Oregairu (Indonesia):Jilid 9 Bab 8
Bab 8: Dan kemudian, Yukinoshita Yukino
8-1
Persis setelah malam, angin dingin mulai meniup melalui Destinyland, yang berdiri di salah satu bagian tepi pantainya.
Jika anginnya menjadi terlalu kuat, kembang apinya kemungkinan akan ditunda. Tapi tidak ada pengumuman mengenai itu, jadi kembang apinya mungkin akan digelar seperti yang terjadwal.
Setelah menyelesaikan belanja kami di toko Pan-san, kami mengunjungi sejumlah atraksi-atraksi lain, mengambil foto-foto sebagai bahan-bahan keterangannya. Aku sangat ragu sekali tentang apa foto-foto ini sama sekali akan menjadi berguna, tapi pada akhirnya, itu tidak seperti ada hal lain yang bisa kami lakukan selama dua hari libur yang kami punyai ini. Dengan itu di pikiranku, ini bukanlah upaya yang benar-benar tak berarti meski foto-fotonya itu, paling banyak pun, hanya bahan keterangan untuk acuan saja.
Terus menerus berjalan dan berdiri membuat keletihan bertumpuk sedikit demi sedikit. Sementara kami sudah kadang-kadang beristirahat, keramaian ini tidak mengizinkan kami untuk bergerak seperti yang kami inginkan, membuat masing-masing dari kami lumayan lelah sekali.
Pada saat sekarang, kami sedang berkeliling berharap menaiki satu atraksi terakhir sebelum paradenya dimulai. Tapi tidak seperti siang tadi, laju semua orang lebih lamban.
Tentu saja, aku berakhir di belakang kelompok itu, sebuah kebiasaan yang dimulai setiapkali aku bergerak bersama-sama dengan suatu kelompok. Tapi berkat itu, aku bisa mendapatkan pandangan-pandangan sepintas akan semua ekspresi lelah kelompok ini, yang secara keseluruhan mulai berhenti berbicara sedikit demi sedikit.
Terutama, secara diagonal di depanku, Isshiki yang sedang berbicara dengan Tobe meninggalkan kesan bagiku.
“…Tobe-senpai, apa kamu ada waktu sebentar?”
“Ooh, ada apa, Irohasu?”
Isshiki berbicara pada Tobe dengan suara kecil, dengan hati-hati menghindari perhatian yang tidak diinginkan, walau suara Tobe itu keras sebagai balasannya. Dia kemudian menarik lengan baju Tobe ke bawah, merasa hal itu bermasalah, dan berbisik ke dalam telinganya.
“…Eh, ente serius?” kata Tobe dengan ekspresi kaget, atau lebih tepatnya, tidak mengenakkan. Setelah membuat suatu tampang pelik dan memandang-mandang ke sekelilingnya, dia menurunkan suaranya dan membisikkan sesuatu. Melihat Tobe yang biasanya bising dengan diam-diam berbisik-bisik seperti itu begitu anehnya tidak wajar.
Setelah percakapan mereka berakhir setelah beberapa patah kata, Isshiki dengan pelan membungkuk pada Tobe dan dia segera bergegas ke depan dimana Hayama dan Miura berada. Kelihatannya dia meminta sesuatu pada Tobe. Mengenai Tobe, dia sedang menarik rambut di belakang kepalanya selagi terlihat bingung.
Setelah sampai ke depan, Isshiki berdiri di samping Hayama dengan Miura yang juga berada di sisinya. Kelihatannya kami akan terus berjalan lurus ke depan sampai kami berhasil keluar dari alun-alunnya.
Hayama, yang tidak tampak lelah, berbincang dengan Isshiki, yang dengan santai datang berbicaranya padanya, sementara Miura berjalan dengan lesu karena letih.
Yang mengikuti di belakang mereka adalah Yuigahama dan Ebina-san yang mengoceh-ngoceh pada satu sama lain, masih bersemangat.
Dan kemudian ada aku. Aku sedang mengekori di belakang mereka, saat ini sedang disetel ke dalam mode sedikit letih.
Yukinoshita, yang posisinya serupa denganku, juga sedang berjalan mengikuti dengan lesu. Bagi seseorang yang tidak yakin akan staminanya sendiri, di sinilah dia, di dalam kerumunan orang ini. Dia yang paling tampak lelah dari kami semua.
Bahkan sekarang dia sedang menyeret dengan berat kaki rampingnya. Dia tiba-tiba memghembuskan nafas dalam.
“Kamu tidak apa-apa?”
“Ya.” jawab Yukinoshita dengan singkat. Dia tidak melihat ke arahku, walau aku tidak yakin apa itu karena dia terlalu letih untuk melakukannya, atau apa jarak kami masih agak tegang.
“Ah, sial.” kata Yuigahama saat dia berjalan di depan.
Aku melihat ke arahnya dan jalan yang menuju sampai ke alun-alun yang akan kami lewati itu sudah hampir dipalangi dengan tali untuk paradenya.
Yuigahama dan Ebina-san dengan ribut melesat ke depan dan nyaris hampir tidak bisa melewati tali yang sudah akan ditaruh di sana itu. Baik Yukinoshita dan aku, yang lebih jauh di belakang mereka, sepenuhnya terlambat untuk berancang-ancang.
Kami berdua dipisahkan dari Yuigahama dan yang lain oleh satu jalan. Menyadari bahwa kami sudah tertinggal di belakang, Yuigahama memanggil.
Aku mengangkat tanganku dengan pelan dan menyahut. “Pergi saja dulu. Kami akan menyusul di belakangmu.”
“Baaaiklah!” Yuigahama mengayunkan lengannya dan pergi mengejar Hayama dan yang lain.
Aku melihatnya pergi dan berpaling pada Yukinoshita. “…Oke, kita sebaiknya mulai pergi.”
“Baiklah kurasa.”
Itu bukanlah suatu masalah besar karena kami tahu kemana tujuan mereka. Sedikit jauh karena kami harus mengambil jalan memutar mengelilingi alun-alunnya, tapi itu tidak buruk. Tapi dengan jalannya dipalangi untuk paradenya, sisi kami mendapati kepadatan orang yang bertambah.
Di tambah lagi, hari sudah malam dan cahaya atraksinya sudah menyala dengan cemerlang. Ada sejumlah orang-orang yang berhenti dan bersiap-siap untuk mengambil foto seakan mereka sedang pergi memberi persembahan. Karena itu, kami tidak bisa maju seperti yang kami inginkan.
Itu memakan waktu yang lumayan banyak untuk sampai ke Spride Mountain, atraksi selanjutnya yang ingin kami naiki. Aku melihat sepintas pada pintu masuknya, tapi Yuigahama dan yang lain tidak terlihat dimanapun.
Yukinoshita mencoba melihat sekeliling juga dan berbicara ketika dia menyadari mereka tidak terlihat ada di sekitar tempat itu. “Apa kita sebaiknya memanggil mereka?”
“Kurasa sebaiknya begitu…”
Aku mengeluarkan ponselku dan memanggil satu nomor yang kuketahui dari kelompok mereka. Membutuhkan tiga deringan bagi pihak mereka untuk akhirnya mengangkatnya.
“Yaaa?” Bersama-sama dengan suara Yuigahama terdapat suara-suara ribut lain. Itu semua mungkin suara Hayama dan yang lain.
“Dimana kalian? Kami berdua sudah di sini.”
“Ah, maaf, kami sudah masuk ke dalam.”
“O-Oke…”
Kupikir mereka akan menunggu kami, tapi kurasa tidak… Aku menerima suatu syok ringan.
Merasakan hal tersebut, Yuigahama berkata dengan kalang kabur, “Tidak apa-apa, tidak apa-apa! Kalau kalian mengambil jalur FASTPASS, kita akan segera bertemu. Itu juga tidak begitu ramai sekarang ini, jadi kamu akan super cepat melalui antriannya. Sehingga kami berakhir berbicara tentang apa itu tidak masalah bagi kami untuk pergi dulu dan semacamnya…”
Aku memandang sekilas pada antrian yang menunggu selagi mendengarkan.
Seperti yang dikatakannya, antriannya lebih pendek dari biasanya. Layar dengan waktu menunggunya menandakan sekitar tiga puluh menit. Mempertimbangkan betapa cepatnya antriannya sedang bergerak sekarang, kemungkinannya waktunya akan jauh lebih singkat lagi. Juga, jika kami mengambil jalur FASTPASS mengikuti saran Yuigahama, kami seharusnya bisa dengan mudah bertemu. Terkadang, ada orang yang akan memakainya untuk pergi ke toilet selagi menunggu di antrian, jadi seharusnya tidak ada banyak masalah menggunakannya untuk bertemu dengan yang lain.
“Baiklah.”
“Oke, sampai jumpa nanti.”
Aku menutup teleponnya dan melihat ke arah wajah Yukinoshita. “Kelihatannya kami akan bertemu dengan mereka di dalam.”
Yukinoshita mengangguk balik dan kami menuju ke arah antrian itu.
Jalur FASTPASS tidak dapat dipakai di awal. Ada waktu-waktu yang sudah ditetapkan dimana FASTPASS bisa dipakai dan itu juga diawasi dengan ketat. Itulah sebabnya kami berakhir mengantri di antrian biasa. Tapi bahkan di antrian ini, kami bisa terus berjalan dengan mulus. Ini kemungkinannya karena pelanggan-pelanggannya bermigrasi ke arah area parade.
“Untuk sekarang, kurasa kita sebaiknya tetap di antrian ini sampai antriannya berhenti bergerak.”
Kami akan berjalan sejauh yang kami bisa di antrian ini. Dari sana, jika kami mengambil jalur FASTPASS seperti menukar lajur lalu lintas, maka kami seharusnya bisa menemukan Yuigahama dan yang lain dengan segera.
Selagi kami menanti di dalam antrian, antriannya maju lebih jauh lagi dan kami sudah bergerak jauh sekali.
Dan kemudian, ada satu kelompok yang kelihatannya adalah murid-murid SMA dari suatu SMA yang mengenakan seragam gakuran Cite error: Invalid <ref>
tag; refs with no name must have contentdi depan sedang bertengkar. Ketika pembukaan parade dan kembang apinya, anak-anak muda ini yang sedang menunggu kesempatan mereka akan berlari dengan segenap tenaga mereka sehingga mereka bisa menaiki atraksi-atraksi lagi dan lagi. Kelihatannya bahwa lari mereka itu merupakan penyebab utama pertengkaran itu. Mereka sedang bertengkar mengenai siapa yang pertama dan siapa yang memotong mereka dan semacamnya.
Stafnya segera melesat datang dan mereka semua diminta untuk pergi. Antriannya terus berlanjut secara hening dengan penetapan peringatan tersebut.
Yukinoshita melihat ke arah wajah-wajah orang di depan dan di belakang.
“Kelihatan seperti kita tidak akan bisa memakai teman kita sebagai alasan untuk maju terlebih dulu…”
“Ya. Aku akan mencoba meneleponnya sekali lagi…” Aku mengeluarkan ponselku dan menekan tombol redial. Tapi tidak peduli berapa banyak deringan yang berlalu, tidak ada jawaban. “Dan dia tidak mengangkatnya…”
Sebetulnya nomor Yuigahama itu satu-satunya yang kuketahui… Aku sudah memberikan nomorku pada Hayama sebelumnya, tapi aku tidak pernah mendapat nomornya.
“Apa kamu tahu nomor telepon mereka-mereka yang lain?”
Aku menanyakan Yukinoshita hanya supaya pasti, tapi dia menggelengkan kepalanya. Sudah kuduga… Aku mencoba menelepon beberapa kali lagi selagi kami dengan enggan tetap menanti di antriannya dan dengan antriannya maju ke depan, kami akhirnya bisa melihat lantai dasarnya. Segera setelah kami menuruni jalan bertrotoar itu, kami akan sampai ke tempat untuk menaiki kenderaannya.
“Kalau begini, akan lebih cepat untuk menaiki kenderaannya saja daripada pergi kembali. Toh, mereka mungkin menunggu di pintu keluarnya.”
“…Ba-baiklah kurasa.” sahut Yukinoshita dengan suara yang terdengar gelisah.
Ketika aku memandang ke arahnya, dia dengan diam-diam berpaling.
“…Ada sesuatu yang salah?”
“……”
Aku menanyakannya, tapi dia tidak menyahut.
…Tunggu. Sekarang tunggu dulu sebentar. Tunggu, tunggu. Rasanya aku pernah melihat hal ini beberapa kali sebelumnya… Sedikit kuatir, aku menanyakan Yukinoshita, “Boleh aku memeriksa sesuatu denganmu?”
“Apa itu?” Yukinoshita melihatku dengan ekspresi tegang.
Aku melihat ke arah mata Yukinoshita dan dengan perlahan menanyakannya sementara memperhatikan reaksinya, “Mungkinkah kamu tidak tahan dengan hal-hal semacam ini?”
Kami berdua masih terdiam, kami menatap pada satu sama lain tanpa ekspresi. Dan kemudian, pandangan Yukinoshita dengan mulus beralih ke samping. “…Itu bukan aku tidak tahan.”
Ya, aku ingat dia mengatakan sesuatu yang mengelak seperti itu sebelumnya… Dia mengatakan hal yang sama ketika aku memberitahunya dia tidak tahan dengan anjing.
Ahh, Aku tahu itu benar-benar sesuatu seperti itu. Itu benar-benar pola Yukinoshita yang biasa. Memikirkannya kembali, aku memang mengingat kakinya terhuyung-huyung setelah turun dari SpaMt. Itu bukanlah dia tidak tahan dengan keramaiannya, tapi dia tidak tahan dengan roller coaster.
“Kamu benar-benar perlu mengatakan hal itu jauh-jauh sebelumnya… Kita akan kembali.”
“Aku tidak apa-apa.”
“Tapi kamu tidak bagus dengan ini, bukan?” tanyaku.
Yukinoshita mengernyit dan dengan penekanan, berkata, “Aku bilang aku tidak apa-apa, bukan?”
“Jangan bodoh. Kamu tidak perlu keras kepala dengan sesuatu semacam ini. Kamu juga tidak perlu memaksakan dirimu.”
Itu karena aku berpikir seperti itu sehingga kata-kataku yang keluar itu lebih keras dari biasanya.
Kemudian, bahu Yukinoshita tersentak dan dia menjatuhkan pandangannya. “…Bukan itu. Kamu benar-benar tidak perlu mengutirkanku. Aku tidak apa-apa, sungguh.”
Suaranya terdengar jauh lebih kekanak-kanakan dibanding nada suaranya yang biasa. Tidak, itu cuma karena dia hanya tampak terlihat dewasa, tapi sebenarnya, dia hanyalah seorang gadis yang seusiaku.
Yukinoshita melanjutkan kata-katanya, dengan tergagap dan dengan canggung. “Aku tidak begitu percaya diri pada awalnya, tapi ketika Yuigahama-san berada bersamaku, aku tidak apa-apa… Jadi, aku akan tidak apa-apa, kurasa.”
Alasan Yukinoshita tidaklah begitu terus terang dan juga tidak begitu berdasar. Dibandingkan dengan tingkah laku logis biasanya, dia benar-benar tidak sedang membicarakan sesuatu yang berhubungan. Namun, ada ketidak-logisan inilah sehingga aku dapat merasa itu adalah apa yang benar-benar dirasakannya. Jika begitu, maka itu adalah sesuatu yang harus kuhormati.
“Yah, kalau kamu bilang begitu…” kataku.
Namun, Yukinoshita tidak mengangkat kepalanya. Meski buruk dengan kenderaan semacam ini, dia benar-benar tidak terlihat seperti dia akan baik-baik saja menaiki ini… Aku menggaruk kepalaku mencari-cari kata yang perlu kuucapkan.
“Yah, lakukan ini saja. Cukup lebih rileks ketika kamu menaiki kenderaannya. Itu tidak seperti kita akan mati atau apa.”
“Ka-kamu benar,” kata Yukinoshita, menunduk ke bawah. Dia kemudian memandang ke atas padaku dengan mata menengadah. “…Kita benar-benar tidak akan mati, bukan?”
Sebetapa gugupnya kamu ini…?
“Jangan kuatir. Setidaknya, tidak dari yang kudengar,” kataku, dan antriannya melaju ke depan dengan Yukinoshita juga ikut berjalan dengan lesu. Setelah melewati lengkungan terakhir, kami sampai ke serambi untuk menaiki kenderaannya.
Itu kemudian giliran kami untuk menaiki kenderaannya.
Pertama-tama, aku menaiki kenderaannya. Selanjutnya Yukinoshita dan dia naik ke dalam kenderaan itu dengan tangan terkepal. Lengannya sedikit bergetar dari tenaga yang berlebihan itu.
Bahkan ketika kenderaannya dengan perlahan mulai melaju, Yukinoshita tidak merilekskan tubuhnya.
Pada akhirnya, suatu lagu indah berputar selagi cerita Br’er Weasal dan Br’er FerretCite error: Invalid <ref>
tag; refs with no name must have content atraksi itu terbentang. Robot cerpelai itu dengan sikap robotis bergemerincing saat mengedip. Tapi, Yukinoshita terlalu terpusat akan apa yang ada di hadapannya sehingga dia tidak ada kesempatanbenar…” Yukinoshita menghela, akhirnya melepaskan cengkramannya pada pegangannya.
“Kamu benar-benar buruk dengan ini, huh…?” tanyaku, tapi aku jujur saja tidak berpikir dia akan setakut ini.
Yukinoshita kemudian membuat suatu senyuman mencela diri . “Ya. Dulu sekali, nee-san… akan melakukan segala jenis hal, jadi…”
“Hm? Oh, kakakmu, huh?”
Orang itu lagi…
Yukinoshita Haruno. Sementara dia itu kakak Yukinoshita, dia juga merupakan seorang iblis manusia super yang melampaui adik kecilnya. Bagaimana sebaiknya aku mengatakan ini, Yukinoshita-san, akhir-akhir ini, kamu tidak terlihat sepenuhnya sempurna lagi… Maksudku, walau kamu masih, begitu jauhnya, lebih baik dari semua orang yang lain.
Seakan percakapan kecil kami sudah menenangkannya, Yukinoshita melihat-lihat atraksi ini. Kodok-kodok bermain-main dengan semburan-semburan air yang membumbung.
Yukinoshita dengan perlahan berkata seakan mengikuti dengan laju lamban kenderaan ini. “Itu dulu ketika aku masih lebih kecil. Setiap kali kami mengunjungi tempat-tempat seperti ini, nee-san akan selalu mengangguku.”
“Aku dapat agak membayangkan itu…”
Haruno-san sudah ikut campur dengan adik kecilnya sekarang, jadi itu masuk akal dia sudah aktif dulu. Mepertimbangakan ini adalah ketika dia masih kecil, ini tidak diragukan lagi level bullynya setiap kali dia bermain-main dengan Yukinoshita.
Ketika aku mengatakan itu, Yukinoshita tergelak. Ini mungkin senyuman pertama yang ditunjukkannya semenjak kami menaiki kenderaan ini.
“Ya. Dia akan menggoyang Ferris wheelnya, menarik tanganku lepas dari pegangannya pada roller coaster, dan melakukan segala hal-hal lain semacam itu. Ada juga suatu kelai dimana dia akan memutar cangkir kopi yang kuhentikan… Nee-san yang dulu benar-benar terlihat seperti dia sangat bersenang-senang…”
Ekspresi Yukinoshita akan perlahan-lahan menjadi tumpul selagi dia berbicara. Hanya mendengarkannya saja bahkan membuat diriku juga merasa patah semangat. Bukankah Haruno-san kurang lebih tersangka atas Yukinoshita menjadi buruk dengan hal-hal itu?
“Nee-san’s selalu seperti itu…” kata Yukinoshita dengan singkat.
Kenderaannya melaju melintasi jalur yang gelap, gelap sekali. Robot gagak akan bernarasi dengan kata-kata berfirasat buruk dan langit-langitnyya terbuka, langit malam hari itu mengintip melalui celah terbuka itu. Kenderaannya naik, selagi semua gemerincing dan gemerincing itu. Kami baru saja akan mencapai puncak. Yukinoshita menjadi kaku.
Baru saja ketika aku berpikir kenderaannya akan langsung terjun ke bawah, kenderaannya tiba-tiba berhenti, berbaris secara paralel dengan cakrawalanya.
Kami kemudian dapat melihat bagian luar Destinyland. Atraksi yang menyerupai gunung berapi laut dinyalai dengan terang dengan cahaya merah dan mengepulkan asam dan gerombolan hotel-hotel dengan cantiknya berpendar dengan cahaya--cahaya Natal. Jauh di kejauhan, kami dijumpakan dengan pemandangan malam hari pusat kota baru.
Dan yang tercantik dari semuanya, cahaya-cahaya berlimpah nan berkerlap-kerlip yang meniru langit penuh bintang, dan pemandangan malam hari Destinyland terbentang jauh dan terletak persis di bawah mata kami.
Saat melihat semua itu, Yukinoshita membuat suatu helaan singkat.
“Hei, Hikigaya-kun.”
“Hm?”
Menghentikan pandanganku yang beralih adalah Kastil Tembok Putihnya, yang diterangi oleh warna putih dan biru.
Tapi yang juga diterangi adalah mantel putih murni yang memeluk Yukinoshita, dan raut senyumannya yang sudah di ambang meneteskan air mata.
Saat melihat ke arah sosok tak ternilai, namun hanya sementara itu, nafasku diambil pergi.
Yukinoshita melepaskan tangannya dari pegangannya dan meremas lengan baju mantelku. Persis pada saat tangan kami bersentuhan, itu terasa seakan sesuatu sudah meraih hatiku.
Tidak lama, aku sudah dikunjungi sensasi melayang yang mengenakkan itu, sebuah sensasi yang seakan aku akan terus jatuh selamanya.
“Tolong aku suatu hari nanti, oke?”
Suaranya yang berbicara dengan lembut itu pudar mengiringi angin yang turun, membuatku tidak mampu menjawab.
Itu mungkin saja, kurasa, keinginan paling pertama yang pernah diutarakan Yukinoshita.
Catatan Translasi
<references>