Oregairu (Indonesia):Jilid 4 Bab 6
Bab 6: Karena Silap, Hikigaya Hachiman tidak Memiliki Pakaian Renang
6-1
Aku mendapat sebuah mimpi.
Tangan yang lembut dan mungil menggoyang tubuhku dengan teramat hati-hati. Lewat pandangan samar dari diriku yang sedang tertidur, aku dapat merasakan kehangatan tubuh pada kulitku. Suara yang manis memanggil namaku, terdengar sedikit gugup.
Dalam benakku, itu adalah mimpi yang sangat bahagia.
Tapi aku tahu itu hanyalah sebuah mimpi. Adikku biasanya tidak pernah membangunkanku, dan bahkan orangtuaku jauh lebih mungkin sudah meninggalkan rumah sebelum aku membuka kelopak mataku. Yang selalu membangunkanku dari mimpiku adalah alarm ponselku yang kejam dan tidak manusiawi.
Maka dari itu, hatiku dan tubuhku sama-sama menarik kesimpulan bahwa ini adalah sebuah mimpi.
“Hachiman, sudah pagi. Bangun…” kata suara itu berulang-ulang.
Karena tubuhku digoyang terus menerus, kelopak mataku akhirnya terbuka perlahan. Cahaya pagi itu menyilaukan. Totsuka menyeringai padaku dari balik cahaya tersebut, senyumannya agak takjub.
“Kamu akhirnya bangun… selamat pagi, Hachiman.”
Terdapat jeda yang panjang.
“Ya,” sahutku pada akhirnya.
Pemandangan ini terasa begitu tidak nyata sampai membuatku linglung. Cahaya matahari yang putih bersinar lewat jendela dan burung gereja serta burung sanma[1] berkicau di luar.
“Huh…”
Apa ini adegan pagi-setelah xxx tersebut?ǃ Apa aku sudah melewati yang di balik garis pembatas, garis yang tidak boleh dilewati tersebut?! [2]
Saat aku kelinglungan, Totsuka melepas sprei kasurnya dan mulai melipatnya.
“Kamu tidak akan sempat sarapan kalau kamu tidak bergegas.”
Saat aku menerima info lebih, aku mulai menangkap situasinya. Ya, ternyata aku datang mengikuti perkemahan. Dan di sini aku malah merenungkan kapan persisnya kami mulai hidup bersama.
Setelah aku bergeliat keluar dari kasurku, aku mengikuti tindakan Totsuka tadi dan melipat kasurku. “Mana yang lain?”
“Hayama‐kun dan Tobe‐kun pergi duluan. Kamu kelihatan masih belum mau bangun tadi, Hachiman…” Dia melihatku dengan mata yang agak menyalahkan.
Apa perasaan bersalah yang muncul ini…? Aku tidak pernah meminta maaf seperti seorang rakyat Jepang yang rendah hati karena telat datang ke sekolah atau ke tempat kerja atau semacamnya, tapi hanya sekali ini, aku bersikap seperti GEISHA HARA-KIRI GUNUNG FUJI[3]. Maksudku, kamu tidak bisa mengatakan ‘geisha’ tanpa mengatakan ‘gay’.
“Maaf…” Aku meminta maaf dengan terang-terangan, setelah tadi merenungkan dalam-dalam tindakanku.
Tapi Totsuka masih cemberut. “Tahu tidak, Hachiman, jadwalmu benar-benar kacau selama liburan musim panas.”
“Y‐ya. Er, kurasa.”
“Kamu tidak berolahraga atau semacamnya.”
“Ya, benar. Aku benar-benar tidak ada niat melakukannya. Karna cuacanya panas.”
“Bukankah itu tidak baik untuk tubuhmu? Kamu sebaiknya sedikit berol‐ oh, aku tahu. Ayo kita kapan-kapan main tenis,” saran Totsuka dengan ceria.
“Oh, kamu mau main, huh? Panggil aku kalau kamu mau melakukannya.” aku menuturkan kalimat standar yang selalu orang katakan saat mereka diajak melakukan sesuatu. Ketika kamu berada di pinggiran masyarakat, kurasa orang akan mengajakmu hanya supaya sopan.
Itu seperti, “Oh… jadi kita pergi?” Pak, aku benar-benar berharap mereka tidak melakukannya. Aku tidak perlu itu. Ketika mereka mengajakku, aku akhirnya akan membuat jawaban yang asal-asalan hanya supaya sopan juga.
Hanya sedikit pengetahuan umum: Orang yang mengatakan “panggil aku kalau kamu mau melakukannya” ketika mereka diajak melakukan sesuatu itu hampir tidak akan diajak lagi. Sumberː diriku.
Aku melihat ke arah Totsuka dengan tak sabar, menunggu hukum tersebut untuk bekerja.
“Oke, kamu yang bilangǃ Aku pasti akan memanggilmu!”
Tapi kali ini, kelihatannya aku aman. Jawaban Totsuka yang riang membuatku merasa tenang.
Aku tidak dapat menemukan alasan apapun untuk menolak mentah-mentah ajakan dari seorang lelaki. Maksudku, kalau aku mendapat telepon dari Zaimokuza dengan semacam ajakan, itu lain cerita. Tapi selain melakukan sesuatu untuk Komachi, aku tidak ada rencana lain. Jadwalku begitu kosongnya sampai aku akan menang telak kalau muncul sebuah perlombaan “Seberapa Banyak Waktu Senggang yang Kamu Miliki?”. Aku jarang diajak kemanapun, dan aku sudah pasti tidak pernah mengajak siapapun untuk jalan-jalan denganku selain saya, diriku dan aku.
Aku bersumpah tidak akan pernah mengajak siapapun untuk jalan-jalan denganku semenjak waktu SMP ketika Ooiso-kun menolakku lewat telepon mengatakan dia ada tugas di rumah, tapi ketika aku pergi ke pusat permainan sendirian, aku menemukannya dan Ninomiya-kun di tempat karaoke sebelah. Maksudku, kamu tahu bukan. Menolak orang lain juga menyakitkan. Itu caraku untuk bersikap baik, tahu.
“Baiklah, kalau begitu ayo kita makan dulu?” tanyaku.
“Tentu. Er, uh… aku tidak tahu alamat emailmu, Hachiman…”
Oh, iya. Hal itu terselip dari pikiranku karena aku hanya memakai ponselku sebagai penghabis waktu dan jam alarm, tapi Totsuka dan aku masih belum bertukar alamat email.
Jadi sekarang aku akhirnya bisa mendapatkan alamat email Totsuka, huh…? Dengan terjangan emosi, aku mengeluarkan ponselku dan segera membuka layar kontak.
“Huh?! H‐Hachiman, kenapa kamu menangis?!”
“Oh, tidak kenapa-kenapa. Cuma menguap saja.”
Kelihatannya aku menangis karena terharu.
“Oh, iya. Kamu baru saja bangun. Oke, beritahu aku alamatnya.”
“Ini.” Aku menunjukkannya alamatku.
“Er, uh…”
Totsuka memegang ponselku dengan ponselnya dan menekan hurufnya satu per satu, seakan dia tidak begitu mahir dengan mesin. Aku sedikit kuatir melihatnya menggugamkan hal-hal seperti, “Oh, huh? Apa ini benar? Seperti ini?” dari waktu ke waktu selagi dia terus menekan. Kalau dia salah menyimpan alamat emailku dan pesannya tidak sampai padaku, aku akan merasa sedih tiada akhir.
“Oke, selesai… kurasa. Aku akan mengirim pesan untuk mengetesnya,” kata Totsuka selagi dia sekali lagi mulai menekan ponselnya dengan kecepatan yang menyakitkannya lamban. Sementara itu, dia memiringkan kepalanya dan kemudian mengganguk sekali setelah dia memikirkannya sejenak. “Sudah kukirim.”
“Ohh, terima kasih.”
Beberapa detik setelah dia mengucapkannya padaku, ponselku berbunyi.
Achievement unlocked: Alamat email Totsuka [4]! (Tos dulu!)
Pak, ini hebat sekali. Sekarang aku hanya perlu menyimpan nomornya, pikirku selagi aku membuka pesan yang masuk.
Subjek: halo ini saika
Isi: hachiman, selamat pagi. ini pesan pertamaku. semoga kita menjadi teman yang lebih baik lagi mulai sekarang!
Segera setelah pandanganku jatuh pada untaian kata-kata tersebut, sesuatu yang hebat terjadi pada jantungku. Tanpa peringatan, aku mendadak terbatuk keras.
“Hkkkkk! Gaaaaaah!”
“Hachiman?! A-ada apa?! Apa kamu baik-baik saja?!” Totsuka mulai menepuk punggungku dengan panik.
Waah, meskipun tangannya begitu mungil, tangannya terasa begitu lembut dan hangat…
“A-aku sudah membaik…”
“Baguslah…”
Setelah aku akhirnya sembuh, Totsuka menatap ke arahku seakan dia belum cukup yakin dengan apa yang kukatakan. Untuk mengalihkannya, aku tersenyum padanya dengan ceria. “Oke, ayo kita sarapan sekarang.”
“Oh, oke.”
Aku mendorong punggung Totsuka untuk mendesaknya selagi aku berjalan bersamanya.
Aku cukup yakin dia sedang memikirkan tentang isi pesannya ketika dia memiringkan kepalanya tadi. Talenta berbahasa Totsuka begitu menabjubkan jika dia bisa mengubah pesan yang begitu sederhana itu penuh dengan keimutan. Seseorang beri dia medali.
Omong-omong, waktunya untuk menyimpan pesan ini untuk anak cucuku. Dan juga, waktunya untuk menetapkan nada panggilan khusus untuk setiap kali aku menerima pesan dari Totsuka serta membuat folder cuma-Totsuka-saja pula. Aku sebaiknya membuat backup-nya di komputerku untuk berjaga-jaga.
6-2
Tidak ada lagi tanda-tanda anak SD di ruang makan dalam rumah tamu tersebut. Hanya Hiratsuka-sensei dan orang-orang biasa yang hadir.
“Selamat pagi.”
“Mm. Pagi,” jawab Hiratsuka‐sensei selagi dia menaruh korannya dengan suara twack keras.
Pak, kamu tidak akan menemukan pemandangan seperti itu sekarang ini. Aku merasa rindu dengan zaman era Showa.[5]
Ketika Totsuka dan aku duduk pada sepasang kursi yang kosong, Yuigahama berada tepat di depan kami. “Oh, Hikki. Selamat pagi!”
“Mmm.”
Yuigahama menyapaku dengan ucapan “selamat pagi” yang umum. Entah kenapa, aku tahu “Yahallo” bukanlah sebuah sapaan pagi. Mungkin kamu mengucapkannya setelah lewat siang hari.
Yuigahama duduk di samping Yukinoshita, yang duduk di samping Komachi. Komachi juga menyapa kami, namun persis setelahnya dia berdiri dan bergegas ke tempat lain.
Kalau Yukinoshita, dia bertukar sapaan dengan Totsuka sebelum memalingkan matanya padaku. “Selamat pagi. Ternyata kamu bangun juga…”
“Hei, jangan melirik ke bawah seakan kamu merasa kecewa. Selamat pagi,” Aku menyahut dengan sapaan kaku. Aku mendapat kesan aku diperingkatkan lebih rendah dari sampah di matanya. Apa lagi yang baru?
Seseorang meletakkan nampan di depanku dengan suara clang.
“Haiii, maaf membuatmu menunggu. Ada satu untuk Totsuka-san juga!”
Kelihatannya Komachi pergi mengambilkan sarapan untuk kami. “Terima kasih.”
Aku berterima kasih padanya seperti yang orang lakukan di McDonald. Singkatnya, orang yang melayanimu berkata, “Ada yang bisa saya bantu?” dan kemudian “Apa mau ditambah kentang goreng?” dan kemudian akhirnya menyelesaikannya dengan sebuah ucapan “Terima kasih”. Terakhir penjelasannya malah menjadi panjang lebar.
“Te-terima kasih… oke, itadakimasu,” kata Totsuka.
Mengikutinya, aku menepuk tanganku bersama. Kami bukan sedang melakukan latihan atau semacamnya – hanya doa biasa sebelum makan. “Itadakimasu.”
Jujur saja sarapannya sangat mirip masakan rumah: nasi putih, sup miso, ikan goreng dan salad, telur dadar, natto, perasa rumput laut, bumbu, dan jeruk untuk penutup. Hidangan ini kurang lebih cocok dengan bayanganku akan sarapan umum hotel.
Bersantap dengan hening, aku segera menyadari bahwa ada kekurangan nasi putih. Aku menghitung bahwa natto dan perasa rumput laut saja butuh dua mangkuk nasi. Ditambah lagi, telur mentah membutuhkan satu mangkuk penuh dari cara mereka menyajikannya pada tempat penginapan tradisional, yang benar-benar menjengkelkan.
Saat aku melirik pada mangkuk nasiku yang hampir kosong, suara Komachi memanggilku. “Onii‐chan, kamu mau tambuh?”
“Ya, tolong.”
Aku menyerahkan mangkukku. Untuk beberapa alasan, Yuigahama yang menerimanya.
“A-Aku akan mengambilkannya untukmu!” Dia mulai mencedok nasi dari wadah kayu tersebut dengan semangat, bersenandung seakan dia merasa ini semua menyenangkaɲ. “Silahkan!”
Oh wow. Dia memberiku segunung nasi yang tidak akan terlihat aneh dalam dongeng rakyat Jepang[6]. Yah, terserahlah. Aku memang berpikir ingin tambuh, jadi aku tidak mengeluh. “Terima kasih…”
Dengan penuh khidmat, aku membiarkan mangkuk tersebut disodorkan pada tanganku dan aku mengangkatnya setinggi dahi untuk berdoa. Hanya setelahnya aku mulai makan untuk yang kedua kalinya.
Tapi (kejutan, kejutan!) kali ini nasinya lezat sekali.
Sekarang setelah semua orang menyantap sarapan mereka, aku menyelesaikan sarapanku dengan menyesap teh. Sama sepertiku, Totsuka memuji kokinya dan meraih teh dengan laju yang agak pelan dan santai.
Selagi kami tanpa kerjaan mengobrol mengenai hal-hal yang terjadi semalam dan apa yang akan terjadi hari ini, Hiratsuka‐sensei mulai melipat korannya. “Sekarang setelah selesai sarapan, ayo kita membahas rencana kita hari ini.”
Dia menegak semulut penuh teh dan melanjutkan.
“Murid SD itu bebas untuk siang ini. Uji keberanian dan api unggun dijadwalkan malam ini. Aku ingin kalian menyiapkannya.”
Aku menghela. “Api unggun, huh?” Aku mengernyitkan wajahku saat mendengar kata yang tidak mengenakkan tersebut.
“Ah, itu saat kamu melakukan tarian rakyat itu,” ujar Yuigahama seakan baru teringat sesuatu.
Saat dia mendengarnya, bohlam Komachi menyala dengan suara ping. “Ohh! Kamu melakukan tarian Bentora Bentora[7]!”
“Aku rasa, maksudmu Oklahoma Mixer[8]… tapi cuma suku kata terakhirnya yang terdengar sama,” kata Yukinoshita, tidak terlihat begitu terkejut maupun tersinggung atas kesalahan tersebut.
Semua hal Bentora Bentora itu – yah. Itu apa yang kamu lakukan ketika kamu berkomunikasi dengan orang luar angkasa tengah malam di taman – dengan kata lain, dengan alien. “Itu tidak begitu berbeda. Pasangan menarimu itu bisa dibilang alien.”
“Tidak bisakah kamu mengatakannya dengan cara yang lebih halus, Hachiman…?” tegur Totsuka.
Tapi dia salah. Ada alasankuǃ
“Nah, Aku pikir memang begitu adanya.” Aku menarik nafas dalam-dalam. “Awalnya bagus. Tapi sekitaran keempat kalinya, gadis itu bilang, ‘Kita tidak perlu benar-benar berpegangan tangan, tahu,” dan kemudian setelah itu semua gadis lain mengikutinya dan kamu akhirnya melakukan Tarian Oklahoma Udara…”
“Hikigaya, matamu busuk… yah, mata itu cocok untuk peran monsternya. Aku akan mengandalkanmu untuk persiapan uji keberaniannya.”
“Jadi apa itu berarti tugas kami menakut-nakuti anak-anak tersebut?”
Yah, itu termasuk ke dalam rencana aktivitas perkemahan sekolah ini. Namun, harus berada di hutan malam-malam itu jauuuh lebih menakutkan.
“Yep. Maksudku, jalurnya sudah ditetapkan dan kita punya satu set kostum-kostum monster yang siap pakai. Yah, kalian sebaiknya mencobanya dulu. Kalau begitu, ayo kita pergi sekarang dan aku akan menjelaskan bagaimana kita melakukan persiapannya.”
Hiratsuka‐sensei berdiri. Kami juga membereskan peralatan makan kami dan mengikutinya ke luar.
6-3
Kami mengajak Hayama dan yang lain saat berjalan ke lapangan.
Lapangan tersebut oval dan mirip lapangan olahraga, hanya saja lapangan itu dikelilingi oleh hutan bukan pagar. Gubuk yang kelihatannya sebuah gudang penyimpanan peralatan terletak di ujung pinggir lapangan.
Setelah Hiratsuka-sensei berceramah pada para lelaki, kami mulai menyiapkan api unggunnya. Totsuka dan Tobe memotong kayu bakar dan membawanya kemari. Hayama menumpuk kayu tersebut, sementara aku menyusunnya menjadi sebuah bentuk yang mirip sebuah sumur.
“Menumpuk kayu sendirian dengan hening seperti ini agak mirip Jenga,” ujarku.
“Huh? Kamu bisa main Jenga sendirian?” tanya Hayama padaku dengan wajah datar.
Tunggu, tidak bisa? Aku pikir sudah pasti Jenga itu sama seperti menyusun menara kartu…
Kalau para perempuan, mereka sedang menggambar garis putih di sekeliling pusat api unggun. Garis ini akan dipakai untuk tarian rakyat tersebut.
Kami memotong kayu bakar, mengumpulkannya dan menumpuknya. Tentu, persiapannya itu sendiri cepat selesai, tapi karena ini semua pekerjaan fisik di bawah terik matahari, itu cukup melelahkan bagi kami.
Aku menyeka keringatku yang bercucuran. “Panas ini membunuhku.”
“Iya…”
Hayama dan aku berbicara seakan kami berdua sedikit muak terhadap ini.
“Kerja bagus.” Hiratsuka‐sensei, yang datang untuk memantau laju pekerjaan kami, menyodorkan kami dua kaleng jus.
Persis saat aku menerima ungkapan terima kasihnya‐
“Yang lain sudah menyelesaikan pekerjaannya. Yang perlu kalian lakukan tinggal bersiap-siap untuk uji keberanian sore ini. Kalian bebas sekarang.”
Hanya Hayama dan aku yang tersisa, seakan kami itu antrian terakhir. Yah, kami bebas melakukan apapun untuk sekarang.
Saat aku berjalan kembali ke bungalo, aku memeras otakku memikirkan apa yang akan kulakukan setelah ini.
“Aku akan kembali ke kamarku untuk sekarang, jadi bagaimana denganmu, Hikitani‐kun?”
“Oh, aku juga…” mulaiku, tapi kemudian sebuah pemikiran terlintas di benakku.
Kalau aku kembali ke kamarku seperti ini, aku harus pergi bersama dengan Hayama. Itu bukan sebuah masalah besar atau semacamnya, tapi aku anehnya merasa tidak tahan dengannya. Sebagai contohnya untuk kalian, ini seperti berjalan pulang dari reuni kelas pada arah yang sama dengan seseorang yang tidak begitu akrab denganmu, yang berarti kamu harus memaksa dirimu untuk membuat obrolan yang canggung. Dalam situasi seperti ini, apa yang perlu kamu lakukan untuk menghindarinya? Hanya ada satu jawaban.
“Sebetulnya, aku mau mampir ke tempat lain.”
Terus terang saja, aku tidak mau mampir kemana pun. Itu hanyalah sebuah kebohongan kecil yang dipakai seseorang agar dia tidak segera pulang ke rumah. Beberapa orang tidak paham maksud di balik kalimat tersebut dan berkata, “Huh? Kamu mau kemana? Aku ikut juga!” tapi seorang manusia yang arif akan memilih untuk tidak terus bertanya. Aku rasa Hayama itu salah satu tipe manusia yang arif.
“Baiklah. Kalau begitu aku pergi ke sana dulu,” kata Hayama selagi dia berjalan pergi, sambil mengangkat salah satu tangannya.
Aku membuat sahutan yang tidak jelas dan melihat dia pergi.
Baiklah, apa yang kulakukan sekarang…?
Kalau begini terus, aku akan bertemu dengan Hayama kalau aku kembali ke kamarku, jadi tidak ada gunanya bersusah payah membuat alasan itu untuk berpisah. Pergi ke suatu tempat untuk menghabiskan waktu itu mungkin pilihan yang paling tepat.
Saat aku berjalan selagi pemikiran-pemikiran tak berarti muncul dalam pikiranku, kakiku sesuka hatinya membawaku ke suatu tempat.
Aku mendengar gemercik aliran sebuah sungai kecil.
Oh iya, aku keringatan… air di sekitar sini bersih, dan lagi pula, tidak ada orang yang tinggal di hulu sungai ini. Airnya mungkin cukup jernih jadi aku bisa mencuci wajahku dengan air ini.
Menuju sumber suaranya, aku berjalan mengikuti jalurnya sampai aku tiba ke sebuah sungai kecil. Sungai ini kira-kira sekecil parit yang dangkal. Mungkin ini sebuah anak sungai. Singkatnya, kalau aku berjalan ke hilir, aku mungkin akan menemukan sungai yang lebih besar. Itu akan cocok untuk mencuci wajahku.
Selagi aku melanjutkan langkahku, pepohonan yang lebat dan rimbun itu mulai menyusut sedikit demi sedikit. Suara air mengeras, dan pada penghujung hutan tersebut terdapat sebuah area luas yang menyolok. Ini adalah bagian kering dari palung sungai.
“Ohhh, ini terasa agak nyaman,” Aku hanya dapat bergugam puas pada diriku.
Sungai ini mungkin dua meter lebarnya, tapi arus sungai yang lembut dan adem ini bahkan tidak sampai pahaku, dan arusnya terlihat adem ayem. Airnya terlihat cocok untuk berbenam.
Menatapi pantulan cemerlang air tersebut, aku berjalan menyusuri bantaran sungai dan‐
“Diiiiiingin sekali!”
“Rasanya luar biasa!”
Di dalam hutan yang hening tersebut, aku dapat mendengar suara tinggi berteriak riang.
Ketika aku memalingkan mataku ke arah tersebut, Yuigahama dan Komachi sedang bermain-main di sungai. Bahkan dari jauh, aku dapat melihat mereka memakai pakaian renang. Apa-apaan yang sedang mereka lakukan…?
“Oh, onii‐chan. Hei, hei! Kemari!”
“…huh? Hikki?”
Komachi melihatku saat aku sedang berdebat dengan diriku apa aku sebaiknya kembali. Sekarang setelah dia memanggilku, aku tidak ada pilihan selain menurut.
Sebetulnya, aku benar-benar tidak berkeinginan melakukan hal tersebut, lagipula aku ini seorang pria terhormat, jadi mendekati gadis yang mengenakan pakaian renang tanpa persetujuan mereka itu melanggar prinsipku, tapi sekarang setelah aku dipanggil ke sana aku tidak ada pilihan lain – dan, oh iya, aku harus mencuci wajahku juga. Sial, toh aku tidak ada pilihan lain juga, jadi aku jalani saja sampai akhirǃ
“Apa yang kalian lakukan? Dan kenapa kalian memakai pakaian renang?” tuntutku, setelah berlari ke arah mereka dengan begitu kencangnya sampai aku terengah-engah.
Komachi menangkupkan tangannya dan kemudian‐
“Siram dia!”
Tsunami. Kepalaku basah semua, menyisakan tetesan dari ujung rambutku.
…dingin sekali.
Mendadak, rasa antisipasi di dalam diriku turun jauh. Sialan, jangan katakan sesuatu yang biasanya hanya kamu katakan dalam kamar mandimu…
Untuk sesaat, aku menatap tajam ke arah Komachi dengan mata yang sayu, tapi adik kecilku tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan. “Panas rasanya saat melakukan persiapannya, jadi kami berbenam sebentar” adalah jawaban acuh tak acuhnya pada pertanyaanku sebelumnya.
“Kalau soal pakaian renangnya, Hiratsuka-sensei bilang kami boleh bermain-main di sungai… tunggu, kenapa kamu di sini, Hikki?” Yuigahama menjawab pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan, bersembunyi di belakang Komachi seakan dia merasa malu dengan pakaian renangnya.
“Er, Aku cuma datang untuk mencuci waja‐”
“Siapa peduli?” sela Komachi di tengah-tengah kalimat yang kuucapkan. “Lihat, onii‐ chan! Lihat pakaian renang baruku!”
Dengan tingkah berlebihan, Komachi membuat pose yang benar-benar tak kumengerti maksudnya.
Ujung bikini kuningnya dihias dengan rumbai-rumbai, memberikan kesan tropis selatan. Saat Komachi memercikkan air dengan riang, aku dapat melihat pakaian renangnya berkilauan. Apaan ini, Splash Star[9]? Setelah dia selesai membuat pose-pose untuk sementara ini, Komachi menatapku.
“Jadi apa keputusannya?”
Au mengerang. “Oh. ya. Kamu orang terimut di dunia.”
“Whoa, asal-asalan sekali.” Komachi merasa amat kecewa.
Maksudku, ayolah, dia punya baju seperti itu di rumah…
Bersungut-sungut melihat reaksiku, Komachi mengerang bosan, tapi kemudian matanya berkelip nakal dan dia diam-diam menyiapkan sesuatu di belakangnya.
“Kalau begitu… bagaimana dengan Yui‐san?”
“Hei! Komachi‐chan! Eek!”
Dengan sentakan mendadak, Komachi menarik Yuigahama, yang bersembunyi di belakang punggungnya. Tidak mampu menghadapi tindakan mendadak ini, Yuigahama terhuyung-huyung di depanku.
Biru cerah adalah hal pertama yang menarik perhatianku. Dia memainkan rambutnya dengan malu-malu dan merapikan rok bikininya. Kulit halus bagai sutranya yang cocok dengan warna biru bikininya, memantulkan sinar matahari. Tetesan air berlinang dari kulit berkilaunya, sisa dari permainan airnya barusan tadi. Mataku menyimpan lengkungan anggun yang menandai tengkuknya, berhenti sejenak pada celah tulang selangkanya, sebelum berkelana ke dadanya yang montok.
Yah, sial. Aku hanya tidak bisa melepaskan pandanganku padanya. Hanya dengan segenap tekadku, aku entah bagaimana dapat melepaskan pandanganku. Setiap kali aku berusaha mengangkat mataku, mataku akan turun dengan sendirinya. Jadi ini ternyata Hukum Ketiga Fisitits… terima kasih, untuk Bewbton‐sensei.
“Er, um… uhhhh…” Selagi dia bergeliat, wajah Yuigahama merah merona dan dia memalingkan wajahnya. Tapi ketika aku tetap terdiam, matanya melirik-lirik ke arahku dengan bimbang.
Kalau dia ingin pendapatku atau semacamnya, maka ini sungguh canggung. Apa-apaan denga situasi ini? Aku merasa ingin tewas di tempat.
Dengan tenang, aku membuka mulutku, memilih kata-kata teraman, paling tidak menyinggung yang dapat kukatakan. “Yah, uh, terlihat bagus. Cocok denganmu.”
“Oh, oke… terima kasih.” Yuigahama tersenyum malu-malu.
Tapi aku hanya tidak mampu mendorong diriku untuk menatap matanya. Karena aku dapat merasakan wajahku merona. Aku berlutut di tepi air dan menangkup sedikit air. Air yang jernih dan dingin menyegarkan itu menenangkan kulit meronaku.
Selagi aku menggosok wajahku terus menerus, suatu suara yang kukenal mendadak menerjangku.
“Wah wah, apa kamu sedang bersujud di depan sungai?”
“Yang benar saja. Kamu berdoa ke arah tanah suci lima kali sehari…”
Mendengar kata-kata yang dingin dan menusuk itu, secara refleks aku melihat ke atas.
Saat itu, aku lupa untuk bernafas.
6-4
Catatan Translasi
<references>
- ↑ Nama inggrisnya Eurasian skylark.
- ↑ Judul novel Kyokai Senjou no Horizon, Horizon in the Middle of Nowhere atau secara harfiah Horizon on the Borderline (Ufuk di balik perbatasan)
- ↑ Geisha ini akan bunuh diri di gunung Fuji.
- ↑ Referensi aslinya adalah kalimat dari game Pokemon. Kalimat “Getto da ze!” muncul setiap kali kamu menangkap Pokemon. Diubah menjadi referensi Steam karena lebih cocok daripada menerjemahkan kalimatnya menjadi “Alamat email Totsuka tertangkap!”
- ↑ Era Showa adalah Era kaisar Hirohito yang memimpin dari 25 Desember 1926 sampai 7 Januari 1989.
- ↑ Dalam anime Manga Nippon Mukashi Banashi (Harfiah. ‘Manga Dongeng Rakyat Jepang’), karakternya sering terlihat memakan nasi yang benar-benar banyak.
- ↑ Referensi dari manga Urusei Yatsura, dimana mereka berdansa dan meneriakkan Bentora, Bentora, Space People untuk memanggil UFO. Cuplikan.
- ↑ Tarian di samping api unggun, biasanya berpasangan laki-laki dan perempuan. Diajari oleh Rev. Larry Eisenberg di Asilomar, California. Diberi nama Oklahoma Mixer oleh Henry "Buzz" Glass, karena versi sekarang dipelajari di kota Norman, Negara Bagian Oklahoma, AS.
- ↑ Referensi anime Futari wa Pretty Cure Splash Star, tentang gadis ajaib.