Oregairu (Indonesia):Jilid 1 Bab 6

From Baka-Tsuki
Revision as of 02:28, 19 June 2014 by Cucundoweh (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

Akan Tetapi, Saika Totsuka Mau Saja Menurut

Komachi, adik perempuanku, memegang sepotong roti di tangannya dan sudah tenggelam dalam majalah mode yang sedang dibacanya. Aku mengamatinya dari samping selagi meminum secangkir kopi hitam di pagi hari.

Frasa menjengkelkan semacam Cara Menggaet Cowok maupun Paling Gaul berulang kali terlihat. Dan pada umumnya, artikel tersebut tampak hanya diisi oleh luapan kebodohan. Mendadak aku menganga dan bekas kopi yang kuminum membentuk sebuah garis di sudut bibirku.

Apa Jepang akan baik-baik saja jika terus seperti ini? Artikel tadi sungguh tak berkelas, tapi tetap saja adikku mengangguk-anggukan kepala sewaktu membacanya. Bagian mana yang sebenarnya ia setujui itu?

Majalah Heaventeen ini sepertinya telah menjadi majalah mode terpopuler di kalangan anak SMP. Bahkan sampai di titik jika ada yang tak membacanya... terlebih jika kita sampai tak membacanya, bisa-bisa kita bakal ditindas di sekolah.

"Oooh..." Komachi seperti terkesan akan sesuatu, dan remah-remah roti berjatuhan di lembar majalahnya. Apa ia sedang meniru dongeng Hansel dan Gretel?

Kini sudah pukul 7:45 pagi.

"Hei, sudah waktunya, nih."

Adik perempuanku masih terpana akan majalahnya, karena itu aku menyenggol bahunya dan mencoba memberi tahu bahwa sudah waktunya untuk pergi ke sekolah. Ketika aku melakukannya, Komachi langsung menengadah dan melihat ke arah jam dinding.

"Uwaah... gawat!"

Setelah berteriak begitu, Komachi segera menutup majalahnya lalu berdiri.

"Tunggu, tunggu, tunggu, lihat dulu mulutmu. Masih penuh begitu."

"Eh, masa, sih? Lagi macet di tengah-tengah mungkin, ya?"

"Memangnya mulutmu itu senapan otomatis, apa? Pakai istilah macet di tengah-tengah segala."

"Gawat, gawat." Adikku lanjut bergegas dan mengelap mulutnya dengan lengan piyama yang dipakainya. Asal tahu saja, terkadang adikku bisa jadi anak yang cukup maskulin...

"Omong-omong, Kak, terkadang Kakak sendiri enggak sadar apa yang Kakak bicarakan, ya 'kan?"

"Sok tahu, deh! Dasar!"

Namun adikku sendiri tampak tak memerhatikan ucapanku, dan sambil panik mulai mengganti piyamanya dengan seragam sekolah. Ia lalu melepas piyamanya, memperlihatkan kulit putihnya yang halus, beserta kutang dan celana dalam olahraganya.

Sial, jangan melepas baju di sini.

Adik perempuan adalah makhluk yang aneh. Tak peduli semanis apa mereka, kita takkan pernah merasakan apa-apa. Bagiku, pakaian dalamnya tak lebih dari sekadar potongan kain. Ia memang manis, tapi pada akhirnya yang muncul di pikiranku adalah fakta kalau ia mirip denganku... adik perempuan yang sebenarnya memang seperti itu.

Dengan seragam sekolahnya yang tak berkelas, Komachi memperlihatkan celana dalamnya yang tersingkap karena rok pendeknya yang di atas lutut itu sewaktu ia memakai kaos kaki panjang dan melipatnya sampai ke betis. Kupandangi dirinya dari samping selagi aku mengambil gula dan susu.

Hampir seakan ia berusaha ingin memperbesar payudaranya, belakangan ini Komachi banyak sekali meminum susu. Terserahlah, aku sama sekali tak peduli.

Meski begitu, saat aku menekankan bagian susu yang diminum adikku seperti tadi, kedengarannya justru agak erotis dan tak bermoral. Terserahlah, aku sama sekali tak peduli.

Bukan berarti aku mengambil gula dan susu ini karena terpengaruh susu yang diminum adikku tadi. Aku cuma ingin menambahkan bahan-bahan tersebut pada kopiku saja.

Bagi seseorang yang lahir dan dibesarkan di Chiba, yang lebih memilih mandi dengan Max Coffee, dan tumbuh besar dengan Max Coffee ketimbang ASI, maka aku wajib menambahkan gula pada kopiku. Lebih bagus lagi kalau dikentalkan dengan susu.[1]

Biarpun begitu, andai disuruh, aku masih bisa meminum kopi hitam, kok.

"Hidup sudah terlalu pahit, paling tidak kopi harus terasa manis..."

Kugumamkan kalimat yang harusnya lebih cocok dipakai untuk iklan Max Coffee itu sewaktu meminum kopi yang telah dimaniskan ini.

Kalimat tadi... terdengar bagus. Harusnya mereka menggunakan kalimat itu untuk iklannya.

"Kakak! Aku sudah siap, nih!"

"Tapi kakakmu ini kan masih minum kopi..."

Aku menanggapinya dengan kesan memelas seperti adegan yang pernah kutonton di penayangan ulang Kita no Kuni kara, namun Komachi tak tampak memerhatikanku dan mulai bernyanyi dengan riang. "Nanti telat, lo~~ nanti telat, lo~~" Ia itu punya niat tak mau telat atau sebenarnya memang mau telat, sih...? Aku jadi bingung.[2]

Hal ini berlangsung sejak beberapa bulan lalu, tapi adikku yang bodoh ini memang sering telat bangun, dan kalau sudah ada tanda-tanda ia bakal telat, kududukkan ia di sadel belakang lalu kuantar ia ke sekolah.

Sejak saat itu, sedikit demi sedikit, frekuensi aku mengantar dirinya ke sekolah semakin meningkat.

Tak ada yang lebih membuat kita tak tega selain air mata seorang perempuan. Terutama bagi Komachi, yang rupanya diberkati berbagai keahlian yang biasanya dimiliki oleh seorang adik perempuan, yang juga lihai memanipulasi kakak laki-lakinya. Karena dirinya itu, di benakku pun telah tertanam sebuah pemikiran kalau semua perempuan di dunia ini sama seperti Komachi, yang suka memanfaatkan lelaki demi kepentingannya sendiri.

"Kalau aku sampai tak percaya lagi sama perempuan, itu salahmu, lo, ya. Bagaimana jadinya kalau sampai tua nanti aku masih tetap melajang?"

"Kalau nanti jadinya begitu, biar Komachi yang urus."

Komachi tersenyum ke arahku. Kupikir adik perempuanku ini selamanya akan tetap jadi anak-anak, tapi melihat mimik dewasa yang aneh pada wajahnya, justru membuat jantungku sedikit berdebar.

"Aku akan bekerja keras dan menabung lalu memasukkan Kakak ke panti jompo."

Mungkin saja ia memang sudah dewasa... atau mungkin, ia hanya bersikap sok dewasa saja.

"...kau ini memang benar adikku, 'kan...?"

Aku tak bisa berhenti berdesah.

Kuteguk sisa kopiku yang ada di gelas lalu berdiri. Sewaktu aku melakukannya, Komachi mulai mendorongku dari belakang.

"Lambat banget, Kak. Sudah jamnya, nih! Komachi bakal telat, lo~~!"

"Anak ini..."

Kalau saja ia bukan adikku, mungkin sudah kutendang jauh-jauh. Biasanya sih, yang seperti itu malah jadi hal kebalikan, namun hal tersebut benar-benar terjadi di dalam keluarga Hikigaya. Kadang ayahku bisa jadi sosok penyayang kalau sedang berurusan dengan adikku. Beliau pun sering berkata akan membunuh lelaki mana saja yang mendekati adikku, sekalipun lelaki itu kakaknya sendiri. Mendengar beliau berkata begitu membuatku merasa mual. Dan ujung-ujungnya, kalau aku sampai berbuat macam-macam pada adikku, bisa-bisa akulah yang ditendang jauh-jauh oleh keluargaku sendiri.

Dengan kata lain, tak hanya di sekolah saja aku berada di lapisan terbawah dalam pergaulan, tapi di keluargaku sendiri pun aku tetap ada di posisi terbawah.

Kukayuh sepedaku lalu beranjak dari rumah. Komachi duduk di belakangku. Ia melingkarkan tangannya di pinggangku dan memelukku erat.

"Let's go!"

"Setidaknya bilang, Terima kasih, begitu."

Bersepeda sambil berboncengan seperti ini jelas melanggar aturan lalu lintas, tapi karena pikiran Komachi masih kekanak-kanakan, jadi ya, dimaklumi saja.

Aku sedikit tersentak ketika Komachi berbicara padaku.

"Hari ini jangan sampai tabrakan, ya. Soalnya Komachi ini lagi boncengan bareng Kakak, lo."

"Jadi kalau aku sendirian, tak masalah kalau tabrakan, begitu...?"

"Bukan, bukan begitu. Duh, Kakak ini... kadang mata Kakak itu seperti ikan mati, makanya aku khawatir. Ini yang dinamakan kasih sayang seorang adik, paham?"

Sambil mengatakannya, Komachi membenamkan wajahnya di punggungku. Kalau saja ia tak mengucapkan kalimat kejam di awal tadi, mungkin aku bakal tergoda menyebut dirinya manis, tapi yang ada, kini aku merasa kalau ia cuma anak yang licik.

Meski begitu, sejujurnya... aku juga tak ingin membuat keluargaku merisaukan hal tak berguna.

"...ya, aku akan hati-hati."

"Yang pasti Kakak harus hati-hati, apalagi kalau sedang memboncengku."

"Kau meminta kakakmu ini supaya memilih jalan bergelombang ke sekolah, 'kan?"

Jelas aku tak mau mengulangi hal yang seperti itu lagi. Soalnya yang selalu kudengar hanyalah keluhan, Aduh, sakit! Kena bokongku, nih! Kalau begini, aku takkan bisa menikah! Makanya aku mengambil jalan yang cukup datar. Akibat semua rengekannya itu, aku jadi sempat mendapat reputasi buruk di lingkunganku...

Biar bagaimanapun, keselamatan itu di atas segalanya.

Aku mengalami kecelakaan lalu lintas di hari pertamaku masuk SMA. Rasanya memang gugup saat akan memulai kehidupan baru di sekolah baruku, namun aku justru menyegel takdirku sendiri dengan berangkat lebih pagi demi menghadiri upacara penerimaan murid baru.

Kira-kira saat itu masih sekitar jam tujuh pagi. Seorang perempuan yang sedang jalan-jalan bersama anjingnya di seputaran sekolah tahu-tahu kehilangan pegangan atas tali kekang anjingnya. Nahasnya, di saat yang sama, sebuah mobil limusin mewah juga tengah melintas di jalan raya. Tanpa kusadari, sepedaku sudah meluncur kencang ke arahnya.

Alhasil, mereka lalu memanggil ambulans untuk membawaku ke rumah sakit. Itu adalah momen yang membuatku ditakdirkan menjadi penyendiri di SMA.

Karena kecelakaan tersebut, sepeda baruku yang masih mulus menjadi rusak parah. Dan aku mengalami patah tulang pada kaki kiri emasku.

Andai aku seorang pemain sepak bola, mungkin suasana kelam akan menyelimuti dunia persepakbolaan Jepang kala itu. Untunglah aku bukan pemain sepak bola.

Aku juga merasa beruntung karena cedera yang kualami tak begitu parah.

Yang membuatku merasa kurang beruntung adalah fakta bahwa orang yang menjengukku di rumah sakit hanyalah keluargaku sendiri.

Mereka menjengukku setiap tiga hari sekali. Sial, harusnya mereka itu menjengukku setiap hari...

Semenjak kecelakaan itu, adik dan kedua orang tuaku mulai sering makan di luar. Setiap kali adikku datang menjenguk dan membahas soal mereka yang pergi makan sushi ataupun barbeque ala Korea, rasanya aku jadi ingin mendekati lalu mematahkan kelingkingnya itu.

"Tapi syukurlah Kakak cepat sembuh. Aku yakin, gips itu pasti sangat membantu. Gips memang mujarab untuk menyembuhkan luka memar!"

"Dasar bodoh, jangan disamakan gips dengan salep. Lagi pula, aku itu kena patah tulang, bukan luka memar."

"Lagi-lagi Kakak marah sambil bicara enggak jelas."

"Huh! Kau itu yang sok tahu!"

Namun Komachi tak tampak memerhatikanku, dan langsung mengganti topik seakan itu hal paling lumrah di dunia ini.

"'Gini, Kak..."

"Eh? ' Gini? Kau sudah ketularan Issei Fuubi Sepia, ya? Jadul banget, deh."[3]

"Begini, Kak... kayaknya ada yang enggak beres sama kuping Kakak."

"Cara bicaramu itu yang enggak beres..."

"Tahu, enggak? Setelah kecelakaan itu, si pemilik anjing datang untuk berterima kasih, lo."

"Kok aku tidak tahu...?"

"Soalnya Kakak waktu itu lagi tidur. Ia juga bawa kue, lo. Rasanya enak banget."

"Hei, aku benar-benar tak ingat kalau ada kue. Teganya kau memakan semuanya tanpa bilang-bilang?"

Ujarku sembari menoleh ke belakang, dan kulihat Komachi tersenyum malu sambil berkata, "Tehehe..." Bocah ini benar-benar bikin kesal...

"Padahal perempuan itu satu sekolah kok sama Kakak, masa belum pernah ketemu? Ia bilang mau berterima kasih langsung pada Kakak saat sudah di sekolah nanti."

Tanpa sadar, aku langsung mengerem mendadak. "Aaaw!" Kudengar suara mengaduh di belakangku, dan wajah Komachi sudah menempel di punggungku.

"Kok tahu-tahu mengerem mendadak, sih?"

"...kau ini, kenapa tak memberi tahu aku sebelumnya? Kau ada pernah menanyakan nama atau hal lain padanya?"

"Eh? ...yah, ia macam tipikal gadis gulali, begitu..."

"Memangnya kita lagi bahas Festival Bon, apa? Jangan bicara seakan kau itu penjual dendeng. Jadi siapa namanya?"

"Hmm... aku lupa. Ah, sudah dekat sekolahku, nih. Komachi duluan, ya!"

Segera setelah berkata begitu, Komachi melompat dari sepedaku lalu berlari menuju gerbang sekolahnya.

"Anak ini..."

Kupandangi punggung adikku yang sedang berlari, dan tepat sebelum ia masuk ke dalam sekolah, Komachi berbalik lalu membungkuk sebentar kepadaku.

"Aku duluan ya, Kak! Terima kasih tumpangannya!"

Mendengar ucapan serta lambaian tangan yang diikuti senyumnya kepadaku itu, membuatku sempat merasa bahwa adikku ini lumayan manis. Aku balas melambai, lalu kudengar adikku berkata. "Hati-hati kalau ada mobil, ya!"

Kuhela napas dengan pasrah lalu kukayuh sepeda ini menuju sekolahku.

Jika memang di sekolahku, kira-kira di mana si pemilik anjing itu berada?

Bukan berarti aku sudah menyiapkan rencana mengenai yang akan kulakukan setelah bertemu dirinya. Aku hanya sedikit penasaran saja.

Akan tetapi, fakta bahwa kami tak pernah bertemu setelah kejadian itu selama setahunan ini membuatku berpikir kalau ia memang tak begitu ingin bertemu denganku... yah, memang hal yang wajar, sih. Yang kulakukan cuma menyelamatkan anjingnya dengan mengorbankan tulang kakiku. Jadi sudah cukup baginya untuk mengirimkan tanda terima kasih ke rumahku.

Pandanganku mendadak tertuju ke keranjang yang terpasang di depan sepedaku ini, dan kulihat ada tas sekolah berwarna hitam yang bukan kepunyaanku di sana.

"...dasar bodoh."

Dan sewaktu aku memutar sepedaku lalu bergegas melaju ke arah berlawanan, kulihat Komachi sudah berlari ke arahku sambil berlinang air mata.


— II —


Berganti bulan berarti ikut berganti pula kegiatan dalam pelajaran Olahraga.

Di sekolahku, pelajaran Olahraga dilaksanakan serempak oleh tiga kelas berbeda, dan enam puluh anak lelaki yang ada di kelompok tersebut dipisah ke dalam dua kegiatan.

Hingga bulan kemarin, kami harus memilih antara bola voli ataupun lari. Dan untuk sekarang, pilihannya adalah tenis atau sepak bola.

Baik aku maupun Zaimokuza adalah seorang fantasista di lapangan hijau,[4] tetapi kami berdua lebih memfokuskan diri pada skill individu masing-masing. Maka dari itu, kami beranggapan bahwa akan merugikan bagi tim andai kami bergabung di dalamnya, sehingga kami pun memilih tenis. Tentunya... aku adalah orang yang sudah gantung sepatu dalam dunia sepak bola karena cedera lama yang menghinggapi kaki kiriku ini. Dan itu bukan cedera yang kualami saat bermain sepak bola...

Akan tetapi, tampaknya tahun ini banyak sekali anak yang ingin bermain tenis. Lalu setelah melewati pertarungan suten yang heroik, akhirnya aku pun bertahan dalam grup tenis sedangkan Zaimokuza terpaksa masuk ke grup sepak bola.

"Hemh, Hachiman... sungguh disayangkan karena aku tak bisa memperlihatkan bola melengkung ajaibku di sini. Tanpa dirimu... siapa gerangan orang yang bisa kuajak berpasangan dalam latihan mengumpan...?"

Ucapan tersebut meninggalkan kesan mendalam bagiku. Zaimokuza yang biasanya tampil percaya diri kini terlihat begitu putus asa.

'Siapa gerangan orang yang bisa kuajak berpasangan...?' Pertanyaan itu sebenarnya juga berlaku untukku.

Lalu kegiatan tenis pun dimulai.

Kulakukan peregangan secara serampangan kemudian mendengarkan arahan mengenai tenis dari Pak Atsugi selaku guru Olahraga.

"Baik, sekarang ayo kita praktikkan. Buat pasangan, lalu tiap anak tempati masing-masing sisi lapangan."

Setelah Pak Atsugi berkata demikian, semua anak menyebar ke dalam kelompok kecil lalu pergi ke masing-masing sisi lapangan.

Bagaimana bisa mereka secepat itu berpasangan? Mereka bahkan tak melihat sekitarnya dulu! Apa mungkin mereka juga ahli dalam umpan tanpa melihat?

Radar penyendiriku yang sensitif mulai aktif, mendeteksi tingginya tingkat peluang ditelantarkan.

Aku tidak takut. Aku sudah mengembangkan trik khusus untuk saat-saat seperti ini.

"Eng... saya sedang tak enak badan, Pak. Jadi boleh saya berlatih sendiri dengan tembok? Soalnya saya tak mau merepotkan yang lain."

Ujarku demikian, dan tanpa menunggu tanggapan Pak Atsugi, aku segera menuju ke arah tembok dan mulai mengayunkan raket. Mungkin Pak Atsugi sadar kalau ia sudah melewatkan kesempatan untuk menanggapiku, karena itu beliau sama sekali tak mempersoalkannya.

Trik tersebut benar-benar ampuh...

Pernyataan, Tak enak badan serta Tak mau merepotkan yang lain, punya efek sinergi yang besar. Dan dengan memakai kalimat itu aku juga bisa bersikap santai seolah aku memang punya motivati untuk berusaha keras.

Begitulah. Ini tindakan pencegahan yang kudapatkan setelah melalui begitu banyak pelajaran Olahraga sewaktu disuruh berpasangan dengan siapa saja sesukanya. Mungkin kapan-kapan aku akan mengajari ini ke Zaimokuza... aku yakin anak itu akan senang dan menangis bahagia.

Kukejar bolanya dan kupukul kembali ke arah tembok, gerakan tersebut kulakukan berulang-ulang. Waktu berlalu seiring kulanjutkan kegiatan monoton itu.

Lalu kudengar sorakan riuh dari sekitarku sewaktu para anak lelaki lain sedang memainkan tenis yang tampak heboh itu.

"Uryoaah! Wuoh?! Itu pukulan yang hebat, 'kan?! Luar biasa, 'kan?!"

"Iya, hebat! Enggak ada yang bisa memukul kayak begitu! Keren!"

Sorakan tersebut jelas menandakan bahwa mereka sedang bersenang-senang selama sesi latihan bebas.

Berisik, mati saja sana... Pikirku sewaktu aku menoleh dan melihat Hayama.

Pasangan main Hayama - atau tepatnya, mereka yang sering terlihat berempat - terdiri dari dirinya sendiri, si rambut pirang yang begitu akrab dengannya di kelas, beserta dua anak lainnya yang tak begitu kukenal. Mungkin mereka dari kelas 3-C atau kelas 3-I atau kelas lainnya... pokoknya, bisa dibilang mereka memancarkan aura heboh selama bermain tenis.

"Wuaah!" Si rambut pirang itu tak bisa mengembalikan pukulan Hayama dan berteriak. Perhatian seluruh anak pun tertuju ke arahnya, penasaran tentang yang sedang terjadi.

"Hayama, yang tadi itu benar-benar hebat! Bolanya tadi melengkung, 'kan? Benaran melengkung, 'kan?!"

"Ah, kurasa tadi aku tak sengaja memilin bolanya... maaf, itu salahku."

Hayama mengangkat tangannya untuk meminta maaf, namun kata-katanya justru tenggelam oleh sikap berlebihan si rambut pirang sebelahnya.

"Gila?! Kau bisa memukul bola dengan teknik melengkung begitu?! Hayama memang hebat! Benar-benar hebat!"

"Hahaha... masa, sih?"

Hayama segera masuk ke dalam pembicaraan kemudian tertawa riang. Di saat yang sama, pasangan di sebelahnya juga ikut berkomentar.

"Hayama juga hebat bermain tenis, ya? Bola yang melengkung tadi... bisa ajari aku caranya, enggak?"

Anak yang bicara lalu mulai berjalan mendekati Hayama tadi punya rambut yang dicat cokelat, dan anehnya ia terlihat cukup kalem. Kami mungkin satu kelas. Aku juga tak tahu namanya, jadi itu tak begitu penting.

Dalam sekejap, kuartet Hayama tadi berubah menjadi sekstet.[5] Saat ini mereka adalah geng penguasa terbesar di pelajaran Olahraga... omong-omong, sekstet kok malah terdengar seperti sexaroid, ya? Ya, ya, ya... memang terdengar mesum...

Pokoknya, itulah alasan kenapa pelajaran tenis berubah menjadi Kerajaan Hayama. Rasanya seolah kita tak boleh mengikuti pelajaran jika bukan bagian dari kelompok mereka. Tentu saja, semua anak di luar kelompok Hayama jadi diam tak bersuara. Selamat tinggal, kebebasan berbicara...

Kegaduhan yang dibuat oleh kelompok Hayama memberi kesan begitu kuat, padahal Hayama sendiri tak begitu gaduh - justru orang-orang di sekitarnya yang bikin gaduh. Lebih tepatnya, si rambut pirang, yang secara sukarela menjadi kepala pelayan dari Kerajaan Hayama itulah yang paling gaduh.

"Melengkung!"

Ya, 'kan? Anak itu benar-benar gaduh.

Padahal bola yang dipukul si rambut pirang itu tak melengkung sama sekali, justru melayang jauh dari Hayama dan mengarah ke pojok lapangan yang gelap dan lembab. Dengan kata lain, bola itu melayang ke arahku.

"Ah, maaf, maaf! E-eng... hei, Hikitani, ya? Hikitani, bolanya lempar ke sini, dong."

Siapa itu Hikitani?

Tapi aku tak ingin membenarkan ucapannya, jadi kuambil saja bola yang menggelinding ke arahku itu kemudian kulemparkan padanya.

"Terima kasih, ya!"

Hayama tersenyum dan melambaikan tangannya padaku.

Aku menanggapinya dengan sedikit mengangguk.

...buat apa aku mengangguk?

Sepertinya naluriku menganggap bahwa Hayama berada lebih tinggi di atasku... bahkan dengan standarku ini, aku jadi benar-benar tunduk. Begitu tunduknya sampai-sampai membuatku berpikir bahwa aku sudah dipercundangi oleh seseorang...

Kukumpulkan semua perasaan suram ini dan kulampiaskan semuanya pada tembok.

Tembok adalah rekan terpenting dalam masa muda.

...bicara soal itu, aku masih penasaran kenapa istilah tembok berlapis sering ditujukan untuk payudara kecil?

Terdapat satu teori, yakni tembok berlapis tersebut adalah siluman tanuki, dan tembok itu sendiri adalah tanuki yang sedang membentangkan alat kelaminnya. Memangnya tembok macam apa itu? Hal yang barusan itu sebenarnya justru terdengar seperti benda empuk... jadi dengan kata lain, dan cukup paradoks, ketika kita mengejek seorang perempuan yang berpayudara kecil dengan sebutan tembok berlapis, maka secara tak langsung kita berkata kalau payudaranya itu cukup empuk. QED, jelas terlihat. Bodoh.[6]

Biarpun begitu, aku yakin Hayama tak pernah berpikir demikian. Teori di luar nalar tadi hanya bisa diciptakan oleh rasa sakit hatiku yang tak biasa ini.

Baiklah, anggap saja kami seri hari ini... yak, rasanya juga memang begitu.


— II —


Catatan Penerjemah

  1. Max Coffee adalah merek minuman kopi dalam kemasan yang terkenal di Jepang
  2. Kita no Kuni kara adalah judul drama televisi Jepang
  3. Issei Fuubi Sepia adalah grup musik asal Jepang yang populer di era Tahun 80-an
  4. Sebutan bagi pemain sepak bola yang bisa melakukan hal-hal yang sulit dibayangkan manusia ketika bermain sepak bola...
  5. Grup penyanyi atau orkes yg terdiri atas enam orang.
  6. QED (Quod Erat Demonstrandum) berarti "sudah terbukti", singkatan ini menandai akhir dari suatu pembuktian.
Mundur ke Bab 5 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 7