauh lebih ke dalam terhadap dunia ini.”

“Aah, ya... aku sulit paham, tapi lanjutkan.”

“Baiklah, katakan kau akan menghancurkan patung Kristus. Meski kau tau kalau itu hanyalah bongkahan batu yang mati, kau pasti sulit meyakinkan dirimu untuk melakukannya. Katakanlah kau seorang ateis -- kau masih menghormati Tuhan, dan tentu biasa kalau kau takut kau mungkin akan dikutuk suatu saat.

“Ya, kurasa kamu benar.”

“Terserah mau itu Budha, tuhan, masyarakat atau apapun: akan sulit melakukan hal buruk jika ada kepercayaan yang mengamati dan memberikan hukuman untuk kelakuanmu. Dengan 'Bayangan Dosa dan Hukuman', aku akan membuat pengamat dunia yang baru.”

“Bagaimana?”

“Pernah dengar 'Manusia Anjing'?”

“Tentu. Ah... jadi kamu pelaku dibaliknya? Tapi kenapa kamu melakukan pendekatan yang asal itu padahal kamu punya 'box' yang bisa buat apapun? Kenapa tidak mengharapkan agar semua orang bertingkah pakai etika saja?”

“Aku itu realis, jadi keinginanku terbatas.”

“Hm? Kasihan. Yah, tapi kalau orang lain bisa pakai itu untuk mengendalikan seseorang, pasti ada yang seenaknya sendiri, 'kan?”

“Mungkin, tapi itu bukan masalah..”

“Masa?”

“Aku takkan seenaknya membuat [penguasa]. Kecuali orang yang sudah jadi [penguasa] mengizinkannya, mustahil untuk mendapatkan kemampuan mengendalikan orang lain. Sekarang, hanya aku [penguasa]-nya. Terus terang, kau juga yang pertama tau kalau ‘Hukuman dan Bayangan Dosa’ itu 'box' yang bisa dibagikan.”

“Oh, sungguh sebuah kehormatan,” katanya dengan kasar. “Tapi artinya aku bisa buat [penguasa] lain kalau kamu menjadikanku [penguasa], 'kan? Apa kamu tidak akan hilang kendali kalau jumlah penggunanya meningkat pesat?” “[Penguasa] takkan memberikan kekuatannya dengan ceroboh. Kau akan mengerti setelah sepenuhnya mendapat kekuatan ini.” “Kucari tau, hah... yah, kalaupun itu nyata, kamu masih belum buatku yakin kalau kekuatan itu tidak akan disalahgunakan..”

“Kau terhubung dengan yang lain dengan perasaan berdosa. Kalau. Kau sadar kalau kau menyalahgunakan 'box'-nya, itu akan memberi perasaan berdosa. Dan perasaan ini akan disampaikan pada yang lain—terutama si [penguasa].”

“Hee. Jadi semuanya kayak dibawah pengawasan sama-sama.”

Dia mengerutkan bibirnya. Ah, kalau diingat-ingat, dia punya kebiasaan itu.

“Yah, kurasa aku ngerti. Tapi Oomine-kun, kenapa kamu pakai 'box'-mu untuk hal kayak gitu? Kalau kamu tanya aku, kamu pasti akan lebih senang kalau lebih jujur dengan keinginanmu.”

“......”

Aku tak ingin memberitaunya, tapi aku butuh kerjasamanya.

Aku membuka mulutku saat memainkan satu antingku. “Aku benci orang yang tak berfikiran.”

“Yah, aku juga tidak suka, dan kurasa orang yang punya otak pun akan setuju.”

"Sampai ku pada satu saat dalam hidupku, aku percaya kalau kehidupan dengan sengaja dihancurkan kedengkian. Kurasa penjahatlah yang bertanggung jawab akan kehancuran orang-orang baik. Tapi aku salah. Orang-orang bodoh itulah yang mencuri kebahagiaan orang lain dan menghancurkan hidupnya. Bukan orang jahat—tapi orang bodoh, sampah yang tak tau kalau sikap egonya akan menyakiti orang lain.

Ambil contoh seorang pencuri. Karena kerugian yan didapat dari si pencuri ini, toko itu bisa saja tutup. Salah satu pegawainya bisa menjadi pengangguran, dan keluarganya jatuh karena tidak ada penghasilan. Jika si pencuri terus saja mencuri, maka dia orang jahat. Tapi tidak semuanya seperti itu. Mereka berfikir kalau mencuri itu hal buruk, tapi mereka tetap mencuri untuk memenuhi nafsunya-tanpa memikirkan kerusakan yang terjadi akibat perbuatannya—dan menghancurkan hidup orang lain tanpa fikir panjang."

“Oomine-kun,” Shindou berkata dengan wajah serius yang tidak biasa. “Kebahagiaanmu direnggut orang macam itu, 'kan?”

Aku tak ada keinginan untuk menjawab pertanyaan itu. “Setelah 'Hukuman dan Bayangan Dosa' telah memberikan pengaruh yang sangat besar pada dunia, orang-orang akan lebih sadar terhadap dosanya. Itu juga asalan kenapa aku membuat 'Manusia Anjing'. Setelah semua orang tau arti dosanya, kode etik mereka akan jadi lebih baik. Orang-orang mulai memikirkan akibat kelakuan mereka. Dan akhirnya, angka dari tragedi akan berkurang.”

“Kamu fikir itu akan semudah itu?”

“Dadunya telah terlempar. Tak ada jalan kembali.”

Shindou menatapku dengan perhitungan di matanya. “Tapi hei... apa benar itu...,” dia berhenti. “...tidak, lupakan itu. Umm, kurasa 'Hukuman dan Bayangan Dosa' adalah cara yang pintar, dan yang kamu lakukan itu cukup menarik, tapi seperti yang telah kubilang sebelumnya, kurasa kamu tidak mampu.”

“Bagaimana kalau adili aku?”

“Mh?”

“Aku akan memberimu kekuatan [penguasa] sekarang. Untuk [mengendalikan] seorang [pelayan], kau harus menanggung semua beban dosanya. Aku akan berikan... ya, 10 dosa orang lain padamu, termasuk beberapa teman sekelasmu.”

“Jadi kamu membuatku bisa [mengendalikan] sepuluh orang itu? Aku tidak tau cara mengadilimu dengan kekuatan itu.”

“Kau akan paham.”

“...Hmh. Yakin? Aku belum setuju, bisa jadi aku tidak bekerja sama meski telah dapat kekuatannya.”

“Jika kau masih fikir aku tak pantas untuk kerja sama denganmu setelah mengadiliku, tak masalah. Setelah tau tentangku, kau akan bekerja sama—tidak ada jika, dan, atau tapi.”

Shindou mengangguk dan menunjukkan senyum yang menantang - seperti dia menghadapi bocah ingusan.

“Oke, siap! Aku sudah srek. Kalau aku tau tentangmu, aku akan setuju dengan rencanamu!”

“Jangan lupakan janji itu!”

“Ah, jangan terlalu berharap, ya? Ada orang lain yang sudah dapat perhatianku.”

Aku tak bisa menahan tawaku saat dia membuat lelucon bodoh itu.

Terakhir kali dia dikendalikan 'box', dia membunuh - dan dia masih lengah sekarang.

Aku yakin dia takkan mengetahuiku. Dia pasti berfikir kalau dia takkan kalah dari 'box'-ku. “...Heh.”

Jangan sombong, Shindou!

'Kan kubuat kau menyesali kearogananmu. Kan kukalahkan kau dan kutunjukkan siapa yang lebih mampu! Kubuat kau dalam kendaliku dan kan kubuat kau menjilati kakiku.

Senyum kecil terbentuk pada wajahku saat kututup mataku. Saat itu pula, aku menutup diriku

Aku mencari ke dalam fikiranku yang tertidur dalam diriku.

Menjadi [penguasa] juga berarti mengendalikan monster itu, "Bayangan Dosa" dari [pelayan], yang tak pernah lelah menyerang dan mencoba menghancurkan tubuh tuannya.

Shindou, apa kau mampu? “Shindou.”

“Apa?”

“Jangan kehilangan harapan pada orang-orang.” Aku memegang kepalanya dan memasukkan. Jari telunjuk dan tengahku—bersamaan dengan "Bayangan Dosa".


Menelan dosa seperti menelan bagian terkotor jiwa seseorang dan memeluknya.

Pertama kaliku menyerap dosa orang lain, kufikir darahku berubah hijau dan mengeluarkan bau busuk. Aku bahkan merasa. Darah kotor mengalir dalam uratku dan membuat selku membusuk. Di siang hari, aku berhalusinasi kalau aku melelh seperti zombie. Ujung jemariku mengeluarkan kotoran yang mungkin akan memikat lalat. Sejauh itulah penderitaanku.

Tapi Shindou mungkin berhasil menelannya tanpa masalah.

Mungkin hanya orang lemah yang merasakan sakitnya, dan Shindou terlalu kusat. Sampai mungkin dia tidak terpengaruh.

Kalau begitu, aku sudah kalah. Aku akan menyerah menjadikannya rekanku.

Namun, rencanaku akan tetap berjalan, tapi kekalahan ini akan memberikan akibat buruk. Aku akan kehilangan kekuatannya dan buruknya, aku mulai ragu apakah aku cocok menjadi penguasa. Namun—

“Uh, Ah, AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHH!!”

Mendengar teriakkan yang memekakkan telinga itu meyakinkanku lagi.

“Ah, uh, AAAH! TIDAK! Hentikan, sialan! Menjijikan-menjijikan-agh-aaaah-AAAH-AAAGGGH-mmenjijikan-sialan-ini BRENGSEK-mati saja-MATI, orang itu tidak pantas hidup!”

Kenyataan kalau dia baru saja ia tau jauh lebih buruk dari kebenciannya.

“Tapi! Tapi! ...Manusia. Itu hanya... manusia... biasa...”

Keburukan itu muncul dari orang biasa yang hidup di sudut-sudut. Orang itu bukan kriminal, bukan pengikut keburukan - ia hanya orang biasa yang Shindou mungkin tau dan sangat dekat dengannya. Orang-orang berbuat dosa hanya dengan hidup.

Hampir semua orang telah terbiasa terhadap dosa-dosa ini tanpa sadar. Melalui keegoisan kita, harga diri sebagai individu, kita lupa terhadap diri kita. Meski dosa kita menjijikan jika dari luar, kita sudah siap untuk menerimanya tanpa sesal. Karena kita telah terbiasa akan seramnya diri kita. Mudahnya: setiap manusia itu menganggap enteng dirinya.

Kami manusia itu menyeramkan.

Namun, kita menyakiti yang lain hanya karena hidup.

Saat memandangi Shindou yang sedang menderita, aku menggumam: "Sembilan lagi."

Aku menggenggam kepalanya dan bersiap untuk membuatnya menelan bayangan lain, tapi tiba-tiba dia menggenggam rambutku dengan wajah kemerah-merahan.

“Jangan main-main denganku! Kau... apa yang kau coba lakukan padaku?”

“Ingin berhenti?”

Shindou menatapku dengan mata yang berair.

“Tentu saja! SEMBILAN!? Satu lagi saja sudah terlalu banyak!”

“Tapi aku punya 967,” kukatakan keluhanku, membuatnya terbatu. “Aku beritau kalau aku telah membebani diriku dengan 967 dosa.”

Shindou tak mampu bicara. “K-,” dia terbatuk. Masih mengancam, dia melanjutkan, "Kau punya 967 benda itu?" Shindou tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Haha, mustahil! Fikiranmu tidak akan mampu menahannya!"

"Ya. Kau benar."

"Eh?"

“Aku tau kehancuranku takkan terelakkan. Aku bisa gila, lalu menggigit lidahku dan mati kapanpun. Aku sudah siap.”

Hidupku akan berakhir dengan menyedihkan. Tak ada siapapun yang akan memujiku atau menghormatiku; hanya hinaan. Orang-orang menjauhkan matanya dari keberadaanku yang menyeramkan, menutup hidungnya karena bau busuknya dan mungkin menendang mayatku ke dalam selokan. Itu. Aku siap untuk itu.

Tak peduli betapa buruknya, akanku sapu bersih mereka. Shindou perlahan melepas genggamannya.

“Bukan masalah jika aku sekarat setelah membuat panggung sampai keluasan tertentu. Karena, rekanku akan mengambil alih. Itu kenapa aku membuat 'box'-ku bisa dibagikan. Aku bisa mewariskan 'Hukuman dan Bayangan Dosa' meski aku mati. Selama aku tidak membuang 'box'-ku, sistemnya akan tetap ada. Jika sistemnya berjalan, aku tak peduli meski aku mati."

"Kau ini apa..."

"Jadi?" Ejekku. "Apa aku punya kemampuan yang lebih tinggi darimu?" Saat menatap dengan serius ke dalam mataku, dia melepaskan rambutku.

Dia menghapus air matanya dengan pergerakkan tangan yang cepat, mengambil nafas panjang dan menenangkan dirinya.

Matanya sekali lagi menjadi tajam, dan dia menaikkan ujung mulutnya.

“......Aku akan mencari sembilan lagi. Lagipula, aku sudah berjanji.”

“Apa itu tidak masalah?”

“Tentu tidak! Tapi aku menepati janjiku dan aku percaya aku mampu melakukan apapun..”

Dia menunjukkan seringaian yang menakutkan.

“Kamu dapat kepercayaan dariku, Oomine Daiya! Kan kujalani rencanamu hingga akhir nafasmu!”


◆◆◆ Oomine Daiya - Jum'at, 9 September 16:13 ◆◆◆

Baiklah.

Ini perubahan yang sangat tiba-tiba, jadi coba simpulkan.

Apa yang terjadi padaku?


Aku terjebak dalam teater.


Aku dimasukkan ke dalam teater warna merah. Sangat steril dan sepi bahkan udaranya saja terasa aneh, dan aku merasa tidak enak dan takut.

"......"

Mari cari tau apa penyebab yang membuatku berada di keadaan ini.

Bersama Shindou, aku mulai mengambil alih sekolah kami.

Shindou menanyakan apakah ada maksud dari melakukannya. Tentu, kami tidak punya keuntungan strategis dari membuat sekolah kami sebagai benteng. Tetapi, itu hal yang diperlukan dari sisi psikologis: karena aku tak bisa bersatu dengan kelemahanku, aku butuh sebuah upacara untuk membuang "keseharian sekolah"-ku.

Mengalahkan Otonashi yang bisa merasakan 'box', mengalahkan Hoshino Kazuki yang merupakan musuh nyata dari 'box', dan bersatu dengan Kirino Kokone, simbol dari keseharianku—itu adalah ritual-ritual yang harus kuselesaikan. Aku bahkan membuat urutan yang akan kulakukan. Orang ke-999 yang kukendalikan adalah Otonashi Maria, ke-1000 akan jadi Hoshino Kazuki dan ke-1001 - Kirino Kokone.

Setelah itu, kan kumulai produksi "Manusia Anjing" secara besar-besaran.

Dan kuubah bentuk dunia ini dengan 'box'-ku.

Kami membuat kemajuan yang baik dalam mengambil alih sekolah, tapi semuanya berlangsung dengan lancar sampai kurasakan kengerian.

Aneh kalau Kazu dan Otonashi, yang tau aku adalah 'pemilik', tidak bertindak. Biasanya, aku mengira mereka akan menghalangiku saatku kembali ke sekolah.

Tapi mereka tak melakukannya.

Aku melihat mereka bersama di sekolah, tapi mereka hanya menatapku dari kejauhan. Kazu mengabaikanku dan Otonashi, yang kelihatan acuh, tak melakukan apapun. Mungkin Kazu menahannya.

Tidak sampai aku membuat [pelayan] ke-998, Yanagi Yuuri, yang muncul di depanku.

"Kamu asik di sini, ya?"

Kami berada di perpustakaan sepulang sekolah.

Aku baru saja membuat Yanagi Yuuri [pelayan] dengan gampangnya. Itu karena, Shindou menghalangi perpustakaan bersama murid lain yang dalam kendaliku.

Yanagi dalam penderitaan akan dosa dari membunuh. Kazu memberikan pandangan yang singkat, yang mengasihani, dan menatapku.

Aku terkejut, ia telah sembunyi di sana sendiri.

Tapi setelah kufikir-fikir, itu masuk akal.

Kazu tidak tergantung pada Otonashi lagi. Ia takkan membuatnya mendekati 'box'. Ia pasti. Telah meyakinkannya untuk tetap tenang.

"Daiya," ia memanggilku, dan tersenyum. "Apa kamu siap?"

Aku tak bisa menyembunyikan reaksi terkejutku terhadap senyumannya.

Senyuman itu mirip senyuman memikat dari 'O'.

Aku kehilangan keseimbanganku dan langsung memikirkan kesamaan itu. Sementara, Kazu mendekatiku. Hoshino Kazuki berbisik pada telingaku dengan suara yang manis, lembut seperti ia mencoba menggoda gadis:

"Aku akan menghancurkanmu."


Saatku dengar kata-katanya, tiba-tiba aku berada dalam teater.

Itu fenomena yang absurd.

Aku langsung sadar:

Ini 'box'.

Milik siapa?

"...Mungkin saja..."

Mudah untuk dapat jawabannya setelah melihat situasinya. Terlebih, aku siap akan skenario ini.

Tetap, aku masih belum bisa menerimanya.

Itu karena, Kazu itu benci 'box'. Lebih dari apapun, ia benci 'O', yang dikagumi oleh semua orang.

Akankah ia menggunakan 'box' untuk melawanku?

"Tidak..."

Aku salah.

Ia tak mencoba melawanku.

Ia melindungi Otonashi Maria dengan menyerang 'box'-ku.

Dengan alasan itu, Hoshino Kazuki menggunakan 'box'.

Dan ia memasukkanku ke dalam 'box' yang berbentuk teater.


Teater yang kutemukan punya beberapa layar. Kurasa itu membuatnya jadi disebut multiplex. Itu seperti multiplex di mall yang tak jauh, mungkin karena Kazuki adalah si 'pemilik'.

Meski kurasa itu sia-sia, aku mencoba mencari jalan keluar. Tapi tak ada jalan keluar. Koridornya dilapisi karpet merah yang bersih dan ujungnya tak terbatas. Kalau aku menggambarkannya, mungkin akan terlihat jelas kalau koridor ini membentuk lingkaran sempurna. Ada sekitar 4 pintu masuk yang mengarahkan pada layar berbeda. Setiap layarnya punya ukuran ruangan, layar, jumlah tempat duduk, dan lainnya yang sama.


Ini tempat yang sunyi.

Kesimpulannya:

Aku terjebak dalam 'box' yang berbentuk teater.

Setelah berfikir lagi, aku mendapatkan pertanyaan lagi:

Apa yang 'box' ini lakukan? Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Aku melihat pada panel digital di depanku. Layarnya menunjukkan jadwal main film dan di layar mana.

LAYAR 1: "Close-Up Selamat Tinggal" (16:30 - 18:00)

LAYAR 2: "Terpisah 60 Kaki dan 6 Inci" (18:30 - 20:00)

LAYAR 3: "Ulangi, Kembali, Kembali" (20:30 - 22:00)

LAYAR 4: "Anting Saat Lima Belas" (22:30 - 24:00)

Setiap film lamanya satu setengah jam, dengan 30 menit jarak dari satu dengan yang lain. Artinya filmnya dimulai tepat setelah 2 jam terpisah. Film terakhirnya berakhir hari ini - 11 September - tengah malam.

Apa artinya aku harus menonton semuanya?

Aku melihat arlojiku. 16:24. Aku juga mengeluarkan ponselku (padahal tak ada gunanya sekarang) untuk memastikan waktunya. Panel digitalnya juga menunjukan waktu yang sama. Tapi, aku dalam 'box': waktu bisa jadi fleksibel, dan tak harus sinkron dengan dunia nyata.

Namun, aman kalau berasumsi bahwa film pertama, Close-Up Selamat Tinggal, akan mulai di saat yang sama saat jamku menunjukkan waktunya.

"......"

Apa yang akan kulakukan?

Kazu mungkin ingin aku menonton filmnya.

Di sisi lain, jika tak kutonton, aku tak tau apa yang akan terjadi. Aku mungkin takkan bisa membuat strategi untuk melawannya, yang mana akan membuat rencana Kazu berhasil.

Haruskah kutonton filmnya agar tetap bertahan? Atau haruskah kuabaikan untuk bertahan dari 'box' ini?

Debat dalam diriku berubah tak berguna.


Tiba-tiba saja aku duduk di depan layar.


Aku diteleportasikan lagi. Penggunaan efek supernatural yang terlalu sering tadi membuatku menghela nafasku.

Aku langsung menyadari situasiku. Aku tidak dipaksa menonton filmnya. Kalau aku mau, aku bisa berdiri dan pergi.

Tapi aku serasa tak ingin pergi.

Kelesuan yang kurasakan tak selaras dengan keinginanku. Seperti—bukan, jelas, ini karena 'box' ini.

Jadi, aku coba melawan kekuatan yang menahanku pada kursi ini. Bukan aku tak bisa bergerak. Aku bisa berdiri. Tapi, hanya berdiri, aku merasa sangat lelah - seperti aku sedang demam tinggi. Berdiri lebih lama lagi itu mustahil - keinginanku langsung terpatahkan.

Saat menahan kelesuan luar biasa, aku melihat-lihat.

......

Apa yang terjadi?

Ada orang lain.

Bukan hanya beberapa - aku tak tau darimana, tapi teaternya penuh seperti bioskop-bioskop di malam hari.

Juga ada Haruaki.

Meski sudah mati, aku melihat Kamiuchi Koudai.

Aku tidak tau semua penontonnya- ada beberapa yang aku tau hanya sekali lihat dan yang lainnya yang tak pernah kulihat sebelumnya.

—Kenapa ada Kamiuchi di sini? Kenapa orang-orang ini yang dipilih? Jika 'box'-nya digunakan untuk memanggil orang yang kutau, kenapa ada orang yang tak dikenal?

Wajah penontonnya hanya macam topeng kosong. Seperti, mereka hanya boneka tak bernyawa. Kazu menjadi berlebihan dengan efek menyeramkan ini. Pertamanya, aku agak takut, tapi karena ia buat berlebihan, aku langsung pulih dan menyadari kalau itu semua hanya cermin dan asap.

Aku terus mengamati mereka, mencoba mencari orang yang kukenal - malah, kutemukan sesuatu yang baru dan luar biasa.

"Apa-apaan itu?"

Di barisan pojok kanan paling belakang...... tidak, itu kurang tepat. Bukan di sana—bukan di sana.

Di tempat duduk itu, ada lubang hitam pekat berbentuk manusia.

Itu gelap total.

Lubang yang berbeda dari bayangan.

Jika seseorang memberikannya nama—itu pastilah "ngarai".

Kengeriannya membuatku mengerutkan alisku, dan kehilangan keinginan untuk menahan perlawanan dari kelesuan yang menahanku di atas kursi.

"......!!"

Aku akhirnya melihatnya...

Gadis di sampingku.

"......Rino."

Miyuki Karino.

Mantan pacar dari orang yang kubunuh, Kamiuchi Koudai.

Teman kecilku yang merupakan tetangga, adik kelasku yang satu tahun dibawahku.

Teman kecilku yang takkan pernah kuajak bicara lagi.

"——Ugh..."

Dia seperti boneka tak bernyawa lainnya, tak berekspresi dan tak bereaksi padaku juga. Tapi aku tak bisa meyakinkan diriku agar menganggapnya hanya sebagai benda seperti yang lain. Aku tak bisa menahanku mengingat diriku yang lama karena duduk di sampingnya.

Sebelum kukendalikan perasaanku, suara dengungan mengindikasikan mulainya film.

Bukan karena refleks, aku melihat layarnya.


Sebuah hotel biasa muncul di layar.

Apa karena korban dari insiden itu duduk tepat di sampingku sampai aku langsung mengingat bangunan itu?

Rino yang masih SMP didekati oleh lelaki dengan senyuman mereka yang mesum. Dengan wajah pucat, dia meninggalkan kamar mandi, mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik e-mail dengan jarinya yang gemetaran.

Tak lama, dia mengirim e-mailnya padaku.

Adegannya berubah.

Lelaki berambut hitam terlihat belajar pada meja belajar di rumahnya.

Kameranya terfokus pada-'ku' yang masih SMP.

Aku membuka ponselku yang bergetar. E-mail yang Rino kirim muncul.

Ah, aku ingat apa yang terjadi saat itu.

Tadinya aku tak percaya pesannya. Untuk suatu alasan, Rino sering terlihat mencurigakan. Terlebih, dulu aku masih naif dan tak bisa membayangkan temanku akan jadi korban kejahatan macam itu. Aku tak percaya kalau aku akan berhubungan langsung dengan kejahatan di dunia nyata: kejahatan hanya terjadi di TV dan sangat asing buatku.

"Pasti cuma iseng. Tapi bagaimana kalau dia lagi dalam masalah?"

Aku bergumam pada diriku di layarnya dan menelepon Rino. "Hei, Rino?" "D-Dai-chan, t-tolong aku..." Suara Rino ketakutan, dan aku dengar suara lelaki di sana. "Hei! Kau bicara pada siapa?!" Krang—bunyi kaca yang pecah. Rino berteriak.

Teleponnya terputus.

Saat itu, aku sadar apa yang terjadi pada Rino. Aku telah membuat situasinya makin buruk dengan cerobohnya meneleponnya. Saat berusaha agar tenang, aku langsung menelepon polisi.

Setidaknya, aku diperbolehkan untuk mengalihkan pandanganku dari film ini, dan melihat pada "Karino Miyuki" palsu yang duduk di sampingku.

Dia masih tak berekspresi.

Tapi masih memberi pesan berupa celaan yang hening.

Aku akhirnya sadar apa maksud dari penontonnya di sini.

Merekalah aktornya. Haruaki dan Kamiuchi— mereka ambil bagian. Ah, kelihatannya lelaki yang menyerang Rino di layar juga jadi penontonnya.

Rino dan aku bintangnya, tentu.

Rino di sampingku mengenakan seragam yang tak kuketahui. Mungkin itu seragam SMA yang ia masuki sekarang.

...Oh. Jadi dia berhasil masuk SMA.

Saat aku masuk SMA dan mulai hidup sendiri, aku menghancurkan semua hubunganku di SMP - Haruaki dan Kiri jadi satu-satunya pengecualian. Itu alasan kenapa aku tak tau apakah Rino jadi siswi SMA setelah insiden itu.

Aku mengalihkan pandangan darinya sekali lagi.

Aku ingin mengalihkan pandanganku dari semua yang kulihat.

Tapi kekuatan 'box' ini memaksaku untuk menonton.

Melawan keinginanku, mataku kembali ke layar.


—————————————————————— —————————————————————— —————————————————————— —————————————————————— — —————————————————————— —————————————————————— —————————————————————— —————————————————......


Rino masih menangis dan dengan mati-matian berusaha melawan di atas kasur hotel.

Setiap framenya hanya ingin membuatku berteriak karena kesakitan.

Ini bukan film - ini hanya saat dari masa laluku.

Masa laluku dari pandangan Rino.

Dia terabaikan di hotel, kedatanganku dan Haruaki terlalu lambat untuk menolonhnya, semuanya mulai hancur setelah itu—hanyalah kenyataan yang kejam yang harus kulalui.

Itu—

Itu, Oh—


Itu adalah pertunjukan dari dosaku.


Saat kusadari ini, perasaan bersalahku mulai menggerogotiku.

'Hukuman Dan Bayangan Dosa'-ku akan mengamuk.

"Gnh!"

Begitu, Kazu! Itu rencanamu!

Tujuanmu adalah penghancuran diriku.

Dengan melemparku ke dalam teater yang menunjukkan masa lalauku, aku hancur di bawah dosaku. Hanya menahan 'Hukuman dan Bayangan Dosa' saja, aku sudah tak tahan. Karena situasiku sudah sangat genting, Kazu bisa menghancurkanku tanpa perlu membuatnya dalam bahaya. Yang harus ia lakukan hanya memberikan sedikit dorongan dan aku. Akan jatuh dari tali yang kujalani.

"Bayangan. Dosa" yang tak terhitung di dalam tubuhku mengamuk. Mereka ingin hancur. Mereka menjilati bibirnya saat menungguku jatuh ke dalam ngarai. Mereka ingin menghancurkan tulangku dengan giginya dan menelanku setelah terjatuh ke dalam mulutnya.

Ya ampun, meski ini kemampuanku sendiri - dasar hewan-hewan bodoh. Mereka tak tau siapa penguasa mereka.

Saatku mengelus pelipisku yang sakit, Rino yang palsu memasuki pandanganku.

Meski dia seharusnya tak bernyawa, dia menatapku tanpa berkedip.

Dengan dekat.

Dengan dekat.

Dia menatapku dengan dekatnya.

"...Apa?"

Tanyaku, meski aku tau dia takkan menjawab.

"........."

Rino menatapku. Tanpa berkedip. Tanpa berkata.

Aku tau. Dia hanya benda. Tipuan yang dibuat 'box'.

Tapi aku tak bisa menahan diri untuk berbicara padanya.

"Kau ingin mengatakan kau benci padaku atau apa?"

"........................"

Rino menatapku. Tanpa berkedip. Tanpa berkata.

"Tentunya, 'kan? Tetap, aku masih berharap aku tak menolongmu dulu! Kalau aku tak baik padamu! Kalau kau telah terbunuh setelah diperkosa sampah-sampah itu!"

"...................................................."

Rino menatapku. Tanpa berkedip. Tanpa berkata.

"Ya, kau dengar! Kenapa kau masih hidup? Bagaimana kau bisa hidup tanpa malu? Bukankah kuajari kalau orang sepertimu harusnya malu untuk hidup?"

"............................................................................. .............................................................................. .............................................................................. .........................................................................."

Rino—

Tidak, semua orang di ruangan ini menatapku. Tanpa berkedip. Tanpa berkata.

—Dengan tatapan yang menghina.

"Hentikan."

Kata-kata yang baru kudengar dikatakan oleh aktor di layar.

"Berhenti berfikir kalau dia pantas untuk dilukai!"

Orang yang bicara pada Rino adalah diriku yang dulu.



Terpotong ke adegan selanjutnya.

Rino mencorat-coret sebuah gambar dengan pulpen merah.

"Mati, Kirino Kokone! Mati! Mati!"

Rino mengubah gambar Kirino Kokone dengan warna merah, seperti Kokone baru saja bermandikan darah.

"———— "


Aku menolak untuk menyerah.

Tapi tanpa kusadari, "ngarai" di belakang telah sedikit mendekat.



Sebelumnya Sebelum Acara Dimulai Kembali ke Halaman Utama Selanjutnya Adegan Kedua