Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 8

From Baka-Tsuki
Revision as of 17:44, 30 June 2014 by Tony Yon (talk | contribs) (Created page with "==Putri, Revolusioner== Aku menggenggam bass ku dan kabur dari ruang kelas segera setelah sekolah, dan berjalan menuju ke atap. Begitu aku sampai di sana, aku melihat seorang...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Putri, Revolusioner

Aku menggenggam bass ku dan kabur dari ruang kelas segera setelah sekolah, dan berjalan menuju ke atap. Begitu aku sampai di sana, aku melihat seorang gadis berseragam duduk di pagar kawat sambil menatap ke langit. Rambutnya tertiup angin, dan dia sepertinya sedang senang. Dia adalah Kagurazaka-senpai.

“Bukannya kau agak lambat, anak muda? Bell seusai sekolah sudah berhenti berdentang.”

“Tidak, senpai yang terlalu awal......”

Kami masih ada pelajaran, jadi bagaimana mungkin dia bisa sampai di sini sebelum bell berhenti berdentang?

“Pada waktu ini sinyal melodi dari pabrik di seberang kita akan bertumpuk dengan suara bel sekolah kita, yang menghasilkan komposisi secara kebetulan dan menarik. Aku sangat berharap kau bisa mendengarkannya, anak muda.”

“Haa. Ngomong-ngomong, bukannya agak bahaya duduk di tempat setinggi itu?”

Senpai melompat turun dari pagar dan mendarat tepat di depanku.

“Apa kau sudah memutuskan untuk bergabung dengan klub kami.”

“Yah......” Aku menurunkan bass yang bergantung di pundakku dan menyandarkannya di pagar. Aku sedikit bimbang dengan kata-kataku, “Aku membutuhkan bantuanmu dalam bass, tapi kalau untuk bergabung dengan band......”

“Kenapa?” Senpai mengangkat alisnya yang indah bentuknya.

“Tidak, aku hanya ingin mendapatkan kembali ruang kelas itu supaya aku bisa mendengarkan CD-CD ku. Aku tidak bermaksud bermain bass untuk Senpai.”

“Tapi kau datang ke sini dengan segera sesuai perintahku.”

“Itu cuma karena aku membutuhkan bantuan Senpai kalau aku ingin memberikan pelajaran pada Mafuyu.”

“Jadi yang kau maksud dengan menginginkanku mengajarimu, adalah aku mengajarimu bermain gitar terlebih dahulu. Kau menggunakanku, seperti aku menggunakanmu. Benar?”

Cara dia mengatakan hal itu sedikit blak-blakan, tapi aku mengangguk dengan jujur. Untuk dapat menang melawan Mafuyu, aku tidak perlu memperdulikan imejku.

Sebuah senyuman muncul di wajah Senpai.

“Mmm, jadi begitu. Kau tidak lagi memiliki ekpresi seorang pecundang.’

Senyumannya tidaklah sedramatis biasanya – justru, itu adalah senyuman yang sangat alami. Aku terkejut.

“Apa ini ok? Aku sudah memprediksi kalau kau akan tetap bergabung pada akhirnya. Jadi ayo kita mulai!”

Senpai berjongkok dan mengeluarkan berbagai macam barang dari tas punggungnya ke lantai: sebuah amplifier mini dengan baterai di dalamnya, kabel untuk amplifier, dan juga senar pengganti untuk bass.

“......Tapi, kenapa kita harus berlatih di atap?”

“Anak muda, apa yang kaupikir sebagai langkah pertama dalam berlatih bass?”

Dia menanyakan pertanyaan itu padaku sambil mengeluarkan senar-senar dari tasnya dan membukannya.

“Hmm—bukankah berlatih gerakan jari langkah kepiting[1]?”

Itu adalah jenis latihan berulang untuk melatih dasar. Pemain menentukan tempo tetap, dan mulai menekan fret[2] secara berurutan menggunakan jari telunjuk sampai jari kelingking, lalu memainkan setiap skala secara berurutan. Sementasa tangan kiri akan bergerak perlahan secara horisontal masuk ke dalam sedikit demi sedikit, beberapa orang menyebutnya jari langkah kepiting. Kedengarannya seperti pemula, tapi itu adalah dasar dari bermain gitar. Akan tetapi, Senpai menggelengkan kepalanya.

“Ada hal lain yang perlu kau lakukan sebelum itu. Ini adalah alasan kenapa aku memanggilmu ke atap.”

Senpai menarik senar itu kuat-kuat di kedua ujungnya.

“Aku sudah membuat tali rentang dari atap ini sampai ke asrama seberang dengan sebuah senar. Kau harus berjalan di atasnya ke bangunan seberang.”

Aku terkejut. Aku hampir menjatuhkan bass yang sedang kukeluarkan dari casing-nya.

“...... Eh?”

“Kau tidak akan bisa menjadi bassist kalau kau tidak bisa menggantungkan hidupmu pada senar-senarnya. Aku akan mendoakan keselamatanmu. Kau mungkin akan mati kalau kau jatuh, jadi sebaiknya kau siapkan mentalmu terlebih dahulu.”

“Tidak, tidak tidak tidak, apa sih yang kau bicarakan?”

“Ya ampun,” Senpai mengangkat bahunya.

“Kau perlu melewati latihan spesial yang membahayakan hidupmu untuk bisa menjadi bassist. Maksudmu, kau tidak tahu? Bahkan bassist-bassist paling terkenal di Jepang sudah melewati berbagai macam latihan yang membahayakan hidup mereka. Contohnya, mereka memukul kepala merekan berulang kali dengan kaleng timah, atau membiarkan diri mereka terkena api membara atau ledakan gas...... dan lain sebagainya.”

“Jadi bassist Jepang terkenal yang kamu maksud...... adalah?”

“Almarhum Ikariya Chousuke.”[3]

“The Drifters itu grup komedi kan!?” Aku membanting cassing bass ke lantai. [4]

“The Drifters itu juga band! Mereka adalah acara pembuka sebelum konser The Beatles. Kau benar-benar tidak sopan, anak muda.”

“Aku juga tahu itu, berhenti mengganti subyeknya!”

“Hal di tali rentang itu cuma bercanda. Hal pertama yang perlu kau lakukan adalah mengganti senar bass mu. Karena alat musik itu sudah di simpan di toko dalam waktu yang cukup lama, kelenturan senar-senarnya perlahan-lahan berkurang.”

O-orang ini benar-benar......

Aku rasa tidak ada gunannya mengatakan sesuatu, jadi aku mengganti ke-empat senarnya dalam diam.

“Alasan sebenarnya aku memanggilmu ke atap adalah, itu!”

Kagurazaka-senpai bersandar di pagar dan menunjuk ke bawah. Aku bisa memahami apa yang Senpai maksud dari suara gitar yang terdengar di telingaku, tanpa perlu melihat ke arah yang ditunjuknya. Ruang kelas yang digunakan Mafuyu berlatih gitar ada tepat di bawah kami.

Dan lagi, aku sudah mengajarinya bagaimana membuat ruangan itu soundproof dengan handuk, jadi kenapa aku masih bisa mendengar suara gitarnya? Suara riang melodi itu adalah <Pavane for Dead Princess> Ravel. Apa itu akibat dari keterkejutannya di panggil ‘Princess’(Tuan Putri) oleh teman-teman sekelas?

“Itu tujuh hari yang lalu.”

Kagurazaka menyandarkan punggungnya di pagar, dan menatap ke langit.

“Aku bolos pelajaran dari jam pertama, dan tinggal di sini sampai sekolah usai, sambil mendengarkan suara jalanan.”

Apa gunannya orang ini pergi sekolah?

“Lalu, matahari mulai terbenam, dan saat seolah akan turun hujan, terdengarlah suara gitar. Itu adalah Book II dari Bach <The Well-Tempered Clavier>. Akan tetapi, dia melewati fugue nya dan memainkan prelude-nya saja. Aku begitu kesal, aku tidak menyadari kalau hujan sudah mulai turun – aku duduk dan terus mendengarkan.”

“Kau akan kena flu kalau seperti itu......”

“Yang dia mainkan cuma prelude, hingga sampai ke No. 24 di B minor – itu adalah siksaan manis. Lalu aku mendengar pintu terbuka, jadi aku mengintip ke ruang itu, dan melihat seorang gadis cantik berjalan keluar. Rambutnya berwarna merah marun cerah – seperti sirup maple beku. Hal itu cukup untuk membuatku jatuh hati padanya.”

Bass ku terselip dari lututku dan jatuh ke lantai.

“Urm...... Senpai?”

“Hmm?”

“Tapi Mafuyu itu perempuan?”

“Lalu kenapa? Aku suka hal-hal yang cantik. Dimataku, jenis kelamin bukanlah masalah. Menurutmu kenapa aku membiarkan Aihara Chiaki bergabung dalam band sebagai salah satu kawan kita? Alasannya adalah karena dia imut.”

“Tolong jangan mengatakan hal mengejutkan semacam itu dengan santai.”

“Bagaimanapun, aku tidak pernah mengira kalau dia bisa memainkan drum sebaik itu dalam waktu kurang dari setahun.”

“Chiaki akan menangis kalau dia mendengar hal itu darimu.”

“Bukan masalah. Aku akan memberitahukan Kawan Chiaki mengenai seleraku dengan terus terang.”

“Jadi semuanya benar-benar berfikir kalau kau adalah seseorang yang akan mendapatkan apapun yang kau inginkan?”

Aku terkejut hingga tak bisa berkata apa-apa. Aku tidak pernah berfikir dia orang yang seperti itu. Aku seharusnya belajar bass sendiri – masih belum terlambat buatku untuk melarikan diri. Aku mulai menyetel bass ku sambil memikirkan hal itu.

“Akan tetapi, Ebisawa Mafuyu tidak mendengarkan satu patah katapun perkataanku. Da juga, saat aku melakukan pengamatan mendetail, untuk suatu alasan yang tidak diketahui, kau lah sati-satunya orang di sekolah ini yang dapat berbincang dengannya.”

Aku terkejut dan menganggkat kepalaku.

Apa yang terlihat di depanku adalah senyuman imut yang dapat menghancurkan milik senpai, yang cuma dia gunakan sekali di minggu itu.

“Karenannya, anak muda, aku membutuhkan bantuanmu.”

Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak bisa menatap langsung mata Senpai - yang bisa kulakukan cuma mengalihkan pandanganku kembali ke bass di tanganku. Itu adalah pertama kalinya seseorang mengatakan hal seperti itu padaku seumur hidupku. Tidak, tunggu sebentar, tenangkan diri dan pikirkanlah pelan-pelan. Senpai mengatakan sendiri kalau aku cuma bidak yang akan digunakannya.

“Jadi rencanamu yang sesungguhnya adalah mengumpulkan sekumpulan gadis imut kan? Bukan benar-benar mengenai band.”

Aku mengatakan keraguan dalam diriku, tapi yang Kagurazaka-Senpai lakukan cuma memiringkan kepalanya dan menatapku dengan matanya berkedip berulang kali.

Semua percakapan yang kulakukan dengannya bukanlah sekedar halusinasiku semata kan? Pemikiran seperti itu tiba-tiba terlintas dibenakku.

“Anak muda, apa kau tahu alasan kenapa manusia terlahir ke dunia ini?”

Apa arti pertanyaan tiba-tiba ini? Bagaimana mungkin aku tahu!

“Jawabannya sederhana. Manusia terlahir di dunia ini untuk cinta dan revolusi.”

Tiba-tiba, hembusan angin berhembus melewati kami, menerbangkan rambut Senpai yang panjang. Aku hampir terjatuh meski cuma merasakan hembusan ringan di pundakku. Kenapa dia mengatakan semua ini? Apa aku salah paham mengenai apa arti kehidupan? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benakku cuma selama beberapa detik.

“Lev Trotsky[5]...... kau mungkin tidak mengenalnya kan?”

Aku sudah kehabisan tenaga bahkan untuk menggelengkan kepala.

“Dia adalah revolusianis kedua sebelum terakhir! Dia kabur ke Mexico setelah kalah dari teman politiknya, Joseph Stain, di perang politik. Dia mati sebelum melihat awal dari revolusi di dunia. Akan tetapi ketidakberuntungannya bukanlah karena Stalin tidak ada di sisinya.......”

Senpai mengambil bass dari tangannku tanpa sadar, dan menancapkannya ke amplifier.

“Ketidakberuntungannya adalah karena Paul McCartney tidak ada di sisinya. Revolusionis terakhir, John Lennon – dia sangat beruntung memiliki Paul McCartney disisinya.”

Senpai menahan emosinya yang meluap-luap dan mulai memetik senar-senar bassku dengan kukunya. Serangkaian nada kuat dan tidak sesuai nada terdengar keras dari amplifier, yang merangsang pendengaranku. Aku tidak bisa memahaminya sama sekali - bagaimana bisa senar-senar gitar yang besar-besar itu bisa menciptakan suara bernada tinggi? Dia memainkan prelude dari <Revolution> dari The Beatles. Itu adalah lagu revolusi yang ditulis oleh John Lennon, dan itu adalah lagu yang sering disalah artikan.

“Karenannya, cinta, revolusi, dan musik adalah hal yang tidak dapat terpisahkan dari hidupku. Kekuatan untuk mendorong ke revolusi tanpa akhir; kekuatan untuk menemukan Paul yang hanya ada untukku; dan kekuatan untuk merubah pemikiran-pemikiran ini menjadi lagu yang aku nyanyikan – tidak ada perbedaan di antara ketigannya. Anak muda apa kau puas dengan jawaban yang aku berikan padamu?”

Apa jawabanmu benar-benar ditujukkan pada pertanyaanku.....?

“Ah, aku benar-benar tidak paham apa yang sebenarnya ingin kau katakan.”

“Sebaiknya kau mulai belajar untuk menjadi lebih puitis.”

“Kau juga terus menganggap orang lain sebagai idiot kan Senpai? Dan berhentilah memasang wajah banggamu itu, aku tidak sedang memujimu.”

“Anak muda, reaksimu cukup menarik. Sini sini.”

Senpai tersenyum malu-malu. Sini? Sopan sedikit napa!

“Baiklah, ayo kita mulai memodifikasi bass mu. Aku sedikit kesusahan dengan kelihaianmu mengalihkan topic pembicaraan.” Aku? Jadi ini salahku? Saat aku akan membantah, Senpai tiba-tiba mengembalikan bass itu padaku.

“Kita harus menciptakan bunyi yang sesuai sebelum kau mulai berlatih. Lihat, aku membawa berbagai macam pikap[6] ke sini. Kau sudah menyiapkan peralatanmu kan?”

Senpai mengeluarkan beberapa onderdil gitar dari tasnya. Sebuah pikap adalah sesuatu yang menangkap getaran dari senar. Dengan mengganti bagian-bagian ini, akan terjadi perubahan besar pada nada alat musik itu. Modifikasi lainnya termasuk mengganti kabel di dalam dan semacamnya, dan kasus yang paling ekstrim adalah membuat beberapa lubang di gitar itu sendiri.

“...... Maksudmu, kita akan memodifikasi bass ini sekarang?”

“Bass Aria Pro II milikmu itu termasuk murah, tapi aku memilihnya secara khusus dengan mempertimbangkan warna nada dari Stratocaster milik Ebisawa Mafuyu. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Bass ini tidak bisa mengeluarkan nada yang menyajikan respon sempurna dari gitarnya.”

Senpai menunjuk ke bawah pagar pengaman. Serangkaian petikan cepat dan mengagumkan dari gitar yang dimainkan Mafuyu terdengar dari arah itu. Oh aku mengerti, jadi itu alasannya memanggilku ke atap?


Senpai dan aku berulangkali mempertimbangkan bagaimana memodifikasi bass itu, dan ini adalah hal yang sangat menarik. Kebetulan aku juga cukup ahli dalam hal ini.

“...... Suara dari bass mu sudah bisa disetarakan dengan bass dari Greg Lake.”

Setelah dua jam, Kagurazaka-senpai mengambil bass yang sudah selesai dan mengatakan hal tersebut dengan nada memuji, diantara tumpukan serutan kayu, serpihan logam , dan bagian-bagian dari potongan senar. Aku sedikit merasa malu karenanya.

“Kenapa kau tidak mengutak-atik Les Paul milikku juga? Aku ingin membuat nadanya sedikit lebih berwarna.”

“Gak mungkin, aku tidak punya keberanian mengutak-atik gitar mahal semacam itu.”

Senpai cuma tertawa, dan mulai membereskan peralatan dan sampah-sampah yang ada.

“Cobalah menyambungkan bass mu ke amplifier sesering mungkin saat kau sedang berlatih. Supaya kau bisa merasakannya dengan tubuhmu, dan ingatlah suara yang sama dengan apa yang akan kau mainkan di pertunjukkan yang sesungguhnya.”

Aku menggangguk, dan sekali lagi mencolokkan bass ku ke amplifier-mini. Kejernihan suara bass ini benar-benar berbeda dengan saat pertama aku membelinya. Hal ini ditujukan agar dapat menandingi kejernihan warna nada gitar Mafuyu, yang dimainkan dengan ketepatan yang menakjubkan. Kalau kau bertanya padaku, aku pun cukup percaya diri dengan hasil modifikasiku.

Sejak saat Senpai dengan cara yang tidak masuk akal, memaksaku membeli bass ini, aku tidak benar-benar bisa merasakan kalau alat musik ini adalah milikku. Akan tetapi, saat ini, ia terasa seperti bass yang telah kugunakan dan berlumuran keringat kerja kerasku selama sepuluh tahun – aku bisa menggunakannya dengan nyaman. Ini adalah partner ku yang kuciptakan dari paling awal. Aku akhirnya bisa mulai berlatih.

“Tentu saja, aku juga tidak akan membuatmu berlatih pada hal-hal dasar berulang-ulang. Itu tidak perlu, kau bisa berlatih sendiri di rumah. Mungkin ini sedikit mendadak, tapi aku ingin kau memainkan sebuah lagu untukku, sekarang.”

Senpai meletakkan sebuah lembaran musik yang ditulis tangan, tepat di depanku.

“Apa kau tahu lagu ini?”

Aku mengangguk. Tidak ada judul di lembaran musik itu, tapi aku langsung tahu setelah melihatnya sekilas.

“Aku tidak akan membantah kalau melodi bass memang tidak begitu menarik perhatian. Hampir tidak ada lagu yang dapat dikenali orang-orang hanya dari suara bass-nya saja. Cuma ada satu pengecualian, yaitu ini. Karenanya, aku rasa semua bassist harus memulai dari lagu ini, dan juga berhenti di lagu ini.”

Lagu ini adalah lagu dari Ben E. King <Stand by Me>. Bum, bum, badabum, bum...... itu adalah ritme bass-nya—memang benar, cukup dengarkan dua bait dan kau bisa menyimpan nadanya dalam ingatanmu.

“Kalau begitu sesuaikan ritmemu dengan metronome dan mainkan lagu ini! Terus mainkan sampai malam tiba dan bintang-bintang bermunculan, mengerti?”

Setelah dia selesai menyanyikan liriknya, Senpai melambaikan tangannya sebelum membuka pintu dan pergi. Aku mendesah, duduk di lantai dan mengambil gitarku.

Meski Senpai sudah sering mengejutkanku, aku tidak pernah berfikir sekalipun kalau dia akan membuatku memainkan lagu ini secepat ini.

Hey! Ain’t you gonna Stand by Me? (Bukannya kau seharusnya ‘berada di sisiku’?)


Setelah satu jam berlatih, aku merasa ada hal yang janggal. Pada awalnya, aku tidak tahu perasaan apa ini.

Hingga aku melepaskan jari-jariku dari senar dan menghentikan metronom, aku baru menyadarinya—

Aku tidak bisa lagi mendengar suara gitar Mafuyu. Aku mendongak dan melirik sekilas ke jam di tembok gang – hampir jam enam. Mafuyu biasanya akan terus bermain sampai waktunya sekolah berakhir, jadi seharusnya dia belum pulang. Mungkin dia pergi ke toilet atau semacamnya?

Aku meningkatkan sedikit tempo dari metronom itu, dan mulai bermain dari awal lagi. Kali ini, aku menggumamkan liriknya sambil bermain.

Akan tetapi, ritme dari liriknya berbeda dengan ritme bass, sehingga membuatku kesulitan memainkannya. Jari-jariku berhenti bermain sekali lagi, karena perasaan janggal yang kurasakan di awal tadi.

Pintu atap seharusnya tertutup, namun ternyata ia sedikit terbuka. Aku menyandarkan bass-ku ke pagar, dan berjalan menuju pintu. Saat membukanya, aku melihat Mafuyu yang ketakutan berdiri di balik pintu. Dia mundur selangkah tapi langkahnya meleset dan hampir saja jatuh ke tangga dibelakangnya. Saat tangannya melambai-lambai liar di udara, aku segera meraih pundaknya dan menariknya kembali ke atas.

“...... Apa yang sedang kau lakukan di sini?”

Setelah dengan susah payah berdiri dengan tegap, Mafuyu menyingkirkan tanganku dari pundaknya. Dia memalingkan wajahnya dengan cepat dan menjawab,

“Kedengarannya berisik sekali di atas sini.”

Aku melirik ke bass di belakangnya dengan sedikit kaget. Dia bisa mendengarnya? Tapi aku tidak membuat banyak suara.

“Kenapa kau berlatih di tempat seperti ini?” Mafuyu menatap tajam ke arahku. Dia sepertinya sedikit tidak senang.

“Bukannya aku sudah mengajarimu bagaimana membuat ruangan itu kedap suara dengan handuk?”

“Kalau aku melakukannya, aku tidak akan bisa kabur dengan cepat kalau sesuau muncul di ruangan itu.”

Kalau sesuatu muncul di ruangan?

“Itu........ saat sesuatu...... muncul di ruangan...... atau semacamnya.”

Mafuyu menunduk sambil berbicara ambigu.

“Ah, maksudmu seperti kelabang atau kecoa?”

“Wa! Wa!” Mafuyu menutup kedua telingannya dan menginjak kakiku beberapa kali. Sakit! Ngapain sih!

Dia merubah situasi ini menjadi sesuatu yang agak bodoh, jadi yang bisa kulakukan cuma kembali ke bass ku. Untuk suatu alasan yang tidak kuketahui, Mafuyu mengikutiku.

“Umm...... Apa lagi?”

“Nadanya ‘’fals’’.”

Mafuyu menggembungkan pipinya dan menunjuk bassku dengan sedikit kesal.

“Eh?’

“Senar ketiga terlalu datar. Aku merasa sangat tidak nyaman saat aku mendengarkannya barusan. Apa maksudmu, kau tidak menyadarinya?” Aku mengecek tuner-ku, dan memang sedikit ‘’fals’’. Dia bisa mendengarnya dari tiga lantai di bawahku? Dia sehebat itu?

“Pinjam.”

Saat aku sedang mencoba memperbaikinya, Mafuyu tiba-tiba merampas bass itu dariku. Dia segera memutar peg (stem) beberapa kali untuk memperbaiki nadanya, lalu mengembalikannya padaku.

“Terima kasih telah membantu! Aku akan membayarmu sepuluh yen[7] setiap kali kau melakukannya, jadi tolong terus membantuku.”

“Idiot.”

Aku tiba-tiba mengingat sesuatu, dan mulai memainkan <Stand By Me>.

“Apa judul lagu ini? Aku pernah mendengarnya di suatu tempat.” Mafuyu bertanya. Luar biasa, tepat seperti perkataan Senpai. Untuk seorang gadis yang diasuh di bawah pengaruh musik klasik, ini mungkin satu-satunya lagu yang bisa dikenali Mafuyu cuma dari bass nya.

“Judulnya <Stand By Me>.”

“...... Menceritakan tentang apa?”

“Tentang apa? Eh? Hmm...... Ceritanya tentang seseorang yang berjalan menyusuri rel kereta, kemudian dia tiba-tiba menemukan mayat di sampingnya.”

Mafuyu mengerutkan alisnya.

“...... Apa kau mengatakan omong kosong lagi?”

“Nggak, aku nggak bohong.” Meski ini adalah sinopsis dari film dengan judul yang sama dan bukan lirik dari lagu itu.

Tidak lama kemudian, Mafuyu duduk di samping pintu atap, dan mendengarkan teknik bass ku yang masih kasar. Terus sebenarnya, sampai kapan kau mau berdiri di sana? Sulit bagiku untuk bermain kalau kau ada di sini, jadi tolong segera kembali ke tempatmu semula? Mungkin karena Mafuyu mengamati permainanku, aku menjadi salah memainkan nada beberapa kali.

“Apa kau senang?”

Tiba-tiba Mafuyu menggumamkan kata-kata itu. Aku berhenti bermain dan mendongak ke atas.

“...... Apa kau senang saat kau memainkan bass?”

Aku tidak paham bagaimana menjawab pertanyaan tiba-tiba darinya itu.

“Hmm, tidak terlalu buruk. Lumayan menyenangkan bisa sedikit demi sedikit memainkan lagu yang kusuka.”

“Benarkah?”

Mafuyu tidak terlihat tertarik sedikitpun. Yang dilakukannya cuma mengamati lantai.

Aku menanyakan pertanyaan yang sama padanya,”Apa kau tidak senang saat memainkan gitar?”

“Tidak sama sekali.”

“Kalau kau tidak senang, kenapa tidak berhenti saja?”

“Kenapa kau tidak mati saja?”

Aku menggenggam leher bass ku dengan kuat, dan menarik nafas dalam. Baiklah, tidak apa-apa, jangan marah. Tidak akan ada akhirnya kalau aku terus-terusan menganggap serius kata-katanya. Aku harus lebih dewasa dari itu.

“Kalau kau tidak senang, kenapa kau terus menutup dirimu di ruang latihan setiap hari untuk bermain gitar? Pulang dan mainkan pianomu!”

“Itu bukan urusanmu.”

Tentu saja itu urusanku! Kau sudah mengambil paksa tempat istirahatku, ya kan?

“Kalau begitu...... bisakah kau tidak menggemboknya? Kau langsung pulang ke rumah dihari Jum’at kan? Bisakah kau membiarkanku menggunakan ruang latihan di hari itu?”

“Bagaimana kau tahu kalau aku langsung pulang ke rumah di hari Jum’at? Maniak!”

Ini tidak ada hubungan apakah aku ini maniak atau bukan. Aku bisa melihanya dengan jelas dengan kedua bola mataku.

“Gak! Jangan dekat-dekat denganku!”

Percakapan kami berakhir seperti itu.

Aku terus berlatih dengan tenang, tapi Mafuyu tidak terlihat berniat akan pergi. Dia berjalan mondar mandir dari dan ke pintu, ragu-ragu apakah dia sebaiknya kembali ke bawah atau tidak. Apa sih yang dia lakukan?

“—Tuan putri?”

Mafuyu terkejut dan berpaling ke arahku.

“Apa kau bermaksud memangilku seperti itu juga?”

“Terus bagaimana kau sebaiknya memanggilmu? Ebisawa?”

Dia menatap tajam ke arahku.

“Mafuyu?”

Kali ini, dia menunduk ke bawah, dan mengangguk sambil menggigit bibirnya sedikit. Jadi dia bisa menerimanya kalau aku memanggilkan dengan nama dirinya? Tapi sulit bagiku memanggilnya seperti itu! [8]

“Katakan langsung padaku kalau ada sesuatu ingin kau katakan. Kemarin aku sudah bilang kan?”

“Kenapa kau bersikap sok hebat serperti itu?”

Apa kau punya hak mengatakan hal seperti itu padaku? Meski begitu, saat aku bermaksud menatap balik padanya, Mafuyu mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Seolah dia ingin mengatakan sesuatu yang canggung – dia bergumam pelan.

“...... Ada sesuatu yang bergerak-gerak di belakang kabinet dan berdengung.”

Hmm? Oh...... jadi itu alasannya datang kemari?

“Kau punya insektisida kan?”

“Aku menyemprotkannya ke ruangan, sebelum segera kabur ke sini.”

Ya ampun, bukan begitu cara menggunakan insektisida! Itu bukan insektisida jenis boron yang digunakan untuk mengasapi serangga sampai mati.

“Tidak ada gunannya kalau kau tidak menyemprotkannya langsung ke serangganya!”

“Kau menyuruhku melakukkan hal seperti itu?”

Mafuyu mengatakannya sambil menggeratakkan giginya dengan air mata di ujung matanya, dan badannya pun gemetaran sedikit. Apa begini caranya minta tolong pada orang lain? Meski begitu, kalau kubiarkan, Mafuyu tidak akan pernah menggunakan ruangan itu lagi, yang berarti kemenangan ada di tanganku?

“Kalau kau tidak ingin melakukannya, bagaimana kalau kau mengembalikan ruangan itu padaku seperti seorang wanita dewasa?”

“Dasar brengsek!” Mafuyu mengatakannya padaku sambil menaha air mata,”Terserah, aku paham. Biar kulakukan sendiri.”

Mafuyu membanting pintu, dan dari langkah-langkah kakinya sepertinya dia menuruni tangga. Silahakan dan berusahalah!

Aku terus memainkan <Stand by Me>

Meski begitu, aku agak penasaran bagaimana hasilnya, jadi aku mengintip di antara pagar pembatas atap.

Mafuyu berdiri di luar ruang latihan dengan kaku, tangan kirinya mengepal. Setelah menatap gagang pintu selama beberapa saat, dia meraihnya, namun segera berhenti, seolah tenaga dalam dirinya tersedot habis. Dia berdiri di sana tidak bergerak, dan punggungnya gemetaran tanpa henti. Karena dia terlihat sangat kasihan, aku mematikan amplifier, meletakan bass ku, dan berdiri.

Jadi sebenarnya suara berdengung itu bukan disebabkan oleh serangga. Setelah sampai ke lapangan di bawah tangga, aku berjalan ke ruang latihan. Aku mencoba menggoyangkan kabinet itu dan sesuatu yang tersangkut di belakangnya tiba-tiba jatuh dengan suara *pak*. Jadi sebenarnya itu adalah sampul depan album Iron Maiden yang pertama. Suara berdengung itu mungkin disebabkan oleh gesekan halaman sampul depan yang disebabkan oleh getaran dari suara gitarnya.

Aku sebenarnya berfikir kehilangan sampul depan itu untuk selama-lamanya, dan karenanya aku sangat senang saat mendapatkannya kembali. Aku dengan ceria menunjukkan sampul itu ke Mafuyu yang didalamnnya terdapat gambar zombi yang mengeriakan – dan jelas saja, dia menyemprotkan insektisida ke wajahku sambil menangis dan berteriak di saat bersamaan.

<noninclude>

Referensi

  1. finger crab walk, aku tidak bisa menemukan istilah ini dalam bahasa indonesia
  2. kolom
  3. i need to search it on wiki
  4. yang dimaksud di sini adalah grup komedi Jepang. Sepertinya The Drifters ada 2, yang satu grup komedi Jepang, yang satunya Band Inggris... need more referencess
  5. Leon Trotsky
  6. phonograph?
  7. kurang lebih 1000 rupiah secara nilai kurs, dan 100 rupiah secara perbandingan nilai riil -2014
  8. memanggil orang dengan nama diri menunjukkan keakraban yang biasanya hanya digunakan pada pasangan, teman dekat atau semacamnya. Umumnya orang Jepang memanggil dengan nama keluarga+san/kun

</noninclude>