Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume5 Bab2

From Baka-Tsuki
Revision as of 04:55, 31 March 2011 by LiTTleDRAgo (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

Bagian 1

Yap, ini adalah Akademi Sihir Tristain. Liburan musim panas baru saja dimulai dan di dalam asrama, dua ningrat tengah menghabiskan waktu.

Mereka adalah Kirche si "Ardent" dan Tabitha si "Badai salju". Kirche tengah malas-malasan berbaring di kasur Tabitha dengan pose yang sangat tak sopan. Dia melepas seluruh kancing bajunya dan tengah mengipasi dada montoknya dengan tangan. Kirche memang menyukai panas tapi tak tahan hangat.

Dia tak bisa mengendalikan panas yang mendidih di ruang yang dipanggang matahari.

"Hei Tabitha, bisakah kau menghembuskan angin untukku?"

Tabitha mengayunkan tongkat panjangnya tanpa menoleh dari buku.

"Berikan yang dingin. Yang bisa dinginnya menembus tulang, tepat seperti nama keduamu."

Sebagaimana diharapkan, ada es dalam anginnya. Angin bersalju itu langsung mendinginkan badan Kirche.

"Ahh-, rasanya enak."

Sambil minum dalam angin dingin Tabitha, Kirche membuka kemejanya. dia menyilangkan kakinya dalam sikap yang takkan pernah dilihat lusinan teman lelakinya yang menyembahnya bagaikan seorang dewi.

Dia menerawang ke arah Tabitha yang dari tadi membaca buku. Tabitha tak berkeringat setetes pun, seolah-olah menyatu sempurna dengan bukunya. "Mungkin nama keduanya 'Badai Salju' mendinginkan badan dan juga pikirannya," gumam Kirche.

"Hei "Badai salju"? Kau benar-benar suka membaca buku ya? Seperti protestan saja. Apa itu buku Protestan terkenal yang berjudul "Doktrin Praktis"?

"Doktrin praktis" merupakan kitab yang dibaca oleh sekte protestan, yang merupakan kitab tafsir dari "Buku Doa Sang Pendiri", yang merekam amal dan ajaran Sang Pendiri, Brimir.

Meski setiap versi "Buku Doa Sang Pendiri" mengklaim sebagai sebagai versi yang asli, isi mereka agak berbeda. Terlebih lagi, ada teori bahwa "Buku Doa Sang Pendiri" ditulis ratusan tahun setelah kejatuhan Brimir Sang Pendiri. "Buku Doa Sang Pendiri" yang telah diwariskan turun temurun oleh keluarga kerajaan Tristain bahkan tak ada tulisannya. Karenanya, banyak teologiawan menafsirkannya dengan cara yang begitu kabur sehingga meningkatkan kekuatan politik gereja Halkegenia dan mereka sendiri. Badan praktisi utama dari "Doktrin Praktis" dimulai di pusat agama negara Romania dan dibangun para jelata yang ingin mereformasi gereja-gereja korup yang mengeksploitasi masyarakat. Kejadian ini segera menginternasional.

Ia menyebar dari para jelata da petani-petani, mereka melucuti kekuasaan dan tanah dari para pendeta, tapi tiada yang tahu
jika perbuatan dan penafsiran mereka benar. Yang tahu jawabannya mungkin hanya Brimir Sang Pendiri sendiri.

Tabitha menutup bukunya dan menunjukkan judulnya pada Kirche. Itu bukan buku agama, hanya sebuah buku penelitian seihir kuno.

"Hanya membaca." kata Tabitha.

"Aku tahu. Bagaimanapun juga, kau tak mungkin seorang protestan. Ahh, hari ini benar-benar panas. SANGAT PANAS. Itulah mengapa aku mengundangmu untuk pergi ke Germania denganku. Disana jauh lebih sejuk.

Tabitha membuka kembali bukunya dan melanjutkan membaca. Kirche, yang tahu situasi keluarga Tabitha, memutuskan mengundangnya ke Keluarga Zerbst, tapi Tabitha menolak pergi. Tanpa pilihan lain, Kirche memutuskan untuk menemani Tabitha di Akademi. dia tak bisa meninggalkan Tabitha sendiri.

"Mungkin cuma kita yang tinggal di sauna ini."

Kirche berpikir untuk mandi di lapangan. Karena seluruh guru dan murid pergi dan pulang ke rumah, harusnya tiada bahaya para pengintip. tapi lalu...

Sebuah jeritan terdengar dari lantai bawah. Kirche dan Tabitha bertukar pandang secara kilat. Kirche segera mengenakan kemejanya dan meloncat keluar dari kamar dengan tongkat di tangan. Tabitha segera mengikuti di belakangnya.

Dalam sebuah kamar di lantai bawah, sebuah pasangan lain tengah bertengkar.

"Apa yang kau pikirkan?!"

"Um, aku...aku pikir kini panas, dan aku hanya coba membantu!"

Pertengkaran terjadi antara Guicje dan Montmorency. Mengapa pasangan ini tak meninggalkan asrama untuk liburan musim panas?

"Oh, begitu. jadi itu maksudmu! 'Ayo buat ramuan sama-sama' pantatmu! Aku seharusnya tak mendengarkan ocehanmu soal mampu membuat Ramuan terlarang apapun yang kaumau. Apa sih maumu?"

"Itu tujuanku! Aku tak berdusta!"

"Kau berpikiran yang tidak-tidak karena tidak ada orang, kan? Maaf saja, tapi aku takkan memberimu sejaripun hingga aku kawin!"

Guiche menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jangan mendekat."

"Aku bersumpah, aku pegang kata-kataku."

Guiche menaruh tangannya di dada. "Aku bersumpah demi Tuhan dan sang Pendiri bahwa aku, Guiche de Gramont tak melepas kancing Montmorency yang tengah tidur karena maksud kotor, melainkan karena benar-benar berpikir dia terlihat demam. Kau berkeringat begitu banyak sehingga aku khawatir kau akan dididihkan hingga mati."

"Benarkah?" tanya Montmorency yang memandangnya ragu.

"Demi Tuhan." jawab Guiche khidmat.

"...kau ga kan melakukan yang aneh-aneh?"

"Tidak, takkan pernah terpikir untuk itu."

Setelah berfikir sesaat, Montmorency mengangkat roknya dan menunjukkan celana dalamnya sekilas. Karena Guiche menerjangnya seketika, dia berteriak sekeras-kerasnya. "Oh Tuhan! Pendusta! Dia seorang pendusta!"

"Putih! Putih! Ia benar-benar putih!"

"Jangan! Hentikan! Mohon Hentikan!"

Setelah geje beberapa saat, pintu terbuka dengan sebuah dak. Kirche dan Tabitha masuk dan mata mereka beradu dengan mata Montmorency, yang baru saja didorong ke kasur oleh Guiche.

"...oh, kalian baru saja akan melakukannya," desah Kirche.

Guiche, yang tiba-tiba jadi serius, bangkit, berdiri dan berkata dengan cara yang begitu tegas, "Oh, aku hanya... membereskan kerutan kemeja Montmorency."

"Dengan mendorongnya ke kasur? Kirche mengejek.

"Membereskan kerutan," ulang Guiche sekali lagi,

Montmorency berkata dengan nada dingin, "Sudahlah. Hanya itu yang ada di kepalamu."

Guiche tersipu.

Kirche buka mulut dan berkata dengan sikap lelah. "Kalian berdua benar-benar pasangan murahan. Kalian tak harus melakukannya di asrama yang menyesakkan ini."

"Kami tak melakukan apapun!...dan akulah yang seharusnya bertanya apa yang kalian lakukan. Kini liburan musim panas."

"Ia tak seharga masalahnya bagi kami. Meski kini liburan, cape lho untuk nyebrang perbatasan hanya untuk itu, Jadi apa sih yang kalian lakukan sebenarnya?"

"Kami tengah, um..."

Montmorency memainkan jemarinya, karena dia tak bisa bilang dia tengah membuat Ramuan Terlarang.

"Pe-Penelitian sihir."

"Hmm, kau memang tengah melakukan semacam penelitian."

"Guiche yang ingin melakukannya! Otaknya mungkin tergoreng dalam panas ini!"

Dengan itu, Guiche yang dikritisi membengkokkan kepalanya.

"Sepertinya."

Kirche membalas,"apa maksudmu dengan 'sepertinya'?"

"Ayo kita keluar. Tak mengherankan bila otak kita tergoreng disini."

"hah? Kemana?"

"Ke kota sajalah. Kini liburan panjang, jadi mari bersenang-senang."

"Benar itu, aku juga ingin meminum yang dingin-dingin..." kata Guiche setuju.

Montmorency, yang bahkan tak mau berfikir tentang apa yang bakal terjadi bila dia ditinggalkan sendirian dengan Guiche juga setuju.

"Dinginkan kepalamu benar-benar saat minum yah?"

"Pasti, demi Tuhan."

"Jadi, bagaimana dengan si kecil?"

Montmorency menunjuk pada Tabitha. Kirche menjawab.

"Dia ikut."

"Kau bisa tahu hanya dengan memandangnya?"

"Aku bisa."

Kata Kirche seakan-akan itu sudah jelas.

Tabitha lalu menutup bukunya, berjalan menuju jendela, lalu bersiul. Suara kepakan lalu terdengar. dalam sekejap, Tabitha meloncat keluar jendela, diikuti Kirche.

Saat Montmorency mengitip keluar jendela, dia melihat naga angin Tabitha yang melayang disana. Kirche tengah menunggangi punggungnya dan tengah melambaikan tangannya.

"Buruan atau kami tinggal!"

Guiche dan Montmorency meloncat. Guiche yang duluan, mencoba menangkap Montmorency.

lalu Montmorency mulai menjerit-jerit soal 'jangan menyentuhku' dan 'jangan menatapku' untuk menggoda Guiche.

"Tapi...aku hanya mencoba menangkapmu."

"Kau pikir apa yang kau sentuh, hah?"

"Kupikir kalian pacaran," ucap Kirche terkejut.

Kelompok ini akhirnya tiba di kota benteng Tristain dan pergi ke sebuah jalan yang bercabang dari Jalan Raya Bulton. Kini matahari hampir terbenam. Di jalan-jalan yang mulai gelap, lampu-lampu sihir mulai mewarnai sekitarnya. Pemandangan sihir nan menyilaukan itu menciptakan suasana gembira yang menyelimuti jalan yang masih terasa kehangatan musim panasnya.

Jika Jalan raya Bulton adalah wajah depan Tristain, maka jalan Chicton adalah perutnya. Bar-bar merah dan perjudian-perjudian berbaris sepanjang jalan. Montmorency bermuka masam, tapi Kirche terus berjalan, tak mempedulikan semua itu. Sambil berjalan, mereka berrembuk soal bar mana yang akan didatangi. "Apa kau tahu soal bar-bar disekitar sini?" tanya Kirche pada Guiche.

Guiche menjawab sambil tersenyum,

"Soal itu...Aku tahu satu yang bagus yang selalu ingin kudatangi."

"Bukan yang aneh, kan?" tanya Montmorency begitu dia mendengar nada mencurigakan pada Guiche. Guiche menggelengkan kepalanya.

"Ia sama sekali tak aneh!"

"Lalu, bar macam apa dia?"

Guiche terdiam.

"Lihat kan? itu pasti bar yang aneh! katakan saja sejujurnya!"

Montmorency mulai mencekik Guiche.

"Ti-,tidak! hanya gadis-gadis dengan pakaian manis membawakan anggur untukmu...Ukh!"

"Jika itu tak aneh lalu apa yang aneh?"

"Kedengarannya menarik."

Sepertinya itu telah memetik kepenasaran Kirche. Dia menyarankan pada Guiche,

"Ayo kesana, bar yang biasa akan terlalu membosankan."

"APA?" Montmorency protes.

"Mengapa wanita Tristain tak punya kepercayaan pada diri mereka sendiri? Membuatku sakit."

Karena Kirche mengatakannya dengan cara yang begitu menghantui, Montmorency tiba-tiba bangkit dan berkata,

"Ini hanya karena anggur akan terasa hambar bila kita membiarkan wanita rendahan menuangkannya."

Tapi karena Guiche, yang telah didukung Kirche mulai berjingkrak-jingkrak menjauh, Montmorency tak meniliki pilihan selain ikut.

"Hei! Tunggu! Jangan tinggalkan aku disini!"


"Selamat datang!"

Begitu mereka memasuki bar, seorang lelaki tinggi yang memakai baju leather menyambut mereka.

"Oh, apa kalian baru? Lebih banyak lagi wanita ningrat! Betapa indahnya ini! Betapa très bien! para gadis dalam bar akan iri! Aku sang pemilik, Scarron. Mohon nikmati hari kalian!" katanya sambil membungkukkan badannya. Meski dia tampak aneh, dia memuji mereka sehingga kini suasana hati Montmorency membaik. dia menyisir rambutnya dengan tangan dan berkata dengan jelas, "Bimbing kami ke meja terbersih".

"Tiap meja dalam bar ini digosok untuk bersinar bagaikan istana Paduka."

Scarron membimbing mereka ke salah satu meja. Bar itu tampak ramai.

Tepat seperti rumor yang dihembuskan, gadis-gadis dengan pakaian yang menggoda membawakan anggur dan makanan.

Guiche, yang sudah melihat-lihat dengan penuh semangat, akhirnya dijewer oleh Montmorency.

Setelah mereka duduk di meja, seorang gadis berambut blonde pink datang untuk mengambil pesanan, tapi untuk alasan tertentu, buru-buru menutupi wajahnya dengan sebuah nampan. Sekujur tubuhnya gemetar perlahan.

"Mengapa kau menyembunyikan wajahmu?" kata Guiche kecewa. Tanpa menjawab, dia menanyakan pesanan lewat geraknya. Hanya dengan melihat tinggi dan warna rambut si gadis, Kirche cepat menyadari sesuatu dan, untuk pertama kalinya pada musim panas ini, sebuah senyuman sangat besar tersungging di wajahnya.

"Jadi, apa anggur rekomendasimu?"

Gadis itu menunjuk sebuah anggur yang telah disajikan pada meja lainnya, sebuah anggur Gernew yang cukup tua.

lalu Kirche berkata dengan nada terkejut, "Ah, Familiar-san apel dengan seorang gadis!"

Gadis itu muncul dari balik nampan dan menatap sekeliling ruangan dengan mata tajamnya.

Semua di grup kecuali Kirche berteriak.

"Louise!"

Louise menyadaris seringai lebar di wajah Kirche dan menyadari bahwa dia telah ditipu, dan sekali lagi menyembunyikan wajahnya dengan nampan.

"Sudah terlambat La Vallière."

"Aku bukan Louise."

kata Louise dengan suara bergetar. Kirche menarik lengan Louise dan membaringkannya di atas meja. Kirche mencengkram lengan kanan, Guiche yang kanan, Tabitha mencengkram kaki kanan dan Montmorency memegang yang kiri. Louise yang tak bisa bergerak menghadap ke samping dan berkata dengan nada bergetar,

"Aku bukan Louise! Lepaskan aku."

"Beneran deh, apa sih yang kau lakukan disini?"

Louise takkan menjawabnya. Tlek! Kirche menjentikkan jarinya dan Tabitha melantunkan mantra. Dengan kekuatan angin, Tabitha melilitkan udara disekitar Louise dan mengendalikannya. Louise diloncatkan ke atas meja dan berpose seiza.

"A-, Apa yang kau lakukan?!"

Kirche menjentikkan jarinya sekali lagi. Tanpa suara, Tabitha mengayunkan tongkatnya. Massa udara yang mengendalikan Louise menjadi jari-jari yang tak terlihat, dan mulai menggelitiki badan Louise.

"Ahahaha! hentikan! Ini geli! Hentikan!"

"Jadi, Atas dasar apa kau kerja disini?"

"Aku takkan bilang! Ahahaha!"

Jari-jari udara itu terus menggeletiki Louise tapi dia takkan mengaku. Perlahan-lahan badannya melayu.

"Anak mulut gembok. Kau menyembunyikan banyak hal akhir-akhir ini."

"Jika kau mengerti...tinggalkan saja aku sendiri..."

"Akan dilakukan."

Kirche mengambil menu dengan acuh.

"Cepatlah, segera pesan sesuatu."

"Ini," kata Kirche menunjuk menu.

"Aku tak mengerti, yang mana?"

"Ya...pertama-tama, semua yang tertulis di menu ini."

"Huh?"

Louise menatap Kirche, hampa.

"Bawakan saja semuanya."

"Kau benar-benar kaya...betapa irinya aku."

Kirche lalu mengatakan pada Louise,

"Oh, tentu saja ini traktiranmu. Aku akan sangat senang menerimanya, La Vallière-san.”

"Apa? Jangan bermulut manis! Mengapa aku harus menraktirmu?!"

"Ataukah aku harus bilang pada seisi sekolah bahwa kau kerja disini."

Louise menjatuhkan rahangnya.

"Jika kau bilang itu...Aku...aku akan membunuhmu."

"Ya ampun, aku tak ingin mati. Jadi bisakah kau cepat-cepat membawa semuanya?"

Louise menjatuhkan bahunya dengan sedih dan menghilang ke dapur sambil memukul-mukul barang di jalan.

Guiche berkata sambil menggelengkan kepalanya, "Kau benar-benar wanita jahat."


Kirche menjawab dengan senang.

"Jangan salah paham, aku hanya tak menyukainya. pada dasarnya kami musuh..."

Kirche memotong bicaranya dan memperbaiki jubah Tabitha yang berantakan.

"Beneran deh, Kau seharusnya memperbaiki kebiasaan mengacak rambut dan jubahmu saat kau melantunkan mantra. Wanita adalah tentang penampilan dan kepintaran adalah yang kedua."

Kirche menyisir rambut tabitha bagaikan seorang kakak memperhatikan adiknya atau ibu mengkhawatirkan putrinya.

Guiche memandangi Tabitha. Mengapa wanita Germania ini memercayai Tabitha dan hanya Tabitha? pikir Guiche. Meski kini musim panas, keduanya tak pulang dan tinggal bersama di sekolah. Apalagi, mereka tampak berhubungan dengan telepati. Mungkin ini karena tabitha jarang bicara, tapi mereka dapat mengerti satu sama lain hanya dengan bertukar pandang dan sedekat saudara.

Tapi...Guiche mengorek-ngorek ingatannya. Mereka tak sedekat ini ketika pertama kali masuk. Aku tak yakin karena aku terlalu sibuk bermain-main dengan gadis-gadis tapi bukankah mereka memulai sebuah pertarungan?

Tepat ketika Guiche ingin menanyakannya, sekelompok pelanggan baru masuk bar. Mereka ningrat yang tampan. Mereka mengenakan topi dengan nrim lebar yang dihiasi bulu nan elegan dan tongkat sihir berbentuk pedang yang menonjol dari jubah. Tampaknya mereka adalah petugas dari Tentara Kerajaan.

Mereka kemungkinan telah berlatih sepanjang hari; Mereka datang tak peduli sekelilingnya dan mulai melihat-lihat meja yang kosong.

Para petugas mulai ngobrol tentang gadis-gadis dalam bar. Gadis yang berbeda-beda menuangkan anggur tapi tiada yang tampak memuaskan para petugas. Seorang petugas menyadari kehadiran Kirche dan mengedipkan mata padanya.

"Bukankah itu seorang gadis ningrat? Wanita yang bisa bersama kita harus membawa sebuah tongkat sihir bersamanya!"

"Itu benar! Ini adalah istirahat yang diberikan Paduka yang jarang terjadi, pada kita petugas tentara kerajaan. Kita tak bisa mendapati seorang jelatan yang menuangkan anggur kita."

Sambil mengatakan itu, mereka dengan ributnya merundingkan siapa yang akan pergi dan menjemput para gadis. Sepertinya Kirche terbiasa dengan hal-hal semacam ini dan terus minum dengan tenang, tapi Guiche merasa tak nyaman. Dia berusaha menempatkan dirinya dalam posisi dimana dia seharus melindungi para gadis, tapi tak bisa tegas di hadapan para ningrat yang merupakan petugas tentara kerajaan. Dia kemungkinan dihajar.

Akhirnya keputusan soal siapa yang pergi berbicara keluar. Salah satu ningrat berdiri. Dia seorang pria ganteng yang baru lewat 20 tahun.

Dengan penuh percaya diri, dia memainkan kumisnya dan membungkuk secara elegan pada Kirche.

"Kami adalah para petugas dari resimen navaaru. Kami terpanah keagungan kecantikanmu dan ingin sekali mengundangmu pada meja makan kami."

Kirche menjawab tanpa memandanginya.

"Maaf, tapi aku tengah menikmati waktu bersama teman-temanku."

Teman-teman si petugas mulai berhuu-huu. Jika dia ditolak sekarang, itu akan melukai harga dirinya. Dia mencoba membujuk Kirche dengan kata-kata penuh antusiasme.

"Aku memohon padamu untuk menarik itu. Mohon berkahi kami saat kebahagiaan yang tak memiliki apa-apa selain peperangan tak termaafkan yang menunggu."

Tetap saja Kirche mengayunkan tangannya, menolak.

Si ningrat kecewa, dan kembali kepada teman-temannya.

"Kau tak terkenal diantara wanita," ujar seorang petugas. Tapi pemuda itu menggelengkan kepalanya.

"Apa kau dengar aksennya? Dia pasti wanita Germania. agak mencurigakan sebagai seorang ningrat, jika kau tanya aku!"

"Tapi kudengar wanita Germania benar-benar gatelan. Jarang-jarang ada wanita dengan sikap yang tegas begitu."

"Mungkin seorang protestan hingga kaki!"

Mungkin ini sebagian karena alkohol, tapi para petugas mulai mengejek Kirche. Guiche dan Montmorency saling memandang dan menanyai Kirche apakah dia ingin meninggalkan bar.

"Tapi kita disini duluan," ucap Kirche sambil berdiri. Rambut panjangnya tampak menyala bagaikan inferno nan liar. Pelanggan dan pelayan lainnya serta yang lain yang menonton seluruh kejadian menjadi hening.

"Ah, jadi kau sudah berubah pikiran dan memutuskan menemani kami?"

"Ya tapi tidak dengan gelas...tapi dengan ini."

Kirche menghunus tongkat sihirnya dngnan mulus.

Para pria terjatuh dari kursi saking berlebihannya tawa mereka.

"Jangan pernah mencoba, gadisku. Kami adalah para ningrat dan takkan menghunus tongkat sihir kami pada wanita."

"Apa kalian takut pada wanita Germania?"

""Tak mungkin!""

Para pria terus tertawa keras-keras.

"Maka aku akan membuat kalian menghunus tongkat kalian."

Kirche mengayunkan tongkatnya. Bola api sejumlah para petugas muncul dari ujung tongkatnya dan langsung membakar bulu hiasan pada topi petugas. Bar bergolak. Kirche bangkit dan membungkuk pada hadirin.

Para pria yang menjadi bahan tertawaan langsung bangkit berdiri.

"Nona, lelucon ini sudah keterlaluan."

"Benarkah? tapi aku selalu sungguh-sungguh. Dan, bukankah kalian yang mengundangku?"

"Kami mengundangmu untuk minum, bukan untuk bertarung."

"Maka bisakah aku bertarung dengan kalian para pria yang mengejekku hanya karena aku tak menerima tawaran minum kalian?"

Udara bar membeku.

Salah seorang petugas berbicara dengan tegas,