Oregairu (Indonesia):Jilid 4 Bab 7
Bab 7: Pada Akhirnya, Tsurumi Rumi Memilih Jalannya Sendiri
7-1
Tidak peduli bagaimana kamu mengartikannya, uji keberanian adalah aktivitas perkemahan di luar ruangan. Toh kami tidak mungkin memakai makeup prostetik atau efek visual[1]. Seperti yang kurang lebih semua orang ingat, aktivitas ini sederhana: kamu menempelkan jimat-jimat, mengendap-endap dalam kegelapan malam untuk mengguncang-guncang pohon dan mengejar-ngejar orang dengan memakai topeng.
Meski begitu, hutan di malam hari sendiri sudah menakutkan. Setiap kali pepohonan berdesir, suara manusia yang bukan berasal dari dunia ini menggelitik telingamu, dan ketika angin berhembus, mereka yang sudah mati mengelus pipimu.
Suasana semacam itu yang menyelubungi kami selagi kami meninjau jalur untuk uji keberanian tersebut, menyusun rencana untuk malam ini selagi kami melakukannya. Setelah kami mengamati jalurnya dari awal sampai akhir, kami menyelesaikannya dengan menempelkan sekumpulan jimat kertas jerami pada kotak cuaca yang telah dihias sehingga menyerupai sebuah kuil[2]. Anak SD itu diminta untuk membawa selembar jimat kembali.
Walaupun sejumlah besar pekerjaannya sudah mereka lakukan untuk kami, kami memeriksa lokasi-lokasi yang berbahaya supaya anak SD tersebut tidak kesasar dari jalurnya dan tersesat. Kami menaruh kerucut berwarna untuk menandai tempat kami akan memerankan peran monster kami; singkatnya kami cuma berjalan bolak balik untuk mencegah anak-anak itu melewati tempat ini.
Walaupun aku tidak pernah berpartisipasi dalam obrolannya, karena itu adalah sebuah obrolan, namun aku memetakannya secara menyeluruh di dalam otakku. Mappy tahu – jalan ini buntu[3].
Ketika aku kembali ke area siaga, Yukinoshita memecahkan keheningan tersebut.
“Jadi, apa yang akan dilakukan?”
Apa yang akan dilakukan jelas tidak ada hubungannya degan uji keberanian ini.
Dia sedang bertanya bagaimana kami akan menolong Tsurumi Rumi dari takdirnya. Dia tidak mendapatkan jawaban dari yang lain, yang dari tadi cukup senang untuk berbagi pendapat mereka. Malah, keheningan menyelubungi mereka.
Ini adalah masalah yang sulit untuk ditangani.
Tidak ada yang akan terjadi kalau kami hanya merapalkan “kalian seharusnya baik-baikan dengan satu sama lain” seperti sebuah mantra, dan meskipun kami berhasil memperbaiki situasinya dengan memberitahu mereka apa yang seharusnya mereka lakukan, di kemudian hari sejarah hanya akan berulang. Kalau, katakan saja, Hayama memaksakan Rumi ke dalam kelompok mereka, mereka akan melihat padanya seakan dia itu sesuatu yang sangat menganggu. Hayama itu orang yang populer, dan mereka semua mungkin akan akrab demi dirinya. Tapi Hayama tidak mungkin dapat terus memantau mereka 24 jam sehari selama seumur hidupnya. Kami harus melakukan sesuatu untuk akar permasalahannya.
Selama ini semua yang kami lakukan hanyalah menghindari jawaban yang sudah jelas.
Hayama berbicara dengan perlahan dan hati-hati. “Rumi‐chan mungkin hanya perlu berbicara dengan mereka semua, kurasa. Kita akan membuat situasi dimana hal itu dapat terjadi.”
“Tapi kalau kamu melakukannya, mereka mungkin akan bersikap jahat dengan Rumi‐chan…” kata Yuigahama dengan mata murung.
Tapi Hayama masih berpegang pada pendapatnya. “Kalau begitu mereka bisa berbicara empat mata dengannya satu per satu.”
“Itu sama saja. Mereka mungkin saja bersikap baik di depannya, tapi semuanya akan dimulai lagi di belakangnya. Perempuan itu lebih menakutkan dari yang pernah kamu bayangkan, Hayato‐kun,” kata Ebina‐san sambil bergetar.
Seperti yang bisa kalian duga, itu membuat Hayama terdiam.
“Apa, serius? Itu mengerikan!” Entah kenapa, Miura merasa gelisah. Yah, dia itu tipe orang yang berbicara terang-terangan. Karena dia selalu menjadi sang ratu, mungkin dia tidak peduli dengan politik di balik layar, meski itu mungkin terdengar mengejutkan bagimu.
Bagaimanapun juga, menjadi seorang riajuu itu menyusahkan. Mungkin memiliki teman itu bukanlah hal yang bagus; kamu juga harus berbagi hal-hal yang buruk. Tidak, pada kasus ini, mereka menawarkan kambing hitam untuk mempertahankan status quo.
Hanya saja, status quo ini sendiri merupakan segudang masalah.
Kalau begitu, itulah apa yang harus kami urus. “Aku ada ide.”
“Ditolak.” Yukinoshita langsung menolakku.
“Kamu cepat sekali menarik kesimpulan… orang sepertimu tidak pandai membeli rumah atau semacamnya.” Menurutku, dia sebaiknya lebih matang sedikit mempertimbangkan sesuatu. “Yah, dengar dulu. Ini uji keberanian. Kita sebaiknya memanfaatkannya.”
“Bagaimana kita memanfaatkannya?” Totsuka memiringkan kepalanya.
Demi Totsuka, aku memutuskan untuk menjelaskan penjelasanku semanusiawi mungkin. “Kamu tahu kata orang apapun bisa terjadi dalam uji keberanian?”
Begitulah yang coba kukatakan, tapi semua orang tercengang. Ebina-san terlihat begitu curiga sampai kupikir dia akan menginterogasiku.
Yuigahama, yang mengangguk sambil berpikir dalam-dalam, menepuk tangannya seakan sesuatu terbersit dalam benaknya. “Kamu buat jantung semua orang berdetak kencang dengan Efek Spasiboǃ Kemudian mereka akrab jadinya, atau semacamnya?”
“Kurasa maksudmu Efek Plasebo[4],” kata Hayama dengan senyuman yang tidak sampai ke matanya. Matanya penuh dengan rasa kasihan.
“…bahkan sebelum itu, kamu sedang membicarakan soal Efek Jembatan Gantung [5].” Yukinoshita menurunkan pandangannya, terlihat agak sedih.
Entah kapan, suasana sudah menjadi seperti ziarah pemakaman Yuigahama Yui.
“A-Aku sudah pahamǃ Yang penting intinya!” gugam Yuigahama, wajahnya merona merah terang.
“Ininya juga salah,” kataku. “Pikirkan apa yang sering terjadi pada uji keberanian.”
“…mati karena kaget, kurasa. Memang, tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik yang tertinggal, jadi hal itu dapat dijelaskan sebagai kecelakaan, kurasa. Aku pikir bertindak sejauh itu tidaklah manusiawi.” Yukinoshita menatapku dengan mata mencela.
“Salah. Proses berpikirmu itu yang lebih tidak manusiawi…” Dengan satu batukan, aku menampilkan jawabanku. “Jawaban yang benar adalah – bertubrukan dengan preman ketika kamu sedang mencoba memfoto hantu dan kemudian dikejar-kejar oleh mereka.”
“Itu tidak pernah terjadi.” Hayama dan Yukinoshita membantahku dengan serempak.
“Diamlah, itu benar-benar terjadi.”
Memang terjadi. Tahu, kejadiannya itu, aku terinspirasi oleh gadis yang agak tidak beruntung ini yang sendirian berkata, “Aku dapat melihat hantu…” Berpikir aku akan terlihat keren sekali kalau aku juga bisa melihat hantu, aku pergi memfoto hantu.
Tapi apa yang kutemukan bukanlah hantu tapi malah sekelompok preman. Mereka bertubrukan padaku pada saat yang paling buruk, tepat di tengah uji keberanian mereka sendiri.
Aku memancing amarah mereka, itu semua karena aku menakuti mereka sampai bulu kuduk mereka merinding, dan kemudian aku dikejar oleh mereka dan – yah, sebaiknya kita jangan melanjutkan cerita itu.
Yukinoshita menghela jijik. “Omong-omong kamu tidak sedang menarik semacam kesimpulan klise seperti manusia-lah yang paling menakutkan dari semuanya, bukan?”
“Namun preman memang agak menakutkan.” angguk Komachi dengan bijak.
Tapi‐
“Kurang pas. Ya, itu tidak salah untuk mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk paling menakutkan dari semuanya, tapi ketakutan itu bukan dalam bentuk preman.”
“Kalau begitu persisnya dalam bentuk apa…?” tanya Yukinoshita padaku.
Aku berhenti sejenak sebelum menjawab.
“Orang paling menakutkan adalah orang yang dekat denganmu. Karena kamu akan mempercayakan nyawamu pada mereka, kamu tidak akan pernah membayangkan mereka akan menusukmu dari belakang. Sesuatu yang menakutkanmu adalah sesuatu yang tidak kalian sangka. Seperti kata orang, musuh terbesarmu bisa jadi teman terbaikmu.”
Aku mencoba menjelaskannya dengan istilah seumum mungkin, tapi semua orang masih tercengang.
“Aku akan menjelaskannya dengan istilah yang konkret.” Ini bukanlah suatu hal yang sulit ditangkap. “Manusia cenderung menunjukkan watak asli mereka pada situasi yang genting. Ketika mereka benar-benar ketakutan, mereka akan melakukan apapun untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Mereka tidak akan mampu memikirkan tentang orang lain. Mereka mungkin bahkan mengorbankan salah satu dari mereka untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Tidak mungkin kamu bisa akrab dengan seseorang setelah sisi jelek mereka ditunjukkan dengan begitu terang-terangan. Begitulah cara kita memecah belah mereka.”
Aku mendiskusikan isi rencanaku dengan nada yang acuh tak acuh, tapi reaksi mereka bertolak belakang dariku. Mereka semua mengernyit dan terdiam.
“Kalau semua orang menjadi seorang penyendiri, tidak ada yang akan bertengkar.”
Aku sengaja memilih kata-kata tersebut dengan masak-masak.
7-2
“Wh‐whoa…”
Yuigahama melangkah mundur ketika aku selesai berbicara. Mata Yukinoshita menyipit sesipit yang dimungkinkan manusia, menatap tajam padaku dari celah tersebut.
“Hikitani‐kun, kamu punya sisi yang begitu keji…”
Bahkan Hayama, yang tidak pernah mengatakan hal yang buruk mengenai siapapun, merasa jijik. Itu agak membuatku ingin menangis. Aku tidak pernah merasa seperti ini semenjak sewaktu SD ketika kelas kami merawat hewan, hanya saja udang karang kami memakan satu sama lain, yang kemudian aku yang disalahkan untuk itu saat berkumpul di sekolah.
Hanya Totsuka yang mengangguk kuat dengan kagum. “Hachiman, banyak sekali yang kamu pikirkan.”
Kalau orang lain yang mengatakannya, itu akan terdengar seperti sindiran, tapi ketika Totsuka yang mengatakannya, aku bisa bersumpah dia sedang memujiku tanpa ragu-ragu. Kalau ternyata kata-kata itu palsu, aku mungkin saja akan menghancurkan dunia yang kita kenal ini.
Yukinoshita merenung sejenak. “Tidak ada yang punya ide lain…” suaranya melemah. “Kalau begitu, kita tidak punya banyak pilihan.” Dia kelihatannya sudah mencapai sebuah keputusan.
Sekarang atau tidak usah sama sekali. Tidak banyak hal lain yang bisa kita lakukan.
Tapi Hayama tampak tidak senang mengenainya. “Itu tidak akan menyelesaikan masalahnya, bukan?” tanyanya pada akhirnya.
Memang, seperti yang Hayama katakan. Ini bukanlah jawaban yang benar. Tidak usah dikatakan lagi ini memang salah.
“Tapi kita bisa menghapus masalahnya.”
Ketika aku mengangkat kepalaku, Hayama menatap tepat pada mataku. Pandangannya begitu terang-terangan sehingga aku berpaling, merasa gugup.
Tapi dia tidak salah.
Kalau kamu kuatir dengan hubunganmu, maka hancurkan saja hubungan itu dan kekuatiranmu akan sirna. Potong akar penyebab siklus kekalahanmu. Tidak masalah. Aku tidak boleh melarikan diri itu hanya dipikirkan oleh orang yang kuat. Itu salah karena itulah apa yang dipaksakan dunia padamu.
Kata-kata “Aku tidak salah – dunia ini yang salah” mungkin terdengar seperti alasan, tapi kata-kata itu tentu tidak sepenuhnya salah. Tidak mungkin kamu terus salah sepanjang waktu. Ada banyak kejadian dimana tetangaamu, masyarakat dan dunia ini yang salah.
Kalau tidak ada orang bersedia mengakuinya, maka aku akan mengakuinya.
Hayama menatap tepat padaku. Tapi kemudian dia mendadak tersenyum lebar.
“Jadi begitu caramu memikirkannya, huh… Aku agak paham kenapa dia mengamatimu.”
Baru saja aku mau bertanya siapa dia yang dikatakannya, Hayama segera meneruskan.
“Oke. Kita akan lakukan rencana ini… namun, aku bertaruh mereka akan bekerja sama dan menangani masalah ini sebagai satu kelompok. Aku ingin percaya bahwa itulah watak asli mereka ketika dalam situasi seperti itu. Aku yakin sebenarnya mereka itu anak yang baik.”
Berhadapan dengan senyuman cemerlang Hayama yang menyilaukan, aku kehilangan kata-kata. Meskipun kami setuju pada cara yang sama, sedalam apa persisnya perselisihan pendapat kami?
“Huh? Ini begitu menyebalkan,” kata Miura.
“Sial,” kata Tobe. “Aku juga tidak mau ikut.”
Setelah Hayama menenangkan keluhan getir Miura dan Tobe, dia berpaling padaku. “Kita akan melakukan rencana Hikitani-kun. Kamu auteur-nya disini.”
“…oke.”
Meskipun peran Hayama itu tidak menyenangkan untuk dilakukan, dia masih menegaskan bahwa dia akan melakukannya.
Kalau begitu, aku harus mempersiapkan diriku juga.
Juga, apaan maksudnya auteur? Aku heran apa yang harus kulakukan.
7-3
Saat kami melakukan persiapan untuk uji keberanian, Hiratsuka-sensei memanggil kami untuk pergi ke salah satu kamar dalam rumah tamu.
“Aku ingin kalian untuk menampilkan cerita hantu untuk meningkatkan ketegangan uji keberanian nanti,” kata Hiratsuka‐sensei, mengumumkan misi kami selanjutnya.
Mengenai uji keberanian, cerita hantu tidak bisa dilewatkan. Kalau kami bisa meningkatkan ketegangannya dengan cerita hantu, bahkan kami akan terlihat seperti hantu tergantung setakut apa yang mereka rasakan.
Orang bilang bahwa “Wujud asli hantu hanyalah rumput yang layu”, tapi ketika manusia dikuasai oleh perasaan yang dinamakan rasa takut, mereka cenderung akan berhalusinasi mengenai penampakan yang aneh dan ganjil.
Kalian bisa bilang fenomena hantu itu kira-kira muncul dari kesan dan kesalah-pahaman subjektif. Singkatnya, merasa bahwa masih ada jagung dalam kaleng sup jagung kental atau melihat mangkuk bergerak setelah kamu menuangkan sup miso panas ke dalamnya juga merupakan penafsiran secara subjektif. Kamu salah memahami mekanisme yang kamu lihat. Tidak ada sesuatu di dunia ini yang begitu misterius.
“Apa ada yang tahu cerita hantu?” tanya Hiratsuka‐sensei pada kami.
Kami saling bertukar pandang.
Yah, ini bukan acara Pendongeng Tamori, jadi kami tidak siap sedia sekumpulan cerita hantu[6]. Satu-satunya yang mengangkat tangannya selain aku adalah Totsuka.
“Hmph. Totsuka dan… Hikigaya, huh. Kombinasi yang hanya membuatku merasa takut. Ceritakan sedikit mengenai cerita kalian.”
Untuk membuat latar cerita uji keberanian nanti, kami akan menampilkan cerita hantu kami di depan dua kelas dengan masing-masing tiga puluh murid – artinya, di depan enam puluh murid. Tentu saja, kami tidak boleh menceritakan cerita yang terlalu membosankan.
Kami meminjam sebuah kamar di dalam rumah tamu tersebut dan duduk berkeliling membentuk lingkaran. Kami bahkan menyiapkan lilin untuk menambah suasananya.
Totsuka dan aku menyetujui urutan untuk menceritakan cerita kami hanya dengan tatapan mata. Setelah melakukannya, Totsuka mengangkat tangannya dengan segan, tanpa menghiraukan tatapan hening yang kami lakukan tadi.
“Oke, aku akan mulai dulu…”
Cahaya di dalam kamar itu sudah dimatikan, meninggalkan hanya beberapa lilin redup yang untuk dipakai sebagai sumber cahaya. Ketika angin lemah berhembus lewat jendela yang sedikit terbuka itu, cahaya lilin bergerak-gerak dan bayangan tipis mereka berubah-ubah.
“Ini sebuah cerita mengenai senpaiku. Senpaiku itu semacam pembalap jalanan.
“Suatu hari, dia menantang ke puncak gunung sendirian seperti yang selalu dilakukannya. Tapi kemudian dia dicegat oleh mobil patroli. Dia pikir ini aneh karena dia belum melewati batas kecepatan saat itu. Kemudian, polwan yang turun dari mobil patroli itu berkata padanya.
“‘Dua orang berkendara tanpa helm itu melanggar hukum… huh? Apa yang terjadi dengan gadis yang kamu bonceng?’ tanyanya.
“Senpai selalu pergi sendirian; dia tidak pernah membonceng siapapun. Jadi kalau begitu… persisnya siapa yang polwan itu lihat…? Dan kemudian keesokan harinya…”
Totsuka menyeka tetesan keringat dari dahinya dan menelan dengan keras.
“Senpai berdance dengan hard luck [7].”
Ceritanya antiklimatik. Ada apa dengan Inggris aneh itu? Dia kebanyakan membaca manga yankee…
Semua orang yang mendengarkan terlihat kecewa. Tapi Totsuka terus bercerita. Aku harus mengagumi kekuatan tekadnya.
“Senpai itu sekarang ayah dari dua orang anak. Dia berhenti menjadi pembalap jalanan dan mulai bekerja. Kemudian dia membentuk keluarga yang bahagia setelah menikahi polwan yang mencegatnya hari itu. Sekarang ini, istrinya jauh lebih menakutkan dari hantu.”
“Siapa yang ingin mendengar cerita menghangatkan hati seperti itu…?” kata Hiratsuka‐sensei dengan jijik.
Heh, Aku juga tidak tahan kalau sesuatu seperti itu disebut cerita hantu. Aku akan mengajari brandalan ini apa itu ketakutan yang sebenarnya.
“Sekarang giliranku.”
Aku mendekatkan lilinnya padaku, membiarkannya bergesek di lantai. Bayangan api tersebut berubah. Aku akan menceritakan kepada mereka cerita yang benar-benar menakutkan – percayalah!
“Ini sebuah kisah nyata…”
Setelah aku memakai kalimat pembuka yang umum itu, suara bisikan segera berhenti. Aku dapat mendengar setiap nafas yang mereka tarik.
“Ini terjadi sewaktu SD, sewaktu sekolah kami mengadakan perkemahan. Mereka memutuskan untuk menyelenggarakan uji keberanian tahunan ini. Benar… itu terjadi pada malam damai seperti malam ini.
“Kami dibagi ke dalam kelompok, ditugaskan untuk membawa kembali selembar jimat kertas dari sebuah kuil kecil di dalam hutan. Semua berjalan dengan lancar sampai akhirnya nomor kami dipaanggil. Tapi, ya, mereka mungkin menyebutnya uji keberanian, tapi semua trik-triknya dibuat oleh para guru. Tidak ada hantu yang berkeliaran.
Orang-orangan sawah dan guru yang menaruh sprei ke atas kepala mereka mungkin membuat kami ketakutan, namun kami masih berhasil mengambil selembar jimat dari kuil tersebut dan kembali dengan aman.
“Tidak ada yang terjadi sama sekali, hanya suatu acara menyenangkan dengan sedikit teriakan dan pekikan. Atau begitulah yang kupikir. Kemudian salah satu anggota kelompok kami, Yamashita‐kun, tiba-tiba berkata.
“‘Apa seseorang mengambil jimatnya?’
“Kata-kata itu sudah cukup untuk membuat kelompok kami gaduh. ‘Kamu ya?’ ‘Bukan, bukan aku.’ ‘Bukan aku juga…’ ‘Siapa kalau begitu?’ Anggota kelompokku berkata mereka tidak bisa ingat siapa yang mengambil jimatnya. Aku begitu ketakutan, kalian tahu. Sepatu botku gemetaran, aku hampir meneteskan air mata.
“Karena…”
Suaraku melemah.
Semua pandangan ditujukan padaku – tidak, bukan padaku, tapi mungkin pada kegelapan hitam pekat yang berada di belakangku.
“…tidak ada yang menyadari bahwa aku yang mengambilnya…”
Selagi aku mengakhiri ceritaku, aku meniup lilin tersebut.
Dalam keheningan mematikan yang menyelubungi ruangan tersebut, aku mendengar Yuigahama menghela. “Itu cuma cerita seorang penyendiri.”
“Itu akan lebih menakutkan kalau Hikigaya-kun ternyata akrab dengan orang yang menjalani uji keberanian bersamanya.” Yukinoshita juga melemparkanku tatapan yang dingin.
Dia tepat sekali, jadi aku tidak dapat menyuarakan bantahan apapun.
“Astaga, apa cuma itu cerita terbaik yang bisa kalian pikirkan?” Hiratsuka‐sensei menghela dengan dalam, dalam sekali.
“Errr, apa yang anda harap kalau anda meminta para amatiran mendadak menceritakan sebuah cerita horor…?” tanyaku.
“Hmph… tapi itu adalah kemampuan yang sangat dicari-cari bagi orang dewasa yang sudah bekerja. Karena, kamu akan diminta untuk ‘menceritakan cerita yang lucu’ pada pesta minum-minum. Kamu tidak akan mendapat kesempatan untuk mengasah kemampuan berceritamu lagi. Itu membuat hubungan kerjamu berjalan dengan mulus.”
Itu mengejutkanku. A-Aku tidak tahu…
“Apa yang anda katakan…? Karena aku sudah tidak ada harapan lagi, aku sebaiknya tidak bekerja. Itulah lingkungan pekerjaan yang seharusnya kumiliki, bukan?”
“Kamu terlalu negatif… Akan kutunjukkan kalian bagaimana caranya,” kata Hiratsuka‐sensei selagi dia menyalakan salah satu lilin tersebut.
Semakin tua semakin bijak – sesuatu semacam itu. Pada akhirnya, kami akan mendengarkan cerita hantu orang dewasa. Dengan ekspresi penuh dengan harapan (“Dia akan menceritakannya pada kitaǃ Cerita asli yang akan membuat kita gemetaran!”) kami berpaling ke arah Hiratsuka‐sensei.
Hiratsuka‐sensei menerima tatapan kami dengan senyuman tak kenal takut dan kemudian dengan perlahan mulai menceritakan kisahnya.
“Aku mengenal seseorang yang bisa kalian katakan sahabat karibku. Kita sebut saja dia Kinoshita Haruka. Tapi lima tahun silam, Kinoshita Haruka menghilang… yang dikatakannya padaku sebelum dia menghilang hanya,‘Aku akan pergi duluan’. Semenjak saat itu, aku tidak pernah berjumpa dengannya…
“Tapi terjadi sesuatu beberapa hari yang lalu. Seorang wanita yang kukenal muncul di hadapanku. Ekspresinya letih dan senyuman yang tipis terpampang pada wajahnya. Dia adalah sahabatku, yang seharusnya menghilang. Baru saja aku akan memanggilnya, aku melihat sesuatu di belakangnya – wajah yang menyeringai…”
Selagi Hiratsuka-sensei bercerita, wajahnya memucat. Itu terlihat seakan dia mengingat rasa takutnya pada saat itu. Ekspresi pucat pasinya juga membuat bulu kuduk kami merinding.
“…anak yang dipikulnya sudah berusia tiga tahun. Itu benar-benar menakutkan.”
Hiratsuka‐sensei meniup lilin di depannya dan ruangan itu menjadi gelap gulita.
Dalam keheningan canggung yang menyelubungi ruangan tersebut, aku tidak dapat menahan diriku.
“Yang dilakukannya hanya mengganti namanya dan memiliki anak…” gugamku tanpa sadar.
Seseorang cepat nikahi dia, astaga. Kalau tidak, mungkin aku sendiri yang akan menikahinya karena kasihan.
Akhirnya, kelihatannya tidak ada satu pun dari kami yang pandai menceritakan kisah horor, jadi kami memutuskan untuk memutar DVD Cerita Hantu Sekolah di dalam rumah tamu.
7-4
Selagi anak SD tersebut terfokus dengan DVD tersebut, anak SMA terus mempersiapkan uji keberaniannya.
Sementara Yukinoshita dan yang lain mengurus persiapannya, aku dipanggil oleh Hayama untuk membahas detail-detail rencananya. Setelah kami memutuskan inti dan poin-poin utamanya, kami mulai membahas detailnya.
“Kita sebaiknya hanya menangani kelompok Rumi‐chan saja, ya?” he asked.
“Ya, kamu benar. Itu perlu waktu, jadi kamu sebaiknya buat mereka giliran terakhir. Apa kamu akan melakukan semacam trik ketika mereka menarik undiannya?”
“Nah, itu tidak realistis dan akan memakan terlalu banyak waktu. Kita panggil kelompoknya saja sendiri. Ya… kita akan jelaskan itu supaya meningkatkan ketegangannya dengan tidak memberi mereka waktu untuk mempersiapkan mental mereka.”
Diskusi ini dengan Hayama berjalan tanpa kendala. Aku pikir aku cukup hebat dalam segi otak, tapi aku dapat merasa bahwa Hayama selalu selangkah di depanku. Sesuatu yang mungkin terdengar seperti alasan untuk berdalih terdengar masuk akal dari mulutnya, jadi semua ini cukup misterius.
“Kalau begitu aku serahkan ini padamu,” kataku pada akhirnya.
“Baiklah. Bagaimana kamu akan membawa mereka kesana?”
“Aku akan menyingkirkan kerucut berwarnanya dan membuat mereka menyusuri jalur yang buntu. Kamu dan yang lain harus menunggu di ujung sana.”
“Baiklah. Juga, soal Tobe dan Yumiko, aku ragu mereka akan ingat arahan sedetail itu.”
Ah, jadi kelihatannya mereka tidak terlalu pandai menghafal sesuatu.
“Kamu sebaiknya mengirimkan catatan pada ponsel mereka. Itu tidak akan terlihat janggal kalau mereka memainkan ponsel mereka. Malahan, itu mungkin akan terasa lebih nyata kalau mereka memainkannya dengan malas-malasan.”
“Aku tidak terpikirkan cara itu…”
Hayama memainkan jarinya pada tabletnya dan menuliskan sesuatu dengan mendetail. Sikap professionalnya sungguh menabjubkan.
Bagaimanapun, itu terasa menyenangkan untuk berbicara soal pekerjaan. Kamu tidak perlu menghabiskan waktu mencari-cari topik pembicaraan, dan tidak perlu mempertimbangkan perasaan lawan bicaramu. Itu terasa menyenangkan dimaafkan untuk mengatakan sesuatu yang kasar karena itu semua adalah bagian dari proses pekerjaan.
“Jadi seperti ini, huh? Akan kuberi arahannya pada Tobe dan Yumiko.”
“Kuserahkan itu padamu,” kataku, walaupun mungkin itu sesuatu yang tidak perlu kuberitahu lagi.
“Baiklah, sampai jumpa nanti.”
Setelah diskusi kami berakhir, aku berpisah dengan Hayama, yang pergi berbicara dengan Miura dan Tobe. Untuk sekarang, aku memutuskan untuk membantu Yukinoshita dan yang lain mempersiapkannya.
Aku mungkin menyebutnya persiapan, tapi itu bukan suatu acara yang besar. Singkatnya, kami hanya perlu berjalan kesana kemari dan menakuti anak-anak itu.
Untuk acara ini, daripada membuat latar sebuah rumah hantu yang mendetail, lebih penting untuk membuat suasana permainan yang memiliki kesan yang kuat. Khususnya untuk anak SD, atraksi fisik akan lebih menarik bagi mereka dibanding menyempurnakan latar cerita acara ini. Sederhananya, muncul dari kegelapan dan membuat mereka berteriak kaget akan lebih menyenangkan bagi mereka. Dulu sewaktu aku masih SD, Jason Voorhes[8] mendadak muncul entah dari mana, jimat-jimat ditumpuk di suatu tempat, dan hantu dengan sprei di kepala mereka bergentayangan tanpa arah dan tujuan di garis finish – itu adalah gambaran sebuah kekacauan.
Tempat ini, yang menyelenggarakan perkemahan yang baru saja kuceritakan, menyimpan kostum-kostum monster untuk acara seperti ini. Para guru bertanggung jawab untuk menyiapkan kostum tersebut untuk kami.
Mereka memang mempersiapkannya, tapi aku jadi menggaruk-garuk kepalaku ketika aku melihat beberapa kostum tersebut.
“Kostum setan kecil… telinga dan ekor kucing… yukata putih… topi penyihir lengkap dengan mantel dan jubah… kostum miko…”
Benar, itu menyolok, tapi bukankah ada batasannya untuk hal semacam ini? Ini sudah hampir mirip Halloween.
Menurut Hiratsuka‐sensei, kali ini seorang guru SD yang menyiapkan kostum-kostumnya. Namun tidak peduli dari sudut pandang manapun kamu memikirkannya, kamu hanya bisa menyimpulkan bahwa dia hanya ingin melihat gadis SMA mengenakan kostum cosplay. Ini membuatku juga ingin menjadi seorang guru.
Untuk memulainya, Ebina-san mengambil kostum miko. Ebina-san, yang memiliki tampang yang polos dan murni walaupun berada dalam kelompok Miura, terlihat cukup cantik mengenakan kostum bergaya-Jepang. Tapi harus kukatakan, dia lebih terlihat misterius daripada menakutkan. Aku heran apa dia akan menghasilkan kesan yang menyeramkan jika dia bertugas di sebuah kuil.
Selagi aku memikirkan tentang posisi kami masing-masing, aku melihat sekelilingku pada mereka yang lain.
Saat aku melakukannya, aku melihat Totsuka merapikan topi penyihir pada kepalanya. Dia menarik benang pada lengan baju jubahnya. “Aku heran apa penyihir juga termasuk monster…” gugamnya, terdengar bingung.
“Yah, kalau dalam artian luasnya, ya.” Kecuali itu sebenarnya sebuah kostum penyihir wanita tidak peduli bagaimanapun kamu melihatnya. Sharanraaaan[9].
“Tapi ini tidak menakutkan, bukan?”
“Nah, itu menakutkan. KamuYou’re all good.”
Ya, itu benar-benar menakutkan. Jika begini terus, aku mungkin akan berakhir menjalani rute Totsuka, jadi ya, itu menakutkan. Heh… apa kamu yang merapalkan sihir terlarang itu padaku?[10] Apa-apaan yang sedang kukatakan?
“Onii‐chan, onii‐chan.”
Seseorang menepuk bahuku – tidak, sensasinya terasa lebih lembut dibanding tepukan. Ketika aku melihat ke belakang bahuku, seuah kaki kucing yang terlihat seperti sebuah boneka memanggil-manggilku dengan semangat.
“Apa itu – monster kucing?”
“Kurasa begitu…”
Aku heran apa ini salah satu pertunjukkan musikal dari Shiki Theatre Company [11]… sampai aku sadar itu adalah adikku.
Komachi yang dibalut dengan kulit hitam palsu, memakai telinga dan ekor kucing.
“Aku tidak begitu paham, tapi itu imut jadi aku tidak peduli” kataku.
Gadis yang cantik akan terlihat manis tidak peduli pakaian apapun yang dipakainya. Mungkin dia bahkan akan terlihat manis mengenakan mobile suit. Sumber: Nobel Gundam dari G Gundam.
Selagi Komachi menggerakkan dan mengepalkan kaki kucing besarnya, berusaha untuk mengamati gerakannya, sesosok manusia yang mirip hantu muncul entah dari mana.
“…”
Hantu itu dengan lembut meraih telinga kucing Komachi.
Elus, elus.
“Er, um… Yukino‐san?”
Tepuk, tepuk.
Yukinoshita kali ini mengincar ekornya.
Pencet, pencet.
Kemudian dia mengangguk. Apa apaan? Pemahaman macam apa yang didapatnya? Berhenti terlihat seperti seseorang yang dengan lancarnya mengutarakan pendapat pakar mereka. Dia terlihat baru saja ingin berkata Saudara-Saudari Sekalian, Bagus Sekali Pamerannya.
“Kostummu bagus,” katanya setelah jeda panjang. “Agak cocok denganmu.”
“Terima kasih banyak. Yukino-san, kamu juga terlihat super keren! Benarkan, onii‐chan?”
“Yep. Kimono cocok sekali denganmu. Kamu benar-benar mirip Yuki‐onna. Sudah berapa banyak orang yang kau bunuh[12]?”
“…apa itu usahamu untuk memuji?” alis Yukinoshita mendadak mengernyit. Intensitasnya yang mendadak membuat hawa dingin menjalari sumsumku.
“Ah, suasana dingin itu. Kamu benar-benar mirip Yuki-onna. Bagai pinang dibelah dua.”
Saat aku memuji dirinya, Yukinoshita menjentikkan rambutnya ke belakang bahunya dan melihat tepat pada mataku. “Kamu juga bagai pinang di belah dua, Hikigaya‐kun. Kamu cocok menjadi zombie. Mata busukmu itu sudah level-Hollywood.”
“Tapi aku tidak memakai makeup atau kostum.”
Aku menatap tajam pada Yukinoshita dengan mata yang sayu, tapi berpaling secara insting ketika dia membalas menatapku.
Sekarang setelah aku tidak melihat ke arah Yukinoshita, pandanganku jatuh pada Yuigahama, yang sedang risau mengenakan kostum setannya.
Baru saja ketika aku berpikir dia sedang membuat senyuman di depan cermin besar itu, dia segera menggelengkan kepalanya dengan kuat, seakan memutuskan itu tidak bagus. Kemudian, baru saja kupikir dia menghela kecil dan menundukkan kepalanya, dia membuat pose yang riang. Dia seperti seseorang pada malam sebelum acara cosplay perdana mereka.
“Kamu kelihatan sibuk di sana,” panggilku padanya.
“Oh, Hikki…”
Yuigahama memeluk dirinya sendiri dalam usaha untuk menyembunyikan tubuhnya. Rasa tak percaya dirinya juga terlihat pada ekspresi wajahnya.
Aku berkata. “Um, kamu tahu‐”
Mata murungnya melirik ke atas dengan sembunyi-sembunyi, menanti-nanti kata-kataku. “Er, um… bagaimana kamu rasa?”
“Kalau kamu sedikit saja terlihat aneh, aku akan mengatakannya dan mengejekmu… sayang aku tidak bisa melakukannya.”
Er, apa…? Yuigahama kebingungan sejenak, tapi kemudian dia menyeringai dan tertawa seakan dia telah paham artinya.
“Kamu puji saja aku secara langsung… booooodoh.” Yuigahama mengecamku dengan riang sebelum berpaling kembali pada cerminnya dengan suasana hati yang lebih baik dari sebelumnya.
Komachi, yang mungkin telah melihatnya secara keseluruhan dari awal sampai akhir, tergelak geli dan menyeringai puas. “Onii‐chan, kamu sungguh Hinedere[13].”
“Jangan buat istilah aneh.”
Selagi perasaan yang bahwa ini semua usaha sia-sia yang tak terlukiskan menerjangku, kelompok Hayama kembali.
Ketika aku melihat ke arah mereka, Miura dan Tobe sudah menyelesaikan persiapan mereka seluruhnya. Khususnya Miura terlihat teramat menakutkan meskipun dia tidak memakai kostum. Dengan kata lain, dia memang menakutkan sepanjang waktu.
“Hayama.”
Ketika aku memanggil Hayama, dia mengangguk singkat dan mulai berkata.
“Baiklah, ayo kita mulai diskusi terakhir kita.”
Hanya tersisa sedikit waktu sebelum uji keberanian tersebut dimulai.
Meskipun mereka sadar sepenuhnya bahwa ini akan menyisakan perasaan yang tidak enak setelahnya dan tidak ada hal bagus yang akan muncul, tidak ada orang yang mampu menghentikannya, dan maka waktu terus berjalan dengan lajunya sendiri.
7-5
Catatan Tranlasi
<references>
- ↑ Prosthetic makeup, biasanya dipakai untuk membuat wajah2 horor. VFX atau visual effect, dipakai untuk membuat lingkungan yang terlihat nyata seperti membuat rumah horor dan sebagainya. Contoh foto sebelum dan sesudah visual effect.
- ↑ Kotak cuaca / Kotak Stevenson / Stevenson screen adalah kotak yang melindungi alat meteorologi (termomoter, barometer, higrometer,dsb) dari hujan dan radiasi matahari langsung namun masih membiarkan udara bebas bersirkulasi di dalamnya.
- ↑ “Mappy tahu” adalah variasi meme internet Jepang “Moppy tahu”. “Moppy” adalah julukan dari fans untuk Houki, pemain utama perempuan dari Infinite Stratos. Kata “Moppy tahu” sering dipakai untuk lelucon singkat.
- ↑ Efek plasebo artinya efek orang yang tidak makan obat sama dengan efek orang yang makan obat
- ↑ Suspension Bridge Effect
- ↑ Tamori adalah aktor Jepang yang membawa acara televisi Jepang Yonimo Kimyō na Monogatari (Cerita yang Tak Biasa).
- ↑ Kata “hard luck” dan “dance” mengacu pada cuplikan ikonik dalam manga balap Kaze Densetsu Bukkomi no Taku. Salah satu karakternya mengalami kecelakaan dalam sirkuit. Pemain utamanya kemudian berkata, “Orang yang mengalami ‘kecelakaan’ berdansa (dance) dengan nasib sial (hard luck).” Kata “dance” dan “hard luck” ditulis dengan kanji, tapi diucapkan dalam bahasa Inggris.
- ↑ Pembunuh berantai dalam kisah Friday the 13th
- ↑ Dia mengutip lirik lagu pembuka anime Majokko Megu‐chan (harfiah. ‘Meg Kecil si Penyihir Wanita’.)
- ↑ Dia mengutip lirik dari lagu J‐pop Mahou wo Kaketa no wa Kimi yang dibawakan Misia.
- ↑ Dia mengacu pada kisah, The Cat Who Wished to Be a Man, sebuah buku cerita fantasi anak oleh Lloyd Alexander. Cerita itu diadaptasi menjadi sebuah pertunjukkan musikal yang populer di Jepang.
- ↑ Yuki‐onna adalah roh wanita dalam dongeng rakyat Jepang. Mereka biasanya digambarkan cantik dan tenang, namun keji dalam membunuh manusia yang kesasar ke dalam salju.
- ↑ Variasi “tsundere” dll. “hine” artinya “aneh”.