Hakomari (Indonesia):Jilid 1 Ke-27753 kali

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Ke-27,753 kali[edit]

Sepak bola saat jam olahraga.

Karena mimisan, aku tidur di pangkuan Mogi-san.

Kemudian aku mulai memikirkan tentang perasaannya yang membolehkanku tidur di pangkuannya. Apa mungkin dia mencoba, meski sedikit, untuk menarik perhatianku?

Aku tidak mempunyai ide apa pun; ekspresinya tetap saja datar ketika aku memandangnya.

“…Mogi-san”

“Ada apa?”

“Apa yang sedang kaupikirkan sekarang?”

“Eh?”

Mogi-san memiringkan kepalanya. Tetapi jawabannya sepertinya tidak akan keluar. Satu-satunya reaksi atas pertanyaan yang kuajukan adalah wajah yang kebingungan.

Hal itu membuatku berpikir. Kalau merasakan perasaan pasangan saja sangat sulit, apa cinta bisa berjalan mulus?

Kenapa aku bisa jatuh cinta dengan gadis yang sulit?

Lagi pula — sejak kapan aku jatuh cinta?

Aku mencoba mengingat.

“…………Huh?”

“…Ada apa?”

Mogi-san bertanya saat aku tiba-tiba mengeluarkan suara.

“T-tidak… Tidak ada!”

Wajahku mungkin tidak mengatakan ‘tidak ada’. Mogi-san tahu hal itu. Tapi karena dia tidak punya kemampuan bersosialisasi untuk menanyaiku tentang hal itu, dia tetap diam tanpa melakukan apa pun.

Aku berdiri tanpa memberitahu Mogi-san.

“Ah, um…sepertinya mimisanku sudah berhenti.”

“…Mh.”

Pembicaraan kami terhenti dengan kata-kata datar.

Kenapa aku rela meninggalkan situasi yang nyaman ini? Kenyamanan ini mungkin tidak datang dua kali.

Tapi—itu tidak mungkin.

Kaulihat, berapa kali pun kucoba—aku tetap tidak bisa mengingatnya.

Aku tidak bisa mengingatnya. Aku tidak bisa mengingatnya. Aku tidak bisa mengingatnya!…Aku tidak bisa mengingat kapan aku jatuh cinta padanya!

Kenapa aku jatuh cinta? Apa pemicunya? Atau aku memang tertarik dengan dia tanpa kusadari, bahkan tanpa ada kejadian spesial apa pun?

Aku seharusnya tahu; tidak mungkin aku melupakannya, tapi… aku tidak bisa mengingatnya, berapa kali pun kucoba.

Itu bukanlah cinta pada pandangan pertama. Kecuali karena fakta bahwa kami sekelas, kami hampir tidak punya hubungan apa-apa.

Tetap saja, kenapa ya? Atau kau mau bilang kalau ini adalah cinta yang tiba-tiba—

“—Tidak mungkin…”

Meski sulit untuk dipercaya, cuma itu alasan yang bisa kupikirkan. benar-benar cinta yang tiba-tiba.

“Ada apa? Apa kau baik-baik saja?…Perlukah kita pergi ke ruang UKS?”

Mogi-san memberi saran dengan suara kalemnya. Aku tentu saja senang dia mengkhawatirkanku. Hanya bahagia. Perasaan ini tidaklah bohong.

“…Aku baik-baik saja. Aku cuma sedang memikirkan sesuatu.”

Aku berulang kali bertanya pada diriku apakah ini bukanlah suatu kesalahan. Tapi semakin aku menimbangnya, semakin terlihat kebenarannya bagiku.

Aku belum tertarik pada Mogi-san.

Sampai kapan? Benar—

Aku belum tertarik padanya sampai kemarin.

“—Ah, begitu rupanya.”

Aku memandang si murid pindahan yang sedang berdiri di tengah-tengah lapangan — Aya Otonashi.

Sejak kapan ada kejadian yang membuatku tertarik dengan Mogi-san? —ah, itu mudah. Bukan kemarin. Tapi hari ini aku sudah jatuh cinta. Jadi kapan?

Hal itu cuma bisa terjadi—antara kemarin dan hari ini.

Hanya selama lebih dari 20.000 kali pengulangan yang terjadi karena ‘Rejecting Classroom’.

Ah, aku ingat. Cuma pecahan saja, tetapi aku mungkin mengingatnya lebih dari biasanya. Tetap saja, itu cuma pecahan saja, jadi ingatanku banyak yang terlupakan.

Aku sudah melupakan hal yang paling penting untukku — bagaimana aku bisa jatuh cinta dengan Mogi-san. Dan pastinya aku tidak akan mendapatkannya kembali. Aku tidak bisa membaginya dengan Mogi-san. Cinta sebelah tangan yang tidak bisa kuapa-apakan, tak peduli lamanya waktu berjalan; hanya perasaanku yang akan semakin kuat.

Tidak, mungkin lebih dari itu. Cinta ini mungkin menghilang segera setelah ‘Rejecting Classroom’ berakhir. Maksudku, cinta ini seharusnya tidak pernah ada tanpa adanya ‘Rejecting Classroom’.

Ini aneh. Sesuatu seperti ini sangatlah aneh. Tidak ada keraguan dalam cinta ini.

Tapi tetap saja apakah cinta ini adalah kepura-puraan yang seharusnya tidak ada?

Angin yang tiba-tiba berhembus sebelum pelajaran berakhir. Hal itu mengangkat rok Mogi-san. Kenapa ya? Tapi aku sedikit merasa kalau aku sudah mengetahui celana dalam berwarna biru muda itu.

Tidak, Aku memang tahu itu.

Fakta bahwa Mogi-san mengenakan celana dalam biru muda hari ini.

Dan fakta bahwa Aya Otonashi mengorbankan Kasumi Mogi lebih dari siapapun untuk mengambil kembali ingatannya.


Karena itu aku memutuskan.

Untuk mempertahankan ‘Rejecting Classroom’ ini.



Kali ini Aya Otonashi tidak mendatangiku.

Tidak, kupikir sama saja dengan waktu sebelumnya. Aku hanya mengingatnya sedikit, tapi sudah seperti ini sampai sekarang.

Selama jam makan siang, Aya Otonashi sendirian, mengunyah rotinya dengan bosan.

Kali ini akulah yang mendatanginya.

Hanya melakukannya saja, tubuhku menegang dan detak jantungku meningkat. Penolakan Otonashi-san terhadap yang lain sudah membuat dinding besar, cukup untuk menambahkan tekanan sendirian.

“…Otonashi-san.”

Aku mempersiapkan diriku dan memanggil namanya. Tetapi, Otonashi-san bahkan tidak menoleh. Tapi seharusnya tidak mungkin dia tidak mendengarnya dari jarak seperti ini, jadi aku terus melanjutkan perkataanku tanpa peduli.

“Aku punya sesuatu untuk dibicarakan.”

“Aku tidak mau.”

Dia menolakku tanpa menggerakkan mata.

“Otonashi-san.”

Tidak ada reaksi. Dia terus mengunyah rotinya dengan setengah hati.

Dia sepertinya berencana tidak mempedulikan apa pun yang aku katakan. Kalau begitu aku cukup membuat dia tidak bisa mengabaikanku.

Hal itu langsung terlintas di dalam pikiranku ketika aku memikirkannya.

“…Maria.”

Kunyahannya terhenti.

“Ada yang ingin kubicarakan.”

Meski begitu dia bahkan tidak melirik ke arahku. Dia juga tidak mengatakan apa pun.

Ruang kelas benar-benar sunyi. Teman-teman sekelasku hanya melihat kami sambil menahan napas mereka.

Dan akhirnya Otonashi-san sudah kehilangan kesabaran dan menghela.

“Aku tidak pernah menyangka kau akan mengatakan nama itu. Sepertinya kau sudah mengingat banyak hal kali ini.”

“Yeah, karena itu—”

“Karena itu, tidak ada yang bisa dibicarakan denganmu.”

Sekali lagi dia mulai mengunyah rotinya tanpa peduli.

“Kenapa!?”

Pandangan teman-teman sekelasku fokus pada diriku ketika aku dengan refleks mulai berteriak.

“Kenapa?! Apa aku ini bukanlah seseorang yang mesti kau lakukan sesuatu padanya?! Jadi kenapa kau bahkan tidak mau mencoba mendengarkanku!?”

“Kenapa, kau tanya?”

Otonashi-san memicingkan matanya.

“Kau benar-benar tidak tahu? Ha! Benar. Kau selalu bodoh, beraksi seperti ini. Kau tidak memikirkan dirimu sendiri. Kenapa aku harus bersama dengan orang seperti itu?”

“…Well, kadang-kadang aku sendiri tidak tahu apa yang sudah kulakukan.”

“Kadang-kadang? Payah. Apa yang berbeda dengan keadaanmu saat ini, huh? Kau sama saja, ya, 'kan?”

“Bagaimana kau bisa menyatakan hal itu? Mungkin aku akan memberimu bantuan. Kalau begitu—”

“Tidak peduli.”

Otonashi-san mengeluarkan kata-kata itu tanpa menungguku selesai berbicara.

Aku baru akan memprotesnya secara refleks. Tetapi protesku terhapus oleh kata-kata Otonashi-san berikutnya.

“Karena kau tidak membuat proposal ini hanya dua atau tiga kali saja.”

“Eh—?”

Aku sangat terkejut sehingga wajahku mungkin terlihat lucu. Sedikit membuka mulutnya, Otonashi-san menaruh rotinya yang sudah termakan setengah dan berbicara:

“Baiklah. Kali ini penuh dengan hal yang sia-sia. Ini bukan cuma kedua atau ketiga kalinya aku menjelaskannya, tapi akan aku katakan.”

Otonashi-san berdiri dan mulai berjalan menjauh.

Aku tidak punya pilihan selain mengikutinya.



Seperti biasa dia mengajakku menuju ke belakang gedung sekolah. Dan Otonashi-san seperti biasa menyandarkan diri di dinding.

“Saat ini aku akan mengatakannya sekarang. Aku tidak akan berdialog denganmu. Kau hanya akan mendengarkan kata-kataku seperti seorang idiot.”

“…Aku bisa memutuskannya sendiri.”

Aku mengatakannya supaya sedikit menentang, tetapi Otonashi-san hanya melemparkan tatapan dinginnya ke arahku.

“Hoshino, apa kau tahu sudah berapa kali saat ini? Tidak, kau tidak tahu. Kali ini adalah pengulangan ke 27.753 kali.”

Angka itu terlalu fantastis.

“…Apa kau selalu menghitungnya dengan detil?”

“Yeah, karena tidak mungkin aku bisa mengetahui hal ini kalau aku berhenti menghitung bahkan kalau hanya sekali saja. Kalau aku lupa, aku akan kehilangan pandangan pendirianku. Karena itu aku menghitung.”

Tentu saja, hal itu sedikit menenangkan kalau seseorang tahu berapa banyak langkah yang sudah dilakukan menuju tujuan akhir yang tidak diketahui.

“Aku sudah mengulangnya sampai saat ini. Aku sudah mencoba hampir semua cara untuk mendekatimu. Aku sedang berada dalam situasi ketika aku bahkan tidak lagi memikirkan cara yang tidak pernah kucoba sebelumnya.”

“Karena itukah kau berpikir tidak ada gunanya berbicara denganku?”

“Yeah.”

“Karena itu kau bahkan tidak mencoba mendesakku menyerahkan ‘box’ kepadamu?”

“Aku sudah menyerah pada hal itu sejak dulu sekali.”

“Kenapa? Entah di mana saat pengulangan berlangsung, di sana seharusnya ada aku yang bekerja sama.”

“Yeah, tentu saja. Ada saat-saat kau memperlakukanku dengan permusuhan, dan ada juga saat kau bekerja sama denganku. Tapi kau tahu? Hal itu tidak berarti lagi. Kau tidak menyerahkan ‘box’ dengan dua cara tersebut.”

Aku tidak menyerahkan ‘box’ bahkan saat aku bekerja sama?…Tapi yah, itu logis. Kalau Otonashi-san sudah mendapatkan ‘box’, maka yang «sekarang» ini di dalam ‘Rejecting Classroom’ tidak akan ada.

“Hanya mengonfirmasi: kau yakin kalau aku mempunyai ‘box’, benar?”

“Aku sudah berkali-kali meragukannya. Tetapi kesimpulannya tetap sama. Kazuki Hoshino adalah, tak diragukan lagi, si ‘pemilik’.”

“Kenapa kau berpikir seperti itu?”

“Di sana tidak terlalu banyak tersangka seperti yang kaupikirkan. Penjelasannya terlalu panjang jadi aku akan mempersingkatnya. Tidak mungkin untuk beberapa orang mengelabuiku selama 27.753 kali. Karena itu, cuma kau yang mungkin adalah si ‘pemilik’. Terlebih lagi, ada bukti tidak langsung yang tak terbantahkan yang tidak berhubungan dengan ‘Rejecting Classroom’, 'kan?

Dia benar, aku sudah bertemu dengan penyalur ‘box’—“*”.

“Meski begitu, kau tidak melepaskan ‘box’ sama sekali. Tentu saja, kau tidak bisa. Aku sudah menandaimu sebagai si ‘pemilik’ lebih dari 20.000 kali.”

“Jadi, kau sudah menyerah?”

Si Otonashi-san yang tak kenal lelah untuk mendapatkan ‘box’, ini?

“Aku belum menyerah. Aku hanya tidak bisa mendapatkan box-nya. Mari berasumsi kau sedang mencari uang 100 yen yang seharusnya ada di dalam dompetmu, tetapi kau tidak bisa mencarinya meski kau sudah berkali-kali membalikkan isi dompetmu. Mencari setiap sudut dompet itu mudah. Tetap saja, kau tidak menemukannya. Kalau begitu kau harus berasumsi kalau uang 100 yen tersebut tidak ada lagi. Karena itu, dalam pengulangan 27.753 kali ini aku sudah menyimpulkan kalau «aku tidak bisa mendapatkan ‘box’ dari Kazuki Hoshino».”

Otonashi-san merengut kepadaku untuk sesaat dan berbalik arah.

“Baiklah, pertunjukan sampingannya sudah selesai. Masih mau mengatakan sesuatu?”

“…Yeah! Karena itulah alasan utama aku ingin berbicara padamu.”

Aku harus mengatakannya.

Aku sudah memutuskan. Aku sudah memutuskan untuk mempertahankan ‘Rejecting Classroom’.

Otonashi-san, yang sudah berkali-kali membunuh Mogi-san, aku membuatnya sebagai—

“Aku membuat Otonashi-san, bukan, Aya Otonashi—”

“—musuh?”

“—huh?!”

Apa yang ingin kukatakan dengan determinasi memihak ke kegelapan, Otonashi-san langsung menebaknya. Dan dia masih tidak tertarik dan tidak melihat ke arahku.

Saat dia melihat kalau aku kehilangan kata-kata dan terkejut dari hatiku yang paling dalam, Otonashi-san menghela napasnya. Dia berbalik ke arahku.

“Hoshino, apa kau masih tidak mengerti? Kaupikir sudah berapa kali aku menghabiskan waktu bersama orang idiot sepertimu? Ini hanyalah pola lainnya yang sudah aku sering ulangi sampai aku bosan dengan hal itu. Tidak mungkin aku tidak akan mengetahuinya, ya kan?”

“A-apa—”

Aku sudah membuat sebuah determinasi yang sedemikian kuat berkali-kali?

Kenapa menjadi sia-sia selama ini?

“Sekali-kali, aku akan memberitahumu hal ini. Meski harga dirimu membentuk determinasi untuk menjadikanku seorang musuh dan kemudian mencoba mengingat kembali ingatanmu setiap kali; akhirnya, kau pun akan memusuhiku lagi. Sangat yakin.”

“I-itu tidak—”

Lagi pula itu berarti kalau aku sudah memastikan dia membunuh Mogi-san; yang sudah kuputuskan untuk menghapus perasaanku untuk Mogi-san.

“Kau tidak bisa mempercayaiku? Mau kutunjukkan alasan kalau aku sudah berkali-kali mendengarnya darimu?”

Aku menggigit bibirku.

Otonashi-san memutuskan kalau pembicaraannya sudah selesai dan berbalik arah.

“Harga dirimu bisa bertahan lebih dari 20.000 kali pengulangan tanpa masalah. Aku akan mengakui hal itu tentangmu.”

Aku menaikkan wajahku secara tiba-tiba.

Dia bilang dia sudah «mengakui» aku sekarang, ya,'kan? Sudah, 'kan?

“Tunggu sebentar.”

Ada yang sangat ingin kutanyakan.

Otonashi-san hanya menolehkan kepalanya ke arahku.

“Kau sudah berhenti mencoba untuk mengambil ‘box’ dariku, 'kan?”

“Yeah. Bukankah aku sudah mengatakannya?”

“Lalu… apa yang akan kau lakukan mulai sekarang?”

Tidak ada perubahan pada ekspresi Otonashi-san. Dia tetap menatap lurus ke arahku tanpa merubah arah matanya.

Akulah yang tidak sengaja menghindari pandangannya pada tatapannya yang sangat terus terang ini.

“Ah—”

Dalam sekejap… Otonashi-san pergi tanpa mengatakan apa pun.

Tanpa menjawab pertanyaanku.



Otonashi-san tidak kembali ke ruang kelas setelah itu - mungkin dia pulang ke rumah.

Pelajaran kelima, Matematika. Aku tidak bisa langsung mengerti rumusnya, meski aku mungkin sudah mendengarnya triliunan kali, dan malah melihat ke arah Mogi-san sepanjang waktu.

Apa aku benar-benar akan meninggalkan Mogi-san? Apa Aku benar-benar akan menghancurkan perasaan dia semauku?

Tidak. Itu tidak mungkin. Tidak peduli apa yang pernah dipikirkan oleh aku yang sebelumnya.

Aku yang saat ini tidak mau menyerah pada Mogi-san. Hanya itu yang kupedulikan.

Pelajaran kelima berakhir.

Setelah itu, aku langsung menuju ke tempat Mogi-san. Dia menyadariku dan memandang balik dengan mata yang besar. Tubuhku menegang seperti batu hanya karena hal itu. Jantungku kehilangan ritme biasanya.

Hanya melihat ke arahnya. Itu menunjukkan betapa pentingnya sesuatu yang akan kukatakan kepadanya kali ini.

Sebuah aksi yang tidak mungkin kulakukan pada kehidupan sehari-hariku yang biasa.

Tapi mau bagaimana lagi, alku tidak bisa memikirkan cara lain untuk mengambil kembali ingatanku.

Aku tidak bisa memikirkan cara lain selain menembak Mogi-san.

“…Mogi-san”

Kupikir Aku membuat wajah yang aneh sekarang. Mogi-san berpikir sambil melihat ke arahku dan menggelengkan kepalanya.

“Err, ada yang ingin aku—”


«Tunggu sampai besok.»


“—Ah”

Sebuah gambar melintas di pikiranku. Sebuah suara mulai dimainkan seenaknya. Sensasi yang jelas dan terang, terasa menyakitkan seperti sebuah kaca menusuk mata, telinga, dan otakku.

Dadaku berdetak kencang seperti dipukul palu.

T-Tidak—

Aku tidak mau mengingatnya. Meski aku tidak mau mengingatnya. Meskipun aku ingin memutuskannya karena tidak terjadi dalam waktu yang tak terhitung, hal itu tetap tidak menghilang. Meski aku bisa melupakan ingatan penting lainnya, hanya kejadian inilah yang tidak bisa kulupakan.

Yeah, itu benar—

Dulu — aku sudah menembak Mogi-san.

“…Ada apa?”

“……Maaf, tidak ada apa-apa.”

Aku menjaga jarak antara aku dan Mogi-san. Dia menaikkan alisnya karena curiga, tetapi tidak bisa menanyakan padaku.

Aku kembali ke tempat dudukku dan menyandarkan tubuh atasku di atas meja.

“……Begitu rupanya.”

Kalau kupikir tentang hal itu, tentu saja. Lagi pula, aku sudah datang untuk mengulang hari ini lebih dari 20.000 kali.

Aku menyatakan cintaku pada Mogi-san. Tetapi aku lupa. Jadi aku menembaknya lagi. Dan lupa lagi. Untuk melawan ‘Rejecting Classroom’, aku sudah membuat pernyataan cinta yang bahkan tidak ingin kulakukan, lagi dan lagi dan lagi, dan melupakannya seperti itu.

Dan setiap kalinya aku mendapatkan jawaban yang paling ingin tidak kudengar.

Jawabannya selalu sama. Sudah ditentukan kalau jawabannya selalu sama. Well, tidak mungkin hal itu akan berubah. Mogi-san tidak bisa mengingat memorinya dan jawaban dia tidak akan berubah.

Jawaban itu—

“Tunggu sampai besok.”

Benar-benar kejam. Tahu nggak sih—besok tidak akan pernah datang.

Mendapat determinasi yang tiada taranya, mengangkat keberanian yang sebelumnya tidak akan ada, meregangkan urat syaraf sampai batas — tetap saja, kata-kata tulusku menghilang sepenuhnya seperti tidak pernah terjadi. Lalu, seperti saat ini, aku harus bertemu dengannya, yang ingatannya sudah menghilang dalam waktu tak terhitung, lagi.

…Begitu. Mereka tidak menjadi ketiadaan.

Tidak ada apa pun kalau dipikir.

Sejak awal tidak ada apa pun di dunia ini. Tidak ada nilai apa pun yang bisa ditemukan di dunia tempat segala sesuatu terjadi menjadi hampa. Keindahan, keburukan, benda berharga, benda kotor, dicintai, dan dibenci di sini tidak ada nilainya.

Karena itulah semua ini tidak ada. Hanya kehampaan.

Kehampaan dari ‘Rejecting Classroom’ yang sulit dimengerti.

Aku merasa pusing. Aku dipaksa bernapas di lingkungan seperti ini. Saat muncul keinginan untuk menghilangkan udara di dalam paru-paruku, aku tidak bisa melakukannya karena aku tidak akan bisa melanjutkan kehidupanku di sini. Au tidak bisa hidup tanpa bernapas. Tetapi kalau aku terus menghirup kehampaan, maka tubuhku pun akan menjadi hampa. Aku akan berlubang seperti sebuah spons.

Atau—apakah sudah terlambat bagiku sejak lama, dan kini aku sudah hampa?

“Ada apa, Kazu-kun? Apa kau merasa sakit?”

Saat kudengar suara yang kukenal, aku menaikkan wajahku dengan lambat saat terbaring di meja. Kokone berdiri di depanku, sambil mengernyitkan dahinya.

“Hal ini mengingatkanku, kau mimisan saat jam olahraga, 'kan? Mungkin itu juga berasal dari juga, kau tahu? Kalau kau merasa tidak enak badan, perlukah kita pergi ke ruang UKS?”

“Nggak perlu mengkhawatirkannya, Kiri. Gue yakin sebenarnya penyakitnya berasal dari pangkuan tempat dia tidur daripada mimisannya,” kata Daiya, yang berdiri di dekatku tanpa kusadari.

“Pangkuan…?…Ah! Begitu! Jadi begitu rupanya! Apaaaa, cuma sakit cinta…”

Lalu dia menyeringai dan menepuk bahuku untuk menyemangatiku.

“Ka-u! Kau kau! Bukankah ini agak sedikit aneh, kalau kau yang melakukannya? Tolong jangan melakukan sesuatu yang dewasa seperti ciiiinta.”

“Tergoda oleh rayuan biasa seperti itu — menggelikan.”

“T-tidak! Aku selalu mencintai—”

Aku berhenti di tengah-tengah. Ada beberapa kesalahan dalam perkataanku tadi. Untuk satu hal, aku juga mengakui perasaanku kepada Mogi-san, tapi pertama-tama—

“Ha? Lo nggak punya perasaan apa-apa untuk Mogi sampai kemarin, kan?”

—hal itu bukanlah yang sebenarnya.

Sebenarnya aku jatuh cinta padanya hari ini. Paling tidak dari sudut pandang Daiya dan yang lainnya, hal itu adalah kebangkitan tiba-tiba dariku. Karena itu tidak ada yang tahu perasaanku padanya, meski sudah terlihat jelas dari perilakuku.

“Hey hey, Daiya, sepertinya laki-laki ini baru saja mengakui cinta bertepuk sebelah tangannya pada Kasumi. Uhihi.”

Kokone menyeringai dan menyikut Daiya.

“Yeah. Saat-saat yang terbaik mungkin akan membuat gue senang sedikit lebih lama.”

“Uhehe… cinta orang lain memang menyenangkan! Mh, mh. Tenang saja. Onee-chan bakal membantumu! Aku akan memberimu saran dan membantumu! Kalau kau ditolak, aku bahkan akan menghiburmu! Tetapi kalau kau berhasil, aku akan membunuhmu, karena aku bakalan kesal.”

“Nggak usah takut. Kalau mereka berdua mulai pacaran, gue bakal ngambil ceweknya dari dia.”

“Uwaa, itu terdengar lucu! Ketidakberuntungan seseorang dan cinta segitiga yang kompleks! Luar biasa!”

Mereka berdua benar-benar keterlaluan, tidak mempedulikan kondisiku yang sedang turun.

Well, tapi untungnya XX tidak ada di sini. Kalu dia ada, maka dia akan menggunakan kesempatan ini dan membuat pembicaraan yang akhirnya akan—

“—Huh?”

“Mhh? Ada apa, Kazu-kun?”

“Tidak, hanya… aku berpikir di mana dia. Apa dia bolos yah hari ini?”

“Siapa yang lo bicarakan?”

Daiya bertanya dengan wajah curiga. Ini aneh. Kupikir Daiya akan tahu siapa yang kumaksudkan saat aku bicara demikian.

“Kau tidak tahu? Tentu saja dia kan——”

——err, siapa ya?

Huh? Tunggu sebentar! Aku…aku sendiri baru saja akan mengatakan nama seseorang. Jadi kenapa aku tidak hanya lupa namanya, tapi juga wajahnya?

“…Kazu-kun? Ada apa? Siapa sih yang lo maksud?”

Aku merasa sakit seperti sudah menelan sesuatu setengah cair seperti lendir yang membuatku ingin menggaruk perutku. Tapi aku beruntung, masih bisa merasakan hal menjijikkan itu. Kalau aku menelannya dan membuangnya, maka XX akan menghilang.

“H-Hey…Kazu-kun!”

Tidak masalah. Aku bisa mengingatnya. Aku bisa mengingatnya karena hal memuakkan tadi.

“—Haruaki”

Nama dari sahabat baikku. Teman berharga yang sudah berjanji menjadi sekutuku selamanya.

…Meski hanya sedikit, tetapi aku berharap. Berharap hanya aku yang melupakan Haruaki karena suatu alasan. Tetapi aku memang orang yang idiot. Harapan itu—

“Oi, Kazu. Siapa sih si ‘Haruaki’ itu?”

—tidak akan pernah terkabul.

Aku menggertakkan gigiku terhadap situasi yang menyebalkan seperti ini. Daiya dan Kokone mengernyitkan dahi pada perilakuku yang tidak biasa.

Mereka berdua sudah lupa. Meski mereka sudah saling kenal lebih lama, sebagai teman sejak kecil.

Fakta bahwa «Haruaki» tidak lagi ada di sini menusukku tanpa ampun, dan—

“Aku akan pulang ke rumah.”

—hal itu adalah luka yang fatal bagiku.

Aku berdiri, mengambil tasku, membalikkan punggungku kepada mereka dan berjalan meninggalkan ruang kelas.

Aku tidak bisa bertahan di sini lebih lama lagi.

Kenapa Haruaki tidak ada di sini?

Aku tahu kenapa. Aku tahu akan hal itu. Haruaki sudah di-‘rejected’.

Oleh siapa? Itulah yang pasti. Dia sudah diputuskan agar di-‘rejected’ oleh si «Tokoh utama» yang menyebabkan ‘Rejecting Classroom’ ini.

Aku salah persepsi rupanya. Kupikir ‘Rejecting Classroom’ akan melanjutkan aliran kehidupan sehari-hari ini selamanya. Bodoh sekali. Tidak mungkin hal seperti itu akan terjadi. Kehidupan sehari-hari disebut kehidupan sehari-hari karena mengalir terus-menerus. Kalau kau menghentikan arus sungai, maka lumpur akan menumpuk dan mewarnainya menjadi hitam. Sepeti itulah. Sedimen sudah menumpuk juga di sini.

Aah, tentu saja. Kupikir aku sudah menyadari fakta itu berkali-kali. Tidak peduli berapa kali aku mengulangnya, aku selalu kembali menemukan fakta itu. Dan kemudian aku berhenti memusuhi Aya Otonashi.

Aya Otonashi akan menghancurkan ‘Rejecting Classroom’.

Dan meskipun aku sekarang tahu, kenapa aku malah menghentikannya?

Bel berbunyi. Mungkin hampir semua teman sekelasku sudah kembali ke kursinya masing-masing.

Jadi sebelum meninggalkan ruang kelas aku berbalik arah.

Kursi yang kosong. Kursi yang kosong lagi. Kursi yang kosong lagi. dan lagi di sebelah sana. Aah…Aku sudah menebaknya, tetapi tidak ada satupun yang meragukan keanehan jumlah kursi yang kosong.



Aku mungkin sudah menyadarinya. Tetapi aku tidak memikirkannya itu karena aku tidak mau mengakuinya.

Aya Otonashi sudah yakin dengan kesimpulan kalau mengambil ‘box’ dariku adalah mustahil.

Lagi pula, mudah untuk menghentikan ‘Rejecting Classroom’ segera setelah kau menemukan tersangkanya. Hal itu dilakukan agar dia mendapatkan ‘box’ yang sudah diulanginya 20.000 kali.

Jadi…apa yang harus dia lakukan?

Bukankah itu sudah jelas?


Perutku melayang-layang saat aku tertabrak oleh truk. Itu benar-benar terlihat komikal untukku melihat kaki kananku berada di tempat yang jauh dariku. Entah kenapa, aku tertawa.

“Jadi selesai di sini…”

Aku «terbunuh». Aku membiarkan diriku terbunuh.

“27.753 kali pengulangan yang tidak berguna. Jadi kali ini usahaku berakhir dengan sia-sia? Aku harus… aku harus mengakui kalau aku pun sudah lelah sekarang.”

Lebih tepatnya, aku belum mati. Tapi terbaring di kubangan darahku, aku tahu. Aku akan mati. Tidak ada bantuan apa pun untukku. Dan jelas sekali aku sudah terbunuh olehnya.

“Ugh…! Aku sudah menghabiskan banyak waktu dan apa yang kudapatkan hanyalah ini. Aku tidak pernah membenci ketidakmampuanku lebih dari ini…!”

Dia bergumam dengan rasa menyesal.

“…Lupakan saja. Karena aku tidak bisa mendapatkan ‘box’ di sini, aku cukup mencari yang lainnya.”

Mata Aya Otonashi tidak lagi menuduhku. Tidak, tentunya mata itu tidak pernah menuduhku.

Dari awal sampai akhir Aya Otonashi hanya melihat ‘box’ yang berada padaku.

Apakah ini akan yang dikatakan «ketidakadaan»? Tidak, tidak akan. Kalau ‘box’ bernama ‘The Rejecting Classroom’ ada di dalam tubuhku, maka hal itu akan remuk bersama kematianku. Dan seperti dagingku tertabrak truk, ‘box’ ini sudah dihancurkan.

Hal itu tidak akan terulang kembali.

Aah, benar-benar ironis. Kalau ini adalah satu-satunya cara mengakhiri ‘Rejecting Classroom’, maka kematianlah satu-satunya yang sudah dipastikan sejak awal. Well, sebenarnya ini kosong. Dunia ini adalah—dunia setelah kematianku.

Tetapi dengan ini, pertarungan kami sudah berakhir.

Itu hanyalah pertarungan tidak seimbang tanpa kejutan, tetapi akhirnya harus berakhir di sini.


Yeah…itulah yang kauyakini. Benar, 'kan, Otonashi-san?


Kau sangat kasihan. Aku merasakannya dari lubuk hatiku yang paling dalam, Otonashi-san!

Kupikir karena kau salah mengira aku selama ini. Kalau tidak, kau tidak akan membuat suatu kesalahpahaman seperti ini.

Karena itu waktu yang terbuang ini terus terjadi.

Dengar, Otonashi-san. Seharusnya ini lebih mudah kalau kau sudah memikirkan tentang hal itu. Tidak mungkin kalau orang biasa sepertiku bisa menjadi «Tokoh utama».

Aku ingin memberitahunya, tapi itu sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Aku bahkan tidak bisa menggerakkan mulutku.

Kesadaranku memudar. Aku mati.

Lalu—tidak ada yang berakhir.


Balik ke Ke-5,232 kali Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Selingan