A Simple Survey (Indonesia):Jilid 2 Intro

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Akhir Dari Suatu Asumsi Besar[edit]

“Uuh…”

Merintih, Higashikawa Mamoru tidak tahu dia sedang ada di mana. Rasanya seperti ketika baru bangun setelah minum segalon alkohol, kepalanya berdengung dan ia tak ingat bagaimana ia ada di tempat ia bangun atau kenapa ia ada di tempat itu.

Tapi yang lebih membuatnya bingung adalah kegelapan yang menyelimuti segala di sekitarnya. Ia tahu ia terbaring di lantai yang keras, tapi ia tak bisa menemukan meja, kursi, atau perabotan lain ketika ia merentangkan tangannya, mencari-cari. Ia tak tahu seberapa jauh dinding dari dirinya. Tempat ini bisa saja sebesar stadion, atau sekecil kamar mandi apartemen.

Higashikawa memerlukan cahaya.

Tersadar, ia memasukkan tangannya ke kantong celana. Tapi ponsel yang biasanya di dalamnya tidak ada. Dompet yang ia simpan di kantong lainnya juga tidak ada. Ia segera berpikir seseorang sengaja meninggalkannya di tempat ini.

Karena ia sendiri tak ingat apapun, bukan tidak mungkin ia sendiri yang membuang semuanya, tapi sepertinya lebih masuk akal kalau ada orang lain yang mengambilnya.

(Kenapa kepalaku terus menerus nyeri seperti ini?)

Hal terakhir yang ia ingat adalah ia sedang bekerja paruh waktu pada suatu taman bermain bernama Attraction Land. Pekerjaannya sederhana, ia hanya melakukan pengawasan pada permainan-permainan baru dengan menemukan ketidaksempurnaan atau kelemahan dari beberapa video permainan. Ia melihat lowongan untuk pekerjaan itu pada papan buletin di kampus tempatnya kuliah.

Ia tidak bisa membayangkan bagaimana pekerjaan itu membawanya ke tempat ini.

Ia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, jadi mungkin saja listriknya memang sedang mati.

Tapi kenapa kepalanya menjadi pusing.

Di mana peserta yang lain? Mana perempuan yang bekerja untuk Attraction Land yang mengawasi mereka? Higashikawa berpikir apakah yang lain meninggalkan dia ketika ia terbaring di ruangan.

“Apa yang terjadi?”

Rasa sakit menyerbu kepalanya dari segala sisi.

Ia tahu ia takkan merasa seperti ini jika ia hanya tertidur.

Yang ia tahu, mungkin ia telah mengonsumsi alkohol atau sejenisnya, tapi ia tidak ingat minum apapun saat menonton video.

Kalau begitu, apa yang terjadi?

Kecuali ada gas aneh yang dimasukkan ke ruangan itu, ia tak tahu mengapa ia bisa ada di tempat ini.

Dan kalau itu yang terjadi, kenapa tinggal ia sendiri di sini?

Sebelum ia menemukan jawabannya, sesuatu terjadi.

Bunyi yang keluar dari speaker listrik memecah kegelapan.

Bunyi yang sudah tidak asing lagi, bunyi yang biasanya diputar di mall sebelum pengumuman anak hilang. Namun, kali ini suaranya keras sekali. Saking kerasnya, Higashikawa merasakan getaran di lantai. Tentu saja, bunyinya sama sekali tidak membantu menghilangkan rasa nyeri di kepalanya.

Bunyinya mengeras dan semakin keras, seperti alarm jam.

Apakah sesuatu terjadi padanya sehingga bunyi sekeras itu perlu dikeluarkan untuk menyadarkannya?

Setelah bunyi itu diperkecil, giliran suara wanita keluar dari speaker.

Ia tak bisa melihat apa-apa di tengah kegelapan, tapi suara itu cukup keras hingga Higashikawa Mamoru sadar kalau suara itu keluar dari sebuah speaker.

“Oke, oke, oke. Sekarang karena persiapannya sudah selesai, sekarang waktunya kami tunjukkan tujuan kami yang sesungguhnya.”

“…?”

Suara perempuan dari Attraction Land.

Tapi Higashikawa tak mengerti apa yang ia maksud.

(Persiapan? Tujuan sesungguhnya?)

“Sepertinya kau tak mengerti apa yang kukatakan barusan. Untungnya, aku telah mengatur ruang ini untuk membuatmu memahami semuanya dengan segera. Kalau kau lihat ke sana, sepertinya kau akan langsung paham.”

Higashikawa Mamoru mendengar suara berdetak.

Di saat yang sama, penglihatannya dipenuhi warna putih.

Lampu ruangan itu telah dinyalakan.

Ia sudah menyadarinya, tapi rasa sakit yang menusuk kepala Higashikawa dari bola matanya terlalu kuat untuk ia abaikan. Matanya telah terbiasa dengan kegelapan, tapi bukan itu saja. Bagian dalam telinganya tidak bekerja normal, membuatnya kehilangan keseimbangan meskipun ia masih terbaring di lantai. Ia merasa seperti sedang berada di suatu kapal.

Ia tak tahu sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri, tapi sepertinya sudah cukup lama hingga penglihatannya mulai terganggu.

Setelah menahan rasa sakit dan keinginan untuk muntah selama 30 detik, ia akhirnya mulai melihat samar-samar melalui warna putih yang memenuhi penglihatannya.

Penglihatannya sedikit-sedikit mulai fokus dan Higashikawa Mamoru mampu memeriksa keadaan sekitarnya.

Ia berada di dalam suatu ruangan persegi, ukurannya kira-kira seperti satu ruang kelas. Tidak ada jendela, dan satu-satunya jalan keluar adalah sebuah pintu yang terbuat dari pelat baja tebal. Tidak ada meja, kursi, ataupun furnitur lainnya. Sebuah pengeras suara dan jam menempel di dinding. Suatu ruang berbentuk persegi yang kosong.

Tapi ada sesuatu yang tidak ia pahami meskipun ia melihatnya di depan matanya.

Pikirannya berusaha mengabaikannya.

Apa yang ada di sana adalah yang seharusnya ia perhatikan, tapi ia tahu secara tidak sadar ia berusaha menyingkirkannya ke sudut penglihatannya.

Tentu saja apa yang ia lakukan tidak aneh.

Di tengah ruangan itu ada seonggok daging.

Ketika ia mendekat, ia baru menyadari bahwa yang ada di sana adalah mayat wanita yang kehilangan kepala dan telapak tangan.

Higashikawa meneriakkan sesuatu.

Menemukan mayat di depan matanya sudah cukup mengerikan, namun ia merasa jijik luar biasa ketika ia menyadari bahwa ia telah berada di ruangan yang sama dengannya dan menghirup udara di sekitarnya.

Higashikawa tidak tahu seperti apa perubahan tubuh manusia setelah mati, tapi ia tidak yakin mayat yang ada di tengah ruangan ini baru saja meninggal dua atau tiga hari sebelumnya. Tubuh yang terbalut kimono itu telah berwarna biru gelap. Daerah di sekitar ‘lukanya’ adalah yang paling parah. Hewan-hewan kecil berwarna putih mulai menggeliat di dalamnya.

Tubuh itu telah dipenggal.

Higashikawa hanya bisa mengingat satu hal.

“Guillotine...” gumamnya. Ia semakin yakin. “Dia adalah salah satu pemain di permainan itu. Salah satu korbannya adalah perempuan yang memakai kimono!!”

“Bagus sekali. Jadi kau sekarang paham bahwa kami tidak main-main?” kata suara perempuan yang keluar dari pengeras suara.

Sebenarnya, bisa saja video arena permainan itu palsu, dan seseorang kemudian membuat mayat untuk menyesuaikan dengan hasil permainan itu.

Tapi tetap saja, itu berarti orang-orang ini bersedia untuk membunuh untuk mendapatkan apapun yang mereka inginkan.

“Aku yakin kau sudah mulai paham sekarang, tapi tujuan kami di sini bukan untuk meminta kalian memberikan penilaian pada arena-arena permainan itu. Kami selalu bisa menilai sendiri permainan yang telah dimainkan di masa lalu. Apa yang kalian lakukan sebelumnya hanyalah persiapan. Seperti mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan sebelum memasak. Itulah yang kalian perlukan untuk berpartisipasi di arena permainan terakhir. Kalau kalian tidak paham, tidak masalah. Tujuan kami selalu ada di depan! Kami selalu maju ke depan!” Suara perempuan itu terdengar semakin gembira. “Dan itu berarti tujuan kami yang sebenarnya dimulai di sini!! Kami akan membuat arena permainan yang baru, dan kami akan membutuhkan bantuan kalian!!”

“...”

Arena permainan yang baru.

Meskipun ia tahu apa maksudnya, Higashikawa berusaha menolak kesimpulan itu.

Tapi ia tak mampu menemukan penjelasan lain.

Ia sendiri akan menjadi bagian dari video-video yang telah ia tonton sebelumnya.

Ia telah dipanggil ke sini untuk menjadi pemain di video baru mereka.

Dengan kata lain...

Arena permainan hidup-dan-mati seperti yang baru saja ia tonton akan segera dimulai.

“Satu catatan saja,” kata suara wanita itu. “Kau tidak diperbolehkan meminta penghentian waktu atau menyerah di tengah-tengah permainan. Sebenarnya, permainan telah dimulai ketika kau terbangun.”

“Tunggu sebentar. Tunggu dulu!! Apa aturan permainan ini? Aku tak diberi tahu apapun!!”

Tentu saja, Higashikawa Mamoru tidak berminat untuk bergabung di permainan sekonyol ini.

Tapi ia tetap perlu tahu aturannya sehingga ia dapat keluar hidup-hidup.

Lagipula, dalam permainan ini, nyawa adalah taruhannya.

Mayat di tengah ruangan itu mengingatkannya bahwa para penyelenggara permainan benar-benar tidak keberatan untuk mencabut nyawanya.

Namun…

“Oh, aturannya? Ya, aturan. Ini adalah permainan, tentu ada aturan yang jelas,” kata wanita itu setengah mengejek. “Tapi aku tak diwajibkan untuk menjelaskannya padamu.”

“Apa…?”

Higashikawa Mamoru tak mampu berkata apa-apa.

Untuk bisa bertahan, ia harus memahami segala detail keadaan ini, tapi bahkan hal yang paling dasar saja ia tidak diberi tahu.

Wanita itu hanya berkata, “Lagipula, kami adalah yang menjalankan permainan ini. Selama kami memahami aturannya, permainan ini dapat berlangsung. Kau tidak perlu tahu. Kalau kau berhasil menang sesuai aturan kami, kami akan mengijinkan kau untuk pergi. Jadi lakukanlah yang terbaik!”

Ia tak paham.

Ia berada di situasi yang begitu parah hingga kesalahan sedikit saja bisa membuat seorang pemain kehilangan kepalanya, tapi ia dipaksa untuk meraba-raba tanpa diberi tahu apa yang bisa menjadi suatu kesalahan.

Ia tidak bisa melakukan apa-apa dalam situasi seperti ini.

Ia bahkan tidak tahu apakah ia harus keluar dari ruangan itu sebelum batas waktu tertentu atau apakah ia akan gagal jika meninggalkan ruangan begitu saja. Ia hanya diminta untuk memilih.

Badannya mulai gemetar.

Bukan karena dikunci di dalam ruangan yang gelap, atau karena melihat mayat itu.

Bukan, ia gemetar karena hal yang lain.

Rasa takut, yang menyeruak dari dalam dirinya.

Selain mayat itu, ruangan ini terlihat normal. Namun, dalam bayangan Higashikawa, ruangan ini dipenuhi beragam ranjau dan jebakan. Ia takut kalau ia melangkah atau bernafas terlalu dalam, salah satu ranjau itu akan meledak.

Ia tak bisa bergerak.

Sementara Higashikawa masih terduduk diam dan tak mampu menggerakkan bahkan satu jarinya, si wanita berbicara lagi melalui pengeras suara.

“Asal kau tahu saja, hitung mundurnya sudah dimulai.”

“Apa? Hitung mundur apa?!”

“Kuberi satu petunjuk.”

Jawabannya muncul seketika.

Ia mendengar suara berdentang pelan. Jam dinding yang terletak di bawah pengeras suara telah jatuh ke lantai. Muka jam itu menghadap lantai, jadi ia bisa melihat sisi sebaliknya.

Ada sesuatu yang menempel pada jam itu.

Suatu benda berbentuk silinder, memiliki kabel beragam warna dan suatu rangkaian listrik, sudah jelas apa benda itu sebenarnya. Suatu cairan bening mengisi wadah berbentuk silinder yang transparan, tapi jelas kalau cairan itu bukan air.

Sebuah bom, menempel di jam itu.

Higashikawa merasakan detak jam yang semakin cepat.

Keringat dingin mengalir dari badannya ketika ia sekali lagi mendengar suara wanita itu dari pengeras suara.

“Permainan telah dimulai. Caranya terserah padamu. Lakukan sesuatu kalau kau masih ingin keluar hidup-hidup.”