Hai to Gensou no Grimgar Vol 14++ Bahasa Indonesia

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 4 : Keadilan Dan Keadilan.[edit]

1. Keputusan Di Antara Pria[edit]

"Mogzo.....bung....."

"Hah?"

Saat itu Mogzo sedang menyendok sedikit sup untuk mencicipinya. Tangannya berhenti bergerak, lalu dia melihat ke arah Ranta yang berada di dekat pintu dapur.

“A-Apa? Ranta-kun…”

"Kau ngerasa gak sih... belakangan ini kau tambah sombong...."

“S-Sombong…? T-Tidak, kurasa tidak.....”

“Yahh, bung... kau mulai sombong. Itu benar. Kalau aku yang bilang, pastilah benar. Karena aku adalah Ranta-sama Yang Agung.”

“K-kenapa kau berpikir begitu.....? Seperti apa sombongku? Kalau kau memberitahu, mungkin aku bisa berbenah diri.”

“Itu dia,” kata Ranta, sambil menunjukkan tangannya ke arah Mogzo.

"Itulah yang kumaksud sombong!”

“Y-yang mana…?”

“Cara kau memegang sendok itu! Seolah-olah kau berteriak, ‘AKU SANGAT JAGO MENGGUNAKANNYA, KAN?!’ Kau seperti juru masak profesional saja! Kau ini pengen pamer atau apa!? Itulah yang kubilang sombong!”

“… Uhh. B-Benarkah…? Perasaan aku hanya memasak seperti biasa...”

“Dalam hatimu kau mengatakan, ‘Ah ini mah gampang.... aku sudah pro....’ iya kan!? Aku bisa merasakan kata-kata sombong itu terpancar dari lagakmu. Sudah, akui saja kesombonganmu!”

“M-Maaf. Lain kali tidak akan kuulangi.”

“Hah! Ngomong sih gampang!”

“…sungguh tidak akan kuulangi. Umm, bolehkah aku melanjutkan memasak? Aku belum selesai, nih...”

“Ya lanjutkan saja! Kapan aku menyuruhmu berhenti!?”

“Y-Ya. Baiklah kalau begitu…"

Mogzo mengambil sesendok sup lagi, mencicipinya, lalu mengangguk.

“Keh…” Ranta hanya menimpali dengan wajah kesal. “Kau pikir kau spesial ya...”

"Nggak kok...."

“Tentu saja kau menyangkalnya, karena kau tidak bisa melihat raut wajahmu sendiri.”

“...a-ada apa dengan wajahku? Aku hanya senang sup ini rasanya enak.”

“Cuma itu?”

“M-Mungkin…”

Kres...kres....kres.... Mogzo menggunakan pisau untuk memotong dadu sesuatu yang tampak seperti daun teh, lalu menambahkannya ke sup. Wajahnya yang penuh uap sup terlihat bahagia. Namun itu malah membuat Ranta mendecakkan lidahnya dengan kesal.

"Lagi-lagi....!!"

“A-Apa…?”

"Wajahmu mengatakan, ‘aku jago banget sih’.......”

"Hah? Tidak, aku biasa saja....”

"Bung.... kau paham gak sih....”

“Paham apa…?”

“Biar kuberitahu, Mogzo, aku juga jago memasak persis sepertimu. Sayangnya, kau selalu mengambil shift-ku, jadi kuberikan saja. Aku hanya tidak punya kesempatan membuktikannya, oke?”

“I-itu kulakukan karena aku suka memasak.... sudah, itu saja....”

"Bukan! Itu tidak benar! Kau jelas-jelas sedang pamer! Kau ingin semua orang mengakui kemampuanmu, supaya kau populer, kemudian dapet banyak cewek! Benar, kan!? Ngaku saja!?”

“B-Baiklah, kalau begitu aku tidak akan mengambil shift-mu lagi.”

"Dasar tolol!”

“Apa…”

“Mogzo! Siapa lagi yang mau mengambil shift-ku juka bukan kau? Oke, mungkin Manato mau melakukannya, tapi aku harus merayunya terlebih dahulu, dan aku benci melakukan itu! Kau boleh mengambil shift-ku semaumu! Tapi, bukan itu yang kupermasalahkan!”

"...L-lalu apa?"

"Memasak!"

Ranta menyingsingkan lengan baju, lalu menunjukkan otot-ototnya.

“Aku juga jago memasak seperti dirimu! Ingat itu baik-baik! Aku bisa menunjukkannya jika mau, hanya saja aku tidak ingin.”

“A-aku mengerti.... akan kuingat itu baik-baik... oke?”

"Ya. Ingat itu baik-baik.”

Ranta menarik napas panjang.

Dia lapar.

“…Baunya enak.”

“B-begitukah? Um… Apakah kamu ingin mencobanya?”

"Kalau kau memaksa, baiklah....”

Ranta membusungkan dadanya, lalu berjalan mendekati Mogzo. Dia mengambil sesendok sup yang ditawarkan Mogzo, lalu menyesapnya.

Lalu, matanya melotot.

“I… Ini… aromanya kaya sekali… aku merasakan harmoni indah antara rasa yang dalam dan ringan. Kadar garamnya pas sekali. Tidak terlalu banyak, juga tidak terlalu sedikit...... Mogzo....!”

“A-Apa…?”

“Mogzo..... bung…!”

Ranta melingkarkan lengannya di bahu Mogzo.

“Ternyata kau memang bisa masak! Ini enak sekali! Sial, aku jadi pengen lagi! Ingin kutenggak habis semua supmu! Tidak akan kubagi pada yang lainnya! Aku juga ingin makan semua bahannya!”

“Ah, haha… I-Itu sedikit berlebihan.”

“—Whoa, jangan senang dulu bung….”

"A-Apa?"

"Lihat hidungmu sampai melebar begitu!"

“Ah... masa…” Mogzo segera menutupi hidungnya dengan kedua tangan.

Ranta tersenyum. “Sekarang kau tidak bisa menyangkalnya lagi, Mogzo! Aku melihatnya! Jelas sekali! Wajahmu yang penuh dengan kebanggaan itu tidak perlu kau sembunyikan lagi!”

“K-kau salah paham…”

“Baiklah.... baiklah.... tidak apa-apa kok.”

"Hah…?"

“Mogzo, kamu memang pandai memasak. Jadi, kau boleh membanggakan kelebihanmu itu. Sebenarnya aku masih sebal dengan wajahmu itu, tapi harus kuakui kau orang yang rendah hati dan sederhana. Ah sudahlah.... kalau kau memang mau menyombongkan diri, silahkan saja! Tunjukkan pada dunia kemampuanmu yang hebat itu! Jangan berhenti! Pamerkan semuanya pada cewek-cewek itu! Jadilah raja harem! Itu kan yang kau inginkan selama ini? Maka, jangan sungkan! Luapkan saja semuanya!”

"…Kau salah."

"Hah?"

"Kau salah. Aku tidak pernah menginginkan hal seperti itu... maksudku.... aku hanya ingin semuanya bahagia dengan masakanku.”

“Gappiin!”

“…Gappin?”

"Gahhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!"

Ranta melompat mundur, mundur, lalu mulai menari.

“Piiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin!”

"…Hah? apa? A-Apa yang terjadi, Ranta… -kun?”

"Dhuar!! Brukkk!"

“Tidak, tunggu, aku tidak mengerti—”

“Hei, Mogzo, sentuh aku di sini. Di sini." Ranta berdiri tegak, lalu menunjuk tenggorokannya sendiri.

Mogzo dengan ragu menekan leher Ranta. "…Di sini?"

"Ya, di situlah tombol keseimbanganku …!”

Ranta melompat mundur lagi, lalu mengacungkan jari telunjuknya pada Mogzo.

“Kau salah menekannya…! Itu membuatku jadi tidak seimbang!”

“Apa… K-Kamu punya tombol, Ranta-kun…?”

“Tentu saja punya! Dan kau baru saja menyentuhnya dengan jarimu! Meskipun kau salah melakukannya...”

"Tombol ...keseimbangan? Masa sih?"

“Kau baru saja menekannya dan masih saja tidak percaya?”

“Tidak, aku hanya sedikit mengusapnya—”

“Alasan macam apa itu? Kau mencari pembenaran? Kau berusaha membenarkan tindakanmu!?”

"Ranta-kun ... aku sungguh tidak paham apa yang kau katakan...."

“Baiklah... baiklah... aku tahu itu tidak masuk akal. Tapi, hal yang mustahil pun bisa terjadi dalam hidup ini setidaknya sekali, kan? Iya, kan?”

“A-aku sungguh tidak tahu bagaimana harus menjawabmu....”

"Iya, kan?!"

“I-iya sih…”

“Kalau begitu! Karena kau sudah membuatku tidak seimbang, maka kita harus selesaikan ini secara jantan! Hadapi aku, Mogzo!”

“M… Menghadapimu? Maksudnya…?”

“Bukankah sudah jelas?” Ranta berteriak sambil merentangkan tangannya, “Waktunya duel memasak!”

Grimgar Vol 14++ (5).jpg

2. Syukur dan Alasan[edit]

"Hei, pria besar, sepertinya kau boleh juga....”

Dia masih menyesali ketika Raghill, seorang pria mengenakan topi berbulu, mengatakan itu padanya di kantor Prajurit Relawan. Waktu itu, dia gagal menolak tawaran itu.

Raghill terlihat seperti orang baik—namun ternyata tidak. Wajahnya seperti seorang perundung, dan mulutnya juga kotor. Raghill mengaku dia telah mengajari banyak hal, bahkan meminjamkannya uang, namun sejujurnya, itu semua hanya bualan. Namun, tetap saja Mogzo mengikutinya.

Bahkan, tak pernah sekalipun Mogzo berpikir meninggalkan pria itu.

Namun, hati kecilnya menyadari bahwa ini semua akan berakhir pada hal yang merugikannya. Dia tahu mengikuti Raghill tidaklah benar. Namun, terlepas dari itu semua, Mogzo tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan semuanya berjalan begitu saja.

Dia terus melakukan apapun yang Raghill katakan padanya, pergi ke Guild Warrior, membayar delapan perak, dan mengikuti kamp pemula. Di sana, dia bertemu dengan seorang tutor wanita bernama Komo. Wanita itu mengenakan bikini kulit yang terikat dengan tali, kalau dilihat dari penampilannya sudah pasti dia orang mesum. Ketika dipanggil ‘Nona tutor’, dia langsung marah dan menimpali, “Namaku Komo. Panggil aku Komo-san!” sampai sekarang pun Mogzo tidak memahami wanita itu, tapi yang jelas dia begitu kuat, bersemangat, dan aneh.

Mogzo hanya bisa terus mendesah lelah, sembari berpikir, ’Aku tidak cocok berada di sini’, sampai-sampai dia lupa sudah berapa kali menghela napas. Namun, dia tidak punya pilihan selain terus menjalani kamp pelatihan itu selama tujuh hari penuh.

Sembari berlatih, dia terus mengayunkan pedang kayunya. Sebenarnya, mengayunkan pedang saja merupakan hal mudah, tapi ketika harus mengenai target dan menebasnya, itu sangat menyiksa Mogzo. Tampaknya si pria besar tidak cocok dengan pekerjaan seperti ini. Dia berlatih hanya dengan menggunakan pedang kayu dan target yang berupa boneka, tapi itu sudah cukup menyiksanya. Dia pun hanya bisa berpikir, ’Kenapa aku harus melakukan ini? Bukankah ada hal lebih penting yang harus kukerjakan? Mungkin aku cukup kuat karena tubuhku besar, tapi.... sepertinya kekuatan itu bisa kugunakan untuk hal lainnya. Tapi apa itu...yang jelas, bukan menghancurkan, melainkan menciptakan sesuatu....’ sembari memikirkan itu, Mogzo semakin tidak niat berlatih.

Dan itu membuat Komo-san membentaknya.

“Mogzo! Dasar cacing! Bagaimana jika rekanmu terbunuh saat kau melongo seperti itu? Keragu-raguanmu akan mencelakakan rekan-rekanmu! Bunuhlah musuh sebelum mereka membunuhmu! Seperti itulah aturan dalam suatu pertarungan!”

’Mungkin.... lebih baik aku tinggal di tempat yang tidak perlu saling bunuh untuk bertahan hidup...?’

“Mogzo! Kau sudah meragukan tekadmu bertarung, ya?? Dasar bodoh! Jika kau sudah menginjakkan kaki di medan perang, tidak ada waktu untuk memikirkan hal seperti itu!”

Mogzo tidak paham. Jika tidak punya tekad, maka seseorang akan bertarung tanpa tujuan. Bagaimana bisa orang saling bunuh tanpa tujuan yang jelas? Jika mungkin, Mogzo sama sekali tidak mau bertarung. Dia tidak mau memegang pedang, bahkan melihatnya saja muak.

Dia sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat membenci pelatihan ini, tapi ketika wanita itu membentak, “Teruskan!” tubuhnya bergerak sendiri untuk mematuhinya. Dia terus mengayunkan pedang dan menebas targetnya. "Terlalu lemah,” bentak Komo sekali lagi, dan itu sudah cukup membuat Mogzo mengayunkan pedangnya lebih keras. Bahkan ketika sudah terkapar lelah, ketika Komo menendang bokongnya, dia pun kembali bangkit dan terus berlatih.

“Kalau begini terus, kau bisa mati di medan pertempuran, Mogzo! Atau mungkin, kau akan membuat teman-temanmu terbunuh! Itu yang kau mau??”

Menanggapi kata-kata kasar itu, dia balas berteriak, “Tidak, bu!”

Sebenarnya, dia tidak pernah berniat melakukan ini semua, tapi dia harus.

Setelah menyelesaikan kamp pelatihan, akhirnya dia bergabung dengan Party Raghill sebagai Warrior. Sebagai tes awal, mereka akan mengadu Mogzo dengan Paladin atau Dark Knight dari Party itu. Mereka akan bertarung di luar gerbang utara dengan menggunakan pedang sungguhan. Tidak ada lagi pedang kayu, karena pelatihan sudah selesai. ’Mana mungkin aku bisa menang....’ pikir Mogzo. Tapi ketika rekan-rekannya membentak, “Lakukan saja!” seperti biasa, dia tidak bisa menolak. Hasilnya, Mogzo pun langsung kalah, dan Raghill menyemprotnya.

“Sial, kau tidak berguna. Harusnya aku tidak membuang waktu menunggumu menyelesaikan pelatihannya! Ini kerugian besar. Kalau begitu, kau harus membayarnya. Aku mau uang. Beri aku semua uangmu. Maka kita impas. Cepatlah, beri uangmu!”

Mogzo sudah tahu pria ini tidak beres, dan sekarang dia malah memerasnya. Tapi Mogzo tidak bisa melawan. Tentu saja dia tidak bisa hidup tanpa uang di dunia ini, tapi Mogzo juga tidak punya cara selain memenuhi tuntutan itu. Akhirnya Mogzo pun membayarnya.

Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, sampai akhirnya Manato dan Party-nya datang. Tapi... siapa pria bernama Manato ini? Apa yang dia inginkan darinya? Apakah dia sama saja dengan Raghill?

Tapi apakah dia punya pilihan lain? Jika tidak bergabung dengan Party Manato, lantas apa yang akan dia lakukan? Ngemper seharian di pinggiran gerbang utara? Tentu saja tidak.

Manato, Haruhiro, Yume, Shihoru, dan Ranta telah menyelamatkan Mogzo. Dia berhutang budi pada mereka berlima. Mogzo pun ikhlas melakukan apapun demi mereka. Apalagi dia seorang Warrior, jadi dia harus melindungi mereka. Dia akan bertarung sekeras mungkin untuk Party-nya yang baru.

Selain bertarung, apa lagi yang bisa dia lakukan untuk mereka....?

Hmmm.... memasak mungkin?

Ya.... memasak.

Anehnya, dia cukup percaya diri pada kemampuannya itu.

Ketika melawan Goblin, dia mencoba membakar semangatnya dengan berteriak dalam hati, ’Lawan! Lawan! Kau harus melawannya!’ namun sebenarnya dia tidak tahu apa yang sedang dia lakukan. Meskipun dia menjerit, ’Aku harus melakukannya! Aku harus bertarung! Aku harus melawannya!’ sayangnya tubuhnya seolah menolak semua jeritan itu.

Tapi, lain halnya dengan memasak.

’Inilah yang ingin kulakukan.... inilah yang ingin kubuat....’ — pikiran seperti itu terus terngiang di kepalanya. Bahkan saat membeli makan di warung, dia bisa menebak rasa dan bumbu-bumbu apa yang dipakai sang koki. Dan dengan sedikit coba-coba, dia bisa meniru masakan apapun.

“…Kenapa aku membiarkan kata-kata itu bergema di kepalaku?”

Mogzo berdiri di tengah halaman asrama pasukan relawan, sembari menundukkan kepalanya.

“Ranta-kun bahkan mengetahuinya..... sebenarnya apa yang terjadi padaku......”

“Mogzo?”

"Hah…?"

Ketika Mogzo kembali mengangkat kepalanya, di sampingnya sudah ada Manato yang sedang melihatnya sembari memiringkan kepala dengan bingung.

“Oh… M-Manato-kun.”

"Ada apa? Apakah terjadi sesuatu?”

“Tidak, eh, yah… T-Tidak juga. A-aku hanya.... tidak bisa mengatakannya.....”

"Apa maksudmu?" Manato bertanya sambil tertawa kecil, lalu duduk di sebelah Mogzo, “Sepertinya, telah terjadi sesuatu denganmu. Jika tidak keberatan, mengapa tidak menceritakannya denganku? Terkadang, masalah terasa lebih ringan jika kau menceritakannya pada orang lain.”

“B-benar juga…"

Mogzo menghela nafas, lalu mengusap dadanya. Namun, dia masih kesulitan mengungkapkan masalahnya.

"Aku mau mendengarnya," kata Manato dengan nada santai, “Tapi kalau kau tidak mau cerita, ya sudah. Jangan dipaksa.”

“R-Ranta-kun....…!”

Tiba-tiba kata itu terucap dari mulutnya, yang membuat Mogzo sendiri terkejut mendengarnya.

“R-Ranta-kun, dia, um... gimana ya bilangnya.... dia menantangku duel....”

"Oh ya? Duel apa?”

"Duel...m-memasak."

“Wah, kau pasti menang. Belum bertanding pun aku sudah tahu kau akan menang.”

“H-Hah? Apapun bisa terjadi, lho…”

“Maksudku, Ranta tidak pernah memasak makanan yang enak. Dia tidak pandai mengupas, atau memotong sesuatu.”

“T-tapi dia cukup ulet, lho.... y-yahh, mungkin kau benar... dia bukanlah orang yang teliti, tapi....”

"Ranta itu ceroboh. Dia selalu terburu-buru dalam mengerjakan apapun.”

"A-aku juga tahu itu … t-tapi memasak memerlukan tekad yang kuat. Jika kau memasak dengan sungguh-sungguh, hasilnya pasti bagus.”

“Ya, aku tahu itu. Ranta selalu mengikuti kata hatinya dan mengerjakan segala sesuatu dengan efisien.”

“Itu tidak cukup.... maksudku, aku sebenarnya tidak begitu yakin, sih.... tapi memasak butuh waktu dan usaha yang besar..... bahkan, itu semua......”

"Kelihatannya kau paham betul tentang memasak. Kalau begitu, mengapa tidak kau terima saja tantangan Ranta, lalu kalahkan dia.”

"…Hah?"

“Undang teman-teman menyaksikan duelmu, lalu kalahkan Ranta di depan semuanya.”

Manato mengatakan itu dengan senyumnya yang menyegarkan mata. Sesaat, Mogzo tidak tahu maksudnya, tapi.........

"Jangan khawatir, apapun hasilnya tidak masalah. Bukankah kau juga ingin melakukannya, Mogzo?”

Mata Mogzo melebar. Kali ini, dia tahu apa yang harus dia lakukan.

“…Y-Ya.”

3. Tentang Bagaimana Kau Hidup[edit]

Saat Ranta berkeliaran di pasar, dia kebetulan melihat Yume dan Shihoru. Dia bisa saja memanggil mereka, tapi setelah dipikir-pikir, sebaiknya tidak.

“…Bah. Aku tidak tahu mengapa, tapi sepertinya mereka sedang bersenang-senang. Yang satunya dada papan, yang satunya gunung tersembunyi....”

Dia berbalik, lalu menghela napas panjang sembari menggaruk-garuk kepalanya.

“Bagaimana bisa dua gadis yang Oppainya beda jauh begitu akrab? Aku sungguh tidak paham wanita. Kalau cowok sih, perbedaan sebesar itu membuat canggung. Sebenarnya bisa saja sih kami jalan dengan akrab, tapi pasti di dalam hati bilang, ’Wah.... punyamu kecil banget ya...pffffft......’ ah, tapi perbedaan ukuran barang kami tidak mungkin sebesar itu.”

Sembari bergumam sendiri, Ranta melirik bahan-bahan makanan yang berjajar di rak-rak kios.

Umumnya, bahan-bahan segar yang mudah basi itu harganya mahal, sedangkan bahan yang bisa diawetkan justru sebaliknya.

“Apa yang harus kulakukan? Hmm. Memasak. Memasak ... Tunggu, gimana ceritanya sih aku bisa duel memasak melawan Mogzo...?”

Dia berhenti, bersedekap, lalu berpikir.......

“Apakah aku saat itu tidak berpikir panjang ya …?”

Sebenarnya, hal yang sama terjadi saat pertama kali dia memilih untuk menjadi Dark Knight.

”Baiklah, kalau begitu kita setuju bahwa Ranta akan menjadi Warrior.”

Ketika Manato mengatakan itu, sebelum mereka bergabung dengan Guild masing-masing, Ranta pun menyetujui itu. Dia menyukainya karena Warrior merupakan peran vital dalam suatu Party.

Kau tahu... mereka akan membutuhkanku. Mereka tidak akan bisa melakukan apapun tanpaku. Benar, benar, kan? Jadi, Ranta-sama akan selalu ada untuk mereka. Ya....ya...

Itulah yang dipikirkan Ranta, dan dia cukup puas dengan itu semua.

Mengapa dia tidak bergabung dengan Guild Warrior?

Pada saat itu, Ranta berada di distrik selatan Altana, dia sedamh menuju Guild Warrior di dekat distrik pengrajin. Saat itu, hatinya begitu senang.

Seorang Warrior, ya? Aku, seorang Warrior? Seorang Warrior. Warrior. Warrior itu keren. Maksudku, orang-orang kuat itu juga Warrior. Aku yakin cewek-cewek akan menggandrungiku. Inilah saatnya aku menjadi populer. Ya.... tentu saja....

Sembari berpikir begitu dan bersenandung ria, Ranta terus berjalan sampai akhirnya teringat perkataan Manato.

“Ada dua kelas yang mirip dengan Warrior, yaitu Dark Knight dan Paladin. Tapi, kurasa kita lebih membutuhkan.........”

Dark Knight? Paladin?

Oh? Oh, ho, ho, ho? Hmm? Hum, hum, hum? Tunggu dulu…

Sepertinya itu lebih keren…?

Saat pikiran itu terlintas di kepalanya, keinginannya untuk menjadi Warrior telah sirna. Dark Knight, atau Paladin? Mana yang harus kupilih? dia semakin bingung.

Apakah aku memilih kegelapan?

Atau mungkin cahaya?

Harusnya sih kegelapan… Ya.... karena itu keren....

Sepertinya begitu....

Ranta masih ingat mengatakan itu pada dirinya sendiri.

“Dark Knight, Ranta. Ranta, Dark Knight. Dark Knight, Ranta. Kegelapan dari yang tergelap. Dia lah Ranta... ♪ ♪ ♪ ♪.”

Bukankah itu sangat cocok. Jangan-jangan, dia memang terlahir untuk menjadi seorang Dark Knight? Ya... pasti begitu....

Maka lahirlah Dark Knight Ranta.

Tujuh hari pelatihan di Guild Dark Knight tidaklah mudah. Tapi, akhirnya dia bisa mengatasinya, karena.... uhhh, jika tidak sanggup, maka dia akan mati. Dia tidak begitu ingat seperti apa latihannya, tapi yang jelas Ranta bisa mengatasinya dengan baik. Jadi.... tidak ada yang perlu disesali.

"Mungkin waktu itu aku tidak berpikir panjang. Mungkin itu hanya ego-ku saja. Tapi.... ya, ego sangatlah penting."

Ranta mendengus, lalu mengepalkan tangannya.

“Semua ini karena ego dan intuisi. Begitupun dengan duel ini. Duel ini tidak terhindarkan. Iya, kan? Tidak terhindarkan? Yahh, terserahlah. Apapun itu, tidak masalah. Karena semua yang kuputuskan selalu benar. Tapi.........”

Dia melihat dengan gelisah di sekitar daerah itu.

“Apa yang akan kumasak…? Mogzo memang jago masak. Tapi hanya itu keahliannya. Kalau ingin mengalahkannya dalam duel masak, maka aku harus berusaha keras. Tapi, tidak mungkin Ranta-sama kalah.... tidak mungkin. Meskipun, aku harus berhati-hati melawannya, hmm....”

Berjalan sambil merenung, dia menuju ke distrik pengrajin di bagian selatan.

Di sana ada desa kecil yang berisi kios-kios dengan para pengrajin yang sibuk bekerja. Jaraknya tidak begitu jauh dari wisma-wisma para prajurit relawan yang terbuat dari batu. Ada juga warung-warung dan kedai untuk makan dan minum. Ranta dan yang lainnya sering mengunjungi tempat itu untuk isi perut. Dia pun sangat mengenal tempat itu.

“Ping!”

Aku mengerti, pikirnya, lalu berlari. Dia bergegas menuju ke suatu warung. Dari sana, tercium aroma masakan yang wangi.

"Di sini tempatnya! Petunjuk yang kubutuhkan! Pasti ini! Ya, pasti ini...!”

Setelah melewati beberapa kios, melihat ke sana-sini, mengendus-endus dengan hidungnya, akhirnya Ranta berhenti pada suatu warung.

“Ini dia…! Tidak diragukan lagi! Kunci kemenanganku ada di sini! Instingku tidak pernah salah! So! Ruz!”

“A-Apa…?”

Di dalam kios, pemilik warung Soruz, yang sedang mengaduk-aduk isi pancinya, terlihat begitu kaget dengan kedatangan Ranta.

Ranta tertawa.

“Heheheheheh… Gwahahahaha…! Jangan takut! Meskipun kau tidak tunduk pada Dark Knight Ranta-sama, aku tidak akan memakanmu atau semacamnya!”

“…Apakah kamu baik-baik saja, bung?”

Si pemilik kedai kemudian menambahkan sejumput garam dan merica, sepertinya pria itu berumur lima puluhan. Seperti orang yang sering makan Soruz, perutnya begitu lebar seperti kendang. Sekarang bukanlah jam makan, jadi warungnya sepi dari pelanggan. Tapi, dia sedang sibuk mempersiapkan dagangannya.

Ranta berdeham dan membusungkan dadanya.

"Tentu saja aku baik-baik saja!"

“O-Oke. Itu bagus, kalau begitu. …kau sering mampir ke warungku, kan?”

“Tentu saja! Karena aku seorang pasukan relawan! Yahh, aku masih magang sih.”

"Sebagai pasukan magang lagakmu boleh juga ..."

“Heh… begitukah, pak tua? Yah, itu mungkin karena. ... aku orang penting! Dan semua orang penting selalu mempunyai aura seperti itu, kan!?”

“…Aku tidak tahu. Aku tidak peduli apakah kau orang penting atau tidak. Aku sedang sibuk sekarang, jadi kalau kau tidak punya urusan, pergilah.”

“Ada syaratnya.”

“S-syarat? Pergi saja butuh syarat?”

“Jangan khawatir. Tentu saja kau bebas mengikutinya atau tidak.”

“Kalau tidak mengikutinya kau akan mengancamku, kan? Apanya yang bebas kalau begitu...”

“Bukan syarat yang sulit, kok.”

“Biar kutebak, kau tipe orang yang tidak mendengarkan apapun yang orang lain katakan padamu, kan?”

"Bingo!"

"Tapi kau masih mendengarkanku, kan?!"

"Mengenai syarat itu..... bagaimana kalau kau mengajariku memasak Soruz? Jika kau setuju, aku akan pergi dengan suka rela, oke?”

4. Apa Yang Kucari?[edit]

Saat berjalan melewati pasar, seseorang menabraknya dari belakang.

“Ugh!”

“Wah…”

Meskipun tidak membuatnya terjungkal, namun dia cukup terkejut. Itu Yume. Yume yang menabraknya.

“…Yu-Yume-san? Oh…! Shihoru-san juga.”

"Nyaw! Ini Yume!”

Yume dengan penuh semangat melambaikan tangannya dan melompat ke atas ke bawah, Shihoru berdiri di belakangnya dan melambaikan tangannya dengan malu-malu.

“…H-Halo.”

“U-Umm…” sapa Mogzo sembari memegang dadanya. Yume begitu membuatnya terkejut, sehingga jantungnya berdebar kencang.

“A-apa kabar kalian berdua? A-apakah kalian sedang berbelanja?”

“Mmm, yah, Yume dan Shihoru cuma cuci mata. Benar kan, Shihoru?”

“…Y-Ya, itu benar. Kami hanya jalan-jalan…”

“Bagaimana denganmu, Mogzo? Kau sedang apa?”

“Oh, a-aku…? Um, seperti kalian, aku juga sedang jalan-jalan.”

“Atau jangan-jangan.... kau cari makan?”

“Y-Ya.”

"Karena kau adalah makanan....."

"Hah…?"

“Ups! Maksud Yume, kau suka memasak. Kau sungguh panda memasak, Mogzo. Dengar, Yume sangat suka makan, tapi tidak pandai memasak. Jadi..... mungkin lebih baik Yume fokus makan saja.”

“B-Boleh saja. Umm....”

Ada kalanya Mogzo gagal paham apa yang dikatakan Yume. Saat itu terjadi, dia selalu berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah lain.

“…kalau aku.... sepertinya aku suka keduanya. Aku sendiri tidak begitu yakin, sih. Tapi, saat memasak makanan yang kusuka, itu membuatku senang. Aku suka mencari rasa yang membuatku penasaran.”

“Ohhh…” mata Shihoru sedikit melebar, dan raut wajahnya tampak memahami sesuatu.

“Muh?” Yume hanya menggembungkan satu pipinya, lalu menusuk dagunya dengan jari. “Mencari rasa? Apakah itu seperti ketika kau menutup mata, lalu berusaha berjalan lurus, kemudian saat kau membukanya, tiba-tiba..... nyaa..... ternyata kau berjalan miring. Seperti itu, ya?”

“U-Um… A-aku tidak tahu. Mungkin tidak seperti itu....”

“Beda ya.....”

"Ya. M-maafkan aku...”

"Yume juga minta maaf."

“Tidak, aku yang harus minta maaf…”

Keduanya yang saling menundukkan kepala membuat Shihoru tertawa. Ketika menyadarinya, Yume juga tersenyum dan Mogzo pun ikut tertawa. Saat ketiganya tertawa, tiba-tiba Yume menerkam Shihoru.

“Glooooomp!”

“Eeeek!”

“Unyaa. Glomp!”

“Hei, Yume, hentikan…”

"Baiklah, Yume berhenti.”

Apa yang sedang mereka berdua lakukan? Pergaulan macam apa ini? Mogzo sungguh tidak tahu. Tapi kelihatannya Shihoru tidak keberatan, dan keduanya juga tampak senang.

Senang rasanya melihat mereka akur. Sepertinya aku masih berguna sebagai seorang Warrior. pikir Mogzo. Demi teman-temannya yang sudah memberinya kesempatan bergabung dengan Party, dia harus menjadi Warrior sebaik mungkin. Setidaknya, itulah yang diharapkan Mogzo saat ini, tapi.......... ketika sudah tua nanti...... saat tubuhnya tidak lagi prima, mungkin dia ingin membuka restoran dengan teman-temannya.

“U-Um, sebenarnya, ada sesuatu…”

“Hmmm, apa itu, Mogzo?”

“...entah kenapa, Ranta tiba-tiba menantangku duel memasak, dan aku pun mengiyakannya.”

“Lagi-lagi Ranta-kun berbuat aneh…” wajah Shihoru tampak tidak suka, dan Mogzo hanya menanggapinya dengan tersenyum masam.

“Sepertinya begitu.... tapi, aku senang saja jika bisa memasakkan makanan lezat untuk kalian semua.”

“Ohh. Begitu ya!”

“Kalau bisa, aku ingin memasak sesuatu yang belum pernah kubuat sebelumnya, khusus untuk pertandingan spesial ini.”

“…akan kutunggu.”

Dengan mata berkilau, Shihoru menutup mulutnya dengan tangan. Mogzo yang melihatnya berpikir bahwa Shihoru lebih antusias ketimbang Yume. Kemudian, Yume jinjit dan mendekatkan wajahnya pada Mogzo.

"Terus.... terus.......?”

“…Y-yahh, tapi aku belum tahu akan memasak apa. Jadi, aku jalan-jalan untuk mencari bahan.”

“Kebaikan akan memberikan keberuntungan, lho!”

"Ha…?"

Mogzo dan Shihoru saling melirik. Sepertinya keduanya tidak tahu apa yang dimaksud Yume. Tapi, Mogzo berpura-pura memahaminya.

"A-ahh.... itu benar....”

“Benar kan, Shihoru?”

"…Hah? T-tentu saja.....”

“Kalau begitu, Yume, Shihoru, dan Mogzo harus mencarinya bersama!”

“Benarkah? Aku senang sekali kalau kalian mau membantu.”

“Tentu saja. Shihoru juga mau membantu, kan?”

"…Tentu saja. Jika kamu tidak keberatan, Mogzo-kun.”

Dengan begitu, akhirnya mereka bertiga bersama-sama mengelilingi pasar. Kesempatan ini tidak datang tiap hari, maka Mogzo menanyakan beberapa hal pada kedua cewek itu.

"Um, kalian sukanya apa?”

“Hm? Suka ya.... kalo Yume suka anjing serigala.”

“…Yume, maksudnya makan.”

“Oh? Benarkah? Makanan ya? Nggghhh.......”

“M-Maaf, Yume-san. Aku membuatmu berpikir keras ya...”

“Nwah?!”

"Hah…?!"

“Moguchin, baru saja kau memanggil Yume-san, ya?”

“… M-Moguchin?”

“Mogzo?”

“Y-yahh... aku sih tidak masalah. Tapi, rasanya aneh memanggilmu tanpa akhiran -san.”

"Begitukah?"

“Mungkin... kesannya terlalu akrab.”

"Menurutmu terlalu akrab?”

"Aku tidak yakin juga sih........"

“Yume tidak masalah kok dipanggil Yume saja. Atau Yumerin juga tidak apa-apa. Atau... Yummy?”

“… Yume. Menurutku Yummy terlalu aneh, oke…?”

“Unghhh. Baiklah. Bagaimanapun juga, Shihoru adalah Shihoru. Lalu, Mogzo adalah Mogzo. Maksudku, Mogzo imut, kan?”

“...Begitukah?”

Wajah Mogzo memerah. Meskipun udara sedang tidak panas, dia berkeringat.

“Ya, ya. Yume pikir Mogzo imut, Shihoru juga imut...”

“…K-kurasa tidak…”

“Kau imut, Shihoru. Bukankah begitu, Mogzo?”

"Hah? Uh, tentu... ya, kurasa dia i-i...”

Mogzo menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Dia sangat malu, tapi jika dia tidak menyelesaikan kalimatnya, nanti akan terjadi kesalahpahaman. Dia tidak menginginkan itu.

“…dia imut.... sungguh.”

“Oh…” entah kenapa Shihoru membalasnya dengan membungkuk sopan. “T-terimakasih...”

“T-tidak perlu berterimakasih....”

“Nyoo? Apa yang kalian lakukan?”

”Kau lah yang menyebabkan ini semua!” kalau Ranta berada pada posisinya, pasti dia sudah membentak begitu. Tapi Mogzo tidak akan mengatakan hal seperti itu.

“Oh iya.... tentang makanan yang Yume suka....”

”Lah! Sekarang kau baru ingat topik pembicaraan kita sebelumnya!” Mogzo juga tidak bisa mengatakan itu.

“Yume suka apapun yang enak, sih.”

”Yaelah, ternyata suka apapun!” tentu saja Mogzo juga tidak bisa mengatakan itu.

“A-aku juga…”

Shihoru memang baik, dia berusaha memperbaiki suasana.

“T-tapi.... kalau bisa.... aku tidak ingin makanan yang membuat gemuk bila terlalu banyak memakannya....”

Makanan diet?!

Itu yang dia inginkan?

Benarkah?

Yahh, bagaimanapun juga dia seorang gadis, jadi dia sangat memperhatikan makanan rendah lemak.

Sayangnya, aku masih tidak bisa menebak apa makanan favorit mereka.

Shihoru mengira Mogzo memikirkan itu semua, karena dia tampak berpikir sembari menggertakkan giginya. Shihoru jadi merasa bersalah, lalu dia menundukkan kepalanya.

“…A-aku minta maaf. Aku tidak banyak membantu ya... karena aku gemuk.”

Kukira ini tidak ada hubungannya dengan gemuk. Lagian, kau tidak gemuk, kok.

Kali ini, Mogzo benar-benar ingin mengatakan itu, tapi tidak bisa.

Lalu, Mogzo hanya bisa menatap ke langit.

Dia menginginkan pencerahan.

Tapi, perutnya jadi keroncongan.

Mogzo segera menoleh pada Yume dan Shihoru. Sepertinya mereka tidak mendengar suara gemuruh perut itu. Ahh..... aman...... tapi kemudian.........

"Ah…!"

Baru saja, di sudut sana, dia melihat sesuatu.

“Mogzo? Kau melihat sesuatu?”

“Y-Ya …”

Dengan sedikit mengabaikan Yume, Mogzo kembali mengamati apa yang barusan dilihatnya. Itu dia. Itu tempatnya. Ada tong yang berdiri di depan suatu warung. Dan di dalamnya, ada beras. Maka, Mogzo langsung berbicara pada si pemilik warung.

“I.... ini beras, kan?”

Pemilik warung menatapnya dengan ragu dan memberi anggukan singkat.

“Itu beras yang ditanam di ladang. Kenapa memangnya?”

5. Rahasia Utama[edit]

Suatu ketika, ada seorang pria. Ya, benar, dimana-mana memang ada pria, tapi bukan itu maksudnya. Itu hanyalah kata pengantar untuk cerita ini.

Pokoknya, ada seorang pria. Pria itu pernah menjadi pasukan relawan. Sebenarnya ini cerita yang terlalu umum, bersama rekan-rekannya dia bertarung, bertarung, dan terus bertarung. Hari demi hari, mereka terus bertarung. Tentu saja terkadang istirahat, tapi dia lebih sering menghabiskan waktunya dengan bertarung dan mencari uang. Namun, semuanya berakhir tiba-tiba.

“Hei, Takakage! Takakage?! Takakage?! Bertahanlah…!"

“U-Usuradani… G-gawat, aku tidak bisa…”

“Jangan bilang begitu, Takakage! Jangan menyerah! Jika kau menyerah, semuanya akan berakhir! Jadi jangan menyerah, bodoh!”

“J-Jangan panggil aku bodoh… orang yang memanggil orang lain bodoh..... sebenarnya dirinya sendirilah yang bo.....doh...."

“Hey, kau marah? Dalam situasi seperti ini kau masih sempat marah? Sekarang bukan saatnya membahas hal seperti itu!”

“Aku… aku tidak… marah…”

“Tidak.... kau sungguh marah!”

"…Aku tidak marah…"

“Takakage?! Takakage?! Takakageeeeeeeee?!”

“So.....ruz…”

"Apa?! Apa katamu?! Apa?! Apa yang ingin kau katakan?”

“Sooo......ruzzz.....”

“Soruz…?”

"Hei! Usuradani!” rekan mereka lainnya meraih tangan Usuradani, kemudian menariknya.

“Kita harus lari! Kalau begini terus, kita semua akan habis!”

“Mana mungkin kita meninggalkan Takakage…?!”

“Baiklah, kamu di sini saja! Kami semua akan pergi!”

“Sialan?! Tentu saja aku juga akan pergi! Baiklah Takage, mungkin sudah waktunya. Aku tidak akan basa-basi lagi, selamat tinggal...”

Adegan ini hanyalah reka ulang dari kejadian yang sebenarnya. Mungkin ada beberapa hal yang berbeda, jadi mohon dimaklumi.

Setelah kehilangan Takakage, Usuradani mulai merasa bahwa dirinya sudah cukup menjadi pasukan relawan. Menjadi pasukan relawan berarti siap bertarung, dan bertarung berarti bertahan hidup. Jika berhenti menjadi pasukan relawan, maka dia sudah siap mati. Namun, selalu ada pilihan lain dalam hidup. Dia pun memutuskan mengambil jalan lain dengan membuka kedai makanan dan minuman.

“Aku memang suka makan, sih. Aku pun suka makanan lezat. Makanan yang tidak enak akan membuat mood-mu buruk. Itu sudah jelas. Tapi, kau tidak bisa makan terlalu banyak, kan? Dan kau tidak makan setiap saat, maka jika kau makan masakan yang menjijikkan, kau sama saja membuang-buang kesempatan itu. Itu membuatku jengkel. Entah pria atau wanita, semua orang pasti suka makanan lezat, maka sepertinya aku harus membuka restoran? Aku punya tabungan, jadi mengapa tidak kita coba saja? Ayo lakukan! Ya... aku harus melakukannya...”

Sekali lagi, mungkin adegan ini berbeda dari yang sebenarnya. Jadi, harap maklum.

Usuradani pernah bergabung dalam suatu Party beranggotakan enam orang. Dengan kepergian Takakage, maka tinggal lima sisanya. Setelah Usuradani pergi, maka tinggal empat. Empat orang? Empat tidaklah cukup, mungkin seperti itulah yang dipikirkan rekan-rekan Usuradanni, maka mereka pun ikut bergabung dengan bisnis kulinernya.

“Dengan mengambil sebagian dari nama kita—Usuradani, Tsumozuka, dan Yanku—bagaimana kalau kita menamai restoran kita Usutsumoya?!”

“Tunggu, Usuradani. Kenapa namamu di depan?”

“Ya, ya. Bagaimana kalau Yantsu’u saja.”

“Hei, tunggu, Yanku. Aku hanya kebagian satu huruf, itu tidak adil.”

“Diam, Usuradani. Nama yang kau sebut tadi memberi kalian dua huruf, sedangkan aku hanya satu. Aku hanya dapat Ya.”

“Lagian, nama macam apa Yanku itu? Aku tidak habis pikir, apa sih Yanku itu.”

“Ap—Usuradani, apa yang kau pikirkan…?”

“Maaf, Yanku. Aku juga memikirkan itu.”

“Et tu, Tsumozuka?! Ah terserah! Aku tidak mau berurusan dengan kalian lagi! Sampai jumpa!"

"Oh ya? Sampai jumpa."

"Hentikan aku! Kau seharusnya menghentikan aku! Setidaknya cobalah!"

“Ah, lupakan, kau terlalu merepotkan.”

"Sial! Akan kuingat ini, Usuradani! Kau juga, Tsumozuka! Aku bersumpah akan membuatmu menyesalinya!”

Sekali lagi, adegan ini mungkin berbeda dari aslinya, tapi.... yahh, kurang-lebih begitu. Yanku pun pergi setelah cekcok dengan rekannya yang lain.

Akhirnya Usuradani dan Tsumozuka menunda penamaan resto itu, lalu mereka membahas makanan dan minuman apa yang akan dijual.

“…sebenarnya, aku ingin wanita.....”

"Hah? Kau ini ngomong apa, Tsumozuka… Makanan! Makanan! Kita sedang membicarakan makanan. Kita akan membuka restoran, lho.”

“Whoa, whoa, whoa, Usuradani? Kau tidak paham juga ya? Nafsu apa yang sama pentingnya dengan nafsu makan? Jawabannya tentu adalah nafsu sex!”

"Terus? Kau mau buka rumah bordir? Sini, biar kuhajar kau!”

“Ayo gelud, rambut uban…!”

“H-Hei, aku sensitif soal itu! Tsumozuka, kau harus diberi pelajaran!”

"Pelajaran apa?”

"Aku akan membunuhmu!"

“Kau barusan mengatakan ingin membunuhku!? Membunuhku? Kau mengatakan hal yang tidak seharusnya kau katakan, bung!”

"Oh, diamlah!"

“Kau akan menghajarku!? Ayahku saja tidak pernah memukulku!”

“Ya, mungkin ayahmu tidak pernah memukulmu, tapi tampaknya kau sudah sering dihajar, sampai-sampai kau menikmatinya!”

“Hah!? Tahu darimana kau? Siapa yang bilang aku menikmatinya?”

“Sialan, kita sudah bersama cukup lama, jadi aku tahu banyak tentangmu. Eh, tunggu dulu.... jadi kau benar-benar menikmatinya? Ih, menjijikkan sekali!”

"Jangan bilang begitu, rambut uban!”

“Jangan panggil aku begitu!”

“Rambut ubaaaaaaannnnnnn ♪♪♪!”

“Sekarang kau menyanyikannya?! Dengan nada?! Dengan cangkok?! Dan ternyata enak juga didengar?! Oh, cukup! Aku tidak mau berurusan lagi denganmu. Sampai jumpa!"

“Ya, aku juga tidak ingin berurusan denganmu! Sampai jumpa, rambut uban! Maksudku, Ubandani, eh..... Usuradani! Sampai jumpa…!"

“Sebut nama orang yang benar! Memang hampir mirip, tapi tidak sama!”

Meskipun adegan ini tidak sama persis dengan kejadian sebenarnya, yang jelas Tsumozuka pergi meninggalkan rekannya, dan Usuradani akhirnya mengelola bisnis restoran sendirian.

Usuradani terus berpikir sendirian. Setelah melalui serangkaian proses coba-coba, akhirnya dia memutuskan akan mendirikan kedai mie yang terbuat dari tepung. Mie itu dibuat dengan menguleni tepung dengan sedikit garam dan air yang banyak ditemui di Altana. Usuradani awalnya bermaksud membawa produknya bersaing dengan pasar yang lebih besar, tapi setelah dipikir-pikir, sepertinya itu mustahil. Jika orang lain melakukan hal yang sama dengannya, maka akan banyak terjadi persaingan.

Usuradani pun berkeliling mengunjungi restoran-restoran lain yang juga menyajikan mie. Dia mengamati untuk mencari sesuatu yang berbeda.

Alhasil, akhirnya dia menemukan sesuatu.

Aku harus fokus pada mieku.

Dengan penyesuaian tertentu, dia coba membuat mie unik yang berbeda dari warung lain. Lalu, ”Ini kan.... ini kan.... ini kan......” entah kenapa mie buatannya itu mengingatkannya pada suatu kuliner yang dulu pernah dikenalnya. Tapi apa itu..... dia tidak tahu, yang jelas dia cukup familiar dengan hidangan itu.

Kemudian, dengan mempertimbangkan biaya dan sejumlah faktor lainnya, Usuradani mempersempit menu restorannya menjadi hanya satu hidangan. Dia akan mempertaruhkan segalanya pada satu hidangan itu. Ini adalah pertaruhan terakhirnya. Jika gagal, maka habislah semuanya. Dia pun menyesap sup mie itu.... mie yang menjadi harapan terakhirnya.... lalu, dia seruput juga mienya yang berwarna kuning. Dengan sekali anggukan, Usuradani berbisik pada dirinya sendiri.

“Namanya adalah Soruz. Kata-kata terakhir Takakage yang misterius, dia lah pria yang mendorongku melakukan semua ini. Ya.... Soruz..... namanya adalah Soruz!!”

Ya, detailnya berbeda dengan kejadian sebenarnya, tapi kurang-lebih begitulah lahirnya kuliner bernama Soruz.

Ranta berdiri di depan seorang pria yang sedang menaburkan sejumput garam dan merica. Pria itu bernama Usuradani, pemilik warung Soruz, lalu dia melakukan Kowtow dengan sepenuh hati.

"Kumohon…! Ajari aku rahasia membuat Soruz! Kenapa harus Soruz?? Aku sendiri tidak tahu! Yang jelas, kumohon!! Ajari aku membuatnya!!”

Usuradani bersedekap, menutup matanya, dan berpikir.

Lalu, tiba-tiba... matanya terbuka, dan dia melotot pada Ranta.

"Tidak."

“Gabyoon!”

Ranta terjungkal, masih dalam posisi Kowtow.

“Gabyoon! Gaaaabyoon! Gabyobyoon…! Tidak mungkin, kau serius?! Padahal kau sepertinya bersedia berbagi resepnya! Atau.... aku telah salah sangka?”

“Kau lah yang salah sangka. Mengapa aku harus mengajarimu? Aku tidak punya kewajiban berbagi resep bisnis dengan anak ingusan macam kau.”

“T-tapi,.... aku akan lomba masak! Agar menang, aku harus membuat makanan yang enak! Dan aku tahu, Soruz adalah hidangan yang bisa membuatku menang! Bukankah kau seharusnya bangga? Dari semua warung di Altana, aku hanya memilih tempatmu! Bukankah itu hebat!?”

“Lalu, kenapa aku harus peduli dengan lomba bodohmu? Itu semua tidak ada hubungannya denganku.”

“Mungkin kau benar, tapi aku sudah melakukan Kowtow sepenuh hati di hadapanmu! Lihat! Aku memohon dengan sangat padamu! Ayolaaaaahhh....”

Ranta membalikkan tubuhnya, kemudian melakukan Kowtow lagi berkali-kali dengan kecepatan tinggi.

“Setelah melakukan Kowtow sebanyak ini, kalau kau masih tidak mau mengajariku, maka kau pelit!”

“Hah, pelit?!”

“M-maafkan aku! A-aku tidak bermaksud mengejekmu! Lidahku hanya sedikit selip! Sedikit selip!”

Dia terus beralasan, sampai akhirnya pisau melayang ke arahnya. Dengan sigap Ranta segera berdiri, lalu membersihkan siku dan lututnya.

“Baiklah, baiklah, aku mengerti! Aku tidak akan mengganggumu lagi!”

"Bagus. Aku tidak akan mengajarimu apapun.”

“Tapi…”

"Apa lagi....? Kau keras kepala juga, ya!?”

“Aku akan belajar dengan melihatmu memasak. Kau hanya perlu menunjukkan caranya padaku. Kalau hanya itu boleh, kan? Kau tidak keberatan, kan??”

“…kau ini memang keras kepala, ya?” Usuradani menghela nafas, lalu dia menyemprot, “Yah, terserahlah. Lakukan semaumu. Tapi jika kau mengganggu, maka aku akan segera mengusirmu.”

"Mengerti! Kau tidak akan menyesal!”

“Aku sudah menyesal…”

"Ha ha ha ha! Ah, itu tidak benar!"

6. Perilaku Buruk[edit]

“… Um.” Mogzo menundukkan kepalanya. “A-aku merasa bersalah, Haruhiro-kun. Kau jadi melakukan hal aneh seperti ini....”

“Ah…” Haruhiro menggaruk bagian belakang kepalanya. Matanya tampak mengantuk. “Yah, tidak apa-apa. Maksudku, sebenarnya ini bukan salahmu, kan? Jadi, kurasa kau tidak perlu minta maaf. Ranta lah penyebab semua ini.”

“Whoa, whoa, whoa, whoa, whoooo!” Ranta memegang pinggul dengan tangan kirinya, lalu menunjukkan tangan kanannya pada Haruhiro. "Kau jangan menghinaku seperti itu, Parupiro! Kau membuatnya seolah-olah semua ini salahku!”

“Setiap kali terjadi masalah selalu ada kau.”

“Itu hanya prasangkamu! Jika Mogzo tidak bersedia, duel ini tidak akan pernah terjadi! Maka, kita perlu saksi! Duel itu juga perlu juri! Harusnya jumlahnya ganjil! Karena kalau genap, bisa imbang!”

Pada lokasi duel di halaman wisma pasukan relawan, berdiri total enam orang, yaitu : dua kontestan : Mogzo dan Ranta, seorang saksi : Haruhiro, dan tiga juri : Yume, Shihoru, dan Manato.

Mogzo dan Ranta berdiri saling berhadapan dengan Haruhiro di tengah keduanya.

Manato, Yume, dan Shihoru duduk agak jauh di sana.

“Catat!” Ranta membusungkan dadanya, lalu berdehem dengan keras. “Aturan duel ini mudah! Jelas dan sederhana! Aku dan Mogzo, masing-masing akan menyiapkan satu hidangan, dan ketiga juri akan mencicipinya! Kemudian, mereka memutuskan mana yang lebih enak! Juri harus menentukan siapa pemenangnya! Pemenang bisa ditentukan dari skor, seperti 3 – 0, atau 2 – 1! Sehingga, jelaslah siapa yang menang dan kalah!”

"Pertanyaan...."

Manato mengangkat tangannya, dan Ranta menunjuk ke arahnya.

“Apa, Manato?! Singkat saja!”

“Apakah kita hanya mencari pemenang di sini? Lalu, hadiahnya apa?”

"Tentu saja, harus ada hadiahnya bagi pemenang! Yang kalah harus mau melakukan apapun untuk si pemenang! Simpel, kan?”

“Yah, kalau begitu…”

“Hei, Yume, jangan bicara tanpa mengangkat tanganmu!”

“Oalah.... gak papa, kan....”

“Itu tidak baik!”

“Baiklah, Yume tidak akan mengatakan apa-apa kalau begitu.”

"Katakan saja! Aku jadi penasaran apa yang ingin kau tanyakan tadi! Bagaimana kalau itu membuatku tidak bisa tidur!? Jika kau hendak mengatakan sesuatu, selesaikanlah! Jangan berhenti di tengah jalan!”

“Kalau kau tidak bisa tidur, ya bukan urusan Yume!”

“Kalau aku tidak bisa tidur nyenyak, maka kesehatanku akan menurun! Tidur, membual, boker.... tiga hal itulah yang mempengaruhi kesehatanku!”

“Membual katanya …”

Ketika Shihoru mengulangi yang terakhir dengan ekspresi lelah, Ranta memelototinya dengan nadi yang berdenyut-denyut di dahi.

“Haaaahhhh?! Kau tidak terima?! Kalau iya, katakan saja! Ayo katakaaaaaaaann! Tingkahmu itu membuatku kesal!”

“Kau tahu, Ranta…” Manato berkata sambil tersenyum, “Sebenarnya aku sudah menyadarinya sejak lama, tapi..... kau orangnya apa adanya, lho. Kau harus syukuri itu, karena itu berkah.”

“…Oh? B-begitukah? Y-yah, tentu, kurasa? Itu benar, lagipula aku ini jenius!”

"Saking apa adanya, sampai membuat orang lain kesal. Itu juga berkah.”

“Heiyyy! Manatoooo! Aku tidak butuh berkah seperti itu.”

“Kau benar-benar tidak paham ya…” Haruhiro menghela nafas. "Kau dilahirkan untuk membuat orang lain kesal. Kalau kau benar-benar jenius, sepertinya itulah sisi negatifmu.”

“Hm… sisi negatif seorang jenius? Aku suka perkataanmu itu, terdengar keren.”

Ranta mengelus dagunya, dan terlihat puas. Orang ini mudah sekali ditebak, pikir Mogzo, tapi dia tidak mengatakannya. Dia tidak ingin menjadi seperti Ranta, tapi jujur saja..... dia sedikit iri padanya.

“Oke, kurang-lebih aku paham aturannya, tapi…” Haruhiro mungkin tidak begitu lelah, tapi matanya benar-benar terlihat mengantuk. “Jadi, um, saksi? Itu tugasku di sini, ya? Saksi dan juri berbeda, kan? Maka..... aku tidak ikutan makan, nih?”

"Tepat sekali!"

"Apa apaan ini? Aku sih tidak peduli dengan masakanmu. Makan sendiri saja. Tapi masakan Mogzo jelas lebih enak.”

“Apa maksudmu tidak peduli dengan masakanku?! Kau ini lebih pintar dari juri, ha!?”

"Meskipun aku lebih pintar dari juri, aku tetap tidak ikut makan, kan?”

“Hukuman! Hukuman! Hukuman dewa harus dijatuhkan pada orang yang meremehkan masakan agungku!!”

“Ha-Haruhiro-kun... aku akan memasak cukup banyak, kok. Jadi semuanya kebagian.”

“Hei, Mogzo! Kau jangan coba-coba menyogok saksi ya!”

“Lah, aku kan bukan juri, keputusanku tidak dihitung. Jadi tidak apa-apa dong disogok.”

"Bukan itu maksudku! Aku tidak tahan melihat kebaikan dan kepolosan Mogzo!”

“Kau ini sudah menyebalkan, pendengki pula, sebenarnya sejelek apa sih sifatmu itu....”

"Diam! Diam! Aku sudah muak denganmu dan mata mengantukmu itu! Tidurlah, Haruhiro! Tidurlah selamanya! Sampai jumpa! Oke, Mogzo! Ayo kita mulai duelnya!”

“Oh, uh, tentu saja…”

“…Lakukan saja sesukamu.....” Haruhiro sepertinya dongkol dengan si rambut acak-acakan itu.

Kemudian, mereka pun memulainya. Entah kenapa, situasi mulai menegang.

"Baiklah." setelah mengamati sejenak, Manato berdiri. "Aku akan memberikan sinyal untuk memulai. — siap......... Mulai …!”

Suara Manato yang penuh karisma ditanggapi positif oleh Mogzo.

"Tunjukkan kemampuanmu, Mogzo!"

“…Mogzo-kun, kamu pasti bisa!”

Shihoru dan Yume yang membantunya membeli bahan juga ikutan menyemangatinya. Mogzo mulai beraksi.

“O-Oke…!” Mogzo menampar pipinya. Rupanya tamparan itu terlalu keras, sehingga dia sendiri kesakitan, tapi itu membantunya semakin fokus.

“Heh…” Ranta menunjuk ke arahnya. “Sebaiknya kau bersiap, bung. Aku akan menghancurkanmu berkeping-keping. Jangan harap aku mengampunimu!”

“A-ayo bertanding sebaik mungkin…!”

“Dasar bodoh! Tidak ada baik dan buruk dalam suatu pertandingan! Yang ada hanyalah menang dan kalah! Pemenang selalu benar, dan yang kalah selalu salah! Itulah kenapa, aku harus menang!”

Apakah dia sudah bekerjakeras menyiapkan resepnya? Kenapa dia begitu percaya diri? Ataukah dia hanya membual? Ranta terengah-engah dengan semangat saat menuju ke mejanya.

Yang jelas, Mogzo akan berusaha sebaik mungkin. Tidak seperti Ranta, dia tidak menuju ke mejanya. Mogzo mempersiapkan bahan-bahannya di sini juga. Selain meja memasak, di halaman juga ada tungku yang sederhana khas pedesaan. Masakan Mogzo hanya perlu direbus, jadi dia tidak perlu menuju meja memasaknya. Bahan-bahannya juga sudah siap di tempat.

Di sebelah tungku ada—

“Err, pertama aku menggunakan ini, dan… Hah?!”

"Ada apa, Mogzo?" Haruhiro bertanya sembari mendekatinya.

Di sebelah tungku ada bahan-bahan yang berjejer di keranjang.

Mogzo telah mempersiapkan semuanya sebelumnya.

Tapi, entah kenapa salah satu keranjang kosong.

"Isinya hilang! Hilang! Aku sudah menyiapkan sebongkah daging Ganaro di keranjang ini! Tadi masih di tempatnya saat kucek, tapi kenapa......?”

“Tidak mungkin, apakah dia yang melakukannya…?!” Haruhiro melihat ke arah meja memasak Ranta. “Aku tidak percaya dia melakukannya, tapi......... Ranta tetaplah Ranta. Aku akan ke sana untuk melihatnya. Tugasku kan saksi di sini. Kalau dia benar-benar curang, maka ada akibatnya...”

"Tidak." Mogzo menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa… pasti aku lupa.”

“Kau kehilangan sebongkah daging, kan? Itu cukup besar. Kalau kehilangan rempah-rempah atau sejenisnya, aku masih maklum. Bagaimana bisa kau melupakan bahan sebesar itu??”

"Tidak apa-apa! Aku pasti bisa... entah bagaimana caranya. Meskipun tanpa daging, aku yakin bisa memasak sesuatu yang enak untuk kalian semua.”

Mogzo mengambil sekeranjang penuh beras. Tempo hari di pasar dia hanya membeli beras yang belum dibersihkan. Membersihkan beras butuh waktu lama, jadi dia melakukannya tadi malam.

“Meskipun melawan Ranta, aku juga ingin membuat makanan yang lezat untuknya. Aku tidak peduli dengan lombanya. Seperti itulah kecintaanku pada memasak.”

“Mogzo…” Haruhiro mengerutkan kening. “...Tapi, ah sial.... sebenarnya seburuk apa sifat si kampret itu?”

7. Aku Tidak Pernah Mau Mengalah Pada Pertarungan Seperti Ini[edit]

“Jangan sungkan, Mogzo,” kata Ranta dengan senyum jahat, sembari melihat bongkahan daging Ganaro di atas mejanya. “Meskipun aku jenius, tapi siapapun akan kesulitan melawan koki berbakat sepertimu. Realistis saja, aku pun tahu menghadapimu dalam suatu pertandingan yang adil tidaklah mudah. Jadi, aku harus berpikir lebih cerdik. Melihat kepribadianmu yang pendiam, aku yakin kau tidak akan banyak protes meskipun kuliciki. Memang seperti itulah dirimu, Mogzo. Kau terlalu baik pada orang lain. Menurutku, itu kelebihan sekaligus kekuranganmu. Tapi, kebaikan itu akan membuatmu menggali kuburan sendiri. Kau harus banyak belajar, Mogzo. Kenyataan itu pahit, dan ada saatnya kau harus menjadi lebih kejam....”

Ranta tertawa terbahak-bahak, sembari sedikit memiringkan kepalanya ke samping.

“Tapi.... kau beneran mau memasak nasi dan daging Ganaro? Sebenarnya apa yang coba kau buat? Yahh, apapun itu, kau tidak bisa menggunakan daging lagi. Lagipula, daging ini terlihat cukup mahal. Dia tidak bisa membelinya lagi sekarang. Dan akulah yang akan menggunakan daging ini! Ya, hanya aku! Aku jahat sekali, kan! Ya, karena aku seorang Dark Knight!”

Dengan pisau ukir di tangannya, dia mengambil dagingnya— ’Akan kupotong!’

Namun pada saat terakhir, Ranta berhenti.

"…apakah tidak masalah? Apakah tindakanku keterlaluan? Apakah dia tidak marah? Tidak, tidak, tidak, bukan saatnya memikirkan hal seperti itu. Ya, ini semua diperlukan untuk menang! Tidak ada belas kasihan, yang ada hanyalah pemenang dan pecundang! Tidak ada kebenaran, karena yang menang selalu benar! Ya! Jika aku kalah, mereka akan merundungku! Aku harus menang! Tanganku sudah terlanjur kotor! Aku tidak bisa kembali lagi! Kalaupun bisa.... apa yang harus kukatakan pada mereka? Akan kugunakan daging ini, untuk melenyapkan barang bukti! Sayang sekali kan kalau dibuang. Kita harus memakannya! Hahahahahah! Setelah dimasak nanti, tak seorang pun tahu dari mana asal daging ini! Baiklah! Lakukanlah, Dark Knight Ranta! Potong! Potong! Potong semua...! H-hah!? Tapi... bukankah seharusnya potong Char Siu[1]-nya terlebih dahulu? Sebelumnya, atau sesudahnya? Yang mana? Aw.... sial. Aku sudah melihat Usuradani memasak, tapi.... aku lupa!! Bagaimana bisa aku melupakannya!? I-ini konyol sekali! I-i-i-ingatlah dengan baik, Ranta! Char Siu, Char Siu..... bagaimana cara membuat Char Siu?? Maksudku.... bukankah seharusnya Char Siu terbuat dari daging babi? Kalau Ganaro.... bukankah lebih mirip sapi? Aku tidak tahu! Gak papa nih buat Char Siu dari daging hewan mirip sapi?? Aku tidak tahu! Ahh, kacau! Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak.......!

Ranta melihat ke langit, lalu menarik napas dalam-dalam.

"…Tidak perlu! Aku tidak perlu membuat Char Siu! Batal! Aku baru akan membuatnya jika sudah ingat nanti! Untuk sekarang, mienya! Ya, mienya! Itulah yang pertama-tama harus dibuat! Aku perlu..... tepung! Bagus, ini dia tepung. Aku hanya perlu menuang tepung dari bungkusnya, dan...... Whoa!”

Dia menuang terlalu banyak. Ada takaran khusus untuk menuang tepung, tapi dia mengeluarkan terlalu banyak dari bungkusnya yang terbuat dari rami, sampai berserakan di lantai.

"Sial! Tepung, kenapa kau tidak mematuhiku!?? Sialan kau tepung...!! Harusnya kau berhenti! Aku tidak bisa menggunakan tepung yang sudah bercecer di lantai! Kau berada dalam masalah, tepung! Pake otak dong, tepung! Oh, cukup! Lupakan tepung yang sudah jatuh. Aku hanya menggunakan yang masih di atas meja. Lalu, aku perlu.... air! Sejumput air! Kemudian, buat adonan Soruz yang berwarna kuning. Tapi....... bagaimana bisa berwarna kuning? Hey! Kenapa Soruz berwarna kuning!!?? Pasti ada rahasia dibaliknya! Usuradani tidak pernah memberitahuku! Jadi.... aku harus memecahkan misterinya sendiri..... hmmm, itu kan.... telur! Ya, telur!”

Saat Ranta memecahkan telur dan menambahkannya ke tepung, cangkangnya ikutan tercampur.

“Ngh! Sial…! Cangkangnya, cangkangnya! Aku harus mengeluarkannya dari adonan! Sial, banyak sekali pula yang masuk! Arrghh cukup! Kalau hanya cangkang kecil tidak apa-apa, kan? Mungkin cangkang telur baik untuk kesehatan! Mungkin gigimu akan semakin kuat ketika mengunyahnya! Baiklah, sekarang saatnya mencampur semuanya!”

Dia pun mencampurnya.

Campur....campur....campur... dan terus campur.

“…Cih, kenapa adonannya tidak menjadi kalis. Harusnya adonannya bisa diremas seperti yang dilakukan Usuradani!”

Ranta terus mencampurnya dengan teknik yang dia pikir mirip dilakukan Usuradani. Namun, sebenarnya dia hanya mengaduknya dengan penuh emosi.

"Bagus..... bagus..... bagus! Sekarang sudah mirip adonan! Hah!? Tunggu dulu.... seharusnya dimasukkan garam dan beberapa bumbu lainnya, kan? Baiklah, baiklah, akan kulakukan sekarang! Tabur..... tabur..... tabur..... masih kurang? Kurang banyak? A-apa? Aku kehabisan garam! Kenapa harus sekarang!? Lalu bagaimana kuahnya!? Tidak...tidak...tidak, jika garamnya sudah kumasukkan di adonan mie, maka harusnya mienya sudah asin. Heheheh! Ya, tentu saja! Ini akan menjadi adonan mie terbaik di dunia!”

Adonan mie telah menjadi bentuk yang cukup bulat, maka dia pun mulai menguleninya.

“Gwohrahh…!”

Dia memukulkannya ke talenan, dan meremasnya.

“Zwosharahhh…!”

Dia meremas. Dia meremas sekeras mungkin. Dia menguleni, menguleni, uleni, uleni, uleni, uleni, uleni, uleni, uleni.

“Faiyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…!”

Tidak puas hanya menguleni, dia juga memukulinya. Dia mengangkatnya, kemudian meninjunya ke talenan beberapa kali. Dia benar-benar menghajar adonan itu dengan tinjunya. Kemudian, setelah brak.....brak.....brak.....brak.....brak.....brak.....brak.....brak, akhirnya.....

”Apa ini.........?”

“Kenapa semakin keras!? Sampai seperti batu!? Ini kenapa, nya.... hah? Tunggu... kenapa aku ngomong seperti Yume? Ah.... sudahlah, lupakan. Bisakah aku memotong adonan ini? Kita harus memotong adonannya sampai tipis seperti mie, kan? Sepertinya mustahil. Ini tidak baik. Mungkin harus didiamkan terlebih dahulu? Lalu, sekarang apa yang harus kulakukan? Oh iya! Kuahnya! Saatnya membuat kuah! Pertama, tuangkan air di panci, lalu.... nah, bagus. Ini mudah. Sekarang kaldunya. Aku tahu bahan apa yang harus kugunakan. Tulang! Aku tidak tahu kenapa harus memakai tulang, tapi murah sih. Maka, aku sudah membeli banyak tulang. Aku hanya perlu merebusnya di dalam panci, kan? Nyalakan apinya! Ya! Ini sedikit merepotkan, tapi memang seperti inilah caranya!”

Ranta pun menggunakan batu untuk menyalakan api di tungku. Dia bisa melakukannya dengan cepat.

“…ini mudah. Aku keren, kan!? Sayang sekali tidak ada pendukung yang menyorakiku. Yahh, lihat saja nanti sampai mereka merasakan Soruz-ku, mereka pasti akan berlinang air mata kebahagiaan, lalu mengakui keagunganku! Hehehehe... Hahh, hah, hah, ha, hahhhh! Ghhh, uhuk, uhuk, uhuk!! Apa ini? A-a-a-asap??? Oh sial! Kenapa banyak sekali asapnya!? A-a-a-a-apa yang harus kulakukan...!?”

A-A-Apa yang akan aku lakukan…?!”

8. Percaya Pada Diri Sendiri[edit]

Masalahnya adalah besarnya api.

Itu adalah hal mendasar yang perlu diperhatikan terlebih dahulu.

"Sekarang!"

Mogzo mengaduk-aduk isi pancinya dengan irus. Dia menyalakan api dari kecil, sedang, sampai ke besar, lalu membiarkan kuahnya mendidih. Dia memasak dengan begitu terampil, termasuk skill-nya mengatur temperatur. Dia tidak tahu apakah kemampuan itu sudah dimilikinya sebelum tiba di Grimgar atau apa, tapi yang jelas teknik mengatur api dalam memasak tidaklah mudah. Jika panasnya tidak dikontrol, maka makanan tidak akan masak dengan sempurna. Itulah kenapa Mogzo begitu berhati-hati dalam mengatur nyala api tungkunya. Dia pun mengatur jarak panci dengan tungku. Seakan terlihat mudah, tapi tidak sesimpel itu.

“Aku masih kurang pengalaman…!”

Keringatnya bercucuran. Ada dua pegangan pada sisi-sisi pancinya, dan Mogzo menempatkan tiang yang kokoh untuk mengapit keduanya. Jika dia tidak melakukan itu, mungkin kedudukan panci bisa miring, dan supnya pun tumpah. Jadi, menjaga posisi panci juga perlu skill dan tenaga.

“Kuh, kuh, kuh, kuh…! Guh, guh, guh, guh…!” Mogzo mendengus dan mengerang.

“Mogzo! Jangan kasih kendor…!”

“J-Jangan menyerah, Mogzo-kun…!”

Yume dan Shihoru masih menyemangatinya.

“Um, Mogzo…” Haruhiro datang. “Haruskah aku membantu? Kalau ada dua orang yang memegang setiap sisi pancinya, kurasa akan lebih stabil, daripada menggunakan tiang seperti itu....”

“T-tidak masalah, Haruhiro-kun…! I-ini adalah pertarungan satu-lawan-satu dengan Ranta.”

“Yahh, baiklah. Tapi sepertinya kau kesulitan. Aku jadi tidak tega melihatnya. Ranta masih sibuk dengan masakannya, dia tidak akan menyadari jika aku membantumu....”

"Tidak boleh, Haruhiro." Manato yang sejak tadi duduk di samping Yume dan Shihoru akhirnya berdiri, kemudian dia berbicara dengan nada yang sedikit berbeda dari biasanya. “Jika kau membantunya, maka itu akan merusak kemenangan Mogzo. Tak peduli kelicikan apapun yang Ranta lakukan, tak peduli kekonyolan apapun yang dia kerjakan, Mogzo akan bertarung dengan adil sampai akhir. Dan dia akan menang. Aku yakin itu. Itulah yang terpenting!”

"…Hah? J-jadi begitu ya....?”

"Ya. Mogzo pun mengerti itu. Itu sebabnya dia mencoba berjuang sendirian, tidak peduli sesulit apapun keadaannya."

“Dia benar, Haruhiro-kun…!”

Banyak tetesan keringat yang mengalir ke matanya, tapi Mogzo sama sekali tidak memejamkannya. Sedangkan tangannya gemetaran menahan berat panci, tapi dia tidak akan melepaskannya.

"Aku…! Aku…! Mungkin aneh bila kukatakan ini, tapi aku adalah orang pemalu, bimbang, dan kurang percaya diri! Hampir tidak ada yang bisa kubanggakan dalam hidup ini! Tapi kalau soal memasak........... aku tidak mau kalah dari siapapun!”

“…Mogzo. Kau sangat berdedikasi dalam memasak. Tapi, kenapa kau begitu serius dalam memasak?”

"Karena ini…!" Mogzo memalingkan wajahnya yang berkeringat ke Haruhiro, dan menyeringai. "…adalah kebanggaanku!"

“…Yah, baiklah, Mogzo. Tapi Kau seorang Warrior, bukan koki, kan?”

“Haru-kun…!” Yume menggelengkan kepalanya. “Jangan mengatakan hal seperti itu!”

"…Ya?" Shihoru tampak sedikit ragu.

"Ya!"

Saat Manato mengatakan itu tiba-tiba, Shihoru membalasnya dengan mengangguk yakin.

“…Waktunya akan segera berakhir.....!”

"Berakhir ya..." Haruhiro tampak yakin.

Mogzo masih fokus pada pancinya, dan terus menjaganya agar tidak turun.

“Hah…!”

Mogzo juga berteriak untuk menjaga kosentrasinya.

“Nah…! Hah…! Houaghhh…! Kuuahhhhhhhh…!”

Seluruh permukaan kuahnya sudah mendidih.

Dan dia harus menjaganya tetap mendidih.

“Fw?! Mogzo, kau benar-benar berasap…!” teriak Yume.

Asap......... atau lebih tepatnya uap.

Sejumlah besar uap mengepul dari tubuh Mogzo.

“Mogzo-kun, k-kau yakin masih kuat?!”

“Masih ada waktu, Shihoru!”

“…Manato-kun?!”

“Aku yakin Mogzo masih kuat! Walaupun tidak, aku yakin dia masih bisa bertahan! Percayalah pada kemampuan tersembunyi Mogzo!”

“Kemampuan rahasia…” Haruhiro terhanyut dalam suasana. "Tapi.... kurasa dia tidak perlu menggunakan kemampuan rahasianya dalam hal seperti ini.....”

Mogzo hampir sampai. Asalkan dia masih bisa bertahan.

“MAKASIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIHHHHHHHHHHHHHHHH…!” [2]

Mogzo berteriak, dan Manato meregangkan lengannya.

"Itu ada! Jurus andalannya, Tebasan Makasih…!”

“…Uh, dia tidak menebas apapun sih?!”

“Haru-kun! Kau tidak boleh berkata begitu!”

“O-oh ya…?”

“Haruhiro!”

Manato memberinya isyarat yang aneh, dan Haruhiro balas mengangguk sedikit.

“…A-aku mengerti.... maksudku, tidak juga....... ah, terserah lah.”

"…Ya!" Shihoru sampai menangis.

Seolah dia dan teman-temannya merasakan penderitaan dan semangat Mogzo.

“Sekarang, jiwaku…!”

Akhirnya, Mogzo memindahkan tiangnya, dan meletakkan pancinya di atas tanah.

"…mendidih! Aku belum bisa melepas tutupnya…!”

“Baunya enak.” Yume mengendus-endus lalu matanya langsung berbinar. Shihoru pun tampak terkesima.

“…benar.....”

“Tapi masalahnya adalah …” Manato yang tadi begitu bersemangat, sekarang sudah kembali tenang. "Daging yang menjadi hidangan utama sudah hilang. Bagaimana, Mogzo?”

"Tidak masalah." Mogzo menyeka keringat di sekujur tubuhnya, lalu menarik napas dalam-dalam. “Aku sudah menyiapkan rencana B. Selalu ada cara lain untuk menang. Aku percaya pada kemampuan rahasia yang kau katakan, Manato. Aku tidak akan kalah…! Karena...... ini adalah pertandinganku!”

9. Dan Saatnya Tiba[edit]

Dum…

Terdengar suara tabuhan drum entah dari mana.

Dum..... dum.....

Suara drum menggema.

Ah, tidak juga. Sebenarnya itu hanya bayangan, tapi.... anggap saja ada. Lagipula itu penting untuk mendramatisir suasana.

Saat kegelapan malam menutup halaman penginapan pasukan relawan, Ranta bersedelap sembari membusungkan dadanya pada Mogzo di hadapannya.

Angin bertiup melewati mereka.

“Heh…” Ranta mendengus. “Sepertinya akan terjadi badai.”

"Tidak, langitnya masih bersih."

“Diam, Parupiro! Kau hanya merusak suasana!”

"Ya." dengan tubuhnya yang besar, Mogzo mengambil langkah lebar ke depan. “Aku juga merasa badai bisa datang kapan saja, Ranta-kun.”

"Itu hanya bualan."

Ranta menjilat bibirnya sembari terus menatap Mogzo. Jujur saja, dia sendiri tidak menduga ini akan terjadi.

“Bung, aku baru tahu kau bisa pasang wajah seperti itu. Sekarang kau terlihat seperti seorang petarung yang ganas. Aku suka itu. Kau membuatku semakin bersemangat. Aku mengakuimu sebagai lawan yang sepadan! Dalam duel apapun, yang menyerang duluan akan menang! Maka.... aku duluan......... ckckckck, apa kau mengira aku akan melakukannya? Tentu saja tidak, dalam keadaan seperti ini, justru yang terakhir lebih diunggulkan! Kalau begitu, Mogzo..... kau duluan! Aku yakin kau tidak keberatan, kan?”

“Unuahhhh…”

“Apa-apa’an kau, Yume? Kau tidak terlibat langsung dalam pertandingan ini, tapi kenapa kau terlihat tidak senang seperti itu?”

“Karena Yume sudah tahu masakan Mogzo lebih enak. Jadi, Yume tidak ingin makan masakanmu setelahnya. Itu hanya akan merusak rasa yang tertinggal dari masakan lezat Mogzo.”

“… Dia ada benarnya.” Shihoru berada di samping Yume, dengan wajah yang terlihat bahkan lebih sengsara. “Itu membuat rasa yang tertinggal terakhir tidak enak.”

"K-Kalian…!! Darimana kalian tahu masakanku tidak enak sebelum menyicipinya!? Awas kau, nanti kuremas-remas kau!”

“Mogzo?” dengan matanya yang masih mengantuk seperti biasanya, Haruhiro menoleh pada Mogzo. “Kalau kau ingin giliran pertama atau kedua, maka kita harus memutuskannya dengan suit atau sejenisnya.”

"Tidak. Aku tidak keberatan dapat giliran pertama....” kata Mogzo tegas.

Dia begitu percaya diri, ya? Biasanya Mogzo tidak seperti ini— ah, tidak, tidak, tidak.... mungkin saja, inilah kepribadian Mogzo yang sebenarnya.

Haruhiro dan Manato saling mengangguk, lalu Haruhiro menarik napas dalam-dalam.

“Oke, Mogzo duluan, Ranta terakhir. Mogzo, silahkan.....”

"Baik…!"

Mogzo mengeluarkan selembar kain putih yang entah dia dapat darimana, kemudian mengikatkannya di dahi seperti bandana. Lalu, dia pun mengangkat pancinya ke meja.

Di meja, Yume, Shihoru, dan terakhir Manato, sudah bersiap duduk. Haruhiro berdiri sendirian agak jauh dari mereka, terkesan ditinggalkan.

“Ini masakanmu, Mogzo?”

Tanya Ranta sambil menunjuk ke arah panci dengan dagunya, lalu Mogzo meletakkan tangannya pada tutup panci tersebut.

"Tidak. Belum, Ranta-kun. Aku baru saja memulai…!”

"Hah? Jadi kau belum selesai? Pfft! Konyol sekali. Kalau belum jadi, maka aku yang men....”

“Diam dan perhatikan! MAKASIIIIIIIIIIHHHHHHHHHHH…!”

Ketika Mogzo membuka tutupnya, wusss, uap mengepul bersama aroma nasi yang baru ditanak. Aroma itu sampai membuat Ranta terkesima.

“Kuh…?! Kau coba menyerangku dengan tebasan Makasih? Tidak, tidak, lebih tepatnya Bukaan Makasih?”

“Dan ini juga…!”

Mogzo tiba-tiba mengeluarkan mangkuk kayu, lalu menuangkan isinya ke dalam panci. Dengan irus, dia lantas mengaduk-aduknya sampai tercampur.

“MAKASSSIIIIIIIIIIIIIHHHHHHHHH…!”

“Sialan, Mogzo! Setelah Bukaan Makasih, ternyata kau masih punya jurus rahasia! Inikah, Adukan Makasih??”

"Aku baru dengar jurus seperti itu ..." timpal Haruhiro. Pria itu selalu tampak mengantuk, dan terkesan dikucilkan, namun celetukannya sering kali mengena.

“Apa yang kau rencanakan, Mogzo?! Hentikan perlawananmu yang sia-sia ini....”

“Hah…!”

Grimgar Vol 14++ (6).jpg

Mogzo meletakkan irusnya, lalu merogoh sesuatu di dalam ember. Mata Ranta melebar. Di dalam ember itu ada...…

"Air…?! Mogzo, kamu…?!”

“MAKASIIIHHHH!! MAKASIIIHHHH!! MAKASIIIHHHH!!”

Dengan tangannya yang basah, Mogzo mengambil nasi putih, lalu..... menyisipkan sesuatu di atasnya, dan menekannya bersama-sama. Dia terus menekan, menekan, dan menekan sampai padat. Manato mengangguk paham saat melihatnya.

“Dia tidak menekannya dengan keras, tapi lembut. Memang seperti itulah Mogzo. Dia bisa mengontrol kekuatannya dengan baik. Teknik itu adalah.... Tekanan Makasih!”

"Kau juga ikut-ikutan Manato ...?" Meskipun terkesan tidak niat, Haruhiro coba melayangkan candaan.

Ranta menggertakkan giginya. Alisnya berkerut begitu dalam sampai seolah mau robek.

“Jurus apa lagi itu? Sialan kau Mogzo! Aku tidak tahu ternyata kau menyimpan begitu banyak jurus!”

“MAKASIIIHHHH!! MAKASIIIHHHH!! MAKASIIIHHHH!!”

"Wow! Sudah hampir selesai…?!”

"Itu kan…!"

Yume dan Shihoru setengah bangkit dari tempat duduknya. Manato terkesima dengan sedikit menganga saat melihat makanan yang dihidangkan di piringnya.

"Lanjutkan…!" dengan senyum yang jelas di wajahnya, Mogzo menepukkan tangannya. “Inilah hidanganku! Onigiri spesial! Selamat makan...!”

“…Nigirimeshi.[3]” Ranta menggertakkan giginya. "Jadi kau awalnya mau membuat Onigiri yang dibungkus daging…?! Hidangan yang mengerikan…!”

“Ahhh…” Haruhiro menundukkan kepalanya, sambil menggosok-gosok perutnya.

“Onigiri bungkus daging kayaknya enak tuh. Aku jadi pengen. Oh iya, tunggu dulu Ranta.... kau tadi mengatakan ‘awalnya mau membuat Onigiri yang dibungkus daging’... berarti beneran kau yang mencuri dagingnya, ya?”

“Diam! Jangan mengungkit masa lalu!”

“Itu bukan masa lalu. Pertandingan ini masih berjalan.”

“Kau memang banyak alasan! Itu tidak baik, Haruhiro!”

“Hey para juri, bisakah kalian menyatakan kekalahan Ranta karena curang? Aku sudah muak dibuatnya.”

“Haru-ku, sebelum itu enaknya makan Onigiri dulu. Yume sudah lapar.”

“...A-Aku juga sudah lapar.”

“Aku sih setuju saja."

Saat tiga juri sudah sepakat, Haruhiro hanya bisa mendesah lelah sembari memegang piringnya.

"Baiklah.... silahkan...."

“Sudah waktunya makan!”

“…S-selamat makan.”

"Selamat makan!"

Ketiganya meraih Onigiri masing-masing bersamaan, lalu melahapnya.

“Mrrrr…?!”

"…Ah?!"

"Oh wow…!"

Apa yang terjadi? Seketika, wajah mereka memerah dan air mulai menggenang di mata Yume akhirnya menangis sembari menelan makanannya.

“Mewww. Ini enak... enak sekali.... ini terlalu enak. Yume tidak tahu harus berkata apa.”

“A-aku tidak bisa berhenti… aku bisa memakan ini selamanya.....!”

“Ini gila! Mogzo, kau sudah melampaui batas kemampuanmu sendiri!”

Manato sendiri tampaknya berusaha tenang sejak tadi, tapi akhirnya dia tidak mampu menyembunyikan antusiasmenya.

Ranta menelan ludah dengan gugup.

"Lanjutkan."

Setelah mendengar kata-kata itu, Mogzo menaruh sepiring penuh Onigiri spesialnya di depan hidung Ranta.

Tatapan mata keduanya saling beradu.

“Ranta-kun, kalau kau mau, kau boleh mencobanya.......”

“… T-tetu saja.....”

Ranta pun mengambil Onigiri tersebut. Dia tidak memakannya sedikit-sedikit seperti burung yang mematuk butiran beras, melainkan dia telan semuanya sekali hap. Dia buka mulutnya lebar-lebar, lalu menjejalkan kepalan nasi itu ke dalam.

Kemudian terjadi ledakan.

Warna-warna ini adalah— Pelangi…?!

Aku mencicipi pelangi?!

Tidak, sekarang bukan waktunya terlena. Analisa..... analisa apa yang terjadi di mulutku....

Rasa ini—ini kan daun Shiso[4] hijau? Atau ini daun lain yang rasanya seperti Shiso? Aku juga merasakan asinnya garam. Tapi, ada juga rasa asin yang berbeda, rasa yang dalam dan kaya ini.... mungkinkah..... keju?? Ini asin keju, kan? Karena nasinya baru tanak, maka kejunya panas dan leleh! Semuanya meleleh di dalam mulutku! Dan aroma wangi ini, bukankah ini.... wijen? Aku juga merasakan asam. Rasa asam yang tidak cukup kuat, melainkan pas sekali. Teksturnya juga renyah. Sensasi renyah ini, mungkinkah dari..... daun herbal? Ya, aku tahu ada tumbuhan herbal yang biasa kami temui saat berburu, dan jika dimakan sensasinya seperti ini. Ada juga rasa pahit yang tipis. Semuanya berpadu dalam harmoni yang teratur dan rasa yang berlapis-lapis.....

“Rasanya seperti memakan pelangi…! Mogzo…! Kau bisa kehilangan satu bahan masakan kunci, tapi masih bisa memasak hidangan sehebat ini!? Sialaaaaaaaa!!”

Ranta mengambil Onigiri terakhir, yang disajikan di piring, lalu melahapnya sekaligus juga. Yahh, tentu saja dia tidak menyisakannya.

“Wah… Hei! Ranta, itu milikku!”

“Diam kau, Haruhiro! Ini pertarunganku dan Mogzo!”

“Aku sudah tahu itu.... tapi kau menghabiskan bagianku!”

“Kalau kau sangat lapar, kau boleh makan masakanku! Baiklah, sekarang giliranku! Jangan takut ya....”

Ranta membawa panci dari tungkunya, lalu meletakkannya di meja dengan kasar.

Sembari membuka penutupnya, dia pun berseru.......

“Makassiiiiiiiiiiihhhhhhhhhhhhhhh…!”

“Sekarang kau juga menggunakan teknik Bukaan Makasih seperti Mogzo..... eh, tunggu dulu......”

“Wah…”

“…Uh…”

"Yahh…"

Haruhiro, Yume, Shihoru, dan Manato terlihat takut.

Mereka takut. Mereka takut. Mereka sangat ketakutan.

“Fwahahah…!” Dengan tertawa terbahak-bahak, Ranta menoleh pada Mogzo. “Bagaimana... kamu menyukai ini, Mogzo?! Kuakui Onigiri-mu memang enak! Aku harus memujinya karena rasanya seperti pelangi! Namun…! Jangan pikir bisa mengalahkanku dengan masakan seperti itu ...! Dalam lomba memasak, yang menyajikan makanan terakhir akan menang! Sekarang kau boleh unggul, tapi keadaan akan berubah! Dan akulah yang akan menang! Selalu seperti itu!”

“U-Uh, oke, tapi, um…”

Mogzo melihat panci itu dengan dahi berkerut. Sulit diterka apa yang sedang dia pikirkan. Apakah dia kehilangan kepercayaan diri menghadapi masakan Ranta?

“Apa ini ...?”

"Hah? Apa maksudmu berkata begitu? Ini Soruz, kan?”

"Hah? ... Soruz? Benarkah? Ini…?"

“Tidak peduli bagaimana kamu melihatnya, ini Soruz, kan! Lihatlah! Ini mie Soruz!"

"... kenapa bentuknya seperti ulat?"

“Adonannya terlalu keras untuk dipotong. Akhirnya kusobek saja dengan kekuatan penuh, jadinya seperti ini. Yahh, sebut saja mie jenis baru. Dan..... hey! Menyebutnya mirip ulat tidaklah sopan!”

“M-Maaf. U-Um, jadi ini mie jenis baru? Mie ini? Apakah kau benar-benar merebusnya..... dengan panci itu....?”

"Rebus…?" Ranta menggaruk hidung dengan jari telunjuk kanannya. "Aku lupa. Oh ya. Aku seharusnya merebusnya, ya? Benar, benar. Yahh, akhirnya masuk panci juga, kan? Aku juga sudah menuangkan kuah, sudah menyalakan tungkunya, jadi...... harusnya sudah direbus bersamaan. Ya, tidak masalah!”

“...A-apakah topingnya hanya daging??”

"Ya! Sepertinya tidak ada gunanya merahasiakannya, ya... kuakui aku telah mengambilnya darimu. Sepertinya itu daging bagus. Jadi, kurasa tidak masalah jika topingnya hanya daging. Aku memotongnya, menggorengnya, lalu kutaruh saja di sana.”

“Bagaimana dengan kuahnya? Darimana kaldunya...?”

“Kaldu, ya? Kaldu... aku membuatnya dari tulang. Tapi aku tidak yakin tulang apa itu.”

“D-dan bagaimana bumbunya…?”

“Jadi, saat membuat mienya, aku kehabisan garam. Tapi, mienya sudah asin toh. Maka, kurasa tidak perlu ditambahi garam lagi.”

"…Hah? Sudahkah Kau mencicipinya …?”

“Dengarkan aku, Mogzo,” kata Ranta sambil mengacungkan telunjuknya ke hidung Mogzo, “Semisal kau membeli pedang, oke? Katakanlah pedang yang kau beli terlihat begitu bagus dan kau meyakini kualitasnya. Maka, apakah kau perlu mengasahnya terlebih dahulu sebelum menebas Goblin? Tidak perlu, kan? Karena kau yakin pedang tersebut begitu tajam, kan? Sama halnya dengan duel masak ini. Aku yakin sekali masakanku enak, jadi aku tidak perlu mencicipinya. Hanya pengecut yang melakukan itu. Aku sih tidak butuh!”

“T-Tapi mie dan pedang sungguh berbeda… lagipula, meskipun kau tidak mengasah pedang baru, bukankah kau bisa menguji ketajamannya pada benda lain terlebih dahulu sebelum menebas Goblin?”

“Aku tidak perlu melakukannya! Karena aku adalah aku! Akulah Ranta-sama!”

“Yume tidak tahu akan bagaimana rasanya, tapi…” Yume mengerutkan alis dan keningnya saat mengamati makanan itu. “Kalau dari penampilannya sih…”

“…terlihat kotor,” bisik Shihoru. Itu membuat Ranta emosi.

"Hei! Shihoru! Apa yang barusan kau katakan?! Kotor katamu!? Kotor!?”

“Yah, mungkin rasanya tidak seburuk penampilannya.”

Ketika Manato mengatakan itu sambil tersenyum, Ranta mengangguk seolah-olah dia mengamini pendapatnya.

“Ya, itu benar! Jangan menilai dari penampilan. Itu hanya prasangkamu saja. Mungkin rasanya tidak seburuk penampilannya… tunggu, apa kau meledek masakanku secara halus?”

“Maksudku bukan begitu, tapi…” dengan sumpit di tangan, Manato menundukkan kepalanya, dan hendak menyeruput mie itu. “…apakah kita benar-benar harus memakan mie ini?”

“Ma-Manato-kun! Jangan memaksakan diri! B-biar aku yang melakukannya…! Sebenarnya aku tidak ingin memakannya, tapi… bagaimanapun juga, aku adalah seorang juri, j-j-jadi.......”

“Kalau Yume sih tidak mau. Uuughh. Ohh... Yume mau makan Onigiri buatan Mogzo lagi...”

“Sialan, kalian! Ingat, kalian adalah juri! Kalau juri tidak memakannya, maka kalian tidak adil! Cukup! Haruhiro! Kau saja yang makan! Kau harus bangga makan Soruz-ku yang istimewa! Apalagi kau sedang lapar, kan? Maka kelezatannya akan berlipat ganda!”

Ranta menyendok Soruz ke dalam mangkuk, lalu membawanya pada Haruhiro. Dia juga memberinya sumpit.

“…Yaaaah.”

Dengan mata yang terlihat mengantuk, bahkan hampir terpejam, Haruhiro menghirup uapnya.

“… Uhh. Ini… entahlah… apa ini…? Baunya tajam sekali… ini daging Ganaro ya, kalau boleh jujur aku…”

“Kalau kau tidak suka dengan baunya, ya langsung dimakan saja!”

“…Serius?”

“Serius! Makanlah! Baunya memang tajam tapi rasanya lezat! Aku jamin kau akan terkesan! Jangan ragu, nikmati saja!”

"Aku tidak yakin pada jaminanmu ..."

“Terserah, cepatlah! Cepat, cepat, cepaaaatt!! Hidup ini singkat! Makanlah, Parupiro! Makan, lalu menangislah karena rasanya yang agung!”

“Oh, baiklah… aku benar-benar tidak menyukai ini, tapai.... aku hanya perlu menelannya saja, kan? Aku mulai dengan kuahnya.....”

Dengan ragu, Haruhiro mendekatkan mangkuk itu ke bibirnya.

Dia memejamkan mata, lalu menyeruputnya.

“Uaghhhh …” dia membuka mulutnya, dan memuntahkan kuahnya.

“Ghh?!” Ranta melompat mundur. "Jijik! Astaga, apa yang kau lakukan, Haruhiro?! Dasar tolol…!”

“Tidhak, khau yang tobol…”

“Aku tidak mengerti apa yang kau omongkan! Berbicaralah dengan bahasa manusia, tolol!”

“Ini......men....jhijhik....kan.....”

"Hah?! Menjijikkan?! Kenapa kau sampai menangis? Itu pasti air mata bahagia, kan!?”

"Khau...choba shaja ...shendhiri...."

Haruhiro menyeka area di sekitar mulut dengan tangan kirinya, kemudian menyodorkan mangkuk dan sumpit tersebut pada Ranta.

Ranta mengambilnya, lalu melihat pada Manato, Yume, Shihoru, dan Mogzo, secara bergiliran.

“…tekanan macam apa yang kurasakan ini.... seolah kalian hendak mengatakan, ‘Jangan bilang kau sendiri ogah memakannya.’ Ugh, kalian berani ya! Kalian semua sudah bersekongkol untuk memojokkanku! Tapi aku tidak akan mundur! Jangan kira aku menyerah hanya karena tekanan seperti ini! Kalau kalian ingin aku memakannya..... baiklah, aku akan memakannya!!”

"Kalau begitu makanlah."

Manato mengatakan itu sembari memasang senyum yang begitu aneh, seolah dia bersyukur terhindar dari masakan itu.

“Makanlah, Ranta.”

“Aku… aku hanya perlu memakannya, kan? Baiklah, aku akan memakannya, sialan! K-karena ini pasti enak! Pasti enak! A-aku sama sekali tidak takut! A-a-aku akan memakannya! A-a-aku akan memakannya! A-a-aku akan memakannya! A-a-aku akan memakannya! Ahhhh…!”

Ranta menusukkan sumpit ke dalam mangkuk. Dia bukan orang lemah yang mencicipi kuahnya terlebih dahulu, atau semacamnya. Dia akan melahap semuanya sekali suapan. Dia akan melakukannya! Dia sampingkan semua keraguan dan kebimbangan dalam hatinya, lalu.... Makan!

“Zubababababababababababaaahhojjaahguhoghgwehahogubuhrabah…?!”

Ranta pun muntah.

Tak butuh waktu lama, dia memuntahkan semua yang barusan dia masukkan ke mulut.

Setelah itu, dia melompat-lompat, dan mengacak-acak rambutnya sendiri.

“Siapa yang membuat kotoran menjijikkan ini?! Ini sungguh bau! Ini bahkan tidak layak disebut makanan! Kalian suruh aku makan sampah ini? Kalian coba membunuhku, ya!? Kalau begitu, maju kalian semua! Aku juga akan membunuh kalian! Saatnya balas dendaaaaaaamm!!”

"Tidak, kami tidak ingin membunuhmu. Mungkin kau saja yang mau bunuh diri.”

“Diam, Haruhiro! A-a-a-aku....!”

“… Ohhh. Dia menangis sekarang. Sungguh menjijikkan.”

“Yumeeee! Tutup mulutmu dan dadamu yang tepos itu!”

“Jangan bilang tepos!”

“Tepos, tepos, tepos, tepos, tepos, tepos, tepos, tepos, tepos, super tepos!”

“... super tepos berarti tidak tepos lagi, kan?”

“Diam kau Shihoru! Jangan bela Yume! Tutup mulutmu dan dadamu yang montok itu! Kau ingin kusuapi Soruz super menjijikkan ini??”

“H-hentikan! Kumohon! Lakukan apapun selain itu!!”

"Sepertinya kita tidak perlu menilainya.”

Manato mengatakan itu dengan sedikit tersenyum dan mengangkat bahunya. Kemudian, Haruhiro mengangkat tangan kanan Mogzo.

“Pemenangnya adalah Mogzo. Tapi, aku ragu dia senang, karena lawannya cuma si kampret. Pemenangnya boleh melakukan apapun pada yang kalah, kan? Lalu, apa yang akan kaulakukan padanya, Mogzo?”

“Y-Ya. Kalau itu…” Mogzo menatap melas pada semangkuk Soruz itu. “Aku tidak ingin melihat makanan yang terbuang percuma. Jadi.... kuingin Ranta memakan semuanya....”

“Maaphkhan akwuuu....!”

Dengan air mata dan ingus yang terus mengalir, Ranta segera melakukan Kowtow.

“Kumohon... maafkan aku.... kau boleh melakukan apapun padaku! Tapi jangan itu! Mie ini sungguh menjijikkan! Aku tidak bercanda! Aku benar-benar akan mati jika menghabiskannya! Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku.... kumohon Mogzo! Aku sungguh mencintaimu, bung! Jadi... kumohon.....”

Maka, hari pun berakhir di wisma pasukan relawan.

Bab 5 : Sampai Kemarin, Siapakah Aku?[edit]

Yang Ingin Kutanyakan[edit]

Waktu itu, apa yang sedang kulakukan, sih....

Ah iya... aku sedang menangis.

Aku pun tahu, tak peduli seberapa banyak air mata yang kuteteskan, kepedihan itu tidak pernah hilang.

Aku terpaksa mengetahuinya.

Seolah, air mata tidak pernah mengering.

Tapi, semakin lama menangis, aku merasakan sesuatu yang semakin banyak keluar dari diriku. Apakah masih ada sesuatu yang tersisa dariku? Sepertinya tidak. Tapi, tampaknya aku telah salah. Hari demi hari, semakin banyak aku kehilangan.

Setiap jam, setiap menit, setiap detik, aku terus kehilangan sesuatu.

"Mary..... Mary......"

Sebuah suara memanggil namaku. Siapa itu? Ah, aku tahu. Aku pun bangkit dari tempat tidur, dan samar-samar melihat pada Hayashi yang berdiri di dekat pintu. Aku mencoba menanggapi, tapi tak sepatah kata pun terucap. Hayashi, yang terdiam beberapa saat, akhirnya membuka mulutnya.

“Hei, Mary. Kau tidak boleh terus-terusan seperti ini.”

Aku merasa tidak enak bila tidak menanggapi Hayashi. Maka, aku pun mengangguk.

Hayashi menghela nafas lega. “Sebenarnya …” dia mulai berkata, “Ada klan bernama Orion. Mereka dipimpin oleh pria bernama Shinohara. Dia tahu kondisi kita, lalu dia menawarkan bergabung. Apa kau mau.....”

"…aku juga diajak?"

“Duh.... tentu saja kau diajak.”

Bagaimana aku harus menanggapinya? Apa yang dilakukan diriku yang dulu dalam keadaan seperti ini?

Michiki. Ogg. Mutsumi. Dulu, saat kami masih bersama, aku tidak mampu menunaikan tugasku sebagai Priest, lalu membiarkan mereka mati. Dengan kata lain, akulah yang membunuh mereka. Teman-temanku yang berharga. Harusnya, sebagai Priest tugasku adalah melindungi mereka. Tapi ternyata itu hanya niatku. Niat saja tidak cukup. Aku harus melindungi mereka sampai saat-saat terakhir. Kupikir aku bisa melakukannya. Mungkin, aku terlalu sombong. Tidak... bukannya mungkin.... memang itulah kesombonganku.

Faktanya, aku tidak bisa.

Ini semua salahku. Aku harus mengakuinya. Aku telah membiarkan rekan-rekanku mati. Aku adalah seorang Priest yang tidak bisa melindungi nyawa rekan-rekannya. Orang sepertiku tidak layak disebut Priest. Aku hanya sampah. Bahkan aku tidak layak ada. Meski begitu, sampai saat ini aku masih saja hidup. Aku selamat dengan mengorbankan nyawa teman-temanku.

Harusnya aku mati saja. Setidaknya, mati bersama mereka.

Hei, Hayashi. Aku tidak ingin melakukan apa pun. Dan aku memang tidak bisa. Tapi saat melihat wajahmu, ada satu hal, hanya satu hal yang sangat ingin kutanyakam padamu.

Mengapa?

Mengapa waktu itu kau menyelamatkanku?

Kalau kau ingin lari, lakukan saja sendiri. Mengapa kau harus membawaku? Aku tidak ingin lari. Aku tidak pernah berniat meninggalkan mereka. Aku bukanlah seorang pengecut. Sungguh bukan. Waktu itu.... Ogg tumbang duluan, kemudian Mutsumi, lalu kupikir.... Percuma. Kami tidak akan menang. Aku ragu kami bisa bertahan. Kami akan mati di sini. Aku akan mati bersama mereka.

Sungguh, tak sedetik pun aku berpikir untuk kabur.

"Pergi, lari!"

Michiki mengatakan itu kepada kami. Itulah faktanya. Mungkin Michiki ingin kami selamat. Tapi, apakah aku benar-benar ingin diselamatkan? Apakah aku pernah bilang bahwa aku ingin hidup? Apakah aku menginginkan semua itu?

Hei, Hayashi. Kenapa kau melakukan itu padaku?

Mengapa kau tidak membiarkanku mati bersama Michiki dan yang lainnya?

"Orion ..." aku pun hanya menundukkan kepalaku, lalu menjawab, "Oke."

Tapi, ini bukan salah Hayashi. Jika aku berada pada posisi Hayashi, aku yakin akan melakukan hal yang sama. Itulah mengapa aku tidak pernah mengungkit kejadian itu di depannya. Aku tidak ingin membicarakannya lagi. Aku tidak ingin membuka luka lama...... Luka? Apakah rasa sakit ini layak disebut luka? Tidak... tidak... itu terlalu kecil. Aku merasakan lengan dan kakiku putus, kulitku terkelupas, kepalaku terkoyak. Rasa sakit ini tidak pernah menghilang, dan tidak pernah tersembuhkan.

Semuanya telah berubah semenjak kematian mereka bertiga.

Mereka tidak bisa kembali, dan tidak mungkin kembali.

Hayashi tidak beranjak dari pintu. Dia mungkin ingin mengatakan sesuatu padaku. Mungkin dia ingin menghiburku. Mungkin sebaiknya kuberitahu Hayashi bahwa tidak perlu repot-repot menghiburku. Tapi jika aku terang-terangan mengatakan itu, mungkin akan melukai perasaannya. Hayashi juga kehilangan rekan-rekannya. Dia juga merasakan sakit yang sama denganku. Jadi, aku tidak mau membuatnya semakin terluka. Malahan, harusnya akulah yang menghibur Hayashi. Kalau memungkinkan, aku benar-benar ingin melakukannya. Tapi aku tidak sanggup. Aku tidak bisa melakukan apapun. Aku tidak berhak melakukannya. Yang bisa kulakukan hanyalah duduk membisu di sini.

2. Kesadaran Diri[edit]

Ini semua tidak ada hubungannya dengan keinginan dan kesanggupanku. Ketika tugas datang, maka aku harus menyelesaikannya sebaik mungkin. Entah tugas itu cocok atau tidak denganku, yang jelas aku harus memainkan peranku. Aku harus terus melakukannya meskipun harus memisahkan egoku. Saat bekerja, aku adalah seorang Priest, bukan Mary.

Klan Orion cukup terkenal. Pemimpin mereka, Shinohara, adalah pria yang menyenangkan, dan anggota lainnya adalah prajurit relawan yang cakap.

Dengan kata lain, tawaran itu sama sekali tidak buruk.

Mereka bahkan sudah memberiku jubah putih dengan simbol tujuh bintang. Itu merupakan simbol Orion. Saat memakainya, aku seperti menjadi orang lain. Saat Hayashi memakainya, aku pun pangling dibuatnya.

Orang-orang di Orion memperhatikan Hayashi dan aku. Lalu, kami bergabung dengan sebuah Party yang dipimpin oleh wanita bernama Tanamori[5], dan kami berburu Goblin di Kota Tua Damrow. Aneh sekali, mengapa sekelompok veteran yang dipimpin oleh Tanamori harus berburu Goblin. Mungkin mereka hanya menguji kemampuan kami sambil pemanasan. Perburuan itu lebih mirip latihan.

Tanamori adalah wanita berwajah lembut, namun dia lebih tinggi dariku. Tubuhnya tegap seperti Warrior, namun dia menggunakan senjata berupa tongkat pendek. Sebenarnya, dia adalah Priest yang pernah berpengalaman menjadi Warrior. Bersama dengan Yokoi sang mantan Thief dan Fighter, Shingen sang Mage, dan Matsuyagi bersama Hayashi sebagai Warrior, kami membentuk suatu Party beranggotakan enam orang. Matsuyagi menjaga barisan depan bersama Hayashi dan Yokoi, sementara Tanamori dan aku melindungi Shingen. Yokoi gesit, dia tidak memakai persenjataan berat, jadi dia bisa bergerak bebas ke lini depan dan belakang jika diperlukan.

Ketika para Goblin melihat Matsuyagi yang berpostur 180 cm mengayun-ayunkan pedang besarnya, mereka pun lari tunggang-langgang. Hayashi dan Yokoi bertugas menyerang Goblin-goblin yang kebingungan, dan Shingen mencari kesempatan menyerang mereka dengan sihirnya. Kami pun memenangkan banyak pertarungan dengan formasi seperti itu. Saat kelompok Goblin kocar-kacir, kami tinggal membasminya dan mencegah mereka melarikan diri. Sebenarnya, itu lebih mirip pembantaian daripada perburuan.

Sedangkan aku hampir tidak melakukan apa-apa. Aku hanya menonton bengong Matsuyagi yang menghadapi Goblin di barisan depan. Hayashi pun menunjukkan semangat yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku hanya bisa melihat dari kejauhan, seolah-olah tidak dibutuhkan tim.

Tapi aku tahu orang-orang Orion memperhatikan kami. Mungkin, mereka tidak ingin begitu melibatkan orang yang baru saja mengalami trauma dalam suatu pertarungan. Itulah kenapa mereka mengajak kami berburu Goblin, yang cenderung mudah dikalahkan. Semua itu agar kami kembali mendapatkan kepercayaan diri. Dengan begitu, mereka berharap kami bisa mengembalikan insting bertarung seperti sedia kala.

Mungkin yang mereka lakukan benar. Jika berada pada posisi mereka, mungkin kami akan melakukan hal yang sama.

Sepertinya cara ini cocok untuk Hayashi. Matsuyagi memujinya dengan mengatakan, "Kerja bagus," dia pun tersenyum. Tapi, tentu saja dia tersenyum dengan ragu, lalu Hayashi melirikku dengan wajahnya yang canggung. Bagi seorang Warrior seperti Hayashi, cara memulihkan diri dari keterpurukan adalah mengayunkan pedang, dan mengalahkan musuh sebanyak yang dia bisa. Mungkin Hayashi akan segera bangkit dan melupakan masa lalu. Aku pun percaya dia bisa melakukannya.

Aku sama sekali tidak membenci Hayashi karena membawaku pergi dari sana. Sungguh aku tidak membencinya.

Hayashi adalah temanku yang berharga. Dia adalah satu-satunya anggota Party-ku sebelumnya yang tersisa. Aku ingin dia cepat pulih. Dan jika ada yang bisa kubantu, aku tidak akan ragu melakukannya.

Meskipun aku tidak yakin berguna untuknya.

Ketika kami membasmi kelompok Goblin ketiga, tiba-tiba aku menyadari sesuatu yang tidak pernah kukira sebelumnya. Jujur, kuharap aku tidak pernah menyadari itu.

Yaitu sisi jelekku.

Aku menyadari betapa baik peran Tanamori sebagai Priest dari Party ini. Saat itulah aku sadar betapa buruk peranku sebelumnya. Aku tidak ada apa-apanya dibanding wanita itu. Aku pun sadar, dulu aku hanyalah Priest yang sombong, lemah, dan cepat puas. Itulah yang menyebabkan teman-temanku gugur.

Matsuyagi, Yokoi, dan Shingen.... semuanya mempercayai Tanamori sepenuhnya. Jika terjadi sesuatu, Tanamori akan segera menyembuhkan mereka. Tanamori adalah sosok yang kuat di belakang mereka, sesekali dia memberikan arahan yang singkat dan tepat. Aku pun tidak pernah meragukan kemampuan Tanamori.

Matsuyagi yang besar dan tangguh bertugas menjaga lini depan, namun dia tidak pernah bertindak ceroboh. Yokoi, Shingen, dan bahkan Tanamori sangat mengandalkannya.

Sedangkan Yokoi, semuanya mengandalkan kecerdasannya. Mereka tahu dia bisa menggunakan sihirnya dengan efektif, tepat pada saat dibutuhkan.

Hayashi mungkin tidak sepenuhnya memahami kemampuan tiap anggota Party ini, namun dia begitu serius menjalankan tugasnya. Mereka pun tampak puas dengan usaha Hayashi. Mereka menerimanya, dan berusaha mendukungnya.

Tidak ada tempat untukku. Party ini tidak membutuhkanku.

Jika melawan musuh yang lebih kuat, aku harus melakukan sesuatu. Pasti ada suatu hal yang bisa kulakukan. Tapi.... apa itu....? Melawan musuh lemah saja aku tidak diperlukan, bagaimana yang kuat?

Setelah melihat betapa kompak Party ini bekerja, aku malu sendiri dengan kinerjaku dulu.

Jujur saja, dulu aku selalu menganggap pekerjaanku baik. Aku selalu mengira tidak pernah melakukan kesalahan. Aku sudah merasa melakukan semua yang kubisa, dan itu cukup membuatku puas. Terlebih lagi, rekan-rekan lainnya sering memujiku. Kukira aku sudah melakukan yang terbaik untuk temanku, untuk Party kami, dan untuk semuanya. Tapi ternyata itu salah besar.

Tidak.... tidak hanya itu.....

Sebagiannya juga disebabkan oleh sifatku yang suka dipuji. Aku ingin mereka menganggapku penting. Itu semua membuatku bahagia. Aku selalu ingin disanjung lagi dan lagi. Semua pujian itu, menjadi candu yang selalu ingin kudapatkan.

Michiki, Ogu, Mutsumi, Hayashi. Lihat aku. Hey, aku ini hebat, kan? Aku bisa melakukan ini, melakukan itu, melakukan apapun. Puji aku. Sanjung aku. Cintai aku. Berikan semuanya padaku.

Jadi..... selama ini aku bekerja bukan untuk tim.

Melainkan untuk diriku sendiri.

Itulah kenapa, ketika mereka tidak membutuhkanku seperti saat ini, aku merasa begitu marah. Cukup. Aku tidak ingin berada di sini. Maksudku.... orang-orang ini tidak membutuhkanku. Itulah yang kupikirkan.

Ya... inilah aku.

Aku hanya orang narsis yang ingin diakui, disanjung, dan disayangi.

Betapa menjijikkan.

Akhirnya aku sama sekali tidak menggunakan sihir. Aku hanya berdiri di sana, dan menonton. Tanamori dan Hayashi mencoba berbicara denganku beberapa kali. Mereka tampak khawatir. Ya, itu benar, aku memang sedang dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Tapi aku coba menutupinya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan agar terlihat biasa saja.

"Kenapa kita tidak pergi ke Kota Baru besok?"

Tanamori menyarankan itu saat kami hendak pulang. Kota Tua kurang menantang. Monster-monster di kota ini bahkan tidak layak dilawan oleh pasukan relawan yang sedang depresi seperti kami. Kurang-lebih, seperti itulah yang kupahami. Tapi, sepertinya yang lainnya berpikir sama. Mungkin akan ada sesuatu yang merubahku besok. Mungkin besok aku bisa lebih tenang, sehingga bisa berkomunikasi dengan mereka.

Sebetulnya aku tidak berharap banyak. Tapi aku sudah memutuskan bersama mereka sekarang. Kurasa, aku harus meneruskannya setidaknya sampai waktu tertentu.

Malamnya, aku tidak bisa tidur. Besoknya, aku pergi ke Kota Baru Damrow dengan tidak semangat. Aku ikut saja dengan mereka. Hayashi sudah berbaur dengan Party baru ini, tapi tidak denganku. Aku masih merasa sendiri. Matsuyagi dan Yokoi hanya menyapaku tanpa mau ngobrol lebih lama. Sedangkan Tanamori dan Shingen tampaknya bingung apa yang harus dilakukan denganku. Begitupun dengan Hayashi, seolah dia ingin mengatakan, ’Kau tidak bisa seperti itu terus, lho...’

Kalau mau ngomong begitu, ya katakan saja. Tapi dia tidak melakukannya. Mungkin karena dia juga merasa bersalah. Hayashi adalah orang yang menyelamatkanku. Hanya itu pilihannya saat itu, dan tindakan tersebut tidaklah salah. Mungkin dia pun tidak merasa bersalah. Tapi, aku yakin dia juga mengerti, bahwa aku tidak pernah minta diselamatkan. Hayashi tidak perlu bertanggungjawab tentang itu. Karena yang salah adalah aku. Aku bahkan tidak pernah berterimakasih padanya karena telah menyelamatkan nyawaku.

Para Goblin di Kota Baru memiliki persenjataan seperti pasukan relawan manusia. Mereka bergerak secara lebih terorganisir, dan ketika kalah jumlah, mereka segera memanggil bala bantuan. Kami hanya memasuki bagian paling ujung dari Kota Baru. Namun, itu sudah cukup menyulut pertempuran yang jauh lebih intens daripada sebelumnya. Sayangnya, itu pun belum cukup membuatku semangat. Aku sempat menggunakan Cure beberapa kali dalam pertarungan. Selebihnya, aku hanya berdiri di sebelah Tanamori, terdiam, dan tidak bisa mengikuti jalannya pertarungan. Berbeda denganku yang tidak bisa melakukan apa-apa, Hayashi terlibat dalam pertarungan sengit melawan Goblin bersenjata. Dadaku merasa sesak saat melihatnya, dan napasku jadi tidak teratur. Aku tidak sanggup terus-menerus melihat Hayashi berjuang begitu keras seperti itu. Tapi, jika aku memalingkan wajah, ke mana aku harus melihat? Temanku sedang kesusahan, lantas apa yang bisa kulakukan? Aku hanya bengong sambil memikirkan hal-hal yang tidak penting.

Setelah tiga hari aku berburu bersama mereka di Kota Baru Damrow, akhirnya aku tidak tahan menjadi Priest yang tidak berguna. Aku pun memberitahu Hayashi bahwa aku akan meninggalkan Orion. Kemudian, meminta maaf pada Shinohara, dan mengatakan beberapa kebohongan sebagai alasan. Setelahnya, aku berjuang sendirian selama beberapa saat.

3. Kebebasan Individu[edit]

Aku menemukan penginapan, lalu meninggalkan asrama pasukan relawan sebelumnya. Di penginapan baruku, hanya wanita yang tinggal, sehingga Hayashi tidak bisa datang menemuiku.

Sebelumnya, aku bilang akan berusaha sendiri, tapi itu bohong. Aku bahkan tidak ingin berusaha lagi. Namun, aku juga tidak bisa berdiam diri saja. Aku masih memiliki tabungan di Bank Yorozu, tapi kalau tidak bekerja, tinggal tunggu waktu saja sampai semuanya habis.

Karena tidak punya pekerjaan, aku coba mengunjungi Kantor Satuan Pasukan Relawan. Aku akan meminta saran Brittany, pikirku, tapi betapa menyedihkan, aku bahkan tidak sanggup memasuki kantor. Tubuhku hanya berdiri terdiam di depan pintu kantor. Kemudian, pada saat yang sama, “Hey kau, ada apa?” seseorang memanggilku dari belakang. Saat aku menoleh padanya, kulihat seorang pria besar dengan perawakan mirip Warrior.

“Kau berdiri cukup lama di situ. Itu aneh, kan? Boleh kan kutanya apa yang kau lakukan di sini?”

Badannya memang besar, tapi wajah pria ini sama sekali tidak menakutkan, dia juga kehilangan gigi seri dan gigi depannya, yang membuatnya semakin terlihat konyol. Namanya juga aneh. Itu bukanlah namanya yang asli, tapi dia memperkenalkan diri sebagai Maron. Maka, aku pun mengatakan bahwa aku barusan keluar dari Party-ku, dan hendak mencari pekerjaan baru.

"Kalau begitu," kata Maron, dengan santai sembari bersiap menawarkan sesuatu, “Aku tergabung dalam kelompok yang disebut Free Union. Bagaimana? Kau tertarik? Tapi itu bukan klan. Sebenarnya itu adalah kelompok pasukan relawan serabutan. Kami membentuk Party sendiri, bekerja jika ada tugas, lalu berpisah jika sudah tidak saling membutuhkan. Tidak ada peraturan yang mengikat pada kelompok kami. Kalau kau bergabung, tentu saja kau boleh masuk dan keluar sesuka hati. Tapi, jika kau menemukan orang-orang yang cocok dengamu, kau boleh bersama Party itu lebih lama. Kurasa, inilah cara alternatif bagus untuk membentuk Party.”

Kedengarannya itu sempurna untukku. Maron membawaku ke kedai di Gang Celestial, katanya orang-orang Free Union sering nongkrong di kedai itu. Dia pun membawa dan mengenalkanku pada teman-temannya. Kedai itu tidak seluas dan terkenal seperti Kedai Sherry, tapi tempatnya cukup besar, mungkin bisa menampung sampai 20 orang. Sepertinya lebih dari setengah pengunjung kedai ini merupakan anggota Free Union.

“Tidak ada peraturan apapun yang mengikat di kelompok kami. Jadi, kau santai saja.”

Itulah yang dikatakan Maron, tetapi aku merasa tegang, dan itu membuatku hanya tertunduk di hadapan mereka. Saat beberapa orang bertanya padaku, aku tidak bisa menjawabnya dengan baik. Bukankah orang sepertiku hanya menjadi beban tim saja? Sayangnya, aku bukanlah orang yang bisa berpura-pura tampak senang dan ramah pada orang lain. Apalagi saat perasaanku suram.

“Nah, kalau begitu... maukah kau bergabung dengan Party-ku? Aku masih perlu empat orang lagi yang akan kupilih secara acak. Besok ayo pergi ke Tambang Siren.”

“Tambang Siren…!” tanpa bisa dikendalikan, aku menyerukan nama itu setelah mendengarnya. Seisi kedai terdiam, dan rasa canggung yang luar biasa menusuk jantungku seperti ribuan jarum. "…maaf, tapi sepertinya aku tidak ingin pergi ke Tambang Siren.”

“Eh, baiklah... aku mengerti. Yahh, kalau begitu ayo pergi ke tempat lain.”

Sambil tertawa, Maron meyakinkan aku bahwa semuanya baik-baik saja.

“Percayalah padaku, aku tahu tempat berburu lain yang bagus. Meskipun agak jauh, kau tidak masalah, kan? Mungkin kita memerlukan beberapa hari menuju tempat itu. Mungkin sekitar... tiga hari, tiga malam? Pokoknya bersiaplah, dan kita akan bertemu lagi di gerbang besok, oke?”

Aku menjadi ragu. Tapi kucoba menguatkan diri, dan yain semua akan baik-baik saja. Dengan begini, mungkin aku batal berbohong pada Shinohara. Sepertinya, aku benar-benar akan berusaha keras setelah berpisah dengan mereka. Andaikan aku tetap bersama Orion, yang bisa kulakukan hanyalah bersembunyi di belakang Hayashi. Itu tidak akan membuatku maju. Sekarang.... tidak ada lagi Hayashi, tidak ada Michiki, tidak ada Ogg, begitupun dengan Mutsumi dan yang lainnya. Aku sendirian sekarang. Mereka tidak akan kembali. Meskipun begitu, masih terasa sakit saat mengingat mereka semua. Rasa sakit yang begitu sulit kuatasi.

Aku tidak ingin selamanya terjebak dalam masa lalu. Itulah kenapa aku meninggalkan Orion dan Hayashi. Jujur saja, aku merasa berdosa pada Hayashi dan orang-orang lain yang selama ini baik padaku. Tapi, inilah yang harus kulakukan.

Besok paginya, saat berkumpul di gerbang utara, aku menemui rekan-rekan baruku, yaitu Maron si Warrior, Ryuki si Hunter, Ohjika juga Hunter, Ponkichi si Thief, dan Jin’e mantan Paladin. Kami berenam termasuk aku. Pemimpin Party-nya bukan Maron, melainkan Jin’e, dia adalah pria berumur 30-an tahun mungkin? Yahh, setidaknya begitulah kelihatannya, karena dia yang paling tua di antara kami. Ryuki dan Ohjika adalah pria bertubuh ramping, dan keduanya bersenjatakan busur yang besar. Mereka terlihat seperti bersaudara. Sementara itu, Ponkichi lebih pendek, tapi tampak gesit. Memang seperti itulah umumnya perawakan seorang Thief.

Meskipun Jin'e adalah pemimpinnya, Maron lah yang memandu kami. Kami meninggalkan Altana, lalu menuju utara. Sebelah utara dari Altana adalah wilayah hutan. Begitu memasukinya, kami dihadang oleh benteng bernama Capomorti, di mana para Orc menempatkan pasukannya untuk mengawasi pergerakan manusia. Maron lebih memilih jalan di antara hutan dan benteng, ketimbang mengambil rute melalui Dataran Quickwind. Jalur itu kurang-lebih sepanjang 12 km. Karena kami bergerak cukup cepat, maka hanya memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk melaluinya.

"Ryuki, Ohjika."

Jin'e memberi isyarat dengan dagunya, lalu kedua Hunter itu maju ke depan, sementara Maron gantian mundur ke dekatku. Tiba-tiba, Maron mengajakku bicara.

“Apakah kau penasaran bagaimana Jin’e pernah menjadi Paladin?”

"Ya...."

Memang benar ‘mantan Paladin’ adalah nama yang aneh bagi seorang pasukan relawan. Sebenarnya, sudah wajar bila pasukan relawan berganti-ganti Guild dalam karirnya. Namun, Jin’e menyebut dirinya ‘mantan Paladin’. Mengapa tidak menyebut kelasnya yang baru? Maksudnya, saat ini kau bergabung dengan Guild apa? Jika sekarang kau Warrior, maka jangan menyebut dirimu ‘mantan Paladin’. Seolah, itu berarti kau tidak bisa lepas dengan kelasmu sebelumya. Meskipun sudah berhenti menjadi Paladin, penampilan Jin’e masih identik dengan Paladin. Dia mengenakan jubah hitam, armor putih, dan helm juga putih. Tapi, ada goresan pada dada armornya, seperti bekas simbol yang berusaha dihilangkan. Dia mengaku berumur 33 tahun, namun rambutnya yang disisir rapih ke belakang sudah dilapisi uban. Uban-uban di jenggotnya juga sudah ketara, itu membuatnya terlihat seperti berumur 40-an.

“Kau tahu Mary, Paladin juga bisa menggunakan sihir cahaya seperti Priest, tapi ada yang berbeda. Kau kan Priest, jadi kau pasti tahu perbedaannya, tapi.......”

"Aku tahu kok.... Paladin tidak bisa menyembuhkan lukanya sendiri.”

“Ya, itu dia. Tapi, ada juga mantra yang disebut Crime. Bisa dibilang, itu adalah sihir pamungkas. Itu adalah sihir yang bisa menyembuhkan luka Paladin secara instan, mirip seperti Sacrament yang hanya bisa digunakan pada diri sendiri.”

“Namun, konsekuensinya adalah kehilangan berkah Dewa Luminous,” Jin'e menyela, “Aku pernah menggunakannya sekali karena aku tidak ingin mati.”

"Dan itulah yang membuatnya berhenti menjadi Paladin," kata Maron sambil nyengir dan mengangkat bahu.

“Setiap Paladin yang menggunakan Crime secara otomatis akan keluar dari Guild Paladin. Tapi, orang mati tidak bisa belajar di Guild, kan? Dia berhasil selamat, jadi pilihannya hanyalah berganti kelas. Dia bisa menjadi Warrior atau yang lainnya. Aku juga pernah berganti kelas. Tapi kasus Jin’e sedikit berbeda. Semenjak keluar dari Guild Paladin, dia tidak bergabung dengan Guild manapun. Jadi, dia hanya menyebut dirinya ‘mantan Paladin’.”

“Karena aku tidak pernah diterima oleh Guild manapun, bahkan aku sampai memohon pada mereka. Itulah alasannya.” tiba-tiba Jin’e menimpali dengan sedikit tawa, seolah mengejek dirinya sendiri, tapi sorotan matanya mengatakan seolah dia telah kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Seperti luka yang tak kunjung sembuh.

Namun, hidup harus terus berlanjut, kan? Bahkan, Jin’e seakan tidak ingin menyembunyikan masa lalunya. Dengan mengenakan semua atribut Paladin seperti itu, kurasa dia tidak berusaha meyembunyikan lukanya.

Apakah aku bisa sepertinya? Aku tidak yakin, tapi sepertinya itu tidak buruk juga.

Jika punya kenangan buruk di masa lalu, seseorang cenderung ingin melupakannya, bahkan kalau bisa menghapusnya tanpa jejak. Saat ini, aku masih berpikir seperti itu.

Dengan para Hunter di depan, kami terhindar dari serangan hewan buas, dan terhindar dari rute-rute yang berbahaya. Kami terus berjalan sampai sore, sebelum akhirnya istirahat di suatu tempat.

Kami berhenti di sebuah lembah. Atau mungkin lebih tepat disebut cekungan kering. Tidak ada air yang mengalirinya. Lembah itu membentuk silang, menghadap ke timur laut. Sedangkan di arah tenggara, barat daya, dan barat laut adalah tebing terjal yang tidak bisa kami turuni. Tapi di timur laut mengarah pada lereng yang landai, mungkin kami bisa menyusurinya sampai dasar lembah di sana.

Lagipula, sepertinya hanya itu jalan menuju bawah.

Bawah lembah tampak gelap dan cukup dalam.

Tapi dari bibir lembah, sepertinya aku bisa melihat sesuatu yang menggeliat di bawah sana.

“...mereka adalah pelayan Deathless King.”

"Jadi kau sudah tahu, ya." Maron bertepuk tangan dengan gembira. "Ini hanya tebakanku saja ya, tapi sepertinya Zombie dan Skeleton benci cahaya matahari. Itulah mengapa mereka begitu aktif di malam hari. Jadi, ketika siang mereka berkumpul di tempat yang gelap. Dan kebetulan..... tempat ini cukup gelap. Tempat ini dipenuhi semak-semak, memang tidak ada bukit yang tinggi sih, tapi cukup gelap bagi mereka. Sayangnya, menurutku hanya rute ini yang paling bisa dilewati.”

"…apa yang harus kita lakukan? Kalau kita turun....”

“Ya.... tentu saja akan berbahaya. Jika mereka semua menyerang kita akan sangat beresiko. Maka, kita perlu taktik yang jitu. Ryuki dan aku akan memancing mereka. Kalian tunggulah di tempat yang aman. Saat kami berhasil menarik mereka keluar dari tempat gelap, segera habisi. Daripada ngomong terus, lebih baik kami tunjukkan caranya padamu, Mary. Kami semua sudah berpengalaman melawan mereka, jadi kau tak perlu khawatir. Kau lihat saja dulu. Sebaiknya kita mulai sebelum hari gelap.”

Jin'e, Ohjika, Ponkichi dan aku menunggu di arah timur laut lembah, kemudian Maron dan Ryuki dengan gesit menuruni lereng.

Kami terus menunggu, dan tak seorang pun berbicara. Maron adalah pria yang cukup banyak omong, tapi tidak begitu dengan yang lainnya. Dulu, aku sering ngobrol bersama Michiki dan yang lainnya. Semuanya suka ngobrol, begitupun denganku. Tapi....... sebenarnya itu bukan karena aku orang yang supel. Aku hanya mengikuti pembicaraan mereka agar suasana lebih hidup. Tapi sekarang, kami hanya diam berjam-jam. Saling diam seperti ini sama sekali bukan masalah bagiku. Jika tidak ada yang perlu dibicarakan, aku bahkan bisa diam seharian.

Setelah cukup lama berselang, akhirnya Maron dan Ryuki kembali dengan berlari. Ada sesuatu yang mengikuti mereka. Apakah itu manusia? Tidak, posturnya lebih kecil. Dia berjalan sempoyongan dengan tubuh sedikit miring.

"Itu Zombie," bisik Ponkichi, sembari tertawa pelan tapi mengerikan. Pria pendek ini memang sedikit mengerikan. Wajahnya, gesturnya, dan persenjataannya juga membuatku ngeri. “Eh.... tapi karena pendek, mungkin juga itu Dwarf, atau Elf bocah.”

"Kau juga pendek," kata Ohjika, sambil menyodok Ponkichi. Ohjika, pria yang mirip Ryuki ini biasanya tenang. Tapi ketika bicara, kata-katanya pedes juga.

"Bersiaplah," kata Jin'e singkat, lalu Ponkichi dan Ohjika segera menyiapkan senjata mereka.

Ini aneh, mengapa aku tidak diberitahu tentang ini sebelumnya.

Zombie.

Itu adalah sisa-sisa jasad tanpa nyawa dan perasaan. Mereka dikendalikan oleh kutukan Deathless King.

Michiki. Ogu. Mutsumi. Teman-temanku sebelumnya meninggal di Tambang Siren.

Aku dan Hayashi pun tidak meloloskan diri dengan mudah dari sana. Kami kesulitan mencari jalan keluar, dan setelah perjuangan yang panjang akhirnya kami keluar. Aku tidak ingat betul bagaimana kami keluar, tapi yang jelas tidak mudah. Kami membutuhkan waktu seharian untuk keluar. Bahkan setelah sampai di Altana, kami masih ling-lung, seolah nyawa kami masih tertinggal di tambang.

Tentu saja, setelahnya kami berniat menguburkan teman-teman kami dengan layak. Kami berencana mencari jasad mereka, membawanya kembali ke kota, mengkremasinya, lalu membuat nisan di bukit. Sayangnya itu semua hanya angan-angan belaka. Itu tidak mungkin dilakukan karena ketiganya sudah dibawa oleh Death Spot. Akan sangat beresiko bila kami mencarinya hanya untuk merebut kembali jasad teman-teman kami. Dan sebagai Priest, aku juga tahu adanya kutukan yang aktif setelah jasad seseorang tidak dikremasi lebih dari tiga hari. Meskipun mendapat bantuan dari pasukan relawan lain, agaknya mustahil bisa mendapatkan jasad mereka dalam tiga hari.

Aku berkali-kali bermimpi Michiki, Ogg, dan Mutsumi, berdiri di hadapanku sebagai mayat hidup. Ketiganya sudah mati, dan tidak mungkin lagi berbicara padaku. Tapi aku bisa mendengar mereka berkata, ’Mengapa kau meninggalkan kami? Mengapa kau melarikan diri?’. Aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Aku hanya bisa terus meminta maaf. Lalu, di akhir mimpi, mereka bertiga pun menyerangku dengan penuh dendam.

Setiap kali memimpikan itu, aku merasa seperti menodai kebanggaan rekan-rekanku yang telah gugur, dan aku tidak bisa memaafkan diriku. Jika mereka benar-benar membenciku karena insiden itu, maka aku tidak akan menyanggahnya. Tapi setahuku.... ketiga rekanku itu bukanlah pendendam yang suka menyalahkan orang lain. Meski begitu, aku tetap menyalahkan dirku sendiri. Harusnya aku terus bersama mereka saat itu.

Aku tidak adil.

Aku jahat, dan tercela.

Saat kuamati lebih seksama, kaki Zombie yang mengejar Maron dan Ryuki robek. Ada juga luka di punggung bawahnya yang cukup dalam, sampai ke tulang belakang. Itulah kenapa dia berjalan sempoyongan.

Aku tidak tahu apakah Zombie itu ras lain atau dulunya manusia. Tapi, mungkin Michiki, Ogg, dan Mutsumi bernasib sama dengannya. Mereka mati dengan nahas, tidak mendapatkan pemakaman yang layak, kemudian berubah menjadi budak Deathless King selamanya.

Mungkin Michiki dan yang lainnya masih bergentayangan di Tambang Siren dalam keadaan seperti itu.

Aku tidak tahan melihat zombie itu, jadi aku memalingkan wajah. Kepalaku mulai pening. Hatiku sakit. Telingaku berdenging.

"Habisi mereka," Jin'e memberi perintah.

Aku tidak bergerak satu langkah pun. Aku bahkan tidak tahan melihatnya.

Suara Jin’e bergema, diikuti oleh suara lainnya. Anggota Party lainnya mulai menyerang, sebenarnya mereka tidak begitu susah menebas makhluk itu karena tubuhnya sudah hampir hancur.

"Mudah sekali," Maron tertawa.

"Harusnya aku pilih lawan yang lebih kuat," kata Ryuki.

Yang lainnya pun tidak mengalami kesulitan berarti saat membasmi makhluk itu.

Aku masih berdiri, tapi pandanganku terus tertuju ke bawah.

"Mary?"

Tiba-tiba namaku dipanggil, sehingga membuatku terkejut. Aku pun sedikit melompat mundur saat mengangkat kembali wajahku. Maron lah yang memanggilku, “Apa?” jawabku.

"Ada apa? Kau baik-baik saja?"

"…ya." aku memaksakan kata itu keluar, lalu menambahkan, "Tidak apa-apa."

"Oh ya? Baiklah kalau begitu.” Maron segera kembali ke tempatnya. Apakah aku berhasil menyembunyikan kesedihanku? Aku tidak yakin.....

Ternyata Zombie itu berasal dari ras Dwarf, karena dia memiliki beberapa barang yang terbuat dari mithril, yaitu logam yang hanya bisa ditambang dan ditempa oleh Dwarf. Salah satu barang itu adalah cincin, dan Maron melemparkannya padaku.

“Ini bagianmu, Mary.... gak papa kan, Jin’e?”

"Silahkan saja...."

“Yang lainnya tidak keberatan, kan? Sepertinya tidak ada yang protes. Kalau begitu, ambil saja. Anggap saja ini hadiah untuk bergabung dengan Free Union. Katanya cincin mithril bisa melawan iblis.”

Aku pun memasukkan cincin itu ke dalam kantong tanpa memeriksanya lebih detail. Aku tidak begitu menginginkannya, tapi tidak baik menolak barang pemberian, terlebih lagi dari rekan baru. Toh jika aku menolak, pria ini pasti akan mengomel, dan itu sungguh merepotkan. Itulah kenapa aku menerimanya.

Mengapa aku bergabung dengan Free Union kemudian ikut berburu sampai lembah Zombie begini? Pada dasarnya, uang lah jawabannya. Aku bisa menjual cincin mithril ini dengan harga yang layak. Maka, jika dia memberikannya padaku, tentu harus kuterima. Aku tidak perlu berterimakasih padanya. Atau, jika pemberian ini dihitung sebagai hutang, maka aku harus membayarnya lain kali. Hah? Bukankah itu mengerikan? Dia bisa memanfaatkanku suatu saat nanti.

Apapun itu, akhirnya kami mendirikan kemah di tempat yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dari lembah Zombie. Maron dan yang lainnya hanya memiliki satu tenda, dan itu membuatku bingung bagaimana aku tidur malam ini. Tapi, sebelum aku menanyakan itu, mereka mengatakan bahwa aku boleh tidur sendirian di tenda malam ini. Sedangkan, para pria akan berjaga di luar. Mereka juga akan bergantian berjaga, jadi aku bebas tidur sampai pagi.

"Kalian tidak perlu memberikan perlakuan khusus padaku ..."

“Tapi kau memang istimewa,” kata Maron dengan bercanda, “Maksudku, kau satu-satunya gadis di sini. Kami harus memperlakukanmu dengan istimewa. Tidak mungkin kan aku memperlakukanmu seperti yang lainnya...”

"Kalau begitu, apakah kau mau tidur bersebelahan denganku?" kata Jin’e dengan tawa mengejek pelan, “Terus kalau mau ganti pakaian bagaimana? Kau mau melakukannya di depan kami? Kalau mau buang air kecil? Kami tidak punya pilihan selain memperlakukanmu lebih spesial, kan? Memang seperti itulah keadaannya. Terima saja.”

Bahasanya memang sedikit kasar, tapi mudahnya begitulah yang terjadi. Aku pun menerimanya, lalu tidur di dalam tenda sendirian. Namun, setelah meletakkan barang bawaanku, dan bersiap tidur, aku terus saja terjaga semalaman.

Hanya kain tipis tenda yang membatasiku dengan lima pria yang barusan kukenal. Kami sedang berada di Dataran Quickwind, yaitu tempat yang begitu jauh dari Altana. Kalau dipikir-pikir lagi, situasi ini jelas berbahaya.

Bahkan.... kenapa aku mau saja ikut dengan mereka..... kenapa aku tidak berpikir sampai sejauh ini... aku sungguh bodoh. Aku memang gadis yang bodoh.

Mungkin aku terlalu lengah karena Michiki, Ogg, dan Hayashi bukanlah tipe pria yang berani melakukan hal kotor pada gadis. Selama ini aku tidak pernah diperlakukan seperti itu. Itulah kenapa aku tidak pernah memikirkannya. Setidaknya... selama di Grimgar.

Kalau sebelum di Grimgar.... aku tidak yakin. Karena aku sama sekali tidak mengingatnya. Apakah aku pernah melakukan hal seperti itu dengan pria sebelumnya? Sekali lagi, aku tidak yakin.

Apakah aku sedang dijebak seperti ngengat yang mendekat ke pijaran api?

Aku mulai ketakutan, dan badanku terus gemetaran tanpa henti. Mereka sedang membuat api unggun di luar. Dari dalam tenda bisa terlihat nyala apinya. Sayangnya, aku tidak bisa melihat bayangan mereka. Meski begitu, samar-samar aku masih bisa merasakan keberadaan mereka. Dan jika kudengarkan dengan seksama, aku tahu mereka sedang mengobrol. Sepertinya Ryuki dan Ohjika masih bangun, ya? Mereka sedang ngobrol gak jelas dan tertawa cekikikan. Apakah Maron, Jin’e, dan Ponkici tertidur? Sepertinya Ryuki dan Ohjika sangat senang ngobrol bersama seperti itu. Mereka sangat kompak, seolah-olah bisa melakukan apapun asal berdua, entah itu hal baik atau buruk. Tentu saja, itu hanya dugaanku. Mungkin keadaan ini membuatku semakin paranoid. Sial, ada apa denganku. Jika semua itu tidak benar, maka akulah yang berpikiran kotor di kelompok ini.

Tapi, menurutku Ryuki dan Ohjika bukanah tipe orang yang bisa beraksi sendiri. Maksudnya, mungkin ada seseorang yang mengendalikan mereka untuk tujuan tertentu.

Kalau Ponkichi, aku tidak begitu mengenalnya. Sedangkan, keempat rekan lainnya terkesan meremehkannya. Tapi, sepertinya Ponkichi tidak memperdulikannya. Dia tampak santai ketika diejek, bahkan tidak masalah jika dipandang rendah oleh yang lainnya.

Jin'e. Bagaimana dengan dia? Bahkan setelah kehilangan perlindungan dari Dewa Luminous, dia tetap memilih jalan sebagai Paladin. Cara bicaranya cukup kasar, tapi sepertinya dia bukan pria rendahan. Kurasa, dia bukan pria jahat.

Jujur saja, Maron lah yang paling kucurigai. Dia lah yang mengajakku bergabung dengan kelompok ini. Bahkan.... kenapa namanya Maron? Sikapnya cukup tenang. Dia juga ceria, dan sejauh ini tidak melakukan hal aneh padaku. Malahan, dia cukup baik padaku. Tapi, itulah yang membuatku semakin curiga padanya.

Berhati-hati agar tidak membuat suara, aku mengeluarkan cincin mithril dari kantongku. Apakah dia punya niat tertentu dengan memberiku cincin ini? Kalau iya, maka tindakannya terlalu mencolok. Apakah dia menginginkan perhatianku dengan memberi cincin dari Zombie?

Katanya, cincin ini bisa menangkal iblis. Apakah juga termasuk iblis dalam mimpi? Jika aku tidur sambil memakai cincin ini akan terbebas dari mimpi buruk?

Itu konyol, sih. Bagaimana bisa aku melarikan diri dari mimpi buruk setelah membiarkan teman-temanku mati? Malahan, bukankah seharusnya aku bersyukur dengan kehadiran Michiki, Ogg, dan Mutsumi di mimpiku? Harusnya, aku tidak berhak menemui mereka lagi, karena akulah yang membunuh mereka.

Mungkin aku memang pantas dihukum. Jika Maron berencana berbuat jahat padaku, dan itu benar-benar terjadi, maka aku akan membiarkan dia melakukan apapun. Aku tidak peduli lagi.

Tapi...... andaikan Michiki mengatahuinya, dia pasti marah, Ogg pasti bersedih, sedangkan Mutsumi hanya akan menegurku.....

Tegur aku. Marahi aku.

Katakan, “Mary, apa yang kau lakukan? Kau ceroboh sekali! Jangan diam saja!

Kumohon......

Ahh, sepertinya aku terlalu lama melamun. Mungkin.... sejam atau dua jam? Yang jelas aku belum tidur. Aku sama sekali tidak bermimpi. Entah sejak kapan, aku menyadari tanganku menggenggam erat cincin itu. Aku tidak percaya cincin ini bisa membebaskanku dari mimpi buruk. Tapi, jika aku tidak tidur, badanku akan semakin letih. Aduh, kepalaku mulai berat. Itu membuatku mual. Rasanya sungguh tidak enak.

Aku ingin keluar untuk mencari udara segar. Saat aku hendak duduk, tiba-tiba pintu tenda bergerak sedikit. Aku menyebutnya pintu, tapi sebenarnya itu hanya selembar kain yang dilengkapi resleting agar bisa membuatnya tertutup dan terbuka. Jadi, jangan harap ada pintu yang terkunci di tempat ini. Jika kau memasukan jari pada resletingnya, pintu itu akan terbuka dengan mudah, bahkan kau bisa merobeknya dengan sedikit usaha.

Seseorang memasukkan jari melalui celah pada resleting, kemudian melihat padaku.

Begitu menyadarinya aku langsung pura-pura tidur. Apakah keputusanku benar? Apakah sebaiknya aku bangun saja, lalu bertanya apa yang dia inginkan?

Siapapun itu, dia menarik jarinya kembali, lalu bergerak menjauhi tenda. Sepertinya dia kembali duduk di dekat api unggun.

“…Bagaimana?”

“Dia sedang tidur. Mau kau apakan wanita itu?”

Itu suara Maron dan Jin'e. Rupanya yang barusan mengintipku adalah Jin’e.

"Aku tidak tahu. Hmm. Kurasa dia tidak baik-baik saja, mungkin hatinya terluka atau apa. Aku penasaran, apakah aku bisa memikatnya. Kau tahu, aku lebih memilih hubungan sama suka daripada pemerkosaan, lho.”

“Aku tidak peduli.”

“Bung, coba pikir, pemerkosaan? Beneran? Memang sesekali enak sih, tapi kita sudah melakukannya dengan yang terakhir.”

“Ya, waktu itu lumayan juga.”

“Kau memang kasar, sih. Aku jamin, kau tidak akan terangsang jika tidak menggunakan kekerasan, iya kan? Kau suka menggilir cewek, ya?”

"Mengapa kita harus baik pada wanita?"

“Apa?? Astaga.... kan enak.... bayangkan kalau kita bercinta atas dasar suka sama suka. Mary itu cantik, lho. Pasti menyenangkan menggodanya. Percayalah padaku....”

"Kenapa harus begitu? Buang-buang waktu saja.”

“Bung, kalau kau meluangkan waktumu untuk wanita, pasti nanti ada hasilnya. Jin’e, kau memang tidak punya perasaan ya...”

"Kalau aku, asalkan sudah bercumbu, ya selesai.”

“Yahh, aku tahu kau sudah bosan dengan wanita. Tapi kalau sudah ngesek meninggalkan kesan buruk, ya buat apa...? Maka dari itu, kita harus sesenang mungkin saat bercumbu dengan wanita.”

"Dia tidak akan menyukaimu."

"Oh ya…?"

“Aku bisa merasakannya. Begini-begini aku masih bisa memahami wanita.”

"Oh ya? Kukira kau sudah tidak lagi menghargai wanita, ternyata pengamatanmu masih tajam juga ya. Apakah ini karena pengalamanmu? Hmmm, jadi aku tidak bisa memikatnya, ya? Kalau begitu, kau mau melakukannya sekarang juga?”

Maron mengatakan itu tanpa beban, tapi mendengarnya saja sudah membuatku sesak napas. Ini gawat. Tidak... ini lebih dari gawat. Ternyata benar, mereka berniat jahat padaku. Bahkan, tidak hanya Maron, Jin’e juga ikutan. Aku menyesal mengira pria itu baik. Kalau dari cara bicaranya, dia tidak lebih dari pemerkosa berantai. Bahkan Maron masih lebih menusiawi darinya, karena dia masih berusaha merayuku. Meskipun, kata ‘manusiawi’ tampaknya juga tidak cocok untuknya.

Gawat. Mereka akan segera membekapku. Apa yang harus kulakukan?

Kalau terus berdiam diri di sini, aku akan terjebak seperti tikus.

Ya... aku harus lari. Aku harus kabur dari tenda ini. Baiklah, aku akan pergi sekarang juga.

Kepalaku terus memikirkan berbagai hal, dan aku berusaha memelankan napasku. Hanya mereka berdua yang terbangun. Maron dan Jin’e. Kalau tidak salah, setelah membuat api unggun, mereka melepas armornya. Meskipun begitu, bisakah aku melumpuhkan mereka? Dan jika aku lari, nanti kalau tertangkap bagaimana? Mereka bukanlah orang biasa. Mereka pasukan relawan yang cukup terlatih. Stamina mereka bagus. Kurasa aku tidak akan lari jauh.

Maka dari itu, aku harus kabur sebelum mereka sadar. Jika jarak kami sudah terpaut cukup jauh, mereka akan kesulitan mengejarku. Ini adalah Dataran Quickwind, dan sudah larut malam. Mereka tidak akan jauh-jauh mengejarku.

Aku punya rencana. Akan kutinggalkan barang-barangku. Mengganggu saja. Hanya uang yang akan kubawa.

Maron dan Jin'e belum bergerak. Aku bisa pergi lebih dulu.

Aku begitu gugup, seolah jantungku akan meloncat keluar mulut, maka kutekan dadaku agar itu tidak terjadi. Ini bukan saatnya ragu. Dengan jari gemetar, aku membuka resletingnya. Suasana di luar tenda begitu sepi.

Aku takut. Aku takut. Aku takut. Tapi.... bagaimana jika dibandingkan saat itu?

Harusnya, ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan saat kami menghadapi Death Spot. Monster itu jutaan kali lebih menakutkan daripada pria-pria cabul ini.

Aku pun keluar dari tenda.

Maron dan Jin'e duduk berhadapan satu sama lain di depan api unggun.

Tiba-tiba... mereka berdua melihat ke arahku bersamaan.

Ryuki, Ohjika, dan Ponkichi berbaring agak jauh dari mereka berdua.

Sudah kuduga, mereka telah terlelap.

Kemudian, mata Maron melotot padaku, lalu, “…Hah?” senyum mulai muncul di wajahnya. “Ada apa, Mary? Kau sudah bangun, ya?"

Jin'e menatapku dengan mata yang tampak berkaca-kaca, namun aku juga bisa merasakan aura keji yang tersembunyi di sana. Pria ini lebih berhati-hati daripada Maron. Sepertinya dia sudah tahu aku mendengar percakapan mereka.

"Yahh…"

Hanya itu yang aku katakan, kemudian aku menunduk dan mendekati api unggun. Apakah ini akan berhasil? Aku harus melakukannya. "Aku lelah," tambahku, lalu menghela napas. Aku harus sedikit bersandiwara untuk dapat kesempatan.

Aku masih berusaha menghindari tatapan langsung pada mata Jin’e dan Maron. Jika kami saling pandang, sepertinya mereka bisa membaca niatku. Itulah kenapa aku terus menunduk sembari mendekati api unggun. Lalu, aku pun duduk di dekat keduanya.

Tentu saja, aku tak berniat duduk santai dan menghobrol bersama mereka.

Pertama, kutendang wajah Jin’e sekeras mungkin dengan alas sepatuku. Kemudian, tanpa jeda, kusapu sisi tubuh Maron dengan tendanganku berikutnya.

Lalu, aku mulai berlari. Aku tak tahu mau lari ke mana, yang penting menjauh dari api unggun itu. Maron dan Jin'e meneriakkan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan, dan itu tidak penting bagiku. Tak sedetik pun aku melihat ke belakang, aku fokus berlari sekencang-kencangnya. Meskipun paru-paruku kering, perutku terkuras, kakiku tidak akan berhenti berlari.

“Mary, kau memang gadis yang ekstrim,” Mutsumi pernah berkata begitu padaku, “Kau tidak pernah setengah-setengah dalam melakukan apapun. Itulah kehebatanmu, sekaligus kelemahanmu....”

Waktu itu..... bagaimana aku menanggapinya....

“Benarkah? Kurasa tidak begitu.” sepertinya itu yang kukatakan.

Mutsumi adalah gadis yang selalu mengamati semuanya dengan detail, jadi.... kurasa dia tidak salah menilaiku.

Aku adalah gadis ekstrim yang tidak pernah setengah-setengah dalam melakukan apapun. Aku tidak pernah bisa mengukur rata-rata atau setidaknya. Bagiku, hanya ada dua angka di dunia ini, yaitu nol dan satu. Atau mungkin.... nol dan seratus. Penilaianku bisa sepenuhnya benar, atau salah. Aku bisa sangat menyukai sesuatu, atau begitu membencinya. Bagiku, tidak ada abu-abu, yang ada hanyalah putih dan hitam.

"Cerewet itu tidak bagus, lho." Mutsumi juga pernah mengatakan itu padaku. “Karena itu bisa merugikanmu."

"Aku sama sekali tidak cerewet," jawabku.

Aku bukan orang seperti itu.

Aku hanya keras kepala dan tidak fleksibel. Itulah sebabnya aku tidak bisa dipengaruhi orang lain.

Saat napasku sudah benar-benar habis, tubuhku pegal semua, dan akhirnya kakiku pun berhenti berlari.

Tak seorang pun mengejarku. Aku sendirian. Sekarang, hanya ada aku dan langit hitam di angkasa. Berdiri saja aku sudah tidak sanggup. Aku pun rebahan di tanah. Sekarang, aku harus mengambil napas sejenak. Saat aku susah payah melakukannya, terdengar suara lolongan hewan buas dari kejauhan. Itu membuatku sedikit terkejut dan napasku seolah membeku. Tidak apa-apa.... pikirku. Suara lolongan itu cukup jauh. Tapi.... tiba-tiba terdengar lolongan lainnya. Yang ini suaranya lebih dekat. Aku pun menoleh ke sekelilingku. Tapi aku tidak bisa melihat apa-apa. Tak peduli betapa banyak bintang bertaburan di langit, sekelilingku tetap saja gelap gulita. Terlalu gelap. Andaikan ada sinar bulan..... baru kali ini aku merindukan bulan berwarna merah darah itu.

Apakah aku harus terus berjalan? Atau berhenti di sini saja? Aku tidak bisa memutuskannya. Aku seorang Priest, bukan Hunter yang mahir menjinakkan hewan buas. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi mereka.

Hewan itu terus melolong. Kali ini suaranya semakin dekat. Mungkin masih beberapa meter jauhnya, tapi aku tahu semakin dekat.

Ini gawat.

Aku tidak boleh berdiam diri saja di sini. Aku tidak mau mati dimakan hewan buas.

Aku pun berdiri.

Tapi.... aku harus pergi ke mana lagi?

Binatang itu terus melolong. Aku memutuskan untuk bergerak menjauhi lolongan itu. Aku harus memelankan langkah kakiku, kan? Aku harus bergerak setenang mungkin, kan? Tapi, bukankah indra penciuman hewan buas sangat tajam? Jadi, aku tidak mungkin kabur dari mereka?

Aku telah terpojok. Hewan-hewan itu sudah menganggapku sebagai mangsa dan akan terus memburuku.

Tolong.

Itu gawat.

Tidak ada yang akan menolongku. Tak ada seorang pun di sini. Aku sendirian.

Seperti inilah rasanya tenggelam dalam kenestapaan.

Aku sendiri.

4. Di Dalam Kepalanya Adalah Waradeganf[edit]

Saat aku berada di Kedai Sherry, menyeruput minuman keras dari daratan, "Hei, hei, hei!" pria yang tampak menjengkelkan itu mendekatiku.

"Hei!" pria itu mengangkat tangan kanannya. Di tangan kirinya dia memegang cangkir keramik. Dari suaranya, wajahnya, penampilannya, tingkahnya, semuanya menjengkelkan. Apakah ada kata yang lebih cocok menggambarkan pria itu selain “menjengkelkan”? Jika menjengkelkan berbentuk orang, pastilah seperti dia bentuknya.

Aku menyesal telah memandang pria itu, lalu aku pun segera menundukkan kepalaku.

"Hei!" teriak pria itu dengan riang.

"Hei! Hei! Hei!"

…dasar keras kepala.

Harusnya dia tahu aku sedang berusaha mengabaikannya.

“Hei, hei, hei! Heyheyheyheyyyyy! Hei…?"

Suaranya melemah, sepertinya dia sudah mau berhenti.

“Oh! Apakah kau pikir aku akan berhenti? Tentu saja tidak! Aku bukan orang yang mudah menyerah! Itulah yang membedakanku dengan orang lain. Iya, kan? Iya, kaaaan!? Haha, aku hanya bercanda.”

Aku mendesah lelah. Atau lebih tepatnya, desahan itu keluar dengan sendirinya. Apa-apa’an pria ini? Pria ini begitu menjengkelkan sampai di level yang tidak bisa kutolelir.

Akhir-akhir ini, saat keluar minum seperti ini, beberapa pasukan relawan menyapaku tanpa alasan yang jelas. Aku sih tidak masalah disapa, asalkan ada urusan denganku. Misalnya, ada Party yang tiba-tiba Priest-nya sakit. Atau si Priest sudah muak dengan Party-nya, lalu melarikan diri. Atau Party itu sudah punya Priest, tapi hendak melakukan misi yang sulit, sehingga mereka memerlukan tenaga tambahan. Aku bekerja untuk Party yang segera membutuhkan Priest, menggantikan yang lama, atau sebagai Priest tambahan. Pekerjaan seperti itu selalu ada, bahkan cukup banyak, sedangkan sumber dayanya terbatas.

Aku telah menolak semua tawaran bergabung dengan Klan. Itulah kenapa, jika ada pasukan relawan yang mendekatiku, paling-paling dia akan memintaku menjadi pengganti Priest di Party-nya, atau tenaga penyembuh tambahan. Sebagian alasanku minum-minum di Kedai Sherry ini adalah urusan bisnis, jadi pada dasarnya aku sedang mencari kerja.

Aku bisa mendapatkan cukup uang untuk makan sehari-hari, jadi semuanya berjalan baik-baik saja. Aku pun melakukan ini untuk tujuan jangka pendek. Tentu saja, itu berarti aku tidak tahu apa yang akan terjadi jauh di masa depan padaku. Sayangnya, aku tidak punya rencana merubah gaya hidup seperti ini. Aku juga tidak pernah berpikir merubahnya.

Aku tidak ingin ada orang yang menghalangi jalanku.

Apalagi si aneh yang menjengkelkan ini.

Tanpa melihatnya, dan tanpa sungkan, aku segera mengusirnya, “Pergilah!” dengan nada ketus. “Aku sedang tidak ingin ngobrol dengan orang sepertimu.”

“Apaaaa?!”

Entah kenapa si aneh itu berputar tiga kali dengan kencang.

"Kamu tidak ingin berbicara denganku-buina?"

“…Buina?”

Uh oh.... tanpa sengaja aku penasaran dengan apa yang barusan dia katakan. Itu memberikan peluang bagi si aneh untuk terus berbicara padaku.

"Baik! Aku mengerti, aku mengerti, aku mengerti! Aku mengerti sekali! Aku mulai memahami dirimu! Yay, yay, yay! Yahh!!!”

"A....apa yang kau pahami?”

"Baiklah! Kuberitahu ya! Yang kupahami adalah........ apa yang belum kupahami..... ahahaha.”

Entah kenapa, si aneh mengatakan itu dengan nada tenang. Itu membuatku terkejut. Baru kali ini aku bertemu dengan pria yang begitu serius mengatakan omong kosong.

“…aku tidak peduli dengan apa yang kau pahami dan tidak! Pergilah! Tapi kalau kau mau membicarakan bisnis denganku, ayo cepatlah!”

"Bisnis? Bisnis apa? Nis-bis?! Kita akan membicarakan nis-bis di sini?”

“Nis...biss…?”

"Baiklah....baiklah...omongan kita semakin aneh, sebaiknya kita mulai serius sekarang....” akhirnya si aneh ini mulai sadar dari tadi dia bicara omong kosong, dan segera duduk di sebelahku. "Dengar, banyak hal terjadi di hidup ini. Bhuuuuanyaaaaaaak sekali hal, kan?”

“…bhuanyak?”

"Nah itu! Kau bisa meniru cara bicaraku, kan? Itu artinya kau memahamiku, kan? Eh, siapa namamu?”

"Mary…"

“Hah? Mary? Oh, iya! Lupa aku! Namamu Mary, kan!? Nama yang bertentangan dengan kenyataannya[6]. Tapi, wow.... itu nama yang bagus!”

“…lupa? Perasaan aku tidak pernah memberitahumu namaku, deh.”

“Hah? Tidak pernah!? Serius?? Maaph. Tapi, seperti yang kubilang tadi, yang kutahu adalah.... sesuatu yang tadinya tidak kutahu, ahahah. Paham, kan?”

“A...aku tidak tahu harus memahami apa.”

“Ayolah Mary! Cerialah! Tempat ini bukan surga, tapi di dalam kepalaku ada....Waradeganf!"

“…maaf karena tidak bisa ceria.”

“Jangan meminta maaf! Kau sama sekali tidak melakukan kesalahan! Hey, hey, hey Mary-san! Maukah kau menjadi tulang rusukku?” [7]

"Tulang rusuk…?"

“Ups, salah! Maksudku, bukan rusukku! Tapi pacarku! Kekasihku! Atau mungkin, istriku!”

“Jangan seenaknya sendiri! Semua itu berbeda, bagaimana bisa kau mencampuradukkannya!?”

"Yeahhhh, rahasia!"

"Mati aja kau."

“Gowuh! Kalau begitu, bagaimana kalau berteman saja!?”

“Aku tidak butuh teman.”

“Whoooo! Wah, wah, wah, wah, wah! Jangan katakan hal menyedihkan seperti itu! Tidak tidak! Ayo berteman! Aku akan menemanimu seumur hidup! Aku sungguh ingin menjadi temanmu!”

Dia memohon padaku untuk menjadi temannya, sampai-sampai dia ingin merangkak dan memohon padaku, tapi aku tidak mempedulikannya sama sekali. Meskipun pria ini konyol mungkin dia sangat serius kali ini.

“Aku tidak bisa menjadi temanmu. Sejujurnya aku tidak butuh teman. Aku hanya perlu rekan kerja,” kataku padanya.

"Baiklah!"

Cepat sekali berubahnya, pikirku, dan aku hampir tercengang dibuatnya. Tapi aku berhasil menjaga ekspresiku tetap dingin, jika tidak maka dia lah yang menang. Tunggu dulu... apakah ada yang menang dan kalah di sini? Aku tidak tahu. Tapi yang jelas dia belum pergi juga. Dia menenggak sisa minumannya yang mirip bir dari cangkir, lalu berteriak pada pelayan, “Berikan aku Reeb dingin lagi!” dia pun memesan minuman lagi. Jadi.... dia tidak berniat pergi sama sekali? Aku harus bersamanya lebih lama?

“Mary-san. Aku sangat memahamimu. Baiklah kalau kau tidak mau berteman, tidak apa-apa! Kita juga bukan pacar, bukan suami-istri, jadi.... bagaimana kalau ayah dan anak saja!?”

“Lupakan.”

“Baiklah.... baiklah.... hmm, ini sedikit memalukan, tapi.... bagaimana kalau kakak dan adik?”

"Tidak."

"Baiklah, baiklah, bagaimana kalau tetangga?”

"…Tetangga?"

“Cintai tanggamu! Begitu kata pepatah! Ha, tangga? Tidak, tidak, maksudnya tetangga. Tetanggaaaaa! Maaph, maaph, Aku sungguh minta maaf. Astaga, aku bersemangat sekali malam ini! Semangat sihir nomor 15! Mengapa 15? Ah, lupakan. Bokeracho! Ya! Ah, Reeb-ku sudah datang. Mary-san, Mary-san, Mary—oh, bolehkah aku memanggilmu tanpa -san? Boleh ya!? Kita kan tetangga!? Wah! Tembus batas! Buka pintu ke dunia lain! Yaayy!!”

Entah kenapa kepalaku semakin pening ... bagaimana bisa dia merangkai begitu banyak kalimat berisi omong kosong seperti itu? Apa yang ada di dalam kepala orang ini?

“Wah!” Pria itu tiba-tiba merinding. Dia menjadi sangat pucat, dan seluruh tubuhnya bergidik.

“...A-Apa? Ada apa?"

“Aku baru menyadari sesuatu, ini.... menyedihkan sekali....., yo…”

"Yo…?"

Pria itu mengangguk, lalu setelah meletakkan cangkirnya di atas meja, dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

“… Astaga, bodohnya akau! Bagaimana bisa aku melupakan hal sepenting itu??”

“Apa maksudmu?”

"Namaku."

Pria itu menjulurkan lidah dari sudut mulutnya, sambil mengedipkan satu mata dengan pose yang aneh.

“Namaku Kikkawa! Wah! Aku benar-benar lupa memperkenalkan diri! Ah, hampir saja aku melupakannya selamanya! Aku hampir membuatmu penasaran seumur hidup! Itu mengerikan, bukan? Kan? Kan? Kan? Jadi, aku Kikkawa. Mary, senang bertemu denganmu, yoo-hoo.”

“S-Senang bertemu …”

Aku segera menutup mulutku. Hampir saja aku berkata, ”Senang bertemu denganmu juga, yoo-hoo.” aku sungguh.... tidak ingin mengatakan itu.

Baru kali ini aku bertemu Kikkawa, mungkin dia orang baru.

Dia berbahaya, pikirku, tapi tidak secara literal..

Aku menghela napas, lalu menyeruput mirasku yang disuling. Tenggorokanku serasa terbakar ketika miras itu mengalirinya, kemudian terus turun sampai perut. Saat rasa panasnya mereda, pikiranku pun semakin tenang.

“Kikkawa. Aku tahu namamu sekarang.”

“Yahoo! Aku merasa terhormat! Horee!"

“...sudah, kan? Pergilah.”

"Wow. Mengapa? Mengapa?"

“Sudah kubilang, aku hanya berbicara soal pekerjaan di sini. Kalau tidak, kau menggangguku saja.”

“Hanya pekerjaan?”

"Ya."

"Tidak topik lainnya?"

"Tidak."

“Kalau ngobrol tentang cinta…?”

"Tidak, terimakasih."

“Oof…”

Kikkawa memasang ekspresi aneh di wajahnya, kemudian dia merebahkan tubuhnya di meja. Mengapa dia tidak kunjung pergi meskipun aku jelas-jelas menunjukkan ketidaksenanganku?

Mungkin dia sedang mengujiku. Baiklah, kalau perlu aku akan duduk di sini selamanya. Aku tidak akan mengatakan apapun padanya. Biarkan saja seperti ini.

…tapi Kikkawa memang keras kepala. Aku heran, bagaimana bisa orang yang tadi begitu berisik, tiba-tiba ikutan diam seribu bahasa. Orang biasa tidak punya kesabaran seperti ini. Kedai Sherry yang biasanya buka sampai pagi saja, akan segera tutup hari ini.

Setelah kehabisan kesabaran, aku melihat ke sampingku, dan kudapati Kikkawa sedang tidur. Dia terlelap dengan senyum di wajahnya.

“…apa-apa’an orang ini?”

5. Bukan Kuda[edit]

Setidaknya aku pernah mendengar sekali tentang Kamp Leslie.

Yaitu karavan pedagang yang dipimpin oleh Undead bernama Ainrand Leslie. Mereka terus mengembara mengelilingi Grimgar. Kapan karavan Leslie pergi dan berhenti? Tak seorang pun tahu. Karena hampir tidak ada orang yang pernah melihat karavan itu. Tapi, ketika mereka berhenti, kemudian menetap sementara pada suatu tempat, lain lagi ceritanya. Saat itulah mereka mendirikan pertendaan yang disebut Kamp Leslie.

Leslie memiliki harta karun dari seluruh belahan dunia dan berbagai zaman. Konon katanya, jika kau berhasil mencuri secuil saja harta karun itu, kau akan menjadi kaya raya. Katanya juga, Kamp Leslie terbuka untuk umum. Dia tidak pernah menolak kedatangan siapapun, dari ras apapun, bahkan dia mau berbisnis denganmu meskipun kau hanya modal dengkul. Dia akan menerima tamunya dengan tangan terbuka, tapi..... itu semua hanya jebakan. Katanya, setelah dijamu makan olehnya, kau akan dibuat tidur dan tidak akan bangun lagi. Katanya lagi, korban-korbannya akan menjadi krunya di karavan selamanya. Meskipun begitu, masih ada beberapa orang yang selamat dari Kamp Leslie. Salah satunya adalah Garlan Vedoy, seorang bangsawan Altana.

Sesekali, muncul ide di kalangan pasukan relawan untuk berburu harta karun Leslie. Aku tidak pernah mendengar orang yang sukses melakukannya, sebaliknya aku sering mendengar cerita kegagalan saat minum-minum di Kedai Sherry. Bahkan, tidak aneh bila sekelompok orang nekad mengajakku memburu harta tersebut.

Seorang prajurit berwajah kekar bernama Dune mengajakku mencari Kamp Leslie. Kelompok kami beranggotakan 12 orang.

Sebenarnya itu pekerjaan konyol. Kami tidak pernah menemukan tempat seperti itu, tapi bukan masalah bagiku. Pekerjaanku hanyalah sebagai penyembuh, lagipula Dune telah menjanjikan gaji harian sebagai tambahan pembagian upah. Asalkan ada uang, aku tidak perlu mengeluh.

Kami mengembara di Dataran Quickwind selama empat hari, dan saat itu kami diserang oleh sejumlah binatang buas. Posisiku selalu berada di barisan tengah. Artinya, aku berada cukup jauh dari musuh, dan aku tidak perlu banyak bergerak untuk mendapatkan perlindungan. Di Party kami juga ada dua Mage yang tidak bisa bertarung, maka aku berada di dekat mereka untuk saling melindungi.

Selain menyembuhkan, pekerjaanku lainnya hanyalah menonton.

Dengan begitu, aku jadi merasa sedikit diabaikan oleh tim. Tapi, aku sudah menjalankan tugasku, jadi pikiran seperti itu hanya akan merusak suasana. Lagipula, aku tak luput dari kesalahan, maka lebih baik aku diam jika tidak dibutuhkan.

Menyembuhkan juga bukan pekerjaan gampang. Jika seseorang terluka, aku akan segera menolongnya, tapi masih ada rasa panik di dada. Tak seorang pun tega melihat orang lain terluka. Meski begitu, aku harus berhati-hati dalam membuat keputusan. Seberapa parah lukanya? Apakah aku harus menyembuhkannya sekarang juga? Lagipula Mana-ku terbatas. Jika aku tidak bijak menggunakan sihir penyembuhan, maka tinggal tunggu waktu saja aku kehabisan Mana dan tidak bisa berbuat apa-apa. Jika aku tidak bisa menggunakan sihir pada saat krusial, maka hal mengerikan itu akan terjadi lagi. Itu sungguh kesalahan yang tidak termaafkan sebagai seorang Priest.

Orang-orang sering protes. “Hey, aku terluka! Cepat sembuhkan aku!” atau semacamnya. Jika lukanya masih ringan, maka wajar bila kuabaikan dia. Jika dia masih keras kepala, aku akan mengatakan, “Kau masih hidup, kan? Kau masih sehat, kan? Kalau begitu tidak masalah, jangan cengeng!”

Sesekali, mereka pun membalas dengan kasar, “Jangan sombong.” bahkan seseorang pernah berkata padaku, “Apa kau tahu kapan seseorang mati??” sebenarnya aku tidak perlu memikirkannya, tapi tetap saja.... perkataan seperti itu cukup menyakitkan. Jadi, aku hanya diam setelahnya. Yahh, mungkin mereka benar. Mungkin aku memang terlalu sombong. Sayangnya aku bukan orang yang sepenuhnya percaya pada diri sendiri. Beberapa kali, aku pun meragukan keputusanku sendiri.

Yang jelas, aku hanya kerja. Aku hanya cari uang. Dan aku hanya menjalani hidup.

Lalu kenapa harus cari uang dan hidup seperti ini?

Kalau dipikir terus pasti ujung-ujungnya bingung sendiri. Jadi, aku tidak ingin terlalu memikirkan pertanyaan mendasar seperti itu. Tapi, mungkin salah satu penyebabnya adalah, karena aku pernah membiarkan teman-temanku mati. Aku sudah membunuh tiga orang. Maka, kurasa aku tidak bisa meninggalkan dunia ini begitu saja.

Sebelumnya aku pernah bekerja untuk Dune. Tak banyak orang yang mempekerjakanku dua kali. Mungkin Dune sudah cukup mempercayaiku.

Setelah lima hari mencari Kamp Leslie, semangat Party kami mulai menurun. Pada suatu malam di perkemahan, kami mulai membicarakan tentang penghentian misi ini. Mereka meminta pendapatku, tapi kujawab tidak peduli. Akhirnya, kami pun kembali pulang. Butuh sekitar 2 – 3 hari untuk kembali ke Altana. Jika pencarian semakin lama, harusnya gajiku semakin besar, tapi seperti yang sudah kubilang, aku tidak peduli. Segini juga sudah cukup.

Oh iya, pada suatu malam saat masih mencari, Dune berbicara padaku ketika kami jaga malam.

“Maaf, Mary. Aku mengajakmu dalam misi yang membosankan seperti ini."

“Tidak masalah.”

“Tapi pekerjaan ini tidak terlalu cocok untuk wanita, kan?”

"Aku bukan satu-satunya wanita di sini, kan?"

“Memang sih..... kau masih dingin seperti dulu ya....”

Dengan canggung Dune menggaruk kepalanya sebentar, tapi tiba-tiba dia tertawa setelahnya.

"Yahh, justru itu yang kusuka darimu."

"Jangan bercanda."

“Aku tidak sedang bercanda. Aku serius."

Saat aku menatapnya, Dune balik menatapku dengan wajah serius.

“Sebenarnya aku selalu memikirkanmu selama ini. Maukah kau menjadi pacarku?”

"Tidak," jawabku langsung. Aku ingin menundukkan kepalaku, tapi entah kenapa tatapanku terus tertuju padanya. Aku tidak mempercayai pria manapun. Bahkan aku tidak mempercayai diriku sendiri. Lagipula, aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Dune, jadi lebih baik aku tidak boleh lengah.

“…atau..... mungkinkah kau memberiku kesempatan lain kali?”

“Tidak. Tidak akan pernah. Lupakan saja.”

"Begitu ya...." akhirnya Dune memalingkan wajahnya dengan cemberut. Sepertinya, itu terakhir kalinya dia mempekerjakanku. Seperti itulah keadaannya. Aku pun tidak punya pilihan lain.

Dalam perjalanan kembali ke Altana, di malam hari, saat aku sedang tertidur agak jauh dari anggota Party lainnya, Dune mencoba menunggangiku. Apakah dia akan balas dendam karena kutolak? Apakah dia begitu putus asa setelah kutolak? Aku orangnya tidak pernah tertidur lelap. Aku selalu bisa merasakan apapun yang berada di sekitarku, meskipun sedang tidur. Maka, aku segera menjauh darinya. Akhirnya tidak terjadi apa-apa. Hal seperti ini memang bisa terjadi. Sebagai seorang pasukan relawan, aku benar-benar tidak boleh lengah sedikit pun.

Sesampainya di Altana, Dune menggerutu ketika membayar upahku selama 8 hari. Tentu saja aku bersikeras dibayar penuh, karena memang seperti itulah kesepakatannya.

“Neng, aku kagum kau masih bisa berbicara padaku dengan begitu entengnya, setelah apa yang terjadi tempo hari.”

“Kau lah yang harusnya malu, bukan aku. Dan jangan panggil aku neng.”

"Pikirin dong perasaan orang lain.”

“Apakah kau memikirkan perasaanku ketika mencoba menindihku?”

"Ah.... uh.... baiklah, aku yang salah....”

"Memang kau yang salah. Aku tidak peduli jika harga dirimu rusak karena kutolak, tapi lelaki yang menyerang wanita saat tidur sungguh cemen.”

“Neng—”

“Kau tuli ya. Kan sudah kubilang jangan panggil aku neng. Kau membuatku muak. Apa?? Mau memukulku? Silahkan saja! Pastinya sakit dipukul pria sebesar dirimu, tapi aku bisa menyembuhkannya dengan sihir cahaya. Sedangkan harga dirimu akan semakin hancur karena beraninya cuma sama cewek. Kau memang pantas mendapatkannya.”

“Baiklah, baiklah, kau cuma mau uang, kan? Ambilah!”

Wajah Dune berubah menjadi merah padam, lalu dia melemparkan bayaranku selama 8 hari penuh ke tanah.

“Kamu wanita yang menyedihkan, kau menjual dirimu demi uang! Itulah dirimu, Mary!”

Begitu dia pergi, aku mengambil koin satu per satu dari tanah. Mungkin benar aku memang menyedihkan. Tapi uang tetaplah uang.

Kalau aku pergi ke Kedai Sherry, mungkin aku akan bertemu dengan Dune lagi. Memangnya kenapa? Bukan aku yang seharusnya malu. Meskipun begitu, ketika aku tidak melihat dia di kedai, rasanya cukup lega.

Aku tidak menjual diri.... dan..... aku masih bisa memikirkan perasaan orang lain..... ah, tidak juga.... mungkin yang terakhir salah. Sembari memikirkan itu semua, aku menyesap mirasku. Saat itulah, tiba-tiba kudapati Kikkawa duduk di sebelahku. Tentu saja aku mengabaikannya. Tapi Kikkawa bukanlah tipe pria yang menyerah hanya karena diabaikan.

“Hei, tetangga........... hanya perasaanku saja........ atau hari ini kau memang tampak murung? Jangan begitu dong. Aku ingin tetanggaku terus ceria. Aku ingin tetanggaku tersenyum riang setiap hari. Kau tahu, wajah cemberut seperti itu tidak cocok denganmu. Oh.... tenang.... tenang.... anggap saja aku sedang ngomong sendiri.”

Ya, ya, kuanggap kau ngomong sendiri. — dan aku juga sedang berbicara pada diriku sendiri. Ah tidak juga.... aku bahkan tidak bersuara.

Kembali ke Dune.... tidak bisakah aku menghindarinya dengan sedikit lebih bijaksana? Aku tahu ini bukan salahku. Aku tidak melakukan apa-apa, bahkan justru akulah korbannya. Maka, bukankah sudah wajar bila aku menyakitinya? Atau aku harus memberinya sedikit harapan? Tidak, itu juga tidak baik. Tapi..... aku pun ragu apa yang kulakukan pada Dune ini benar.

“Tetangga. Semangatlah. Hei. Tetangga. Jika punya masalah, kau boleh bercerita padaku, lho. Aku akan mendengarkan apa pun keluh kesahmu. Kalau kau tidak mau, ya ngomong sendiri aja, aku tetap akan mendengarnya.”

Aku tidak akan melakukan itu. Karena aku tidak bisa. Lebih baik aku memendamnya. Sendiri. Ya, aku selalu sendiri.

6. Tidak dapat diprediksi[edit]

Ingatanku saat membiarkan ketiga temanku mati mungkin tidak selamanya utuh. Tapi, yang jelas aku tidak ingin menghapus ingatan itu dengan mabuk-mabukan. Yahh, mabuk itu tidak baik, kan. Kau harus tetap sadar apa yang sedang kau lakukan.

Aku juga sadar tidak semua orang menghormatiku.

Aku mendapatkan beberapa julukan yang tidak sopan, meskipun tak seorang pun pernah mengatakannya langsung di hadapanku.

Seperti, Mary si jutek.

Mary yang mengerikan.

Beberapa orang menganggapku wanita yang menakutkan.

Itu karena, pertama, aku tidak banyak omong. Aku hanya mengatakan hal seperlunya saja. Aku sendiri mengakui itu. Orang yang tidak banyak omong sering disebut dingin oleh orang lain. Padahal, menurutku aku bukanlah orang yang dingin. Sebenarnya aku tidak pernah berusaha membuat orang lain marah, atau mengintimidasinya. Aku hanya bicara seperlunya. Sudah, itu saja. Contoh, jika ada orang yang berbuat bodoh, maka harus ada yang menghentikannya. Tapi, kebanyakan orang ragu mengungkapkan apa yang ada di benaknya. Sebenarnya itu wajar saja, aku pun memahami alasannya. Mereka mungkin malu, atau tidak ingin membuat seseorang tersinggung, dan masih banyak alasan lain. Tapi aku berbeda. Ketika hendak menghentikan seseorang, aku tidak pernah ragu melakukannya. Jika bisa kuhentikan dengan kata-kata, maka aku akan mengungkapkan apapun yang ada di pikiranku. Aku tidak peduli apakah dia akan tersinggung atau tidak. Yang penting, dia berhenti, sehingga semuanya aman.

Aku bukanlah orang yang koorperatif. Itulah kenapa aku tidak punya banyak teman. Itulah yang salah satu orang-orang keluhkan padaku, tapi aku tidak ingin mendengar pendapat mereka. Aku pun tidak butuh ceramah mereka.

Sejak awal, aku memang tidak ingin mempunyai banyak teman. Orang memerlukan teman karena mereka merasa tidak nyaman sendirian, atau merasa tidak bisa melakukan sesuatu seorang diri. Sebenarnya aku juga begitu, namun aku lebih suka bertindak semauku, dan itulah yang membuat orang lain sebal. Jika mereka tidak mau berteman denganku, maka tidak masalah. Jadi, bukannya aku tidak bisa mendapatkan teman, aku hanya tidak mau mencarinya.

Kau melakukan apapun yang kau suka bersama teman-temanmu, aku juga begitu namun sendirian. Maka, jangan ganggu aku. kurang-lebih seperti itulah yang kurasakan. Bukannya aku tidak bisa bersosialisasi dengan orang lain, aku hanya tidak mau melakukannya. Karena aku tidak butuh.

Aku mendapatkan pekerjaan, meskipun bukan pekerjaan rutin. Meski begitu, aku masih bisa hidup dengan cara seperti itu. Mungkin beberapa orang menganggapnya aneh, karena umumnya mereka ingin pekerjaan yang lebih pasti. Tapi, kurasa itu tidak penting, memang seperti inilah diriku, inilah pilihanku, jadi kalian tidak berhak mempertanyakannya.

Hidup sebagai prajurit relawan tidaklah mudah, tapi kami punya banyak waktu luang.

Tapi sayangnya, di dunia ini waktu luang tidak bisa digunakan untuk bersantai.

Orang-orang seperti Free Union, atau Dune, selalu memberiku pekerjaan baru. Seolah, mereka tidak membiarkanku memiliki waktu luang. Itu sih bagus. Namun aku tidak selalu bisa bergaul dengan mereka. Bahkan, ada beberapa anggota wanita yang entah kenapa merasa tersaingi saat aku bergabung dengan Party-nya. Sampai sekarang aku tidak tahu apa sebabnya.

Pernah ada seorang wanita yang punya perasaan khusus pada ketua Party-nya, tapi dia tidak merasakan hal yang sama. Kemudian, aku bergabung sementara dengan Party itu sebagai Priest tambahan. Ketuanya tampak baik padaku, dan memperlakukanku sedikit lebih spesial. Si wanita tidak menyukai itu. Aku sih biasa saja, tapi dia mengira aku caper pada ketua, atau ingin merebutnya, sehingga si ketua pun salah tingkah. “Jangan dekat-dekat dengannya” kata perempuan itu, “Kau ini memang suka merayu, ya?”

Aku sudah sering mendapat cercaan seperti itu. Aku hanya bisa menjawab, “Aku sama sekali tidak bermaksud begitu.” tapi wanita itu masih kekeh dengan pendiriannya tanpa peduli dengan penjelasanku.

Selalu saja ada orang yang menyebarkan rumor tentangku. Baik itu pria maupun wanita. Baik itu benar atau salah. Aku tidak mau susah-payah menampik rumor-rumor itu, tapi..... tanpa kusadari julukan Mary si Jutek dan Mary yang Mengerikan sudah berkembang di sekitarku.

Mereka boleh melakukan apapun dan menyebutku siapapun. Sisi positifnya, aku menjadi terkenal, dan banyak orang yang ingin menyewa jasaku karena penasaran. Tapi, ada juga orang yang mempekerjakanku tanpa memperhatikan rumor-rumor seperti itu, yaitu mereka yang benar-benar dalam bahaya dan membutuhkan seorang penyembuh. Aku sih tidak masalah, selama upahnya sesuai.

Tapi aku tidak selamanya mengabaikan rumor-rumor seperti itu. Aku juga merasa malu saat menghadapi Hayashi, Shinohara-san, dan anggota Orion lainnya, misalnya saat bertemu di Kedia Sherry. Aku sungguh sungkan pada mereka karena selalu baik padaku. Tapi mereka bukanlah orang yang mudah percaya dengan kabar seperti itu. Kami masih bicara, atau setidaknya saling membungkuk bila bertemu.

Bahkan Shinohara-san masih sering mengobrol denganku. Setidaknya, dia menyapa, “Apa kabar Mary?” atau “Sehat-sehat saja, kan?”. Shinohara-san memang luar biasa. Dia masih peduli pada orang yang tidak tahu diuntung sepertiku. Kebaikan pria itu terkadang membuatku paranoid. Dia lah satu-satunya orang yang tidak bisa kuabaikan.

Lalu, ada juga si aneh ini........

Kikkawa.

“Hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey....tetangga, Tetanggaku..... Mary-san? Hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hah? Kau mau tahu.... apa yang sedang kulakukan? Ya tanya saja! Ayolah, tanya! Baiklah, baiklah kalau kau tidak mau. Tenang saja, akan kuberitahu kau. Dengar.... aku sedang melakukan tantangan.... berapa banyak kukatakan ‘hey’ sekali napas. Hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, heh, heh, heh, heh, heh, heh, heh, heh, heh, heh, heh. Waaaahhh.... lama-lama salah juga ya! Ini sulit, lho! Tidak percaya? Coba saja! Beneran sulit! Aku tidak berbohong! Cobalah! Mau ya? Mau ya? Ah.... sepertinya gak mau ya. Setidaknya.... akulah yang pertama mencobanya! Ya! Itu hebat, kan! Tapi..... mungkin tidak akan kulakukan lagi. Oh ya! Ngomong-ngomong, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey, hey..... wahh, ternyata kulakukan lagi! Hebat, kan!? Oh, iya, iya.... sebenarnya ada yang ingin kubicarakan denganmu. Tentu saja ini tentang pekerjaan. Pekerjaan lho!”

Tumben dia membahas pekerjaan denganku. Aku sering nongkrong di Kedai Sherry seperti ini untuk mencari pekerjaan, dan Kikkawa sesekali..... tidak..... sering kali mendekatiku untuk meluapkan omong kosongnya. Aku hampir mengabaikan semuanya. Karena kebanyakan bualannya bukan tentang pekerjaan. Tapi.... benarkah pria ini hanya mengatakan omong kosong? Apakah dia punya maksud lain? Kalau dipikir-pikir, membual adalah pekerjaan yang melelahkan, lantas mengapa dia terus melakukannya padaku? Aneh juga. Pasti ada maksud tertentu yang diinginkan pria ini. Menganalisis motif seseorang bukanlah hal yang sulit, selama dia berprilaku normal. Berbeda dengan pria ini. Dia terus saja membual tanpa lelah. Setahuku, tidak ada prajurit relawan lain seperti Kikkawa. Dia memang unik dan langka.

“…pekerjaan apa yang kau maksud?” aku pun segera menjawabnya.

“Ya, ya. Tentang itu."

Kikkawa mengerutkan kening, lalu menggosok hidung dengan jarinya.

“Dengarkan..... Hmm. Eh, hei? Kurasa, ini tentang pekerjaan. Tapi bukan dariku. Begini-begini, aku bergabung dengan Tokkis lho. Aku bekerja bersama Tokimune dan teman-teman lain yang luar biasa. Nah, pekerjaan ini bukan dariku, jadi aku akan mengenalkanmu pada orang lain. Singkatnya, aku dan Party-ku juga berencana bekerja pada orang ini. Kalau kau mau, ayo bergabung dengan kami.”

"Kau ingin aku bergabung dengan Party-mu?"

“Ya! Itu dia!”

"Sebagai penyembuh tambahan?"

“Nah, benar lagi! Sebenarnya, kami lagi kekurangan penyembuh. Jadi, sepertinya kau akan dijadikan penyembuh utama, bukan tambahan. Tidak, tidak, bukannya ‘sepertinya’.... kau benar-benar akan menjadi penyembuh utama.”

"Kalau memang begitu, aku akan menerimanya."

"Oh ya? Wow! Bagus! Oke, nanti aku akan memperkenalkanmu pada teman-temanku! Atau, aku yang akan membawa mereka kemari. Boleh, kan?”

"Silahkan saja. Sekarang?"

“Ya! Tunggu ya! Aku akan pergi dengan kecepatan kilat! Whuuuuuushhhh…!"

Aku tidak begitu tahu tentang Tokkis, jika mereka menjadi pasukan relawan seangkatan dengan Kikkawa, maka mereka juniorku. Yahh, itu tidak masalah. Pekerjaan tetaplah pekerjaan, entah datang dari senior atau junior. Aku tidak perlu terlalu antusias. Biasa saja, dan lakukan pekerjaan dengan layak. Aku juga tidak berharap banyak pada mereka.

Kemudian, dia kembali bersama beberapa orang. Jujur saja, orang yang dia bawa sungguh tampak tidak menjanjikan. Sampai-sampai aku berpkir, ’Bukankah ini akan menjadi misi yang berbahaya?’

Ada tiga pria. Atau, mungkin lebih tepat memanggil mereka bocah lelaki. Maksudku bukan umurnya yang bocah, melainkan sikapnya. Jujur saja, mereka bahkan terlihat masih naif. Atau.... mereka memang masih kecil?

“Perkenalkan, jadi ini.... Haruhiro, Ranta, dan Mogzo! Baiklah, kalian bertiga, katakan hallo! Salam adalah dasar dari sebuah komunikasi, lho.”

Atas desakan Kikkawa, prajurit relawan yang berpakaian seperti Thief dengan mata mengantuk itu berkata, “… Uh, halo,” kemudian dia membungkukkan kepalanya. “Aku… Haruhiro. Aku seorang Thief. Sudah.... kurasa itu saja yang perlu kusampaikan.”

“A-Aku Ranta!”

Pria kecil berambut keriting acak-acakan itu tampak seperti Warrior, tapi perlengkapannya terlalu minim. Wajahnya tampak nakal.

“Aku seorang Dark Knight… Mengerti? Heh. O-Oh, dan… Oh, ya, aku sedang cari pacar. Ya. Hehe!”

“A-aku Mogzo. Aku seorang Warrior."

Pria ini, yang bertubuh seperti beruang tak berbulu, tampak tidak berbahaya, meskipun fisiknya cukup tangguh. Dia tampak begitu pemalu, itu membuatku ragu apakah dia akan berguna.

“…S-Senang bertemu denganmu,” tutupnya.

“Mary!” Kikkawa memberiku kedipan yang memancarkan kilatan imajiner, sembari membentuk huruf V dengan kedua jarinya. Kemudian, dia berkata, “Aku pergi dulu! Sisanya kuserahkan pada kalian! Sampa jumpa, sampai jumpa Mary-saaaaaaannn......!” dia pun pergi begitu saja.

Ketiga pria itu hanya gelisah dan bergumam pelan. Mereka menutup mata, seolah malu dengan tingkah Kikkawa barusan. Tapi, mereka tidak mengatakan apapun padaku. ’Apa-apa’an ini?’ pikirku. Jadi aku harus bekerja dengan bocah-bocah ini? Kenapa kalian diam saja? Apa harus aku yang memulai pembicaraan? Jika tidak, sepertinya mereka hanya akan berdiri di situ sampai pagi.

“Lalu.......?”

Aku melirik mereka dan hanya mengatakan sepatah kata. Sampai akhirnya, Haruhiro membuka mulutnya.

“Um, baiklah… aku meminta Kikkawa..... ah tidak, sebenarnya dia lah yang membawa kami ke sini, jadi sepertinya kau sudah tahu apa yang terjadi...... Y-ya, harusnya kau sudah tahu...... maka, eeerrrmmm.... kami kekurangan Priest. Dengan kata lain, kami membutuhkan Priest yang mau bergabung dengan Party kami. Jadi..... ah...... uh...... ummmm........”

Bisakah kau ngomong tanpa ah, uh, ah, uh. Aku ingin sekali mengatakan itu, tapi akhirnya hanya mendesah lelah. Harusnya aku sudah tahu Kikkawa akan melakukan ini. Inilah pertama kalinya dia menawariku pekerjaan. Dan......... inilah hasilnya.

“Syaratnya...?”

Haruhiro menanggapi, "...syarat?" matanya melebar terkejut, meskipun masih tampak mengantuk.

“Eh, syaratnya… kita pergi ke Damrow, dan—oh, syarat… syarat apa ya?"

Ranta menggerutu, "Bodoh," lalu menyikut rusuk Haruhiro. “Maksudnya, seperti.... berapa banyak kau bayar dia per malam. Ya... kurang-lebih begitu lah. Harusnya kau tahu!!”

Aku memelototinya. Ranta berkata, “Eek…” dan mundur beberapa langkah.

“I-Itu hanya lelucon… oke? Tidak, bukan lelucon, hanya contoh.... tapi, memang kurang pantas.”

"Ya, sangat tidak pantas.”

“…Ya? Maaf? Aku tidak bermaksud apa-apa.... aku hanya grogi....”

"Kau? Grogi?" Haruhiro membisikkan itu dari dekat, lalu Ranta segera mengenyahkannya, “Menjauhlah!!”

Mogzo hanya menunduk, seolah perutnya sakit atau semacamnya, dan dia berkeringat deras.

Aku pun segera menyimpulkan bahwa gaji harian tidak mungkin mereka bayar. Bocah-bocah ini tidak punya uang. Jadi, yang kudapatkan hanya upah buruan. Kira-kira berapa banyak buruan mereka? Sepertinya tidak banyak. Yahh, anggap saja rendah. Tapi, selama bisa menutupi biaya sewa dan uang makanku, kurasa tidak masalah.

Aku tidak pilih-pilih. Meskipun, harusnya inilah pertama kalinya aku menolak pekerjaan.

Tapi......

Jika aku menolak, maka apa yang bisa dilakukan bocah-bocah ini? Apa yang akan terjadi pada mereka saat berburu tanpa seorang penyembuh? Apakah aku peduli dengan mereka? Itu bukan urusanku, kan?

Tapi........

“Kalian hanya perlu membayar upahku. Jika itu cukup, bisakah kita mulai besok? Di mana kita akan bertemu?”

7. Sebelum Fajar[edit]

Jam 8 pagi, di depan gerbang utara Altana. Aku tidak pernah terlambat kerja. Aku biasa datang sebelum yang lainnya tiba. Hari itu juga sama.

“—daaaan....... semuanya! Aku ingin memperkenalkan teman baru kita! Inilah Mary sang Priest kita yang baru! Ayo teput tangan…!”

Ranta si cowok berambut acak-acakan mengatakan itu dengan kencang, kemudian Haruhiro si cowok yang matanya mengantuk, dan Mogzo yang besarnya seperti beruang bertepuk tangan dengan ragu. Sedangkan, dua teman mereka lainnya hanya tercengang dengan mulut menganga. Mereka adalah sepasang cewek. Yang satu seorang Mage yang tampak pemalu, satunya lagi gadis yang membawa busur dan panah tampak seperti Hunter. Mereka lebih mirip gadis biasa daripada pasukan relawan. Jujur saja, tak seorang pun di Party ini tampak meyakinkan.

Yang benar saja.....? hanya itu yang bisa kupikirkan. Selama ini aku telah bekerja dengan berbagai macam pasukan relawan. Ada yang muda, ada yang sudah tua. Ada yang berpengalaman, ada yang masih amatiran. Tapi aku belum pernah bertemu sekelompok bocah seperti mereka.

Mereka tampak seperti pasukan relawan yang masih magang. Memang benar, manusia bisa berubah setelah jangka waktu tertentu. Sedangkan mereka belum. Mereka masih terlalu hijau. Tapi itu normal, semuanya butuh proses. Sayangnya, dunia ini tidak normal. Dan menjadi pasukan relawan juga tidak normal. Itulah kenapa, aku sangat meragukan kemampuan mereka.

“I-Ini Mary-san…”

Ketika Ranta menunjukku lagi, gadis Mage itu akhirnya berkata, "Ha ..." dengan membungkuk ragu. "…Halo."

“Se.... Senang bertemu denganmu,” kemudian si gadis Hunter melanjutkan.

Apa yang harus kukatakan? Gadis-gadis itu tampak takut padaku. Ya, tentu saja, aku tidak masalah dengan itu. Tapi aku tidak menggigit. Harus kuakui aku orangnya jutek. Katanya, tatapan mataku begitu dingin dan penuh permusuhan. Tampaknya, para gadis ini tidak cukup kuat menerimanya. Lalu, apakah aku harus mencairkan suasana? Aku pun bingung.

Tak tahu harus melakukan apa, aku hanya menyeka rambut ke belakang telingaku, lalu melihat pada pria bernama Haruhiro itu.

"Hanya ini?"

"Ya…"

Aku menatap matanya, dan Haruhiro segera menunduk. Reaksi yang terlalu normal…

“Eh, ya. Hanya ini Party kami. Bersamamu, semuanya jadi enam orang.”

"Baiklah," kataku sambil mendengus dan tertawa kecil. Aku tidak tahan melihat bocah-bocah ini, jadi aku tertawa. Sebenarnya, itu bukan tawa yang ikhlas, melainkan tawa stress.

“Yah, tidak apa-apa. Selama kalian mampu membayarku, tidak masalah. Kita mau ke mana? Damrow?”

“Y-Ya… kurasa?”

"Kurasa? Yang pasti dong.”

“D-Damrow. Kota Tua. Berburu goblin ... b-bagaimana dengan yang lain...?”

“Baiklah, terserah kalian. Bagaimana kalau kita berangkat sekarang, kalian duluan saja.”

“…Hei, kau tahu?” Ranta melihatku dengan lirikan matanya. “T-tidak bisakah kau.... berbicara lebih akrab dengan kami....? M-maksudku..... tingkahmu itu.....”

"Hah?"

“…T-tidak..... m-maaf.... sungguh aku minta maaf.”

Pria ini minta dibentak. Tapi dia bahkan tidak layak menerimanya.

Sekitar sejam perjalanan menuju Damrow, kami sama sekali tidak ngobrol. Sebenarnya, mereka masih berusaha berbicara denganku, tapi aku tidak tahu harus bagaimana merespon. Biasanya apa yang bocah-bocah ini omongkan? Aku tidak bisa membayangkannya. Yang kutahu, suasana begitu canggung. Mereka seolah ingin menjauhiku.

Tiba-tiba aku berpikir, Sepertinya aku sudah cukup senior ya... dulu aku juga memulai dari keadaan yang sama seperti Haruhiro dan teman-temannya. Saat itu semuanya tidak mudah. Susah dan senang sudah kualami semuanya. Ketika melihat mereka, entah kenapa aku teringat kembali masa itu. Ah sial, padahal aku tidak ingin mengingatnya lagi. Harusnya kutolak pekerjaan ini. Pikiranku jadi kacau begini.’

“…Bagaimana kalau kita bertemu dengan mereka lagi?”

Tepat sebelum kami memasuki Kota Tua, Haruhiro menggumamkan itu.

“Kalau beneran ketemu.....” kata Ranta dengan nada sedih yang aneh, “.... kita harus membunuh mereka. Aku tidak akan puas sebelum menebas si Goblin berarmor itu dan memotong telinga Hobgoblin. Kemudian, aku akan mempersembahkan semuanya pada Dewa Skullhell.”

“Tapi…” kata si gadis Mage dengan nada yang tidak begitu sedih namun cukup dingin. Jujur, cara bicara seperti itu tidak cocok untuknya. “.... dengan kemampuan kita saat ini.... kita tidak mungkin menang....”

Ranta mendengus. "Kita akan terus bertarung meski tidak bisa menang."

“Tapi kalau kita terbunuh—” kata si gadis Hunter dengan gemetar, “…semuanya akan sia-sia, kan.....”

"Jangan sampai mati...." Mogzo mengangguk dengan penuh semangat. "Aku tidak ingin ada lagi yang mati.”

Sungguh aneh jika suatu Party tidak memiliki Priest. Jika beneran tidak punya, maka tidak ada orang yang bisa menyembuhkan Party ini.

"Apakah…"

Tanpa sadar, aku mengatakan sesuatu, lalu segera kugigit bibirku agar diam. Sebenarnya aku tidak perlu berkomentar apapun.

Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku menyadari bahwa sebelumnya mereka punya Priest, tapi sudah meninggal. Ya, kemungkinan besar seperti itu.

Sayangnya.... mulutku meneruskan kalimat itu tanpa bisa kukendalikan.

“… ada yang ingin pulang? Aku sih tidak peduli, jadi cepatlah selesaikan ini.”

Ranta membuang muka, lalu mendecakkan lidahnya dengan kesal.

"Ayo lanjut, Haruhiro."

"Ya…"

Mata Haruhiro melihat sekeliling, seolah dia ragu. Apakah pria ini pemimpin Party? Aku menduga iya, tapi tidak yakin juga. Menurutku, mereka lebih mirip seperti Party tanpa ketua. Atau jangan-jangan..............

Apakah pemimpinnya Priest yang sudah tewas?

Jika demikian — jika itu yang terjadi, maka itulah kemungkinan terburuk. Ya, terburuk dari yang terburuk.

Pekerjaan ini mulai membuatku takut.....

Meskipun begitu, aku tidak boleh menunjukkan rasa takutku. Aku harus terus fokus pada pekerjaan ini. Ya, seperti itulah prinsipku, meskipun kali ini agak sulit. Lalu, Haruhiro berkata dengan tergagap, “A-ayo lanjut....” itu membuatku semakin paranoid. Sebenarnya, apa yang sedang diburu oleh bocah-bocah ini. Aku tidak ingin memikirkannya. Kuharap mereka tahu peraturan dasar dalam berburu, yaitu jangan melawan musuh yang bukan tandinganmu. Aku tidak ingin mempertanyakan itu pada mereka, namun pikiranku semakin kacau.

Selanjutnya, kami mengintai suatu area. Haruhiro mulai menunjukkan kemampuannya sebagai Thief ketika memandu kami, tapi kelihatannya dia masih belum menemukan targetnya. Yahh, tentu saja tidak. Dari yang dibicarakan si keriting tadi, sepertinya mereka sedang mengincar sekelompok Goblin tertentu. Tapi Goblin bukanlah makhluk yang bodoh. Mereka tahu harus membentuk kelompok agar lebih aman. Tidak banyak Goblin yang beraksi sendirian. Sepengalamanku, Goblin di Kota Tua biasanya bergerak dalam kelompok yang terdiri dari tiga ekor atau lebih. Apakah Party ini bisa mengalahkan sekelompok Goblin yang terdiri dari tiga ekor? Bagi pemula, agaknya itu sulit, tapi semuanya memulai dengan cara yang sama.

Meskipun hanya sekelompok Goblin, sepertinya mereka bukanlah lawan Party ini.

Tapi mereka tidak punya pilihan selain terus berburu, agar mendapatkan penghasilan. Haruhiro tampaknya sudah yakin akan melanjutkan perburuan ini.

Ketika hari sudah senja, akhirnya muncul sekelompok Goblin terdiri dari 3 ekor.

Pada suatu reruntuhan bangunan, terlihat Goblin memakai chainmail dengan tombak pendek di tangannya, sedangkan dua Goblin lainnya memakai pakaian kulit. Salah satunya membawa kapak, sedangkan lainnya pedang pendek. Haruhiro mulai menerangkan sesuatu yang tampaknya suatu strategi.

“Pertama, Yume dan Shihoru meluncurkan serangan pertama pada Goblin yang membawa tombak. Aku, Ranta, Yume dan Mary akan menyibukkan Goblin yang membawa kapak dan pedang. Lalu, Mogzo dan Shihoru coba membunuh Goblin bertombak. Jika sulit, Ranta atau aku akan menolong. Saat si Goblin bertombak mati, selanjutnya akan mudah.”

"Tunggu dulu...."

Sebenarnya aku sudah menduganya, bahwa bocah-bocah ini tidak paham dasar-dasar teknik berburu. Itulah kenapa mereka kehilangan Priest yang terdahulu.

“Kenapa aku ikut serta melawan Goblin?”

“Hah… j-jadi tidak boleh ya…? K-kenapa?"

“Sudah jelas, kan? Aku seorang Priest, jadi aku tidak bertarung.”

“Hei…” Ranta mulai membentak, tapi akhirnya kembali tenang, “.....begini kawan....”

"Kawan?"

Entah kenapa aku sontak marah saat dia sok akrab dengan memanggilku kawan. Tapi, ini pekerjaanku, jadi aku harus tenang.

Tapi, apakah bocah-bocah ini punya maksud tertentu? Maksudku, aku hanya menganggap perburuan ini sebagai pekerjaan biasa.... bagaimana dengan kalian...

Ranta berkata dengan ragu-ragu, “...k-kau....?” dia coba membenarkan kalimatnya sendiri. Dia terlihat takut, tapi aku tidak pernah mengintimidasinya. “...tidak..... a-apakah aneh menyebutmu kawan, Mary?”

"Mary? Mana -san nya?"

“M-Mary…-san,” sebuah nadi berdenyut di pelipis Ranta, dan seluruh tubuhnya gemetar.

Kenapa kau jadi marah? Kau ini bodoh ya...

“D-dengarkan aku.... kau kan Priest..... berarti kau punya itu.... benda yang mirip pentungan itu. Apa namanya? Tongkat Priest ya.... tongkat itu bisa dipakai untuk memukul lawan, kan? Atau hanya pajangan saja?”

"Iya. Sebenarnya ini hanya pajangan.”

“K-kau…!”

"Apa?"

“M-Mary…-san, bisakah kau sedikit lebih.... lebih.... ehh, apa ya.... ah, aku lupa..... silahkan lakukan sesukamu saja....”

“Tanpa kau suruh pun aku akan melakukan apapun semauku.”

“Ya, ya... memang seperti itulah kau, dasar lacur....”

“Bisakah kau menggunakan kata yang sedikit lebih sopan? Telingaku sakit mendengarnya.”

“Baiklah, baiklah! Ini salahku! Mohon maaf ya! Tapi jika kau tidak suka, mengapa tidak kau sumbat saja telingamu!!?”

“Kenapa aku harus merepotkan diri seperti itu?”

“O-oh iya …” kata Haruhiro menyela, sembari menggaruk lehernya. Dia berusaha menengahi kami, “Aku paham apa maksudmu, Mary. Seorang Priest lebih cocok menunggu di barisan belakang sembari sesekali membantu jika diperlukan. Umm, mungkin kau bisa berada di dekat Shihoru. Dia Mage, jadi dia juga tidak bertarung di lini depan. Gak papa..... kan?”

Aku disuruh menonton saja sampai dibutuhkan. Yah, memang begitu lah peran Priest. Akhirnya dia memahaminya. Si gadis Mage itu..... namanya Shihoru, ya? Sebelumnya aku sama sekali tidak tahu namanya. Sebenarnya ada apa dengan bocah-bocah ini, aku jadi emosian bersama mereka.

“Ya, kurasa itu bagus.”

“Y-Yah, baiklah..... begitu saja ya… Yume, Shihoru, mohon bantuannya, ya."

Ketika Haruhiro memanggil nama mereka, gadis Mage dan Hunter itu sama-sama mengangguk dalam diam. Sepertinya si Hunter bernama Yume.

Yume dan Shihoru tampak tidak menyukaiku. Karena mereka bahkan tidak mau menatap mataku. Yahh, aku sih tidak peduli.

Ketiga bocah itu juga tidak mau menjelaskan rekam jejakku. Entah mereka tahu atau tidak. Jadi, wajar saja kedua gadis itu terganggu olehku. Harusnya kau berbicara dulu pada teman-temanmu sebelum mendatangkan anggota baru, kan? Apakah mereka berkomunikasi dengan baik antar sesama anggota Party? Kalau tidak, maka mereka bukan hanya amatiran yang payah, tapi juga tim yang buruk. Ampun deh, sebenarnya apa sih yang terjadi dengan Party ini.

Haruhiro berjalan di depan, kemudian diikuti oleh Yume dan Shihoru di belakangnya. Saat tiba di area yang dituju, Shihoru menyiapkan mantra berdasar aba-aba dari Haruhiro. Yume pun mulai menyiapkan busurnya. Mantra itu.... Shadow Beat ya? Dia menggumamkan beberapa mantra, lalu melepaskan sihirnya. Sihir itu melesat dan mengenai tubuh si Goblin bertombak. Dia pun kejang-kejang, lalu menjatuhkan tombaknya. Pada saat yang sama, Yume segera menembakkan panahnya, tapi meleset. Memang sulit membidik musuh dari kejauhan, tapi caranya menembak salah. Meskipun aku bukan Hunter, sekali melihat saja tahu kalau itu salah.

“… wah payahnya.....” gumamku, dan Yume sedikit tersentak sembari memegang busurnya erat-erat.

Kau terlalu kaget saat menyadari tembakanmu meleset. Aku tidak bisa memanah, dan aku bukan rekanmu, jadi aku tidak perlu mengatakan itu padamu. Tapi, kuharap kau segera menyadarinya. Meskipun aku ragu sih....

“Jangan panik! Santai saja!” Haruhiro menyerukan itu pada Yume, lalu menarik belatinya.

Kau mencoba menghibur temanmu, ya? Bagus juga, tapi bukan itu yang perlu kau pikirkan saat ini.

Mogzo dan Ranta mulai menyerang para goblin. Goblin yang menggunakan kapak dan pedang menghalangi mereka, dan itu memberi waktu bagi temannya untuk meraih kembali tombaknya. Haruhiro menggunakan Backstab pada Goblin berpedang. Serangan itu hanya menggoresnya. Dan itu membuat si Goblin kini terfokus padanya. Ranta menghadapi Goblin berkapak, dan Mogzo menghadapi Goblin bertombak. Tapi Goblin bertombak itu gerakannya cepat juga. Dengan cepat dia menusukkan tombaknya pada Mogzo. Untungnya Mogzo masih bisa menahan itu dengan lengannya, lalu menangkis dengan pedang besarnya. Untuk seukuran pria besar, gerakan Mogzo cekatan juga. Yume mengeluarkan parang lalu menyerang. Sepertinya dia akan membantu Haruhiro. Sebagai Hunter, dia cukup berani menyerang. Dia menggunakan teknik Diagonal Cross. Tapi si Goblin berpedang melompat mundur untuk menghindarinya. Yahh, bagaimanapun juga itu serangan yang cukup bagus. Apakah Yume lebih cocok untuk pertempuran jarak dekat?

“Ohm, rel, dll, vel, darsh…!”

Shihoru menggunakan Shadow Beat lagi. Sepertinya dia mencoba membantu Mogzo, tapi jarak Goblik bertombak cukup jauh. Elemental bayangan yang diluncurkan Shadow Beat bergerak semakin melambat. Agaknya sulit mengenai target dari jarak sejauh itu. Tapi setidaknya bidikan Shihoru sudah bagus. Setelah beberapa kali serangan, akhirnya keseimbangan tubuh Goblin bertombak sedikit terganggu, maka Mogzo tidak melewatkan kesempatan itu dengan menebaskan pedang besarnya. Tapi sekali lagi, jarak jangkauannya masih cukup jauh. Dan benar saja, si Goblin menghindar sehingga Mogzo hanya menebas angin. Apakah dia tidak paham teori jangkauan serangan? Apakah dia tidak pernah melawan musuh yang menggunakan tombak sebelumnya?

Ranta sedang disibukkan Goblin berkapak. Sepertinya dia kewalahan, tapi.... tidak bisakah kau bergerak lebih baik dari itu? Gerakan Ranta sungguh tidak efektif. Dia banyak sekali membuat gerakan yang tidak perlu. Atau.... memang seperti itukah gaya bertarung Dark Knight? Aku tidak percaya ini. Jadi, Dark Knight sering melompat-lompat ke berbagai arah, namun sebenarnya serangannya tajam juga. Ah, aku tidak begitu paham, bagiku dia hanya terlihat seperti katak yang kebingungan.

Haruhiro dan Yume unggul dalam jumlah. Mereka berdua mengeroyok seekor Goblin. Harusnya itu tidak masalah.

Mogzo hampir saja tertusuk tombak si Goblin, dan itu membuatnya mundur beberapa langkah. Goblin bertombak itu hanya akan membuat situasi semakin buruk. Terlihat jelas, Mogzo kurang pengalaman melawan musuh seperti itu. Seolah, dia tidak tahu harus bagaimana. Tapi sayangnya, aku lebih parah dari dia, karena aku seorang Priest yang sama sekali tidak pernah bertarung. Jadi, meskipun bisa menganalisa, aku tidak berhak menyuruhnya melakukan ini dan itu. Lagipula, aku bukan rekannya..... eh, tidak.... saat ini secara teori aku rekannya.

“Aduh…!”

Paha kiri Ranta tersayat, lalu dia melompat mundur seperti katak. Goblin lebih pendek dari manusia. Harusnya dia hati-hati menerima serangan dari bawah, tapi teori sederhana seperti itu pun sepertinya dia tidak tahu.

“Yume, aku akan mengurus yang ini, kau hadapi Goblin berkapak!”

Haruhiro coba menyuruh Yume membantu Ranta? Tampaknya dia menyadari Ranta kesulitan, untungnya dia cukup tanggap. Tapi, apakah keputusannya itu tepat? Apakah Ranta benar-benar membutuhkan bantuan? Bagaimana dengan dirinya sendiri?

“Mary, sembuhkan Ranta!”

“Tidak,” jawabku segera.

"Tidak?! Hah? Kenapa tidak?!" Ranta protes.

“Lukamu tidak parah, jadi tidak perlu segera disembuhkan. Tahan saja dulu.”

"…K-kau…!" Ranta melampiaskan amarahnya pada Goblin berkapak.

Lihat? Dia baik-baik saja.

“Sial, sial, sial, sial! Jangan sombong hanya karena kau lumayan..... tidak.... sangat cantik!! Sial! Sial! Sial!”

“Katanya tadi sakit, Ranta?”

“Aku benar-benar kesakitan! HATRED…!"

Ranta mengayunkan pedangnya ke bawah secara diagonal pada lawannya. Tapi lagi-lagi, jaraknya terlalu jauh, maka si Goblin bisa menghindarinya dengan mudah.

“Lihat, aku sampai berdarah?! Tentu saja ini menyakitkan! Sakit, sakit, sakit! Sial!!”

Sekarang giliran Yume terluka, si Goblin berpedang menyayat kakinya. Itu membuat Yume jatuh terduduk sembari menjerit terkejut. Aku hampir saja bertindak, tapi di sana ada Haruhiro. Aku masih harus melindungi Shihoru, dan kita tidak tahu kapan bala bantuan musuh datang. Di sisi lain, para Goblin ini tampaknya juga bersiap melarikan diri. Maka aku ragu, apakah mereka akan memanggil bala bantuan, atau melarikan diri.

"Awas kau…!" Haruhiro mencoba menyela di antara Goblin berpedang dan Yume. Makhluk itu pun lari. Tidak sendirian, melainkan bersama dua teman lainnya.

Haruhiro tampak tercengang. Ranta tampak frustrasi. Sebaliknya, Mogzo, Yume, dan Shihoru tampak lega.

"Kalian semua lelah." aku mengatakan pendapat jujurku pada mereka. Mungkin harusnya tidak kulakukan itu. Tapi kali ini aku tidak bisa menahan diri. Haruhiro memelototiku, tapi dia tidak menjawab. Andaikan dia balas mengomel padaku, aku pasti sudah kehabisan kesabaran di Party ini.

Untunglah, kalian masih mujur kali ini. Tapi kalau begini terus, kalian akan merasakan akibatnya kelak.

Aku sih tidak peduli. Semuanya tidak ada hubungannya denganku. Karena kalian bukan rekanku. Aku tidak pernah menganggap kalian teman, mungkin begitu pun sebaliknya.

Kalau boleh saran, mengapa kalian tidak berhenti saja menjadi pasukan relawan? Sepertinya kalian tidak cocok dengan profesi ini. Meskipun, aku tahu tidak mudah mendapatkan pekerjaan lain.

Altana adalah kota yang juga bertindak sebagai benteng terdepan Kerajaan Aravakia. Di sini merupakan markasnya pasukan perbatasan, yang didukung oleh pasukan relawan. Pasukan perbatasan adalah militer berpengalaman, jadi tidak mudah bergabung dengan mereka. Sedangkan, banyak orang bekerja untuk profesi lainnya, seperti pandai besi, pengrajin, pedagang, dll. Menjadi salah satunya juga membutuhkan banyak uang. Sebenarnya masih ada pekerjaan lain seperti buruh, tapi gajinya sedikit dan kerjanya berat. Kalau kau wanita, kau juga bisa bekerja di kedai, dan bisnis sejenisnya, tapi itu pun tidak mudah. Jadi, ironisnya pasukan relawan adalah salah satu pekerjaan terbaik, karena kita memang tidak punya banyak pilihan. Memang seperti inilah dunia ini, bahkan kau boleh menduga ada konspirasi di balik sistem yang bekerja di sini.

Kami menyelesaikan pekerjaan hari itu. Aku menyebutnya bekerja, tetapi penghasilan kami nol. Aku sedang bokek, jadi aku tidak pergi ke Kedai Sherry malamnya, melainkan hanya berdiam diri di kamar.

Untungnya, penginapanku memiliki kamar mandi yang baik. Jika tidak ada yang kulakukan, biasanya aku berendam di bak tengah malam. Aku orangnya sering tidur terlambat.

Airnya cukup hangat, tapi aku perlu menambahkan air panas lagi untuk menjaga suhunya. Itu agak merepotkan, tapi aku sudah biasa melakukannya. Seolah pikiranku kembali normal saat merendam kepala dan badanku pada air hangat.

Aku adalah seorang prajurit relawan, jadi mandi bukanlah prioritas utamaku. Tapi, jujur saja, tanpa berendam seperti ini di air hangat, mungkin aku sudah depresi sejak dulu.

Ritualku ini tidak selalu bisa menyegarkan kembali kondisi mentalku. Saat berendam, aku harus benar-benar mengosongkan pikiran, dan itu tidak selalu berhasil. Beberapa kali, aku tetap saja memikirkan hal-hal yang ingin kulupakan.

Apakah aku harus berburu lagi dengan bocah-bocah itu besok? waktu itu, itulah pertanyaan yang menghantuiku. Memikirkannya saja membuat perutku sakit. Sepertinya tidak.... pikirku lagi. Aku tidak pernah sekali pun mengabaikan pekerjaan yang sudah kusanggupi. Tapi, buat apa aku berprinsip seperti itu? Kali ini, sepertinya tidak apa-apa jika aku berhenti.... Sayangnya aku juga ragu melakukannya tanpa membicarakannya dengan bocah-bocah itu. Aku tidak bisa bekerja dengan mereka. Mereka terlalu menyedihkan, dan aku masih sayang nyawa.

Kalian ingin mati, kan? Itulah kenapa kalian begitu payah. Kalau kalian ingin mati, ya matilah. Jangan bawa-bawa aku.

Tidak.

Tentu saja tidak. Siapa yang mau mati. Jika mereka mau mati, mengapa harus menyewa Priest segala. Bocah-bocah itu sedang berusaha yang terbaik dengan cara mereka sendiri. Hanya saja, mereka masih amatir. Sepertinya mereka juga frustasi karena semua usahanya belum membuahkan hasil. Proses dari dasar memang menyakitkan. Aku juga pernah mengalaminya. Posisiku mungkin sedikit lebih baik dari mereka, tapi dulu aku juga merasakan kesusahan yang sama. Aku dan teman-temanku selalu mengatasinya, dan terus berusaha lebih baik. Sayangnya, di kala semuanya sudah membaik, kami besar kepala, dan akhirnya tragedi itu terjadi.

Semua orang membuat kesalahan. Tidak ada yang tahu apakah kesalahan itu bisa diperbaiki tau tidak. Yang jelas, kita harus belajar dari kesalahan. Agar tidak terjadi hal serupa. Boleh dibilang, selama masih hidup, kita harus bersiap membuat kesalahan selanjutnya.

Jadi, selama bocah-bocah itu masih hidup, mereka akan terus memperbaiki diri hari demi hari. Mereka hanya perlu bertahan lebih lama. Asalkan tidak mati, semuanya masih bisa terjadi.

Aku pun bergumam, “Ayo lakukan lagi,” lalu kutenggelamkan mulutku dalam air hangat. Aku bukan rekan mereka. Tapi aku sudah menyanggupi tawaran mereka. Aku akan terus bekerja sebagai Priest mereka. Agar bocah-bocah itu terus hidup sampai hari esok. Aku akan terus bekerja sampai mereka lelah berurusan denganku. Hanya itu yang bisa kulakukan. Karena.... aku sudah tidak punya apapun lagi.

Bab 6 : Keseruannya Baru Saja Dimulai.[edit]

1. Bersikap Normal[edit]

"Baiklah." di halaman wisma pasukan relawan, Haruhiro melihat barisan koin-koin di atas meja, yang sebenarnya tidak terlalu banyak. "Huff…" dia pun menghela napas panjang.

Ada koin tembaga.

Ada juga koin perak. Sekeping perak nilainya 100 tembaga.

Dan di antaranya, ada koin emas.

Koin emas benar-benar terbuat dari emas, yang nilainya 10.000 koin tembaga.

Semuanya ada 100 koin tembaga, 99 koin perak, dan 29 koin emas. Jika dijumlah, kira-kira nilainya 30 koin emas.

“Aku sudah memikirkannya, dan mendengar dari kalian semua, tapi.... yahh, kita akan membaginya sama rata.”

“Ya!!”

Ranta mengulurkan tangan, dan menyambar lima koin emas.

“Gwehehehehe! Dengan lima koin emas ini aku bisa membeli apapun di dunia ini! Saat-saat kejayaanku akan segera tiba!”

"Kita semua tahu kau akan menghabiskannya untuk hal-hal bodoh ..."

"Hah?! Apa kau mengatakan sesuatu, Shihoru?!”

“… Tidak juga, tidak.”

“Ya, kau mengatakan sesuatu! Aku mendengarmu dengan jelas! Kau bilang aku akan menghabiskannya untuk hal-hal bodoh, kan!? Enak saja kau bilang begitu!!”

“Kalau begitu, mau kau buat apa uang itu?”

Saat Mary menanyakan itu dengan tatapan mata tajam, Ranta segera berdahem, lalu membusungkan dadanya, "Ahem." Matanya tampak berkilau.

“Aku senang kau menanyakannya! Aku akan menggunakannya untuk berinvestasi masa depan.”

“Ohh…” mata Mogzo melebar. Sedangkan Yume hanya memiiringkan keplanya ke samping dengan bingung.

“Hibernasi…?”

“Tidak, in-ves-ta-si! Dasar bodoh!”

“Jangan sebut Yume bodoh!”

“Kenapa aku tidak boleh menyebutmu bodoh!? Bodoh! Bodoh!”

“Orang yang menyebut orang lain bodoh itulah yang bodoh!”

“Lah, berarti kau juga bodoh dong. Karena kau juga menyebutku bodoh!”

“Murrrrrrrrrrrrrrrrrrrrgh…!”

“Hmph!”

Ranta dan Yume saling membuang muka secara bersamaan.

“J-Jadi......” Mogzo menyela, mungkin dia coba menengahi keduanya, “...k-kau akan berinvestasi apa, Ranta-kun? Belajar skill baru?”

“Y-Ya.” Ranta bersedekap, lalu segera membalasnya. Kalau dilihat dari wajahnya, sepertinya bocah ini belum memikirkan apapun soal investasi itu. “Y-Yahh, kurang lebih begitu. Kau sendiri tahu kan, investasi yang.... yang.... duh, bagaimana ya bilangnya. Pokoknya, uang ini akan kugunakan untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Sehingga aku bisa menjadi pria sejati..... yahh, seperti itulah....”

Shihoru menatap Ranta dengan tatapan jijik. Melihat itu, Haruhiro tampak menyadari sesuatu. Oh.... menjadi pria sejati, ya.... jadi itu maksudnya.

“Oh itu toh …”

Saat Haruhiro bergumam sendiri, nadi di pelipis Ranta berkedut. Entah kenapa dia marah lagi.

“A-apa maksudmu!? Itu apa!!?”

"…pokoknya itu........."

"Katakan! Katakan saja! Kau membuat suasana jadi canggung!!”

“Kalau Shihoru, uangnya buat apa?”

"…a-aku…"

“Oh ayolaaahh! Jangan abaikan aku!”

“Kau berisik, Ranta.”

"Diam! Dada papan jangan banyak omong!”

“Jangan sebut dada papan!”

“U-Um!”

Jika Mogzo tidak menyela, mungkin Ranta dan Yume akan terus bertengkar.

“Erm, kurasa aku akan membawa pedang Death Spot ke pandai besi, lalu membenarkannya agar bisa kupakai lagi. J-jadi.... mungkin ada yang mau pergi bersamaku?”

“Tentu…” Haruhiro mengangkat tangannya. "Aku ikut."

“Kalau begitu aku juga ikut.”

Haruhiro tidak menyangka Mary mengatakan itu, lalu........

Mereka saling pandang. Mary menatap Haruhiro, dan begitupun sebaliknya.

Secara tidak sengaja, itu berlangsung selama beberapa detik.

Dia malu, dan ingin segera membuang muka. Suasana pun semakin canggung.

Apa yang harus kulakukan?

Haruhiro adalah orang yang pemalu, tentu keadaan seperti itu menyiksanya. Dia ingin segera mengakhirinya. Dia harus melakukan sesuatu.

"Y-Yah......"

Haruhiro mencoba tersenyum.

Tidak, apakah tersenyum adalah tindakan yang tepat? Seolah-olah aku kegirangan. Bukankah itu semakin membuat canggung? Bisa terjadi kesalahpahaman di antara kita. Tapi, jujur saja.... hatiku merasa senang.... bolehkah aku senang? Ataukah aku harus diam saja? Bukankah itu semakin aneh? Mengapa aku jadi salah tingkah begini....

Haruhiro tidak tahu apa yang terjadi, tapi dia berusaha sebisa mungkin terlihat normal, sembari berkata, “Ayo....”

Mary mungkin bertingkah normal. Tidak.... tidak terlalu normal juga.... setidaknya, dia pasti berpikir, ’Ada apa orang ini...?’, yahh itulah yang tercermin dari wajahnya.

Jujur, aku penasaran apa yang dia pikirkan....

Grimgar Vol 14++ (7).jpg

2. Mimpi Trigon[edit]

“Haruhiro-kun. Mary-san. Kalian berdua, terima kasih.”

Sembari berjalan di jalanan distrik pengrajin, dan membawa pedang Death Spot yang legendaris, senyum bahagia terukir di wajah Mogzo. Jarang sekali dia menunjukkan kegirangannya seperti itu.

“Oh tidak masalah, santai saja…” Haruhiro menjawab pelan, lalu tertawa.

“Tidak masalah.”

Apa yang dipikirkan Mary saat memberikan jawaban singkat seperti itu? Apa yang dia rasakan? Sepertinya tidak ada yang spesial. Mary selalu tampak normal. Meski begitu, itu membuat Mary tampak cukup berbeda dengan Mary dulu, yang baru saja bergabung dengan Party ini. Sepertinya dia sudah terbiasa bersama Party ini. Tapi, tetap saja terasa semacam jarak yang memisahkan mereka. Begitupun dengan anggota wanita lainnya seperti Yume dan Shihrou, Mary agaknya tidak begitu akrab dengan mereka. Meskipun, jarak itu perlahan terasa berkurang. Mungkin, itulah kenapa Mary mau pergi bersama Mogzo dan Haruhiro pada hari itu. Jadi, jangan harap Mary merasakan suatu hal yang spesial, atau apa.

"…Yahh.... sepertinya begitu......"

“Haru? Kau mengatakan sesuatu?”

"Hah? A-Aku? Benarkah…?”

"Aku yang bertanya."

“Oh ya? Ah, benar. T-tidak juga..... a-aku hanya berbicara sendiri. Aku tidak bermaksud apapun. Sesekali aku bergumam sendiri seperti itu.”

“Ohh.” Mary memberikan sedikit senyuman, lalu menarik napas lega. “Yahh, kadang-kadang aku juga melakukan hal yang sama.”

"Benarkah?! Sama ya.... kenapa begitu....”

“Aku—” Mary mulai mengatakan sesuatu, lalu, “.....ah tidak.... lupakan." lalu dia menggelengkan kepalanya.

"Hah? A-Apa? Katakan saja."

"Aku hanya…"

"Hanya apa?"

“Selama ini aku selalu sendiri, jadi itulah kenapa....”

Urgh… Haruhiro merasakan sesuatu yang sesak di dadanya.

Sejujurnya, dia ingin berteriak lepas.

Maryyyyy…! Hentikan! Maryyyy…?!

Jangan katakan itu…!

Ya, orang yang meminta Mary berterus terang adalah Haruhiro sendiri, tapi saat mendengar Mary yang selalu sendiri, dia mulai salah tingkah.

Jangan katakan itu, Mary....

Kau tahu kan, aku adalah pemimpin Party ini. Eh, benarkah aku pemimpinnya? Yahh, setidaknya aku tahu peranku sebagai pemimpin. jadi aku tidak boleh mencampuradukkan urusan pribadi dalam tim. Mary pasti punya alasan pribadi, jadi aku tidak boleh mengetahuinya. Lagipula, kita teman. Ya, kita hanya teman! Jadi, aku..... aku.... aku hanya mengkhawatirkannya sebagai teman. Ya, itu dia! Kalau begitu tidak apa-apa, kan?

“Ahh, erm… d-di saat seperti itu…”

“Saat seperti itu?” tanya Mary sambil berkedip. Wajahnya tampak kosong. Mengapa begitu? Apa maksudnya? Mary itu..... yahh, sebut saja cantik. Tapi dia terkesan jutek saat pertama kali bertemu. Belakangan ini sikapnya sudah cukup melunak, tapi jelas dia bukan orang yang ekspresif. Dari apa yang dibilang Hayashi, Mary pernah menjadi gadis yang begitu periang, namun tragedi itu agaknya menjadi trauma baginya. Sakitnya kehilangan orang terdekat pasti merubah sikap periang Mary. Dia pun terpaksa berubah. Tidak ada paksaan juga agar dia kembali ceria. Tapi, dari lubuk hatinya yang terdalam, Haruhiro ingin agar Mary kembali tersenyum seperti dulu.

Tatapan kosong Mary membuat Haruhiro terkejut. Sepertinya, baru pertama kalinya dia melihat wajah Mary seperti itu.

Wajah kosong itu terlihat, polos.... bersih.... murni, dan.... ah, gimana ya bilangnya....

Pokoknya.... manis gitu lah.

Manis ya?

Ah tidak juga, tapi tidak salah juga. Malahan... mungkin itu benar? Ya, itu benar sekali!

“…S-saat seperti itu.... uh, ya saat seperti itu.... seperti itu, ya? Hah....?

Apa sih maksudnya?

Saat seperti itu? Seperti apa maksudnya? Sebenarnya apa sih yang sedang kita bicarakan? Haruhiro tidak tahu. Lalu, apakah dia harus bertanya lagi padanya? Padahal Haruhiro sendiri yang mulai. Aneh, kan? Sebenarnya, apa yang Haruhiro ingin katakan? Apa ya? Dia mencoba mengingatnya kembali. Tapi tidak bisa.

“I-Itu sering terjadi, kan? Selalu ada saat-saat seperti itu.”

Dia harus menyelesaikan ini. Ya, dia telah memutuskannya.

Mary mengernyitkan alisnya, tampak sedikit ragu, tapi kemudian dia bilang, "Memang," tampaknya dia setuju dengannya. Apakah dia benar-benar setuju? Apa yang dia setujui? Ah, itu tidak penting. Mungkin Mary hanya tidak ingin berdebat, mungkin dia tidak ingin pembicaraan ini semakin canggung dan tidak jelas arahnya, mungkin itu hanya kebaikan Mary saja.

Kau tidak perlu begitu, Mary! Akulah yang salah! Akulah pemimpin Party ini, maka aku yang harus disalahkan! Apa yang telah kulakukan? Aku gagal sebagai pemimpin. Tidak, bahkan lebih buruk dari itu, aku gagal sebagai manusia! O-oh oke.... mungkin itu terlalu jauh. Itu terlalu lebay. Ah, terserahlah....

“Oh! Itu dia."

Mogzo tiba-tiba berhenti, menunjuk ke jalan sempit di sebelah kiri mereka. Ketika Haruhiro melihatnya, ada pertigaan di ujung jalan pendek, dan sebuah bangunan batu di sana yang bertuliskan.....

Bengkel Masukaze, begitu bunyinya.

"Tempatnya agak terpisah, ya?"

“Y-Ya.” Mogzo terdengar agak tegang. Wajahnya pun tampak sedikit kaku. “Katanya, bengkel ini dikelola oleh seorang pandai besi yang handal. Tapi, orangnya agak aneh. Maksudnya, dia hanya menerima pekerjaan tertentu saja....”

Haruhiro melihat pada pedang Death Spot, yang Mogzo sedang dipikul di bahunya.

"Oh ya? Nah, apakah dia mau menggarap pedang itu...”

"Tidak tahu, aku juga penasaran.”

“Kalau begitu kita coba saja....”

Atas desakan Mary, mereka bertiga berjalan menyusuri jalan sempit itu, sampai ke bengkel yang dimaksud. Pintu Bengkel Masukaze terbuat dari baja. Ada pola yang diukir di seluruh permukaannya, dan juga dihiasi oleh logam kehitaman. Pola-polanya tampak dibuat dengan halus. Bahkan seorang amatiran pun tahu itu pekerjaan profesional. Kalau dilihat lebih dekat, papan nama Bengkel Masukaze juga terbuat dari besi, dengan aksen yang sama.

Ketika mereka membuka pintu dan melihat ke dalam, "Wah!" Mogzo pun tersentak. Bukan hanya dia, Mary dan Haruhiro juga menunjukkan reaksi yang sama.

Ada begitu banyak senjata yang berjajar di dinding dan etalase. Semuanya tampak bagus. Tapi, yang paling menyita perhatian adalah, sesuatu yang berdiri di tengah ruangan, bukankah itu........ kuda besi? Iya, kan? Tidak.... itu bukan kuda.

Kalau kuda, harusnya punya 2 kaki di depan, dan sepasang lagi di belakang. Tapi kakinya digantikan oleh benda mirip roda. Dua di depan, dan satu di belakang, Totalnya ada tiga roda yang seolah menggantikan fungsi kaki.

Lalu, benda apa itu? Bukankah kita bisa menyebutnya.... kuda beroda?

Kepalanya seperti kuda, tapi tidak mirip. “Apa itu?” mungkin kau akan mengatakan itu jika melihatnya sendiri. Tapi, tentu saja Haruhiro tidak tahu jawabannya. Kalau tidak salah, naga yang banyak dirumorkan oleh orang-orang bentuk kepalanya seperti itu. Jadi, itu adalah patung kuda beroda dan berkepala naga?

“Oh! Selamat datang!"

Seorang pria keluar dari belakang. Sepertinya di situlah bengkelnya.

Pria itu berambut panjang, dan mengenakan celemek bengkel. Dia tidak begitu besar, tidak begitu gendut, tapi cukup berotot. Sulit menebak usianya. Mungkin dia jauh lebih tua dari Haruhiro, tapi sepertinya 10 tahun yang lalu pun penampilan pria itu sudah seperti itu. Jadi, dia tidak begitu menua. Setidaknya, itulah yang orang bisa simpulkan saat melihatnya.

Dia tersenyum, lalu melambaikan satu tangannya sembari mendekati mereka bertiga. Kelihatannya sih dia cukup ramah. Tapi, meskipun menyapa mereka, tatapan matanya tertuju pada hal lain.

“Halo, orang-orang memanggilku Riyosuke. Aku seorang pandai besi.” pria itu menepuk kuda naga beroda sembari memperkenalkan dirinya. "Ada perlu apa kalian kemari?”

“Y-Ya!”

Mogzo menurunkan pedang dari bahunya. Pada saat yang sama, Riyosuke melihat pedang itu dengan kilauan antusias di matanya.

Rupanya dia sedang mengamati pedang itu dengan seksama. Dia begitu terpaku padanya. Pedang Death Spot itu begitu mencuri perhatiannya. Tentu saja, dia mengabaikan yang lainnya, apalagi mata mengantuk Haruhiro. Seseorang tidak akan tahan lama melihat mata membosankan seperti itu. Mungkin seseorang hanya tahan melihatnya 10 detik... ah tidak, 5 detik saja.

"Uwahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh."

Akhirnya dia tidak tahan lagi, Riyosuke segera melesat pada Mogzo dan meraih pedang itu. Dia menggenggam pedang dengan kedua tangannya, matanya terus memperhatikan setiap lekukan dari pedang itu mulai bawah sampai atas. Mogzo terkejut sampai mundur beberapa langkah dibuatnya, sedangkan Mary dan Haruhiro hanya berdiri bersebelahan. Mereka terlihat kompak.... ah tidak, sebenarnya Haruhiro tidak punya pilihan lain. Dia hanya berdiri, eh tiba-tiba Mary menempatkan diri di sebelahnya, dan itu membuatnya tidak bisa bergerak se-inchi pun. Bukan berarti Mary sengaja mendekati Haruhiro, yahh.... kebetulan saja seperti itu.

Kembali pada Riyosuke, dia memperhatikan setiap sudut pedang itu, mendekatkan dan menjauhkan pandangannya, memutar-mutarnya, dan terus memeriksanya dengan begitu antusias.

Sampai kapan dia mau mengamatinya?

Sampai besok pagi?

Atau selamanya…?

Setelah beberapa waktu berlalu, sampai-sampai Haruhiro mempertanyakan hal seperti itu, akhirnya Riyosuke berkomentar dengan bisikan, “Menarik…”

“Menarik.... benar-benar menarik. Pedang ini unik dan ideal. Ada sejarah panjang yang tersimpan di dalamnya. Hebatnya, pedang ini hanya terbuat dari satu bagian. Yahh.... aku paham...... aku paham.... jadi begitu ya.... itulah kenapa.... hmmm, karena itulah jadi begini.... ya, pasti itu sebabnya. Aku tidak menyangka bisa seperti itu. Tapi, memang begitulah faktanya.... aku paham.”

Riyosuke melirik Mogzo.

“Bolehkah aku memiliki ini?”

“Ap—” Mogzo terdiam. Dia kehabisan kata. Ya, tentu saja, lagian kenapa susah-susah bawa pedang sebesar itu ke sini hanya untuk diberikan.

"Tidak!" Haruhiro menyela, “K-kau tidak boleh memilikinya! Itu aneh, kan!? Karena pedang itu milik kami! Sebenarnya, kami datang ke sini untuk membenarkan pedang itu agar bisa dipakai lagi.”

“Aku kan hanya bercanda,” kata Riyosuke sambil tersenyum, lalu dia melihat lagi pedang itu sembari mendecakkan lidahnya.

“…Kau baru saja mendecakkan lidahmu. Itu tandanya kau menyesalinya.”

Ketika Mary dengan pelan mengatakan itu, Ruyosuke hanya tersenyum kecut.

“Itu juga bercanda.”

"Benarkah ...?"

Haruhiro secara refleks mempertanyakannya.

“Duh, tentu saja,” kata Riyosuke, sembari melihat pada kuda naga beroda karena suatu alasan. "Oh ya, ngomong-ngomong, menurut kalian bagaimana patung ini? Cukup unik, kan?”

Mogzo tampak terpangah sembari berkata, “Oh, ya,” lalu dia mengangguk. “I-itu keren… ya. A-apakah kau yang membuatnya, Riyosuke-san?”

"Iya. Betul sekali. Akulah yang membuatnya. Keren, kan? Terimakasih telah memujinya.”

"Patung apa itu?"

Riyosuke segera menjawab pertanyaan Mary, "Sebentar, kuputar dulu.... menurut kalian patung apa ini?”

"…Kuda?"

"Ya. Salah satu wujudnya memang kuda.”

"Tapi kepalanya.... seperti naga?" Haruhiro menambahkan.

“Memang,” kata Riyosuke dengan anggukan, “Aku membayangkan naga saat membuat kepalanya. Aku pernah bertemu seekor naga saat masih menjadi prajurit relawan. Ya, hanya seekor.”

"Oh, jadi kau pernah menjadi pasukan relawan?”

“Aku sudah lama berhenti, sih.”

“Kuda dan naga…” Haruhiro melihat ke arah roda di kakinya.

"Kok kakinya roda?"

“Ah, ini.” ekspresi wajah Riyosuke tiba-tiba berubah. “Aku pernah melihatnya dalam mimpi. Sepertinya roda ini dari suatu kendaraan. Aku menyebutnya ‘Trigon’, yang merupakan perpaduan naga, kuda, dan kendaraan.”

“Trigon…”

Mogzo menatap Trigon dengan penasaran, lalu menghela nafas.

Kalau Haruhiro, dia hanya berpikir, ’Terus? Benda apa ini sebenarnya? Sepertinya bukan senjata. Jadi ini kendaraan? Kita bisa menunggang di punggung kudanya? Tapi sepertinya benda ini terlalu berat ditarik seperti kereta. Apa ini hanya patung yang tidak perlu digerakkan?”

"Yahh, sebenarnya patung ini hanyalah makhluk khayalan yang sebagiannya muncul di mimpiku," Riyosuke berkata dengan senyum ramah, “Maaf telah berbagi cerita yang aneh. Terimakasih sudah mendengar ocehanku. Aku senang bisa berbagi cerita dengan kalian. Aku masih ada kerjaan, jadi kita tinggalkan saja patung ini.”

“Oh, sama-sama…” Mogzo menundukkan kepalanya, tapi— Tidak, tidak, tidak.

“T-Tunggu!” Haruhiro memanggil Riyosuke.

"Pedang! Kenapa kau bawa pedangnya! Itu milik kami! Kau coba mencurinya secara halus atau apa??”

“Yah... ketahuan, ya?” Riyosuke kembali berbalik pada mereka dengan pedang di tangannya. Dia pun hanya tersenyum. "Aku hanya bercanda."

"Sepertinya kau serius ..."

“Aku hanya mencoba, siapa tahu beruntung, hahaha....”

"Beneran nih kita mau memperbaiki pedang di sini?” kata Mary dengan suara rendah, namun bisa didengar oleh Mogzo, Haruhiro, bahkan Riyosuke sendiri. “Tidak bisa cari pandai besi lain saja?”

“Um, er…” Mogzo bergumam, wajahnya jelas-jelas tampak gelisah. Haruhiro tampak ragu apakah bisa mempercayai pandai besi ini atau tidak.

"Percayalah padaku.... kumohon....."

Di antara mereka, hanya Riyosuke yang mempercayai dirinya sendiri.

“Aku yakin kalian akan puas dengan pekerjaanku. Oh ya, biar kuhitung sebentar, lalu kuberitahu kalian harganya. Kalau cocok, aku tidak masalah dibayar belakangan. Aku akan menyelesaikannya 4 hari lagi. Tenang saja, kalian sudah berada di tempat yang benar.”

3. Kepiting Boston[edit]

Pandai besi Riyosuke dari Bengkel Masukaze memaksa mereka untuk menggunakan jasanya. Dia mematok biaya sebesar 40 perak, dan itu tidak mahal, sehingga Mogzo pun menyetujuinya. Atau lebih tepatnya, dia tidak bisa menolak karena si pandai besi terlalu memaksa.

Sembari menunggu pedangnya selesai digarap, yang lainnya memutuskan untuk belajar Skill baru.

Mogzo mencoba belajar skill bertarung dengan armor berat, Steel Guard. Secara teknis, dia belajar menggunakan armornya untuk mendorong balik musuh. Memang seperti itulah Mogzo, dia selalu ingin melindungi teman-temannya, padahal seharusnya dia memilih skill bertarung dengan pedang, karena pedang Death Spot akan selesai diperbaiki beberapa hari lagi.

Ranta memilih belajar Dread Aura. Itu semacam sihir yang memberikan kekuatan Skullhell pada Dark Knight, atau semacamnya. Skill-nya yang terakhir, Dread Teller, telah gagal karena Ranta tidak bisa menggunakannya dengan praktis dalam suatu pertempuran. Katanya, Dread Aura lebih gampang digunakan dengan perapalan mantra yang simpel, jadi harusnya lebih berguna.

Yume rupanya coba belajar Weasel Somersault. Itu adalah teknik bertarung menggunakan parang. Secara teknis, yang dia pelajari adalah gerakan salto untuk menghindari serangan lawan, atau menjauhkan diri darinya. Meskipun Yume adalah seorang Hunter, dia lebih sering bertarung dalam jarak dekat atau menengah, ketimbang menggunakan panah. Harusnya Skill itu juga berguna baginya,

Shihoru coba mempelajari mantra pengalih perhatian, Shadow Complex. Itu adalah sihir Darsh yang membingungkan targetnya. Tujuannya bukanlah memberikan luka yang fatal pada musuh, melainkan mengganggunya.

Katanya Mary mau mempelajari Protection. Itu adalah Skill yang bisa meningkatkan kekuatan enam orang sekaligus dengan memanfaatkan berkah perlindungan Luminous. Mengapa enam? Simbol Luminous adalah heksagram, sehingga angka 6 dianggap suci, mungkin seperti itulah kaitannya. Bahkan, ada teori yang mengatakan bahwa mantra inilah yang menjadi pertimbangan mengapa suatu Party pasukan relawan umumnya beranggotakan enam orang. Karena jumlahnya pas, tentu saja sihir itu akan membuat Party mereka lebih kuat. ’Aku ingin membuat rekan-rekanku lebih kuat.’ Mungkin seperti itulah yang Mary pikirkan.

Lalu, kalau Haruhiro…

“Aduh, duh, duh, duh, duh, duh, duh, duh, duh, duh, …?!”

"Kamu ceroboh, Kucing Tua."

"Sakit tahu!"

“Jelas lah. Tentu saja menyakitkan. Aku memuntir pergelangan tangan dan sikumu.”

“Aduh, sakit! Tunggu—Barbara-sensei! Kau bisa mematahkannya…!”

"Tidak, tidak... kalau mau mematahkannya, aku akan melakukan ini....!”

“Gwaoh…!”

Suara apa itu barusan? Krak!? Suara itu dari siku Haruhiro, kan?

“Aghhhhhhhhh?! Owwwwww…?!”

"Hanya bercanda. Aku tidak akan mematahkannya, oke? Aku hanya membuatnya terkilir. Kalau kuputar lagi, semuanya akan kembali normal, seperti ini.....!”

“Ga…!”

"Nah, kan....."

Sembari mengunci kuat pergelangan tangan dan siku kanan Haruhiro, dia mendekatkan wajahnya, sehingga pipi mereka hampir bersentuhan.

“Sudah tidak sakit lagi, kan?”

“…S-sakit…? Sakit sekali…”

“Kau memang payah. Kali ini, aku benar-benar akan mematahkannya!”

“Agyagh?!”

Kali ini benar-benar patah..... pikir Haruhiro. Tapi entah kenapa akhirnya Barbara melepaskannya.

Barbara-sensei masih berada di dekatnya, lalu dia tertawa cekikikan.

Saat Haruhiro sudah cukup tenang, dia segera menyerangnya lagi. Dia coba menghindar dengan serius.... tidak, lebih tepatnya dengan pasrah. Tapi percuma, tak lama berselang Barbara-sensei kembali mengunci pergelangan dan siku Haruhiro lagi, kemudian menekuknya seperti tadi.

“Ini adalah Arrest. Berapa kali harus kupraktekkan sampai kau paham? Hm, Kucing Tua? Kau beneran sudah tua? Jadi, kau sudah pikun?”

“…J-jangan mengajarkannya cepat-cepat…”

"Mau lebih lambat? Kalau misalnya kubunuh gimana? Mau mati dengan lambat?”

“T-Tidak, bukan itu. Aku tidak bisa mempelajarinya kalau terlalu cepat....”

“Oh. Aku mengerti. Kau benar juga.”

Barbara-sensei dengan cepat melepaskannya.

"Hah…?"

Ini mencurigakan. Terlalu mencurigakan. Barbara-sensei adalah orang yang penuh dengan kejutan. Tentu saja dia akan melakukan trik lainnya pada Haruhiro.

Kali ini, sembari mengamati dengan tegang, Barbara-sensei dengan halus meraih lengan kanan Haruhiro.

"Pertama, seperti ini."

“Eh… iya......”

“Lalu, seperti ini—”

Kali ini dia tidak melakukannya dengan kasar, tapi Haruhiro tetap saja tegang. Ada apa ini..... mungkinkah, karena hal lain? Mungkinkah karena mereka terlalu dekat? Mungkinkah karena pakaian Barbara-sensei yang terlalu minim?

I-i-ini.... “Hm? ”

Barbara-sensei memiringkan kepalanya ke samping dengan bingung.

“Ada apa, Kucing Tua? Apakah ada yang tidak kau pahami?”

"…T-Tidak..... s-semuanya sudah kupahami.”

“Hm? Bagus kalau begitu.”

Barbara-sensei mendorong Haruhiro menjauh, lalu mengulurkan tangan kanannya dengan enteng.

"Kalau begitu, sekarang kau coba."

"A-aku harus mencobanya?"

"Ya. Kau mengikuti pelatihan ini agar bisa menggunakan skill baru, kan?”

“…t-tentu saja.......”

Haruhiro menunduk, lalu menelan ludahnya. Dalam situasi seperti ini, jika dia menolak maka tak seorang pun tahu apa yang akan dilakukan Barbara padanya. Tapi biasanya, dia tidak akan melepaskan Haruhiro begitu saja. Dia pasti akan menderita sampai sekarat, serius.

Namun, jika dia berusaha lalu gagal, dia tetap akan dihukum.

Jika tidak mencoba, hukumannya akan lebih kejam.

Maju kena, mundur kena, Haruhiro tidak punya banyak pilihan.

Harimau menunggunya di depan, sedangkan di belakang ada serigala.

Bukankah ini buruk sekali....?

Jadi, sudah jelas apa yang harus dia lakukan.

"B-baiklah... akan kucoba."

Haruhiro mengatakan itu dengan pasrah, lalu Barbara menanggapinya dengan melambai-lambaikan tangannya.

Dia cukup seksi, ya? Haruhiro malah memikirkan itu. Dia coba menahan senyum, dan hanya terfokus pada pelatihan ini. Tapi, mungkin Barbara sudah tahu apa yang dia pikirkan. Dia bisa mengamati pikiran dan emosi seseorang.

"Baiklah, ayo maju."

Gerakan dan nada suaranya bisa mempengaruhi mental lawan. Bahkan, seolah-olah dia mengajak Haruhiro melakukan sesuatu. Apa itu? Yahh, pokoknya itu bagian dari latihan.

Tenang..... tetap tenang....

Dia harus bertahan dari Barbara-sensei yang mengganggu mentalnya. Dia harus mengukuhkan hati, dan berusaha setenang mungkin. Jika tidak, dia tidak bisa menggunakan skill ini pada pertarungan sungguhan.

"…Aku datang."

Haruhiro meraih lengan kanan Barbara-sensei dengan kedua tangannya.

Rasanya agak....

Lengan Barbara cukup berotot, tapi juga lembut.

Memangnya kenapa kalau lembut....

Uh-oh. Haruhiro menggelengkan kepalanya. Dia melakukan apa yang Barbara-sensei sudah duga. Ah tidak.... mungkin saja tidak.... tapi kalau terus terganggu oleh mulusnya tubuh Barbara, dia akan celaka. Dan Barbara akan mengatakan, ’Wah...wah...wah, Kucing Tua, ternyata kau genit juga, ya?’ sembari mematahkan tangannya.

Barbara-sensei telah menggunakan Arrest padanya beberapa kali, mungkin sekitar 10 kali. Jadi, dia tahu bagaimana prosesnya. Setidaknya, dia sudah tahu sakitnya teknik itu.

Aku bisa melakukannya. Harusnya aku bisa. Ayo.... lakukan!

“Ini dia…!”

Aku hanya perlu meraih tangan Barbara-sensei seperti ini, lalu menekuk sikunya sedalam mungkin, dan—

“Ah!”

Tiba-tiba Barbara-sensei menjerit, dan itu membuat Haruhiro terkejut, sehingga tidak bisa fokus melakukan Arrest.

"Kau! Bodoh…!”

Jelas, Barbara-sensei tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

“Uwah?! Ah…?!”

Tapi apa yang dia lakukan padanya?

Sepertinya dia berputar di udara, lalu terjungkal. Haruhiro kehilangan keseimbangan tubuhnya, dan sesaat kemudian terbanting di tanah. Dia telungkup, dan merasakan sesuatu menindih punggungnya. Kedua tangannya terkunci oleh sesuatu yang empuk. Sepertinya itu bokong Barbara.

“Wah! Ah! Barbara-sensei! Aduh! Sakit! Sakit sekali!”

“Tentu saja sakit! Inilah akibatnya jika kau lengah, dasar Kucing Tua!”

Tidak hanya menduduki Haruhiro, Barbara juga meraih salah satu lengan Haruhiro untuk dikunci di bawah ketiaknya. Gaya apa ini namanya? Oh ya....

Kepiting Boston.

Itu dia. Jujur, Haruhiro tidak tahu teknik seperti ini, tapi jelas berbahaya.

“Awww…! Barbara-sensei! Ini... ini.... ini bukan Arrest! Pinggangku! Kau mematahkan punggungku…! L...lepaskan aku!”

“Kalau mau kulepas, berteriaklah lebih keras!”

“Uwahahhahahahah…!”

"Lebih... lebih keras…!”

“Giiiiaghhhhahahhahahahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh….!”

4. Alasan Kesepian[edit]

Semuanya berantakan. Tapi, yah, Barbara-sensei selalu seperti itu. Itu hanya lebih dari biasanya. Memang hari ini dia sedikit lebih kejam dari biasanya.... ya, hanya sedikit. Namun, benarkah dia melakukan itu pada semua muridnya? Jika tidak, apakah berarti dia “membenci” Haruhiro atau semacamnya?

“…tapi, sepertinya dia kelihatan senang.... saat membully-ku. Aku mulai berpikir, sebenarnya dia.....”

Bagaimanapun juga, berkat Barbara-sensei, dia akhirnya bisa menguasai Arrest. Selama pelatihan, dia menginap di Guild, jadi Haruhiro tidak bertemu dengan teman-temannya selama beberapa hari terakhir. Sebenarnya pelatihan itu tidak lama, tapi kangen juga dengan mereka. Oh iya, dia juga harus mengantar Mogzo mengambil pedangnya dari Bengkel Masukaze. Atau, apakah Mogzo sudah mengambilnya sendirian? Sembari memikirkan semua itu, Haruhiro berjalan menuju asrama prajurit relawan, dan dia pun sudah disambut oleh keributan.

“Aku tidak setuju! Pokoknya tidak setuju!”

Di halaman, Ranta, Mogzo, Yume dan Shihoru telah pecah menjadi dua kelompok, dan mereka sedang berdebat....... ah tidak juga, lebih tepatnya hanya Ranta yang terlihat emosi.

“Apa kalian lupa hari-hari yang kita habiskan di asrama prajurit relawan ini? Kalian tidak punya perasaan! Aku tidak percaya ini! Ampun deh!”

"Hai apa kabar semuanya? Ada apa ini?"

Ketika Haruhiro bergabung, Ranta segera menimpali, "Kita sudahan!" lalu menunjuk Yume dan Shihoru dengan marah. "Mereka... mau meninggalkan asrama kita!”

“Tidak, um…” Mogzo mencoba menyela.

"Tutup mulutmu!" Ranta membentaknya. “Kita tidak boleh meninggalkan rumah kita, yaitu asrama ini! Aku tidak percaya ini! Kau setuju denganku, iya kan Haruhiro? Iya, kan? Tentu saja kau setuju denganku! Lihat, Haruhiro sepakat denganku! Jadi hentikan ide itu! Dan jangan pernah lagi memikirkannya!”

“…Uh, tidak, aku tidak setuju denganmu.”

“Kau bilang apaaaaaaaaaaa?! Kau mengkhianatiku, Parupiro?!”

“Aku tidak mengkhianatimu… maksudku, suatu saat nanti kita pasti meninggalkan asrama ini. Kurasa tidak masalah jika itu terjadi sekarang.”

“Benar, kan?” Yume bersedekap sembari menggembungkan pipinya, dia tampak jengkel. “Sebenarnya Yume sudah terbiasa tinggal di sini, tapi asrama ini sudah tua dan kotor! Yume mau pindah kalau sudah punya cukup uang. Dan sekaranglah saatnya.”

“… Itu sebabnya.” Shihoru mengangkat tangannya. “Mary… dia menginap di penginapan khusus wanita, jadi… kami hanya bertanya apakah masih ada kamar di sana. Itu saja kok, tapi.......”

“Itu artinya kalian mau pergi!”

Haruhiro masih tidak paham mengapa Ranta begitu marah tentang penginapan ini.

“Apa salahnya pindah penginapan? Asrama ini hanya rumah sementara kita, kan?”

“Ga! Itu dia! Akhirnya kau mengatakannya! Rumah sementara ya! Hey Haruhuro, kau pikir dirimu tidak pantas tinggal di sini!?”

“Aku tidak bermaksud begitu....”

"Jadi kau pikir dirimu hebat??”

“Hentikan! Kau mulai membuatku jengkel!”

"Jadi, kau ini hebat ya....!”

"Kau...."

Haruhiro mulai naik pitam.

Whoa.... kau keterlaluan, Ranta. Kau memang punya bakat menyulut amarah seseorang. Tapi aku harus sabar. Aku tidak perlu ngamuk di sini.

Haruhiro menarik napas, menghembuskannya, lalu melihat Ranta.

Bahkan saat Ranta bercanda pun sangat menjengkelkan. Orang ini.... wajahnya, rambutnya, semua pada dirinya sungguh menjengkelkan. Tidak, tidak.... tahan... tahan...

“Kau kesurupan apa, Ranta? Hentikan omong kosongmu, dan jelaskan dengan logis mengapa Shihoru dan Yume kau larang pindah asrama.”

"Aku sudah menjelaskannya, sialan!"

“Kalau begitu jelaskan lagi dengan bahasa yang bisa kumengerti!”

"S-seperti yang kukatakan!" Ranta membuang muka lalu menghentakkan kakinya ke tanah.“…ada banyak alasannya! Seperti.... .uh..... kenangan! Tempat ini penuh dengan kenangan! Contohnya.... di sini.... di sini.... di mana-mana!”

“Kenangan…”

"Ya, itu benar! Kau ingin membuang semua kenangan itu? Hanya karena sekarang kita sedikit lebih kaya?? Serius? Kau serius berpikir seperti itu?”

Yume, Shihoru, dan Mogzo—tiba-tiba mereka menundukkan kepala bersama-sama.

Haruhiro menutupi bagian bawah wajahnya dengan tangan.

Apa yang Ranta coba katakan? Apakah ada maksud tertentu? Apa yang coba dia dapatkan dengan mengatakan hal seperti itu? Haruhiro menduga si kampret itu punya maksud yang jauh lebih murah.

Ya, ada yang tidak beres di sini.

Sebenarnya tidak terlalu lama mereka tinggal di asrama ini.

Tapi jika tentang kenangan..... memang selalu ada.

“… itulah alasan utamanya.....”

Ranta mengakhiri tuntutannya dengan desahan panjang.

“Memang benar suatu hari nanti kita akan meninggalkan tempat ini, karena hidup selalu bergerak. Tapi sepertinya bukan sekarang saatnya.”

“Yah, ya…” Haruhiro menggaruk kepalanya. “Tapi.... kurasa tidak masalah jika kita berusaha mendapatkan tempat tinggal yang lebih layak, makanan yang lebih enak, dan kehidupan yang lebih baik.... dan itu semua bisa memotivasi kita.”

“Kau terlalu naif, Haruhiro! Sangat naif! Itulah masalahmu! Hidupmu terlalu datar!”

“Kau juga begitu....”

“Enak saja! Tentu saja tidak! Aku punya pemikiran yang jauh lebih luas darimu!”

"Oh ya…?" Shihoru menyela dengan dingin.

“Hah!” Ranta mengangkat bahunya. “Orang kolot sepertimu tidak akan mengerti. Pemikiranku terlalu luas bagimu. Lagian, apa enaknya hidup di penginapan yang hanya berisikan wanita? Kalian mau pindah ke asrama khusus wanita, kan? Itu aneh. Harusnya, di mana ada wanita, ada juga pria. Kalau hanya ada wanita, pasti akan banyak masalah. Serius.”

“Ohhh …” Mogzo mengangguk, tampaknya dia sudah mengerti apa yang terjadi di sini.

Haruhiro pun demikian, ’Akhirnya aku tahu motif tersembunyimu.’

"Jadi itu ya alasannya ...?"

“A-a-apa maksudmu? Kalau ngomong yang jelas, bodoh!”

“Jadi, kau melarang Yume dan Shihoru pindah karena takut kesepian?”

“Hahhhhhhhh?! Apa?! Apa apaan itu?! Kapan aku bilang begitu?”

"Kesepian…?" Yume mengerutkan alis, sembari menjulurkan bibir bawahnya. “Ranta, apakah kau kesepian jika ditinggal Yume dan Shihoru dari asrama ini?”

“A-a-a-a-aku tidak kesepian! Aku tidak pernah kesepian! J-j-j-j-j-j-jangan konyol!!”

Wajah Ranta menjadi merah padam, dan ludahnya beterbangan kemana-mana. Dia tampak seperti orang yang kebingungan menutupi kebohongannya. Haruhiro berpikir, ’Menyerahlah, kau sudah kalah. Ya ampun, apa-apa’an orang ini.’

Haruhiro akhirnya mengetahui maksud sebenarnya perdebatan ini. Ranta tidak mau kesepian, namun dia tidak mengakuinya, malahan membuat alasan lain yang bertele-tele.

Bahkan, mungkin lebih dari itu. Ranta ingin Yume dan Shihoru tetap tinggal di sini karena akan selalu ada kesempatan untuk berbuat tidak senonoh pada mereka. Jika para gadis itu lengah, maka Ranta sudah siap dengan semua ide mesumnya. Dan jika ketahuan, dia akan membuat seribu alasan seperti, “Ah, tadi gak sengaja.” atau “Ah, maaf ya.... ini hanya kebetulan” dsb.

Ranta akan selalu memanfaatkan kesempatan terkecil sekalipun untuk menyerang mereka. Dia memang hewan buas.

Maka, jika Yume dan Shihoru pindah, dia akan kehilangan semua kesempatan itu.

Sebenarnya Haruhiro sudah mengetahuinya, tapi dia masih sopan dengan mengatakan, ‘kesepian’, padahal bisa saja dia mengatakan, ’Kalau pindah, kau tidak bisa mengintip mereka mandi lagi, kan?’

Jika dia mengatakan itu, situasi akan semakin runyam.

Tapi, meskipun Ranta tersangkanya, sebenarnya Haruhiro dan Mogzo juga pernah melakukan hal serupa.

Meski begitu, sandiwara Ranta kali ini boleh juga. Dia mampu mengarang alasan kenangan atau apalah itu.

“T-t-t-tidak! Aku sama sekali tidak kesepian! Aku tidak paham apa yang pecundang macam kalian pikirkan! Ini tidak masuk akal!”

Ranta berdeham, lalu mengusap bagian bawah hidung dengan telapak tangannya.

"Bukan itu alasannya! Aku sama sekali tidak kesepian! Tidak mungkin aku kesepian!”

“Hmm…” Yume mengapit wajah dengan kedua tangannya. Itu membuat wajahnya mengkerut sehingga terlihat konyol. “Baiklah, Yume paham. Yume jadi merasa kesepian juga.”

“Apa…?” raut wajah Ranta berubah lagi. “B-b-benarkah.... kau juga merasa kesepian? K-kenapa...?”

“Karena di tempat inilah biasanya kita mengakhiri petualangan setiap hari.”

Petualangan… Haruhiro pikir sepertinya Yume gagal paham. Tapi dia tidak berusaha menyangkalnya.

Yume menekan pipinya. Karena itu, tidak hanya wajahnya, suaranya juga aneh.

“Semuanya pulang ke sini, kan? Tidak termasuk Mary-chan sih. Saat kita mandi, tidur, bangun, makan, semuanya di sini.”

"Ya... benar juga...." gumam Mogzo, sembari menatap halaman. Shihoru pun ikutan melihat halaman.

“Kita sudah terbiasa tinggal di sini, kan?” Yume berkata sambil menghela nafas, "Jika ada yang berubah, maka Yume akan merasa kesepian.....”

“S-sudah kubilang, kan?!” Ranta tiba-tiba kembali bersemangat. “I-itulah yang kumaksud! Kebiasaan itu penting!”

“Ranta, aku tahu bukan itu yang kau maksud …”

“Hentikan, Haruhiro! Aku mengatakannya dengan sepenuh hati! Dengarlah!”

"Aku tidak bisa mendengarkan hatimu."

“Itu karena kau kurang latihan! Kau kan Thief, harusnya pendengaranmu lebih peka! Makanya, latihan, latihan, latihan, latihan! Latihan terus!!”

“Berlatih apa…?”

“Pikirkan sendiri, tolol! Okelah, kalau begitu…!" Ranta meletakkan tangannya di pinggul dan membusungkan dadanya. “Perdebatan ini selesai! Kita akan melanjutkan kehidupan bahagia kita di asrama ini! Benar, kan!? Yak, sudah diputuskan!”

Shihoru menatap Yume, lalu menunduk. Sepertinya Yume masih belum yakin sepenuhnya.

“…Aku akan memikirkannya lagi.... bersama Yume.”

5. Itulah Itu[edit]

Setelah itu, Haruhiro pergi ke distrik pengrajin bersama Mogzo. Tentu saja, mereka hendak mengambil pedang Death Spot yang harusnya sudah selesai diperbaiki. Sepertinya Mogzo ingin pergi sendirian, tapi akhirnya dia pun menunggu Haruhiro. Mungkin karena mereka pergi bersama-sama sebelumnya, maka tidak baik pergi sendiri saat mengambilnya. Memang seperti itulah Mogzo, orangnya suka sungkan. Sedangkan Haruhiro tidak keberatan pergi bersamanya. Mereka saling menjaga perasaan sebagai teman.

Tapi, ada kejutan yang menunggu mereka.

Pada suatu gang sempit yang mengarah ke Bengkel Masukaze, berdirilah sosok yang tidak asing bagi mereka.

"Mary?!"

“Mary-san?!”

"Oh ..." Mary melihat ke arah mereka, melambai, kemudian berhenti. Dia menundukkan kepalanya sebentar, tetapi segera mendongak lagi.

Sekilas, dia menunjukkan senyum tipis yang begitu canggung.

Sepertinya dia malu.

Saat melihat Mary seperti itu, Haruhiro kebingungan.... dia tidak tahu harus berbuat apa. Mogzo pun hanya bisa terdiam.

Astaga.... aku tidak tahu harus bagaimana. Tapi.... tidak masalah kan jika dia ikut? Beneran gak masalah, kan?

Jantung Haruhiro berdebar kencang.

“Emm…”

Tidak....... ini masalah.........

Kalau Haruhiro terus panik, Mary juga semakin canggung.

Aku harus memberanikan diri! Memberanikan diri? Tidak, aku tidak perlu itu. Aku tidak perlu keberanian di saat seperti ini. Yahh.... mungkin saja tidak....

“H-Hah? A-Ada apa, Mary? A-Apakah ini kebetulan? A-atau b-bukan…ya?"

"Ya ..." Mary meletakkan tangan di dada, lalu menarik napas. “Tempo hari kan kita bersama-sama pergi ke bengkel, jadi hari ini pun........”

Mary mengatakan sesuatu yang hampir mustahil dia katakan. Tapi Haruhiro memahaminya. Begitupun dengan Mogzo. Maka, mereka berdua saling tatap sembari mengatakan dalam hati, ”Beneran, nih?” Mungkin kalau Ranta tidak akan memahaminya, tapi Mogzo dan Haruhiro memikirkan hal yang sama.

Mogzo bukanlah tipe orang yang banyak bicara, begitupun dengan Haruhiro. Dia tidak periang seperti Kikkawa, dan jarang mengungkapkan apa isi hatinya. Mogzo tidak bisa akrab dengan semua orang. Kurang-lebih, begitulah tabiatnya.

Dan Mary.... sepertinya juga begitu.... yahh, setidaknya Mary yang sekarang. Tapi, apapun itu, dia datang.

Mary pasti ragu sebelumnya. Dia pasti kesulitan memutuskan bakal datang atau tidak. Tapi, akhirnya dia berhasil memutuskannya, dan memilih untuk datang. Mengingat kepribadian Mary, tentu itu bukan hal yang mudah. Dia pasti memerlukan waktu lama berpikir, lalu mondar-mandir, kemudian kembali lagi di tengah jalan, sampai akhirnya tiba di sini. Sepertinya kita perlu menghargai semua upayanya itu.

Apakah aku harus senang melihat kedatangannya?

“Ohh, aku mengerti! Tadinya kau mau pulang ke asrama, ya? Benar kan, Mogzo?”

“Y-Ya. I-Itu benar. Ya."

“…tidak.... aku memang ingin pergi bersama kalian.” suara Mary sangat kecil seperti dengungan nyamuk. "Maaf.... sebenarnya aku ragu datang ke sini.”

"Tidak perlu meminta maaf! Benar kan, Mogzo?! Dia tidak perlu minta maaf, kan?”

“B-Benar! M-mungkin justru kita yang harus minta maaf, karena membuat Mary ragu....”

"Y-yahh! Itu dia!”

“Itu dia?!”

“Ya itu tuh.... yang itu.... kau tahu kan maksudku?”

Haruhiro dan Mogzo saling menepuk bahu, sembari memperdebatkan “itu” yang tidak jelas apa. Sebenarnya keduanya tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

Tapi itu tidak masalah, yang penting Mary tertawa dibuatnya. Lebih tepatnya hanya terseyum tipis.

Aku bisa seharian menatap senyum Mary itu. Ya, aku harus mengakuinya. Mungkin Mogzo juga memikirkan hal yang sama. Tapi itu tidak mungkin, kan? Mary sendiri pasti akan merasa canggung bila kupandangi terus senyumnya.

“Kalau begitu, ayo pergi bersama!”

“Y-Ya! Ayo pergi, Mary-san!”

“T-Tentu.”

Kalau ada orang lain yang melihat tingkah ketiganya, pasti mengira mereka orang aneh. Tapi, memangnya kenapa? Hubungan mereka sudah jauh lebih baik daripada saat pertama kali kenal. Seiring jalannya waktu, hubungan mereka akan semakin akrab. Mereka hanya perlu saling mengenal satu sama lain selangkah demi selangkah. Tidak apa-apa perlahan-lahan, tetapi pasti.

“Halooo…!”

Mogzo membuka pintu Bengkel Masukaze dengan riang dan penuh tenaga. Itu membuat Haruhiro tanpa sengaja mengatakan, “Whoaa....”

Lagi-lagi mereka disambut oleh patung Trigon itu, tapi entah kenapa sepertinya patung itu lebih besar daripada sebelumnya. Haruhiro tidak begitu yakin, tapi ukurannya seakan berubah. Tidak hanya ukurannya yang terasa berbeda, kali ini juga terasa aura mencekam yang terpancar dari patung itu. Meskipun terbuat dari besi, seolah patung itu hidup. Ini aneh, tapi serasa nyata.

"I-Ini...?"

Mogzo merasa aneh. Sedangkan Mary hanya memiringkan kepalanya ke samping kebingungan sambil terus menatapnya.

“Halo, selamat da—” Riyosuke si pandai besi menjulurkan kepalanya keluar dari belakang bengkel, lalu menariknya kembali. Kenapa dia masuk lagi? Jangan-jangan.......

Haruhiro berkata, "Hah?" lalu menatap Mogzo dan Mary dengan bingung. “D-dia kabur…? K-kenapa...?”

"Tidak.... tidak." Riyosuke keluar lagi, kali ini sembari menggaruk kepalanya. “Ini aku... ini aku. Selamat datang. Ada perlu apa datang lagi ke sini?”

"Perlu apa…?" Mogzo melihat sekeliling bengkel dengan cepat. “Umm.... tentu saja aku ingin mengambil senjataku yang tempo hari kau perbaiki.”

“Oh, ho. Senjata yang mana?”

“S-senjata yang mana…? Kau menyanggupi memperbaikinya, kan? J-jangan bilang kau lupa atau semacamnya...?”

“Hrm…” Riyosuke bersedekap. "Nngh ..." dia melihat ke langit-langit. “Hmmm… yang mana ya…?”

"Tidak.... tidak." Haruhiro sampai tertawa dibuatnya. "Tidak mungkin kau lupa. Mustahil. Kami menitipkan pedang Death Spot di sini. Lalu, kau menawarkan harga, dan lain-lainnya. Harusnya hari ini sudah selesai, kan?”

"Benarkah?" Riyosuke bertanya dengan ekspresi serius di wajahnya.

“Apa-apa’an orang ini…?” gumam Mary. Dia benar. Ada apa dengan orang ini? Ini tidak benar. Oke, dia memang tampak aneh, tapi sepertinya lebih buruk dari itu. Apakah dia berusaha menipu mereka, untuk merebut pedang Death Spot?

Haruhiro tiba-tiba menyadari Mogzo gemetar. Tinjunya mengepal, dan dia gemetaran.

Apakah dia marah…?

"Harusnya sudah selesai, kan?"

Suara Mogzo sangat mengancam. Tapi tetap sopan. Dia berhasil menahan amarahnya, namun bisa meledak setiap saat. Riyosuke tampaknya memahami betul situasi ini, dan dia sudah bersiap menghadapi pelanggan berbahaya seperti Mogzo. “Ya, ya, ya.... sudah selesai, kok. Harusnya memang sudah selesai.”

"Tapi?" tanya Haruhiro.

“Yah…” Riyosuke menggosok bagian belakang kepalanya dengan malu-malu. “Aku memang berencana untuk menyelesaikannya. Saat mengerjakan disainnya, aku semakin bersemangat.”

"…bersemangat?" Mary memiringkan kepalanya ke samping kebingungan.

“Ya, itulah kebiasaan burukku. Aku jadi bersemangat mengerjakan banyak hal, seperti ini, seperti itu, harus begini, harus begitu.... intinya, aku tidak bisa mengendalikan diri. Kurasa, pandai besi lain juga pernah merasakan hal serupa.”

“Jadi, dengan kata lain…” kata Haruhiro, sambil melihat ke arah Trigon, “.... kau belum menyelesaikannya?”

"Tepat sekali."

"Gampang sekali kau ngomongnya ..."

“Yahh... memang begitu adanya.”

Riyosuke mengangguk dengan bijak. Mengapa pria ini sama sekali tidak merasa bersalah?

Mogzo kembali bertanya dengan suara gemetaran, “K-kalau begitu, kapan kau akan menyelesaikannya…?”

“Kalau itu…” Riyosuke memasang tampang serius lalu menunjuk lurus ke atas. "'....aku hanya bisa bilang.... hanya Tuhan yang tahu."

"Kau sendiri tahu itu bukan jawaban, kan?"

Bagus, Mary. Itu menakutkan.

Riyosuke tampak mulai ketakutan.

"J-jika kalian memberiku sehari-dua hari lagi ..."

Mary segera menyela dengan dingin, “Itu juga bukan jawaban....”

“Ah…” Riyosuke menangkap kedua telapak tangan di depan dadanya, lalu memohon. “Kalau besok…?”

“Jam berapa?”

“Besok jam 8 pagi sudah bisa kalian ambil! Yakinlah, kalian datang ke tempat yang tepat!”

Haruhiro hanya menanggapinya dengan melirik Trigon.

“......aku sudah pernah mendengar itu sebelumnya.....”

"Kali ini aku tidak akan terlambat!" Riyosuke mengacungkan jempol pada mereka, lalu lari kembali ke belakang.

Bahu Mogzo terkulai, dia tampak kecewa, dan Mary melihatnya dengan kasihan.

Dengan ragu, Haruhiro menyentuh patung Trigon.

“...tapi..... orang itu benar-benar merubah patung ini, ya? Benarkah kita bisa mempercayainya...?”

6. Teror Kembali[edit]

Lonceng berbunyi menunjukkan waktu pukul 8:00 pagi.

Haruhiro dan yang lainnya sudah bersiap di depan Bengkel Masukaze.

Bukan hanya Haruhiro, Mogzo, dan Mary hari ini. Ranta, Yume, dan Shihoru juga ikut bersama mereka. Setelah mengambil senjata, mereka berencana langsung berburu. Intinya, mereka sudah bersiap sejak pagi. Yang kurang hanyalah senjata Mogzo.

“Y-Yah …” Mogzo membuka pintu Bengkel Masukaze.

“Wah…?!” Ranta terpelanting mundur 2 langkah.

“Eek…!” Shihoru memeluk Yume, dan, “Nyoh!” Yume membalasnya dengan jeritan aneh.

Haruhiro, Mogzo, dan Mary semuanya menelan ludah.

Kuda naga beroda, Trigon, seperti biasa menyambut kedatangan mereka. Sekali lihat pun Haruhiro sudah tahu bahwa kepala patung itu berubah lagi. Apakah dia memolesnya lagi? Tapi, yang lebih mencolok adalah........

"Selamat datang." Riyosuke si pandai besi sedang berlutut di depan patung Trigon.

Sebenarnya itu normal-normal saja, tapi kenapa dia melakukannya....?

Terlebih lagi, mengapa Riyosuke bertelanjang dada?

Kenapa juga ada belati terhunus yang tergeletak di depan lututnya?

Wajahnya terlihat termenung. Sepertinya ada yang dia sesalkan, atau menyedihkan.

“Ada perlu apa kalian ke bengkel ini?” lagi-lagi dia mengatakan omong kosong itu lagi.

Ampun deh nih orang........

"Perlu apa…?" Haruhiro mengulanginya, lalu terdiam.

Riyosuke mengangguk tanpa suara. "Oh iya....” lalu dia menutup mata “......aku sudah menunggu kalian.”

“...U-Um,” Mogzo ragu-ragu bertanya, “Di mana pedangku?”

"Aku tahu kau akan menanyakan itu."

"Hah…? Yah, y-ya, memang itulah keperluan kami di sini....”

“Itulah kenapa aku bilang sudah menunggumu!”

Kenapa malah marah? Toh dia yang salah.

Oke, kita belum tahu apakah dia salah atau tidak, tapi yang jelas dia tidak perlu marah.

Tak satu pun di antara mereka, bahkan Ranta, bisa mengatakan apapun. Mereka tertegun dengan betapa anehnya sikap Riyosuke.

"Sekarang dengarkan aku!" mata Riyosuke melotot. "Aku sudah menerima senjatamu! Itu benar! Aku mengakuinya! Kemarin, aku bilang senjatanya akan siap pukul 8.00 pagi! Memang benar aku mengatakan itu! Tapi! Tidak ada jaminan itu benar! Semuanya serba tidak pasti! Memang seperti itulah hidup! Terima saja! Apakah aku salah!?? Tidak, kan!? Aku sungguh tidak salah! Malahan, bukankah hidup akan membosankan jika berjalan sesuai rencana?? Itu sungguh membosankan! Hidup adalah tidak tahunya kita terhadap apa yang akan terjadi besok! Ya, itulah hidup! Itulah seninya hidup!”

"... orang ini ngomong apa sih?" Yume bertanya pada Shihoru.

Shihoru tampak bingung bagaimana harus menjawab, dan hanya berkata, "A-aku tidak tahu ..." sembari menggelengkan kepalanya.

"Jadi, maksudmu adalah..." Mary melangkah maju. "...... hari ini masih belum selesai?”

Riyosuke menutup mata dan menggelengkan kepalanya secara diagonal. Mengapa secara diagonal…?

"Aku tidak berkata begitu."

“L-Lalu…” kata Mogzo sambil menelan ludah, “… apakah sudah selesai?”

“Naif!”

"…Naif?"

“Pertanyaan itu naif sekali! Ya atau tidak! Hitam atau putih! Mengapa hidup sesederhana itu? Tentu saja menurutku tidak! Tidak...!”

"Tidak...? Maksudmu belum selesai, ya?" mau tidak mau Haruhiro menyimpulkan begitu. Riyosuke mengatakan hal-hal yang tidak jelas, seperti hitam – putih, atau apalah itu. Tapi, dia masih bisa tersenyum tenang.

“Ada kalanya kita harus memikirkan jawabannya. Itulah hidup.”

“Hei…” Ranta menunjuk pada Riyosuke. “Semua yang dikatakan orang ini omong kosong. Tak ada yang masuk akal....”

"Kau tidak berhak mengejeknya seperti itu ..."

“Apa maksudmu, Haruhiro?! Jadi menurutmu aku seperti dia? Aku tidak gila seperti dia! Semua yang kukatakan selalu logis!”

"Ya!"

"Lihatlah! Pak tua itu setuju dengan........... hah....?”

"Hah?"

Riyosuke tampak terkejut saat Ranta melihatnya. Ranta pun kebingungan, dia mengarahkan telunjuknya pada Riyosuke, lalu dirinya sendiri, lalu kembali ke Riyosuke, seperti itu beberapa kali.

“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Sepertinya tidak.”

"…Hah? Apa maksudmu, Ranta?”

"Ya, apa maksudmu, Ranta."

"A-aku hanya... "

"Pikirkan dengan dalam, nak. Sampai kau temukan jawabannya.”

“Tidak, tidak.... kurasa kami tidak pernah bertemu.... tunggu dulu..... ada apa dengan pak tua ini....”

Jangan-jangan....

Apakah dia hanya mengalihkan pembicaraan, sehingga mereka lupa dengan tujuan datang kemari?

"…Aku mengerti." Mary melangkah maju, lalu menghentakkan tongkatnya di antara Riyosuke dan belatinya. "Sepertinya kau merasa terpojok, ya. Itulah kenapa kau menyiapkan belati dengan bertelanjang dada seperti itu. Kau mau melakukan Seppuku[8] ya. Aku mengerti.”

Riyosuke menatap Mary… dan meringis. Wajahnya masih tampak tenang, tapi keringatnya sudah bercucuran.

“Sepertinya kamu salah paham nona.”

“Oh ya?”

“Aku tidak pernah berencana melakukan Seppuku. Itu tidak benar.”

“Baiklah, kalau begitu, kau berpura-pura hendak melakukan Seppuku.”

Riyosuke menatap mata Mary sebentar, lalu menunduk, "...Kau jago juga ya," gumamnya. “Sungguh.... sudah tiga tahun lamanya sejak orang terakhir yang menghentikanku melakukan trik ini. Wah, kau bisa menebaknya. Aku paham, aku paham. Baiklah, kurasa saatnya aku berkata jujur. Ya! Jujur! Jujur!”

“Mengapa sampai mengulanginya tiga kali…?” Shihoru bertanya, sembari sedikit gemetaran, tapi Riyosuke meneriakkan kata yang sama empat kali.

“Aku akan......... JUJUR!!"

Whoosh… tanpa banyak komentar, Mary mengayunkan tongkatnya pada pipi Riyosuke. Tongkat Priest itu bukanlah hiasan semata, dia juga bisa menggunakannya sebagai senjata. Terlihat sayatan merah pada pipi kiri Riyosuke.

Whoah... dia sampai berdarah.

“Jujurlah, kapan selesainya?”

"…sore ini.....?"

"Jam berapa?"

"Sembilan, tidak, sepuluh—"

"Jam sepuluh bukan sore."

"Hah? Baiklah, 6:00 sore … atau sekitar itu.”

"Sekitar itu?"

“Jam 4.00 sore! Tidak... aku hanya berlagak keren. Mustahil selesai jam 4.00 sore. Jam 6.00 saja....”

“Jam 6.00 pas, oke?”

"Ya!"

"Apakah kau tahu apa yang akan terjadi jika masih terlambat?"

“…sepertinya tahu......”

"Kali ini selesaikan."

Mary menarik tongkatnya lalu berpaling dari Riyosuke.

Lalu, “Wah…” Riyosuke menghela nafas lega. Wajahnya seolah berkata, Ahh, selamat.... akhirnya selamat juga.....

Tapi ternyata Mary belum selesai, dengan wajah yang seolah mengatakan, Kau pikir hanya itu...? dia menusukkan tongkatnya pada hidung Riyosuke.

"Dengar, kali ini jangan lagi mengecewakan kami.”

“… Dimengerti.”

“Kami akan datang jam 6 sore tepat.”

"…akan kutunggu......"

Riyosuke yang melihat ujung tongkat itu pun mulai pucat. Kedua pupil matanya tertuju pada tongkat itu, yang berada tepat di depan batang hidungnya.

Lalu, Mary sedikit mendorong lagi tongkatnya untuk menjawil ujung hidung Riyosuke.

“Ek!”

Tapi melirik lagi padanya, Mary menjauh lalu keluar dari bengkel.

“…Wanita yang menakutkan,” bisik Ranta. Mungkin seharusnya dia tidak mengatakan itu pada rekan setimnya. Tapi, jujur saja, Haruhiro kali ini sependapat dengannya. Tentu saja dia tidak bisa mengatakan itu langsung di depan Mary. Jika dia melakukannya, pasti terjadi hal yang sama mengerikan dengan yang Riyosuke alami.

Bagaimanapun, setelah Mary meninggalkan bengkel, dia tidak bisa membiarkannya sendirian. Lalu, dia mengatakan pada Riyosuke, “Baiklah, kami akan kembali hari ini jam 6.00 sore!”. Sayangnya, saat keluar dari bengkel, dia tidak bisa menemukan Mary di mana pun, kemudian dia panik dan memanggil namanya, “M-Mary....??”

Haruhiro berlarian ke sana – kemari, melihat ke kanan, dan ketika melihat ke kiri..... nah, itu dia.

Mary hanya terdiam sembari menundukkan wajahnya. Ada apa gerangan? Punggungnya menghadap Haruhiro, jadi dia tidak tahu bagaimana ekspresi si gadis. Tapi sepertinya..... dia tertekan?

Haruhiro ingin memanggilnya, tapi ragu. Akhirnya, Yume datang, lalu memutari badan Mary, sampai berada di depannya, kemudian mengintip wajahnya.

“Mary-chan? Ada apa?”

"Maafkan aku. Aku…"

“Fu?”

“Tadi…”

Ranta berjalan dengan langkah besar. “Heh!” lalu mengacungkan jempol padanya. "Lumayan juga. Itu tadi pasti membuatnya takut. Mereka menyebutmu Mary Yang Mengerikan bukannya tanpa alasan!”

“…!” Mary menggelengkan kepalanya.

Haruhiro bertukar pandang dengan Shihoru dan Mogzo yang telah menyusul mereka. Mary jelas bertingkah aneh. Tapi santai saja, setidaknya dia tidak termenung sambil tersenyum dan mengatakan, ’Aku puas telah melakukan itu padanya’ malahan sebaliknya, ekspresi Mary seolah berkata, ’Kacau, aku mengacaukan semuanya.’..... ya, mungkin saja begitu.

Yume coba mengatakan sesuatu kepada Mary, tapi meskipun sudah membuka mulutnya, yang dia katakan hanyalah, "Uhh," dan, “Nngh,” atau, “Mew.” dengan kata lain dia hampir tidak mengatakan apapun.

Ranta menoleh pada Haruhiro, lalu memiringkan kepalanya ke samping kebingungan.

"…Apa?"

Tidak apa-apa.... tapi, sadarkah kau juga salah saat mengatakan Mary Yang Mengerikan?

Tapi benarkah begitu?

Tiba-tiba, Mary menarik napas dalam-dalam dan mengangkat wajahnya. Dia melihat sekeliling pada teman-temannya dengan senyuman terpaksa. Ya, lebih tepatnya senyum terpaksa yang tidak niat.

"Yahh, sampai ketemu lagi jam 6:00 petang."

Setelah itu, Mary mulai berlari meninggalkan mereka. Ah bukan berlari, lebih tepatnya berjalan dengan cepat. Dia pun pergi.

“Ada apa dengannya…?” Ranta menyemburkan itu, tapi Mary sudah pergi menjauh.

Harusnya aku mengejarnya, tapi apa yang akan kukatakan?

Haruhiro tidak tahu. Yang lebih menyedihkan, kakinya tidak mau bergerak mengejar si gadis.

7. Buka Hati[edit]

Tentu saja kejadian itu mengganggu Haruhiro. Bagaimana tidak? Karena dia terus memikirkannya.

Akhirnya mereka memutuskan berpisah untuk mengerjakan urusan masing-masing, sampai jam 6.00 petang. Haruhiro tahu apa yang harus dia lakukan untuk menghabiskan waktu sampai jam 6.

Aku akan mencari Mary.

Dia tahu dimana harus mencarinya. Altana adalah kota yang besar namun tidak begitu luas bagi beberapa orang. Jika dia berkeliling sebentar, pasti akan menemukannya di suatu tempat yang biasa dikunjungi pasukan relawan.

Saat masih berputar-putar, tiba-tiba lonceng berbunyi menunjukkan pukul 12.00, dan dia masih belum menemukan Mary.

“Whaa… Serius nih? Aku belum menemukannya…”

Tampak lemas, Haruhiro berjongkok di sudut alun-alun Altana.

Sebuah bangunan tinggi bernama Menara Tenboro berada di seberang alun-alun tersebut. Menara itu adalah tempat tinggal bangsawan. Dialah Garlan Vedoy. Penguasa Altana.... katanya. Haruhiro tahu nama itu, tapi belum pernah bertemu secara langsung dengan orangnya. Yang dia tahu hanyalah bangsawan itu orang terkenal.... sudah. Yahh, tidak hanya Haruhiro, pasukan relawan lainnya juga hampir tidak pernah bertemu orang terkenal macam itu.

“…terserahlah......”

Mungkin lebih baik aku makan siang. Meskipun, tempat-tempat makan di siang bolong seperti ini pasti ramai pelanggan. Tapi, aku lapar. Perutku kosong. Sayangnya, aku juga tidak sedang nafsu makan.

Saat melanjutkan berjalan, dia mendengar sesuatu dari kejauhan.

"Hah?! Haruhiro-kun?!”

“…Mogzo.”

Mogzo bergegas mendekat.

“Ada apa, Haruhiro-kun? Apa yang kau lakukan di sini?"

“Hmm. Tidak. Aku hanya iseng.”

“Erm…” Mogzo sepertinya merasa canggung, tapi akhirnya dia mengatakan, "Kau sudah bertemu Mary-san?"

“Uh… k-kenapa aku harus bertemu dengan Mary?”

"Yahh, pagi tadi dia bertingkah aneh. Mungkin itu membuatmu khawatir, jadi kau pergi mencarinya. Sejujurnya, aku juga sedang mencarinya.”

“O-Ohhh… Ya. Mary memang bertingkah aneh tadi. Kau juga tahu, kan. Tentu saja aku mengkhawatirkannya. Yahh, karena kita rekan setim, kan...”

“Ya, tentu saja, kita semua rekan, dan kau lah pemimpinnya.”

“Secara teknis, itu benar. Tapi aku merasa tidak pantas menjadi pemimpin, dan itu juga membuatku malu....”

"Tapi kamu benar-benar mencari Mary-san, kan?"

“Uhhh…. Y-yahhh, bisa dibilang begitu.... t-tapi aku hanya mencarinya dengan santai.”

Benarkah aku sedang mencari? Bukannya aku hanya berputar-putar saja?.... dia ragu mengatakan itu pada Mogzo. Toh, dia juga tidak mau Mogzo tahu bahwa dia sedang serius mencari Mary. Haruhiro ingin Mogzo tahu bahwa dia hanya mencari Mary sebagai rekan setim, sudah itu saja, tidak kurang, tidak lebih.

“K-Kalau begitu, Haruhiro-kun, um… kalau kau sedang mencarinya.... mengapa tidak kita lakukan bersama saja?”

"Ide bagus!" Haruhiro melompat. “A-ayo mencarinya bersama! Akan lebih mudah bila kita melakukannya bersama. Oh iya Mogzo, apakah kau sudah makan siang? Sembari berkeliling, ayo cari makan. Mungkin di pasar, di warung, atau di mana pun. Tidak perlu makan berat, yang penting perut terisi. Mungkin, Mary juga sedang cari makan, kan?”

Lalu, mereka menuju ke Kebab Dory di pasar, dan ternyata Yume dan Shihoru sudah di sana.

“Hah…!”

Shihoru masih menggigit kebab saat mengatakan itu, dan dia pun tampak malu sendiri.

Yume, malah berkata, “Unyoh!” dengan mata terbelalak. Kemudian dia menelan daging yang sudah dia kunyah sejak tadi.

“Hei, itu Haru-kun, dan Mogzo. Kalian juga mau makan kebab?”

"Ya." Mogzo mengangguk, dan segera memesan kebab. “Aku pesan dua.... tidak, tiga.”

“…Kau memesan tiga langsung? Luar biasa, Mogzo. Aku satu saja.”

“Tidak. Aku tahu satu tidak cukup. Dua mungkin cukup, tapi kebab Dory sangat enak, dan aku.....”

“Ohh. Ya kau benar. Daging di sini sungguh enak.”

"Ya. Yume bertanya pada Shihoru apa yang sebaiknya kita lakukan sembari menunggu sore. Lalu, Shihoru mengajak Yume makan di Kebab Dory.”

“…aku tidak punya kerjaan lain, jadi… Oh!”

Shihoru segera menoleh pada pria tua yang memiliki kios, lalu dia menundukkan kepalanya.

“U-Umm, k-kebab Anda enak. A-aku sungguh menyukainya....”

Pria tua itu memberinya senyum ikhlas. Kalau diingat-ingat lagi, Haruhiro pertama kali mengunjungi kios ini saat masih magang. Pak tua itu sepertinya mengenali wajah mereka, karena sudah langganan.

Sejak saat itu, bangunan-bangunan di Altana semakin bertambah, meskipun perlahan-lahan.

Lalu, bagaimana dengan Mary? Pasti dia juga punya warung langganan seperti ini.

Sambil memakan kebabnya, Haruhiro coba bertanya pada Yume dan Shihoru.

“Hei, kami berniat mencari Mary. Yahh, kalian juga tahu kan yang terjadi pagi tadi, dia bertingkah aneh. Aku jadi khawatir dibuatnya.”

“…sebenarnya, kami juga.........”

Shihoru telah menghabiskan kebabnya, lalu beralih meminum minuman yang sudah dia beli dari kios lainnya. Minuman itu adalah soda yang dicampur dengan herbal dan madu. Harganya 2 tembaga, tapi jika kau mengembalikan gelasnya ke kios, harganya hanya 1 tembaga.

“Karena itulah, kami mencari Mary sembari berjalan-jalan, sampai akhirnya mampir ke kios ini karena lapar......”

Setelah Shihoru mengatakan itu, dia terdia sejenak, lalu mengataan, “Mary...?” Ya, mereka sudah menjadi rekan, jadi tidak perlu menambahkan -san pada namanya. Harusnya seperti itu, tapi karena Shihoru tidak biasa melakukannya, dia pun terkejut sendiri.

Haruhiro membiarkannya saja, karena jika dibahas lebih lanjut suasana akan semakin canggung.

Nanti juga Shihoru terbiasa, meski butuh waktu.

Sayangnya..... bagi pasukan relawan, waktu tidaklah terhingga.

Tidak ada yang bisa menjamin mereka besok masih hidup. Shihoru tahu itu, sehingga dia ingin seakrab mungkin dengan teman-temannya, termasuk pada Mary.

Memang seperti itulah hidup di dunia ini, kau harus memanfaatkan waktumu sebaik-baiknya, tanpa tahu apa yang akan terjadi esok.

"Menurut kalian ke mana Mary-chan pergi?" Yume bertanya sembari terus mengunyah dagingnya, "Apakah dia sudah kembali ke penginapan?"

“…K-kalau benar begitu, kita tidak bisa menemuinya, ya?” Mogzo mengeluhkan itu sambil memegang tiga tusukan dengan kedua tangannya

Ya.... tinggal tusuknya saja.

…dia sudah menghabiskan ketiganya? Cepat benar.....

“Penginapan, ya…” Haruhiro menepukkan telapak tangan kirinya pada dahi. “…oh ya, ngomong-ngomong apa yang Ranta lakukan, ya? Apakah dia tahu dimana Mary berada....”

"Yume belum melihatnya, dan Yume tidak tahu.”

“…aku juga belum melihatnya. Dan aku tidak begitu peduli…”

“Oh. Maksud Ranta-kun itu permainan.”

"Permainan?"

Permainan apa itu? Haruhiro sungguh tak tahu, tapi dia merasa ada yang aneh. Ingat, dia Ranta. Sesuatu yang buruk akan terjadi jika bocah itu melakukan apapun sesukanya. Tapi, mengawasinya juga merepotkan. Jika harus mengawasi Ranta 24 jam, pasti Haruhiro akan semakin membencinya.

Tapi biarlah, kali ini lupakan Ranta, dan Haruhiro lebih baik mencari Mary dengan keempat rekan lainnya. Sepertinya Mary tidak sedang berada di sebelah timur kota di mana Guild Mage berada, atau sebelah barat kota di mana Guild Thief dan Dark Knight berada. Apakah dia berada di selatan kota, di mana distrik pengrajin dan penginapan berada? Atau di sebelah utara kota, tempat distrik perniagaan, Jalan Kaen, dan Gang Celestial berada? Saat mereka menuju ke distrik perniagaan, dan Jalan Kaen, ada kerumunan orang yang menghalangi.

“Aww, yeahhhhhh…!”

Suara itu, terdengar dari dalam kerumunan....

“Itu suara Ranta, kan?”

“Y-Ya.”

“…kalau begitu abaikan saja.”

Haruhiro mengerti bagaimana perasaan Shihoru, tapi dia tidak bisa mengabaikannya. Karena dia adalah pemimpin. Dan Ranta.... masih rekannya, kan?

Dia coba menerobos kerumunan, lalu mendapati Ranta dengan beberapa pria lain sedang duduk mengelilingi meja kayu pendek.

“Ranta, kau…”

"Hah? Haruhiro.... apa yang kau lakukan di sini, bung?”

"Harusnya aku yang menanyakan itu padamu.... apa yang kau lakukan di sini?"

"Kau tidak tahu?"

Ranta menunjukkan pada Haruhiro kartu berbentuk persegi panjang yang sedang dia pegang. Di tangannya ada empat atau lima kartu yang bergambar. Jika dilihat lebih dekat, ada beberapa kartu serupa yang berada di meja dengan posisi yang tidak teratur.

“Aku sedang bermain, nih. Jelas, kan? Aku memang terlahir sebagai pemain handal, paham?”

"…Baiklah kalau begitu. Tapi, permainan apa ini. Baru kali ini aku melihatnya.”

“Oke, giliranku! Beginilah cara mainnya!”

Ranta membanting kartunya ke atas meja, sehingga membalik dua kartu lain secara bersamaan.

“Yessss…! Dobel. Aku dapat dobeeeeeeeeeeeeellllllll.........!!”

"Sial!"

Di sebelahnya ada pria berwajah merah kotor, lalu dia membanting kartu dengan cara yang sama dengan Ranta, namun dia berhasil membalik tiga kartu.

"Makan tuh! Bagaimana…?!”

Ranta dan yang lainnya berteriak, “Tripel…?!” lalu mencengkram kepala mereka.

“…Ranta, kau gunakan uangmu untuk permainan seperti ini? Sudah kuduga.....”

"Hah?! Tentu saja! Apa serunya kalau gak pake uang!? Tanpa uang aku tidak mungkin sesrius ini!”

“Jadi… kau menang?”

“Hah!” Ranta menoleh. “Aku baru saja mulai! Setelah ini akan kubalikkan keadaan! Semuanya pasti tercengang!”

“…aku tidak akan bertanya berapa banyak uang yang telah kau habiskan untuk ini. Memikirkannya saja sudah membuatku merinding. Jadi, jangan kelewatan, ya?”

“Dasar bego! Kau harus mempertaruhkan semua agar seru! Tidak ada yang namanya kelewatan! Kau ini tidak paham ya, bego!? Pergi saja sana!!”

Apakah dia akan bermain sampai bokek? Itulah yang dikhawatirkan Haruhiro, tapi dia tidak mau pusing memperingatkan Ranta untuk berhenti. Lagian si kampret tidak akan mendengarnya. Bahkan, semakin dinasehati, Ranta akan semakin keras kepala. Maka, meninggalkannya adalah pilihan terbaik.

"Yah, berusahalah...."

“Tentu saja aku akan berusaha tanpa kau suruh! Aku akan terus bermain sampai emasku kembali....”

“Emas…?! Astaga, kau mempertaruhkan kepingan emas...?”

“Hanya sekeping emas, kok! Aku masih punya uang! Yang untung paling banyak akan menang!”

“Kau yakin tidak akan dipecundangi dan kehilangan segalanya?”

"Diam! Tutup mulutmu, dan pergilah! Enyah! Minggat sana, Parupiro!”

“Tentu, aku akan pergi. — Oh, tapi sebelum itu.... hanya memastikan, kau tidak lihat Mary?”

"Hah? Ya, aku melihatnya.”

"Hah?"

“Di dekat jembatan, beberapa jam yang lalu, ketika aku kembali ke asrama. Tapi aku mengabaikannya sih. Dia kelihatannya lesu, dan juga mengabaikanku. Puas?”

“Dia ada di sana?! Dekat asrama?! Mary?!"

“Ya, kan sudah kubilang. Tapi itu tadi, mungkin sekarang sudah tidak di sana. Lagian, apa yang sedang dia lakukan di jembatan?”

Haruhiro segera mengatakan, “Jangan sampai bokek, ya!” lalu segera berlari menembus kerumunan. Sepertinya Mogzo, Yume, dan Shihoru telah mendengarkan percakapan mereka. Sehingga, mereka mengangguk, lalu pergi mengikuti Haruhiro.

Menurut Ranta, dia melihat Mary beberapa jam yang lalu. Berarti dia di sana sekitar tengah hari. Agaknya dia sudah tidak berada di tempat yang sama. Entah pergi ke mana dia sekarang. Sayangnya, mereka tidak punya petunjuk lain, jadi tidak ada pilihan selain menelusurinya dari tempat tersebut.

"Nyaw! Itu...... Mary-chan, kan?”

Yume, sebagai seorang Hunter, memiliki penglihatan yang bagus, sehingga dia yang pertama menyadari keberadaan Mary.

Jembatan! Dia masih di sana!? Ya! Dia masih di sana! Oh syukurlah! Tidak salah lagi! Itu Mary! Dia masih di jembatan!

"Mary…!"

“Mary-san…!”

“M-Mary…!”

“Mary-chan…!”

Mereka berempat memanggilnya bersamaan, dan Mary pun menoleh padanya. Matanya terbelalak karena kaget. Jika ada beberapa orang memanggil namamu serempak dengan berteriak, tentu saja kau akan kaget. Selain itu, mungkin itu membuatnya malu. Jika Haruhiro berada di posisi Mary, mungkin dia sudah lari karena malu.

Tapi Mary tidak lari. Dia memegang tongkatnya erat-erat, dan menunggu mereka menghampirinya.

Saat sampai di jembatan, mereka sudah kehabisan napas. Sembari masih terengah-engah, Haruhiro bingung mau bilang apa. Tentu saja ada yang ingin dia katakan, tapi kepalanya masih kacau.

Mary sedikit mengernyitkan alis dan menutup mulutnya rapat-rapat sembari memandangi Haruhiro dan yang lainnya. Sama halnya dengan Haruhiro, sepertinya dia hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak bisa menemukan kata yang pas.

Sampai akhirnya, Shihoru yang duluan berkata, “K......” namun dia kembali menutup mulutnya. Setelah menunggu beberapa saat, dia berhasil membukanya lagi, dan melanjutnya, “.....kenapa?”

"Aku ..." Mary menunduk. “Aku m........” dia mungkin hendak meminta maaf. Aku minta maaf, mungkin begitulah yang ingin dia sampaikan. Haruhiro tahu itu, namun dia tidak ingin si gadis mengatakannya. Mary tidak perlu meminta maaf atas apapun.

"Syukurlah!" akhirnya Haruhiro memotongnya. Dia mengatakan itu dengan nada ceria yang jarang sekali dia ucapkan. Akibatnya, suasana canggung melingkupi mereka.

Aduh. Aku mengacaukannya. Kenapa aku tidak mengatakan sesuatu yang lebih normal? Duh, aku mau nangis nih. Tapi kalau sampai menangis, keadaan akan semakin lebih buruk. Jadi, aku tidak boleh menangis.

“...S-Syukurlah.... eh, uh.... syukur untuk apa ya....? Ah, iya! Syukurlah kami telah menemukanmu! A-aku tidak bermaksud mendramatisir pertemuan kita.... t-tapi.....”

Ahhhh! Kacau! Haruhiro hampir saja terjatuh, lalu berguling-guling di tanah karena tidak sanggup menahan malu. Semakin banyak dia bicara, semakin canggung keadaannya.

Mary hanya mendengarkan dengan serius, tetapi akhirnya dia memiringkan kepala ke samping, seolah bertanya, Sebenarnya apa yang coba dia katakan?

Ya, tentu saja dia bingung.

Haruhiro tidak yakin apa yang dia lakukan. Dia juga tidak tahu apa yang telah dia katakan.

“J-jadi.... d-dengan kata lain..... aduh, gimana ya bilangnya..... maksudku.....”

Mungkin karena tidak tahan lagi melihat tingkah Haruhiro, akhirnya Yume menyela, “Oh iya......kau sudah lama di sini, Mary-chan?”

"Aku di sini sejak ..." Mary terdiam, kemudian dengan suara sangat lirih dia melanjutkan, “....jam 9 pagi mungkin....?”

“…jam sembilan......,” kata Shihoru sambil menoleh pada Haruhiro.

“…jam sembilan?” kata Haruhiro sambil menoleh pada Mogzo.

“J-jam sembilan…” kata Mogzo sambil menoleh pada Yume.

“Jam sembilan… Tunggu dulu....... Nnngh…” Yume pun berpikir. Kemudian, “Sudah lama juga, ya? Kau bilang sudah di sini sejak jam 9 pagi, dan sekarang sudah lewat tengah hari.... Apaaaaaaaa!!?? Itu lama sekali....!!”

“…kupikir, jika aku di sini, seseorang akan datang menghampiriku....” Mary meringkuk dengan sedikit gemetaran. “…baiklah, biar kujelaskan....”

“Um …” Mogzo menundukkan kepalanya, membungkukkan punggungnya, lalu meringkuk lebih dari Mary. "Menjelaskan apa?"

“…Tentang apa yang terjadi di Bengkel Masukaze. Lebih tepatnya tentang sikapku pagi tadi…”

“Mwah. Sikapmu itu sungguh tegas dan keren.”

“…T-tidak.... harusnya tidak seperti itu.”

"Oh ya…?" sepertinya Shihoru sedikit emosi saat mengingat kembali apa yang dilakukan Riyosuke pagi tadi. “Kurasa, tidak masalah jika kita menggertak orang seperti itu.... tapi, aku sendiri belum tentu bisa melakukan hal itu.... sepertinya, aku kurang percaya diri.”

“Sebenarnya.... aku juga kurang percaya diri.”

“A-Aku juga!”

“Yume juga tidak begitu percaya diri, lho?”

“…Aku juga tidak.”

Ada apa ini? Apakah ini lomba mengakui kurangnya kepercayaan diri, atau semacamnya?

Sebagai pemimpin yang baik, apakah Haruhiro boleh menyatakan ketidakpercayaan dirinya? Memang nyatanya dia bukan orang yang percaya diri, tapi siapa yang membutuhkan pemimpin cemen seperti itu? Tapi memang seperti itulah Haruhiro, bahkan selama ini dia berpura-pura punya kepercayaan diri.

“Eh, tidak!”

Haruhiro menepukkan tangannya, lalu mereka segera melihat padanya. Mereka tampak terkejut, dan itu membuat Haruhiro merasa tidak enak.

“Mary… k-kurasa kau melakukan itu untuk kami. Kau berani bertindak seperti itu demi membela kami. Y-yahh, kurasa begitu?”

"Ya tapi…"

"Hah? Tapi?"

“....aku memang orangnya judes, oleh karena itu aku berani melakukannya. Jika tidak judes, aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu.”

"Benarkah? Menurut Yume, Mary-chan gadis yang baik. Maksud Yume, orang baik pasti membela teman-temannya, kan? Dan kalau Mary-chan tidak baik, maka Mary tidak akan membela kami.”

Ya. Aku mengerti. Aku mengerti maksudmu, Yume, tapi… kumohon hentikan!

Kau hanya membuat Mary semakin malu! Dia sudah sangat malu karena mengakui perbuatannya, dan kau malah membuatnya semakin parah!

“Erm…” Mogzo mungkin ingin mengendalikan suasana, tapi sepertinya dia tidak tahu harus berkata apa. Yang bisa dia lakukan hanyalah memegangi kepalanya sembari mengerang putus asa.

Baiklah!

Saatnya aku menjadi pemimpin!

Haruhiro mulai bersemangat, tapi dia juga bukan orang yang pandai memilih kata.

“Y-yang penting…!”

Shihoru! Shihoru membantu! Terima kasih, Shihoru!

“....k-kau sudah berusaha menceritakannya pada kami....setidaknya itu..... ummm, itu.... membuat kami senang.”

"Itu benar!" Haruhiro tersenyum lebar, dan mengatakan itu dengan lantang. Dia sendiri terkejut bisa mengatakan itu.

Suatu hari nanti aku ingin menjadi orang yang lebih terbuka, meskipun kelihatannya sulit.

"…Ya. Itu betul. Sebagai temanmu, aku senang mendengarnya, lho? Uhh, gimana ya bilangnya.... aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya... yang jelas, kita harus saling terbuka antar sesama.... ya, itu penting.... uhh, bukankah itu dasar dari sebuah tim? Jadi, kita harus membuat keadaan dimana kita nyaman menyampaikan isi hati. Tapi.... bagaimana ya kita membuat keadaan seperti itu. Hmmm, apakah yang kukatakan ini benar? Ah, sepertinya tidak juga...”

“Mungkin tidak.....” Mary menggelengkan kepalanya. Lalu, dia berterusterang, "Mungkin kau tidak salah, Haru."

"…benarkah?"

Uh oh. Bukankah dia memujiku? Apakah aku harus senang? Sial, kenapa rasanya ingin tersenyum?

Haruhiro memaksakan dirinya tetap tenang. Dia membuat wajah sekaku mungkin. Meskipun, rona wajahnya terlihat jelas senang.

“Y-Yah… j-jadi....a-aku benar, dong? A-ah, sepertinya aku terlalu merendahkan diri sendiri, ya? I-itu tidak baik, ya? T-tapi, aku juga tidak ingin menjadi seangkuh Ranta. Itu akan jadi masalah, kan? P-pokoknya, kami tidak berpikir macam-macam tentang apa yang kau lakukan di bengkel pagi tadi. Jadi, tidak perlu khawatir. Lagipula.... lihatlah pria bernama Riyosuke itu. Aku tidak begitu memahaminya, tapi orang seperti itu memang perlu sedikit digertak.”

"Kalau itu....." Mary menghela nafas. Sorot matanya tiba-tiba menjadi… lebih tajam? “Aku sudah memikirkannya. Sepertinya.... aku kurang keras. Orang seperti dia tidak pernah jera. Kita harus terus memantaunya. Dia harus dipaksa.”

Haruhiro jadi merinding. Mungkin inilah Mary yang sebenarnya... pikirnya.

Tapi Mary benar.

Kemudian, saat waktu yang disepakati tiba, Ranta bersama mereka kembali ke Bengkel Masukaze, lalu mendapati Riyosuke si pandai besi sedang mengutak-atik kepala Trigon.

"Ah! Tidak! Ini, um, aku hanya iseng! Aku baru saja mau.........”

"Cepatlah," perintah Mary dengan suara pelan, namun dingin. Jujur saja, Mary sangat mengerikan seperti itu. Ekspresi seperti itu tidak bisa dia buat-buat, meskipun dia mencoba. Seperti itukah Mary sejak lahir?

Jadi aslinya seperti itu, ya?

Meskipun begitu, mereka tidak bisa serta merta menyimpulkan bahwa Mary orang yang judes.

Setiap orang memiliki sifat-sifat yang berbeda, dan semuanya berubah berdasarkan situasi dan kondisi. Selain itu, waktu juga mempengaruhi perubahan sifat seseorang. Misalnya Ranta, di masa depan mungkin dia akan berhenti menjadi orang yang menyebalkan.... ya, mungkin saja, meskipun kelihatannya sulit.

Kembali ke pokok permasalahan, mereka memutuskan untuk mengawasi Riyosuke bekerja. Jika tidak, mungkin si pandai besi tidak akan menyelesaikan pekerjaannya. Toh, mereka tidak bisa berburu sampai Mogzo mempunyai senjata yang layak.

"Baik! Aku mengerti! Aku sudah mengerti! Aku hanya perlu menyelesaikannya, kan? Baik, aku akan menyelesaikannya! Kalian tidak perlu memaksaku! Aku sudah bersiap menye....”

Riyosuke akhirnya mulai bekerja. Haruhiro pun berpikir, ’Kenapa jadi kau yang membentak kami?’ Tapi ternyata, pandai besi bernama Riyosuke itu serius sekali ketika mulai bekerja. Dia bahkan memiliki tiga asisten. Melihat keempatnya bekerja bersama sangatlah memuaskan. Dia mengayunkan palunya untuk menempa dengan sekuat tenaga seperti orang kesurupan.

"Sebenarnya, kerja guru kami cukup cepat,” salah satu asistennya mengatakan itu dengan suara lirih. “Hanya saja, dia perlu waktu lama untuk memulai. Mungkin, seperti itulah karakter seorang pengrajin. Dia tidak akan bekerja sebelum mendapatkan inspirasi. Aku tahu, asistennya tidak pantas menjelaskan ini, karena kami masih belajar. Tapi yang kutahu....hasil pekerjaan guru kami sangat baik.”

Haruhiro tidak tahu apa-apa soal pengrajin, tapi setidaknya dia tahu watak pasukan relawan bermacam-macam. Mungkin, pengrajin juga begitu.

Singkat cerita, mereka tidak perlu menunggu sampai jam 6.00 sore, saat lonceng berdentang. Pedang Mogzo selesai kurang-lebih dalam sejam saja. Herannya, kelihatannya pedang itu tidak banyak berbeda dari pedang Death Spot sebelumnya. Paling-paling, perbedaannya adalah bentuk yang lebih rapih dan ramping.

"Ini dia!" Riyosuke menyerukan itu dengan nada puas, sembari memberikan pedang tersebut pada Mogzo, “Ini pedang yang berkualitas, lho! Cobalah pegang!”

"…Baik." Mogzo meraih gagang senjata barunya. Saat itu juga, "Ap....a?!" ekspresinya berubah. “A-apa ini? Terasa berat..... tapi juga ringan. B-benarkah ini....?”

Grimgar Vol 14++ (8).jpg

“Apa kau bilang?! Mogzo, berikan padaku!” Ranta merebut pedang besar itu dari Mogzo—tapi, “Gwuh?!” dia segera menjatuhkannya.

“I-Ini sangat berat! Kau tidak mungkin membawanya berburu, kan…?!”

Tubuh Ranta tidak sekuat dan sebesar Mogzo. Melihat itu, Riyosuke hanya tersenyum penuh misteri, lalu menerangkan....

“Seberapa mudah senjata digunakan tergantung pada titik beratnya yang terletak di tempat yang tepat. Beda senjata beda pula titik beratnya, tapi kita bisa merasakannya! Dan untuk pedang besar ini, aku sengaja menempatkannya pada posisi yang cocok bagi pemiliknya saja. Orang lain akan kesulitan menggunakannya. Oleh karena itu, hanya pemiliknya saja yang merasa ringan saat menggunakannya. Itulah alasannya....!”

Haruhiro sangat terkesan, dan Mogzo juga tampak begitu antusias. Shihoru hanya mengangguk mendengar penjelasan itu, sedangkan Yume mengatakan “Fweh…” meskipun sepertinya dia tidak paham apapun. Ranta juga ingin Riyosuke membuatkan senjata untuknya.

"Ha ha ha! Nanti dulu. Aku minta bayaranku dulu. Kita sedang berbisnis di sini.”

Riyosuke memberinya kedipan nakal, Mogzo pun merespon, "Oh, iya!" lalu saat hendak mengeluarkan uang, Mary menghentikannya.

"Tunggu dulu....."

“…H-ha?” Riyosuke tampak menciut, sepertinya dia sangat takut pada gadis itu.

“Kau berkali-kali tidak menepati janji, terutama soal waktu pengerjaan. Maka, kau tidak berhak mendapatkan 40 perak yang kita janjikan di awal, kan?”

“…T-tidak boleh ya?”

“Menurutmu?”

“…Y-yahh, jadi tidak boleh ya. Ya, tentu saja. Itu masuk akal.... Ha ha ha, baiklah, kalau begitu, bagaimana kalau 38?”

“Apa?”

“Tidak, tidak.... 37?”

"Yang benar saja."

“Kalau, 30?”

“Kau yakin jumlah itu pantas untuk pekerjaanmu yang lelet?”

“…baiklah.... kumohon, 25 perak saja...”

Maka dengan begitu, Mogzo mendapatkan pedang Death Spot-nya. Berkat Mary, dia juga mendapatkan diskon hampir setengah harga. Tentu saja, dengan sedikit ancaman dari si gadis. Haruhiro juga merasa ngeri melihatnya, tapi kalau Mary tidak tegas mereka akan dirugikan. Mary memang pengancam yang ulung.

Karena masih punya sisa uang, Mogzo memutuskan mentraktir mereka makan malam yang mahal. Maka, semuanya berkumpul di desa dekat distrik pengrajin.

"Wah! Kuakui Mary memang menakutkan! Aku tidak pernah melihat gadis sepertimu sebelumnya. Luar biasa!”

“Ranta, kau…”

Haruhiro hendak menegurnya, tapi Mary malah sedikit tersenyum.

“Aku bisa bernegosiasi lebih cerdas darimu, kan?”

“Ya, aku memang tidak bisa bernegosiasi dengan cerdas. Yang kubisa hanyalah paksa, paksa, dan terus paksa. Tapi yang penting kan hasilnya.”

Mary tampaknya tidak terlalu mempermasalahkannya lagi. Apakah dia sudah ikhlas dibilang menakutkan? Mungkin hatinya sudah lebih terbuka sekarang, sehingga dia tidak lagi serius menanggapi omongan Ranta. Haruhiro pun senang melihatnya.

“Yume, kupikir…” Shihoru berbisik pada Yume,

“.....tentang masalah penginapan......... kurasa kita tidak perlu pindah cepat-cepat…"

“Hmm. Yah, tidak perlu terburu-buru.”

Dia tidak bilang begitu karena takut tinggal bersama Mary yang judes, kan?

Mereka berbisik pelan, tapi sepertinya Ranta mendengarnya. Dia menyeringai, lalu bergumam sendiri. Aku belum mendapatkan kesempatan bagus.... kurang-lebih begitulah bisiknya.

“…kesempatan bagus?”

"Hah?"

Haruhiro dan Ranta saling tatap.

Apa maksudmu kesempatan bagus?

“Oh…” Ranta langsung membuang muka. "…Bung, sebenarnya ini bukan masalah kesepian, kenangan, atau apa.....ini tentang ’itu’ …?”

Ranta tiba-tiba memeluk bahu Haruhiro dan Mogzo, lalu tertawa terbahak-bahak.

“Pokoknya nanti seru deh. Jangan bilang sapa-sapa, ya. Memalukan.”

“…Kau lah yang memalukan.”

“Y-Ya …”

Lampiran 2 : Melolong Di Bawah Sinar Rembulan, Akulah Sang Serigala.[edit]

1. Di Pantai[edit]

Di suatu pantai terpencil, ada dua wanita yang saling menatap.

Matahari yang tinggi di langit menyinari mereka dengan panasnya yang terik.

Rasanya seperti terbakar.

Panas yang terik tidak hanya menyinari mereka, tapi juga pasir yang sedang mereka pijak tanpa alas kaki. Tidak hanya bertelanjang kaki, mereka juga tidak mengenakan pakaian. Namun, juga tidak telanjang bulat.

Bisa dibilang, mereka setengah telanjang. Masing-masing dari mereka membungkus diri dengan kain kasar di sekitar dada dan pinggang. Ah, bukan.... itu bukan kain. Lebih tepatnya, mereka memakai lembaran yang terbuat dari kulit kayu yang direbus lalu dipadatkan. Karena penutup tubuh mereka terbuat dari bahan-bahan alami yang tidak diproses, maka tidak bisa disebut pakaian.

Kedua wanita itu memiliki rambut yang cukup panjang. Salah satunya dikepang, sedangkan satunya lagi diikat model konde ganda. Ikat rambut yang mereka gunakan juga terbuat dari kulit kayu.

Mereka berjongkok, menekuk kakinya, dan sedikit membungkuk, dari sorot matanya seakan mengatakan sesuatu. Lalu, mereka menggerakkan tangan, menjulurkannya, menariknya lagi, dan mengayunkan tubuhnya. Sepertinya mereka sedang mengamati reaksi satu sama lain.

Keduanya bermandikan keringat. Tetesan keringat itu tampak seperti manik-manik kaca yang mengaliri kulit mereka yang kecokelatan, lalu menetes dari dagu tanpa henti.

Tidak ada peringatan sebelumnya. Tiba-tiba, wanita berambut kepang menyerang wanita berambut konde.

Wanita berambut kepang berusaha menyerang tubuh bagian bawah wanita berkonde, lalu menjungkalkannya. Pasir beterbangan saat dia melakukan itu. Harusnya itu melambatkan gerakannya, dan membuat wanita berambut konde menyadari serangannya. Tapi serangan wanita berambut kepang cukup cepat. Dia melakukan takel yang kejam pada lawannya. Si wanita berkonde pun terkejut, lalu menelan ludahnya. Matanya terbelalak, dan yang bisa dia lakukan hanyalah pasrah.

Setidaknya begitulah kelihatannya, tapi wanita berambut konde tidak hanya melonggo sembari berseru, ’Whoa, dia cepat sekali!’ Sesaat dia menyeringai, ah tidak.... dia tidak hanya melakukannya, tapi juga mengatakannya, “Menyeringai!”

Pikiran, ’Ini bisa gawat,’ terlintas di kepala wanita berambut kepang, namun dia masih melanjutkan serangannya. Lalu, dengan perhitungan yang matang, wanita berambut konde memegang kepala lawannya. Karena wanita berambut kepang masih meluncur, maka si rambut konde menggunakan momentum dengan menghentak kepalanya, lalu dia melompat melewatinya. Tidak hanya kehilangan targetnya, si rambut kepang terus meluncur, sampai akhirnya tersungkur. Si rambut kepang sudah merasa kalah, namun ternyata si konde belum selesai, ’Rasakan ini juga!’ begitulah pikirnya. Kemudian, dia mengayunkan kaki kirinya ke belakang.

Kaki kiri si konde mendekati punggung wanita berkepang. Kelima jari kaki itu melebar seperti katak. Tidak, mungkin kaki katak bukan perumpamaan yang tepat. Jari kakinya melebar seperti selembar kertas yang begitu datar. Bahkan, mungkin dia bisa menggunakan kakinya untuk suit batu-kertas-gunting.

Jempol kaki si konde menyentuh punggung wanita berkepang. Lebih tepatnya, menyentuh titik antara bahu kiri dan kanannya. Selanjutnya, jari telunjuk kaki juga mengenai titik yang sama.

Jempol dan telunjuk kakinya mengenai punggung? Oh, ini gawat.

Si kepang menjerit aneh, "Mobah!" lalu coba membalikkan badan. Sayangnya, sudah terlambat. Tanpa ampun, dengan jempol dan telunjuk kakinya, si konde melepaskan simpul kulit kayu di punggung si kepang yang membungkus dadanya.

“No-chah!”

Si konde menjerit, lalu berputar seperti tornado.

Dengan gerakan itu, pembungkus dada pun terlepas.

Wajah si kepang hampir jatuh pada pasir pantai yang panas, tapi sesaat sebelum itu terjadi, "Ngh, nah!" dia menggunakan kedua tangan untuk menopang tubuhnya, agar kesialan itu tidak terjadi. Dia masih tampak optimis, seolah mengatakan, ’Kalau hanya ini sih, tidak masalah!’ tapi mungkin itu tidak benar. Dia tidak hanya melawan orang yang lebih kuat, namun dadanya sama sekali tidak tertutup. Lalu, entah kenapa dia sepertinya hendak melakukan push-up.

Ohhh, apaan sih?! Kenapa jadi begini?!

Mencoba merubah kekesalannya menjadi kekuatan, si kepang pun berteriak, “Kwomuh!” lalu dia meluncurkan tubuhnya ke udara hanya dengan menggunakan kekuatan lengannya.

Si konde hanya nyengir, sembari sedikit mengangkat kaki kirinya.

Jari kakinya masih mengapit kulit kayu yang tadinya menutupi dada si kepang. Bersama dengan hembusan angin, kulit kayu itu melambai-lambai ke kiri-kanan.

“Oppai-mu kelihatan, Yumeryun. Hehehehe…”

“Grrrr…”

Yume, atau Yumeryun, menggertakkan giginya begitu keras dengan wajah kecoklatan yang mulai berubah menjadi merah gelap. Dia tidak malu karena penutup dadanya lepas. Itu bukan masalah baginya. Yang membuat dia emosi adalah, serangan tekel yang dia lakukan dengan kekuatan penuh digagalkan begitu saja oleh lawannya. Tapi, Yume mengangguk sembari bergumam, “......ayo lakukan lagi.....”

Hufff..... dia menghela napas. Dia coba berdiri tegak, pasang kuda-kuda bertahan dengan satu kaki di depan dan kaki lainnya di belakang, lalu sedikit meregangkan tubuhnya.

“Ini belum berakhir, Momo-san. Skornya baru 2-1, lho?”

"Ya."

Momohina, atau Momo-san, menjatuhkan kulit kayu yang dari tadi dia jepit di kakinya, kemudian kembali pasang kuda-kuda.

“Aku tahu itu, Yumeryun.”

Kuda-kudanya sulit diterka, dia bisa melakukan begitu banyak gerakan dengan posisi seperti itu. Dia bisa menyerang atau bertahan, tapi ketika diserang, dia juga bisa menghindar dengan berbagai cara. Yume tahu Momohina tubuhnya tidak begitu ideal, namun dia licin, gesit, dan lincah. Tapi, ketika dia menyerang, tubuh mungil itu seolah bisa melipatgandakan beratnya. Kalau dia mulai serius, semuanya akan.... brak, bruk, booom.... luluh lantah.

Momohina bisa melakukan apapun yang dia mau, seperti mempercepat atau memperlambat gerakan, itulah sebabnya sulit mendekatinya. Apa yang bisa dia lakukan? Yume mempertanyakan itu pada diri sendiri, dan dia pun menjawab, “Hmmm, mungkin aku bisa melakukan ini.... atau itu....” dengan kata lain, dia tidak tahu jawaban pastinya. Sampai akhirnya dia menyimpulkan, “Jangan dipikir! Rasakan saja!” kalau hanya berpikir, lama-kelamaan dia akan lupa. Beda dengan dirasakan. Jika kau berhasil merasakan sesuatu, mungkin kau tidak bisa menggambarkannya dalam perkataan, tapi kau sangat memahaminya.

Yume membayangkan menjadi Momohina. Dalam pikirannya, Yume adalah Momo-san.

Yume = Momo-san.

Dia menggerakkan kakinya. Yume mulai melakukan sesuatu. Sedangkan Momohina masih di sana.

Sebenarnya, peraturan pertandingan ini mudah. Siapa yang berhasil mengambil pengikat dada lawannya, dia lah yang menang. Tapi, tentu saja tidak mudah dilakukan.

Yume merasakan tekstur dan panasnya pasir yang dia pijak. Dia mendengarkan desir ombak, dan angin yang bertiup dari selatan. Angin itu tidak cukup kencang membuat rambutnya berayun.

Momohina tersenyum, matanya terus fokus pada Yume. Sedangkan Yume tidak tersenyum. Dia terus menatap Momohina tanpa sedikit pun rona tawa di wajahnya. Ekspresi wajah mereka berbeda, namun mungkin keduanya merasakan hal yang sama.

Yume terhubung dengan Momohina. Bukan secara fisik, tapi batin. Jika pipi kanan Momohina dicubit, Yume akan merasakan sakitnya.

Jarak antara keduanya semakin menyempit.

Waktunya hampir tiba.

Yume dan Momohina sama-sama menjulurkan tangan kanannya dengan sedikit terbuka. Punggung tangan mereka saling bersentuhan. Hampir seperti jabat tangan. Itu tandanya.

Momohina ganti mengulurkan tangan kirinya. Saat itulah bentrokan mulai terjadi. Tangan kanan Yume mendorong lengan kiri Momohina, dan tangan kanan Momohina melesat mendekati dagu Yume. Tapi Yume segera menampiknya dengan tangan kiri.

Momohina mencoba menebas sisi leher Yume dengan tangan kirinya. Yume membelokkan tebasan itu secara diagonal dengan siku kirinya. Seolah bosan main tangan, Momohina meluncurkan tendangan untuk menyapu lutut kiri Yume dengan kaki kanannya. Yume segera menarik kaki kirinya ke belakang, dan menunggu kaki kanan Momohina melakukan hal yang sama.

Mereka bertarung dalam jarak dekat. Tangan dan kaki keduanya saling menangkis serangan demi serangan. Dengan gerakan yang jitu, mereka saling membelokkan dan melindungi diri dari serangan lawannya. Mereka tidak adu jotos kecuali pada momen yang tepat. Beberapa kali, mereka juga menggunakan kuku untuk saling cakar. Tidak hanya itu, siku, dengkul, tumit dan tonjolan tubuh lainnya juga mereka gunakan. Mereka hampir memanfaatkan semua bagian tubuhnya. Dengan begitu, variasi serangan yang mereka lakukan begitu banyak. Yume pun terus berpikir, ’Jika dia melakukan ini, maka Yume begitu, jika dia begitu, maka Yume begini.’ Bahkan ketika Yume belum berpikir, tubuhnya sudah bergerak sendiri untuk mengantisipasi gerakan Momohina. Sepertinya, refleks itu adalah hasil dari laithan selama ini.

Yume mendorong bahu kiri Momohina dengan keras menggunakan tangan kanan. Lalu, dia coba merampas pengikat dada Momohina dengan tangan kiri, tapi dia segera menghentikannya dengan tangan kanan.

Yume mencoba berputar ke belakang Momohina dari sebelah kanan. Untuk menghindarinya, si konde juga memutar tubuhnya, tapi dari arah yang berlawanan.

Menyadari itu, Yume segera berubah arah ke kiri juga. Atau.... begitulah kelihatannya, tapi tiba-tiba dia berhenti seketika.

Itu membuka jarak di antara mereka.

Yume memanfaatkan jeda itu menarik napas dalam-dalam. Dia sama sekali tidak bernapas selama memberikan serangan beruntun. Karena dia tidak sempat melakukannya. Momohina pun demikian. Tapi bedanya, saat Yume jeda menarik napas, Momohina tidak melakukannya.

Yume cukup heran melihatnya. Sebenarnya, sekuat apa stamina Momohina? Setelah cukup mengatur napas, Yume kembali melesat. Di bergerak lebih cepat dan lebih kuat. Dia melepaskan tendangan memutar ke kanan. Momohina dengan enteng menahannya menggunakan lengan dan kaki kiri. Setelah itu, Yume tidak menarik kembali kakinya. Dia meneruskan dengan tendangan atas, tengah, dan tengah lagi menggunakan kaki yang sama. Tidak berhenti di situ, dia melepaskan tendangan beruntun ke atas, tengah, atas, bawah, bawah. Dengan memberondong tendangan beruntun, keseimbangan tubuh Yume mulai tidak stabil. Itulah yang diincar Momohina. Tapi Yume tidak berhenti. Tubuh Yume sedikit lebih besar dari lawannya, dan ketika tangannya tidak bisa meraih Momohina, setidaknya dia masih bisa memberikan tekanan dengan tendangan.

Sayangnya dia tidak kunjung menembus pertahanan Momohina. Meskipun telah melakukan kombinasi tendangan atas, tengah, bawah berkali-kali, tak satu pun berhasil. Dia bisa mencoba tendangan terbang, namun itu membuat pertahanannya terbuka lebar. Tendangan lutut juga bisa, tapi itu membuat jaraknya dengan Momohina terlalu dekat.

Semakin banyak dia menyerang, semakin sedikit jurus yang tersisa. Inilah hebatnya pertahanan Momohina. Dia bisa mengalahkan Yume tanpa menyerangnya sedikit pun. Dan setiap kali Yume menyerang, dia justru semakin terpojok.

Dia kuat.

Lagi-lagi Yume terpaksa mengagumi kehebatan lawannya. Sejak awal Momohina memang kuat, tapi dengan berlatih bersama Yume di pulau ini, itu membuatnya semakin kuat. Perbedaan kemampuan di antara keduanya sangat jelas. Meskipun Yume menyerangnya dengan sekuat tenaga, itu hampir tidak berdampak apapun bagi Momohina.

“Koh!”

Yume mengangkat kaki kanannya sampai membuat tubuhnya bengkok ke belakang. Melihat itu, Momohina segera mendorong mundur tubuhnya, jika tidak mungkin ujung kaki Yume sudah menghajar rahangnya.

Tapi Yume sudah tahu Momohina akan menghindar. Itulah mengapa Yume tidak hanya membengkokkan tubuhnya, tapi dia juga melakukan salto. Itu adalah skill Hunter yang bernama Weasel Somersault. Tidak hanya sekali, Yume menggunakan skill itu dua kali secara beruntun untuk menjauh dari lawannya.

Akhirnya, Yume punya waktu mengambil napas lagi. Tapi sayangnya tidak lega. Tenggorokan dan paru-parunya terasa seperti terbakar. Jantungnya berdegup begitu kencang. Keringat yang dia kucurkan tidaklah normal.

“Kau semakin kuat, Yumeryun.”

Momohina juga berkeringat. Tapi tidak separah Yume. Meskipun begitu, wajahnya masih tampak tenang.

“Ketika kami pertama kali datang ke pulau itu, kau benar-benar buuuuuuuuuukan tandinganku. Ya, sungguh bukan tandinganku.”

Momohina meletakkan tangannya di pinggul, lalu tertawa sendiri. Dia belum mendapati kesulitan menghadapi Yume.

Tapi, Momohina memang orangnya tidak pernah panik. Dia selalu tenang, bahkan suka bercanda.

Bersama Momohina, Yume hampir lupa kalau mereka berada di pulau terpencil. Yume tidak stress berlatih di pulau ini karena ada Momohina. Jika tidak bersamanya, mungkin dia tidak akan sampai sejauh ini. Dan dia tidak akan menjadi sekuat ini. Momohina mengajarkan banyak hal padanya. Yume pun bukan gadis yang mau dianggap lemah. Maka, dia harus terus berlatih agar semakin kuat. Momohina juga percaya dia bisa melakukannya.

Yume meregangkan punggungnya, merentangkan kakinya selebar bahu, dan membiarkan lengannya tergantung lemas.

“Tinju hewan… Beruang!”

“Baiklah, kalau begitu aku …”

Momohina mengangkat kaki kirinya ke depan, dan menempatkan kaki kanannya di belakang. Ada jarak sekitar dua kepalan tangan di antara kedua kakinya. Dia menekuk lututnya, dan pasang kuda-kuda. Lalu, dia mencondongkan tubuh ke depan, membungkuk ke belakang, dan menempatkan kedua tangannya di tanah.

"Tinju hewan ... Anjing!"

Rambut Momohina berdiri tegak. Grrr! Terdengar suara menggeram dari tenggorokannya.

Yume meraung. Grawwwr! Dia benar-benar menjadi beruang sekarang.

Anjing mulai menerjang beruang. Si beruang mengayunkan tangannya dengan kejam untuk memangsa anjing. Tapi si anjing melompat-lompat, untuk menghindari amukan beruang, sembari mencari celah untuk menyerang lehernya.

Kemudian, beruang dan anjing saling bergumul. Mereka juga saling tunggang-menunggangi.

Sampai akhirnya terpisah, dan anjing melarikan diri. Tentu beruang tidak tinggal diam, dan langsung memburunya. Tapi entah kenapa, beberapa saat berselang gantian anjing yang memburu, sedangkan beruang lari. Seolah hanya pancingan, beruang segera melancarkan serangan balik, dan anjing kembali menghindar dengan membuat jarak di antara mereka.

"Tinju hewan ... Ular!"

Kali ini, lengan si beruang bergerak begitu lemas seperti ular. Tidak hanya tangannya, tubuh si beruang........ ah, tidak..... sebut saja Yume..... karena dia sudah berganti menjadi ular sekarang..... tubuh Yume juga bergerak seperti ular. Lalu, dia kembali menyerang si anjing.

“Tinju hewan… Tupai!”

Tiba-tiba anjing itu, tidak, Momohina menjadi tupai.

Tupai yang kecil dan lincah. Dia bergerak seperti kincir angin, untuk menghindari semua serangan ular.

"Baiklah kalau begitu! Tinju hewan… Kalajengking!”

“Kalau begitu aku… Tinju hewan..... katak!”

“Tinju hewan… Lebah!”

“Tinju hewan… Kupu-kupu!”

“Kupu-kupu ?!”

“Maaf salah! Maksudku..... Ubur ubur!"

"Ubur ubur?!"

“Tidak maksudku, Gurita!”

“Kuda nil!”

"Badak!"

"Beo!"

"Ada beo juga?! Gajah!"

“B-Buaya!”

"Telur!"

"Telur?! Yang benar saja!"

"Nyaw! Tinju hewan, Kucing!”

"Aku..... Lalat!"

“Fung!”

“Myahh!”

“Doh!”

“Undakatsuohhh…!”

Pertarungan mereka terus berlanjut sampai Yume kelelahan. Pikirannya mulai kacau dan kesadarannya mulai memudar. Dia sudah sangat lelah. Tapi, dia masih belum berhenti. Dia terus menahan atau menangkis serangan Momohina, harusnya kekuatannya semakin melemah sampai habis, tapi entah kenapa masih saja tersisa. Maka, dia terus memberikan perlawanan. Jika tidak melawan, maka saat itu jugalah dia kalah.

Konon katanya, dalam suatu pertarungan ada alur yang bisa dibaca dan dikendalikan. Ketika seseorang menguasai alur itu, maka dia bisa memenangkan pertarungan. Yume ingin mengendalikan alur seperti itu. Tapi sepertinya masih terlalu dini baginya. Dia tidak bisa mengendalikan, apalagi menciptakan alur pertarungan saat melawan Momohina.

Sebenarnya dia sudah bisa melihatnya. Yume pun mencoba mengendalikan alur itu agar menguntungkan dirinya. Tapi itu tidak mudah. Momohina selalu mengamati Yume dengan tenang. Dia melihat, mendengar, mencium, dan merasakan lawannya dengan seksama. Dia memahami lawannya dengan begitu detail. Dengan kata lain, alur pertarungan ini sepenuhnya dipegang dan dikendalikan oleh Momohina.

Yume mendapatkan teknik melihat alur saat berlatih bersama Momohina. Tapi, hanya itu saja. Dia menyadari adanya alur dan bisa merasakannya, namun tidak bisa menguasainya.

Tak terasa, matahari sudah mulai terbenam.

Setelah saling serang dan bertahan yang tak terhitung jumlahnya, akhirnya Yume sanggup meraih ikatan kulit kayu yang membungkus dada Momohina dengan jempol kaki kirinya.

Pada saat yang sama, tangan kiri Momohina merobek celana dalam Yume.

Oh iya, sebenarnya yang memenangkan pertarungan ini bukanlah orang yang sanggup melepas pengikat dada saja, melainkan juga celana dalam.

“Hei! Sepertinya aku menang!”

“Unnie! Yume kalah!”

Matahari terbenam membuat cakrawala menyala. Bayangan yang sudah menemani mereka berlatih seharian segera berubah menjadi gelap gulita bersama malam yang semakin pekat.

Mereka berdua terbaring di pantai.

Yume telanjang bulat. Sedangkan Momohina hanya bertelanjang dada. Tapi tidak masalah. Karena pulau ini kosong. Sebelum kedatangan mereka, tak seorang pun menghuni pulau ini.

Grimgar Vol 14++ (9).jpg

“Hari ini kita berlatih lama sekali, ya. Kerja bagus, Yumeryun.”

“Ini belum apa-apa. Tapi, tak peduli selama apapun bertarung, Yume tidak pernah merasa menang.”

"Oh ya? Aku tidak tahu. Kurasa duel kita hari ini berlangsung cukup ketat.”

“Hmm. Ketat, ya?”

“Yumeryun, bokokngmu kenyal juga.”

"Kenyal?"

“Ya, kenyal nyal nyal nyal.”

"Bokongmu juga kenyal, Momo-san."

“Ah, bokongku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan punyamu, Yumeryun.”

"Tunggu, apakah kau sedang memuji Yume?"

“Ya, tentu saja. Karena bokong yang kenyal adalah yang terbaik, kan?”

"Oh ya?"

Tepat setelah Yume mengatakan itu, terdengar suara gemuruh keras.

Yume mengusap perutnya. Dan suaranya semakin keras.

“… Ah. Yume lapar!”

"Ya!"

Momohina segera melompat berdiri dengan gesit. Bahkan setelah berlatih selama itu, gerakannya masih saja lincah. Luar biasa, dia memang monster.

Yume perlahan duduk. Dia ingin bergerak secepat Momohina, tapi beberapa bagian tubuhnya nyeri.

Harus terus berlatih.....

Saat pertama kali datang ke pulau ini, kemampuan Yume tidak sebaik ini.

“Ayo cari makan!”

Bahkan setelah berlatih sampai magrib, Momohina masih sanggup berburu bahan makanan di alam liar. Yume mengikutinya dengan perlahan dari belakang. Mungkin progresnya lambat, tapi jelas Yume sedang berkembang.

2. Kekuatan Akan Membuatku Tangguh[edit]

Mantis-go berlayar dari pangkalan utama PT. Bajak Laut K&K di kota pelabuhan Roronea, Kepulauan Permata, lalu menuju ke arah timur.

Secara umum, mereka menuju ke timur, dan terus ke timur melintasi perairan yang dinamakan Laut Biru atau Samudra Biru. Jika mereka menyusuri terus ke timur Kepulauan Karang, akan terlihat pantai barat Benua Merah.

Benua Merah dihuni oleh orang-orang berekor, berlengan panjang, bertelinga panjang, bermata tiga, bermata banyak, berkepala besi, berbulu, berkulit duri, bertulang bulu, tak berbayangan, berbentuk bola, dan masih banyak lagi. Ada banyak negara dan raja di sana.

Jarak Kepulauan Permata ke Kepulauan Karang begitu jauh. Dan jarak ke Benua Merah bahkan lebih jauh. Tapi ketika armada Kerajaan Aravakia menemukan Kepulauan Karang sekitar dua ratus tahun silam, pulau-pulau itu sudah berpenghuni, bahkan ada pelabuhan di sana. Orang-orang bermata banyak dari Benua Merah telah terlebih dahulu menemukan tempat itu.

Di dunia ini, hanya ada satu daratan besar yang disebut Grimgar. Yahh, kebanyakan orang tahu itu, tapi sebenarnya salah besar.

Orang-orang yang pertama kali menemukan eksistensi Benua Merah juga menyebutnya Grimgar. Namun, lambat laun mereka tahu kalau itu tidak benar. Sejarah Grimgar dan Benua Merah terus berganti dengan Kepulauan Karang sebagai titik transit di antara keduanya. Sebelum dihancurkan, Kerajaan Aravakia dan Ishmal menjalin hubungan kerjasama dengan beberapa kerajaan dari Benua Merah, dan mereka pun saling berdagang.

Benua Merah bukanlah mitos, fiksi, mimpi, atau bahkan ilusi.

Katanya, Benua Merah sangatlah jauh, dan jalur laut dipenuhi bahaya dan ancaman. Di laut, kau tidak akan menemukan tempat istirahat, dan badai sederhana saja bisa membunuhmu. Tanpa adanya kapten, navigator, dan kru yang berpengalaman agaknya mustahil sampai ke Kepulauan Karang, apalagi Benua Merah. Meskipun menaiki kapal yang sudah pernah ke tempat itu, tidak menjamin tidak akan tenggelam pada pelayaran berikutnya.

Yume telah berkali-kali diberitahu bahwa tidak ada yang bisa menjamin keselamatannya, dan dia pun memahami itu. Tapi, benarkah dia sudah siap menghadapi semua resiko yang mungkin terjadi? Mungkin dia tidak berpikir sampai ke situ. Begitu pun dengan Momohina dan kru Mantis-go yang melayani di bawah Ginzy, seolah-olah mereka hanya berlayar begitu saja tanpa mempertimbangkan banyak resiko. Namun, satu hal yang pasti, Yume sangat antusias. Dia tidak pernah merasakan firasat buruk atau kesialan apapun.

“Sudah dua tahun ya…?”

Yume menggunakan tongkat yang dia gunakan untuk mengaduk api, menggambar pusaran di pasir. Dia bermaksud menulis angka, tapi entah kenapa jadi pusaran.

Mereka berburu sampai tengah malam, dan mendapatkan tupai terbang hitam, rakun bermata besar, dan burung naga yang mereka tangkap di pantai. Yume menjagal hewan-hewan itu, dan Momohina yang menyalakan api. Mereka sudah makan sebagian dari tupai terbang hitam dan rakun bermata besar. Tentu saja mereka harus memasaknya terlebih dahulu. Sebenarnya mereka juga mau memasak burung naga, tapi karena sudah kenyang, mereka pun membiarkannya.

Momohina sedang berbaring telentang. Yume menoleh padanya, berpikir dia pasti sudah tidur karena sangat tenang, tapi ternyata matanya masih terbuka.

Yume terus menggambar lingkaran dengan tongkatnya.

“Sudah dua tahun? Apa Yume salah ya? Sebenarnya Yume tidak begitu menghitungnya saat tiba di sini.”

"Sepertinya itu benar," kata Momohina dengan samar.

Mantis-go terjebak badai besar dalam perjalanan menuju Kepulauan Karang. Yume tidak tahu banyak tentang laut, tapi tampaknya perjalanan tidak bisa dilanjut karena badai tersebut, atau topan, atau angin puyuh.... atau apalah namanya, tapi sepertinya waktu telah berlalu lebih dari setahun sejak saat itu. Mereka tidak bisa keluar ataupun menghindar dari keadaan ini, jadi mereka harus menunggu sampai cuaca lebih bersahabat. Di dalam Mantis-go, mereka bekerja keras, dan bersiap untuk pergi ketika momennya tepat. Mereka mengatur kargo, memperbaiki bagian kapal, dll. Yume membantu sebisa mungkin. Kalau tidak, dia merasa tidak berguna bagi tim.

“Badai itu. Rasanya baru kemarin terjadi.”

“Aku malah sudah melupakannya. Hohoho.”

Tidak seperti Momohina yang tertawa aneh, Yume tidak melupakannya. Waktu itu, angin bertiup kencang, hujan menderu Mantis-go, dan dia bergoyang maju-mundur. Tidak... bukannya bergoyang, itu lebih mirip tergulung, terkoyak, dan berputar.

Pada saat itu, ada seorang kru yang ditugaskan di atas tiang kapal, dan dia adalah Skeleton. Sedangkan Yume berada di dalam kapal. Akibat badai semuanya basah, begitupun dengan Yume. Para kru saling berteriak mengenai di sini rusak, di sana rusak, semua rusak. Keadaan begitu kacau dan gila. Tak seorang pun bisa tenang dalam keadaan seperti itu, dan jika Yume hanya duduk diam, setidaknya dia akan menangis haru. Tentu saja dia tidak melakukan itu, dia bahkan memohon pada seorang kru untuk membiarkannya melakukan apapun yang dia bisa. Sayangnya dia tidak mengingat siapakah orang itu. Begitu mendapatkan perintah, dia langsung berlari ke palka, membantu membenarkannya, lalu membawa beberapa papan kayu, dan sempat tersandung sampai kepalanya terbentur. Dia pasang papan itu di dinding kapal dan berusaha menambalnya sebisa mungkin.

"Kacau.... semuanya kacau," tiba-tiba dia mendengar seseorang berteriak.

"Kalau begini terus kita akan tenggelam," kata seseorang lainnya dengan jelas.

Sebagian besar kru bekerja keras untuk mencegah itu terjadi, tapi Yume melihat seseorang yang menjerit dengan pasrah, “Aku menyerah! Aku menyerah! Semua sudah terlambat!"

Ada juga orang yang malah sedang minum dengan santai, lalu dijotos oleh kru kapal lainnya. Namun, dia malah membentaknya, “Tinggalkan aku sendiri! Inilah akhir dari kita! Nikmati saja sambil minum-minum!” kemudian dia merebut kembali botol mirasnya dengan paksa.

Kenapa Yume keluar ke dek? Dia tidak begitu mengingatnya. Ada beberapa kru yang datang menghampirinya, mereka berkata bahwa tiang kapal akan segera roboh. Jadi mereka harus melakukan sesuatu untuk mencegahnya, sehingga butuh orang. Apakah itu yang membuatnya keluar ke dek? Mungkin.... tapi yang jelas Yume tidak butuh alasan untuk membantu. Seakan-akan ada yang merasukinya, sehingga dia keluar begitu saja ke dek, meskipun situasi bertambah buruk.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya Yume tidak pernah siap menjadi pelaut. Ada hal lain yang perlu dia lakukan. Yang jelas, Yume tidak ingin mati, jadi dia berjuang sebisa mungkin.

Momohina pernah coba menghentikannya untuk tidak naik ke dek, tapi Yume tidak menyadarinya. Begitu naik ke dek, hujan segera mengguyurnya. Apakah itu air hujan? Mungkin tidak. Mungkin saja kapal sedang oleng, sehingga air laut membanjiri kapal. Situasi begitu tidak jelas. Tapi kalau itu benar, maka bagaimana nasib awak kapal yang sebelumnya sudah berada di atas dek? Yume tidak mau membayangkannya. Yume terus berjuang bertahan oleh hempasan air hujan atau ombak. Setelah beberapa saat berlalu, yang bisa dia sadari hanyalah tubuhnya sudah berada di laut, namun Momohina masih sempat meraih tangannya dengan erat.

Momohina mengatakan dia telah memintanya untuk tidak naik, tapi dia tidak mendengarkan, jadi dia segera mengejarnya. Lalu, keduanya tenggelam ke laut.

“Kau tahu, Momo-san, jika hari itu kau tidak menolong Yume, Yume paaaasti sudah tenggelam.”

Dia tidak menjawab. Hanya terdengar napas pelan seseorang yang sedang tidur. Mata Momohina sudah tertutup. Sepertinya dia lelap sekali.

Yume terkekeh, lalu meletakkan rantingnya, dan berbaring.

Di atas, dia bisa melihat bintang-bintang bertaburan di angkasa yang hitam legam, sehingga tampak begitu jelas. Terkadang Yume berpikir konyol bahwa bintang-bintang di pulau ini tampak lezat. Bintang besar berwarna kuning itu mungkin rasanya manis, dan yang pucat itu sepertinya asam. Dia yakin bintang-bintang itu punya rasa masing-masing.

Yume tertidur, sembari membayangkan melahap bintang-bintang itu. Dia terus membayangkan bagaimana ya rasanya.... sampai tidak sadar matanya sudah terpejam.

Ketika dia bangun, hari sudah cukup terang. Ini bukan subuh, melainkan sudah pagi. Api unggun pun sudah padam.

Yume duduk. Momohina berada di tepi pantai, dia sedang memutar-mutarkan lengannya secara melingkar, meregangkan lutut, dan melakukan gerakan pemanasan lainnya.

“Selamat pagi, Momo-san.”

“Ohh. Selamat pagi.”

Momohina tersenyum pada Yume sambil terus menggerakkan tubuhnya. Yume juga balas tersenyum.

Tidak ada aturan kapan mereka tidur, kapan bangun, apa yang dilakukan setelah bangun, atau semacamnya. Mereka juga tidak tahu jam berapa sekarang, dan apakah cuaca sedang bersahabat hari ini. Terkadang mereka bisa mendapatkan makanan dengan mudah, terkadang juga tidak. Meskipun mereka mengatur jadwal, tidak mungkin kegiatan itu berjalan lancar. Ketika berlatih, mereka fokus sampai selesai, tapi jika tidak sedang berlatih, kegiatan mereka hanya bersantai. Tapi kalau cuaca sedang buruk, berlatih pun mereka batalkan. Jika malam dipenuhi bintang, maka mereka akan pergi berburu karena cukup terang.

Tentu saja pulau ini dikelilingi oleh lautan. Laut biru terus menghampar sampai ke garis cakrawala, seolah tanpa ujung.

Keliling pulau ini sekitar 60 km, sedangkan bentuknya menyerupai hati. Setelah menghitung secara kasar, Momohina dan Yume menyimpulkan bahwa luasnya sekitar 70 km2.

Ada gunung berapi aktif di sebelah timur pulau, dan sesekali tampak asap yang membumbung dari puncaknya. Bagian barat pulau kurang-lebih berupa dataran. Ada enam sungai besar yang mengaliri pulau ini, tidak termasuk suatu sungai kecil, dan keenam sungai itu masih bercabang menjadi anak-anak sungai. Sebagian besar wilayahnya adalah hutan, sedangkan tepi pulau terdari dari pantai yang berangin dan tebing-tebing terjal. Ada juga pantai berpasir di tepi barat pulau dan ada lekukan di sebelah selatan. Mereka berdua memanfaatkan lekukan itu untuk tempat tinggal sementara.

Saat terhempas oleh badai yang menakutkan itu, mereka berhasil meraih papan, lalu terombang-ambing sampai ke pulau ini dengan selamat. Mereka terombang-ambing di lautan selama 3 hari 3 malam, tidak 5 hari... atau 6 hari mungkin? Yang jelas itu cukup lama, sampai akhirnya terdampar di pulau terpencil ini. Mungkin itu sebuah keajaiban. Tidak... bukannya mungkin.... itu benar-benar suatu keajaiban.

Yume naik ke dek karena dia tidak ingin mati, namun dia hampir terbunuh oleh kebodohannya sendiri. Tapi sekarang, dia cukup nyaman hidup di pulau ini bersama Momohina. Yahh, tentu saja hidupnya sekarang tidak semuanya menyenangkan. Ada kalanya dia merasa kesepian, sedih, dan pupus harapan. Tapi, jika dirata-rata, hidupnya masih menyenangkan di sini, dan dia tidak boleh mengeluh atas semua itu.

Di dunia ini, ada banyak hal yang tidak bisa kau lawan. Kau bisa berusaha sekeras mungkin, tapi jika takdir sudah berkata lain, maka itulah yang terjadi. Seperti itulah keadaan Yume sekarang.

Yume paham betul akan hal itu, tapi.... pada hari cerah seperti ini, kenapa dia berdiam diri sembari memandang jauh ke lautan? Apakah dia mulai merasa bosan? Yahh, kau tidak bisa menyalahkannya. Jika mendapatkan makanan enak, paling senyumnya kembali lagi. Lalu, apa yang sedang dia pikirkan sampai bengong begitu? Mungkinkah..... dia sedang memikirkan temannya? Kalau benar begitu, biarkan saja. Dia ingin berpikir optimis bahwa suatu saat nanti akan bertemu kembali dengan teman-temannya, tapi.... sepertinya jangan terlalu berharap. Bahkan, sebenarnya Yume bingung apakah harus berpikir optimis atau pesimis. Itulah kenapa dia hanya bisa diam termangu.

“… oh.” Yume berkedip.

Tiba-tiba dia berdiri, lalu berjalan menuju pantai. Yume sama sekali tidak melihat langkahnya sendiri. Pandangannya hanya terfokus pada pantai.

“Fwuh?” Momohina menjerit bingung saat melihatnya.

Ombak datang menderu, tapi itu tidak menghentikannya. Dia terus berjalan sampai air menggenangi tumitnya.

Yume menyipitkan matanya. Ketajaman penglihatan Yume sebagai Hunter bahkan tidak bisa diungguli Momohina.

Dia melihat sesuatu. Dari kejauhan, itu masih tampak seperti titik. Tapi, dia sana ada yang mengambang. Dia pun belum bisa menyimpulkan bentuknya, dan hanya bisa menyebutnya ’sesuatu’. Awalnya, Yume pikir dia sedang berhalusinasi. Itu benar-benar terjadi, beberapa kali Yume seolah mendengarkan dan melihat sesuatu, tapi ternyata tidak nyata. Tapi itu sudah jarang terjadi akhir-akhir ini. Dan dia yakin penglihatannya kali ini bukan ilusi.

“Hei, Momo-san.”

“Ada apa, Yumeryunryun?”

“Sepertinya Yume melihat sesuatu di sana. Menurutmu apa itu?”

Momohina berjalan ke sebelah Yume.

“Hrmm, itu sangat kecil. Aku tidak begitu yakin. Tapi aku juga melihat sesuatu."

“Kau bisa melihatnya, kan?”

"Mungkin itu pohon?"

Momohina mengatakan itu, lalu tertawa. Tawa yang cukup aneh, seperti dibuat-buat. Momohina jarang tertawa seperti itu. Lalu, dia pun berhenti dan tampak malu oleh sikapnya sendiri.

“Mungkin saja itu pohon........ tapi menurut Yume...... sepertinya bukan.”

“Lalu menurutmu apa itu, Yumeryun?”

"..........itu......." Yume mulai berkata, lalu mencengkram lehernya sendiri. Kata itu tidak pernah keluar. Dia masih bisa bernapas, tapi tak mengeluarkan kata apapun. Ada apa ini?

"Ada apa?"

Momohina mengusap lehernya dengan kebingungan. Yume masih tidak menjawab. Dia hanya mengerang sembari terus melihat ke arah laut. Dia mengatakan “itu”, dan itu bisa apa saja.

Namun, rupanya Yume cukup yakin.

Momohina juga mengusap punggung Yume dengan tangannya, lalu dia menyimpulkan sesuatu, lalu berseru, “Kau pikir itu kapal??”

"Itu dia!"

“Hah?!”

"Itu dia! Kapal! Itu kapal! Yume pikir itu kapal! Ya, mungkin saja itu kapal!”

Sekali ngomong, Yume tidak bisa berhenti, dan terus mengoceh. Dia ingat pernah memimpikan ini. Dalam mimpinya, dia bersorak-sorai ketika melihat kapal mendekat. Horee!! Itu kapal! Kapal telah datang! Terimakasih Tuhan! Sekarang kita bisa pulang! Namun, akhirnya dia terbangun dari tidurnya dan hanya mendapatkan kekecewaan.

“Tunggu, tunggu dulu, Yumeryun! Terbang lah! Tidak, maksudku tenang lah!”

“Ya, ya, kau benar. Kita harus tenang. Jika kita terlalu bersemangat, malah akan terjadi hal buruk. Tenang... tenang... terbang... eh, maksudku tenang....”

“Kau sama sekali tidak tampak tenang. Kenapa kita tidak berenang saja ke sana?”

"Apa!!?"

“Nyuhahah! Aku bilang, mengapa tidak berenang saja ke sana?”

“Yume tidak mau berenang ke sana! Tidak sekarang!”

"Kau pikir itu kapal, kan?"

“Tidak… bentuknya masih tidak jelas.”

Akhirnya, Yume dan Momohina memutuskan untuk menunggu. Matahari pun semakin terik. Hari semakin siang dan panas. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, mereka berdua mulai berjalan ke laut. Apakah benda itu benar-benar bergerak mendekati pulau? Jika terlihat semakin kecil, maka harusnya benda itu sedang menjauh. Tapi, benda itu juga tidak terlihat membesar, maka.... apakah itu berhenti?

Tak lama berselang, mereka sudah semakin jauh meninggalkan pantai. Kaki mereka sudah tidak lagi menginjak dasar pantai, maka mereka pun berenang.

“Momo-san, apakah kau benar-benar ingin mendekati benda itu?”

"Kalau terlalu jauh, kurasa tidak perlu. Aku hanya coba berenang sedikit. Hanya ini yang bisa kita lakukan, to?”

Yume pun mengikutinya, tapi sebenarnya hati kecilnya berkata tidak.

Meskipun benda itu kapal, mungkin akan meninggalkan pantai begitu saja. Jika benar demikian, sepertinya tidak akan datang kapal lagi selanjutnya. Kapal ini adalah harapan terakhir mereka. Meskipun, sebenarnya Yume tidak begitu yakin. Sejak awal, Yume ragu benda apakah itu.

Itu tampak seperti kapal dengan layar putih, tapi bisa saja benda lain yang bentuknya mirip.

Bagaimanakah nasib Mantis-go sekarang? Sudah lama Yume mempertanyakan itu. Kemungkinan terburuknya tenggelam, dan kemungkinan terbaiknya selamat, walaupun tipis harapannya. Badai itu sungguh ganas, dan Mantis-go sudah rusak ketika Yume terhempas ke laut.

"Bagaimana menurutmu nasib kapal kita?" dia pernah menanyakan itu pada Momohina.

"Entahlah," jawabannya. “Aku bukan dewa laut, to? Aku hanya kapten kapal, dan tiiiiiiiiiidak pernah melakukan pekerjaan kapten kapal.”

“Apaaaa?! Tidak pernah?”

Seperti halnya Yume, suatu hari Momohina dibangkitkan di Grimgar. Ada seorang pria bernama Kisaragi dan gadis bernama Ichika yang bangkit bersamanya. Mereka pun tidak ingat apapun tentang masa lalunya, kecuali nama.

Momohina berteman dengan Kisaragi dan Ichika, seperti Yume yang berteman dengan Haruhiro dan yang lainnya. Lalu, mengapa akhirnya mereka berpisah? Yahh, Yume juga mengalami hal yang sama sih. Jika bisa mengulang waktu, apa yang akan Yume lakukan? Apakah dia akan mengikuti Haruhiro dan yang lainnya ke Kota Bebas Vele?

Benda mirip kapal itu tampaknya tidak mendekat. Bahkan setelah didekati pun, benda itu tidak begitu mirip dengan kapal. Namun, Yume malah semakin mempercayai bahwa itu kapal. Ya.... itu pasti kapal.

Pada akhirnya, hanya kepercayaan lah yang dia miliki. Yume sudah melatihnya di pulau. Mungkin, bukan hanya Yume. Kebanyakan orang memiliki kepercayaan bukan karena mereka beriman, tapi hanya ingin percaya saja.

Sampai saat itu, Yume masih percaya bahwa bantuan akan datang.

Namun, terkadang hati kecilnya berkata bahwa bantuan tidak akan datang, dan mereka akan mati di pulau ini.

Yume pun bimbang.

Di satu sisi, kepercayaannya akan datangnya bantuan membuatnya terus bertahan. Di sisi lain, hari demi hari yang terus berlalu membuatnya pesimis bantuan akan datang.

Hal yang sama juga terjadi saat ini, satu-satunya alasan Yume mendekati benda mirip kapal itu hanyalah kepercayaan. Karena kepercayaan lah Yume melihat benda itu sebagai kapal.

Yume terus berenang mengikuti Momohina. Sembari berenang gaya dada, dia pun berpikir, Itu kapal. Bantuan akhirnya datang, meski sudah berusaha berpikir seperti itu, masih saja terdengar bisikan, Itu bukan kapal. Bantuan tidak akan datang. Semuanya berputar-putar di kepala Yume.

Yume ingin menjadi lebih kuat. Tapi, menjadi kuat bukan hanya tentang membangun otot atau stamina, meningkatkan teknik, belajar jurus baru, dan meningkatkan kemampuan. Hal-hal itu penting, tapi kekuatan sejati lebih dari itu.

Yume juga menginginkan pendirian yang teguh. Dia tidak ingin gampang terpengaruh oleh situasi.

Meskipun awalnya harus tergantung pada sesuatu, dia ingin segera mengabaikannya, lalu berdiri sendiri dengan tujuan yang tidak goyah.

“Momo-saaan.”

“Apa?”

“… Momo-saaaan.”

"Aku bilang apa?"

"Itu kapal."

“Hm?”

"Itu pasti kapal!"

Yume berhenti berenang, lalu mengambang di air.

Layar putih, badan kapal, tiang kapal—dia bisa melihat semuanya.

“Itu kapal. Kita bisa pulang. Kita bisa pulaaaaaaaaaaang…”

3. Bach dan Rose[edit]

Kapal itu menjatuhkan jangkar, lalu mengeluarkan skoci. Total ada lima orang pada skoci itu, dan semuanya bermata tiga. Mereka adalah ras bermata tiga dari Benua Merah.

Tanpa mata ketiga itu, mereka hanya terlihat seperti pria biasa bagi Yume dan Momohina. Rambut mereka merah berantakan, kulit seperti perunggu, mungkin karena sinar matahari, dan semuanya berjenis kelamin laki-laki.

Yume dan Momohina kembali ke pantai untuk menyambut kedatangan orang bermata tiga ini, tapi begitu melihat mereka berdua, kelimanya menjerit, mengayun-ayunkan pedangnya, dan mulai menyerang. Yume sedikit terkejut, tapi Momohina malah tampak tertarik.

“Delm, hel, en! Balk! Zel, arve! Blast, booom!”

Mantra Blast tiba-tiba Momohina tembakkan, namun sama sekali tidak menyakiti mereka. Yang ada hanyalah ledakannya membuat tanah dan air di sekitar beterbangan.

Tapi itu disengaja. Momohina jarang menggunakan sihir. Dia adalah seorang Mage, tapi memiliki kekuatan fisik di atas rata-rata. Terkadang dia menggunakan kekerasan, tapi sebenarnya Momohina adalah orang yang suka perdamaian.

Nah, sekarang masalahnya adalah, Yume dan Momohina tidak mungkin keluar dari pulau terpencil ini tanpa menaiki kapal. Sayangnya, mereka tidak bisa melumpuhkan orang-orang bermata tiga itu, meskipun telah menyerangnya.

“Yumeryun! Sekarang! Mumpung mereka panik!”

"Siaaap!”

Mereka berdua segera melucuti senjata orang-orang bermata tiga. Kelimanya coba melawan tapi mereka bisa menahannya dengan tendangan dan pukulan. Sampai akhirnya, mereka coba bernegosiasi, tapi masalahnya bahasa mereka berbeda.

“Ugyaga gukyago zukyazukya.”

“…Hei, Momo-san, apa kau tahu apa yang dia katakan?”

“Gaaaaaaaaaak tau! Sama sekali gak tahu!”

Jika mereka tidak tahu, maka percuma saja berkomunikasi. Namun, setidaknya mereka masih mencoba. Dengan menggunakan pantomim, keduanya coba menyampaikan bahwa mereka sedang terdampar di pulau terpencil ini, dan menunggu siapapun yang bisa menyelamatkannya. Hebatnya, sepertinya orang bermata tiga itu tahu bahwa Yume dan Momohina ingin menumpang kapal mereka untuk kemudian dibawa ke Kepulauan Karang, atau Benua Merah, atau ke mana pun, yang penting keluar dari sini. Yahh..... setidaknya itulah yang Yume percayai.

Singkat cerita, dua dari lima orang bermata tiga itu tetap di pulau, kemudian Momohina, Yume, dan sisanya dibawa dengan skochi menuju kapal. Sepertinya, skochi itu mampu menampung sampai 7 orang, tapi entah kenapa begitulah yang terjadi.

“Momo-san. Menurutmu, kenapa kedua orang itu tidak ikut?”

“Hmm. Mana kutahu..... untuk berjaga-jaga mungkin?”

"Berjaga apa?”

“Aku juga tidak tahu! Nwahahahaha!”

Momohina dan Yume pun akhirnya menaiki kapal induk. Ternyata, di kapal induk masih ada kru lain, seperti : orang bermata banyak, yang matanya kecil seperti serangga di setiap sisi wajahnya, ada juga orang berlengan panjang, yang tangannya begitu panjang sampai-sampai hampir menyentuh lantai kapal, ada juga orang berkulit duri, yang mirip seperti bulu babi berjalan. Tapi, si kapten kapal adalah orang berkuping panjang, seperti kelinci.

Meskipun telinganya panjang mirip kelinci, wajah kapten itu mirip anjing buas. Namun, sepertinya dia tidak sejahat itu. Entah kenapa, tampaknya dia paham apa yang terjadi pada Yume dan Momohina, meskipun dia berbicara dengan bahasa lain. Dengan kendala bahasa, mereka masih coba berkomunikasi. Sayangnya, situasi menjadi runyam. Sepertinya, mereka saling berdebat, sampai akhirnya si kapten marah, dan menantang mereka berkelahi.

“Jadi kau mau berantem! Ayo, siapa takut! Kita beri dia pelajaran, Yumeryunryun!”

"S-siap!"

Kedua gadis itu menghempaskan 13 kru kapal sampai tercebur ke laut. Belum puas, mereka menghajar 19 kru lagi tanpa pikir panjang, termasuk si kapten berkuping panjang. Tersisa kurang-lebih 5 awak kapal dengan tulang-tulang yang sudah patah, sebenarnya masih ada 18 orang lagi tapi mereka sudah kehilangan keberanian menyerang keduanya. Mereka pun menyerah. Setelah berkelahi, badan Yume lebam-lebam, sedangkan Momohina tanpa luka.

“Baiklah, sekarang kapal ini milik PT. Bajak Laut K&K! K! M! W! Momohina! Ayo maju dengan kecepatan penuh!”

“Hei, Momo-san! Kau memang yang terbaik! Woo hoo!"

“Aww, jangan bilang begitu.... atau, mungkin kau benar? Ya, akulah yang terbaik!”

Setelah membajak kapal itu, Yume dan Momohina bisa berlayar ke mana pun mereka mau. Mereka pun bisa mempekerjakan kru kapal yang tersisa. Untungnya mereka tidak sekejam itu, kru-kru kapal yang tercebur ke laut diangkat kembali, dan dua orang yang berada di pulau juga dijemput. Setelah mengamati semua awak kapal, mereka mendapati seorang pria bermata banyak yang bisa berbicara lebih dari satu bahasa. Meskipun bahasanya masih tidak karuan, tapi setidaknya Yume bisa berbicara dengannya. Nama pria itu adalah Nyagoh, dengan memanfaatkannya sebagai penerjemah, Yume dan Momohina menyampaikan maksudnya pada kapten bertelinga panjang. Para awak kapal pun bilang mereka bisa mengantar keduanya sampai ke Pulau Karang.

“Baiklah kalau begitu, ayo majuuuuuuuuuu!”

Dan, kapal pun berangkat. Sepertinya, nama kapal itu adalah Mocca Joe. Atau mungkin Mwachattsa Jowo. Nyagoh mencoba menjelaskannya, “Lahuuuuuuuut, ammmbaaaang, mahh…” tapi tetap saja tidak jelas. Sepertinya sulit melafalkan nama yang sebenarnya, maka Momohina menamainya ulang saja.

“Hei, Yumeryun. Bagaimana kalau kapal ini kita namai Useless-go[9]saja?”

“Hm. Useless-go, ya?”

“Jelek ya?”

"Yahhh…"

“Tapi cocok juga sih menurutku.”

“Kalau Momo-san suka, Yume sih ikut saja.”

"Oke, kalau begitu.... Useless-go, ayo majuuuuuuuu!!”

Bersama Mwachattsa Jowo, yang sudah dirubah namanya menjadi Useless-go, mereka berlayar dengan mulus menuju Kepulauan Karang.

Ah....

Tidak juga......

Sepanjang jalan, kapten bertelinga panjang dan kru-kru kapalnya balik memberontak.

Dan sisa awak kapal lainnya juga melakukan pemberontakan, tapi dengan senjata.

Untungnya, dua gadis itu masih bisa mengatasinya tanpa satu pun korban jiwa. Tapi pertarungan di atas kapal terus terjadi, bahkan mereka terjebak cuaca buruk beberapa kali.

Singkat kata, akhirnya mereka sampai di Kepulauan Karang. Begitu sampai, mereka disambut oleh banyak orang bermata tiga, berkuping panjang, bermata banyak, dan bertangan panjang yang menyerang kapal Useless-go. Dengan kata lain, mereka adalah bajak laut. Itu membuat beberapa kru kapal yang sudah Momohina kalahkan berbalik membelanya.

“Aku maraaaaaaahhhh. Sebenarnya bertarung itu perbuatan primitif! Tapi, aku benar-benar maraaaaaaaaaaahhh! Kalian masih butuh berlatih milyaran tahun sebelum mengalahkanku!”

“Milyaran tahun!? Itu terlalu lama!”

Sama seperti sebelumnya, Momohina dengan hebatnya membantai para bajak laut itu satu per satu.

Yume bisa menyerang sesuka hati, tanpa memperhatikan apapun, karena Momohina akan selalu menjaganya. Tak peduli sebanyak apapun lawan yang menyerang, sepertinya mereka tidak akan kalah. Tapi jumlah mereka terus bertambah, seolah tidak pernah habis.

Kalau begini terus, mempertahankan Useless-go tidaklah mudah, meskipun mereka terus membantai musuh-musuhnya. Lagipula, jika terus meladeni para bajak laut itu, mereka tidak akan sampai ke tujuan.

Meskipun tidak mengaku kalah, akhirnya Yume dan Momohina terpaksa merelakan Useless-go pada para perompak, lalu mereka pergi ke daratan. Pulau tersebut tidak hanya punya pelabuhan, tapi juga kota. Sepertinya di kota itulah markas para perompak yang merebut kapal mereka. Sialnya, para penduduk lokal sering melontarkan hinaan, batu, dan sampah para orang asing, mereka bahkan menaruh tong dan kotak untuk menghalangi jalan mereka. Situasi bertambah kacau, sampai-sampai keduanya sempat berpikir hendak membunuh mereka. Tapi para penduduk lokal bukanlah orang jahat, jadi mereka tidak boleh asal membunuh. Mereka pun memutuskan untuk segera keluar dari kota, dan melarikan diri ke hutan.

Kemudian mereka mendapati fakta bahwa pulau ini berada di tepi terluar Kepulauan Karang. Pulau ini juga merupakan sarang bajak laut yang disebut Titechitik, yang artinya, “muntahan iblis yang bodoh,” jika diterjemahkan dari bahasa Benua Merah.

Kelompok bajak laut itu cukup kejam dan tidak segan memburu siapapun. Tapi, mereka masih bukan lawan Momohina dan Yume. Keduanya mengalahkan setiap bajak laut yang mendekat, lalu merampas peralatannya. Meskipun kalah, para bajak laut itu seolah tidak peduli, dan terus memburu mereka. Tampaknya orang-orang itu harus belajar cara menghargai nyawa sendiri.

"Aku hanya membunuh apa yang kumakan.”

Itulah prinsip Momohina, dan Yume juga sepakat. Apakah ada banyak hewan di hutan yang bisa mereka makan? Kenapa dia tidak memakan orang-orang itu? Bukankah mereka.... ummm, monster? Memang benar mereka bukan hewan, tapi bukankah mereka tidak mirip seperti manusia? Momohina sempat dibuat bingung oleh pertanyaan ini, tapi yang jelas dia tidak perlu memakan makhluk yang membuatnya tidak selera makan. Meskipun mereka tidak membunuh para bajak laut itu, mereka masih bisa merampas persediaan makanannya. Lagipula, mereka sudah terbiasa bertahan hidup di hutan, jadi tidak perlu menjadi kanibal, meskipun orang-orang itu tidak pantas juga disebut manusia. Di hutan juga ada mata air yang bisa menyegarkan mereka setiap saat.

Sejauh ini tidak ada masalah, tapi tak lama berselang bajak laut Titechitik mulai meninggalkan begitu saja makanan dan kebutuhan sehari-hari di hutan.

"Ada apa ini…?"

Mungkinkah..... mereka mulai menyembah Momohina dan Yume sebagai dewa? Sepertinya begitu. Mungkin Yume tidak pantas disembah, namun Momohina beda cerita. Dia lah yang mengalahkan sebagian besar bajak laut di pulau ini. Ya, kekuatan gadis itu mungkin sudah setara dewa bagi mereka. Rambut kedua gadis itu semakin panjang, kulitnya semakin kecoklatan, dan pakaian mereka semakin aus. Tidak, itu tidak pantas disebut pakaian. Mereka hanya menggunakan kulit kayu untuk membalut daerah di sekitar dada dan kemaluan. Tapi, pernampilan mereka jelas berbeda. Dengan banyaknya luka dan lebam, Yume lebih terlihat seperti manusia purba, sedangkan Momohina yang hampir tanpa luka lebih terlihat seperti pertapa. Apakah lebih baik mereka tinggal di pulau ini sebagai dewa saja?

Tentu saja tidak.

Mereka akhirnya berhasil keluar dari pulau terpencil itu. Yume dan Momohina sama-sama ingin pulang.

Jika mereka terus berurusan dengan para perompak itu, situasi akan semakin runyam. Lalu, mereka coba mengitari pulau dan melihat apa yang bisa mereka dapatkan. Di sebelah pulau itu ada pulau lainnya yang cukup berdekatan. Yume dan Momohina saling bekerjasama untuk membuat rakit. Ya, mereka harus mencoba menyeberang. Dengan rakit dadakan itu, mereka pun menyeberangi selat dengan mudah.

“Yumeryun, kau jenius! Hebat sekali! Kau lah yang no.1 di dunia ini! Kau harus menjadi pemimpin!”

“Nyeheheheh. Yume merasa tidak melakukan apapun.”

“Ayo, kita harus terus berusaha! Yeah!”

Dengan cara yang sama, mereka menyeberangi pulau demi pulau. Jika bisa menemukan pulau yang lebih besar dan banyak penduduknya, mungkin mereka akan bertemu dengan orang-orang dari Grimgar. Mereka sudah lelah berurusan dengan orang-orang Benua Merah yang wujud dan bahasanya aneh. Yahh, itulah harapannya. Tidak, itu bukan sekedar harapan! Mereka harus mewujudkannya!

Pulau terbesar di Kepulauan Karang disebut Atunai, dan ada beberapa pelabuhan di sana. Di salah satu pelabuhan itu, yang bernama Indelica, Yume dan Momohina akhirnya..... akhirnyaaaaaaaaa.... bertemu dengannya.

“Wah! I-itu kan..... B-B-B-B-Bachrose!”

Mata Momohina terbelalak saat melihatnya.

“Hah…? Backroast?”

"Tidak! Yumeryun, B-B-B-Blacktoast, eh, tidak, bukan itu! Eh, eh, ya! Bachrose!”

“Ohh. Bachrose ya..... yang itu ya.... ya, ya benar juga.”

“Kau tahu kan, Yumeryun?”

“Tidak.”

“Tidaaaaaaaaaaak?!”

Secepat mungkin, mereka berdua berlari ke dermaga tempat Bachrose-go ditambatkan.

Bachrose-go adalah kapal yang besar, kuat, namun juga elegan. Dicat dengan warna merah tua dan hijau, badannya tampak seperti kuil dewa kesenian, atau mungkin dewa musik, sedangkan tiang yang menyangga layarnya berkibar di angkasa terlihat seperti tombak yang seolah hendak menembus langit. Di ujung depan kapal ada model berbentuk wanita bersayap yang berkilau emas. Model itu tampak begitu hidup, seolah-olah bisa menari-nari.

Orang yang berdiri di dekat Bachrose-go bukanlah makhluk bermata tiga, atau bertelinga panjang, melainkan seorang pria manusia yang tampak seperti pelaut. Momohina segera meluncur mendekati pria itu.

“Whuh, Momo-san, tungg—”

Yume coba menghentikannya, tapi percuma. Gerakan Momohina lebih cepat, dan dia tidak pernah bisa menghentikannya. Lalu, gadis itu segera *BRAAAAKKK* menendang pria manusia itu.

“Eeek!”

Pria itu pun jatuh ke laut.

Yume berjongkok di tepi dermaga, lalu melihat ke bawah pada pria yang sedang meronta-ronta di air itu. Penampilannya seperti pelaut, jadi harusnya bisa berenang, tapi kenapa dia begitu panik.

“…Momo-san.”

“Mokeee?!”

Sepertinya Momohina juga terkejut. Kenapa begitu terkejut, padahal dia baru saja menceburkan orang ke laut? Aneh sekali.

“Kenapa kau menendangnya begitu saja…?”

“O-Oh! Mati aku! Sepertinya aku terlalu berlebihan!”

“Apa maksudmu berlebihan? Itu lebih mirip pembunuhan bagi Yume.”

“Begini, aku mengeeeeeeenal pria itu. Sebenarnya aku hanya kegirangan melihatnya, sampai-sampai tidak sengaja menendangnya.”

“Ohh, jadi kau mengenalnya. Baiklah kalau begitu. … meskipun, Yume tidak akan melakukan hal yang sama pada kenalan Yume.”

Dengan malu-malu, Momohina menjulurkan lidah dari sudut mulutnya.

Pria itu berteriak, "S-selamatkan aku!" atau semacamnya. Jika mereka membiarkannya begitu saja, mungkin dia akan tenggelam. Saat Yume hendak menyelamatkannya, tiba-tiba terdengar teriakan, “Hey kau!” dari atas dek Bachrose.

“…Hah?”

Saat mereka melihat ke atas, seorang pria berjanggut sedang melihat ke bawah pada Yume dan Momohina. Kumis pria itu cukup tebal, tapi bukan berarti itu membuatnya terlihat sangar.

Pria itu memakai penutup mata hitam di mata kanannya. Ada mantel hitam yang menggantung begitu saja di pundaknya. Mantel itu sungguh mewah, karena dihiasi permata dan perak. Postur pria itu cukup kecil, jadi mantel itu tampak kedodoran. Jadi, tidak jelas apakah pria itu memakai mantel, atau mantel itu memakai si pria.

Pria itu mengatakan, "Ah ..."

"Ah!" teriak balik Momohina.

"…Ah?"

Yume yang kebingungan hanya bisa memandangi si pria dan Momohina secara bergantian.

Pria itu menjambak rambutnya sendiri dengan tangan kanan. Kemudian, menghembuskan napas, dia berkata, “Momohina ternyata......” dengan nada santai.

“Kisaragicchon…”

Apakah Momohina tidak senang bertemu dengannya? Tidak, bukan begitu. Mungkin dia hanya kelelahan, karena suaranya lebih pelan dari biasanya. Momohina pasti tidak menyangka bakal bertemu pria itu di sini. Yang jelas dia begitu terkejut, sampai-sampai lemas dibuatnya.

"Kisaragicchon," ulang Momohina lagi. Mungkin terkejutnya sudah reda, karena kemudian dia berteriak, "Yaaaay!" dan mulai lompat-lompat.

“Yaaaa. Itu Kisaragicchon. Tidak salah lagi. Yaaay.”

"Hey, dengarkan aku......"

Kisaragicchon menghela nafas, lalu meraih pagar kapal dengan tangan kirinya. Dia memakai sarung tangan, kan? Tidak juga, tangan kanannya telanjang, sedangkan tangan kirinya memakai sarung tangan. Entah kenapa dia memakai sarung tangan tanggung seperti itu. Tapi, jika diamati lebih seksama, tangan kirinya tampak lebih besar daripada tangan kanan, dan sepertinya terbuat dari logam. Jadi, itu bukan sarung tangan.

"Berapa kali harus kubilang hentikan memanggilku -cchon? Yahh.... terserahlah.”

“Kau benar-benar Kisaragicchon, kan?'

"Tentu saja. Apa ada yang lain? Siapa yang lebih keren dariku?”

"Tidak mungkin!"

Momohinaa tertawa, lalu tiba-tiba berlari.

“Romoh?!”

Yume mengeluarkan teriakan aneh, lalu secara refleks mengejar Momohina yang tiba-tiba berlari menuju ke dek atas. Dia berlari begitu cepat dan segera meninggalkan Yume meskipun dia juga mengejarnya.

Ketika sampai di dek atas, Momohina segera memeluk Kisaragicchon.

“Wahhh. Ini beneran Kisaragicchon. Kisaragicchon! Wahhh. Wahhh. Wahhhh…”

"Sudah kubilang ini aku, kan?"

"Tapi! Tapi, tapi, tapi! Ini beneran Kisaragicchon! Ohhh. Wahhh. Ohhh…”

“Sial, sepertinya percuma saja aku bicara. Yahh, terserahlah....”

Dengan wajah pasrah, Kisaragicchon pun memeluk Momohina. Mendadak, suasana menjadi haru, bahkan Momohina kelihatan hampir menangis.

Yume ikutan terisak, tapi segera menutup mulutnya dengan tangan. Yume bisa saja menangis melihat adegan haru itu, namun dia tidak ingin melakukannya di depan mereka. ’Momo-san, sepertinya kau bertemu dengan teman lamamu, ya.... selamat....’ begitulah pikirnya. Hatinya tersentuh melihat pemandangan ini. Yume pun tidak ingin menangis, karena itu akan membuatnya semakin sedih.

4. Potret Seorang Pahlawan[edit]

Bachrose-go adalah kapal milik PT. Bajak Laut K&K

Tidak hanya itu, sebenarnya itu adalah kapal Archduke Deres Pain.

Tentu saja, Yume tidak tahu apa itu Archduke, atau Deres Pain. Dia tidak pernah bertemu, melihat, dan tentu saja memakan itu. Tapi, sepertinya itu nama orang, jadi tidak bisa dimakan. Lagipula, sepertinya dia orang yang terkenal, meskipun kata ‘orang’ di sini belum tentu manusia.

Ada sebuah kota bernama Igor. Bukan di Benua Merah, atau di Kepulauan Karang, tetapi di utara Grimgar, tepatnya di daerah pantai. Itu adalah kota pelabuhan yang cukup besar. Kota itu setara dengan Kota Bebas Vele, dan pernah begitu makmur sebagai pintu gerbang Kerajaan Ishmal menuju laut.

Namun, Kerajaan Ismal sudah tidak ada. Kerajaan itu sudah jatuh, atau lebih tepatnya dihancurkan. Daerah kekuasaan Kerajaan Ishmal sekarang diduduki oleh Undead.

Namun, kota pelabuhan Igor tidak hanya dipenuhi oleh Undead, ada juga ras lain seperti Orc di sana. Mereka adalah ras-ras yang tergabung dalam Aliansi Raja, dan memusuhi manusia. Nah, orang yang bernama Deres Pain ini adalah penguasa Igor, dan dia memberi gelar pada dirinya sendiri dengan sebutan Arcduke.

Arcduke.

Yahh, itu terkesan narsis. Bagaimana bisa seseorang memberi gelar pada dirinya sendiri? Benarkah dia orang penting? Jawabannya, benar. Saat mendengar dia adalah penguasa Igor, orang-orang akan berpikir pangkatnya setara walikota, gubernur, tuan tanah, atau semacamnya, dan Yume pun berpikir begitu. Tapi, sebenarnya Deres Pain sudah setingkat raja yang memerintah wilayah luas. Setelah Deathless King mati (meskipun sejak awal dia tidak bisa disebut hidup) terbentuklah lima Undead yang paling berpengaruh di dunia ini, dan Deres Pain adalah salah satunya.

Kisaragi, atau Kisaragicchon, mencuri kapal Archduke. Memang kedengarannya konyol mencuri kapal dari orang yang begitu berkuasa, tapi itulah yang terjadi. Lalu dia menamainya Bachrose-go, yang menurutnya keren.

Kapal itu memang luar biasa, jadi saat membentuk PT. Bajak Laut K&K, dia menjadikan Bachrose-go kapal inti. Kapal inti adalah kapal yang membawa pimpinan tertinggi dan markas utama. Pokoknya, kapal inti adalah simbol PT. Bajak Laut K&K.

Meskipun Kisaragi yang membentuk PT. Bajak Laut K&K, dia bukanlah direkturnya. Pemimpin tertinggi perusahaan ini adalah wanita bernama Anjolina Kreitzal, yang masih aktif bekerja sebagai bajak laut, dan tentu saja kapten kapal Bachrose-go.

Rupanya, selama ini Kisaragi telah memimpin Bachrose-go bersama ratusan kapal lainnya di bawah naungan PT. Bajak Laut K&K untuk mencari Momohina dan Yume (kalau Yume gak ketemu juga gak papa).

Meskipun K&K sibuk dengan pekerjaan utama, seperti : berdagang, membuka rute pelayaran baru, berperang, menjarah, merampok, dll, mereka tidak bisa mengabaikan Momohina. Mereka pun terus mencari sembari mengerjakan hal-hal lainnya.

Tentu saja ini tidak mudah. Momohina dan Yume benar-benar hilang seperti ditelan lautan. Sedangkan, lautan penuh dengan bahaya. Jika para pencari juga hilang, maka itu adalah kerugian besar. Seseorang yang hilang dari kapal karena terhempas badai, kemungkinan selamatnya begitu kecil. Biasanya, korban badai dianggap mati begitu saja.

Jika mereka tidak mencari Momohina, maka itu adalah hal yang sangat wajar. Begitupun dengan Yume, jika dia menyerah di pulau terpencil itu, maka itu juga sangat wajar. Karena hampir mustahil ada orang yang menemukan mereka di pulau itu. Yahh, namanya juga pulau terpencil, artinya hampir tidak ada orang yang menjamahnya.

Yahh.... ternyata memang lebih baik menyerah ya.... begitulah pikir Yume.

Namun, nyatanya Kisaragicchon dan rekan-rekannya terus mencari.

Alasan utamanya adalah, ternyata Mantis-go tidak tenggelam. Kapten mereka, Ginzy, berhasil kembali ke Kepulauan Permata dengan awak kapal lainnya yang selamat. Mereka tidak hanya mencari Momohina dan Yume, melainkan kru kapal lain yang hilang. Kebetulan, Bachrose-go segera berlayar dari Indelica kembali ke Kepulauan Permata

“Kalau kau sih, matinya sulit. Tidak hanya aku yang bilang begitu, semua orang yang mengenalmu pasti berpikiran sama.”

Kumis Kisaragi yang begitu lebat bergoyang saat mengatakan itu. Tentu saja pria itu sudah lama mengenal Momohina. Namun, anehnya Momohina bersikap canggung padanya. Saat Kisaragi menyebut namanya, dia hanya menjawab “Nywa”, atau "Fwuh," lalu lari begitu saja. Bahkan, saat berbicara padanya, dia tidak memandang matanya. Melihat Momohina yang seakan salah tingkah, Yume hanya bisa berpikir, ’Tadi kau memeluknya begitu erat dan sempat menangis juga, pasti itu membuatmu malu ya...’ mungkin karena itulah dia bertingkah canggung. Sayangnya, Yume tidak begitu paham hal sensitif seperti itu.

Momohina masih saja menyibukkan Kisaragi dengan berlarian kesana-kemari. Daripada seperti itu, sebenarnya Yume lebih suka berlatih dengannya, tapi untuk saat ini biarlah. Toh, dia barusan bereuni dengan teman lamanya. Maka, Yume pun menghabiskan waktu dengan membantu kru lain, meskipun dia melakukannya dengan setengah hati. Pekerjaannya cukup mudah, dan segera selesai dengan cepat. Yume sendiri tidak paham mengapa dia melakukannya dengan tidak niat. Padahal dia selalu suka membantu orang lain. Selesainya pekerjaan dengan cepat sampai-sampai membuat kru lain geleng-geleng melihat Yume.

Saat mulai bosan, Yume nongkrong di tepi kapal sembari melihat kosong ke lautan.

Yume hanya bengong, dan membiarkan kepalanya memikirkan apapun secara acak.

Cuaca sedang baik, namun ombak cukup tinggi sehingga mengguncang kapal. Tapi itu tidak membuatnya takut atau mual, Yume sudah terbiasa dengan itu semua.

Akhirnya, dia memutuskan mengobrol sedikit dengan kapten kapal, Anjolina. Dia adalah wanita yang tegas, dewasa, dan dihormati kru lain. Sepertinya Yume tidak akan menjadi sosok seperti itu. Dia pun paham, mengapa kapten kapal ini Anjolina, bukannya Kisaragi yang notabene membentuk perusahaan ini.

Tapi, meskipun pemimpinnya Anjolina, orang yang me-manage K&K adalah Kisaragi.

Intinya, dia lah pemimpinnya, tapi bukan bos. Yahh, kurang-lebih begitulah para awak kapal menganggapnya.

Pemimpin dan bos tidaklah sama. Dan sikap setiap pemimpin juga berbeda, seperti halnya sifat manusia yang beragam.

“…setiap orang memang beda, begitupun para pemimpin, dan juga Yume.” gumam Yume sembari menundukkan kepalanya.

Sejak terjebak di pulau terpencil, dia selalu memikirkan teman-temannya. Terkadang, itu membuatnya terisak, lalu menangis. Sudah setengah tahun berlalu. Seandainya ikut mereka, mungkin saat ini Yume sudah pulang ke Altana. Yume bilang pada teman-temannya untuk menunggu. Tapi, harus menunggu berapa lama? Jika terlalu lama, bukankah berarti Yume ingkar janji? Tidak, sebenarnya bukan setengah tahun, Yume sudah berpisah lebih dari dua tahun dengan mereka. Tak lama lagi, akan genap tiga tahun. Mereka pasti sudah lelah menunggu. Bahkan, mungkin sudah tidak lagi menunggu. Bukannya dia tidak mempercayai teman-temannya, tapi jika berpisah selama ini, mereka pasti mengira telah terjadi sesuatu pada Yume. Sebenarnya, Yume ingin mereka tidak menunggu, bahkan Yume ikhlas jika mereka sudah melupakannya. Yume ingin mereka melupakannya saja. Tentu, itu membuatnya sedih. Tapi, jika hanya Yume yang sedih, agaknya itu tidak masalah. Dia tidak peduli dengan perasaannya sendiri. Yume pasti bisa bertahan dengan kesedihan itu.

Tapi tetap saja, saat memikirkan teman-temannya, rasanya sakit sampai dada sesak.

Apa, mengapa, dan bagaimana sakitnya? Yume tidak tahu, dan dia tidak mau tahu. Yang jelas, itu sakit sekali.

Tiba-tiba, dia menyadari seseorang mendekat. Karena suara angin dan ombak, sulit mendengar derap langkah kaki, tapi orang itu membenturkan sesuatu yang keras ke tepi kapal sembari berjalan.

Yume pun menoleh padanya.

Itu Kisaragi. Benda keras itu ternyata adalah tangan kirinya. Kisaragi telah kehilangan tangan kirinya, lalu menggantinya dengan lengan buatan. Penutup mata kanannya juga bukan hiasan. Dengan penampilan seperti itu, dia tampak bajak laut banget, ditambah lagi kumisnya yang tebal. Namun, janggut yang tipis dan wajah yang halus itu sungguh kontras dengan penampilannya.

"Hei."

Kisaragi mengangkat tangan palsunya. Sepertinya itu adalah lengan buatan khusus. Lengan kirinya bergerak dengan lancar, seolah bukan buatan.

"Hei."

Yume memaksa tersenyum dan melambaikan tangan pada Kisaragi, tapi pria itu merespon dengan menyipitkan mata dan sedikit menggerakkan kumisnya.

"Ah…!"

“Hm?”

“Hei, kumis itu… Mungkinkah…?”

“Oh. Ini?"

Kisaragi mencubit kumis dengan tangan kanan, lalu menariknya, dan..............

Kumis itu pun lepas.

"Ini hanya kumis palsu."

“…asraga.... oh ya, Yume baru ingat. Dulu Momo-san juga memakai kumis palsu.”

"Benarkah?"

"Ya. Saat pertama kali kami bertemu, dia memakai kumis palsu. Sepertinya dia meniru Kisaragicchon.”

“Kau juga memanggilku seperti itu, ya? Ah, terserahlah.”

“Kau sering mengatakan terserah, ya.... Kisaragicchon.”

“Tidak. Aku mengatakannya hanya untuk memperjelas hal-hal yang tidak begitu kupedulikan.”

“Hrm. Kenapa kau memakai kumis palsu, Gicchon?”

“Sekarang kamu mempersingkatnya? Ah, terserahlah. Ketika pergi ke Benua Merah, orang-orang mengira aku masih kecil. Jika memiliki lebih banyak rambut di wajah, aku akan semakin mirip orang dewasa. Dan ternyata, itu benar. Aku banyak terhindar dari masalah karena kumis ini.”

"Seperti wanita yang punya dada lebih besar, ya?”

“Wanita dewasa ada juga yang dadanya datar, lho.”

"Oh ya? Yahh, itu benar. Punya Yume tidak besar, punya Momo-san juga. Tapi, punya Kapten Anjolina-san bergoyang-goyang, lho.”

"Sampai kapan kita ngomongin Oppai?"

“Tidak juga. Tapi... tapi.... kalau punya dada besar, enak dipegang, lho. Punya Shihoru juga besar.”

Lalu, Yume menutupi dadanya dengan kedua tangan. Tiba-tiba dia terdiam.

Memang jelas perbedaan dada Yume dan Shihoru. Dadanya tidak montok dan empuk seperti punya Shihoru. Saat mengingat temannya itu, lagi-lagi kerinduan yang dalam menusuk hatinya. Yume suka dada Shihoru. Paha dan perut Shihoru juga seksi, tapi dadanya luar biasa. Dia ingin menyentuh dan membenamkan mukanya di sana.

Akankah dia bisa?

“Shihoru? Dia temanmu, ya?”

Yume merespon pertanyaan Kisaragi itu dengan mengangguk. Dia hanya bisa mengangguk-nganggukkan kepalanya. Jika dia berusaha bicara, sesuatu yang aneh akan terjadi.

“Aku mendengar cukup banyak tentang kalian. Salah satu dari kalian pernah mengalahkan naga di Kepulauan Permata saat aku pergi, kan? Orang-orang menyebutnya pahlawan Roronea. Sang Penunggang Naga. Kalau tidak salah, namanya Haruhiro, kan?”

Ya.

Haru-kun, sikapnya tidak seperti pemimpin, tapi dia lah pemimpin yang sebenarnya. Dia selalu memikirkan Yume, dan yang lainnya. Bahkan sampai mengesampingkan diri sendiri. Itu luar biasa. Bagi Yume, dia lah pemimpin terbaik, ah tidak.... bagi setiap orang, dia lah pemimpin terbaik.

Yume menggembungkan pipinya. Wajahnya mungkin mulai memerah. Dia ingin memberitahu Kisaragi lebih banyak, tapi tak bisa mengatakan sepatah kata pun. Sungguh, yang bisa dia lakukan hanyalah mengangguk.

“Jangan khawatir.”

Kisaragi meletakkan tangannya — yang asli, bukan yang palsu — di atas kepala Yume. Tangannya tidak besar. Meskipun begitu, kepala Yume pas sekali di tangannya.

“Kamu murid Momohina, kan? Artinya, kau bagian dari keluarga kami. Hal pertama yang akan kulakukan adalah membawamu kembali ke Grimgar. Dan jika kau membutuhkan apapun, katakan saja padaku. Ada hal-hal yang tidak bisa kulakukan, tapi tidak banyak. Jadi, percayalah padaku.”

Ya.

…Ya.

Apakah tidak apa-apa meresponnya hanya dengan mengangguk? Kisaragi bilang, "percayalah padaku," dan dia pun lagi-lagi menjawabnya dengan mengangguk. Sepertinya, itu tidak masalah. Karena Yume hanya bisa mengangguk, tak peduli dia yakin atau tidak.

“…Gicchon.”

"Ya?"

“Yume, …”

Yume hampir menangis, itulah kenapa Yume tidak bisa mengatakan apapun.

Yume masih saja merasa sedih. Dadanya dipenuhi dengan emosi, tapi tak setetes pun air mata keluar. Tak peduli betapa ingin dia menangis, air mata tidak pernah menetes di pipinya. Sampai-sampai Yume berpkir, ’Mungkin sebaiknya tidak usah menangis saja.’

Mungkin ini berkat Kisaragi.

“…Gicchon. Kau keren juga, ya?”

"Ya, boleh lah kau bilang begitu."

Kisaragi hanya menjawab itu, lalu menarik tangannya dari kepala Yume.

“Karena hanya akulah pahlawan terhebat di dunia ini.”

5. Patah hati[edit]

Bachrose-go akhirnya kembali ke pelabuhan Roronea tanpa halangan yang berarti. Waktu itu, Momohina sudah berhenti kejar-kejaran dengan Kisaragi, malahan dia terus saja menempel padanya, sampai-sampai Kisaragi protes, "Kau ini perangko ya? Menjauhlah." Meski begitu, Kisaragi tidak coba mengusirnya, jadi Momohina terus saja mengikutinya kemanapun dia pergi. Sampai kapan dia begitu, apakah tidur juga akan bersama?

Momo-san pasti menyukai Gicchon, ya?

Yume juga menyukai Kisaragi. Andaikan saja Yume bertemu Kisaragi terlebih dahulu, mungkin dia tidak akan mengikuti Haruhiro. Tapi, semakin suka Yume padanya, maka semakin dia merindukan Haruhiro dan yang lainnya.

Yume coba berpikir dengan tenang. Setelah semua yang terjadi, rasa-rasanya tidak mudah dia bertemu kembali dengan Haruhiro dan Party-nya. Entah kemana mereka sekarang. Tapi yang pasti, Yume sudah berubah sekarang. Dia bukan lagi cewek cupu seperti dulu.

Saat berpikir dia tidak akan bertemu dengan teman-temannya, lagi-lagi hatinya merasa terkoyak, bahkan lehernya terasa terpelintir, dan tubuhnya tercabik. Pokoknya, itu sangat menyakitkan, tapi kali ini Yume tidak mau mengabaikan rasa sakit itu, dia juga tidak mau menghabiskan waktunya termangu sembari menyesali semua ini. Dia sudah lebih kuat sekarang. Dia sudah bersiap menerima kenyataan terburuk, tidak menyerah, dan terus menatap masa depan. Tidak ada gunanya takut dan menyesal.

Tokoh-tokoh utama PT. Bajak Laut K&K tidak berada di tempat, kecuali kepala bagian Undead Jimmy. Mereka sibuk menjarah kapal di sana-sini, dan sebagiannya lagi masih mencari Momohina. Adapun pejabat K&K lain, seperti direktur manajer Giancarlo, Ichika PPW (Partner Penyembuh Wanita), Mirilieu EBD (Elf Berdada Datar), Heinemarie DPW (Dwarf Peraba Wanita). Apakah singkatan-singkatan itu gelar? Sungguh konyol, bahkan cenderung gak jelas. Ginzy si Sahuagin bacot juga masih di sana, sebagai kapten kapal Neo Mantis-go. Tentu saja dia tidak tahu kalau Momohina sudah selamat. Mungkin dia akan sangat senang saat mengetahuinya.

Saat mengisi persediaan, mereka dikerumuni oleh para bajak laut dan penduduk Roronea yang bersorak-sorai padanya. Begitu urusan selesai, Bachrose-go segera meninggalkan pelabuhan. Kisaragi tidak berkata pada Yume, “Kita harus cepat!”, namun sepertinya itulah yang dipikirkannya.

Yume sudah pergi lama sekali. Jadi, tidak perlu terburu-buru mencari teman-temannya, meskipun dia ingin bertemu dengan Haruhiro dkk secepat mungkin. Andaikan bisa, dia ingin menjadi burung yang terbang bebas di langit Altana untuk mencari mereka.

Bachrose-go tidak menuju ke Kota Bebas Vele, bukan juga ke Igor, tidak keduanya.

Mereka menuju ke suatu pelabuhan yang namanya sulit, yaitu Nugwidu, yang terletak jauh di sebelah selatan Vele. Ada sekelompok orang aneh bernama Zwiba yang sudah lama tinggal di Nugwindu, katanya mereka telah membentuk negara. Zwiba memiliki bahasa, adat istiadat, dan budaya sendiri. Mereka tidak berinteraksi dengan ras lain dengan cara apa pun. Jika Zwiba melihat orang luar, mereka akan segera mengeroyok, menangkap, bahkan...... memakan mereka.

Sudah lama Yume tahu bahwa mereka aneh dan sangat berbahaya, dan dia selalu menghindari tempat itu.

Lalu, kenapa Kisaragi mau ke Zwiba? Bahkan, katanya dia pernah ditangkap oleh mereka dan hampir dimakan.

“Kau tahu lenganku, kan? Mereka melihatku dengan tatapan yang seolah mengatakan, ‘Gak papa nih makan orang ini? Rasanya aneh gak?’ Lalu, saat mereka masih bingung, terjadilah beberapa hal, sampai akhirnya kami berteman.”

Bagaimana bisa dia berteman dengan orang yang hampir memakannya? Yume tidak bisa membayangkannya. Tapi apapun itu, Bachrose-go sedang menuju ke pelabuhan Nugwidu.

Zwiba sangat tertutup, jadi mereka tidak memiliki teknologi untuk membangun kapal atau pelabuhan besar. Menurut Kisaragi, kapal-kapal Zwiba yang melaut tidak pernah kembali, kecuali kapal nelayan. Mungkin karena kurangnya pengetahuan, kapal-kapal itu tidak pernah kembali ke asalnya. Lalu, kenapa harus melewati Zwiba? Ternyata, menurut Kisaragi lebih cepat menuju Altana lewat Zwiba daripada Vele. Dari Nugwindu, mereka juga bisa pergi ke barat menuju Dataran Quickwind, setelah itu jika terus menuju ke Pegunungan Tenryu di selatan, mereka tidak akan nyasar.

Karena Kisaragi yang bilang begitu, maka Yume pun tidak meragukannya. Dia sama sekali tidak khawatir. Dan dia tidak sabar bertemu dengan orang-orang Zwiba ini.

Momohina masih ikut bersama Bachrose-go. Dia masih menjadi guru Yume setidaknya sampai Nugwidu nanti, maka mereka pun melanjutkan latihannya.

Mereka berlari dan melompat-lompat di atas kapal yang bergoyang. Hari pertama berlayar sembari berlatih berlangsung dengan lancar. Hari kedua, Yume terbangun pada hamok di kabin.

Mungkin karena begitu lama setengah telanjang di pulau terpencil, dia agak risih memakai baju. Jadi, sekarang dia lebih suka tidur telanjang. Hari ini pun dia bangun tanpa baju. Bisa gawat kalau dia terus terbiasa seperti itu. Maka, dia memakai kain yang membungkus dada, dan celana yang begitu minim. Setelah bangun, dia segera membasuh muka dan sedikit menggosok giginya.

Ketika naik ke dek, matahari baru saja terbit, tapi langit begitu bersih, sehingga cuaca begitu cerah. Sudah lama Yume menyukai laut, bahkan sebelum mengenal para bajak laut itu. Dia pun menyukai pemandangan matahari terbit seperti ini. Melihat matahari, lautan, langit, dan cakrawala menjadi satu bingkai pemandangan sungguh menakjubkan, tapi saat melihatnya terkadang dia juga merasa kesepian.

Yume harusnya bangun lebih cepat. Saat berjalan-jalan di dek, dengan sedikit kecewa, dia mendapati seorang pria di dekat haluan. Pria itu bertelanjang dada, dan sepertinya sedang berlatih.

Siapa dia? Pria itu sedang memandang ke arah lain, sehingga Yume tidak bisa melihat wajahnya. Yume mengenal semua kru Bachrose-go, kecuali pria itu.

Postur tubuhnya begitu tegap, dan otot-otot di punggungnya begitu kencang, sampai-sampai seolah membentuk wajah monster yang menyeramkan. Dia tinggi, tapi tidak terlalu besar. Hampir tidak ada lemak tidak berguna di tubuhnya. Tubuhnya bagaikan pisau yang sudah diasah setajam mungkin.

Tanpa Yume sadari, dia terus memandangi pria itu.

Si pria melakukan gerakan pemanasan sederhana seperti memutar lengan, meregangkan persendian, menekuk tubuh, dan berdiri dengan satu kaki. Hanya itu yang dia lakukan, tapi Yume sama sekali tidak berkedip melihatnya.

Pria itu pasti kuat.

Sangat, sangat kuat.

Tiba-tiba, jantungnya berdegup kencang, dan dia mulai memikirkan banyak hal. Apa dia kebelet pipis? Tidak, bukan itu. Perasaan apa yang mengganjal di hatinya ini?

Akhirnya, pria itu pun menoleh padanya.

Saat itu, Yume baru menyadari bahwa rambut pria itu berwarna perak.

"Oh.... kau ternyata.....”

Grimgar Vol 14++ (10).jpg

“Fwuh.”

Yume tahu nama pria itu, tapi entah kenapa dia tidak sanggup mengatakannya.

Dia mengenalnya, bahkan dia datang ke Grimgar bersama orang itu. Mereka bukan teman, tapi setidaknya rekan seperjuangan.

Sudah lama mereka tidak bertemu. Tapi bukan dia saja, sudah lama Yume tidak bertemu dengan semua yang dia kenal dulu.

“…kau juga ikut kapal ini? Hahhhh?? Kenapaaa?”

“Aku pernah berada di Benua Merah, lalu bertemu dengan K&K dan membuat perjanjian dengan mereka. Sebelumnya aku berada di Kepulauan Permata, dan menunggu kapal yang berlayar ke Grimgar.”

“Ohhh…. Jadi kau benar-benar naik kapal ini, ya? Yume baru tahu....”

“Tapi aku tahu. Aku juga dengar Kisaragi mencari wanita yang hilang saat badai.”

“Oh, kalau kau di Roronea, kau pasti mendengarnya ya? Tapi, kenapa kau diam saja.”

“Aku melihatmu kemarin, tapi kau dan Momohina terus saja melompat-lompat di atas.”

“Ohhh, kami sedang berlatih. Yahh.... itu.... ehh.... emm....”

Mengapa Yume menjadi tegang saat coba mengingat nama pria ini.

Ada apa dengan Yume? Dia coba berpikir, tapi tak kunjung menemukan jawaban. Rasanya sangat mengganjal tidak bisa mengingat nama seseorang yang kita kenal saat berada tepat di hadapannya. Tapi, dia coba memaksanya, dan akhirnya........

“Renji!”

Akhirnya dia bisa meneriakkannya dengan keras, dan Renji pun berkedip.

"…Apa?"

“Hmmm, uh… Yume ingin tahu.... apakah kau tahu tentang Haru-kun dan yang lainnya? Yume sudah lama berlatih, lalu terjadi ini dan itu, belum lagi bada itu.... Yume sudah lama tidak bertemu dengan mereka.”

“Sudah sekitar setahun aku berada di Benua Merah, dan selama itu juga aku tidak pulang ke Altana.”

"Oh ya? Jadi kau tidak tahu, ya?”

“Aku mendengar Haruhiro menakhlukkan naga di Kepulauan Permata. Sepertinya kau berpisah dengan mereka setelah itu, ya?”

“Ya… Itu sudah lama… lama sekali, ya…?”

"Yah, orang-orang menyebutnya Sang Penunggang Naga."

Tiba-tiba, Renji tersenyum saat mengatakan itu, ketegangan di hati Yume pun sedikit memudar.

Selama ini Yume mengira Renji adalah orang yang jarang tersenyum dan mengerikan. Apakah anggapan itu salah? Ataukah Renji berubah setelah sekian lama?

“Tenang saja, dia orang yang tangguh. Kurasa mereka sehat-sehat saja.”

“… Mm-hm. Ya, kalau kau berkata begitu....... sepertinya meyakinkan.”

"Maksudmu meyakinkan?"

“Meyakinkan ya meyakinkan.”

Yume merasa bahwa Renji adalah sosok berbeda dari yang dia kenal dulu. Ya, itu benar. Manusia berubah. Semua berubah.

Begitupun dengan Haruhiro dan yang lainnya. Mungkin mereka juga sudah berubah.

"Kau tahu.... aku buruk dalam menilai orang lain.”

Renji kembali melihat ke kejauhan.

"Aku salah. Dulu kupikir kalian hanyalah sampah. Tentu saja aku berpikir kalian sama sekali tidak berguna. Kalian akan segera mati di dunia yang keras ini. Dulu pernah ada teman kalian yang bernama Manato, kan? Sayang sekali, umurnya tidak panjang. Lalu ada Mogzo. Andaikan dia selamat, dia pasti akan menjadi lebih kuat. Banyak teman-teman kalian mati. Maka, aku pun berpikir semua anggota Party kalian akan mati. Cepat atau lambat. Ya.... saat memikirkan itu, aku sama sekali tidak ragu dengan pendapatku itu.”

Kata-kata Renji mengalir begitu saja dengan lancar. Itulah curahan hatinya yang jujur.

“Kalian semua akan mati. Bukannya aku meremehkan kalian, itu hanya pendapatku saja. Aku memang orangnya seperti itu, tidak pernah ragu dalam berpendapat. Mungkin kau perlu berpikir sejenak saat menghadapi pilihan, tapi aku tidak. Aku akan melakukan apapun yang kuanggap benar. Kenapa harus ragu? Bodoh sekali.”

“Renji.”

"Ya."

"Apakah sesuatu... telah terjadi denganmu?"

"Tidak."

Renji menunduk, lalu meregangkan kepala dengan menariknya. Wajahnya tersenyum, tapi tampaknya dia sedang menertawakan dirinya sendiri.

"Tidak terjadi apa-apa denganku. Aku ya aku. Inilah aku. Yahh.... kuharap kau akan segera bertemu kembali dengan Party-mu.”

"…Ya. Terima kasih."

Renji sedikit melambaikan tangannya, lalu pergi. Pertemuannya dengan Renji hari itu singkat saja, namun Yume akan terus mengingatnya.

Keesokan harinya, Yume berjalan di sekitar kapal, mencari Renji. Bachrose-go adalah kapal yang sangat besar. Namun tidak seluas kastil, atau serumit labirin. Di dalam kapal, dia belum juga menemukannya, tapi Yume bertemu dengan seorang pria berambut cepak yang dia kenal.

“Hohhhh! Um, erm, siapa namamu …?”

"Ron."

Ron, pria berambut cepak itu menatap Yume, lalu menunduk dan mendesah lelah.

“Aku heran kau bisa berjalan-jalan sesantai itu.... kau juga memakai pakaian tidak senonoh di antara banyak pria yang haus akan wanita....”

"Hah? Pakaian tidak bodoh?”

“Bukan, bukannya tidak bodoh! Tapi tidak senonoh! Maksudku.... yahh.... erotis, mungkin?”

“Erotis, ya? Hmm. Seksi maksudmu?"

“…Ya, semacam itu. Ah tidak.... bukannya semacam.... tapi memang seksi!”

“Mwohhh. Sebelumnya tidak pernah ada orang yang menyebut Yume seksi.”

“Yahh, ini masalah selera sih. Kebetulan saja, kurasa gadis sepertimu itu seksi.”

“Jadi, Ronron pikir Yume seksi, ya?”

“Yahh, mungkin kau benar..... tidak, maksudku... harusnya kau malu! Sial! Kenapa jadi begini? Kenapa seolah-olah aku memujimu? Apa yang sedang kulakukan!? Menembaknya!?”

"Ronron ingin menembak Yume? Yume salah apa?"

“Tidak, bukan menembak itu yang kumaksud! Bukan dengan pistol! Tapi dengan cinta! Ah! Tidak! Aku tidak menyatakan cinta padamu! Mana mungkin! Lagian, ngapain kau panggil aku Ronron!? H-harusnya.... panggilan seperti itu hanya untuk orang yang sudah dekat saja.... seperti.... uhh, sepasang kekasih, mungkin?”

“Dengar, omongan Yume sering dikoreksi orang. Tapi, kau salah. Bukan kekasih, tapi selasih! Eh... selasih?”

"Hah? Selasih…? Itu tanaman!”

“Tanaman? Apa yang kau katakan?”

"Sudahlah, semua yang kau bicarakan selalu salah."

“Sepertinya begitu.....”

“…Berbicara denganmu bikin capek saja. Kau ini makhluk dari mana sih? Kau seperti berasal dari dunia lain, meskipun.... aku tidak sepenuhnya membencimu.”

"Oh ya? Yume sih senang ngobrol denganmu. Yume juga tidak membencimu.”

“Whoa, whoa, whoa, apa ini? Sekarang gantian kau yang menembakku? Yang benar saja? M-maksudku.... yahh, aku tidak punya pacar sekarang. Bukan.... aku memang tidak pernah punya pacar. Bukannya aku tidak terkenal atau semacamnya. Aku hanya fokus pada tujuan hidupku, jadi aku tidak punya waktu untuk hal seperti itu....”

“Oh!”

“A-Apa?! Beneran kau mau pacaran denganku?”

“Mmm, Yume baru ingat. Kemarin pagi, Yume bertemu dengan Renji.”

“Hah, kenapa tiba-tiba jadi ngomongin Renji! Ah, selalu saja dia! Gak peduli laki, gak peduli peremuan, semuanya selalu saja bahas Renji! Renji, Renji, Renji, Renji, Renji! Siaaaaaaaalll!”

Ron tiba-tiba membenturkan kepalanya ke dinding dengan begitu keras. Yume pun tercengang dibuatnya. Beberapa saat Yume hanya bengong melihatnya, sampai akhirnya dia sadar harus segera menghentikan Ron. Tapi saat itu Ron sudah berhenti.

"…kau tahu.... aku mengerti.... aku juga suka Renji. Maksudku, mengaguminya. Jadi, sedikit-banyak aku tahu perasaan itu....”

Ron menempelkan dahinya ke dinding, dan mengepalkan tangannya. Apa yang membuatnya begitu frustrasi? Dia pun menggertakkan giginya dengan keras sampai-sampai kau bisa mendengarnya.

Yume meraih bahu dan rahang Ron. "Yosshh!” lalu menariknya sedekat mungkin. Saat berhadap-hadapan, dia melihat kening Ron memerah, namun tidak berdarah.

"Sepertinya kau baik-baik saja.”

“…H-hentikan!”

Ron menepis tangan Yume, lalu membuang muka darinya.

“K-kalau kau teruskan, bisa-bisa hatiku....”

“Hm? Hatimu?”

"Hatiku terluka."

“Ngh? Bagaimana bisa? Yume tidak melakukan apa-apa pada hatimu.”

“…beneran! Hatiku juga bisa terluka! Bagaimana kalau aku tidak bisa melupakanmu!?”

“Yume sih senang kalau kau tidak bisa melupakan Yume.”

"Itu dia ... sifatmu itulah yang bisa membuatku terluka."

Yume tidak begitu yakin dengan apa yang Ron bicarakan. Dia hanya memiringkan kepalanya kebingungan, lalu Ron berdeham, seolah coba merubah suasana.

“Dengar… tentang Renji.......”

"Ah iya.... kau tahu di mana dia?”

"Bisakah kau meninggalkannya sendirian untuk saat ini?"

Nada bicara Ron berubah total, menjadi muram.

Yume menatap wajah Ron, yang sepertinya hendak menangis. Meskipun tak setetes air mata pun keluar, wajahnya jelas terlihat aneh. Tatapan matanya menjadi kosong, tapi otot-otot wajahnya menegang seperti orang yang hendak ketawa. Ah tidak juga, mungkin dia lebih mirip marah.

“Aku yakin dia tidak memberitahumu. Ya, memang seperti itulah si Renji.”

"Ummm.... memberitahu Yume? Tentang apa?”

"Kau tahu Sassa?"

“Gadis itu, kan? Yang anggota Party-mu?”

“Dasar, kau mengingatnya, tapi tidak denganku. Yahh, terserahlah.... kau tahu, Sassa.... dia....”

“Dia… kenapa?”

Sebelum Ron melanjutkan kalimatnya, Yume sudah punya firasat buruk.

Dan persis seperti yang dia duga.

6. Kita Yang Tidak Bisa Sendiri[edit]

Yume tidak pernah lupa saat pertama kali kehilangan teman.

Itu terjadi sudah lama sekali, jadi dia tidak lagi merasa sedih. Tapi setiap kali mengingat Manato, dia ingin berteriak sekencang-kencangnya, seperti serigala yang melolong di bawah sinar rembulan.

Yume menyukai serigala. Sayang sekali, tapi dia bukan serigala, jadi dia tidak bisa melolong. Yume tidak tahu mengapa lolongan serigala terdengar seperti jeritan kesepian baginya. Serigala adalah hewan yang hidup berkelompok di sekitar pemimpinnya. Jika anggota kelompok mereka ada yang mati, lainnya akan melolong berulang kali. Dia mengetahui hal ini dari Master Guild, dan Yume tahu itu bukan omong kosong belaka. Konon katanya, serigala melakukan itu untuk memanggil kembali jiwa temannya yang telah mati. Yume ingin melolong seperti itu, karena dia juga ingin teman-temannya yang sudah tiada kembali. Tapi tak peduli sekeras apapun dia melolong, orang mati tidak akan hidup lagi.

Kehilangan Manato sangat menyakitkan, namun ternyata itu bukanlah yang terakhir. Saat Mogzo gugur, rasanya bahkan lebih sakit. Dia berjuang bersama Mogzo lebih lama daripada Manato. Tapi bagi Yume, Mogzo lebih dari teman seperjuangan. Kematian seorang teman saja sudah menyakitkan, apalagi kematian dua orang teman. Itu seperti membuka luka lama, dan merobeknya lebih lebar.

Setelah itu, Yume bertemu Renji lagi beberapa kali di dek. Tapi mereka hanya bertegur sapa. Kelihatannya, Renji juga jarang ngobrol dengan rekan-rekannya se-Party, seperti Ron, Adachi yaitu Mage berkacamata, dan Chibi si Priest mungil.

Renji, Ron, Adachi yang jutek dan sulit didekati, Chibi-chan yang pendiam sekali dan suaranya lirih, kemudian Sassa yang sudah tiada, mereka semua tiba di Grimgar bersamaan dengan Yume, Haruhiro dan yang lainnya. Disebut apa hubungan mereka? Satu angkatan, mungkin? Terserah bagaimana kau menyebutnya, tapi apa yang telah terjadi pada mereka? Yume berbohong jika bilang tidak peduli dengan itu semua. Tapi, meskipun diceritakan semuanya dengan detail, tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Andaikan mereka mau terbuka, Yume akan mendengarkan semua ceritanya dengan seksama, tapi.... sepertinya salah juga meminta mereka menceritakan kisah sedih begitu.

Akhirnya, Yume lebih memilih berlatih dengan Momohina.

Dalam keadaan seperti ini, Yume yang dulu lebih suka melamun sendirian, atau menyibukkan diri dengan pekerjaan lain agar tidak teringat dengan kejadian menyedihkan itu. Sebenarnya, sekarang pun begitu, hanya saja caranya berbeda.

Tak peduli berusaha sekeras apapun, situasi tidak akan berubah. Dia harus segera melupakan masa lalu, dan menapaki masa depan dengan usaha lebih keras. Ya, hanya itu yang dia bisa.

Pada malam sebelum Bachrose-go akan tiba di Nugwidu, dia uji tanding melawan Momohina tanpa batas waktu.

Tidak ada pemenang dalam pertarungan itu. Sudah berkali-kali dia latih tanding dengan Momohina, sampai-sampai tidak bisa dihitung jumlahnya. Menang dan kalah tidak lagi penting. Jika serius, Yume hampir mustahil mengalahkan Momohina. Maka, Yume hanya berusaha mendapatkan pengakuan dari Momohina. Dengan kata lain, pertarungan ini adalah ujian kelulusan baginya.

Mereka berhadap-hadapan di dek, lalu saling membenturkan punggung tangan mereka. Ketika Yume berpikir, ’Baiklah, saatnya menyerang’ saat itu juga Momohina meraih pergelangan tangannya. Bahkan sebelum Yume bisa menjerit, tubuhnya sudah terhempaskan. Permulaan yang buruk baginya, dan seterusnya tidak akan mudah. Yume pun mulai panik. Meski begitu, dia berhasil sedikit menenangkan diri.

Saat Yume mencoba menjauh, Momohina segera mendekat dan meraihnya lagi. Lalu, dengan mudah Momohina mengunci Yume, dan melemparnya lagi.

Momohina berbeda dari biasanya. Kali ini dia tidak banyak berekspresi, dan terkesan lebih serius. Gerakannya tidak seperti Momohina yang Yume kenal selama ini. Yume seperti menghadapi lawan asing.

Ketenangan Yume kembali pudar. Kali ini dia jengkel, tidak.... lebih tepatnya marah.

Seharusnya tidak seperti ini. Tadinya Yume berniat melawan Momohina dengan setenang mungkin. Tapi Momohina benar-benar merusak itu semua. Hari ini, dia mengajari hal baru lagi pada Yume. Selama ini, Yume selalu melihat Momohina sebagai orang yang lebih dewasa, meskipun tidak cocok baginya. Tapi kali ini beda.

Momohina lebih serius, tenang, dan itu membuat gerakannya semakin gesit dan sulit diterka.

Itu membuat Yume semakin frustasi dan emosi. Jelas dia harus lebih tenang saat melawan gurunya, tapi dia tidak bisa mengontrolnya. Ketika dia marah, tensi semakin tinggi. Akibatnya, gerakannya semakin tegas, dan mudah ditebak.

Itu adalah kesalahan fatal ketika menghadapi lawan seperti Momohina.

Singkat cerita, Yume pun kalah..... tidak, lebih tepatnya hancur lebur.

Dia memar di sekujur tubuhnya, bahu, lengan, pergelangan tangan, jari-jemari, semuanya sakit, bahkan beberapa tulangnya patah. Chibi-chan menyembuhkannya dengan sihir cahaya, jadi dia bisa segera pulih, tapi tetap saja itu menyedihkan. Semenjak berlatih dengan Momohina di pulau terpencil, kekalahan inilah yang paling telak.

Padahal, dia tahu apa yang Momohina coba tunjukkan padanya.

“...pertarungan bukan hanya soal kekuatan dan teknik, tapi..... siapa lawan yang kau hadapi.... begitu, ya....”

“Kau sudah mengerti, ya! Itu baru Yumeryun-ku! Kau punya intuisi yang bagus! Luar biasa! Sempurna!”

Momohina menepuk kepala Yume. Tampaknya dia sudah kembali seperti Momohina yang Yume kenal.

Sudah begitu lama Yume menjadi murid Momohina. Tidak berlebihan jika dibilang Momohina tahu apapun tentang Yume. Itulah kenapa tak peduli sekeras apapun perlawanan Yume, akhirnya dia juga akan kalah. Kalau Yume ingin menunjukkan buah latihannya selama ini, setidaknya dia harus menyerang Momohina saat lengah. Jika tidak, maka tidak ada peluang dia bisa mengalahkannya,

Selama ini Yume begitu percaya pada gurunya, tapi apakah Momohina melakukan hal yang sama padanya? Mungkin tidak, karena pada pertarungan terakhir Momohina menunjukkan teknik-teknik yang belum pernah dilihat Yume sebelumnya. Itulah yang membuat Yume kebingungan dan tidak tahu berbuat apa. Alhasil, dia kalah telak.

Meskipun telah mempelajari banyak hal, melatih otot-ototnya, mempertajam gerakan, dan mengembangkan teknik-tekniknya, itu semua masih belum cukup untuk mengalahkan Momohina.

Ada satu hal lagi yang harus Yume pertimbangkan, yaitu siapa lawan yang dihadapinya. Jika seoang yang lemah tahu betul dia sedang menghadapi lawan yang jauh lebih kuat darinya, maka dia bisa saja menang dengan mempersiapkan berbagai macam trik. Atau setidaknya, peluang menangnya tidak nol.

Sebaliknya, jika orang yang kuat bertingkah arogan, dan selalu meremehkan lawan-lawannya karena tahu mereka lebih lemah, maka suatu saat dia bisa saja kalah. Karena si lemah bisa melakukan hal yang tidak pernah diduga untuk mengalahkannya.

Apapun dan kapanpun bisa terjadi berbagai kemungkinan. Tidak ada yang pasti dalam suatu pertarungan.

Itulah pelajaran terakhir yang Momohina coba ajarkan pada Yume.

Lalu, Yume tidur nyenyak di hamoknya. Setelah bangun, dia naik ke dek, dan melihat daratan di kejauhan. Akhirnya Yume kembali, dia pun sedikit menjerit saat melihatnya.

Bachrose-go menjatuhkan jangkar di pelabuhan di Nugwidu sekitar tengah hari.

Karena sudah kenal dengan Kisaragi, Zwiba mungkin akan menyambutnya dengan tangan terbuka. Terlihat sejumlah besar orang berkumpul di sekitar dermaga. Tapi mereka tidak bersorak, atau melambai. Tidak hanya diam, mereka juga tampak aneh. Postur mereka seperti manusia, tapi kulitnya berwarna keabu-abuan seperti batu, dan kepalanya botak licin. Mata mereka hitam legam, tidak ada bagian putihnya sama sekali. Wajah, tangan, dan sekujur tubuh mereka diwarnai oleh garis-garis biru dan kuning. Sedangkan, pakaian mereka berwarna coklat, ungu, dan warna-warna gelap lainnya. Masing-masing dari mereka membawa tongkat yang panjang dan tipis. Semuanya sama. Tongkat itu bukan dari kayu, melainkan logam. Batangnya berkilau, namun bentuk ujungnya berbeda-beda.

Dari atas kapal, Kisaragi mengacungkan jempolnya, dan mereka pun membalas dengan menghentakkan tongkat di tanah dua kali dengan serempak.

"Mereka semua sangat pemalu, ya?"

Benarkah begitu? Jujur, Yume takut turun dari kapal. Tapi, Kisaragi dan Momohina turun mendekati mereka seolah tanpa masalah, lalu mereka mengacungkan jempol lagi, bahkan menepuk pundak mereka. Sepertinya.... tidak apa-apa, ya....

Saat Yume coba turun dari kapal dan mendekat, dia mencium bau wangi dari orang-orang Zwiba itu. Baunya seperti kue yang barusan dipanggang. Kulit mereka seperti batu, tidak hanya warnanya, tapi juga teksturnya. Matanya yang hitam legam, dan corak keemasan pada tubuh mereka, membuat penampilannya terkesan begitu misterius, sampai-sampai Yume hampir berdecak kagum melihatnya. Mereka bertelanjang kaki tanpa memakai alas apapun. Terdapat tujuh jari pada tangan dan kakinya.

Yume tidak bisa membedakan setiap orang Zwiba. Tapi ada seorang Zwiba yang lebih pendek, dan kepalanya diwarnai dengan corak putih. Tongkat yang dipegang oleh Zwiba itu tanpa warna dan hampir transparan. Kisaragi coba berkomunikasi dengan orang itu menggunakan banyak gerakan pantomim, dan dia pun membalasnya. Saat itulah Yume mendengar bahasa Zwiba untuk pertama kalinya.

“Uhh. Toh. Nhh. Tohto. Muh. Ohh. Nhh. Tohto. Nhh. Toh. Uhh. Toh.”

Tentu saja, Yume tidak tahu apa yang mereka katakan. Dia telah mendengar banyak bahasa, tapi bahasa Zwiba mungkin yang teraneh. Ternyata ada juga orang yang berbahasa seperti itu. Dunia memang luas sekali, ya.

Dengan demikian, Zwiba mengundang Kisaragi, Momohina, Yume, dan Tim Renji ke sebuah bangunan besar, lalu menjamu mereka di sana.

Jamuannya hanya setumpuk makanan dan minuman yang diletakkan di atas lantai batu tanpa alas, dan tidak ada tarian, nyanyian, atau semacamya. Makanannya sebagian besar berupa ikan-ikanan, sayur-mayur, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Begitu banyak makanan, namun hampir tidak ada rasanya. Rasanya begitu natural tanpa campuran rempah apapun. Yahh, mungkin mereka masih menambahkan sedikit bumbu, namun asin pun tidak. Sedangkan minumannya sepertinya campuran jus buah-buahan, dan lagi-lagi rasanya hambar.

"Mereka tidak punya miras...?" Ron menggerutu, tapi Zwiba rupanya tidak punya kebiasaan mabuk. Mereka tidak menyanyi atau menari, dan mereka menghindari berbicara di depan orang lain. Mereka suka berbaring di tanah, tidak bergerak.... sudah itu saja. Mereka melakukan itu cukup lama, sampai akhirnya tertidur. Tapi, sebenarnya mereka tidak ingin tidur, jadi.... itu mirip tapa, meditasi, atau semacamnya. Kurang-lebih seperti itulah kata Kisaragi.

Mereka tidur bersama pada suatu ruangan di kala malam tiba. Zwiba tidak menggunakan kasur gulung, atau semacamnya, maka Yume pun mengikuti mereka tidur di lantai batu. Saat Yume terbangun tiba-tiba, tubuhnya sudah terbungkus selimut. Rupanya seseorang telah menyelimutinya. Dia melihat sekeliling ruangan yang gelap gulita, dan mendapati dua orang Zwiba berjalan membawa selimut, masih sembari membawa tongkat. Setelah itu, dia kembali tertidur lelap.

Untuk membantu Yume dan Tim Renji kembali ke Altana, Zwiba menyiapkan naga kuda untuk mereka. Naga kuda adalah naga kecil yang berjalan dengan kaki belakang. Biasanya, naga kuda dibesarkan di penangkaran, lalu sayapnya dipotong. Namun, di Zwiba sayap-sayap itu dibiarkan utuh, sehingga memungkinkan mereka terbang pendek, bahkan lari di permukaan air. Yume dengar, naga kuda adalah hewan yang liar, dan mereka tidak akan membiarkan siapapun menungganginya, kecuali sayapnya dipotong. Hebatnya, naga kuda di Zwiba lebih penurut dan jinak.

Pagi-pagi buta, Yume dan Tim Renji diantar kepergiannya oleh Kisaragi, Momohina, kru Bachrose-go lainnya yang dipimpin oleh Kapten Anjolina, dan lebih dari seratus orang Zwiba.

Sedih rasanya berpisah dengan Momohina, dan dia merasa sendiri. Tapi dia tidak bisa selamanya bersama Momohina, Kisaragi, dan yang lainnya. Hidup harus terus berjalan. Yume pun bisa meninggalkan mereka dengan senyuman.

“Sampai jumpa lagi, Yumeryun!”

“Iya! Momo-san!”

“Sampaikan salam kami pada Party-mu.”

“Momo-san, Gicchon, sampaikan juga salam Yume pada kru kapal lainnya! Seperti Ginzy, dan Giancarlulun. Oh, dan Jimmy-chan juga!”

Adachi, Mage berkacamata, dengan percaya diri mengatakan bahwa dia tahu jalan menuju Altana, dan menjamin tidak mungkin salah arah. Jadi, Yume pun membiarkan dia menangani semuanya. Sebenarnya, yang harus mereka lakukan hanyalah menyusuri Pegunungan Tenryu ke barat, dan itu tidaklah sulit.

Ketika naga kuda Zwiba berlari ke medan yang tidak rata, hewan itu menggunakan sayapnya untuk terbang rendah sehingga perjalanan kembali lancar. Itu sering terjadi, karena jalannya memang tidak mulus, sayangnya itu menyebabkan Yume sedikit mabuk. Tapi dia segera terbiasa. Kalau Renji sih baik-baik saja, begitu pun dengan Ron dan Chibi-chan. Sedangkan Adachi sempat tampak pucat, dan membisikkan, “Aku mual... sangat mual...” untungnya, dia mampu bertahan dan tidak terjatuh dari naganya.

Naga kuda bergerak cukup cepat, tapi kalau sudah lapar, mereka tidak mau jalan sedikit pun. Mereka adalah hewan omnivora, makanannya adalah daun, batang, akar, serangga, binatang kecil, bangkai, dan apa saja. Jadi, mereka bisa dilepaskan begitu saja untuk mencari makan sendiri. Yume dan yang lainnya tidak perlu menyiapkan makanan khusus. Naga-naga itu akan memakan apapun yang mereka temukan, lalu kembali lagi dengan perut penuh. Ron yang tidak sabaran muak melihat mereka makan, lalu menarik naganya dengan paksa, akibatnya naga itu marah dan tidak mau ditunggangi lagi. Masalah teratasi setelah Yume bertukar naga dengannya. Itu menjadi pelajaran bahwa hewan juga bisa merajuk, jadi hati-hati dengan mereka.

Yume dan Tim Renji meneruskan perjalanan sampai naga-naga itu lapar kembali. Tentu saja, itu menandakan mereka harus berhenti lagi untuk membiarkan naga-naganya makan. Waktu seperti itu mereka manfaatkan untuk istirahat, makan, atau tidur. Adachi masih saja menggerutu, “Perjalanan ini semakin lama saja!!” sepertinya dia begitu memperhatikan waktu, karena Tim Renji sudah terbiasa berpetualang.

Bepergian dengan tim seperti ini, Yume bisa mengamati kepribadian, tabiat, dan sifat-sifat anggota Party tersebut. Dia cukup tertarik mengamati hal-hal seperti itu.

Ron terkadang menyebalkan, tapi saat beristirahat dia sama sekali tidak bicara, dan dia suka menangani pekerjaan-pekerjaan berat. Adachi, yang terlihat pintar, sering bertindak sebagai juru bicara Renji, sedangkan Chibi-chan terlalu pendiam, tapi dia masih membantu beberapa hal kecil yang sepele.

Renji benar-benar menakutkan, dia bisa membuat rekan-rekannya melakukan apapun yang dia inginkan tanpa banyak protes. Tak seorang pun bisa membantahnya. Kurang-lebih, seperti itulah pendapat Yume tentang Tim Renji. Apakah mereka selalu seperti ini? Yume tidak tahu apa-apa tentang Tim Renji yang dulu, tapi setidaknya seperti inilah sekarang.

Memang benar aura Renji begitu mengintimidasi. Dia juga tidak banyak bicara. Dia hanya bicara seperlunya bahkan terhadap rekan-rekannya sendiri, dan tidak pernah bertele-tele. Dia tidak pernah bergurau, membuat lelucon, atau tertawa, bahkan mengobrol pun tidak. Renji selalu bersama teman-temannya, tapi seolah dia sendirian. Tampaknya Ron dan yang lainnya menerima dia apa adanya. Mereka tahu Renji tidak suka dikhawatirkan, jadi mereka membiarkannya begitu saja. Namun, mereka masih berbicara padanya jika ada hal penting yang perlu dibahas, saat itu terjadi Renji pun tidak mengabaikan mereka.

Mungkin kematian Sassa menjadi salah satu penyebabnya dia seperti itu. Jika orang tak tahu apa-apa, mungkin dia tidak tahu kalau Renji sedang terluka. Tapi memang itulah yang terjadi. Hal yang sama pasti juga dirasakan Ron, Adachi, dan Chibi-chan. Meskipun merasakan sakit yang sama, mereka berpura-pura tidak khawatir, tidak sedih, dan tidak terjadi apapun. Mereka pun terus menuju ke Altana, meskipun menyembunyikan hal seperti itu.

Sasa.....

Salah satu rekan mereka yang berharga telah meninggal. Mereka tidak meratap, dan menerimanya apa adanya.

Pada hari ketiga setelah meninggalkan Nugwidu, mereka memasuki Dataran Quickwind. Menurut Adachi, mereka akan mencapai Altana dalam empat atau lima hari lagi, jika tidak terjadi sesuatu. Harusnya sih itu tidak masalah bagi mereka.

Sebelum matahari terbenam, naga kuda berhenti di lapangan terbuka untuk makan, jadi mereka memutuskan untuk berkemah untuk malam itu.

Adachi lah juru masak Tim Renji. Dia sangat selektif dalam rasa. Jika mencicipi masakan orang lain, ada saja yang dia komplain. Rupanya, karena itulah dia ditugaskan mengurusi masakan. Makan malam hari itu adalah bubur dengan daging, sayuran, dan jamur kering. Masakan itu cukup menggugah selera. Adachi punya banyak bumbu dan rempah, dan masakannya juga lezat. Sungguh, dia koki yang handal.

Setelah makan, Ron selalu mendengkur ringan sembari rebahan. Dia bisa tidur di manapun dan kapanpun selama ada kesempatan.

Sedangkan Chibi-chan, setelah makan dia meringkuk, sehingga terlihat semakin mungil, kemudian duduk-duduk sebentar, lalu pergi entah ke mana. Setelah beberapa saat, dia pun kembali lagi. Tingkah gadis itu cukup misterius, tapi entah kenapa tak seorang pun rekannya memikirkannya. Yume coba berbicara dengannya saat ada kesempatan, tetapi Chibi-chan hanya menanggapinya dengan, "Aye," atau, "Tidak," mereka hampir tidak pernah ngobrol lama.

Meskipun Yume tidak begitu memahami Chibi-chan, dia bisa merasakan kesungguhan dan ketulusan pada hatinya. Chibi-chan adalah tipe gadis yang akan memberikan apapun demi teman-temannya. Saat Sassa masih hidup, Tim Renji beranggotakan tiga pria dan dua wanita. Mungkin, Chibi-chan dan Sassa sangat akrab, karena hanya mereka berdua yang wanita? Lalu, jika mereka sedekat itu, bagaimana perasaan Chibi-chan setelah ditinggal oleh Sassa selamanya? Yume tidak bisa membayangkannya. Yume benar-benar ingin bicara banyak dengannya. Tapi, mungkin itu hanya akan mengganggunya saja.

Kalau tidur Renji meletakkan semua barangnya, lalu menggunakan salah satunya sebagai bantal. Dia selalu tidur dengan posisi yang sama. Dia pun hanya menggunakan peralatan mandinya sendiri. Dia mencukur jenggot dengan teliti, dan menyisir rambutnya dengan rapi, meskipun tidak begitu panjang. Dia melakukan hal yang sama setiap hari, dengan urutan yang sama, dan cara yang sama pula. Yume tidak pernah mengiranya sebelumnya, tapi tampaknya Renji adalah orang yang saklek.

Sedangkan Yume melakukan apapun sesukanya. Dia minum air sebanyak mungkin selagi bisa, begitupun dengan makan. Dia bukan orang yang selektif dalam memilih makanan. Dia tidur saat malam telah larut, dan bangun saat matahari sudah menyingsing. Dia bahkan bisa melakukan sebaliknya saat dibutuhkan. Dia bisa tertidur dengan begitu mudah, tapi kalau ada yang mengganggunya, dia sulit sekali tidur. Dia juga sering begadang sampai merasa ngantuk. Semenjak terdampar di pulau, Yume merasa pola hidupnya semakin acak.

Sepertinya malam ini dia tidak bisa tidur dengan mudah.

Renji berbaring, tapi sepertinya matanya belum terpejam. Mereka berada di tengah tanah lapang yang gelap gulita. Mereka sudah mematikan api unggun, jadi Yume hampir tidak bisa melihat apapun. Tapi, dia bisa merasakan Renji masih terjaga.

“Hei, Renji.......”

"Ya."

Renji segera menjawab. Seperti yang Yume duga, dia benar-benar masih terjaga.

"Mengapa kau pergi ke Benua Merah?"

Yume menyesali pertanyaan itu begitu dia menanyakannya. Dia tidak ingin mengingatkan lagi Renji tentang Sassa. Itulah kenapa dia ingin segera mengganti topik pembicaraan. Sepertinya Tim Renji kehilangan Sassa saat hendak pergi dari Benua Merah. Jadi, jika mempertanyakan tentang tempat itu, tentu saja Renji kembali teringat dengan kejadian tersebut.

"Karena di sini menyesakkan."

Tapi, Renji segera menjawabnya hampir tanpa jeda. Jadi, mungkin tidak apa-apa.

“Di Altana ada seorang bernama Garlan Vedoy, katanya dia ingin bertemu dengan kami. Dia seorang bangsawan, tuan tanah, atau semacamnya. Dia tinggal di bangunan sangat tinggi bernama Menara Tenboro. Aku sempat menolaknya, namun Brittany mulai membuat keributan di kantor Batalyon Pasukan Relawan. Dia menyebalkan sekali. Aku bilang padanya, jika orang itu ingin bertemu denganku, maka keluar dari menara itu, dan temui aku langsung.”

"Wooo. Jadi, um, siapa namanya? Petrie-san…?”

“Vedo.”

“Jadi, apakah Berorin-san benar-benar keluar dari menaranya untuk menemuimu?”

“…Tidak. Tapi menurut Bri, itu membuatnya sangat marah. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi sepertinya dia orang yang sombong. Aku benci orang seperti itu. Itu membuatku muak.”

“Yahh.... kita kan bukan orang asli Grimgar. Pastinya kesal dilibatkan dengan urusan orang asli Grimgar seperti itu.”

“Itu benar. Bukan hanya Vedoy. Para pasukan relawan lain juga banyak yang menghalangiku.”

"Karena kesal dengan itu semua, akhirnya kau memutuskan pergi ke Benua Merah?”

"Aku membuat Party-ku mengikuti keegoisanku.”

Sepertinya Renji hendak mengatakan sesuatu setelah itu, tapi dia telan bulat-bulat kalimatnya.

Yume tahu dia harusnya tidak menanyakan hal-hal sensitif seperti itu. Tapi dia tidak tahan melihat ini semua.

“…mungkin itu tidak benar. Belum tentu mereka mengikutimu karena terpaksa. Menurut Yume, mereka tulus mengikutimu sebagai teman.”

"Itu kan menurutmu."

"Ya... bahkan Yume sendiri tidak yakin dengan apa yang Yume omongkan.”

"Karena kita tidak bisa mengetahui perasaan orang lain.”

“Itu benar.... oleh karena itu, mustahil kita bisa membuat keputusan berdasarkan apa yang dirasakan orang lain.... bukankah begitu?”

"…Ya."

“Tapi.... mungkin kau bisa menanyakan pada mereka, ‘Hey, bagaimana perasaanmu? Beritahu aku.’.... atau semacamnya. Yahh, Yume tahu itu sulit.”

Renji hanya menanggapinya dengan tertawa kecil, lalu berkata, "Ya... maafkan aku. Aku tahu kau terpisah dengan teman-temanmu dan kau kesepian.”

“Ah tidak juga.....”

"…Hah?"

“Yume sekarang bersama kalian. Sebelumnya, ada Momo-san. Lalu, Gicchon datang menyelamatkan kami. Yume tidak kesepian.”

"…Oh ya?"

Setelah itu, Renji terdiam. Yume masih merasakan pria itu terjaga. Tapi, malah Yume sendiri yang mulai mengantuk. Tepat sebelum kesadarannya memudar, sepertinya dia mendengar suara Renji....

“Yang kesepian itu orang-orang yang sudah mati ya....?”

7. Ingat Aku[edit]

Dari kejauhan, terlihat kota yang dikelilingi dinding tinggi. Entah kenapa, saat melihatnya Yume tidak begitu merasa kangen. Malahan, yang dia pikirkan adalah, ’Dari jauh tampak mungil dan imut ya...’

Altana bukanlah kota yang terbentuk secara alami oleh manusia yang berkumpul, membangun rumah, membajak sawah, beternak, dan menumbuhkan populasi. Dulu, sejumlah kecil manusia diusir ke selatan Pegunungan Tenryu oleh Aliansi Raja, lalu mereka membangun benteng yang kokoh untuk bertahan dari serangan musuh. Singkatnya, seperti itulah sejarah berdirinya Altana.

Sekarang, terdapat rumput dan ladang di Altana, bahkan desa-desa kecil juga. Dengan adanya itu semua, terbangunlah citra Altana sebagai kota yang besar dan berkembang. Tapi awalnya, kota itu hanyalah benteng saja. Di masa lalu, pusat peradaban Grimgar terletak jauh di utara, sedangkan di sini hanyalah kota yang disebut Damrow. Itulah kenapa, setelah menguasai Damrow dan Tamban Siren, Aliansi Raja kehilangan minat pada tanah perbatasan ini. Lalu, dua ras besar kala itu, yaitu Orc dan Undead, kembali ke utara, dan membiarkan ras Kobold dan Goblin menempati daerah ini. Para Goblin mengambil alih Damrow, sedangkan Tambang Siren dikuasai Kobold sebagai basis operasi mereka.

Kerajaan Aravakia sudah lama membayar para goblin di Damrow agar mengabaikan pembangunan Altana. Rupanya itulah alasan mereka tidak mengirim kekuatan militer untuk menyerang Damrow.

Jujur, Yume tidak begitu percaya pada cerita-cerita masa lalu itu, tapi setidaknya dia tahu....

Saat pertama kali menjadi pasukan relawan, dia banyak memburu Goblin di Damrow. Awalnya dia merasa berdosa, namun lama-kelamaan terbiasa. Sekarang, kalau ada Goblin yang macam-macam dengannya, dia tidak segan-segan membunuhnya. Meskipun, sesekali dia masih berpikir, ’Beneran gak papa nih?’

Saat itu, dia terbangun di Grimgar, dan akhirnya menjadi pasukan relawan. Secara pribadi, dia tidak begitu membenci Goblin, karena meskipun mereka humanoid, tetap saja berbeda dengan manusia, dan dia tidak memahami bahasa mereka. Meskipun, menurut Yume mereka tidak seseram Orc. Mereka banyak beraktivitas di Damrow, dekat Altana, itulah yang membuat mereka jadi sasaran empuk bagi para prajurit relawan, bahkan yang masih amatiran. Tapi jangan pernah meremehkan mereka, karena Goblin pada dasarnya adalah lawan yang berbahaya. Ingat, Manato terbunuh oleh kawanan Goblin dan Hobgoblin. Meskipun akhirnya mereka bisa membalaskan dendam. Selama ini, Yume sudah membunuh begitu banyak Goblin. Mungkin Goblin-goblin itu punya sanak saudara. Mungkin mereka punya teman dan kerabat. Seperti misalnya Forgan. Kelompok yang diketuai oleh Orc bernama Jumbo itu memiliki Goblin bernama Onsa yang merupakan pawang. Yume juga suka hewan. Mungkin dia bisa akur dengan Onsa, tapi yang jelas tidak berteman.

Karena goblin adalah musuh.

Benarkah itu? Masih banyak manunsia selain Yume dari Kerajaan Aravakia yang telah dirugikan oleh Aliansi Raja. Meski begitu, sebenarnya Yume tidak punya alasan khusus membenci ras-ras lain seperti Goblin, Orc, Kobold, atau Undead. Karena dia bukan orang asli Grimgar.

Apapun itu.... saat Yume kembali melihat Altana, di benaknya hanya ada satu kata, yaitu....

Rumah.

Penampilan Altana tidaklah berubah. Hamparan kuburan masih terletak di bukit itu. Dan menara tinggi yang seolah tanpa pintu keluar itu juga masih di sana. Dari menara itulah Yume dan yang lainnya dibangkitkan.

Yume ingin segera mengunjungi makan Manato dan Mogzo, tapi hari sudah malam, mungkin besok saja. Sudah lama sekali dia tidak mengunjungi kuburan kedua rekannya itu.

Meskipun.......

Kuburan itu hanyalah nisan tanpa jasad. Jenazah mereka sudah dibakar habis. Tanpa sisa sedikit pun.

Yume punya banyak cerita untuk mereka, tapi tak sepatah kata pun bisa mereka dengar.

Meski begitu, mengunjungi makam mereka tetaplah bermakna bagi Yume.

Lalu... bagaimana dengan Tim Renji. Apa yang mereka lakukan untuk menghormati kepergian Sassa? Sepertinya Renji tidak akan menceritakannya. Mungkin lebih baik Yume bertanya pada Ron atau Adachi.

Akhirnya dia mendekati Altana yang tampak tidak berubah sedikit pun, dan saat hendak melintasi gerbang utara, ada banyak pasukan perbatasan di sana, dan mereka sedang membuat keributan.

"Hei, kamu Renji, kan?"

"Itu Renji."

“Renji kembali.”

"Itu Serigala Perak!"

“Ini Renji! Serigala Perak telah kembali ke Altana!”

Para prajurit di sekitar gerbang dan tembok, semuanya mengangkat pedang atau tombak ke udara dan bersorak-sorai, ada juga yang mengangkat kedua tangannya seperti melakukan Banzai. Mereka terlihat begitu antusias menyambut kedatangan Renji. Sedangkan Yume hanya tercengang melihatnya.

“…Kau sangat populer, ya, Renji? Apa mereka bilang? Serigala Berak?”

"Serigala Perak."

Melalui kacamatanya, Adachi menatap Yume dengan pandangan jijik. Yume tidak tahu mengapa pria itu mudah sekali merendahkan orang lain.

“Rambut Renji berwarna perak, kan? Itu sebabnya mereka memanggilnya begitu.”

“Woo. Itu sangat keren. Meski sebenarnya..... Haru-kun sang Penunggang Naga juga kerena.”

“…Yahh, harus kuakui..... Penunggang Naga boleh lah...” Ron mengatakan itu sembari mengangkat alisnya dengan ragu. “Tapi, ini aneh. Mengapa penjagaan di gerbang begitu ketat....”

Chibi-chan melihat sekeliling, dengan wajah yang tampak sedikit sedih. Mungkin banyak orang tidak menyadarinya, tapi gadis mungil ini begitu peka.

Renji pun melalui gerbang dengan naga-kudanya tanpa melirik sedikit pun pada para penjaga. Apa yang sedang dia pikirkan? Ron dan yang lain mengikutinya. Yume sedikit ragu-ragu, tapi dia memutuskan untuk bersama mereka lebih lama. Sebenarnya dia ingin segera mengunjungi suatu tempat setibanya di Altana. Sedangkan, Tim Renji katanya juga akan menuju ke sana.

Altana bukanlah kota yang teramat besar. Setiba di gerbang utara, kau tidak butuh waktu lama untuk mencapai distrik selatan.

Bangunan yang mereka tuju terdapat bendera berkibar yang berlambangkan bulan sabit merah pada latar putih. Terdapat juga papan nama di pintu depannya. Saat melihat papan itu, Yume segera menjerit, “Whoa! Papannya baru, ya!”

"…Hah?" Ron sepertinya tidak mengerti, tapi Chibi-chan juga melotot terkejut melihatnya, lalu dia menarik napas dalam-dalam. Sedangkan Adachi hanya bergumam, "Dia benar." Kalau Renji sama sekali tidak terkesan. Entah papan baru atau lama, tidak ada hubungannya dengannya.

Dulu, papan nama itu bertuliskan, “PAS__RELA__BATAS__ALTA__CRIM__MOO” tapi sekarang berbunyi ”Pasukan Relawan Perbatasan Altana Batalyon Crimson Moon” memang seperti itulah harusnya tulisannya. Dulu kalimat itu tidak lengkap karena beberapa hurufnya sudah memudar. Dan sekarang sudah diperbarui.

Mereka pun menambatkan naga kuda di luar, lalu memasuki bangunan itu. Di dalam, terdapat beberapa pria dan wanita yang berpakaian seperti pasukan relawan sedang berada di ruangan utama. Semuanya mulai gaduh saat melihat kedatangan Renji, tapi tampaknya mereka ketakutan, sehingga tak seorang pun berani memanggilnya. . “Renji…?”

Panggil seseorang di meja resepsionis sembari bersedekap. Pria itu memiliki mata biru yang mengkilat. Rambutnya masih berwarna hijau seperti dulu, dan bibirnya juga masih diwarnai hitam dengan pipi yang dipoles merah. Seolah tidak pernah berubah, pakaiannya juga masih mencolok, dan gerakannya masih gemulai. Tapi.... sekarang ada sesuatu yang berbeda dengan orang ini.

“Brittany.”

Renji tidak mengabaikan Brittany. Malahan, dia ke sini untuk melapor pada Bri.

Dengan ringan, Renji meletakkan satu tangannya pada meja.

“Lama tak jumpa. Apakah kau bertambah tua?”

“Ah, jangan bilang begitu.”

Brittany menutupi wajahnya dengan tangan.

“Aku sensitif tentang hal itu. Ingat, aku ini punya posisi penting. Tidak seperti kalian yang hidup di alam bebas. Belakangan ini aku mengkhawatirkan.......”

“Ohh!”

Tiba-tiba Yume menepukkan tangannya secara refleks, dan Brittany pun terkejut dibuatnya sampai melotot.

"A-apa itu? K-kenapa tiba-tiba....”

"Oh. Bri-chan, sepertinya kau bertambah tua ya..... Yahh, tentu saja begitu....”

“Jangan bilang ‘tentu saja’ dengan puas begitu! Dasar bocah! Hah? Kau kan..... tunggu.... apa yang terjadi dengan kalian?”

Brittany memandang dari Renji, Adachi, Ron, Chibi-chan, sampai Yume, lalu dia mulai menghitung dengan jarinya.

“Jumlahnya benar, tetapi anggotanya berubah. Yume, kau anggota Party Haruhiro, kan? Aku dengar tim kalian hilang saat bertugas.”

“Ummm itu…”

Yume memiringkan kepalanya ke samping, dan berkedip beberapa kali.

Lantai mulai bergetar.

Tidak, sepertinya tubuh Yume saja yang gemetaran.

Chibi-chan segera menenangkannya.

"Sassa sudah mati," kata Renji singkat, lalu, "Kalau dia..." dia menunjuk Yume dengan mengarahkan dagunya, “.... kami tidak sengaja bertemu di Kepulauan Permata. Sepertinya dia terpisah dengan Haruhiro dan yang lainnya.”

Brittany hanya menanggapinya dengan mengangkat bahu.

“Kedengarannya ribet. Kuharap kalian tidak menyusahkanku, terlebih lagi dalam situasi darurat seperti ini....”

"Darurat, katamu?" Adachi bertanya.

"Benteng Capomorti jatuh ke tangan musuh.”

"Apa?" tanggap Renji sambil mengerutkan alisnya, “Bagaimana dengan Benteng Steelbone dan Pos Lonesome Field?”

“Masih kita kuasai. Batalyon pasukan relawan sedang dikosentrasikan di Benteng Steelbone. Tapi Pos Lonesome Field kekurangan sarana untuk bertahan, jadi lebih baik kita lepaskan saja.”

"Mengapa kau masih di Altana?"

“Karena ada pasukan relawan sepertimu, sayang, yang belum bisa kami lacak. Kajiko dan Shinohara sudah berada di Steelbone, dan aku yakin mereka bisa bertahan.”

“Kajiko dari Wild Angel dan Shinohara dari Orion, hah…?"

Adachi mengatakan itu sembari menekuk wajahnya. Yume tahu mereka berdua. Mereka adalah pasukan relawan senior yang memimpin klan besar.

“Lagipula, Pasukan Perbatasan hanya mempekerjakan aku untuk menjadi kepala di kantor ini.”

Brittany mengeluarkan pisau entah dari mana, lalu memutar-mutarnya sembari tersenyum sinis.

“Batalyon prajurit relawan bahkan tidak memiliki seorang pemimpin. Dan seperti kau tahu.... bagi para petinggi Aravakia, pasukan relawan hanyalah barang sekali pakai.”

“Ya, bagi mereka prajurit elit adalah Pasukan Perbatasan, sedangkan pasukan relawan hanyalah lalat....”

Ron mengatakan itu, lalu mendecakkan lidahnya dengan kesal.

Kantor itu sangat sepi. Pasukan relawan lainnya di sana hanya tertunduk pasrah.

Yume tahu dia seharusnya mendengarkan Brittany. Dia tahu mereka sedang membahas hal penting, tapi sepertinya otak Yume tidak cukup pintar memahaminya.

“Yume akan pergi.”

“Tunggu, sayang.” Brittany mencoba menghentikannya. Tapi Yume segera meninggalkan kantor tanpa ragu.

Setelah itu, dia melewati banyak tempat, yang tidak lagi dia ingat.

Matahari sudah semakin rendah. Yume sedang berdiri di depan penginapan pasukan relawan. Oh iya, naga kudanya masih ditambatkan di kantor Bri. Apakah dia harus mengambilnya dulu? Sepertinya tidak.

"Eh...?"

Ada apa? Apakah ada yang ingin dia bicarakan pada Bri?

Ya. Lebih baik Yume kembali dulu ke kantor.

Tapi kakinya seolah mengakar begitu dalam ke tanah, sehingga tidak bisa dia gerakkan sedikit pun.

Sebenarnya..... dia takut.

Dia takut mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Haruhiro dan yang lainnya.

Bri bilang, mereka hilang saat bertugas. Apakah Bri tahu sesuatu? Apakah dia harus menanyakannya dengan detail?

Tapi.... sampai kapan dia pura-pura mengabaikannya? Cepat atau lambat dia harus mengetahuinya.

Entah itu berita baik atau buruk, Yume harus mengetahuinya. Tapi dia belum punya keberanian menghadapi kenyataan. Itulah sebabnya dia masih saja bimbang.

“Yume.... ini tidak baik…”

Pada penginapan tua itu, terdapat kenangan hari-hari yang dia habiskan bersama teman-temannya.

Dia ingat, suatu hari Manato pernah berkata bahwa di antara semua anggota tim, sepertinya Yume lah yang paling pemberani.

Apakah dia hanya melebih-lebihkan? Menurutnya, dia sama sekali tidak pemberani. Dia hanya bertindak tanpa banyak berpikir. Dengan kata lain, dia ceroboh. Yume bukanlah orang yang mempunyai kekuatan khusus untuk mengatasi rasa takutnya. Sebenarnya, dia gadis yang manja, lemah, dan rapuh.

Bahkan sampai sekarang, kelemahan itu masih sering dia rasakan.

Dia ingin jujur ketika bicara. Sebenarnya, alasan Yume suka mengoceh tidak jelas, adalah karena dia tidak tegas dan ingin mengalihkan pembicaraan.

Dia ingin menjadi gadis yang bisa diandalkan, namun kenapa tidak berani menghadapi kenyataan? Apakah dia lebih suka lari dari kenyataan? Tentu saja tidak.

Sebelum benar-benar gelap, Yume meninggalkan penginapan itu. Dia harus memberanikan diri, dan dia harus kuat. Tapi, kuat tidak bisa diraih hanya dengan berdoa, melainkan berusaha. Semua orang bisa berubah, meskipun dalam waktu yang lama.

“Mungkin sekarang Yume masih lemah. Tapi.... Yume hanya bisa terus berusaha sampai benar-benar menjadi kuat.”

Guild Hunter berada di distrik utara, dekat gerbang utara. Terdapat pagar kayu di sekitarnya, dan anjing serigala pada kandang di halaman. Para Hunter tidak suka keramaian dan hiruk-pikuk kehidupan kota. Mereka lebih suka berburu di alam liar. Maka, Guild Hunter pun tidak ramai. Yume nyelonong masuk begitu saja, tanpa dihentikan siapapun. Lalu, dia menyapa seekor anjing di kandangnya. Dia hampir tidak mengenal semua anjing itu, kecuali seekor.

“Hei, Poochie, lama tidak berjumpa. Yang lainnya mana? Sudah diambil?”

Poochie menjilati jari Yume melalui jeruji, sembari mengeluarkan rengekan yang menggemaskan. Apakah dia ramah pada siapapun?

“Oh iya, Pocchie sudah semakin dewasa ya.... karena itu kah kau semakin manis?”

"Hei."

Terdengar suara dari atas.

Rasanya Yume pernah mengalami ini sebelumnya.

Ketika dia melihat ke atas, ada seorang pria berjanggut yang menjulurkan kepalanya.

"…Hah? Kau kan.........”

“Fwooo!” Yume melompat. “Master! Syukurlah kau ada di Guild! Aneh sekali jika kau tidak berada di Guild!”

"Tidak. Tunggu dulu.... kau.... kemana saja kau selama ini.... tidak, maksudku..... sejak kapan kau..... apa yang kau lakukan selama ini.......?”

“Yume punya cerita pantaaaaaaaaaang sekali.”

“Maksudmu panjang?”

“Oh ya, parang.”

“Tidak, panjang kataku! Yahh, terserah lah kau mau cerita apapun. Aku tidak ambil pusing. Tapi, tunggu dulu..... kau......”

Tiba-tiba, suaranya menjadi serak. Ada apa gerangan? Apakah dia sakit? Master Yume adalah seorang Hunter berpengalaman bernama Itsukushima. Hebatnya, pria itu terisak sembari menggosok-gosok matanya.

“K-kau…”

“Hm?”

Seolah terbawa suasana, Yume juga menggosok matanya dengan kedua tangan. Tiba-tiba, matanya terasa basah, dan air pun segera mengucur darinya. Yume akhirnya sadar bahwa dia menangis.

Oh.

Itsukushima juga menangis.

Ohhh. Yahh... mau bagaimana lagi.... Yume memang masih lemah. Itulah mengapa Yume menangis. Tapi.... Master juga menangis. Apakah itu berarti.... Master juga lemah? Itu tidak benar, kan?

“Maaf, Master. Yume membuatmu khawatir, ya....”

“J-J-J-Jangan bodoh! Siapa yang khawatir ... a-aku hanya prihatin. Karena.... kudengar Party-mu hilang saat bertugas. T-tapi aku tetap tenang, kok. B-bukannya aku kebingungan, lalu menanyakanmu pada semua orang. A-aku bukan tipe orang seperti itu. A-aku hanya kebetulan saja mendengar kabar itu.”

“Sudah lama Yume ingin melihat Master. Karena sudah lama kita berpisah....”

“…A-a-aku juga.... t-tidak! Maksudku bukan begitu! B-bukannya aku kangen padamu! T-tapi, aku selalu menjaga Guild ini, dan berharap suatu hari nanti..... tiba-tiba kau datang, entah dari mana. M-memang benar kau sudah lama sekali pergi....”

"Bagaimanapun juga, Master adalah rumah Yume.”

“A-Aku adalah… rumahmu?”

“Bukankah Master berkata begitu, di akhir pelatihan dasar? Master bilang, kau boleh kembali kapanpun.'”

“…Aku mengatakan hal seperti itu? Yahh ... sepertinya begitu. Ya, ya, aku ingat. Entah kenapa aku mudah mengingat pembicaraan kita. Aku seperti ayahmu saja...”

"Ya. Oleh sebab itulah Yume pulang.”

"Aku mengerti." Itsukushima mengangguk beberapa kali, lalu mendesah ringan. "…aku mengerti.... selamat datang kembali, Yume.”

“Yume pulang.... Master.”

"…sebenarnya apa yang terjadi padamu selama ini? Kalau kau tidak mau cerita, aku sih tidak masalah.”

“Banyak hal telah terjadi. Yume mau kok menceritakannya, tapi.... mulai dari mana ya....? Yume bingung.”

"Tidak apa-apa. Tidak perlu terburu-buru. Santai saja." Itsukushima tersenyum. “Bagaimanapun juga, kau sudah pulang, Yume.”

Yume ingin menangis. Rasanya ingin segera mandi, membenamkan wajah di bak berisi air panas, lalu tidur senyenyak mungkin. Yume merasa sangat lemah. Tapi, mungkin.... setelah bertemu dengan Itsukushima, dia merasa sedikit lebih kuat. Melihat wajah dan mendengar suara Masternya saja sudah cukup membuat Yume kembali bersemangat. Begitulah.... Yume yang lemah hanya bisa memperkuat dirinya sedikit demi sedikit.

“Sekarang, aku tahu…”

Itsukushima terus menutupi wajahnya, lalu melihat ke arah lain.

"Kalau kau belum makan..... ayo makan malam.”

“Yume lapar.”

"Oke, kalau begitu aku akan membuat........”

Entah siapa yang menyadarinya terlebih dahulu. Apakah Itsukushima atau Yume.

Yang jelas, Itsukushima terkejut, “Eh…?” lalu Yume melihat ke utara. Guild Hunter berada di dekat gerbang utara, jadi dekat juga dengan dinding pembatas Altana yang menjulang tinggi ke langit. Di kejauhan, terlihat kerumunan pasukan perbatasan yang siap menghadapi musuh. Seolah menyibak gelapnya malam, Yume melihat sepuluh cahaya terbang sebelum diikuti oleh teriakan para pasukan. Tidak hanya itu, salah satu cahaya itu jatuh di dekat dinding.

Bahkan, ada juga yang jatuh di Guild Hunter, lalu seketika membakarnya.

"Panah api?!"

"Itu panah api!"

Detik berikutnya, anjing serigala di kandang melolong, lalu mereka mulai panik. Klang, klang, klang, dentangan lonceng mulai terdengar. Berikutnya, prajurit yang berjaga di dinding mulai berseru, “Serangan musuh, serangan musuh!!”

"Tunggu dulu!" teriak Itsukushima pada Yume, lalu dia segera pergi dari jendela. Dia pasti segera turun. Yume mencoba menenangkan anjing-anjing serigala yang menggonggong. Anjing serigala itu menggedor-gedor kandang dengan gelisah, sehingga Yume terpaksa menegurnya.

“Ahhh…!” dia melihat seorang prajurit jatuh dari dinding. Yume tidak terlalu panik, dan dia mengerti bahwa Altana sedang diserang. Ini jelas situasi yang gawat. Tapi panik tidak akan menyelesaikan apapun.

“Yume!”

Itsukushima keluar dari bangunan itu. Dia sudah membawa busur di punggungnya, dan satu lagi di tangannya.

“Kamu tidak bawa busur, kan? Gunakan ini."

“Siap!”

Yume mengambil busur dan anak panah dari Itsukushima. Satu-satunya senjata yang dia bawa hanyalah belati, tapi sepertinya bukan itu masalahnya.

Lebih banyak panah menyala meluncur melalui dinding. Satu atau dua di antaranya mendarat di halaman. Salah satunya mendarat di kandang anjing serigala, tapi Yume segera memadamkan dengan menginjaknya.

“Master, kalau begini terus.... bukankah anjing-anjing serigala itu dalam bahaya?”

“Kita punya delapan ekor di kandang. Tapi.... kalau kau mau melepaskan mereka, agaknya itu....”

"Lepaskan saja mereka, nyaaaawwwrrr!! Yume akan melepaskannya sekarang juga!”

Kandang-kandang itu tidak terkunci, maka Yume pun membukanya satu per satu. Anjing-anjing serigala itu segera berlompatan keluar. Akhirnya, Itsukushima tidak punya pilihan selain membantunya. Hewan-hewan itu tidak begitu memperhatikan Yume, tapi ketika Itsukushima meniup peluit dan menepuk kepalanya, mereka pun segera tenang. Yume terkesan melihatnya.

Itu baru Master Yume.

Yume meninggalkan Itsukushima di halaman bersama anjing-anjing serigala, lalu dia pergi memeriksa jalanan. Terlihat pasukan perbatasan yang sedang menuju gerbang utara, mungkin mereka akan bergabung dengan pasukan lainnya di medan pertempuran. Di beberapa tempat lainnya juga terlihat pasukan yang sama.

"Master!" Yume memanggilnya sembari terus menuju jalanan.

"Ya!" Itsukushima menjawab sambil mengarahkan anjing-anjing serigala untuk mengikutinya.

Yume tidak berniat menolong pasukan perbatasan. Gerbang utara sudah kacau. Maka, dia coba menuju ke selatan, tapi tiba-tiba terdengar suara yang begitu keras, sehingga membuat Yume secara refleks menoleh ke arah itu. Di sana, terlihat gerbang utara yang sudah setengah terbuka, dan banyak pasukan perbatasan bergeletakan di sekitarnya.

"Mereka sudah menerobos?!" teriak Itsukushima.

Pasukan perbatasan tidak membuka gerbang utara. Itu sudah jelas. Tidak mungkin mereka melakukannya. Musuhlah yang berhasil membukanya secara paksa dari luar. Itu artinya, pasukan musuh akan segera membanjiri tempat ini. Bahkan.... sepertinya itu sudah terjadi. Terdapat beberapa api unggun di sekitar gerbang, dan banyak juga lampu yang terpasang di dinding, jadi suasananya cukup terang. Terlihat sosok besar membawa pedang raksasa yang mendekat, jelas sosok itu bukan manusia. Posturnya kekar, kulitnya hijau, ya itu adalah Orc. Orc itu membajak punggung seorang pasukan yang terjatuh dengan pedang besarnya. Selanjutnya, tidak hanya Orc yang berdatangan, namun juga Undead. Mereka membawa tombak, dan menghujamkannya pada pasukan perbatasan lainnya. Pasukan Aravakia terdesak, mereka lari pontang-panting. Dalam keadaan seperti ini percuma melawan.

"Yume, gerbang selatan!"

"Ya!"

Itsukushima berlari, sembari terus mengarahkan delapan anjing serigala, Yume pun mengikutinya. Bangunan tinggi yang disebut Menara Tenboro dimana bangsawan tinggal, kira-kira berada di pusat kota Altana. Tempat itu berada di distrik selatan, di seberang alun-alun kota. Itsukushima langsung menuju Menara Tenboro. Dia berencana memotong rute dari sana.

Yume yang masih mengkhawatirkan gerbang utara, sesekali menoleh ke belakang. Ada sesuatu berwarna hitam yang melesat ke arah mereka dari gerbang utara. Sosoknya terlihat seperti binatang berkaki empat. Ternyata jumlahnya lebih dari satu. Semuanya bergegas memburu Yume. Itu serigala. Warnanya hitam seperti malam.

Serigala hitam.

Yume tidak bisa melarikan diri. Mereka akan segera menerkamnya. Begitu serigala pertama menjatuhkannya, yang lainnya akan segera mengerumuninya. Tak lama lagi, Yume akan tercabik-cabik. Apa yang bisa dia lakukan? Jawabannya jelas.

Yume berhenti. Dia menarik napas. Menghembuskannya. Kemudian, menghirup napas lagi, dan mulai pasang kuda-kuda.

Serigala hitam yang terdepan sudah sangat dekat. Mungkin hewan itu akan coba menggigit lehernya, atau mencabik pergelangan tangan atau kakinya. Yume mengambil langkah secara diagonal, lalu menghujamkan pisaunya ke leher serigala hitam itu. Hewan itu pun menjerit kesakitan sembari terpental menjauh. Sedetik kemudian, serigala lainnya menerkam. Yume menggunakan tangan kirinya untuk menyematkan kepala serigala itu ke tanah. Tidak perlu keras-keras menjatuhkannya, karena serigala adalah hewan yang berjalan hampir melata. Hewan itu pun terhempas di tanah, sembari menjerit pelan.

“Yume…?!” Itsukushima berteriak. Mereka terpisah cukup jauh.

Sebenarnya, Yume lebih mengkhawatirkan Master-nya dan anjing-anjing serigala itu. Tapi bodoh namanya memperhatikan mereka dan mengabaikan serigala-serigala hitam yang sedang dia hadapi. Selagi dia berusaha mengalahkan serigala ketiga dan keempat, Orc dan Undead mulai datang, maka dia menarik anak panah pada busurnya. Sembari menendang serigala hitam lainnya, Yume pun melesatkan anak panahnya. Tembakan itu menembus pipi kiri Orc. Sebenarnya Yume membidik tepat di dahinya, tapi meleset. Lalu, dia kembali menendang serigala hitam lainnya sampai terpental, dan menembakkan panah kedua yang tepat bersarang di mata kanan Undead. Sayangnya Undead tidak terpengaruh oleh serangan seperti itu, makhluk itu segera mencabut panah dari matanya dan terus mendekati Yume. Undead itu membawa tombak yang segera dia tusukkan padanya. Serangan makhluk itu cukup frontal. Yume bisa menghindarinya dengan mudah, lalu dia melompat mendekati lawannya, dan menjegalnya tepat di lutut. Kemudian, dia kembali menarik panah di busurnya, mengarahkannya, dan menembaknya. Panah itu menembus Orc lainnya yang berjarak tidak sampai 50 cm darinya. Meski begitu, Orc itu masih sempat menebaskan kapaknya pada Yume. Yume meresponnya dengan memberikan tendangan pada ulu hatinya, lalu memanfaatkan momen itu untuk melepaskan panah lainnya yang mengenai Orc lain tepat di matanya. Setelah itu, Yume melompat ke samping, berguling, bangun dengan satu kaki, dan menembakkan lagi panahnya secara diagonal. Panah itu mengenai Undead yang memegang pedang ganda di dadanya.

Kali ini Yume benar-benar mengenainya. Ini gila...

Itu menunjukkan dia bisa melihat dengan baik. Yume bahkan merasakan dia punya mata ketiga atau keempat. Dia seolah bisa melihat semuanya.

Itsukushima mungkin akan coba membantu Yume. Tapi ketika musuh semakin mendekat, dia mati langkah. Itsukushima dan Yume semakin terpisah. Jarak mereka semakin jauh.

Dia ingin mengejar Itsukushima, tetapi para Orc dan Undead terus menyibukkan Yume. Pastinya terlalu berbahaya jika dia mengabaikan musuh-musuhnya, lalu berlari menuju Masternya berada. Dalam keadaan seperti ini, dia harus mengendalikan egonya. Dulu, Yume kesulitan melakukan itu, tapi Yume yang sekarang berbeda.

Dia lebih memprioritaskan keselamatannya sendiri. Dia harus fokus pada musuh-musuh yang terus berdatangan. Tentu saja, Orc dan Undead bukanlah lawan yang ringan, tapi mereka terlalu menggebu melawan Yume. Sedangkan, Yume lebih tenang menghadapi mereka. Jika dia bisa mengendalikan ketenangannya, maka dia bisa mengalahkan musuhnya, karena sejatinya perbedaan kekuatan mereka tidak begitu jauh.

"…tapi....... tetap saja........!”

Yume menghindari serangan tebasan dari Undead, lalu menendangnya, dan melepaskan panah lagi dan lagi. Panah itu mengenai Undead tanpa helm, dengan bunyi *JLEB*. Sembari meloncat di udara, Yume membuang busur dan wadah panahnya, kemudian mendarat dan berguling beberapa kali. Saat itu juga, Orc berpedang melengkung coba menebasnya, tapi dia hanya mengenai batu sehingga membuat bunga api beterbangan darinya. Sayangnya, Yume kehabisan anak panah.

Yume berdiri dan menghunus pisaunya.

Dia menghela nafas sejenak.

Dia berkeringat begitu deras. Sembari terus bertarung, Yume mencoba menjauhi gerbang utara sebisa mungkin, meski tidak berarti. Malahan, dia menyadari posisinya berdiri saat ini adalah tempat dia mulai bertarung beberapa saat yang lalu. Itu artinya dia tidak kemana-mana. Dia masih mencoba menjaga pikirannya tetap tenang, tapi sampai kapan?

Yume sama sekali tidak peduli tentang Aliansi Raja, Kerajaan Aravakia, atau apapun itu. Dia bukanlah orang yang membenci ras musuh manusia seperti Orc, Undead, Goblin, atau sejenisnya. Tapi, jika keadaannya seperti ini, dia tidak punya pilihan selain melawan mereka. Di sana, masih terlihat beberapa pasukan relawan coba mempertahankan gerbang utara, meskipun jumlah musuh semakin banyak. Sedangkan, di sekitar Yume tidak ada kawan, adanya hanya lawan yang seolah tidak pernah habis.

Dilihat sekilas saja, sekurang-kurangnya ada 10 Orc dan Undead yang sedang mengepungnya.

Awalnya, mereka mungkin meremehkan Yume, dan berpikir bahwa dia hanyalah gadis manusia lemah yang cuma bersenjatakan busur kecil. Tapi, jika musuh meremehkanmu, kau akan semakin mudah mengalahkan mereka.

Dan sekarang, mereka tidak lagi memandang Yume sebelah mata. Mereka tahu Yume lebih alot dari kelihatannya. Itulah kenapa, perlahan-lahan, mereka mengepung Yume tanpa memberinya celah sedikit pun. Keadaan Yume semakin sulit, lalu dia pun mengangguk.........

"…Baiklah.........."

Ini tidak mudah, namun masih ada harapan. Peluangnya menang sepertinya tipis, tapi tidak nol. Hanya itu yang dipercayainya, maka dia terus berusaha memberikan perlawanan.

Yume mengoper pisaunya ke tangan kiri. Dia memegangnya dengan posisi backhand, lalu tersenyum sembari berpikir.....

Yume jadi mirip Haru-kun, ya.....

Dia mengulurkan tangan kanannya ke depan, lalu melambaikan jari-jarinya pada musuh seolah mempersilahkan mereka menyerang duluan. Meskipun mereka tidak memahami bahasa satu sama lain, setidaknya musuh-musuh Yume tahu bahwa gestur itu berarti ajakan untuk mulai menyerang.

Orc bergerak maju, namun bersamaan dengan itu, di sisi kanan dan kirinya, para Undead juga mulai menyerang. Kurang-lebih jumlah mereka ada 10, dan Yume hanya seorang diri. Jika 1 lawan 10, Yume masih bisa menang asalkan musuhnya menyerang secara bergantian. Tapi kalau bersama-sama, lain ceritanya. Untungnya, mereka tidak kompak. Ketika semuanya menyerang, beberapa justru saling bentrok dengan yang lainnya. Sehingga, mungkin hanya 3 atau 4 musuh yang dihadapi Yume bersamaan.

Yume lebih memilih meladeni Orc yang berada tepat di hadapannya terlebih dahulu. Orc itu memegang kapak besar dengan kedua tangan, tapi dia tampak goyah. Teori mengatakan, sebanyak apapun musuh yang kau lawan, hadapi yang paling lemah duluan. Dengan cara itu, Yume coba bertahan dari kepungan lawan-lawannya.

"Minggir!" saat tiba-tiba mendengar suara itu, entah kenapa Yume merasa perutnya sedikit sakit.

Suara itu berbicara dengan bahasa manusia. Jadi, mungkin dia adalah manusia. Tapi tetap saja, dalam keadaan seperti ini Yume ragu itu sekutunya.

Para Orc dan Undead menoleh ke gerbang utara secara bersamaan. Yume juga melakukan hal yang sama.

Ada seorang pria yang berdiri agak jauh dari kerumunan monster yang mengepung Yume.

Kalau dilihat dari sosoknya, sepertinya dia seorang pria. Tangan kirinya meraih senjata yang dia gantungkan di punggungnya. Senjata pria itu berupa sepucuk Katana dengan bilah yang pipih. Yume tidak bisa melihat lengan kanan pria itu. Artinya, dia hanya punya satu tangan. Pria itu juga tidak punya mata kiri. Penampilannya menunjukkan bahwa pria itu tidak lagi muda.

Begitu melihat kedatangan pak tua itu, para Orc dan Undead mundur beberapa langkah, sehingga melonggarkan kepungannya terhadap Yume. Dengan jarak selonggar itu, mungkin Yume bisa melarikan diri sekarang. Ah tidak.... sepertinya tidak bisa.

Pak tua itu mendekat.

“Sepertinya suatu hari nanti kau akan menjadi pasukan relawan yang terkenal.... ah, tidak.... hanya bercanda...”

Pria itu meringis, lalu mengacungkan Katana-nya pada Yume.

“Mungkin aku terlihat lemah, tapi sesekali aku suka bertarung dengan lawan alot sepertimu. Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan tentangku, tapi.... dengar, aku tidak peduli apakah kau pria atau wanita. Jadi, bermain-mainlah sebentar bersamaku, nona.”

Meskipun penampilannya tidak menjanjikan, Yume tahu bahwa dia begitu kuat, mungkin kepekaan ini merupakan salah satu dari buah latihannya bersama Momohina. Dia bisa merasakannya. Pria itu menenteng Katana-nya dengan santai, dan posisi berdirinya juga tidak tegap, namun Yume sama sekali tidak bila melihat celah untuk menyerangnya. Pak tua itu terlihat tidak serius, tapi auranya pekat sekali. Mereka terpisah jarak lebih dari 2 meter, tapi Yume seolah bisa merasakan Katana pak tua itu sudah menempel di lehernya. Pak tua itu bisa menebas Yume kapanpun dia mau. Itulah kenapa dia tidak bisa lari. Tiba-tiba, Yume merasakan tubuhnya menyusut.

Takasagi. Begitulah pak tua itu biasa dipanggil.

Dia adalah manusia, namun melayani Jumbo sebagai anggota Forgan. Apakah itu berarti Forgan adalah musuh? Tidak, bukan itu masalahnya sekarang. Yume tidak tahu itu semua, dan tidak ingin tahu. Yang dia tahu saat ini hanyalah, dia harus fokus untuk menyelamatkan diri. Meskipun dia bertarung sekuat tenaga, agaknya kecil kemungkinannya dia bisa mengalahkan pria ini. Terlebih lagi, dia hanya punya pisau di tangannya. Apa yang harus dia lakukan? Pikirannya kosong. Dia sudah tidak punya pilihan bahkan sebelum memulai pertarungan.

“…Oh?” Takasagi memiringkan kepalanya ke samping kebingungan. “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya, nona? Mungkin aku sudah mulai pikun karena usia, tapi sepertinya aku pernah melihat wajahmu sebelumnya.”

“Sepertinya begitu.....”

Yume tersenyum. Mata kanan Takasagi melebar, seolah berkata, “Ya, aku tahu itu.”

Saat Yume coba menjelaskan kapan dan bagaimana mereka bertemu, dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Bahkan Takasagi tampak sedikit terkejut dengan gerakan itu. Tapi tentu saja itu tidak cukup membuatnya lengah. Setidaknya, Yume sudah merencanakan sesuatu.

Takasagi menyodorkan Katana-nya ke arah Yume. Yume merespon dengan membungkuk lebih rendah, bahkan di bawah Katana Takasagi, lalu dia pun melesat mendekatinya.

Takasagi masih belum menebaskan Katana-nya, dia juga tidak mundur. Tapi, dia coba memukul Yume dengan pangkal pedangnya.

Yume tidak menyangka dia melakukan itu. Itu membuatnya menggagalkan serangan, lalu menghindar ke kanan dan berguling beberapa kali.

"Bagus. Lumayan juga.”

Takasagi coba menendang Yume dengan kaki kanannya. Yume bersiap menerimanya, karena dia punya pisau. Jika dia berhasil melukai kaki Takasagi saat menendangnya, itu merupakan suatu keuntungan.

Tapi Takasagi tidak berusaha menendang Yume sampai terpental. BRAAKK! Dia menginjaknya dengan keras. Tidak hanya itu, dia mulai menebaskan pedangnya. Ini dia... tebasan sekuaat tenaga.

Yume yang menyadarinya segera melompat ke samping sambil menjerit.

Dia lolos dari tebasan Takasagi. Untuk sementara.

Yume kembali mengatur posisi, dan saat melihat Takasagi, pak tua itu sedang memikul pedangnya sembari memiringkan kepalanya kebingungan.

“Ya, itu reaksi yang bagus. Kau lulus. Baiklah, yang berikutnya, aku akan bersungguh-sungguh menebasmu.”

Yume ingin membalas ejekan itu, tapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dia sudah kehabisan cara, dia bahkan tidak tahu apakah masih bernafas. Sekujur tubuhnya membeku, sampai-sampai dia berdelusi es membungkus tubuhnya. Rasa takut mulai menguasainya. Dia tidak boleh membiarkan itu. Tidak untuk saat seperti ini.

Tapi dia memang tidak bisa menang. Lawannya kali ini tidak biasa. Peluang menang begitu tipis. Melakukan cara-cara biasa tidak akan berhasil.

Dia harus bertaruh. Dia harus bersiap kehilangan apapun untuk mengalahkan pak tua ini, seperti tangan atau kakinya yang terputus. Tidak, itu saja tidak cukup. Mungkin, satu-satunya cara adalah mati bersama lawannya itu.

Tak butuh waktu lama, Yume sudah membulatkan tekadnya. Dia menyesal tidak bisa bertemu lagi dengan teman-temannya, namun ini bukan saatnya larut dalam penyesalan. Jika dia terus memikirkan teman-temannya, itu hanya akan membuatnya tidak fokus. Meskipun dalam keadaan menyedihkan seperti ini, Yume belum putus asa. Meskipun satu-satunya pilihan mengalahkan Takasagi adalah mati bersama, Yume tetap akan mencobanya. Meskipun peluangnya satu banding, seribu, seratus, sejuta, atau bahkan semilyar, Yume akan tetap mencobanya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi sebelum mencobanya.

“Waktunya sudah tiba, om Takasagi.”

"…ya....ya.... sekarang aku ingat. Kau bocah yang waktu itu, kan?”

“Yume bukan bocah. Yume punya nama.”

“Ah, itu dia. Namamu Yume. Ayo, majulah."

Takasagi menarik Katana-nya ke dadanya, lalu mengarahkan mata pedangnya pada Yume. Yume menahan napas. Satu-satunya bayangan masa depan yang bisa dia lihat adalah dirinya terpotong oleh pedang itu.

Bagaimana kalau dia mencuri senjata dari Orc atau Undead di sekitarnya? Mungkinkah Takasagi memberinya kesempatan mengambil senjata lain? Tidak, pria ini tidak akan memberinya kesempatan sedikit pun. Yang ada di kepala orang ini hanyalah memotong lawannya sampai menjadi serpihan kecil. Belum lagi kalau dia marah, hal yang tidak terbayangkan akan terjadi.

Ketika saling berhadapan seperti ini, ada hal-hal yang bisa dipahami tanpa saling bertukar kata. Kalau dilihat dari auranya, Takasagi sepertinya sedang kesal. Apa yang membuatnya kesal? Apakah karena pertarungan ini? Sepertinya Takasagi bertarung bukan karena dia ingin, melainkan tidak punya pilihan lain. Dia juga terpaksa terlibat dalam pertempuran besar ini yang tidak dia inginkan.

Akhirnya, Yume memilih menjatuhkan pisaunya. Takasagi tersenyum melihatnya.

Dia harus mengambil resiko. Pilihannya hanya dua, terpotong, atau selamat. Yume tidak lagi takut. Kalaupun harus tertebas, mungkin dia masih bisa menghindarkan organ vitalnya, sehingga dia masih hidup. Saat melawan pengguna pedang seperti Takasagi, semakin dekat dengan musuh, semakin banyak pilihanmu melawannya. Itulah yang ingin dilakukan Yume. Meskipun itu tidak merubah peluang menang yang hanya setipis kertas.

Yume pun maju tanpa ragu, dan Takasagi mulai mengayunkan pedangnya.

"Lihatlah teknik rahasiaku."

Pedangnya melayang, tidak... lebih tepatnya berkibar.... seperti menari.

Apa itu? Aneh....

"Fall Haze."

Yume masih bisa melihat pedang itu, tapi mungkin juga tidak. Dia bingung. Aneh sekali. Gerakan Katana itu sepertinya cepat, atau mungkin lambat? Sungguh tidak jelas. Tapi Yume masih melesat ke arah Takasagi. Sepertinya kalau diteruskan akan berbahaya, tapi kalau berhenti, mungkin dia akan terbunuh saat itu juga. Gerakan pedang Takasagi begitu tidak lazim, sampai-sampai membuat Yume terpukau. Kalau begini keadaannya, bisa-bisa Yume terpotong tanpa melakukan apapun. Ini tidak akan lama. Yume akan mati konyol oleh gerakan pedang yang begitu memukau itu.

“Jurus rahasia!”

Tiba-tiba terdengar suatu teriakan yang seolah memarahinya seperti, "Dasar bodoh! Kalau begitu terus kau bisa mati konyol!” tapi tidak hanya suara. Bersamaan dengan itu, sesuatu jatuh dari langit.

“Great Foul Waterfall…!”

Serangan itu bertabrakan dengan teknik rahasia Takasagi. Sebenarnya benda apa itu yang turun dari langit? Tunggu.... bukankah itu sebilah pedang? Lebih tepatnya Katana.

“Ngh…!”

Takasagi terhempas ke belakang beberapa langkah, lalu dia mempererat kembali cengkraman pedangnya yang hampir terlepas, kemudian segera melakukan tebasan horizontal.

"Kau…!"

"Kau kalah, pak tua!"

Mulai terlihat sosok yang turun dari langit itu. Apakah itu bintang jatuh? Atau meteor? Tidak, itu jelas-jelas bukan keduanya. Itu manusia, kan? Tapi dia berpakaian aneh dengaan jubah compang-camping dan topeng yang tampak konyol. Suara itu.... suara seseorang yang Yume kenal. Meskipun suara itu terdengar serak, Yume masih bisa mengenalnya. Kalau benar dia orang itu, apa yang sedang dilakukannya di sini?

Takasagi adalah anggota Forgan. Forgan menyerang Altana. Ah, jadi itu sebabnya pria bertopeng yang mungkin Yume kenal itu ada di sini. Dia kan sudah bergabung dengan Forgan, dan meninggalkan Yume dan yang lainnya. Sejujurnya, sampai sekarang pun Yume masih tidak percaya pria itu mengkhianati mereka. Memang, dia bukanlah orang yang bisa dipercaya, tapi setidaknya Yume yakin dia tidak seburuk itu. Dengan kata lain, Yume masih ingin mempercayainya. Terkadang, dia sering melakukan hal-hal gila. Tapi dia masih rekannya. Sudah lama mereka bersama. Sudah banyak cobaan mereka tanggung bersama. Meskipun sulit, tapi Yume harus mengakui dia teman yang berharga baginya. Tapi.... apapun itu, faktanya dia telah pergi meninggalkan mereka.

Mungkin, telah terjadi hal yang tidak mereka tahu. Mungkin, pria itu tidak punya pilihan lain. Mungkin, dia melihat sesuatu pada Forgan yang tidak Yume pahami. Mungkin, dia mencari sesuatu yang begitu dia inginkan. Pria itu memang tidak pernah puas, dan selalu saja memprotes apapun yang dianggapnya tidak benar. Dia tidak tanggap suasana. Apakah karena dia tidak sensitif? Ataukah dia sengaja bertingkah begitu? Kalau dia punya pendapat yang dianggapnya bagus, dia selalu berkata, ’Oh ayolah... ikutlah denganku! Apakah kau sudah puas dengan ini semua!? Aku bisa membuatnya jauh lebih baik!’ lalu dia mulai mengoceh untuk memaksakan kehendaknya. Saat dia pergi, seolah dia berkata, ’Aku di sini bukan untuk berteman. Jangan bodoh.’ namun Yume bisa merasakan kesepian yang dalam padanya. Dan Yume tahu dia masih mengkhawatirkan teman-temannya dengan caranya sendiri. Apakah Yume salah menilainya selama ini? Dia ingin menanyakan itu secara langsung padanya. Dia ingin menjelaskan semua ini.

Benarkah selama ini kau membenci Yume dan yang lainnya? Benarkah kau tidak lagi peduli dengan Yume dan teman-teman?

Yume begitu ingin menanyakan itu padanya. Tapi, entah kenapa Yume merasa dia akan menjawab, ’Tidak.... ini bukan soal benci atau cinta. Ini bukan soal peduli atau mengabaikan. Hal-hal emosional seperti itu tidak akan mempengaruhiku. Aku adalah pria yang selalu ingin menjadi yang terbaik, jadi aku tidak boleh terbawa oleh hal-hal seperti itu. Jangan bandingkan aku dengan orang-orang biasa seperti kalian. Aku tidak punya urusan dengan perasaan seperti itu.’

Jadi.... benarkah pria bertopeng itu “dia”?

“Orah, orah, orah, orahhh…!”

Pria bertopeng itu saling berjual-beli serangan dengan Takasagi. Tebasan pedangnya terlihat kasar dan berlebihan, tapi tidak ngawur. Dia mengayunkan Katana-nya dengan lincah dan kreatif, bagaikan seorang penulis yang menggoreskan penanya saat membuat cerita mahakarya.

"Sial…!"

Sang Takasagi yang hebat mulai terdorong mundur. Mungkin dia sengaja melakukannya, tapi terlihat jelas dia sedang bertahan dari serangan si pria bertopeng. Yume tahu, Takasagi bukanlah pendekar pedang biasa, tapi sehebat apapun, dia pasti punya kelemahan. Jika serangan datang dari bawah pinggul ke atas sisi kiri tubuhnya, dia akan sedikit... hanya sedikit.... terlambat meresponnya. Tapi pria bertopeng tidak terus menyerangnya dari arah itu. Dia mengkombinasikan berbagai macam serangan untuk memaksa Takasagi bertahan. Dia terus mengayunkan pedangnya sekuat mungkin dari segala arah, dan ketika dia rasa saatnya tiba, barulah dia menyerang dari titik lemah Takasagi. Hanya orang yang sudah mengenal Takasagi yang bisa bertarung seperti si pria bertopeng.

“Ooorah!”

Lagi-lagi, pria bertopeng melancarkan serangan rendah ke sisi kiri Takasagi, itu membuatnya mendecakkan lidah dengan jengkel, tapi masih bisa menghindarinya. Lalu, tiba-tiba pria bertopeng berakselerasi.

“Jurus rahasia! Flying Lightning God...!”

Nama jurus itu terdengar seperti bualan, tapi Yume tahu itu serangan menusuk. Pria bertopeng memegang Katana dengan kedua tangan, lalu menusukkannya secepat mungkin. Terdengar desing angin yang memekakkan telinga. Tapi tidak hanya sekali. Dia melakukan tusukan berkali-kali. Hebatnya, Yume melihatnya seolah hanya sekali.

“Ohh?! Ohhhh…?!”

Takasagi masih bisa bertahan. Bagaimana dia bisa bertahan dari serangan secepat itu? Yume tidak tahu. Apa pun itu, dia mundur sambil menangkis semua tusukan lawannya, dan meliuk-liukkan tubuhnya untuk menghindar. Sampai akhirnya........ dia kehabisan langkah, lalu jatuh terjerembab.

Sekarang saatnya. Dia bisa menghabisinya.

Tapi.........

Jika benar pria bertopeng itu orang yang Yume kenal, maka dia tidak akan melakukan itu.

Dan benar saja........

Pria bertopeng itu menarik Katana-nya, lalu memikulnya di bahu.

"Bangun, pak tua."

Takasagi berdiri, seperti yang diminta, lalu tertawa terbahak-bahak.

“Kau selalu saja muncul di manapun aku berada. Baiklah, kau boleh membual sekarang, Ranta.”

"Kau…! Jangan katakan itu! Aku menyembunyikan wajahku karena suatu alasan…!”

"Tidak usah kau bilang aku juga sudah tahu."

"T-Tidak, tidak!"

Pria bertopeng itu melirik ke arah Yume. Yume ingin memanggil namanya. Lagi dan lagi, untuk memastikan itu dia. Tapi sepertinya tidak bisa. Andaikan mereka hanya berduaan saja, Yume malah ingin memeluknya, tapi sayangnya sekarang musuh sedang mengepung. Setidaknya, Yume tidak lagi sendiri. Dia di sini. Dia adalah temannya. Dia adalah rekannya. Jika Ranta di sini, dia pasti bisa mengatasi masalah ini. Karena Ranta selalu keras kepala. Hanya itulah yang bisa Yume percaya dari pria bernama Ranta itu.

Grimgar Vol 14++ (11).jpg

Kata Penutup[edit]

Rasa-rasanya selama ini aku menulis tanpa memahami siapakah Yume itu. Maksudku, aku suka terhadap karakter yang misterius, karena memang begitulah gaya menulisku. Meski begitu, Yume tetap memiliki ciri khasnya sendiri, tapi kalian tahu lah gadis seperti apa dia, meskipun Yume sendiri tampaknya tidak memahaminya. Tidak hanya itu, dia juga tidak paham dengan banyak hal lainnya. Tapi, seperti yang kubilang tadi Yume adalah karakter yang khas, meskipun kelihatannya tidak begitu. Bukan berarti karakter lainnya tidak mempunyai ciri khasnya masing-masing. Sejauh yang kuamati, begitulah menurutku. Selama ini, tampaknya kita hanya melihat sekilas uniknya karakter Yume ini, sampai-sampai Yume sendiri seolah semakin tidak peduli dengan itu semua. Oh ya, ngomong-ngomong aku bukanlah tipe orang yang berkata, “Orang seperti apakah aku? Aku sendiri tidak tahu.” dan membiarkan semuanya berjalan begitu saja. Aku adalah orang yang mengatakan, “Aku selalu seperti ini, dan inilah hasil kerjaku selama ini.” ya, kurang-lebih orang seperti itulah aku, dan aku sendiri tidak pernah meragukannya. Aku telah menghadapi berbagai macam situasi, dan jarang sekali aku terkejut karenanya. Meskipun pernah melakukan hal-hal aneh, aku selalu siap menerima semua konsekuensinya. Ya, seperti itulah aku.

Kembali ke Yume, dia adalah gadis yang cukup bertoleransi dengan sesama, bahkan terhadap dirinya sendiri. Tapi tampaknya, sikapnya yang kikuk juga membuat dirinya frustasi. Namun itu semua tidak membuatnya takut melangkah lebih maju, meski terkadang dia tidak tahu harus melangkah maju ke mana, karena kepekaannya terhadap arah begitu buruk. Itu membuatnya berpikir seperti, “Benarkah harus ke sini? Benarkah harus ke situ?” atau semacamnya. Dia bukanlah gadis yang negatif, tapi bukan juga positif. Dia tidak tahu sedang bergerak maju atau mundur, dan bahkan tidak ingin tahu harus bergerak ke mana. Dia ingin menyampaikan maksudnya sejelas mungkin, namun terkadang juga berpikir lebih baik menyampaikannya samar-samar saja. Tapi, jangan salah, dia bukannya orang yang berpikir, “Aku sudah puas dengan diriku yang sekarang. Jadi, begini saja selamanya.” Aku sendiri penasaran, apa yang akan diusahakan Yume ke depannya. Itulah yang mendasariku menulis cerita singkat ini. Aku harap kalian menikmatinya.

Oh ya, ini adalah jilid ke-100 yang kuterbitkan sebagai penulis tunggal. Jilid pertamaku terbit pada tahun 2004 silam, jadi aku sudah melalui perjalanan panjang sekali sampai tahap ini, tapi entah kenapa itu semua tidak terasa bagiku. Seolah-olah, aku bisa terus melakukan ini selamanya, sampai akhirnya menyadari bahwa aku sudah harus mengundurkan diri dari dunia menulis ini.

Nah, kepada editorku, Harada-san, kepada ilustrator, Eiri Shirai-san, kepada para desainer KOMEWORKS lainnya, kepada semua orang yang terlibat dalam produksi dan penjualan buku ini, dan akhirnya kepada kalian semua yang sekarang memegang buku ini, aku menyampaikan apresiasiku yang terdalam dan semua kasih sayangku pada kalian. Sekarang, waktunya aku meletakkan penaku hari ini.

Aku harap kita akan bertemu lagi.

Ao Jyumonji.

Bonus Cerita Pendek[edit]

Adegan #20: Apakah Ada Yang Lebih Nikmat Daripada ‘Pas’?[edit]

Baiklah, mari kita coba…

Karena sedang Golden Week[10], suatu keluarga tengah menaiki Shinkansen untuk pergi berlibur sejenak. Masih ada waktu sebelum kereta pulang berangkat, jadi mereka memutuskan untuk mencari camilan sembari menunggu, dan karena itulah mereka berakhir di suatu tempat.

Tempat itu adalah restoran yang agak aneh, tapi sepertinya berhubungan dengan Dazai Osamu, seorang penulis yang sudah dikenal Monzo. Dazai adalah penduduk asli Aomori, dan tempat ini berada di area komersial yang terhubung dengan Stasiun Shin-Aomori. Monzo sudah makan banyak di hotel saat sarapan prasmanan, sampai-sampai pengunjung lain geleng-geleng melihatnya. Dia juga sudah mengisi jatah makan siang di lambungnya. Tapi, dia masih ingin makan kudapan ringan, dan menurutnya makanan ringan itu adalah Ramen. Jadi, dia berhenti di suatu kios ramen. Dia memilih Shijimi Ramen[11].

Hmm, mungkin sebaiknya aku memilih Niboshi Ramen[12] saja. Ah tidak, jika memilih itu, sebaiknya aku mampir di Naki, Golden-gai. Lagipula, tempat ini menunya mantap-mantap, sih.... menu paketannya juga mantap. Aku tahu perutku sudah penuh, tapi bukankah pengecut namanya jika menolak godaan Shijimi Ramen? Aku tidak pernah ragu menolak godaan makanan.

Sembari memikirkan itu semua, Shijimi Ramen pun datang. Resto itu begitu penuh, sampai hampir sesak. Tapi hebatnya, mereka masih bisa menyajikan hidangan dengan cepat.

Aku suka ini. Pelayanannya begitu cepat. Ramen adalah hidangan yang harus dibuat dan dimakan dengan cepat. Keterampilan memasak kokinya juga penting, jadi.... yahh, memang bukan kecepatan yang utama, sih. Jika mereka memasak Ramen dengan lambat tapi cermat, itu juga bagus....

Pertama, dia menyesap kuahnya.

"Ini…"

Dia refleks mengatakannya.

…Ini......... Ini sangat…

Monzo menutupi mata dengan tangan kirinya.

Tadinya… aku tidak tahu. Tidak tahu apa-apa. Sama sekali.... tidak tahu...

INI SHIJIMI.

Tidak salah lagi....

INILAH SHIJIIIIIIIMIIIIIIIIIII.

Rasa shijimi ini… sungguh.....dalam, lezat, dan.... bernutrisi...

Monzo masih duduk di bangku SMA. Tentu saja, sebagai bocah SMA dia belum boleh minum miras. Tapi, seolah-olah dia tahu betul bahwa hidangan ini begitu cocok dimakan sambil minum sake, bir, atau semacamnya.

Aku bisa merasakannya…

Nutrisi shijimi meluncur melewati tenggorokannya, menuju perut, dicerna di lambung, lalu menyebar ke seluruh sel tubuh. Dia bisa merasakannya, sensasi ini membuatnya begitu nagih seperti orang yang kecanduan. Seakan-akan, tubuhnya merasa lebih sehat hanya berselang beberapa detik kemudian. Tapi, yang terbaik dari semua itu adalah rasanya yang begitu nikmat.

Wah… aku kalah.... ampun..... aku menyerah....

Dia melihat sekeliling restoran. Ada suatu tulisan kecil yang memberitahukan bahwa jika rasanya terlalu kuat, maka dia bisa menambahkan kuah agar lebih encer. Tapi sepertinya dia tidak perlu melakukan itu. Meskipun, dia merasakan asin yang cukup kuat.

Tidak masalah.... tidak masalah.... ini sudah pas. Tidak ada yang lebih baik daripada pas di dunia ini....

Dia tidak melebih-lebihkan. Mienya juga enak. Semuanya pas. Semakin banyak dia makan mie, semakin ingin pula menyeruput kuahnya. Itu membuatnya tenggelam semakin dalam pada lautan kepuasan.

Level kepasan ini... layak mendapatkan bintang 4 ke atas....

Penghargaan Michelin hanya memberi resto ini tiga bintang, tapi bagi Monzo layak diberi bintang empat ke atas. Pas.... ya, siapa sangka pas terasa begitu luar biasa. Sampai-sampai, dia ingin tambah lagi. Dia begitu menginginkan porsi berikutnya.

Andaikan saja tempat ini dekat dengan rumahku....

Dia pasti akan berlangganan di sini.

Setidaknya seminggu sekali, Monzo mengunjungi tempat ini untuk merasakan kepasan yang begitu dia rindukan. Dengan kepasan ini, dia bisa semakin menikmati rasa-rasa lainnya.

Dosa Surgawi

Ini dia. Sensasi ini. Pagi di Golden-gai memang sangat menyenangkan…

Di sana ada barisan rumah yang begitu padat, lalu di antaranya ada jalan setapak yang mungkin lebih pantas disebut gang. Hebatnya, di pemukiman sepadat ini, ada sekitar 300 kios usaha. Karena sebagian besarnya adalah kedai minum, maka di siang hari kios-kios itu tampak sepi. Itulah yang membuat pelajar SMA macam Monzo merasa tidak canggung berjalan-jalan di kawasan seperti ini.

Monzo tidak tahu bagaimana keadaan Golden-gai di malam hari. Dia hanya pernah menontonnya dari liputan TV, majalah, bahkan internet. Tapi, mencium aroma tempat ini saja sudah membuatnya merasa semakin dewasa.

Oh! Di sana. Itu ada.

Monzo menemukan tempat yang dia cari. Itu adalah sebuah kios. Dia membuka pintunya, lalu menaiki anak tangga yang agak landai menuju ke dalam. Setelah mengucapkan salam singkat pada pelayan, dia diminta membeli tiket menu di mesin penjual otomatis.

“Oh! Maaf!"

Ya... aku sering lupa tempat ini....

Dia sering dihadapkan pilihan tentang niboshi tsukemen atau niboshi ramen, dua-duanya sama-sama lezat, jadi dia kebingungan memilihnya. Tapi akhirnya, biasanya Monzo pilih ramen niboshi. Jelas, tsukemen juga sulit dilewatkan. Bisa juga dia pesan keduanya, tapi Monzo lebih suka memesan salah satu sekali kunjung. Dia rasa, itu lebih sopan daripada mengumbar nafsu dengan melahap keduanya. Ya, lebih baik berkosentrasi menikmati kelezatan sepiring menu dulu, lalu memesan lainnya pada kunjungan berikutnya.

Ketika dia menyerahkan tiket makan, pegawai kedai bertanya mengenai menu favoritnya. Baginya, ini adalah pertanyaan yang menjengkelkan. Masalah selera, tentu dia punya kecenderungan memilih menu, tapi sebenarnya Monzo adalah tipe orang yang bisa menikmati segala jenis menu, selama enak. Dia juga percaya bahwa menu terbaik di restoran adalah menu yang disajikan tanpa membeda-bedakan selera pelanggan.

"Aku pesan yang biasa saja."

Selanjutnya, yang perlu dia lakukan hanyalah menunggu dengan sabar sang koki menyiapkan pesanannya. Meskipun hari Sabtu, Monzo adalah satu-satunya pelanggan di kedai ini, karena hari masih siang. Hebatnya, tempat ini buka setiap hari, jadi dia bisa menikmati kemewahan ini setiap saat. Sungguh luar biasa.

Ohh…! Ini dia! Ini dia! Ini dia!

Aliran waktu di kedai ini sungguh aneh. Seolah waktu berjalan begitu lambat sebelum ramen-nya siap. Namun ketika sudah siap, waktu berjalan begitu cepat. Monzo masih bisa menahannya. Dan ketika hidangannya sudah ditaruh si pelayan di meja, dia segera mengambil sumpit, lalu menepukkan kedua telapak tangannya.

“Selamat makan.”

Dia ingin meneriakkan itu keras-keras, tapi dia pun tahu itu tidak sopan. Segera, dia menyendok kuah dengan sendok porselen, dan menyesapnya.

…Niboshi! Ini niboshi! Revolusi niboshi yang sempurna…!

Selanjutnya, dia mencoba mienya.

…Yes! Tekstur kenyal ini! Sungguh luar biasa! Terbungkus rasa niboshi dengan sempurna dan menjadi satu! Aku bingung harus berkata apa....

Matanya mulai berair. Keringat sudah terbentuk di ujung hidung dan alisnya. Monzo pun menyeka air matanya dengan tisu.

Terdapat lebih dari satu jenis mie di ramen ini ya...?

Ada ittanmen, yang bentuknya seperti lembaran mie lebar. Teksturnya juga unik.

Oke, ayo makan ittan-nya perlahan-lahan....

Dia menyeruputnya ke dalam mulut.

“Oh…!”

Tanpa sadar dia mengerang penuh kebahagiaan.

Enak! Enak sekali! Tidak... lebih dari itu! Ini surgawi!

Chashu-nya juga lezat. Ini bukan Chashu yang sudah menyerap banyak kuah, tapi daging babinya begitu berlemak dan rasanya sensual saat digigit. Singkat kata, terasa sekali Chashu-nya terbuat dari daging berkualitas.

Oke, lanjut makan Chashu....

Dia terus mengunyah daging itu.

Surgawi.........

Dia ingin makan bongkahan utuh Chashu ini. Andaikan itu mungkin, dia merasa seperti bisa bertahan menghadapi kiamat. Seolah dia merasa seperti manusia terakhir yang bertahan di dunia yang telah hancur!

Semuanya lezat. Meskipun..... aku merasa berdosa.....

Sembari terus menyesap ittamen, menyeruput kuah, dan mengunyah Chashu.... Monzo mulai gelisah. Tapi mengapa? Bukankah ini saat-saat paling bahagia dalam hidupnya? Ya, justru kebahagiaan itulah yang akan berujung petaka. Karena dia sungguh lupa apa yang akan terjadi dengan kesehatannya jika terus makan ramen itu.

Adegan #22: Di Stasiun Utara[edit]

Monzo hanya pernah ke tempat ramen itu sekali, saat dia dalam perjalanan. Orang tua Monzo juga suka ramen, jadi mereka selalu mengagendakan kunjungan ke kedai tersebut.

Sayangnya, kenyataannya berkata lain.

Kedai ramen, yang biasa disebut Stasiun itu, telah tutup.

Dia sudah tidak ingat bagaimana penampilan kedainya entah dari luar atau dalam. Tapi, satu hal yang pasti, dia selalu pesan miso ramen.

Ramen ini sungguh luar biasa…

Dulu, saat memesan ramen tersebut, Monzo yang masih bocil begitu terkejut. Kuahnya tampak seperti jely karena banyaknya lapisan lemak yang mengendap di permukaan.

Panas…!

Dia menyesapnya, meskipun begitu panas. Seketika, matanya langsung berbinar. Monzo pun merengek, "Aku tidak bisa makan ini," pada orang tuanya. Ayahnya menimpali, "Tunggu sampai dingin," ramen itu begitu panas tapi tak kunjung dingin karena lapisan lemak yang membungkus permukaan kuahnya. Jadi, dia harus semakin lama bersabar. Kedai itu berada di sebelah utara, yang syarat akan cuaca dingin. Mungkin, itulah kenapa sang koki mengembangkan teknik memasak seperti itu agar ramennya tidak cepat dingin.

Intinya, dia butuh waktu lebih lama sampai ramen itu benar-benar nyaman dimakan. Orang tuanya menyarankan agar membagi ramennya di piring lain, tapi Monzo dengan tegas menolak. Meskipun masih muda, dia ingin menyeruput ramen langsung dari mangkuknya seperti orang dewasa pada umumnya. Bagi Monzo, memang seperti itulah cara makan ramen yang layak.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya ramen itu dingin juga, dan dia segera mengeringkan mangkuknya dalam sekejap.

Aku belum pernah makan ramen seperti ini sebelumnya...!

Sensasinya intens sekali. Lima rasa: manis, asin, asam, pedas, dan umami, semuanya berpadu. Mungkin perlu ditambahkan rasa keenam jika ada, yaitu ‘kaya’. Bagaimana bisa? Apa bumbunya? Bagaimana masaknya? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mungkin dijawab oleh Monzo yang masih kecil. Yang jelas, rasa yang kaya, dalam, dan kompleks terus memanjakan lidahnya.

Miso! Miso! Miso ini! Miso macam apa ini!? Apakah ini benar-benar miso?? Beneran! Ini beneran miso....!

Monzo menyukai sup miso yang dibuat ibunya, yang dikombinasikan dengan bahan-bahan lainnya. Tapi setelah mencicipi ramen ini, sup miso buatan ibunya jadi terasa lemah. Bagaimana bisa lemah? Dia juga tidak tahu, tapi yang jelas, miso manapun akan terasa lemah jika dibandingkan ramen miso ini. Ramen inilah sebenar-benarnya miso. Saat dia memakannya, seolah dunia ini terbuat dari miso. Semua miso. Miso dimana-mana. Tidak ada dewa. Adanya hanya miso yang memerintah apapun.

Inilah perwujudan sebenarnya dari kata ‘lezat’.

Ya.... dia masih mengingat dengan jelas semua itu.

Monzo memang selalu menyukai ramen, tapi semenjak makan ramen di kedai Stasiun, kecintaannya itu semakin hakiki. Ada begitu banyak kedai ramen di dunia ini, dan ketika Monzo melihatnya, dia selalu berpikir, seperti apakah rasa ramen di kedai itu. Jenis ramen apa yang mereka sajikan? Tidak....tidak.... mungkin jenis saja tidak cukup menggambarkan betapa beragamnya cita rasa ramen. Dia selalu memikirkan hal-hal seperti itu setiap hari. Ini semua berkat miso ramen yang dia makan waktu itu.

Sejak saat itu, Monzo selalu mengajak orang tuanya ke kios ramen Stasiun lagi dan lagi.

Tapi sayangnya dia tidak bisa pergi ke kedai itu setiap akhir pekan, karena jaraknya yang jauh. Bahkan, dia perlu naik pesawat dan menyeberangi lautan untuk mencapai kedai itu. Keluarga Monzo tidak miskin, dan tidak juga kaya. Mereka tidak punya banyak waktu luang karena harus terus bekerja. Jadi, mereka hanya bisa berliburan beberapa kali selama musim panas.

Tapi....... yahh, kios ramen Stasiun yang selalu mereka kunjungi saat liburan kini telah tutup.

Mungkin dia tidak bisa lagi merasakan ramen seperti buatan kios Stasiun, tapi kios tradisional seperti itu tidak hanya satu.

Lain waktu, Monzo ingin menemukan kios lain yang sama enaknya.

Mudah-mudahan, dia bisa menemukan tandingan miso ramen itu.

  1. Gulungan daging yang disajikan perpotong berbentuk lembaran tebal. Biasanya terbuat dari daging babi dan ditambahkan pada Ramen.
  2. Ini adalah teriakan Mogzo ketika menebas lawan. Baca saja di jilid-jilid awal. Itulah konteks ekspresi ini.
  3. Nigirimeshi (握り飯) adalah nasi kepal yang dibungkus dengan nori (rumput laut kering) berbentuk segitiga atau silinder.
  4. https://www.harapanrakyat.com/2021/02/manfaat-daun-perilla/
  5. Kalau kalian lupa, Klan terdiri dari beberapa Party.
  6. Mary berarti gembira, sedangkan dia terlihat sering murung.
  7. Reff : Adam – Hawa.
  8. Seppuku adalah bunuh diri ala Jepang dengan merobek perut menggunakan belati.
  9. Useless artinya tidak berguna.
  10. https://id.wikipedia.org/wiki/Minggu_Emas_(Jepang)
  11. Shijimi Ramen adalah mie ramen yang disajikan dengan kerang beserta cangkangnya.
  12. Niboshi Ramen adalah mie ramen yang disajikan dengan ikan sarden kering.