Shinigami wo Tabeta Shoujo Indo:Bab 25

From Baka-Tsuki
Revision as of 09:31, 14 February 2021 by Narako (talk | contribs) (→‎Bab 25)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Chapter 25 - Tanaman Yang Kau Rawat Sendiri Pasti Rasanya Enak Sekali[edit]

Beberapa hari setelah meninggalnya jenderal veteran Sharov meninggal di penjara. Ada banyak orang yang diam-diam berkabung di Ibukota Blanca. Rumor telah menyebar bahwa insiden upaya kudeta merupakan sebuah fabrikasi dari Perdana Menteri, dan semua orang bersimpati pada keluarga Basarov yang telah dihilangkan. Perselisihan pendapat gak hanya terjadi diantara masyarakat, tapi juga diantara para prajurit.


Karakter yang dikenal sebagai Perdana Menteri Farzam gak punya popularitas. Bagi masyarakat, dia dianggap sebagai biang keladi dibalik semua eksploitasi. Bagi para prajurit, dia dihujat sebagai penyebab utama dari upah mereka yang gak memadai. Bagi para perwira militer, dia dicemooh sebagai seseorang yang dengan bangga naik ke posisinya hanya dengan cara menjilat. Bagi para perwira sipil, mereka membenci kekuasaan yang dia pegang layaknya mereka membenci ular[1]. Bahkan Barbora yang punya hubungan dekat dengan Farzam, dalam hatinya dia gak suka pada Farzam.


Meskipun evaluasi orang-orang terhadap Farzam tidaklah salah, penyebab terbesarnya juga karena Raja Kristoff gak peduli soal politik.
Raja gak melakukan apa-apa selain meringkuk di istana kerajaan, memiliki wanita yang menunggu dirinya dan menenggelamkan diri dalam kesenangan sexual, dan kalau dia merasa mau, dia akan berdoa Dewa Bintang untuk putra tertuanya yang sudah mati di usia muda.
Pria ini gak lagi punya ketertarikan dalam hal alan jadi apa Kerajaan ini nantinya. Gak ada lagi tanda-tanda kegembiraan diwajahnya seperti ketika dia memenangkan perebutan pewarisan tahta.


"Yang Mulia, mohon maafkan aku karena mengganggu kesenanganmu. Ini Farzam."


Farzam dengan hormat menyapa Kristoff, yang pakaiannya kacau seraya wajah pucatnya tampak lesu. Disampingnya berbaring dua selir, hanya memakai daster tipis dibadan mereka dan menatap Kristoff dengan tatapan menggoda.
Setelah masalah-masalah penting diselesaikan, Perdana Menteri Farzam, satu-satunya orang yang diijinkan untuk memasuki ruang pribadi Kristoff, akan datang melapor. Soal menilai benar dan salahnya suatu masalah sepenuhnya dilakukan oleh Farzam, dan Raja hanya menerima laporan setelahnya. Dasar dari penilaiannya hanya berdasarkan pada menguntungkan Farzam atau tidak. Pada dasarnya Perdana Menteri memegang wewenang tertinggi di Kerajaan.


“......Farzam huh? Kau mau apa di jam segini?”


Sekarang ini sudah sore, tapi Kristoff sudah gak tau waktu lagi. Dia memberi isyarat pada para selirnya, menyuruh mereka menyiapkan minuman. Ruangan redup itu nyaris penuh sesak dengan aroma hubungan pria dan wanita.
Farzam dengan bangga mulai berbicara sambil tersenyum.


"Siap. Sharov, pria yang merupakan dalang pemberontakan, telah tewas di penjara, jadi aku datang untuk melapor."


"......Aku paham. Jadi Sharov mati huh. Pria yang dulu disebut penyangga Kerajaan."


Tatapan dari mata Kristoff yang kosong menerawang. Selirnya mengulurkan gelas berisi alkohol, tapi dia gak bereaksi.


"Yang Mulia, ada apa? Apa kau tidak enak badan?"


"..........."


Gak bergerak dan duduk diam di ranjang, dia memegang gelasnya. Dia gak menunjukkan tanda-tanda mau mengatakan sesuatu.
Menilai bahwa dia bersikap seperti biasanya, Farzam melanjutkan melapor soal masalah lain.


".....Tentang negosiasi dengan Kekaisaran, aku telah meminta mediasi dari Gereja Bintang. Seorang pastor yang kenal baik denganku sedang menuju ke Kekaisaran sebagai seorang utusan. Kemungkinan, negosiasi untuk gencatan senjata akan terjadi tak lama lagi."


“...........”


"Dan juga, aku sudah memberi perintah untuk merebut kembali Belta pada Jenderal Barbora yang baru ditunjuk menjadi komandan Pasukan Pertama. Dengan gagalnya serangan pertama dari Kekaisaran, pasukan pemberontak pasti akan jatuh jika kita melakukan pukulan telak sekarang. Tak lama lagi, kedamaian akan kembali ke Kerajaan, tak diragukan lagi."


Sekarang karena musuh politik terbesarnya, Sharov, sudah gak ada, gak ada lagi yang ditakuti Farzam. Berkat sepak terjang dari sang Dewa Kematian yang dia dengar, Kekaisaran telah hancur dengan sendirinya. Setelah itu hanya tinggal menghancurkan pasukan pemberontak yang ada didepan mata. Demi hal itulah, dia mengirim bala bantuan unit elit sebesar 50.000 ke Canaan. Sekarang ini pasukan besar sebesar 150.000 telah berkumpul di Canaan. Dia juga mengirim utusan ke Pasukan Kelima di Madros di wilayah Utara dan Pasukan Kedua di wilayah Selatan, memberitahu mereka agar bergerak ke Belta. Gak mungkin pasukan pemberontak yang antah berantah bisa menghadapi serangan besar dari tiga arah.


"......Farzam. Berkat kau aku mendapat posisi ini. Aku ini tak kompeten, dan seorang manusia tanpa fitur unggul selain terlahir sebagai anggota keluarga kerajaan. Aku tak punya satupun bagian yang bisa menang terhadap kakakku yang sudah meninggal. Bahkan aku paham soal itu. Berkat upayamu lah aku bisa mendapatkan singgasana. Aku benar-benar bersyukur dari lubuk hatiku."


Ucap Kristoff sambil tersenyum pahit.


".....Yang Mulia, apa yang kau katakan? Tanpa Yang Mulia, Kerajaan–"


Farzam terkejut atas kata-kata yang gak terduga ini. Dia segara mengatakan sanjungan, tapi Kristoff menyela dia dengan nada tegas.


"Oleh karena itu, meski kau memutuskan untuk memfitnah dan membunuh Sharov pengikut setiaku, meski kau memutuskan untuk secara terus-menerus menenggelamkan diri didalam keuntunganmu sendiri, aku mengijinkannya. Aku tak mempermasalahkan jika kau menggunakan namaku dan memegang otoritasku sesuka hatimu. Aku mengijinkanmu."


“......Y, Yang Mulia?”


"–Tapi, saat sesuatu terjadi, satu-satunya hal yang tak akan kuijinkan adalah meninggalkan aku. Kau dan aku berbagi nasib yang sama. Hanya kau yang selamat dan tetap hidup, aku tak akan membiarkannya. Saat Kerajaanku hancur, aku akan menyeretmu mati bersamaku–"


Melemparkan gelasnya ke samping, Kristoff mengeluarkan surat-surat dari saku dadanya. Itu merupakan pesan-pesan rahasia yang Farzam kirimkan secara sembunyi-sembunyi ke bangsawan berpengaruh di Union. Surat-surat itu sudah pasti gak boleh dilihat oleh Raja. Itu merupakan sesuatu yang gak seharusnya ada.


"I-Itu adalah-!?"


"Seorang mata-mata kurang ajar yang telah menyelinap ke kamarku begitu baik hati meninggalkan surat-surat ini disini. Bukankah dia itu bawahanmu? Kalau dia adalah pasukan pemberontak, besar kemungkinannya bahwa aku sudah mati. ........Nampaknya kau tak punya popularitas bahkan diantara para bawahan yang berada dibawah naunganmu. Tapi, aku tak peduli. Aku memberimu ijin. Aku tidak melihat apa-apa."


Ucap Kristoff saat dia merobek dan membuang pesan-pesan rahasia itu. Dengan penampilan putus asa, Farzam mencoba menjelaskan.


“Y-Yang Mulia. Kau salah. Aku bekerja hanya untuk–”


"Aku tak butuh alasanmu. Kau boleh pergi. Segera musnahkan pasukan pemberontak dan bawa kepala Altura ke hadapanku. Kutempatkan harapanku padamu, Perdana Menteri Farzam."


Ucap Kristoff, dan dia berbaring di kasur dengan ekspresi lelah. Disampingnya berbaring para selir.
Setelah kehilangan arah, Farzam meninggalkan kamar Raja, wajahnya pucat.


"Gak masuk akal-! Bagaimana bisa pesan-pesan rahasia itu sampai ke tangan Yang Mulia-!? Siapa yang melakukannya-!?"


Unit intelijen Farzam yang dia bangun terdiri dari para yatim sekarat dan kelaparan yang dia latih dengan keras dan dicuci otaknya, jadi mereka akan mematuhi perintahnya.
Alhasil, gak mungkin mereka berhianat. Dia sudah menanamkan pemikiran bahwa jika dia memberi mereka perintah untuk mati, mereka akan melaksanakannya.


(Tapi, yang terpikirkan olehku adalah ada seorang penghianat di dalam. .....Mungkin aku harus menyelidikinya.)


Orang-orang yang bekerja dibalik bayangan sehingga Kristoff bisa naik tahta adalah unit intelijen milik Farzam. Mereka menyebarkan scandal kakaknya Kristoff, memegang kelemahan orang-orang berpengaruh, membunuh, mengancam, menculik, mereka melakukan semua yang bisa mereka lakukan.
Banyak agen yang tewas dalam prosesnya, tapi Farzam bisa naik menjadi Perdana Menteri, dan Kristoff naik tahta.
Agen-agennya bersedia mati demi penyelamat mereka yang telah mengumpulkan mereka. Mereka mungkin juga bergembira di neraka, pikir Farzam dalam hatinya.


(.......Hmph, dasar sampah. Dia betul-betul bersikap angkuh untuk ukuran boneka. Gak masalah, aku gak akan kalah. Aku gak akan pernah melepaskan kekuasaan ini. Negara ini milikku. Aku gak akan menyerahkannya pada siapapun. Jangan harap aku mau menyerahkannya–)


Setelah naik menjadi Perdana Menteri dari seorang pengikut biasa, keterikatan Farzam dan hasratnya akan kekuasaan politik sangatlah kuat, dan satu-satunya hal yang bisa menghentikan dia, Raja, sangat apatis terhadap politik. Dan hal itulah yang menggerogoti Kerajaan yang perkasa.
Kekejian dari dua orang ini akan diwariskan ke generasi berikutnya sebagai Kristoff si Otak Dangkal dan Farzam si Penjilat.


* * *


Setelah menyelesaikan tugas pengawalan mereka, kelompok Schera berangkat dari Ibukota dan untuk sementara singgah di Benteng Cyrus sebelum menuju kr Canaan. Hal itu bertujuan untuk bergabung dengan Katarina dan yang lainnya yang sudah menyelesaikan pelatihan. Para rekrutan baru ini, yang bahkan gak stabil diatas kuda mereka, sekarang ini sudah cukup mahir menunggangi kuda mereka.
Meski Katarina yang bertanggung jawab atas pelatihan mereka sama sekali gak puas.


"Woi wamil yang disana-! Harus berapa kali aku memberitahumu 'jangan sampai dikuasai oleh kudamu' sampai kau paham!? Kepalamu itu isinya apaan sih!? Apa aku harus membuka kepalamu-!?"


"M-Mohon maafkan aku, Lettu!! W-Wahh-!"


Disaat prajurit baru itu menoleh, dia jatuh dari kudanya dan badanya langsung kotor. Wajah Katarina menjadi merah, dan dia mempererat genggamannya pada tongkatnya.


".....Kalau kau gak paham dengan kata-kataku, maka akan kuukir pada tubuhmu. Seperti seekor kuda, aku akan mendisiplinkanmu sampai kau ampun-ampun."


Dia mengeluarkan sebuah cambuk dari pinggangnya. Setelah mengayun-ayunkannya, dia memukul tanah dengan ganas. Wajah prajurit itu berubah dari pucat menjadi putih. Para prajurit lainnya bersikap seolah mereka gak melihat apa-apa.


Schera datang ke tempat latihan, berbicara pada si pelatih yang sedang mengayun-ayunkan cambuknya seraya senyum berbahaya menghiasi wajahnya.


"Katarina. Kerja bagus sudah melatih mereka. Bagaimana para prajurit baru ini. Mereka kayaknya sangat antusias."


"Eh, ah! Kolonel! K-Kau sudah kembali?"


Segera menyembunyikan cambuknya, Katarina memberi hormat. Tiba-tiba kekikiran ide bagus, sambil menjilati permen keras, Schera memberi saran.


"Kau sangat cocok dengan peran itu. Kalo kau mau, kau yang harusnya mimpin kavaleri bukannya aku. Lagian aku gak tau taktik perang. Gimana menurutmu, Katarina. Kurasa itu ide yang bagus."


Schera menepuk-nepuk bahu Katarina. Nggak bercanda, Schera serius. Kalau Katarina bilang iya, dia mungkin akan betul-betul jadi komandan. Dia menolak dengan hormat.


"J-jangan bercanda! Kavaleri ini ada karena Kolonel! Kavaleri ini sangat gak cocok kalau komandannya seseorang seperti aku!"


"Kau cukup pandai memuji, Katarina. Sesuai dengan dirimu. Ngomong-ngomong, aku penasaran apa yang terjadi dengan itu."


"S-Siap, itu sudah tumbuh dengan baik! Kemarin sudah keluar kecambah!"


"Jadi gitu. Kalo gitu aku mau melihatnya. Lanjutkan pelatihannya, Lettu Katarina."


Schera melemparkan sabit miliknya dan berjalan kearah kabun kastil. Katarina berpikiran mau menyandarkan sabit itu di dinding, memegangnya, tapi beratnya jauh melebihi yang dia bayangkan, dan dia gak bisa mengangkatnya. Dia kehilangan keseimbangan, dan sabit itu jatuh ke tanah. Para prajurit disekitar memperhatikan dia.


"Kuhh– Sudah kuduga sabit ini memang berat-! Tapi kalau aku nggak bisa mengayunkannya, aku gak bisa jadi seperti Kolonel."


Kekuatan fisik Kolonel memang menakutkan, pikir Katarina. Dia menekan kacamatanya dan mengangguk berulang kali.


"U-Um, boleh aku membantumu?"


"H-Hei, itu sabit milik Kolonel–"


Prajurit baru yang tadi gak bisa diam saja, mendekat. Kayaknya dia salah paham kalau Katarina itu lemah. Para prajurit lain berusaha menghentikan dia, tadi peringatan mereka diabaikan.
Dengan senyum jahat dan kejam, Katarina memberi perintah si prajurit baru.


"Bagus. Bawa sabit milik Kolonel kembali ke barak. Lakukan sendiri. Kau gak akan dapat jatah makan sampai kau selesai mengerjakannya. Kalau kau merasa itu mustahil, datanglah padaku sambil menangis."


"Dimengerti! Bahkan seorang anak kecilpun bisa melakukan sesuatu seperti itu!"


"......Aku paham. Kita lihat saja."


Si prajurit baru dengan bangga berjalan mendekati sabit itu setelah menyindir Katarina dengan halus. Bisa membayangkan hasilnya, Katarina menghela nafas pelan dan pergi ke barak.
Si prajurit baru... tiga jam kemudian akan datang padanya sambil menangis.


Halaman Benteng Cyrus. Tanahnya dibajak persegi dibagian sudutnya. Disana, ditanam benih Kentang Wealth yang Schera bawa pulang dari Kekaisaran sebagai rampasan perang. Kesampingkan rasanya, bibit itu tumbuh dengan cepat, tahan penyakit, dan bisa ditanam di segala lingkungan. Bahkan di wilayah pegunungan Cyrus ini, kentang itu tumbuh dengan baik.


"......Kecambahnya udah keluar. Sebanyak ini. Aku betul-betul gak sabar menunggu kentang ini tumbuh besar."


Schera memperhatikan dengan cermat kecambah-kecambah kecil itu. Seorang prajurit yang datang untuk menyiramnya, menyapa Schera.


"Selamat datang kembali, Kolonel. Kalau kau mau, apa kau juga mau coba menanamnya, Kolonel? Disana sangat berisik karena semua orang mau menanam benih yang tersisa."


"......Tapi, aku, bertani–"


Sebuah kenangan buram melintas dalam benak Schera. Kehidupan miskin, kobaran api dimana-mana, pedang yang teracung, cipratan darah segar, aroma kematian, seorang perampok dengan senyum vulgar, sabit Dewa Kematian di leher rampingnya.
Lalu apa? Dia.....
Rasa lapar tak tertahankan menguasai Schera. Dia dengan panik menahannya seraya berusaha agar gak terlihat diwajahnya.


"Ayolah, itu hanya menimbun benih kentang saja.... Hei, apa kau baik-baik saja, Kolonel? Wajahmu–"


"......Aku baik-baik saja. Kalo gitu aku mau coba menanamnya juga. Berhati-hati supaya gak aku makan secara gak sengaja."


"Haha–, lagian kau gak akan keracunan kalau memakannya, tapi tolong jangan sampai memakannya! Jika kau sabar, satu bibit kentang bisa berlipat ganda puluhan kali lipat nantinya, dan kita bisa membawanya pulang!"


"Memang, aku akan berusaha sesabar mungkin."


Canda si prajurit, dan Schera membersihkan tangannya dan berdiri. Dia memasukkan sayuran terakhir dari kantong di pinggangnya kedalam mulutnya. Awalnya, sayuran itu agak asam, tapi perlahan menjadi manis. Kayaknya itu buah yang pura-pura jadi sayuran. Sebuah apel kering. Karena sudah kering, dia gak bisa menilai apakah itu apel merah atau hijau. Dan gak kelihatan enak, tapi semakin dia mengunyahnya, semakin enak jadinya. Schera mengunyah apel kering itu sepuas hatinya.
Rasa laparnya sedikit mereda.


"Hei hei, terserah kau mau bilang apa, tapi kau menanamnya terlalu rapat. Lakukan kayak gini, secara merata."


"Kita ini sedang membuat ladang kentang didalam benteng, itu cuma akan membuat polisi militer marah. Haruskah kita membuatnya sekecil mungkin?"


"Hmf, emangnya salahnya dimana soal memenuhi kebutuhan benteng secara pribadi? Kalau mereka komplain, biar kutendang mereka. Ayolah, sebarkan agak jarang! Nutrisi tanah gak akan bisa menyebar secara merata!"


"Astaga, jangan bikin masalah buat Kolonel, tunggu, K-Kolonel!?"


"H-Hormat pada Kolonel Schera-!!"


"Selamat datang kembali, Kolonel Schera!"


Seorang pria muda, melihat Schera, bergegas berdiri dan memberi hormat. Pakaian orang-orang disekitarnya kotor dengan tanah.
Mereka berkata keras, dan menyambut kembalinya perwira atasan mereka.


"Santai saja. Lanjutkan pekerjaan kalian. Sebetulnya, aku mau bantu menanam kentang juga."


Schera menunjuk peti kayu berisikan bibit kentang. Masih ada banyak yang di tertanam.


"Kedengarannya bagus! Dengan perlindungan suci Kolonel, aku yakin kentang-kentangnya akan tumbuh subur!"


"Setelah kita memanennya, kita sebut kentang ini "Kentang Dewa Kematian" dan menjualnya ke unit-unit lain."


Canda dengan suara pelan dari seorang pria muda sambil bersuil riang.


"Kolonel bisa denger elu, bego-!!"


Pria itu mendorong temannya. Tawa keluar dari orang-orang disekitar. Saat pria muda itu melotot pada mereka, mereka dengan panik menutup mulut mereka.


"Sudah kubilang 'santai saja' kan? Jadi gak usah kuatir."


Yang lebih penting lagi, Schera mendesak dia untuk segera menyerahkan bibitnya.


"Hehe-, kalau begitu Kolonel, silahkan."


"Makasih banyak. .....Gini caranya?"


Schera diberi bibit kentang dan menaruhnya di lubang kecil di ladang. Para prajurit dengan lembut menimbunnya.


"Sempurna, Kolonel!"


Gembira, Schera terus menanam bibit kentang itu, dan satu jam kemudian, semua bibit di peti kayunya habis.


"Fuu, luar biasa, Kolonel. Kita sudah selesai menanam kentangnya. Kentang-kentang itu akan baik-baik saja kalau kita merawat ladangnya. Dari yang kudengar, kentang akan tumbuh baik meski kita biarkan saja."


".....Aku paham, itu sangat menarik. Mungkin gak buruk menanam makanan sendiri."


"Aku setuju. Tapi bagian menyenangkannya adalah setelah beberapa bulan. Memasak sesuatu yang kau tanam sendiri, dan kemudian memakannya rame-rame. Saat itulah perasaan terbaiknya."


Sambil tersenyum riang, pria muda itu membersihkan tanah ditangannya.


"Yah, itu pun kalau hasilnya gak dirampas oleh para petinggi. Beneran deh, gak ada hal bagus soal jadi petani."


Pria muda itu tersenyum masam sambil menggaruk kepalanya. Tanaman yang mereka tanam akan jadi milik mereka sendiri–gak ada yang namanya kebahagiaan semacam itu.
Gak peduli seberapa banyak yang mereka hasilkan, hasil panenan mereka akan diambil sebagai pajak. Setelah panen, semuanya akan diambil saat waktunya pengumpulan pajak. Alasan para pria mendaftar jadi prajurit adalah karena masalah makanan. Jika seseorang gak mendapatkan uang, keluarganya gak akan bisa hidup.
Bagi para petani di Kerajaan, gak akan berlebihan kalau menyebut beberapa tahun ini layaknya neraka. Meski begitu, mereka berhasil bertahan tanpa harus kelaparan sampai mati karena semua orang punya ladang rahasia masing-masing. Dan jumlah makanan ini dibagikan dengan prioritas untuk para pekerja, gak ada jatah untuk orang yang gak berguna.
Seperti itulah kondisi Schera dulunya.


"Ini adalah rampasan perang kita, jadi semuanya milik kita. Kita hanya perlu menjaga supaya polisi militer gak merebutbya."


Gumam seorang prajurit sambil melirik polisi militer yang mengawasi mereka, ada bahaya ladang mereka dirusak dan dibersihkan.


"......Aku paham. Aku tau, kita buat saja sebuah pemberitahuan supaya gak ada yang merusaknya."


Menggunakan potongan kayu didekatnya, Schera membuat tanda sederhana. Para anggota kavaleri memperhatikan dengan tertarik.


"Kolonel, apa yang kau ukir?"


"Ini adalah ladang kita, dan tanda sederhana yang bahkan orang idiot pun bisa memahaminya."


Schera mengeluarkan sabit kecil dari pinggangnya dan dengan hari-hati mengukir kayu itu. Setelah beberapa menit, dia menancapkan papan tanda itu secara mencolok didepan ladang.


[Ladangnya Kavaleri Schera. Berani merusaknya kubunuh kau. Kolonel Schera Zade]


"–Gimana?"


Schera berbalik menghadap para prajurit sambil menaruh sabitnya. Dia juga tersenyum sadis dan melotot penuh niat membunuh pada para polisi militer. Wajah mereka pucat, dan ketakutan, mereka lari layaknya kelnci yang melarikan diri.


"Kurasa itu bagus! Sesuai dengan tabiat Kolonel. Itu sangat mudah dipahami, dan ya, gak ada masalah."


"Tentu. Gak akan ada orang idiot yang berani macam-macam. Entah itu serangga, burung, atau para polisi militer yang keji, mereka pasti gak akan berani mendekat."


Kata si prajurit, tertawa saat dia menatap ke tempat dimana para polisi militer berada.


Setelah pria itu melakukan pembersihan, memberi hormat dan pergi, Schera duduk depan ladang itu.
Matahari terbenam, dan gak kehilangan ketertarikannya, Schera terus menatap ladang itu, sampai Katarina datang memanggil dia.


Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya
  1. Sejak jaman kuno, Ular biasa dijadikan simbol/ungkapan dari kelicikan dan tipu daya, ular juga dianggap sebagai simbol keburukan/kejahatan/malapetaka menurut mitos/legenda.