Oregairu (Indonesia):Jilid 1 Bab 6

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Akan Tetapi, Saika Totsuka Mau Saja Menurut[edit]

Komachi, adik perempuanku, memegang sepotong roti di tangannya dan sudah tenggelam dalam majalah mode yang sedang dibacanya. Aku mengamatinya dari samping selagi meminum secangkir kopi hitam di pagi hari.

Frasa menjengkelkan semacam Cara Menggaet Cowok maupun Paling Gaul berulang kali terlihat. Dan pada umumnya, artikel tersebut tampak hanya diisi oleh luapan kebodohan. Mendadak aku menganga dan bekas kopi yang kuminum membentuk sebuah garis di sudut bibirku.

Apa Jepang akan baik-baik saja jika terus seperti ini? Artikel tadi sungguh tak berkelas, tapi tetap saja adikku mengangguk-anggukan kepala sewaktu membacanya. Bagian mana yang sebenarnya ia setujui itu?

Majalah Heaventeen ini sepertinya telah menjadi majalah mode terpopuler di kalangan anak SMP. Bahkan sampai di titik jika ada yang tak membacanya... terlebih jika kita sampai tak membacanya, bisa-bisa kita bakal ditindas di sekolah.

"Oooh..." Komachi seperti terkesan akan sesuatu, dan remah-remah roti berjatuhan di lembar majalahnya. Apa ia sedang meniru dongeng Hansel dan Gretel?

Kini sudah pukul 7:45 pagi.

"Hei, sudah waktunya, nih."

Adik perempuanku masih terpana akan majalahnya, karena itu aku menyenggol bahunya dan mencoba memberi tahu bahwa sudah waktunya untuk pergi ke sekolah. Ketika aku melakukannya, Komachi langsung menengadah dan melihat ke arah jam dinding.

"Uwaah... gawat!"

Setelah berteriak begitu, Komachi segera menutup majalahnya lalu berdiri.

"Tunggu, tunggu, tunggu, lihat dulu mulutmu. Masih penuh begitu."

"Eh, masa, sih? Lagi macet di tengah-tengah mungkin, ya?"

"Memangnya mulutmu itu senapan otomatis, apa? Pakai istilah macet di tengah-tengah segala."

"Gawat, gawat." Adikku lanjut bergegas dan mengelap mulutnya dengan lengan piyama yang dipakainya. Asal tahu saja, terkadang adikku bisa jadi anak yang cukup maskulin...

"Omong-omong, Kak, terkadang Kakak sendiri enggak sadar apa yang Kakak bicarakan, ya 'kan?"

"Sok tahu, deh! Dasar!"

Namun adikku sendiri tampak tak memerhatikan ucapanku, dan sambil panik mulai mengganti piyamanya dengan seragam sekolah. Ia lalu melepas piyamanya, memperlihatkan kulit putihnya yang halus, beserta kutang dan celana dalam olahraganya.

Sial, jangan melepas baju di sini.

Adik perempuan adalah makhluk yang aneh. Tak peduli semanis apa mereka, kita takkan pernah merasakan apa-apa. Bagiku, pakaian dalamnya tak lebih dari sekadar potongan kain. Ia memang manis, tapi pada akhirnya yang muncul di pikiranku adalah fakta kalau ia mirip denganku... adik perempuan yang sebenarnya memang seperti itu.

Dengan seragam sekolahnya yang tak berkelas, Komachi memperlihatkan celana dalamnya yang tersingkap karena rok pendeknya yang di atas lutut itu sewaktu ia memakai kaos kaki panjang dan melipatnya sampai ke betis. Kupandangi dirinya dari samping selagi aku mengambil gula dan susu.

Hampir seakan ia berusaha ingin memperbesar payudaranya, belakangan ini Komachi banyak sekali meminum susu. Terserahlah, aku sama sekali tak peduli.

Meski begitu, saat aku menekankan bagian susu yang diminum adikku seperti tadi, kedengarannya justru agak erotis dan tak bermoral. Terserahlah, aku sama sekali tak peduli.

Bukan berarti aku mengambil gula dan susu ini karena terpengaruh susu yang diminum adikku tadi. Aku cuma ingin menambahkan bahan-bahan tersebut pada kopiku saja.

Bagi seseorang yang lahir dan dibesarkan di Chiba, yang lebih memilih mandi dengan Max Coffee, dan tumbuh besar dengan Max Coffee ketimbang ASI, maka aku wajib menambahkan gula pada kopiku. Lebih bagus lagi kalau dikentalkan dengan susu.[1]

Biarpun begitu, andai disuruh, aku masih bisa meminum kopi hitam, kok.

"Hidup sudah terlalu pahit, paling tidak kopi harus terasa manis..."

Kugumamkan kalimat yang harusnya lebih cocok dipakai untuk iklan Max Coffee itu sewaktu meminum kopi yang telah dimaniskan ini.

Kalimat tadi... terdengar bagus. Harusnya mereka menggunakan kalimat itu untuk iklannya.

"Kakak! Aku sudah siap, nih!"

"Tapi kakakmu ini kan masih minum kopi..."

Aku menanggapinya dengan kesan memelas seperti adegan yang pernah kutonton di penayangan ulang Kita no Kuni kara, namun Komachi tak tampak memerhatikanku dan mulai bernyanyi dengan riang. "Nanti telat, lo~~ nanti telat, lo~~" Ia itu punya niat tak mau telat atau sebenarnya memang mau telat, sih...? Aku jadi bingung.[2]

Hal ini berlangsung sejak beberapa bulan lalu, tapi adikku yang bodoh ini memang sering telat bangun, dan kalau sudah ada tanda-tanda ia bakal telat, kududukkan ia di sadel belakang lalu kuantar ia ke sekolah.

Sejak saat itu, sedikit demi sedikit, frekuensi aku mengantar dirinya ke sekolah semakin meningkat.

Tak ada yang lebih membuat kita tak tega selain air mata seorang perempuan. Terutama bagi Komachi, yang rupanya diberkati berbagai keahlian yang biasanya dimiliki oleh seorang adik perempuan, yang juga lihai memanipulasi kakak laki-lakinya. Karena dirinya itu, di benakku pun telah tertanam sebuah pemikiran kalau semua perempuan di dunia ini sama seperti Komachi, yang suka memanfaatkan lelaki demi kepentingannya sendiri.

"Kalau aku sampai tak percaya lagi sama perempuan, itu salahmu, lo, ya. Bagaimana jadinya kalau sampai tua nanti aku masih tetap melajang?"

"Kalau nanti jadinya begitu, biar Komachi yang urus."

Komachi tersenyum ke arahku. Kupikir adik perempuanku ini selamanya akan tetap jadi anak-anak, tapi melihat mimik dewasa yang aneh pada wajahnya, justru membuat jantungku sedikit berdebar.

"Aku akan bekerja keras dan menabung lalu memasukkan Kakak ke panti jompo."

Mungkin saja ia memang sudah dewasa... atau mungkin, ia hanya bersikap sok dewasa saja.

"...kau ini memang benar adikku, 'kan...?"

Aku tak bisa berhenti berdesah.

Kuteguk sisa kopiku yang ada di gelas lalu berdiri. Sewaktu aku melakukannya, Komachi mulai mendorongku dari belakang.

"Lambat banget, Kak. Sudah jamnya, nih! Komachi bakal telat, lo~~!"

"Anak ini..."

Kalau saja ia bukan adikku, mungkin sudah kutendang jauh-jauh. Biasanya sih, yang seperti itu malah jadi hal kebalikan, namun hal tersebut benar-benar terjadi di dalam keluarga Hikigaya. Kadang ayahku bisa jadi sosok penyayang kalau sedang berurusan dengan adikku. Beliau pun sering berkata akan membunuh lelaki mana saja yang mendekati adikku, sekalipun lelaki itu kakaknya sendiri. Mendengar beliau berkata begitu membuatku merasa mual. Dan ujung-ujungnya, kalau aku sampai berbuat macam-macam pada adikku, bisa-bisa akulah yang ditendang jauh-jauh oleh keluargaku sendiri.

Dengan kata lain, tak hanya di sekolah saja aku berada di lapisan terbawah dalam pergaulan, tapi di keluargaku sendiri pun aku tetap ada di posisi terbawah.

Kukayuh sepedaku lalu beranjak dari rumah. Komachi duduk di belakangku. Ia melingkarkan tangannya di pinggangku dan memelukku erat.

"Let's go!"

"Setidaknya bilang, Terima kasih, begitu."

Bersepeda sambil berboncengan seperti ini jelas melanggar aturan lalu lintas, tapi karena pikiran Komachi masih kekanak-kanakan, jadi ya, dimaklumi saja.

Aku sedikit tersentak ketika Komachi berbicara padaku.

"Hari ini jangan sampai tabrakan, ya. Soalnya Komachi ini lagi boncengan bareng Kakak, lo."

"Jadi kalau aku sendirian, tak masalah kalau tabrakan, begitu...?"

"Bukan, bukan begitu. Duh, Kakak ini... kadang mata Kakak itu seperti ikan mati, makanya aku khawatir. Ini yang dinamakan kasih sayang seorang adik, paham?"

Sambil mengatakannya, Komachi membenamkan wajahnya di punggungku. Kalau saja ia tak mengucapkan kalimat kejam di awal tadi, mungkin aku bakal tergoda menyebut dirinya manis, tapi yang ada, kini aku merasa kalau ia cuma anak yang licik.

Meski begitu, sejujurnya... aku juga tak ingin membuat keluargaku merisaukan hal tak berguna.

"...ya, aku akan hati-hati."

"Yang pasti Kakak harus hati-hati, apalagi kalau sedang memboncengku."

"Kau meminta kakakmu ini supaya memilih jalan bergelombang ke sekolah, 'kan?"

Jelas aku tak mau mengulangi hal yang seperti itu lagi. Soalnya yang selalu kudengar hanyalah keluhan, Aduh, sakit! Kena bokongku, nih! Kalau begini, aku takkan bisa menikah! Makanya aku mengambil jalan yang cukup datar. Akibat semua rengekannya itu, aku jadi sempat mendapat reputasi buruk di lingkunganku...

Biar bagaimanapun, keselamatan itu di atas segalanya.

Aku mengalami kecelakaan lalu lintas di hari pertamaku masuk SMA. Rasanya memang gugup saat akan memulai kehidupan baru di sekolah baruku, namun aku justru menyegel takdirku sendiri dengan berangkat lebih pagi demi menghadiri upacara penerimaan murid baru.

Kira-kira saat itu masih sekitar jam tujuh pagi. Seorang perempuan yang sedang jalan-jalan bersama anjingnya di seputaran sekolah tahu-tahu kehilangan pegangan atas tali kekang anjingnya. Nahasnya, di saat yang sama, sebuah mobil limusin mewah juga tengah melintas di jalan raya. Tanpa kusadari, sepedaku sudah meluncur kencang ke arahnya.

Alhasil, mereka lalu memanggil ambulans untuk membawaku ke rumah sakit. Itu adalah momen yang membuatku ditakdirkan menjadi penyendiri di SMA.

Karena kecelakaan tersebut, sepeda baruku yang masih mulus menjadi rusak parah. Dan aku mengalami patah tulang pada kaki kiri emasku.

Andai aku seorang pemain sepak bola, mungkin suasana kelam akan menyelimuti dunia persepakbolaan Jepang kala itu. Untunglah aku bukan pemain sepak bola.

Aku juga merasa beruntung karena cedera yang kualami tak begitu parah.

Yang membuatku merasa kurang beruntung adalah fakta bahwa orang yang menjengukku di rumah sakit hanyalah keluargaku sendiri.

Mereka menjengukku setiap tiga hari sekali. Sial, harusnya mereka itu menjengukku setiap hari...

Semenjak kecelakaan itu, adik dan kedua orang tuaku mulai sering makan di luar. Setiap kali adikku datang menjenguk dan membahas soal mereka yang pergi makan sushi ataupun barbeque ala Korea, rasanya aku jadi ingin mendekati lalu mematahkan kelingkingnya itu.

"Tapi syukurlah Kakak cepat sembuh. Aku yakin, gips itu pasti sangat membantu. Gips memang mujarab untuk menyembuhkan luka memar!"

"Dasar bodoh, jangan disamakan gips dengan salep. Lagi pula, aku itu kena patah tulang, bukan luka memar."

"Lagi-lagi Kakak marah sambil bicara enggak jelas."

"Huh! Kau itu yang sok tahu!"

Namun Komachi tak tampak memerhatikanku, dan langsung mengganti topik seakan itu hal paling lumrah di dunia ini.

"'Gini, Kak..."

"Eh? ' Gini? Kau sudah ketularan Issei Fuubi Sepia, ya? Jadul banget, deh."[3]

"Begini, Kak... kayaknya ada yang enggak beres sama kuping Kakak."

"Cara bicaramu itu yang enggak beres..."

"Tahu, enggak? Setelah kecelakaan itu, si pemilik anjing datang untuk berterima kasih, lo."

"Kok aku tidak tahu...?"

"Soalnya Kakak waktu itu lagi tidur. Ia juga bawa kue, lo. Rasanya enak banget."

"Hei, aku benar-benar tak ingat kalau ada kue. Teganya kau memakan semuanya tanpa bilang-bilang?"

Ujarku sembari menoleh ke belakang, dan kulihat Komachi tersenyum malu sambil berkata, "Tehehe..." Bocah ini benar-benar bikin kesal...

"Padahal perempuan itu satu sekolah kok sama Kakak, masa belum pernah ketemu? Ia bilang mau berterima kasih langsung pada Kakak saat sudah di sekolah nanti."

Tanpa sadar, aku langsung mengerem mendadak. "Aaaw!" Kudengar suara mengaduh di belakangku, dan wajah Komachi sudah menempel di punggungku.

"Kok tahu-tahu mengerem mendadak, sih?"

"...kau ini, kenapa tak memberi tahu aku sebelumnya? Kau ada pernah menanyakan nama atau hal lain padanya?"

"Eh? ...yah, ia macam tipikal gadis gulali, begitu..."

"Memangnya kita lagi bahas Festival Bon, apa? Jangan bicara seakan kau itu penjual dendeng. Jadi siapa namanya?"

"Hmm... aku lupa. Ah, sudah dekat sekolahku, nih. Komachi duluan, ya!"

Segera setelah berkata begitu, Komachi melompat dari sepedaku lalu berlari menuju gerbang sekolahnya.

"Anak ini..."

Kupandangi punggung adikku yang sedang berlari, dan tepat sebelum ia masuk ke dalam sekolah, Komachi berbalik lalu membungkuk sebentar kepadaku.

"Aku duluan ya, Kak! Terima kasih tumpangannya!"

Mendengar ucapan serta lambaian tangan yang diikuti senyumnya kepadaku itu, membuatku sempat merasa bahwa adikku ini lumayan manis. Aku balas melambai, lalu kudengar adikku berkata. "Hati-hati kalau ada mobil, ya!"

Kuhela napas dengan pasrah lalu kukayuh sepeda ini menuju sekolahku.

Jika memang di sekolahku, kira-kira di mana si pemilik anjing itu berada?

Bukan berarti aku sudah menyiapkan rencana mengenai yang akan kulakukan setelah bertemu dirinya. Aku hanya sedikit penasaran saja.

Akan tetapi, fakta bahwa kami tak pernah bertemu setelah kejadian itu selama setahunan ini membuatku berpikir kalau ia memang tak begitu ingin bertemu denganku... yah, memang hal yang wajar, sih. Yang kulakukan cuma menyelamatkan anjingnya dengan mengorbankan tulang kakiku. Jadi sudah cukup baginya untuk mengirimkan tanda terima kasih ke rumahku.

Pandanganku mendadak tertuju ke keranjang yang terpasang di depan sepedaku ini, dan kulihat ada tas sekolah berwarna hitam yang bukan kepunyaanku di sana.

"...dasar bodoh."

Dan sewaktu aku memutar sepedaku lalu bergegas melaju ke arah berlawanan, kulihat Komachi sudah berlari ke arahku sambil berlinang air mata.


— II —


Berganti bulan berarti ikut berganti pula kegiatan dalam pelajaran Olahraga.

Di sekolahku, pelajaran Olahraga dilaksanakan serempak oleh tiga kelas berbeda, dan enam puluh anak lelaki yang ada di kelompok tersebut dipisah ke dalam dua kegiatan.

Hingga bulan kemarin, kami harus memilih antara bola voli ataupun lari. Dan untuk sekarang, pilihannya adalah tenis atau sepak bola.

Baik aku maupun Zaimokuza adalah seorang fantasista di lapangan hijau,[4] tetapi kami berdua lebih memfokuskan diri pada skill individu masing-masing. Maka dari itu, kami beranggapan bahwa akan merugikan bagi tim andai kami bergabung di dalamnya, sehingga kami pun memilih tenis. Tentunya... aku adalah orang yang sudah gantung sepatu dalam dunia sepak bola karena cedera lama yang menghinggapi kaki kiriku ini. Dan itu bukan cedera yang kualami saat bermain sepak bola...

Akan tetapi, tampaknya tahun ini banyak sekali anak yang ingin bermain tenis. Lalu setelah melewati pertarungan suten yang heroik, akhirnya aku pun bertahan dalam grup tenis sedangkan Zaimokuza terpaksa masuk ke grup sepak bola.

"Hemh, Hachiman... sungguh disayangkan karena aku tak bisa memperlihatkan bola melengkung ajaibku di sini. Tanpa dirimu... siapa gerangan orang yang bisa kuajak berpasangan dalam latihan mengumpan...?"

Ucapan tersebut meninggalkan kesan mendalam bagiku. Zaimokuza yang biasanya tampil percaya diri kini terlihat begitu putus asa.

Siapa gerangan orang yang bisa kuajak berpasangan...? Pertanyaan itu sebenarnya juga berlaku untukku.

Lalu kegiatan tenis pun dimulai.

Kulakukan peregangan secara serampangan kemudian mendengarkan arahan mengenai tenis dari Pak Atsugi selaku guru Olahraga.

"Baik, sekarang ayo kita praktikkan. Buat pasangan, lalu tiap anak tempati masing-masing sisi lapangan."

Setelah Pak Atsugi berkata demikian, semua anak menyebar ke dalam kelompok kecil lalu pergi ke masing-masing sisi lapangan.

Bagaimana bisa mereka secepat itu berpasangan? Mereka bahkan tak melihat sekitarnya dulu! Apa mungkin mereka juga ahli dalam umpan tanpa melihat?

Radar penyendiriku yang sensitif mulai aktif, mendeteksi tingginya tingkat peluang ditelantarkan.

Aku tidak takut. Aku sudah mengembangkan trik khusus untuk saat-saat seperti ini.

"Eng... saya sedang tak enak badan, Pak. Jadi boleh saya berlatih sendiri dengan tembok? Soalnya saya tak mau merepotkan yang lain."

Ujarku demikian, dan tanpa menunggu tanggapan Pak Atsugi, aku segera menuju ke arah tembok dan mulai mengayunkan raket. Mungkin Pak Atsugi sadar kalau ia sudah melewatkan kesempatan untuk menanggapiku, karena itu beliau sama sekali tak mempersoalkannya.

Trik tersebut benar-benar ampuh...

Pernyataan, Tak enak badan serta Tak mau merepotkan yang lain, punya efek sinergi yang besar. Dan dengan memakai kalimat itu aku juga bisa bersikap santai seolah aku memang punya motivati untuk berusaha keras.

Begitulah. Ini tindakan pencegahan yang kudapatkan setelah melalui begitu banyak pelajaran Olahraga sewaktu disuruh berpasangan dengan siapa saja sesukanya. Mungkin kapan-kapan aku akan mengajari ini ke Zaimokuza... aku yakin anak itu akan senang dan menangis bahagia.

Kukejar bolanya dan kupukul kembali ke arah tembok, gerakan tersebut kulakukan berulang-ulang. Waktu berlalu seiring kulanjutkan kegiatan monoton itu.

Lalu kudengar sorakan riuh dari sekitarku sewaktu para anak lelaki lain sedang memainkan tenis yang tampak heboh itu.

"Uryoaah! Wuoh?! Itu pukulan yang hebat, 'kan?! Luar biasa, 'kan?!"

"Iya, hebat! Enggak ada yang bisa memukul kayak begitu! Keren!"

Sorakan tersebut jelas menandakan bahwa mereka sedang bersenang-senang selama sesi latihan bebas.

Berisik, mati saja sana... Pikirku sewaktu aku menoleh dan melihat Hayama.

Pasangan main Hayama - atau tepatnya, mereka yang sering terlihat berempat - terdiri dari dirinya sendiri, si rambut pirang yang begitu akrab dengannya di kelas, beserta dua anak lainnya yang tak begitu kukenal. Mungkin mereka dari kelas 3-C atau kelas 3-I atau kelas lainnya... pokoknya, bisa dibilang mereka memancarkan aura heboh selama bermain tenis.

"Wuaah!" Si rambut pirang itu tak bisa mengembalikan pukulan Hayama dan berteriak. Perhatian seluruh anak pun tertuju ke arahnya, penasaran tentang yang sedang terjadi.

"Hayama, yang tadi itu benar-benar hebat! Bolanya tadi melengkung, 'kan? Benaran melengkung, 'kan?!"

"Ah, kurasa tadi aku tak sengaja memilin bolanya... maaf, itu salahku."

Hayama mengangkat tangannya untuk meminta maaf, namun kata-katanya justru tenggelam oleh sikap berlebihan si rambut pirang sebelahnya.

"Gila?! Kau bisa memukul bola dengan teknik melengkung begitu?! Hayama memang hebat! Benar-benar hebat!"

"Hahaha... masa, sih?"

Hayama segera masuk ke dalam pembicaraan kemudian tertawa riang. Di saat yang sama, pasangan di sebelahnya juga ikut berkomentar.

"Hayama juga hebat bermain tenis, ya? Bola yang melengkung tadi... bisa ajari aku caranya, enggak?"

Anak yang bicara lalu mulai berjalan mendekati Hayama tadi punya rambut yang dicat cokelat, dan anehnya ia terlihat cukup kalem. Kami mungkin satu kelas. Aku juga tak tahu namanya, jadi itu tak begitu penting.

Dalam sekejap, kuartet Hayama tadi berubah menjadi sekstet.[5] Saat ini mereka adalah geng penguasa terbesar di pelajaran Olahraga... omong-omong, sekstet kok malah terdengar seperti sexaroid, ya? Ya, ya, ya... memang terdengar mesum...

Pokoknya, itulah alasan kenapa pelajaran tenis berubah menjadi Kerajaan Hayama. Rasanya seolah kita tak boleh mengikuti pelajaran jika bukan bagian dari kelompok mereka. Tentu saja, semua anak di luar kelompok Hayama jadi diam tak bersuara. Selamat tinggal, kebebasan berbicara...

Kegaduhan yang dibuat oleh kelompok Hayama memberi kesan begitu kuat, padahal Hayama sendiri tak begitu gaduh - justru orang-orang di sekitarnya yang bikin gaduh. Lebih tepatnya, si rambut pirang, yang secara sukarela menjadi kepala pelayan dari Kerajaan Hayama itulah yang paling gaduh.

"Melengkung!"

Ya, 'kan? Anak itu benar-benar gaduh.

Padahal bola yang dipukul si rambut pirang itu tak melengkung sama sekali, justru melayang jauh dari Hayama dan mengarah ke pojok lapangan yang gelap dan lembab. Dengan kata lain, bola itu melayang ke arahku.

"Ah, maaf, maaf! E-eng... hei, Hikitani, ya? Hikitani, bolanya lempar ke sini, dong."

Siapa itu Hikitani?

Tapi aku tak ingin membenarkan ucapannya, jadi kuambil saja bola yang menggelinding ke arahku itu kemudian kulemparkan padanya.

"Terima kasih, ya!"

Hayama tersenyum dan melambaikan tangannya padaku.

Aku menanggapinya dengan sedikit mengangguk.

...buat apa aku mengangguk?

Sepertinya naluriku menganggap bahwa Hayama berada lebih tinggi di atasku... bahkan dengan standarku ini, aku jadi benar-benar tunduk. Begitu tunduknya sampai-sampai membuatku berpikir bahwa aku sudah dipercundangi oleh seseorang...

Kukumpulkan semua perasaan suram ini dan kulampiaskan semuanya pada tembok.

Tembok adalah rekan terpenting dalam masa muda.

...bicara soal itu, aku masih penasaran kenapa istilah tembok berlapis sering ditujukan untuk payudara kecil?

Terdapat satu teori, yakni tembok berlapis tersebut adalah siluman tanuki, dan tembok itu sendiri adalah tanuki yang sedang membentangkan alat kelaminnya. Memangnya tembok macam apa itu? Hal yang barusan itu sebenarnya justru terdengar seperti benda empuk... jadi dengan kata lain, dan cukup paradoks, ketika kita mengejek seorang perempuan yang berpayudara kecil dengan sebutan tembok berlapis, maka secara tak langsung kita berkata kalau payudaranya itu cukup empuk. QED, jelas terlihat. Bodoh.[6]

Biarpun begitu, aku yakin Hayama tak pernah berpikir demikian. Teori di luar nalar tadi hanya bisa diciptakan oleh rasa sakit hatiku yang tak biasa ini.

Baiklah, anggap saja kami seri hari ini... yak, rasanya juga memang begitu.


— II —


Saat itu jam istirahat makan siang.

Aku memakan bekalku di tempat biasanya. Markasku ini bertempat di lantai satu paviliun, bersebelahan dengan ruang UKS dan terletak di pojok belakang kantin. Untuk lebih jelasnya, itu adalah posisi di mana aku bisa melihat langsung lapangan tenis.

Dengan santai kumakan wiener roll, onigiri isi tuna, dan Neapolitan roll yang kubeli dari kantin ini.

Dan rasanya begitu damai.

Di saat yang sama, suara permainan drum yang berirama hendak mengajakku masuk ke alam mimpi.

Para gadis dari Klub Tenis memulai latihan pribadinya di siang hari, itu sebabnya mereka berada di sisi luar dekat tembok; mereka memukul bolanya lalu dengan heroik mengejar untuk mengembalikannya, kemudian mereka memukulnya kembali.

Sambil memakan bekalku, mataku mengikuti pergerakan mereka. Di penghujung istirahat makan siang, kuhisap teh lemon dalam kemasan ini lewat sedotan, dan bisa kurasakan hembusan angin sedang membuai diriku.

Arah angin pun berubah.

Berubah-ubah seiring cuaca di hari-harinya, namun karena sekolah ini dekat dengan laut, arah angin biasanya berganti sekitar siang hari. Rasanya hampir seolah angin laut pagi hari sedang berhembus kembali ke arah asalnya.

Menghabiskan waktu sendirian begini, merasakan angin tersebut membelai diriku, rasanya tidak buruk-buruk amat.

"Eh? Hikki, ya?"

Angin yang sama ikut membawa suara yang tak asing ke telingaku. Saat aku menoleh, kulihat Yuigahama sudah berdiri sambil menggenggam roknya supaya tak tertiup angin.

"sedang apa di sini?"

"Aku biasa makan di sini."

"Eh, yang benar? Kenapa di sini? Bukannya lebih nyaman kalau makan di kelas?"

"..."

Yuigahama tampak benar-benar bingung, tapi aku hanya menanggapinya dengan diam. Kalau memang lebih nyaman di kelas, tak mungkin aku sampai makan di luar begini... dasar, kenapa ia tak peka begitu?

Kita ganti saja topiknya.

"Lebih penting lagi, kenapa kau ada di sini?"

"Oh, iya! Sebenarnya aku kalah main suten sama Yukinon, jadi... bisa dibilang ini hukumannya."

"jadi hukumannya bicara denganku...?"

Memilukan sekali... rasanya ingin mati saja.

"Bu-bukan, bukan! Yang kalah harus membeli jus! Cuma itu!"

Yuigahama buru-buru mengibaskan tangannya, berusaha menyangkal anggapanku. Baguslah; padahal aku sempat ingin bunuh diri tadi...

Yuigahama mengelus dadanya karena lega, kemudian mendudukkan dirinya di sebelahku.

"Awalnya Yukinon enggak mau. Aku bisa beli makan sendiri. Lagi pula, apa untungnya bagiku memenangkan permainan tak penting ini? Begitu katanya."

Untuk alasan tertentu, Yuigahama tampak berusaha meniru Yukinoshita. Sayangnya ia gagal.

"Yah, ia memang seperti itu."

"Betul, terus aku bilang, Jadi kau merasa kalau enggak bisa menang, ya? Habis itu ia setuju mau ikut."

"...yah, ia memang seperti itu."

Perempuan itu biasanya terlihat begitu kalem, namun beda cerita jika ada yang menantangnya, soalnya ia benci sekali kalah. Ia langsung setuju mengikutinya sama seperti waktu Bu Hiratsuka menantangnya dulu.

"Terus, waktu Yukinon menang, ia sedikit mengepalkan tangannya, lo... lucu banget, deh..."

Yuigahama lalu menghela napas senang.

"Kurasa ini pertama kalinya aku merasa begitu senang saat mengikuti permainan hukuman."

"Jadi kau sudah sering memainkannya?"

Saat aku menanyakan itu, Yuigahama mengangguk.

"Ya, sering beberapa kali..."

Mendengarkannya tiba-tiba membuatku teringat sesuatu. Di penghujung istirahat makan siang, selalu saja ada pojok ruangan konyol yang meributkan permainan suten...

"Cih, rupanya itu sudah jadi klub yang agak eksklusif bagimu."

"Kok reaksimu jelek begitu? Kau enggak suka, ya?"

"Ya jelas, lah. Aku benci orang-orang yang membuat kumpulannya sendiri lalu bercanda dengan sesamanya... ah, tapi aku suka perselisihan internal. Karena aku tak terlibat di dalamnya!"

"Alasanmu enggak hanya suram, tapi terdengar sangat rendahan!"

Berisik. Pergi saja sana...

Yuigahama lalu tersenyum sambil memegangi rambutnya, menjaganya agar tak tertiup angin. Ekspresi tadi tampak berbeda dengan yang biasanya ia perlihatkan sewaktu bersama Miura dan kawan-kawannya di kelas...

Ahh, begitu. Kalau tidak salah, ia tak mengenakan riasan yang berlebihan. Wajahnya jadi terlihat lebih alami. Mungkin perubahan tersebut baru saja ia lakukan, meski begitu, bukan berarti aku jadi punya kebiasaan memandangi wajah perempuan... ah, terserahlah.

Tapi itu adalah bukti kalau ia telah berubah, walaupun itu hanya sedikit.

Mungkin itu dikarenakan riasan yang tak berlebihan di wajahnya, tetapi... saat Yuigahama tersenyum, mata sayu dan wajah belianya itu jadi tampak semakin muda.

"Tapi masa, sih? Kupikir Hikki juga sudah terbiasa membuat kumpulan sendiri. Soalnya waktu di ruang klub, kau selalu tampak senang jika mengobrol dengan Yukinon. A-aku pun selalu merasa kalau aku enggak bakal bisa bergabung di perbincangan kalian..."

Sewaktu mengatakannya, Yuigahama merangkul kedua lututnya dan membenamkan wajahnya di sana. Ia lalu melirik ke arahku.

"Yah, mungkin karena aku ingin ikut bergabung juga... ta-tapi bukan dalam artian yang aneh-aneh lo, ya! Mak-maksudku, perbincangan yang juga melibatkan Yukinon! Mengerti, 'kan?!

"Jangan khawatir... aku bukan orang yang gampang salah paham kalau berurusan dengan orang sepertimu."

"Maksudmu itu apa?!"

Yuigahama lalu mengangkat kepalanya, tampak kalau ia kesal. "Ah, sabar, sabar, tenang dulu!" Kutahan dirinya dengan tanganku, kemudian berbicara.

"Yah, Yukinoshita itu lain cerita. Soalnya ia tak terelakkan."

"Maksudnya?"

"Hmm? Begini, tak terelakkan itu mengacu pada suatu wujud atau keadaan yang mustahil ditentang oleh kemampuan manusia. Maaf kalau aku memakai kata-kata sulit."

"Bukan! Aku sudah tahu artinya! Kau itu yang terlalu meremehkanku! Asal tahu saja, ya, aku mengikuti ujian penerimaan dan berhasil masuk ke SMA Soubu, sama sepertimu!"

Yuigahama lalu melayangkan chop-nya tepat ke tenggorokanku. Sempurna mengenai jakunku, hingga membuatku terbatuk. Kemudian Yuigahama menatapku sambil menjauh dan bertanya dengan nada serius.

"...hei, bicara soal ujian penerimaan... kau masih ingat hari pertamamu masuk SMA, enggak?"

"Uhuk uhuk uhuk! Eh...? Ah, aku tak begitu ingat, soalnya hari itu aku kecelakaan."

"Kecelakaan..."

"Iya. Saat hari pertamaku masuk SMA, aku berangkat sambil bersepeda, tahu-tahu ada anjing milik orang bodoh yang lepas berkeliaran. Anjing itu hampir mau dilindas mobil, jadi aku mengorbankan diri melindunginya... tentu saja, aksiku saat itu sangat keren dan heroik."

Mungkin ada yang sudah kulebih-lebihkan pada cerita itu, tapi tak mungkin juga ada orang lain yang tahu... sekalipun ada yang tahu, paling-paling juga tak ada yang mau membahasnya. Karena itu, di situasi begini ada baiknya bagiku untuk terlihat sedikit lebih keren.

Sewaktu ia mendengarnya, wajah Yuigahama menegang.

"Mi-milik orang bodoh, ya... jadi Hikki sama sekali enggak ingat wajahnya?"

"Karena saat itu aku kesakitan, makanya aku tak begitu ingat. Yah, yang jelas tak ada kesan yang begitu membekas di ingatanku, jadi kurasa ia orang yang biasa-biasa saja."

"[Biasa-biasa saja... ya-yah, waktu itu aku memang tak memakai riasan, sih... rambutku juga belum diwarnai, dan saat itu aku lagi memakai piyama sekenanya... oh, di piyama itu juga ada gambar beruang kecil, jadi aku mungkin agak kelihatan seperti orang bodoh waktu itu...]"

Suara Yuigahama begitu pelan sampai-sampai tak bisa kudengar — yang kulihat hanya gerak bibirnya yang menggumamkan sesuatu sambil menatap ke lantai. Apa perutnya itu sedang mual?

"Ada apa?"

"Enggak... enggak apa-apa, kok... benaran! Jadi Hikki memang enggak ingat sama perempuan itu, ya?!"

"Begitulah, seperti yang tadi kubilang, aku memang tidak ingat... eh, tunggu. Memangnya tadi aku ada bilang kalau itu perempuan?"

"Eh?! I-iya, tadi kau bilang begitu, kok! Benaran! Soalnya, dari tadi yang kaubahas, ...perempuan ini, perempuan itu, perempuan ini, perempuan itu!!"

"Memangnya aku semenjijikkan itu, ya...?"

Saat mengatakannya, Yuigahama hanya tertawa keras dan terdengar hampa, lalu dengan senyum yang masih tertinggal di wajahnya itu, ia memalingkan muka ke arah lapangan tenis. Spontan, aku pun ikut memalingkan muka.

Kurasa saat itu waktunya para gadis dari klub Tenis untuk menghentikan latihan mereka; mereka menyeka keringatnya lalu kembali ke kelas.

"Hei! Sai~~!"

Yuigahama memanggil sambil melambaikan tangan. Tampaknya ia sedang menegur seseorang yang dikenalnya.

Perempuan itu melihat Yuigahama lalu berlari kecil menghampiri kami.

YahariLoveCom v1-207.png

"Wah, lagi latihan, ya?"

"Iya. Saat ini tim kami benar-benar lemah, karena itu kami harus berlatih saat istirahat makan siang... kami sudah berulang kali meminta izin dari pihak sekolah supaya bisa menggunakan lapangan ketika istirahat, untunglah mereka akhirnya memperbolehkannya. Oh, iya. Yuigahama dan Hikigaya sedang apa di sini?"

"Ahh, bukan apa-apa..."

Ujar Yuigahama sambil menoleh ke arahku seolah meminta pembenaran. Yah, aku juga sudah selesai makan, dan urusannya sendiri juga sudah mau selesai, 'kan? Apa kemampuan fokusnya itu memang seperti burung...

"Oh, begitu." Perempuan itu, Sai atau siapalah namanya, tersenyum pada kami.

"Sai, kau enggak hanya bermain tenis saat pelajaran Olahraga, tapi saat istirahat makan siang juga... rasanya pasti berat."

"Iya, tapi aku juga memang mau, kok, jadi tidak masalah... oh, iya, Hikigaya, ternyata kau cukup hebat bermain tenis, ya."

Mengejutkan, ia mengubah arah pembicaraannya kepadaku, makanya aku langsung terdiam. Pertama kalinya aku mendengar yang seperti ini. Lagi pula, siapa sebenarnya anak ini? Kenapa ia bisa tahu namaku?

"Ohh...?" Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padanya, namun sebelum aku sempat, Yuigahama sudah memotong duluan, seolah terkesan.

"Masa, sih?"

"Iya, waktu ia bermain, form-nya benar-benar bagus."

"Ahh, kau membuatku malu, ha ha ha... [anak ini siapa, ya?]"

Kalimat terakhir tadi kuucapkan dengan sedikit berbisik agar hanya Yuigahama saja yang bisa mendengarnya, namun ia justru membuat usahaku jadi tak ada artinya.

"Haaahh?! Kau itu satu kelas dengannya, lo! Bahkan kau sama-sama dengannya di pelajaran Olahraga! Kok bisa enggak tahu, sih?! Keterlaluan banget!"

"Dasar bodoh, tentu saja aku tahu! Tadi aku hanya lupa! ...soalnya laki-laki dan perempuan dipisah saat pelajaran Olahraga!"

Aku sudah berusaha untuk lebih peka, dan ia benar-benar menghancurkan usahaku... kini semua orang di dunia bakal tahu kalau aku tak tahu nama perempuan ini. Dan mungkin kini ia sedang dalam suasana hati yang buruk...

Sewaktu memikirkan itu, aku memandang ke arah Sai dan melihat matanya sudah berkaca-kaca... sial, ini gawat. Kalau diibaratkan anjing, ia mirip seperti chihuahua, dan ibarat kucing, ia mirip seperti munchkin... tampangnya sendu sekali dan itu menggemaskan.

"A-ahaha. Kurasa kau memang tak ingat namaku... aku Saika Totsuka. Kita ada di kelas yang sama."

"A-ah, maaf kalau begitu. Soalnya kita baru saja naik kelas dua, jadi aku agak sulit mengenali murid lain... haha."

"Kita juga sekelas waktu kelas satu, kok... ehehe, mungkin keberadaanku tak begitu mencolok..."

"Bukan, bukan begitu... oh, aku mengerti! Itu karena aku jarang sekali bergaul dengan perempuan di kelas kita! Asal tahu saja, aku pun masih tak tahu nama lengkap perempuan yang ada di sebelahku ini!"

"Sudah, ingat-ingat saja sana!"

Yuigahama lalu memukul kepalaku, tapi itu malah membuat Totsuka bergumam sambil menyeringai.

"Kau pasti sudah berteman baik dengan Yuigahama..."

"E-ehh?! Sa-sama sekali enggak, kok! Yang ada, aku malah ingin membunuh anak ini! Kubunuh Hikki terlebih dahulu lalu gantian aku yang menyusul... ya, semacam itulah!"

"Ya, begitulah! ...omong-omong, yang tadi itu mengerikan! Kau benar-benar mengerikan! Memangnya kita pasangan bunuh diri, apa?! Amit-amit, deh!"

"Hah?! Ka-kau ini benaran bodoh, ya?! Bukan seperti itu maksudku!"

"Kalian berdua benar-benar akrab, ya..."

Kata Totsuka dengan nada memelas, yang kali ini memandang ke arahku.

"Omong-omong, aku ini laki-laki... apa menurutmu aku kelihatan selemah itu?"

"Eh?"

Pikiran dan tubuhku seketika itu juga terhenti. Aku segera menoleh ke arah Yuigahama. Itu bohong, 'kan? Tatap mataku menanyakan itu. Namun Yuigahama, yang masih kesal dan tampak merah pipinya itu, hanya memberi anggukan tegas kepadaku.

Tunggu... serius, nih? Mustahil. Itu pasti cuma lelucon.

Totsuka melihat tatapan penuh keraguanku dan wajahnya mulai memerah. Ia menundukkan kepalanya, lalu menatapku sambil menengadah.

Tangan Totsuka perlahan bergerak turun ke celana pendeknya. Pergerakan kecil itu sudah cukup untuk memikatku.

"...kalau kau mau, aku bisa menunjukkan buktinya."

Aku merasa sesuatu di dalam hatiku ini tersentak.

Iblis kecil Hachiman lalu muncul di bahu kananku. "Wuoh, mantap, lanjutkan saja, terus lihat baik-baik — siapa tahu kau beruntung, ya 'kan?" Yah, ada benarnya juga, sih... lagi pula, ini kesempatan yang sangat langka. "Tunggu sebentar!" Ahh, kali ini malaikat Hachiman yang muncul. "Selagi sempat, kenapa tak kauminta ia melepas bajunya dulu?" Apa-apaan itu... malaikat hina macam apa yang bisa bicara seperti itu?

Akhirnya, aku memilih untuk mendengarkan akal sehatku sendiri.

Benar, dengan karakter androgini semacam ini, seluruh daya tarik yang bersemayam dalam jenis kelamin mereka terasa begitu ambigu! Dan pada kesimpulan logis ini, aku pun mampu menenangkan diri dan melanjutkan dengan kepala dingin.

"Pokoknya... aku minta maaf. Aku sama sekali tidak tahu, biarpun begitu, aku sungguh minta maaf jika sudah membuatmu tak nyaman."

Saat Totsuka mendengarnya, ia lalu mengusap air mata yang sudah bermuara di matanya itu dan tersenyum padaku.

"Ah, tidak apa-apa."

"Tapi, Totsuka... aku terkejut kau bisa tahu namaku."

"Eh, ahh... yah, soalnya Hikigaya tampak mencolok kalau di kelas."

Setelah Totsuka mengatakannya, Yuigahama lalu memandang ke araku.

"Maaasa? Tapi tampangnya biasa-biasa saja... bahkan butuh usaha lebih supaya bisa menyadari keberadaan anak ini."

"Dasar bodoh, tentu saja aku mencolok! Sama mencoloknya seperti bintang-bintang yang bersinar di malam hari!"

"Kok bisa?"

Wah, ia kini menanggapiku tanpa melepas pandangannya padaku.

"...ya-yah, ketika seseorang duduk di pojok ruang kelas lalu berbicara sendiri, bukankah itu akan membuatnya sedikit mencolok...?"

"Ah, jadi itu maksudnya menco—... ahh, eng... maaf sudah bertanya..."

Yuigahama lalu mengalihkan pandangannya dariku. Sikap yang seperti itu yang bisa membuatku jadi murung...

Suasana pun kembali menengang, karena itu Totsuka memilih untuk mengalihkannya.

"Tapi Hikigaya memang hebat bermain tenis, kok. Kau sudah sering memainkannya, ya?"

"Yah, aku pernah beberapa kali memainkan game Mario Tennis waktu SD dulu, tapi untuk tenis yang asli, aku belum pernah."

"Oh, yang dimainkan bareng-bareng itu, 'kan? Aku juga pernah main, lo. Bermain ganda menyenangkan banget, deh~~"

"...aku hanya bermain seorang diri."

"Eh? ...ah. Eng... maaf."

"Apa-apaan itu, memangnya kau itu penyapu ranjau pikiran, apa? Apa kerjamu itu cuma menggali kepingan-kepingan trauma yang kupunya saja, hah?"

"Hikki sendiri yang terlalu banyak menyimpan ranjau!"

Totsuka yang berdiri di samping kami, tampak begitu senang menyaksikan perdebatanku dengan Yuigahama.

Dan begitulah, bel yang menandakan berakhirnya istirahat makan siang pun berbunyi.

"Ayo balik."

Ucap Totsuka, dan Yuigahama pun mengikuti di belakangnya.

Kupandangi mereka dari belakang dan tiba-tiba aku merasa sedikit aneh.

Oh, iya... mereka itu satu kelas, wajar saja kalau pergi bareng... tanpa sadar aku jadi terikut mereka.

"Lo, Hikki? Kau sedang apa?"

Yuigahama menoleh ke arahku sambil kebingungan. Totsuka pun menghentikan langkahnya lalu menghadap ke arahku.

Bukan hal aneh kalau aku pergi bareng mereka, 'kan? Hampir saja kutanyakan hal itu, namun kuhentikan.

Yang ada, aku malah bertanya.

"Terus, bagaimana dengan jus yang mau kaubeli tadi?"

"Eh? ...ahhh!!"


— II —


Beberapa hari setelahnya, aku kembali mengikuti pelajaran Olahraga.

Karena sudah berulang kali melakukan sesi latihan dengan tembok, aku pun menjadi ahli dalam memukul bola tenis ke tembok. Pada titik ini, aku bisa memainkan reli dengan tembok tanpa perlu melangkah ke mana-mana.

Seusai pelajaran esok nanti, kami akan mulai mengadakan beberapa pertandingan tenis. Dengan kata lain, hari ini adalah terakhir kalinya aku bisa berlatih tenis dengan reli saja.

Ini memang benar-benar latihan reli terakhirku, jadi kupikir aku akan melakukannya dengan sungguh-sungguh, tapi kemudian, aku merasa ada yang mencolek bahu kananku.

Apa mungkin ada seekor peri di belakangku? Lagi pula, tak ada yang mau bicara denganku, jadi ini pasti semacam fenomena supernatural.

Aku menoleh, ketika kurasakan sebuah jari mencolek pipi kananku.

"Ahaha, kena, deh~"

Ternyata itu Saika Totsuka yang sedang tersenyum manis kepadaku.

Uuh, perasaan apa ini...? Hatiku berdegup kencang. Andai ia bukan lelaki, mungkin aku sudah mengajaknya pacaran dan ditolak saat itu juga. Waduh, jadi aku sudah mengira kalau bakal ditolak, nih?

Soalnya, saat melihat Totsuka mengenakan seragam biasa, rasanya tak ada yang istimewa seperti lelaki kebanyakan, namun sewaktu ia mengenakan seragam olahraga, yang tak ada bedanya biar lelaki maupun perempuan, jenis kelamin yang dimilikinya begitu meragukan. Kalau saja kaos kakinya berwarna hitam dan dilipat lebih tinggi di atas pergelangan kakinya, keraguan itu pasti akan sirna.

Lengan, kaki, dan pinggangnya begitu ramping, dan kulitnya putih langsat.

Yah, memang benar kalau ia tak punya payudara yang besar, tapi tak berarti Yukinoshita juga punya.

Entah kenapa, aku merasa bulu kudukku merinding.

Setelah agak mereda, aku lalu bicara pada Totsuka yang sudah berdiri sambil tersenyum di sana.

"Ada perlu apa?"

"Ah. Begini, anak yang biasanya kuajak berpasangan hari ini tak masuk sekolah. Jadi, eng... kalau boleh, mau tidak kau jadi partnerku?"

Sial, harusnya ia jangan melihat sambil menengadah begitu. Ia jadi kelihatan begitu manis. Arghh, kenapa ia sampai tersipu segala?

"Ahh, boleh. Lagi pula, aku juga sedang tak punya pasangan."

Maaf, Tembok. Hari ini aku tak bisa main denganmu...

Setelah meminta maaf pada tembok dan beralih ke Totsuka, ia lalu tampak lega. "Fiuh... syukurlah!" Gumamnya.

Sial, mendengarnya malah membuatku gugup. Dirinya terlihat benar-benar manis.

Menurut cerita Yuigahama, karena penampilan Totsuka yang seperti itu, beberapa perempuan di sekolah kami mulai menjulukinya Sang Pangeran. Oh, jika melihat Totsuka sebagai lelaki manis yang punya sisi feminin, nama itu memang sangat cocok. Ditambah, julukan Sang Pangeran juga membuat kita ingin melindunginya.

Begitulah, latihan bebasku dengan Totsuka pun dimulai.

Totsuka merupakan bagian dari Klub Tenis, jadi tak mengejutkan kalau permainannya bagus.

Ia bisa menangani servis yang telah kukuasai sewaktu sesi memukul bola ke tembok, dan mengembalikannya ke arahku.

Seusai kami mengulang gerakan itu berkali-kali, Totsuka mulai membuka pembicaraan, seakan ia hampir mulai merasa bosan.

"Sudah kuduga, Hikigaya cukup hebat."

Karena jarak kami agak jauh, Totsuka mengatakannya dengan perlahan.

"Aku sangat hebat soal memukul bola ke tembok, jadi menguasai tenis itu perkara mudah."

"Itu skuas, bukan tenis..."

Dengan perlahan, sambil saling melempar kalimat, Totsuka dan aku lanjut bergantian memukul bola. Walau anak lain di sekitar kami gagal memukul maupun mengembalikan bola mereka, namun reli panjang kami tetap berlanjut.

Kemudian, reli kami pun berhenti. Totsuka menangkap bola yang melambung ke arahnya.

"Ayo istirahat dulu."

"Ayo."

Kami lalu duduk bareng. Kenapa ia harus duduk di sampingku? Rasanya agak aneh, 'kan? Ketika ada dua anak lelaki duduk bareng, bukankah lebih normal jika mereka duduk saling berhadapan atau saling bersilangan? Bukankah ia duduk terlalu dekat? Bukankah sudah terlalu dekat?

"Begini... aku ingin meminta saran darimu, Hikigaya..."

Ujar Totsuka dengan tampang serius.

Begitu rupanya. Kalau ia ingin diam-diam meminta saran dariku, maka kurasa kami memang harus sedekat ini. Itu sebabnya ia duduk begitu dekat denganku, ya 'kan?

"Saran, ya...?"

"Iya. Ini sebenarnya tentang Klub Tenis kami... kau tahu, 'kan? Kami memang tak begitu hebat. Kami juga tak punya banyak anggota. Dan jika para anak kelas tiga lulus pada turnamen berikutnya, kami akan jadi lebih lemah. Ada banyak murid baru yang bergabung namun mereka belum pernah bermain tenis sebelumnya, jadi mereka masih belum terbiasa... dan karena kami begitu lemah, motivasi kami pun berkurang. Maksudku, Maksudku, bukan berarti orang-orang perlu bersaing dalam olahraga yang dimainkannya, jadi..."

"Begitu."

Itu masuk di akal. Sebenarnya, itu mirip seperti masalah yang biasa dihadapi oleh tim olahraga kecil dan lemah.

Kalau tim kita tak begitu hebat, orang-orang takkan bergabung. Dan kalau tak banyak orang di dalamnya, maka takkan ada yang mau bersaing untuk posisi inti.

Bahkan andai kita izin atau bolos saat latihan, kita masih bisa bermain saat turnamen. Dan selama kita masih dimainkan dalam pertandingan, kita akan merasa bahwa kita sudah cukup berkontribusi. Tentunya ada banyak orang yang sudah merasa puas dengan hal demikian meski mereka tak memenangkan pertandingan apa pun.

Pemain-pemain yang seperti itu takkan bisa berkembang. Dan karena hal tersebut, timnya tak punya harapan untuk menarik perhatian pemain-pemain baru. Dan itu akan terus berlanjut seperti lingkaran setan.

"Jadi... jika Hikigaya tak keberatan, maukah kau bergabung ke Klub Tenis?"

"...hah?"

Apa maksudnya itu...?

Totsuka melihat rasa bingung yang tampak di mataku ini, dan ia terlihat berkecil hati sewaktu merangkul lututnya. Ia sesekali melirik ke arahku dengan tatapan memohon.

"Hikigaya hebat bermain tenis, dan menurutku kau bisa berkembang lebih baik lagi. Bahkan kurasa kau bisa memotivasi yang lainnya juga. Dan... kalau bersamamu, Hikigaya, kurasa aku juga bisa berusaha lebih keras lagi. E-eng... bukan dalam artian yang aneh-aneh! Hanya saja, aku ingin lebih hebat lagi bermain tenis!"

"Tak masalah kalau kau lemah... aku akan melindungimu."

"...apa?"

"Ah, maaf. Cuma asal bicara."

Melihat kepolosan Totsuka malah membuatku mengatakan hal-hal tak jelas, padahal harusnya aku bersikap serius tadi. Tapi mau bagaimana lagi, dirinya begitu manis. Saking manisnya sampai-sampai aku hampir setuju untuk bergabung ke klubnya. Aku hampir mengangkat tanganku layaknya orang yang hendak bertarung demi memperebutkan potongan kue terakhir di kantin.

Namun tak peduli seberapa manisnya Totsuka, ada permintaan yang tak mungkin bisa kupenuhi.

"...maaf. Sepertinya aku tak bisa..."

Aku kenal baik siapa diriku.

Aku tak merasa akan bisa pergi ke klub setiap harinya, dan aku tak yakin bakal mau melakukan aktifitas fisik di setiap paginya. Satu-satunya yang mau melakukan hal tersebut hanyalah para manula yang melakukan tai chi di taman. Lagi pula, ucapan, Aku sudah tak sanggup, nih~~... telah menjadi moto favoritku. Walau terdengar seperti meniru Korosuke, yang merupakan karakter dari seri Kiteretsu, namun yang kutekankan di sini adalah kalau ujung-ujungnya aku juga bakal keluar dari klub itu. Bahkan saat pertama kalinya aku bekerja paruh waktu, aku justru mangkir selama tiga hari.

Jika orang sepertiku bergabung dalam Klub Tenis, aku yakin kelak bakal membuat Totsuka lebih depresi lagi.

"...begitu..."

Totsuka tampak kecewa. Di sisi lain, aku sedang berusaha menemukan kata-kata yang tepat untuk menghadapi situasi macam ini.

"Eng, yah... tak perlu cemas. Aku akan memikirkan cara lain."

Padahal aku tak bisa berbuat apa-apa.

"Terima kasih. Aku jadi merasa sedikit lebih baik setelah bicara denganmu, Hikigaya."

Totsuka lalu tersenyum padaku, tapi aku tahu kalau rasa tenang di pikirannya itu hanyalah sementara. Di saat bersamaan, sebagian diriku juga merasakan hal yang sama, meski itu cuma sementara, jika Totsuka merasa tenang, pada hakikatnya hal tersebut cukuplah bermakna.


— II —


"Mustahil."

Itulah hal pertama yang Yukinoshita ucapkan padaku.

"Mustahil, kaubilang... tapi, eng—"

"Sekali mustahil ya mustahil."

Dan sekali lagi aku ditolak dengan dinginnya.

Ini semua bermula saat aku menceritakan soal Totsuka dan meminta saran pada Yukinoshita.

Rencanaku adalah mengarahkan pembicaraan ke arah pengunduran diriku dari Klub Layanan Sosial, lalu mengumumkan niatku untuk bergabung ke Klub Tenis. Setelahnya, sedikit demi sedikit, aku akan menghilang secara perlahan dari klub itu. Tapi rencana itu kini benar-benar terhalang.

"Soalnya aku melihat sendiri keadaan Totsuka saat ia mengajakku bergabung ke Klub Tenis. Singkat kata, aku harus mengintimidasi mereka agar lebih giat lagi. Pada akhirnya, jika ada orang baru yang bergabung ke klub tersebut, bukankah akan ada perubahan?"

"Apa pikirmu kau bisa bertahan dalam pengaturan kelompok macam itu? Apa kaupikir mereka akan menerima begitu saja makhluk sepertimu itu?"

"Uguu..."

Memang benar. Keluar dari klub juga bukan perkara besar, namun jika melihat orang-orang bermalasan sewaktu kegiatan klub dan bersenang-senang sendiri, mungkin aku akan menghajar mereka dengan raketku.

Yukinoshita lalu tertawa kecil yang seolah terdengar seperti desahan.

"Kau benar-benar tak paham apa artinya berada dalam kelompok, ya? Benar-benar ahli menyendiri."

"Sudah, berhenti berkata begitu."

Yukinoshita benar-benar mengabaikan tanggapanku dan lanjut berbicara.

"Kuakui mereka mungkin akan bersatu apabila dihadapkan dengan musuh rendahan macam dirimu. Tapi mereka hanya akan berbuat hal-hal yang sekiranya diperlukan saja demi membuangmu, dan itu tak ada pengaruhnya terhadap perkembangan diri mereka. Jadi itu sama sekali bulan solusi. Aku ini buktinya."

"Begitu... eh, kau buktinya?"

"Ya. Aku kembali dari luar negeri saat masih SMP, jadi tentu saja aku mulai bersekolah di tempat yang baru, namun semua anak perempuan di kelasku... tepatnya, semua anak perempuan di sekolahku begitu ingin menyingkirkanku. Tapi tak satu pun dari mereka berusaha menjadi lebih baik supaya bisa mengalahkanku... anak-anak bodoh itu..."

Aku bersumpah telah melihat api hitam berkobar di belakang Yukinoshita.

Sial, rasanya aku baru saja menginjak ranjau di sini...

"Ya-yah, kurasa itu masuk akal. Maksudku, saat hal tersebut menimpa perempuan semanis dirimu, tak heran kalau kejadian seperti itu bakal terjadi..."

"...ya-yah, itu benar. Dibandingkan anak perempuan lainnya, tak berlebihan kalau menganggap penampilanku jauh lebih baik dari mereka, dan itu bukan berarti kalau anak perempuan lain tak punya nyali hingga pasrah dan menyerah terhadap hal tersebut, jadi bisa dikatakan kalau itu hal yang wajar. Meski begitu, sebenarnya Yamashita dan Shimamura juga punya wajah yang manis. Mereka pun cukup populer di kalangan anak lelaki. Tapi anak seperti mereka hanya mengandalkan wajah. Jika dihadapkan pada hal akademis, kemampuan olahraga, sisi seni, bahkan etika dan kerohanian, mereka pun tak sampai menjangkau lebih dari mata kakiku. Dan jika dengan memutarbalikkan dunia saja masih belum cukup untuk mengalahkanku, takkan aneh kalau mereka lebih fokus berusaha untuk menjegal kakiku dan menjatuhkanku..."

Yukino sejenak tampak kehilangan kata-kata, namun ia segera kembali ke ritme lamanya dan berturut-turut melontarkan pernyataan angkuh nan menyombongkan diri. Ucapannya tadi memang bisa dikatakan lancar bagai sungai yang mengalir, namun yang kudengar itu justru seperti derasnya arus air terjun Niagara. Aku benar-benar terkesan ia bisa mengatakan itu semua tanpa sedikit pun kehilangan tempo.

Apa mungkin ini cara Yukinoshita menyembunyikan rasa malunya? Tak menutup kemungkinan kalau ia juga punya sisi manis...

Yukinoshita lalu sedikit menarik napas, mungkin itu karena ia terlalu lama berbicara. Wajahnya juga agak memerah.

"...bisakah kau berhenti membahas hal-hal aneh? Aku jadi gemetar begini."

"Ahh, syukurlah. Sudah kuduga, kau memang tak ada manis-manisnya."

Jujur, sebenarnya Totsuka terlihat lebih manis dibanding beberapa gadis yang pernah kukenal... ya ampun.

Oh, iya. Kami seharusnya membahas soal Totsuka di sini.

"Tapi pasti akan bagus bagi Totsuka jika ada yang bisa dilakukan untuk membuat Klub Tenisnya biar jadi lebih baik lagi..."

Yukinoshita lalu membelalakkan mata dan menatapku saat mendengar pernyataan itu.

"Tumben sekali... sejak kapan kau jadi tipe orang yang peduli sesama?"

"Ayolah. Ini pertama kalinya ada seseorang yang meminta saran padaku..."

Ternyata diminta tolong bisa membuatku bahagia begini. Ditambah, Totsuka memang manis... tanpa sadar bibirku menyimpulkan sebuah senyuman. Yukinoshita langsung memotong, seakan ia ingin menghentikan senyumku itu.

"Dulu aku sering sekali dimintai saran mengenai hal asmara."

Ucapnya sambil membusungkan dada, tapi ekspresinya berangsur-angsur berubah kelam.

"...pada kenyataannya, ketika berurusan dengan masalah perempuan maupun soal asmara, biasanya itu tak lebih dari sekadar tindakan pencegahan."

"Hah? Maksudmu?"

"Jika aku memberi tahu siapa yang aku sukai, maka orang di sekitarku akan mulai berhati-hati, 'kan? Itu seperti menandai wilayah kekuasaan. Sekali kau sudah mengetahuinya dan mencoba masuk ke dalam wilayah tersebut, maka kau akan diperlakukan seperti pencuri dan diasingkan dari kelompok. Bahkan jika kau yang menerima pernyataan cintanya, kau tetap akan diasingkan. Apa aku masih perlu menjelaskan lebih detail lagi...?"

Sekali lagi kulihat api hitam berkobar di belakang Yukinoshita. Padahal setelah ia berkata tentang masalah perempuan maupun soal asmara, aku sempat mengharap sebuah cerita tetang pahit manis kehidupan, namun yang terdengar dari dirinya hanyalah sebuah kekesalan.

Kenapa ia sampai harus menghancurkan impian anak yang meminta saranku ini? Apa itu cuma untuk kesenangannya semata?

Seolah ingin berusaha menghapus kenangan buruknya, Yukinoshita tiba-tiba tertawa sinis.

"singkatnya, jangan langsung menganggap kalau mendengarkan permintaan orang-orang dan mencoba membantunya adalah hal yang baik. Karena ada pepatah, Bahkan singa pun membuang anak-anaknya ke jurang yang dalam lalu membunuh mereka."

"Membunuh mereka malah menyia-nyiakan tujuannya..."

Lagi pula, pepatah yang benar harusnya, Bahkan saat memburu anak-anaknya, singa pun harus mengerahkan seluruh tenaganya.

"Kalau itu kau, apa yang akan kaulakukan?"

"Maksudmu, aku?"

Yukinoshita yang bingung, beberapa kali mengedipkan matanya, lalu termenung.

"Kurasa, aku akan menyuruh mereka berlari sampai mati, menyuruh mereka latihan mengayun raket sampai mati, lalu menyuruh mereka berlatih tanding sampai mati."

Ujarnya sambil sedikit tersenyum. Sungguh, itu sangat mengerikan.

Aku pun sempat terhenyak saat kudengar suara bantingan pintu yang dibuka

"Heyoo~~!!"

Berbeda sekali dengan yang ditampakkan Yukinoshita, Yuigahama justru datang dengan salam riang nan konyol itu.

Seperti biasanya, Yuigahama menunjukkan seringai bodohnya dan terlihat tak peduli dengan sekitar.

Tetapi, di belakang Yuigahama tampak ada seseorang dengan ekspresi tak berdaya pada wajahnya.

Tatapan yang tertuju ke bawah itu tak menyiratkan kepercayaan diri sewaktu ia dengan lemah mencengkeram blazer Yuigahama. Kulitnya tampak putih pucat. Mengingatkanku pada sebuah mimpi samar, sesuatu yang akan menghilang sesaat kita menatap cahaya dari bawah.

"Ah... Hikigaya!"

Ia tersenyum senang saat melihatku, lalu rona wajahnya tampak kembali pucat. Sewaktu ia tersenyum tadi, akhirnya aku sadar siapa dirinya. Kenapa ia terlihat murung begitu...?

"Totsuka..."

Perlahan ia melangkah kecil ke arahku, dan kali ini ia mencengkeram erat lengan bajuku. Waduh, itu tidak boleh... walaupun aku tahu kalau ia lelaki.

"Hikigaya, sedang apa di sini?"

"Oh, aku anggota klub ini... kau sendiri sedang apa di sini?"

"Hari ini aku bawa pengunjung baru, lo, fufu~~"

Payudara Yuigahama yang boros itu bergerak naik turun saat ia dengan bangganya menjawab. Padahal aku tak bertanya pada dirinya. Aku hanya ingin mendengar jawaban dari bibir menggemaskan milik Totsuka itu saja...

"Ayolah. Aku juga anggota klub ini, 'kan? Anggap saja ini balas budi. Lagi pula, Sai kelihatan sedang banyak pikiran, makanya aku bawa ia kemari."

"Yuigahama."

"Yukinon, kau enggak perlu berterima kasih padaku. Inilah yang bisa kulakukan sebagai anggota klub."

"Yuigahama, sebenarnya kau bukan anggota klub..."

"Bukan?!"

Bukan?! Mengejutkan sekali... kupikir sudah cukup jelas kalau perlahan-lahan ia akan jadi bagian dari klub ini.

"Benar. Kau tak pernah menyerahkan surat pengajuan diri, dan guru pembimbing kami belum mengakui keanggotaanmu, jadi kau bukanlah anggota klub."

Yuigahama jadi kaku saat dihadapkan pada peraturan itu.

"Akan kutulis! Kalau memang perlu surat pengajuan diri, akan kutulis sebanyak apa pun! Yang penting aku jadi anggota klub ini!"

Air mata Yuigahama berlinang sewaktu ia mengambil selembar kertas dan mulai menulis, surat pengajuan diri... walah, harusnya itu ditulis pakai huruf kapital.

"Jadi, Saika Totsuka... benar? Apa yang bisa kami lakukan untukmu?"

Dengan tergesa Yuigahama menulis surat pengajuan dirinya, namun Yukinoshita mengabaikannya dan beralih ke Totsuka. Totsuka mulai gemetaran sesaat Yukinoshita menusuk dengan tatapan dinginnya.

"E-eng... aku ingin... membuat Klub Tenis... menjadi lebih baik lagi..."

Awalnya pandangan Totsuka tertuju ke Yukinoshita, tapi seiring kalimat yang perlahan diucapkannya, ia mulai memandang ke arahku. Totsuka lebih pendek daripada diriku, makanya ia menengadah ke arahku seakan ingin berusaha mengira-ngira reaksiku.

Kuharap ia berhenti memandangiku... hatiku jadi berdebar begini, kenapa ia tak memandang yang lainnya saja?

Baru saja aku memikirkannya, walau aku yakin itu bukan untuk membantuku, tapi Yukinoshita menanggapinya menggantikanku.

"Aku tak tahu apa yang sudah Yuigahama katakan padamu, tapi Klub Layanan Sosial tak begitu saja mengabulkan keinginanmu. Tugas kami di sini hanya membantu dan mendorong kemandirian. Entah apa Klub Tenis akan jadi lebih baik atau tidak, itu semua tergantung padamu."

"Oh... begitu..."

Totsuka tampak benar-benar kecewa, bahunya pun terturun. Pasti Yuigahama berbicara yang muluk-muluk padanya.

"Stempel, stempel..."[7] Gumam Yuigahama sambil menggeledah isi tasnya. Kuperhatikan dirinya, dan sewaktu ia mulai merasa sedang diperhatikan, ia menengadah.

"Eh? Ada apa?"

"Memangnya apa lagi... kau sudah menjanjikan hal yang muluk-muluk padanya, kami pun jadi harus memupuskan harapan dan impian anak ini."

Yukinoshita melontarkan kata-kata pedas pada Yuigahama. Meski begitu, Yuigahama hanya memiringkan kepalanya karena kebingungan.

"Hm? Hmmm? Soalnya, kupikir Yukinon dan Hikki pasti akan berbuat sesuatu. Betul, 'kan?"

Ujar Yuigahama dengan nada tak peduli. Terlepas dari bagaimana kita menanggapi pernyataannya, itu hampir terdengar seperti sebuah tantangan yang menyindir.

Sayangnya, di sini ada seseorang yang bisa dengan mudah terpancing oleh tantangan itu.

"...hemh, kurasa kau ada benarnya, Yuigahama. Entah anak yang di sana itu bisa berbuat banyak atau tidak, tapi tak kusangka kau akan mengujiku seperti itu."

Yukinoshita tertawa. Ahh, tampaknya ada tombol aneh yang baru saja terpencet dalam dirinya... Yukino Yukinsoshita memang tipe orang yang mau menerima semua tantangan dan berusaha sekuat tenaga untuk memenangkannya. Gilanya lagi, bahkan ia akan membabat habis musuhnya meski tidak sedang terprovokasi. Ia orang yang takkan segan menghabisi orang yang cinta damai bak Gandhi seperti diriku ini.

"Baiklah, Totsuka. Akan kuterima permintaanmu. Jadi yang mesti kulakukan di sini adalah meningkatkan kemampuanmu dalam bermain tenis, benar begitu?"

"I-iya, benar. Ka-kalau aku bisa bermain lebih baik, kurasa teman-teman di klub juga akan berusaha lebih keras lagi."

Mungkin karena tekanan yang dirasakannya lewat tatapan Yukinoshita, makanya Totsuka menjawab sambil berlindung di belakangku. Wajahnya sedikit mengintip dari atas bahuku, dan kulihat ketakutan serta kegelisahan pada matanya. Rasanya hampir seperti melihat kelinci liar yang sedang gemetaran... dan itu malah membuatku ingin memakaikan kostum bunny girl padanya.

Itu benar, saat memohon bantuan pada sang ratu es, sudah sewajarnya kita merasa takut. Hampir bisa kubayangkan Yukinoshita berkata, Aku akan buat dirimu menjadi kuat, sebagai gantinya akan kuambil nyawamu. Atau ucapan semacamnya. Memangnya ia itu penyihir apa?

Bermaksud untuk meringankan kegelisahan Totsuka, aku memberanikan diri untuk melindunginya.

Saat jarakku kian dekat dengan Totsuka, bisa kucium aroma sampo dan deodoran. Wangi tubuhnya sangat mirip dengan perempuan SMA kebanyakan. Sampo jenis apa yang sebenarnya ia gunakan?

"Tak masalah kalau mau bantu, tapi apa yang akan kita lakukan?"

"Bukankah tadi sudah kujelaskan? Kalau tak yakin dengan daya ingatmu, harusnya tadi kau mencatatnya."

"Tunggu, jangan bilang kalau yang tadi itu serius..."

Aku jadi teringat lagi saat Yukinoshita membicarakan soal memaksa orang-orang supaya bekerja sampai mati. Ketika kulihat ia tersenyum balik kepadaku... rasanya seolah ia bisa membaca pikiranku. Sial, senyumnya itu membuatku takut...

Kulit putih Totsuka semakin memucat dan dirinya mulai gemetaran.

"Apa aku... akan mati...?"

"Tenang saja. Aku akan melindungimu."

Tegasku sambil menepuk bahu Totsuka. Ia pun jadi tersipu dan memandang manja setelah aku berbuat begitu.

"Hikigaya... apa kau sungguh-sungguh?"

"Ah, maaf... aku cuma ingin mengatakannya saja."

Aku akan melindungimu, ada di peringkat tiga besar pada daftar Kalimat yang Ingin Diucapkan para anak lelaki. (Sekadar info, peringkat pertamanya adalah, Serahkan padaku... kau duluan saja.) Intinya, jika aku saja tak bisa menandingi Yukinoshita, bagaimana aku bisa melindungi orang-orang dari perempuan itu? Hanya saja... jika aku tak mengatakan sesuatu agar Totsuka merasa baikan, bisa-bisa rasa gelisahnya tak kunjung hilang.

Totsuka sedikit menghela napasnya dan tampak cemberut.

"Kadang aku tak mengerti maksud Hikigaya... tapi..."

"Hmm... jadi Totsuka berlatih tenis sepulang sekolah, begitu bukan? Baiklah, kita mulai sesi latihan khususnya saat jam istirahat makan siang. Mungkin kita berkumpul di lapangan saja nanti."

Yukinoshita memotong kalimat Totsuka dan mulai menyusun agenda untuk hari ke depannya.

"Siap~~!"

Jawab Yuigahama sambil menyerahkan surat pengajuan diri yang baru selesai dibuatnya. Totsuka pun ikut mengangguk. Jadi... itu artinya...

"Jadi... aku juga ikut, nih?"

"Tentu saja. Lagi pula, kau juga tak punya acara apa-apa saat istirahat makan siang, 'kan?"

...bisa ditebak, sih.


— II —


Dengan itu, maka diputuskan bahwa sesi latihan neraka kami akan dimulai besok.

Kenapa aku harus sampai ikut latihan segala?

Bukankah Klub Layanan Sosial ini justru hanya menjadi taman perlidungan bagi kaum lemah agar bisa berkumpul dan beristirahat dengan santai? Bukankah artinya klub ini cuma mengumpulkan orang-orang tak berguna dan memberi ruang nyaman untuk ditinggali sementara?

Lalu apa bedanya dengan masa remaja yang kuanggap hina itu?

Bu Hiratsuka mungkin berusaha membuat tempat ini agar menjadi ruang karantina bagi pengidap penyakit seperti kami untuk diasingkan dan dirawat.

Biarpun begitu, andai penyakit kami memang bisa disembuhkan dengan hal yang tak penting macam begini, berarti kami sebenarnya tidak sedang mengidap penyakit.

Contohnya Yukinoshita. Aku tak tahu hal macam apa yang sudah membebani pikirannya, tapi aku yakin hal tersebut takkan hilang hanya karena ia diasingkan ke tempat ini.

Satu-satunya cara agar luka-lukaku bisa terobati di tempat ini sebenarnya adalah jikalau Totsuka itu seorang perempuan. Mungkin akan beda ceritanya jika hal-hal seputar tenis ini bisa menumbuhkan kisah komedi romantis di antara kami.

Sepengetahuanku, Saika Totsuka adalah sosok paling manis di dunia. Sikapnya tulus, dan yang terpenting, ia baik kepadaku. Jika kuhabiskan waktu sambil memupuk benih-benih cinta kami satu sama lain, mungkin aku akan tumbuh dewasa seperti manusia lainnya.

...tapi sayangnya, Totsuka adalah lelaki. Dewa memang bertindak konyol.

Aku jadi agak tertekan karena semua itu, tapi di saat yang sama aku sudah berganti baju ke seragam olahraga dan menuju ke lapangan tenis. Hei, aku masih berharap pada peluang tipis kalau dirinya adalah perempuan. Akan kupertaruhkan segala harapan dan impian pada peluang tersebut.

Seragam olahraga sekolah kami berwarna biru muda menyala dan tampak begitu mencolok. Karena warna norak yang hampir meninggalkan kesan itu, semua anak di sekolah jadi membenci seragam tersebut dan tak pernah memakainya kecuali saat pelajaran Olahraga atau saat latihan olahraga.

Jadi saat semua anak sedang memakai seragam biasa mereka, cuma aku satu-satunya yang tampak mencolok seperti orang bodoh dengan seragam olahraga ini.

Karena hal demikian, aku jadi dipandangi oleh seseorang yang menyebalkan.

"Hah hah hah hah Hachiman."

"Jangan bawa-bawa namaku dalam tawamu..."

Di SMA Soubu, hanya Zaimokuza saja yang mungkin bisa tertawa menjijikkan begitu. Ia berdiri, menyilangkan tangannya dan menghalangi jalanku.

"Beruntung sekali aku bertemu denganmu di sini. Aku baru saja ingin menyerahkan karya baruku. Silakan manjakan matamu dan saksikanlah!"

"Ahh, maaf. Aku agak sibuk sekarang."

Aku menyelinap ke samping dan sedikit menghindari tumpukan kertas yang hendak disodorkan padaku. Namun Zaimokuza pelan-pelan mencegatku dengan bahunya.

"...jangan berbohong. Bagaimana mungkin kau sudah punya rencana sendiri?"

"Aku tidak berbohong. Lagi pula, aku tak mau mendengar itu darimu."

Kenapa semua orang berkata begitu padaku? Apa aku terlihat seperti orang yang hanya sedikit memanfaatkan waktu dalam hidupnya? ...yah, walau itu memang benar...

"Hemh, aku paham, Hachiman. Kau hanya ingin tampil sedikit keren saja, makanya kau sampai berbohong. Lalu demi mencegah agar kebohongan tadi terungkap, kau pun berbohong lagi. Tapi itu akan menjadi siklus yang tak ada habisnya, siklus kebohongan tanpa henti yang tragis. Tapi lihatlah, Hachiman, spiral ini tak mengarah ke mana pun. Dan umumnya, hubungan antarmanusia itu memang tak mengarah ke mana-mana. Tapi masih ada waktu bagimu untuk menarik diri! ...kau sudah pernah menolongku, jadi sekarang giliranku untuk menolongmu!"

Zaimokuza baru saja mengucapkan kalimat yang menduduki peringkat dua dari daftar Kalimat yang Ingin Diucapkan para lelaki. Menjengkelkan sekali melihat dirinya mengacungkan jempol sambil memasang wajah penuh percaya diri begitu.

"Serius, aku memang sudah punya rencana sebelumnya..."

Aku merasa urat kepalaku benar-benar keluar karena marah, dan aku sudah mempersiapkan kata-kata untuk menundukkan Zaimokuza. Tapi rupanya...

"Hikigaya!"

Kudengar sebuah suara sopran yang bersemangat, dan bisa kurasakan Totsuka sudah menggapai lenganku.

"Pas sekali. Pergi bareng, yuk?"

"A-ayo..."

Totsuka menenteng tas raketnya di bahu kiri, dan entah kenapa ia merangkulkan tangan kanannya di lengan kiriku. Waduh...

"Ha-Hachiman... si-siapa itu...?"

Zaimokuza bolak-balik melihat ke arahku dan Totsuka dengan pandangan terkejut. Lalu ekspresi wajahnya perlahan berubah menjadi sesuatu yang rasanya tak begitu asing... ah, aku tahu, itu Kabuki, 'kan?[8] Hampir bisa kudengar efek suara Kabuki, Iyooo~~ pon pon pon seiring Zaimokuza membelalakkan matanya sambil berpose aneh.

"Ke-keparat! Kau sudah berkhianat!"

"Apa maksudmu sudah berkhianat..."

"Diam! Dasar playboy jadi-jadian! Kau contoh gagal dari lelaki keren! Selama ini aku mengasihanimu karena kau penyendiri, tapi rupanya itu yang membuatmu jadi congkak!"

" Jadi-jadian? Contoh gagal? Itu sudah kelewatan..."

Aku memang penyendiri, makanya pada bagian terakhir tadi aku tak bisa mengelak.

Zaimokuza memberi tatapan kejam ke arahku selagi ia menyeringai.

"Sungguh, aku takkan memaafkanmu..."

"Tenang dulu, Zaimokuza. Totsuka itu bukan perempuan. Ia lelaki... kurasa."

"Ja-ja... ja-jangan main-main! Anak semanis ini tak mungkin seorang lelaki!"

Ucapanku tak terdengar meyakinkan, dan Zaimokuza menanggapinya dengan berteriak padaku.

"Begitulah, Totsuka itu lelaki yang manis."

"Sampai... dibilang manis... rasanya agak..."

Totsuka tersipu dan memalingkan wajahnya ke arah sebelahku.

"Eng... ini temannya Hikigaya, ya?"

"Pertanyaan bagus..."

"Hemh. Mana mungkin aku akan menganggap orang macam kau ini sebagai teman."

Zaimokuza benar-benar merajuk. Wah, anak ini memang menjengkelkan...

Tapi bukan berarti aku tak tahu dari mana kemarahannya itu berasal. Sudah sewajarnya kita merasakan warna kesedihan dan pengkhianatan jika tahu bahwa orang yang kita anggap layak diberi simpati berubah menjadi seseorang dengan tolak ukur yang benar-benar berbeda.

Di situasi macam begini, aku harus menanggapi seperti apa agar hubungan kami bisa kembali seperti sedia kala? Sayangnya, karena rendahnya pengalamanku terhadap area ini, makanya aku benar-benar tak tahu.

Aku jadi sedikit murung karena keadaan ini. Suatu hari nanti, kurasa Zaimokuza dan aku bisa berada di titik di mana kami bisa saling mengerti dan tertawa bersama.

Namun tampaknya hal semacam itu takkan mungkin terjadi.

Bertanya tentang keadaan seseorang, berusaha membuat orang agar merasa baikan, memastikan kalau kita takkan pernah kehilangan komunikasi, lalu dengan hal-hal tersebut akhirnya kita bisa kian dekat dengan seseorang... hal-hal berbau persahabatan seperti tadi bukanlah persahabatan yang sebenarnya. Jika hal menyusahkan macam itu disebut sebagai masa remaja oleh orang-orang, maka aku takkan mempermasalahkannya.

Berkumpul bersama kelompok stagnan ini dan bertingkah seolah sedang bersenang-senang tak lebih buruk dari sekadar pemuasan diri. Dan itu tak lebih buruk dari membohongi diri sendiri. Sifat yang sungguh buruk.

...soalnya, lihat saja; berurusan dengan Zaimokuza yang sedang cemburu ini benar-benar menyebalkan.

Setelah memastikan sendiri kalau akal sehatku masih berfungsi, kuabdikan diriku ini pada jalan kesendirian.

"Ayo, Totsuka."

Kutarik Totsuka dengan tanganku. "Ah, iya..." tanggapnya, tapi ia tetap tak beranjak.

"Zaimokuza... 'kan?"

Zaimokuza tampak sedikit kebingungan, namun akhirnya ia mengangguk.

"Kalau kau temannya Hikigaya, mungkin kita juga bisa... berteman? Rasanya... pasti menyenangkan. Soalnya aku jarang punya teman lelaki..."

Ucap Totsuka sambil tersenyum malu.

"Fu... ku, ku ku ku ku. Sudah pasti Hachiman dan aku adalah teman dekat. Tepatnya, rekan seperjuangan. Tidak, tidak, yang benar, aku majikan dan ia pelayannya... yah, karena kau yang meminta, aku jadi tak punya pilihan. Aku akan... eng... menghadiahimu dengan ikatan pertemanan. Bahkan kita pun bisa menjadi sepasang kekasih."

"Eng... rasanya itu... bukan ide bagus. Kita berteman saja, ya?"

"Hm, begitu... hei, Hachiman. Apa menurutmu anak yang di sana itu menyukaiku? Apa itu artinya kini aku jadi populer? Iya, 'kan? Begitu, 'kan?"

Zaimokuza segera mendekat padaku dan berbisik di telingaku.

...sudah kuduga, anak seperti Zaimokuza tak pantas kujadikan teman.

Orang-orang yang bisa berubah seratus delapan puluh derajat hanya karena ingin mendekati perempuan cantik tak pantas kujadikan teman.

"...Totsuka, ayo pergi. Kalau kita telat, Yukinoshita bisa murka."

"Hm, bisa gawat nanti. Kita harus cepat-cepat. Soalnya, perempuan itu... sungguh menakutkan."

Zaimokuza mulai mengikuti diriku dan Totsuka. Tampaknya ia ingin bergabung dalam kelompok kami. Lagi pula, ketika kami jalan berbaris dan menuruni tangga seperti ini, setiap orang yang melihat dari samping akan berpikir kalau kami grup dalam game Dragon Quest. Atau mungkin... bukan Dragon Quest, tapi sesuatu seperti King Bomby dari seri game Momotetsu...[9]


— II —


Sesampainya di lapangan tenis, kami melihat Yukinoshita dan Yuigahama telah berdiam di sana.

Yukinoshita masih mengenakan seragam sekolahnya, namun Yuigahama sudah berganti ke seragam olahraganya.

Mungkin mereka barusan makan siang di sini. Soalnya, ketika melihat kami, mereka berdua segera merapikan kotak bekalnya yang mewah itu.

"Baiklah, mari kita mulai."

"Mo-mohon bimbingannya."

Totsuka menghadap ke arah Yukinoshita dan sedikit membungkukkan badan.

"Pertama, kita harus melatih kekuatan otot yang kurang begitu dimiliki Totsuka. Termasuk otot biseps, deltoid, pektoral, abdomen, obliqua, dorsal, dan femoral. Latihan akan kita fokuskan pada push-up dan pembentukan otot... untuk sekarang, berlatihlah sekuat tenaga sampai kalian mau mati."

"Wuaah, Yukinon memang serba tahu... eh, sampai kami mau mati?"

"Benar. Semakin kau merobek otot-ototmu, maka otot-otot tersebut semakin berusaha untuk pulih dengan sendirinya, namun setiap kali pulih, serat-serat otot itu akan menjadi semakin kuat. Inilah yang orang sebut dengan supercompensation.[10] Dengan kata lain, jika kau memaksakan tubuhmu bekerja hingga di ambang kematian, maka kau akan bisa sekaligus memperkuat diri."

"Yang benar saja, kami ini bukan bangsa Saiya atau sejenisnya..."

"Yah, bukan berarti kau bisa langsung membentuk ototmu secepat itu, tapi hal tersebut bisa berguna untuk meningkatkan metabolisme tubuhmu."

"Metabolisme tubuh?"

Hampir bisa kulihat tanda tanya di atas kepala Yuigahama. Apa ia benar-benar tidak tahu arti kata itu? Yukinoshita sedikit tercengang. Mungkin karena ia lebih memilih menjelaskan artinya ketimbang menyalahkan orang, makanya ia memberi rangkuman singkat.

"Intinya, itu adalah cara untuk membuat tubuhmu agar lebih cocok berolahraga. Jika metabolisme tubuhmu meningkat, maka akan lebih mudah bagimu dalam membakar kalori. Sederhananya, hal tersebut bisa meningkatkan efisiensi energi pada tubuhmu."

Yuigahama mengangguk mendengar penjelasan itu. Tiba-tiba, matanya berbinar.

"Lebih gampang membakar kalori, berarti... bisa mengurangi berat badan?"

"...bisa jadi begitu. Dengan bernapas ataupun mencerna makanan saja, kau bisa dengan mudah membakar kalori. Bahkan dengan melakukan kegiatan biasa pun, badanmu bisa menjadi kurus."

Mendengar ucapan Yukinoshita tadi membuat mata Yuigahama semakin berbinar. Entah kenapa, tampaknya Yuigahama kini lebih termotivasi dibanding Totsuka. Motivasi Yuigahama tampaknya juga memicu sesuatu di diri Totsuka yang sedang mengepalkan tangannya.

"A-ayo kita coba."

"A-aku juga ikut!"

Totsuka dan Yuigahama lalu menelungkupkan diri dan perlahan mulai melakukan push-up.

"Nngh... khh, fuu, hah..."

"Ooo, khh... nnngh, hahh, hahh, nngh!"

Kudengar suara desah kepayahan dan penderitaan. Wajah mereka sudah ditelan oleh kesengsaraan, memaksa mereka sedikit berkeringat, dan memerahpadamkan pipi mereka. Mungkin karena kurusnya lengan Totsuka, hingga dirinya pun kesusahan, namun sesekali ia melihatku dengan tatapan memohon. Ketika ia menengadah ke arahku dari posisi di bawah lantai itu... entah kenapa... aku jadi merasa aneh.

Saat Yuigahama menekukkan lengannya, sekilas bisa kulihat kulitnya yang berkilauan dari balik kerah seragam olahraganya. Gawat. Pandanganku jadi ke mana-mana.

Jantungku berdetak semakin cepat, sampai pada titik di mana ini bisa dianggap sebagai gejala aritmia.[11]

"Hachiman... ini latihan apa? Kok, aku jadi merasa benar-benar damai..."

"Kebetulan sekali. Aku juga merasa begitu."

Selagi kami saling memandang dan bertukar senyum, sebuah suara bernada sinis dari belakangku membuat diriku serasa disiram air yang dingin.

"...bagaimana kalau kalian berdua ikut berlatih supaya pikiran kotor itu bisa hilang?"

Sewaktu aku berbalik, kulihat Yukinoshita sudah menatapku dengan ekspresi menghina. Pikiran kotor itu bisa hilang... apa ia membaca pikiran kami...?

"He-hmm... terdapat sebuah aturan utama dalam sumpah prajurit agar tak meninggalkan latihan. Jadi kurasa aku akan ikut bergabung!"

"Be-betul. Punya kondisi fisik yang buruk itu memang menakutkan. Kau bisa kena diabetes, atau pirai, atau sirosis, atau semacamnya!"

Dengan semangat yang menurun, kami berdua lalu menjatuhkan diri ke tanah dan mulai melakukan push-up. Sewaktu melakukannya, Yukinoshita berjalan mengelilingiku.

"Saat kau melakukannya, rasanya ini seolah seperti cara baru dalam menyembah sesuatu."

Ucap Yukinoshita sambil terkikih.

Kurang ajar, apa yang sudah dikatakannya tadi? Bahkan bagi orang yang cinta damai sepertiku, sesuatu dalam diri ini bisa bangkit kalau mendengar provokasi macam tadi. Eh... apanya yang bangkit, ya? Jika memang ada yang bangkit, kemungkinan besar itu adalah perasaan moe terhadap push-up...

...sebenarnya saat ini kita sedang apa, sih?

Apa mereka tahu ungkapan, Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit? Atau peribahasa, Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing? Intinya, ketika orang-orang berkumpul bersama, mereka akan menjadi lebih kuat dan lebih terlindungi.

Meski begitu, kami sendiri adalah kelompok gagal yang berkumpul bersama untuk melakukan hal yang percuma.

Pada akhirnya, kami pun menghabiskan waktu istirahat makan siang ini dengan berlatih push-up. Dan aku, kuhabiskan malamku dalam penderitaan karena nyeri otot.


Catatan Penerjemah[edit]

  1. Max Coffee adalah merek minuman kopi dalam kemasan yang terkenal di Jepang
  2. Kita no Kuni kara adalah judul drama televisi Jepang
  3. Issei Fuubi Sepia adalah grup musik asal Jepang yang populer di era Tahun 80-an
  4. Sebutan bagi pemain sepak bola yang bisa melakukan hal-hal yang sulit dibayangkan manusia ketika bermain sepak bola.
  5. Grup penyanyi atau orkes yg terdiri atas enam orang.
  6. QED (Quod Erat Demonstrandum) berarti "sudah terbukti", singkatan ini menandai akhir dari suatu pembuktian.
  7. Di negara Jepang, untuk mengesahkan surat atau semacamnya tidak hanya sekadar tanda tangan, tapi memerlukan juga stempel cap keluarga.
  8. Kabuki adalah seni teater tradisional khas Jepang.
  9. Momotetsu (Momotaro Dentetsu) adalah game yang punya gaya bermain mirip seperti permainan Monopoli
  10. Supercompensation adalah masa-masa di mana bagian tubuh yang dilatih setelah berolah raga mempunyai performa lebih baik dari masa sebelumnya.
  11. Aritmia adalah gangguan seputar kecepatan detak jatung.
Mundur ke Bab 5 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 7