Fate/Zero:Interlude~ Indonesian Version

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Jeda

Suatu saat, suatu tempat[edit]

“Kerry, kau tahu dari mana nama pulau ini berasal, bukan?”

Shirley bertanya dengan santai sambil mengendalikan setir mobil yang berderit-derit.

Anak laki-laki yang dipanggil Kerry, yang duduk di kursi penumpang, menggelengkan kepalanya dan bergumam “Tidak terlalu,” seolah takut goncangan kuat dari kendaraan itu akan membuat dia menggigit lidahnya.

Truk pick-up yang mereka berdua kendarai adalah kendaraan yang sangat antik yang mungkin saja berasal dari masa ketika penggunaan kereta kuda baru saja ditinggalkan. Ditambah lagi, jalan dimana mereka berkendara saat ini bukanlah jalanan beraspal rata, melainkan jalanan tanah. Bahkan gerobak-sapi pun harus mengurangi kecepatan di jalanan seperti ini. Saat ini, mereka merasa hampir seperti sedang duduk di perahu kecil yang terapung di lautan di tengah badai.

Walaupun kendaraan ini tampak seperti seonggok sampah yang sudah tidak bisa dipakai lagi, ini adalah satu dari hanya tiga atau empat kendaraan yang berharga di Pulau Arimago – selain itu, sebagai desa nelayan dengan hanya sekitar 300 keluarga, orang yang memerlukan kendaraan tidak cukup banyak di Pulau Arimago. Orang yang kerepotan hidup tanpa kendaraan mungkin hanya keluarga si anak laki-laki tadi dan Shirley, sang pembantu yang mengerjakan pekerjaan rumah. Di rumah si anak laki-laki yang terpisah jauh, cukup jauh dari desa nelayan, benar-benar tidak ada sarana transportasi lain selain truk usang ini.

“Arimago... artinya kepiting raksasa?”

Shirley mengangguk dan menjawab pertanyaan si anak laki-laki.

“Jaman dahulu kala, pulau ini adalah tempat yang digunakan untuk meletakkan persembahan kepada dewa laut. Tetapi, pada suatu saat, ada seorang gadis yang tidak punya apa-apa untuk memberi makan ibunya yang sakit, dan harus mencuri persembahan untuk sang dewa. Lalu, gadis itu mendapat hukuman langit, dan wujudnya dirubah menjadi kepiting.”

“Cerita yang mengerikan.”

“Setelah itu, dikatakan bahwa kalau kau memakan kepiting yang ditangkap di pulau ini, penyakit apapun akan sembuh. Ibu si gadis tadi juga sembuh dari penyakitnya.”

“Itu lebih parah. Benar-benar dewa laut yang kejam.”

Bagaimanapun, cerita rakyat seperti ini, seperti yang terekam dalam berbagai media semacam lukisan permadani, bukanlah sesuatu yang langka. Bila dilihat secara seksama, cerita seperti ini bisa ditemukan di berbagai belahan dunia.

“Um, apakah kuil tempat orang-orang memberikan persembahan kepada dewa ini masih ada?”

“Sudah menghilang sejak lama. Lagipula, tak seorang pun tahu apakah kuil itu benar-benar ada. Berdasarkan cerita, kelihatannya kuil itu dibangun tepat di samping kediaman Kerry sekarang.”

“Dan si gadis yang dirubah menjadi kepiting itu benar-benar pergi ke jantung pedalaman hutan yang jauh ini hanya untuk mencuri persembahan? Padahal jauh lebih praktis menangkap ikan di pantai saja.”

“Cerita itulah alasan mengapa penduduk desa tidak mau dekat-dekat dengan rumahmu. Legenda mengatakan bahwa tempat itu berbahaya, dan kau akan kena kutukan kalau kau terlalu sering mendekatinya. Aku juga sudah diperingatkan tentang itu.”

“Tapi bagaimana! ... Lalu bagaimana denganku, yang tinggal di sana?”

“Kerry kan pendatang. Tapi walaupun begitu, bukankah penduduk desa melihatmu sebagai adik laki-lakiku?”

Walaupun kata ‘adik laki-laki’ itu tidak benar-benar membuat si anak laki-laki merasa lega, dibandingkan ayahnya, yang tidak pernah melangkah keluar rumah, Kerry memang perlu membantu Shirley berbelanja setiap hari. Dengan demikian, mereka akan naik truk untuk pergi ke desa setiap hari.

Sudah hampir setahun sejak anak laki-laki itu pindah ke pulau ini. Seluruh penghuni pulau akan menyapa si anak laki-laki dengan hangat kapanpun mereka menjumpainya. Bahkan anak-anak laki-laki lain di desa, yang semula selalu mengajaknya berkelahi kapanpun mereka berjumpa, sekarang juga sudah mengolok-olok orang bersama dengannya.

Walaupun berada di tanah asing yang begitu jauh dari tanah kelahirannya, si anak laki-laki tetap sangat menyukai tempat bernama Pulau Arimago ini.

Walaupun setiap hari dia merasa sangat bosan selama minggu-minggu pertama setelah kepindahannya, matahari selatan yang mempesona dan ombak lautan selatan yang berkilau warna-warni perlahan-lahan telah menawan hati Kerry.

Tetapi, bagi ayahnya, yang tidak pernah mendekati siapapun dan tak pernah melangkah keluar rumah sama sekali, akan sulit untuk merasakan bahwa ada sesuatu yang menyenangkan di sini.

“Kalau saja ayah mau lebih banyak berhubungan dengan orang-orang di desa, dia pasti akan jadi sedikit berbeda...”

“Mmm, entah ya...”

Sambil dengan mahir mengendalikan setir menghindari batu-batu cadas besar yang mencuat keluar di jalanan, Shirley tersenyum pahit.

“Bapa Simon tidak pernah menyukai perbuatan ayahmu, dan sering menceramahiku dengan hal-hal seperti cepat atau lambat aku akan terkena jeratan iblis kalau aku masih bekerja di rumah itu.”

“Begitu ya...”

Si anak laki-laki tak bisa berbuat apa-apa selain merasa agak sedih ketika mengetahui bahwa Bapa Simon, yang selalu tampak baik hati, akan menilai ayahnya seperti itu di belakangnya. Tapi apa boleh buat. Daripada itu, ia justru merasa lega karena tanggapannya hanya sampai sebatas itu. Bapa Simon pasti akan mengusir baik sang ayah maupun anak keluar dari pulau kecil ini kalau ia benar-benar mengetahui apa yang dilakukan ayah dari si anak laki-laki.

Shirley menepuk punggung bawahnya, dan memberi isyarat pada Kerry untuk melihat pedang perak pendek di sabuknya.

“Lihat pisau ini. Bapa Simon memaksaku membawanya dan tak mau aku meninggalkannya. Katanya ini adalah jimat yang sangat berguna.”

“Bukankah itu pisau yang selalu kau pakai untuk mengupas buah-buahan?”

“Mmm, itu karena pisau ini sangat tajam dan mudah digunakan. Pasti ini sesuatu yang sangat berharga.”

Shirley melanjutkan bicaranya dengan nada tenang. Berbeda dengan si anak laki-laki, ia tampak tidak merasakan kesuraman apapun dalam topik pembicaraan ini.

“Tidakkah kau takut, Shirley? Tidakkah kau takut pada ayahku?”

Walaupun si anak laki-laki sedikit ragu-ragu, ia menanyakan pertanyaan ini juga akhirnya. Shirley mengangguk mantap.

“Aku mengerti ayahmu bukanlah orang normal, dan dengan perilakunya itu bukannya tidak masuk akal juga kalau penduduk desa jadi berjaga-jaga terhadapnya. Bagaimanapun, karena dia melakukan penelitian seperti itu, apa boleh buat kalau ia harus meninggalkan kota dan datang ke pulau terpencil begini untuk hidup seperti pertapa. Tapi ini menunjukkan bahwa ayahmu benar-benar orang yang mengagumkan.”

Si anak laki-laki tiba-tiba menyadari bahwa entah kenapa, Shirley akan tiba-tiba menjadi lebih dewasa dan perasa kapanpun mereka bicara tentang ayahnya. Shirley hanyalah seorang gadis yang lebih tua 4 tahun darinya, tentu dia tidaklah sematang orang dewasa.

“Kalau kau mengambil sesuatu dari pengetahuan dan penemuannya, itu akan menjadi penemuan besar yang bisa mengubah semua di dunia. Tentu saja, siapapun akan takut untuk mengetahui hal itu, dan tak ada pilihan selain menyimpannya sebagai rahasia... tapi bagiku, aku sungguh percaya bahwa kekuatan seperti itu bisa sangat menolong dunia ini. Aku selalu sangat mempercayai itu.”

“Apakah hal seperti itu, benar-benar mungkin bisa terjadi?”

“Dia mungkin sudah menyerah terhadap hal itu. Tapi Kerry, kalau itu kau, aku percaya pasti akan berhasil!”

Shirley mengatakan itu dengan ekspresi serius di wajahnya. Namun malah si anak laki-laki berkata dengan kecewa.

“Apa maksudmu? Bukankah kau, Shirley, adalah murid kesayangan ayahku? Bukankah Shirley yang akan meneruskannya kalau itu terjadi?”

Shirley, yang sering datang ke rumah si anak laki-laki, tidak hanya melakukan pekerjaan rumah tangga seperti merapikan rumah; ia juga membantu sebagai asisten dalam pekerjaan ayahnya. Ayahnya itu pernah berkata bahwa gadis yang bernama Shirley ini memiliki kecerdasan dan bakat yang luar biasa, dan sungguh sayang membiarkannya begitu saja di pulau terpencil ini. Adalah menunjukkan sesuatu tentang bakat Shirley kalau ayahnya, yang selalu merahasiakan segala sesuatu, mau mempercayai seorang perempuan asing sampai sejauh itu.

Tetapi Shirley sendiri tertawa keras dan menggelengkan kepalanya.

“Aku bukan murid atau apapun. Paling bagus juga aku cuma seorang asisten, orang yang mengerjakan sembarang pekerjaan dan membantu-bantu. Dengan begitu, aku tak mengetahui apapun tentang bagian pentingnya.

Tapi Kerry, kau berbeda denganku. Kau pasti akan mewarisi karya ayahmu. Penelitian yang dilakukan ayahmu saat ini akan harus kau teruskan suatu saat nanti. Apakah kau siap untuk itu? Meskipun agak terlalu cepat bagimu membicarakan hal itu.”

“...”

Shirley mengatakan itu semua dengan jelas, layaknya seorang kakak perempuan yang khawatir akan adik laki-lakinya. Untuk sesaat, si anak laki-laki terperangkap dalam perasaan-perasaan rumit di hatinya dan tak bisa bicara.

Ia tidak punya ingatan apapun tetang ibunya, yang meninggal dunia tepat setelah ia lahir. Bagi si anak laki-laki, yang disebutnya keluarga hanya terdiri dari ayahnya. Walaupun ayahnya itu aneh dan sangat keras, ia adalah seorang ayah yang sangat baik dan hebat. Dia adalah orang yang paling dihormati dan dicintai di seluruh dunia oleh si anak laki-laki.

Karena itu, pada awalnya, hati si anak laki-laki memberontak saat ia mengetahui bahwa sang ayah, yang paling dikaguminya, lebih memilih seorang asisten daripada putranya sendiri. Bahkan ada suatu masa dimana ia merasakan kebencian terhadap Shirley. Tetapi perangai ceria dan sikap lembut Shirley telah mengurai simpul di hatinya, dan masa itu tidak berlangsung lama.

Hampir seperti ada anggota baru dalam keluarganya. Shirley menghormati ayah si anak laki-laki seperti ayahnya sendiri, dan mengurus si anak laki-laki seperti benar-benar adik laki-lakinya. Bagi si anak laki-laki, yang tidak mempunyai kerabat perempuan, kata ‘kakak perempuan’ itu jauh melampaui makna yang sebenarnya terkandung di dalamnya.

Tidak... mungkin tidak sebesar ini pada awalnya, tapi saat ini perasaan aneh itu telah muncul dalam dada si anak laki-laki.

Ia sangat mengetahui kelembutan, keceriaan, dan kebaikan Shirley. Tapi lebih dari itu, bahkan gerak-gerik Shirley secara tidak sadar – seperti sosoknya saat ini yang sedang mengendalikan setir sambil bersenandung – juga tampak begitu indah. Mengapa?

“Kerry, kau ingin jadi orang seperti apa? Dan kalau kau mewarisi karya ayahmu, bagaimana kau ingin menggunakannya?”

“... eh?”

Si anak laki-laki yang sedang melamun tiba-tiba ditarik kembali pada kenyataan oleh pertanyaan Shirley.

“Kekuatan untuk mengubah dunia. Suatu hari kau akan mendapatkannya.”

“...”

Warisan ayahnya. Adalah bohong kalau ia bilang tak pernah memikirkannya. Si anak laki-laki sepenuhnya mengerti nilainya dan bagaimana pentingnya.

Apalagi kegunaannya.

Tapi si anak laki-laki sendiri tampak cenderung ragu-ragu untuk mengungkapkannya dengan kata-kata, terutama di depan Shirley. Ia tidak mau orang lain mengatakan impiannya itu naif, terutama Shirley.

“... Itu rahasia.”

“Mmm?”

Shirley tertawa tanda mengerti, lalu bertanya lagi.

“Maka aku akan menggunakan mataku sendiri untuk memastikan apa yang ingin Kerry lakukan ketika ia tumbuh dewasa. Sampai aku mendapatkan jawabannya, aku akan selalu ada di sampingmu. Bagaimana?”

“... Lakukan sesukamu.”

Seolah merasa malu, si anak laki-laki memalingkan matanya.

Tapi walaupun begitu, senyuman si gadis yang hampir seperti kakak perempuannya itu masih jauh terlalu mempesona bagi si anak laki-laki.


※※※※※※


Kulit seputih lilin.

Urat nadi hitam-kebiruan yang menyeruak mencabik penampilannya hingga berkeping-keping.

Suatu ekspresi, sarat dengan kebencian mendekati-kematian, memenuhi wajahnya.

Dia akan mati – itu jelas.

Walaupun dia akan mati, dia masih menggeliat-geliat.

Kalau itu ekspresi seorang manusia, maka manusia ini akan segera menjadi sesuatu yang bukan manusia – hati si anak laki-laki memahami ini dengan jelas.

Malam di luar. Tentu saja, tidak ada lampu jalan di pulau ini. Meskipun begitu, cahaya putih dingin yang berasal dari bulan yang terang dan murni di luar menerangi pemandangan tragedi ini dalam diam melalui jendela.

Ini adalah kandang ayam di pinggiran desa. Ketika mencari Shirley, yang tiba-tiba menghilang tanpa alasan, si anak laki-laki berjalan melewati setiap inchi desa sepanjang hari. Si anak laki-laki tidak menyerah dan tetap mencari hingga malam. Lalu ia sampai kemari.

Bangkai-bangkai ayam yang sudah dimakan, dan si “Mati” yang terus gemetar dan menangis jauh di dalam kandang ayam.

Bunuh aku— Si “Mati” yang berwajah sama dengan wanita yang paling ia sukai memohon padanya sambil terisak.

Lalu, pedang perak pendek yang dilemparkan dekat kaki si anak laki-laki memantulkan dingin dan pucatnya cahaya bulan.

Ketakutan—

Aku tak bisa melakukannya sendiri—

Karena itu, kumohon. Bunuh aku—

Selagi masih ada waktu— “Hal seperti itu...”

Menggelengkan kepalanya, si anak laki-laki mundur ke belakang.

Aku tak bisa melakukannya.

Walau kau berubah wujud menjadi apapun, Shirley adalah Shirley. Kita berjanji untuk bersama-sama selamanya. Dia adalah keluarga yang paling berharga—tidak, dia bahkan lebih berharga dari keluarga.

Kumohon—

Shirley terengah kesakitan. Perlahan suaranya menggila. Bersamaan dengan isakan memilukan, si gadis mengeluarkan suara engahan bagaikan binatang buas.

Sudah—berakhir—sebelum aku sepenuhnya kehilangan kendali atas diriku—cepat—

Tubuh Shirley mulai menggigil hebat seolah terkena malaria, lalu ia tiba-tiba membuka mulutnya dan menggigit pergelangan tangannya.

Menyembur...

Menyembur... suara darah memercik keluar memasuki gendang telinga si anak laki-laki.

Kumohon—

Suara memohon yang terus-menerus menenggelamkan jeritan tragis si anak laki-laki. Si anak laki-laki berlari keluar dari kandang ayam.

Yang menimbulkan ketakutan pada si anak laki-laki lebih dari Shirley yang ada di depannya – adalah cahaya yang berasal dari pedang pendek di sebelah kakinya.

Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan dia tidak ingin mengetahuinya.

Kini, yang dimohonkan anak laki-laki itu dalam doanya hanyalah hadirnya seseorang untuk menyelamatkan mereka.

Si anak laki-laki sungguh-sungguh percaya bahwa pasti ada seseorang yang bisa melepaskan mereka dari ketakutan mimpi buruk ini.

Shirley pasti akan diselamatkan. Seseorang pasti akan menyelamatkan mereka.

Si anak laki-laki berulang-ulang mengatakan itu pada dirinya sendiri.

Butuh sekitar lima menit untuk sampai ke gereja Bapa Simon kalau ia berlari sekencang-kencangnya.

Si anak laki-laki berlari demi hidupnya sambil menangis. Baik nyeri di kakinya maupun kesedihan dalam hatinya, ia tidak bisa lagi merasakannya.


※※※※※※


Natalia Kaminski. Wanita itu berkata itulah namanya.

Wanita ini mengenakan jas panjang hitam bagai tinta yang sangat tidak cocok untuk malam di daerah tropis, tapi ia tak tampak berkeringat. Daripada dingin dan kejam, roman mukanya lebih tepat disebut tanpa ekspresi. Yang bahkan akan membuat orang lain ragu apakah benar-benar ada darah yang mengalir dalam dirinya, dan apakah dia memiliki panas tubuh layaknya orang normal.

Itu adalah penampilan sang penyelamat yang menyelamatkan si anak laki-laki dari huru-hara yang membinasakan.

“Baiklah, nak. Saatnya kau menjawab beberapa pertanyaan untukku.”

Dengan punggung membelakangi suara dingin wanita itu, si anak laki-laki hanya terpaku menatap desa nelayan yang jauh yang sudah terbakar rata dengan tanah.

Desa yang masih begitu damai bahkan sampai kemarin, desa yang masih terlelap di bawah sunyi cahaya bulan hanya beberapa jam yang lalu, benar-benar sedang terbakar dalam api yang tak berkesudahan. Ia masih tak bisa mempercayai pemandangan di depan matanya bahkan walaupun ia berdiri di atas perbukitan di seberang perkampungan itu dan melihatnya sendiri; ia berpikir ini semua hanyalah mimpi buruk.

Dia tidak akan pernah melihat wajah-wajah yang akrab dan ramah di desa itu lagi – dia tak bisa mempercayainya apapun yang terjadi.

“... Apa yang, sebenarnya terjadi?”

Si anak laki-laki bertanya dengan suara kering. Natalia mendengus.

“Akulah yang lebih dulu bertanya. Nak, bukankah sudah saatnya kembali pada akal sehatmu?”

“...”

Si anak laki-laki tiba-tiba menolehkan kepalanya. Bahkan walaupun ia berhutang nyawa pada wanita itu, sungguh menjengkelkan ketika wanita itu mengabaikan perasaannya, tak menjawab pertanyaannya, dan sebaliknya justru terus dan terus bersikukuh pada pertanyaan si wanita itu sendiri.

Setelah sepi yang lama melekat, Natalia tampak mulai memahami pikiran si anak laki-laki. Lalu, ia menghela nafas pasrah, dan memberi penjelasan singkat.

“Saat ini, ada dua kelompok yang menyebabkan tragedi di desa itu. Kelompok yang satu adalah Executor yang bekerja untuk Gereja Suci. Mereka sangat berbeda dengan pendeta-pendeta ramah yang kau kenal. Mereka adalah orang-orang kejam yang meyakini bahwa semua yang mengkhianati Tuhan harus dibunuh. Tentu saja, mereka akan tanpa ampun memusnahkan hal-hal semacam vampir kalau mereka melihatnya. Kalau mereka tak punya waktu untuk memeriksa satu per satu orang yang darahnya dihisap, mereka akan menghancurkan seluruh tersangka. Dengan kata lain, orang-orang itu tak punya banyak waktu saat ini.

Kelompok satunya lagi dinamakan Asosiasi. Ini agak sulit dijelaskan – pada dasarnya mereka adalah kelompok yang hanya menginginkan hal luar biasa semacam vampir. Dengan sendirinya, untuk menjadi pemilik tunggal, mereka akan membunuh siapapun yang mengetahui tentang apapun yang berhubungan dengan itu. Tak ada artinya kalau tak melakukannya sampai tuntas demi menghancurkan bukti dan menyembunyikan kenyataan.

Karena itu, bocah, kau sangat beruntung. Kau mungkin satu-satunya penghuni pulau ini yang saat ini bertahan hidup dari penumpasan yang dilakukan orang-orang itu.”

Si anak laki-laki menerima kenyataan itu bahkan lebih mudah dari yang diperkirakan Natalia. Seolah si anak laki-laki telah melihat alasan orang-orang berbahaya itu datang ke Pulau Arimago sejak lama.

Si anak laki-laki buru-buru ke tempat Bapa Simon untuk mencari bantuan, dan sang pendeta yang menerima permintaan ini menghubungi beberapa orang. Berberapa orang di luar pulau pasti telah menerima informasi ini ketika sang pendeta menyampaikannya.

Lepas dari rangkaian peristiwa itu, setidaknya awal dari tragedi ini jelas berhubungan dengan dirinya.

Seandainya tadi si anak laki-laki mendengarkan permohonan Shirley dan berani menancapkan pedang perak putih pendek itu ke dada gadis yang paling dia sayangi, maka tragedi saat ini tidak akan terjadi.

Kalau tadi dia melakukannya, maka walaupun saat ini ia akan berubah menjadi cangkang kosong tanpa jiwa atau bahkan walaupun ia tak pernah bisa lagi tertidur di malam hari – nyawa sebanyak ini tak akan musnah.

Bagi si anak laki-laki, itu sama seperti dia sendiri yang telah menyulut api di tempat penuh kenangan itu.

“...Lalu, kau ada di sisi mana?”

“Aku seperti penjual untuk Asosiasi. Pekerjaanku adalah mencari rahasia yang menarik perhatian mereka, melindungi rahasia itu supaya tak diketahui orang lain dan menyerahkannya ke tangan mereka. Tentu saja, harus dijual pada mereka sebelum insiden besar seperti ini terjadi. Tidak bisa dijual lagi sekarang.”

Natalia mengangkat bahu. Mungkin dia sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Wanita berpakaian hitam itu seolah memancarkan aroma kematian dari seluruh tubuhnya.

“Baiklah, Nak, kembali pada pertanyaan tadi. Sudah saatnya kau menjawab pertanyaanku.

Yang disebut Lambang Penyegelan (Sealing Designation) – kau tahu apa artinya itu? Juga, dimana si Magus jahat, dimana pelaku insiden vampir ini, bersembunyi di pulau ini? Apa kau tahu?”


※※※※※※


Walaupun terdengar begitu dalam bagi si anak laki-laki, sebenarnya kata-kata itu tepat mengenai inti permasalahan.

Kerry bukanlah nama asli anak laki-laki itu.

Nama anak laki-laki itu, yang terlahir di suatu negeri yang asing, dan jauh, sangat sulit diucapkan orang-orang di sini. Pada awalnya Shirley-lah yang menyingkat namanya menjadi Kerry, lalu seluruh penduduk desa terbiasa memanggilnya Kerry. Si anak laki-laki juga merasa bahwa, daripada dipanggil dengan nama aneh seperti ‘Keritougu’, ‘Kerry’ kedengaran jauh lebih akrab.

Nama asli anak laki-laki itu adalah – Kiritsugu.

Putra dari Magus yang telah mendapatkan Lambang Penyegelan, Emiya Norikata.


※※※※※※


Di kedalaman malam, Kiritsugu kembali ke vila kayunya di pedalaman hutan, dan melihat ayahnya menyambutnya dengan ekspresi khawatir.

“Ahh, Kiritsugu. Kau baik-baik saja? Syukurlah...”

Ayahnya memeluknya. Sudah bertahun-tahun sejak ia merasakan bahu lebar ayahnya. Sangat jarang ayahnya yang kuat itu mengungkapkan perasaan yang sebenarnya seperti itu.

Setelah melepaskan Kiritsugu dari pelukannya, ekspresi ayahnya tiba-tiba menjadi keras dan berkata.

“Kubilang kau tidak boleh keluar dari sawar hutan ini hari ini apapun yang terjadi. Kenapa kau tak mematuhiku?”

“... Karena aku mengkhawatirkan Shirley...”

Ayahnya tiba-tiba mengalihkan matanya ke samping ketika mendengar nama gadis itu. Satu gerakan itu saja sudah bisa sepenuhnya memastikan sesuatu.

“Ayah, apakah Ayah tahu perubahan apa yang terjadi pada tubuhnya? Itukah sebabnya Ayah tak mengijinkanku pergi keluar?”

“...Tentang gadis itu, sungguh kasihan. Walaupun sudah kubilang reagen itu sangat berbahaya dan jangan pernah menyentuhnya, tampaknya dia tetap tak bisa mengalahkan rasa ingin tahunya.”

Walaupun nada bicara ayahnya dipenuhi kegetiran, tak ada penyesalan atau rasa malu di dalamnya. Ia seperti sedang bicara pada seorang bocah yang memecahkan vas bunga hanya dengan nada bicara menyalahkan dan marah.

“Ayah, mengapa Ayah menyelidiki tentang Utusan Maut (Dead Apostle)?”

“Tentu saja itu bukan tujuanku yang sebenarnya. Bagaimanapun, karena ini penelitian kita, keluarga Emiya, kita harus berusaha menemukannya walau sesulit apapun. Aku harus mendapatkan cara mengatasi penuaan, setidaknya sebelum generasimu. Raga, yang terbelenggu oleh takdir kematian, sungguh terlalu jauh dari ‘akar’.”

Pemandangan memilukan Shirley yang dilihatnya di bawah cahaya bulan sekali lagi muncul di depan Kiritsugu.

“Ayah... akankah nanti ayah juga mengubah wujudku menjadi seperti itu?”

“Omong kosong. Orang yang tak bisa mengendalikan keinginannya sebagai vampir dan berubah jadi Utusan Maut adalah kegagalan... Sudah kukatakan itu pada Shirley sejak lama. Sepertinya hasil penelitian ini tak sebaik yang kukira. Aku harus mulai dari awal dan mengubah teoriku lagi.”

“...Aku mengerti.”

Kiritsugu mengangguk dan berkata.

Sepertinya ayahnya berniat untuk melanjutkan. Tak perlu mempedulikan pengorbanan yang hanya sampai seperti ini saja. Ia masih harus mengulanginya sampai mendapatkan hasil yang memuaskan.

“Kiritsugu, nanti saja kita membicarakan ini. Saat ini prioritas utama kita adalah segera melarikan diri – aku khawatir tak ada waktu lagi untuk berkemas. Orang-orang dari Asosiasi akan segera melihat di balik sawar hutan yang tebal ini. Kita harus segera pergi.”

Sepertinya ayahnya sudah melakukan persiapan untuk pergi sejak tadi. Dua kopor besar sudah dikemas dan bertengger di tengah ruangan. Alasannya untuk menunda sampai saat ini – mungkin menunggu putranya sendiri kembali.

“Kita keluar dari sini? Sekarang?”

“Sejak dulu aku sudah tahu bahwa hari seperti ini akan tiba, jadi aku sudah menyiapkan motor boat di pantai selatan sebelumnya. Kau tak pernah bisa terlalu siap.”

Ayahnya membawa sebuah kopor di masing-masing tangannya, berbalik dan berjalan menuju beranda – tentu saja, saat ini ia sama sekali tidak berjaga.

Lalu, Kiritsugu mengambil pistol yang diberikan Natalia dari saku celananya.

Sebuah pistol berkaliber 32. Kalau ditembakkan dari sudut mati, bahkan seorang anak kecil pun bisa dengan mudah melakukannya tepat sasaran. Wanita berpakaian hitam itu meyakinkannya. Setelah itu, maka semua tergantung pada Kiritsugu.

Saat mengarahkan pistolnya pada punggung ayahnya yang tak terlindung, pemandangan desa yang terbakar rata dengan tanah menyesakkan hati si anak laki-laki – juga, seluruh kenangan yang ia miliki saat hidup bersama ayahnya selama sepuluh tahun, dan perasaan lembut yang tersembunyi di balik wajah dinginnya.

Ayahnya mencintainya, dan penuh harapan padanya. Ia pun sangat mencintai ayahnya, dan membanggakannya.

Berbagai perasaan yang tak berujung berkecamuk dan Kiritsugu ingin menutup matanya. Tetapi, berlawanan dengan perasaannya, Kiritsugu justru membuka matanya dan membidik, lalu dengan cepat menekan pelatuk.

Dor – suara itu tak terduga, kering, dan renyah.

Ayahnya, yang tertembak di belakang leher, jatuh ke depan. Lalu Kiritsugu melangkah dan melanjutkan menembak ke belakang kepalanya dua kali. Lalu ia berhenti, dan melanjutkan dua tembakan lagi di punggungnya.

Ia sendiri tak mempercayainya. Bahkan Kiritsugu sendiri takut pada sifat dinginnya itu.

Ia ragu-ragu sampai saat terakhir. Tentu ada perlawanan dalam hatinya. Tetapi, tangannya bergerak seolah segalanya telah diatur sebelumnya dan berada di luar kendalinya. Tubuhnya sepenuhnya mengabaikan pikiran dalam hatinya, dan hanya melakukan apa ‘yang harus dilakukan’ layaknya mesin.

Perilaku ini bisa disebut sebagai bakat – pemikiran itu selintas saja terbersit dalam hatinya. Setelah itu, Kiritsugu sekali lagi tenggelam dalam kehampaan, tanpa merasa telah menyelesaikan apapun.

Lantai kayu itu perlahan terwarnai merah oleh darah. Ayah sudah tak ada lagi. Yang terbaring di sana tak lebih dari mayat. Benda ini adalah penjahat. Benda ini merampas semua yang ia miliki, membunuh semua orang di pulau, dan membakar desa hingga rata dengan tanah.

Shirley mengatakan ia adalah orang yang hebat, seseorang dengan kekuatan untuk mengubah dunia. Kiritsugu juga pernah berpikir begitu pada suatu saat.

Tahu apa dua anak muda ini tentang dunia magis? Dan apa yang mereka harapkan dari seorang magi?

Pada awalnya, Kiritsugu tak menyadari bahwa dirinya menangis. Bahkan ia tidak tahu apakah perasaannya saat ini sedih atau menyesal. Yang ia rasakan hanyalah kehampaan seolah dirinya dikuras sampai ke dasar.

Pistol di tangan kananya terasa sangat berat, hampir terlalu berat untuk diangkat. Namun, ia tak dapat melemparkannya. Jemarinya membeku di atas pelatuk dan tak bisa bergerak.

Kiritsugu bahkan mengambil risiko menembak tanpa sengaja dan mengayunkan tangan kanannya ke segala arah hanya untuk melemparkan pistol itu. Tapi percuma; jemarinya menggenggam pistol itu erat-erat seolah memang ditempelkan di sana.

Saat itu, seseorang tiba-tiba menggenggam pergelangan tangannya, dan dengan mudah menyingkirkan pistol itu dari tangannya. Barulah saat itu Kiritsugu menyadari Natalia telah muncul di sampingnya.

“Ayolah, bidang berbatas (bounded field) di sini tidak sekuat yang kau bilang. Aku masuk dengan mudah.”

Natalia berkata dengan nada lebih seperti mengomel.

“...Kau marah?”

“Menurutmu? Aku tidak pernah memberikan benda ini untuk mainan anak-anak.”

Natalia melirik pistol yang diambilnya dari Kiritsugu, lalu memasukkannya kembali ke sakunya setelah mengunci kembali pengamannya.

“Bagaimanapun, tergantung keberuntunganmu apakah kau bisa melakukannya tepat waktu.”

Nyatanya, kalau semua itu tidak terjadi saat ini, Emiya Norikata tentu sudah melarikan diri dengan selamat dan pergi bersembunyi lagi, lalu memulai lagi penelitiannya tentang Utusan Maut entah dimana. Mungkin tragedi yang tercetus di pulau ini akan terjadi sekali lagi.

Ini bukan masalah yang bisa diselesaikan dengan keberuntungan. Ini adalah sesuatu yang harus dihentikan.

“Orang ini, ada alasan dia harus dibunuh – aku tak punya pilihan lain.”

“Aku bahkan mendorong seorang anak untuk membunuh ayahnya sendiri; aku benar-benar orang yang sangat jahat.”

Natalia berkata, berkecil hati. Mendengar itu, Kiritsugu tersenyum dengan sisa-sisa air mata di wajahnya.

“...Kau, orang yang baik.”

Natalia menatap, terpaku, pada senyuman Kiritsugu. Lalu ia menghela nafas dan mengangkat mayat Emiya Norikata di bahunya.

“Aku akan membawamu keluar dari pulau ini. Kau harus menentukan sendiri apa yang terjadi setelah itu – adakah sesuatu yang ingin kau bawa?”

“Tidak sama sekali.”


※※※※※※


Lalu... Kiritsugu menghabiskan tahun-tahun berikutnya di sisi Natalia Kaminski. Sudah sewajarnya, Natalia tidak merawatnya seperti seorang anak yatim atau anak angkat, tetapi menyuruh-nyuruh Kiritsugu layaknya asisten atau pembantu. Bagaimanapun, inilah yang diinginkan Kiritsugu.

Ia mempelajari keterampilan Natalia dan melatih kemampuannya sendiri secara bersamaan demi menempuh jalan yang sama seperti Natalia – untuk menjadi ‘pemburu’. Ini adalah jalan yang tak bisa diubah lagi yang telah dipilih Kiritsugu untuk hidupnya.

Tragedi di Pulau Arimago bukanlah peristiwa yang langka. Tragedi seperti itu terus berulang dan berulang lagi sebagai kejadian sehari-hari di berbagai tempat yang tertutup bayangan di dunia.

Para magi yang ingin menimbulkan kerusakan di dunia fana demi mendapatkan pengetahuan yang mereka cari, dan dua organisasi besar yang menggunakan segala cara untuk menyembunyikan kenyataan tersebut; pertempuran-pertempuran yang mengelilingi peristiwa-peristiwa misterius itu terus terjadi di tempat-tempat tersembunyi. Jelas karena inilah, ada uang yang bisa dihasilkan oleh Natalia.

Melenyapkan magi seperti Emiya Norikata sungguh masih terlalu jauh dari cita-cita mencegah tragedi-tragedi seperti itu terulang lagi – hampir bisa dikatakan Emiya Norikata hanyalah setetes air di lautan yang luas, suatu keberadaan yang hampir bisa diabaikan sama sekali.

Perbuatannya pada hari itu, membunuh ayahnya dengan tangannya sendiri; kalau dia ingin membuat peristiwa itu berarti dan bernilai...

Maka itu berarti semua magi sesat seperti ayahnya harus dibunuh. Hanya dengan itulah dia bisa benar-benar mencegah terjadinya tragedi seperti itu lagi.

Penegak Perlambangan Penyegelan (Sealing Designation Enforcers).

Anjing yang memburu para iblis yang melampaui batas kewajaran. Si anak laki-laki memilih jalan Shura berduri ini tanpa keraguan sedetikpun.

Natalia bukan milik organisasi manapun, dan hanyalah seorang pekerja lepas yang berburu dengan tujuan mencari hadiah. Targetnya adalah para magi dengan Lambang Penyegelan yang memiliki hasil penelitian yang bernilai tinggi, namun telah meninggalkan Asosiasi Magi dan mengadakan penelitian rahasia sendiri. Berbeda dengan Gereja Suci yang bertindak atas nama mengadili seluruh orang sesat dan membunuh mereka semua, Asosiasi Magi lebih mengutamakan terjaminnya keselamatan hasil-hasil penelitian.

Dan yang paling berharga dari semua itu adalah Magic Crest yang terukir pada daging sang magi. Magic Crest yang diciptakan melalui penelitian beberapa generasi bisa menghasilkan kekuatan yang bahkan lebih besar lagi ketika diserahkan pada penerusnya, terutama bagi keluarga magi.

Melalui negosiasi yang dilakukan Natalia dengan Asosiasi, satu bagian dari Magic Crest yang dikumpulkan dari tubuh Emiya Norikata boleh diwarisi oleh anaknya, Emiya Kiritsugu. Walaupun bagian-bagian yang penting telah disita oleh Asosiasi dan hanya satu ‘serpihan’ dari hampir separuh dari aslinya yang boleh diwarisi Emiya Kiritsugu, itu cukup bagi Kiritsugu untuk bisa memanfaatkan kemampuannya sebagai magus. Selain itu, sejak awal pun Kiritsugu tidak berniat mengikuti wasiat ayahnya sebelum mati untuk melanjutkan penelitian magis.

Bagi Kiritsugu, dunia magis bukanlah pilihan karir seumur hidupnya, namun hanyalah suatu alat yang ia gunakan untuk mencapai tujuan. Terlebih lagi, alat ini hanyalah satu dari banyak ‘alat’ yang dipelajari Kiritsugu dari sang wanita pemburu.

Pelacakan, pembunuhan, penggunaan berbagai senjata – seekor anjing tidak bisa hanya menggunakan satu ‘taring’ saja. Segala macam pengetahuan dan kemampuan perlu ia kuasai untuk bisa mendekati mangsanya dalam situasi dan kondisi apapun, lalu menjatuhkannya.

Bisa dikatakan, sejarah umat manusia adalah sejarah pembunuhan. Manusia tak ada habisnya menggunakan waktu dan pengetahuan untuk mengembangkan keterampilan ‘membunuh orang’ demi memburu ‘binatang buas berkaki dua’ yang tampak persis seperti diri mereka sendiri. Kiritsugu telah membuat tubuhnya menguasai semua ini.

Tahun-tahun berbalut darah dan bubuk mesiu berlalu dengan cepat.

Emiya Kiritsugu, yang mengalami cobaan berupa terlalu banyak pertempuran yang kejam di masa sensitifnya sebagai remaja, tidak lagi memiliki kepolosan masa muda di wajahnya. Sebagai orang oriental yang umurnya tak diketahui, dalam ketiga pasport palsunya ia tercatat sebagai orang dewasa dan tak sekali pun orang menanyainya.

Bagaimanapun, kalau hanya dilihat dari penampilannya, walaupun badannya tidak terlalu tinggi dan kumisnya tipis saja, pandangannya yang suram dan dingin jelas bukanlah sesuatu yang mestinya dimiliki seorang remaja laki-laki.

Suatu hari –

Bahkan ketika ia tahu bahwa guru sekaligus kawannya – Natalia – menghadapi bahaya paling hebat selama hidupnya, Kiritsugu tetap tidak menunjukkan keraguan emosi dan dengan sungguh-sungguh menyelesaikan tugasnya.

Tak peduli betapapun gelisah dan ragu hatinya, tak ada satu pun cara untuk menolong Natalia. Itu karena medan pertempurannya ada di dalam sebuah pesawat komersial raksasa dengan ketinggian lebih dari 3000 kaki di langit.

Dimulai dengan pengejaran seorang magus yang dikenal sebagai “Pengguna Lebah Iblis” (Demonic Bees User), Od Volsack.

Dikatakan bahwa magus ini berhasil menciptakan Utusan Maut dan dapat mengendalikan Lebah Iblis (Demonic Bees) untuk menggunakan sengatan beracun demi menambah jumlah Ghoul yang dikuasainya; memang seorang pria yang sangat berbahaya. Apalagi, ia mengubah nama dan wajahnya dan berpura-pura menjadi orang biasa, tanpa ada informasi tentang dirinya sama sekali.Bagaimanapun, empat hari yang lalu, ada informasi bahwa ia menggunakan Penerbangan A300 dari Paris ke New York. Dalam keadaan tidak mengetahui nama dan wajah orang itu sama sekali, Natalia menerima tugas menyusahkan ini, menemukan targetnya di antara 287 penumpang dan ‘melenyapkannya’.

Sebagai partnernya, Kiritsugu tidak ikut naik pesawat, melainkan pergi lebih dahulu ke New York untuk menyelidiki identitas palsu Volsack. Sang guru dan murid berkomunikasi menggunakan radio dan dengan tenang dan yakin mengunci lokasi mangsanya di tempat tersegel di atas 3000 kaki di langit.

Sekitar tiga jam setelah lepas landas – tanpa disangka pembunuhan itu terlaksana dengan mulus. Bagaimanapun, itu adalah awal dari tragedi.

Lebah Ghoul yang dibawa Volsack ke dalam pesawat dengan tipuan tertentu itu menimbulkan kekacauan hebat setelah kematian pengendalinya. Lebah Ghoul yang tidak dihancurkan Natalia tepat waktu menyerbu para penumpang satu persatu, dan dalam sekejap mata kabin pesawat komersial raksasa itu berubah menjadi neraka hidup yang dipenuhi oleh Ghoul.

Dihadapkan pada tempat tertutup tanpa bisa melarikan diri kemanapun dan Ghoul yang menguasai tanpa ada habisnya, bahkan seseorang sekuat Natalia pun merasakan keputusasaan yang tak berujung. Dihadapkan pada keadaan yang terus memburuk ini, Kiritsugu tak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menunggu komunikasi radio. Dia tidak boleh melewatkan sedikit pun kesempatan untuk membuktikan bahwa Natalia masih hidup.

Peraturan paling dasar yang terus diajarkan Natalia lagi dan lagi adalah – ‘tak peduli harus menggunakan cara apapun, kau harus yakin akan keselamatan dirimu’. Karena Natalia memiliki prinsip seperti itu, Kiritsugu percaya bahwa saat ini pun sang wanita pemburu berpengalaman itu bisa menyelamatkan diri. Setelah dua jam, radio itu masih terdiam.

Akhirnya, ketika cahaya bintang-bintang di langit malam tertutup bayangan jingga fajar, suara seorang wanita yang kelelahan ditransmisikan diiringi gangguan gelombang.

“... Bisakah kau mendengarku? Nak... kau tidak ketiduran, kan?”

“Keras dan jelas, Natalia. Kita berdua sama-sama berada di waktu paling mengantuk tepat sebelum fajar, setelah terjaga semalaman suntuk.”

“Tentu saja. Kalau kau berani pulang dan tidur tadi malam aku pasti akan membunuhmu nanti... baiklah, ada berita baik dan berita buruk. Yang mana yang ingin kau dengar lebih dulu?”

Natalia tertawa pendek dan berkata demikian.

“Bukankah kita berjanji untuk mulai dari berita baik dulu?”

“Baiklah. Jadi berita baiknya dulu. Pertama-tama, aku masih hidup. Pesawatnya juga tidak mengalami kerusakan. Aku baru saja memastikan keamanan kokpit, baik si kapten maupun ko-pilot telah menyetel perimeter penerbangan sebelum mereka mati. Aku juga bisa kalau cuma mengemudikannya. Sepertinya kontrolnya sama seperti Cessna.”

“Kau sudah berkomunikasi dengan menara kontrol?”

“Aku bicara dengan mereka. Awalnya mereka pikir ini lelucon, tapi sekarang mereka mengarahkanku dengan baik.”

“... Lalu, berita buruknya?”

“Mm – aku adalah satu-satunya yang tidak kena gigitan. Semua penumpang dan awak pesawat, seluruh 300 orang dari mereka, tewas dan menjadi Ghoul. Sisi lain kokpit ini, yang hanya dibatasi oleh papan, sudah menjadi kota mati terbang. Jangan terkejut sekarang.”

“...”

Ini adalah situasi terburuk yang telah dipikirkan Kiritsugu.

“Dalam keadaan seperti ini, bisakah kau... kembali hidup-hidup?”

“Ahh, pintu ini cukup keras. Walaupun saat ini agak terguncang-guncang, tak perlu khawatir pintu ini akan hancur – Justru, pendaratan nanti yang lebih membuatku cemas. Bisakah benda raksasa ini benar-benar mendarat dengan aman?”

“...Kalau itu kau, kau pasti bisa melakukannya.”

“Apakah kau menyemangatiku? Aku senang mendengarnya.”

Setelah tertawa pahit, Natalia menghela nafas tak berdaya.

“Masih ada 50 menit sebelum tiba di bandar udara. Masih terlalu cepat untuk berdoa – nak, mengobrollah denganku sebentar.”

“... Aku tak keberatan.”

Maka mereka memulai sembarang percakapan. Pertama, mereka mulai dengan membicarakan tentang dua jam ketika komunikasi terputus. Lalu mereka membicarakan satu per satu perbuatan keji almarhum Volsack secara rinci. Akhirnya, mereka berdua begitu saja teringat para magus dan Utusan Maut yang telah mereka hancurkan, dan medan-medan Shura yang telah mereka berdua hadapi bersama.

Natalia, yang biasanya pendiam, entah karena alasan apa menjadi banyak bicara hari ini. Raungan samar para Ghoul yang berasal dari kabin berpadu dengan suara mereka mendobrak pintu kokpit terus-menerus. Mengobrol adalah satu-satunya pilihan terbaik untuk mengalihkan perhatian dari hal itu.

“—Ketika kau pertama kali mengatakan padaku bahwa kau ingin meniti jalan karir ini, aku benar-benar merasa sakit kepala sampai waktu yang cukup lama. Apalagi, kau tak mau merubah pikiranmu walau bagaimanapun aku memaksamu.”

“Apakah aku sedemikian tidak menjanjikannya sebagai murid?”

“Tidak... itu karena kau terlalu menjanjikan, kau punya terlalu banyak potensi.”

Natalia berkata sambil tertawa pahit.

“...Apa maksudnya?”

“Karena kau bisa melakukan tindakan dengan sepenuhnya menyingkirkan perasaanmu – pembunuh biasa baru bisa mendapatkan hal seperti itu setelah mencoba bertahun-tahun. Tetapi, kau memilikinya sejak lahir. Betapa mengejutkannya bakat itu.”

“...”

“Tapi hei, tidaklah benar kalau kau memilih jalan hidupmu semata-mata berdasarkan bakat dan kemampuanmu saja. Keyakinan dan perasaan seseorang lebih penting dari bakat; itulah kunci untuk menentukan kehidupan seseorang. Kalau tak ada itu, seseorang tak bisa lagi disebut sebagai orang. Kalau mereka mempertimbangkan ‘apa yang harus dilakukan’ sebelum mempertimbangkan ‘apa yang ingin kulakukan’ dan hanya bertindak berdasarkan aturan itu... maka mereka bukan orang, namun hanya bisa disebut sebagai mesin, yang sudah terlepas jauh dari kehidupan seorang manusia.”

Kata-kata sang guru yang telah mengamati pertumbuhannya itu meluncur melewati hati si anak laki-laki bagaikan es beku yang dingin.

“Aku, yah... kupikir kau seorang yang sangat dingin.”

“Apa maksudnya itu, setelah semua ini? Bukankah hal itu benar? Pernahkah aku bersikap lembut padamu?”

“Tidak. Kau selalu sangat keras, benar-benar tanpa ampun.”

“... Biasanya, mendisiplinkan anak laki-laki adalah tugas seorang ayah.”

Di ujung lain radio, Natalia terdiam untuk sesaat, lalu melanjutkan setelah menghela nafas lemah.

“Bagaimanapun, aku memegang tanggung jawab pada taraf tertentu karena membuatmu tidak memperoleh didikan dari seorang ayah... sepertinya tidak ada cara untuk melepaskan tanggung jawab itu dariku.”

Aku hanya bisa mengajarimu beberapa keterampilan untuk menyelamatkan diri; aku tak berguna untuk hal lain – Natalia menambahkan seolah mengejek dirinya sendiri.

“... Kau ingin menjadi ayahku?”

“Jangan mencampuradukkan pria dan wanita, bocah kurang ajar. Setidaknya kau mesti memanggilku ibu.”

“... Benar. Maaf.”

Walaupun jawaban Kiritsugu bernada sangat tenang, ekspresinya tampak sangat terkejut.

Radio tak bisa menunjukkan wajah orang yang diajak bicara dan tentunya tak bisa melihat ekspresi mereka pula. Dengan demikian, Natalia tak bisa mengetahui perasaan Kiritsugu saat ini.

“... Sudah lama, aku merasakan darah dan bau amisnya sendiri saja. Aku hampir lupa akan kenyataan bahwa aku ini sendirian.

Itulah sebabnya, yah... Haha, hampir lucu. Seolah-olah kita ini keluarga.”

“Aku juga—“

Apa artinya mengatakan hal ini sekarang? Kiritsugu bertanya pada dirinya sendiri dalam hati sambil melanjutkan bicara.

“—Aku, juga menganggapmu seperti ibuku. Aku merasa aku tidak sendirian, dan aku bahagia.”

“Hei, Kiritsugu. Agar kita tidak merasa canggung saat bertemu lagi nanti, mari berhenti membicarakan masalah ini.”

Ekspresi kebingungan Natalia dapat samar-samar tertangkap dari kata-katanya. Sepertinya ia masih tidak terbiasa dengan hal-hal seperti ‘rasa malu’.

“Ahh, keadaannya makin parah. Aku akan mendarat dalam 20 menit. Aku tak mau melakukan kesalahan fatal di saat penting seperti itu hanya karena teringat sesuatu yang lucu.”

“... Maaf.”

Kiritsugu meminta maaf.

Natalia tidak perlu memilih melakukan pendaratan darurat.

Ia juga tidak akan bertemu Kiritsugu lagi.

Hanya Kiritsugu yang mengetahui hal itu.

Tidak mungkin Natalia bisa selamat sebelum semua Ghoul ini dihancurkan seluruhnya. Satu-satunya cara untuk menghadapi pesawat udara yang penuh berisi Ghoul ini adalah menceburkannya ke Samudera Atlantik. Operasi melenyapkan sang “Pengguna Lebah Iblis” ini terlaksana dengan tebusan nyawa seluruh penumpang dan awak pesawat dan Natalia Kaminski – Kiritsugu sudah siap untuk akhir yang seperti ini.

Tapi Kiritsugu tahu gurunya itu pasti akan menunjukkan kemampuan yang menakjubkan pada saat-saat terakhir. Natalia, yang berpegang pada prinsip ‘harus selamat apapun yang terjadi’, mungkin akan mencegah hancurnya badan pesawat demi menyelamatkan nyawanya sendiri. Kiritsugu harus mempertimbangkan ini juga – itu adalah akibat terburuk yang tak terduga.

Natalia, yang mengutamakan nyawanya di atas segalanya, pasti akan memilih akhir seperti ini tanpa ragu-ragu setelah mempertimbangkan risikonya.

Mendaratkan pesawat udara berisi 300 Ghoul di bandar udara dan melepaskan orang-orang mati yang kelaparan ini – dia jelas akan memilih cara ini kalau tak ada pilihan lain. Kiritsugu telah melakukan persiapan untuk menghadapi kemungkinan 1000 banding 1 ini dengan tepat karena Kiritsugu telah terlalu mengenalnya.

Demi mencegah bencana itu meluas lebih jauh, pesawat A300 itu tidak boleh dibiarkan mendarat.

Itu adalah kebenaran yang tak terbantahkan tanpa memandang keselamatan Natalia.

Kiritsugu telah mengelilingi hampir separuh New York sejam yang lalu dan akhirnya mendapatkan sebuah pelontar misil militer portabel darat-ke-udara dari pasar gelap.

Saat ini, Kiritsugu berdiri di atas motor boat yang terapung di laut, menunggu pesawat Natalia muncul dalam pandangannya. Pesawat udara raksasa itu perlu berputar beberapa saat sebelum mendarat di Bandar Udara Internasional New York; posisi Kiritsugu saat ini memungkinkan untuk menempatkan pesawat itu ke dalam jangkauan misilnya secara kasar.

Ketika membeli persenjataan dan memilih lokasi untuk menembak, Kiritsugu sekali lagi meragukan konstruksi mentalnya sendiri.

Dilihat dari perspektif menghindari tragedi yang lebih besar, menghadapi kematian Natalia dengan tenang adalah keputusan yang tepat baginya.

Bagaimanapun, makhluk apakah dirinya yang menyerah pada ‘keajaiban’ terakhir yang bisa menyelamatkan wanita yang ia sayangi, dan justru membunuh wanita itu dengan tangannya sendiri?

Alangkah baiknya bila semua itu hanyalah sebuah asumsi, namun saat ini Emiya Kiritsugu tengah menghadapi kenyataan yang kejam. Segera, ia akan melenyapkan Natalia dengan tangannya sendiri. Saat ini, A300 itu telah muncul di fajar yang merekah dengan sayap peraknya yang berkilauan.

“... Mungkin aku, benar-benar telah kehilangan.”

Natalia masih percaya tanpa ragu bahwa Kiritsugu, di sisi lain radio, sedang berada di sebuah hotel di New York, sehingga ia mengatakannya dengan santai tanpa ada sikap berhati-hati.

“Mungkin aku tidak akan mengatakan hal seperti itu pada akhirnya kalau kesalahan besar begini tidak terjadi. Sepertinya waktuku juga sudah habis. Haruskah aku berhenti...”

“—Kalau kau berhenti, lalu apa rencanamu selanjutnya?”

Kiritsugu masih berpura-pura bersuara tenang. Sementara itu, kedua tangannya telah mulai memasang pelontar misil pada bahunya, dan mengarahkan misilnya pada pesawat itu.

“Kalau aku kehilangan pekerjaanku... haha, maka aku mungkin akan benar-benar menjadi ibumu.”

Bahkan dengan air mata berlinangan dari matanya, ia masih bisa menentukan jarak menuju targetnya dengan tepat... kurang dari 1500 meter. Satu tembakan pasti.

“Kau... benar-benar keluargaku.”

Kiritsugu berkata pelan, lalu ia meluncurkan misilnya.

Dalam beberapa detik dimana misil itu perlu diarahkan secara manual, Kiritsugu harus mempertahankan sasarannya pada pesawat udara tempat Natalia berada dan seluruh kenangan tentang Natalia muncul kembali dalam pikirannya.

Namun siksaan itu tidak berlangsung lama. Misil itu segera terkunci dalam radiasi panas yang dipancarkan oleh pesawat udara komersial raksasa. Misil itu lepas dari kendali Kiritsugu, dan melesat tanpa ampun menuju targetnya bagaikan hiu kelaparan.

Misil itu membentur tepat pada tangki gas di bawah sayap pesawat; dan Kiritsugu menyaksikan pesawat itu miring dan jatuh ke bawah.

Jatuhnya pesawat setelah itu bagaikan gambar di atas pasir yang berserakan tertiup angin badai – massa besi yang kehilangan daya dorongnya terpecah bagai kayu lapuk, dan menjadi gumpalan debu halus yang jatuh ke permukaan laut dalam keheningan. Puing-puing pesawat yang jatuh dalam pijaran terbitnya pagi, menari laksana confetti dalam pesta.

Berkas cahaya pagi pertama yang bersinar dari sisi lain ufuk bahkan tidak sempat menyentuh wajah Natalia pada akhirnya. Berjemur sendirian dalam cahaya pagi, Emiya Kiritsugu mulai menangis tanpa suara.

Sekali lagi, ia telah menyelamatkan serombongan wajah yang tidak ia kenal. Tanpa seorang pun mengetahui.

Kau lihat itu, Shirley?

Aku telah membunuh lagi kali ini. Membunuh sebagaimana aku dulu membunuh ayahku. Aku tak akan pernah melakukan kesalahan yang sama dengan yang kulakukan padamu dahulu. Aku, ingin menyelamatkan lebih banyak orang...

Seandainya perbuatan dan niat Kiritsugu diketahui orang-orang lain, akankah mereka berterima kasih pada Kiritsugu? Akankah para penumpang di bandar udara yang terselamatkan dari kematian akibat ancaman Ghoul memuja Kiritsugu sebagai pahlawan?

“Jangan bercanda... Jangan bercanda denganku! Bangsat!”

Dengan menggenggam erat pelontar misil yang sisa-sisa panasnya mulai berkurang, Kiritsugu meraung menghadap langit yang mulai cerah.

Ia tidak menginginkan prestasi atau penghargaan. Ia hanya ingin melihat wajah Natalia sekali lagi. Ia hanya ingin memanggilnya ‘ibu’ secara langsung.

Ini bukanlah hasil yang ia inginkan. Ini hanyalah keputusan yang tepat, tanpa ada pilihan lain dan tak ada celah untuk membantah. Keputusan Kiritsugu ‘tepat’. Ia melenyapkan orang yang perlu mati dan menyelamatkan orang yang tak punya alasan untuk mati. Kalau ini bukan ‘keadilan’, lalu apa?

Sudah tak bisa kembali lagi. Ia teringat wajah yang jauh itu yang dahulu kala bertanya padanya, “Kau ingin jadi orang seperti apa?” dengan wajah lembut di bawah matahari pagi yang menyilaukan.

Pada saat itu, Kiritsugu mestinya menjawab – kalau ia punya kekuatan untuk mengubah dunia dengan bebas, kalau keajaiban bisa berada di tangannya; ‘Aku ingin menjadi pahlawan keadilan!’

Kiritsugu saat itu masih belum mengetahui apa yang akan dirampas oleh neraca bernama ‘keadilan’ itu darinya, dan apa yang neraca itu bawa padanya.

‘Keadilan’ telah merebut ayahnya, dan kini juga merebut ibunya. Yang disisakan hanyalah sensasi darah di tangannya. Bahkan haknya untuk mengingat mereka pun juga dilucuti.

Orang-orang yang ia cintai. Suara mereka, wajah mereka, tak satu pun yang bisa kembali. Sebaliknya, mereka akan muncul lagi dan lagi dalam mimpi-mimpi buruk Kiritsugu, yang merenggut nyawa mereka dengan tangannya sendiri.

Itulah pilihan ‘keadilan’. Harga demi mengejar idealismenya.

Kini, Kiritsugu tak bisa lagi berbalik ke belakang. Apa yang ia cari akan menghilang bahkan dengan keraguan atau kebimbangan sesaat. Kalau itu terjadi, semua harga yang telah ia bayar, dan seluruh pengorbanannya, akan menjadi sia-sia.

Yakinkah ia akan mengikuti cita-cita dalam hatinya sampai bisa terpenuhi sementara ia mengutuk dan membencinya di saat yang sama?

Kiritsugu bersumpah dalam diam di dalam hatinya.

Ia akan menerima kutukan itu. Ia akan menerima kemurkaan ini. Di saat yang sama, ia berdoa agar suatu hari ia bisa mengeringkan seluruh air matanya dan menggapai utopia yang tenteram dan teramat jauh itu.

Kalau kekejaman yang dibawa kedua tangannya adalah batas bagi manusia.

Maka biarkan dirinya sendiri menghapus seluruh air mata di dunia.

Itu adalah hari terakhir dari masa muda Kiritsugu –

Saat ia dengan yakin memutuskan untuk melangkah menuju jalan yang berduri dan tak adil.




Back to Penutup Return to Main Page Forward to Act 13