Madan no Ou to Vanadis (Bahasa Indonesia) :Volume 1 Chapter 3

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Chapter 3 - Undangan Vanadis dan Doa Pelayan[edit]

Tigre dipanggil oleh Ellen keesokan paginya.

Setelah peristiwa semalam, dia langsung kembali ke kamarnya.

Ketika dipandu oleh Lim, Tigre berbicara dengan sedikit malu, sambil mengacak rambut merahnya.

“... Masih begini.”

Dia melihat sekitar karena gelisah. Prajurit, pegawai, dan pelayan yang melintas, semuanya melihat Tigre dengan aneh.

Entah karena kagum atau tertarik, Tigre tidak bisa membedakannya. Tigre belum pernah dilihat seperti ini sebelumnya, makanya dia sedikit bingung,

“Kenapa semuanya memperhatikanku?”

Karena sudah tak tahan lagi, Tigre bertanya kepada Lim. Dia menoleh sedikit dan melihat Tigre dari samping, kemudian menanggapinya dengan datar.

“Eleanora-sama akan menjelaskannya.”

--- Biarlah, sebentar lagi aku akan tahu.

Tak lama, Lim berhenti di depan sebuah pintu.

“Eleanora-sama, saya membawa Earl Vorn kemari.”

Dia mengatakannya setelah mengetuk pintu, sebuah balasan “masuk” langsung mereka dengar.

Lim membuka pintu dan mengatakan pada Tigre untuk tetap mengikutinya.

Mereka berada di sebuah kantor.

Meski ruangannya kecil, permadani yang sangat indah membentang di atas lantai. Tempat lilin, meja dan kursi terbuat terbuat dari emas dan rajutan rotan. Jendelanya juga lebar.

“Tunggu sebentar, aku akan menyelesaikannya segera.”

Ellen kembali duduk, pena miliknya menari-nari di atas dokumen.

Dokumen menggunung di samping meja, dan kelihatannya sudah selesai dikerjakan. Tigre terlihat kagum menyaksikannya.

Terdapat dua bendera di belakang Ellen.

Yang satu adalah ZirnitraBendera Naga Hitam, simbol kerajaan Zhcted.

Yang satu lagi, bendera dengan simbol pedang perak di atas latar hitam, ini adalah bendera Ellen. Tigre ingat pernah melihat bendera ini saat pertempuran di Dataran Dinant.

Di bawah bendera, pedang yang masih terbungkus pada sarungnya bersandar pada dinding. Pedang tersebut diletakkan pada posisi di mana Ellen bisa dengan mudah menjangkaunya.

Ellen terus melihat dokumen dan tiba-tiba mengerutkan alisnya.

Kelihatannya dia salah menuliskan sesuatu. Ellen meremukkan kertas tersebut dan kemudian melemparkannya ke keranjang sampah yang terletak di sudut ruangan.

Kertas tersebut jatuh di atas lantai tepat di samping keranjang.

Ellen terus melihat kertas tersebut, mungkin kesal, atau mungkin dia tidak memikirkan apa-apa.

Tigre tidak mengerti kenapa ekspresi Ellen seperti itu. Ellen kemudian memandangi dokumen lainnya, ekspresinya sulit ditebak. Lim mengambil kertas tersebut.

“Kertas merupakan sumber daya berharga, mohon jangan disia-siakan.”

Ellen ditegur seperti anak kecil. Ellen kembali mengerjakan dokumennya dan menyelesaikan tugasnya dengan cepat.

“Apa kali ini memakan banyak waktu untuk membangunkannya?”

“Tidak, dia sudah bangun ketika saya memanggilnya.”

Lim menjawab. Tigre dengan canggung memalingkan matanya.

Sebenarnya, dia langsung turun dari tempat tidur pada saat Lim berdiri di depan pintu.

— Perasaan yang sama... seperti berhadapan dengan binatang buas ketika berburu di hutan atau gunung pada malam hari. Aku merasakan kehadiran binatang buas yang berbahaya.

Bisa dikatakan, insting Tigre mengatakan Lim sebagai mahluk yang berbahaya. Jelas dia tidak bisa mengatakannya, oleh karena itu Tigre memilih diam.

“Apa kau mulai sadar posisimu sebagai tawanan perang?”

Ellen berdiri, tertawa seperti anak kecil, mengambil pedang, Ellen kemudian berjalan menuju depan meja sambil menghadap Tigre.

“Aku mohon maaf untuk yang kemarin.”

Ellen menundukkan kepalanya dengan serius, sampai mengagetkan Tigre. Tigre melihat ke arah Lim yang memilih diam. Sepertinya Lim mengatakan tidak apa-apa.

“Apa maksudmu?”

“Busur yang kami berikan padamu, aku tak menyangka mereka memberikanmu busur yang buruk.”

— Sudah kuduga.

Meski merasa sedikit lega, dia sama sekali tak menyangka dengan kata-kata yang akan didengar selanjutnya.

“Tiga orang yang melakukannya, akan di eksekusi—”

“Apa?! Mohon tunggu sebentar.”

Tigre segera memotong perkataan Ellen dengan tergesa.

“Memang, mereka melakukan trik rendahan. Tapi apa tidak terlalu berlebihan?”

“Perbuatan mereka... Apa kau tidak marah?”

Ellen melihat Tigre dengan rasa penasaran.

“Mereka menertawakanmu di hadapan orang banyak, dan mencoba untuk mempermalukanmu. Mereka akan menebusnya dengan kematian mereka.”

— Terlalu berlebihan.

Memang Tigre marah pada saat itu.

Hanya saja, saat dia menatap mata Ellen, dia tidak bisa mengatakannya. Tigre sama sekali merasa tidak enak kalau mereka mati hanya karena masalah ini.

“Apa kau mengizinkanku untuk memaafkan mereka?”

Ellen sebenarnya merasa kurang puas, meskipun dia tidak menolaknya.

“Bila kau menginginkannya, baiklah. Kejadian kemarin tak akan terulang lagi.”

Roknya bergoyang ketika Ellen berbalik menghadap bingkai jendela dan duduk di situ. Ellen memegang pedangnya serta duduk sambil menyilangkan kaki.

matanya ditarik oleh paha indah milik Ellen. Tigre memandanginya dengan sadar.

Tigre memandangi rok Ellen, setelahnya Tigre menatap lebih ke atas, perut Ellen. Tigre tidak punya keberanian untuk menatap dada Ellen — bagaimana, dia tetap seorang tawanan perang di wilayah musuh.

Tigre melihat lebih ke atas. Wajah polos sedang menatapnya.

“Ceritanya, mengapa menyuruhku melakukan demonstrasi seperti kemarin?”

“Benar juga, aku belum mengatakannya... Lim.”

Namanya dipanggil. Iris matanya yang berwana biru, terlihat malas menanggapinya dengan ekspresi kurang bersahabat.

“Banyak prajurit, termasuk saya, yang mengutarakan rasa keberatan kami kepada jendral dan pimpinan kami — Eleanora-sama, yang belum pernah sekalipun membawa tawanan perang dari sekian banyak ekspedisi, memutuskan untuk menahanmu.”

“Jadi aku tawanan perang pertamamu?”

“Ya, karena hal tersebut, rumor konyol berkembang di antara para prajurit.”

“Rumor?”

“Ya, rumor kalau aku jatuh cinta padamu, pada pandangan pertama.”

“Cinta di medan perang, cinta yang tumbuh di antara musuh... seperti yang terjadi pada kisah roman. Semua menikmati obrolan mengenai hal tersebut. Yah, mereka tidak sepenuhnya salah. Mungkin kurang tepat jika dikatakan cinta, tapi aku jelas terpesona melihatmu.”

“Kau terpesona... olehku?”

“Kemampuanmu menggunakan busur. Sayang sekali bukan karena dirimu.”

Ellen mengatakannya dengan senyum berseri, Tigre hanya bisa mengangkat bahu untuk mengembalikan lelucon tadi.

“Terima kasih, rasanya malu sekali karena kita belum pernah berbicara sebelumnya.”

“Apa wanita sepertiku tidak bisa jatuh cinta tanpa berbicara denganmu sebelumnya.”

“Butuh waktu untuk melihat sisi baikku.”

“Meskipun kebiasaan tidurmu bisa langsung dikenali.”

Lim menyerang langsung kelemahan Tigre. Ellen tanpa ampun terus menekan Tigre.

“Jadi, sampai saat ini sudah berapa kali kau jatuh cinta dengan wanita?”

Tigre langsung menyerah dan mengangkat tangannya.

Dia tidak punya alasan untuk bertemu dengan putri cantik seorang bangsawan, kecuali jika dia seorang yang sangat tampan atau bangsawan yang kaya. Hal itu mustahil baginya.

“Singkatnya, banyak prajurit yang berlebihan menanggapi rumor tersebut, jadi kami berharap bisa menghentikan rumor tersebut langsung pada sumbernya.”

Ellen melihat Lim dengan pandangan menggoda, seperti kucing yang mempermainkan tikus.

“Saya hanya mengatakan kalau itu hanya rumor.”

Ekspresi Lim tidak berubah, tapi dia menangkap pandangan Ellen dan mengatakan.

“Saya hanya perlu meminta orang yang bersangkutan muncul keluar. Saya rasa cara paling ampun untuk membungkam mereka dengan memperlihatkan kemampuanmu kepada mereka. Ternyata hasilnya lebih baik dari perkiraan.”

“Kau hanya perlu mengatakannya padaku sebelumnya.”

“Tidak apa-apa kan, karena hasil telah berbicara. Apa ada keharusan untuk mengatakannya padamu? Kau tahanan yang kuambil dari Dinant untuk uang tebusan. Tentu saja, karena kebaikanku kau bisa bertahan hidup, kau benar-benar menghibur diriku.”

“Aku menghiburmu?”

Tigre mengerutkan alisnya mendengar perkataan yang tak terduga. Ellen mengangguk, wajahnya menunjukan ketulusan.

“Pada awalnya, pertarungan itu buruk sekali, benar-benar mengecewakan.”

Wajahnya memperlihatkan rasa kecewa. Saat Ellen mengeluarkan kata tersebut, angin bertiup dari luar jendela, membelai rambut peraknya dengan lembut.

“Kami membawa lima ribu pasukan, kalian memiliki lima kali pasukan kami, dua puluh lima ribu pasukan. Sebelum memasuki peperangan, aku menggeluarkan seluruh pengetahuanku untuk mempersiapkan berbagai strategi, karena aku menganggap ini pertarungan yang berat. Tetapi pada akhirnya, pertarungan berakhir hanya dalam setengah hari.”

“Bukannya bagus jika bisa menang dengan mudah.”

“Lim juga berkata demikian.”

Tigre menyadari Lim menatap Ellen dengan setengah marah, kemudian melihat ke arah lain.

“Aku juga berpikir tidak ada salahnya dengan kemenangan mudah, hanya saja kami menang hanya dengan rencana pertama, benar-benar membosankan.”

“Rencana pertama, begitu ya, serangan kejutan dari belakang saat fajar.”

Sebuah konfirmasi, dibandingkan dari pada pertanyaan. Walaupun Tigre menilainya seperti itu, tapi dia sendiri tidak melihat peperangan secara keseluruhan.

Ellen menganggukkan kepala.

“Aku mengamati area di sana sebelumnya. Pasukan Brune dibagi menjadi barisan belakang dan depan. Walaupun moral pasukan depan cukup tinggi, moral pasukan belakang tidak demikian. Aku menarik perhatian pasukan depan dengan mengirim empat ribu pasukan, dan menyerang dari belakan dengan sisanya. Ternyata lebih rapuh dari dugaanku, Kematian Pangeran kuanggap sebagai bonus.”

“Yang Mulia tewas?”

Tigre bertanya secara spontan, karena dia baru mendengar berita ini.

“Apa kalian akrab?”

“Mustahil.”

Tigre menggelengkan kepalanya setelah menenangkan diri.

“Dahulu aku pernah berbicara padanya, tapi itu saja.”

Sebagai Earl yang tinggal di perbatasan kerajaan, mustahil baginya untuk menjalin hubungan akrab dengan Pangeran. Tigre hanya sekedar kaget.

Jika dilihat dari jauh, Pangeran terkesan lembut.

Dia tidak cocok berperang.

“Apa kau menyimpan dendam padaku?”

Karena Ellen bertanya sambil menatap Tigre dengan jujur, Tigre juga menjawab dengan jujur.

“Bohong kalau aku tidak marah, tapi apa boleh buat, beginilah medan perang. Aku juga membunuh prajurit Zhcted.”

Tapi, mungkin Tigre tidak bisa bersikap tenang seperti ini kalau dia mendengar kabar kematian Massas atau Bartan.

— Meskipun aku aristokrat dari Brune, ternyata kesetiaanku tidak terlalu kuat terhadap keluarga kerajaan.

“Begitu.”

Ellen terlihat sedikit lega sambil menghela nafas.

“Kita lanjutkan cerita kita. Begitu berita kematian Pangeran tersebar, barisan depan runtuh, mereka mulai melarikan diri, dan kami langsung menyapu mereka. Benar-benar mengecewakan.”

Tigre tidak mengerti apa yang membuat Ellen kecewa, tapi dia berpikir Ellen sangat egois. Meski begitu, dia tetap menganggukkan kepala.

“Pada saat itulah, aku bertemu denganmu.”

Sepasang mata merah menatap Tigre dengan lembut.

“Aku sangat takjub melihatmu bisa melepaskan panah dengan akurat dari jarak tiga ratus alsin... dalam situasi di mana rekanmu terbunuh atau melarikan diri, kau mempertahankan semangat untuk bertempur, kau sangat tenang dan bertindak tanpa keputus-asaan. Aku terkejut kau benar-benar mencoba untuk membunuhku. Serius, aku sangat menyukainya.”

Lim menghela nafas setelah mendengarnya.

“Meski begitu, mohon jangan gegabah dengan maju seorang diri.”

“Tapi akan lebih berbahaya jika kita tidak mendekatinya, kan? Kita beruntung dia hanya memiliki empat anak panah.”

“Saya setuju, tapi itu bukan tugas anda, Eleanora-sama.”

Lim menolak protes Ellen dengan ketus.

Vanadis berambut perak melihat Tigre untuk meminta dukungan.

“Jika orang selain aku yang maju, apa kau yakin mereka akan selamat?”

— Ekspresinya berubah total.

Selama pertarungan tersebut, Tigre melihat Ellen sebagai panglima yang bersahaja. Sampai saat ini, ekspresi Ellen terlihat seperti anak kecil, dan sekarang dia seakan mencari rekan untuk berbuat iseng.

“Apa ini benar-benar situasi untuk mengatakannya?”

“Anak panah yang kau lepaskan sangat mematikan. Aku rasa kau bisa membanggakannya.”

“Kalau kau yang mengatakannya, rasanya seperti sarkasme.”

Jika Ellen yang mengatakannya, terdengar seperti menyindir Tigre. Tapi jika Tigre yang mengatakannya, akan terdengar seperti menyindir Lim. Lim sendiri diam seribu bahasa, meskipun Tigre sedang melihatnya, Lim mengabaikannya. Tidak mengerti mengapa, Tigre kembali melihat Ellen.

“Saat kau menerjang maju ke arahku, apa yang akan kulakukan tidak berubah. Aku hanya membidikmu dan menembak. Meskipun aku sama sekali tidak bergerak, anak panahku seharusnya menjangkaumu. Inilah mengapa hasilnya tidak akan berubah, saat itu benar-benar kekalahanku.”

“Jujur sekali mengakui kekalahanmu.”

“Kau menepis anak panah dengan pedang, baru pertama kali aku melihatnya. Aku kira hanya pahlawan dari dalam legenda yang bisa melakukannya.”

“Anak panahmu dengan akurat mengenai kepala kuda yang ditunggangi Lim, aku hanya berpikir kau akan mengincar kepalaku juga.”

Meskipun Ellen yang keluar sebagai pemenang, sikapnya sama sekali tidak seperti itu. Dengan lembut Ellen membelai pedang yang digenggamnya.

“Saat aku menepis panahmu, jantungku berdebar kencang. Ketika kau melepaskan panah kedua, aku hanya bisa mengagumi kemampuanmu yang mampu melepaskan panah dengan akurat di tempat yang sama dalam sekejab, aku benar-benar terpukau, jika kau memiliki anak panah ketiga, kau mungkin bisa membunuhku karena jarak kita semakin mengecil.”

Ellen mengambil nafas panjang, kerongkongannya mulai kering.

Lim menuangkan air ke dalam cangkir keramik yang berada di atas meja dan menyuguhkannya kepada Ellen. Ellen kemudian meminumnya dengan sekali tegak dan kembali menghadap Tigre.

“Aku berpikir rasanya sayang sekali jika harus membunuhmu. Karena aku tidak suka berbicara dengan santai di medan perang, aku membawamu ke LeitzMeritz untuk bernegosiasi.”

Ellen yang duduk menyilangkan kakinya, kini berdiri di atas lantai. Tersenyum, mata ruby Ellen menatap langsung Tigre.

“Mengabdilah kepadaku.”

Saat ini, Tigre melihat Ellen dengan ekspresi terkejut.

“Aku akan memperlakukanmu seperti Earl di Kerajaan Brune. Kau akan mendapatkan penghasilan dan gelar yang pantas, meskipun aku tidak bisa memberikanmu tanah, tapi itu bisa berubah sesuai kinerjamu. Kau juga bisa mendapatkan gelar yang lebih tinggi. Tidak seperti di Brune, kemampuan dan pengabdianmu tidak akan mendapat diskriminasi.”

Madan no Ou to Vanadis Volume 01 - 088.jpg

“...Kau serius?”

Proposal yang sangat menggoda, bahkan sulit untuk dipercaya.

Karena pengaruh tensi tinggi ditambah gairah, wajahnya memerah seketika.

Telapak tangannya penuh keringat, jantungnya berdetak kencang.

Meski sedikit, Ellen meminta persetujuan Tigre sambil menundukkan kepalanya.

“Aku menginginkanmu.”

Wajah Tigre makin bertambah merah, dia memainkan rambutnya untuk menutupinya.

Tidak ada tanda kebohongan dalam kata-kata Ellen.

Terlalu runyam untuk sebuah kebohongan.

— Di Brune, jangan berharap untuk mendapatkan perlakuan seperti ini.

Di kerajaan tersebut, ada kebencian terhadap busur, dan itulah masalahnya. Dalam peperangan menghadapi negara lain, aristokrat yang terdiri dari berbagai pemanah diwajibkan untuk berpartisipasi.

Tidak bisa ditawar lagi.

Namun apabila perang telah berakhir, tak ada satupun kata apresiasi yang diberikan, apalagi hadiah.

“Jauh di luar jangkauan pedang atau tombak musuh, kau bisa melepaskan anak panah. Dibandingkan dengan prajurit yang bertarung dalam jarak dekat, apa lagi yang bisa kau perbuat?”

Aristokrat yang mengatur satuan pemanah tidak bisa membalikkan situasi tadi.

Apa lagi yang bisa Tigre, seorang aristokrat kecil, lakukan?

Tapi semuanya berbeda di Kerajaan ini.

Setidaknya Ellen, menilainya cukup adil.

Bagi seorang pemanah, inilah yang diinginkan.

“Aku menolak.”

Akan tetapi, itulah jawaban dari Tigre.

“Aku sangat berterima kasih atas ajakannya. Aku bahkan ragu akan mendapatkan penawaran seperti tadi, bahkan jika aku hidup sampai satu abad mendatang.”

“Kalau begitu kenapa menolak tawaranku?”

Ellen tidak menunjukkan kekecewaan, dia hanya bertanya alasannya.

“Ada tempat yang harus aku lindungi, tempat di mana aku harus kembali.”

Tigre mengatakannya dengan tegas.

“Alsace, tanah yang diwariskan oleh ayahku. Jauh dari ibu kota kerajaan dan letaknya diantara hutan dan pegunungan. Hanya ada empat desa dan satu kota kecil... hanya saja, aku tidak bisa membuangnya begitu saja.”

“Alsace?”

Mendengar kata tersebut, alis mata Ellen sedikit mengkerut.

“Bukankah wilayah tersebut berbatasan langsung dengan tempat ini?”

“Dan hanya dipisahkan oleh pegunungan.”

Tigre menambahkannya. Ellen sekali lagi duduk di bingkai jendela.

“Semangatmu layak di puji, tapi apa kau tidak memikirkan masa depan?”

Ellen berbicara, ekspresinya sulit ditebak.

“Di sinilah dirimu sekarang, dan kau bisa menjalani hidup yang lebih baik... akan tetapi, apabila uang tebusan tidak dibayarkan sampai batas waktu yang ditentukan, aku akan menjualmu ke saudagar dari Muozinel.”

Keringat dingin mengucur dari kening Tigre.

Muozinel adalah kerajaan panas yang terletak di sebelah tenggara Brune atau sebelah selatan dari Zhcted.

Penduduknya berkulit gelap, kerajaannya berdiri seratus tahun setelah Brune dan Zhcted.

Jika tebusan tidak dibayarkan, untuk mendapatkan uang, tawanan perang biasanya dijual ke Muozinel. Ini merupakan metode yang cukup teruji.

“Sekarang kau mengerti. Meski begitu, apa kau sudah siap menjalani hidup menyedihkan?”

“Kalau, kalau tebusannya tidak dibayarkan, kuserahkan semuanya padamu.”

Meski berdiri tegak, suaranya tetap bergetar.

“Ah? semalam, bukannya kau meminta negosiasi untuk mengurangi uang tebusan. Melihat itu, aku rasa kau sudah bersiap, bahkan untuk mati. Aku pikir rasanya sayang sekali membiarkan lelaki pemberani menemui ajalnya dengan cara menyedihkan. Aku cukup terkejut.”

Percaya dengan keunggulannya, dengan tangan bersilang sambil menggenggam pedangnya. Ellen menatap Tigre dengan tajam. Tigre kesulitan untuk menjawabnya.

“... Bahkan cukup sulit untuk sekedar berpura-pura menunduk dan melihat peluang untuk kabur.”

Lim, yang menahan diri untuk ikut campur, hanya melihat dengan diam.

Meskipun Tigre sudah lelah menghadapi serangan Ellen, ekspresi Ellen kali ini tidak biasa saat dia melihat ke arah Lim sambil beberapa kali mengejabkan mata. Setelahnya Ellen hanya diam sambil mengangkat bahunya.

Lim melihat Ellen sambil bertanya-tanya untuk sesaat, tapi tidak mengatakan apa-apa.

“Kejadian kemarin, apa sudah dengar kelanjutannya?”

Ketika ditanya, Tigre mengingat-ingat sebentar.

“Kemarin, siapa orang yang kutembak?”

“Assassin yang mengincar nyawaku.”

Mulutnya ternganga mendengar Ellen mengatakannya dengan santai.

“Tidak ada yang aneh. Mereka selalu muncul tiap bulan, aku sudah cukup bosan berurusan dengan mereka.”

“Kau bosan dengan seorang assassin...”

Melihat sikap santai Ellen, berarti memang sudah rutin terjadi. Ellen berbicara seakan kejadian seperti ini seperti menanggapi lolongan binatang buas atau suara dari serangga.

Lucu sekali jika melihat bagaimana ketegangan yang Tigre rasakan kemarin.

“Akan tetapi, kemarin itu memang cukup berbahaya. Aku ingin mengungkapkan rasa terima kasihku.”

“Siapa yang mengirimnya?”

“Dia melakukan bunuh diri setelahnya, jadi kami tidak tahu. Setelah yang kau lakukan untuk menangkapnya dalam keadaan hidup, inilah yang terjadi. Maaf.”

“Bukan masalah besar, tapi benar tidak mengapa? Maksudku bagaimana dengan identitas rekannya?”

Kaget mendengar ucapan Tigre, mata merah Ellen sempat berkedip beberapa kali. Kemudian mengeluarkan senyuman manis setelahnya.

“Hou, manis sekali.”

“Bukan... itu sama sekali tidak ada hubungannya denganku, tapi itu musuhmu...”

Tigre tersipu dan terpesona oleh senyuman tersebut. Dalam kebingungan, Tigre mencoba kembali ke pembicaraan sebelumnya.

“Meskipun begitu, ada lebih dari satu atau dua. Kekuatan seorang Vanadis hak istimewa untuk seorang raja, kekuatan yang sangat besar. Bukan berarti aku menebar dendam pada tiap orang.”

— Keberanian? Atau keteguhan hati... ini cukup serius.

Tigre menyuarakan kekagumannya. Jika yang bersangkutan berkata demikian, Tigre tidak akan mempermasalahkannya lagi.

“Di saat terakhir, panah pembunuh bayaran tersebut, mengapa tidak mengenaimu?”

“Kenapa ya?”

Ellen bertingkah manis dengan pura-pura tidak tahu.

“Seharusnya kau mengerti setelah melihatnya, untungnya angin yang membelokkan panah tersebut.”

“Kalau begitu, Arifal, apa itu suatu mantra untuk mengubah pergerakan angin?”

Tigre mendengarnya dengan jelas, walaupun dia menatap mata Ellen, Ellen sendiri tidak bergeming ataupun menunjukkan rasa khawatir.

“Kalau memang tertarik, cari tahu saja sendiri. Aku bukan guru baik yang sabar menghadapi murid yang bodoh.”

“... Apa kau memberikanku kebebasan untuk bergerak?”

“Menyusahkan kalau kau sampai stress karena berada di kamar sepanjang hari. Aku mengizinkanmu bergerak di sini, selama ada yang menemanimu. Hanya saja, kalau kau mendekati dinding pembatas kastil ini, tindakan tersebut akan kuanggap sebagai percobaan kabur. Ada lagi?”

Tigre menggelengkan kepalanya. Melihat situasinya sekarang, hanya tersisa nasib yang menyedihkan jika dia mencoba kabur, tapi jika dia tetap di sini, setidaknya dia tidak dikurung.

“Baiklah, kalau begitu kau bisa kembali ke kamarmu.”


Tigre keluar dari ruangan Ellen, berjalan mengikuti Lim.

“Apa kau yang akan mengantarkanku?”

“Tidak, saya harus berbicara dengan Eleanora-sama. Jadi kau akan ditemani orang lain.”

Lim menjawab pertanyaannya dengan wajah ketus.

“Tolong katakan, mengapa menolak tawaran dari Eleanora-sama, meski hanya berpura-pura?”

Mata biru Lim melihat Tigre dengan heran. Tigre menjawab pertanyaan tersebut dengan serius.

“Jika melakukannya, berarti aku mengkhianati Alsace. Dan aku juga mengkhianati Vanadis.”

“Kau hanya seorang tahanan. Eleanora-sama merupakan musuhmu. Itu tidak akan dianggap sebagai pengkhianatan.”

“Tetap saja, itu berarti aku membohonginya.”

Tigre Cuma bisa mengangkat bahunya.

“Dia terlihat tulus dengan ajakannya. Berarti aku juga harus menjawabnya dengan jujur.”

“Begitu.”

Keraguan sudah terhapus dari iris mata biru milik Lim, dan berganti dengan ekspresi lain.

Lim memanggil prajurit yang sedang berjaga dan memerintahkannya untuk mengantarkan Tigre ke kamarnya, kemudian kembali ke ruangan Ellen.

Ellen duduk di hadapan meja, sedang menuangkan air ke cangkirnya.

“Tuan Tigrevurmund sedang diantar ke kamarnya.”

“Kerja bagus.”

Setelah minum sedikit, Ellen memberikan kata apresiasi. Tanpa bermaksud memberikan teguran, Lim bertanya kepada Ellen.

“Benarkah tidak masalah membiarkannya bergerak bebas?”

Dari alis matanya terlihat keraguan Lim. Ellen hanya melihat wajah tanpa ekspresi ajudannya.

“Hanya sebatas tempat-tempat umum, apa ada masalah?”

“Alsace merupakan teritorialnya, yang berbatasan langsung dengan pegunungan. Mungkin saja dia mencoba kabur dari sini.”

Lim tidak berpikir kalau Tigre akan mencoba kabur.

— Hanya saja, orang lain mungkin tidak berpikir demikian.

Dari pembicaraannya dengan Ellen, Lim tidak berpikir kalau Tigre akan mencoba kabur. Jika tidak ada hal lain, dia pikir Tigre hanya akan diam.

Hanya saja, mustahil untuk memprediksi masa depan.

“Memang Alsace berbatasan langsung dengan wilayah kita, bukan berarti jaraknya cukup dekat hingga bisa dilalui dalam satu atau dua hari. Lagipula dia tidak tahu kondisi geografis wilayah ini.”

“Ketika dia menjadi tawanan, saat bergerak dari Dinant menuju kastil ini, tiap malam dia terus menatap langit sampai dia tertidur... sepertinya dia melihat bintang.”

“Jadi dia menatapa bintang, apa dia juga menulis puisi?”

Ellen tertawa sekaligus menggoda Lim. Dia sendiri paham apa yang ingin disampaikan Lim.

Dengan melihat bintang setiap malam, dia bisa memastikan di mana posisinya sekarang.

“Jika dia melihat peta, dia bisa dengan mudah menemukan jalan pulang.”

“walaupun kau mengatakan dia bisa kabur dengan mudah, bukannya itu masalah? Tidak semudah itu menyelinap keluar dari kastil ini, dan walaupun dia bisa bergerak bebas, tetap ada yang mengawasinya.”

“Anggaplah dia bisa lolos dari pengawasan, setelahnya?”

Seluruh kota ini dikelilingi oleh dinding. Jika dia berhasil menyelinap keluar, kita akan langsung menutup gerbang.

“Jika dia berhasil melewati gerbang?”

“... Meski begitu, setidaknya perlu waktu sepuluh hari untuk berjalan menuju Pegunungan Vosyes. Ditambah lagi, hanya ada satu jalan untuk melintasi pegunungan curam tersebut. Meskipun dia berhasil melewati gerbang, kita hanya perlu menutup jalan tersebut. Aku tidak bisa membayangkan dia mampu melakukan semua itu.”

Lim belum mau menyerah, meskipun Ellen sudah menjelaskannya sejauh itu.

Dia tidak menyukai sikap santai Ellen.

“Akan tetapi, Dia sedang memikirkan tanahnya, anda tidak bisa mengatakan dia tidak akan berbuat nekat.”

“Singkatnya, kau mengatakan padaku untuk bersiap dengan kemungkinan terburuk. Jika kau memang begitu, akan kukatakan padamu, aku sudah siap untuk membunuhnya. Apa masih kurang?”

“Terima kasih banyak.”

Ellen sedang mengamati Lim, yang sedang menunduk cukup dalam.

“Ada apa?”

“Tidak, aku kira kau tidak menyukai Tigre... kesan pertamamu terhadapnya memang tidak mengenakkan. Hanya saja, aku tidak merasakan kebencian yang dalam. Aku rasa sekarang tidak seburuk itu.”

“...”

Lim tidak menjawabnya. Persis seperti yang dikatakan Ellen, Lim sendiri sampai terkejut.

“Ada satu hal yang ingin saya tanyakan?”

Untuk mengganti topik pembicaraan, Lim mengatakan hal tersebut.

“Apa anda benar-benar serius ingin menjadikannya bawahan anda?”

“Apa kau kurang puas?”

“Memang, dia seorang pemanah yang luar biasa, tapi busur hanya berguna ketika mereka berkumpul. Bagaimana anda akan menggunakannya seorang diri, saya bahkan tidak dapat membayangkannya.”

Dalam peperangan, biasanya sekumpulan pemanah menyerang musuh yang mencoba mendekat dengan hujan anak panah.

Meskipun menembak musuh dari jarak jauh cukup ampuh. Pada dasarnya senjata yang digunakan dalam perang merupakan senjata seperti pedang yang memiliki jangkauan terbatas. Busur dan panah tidak dianggap sebagai kekuatan utama.

“Ingin mendengarnya?”

Ekspresi Ellen seperti anak kecil yang sedang memikirkan hal yang menyenangkan untuk bermain. Dia dengan bangga menjelaskannya.

“Kita mengirim seribu pasukan yang menjaganya sekaligus menyerang musuh.”

“Ya.”

“Ketika prajurit bertarung dengan musuh, dia bisa menembak dan membunuh panglima perang musuh. Jika waktunya tepat, mereka akan mundur. Dengan melakukan ini, bahkan jika menghadapi sepuluh ribu pasukan, dia bisa mengacaukan pasukan musuh. Prajurit tanpa panglima mereka bagai kumpulan domba tanpa gembala. Mereka bisa kita runtuhkan dengan sedikit pasukan.”

Bibir Ellen tersenyum, seakan dia sudah merasa menang.

“Apa anda serius mengatakannya?”

Meskipun ekspresi Lim tidak berubah, suaranya terdengar dingin yang bercampur dengan rasa heran. Ellen menghela nafas sekaligus menyilangkan tangannya.

“Di era manapun, inovasi taktik memang sulit untuk dimengerti.”

“Banyak juga taktik yang ditolak oleh para pendahulu kita karena adanya kekurangan fatal.”

“... Yah, aku hanya setengah bercanda.”

Tentu saja, Ellen mengindikasikan bahwa dia juga setengah serius. Ellen menatap Lim dari kursinya.

“Pertarunganku tidak selalu harus seperti peperangan di mana pasukan saling baku hantam. Ada juga saat di mana kemampuan individu sangat diperlukan. Lim, berapa jauh kau bisa menembakkan panah?”

“Paling jauh, seratus enam puluh alsin. Hanya saja, jika saya ingin melukai lawan, seratus alsin batasnya.”

“Dan bagaimana dengan pemanah terbaik di kastil ini?”

“Kalau begitu Rurick, rekor terbaiknya dua ratus tujuh puluh alsin.”

Rurick adalah orang yang menyerahkan busur dengan kualitas buruk kepada Tigre.

“Dengan kata lain, kemampuan Rurick masih dibawah Tigre.”

Dihadapkan dengan kenyataan pahit, Lim hanya terdiam.

Faktanya, dia sudah merasakan kemampuan Tigre saat pertempuran di Dinant.

Tigre melepaskan anak panah dari jarak yang cukup jauh bahkan Lim sendiri tidak menyadari keberadaannya. Dia terjatuh dari kudanya yang terbunuh, dan bisa saja dia yang terbunuh.

— Meskipun aku menyadarinya, aku tetap tidak bisa menangkis anak panah seperti yang dilakukan Eleanora-sama.

Kemampuan memanah dipandang sebelah mata di Brune, jadi aku sama sekali belum pernah mendengar ada orang dengan kemampuan seperti itu. Tunggu, bisa saja kemampuan terkubur karena mereka membenci kemampuan memanah. Tapi, aku serius ingin merekrut Tigre. Dia kuat, itu saja sudah cukup.”

“Tuan Tigrevurmund.”

“Tigre juga tidak apa-apa, yang bersangkutan juga menyetujuinya.”

”Tuan Tigrevurmund...”

Meski tajam, Lim mengatakannya dengan nada tegas.

“Mungkin Eleanora-sama menginginkan Alsace.”

“Benar juga, mungkin aku akan menyerang Alsace.”

Lim hanya bisa menghela nafas, karena pemimpinnya mengatakan hal yang mengerikan dengan santai.

Lebih jauh lagi, karena Ellen tersenyum, tidak jelas apa dia memang menginginkannya.

“Aku akan mengamati anak itu untuk saat ini. Aku ingin melihat reaksinya, karena tebusan tersebut tidak mungkin disiapkan dengan segera. Masih ada waktu, biarkan aku mengamatinya terlebih dahulu.”

“... Baiklah kalau begitu.”

Setelah menunduk memberi hormat, Lim keluar dari ruangan tersebut. Ellen mengambil pedangnya yang bersender pada dinding.

Ketika membelainya, angin sepoi-sepoi berhembus, pedang tersebut seakan merespon apa yang dilakukan Ellen.

“Cinta pada pandangan pertama... benarkah? Mustahil.”

Ellen tersenyum pahit ketika memikirkannya. Meletakkan pedangnya kembali ke dinding, Ellen kembali melanjutkan pekerjaannya.


Jauh di dalam hutan yang terbentang di sebelah barat, matahari mulai tampak terbenam.

“... Hari ini, Tigre-sama belum kembali.”

Berdiri di balkon di luar kamar Tigre, Teita menarik nafas panjang saat melihat langit yang mulai berwarna gelap kemerahan.

Di sini Alsace, bagian dari Kerajaan Brune, lebih tepatnya rumah Tigre.

Teita tinggal sendiri untuk mengurus rumah ini, dan sudah dua puluh hari berlalu.

Karena dia cepat menyelesaikan makan beserta membersihkan rumah ini, pekerjaan Teita biasanya selesai sebelum tengah hari. Di sini juga terdapat persediaan makanan, air, beserta alkohol.

Jadi jika Tigre kembali Teita langsung memberikan salam dengan memegang ujung roknya. Dalam keadaan kamar yang sudah bersih, ditambah dengan menyediakan makanan serta alkohol, dengan begitu Tigre bisa langsung santai.

Akan tetapi, Tigre belum kembali.

Tangannya yang memegang pembatas balkon, melihat matahari dan langit berwarna darah, Teita diserang oleh perasaan cemas. Apa mungkin Tigre-sama...

— Dia pasti masih hidup.

— Dia pasti akan kembali.

Pasukan Brune menerima kekalahan memalukan ditangan pasukan Zhcted. Sejak saat itu, beberapa petang telah berlalu, dan kabar tentang kematian Pangeran Regnas telah tersebar.

“Tidak apa-apa, Tigre-sama mengatakan cukup aman berada di barisan belakang.”

Meskipun dia mencoba untuk meyakinkan diri sendiri, kecemasannya tak kunjung hilang.

Tak lama berselang, matahari sudah terbenam. Tigre meninggalkan rumah Tigre dengan membawa lentera di tangannya.

Teita mengunci pintu sebelum pergi.

Rumah Tigre berada di jantung kota, Celesta. Meskipun disebut kota, besarnya sendiri tak jauh berbeda dengan sebuah desa.

Di bawah langit malam, Teita berjalan dengan tenang di kota dengan mengenakan kerudung. Teita bergerak dengan kerendahan hati, langkahnya kemudian berhenti di hadapan sebuah kuil kecil.

Ketika mengetuk pintu kayu, muncul seorang wanita tua, tubuhnya ditutupi oleh seragam penjaga kuil.

“Kau datang, Teita.”

“Mohon bimbingannya untuk hari ini juga.”

Ketika Teita membungkuk untuk memberikan salam, rambut berwarna kastanya yang diikat dua juga ikut bergoyang. Wanita penjaga kuil yang sudah tua tersenyum dan mengundang Teita untuk masuk.

Kuil yang cukup sederhana, hanya terdiri dari bebatuan dan kayu. Wanita tadi memandu Teita menuju sebuah ruangan kecil.

Di dalam ruangan tersebut terdapat ember yang berisi air yang sudah disucikan, beserta seragam penjaga kuil yang tipis, berwarna putih bagaikan salju.

Ketika wanita tersebut menutup pintu, Teita menanggalkan seragam pelayan yang dikenakannya.

Teita membuka ikatan apronnya, serta melepaskan pakaiannya.

Tubuhnya yang putih, bermandikan cahaya redup yang berasal dari lentera.

Meskipun tubuhnya tergolong kecil untuk usianya, tubuhnya cukup berkembang sebagai seorang wanita. Meskipun lengan dan kaki terlihat kokoh karena rutinitas sehar-hari, tetapi tetap mempertahankan kelembutan seorang wanita.

“...”

Tubuhnya menggigil karena udara dingin yang bergerak dalam ruangan ini.

Walaupun sudah melakukan ini tiap hari, Teita masih belum terbiasa menghadapinya.

Setelah melepaskan pakaian dalam, kondisi Teita sekarang seperti dirinya pada saat baru dilahirkan, yang tersisa hanya pita yang mengikat rambut kastanya miliknya.

Teita memeras air dari kain, kemudian mengusapkan tubuhnya dengan perlahan.

Wanita penjaga kuil mengenakan pakaian untuk kegiatan sehari-hari. Tidak seperti pakaian yang sekarang dikenakan Teita yang ditujukan untuk berdoa. Bahannya sangat tipis, bahkan cukup untuk memperlihatkan lekukan tubuhnya.

Pakaian ini cukup nyaman pada musim panas, udara sejuk mengenai tubuh Teita.

Teita meninggalkan ruangan ini, memeluk dirinya sendiri dengan erat.

Teita menghadap ke altar pada interior dalam kuil.

Altar tersebut berbentuk setengah lingkaran, sepuluh patung para Dewa tersusun mengikuti bentuk altar.

“Dewa di Surga.”

Berlutut di hadapan altar, Teita mengepalkan kedua tangannya sambil berdoa. Posisi badannya yang sempurna menunjukkan kalau dia telah menuntaskan latihan sebagai gadis penjaga kuil.

“Mohon berkati Tigre-sama dan pulangkan dia dengan selamat.”

Sejak Tigre meninggalkan Alsace, berdoa seperti ini menjadi rutinitas Teita.

Meskipun Teita merupakan putri dari penjaga kuil, dia kurang menyukai belajar membaca dan menulis di kuil, dan Teita juga tidak terlalu suka menyanyikan pujian untuk para Dewa.

Teita lebih memilih menghabiskan waktunya dengan seorang wanita yang bekerja sebagai pelayan di rumah seorang tuan tanah. Alasannya cukup sederhana, wanita itu selalu membuatkan permen untuk Teita.

Wanita tadi terlihat menikmati pekerjaannya, memasak, membersihkan rumah, menjahit, sesuatu yang cocok untuk Tieta.

Teita beberapa kali berkunjung ke rumah tersebut untuk mengunjungi wanita tersebut, dan di sanalah dia bertemu dengan Tigre.

Sebagai anak tunggal, Teita dan Tigre sering mengobrol satu sama lain.

Teita datang berkunjung setiap hari. Tanpa dia sadari, sudah menjadi tugasnya untuk membangunkan Tigre, yang suka tertidur hingga tengah hari.

“Tigre-sama, saya membantu bibi membuat kue. Anda ingin memakannya bersama saya?”

Teita menyediakan kue setengah mentah, setengah hangus yang dibuatnya.

Empat hari kemudian, Tigre kembali dari berburu dan memberikan Teita sebuah hadiah. “Sarung tangan ini terbuat dari kulit kelinci, Terima kasih, Teita.”

Apabila mengalami kesulitan dalam latihannya sebagai penjaga kuil, Teita mengeluh kepada Tigre.

Dia hanya bisa mengadu pada Tigre.

“Tigre, apakah belajar menjadi seorang tuan tanah sulit?”

“Tidak kok, aku ingin mengikuti jejak ayah sebagai anak satu-satunya.”


Teita melanjutkan latihannya sebagai penjaga kuil sambil melihat, bahkan sesekali membantu wanita tersebut bekerja. Ketika berumur sebelas tahun, Teita berbicara dengan ibunya.

“Saya tidak ingin menjadi penjaga kuil. Saya ingin menjadi pelayan di rumah tersebut.”

Seperti yang diduga, sang ibu menolak keras. Namun Tigre membantu untuk membujuk ibu Teita.

“Tidak mengapa kan? Jika Tieta tidak hanya fokus dengan tugasnya sebagai penjaga kuil.”

Permintaan dari anak seorang tuan tanah sulit untuk ditolak.

Dengan syarat, Teita harus menguasai pengetahuan dan sikap sebagai seorang penjaga kuil, termasuk tata cara berdoa, dan setiap sepuluh hari Teita harus kembali ke kuil untuk berdoa. Menerima syarat tersebut, Teita mulai bekerja sebagai pelayan pada musim panas.

Sebelumnya, Tieta memiliki perasaan samar terhadap Tigre. Selama musim panas itu, perasaan tersebut mulai terbentuk.


Setelah menyelesaikan doanya dan mengenakan kembali pakaian pelayannya, Teita keluar dari kuil.

Bulan keemasan bersinar terang, menyinari tanah yang dingin.

Meskipun berdoa setiap hari, Teita sendiri tidak terlalu yakin Dewa akan mendengarnya. Tapi setidaknya, kegelisahannya sedikit berkurang.

Sekarang Teita sudah merasa lebih baik.

“Aku kembali lagi besok.”

Teita bergegas ke rumah setalah mengatakannya pada diri sendiri.

Di bawah langit malam, dua bayangan hitam terlihat, Teita menghentikan langkahnya.

Teita melihat dua orang yang berdiri di depan pagar yang mengelilingi rumah.

Awalnya Teita sedikit waspada, akan tetapi Teita langsung menghampiri bayangan dengan gembira setelah mengetahui identitasnya.

“Bathran-san, Mashas-sama, selamat datang!”


Kandelar perunggu yang tergantung di dinding memancarkan cahaya. Teita memandu kedua orang tersebut ke ruang tamu. Teita membawakan air sementara teh sedang dipersiapkan.

“Teita, terima kasih.”

Pakaian Mashas dan Bathran terlihat kusam, penuh dengan tanah dan pasir, rambut mereka yang berwarna abu-abu terlihat acak bercampur keringat.

Sepertinya mereka kembali ke Celesta setelah Teita pergi ke kuil.

Bathran, dengan dana cadangan yang dititipkan Tigre, memberikan upah kepada prajurit. Setelahnya, mereka menunggu Teita kembali.

“Tujuh orang kita meninggal, tiga puluh terluka. Meskipun kita dihancurkan musuh, sebagian besar orang kita berhasil melarikan diri.”

Bathran tertawa dengan lemas.

“Tak perlu khawatir, kami sudah merawat mereka yang terluka dan menguburkan yang telah meninggal.”

Mashas mengatakan itu sambil melihat ke arah Bathran.

Teita menjadi cemas.

Mereka berdua, tidak menyebutkan nama Tigre. Sepertinya mereka menyimpan kabar buruk.

Tak sadar, posisi duduk Teita sedikit lebih maju.

“Bagaimana dengan Tigre-sama? Pasti...”

“Kematiannya... belum bisa dipastikan.”

Mashas, penuh dengan keringat, memberikan jawaban ambigu.

“Maafkan aku, Teita.”

Kepalanya tertunduk, air mata mengucur dari pipi Bathran yang sudah mengerut.

“Tuan muda ditangkap oleh musuh.”

Kedua tangannya menggenggam erat apron yang dikenakan, hal ini dilakukan untuk menahan diri.

“Tigre-sama tertangkap... apa maksudnya?”

“Aku akan menjelaskannya padamu.”

Melihat Bathran yang sangat menyesal, Mashas mulai membuka mulutnya. Eleanora, Vanadis dari Kerajaan Zhcted menuntut uang tebusan.

Sekali lagi, Teita hampir pingsan setelah mendengar jumlah tebusannya.

“Meskipun semua yang berada di sini dijual, mustahil mengumpulkan uang sebanyak itu!”

Jumlahnya kira-kira sebanyak pendapatan kota Alsace selama tiga tahun. Mereka mempunyai cadangan kurang lebih sebanyak satu tahun pendapatan kota Alsace, itupun berhasil dikumpulkan dalam waktu yang cukup lama.

Terlebih lagi, mereka tidak punya waktu.

Sudah sepuluh hari sejak Eleanora meminta tebusan yang ditujukan kepada Kerajaan Brune. Tersisa empat puluh hari lagi.

“Jika kita tidak bisa menyediakan uang tebusan, apa yang akan terjadi pada Tigre-sama?”

“... Beberapa tahanan, yang memiliki kemampuan, diwajibkan mengabdi kepada musuh. Banyak dari mereka yang menikah dengan wanita setempat dan menjalani hidup sebagai tahanan perang.”

Sebagian besar tahanan dijual ke negeri seberang, keberadaan mereka sudah tidak diketahui lagi setelahnya. Contoh yang diberikan Mashas sebenarnya cukup langka.

“Tidak mungkin!”

Teita berteriak dengan keras sambil memukul meja. Cangkir Mashas dan Bathran bergetar.

“Tidak mungkin, Tigre-sama tidak akan kembali! Dan menikahi wanita setempat...”

“B-bagaimanapun juga, itu hanya terjadi jika kita gagal menyediakan tebusan, setidaknya tidak akan terjadi sekarang.”

Kaget dengan sikap Teita yang menakutkan, Mashas memberikan beberapa tambahan.

“... Apa kita bisa mencurinya dari suatu tempat.”

Bathran berbicara dengan suara menakutkan.

“Um, bagaimana dengan Yang Mulia?”

Tanpa pikir panjang, Teita bertanya kepada Mashas.

“Apa Yang Mulia tidak akan menolong Tigre-sama?”

Mashas terdiam dengan muka cemberut. Inilah jawabannya.

Mashas ingin mengatakan sesuatu, tapi berat untuk mengatakannya.

Kerugian yang diderita sudah sangat besar. Lagipula, sebagai aristokrat dari Brune, penting bagi Mashas untuk menghadiri upacara pemakaman Pangeran Regnas.

Keheningan menyelimuti ruangan.

“... Begitu.”

Teita memecahkan keheningan.

“Saya akan berkeliling, ke kota dan desa untuk meminjam uang.”

Mendengar Teita yang penuh determinasi, kedua orang itu melihat Teita.

“Meskipun sekeping perak, atau bahkan perunggu, akan cukup banyak jika dikumpulkan. Tigre-sama sudah berbuat banyak selama dua tahun ini, beberapa orang pasti ingin membantu.”

Mashas mengangguk setuju.

“Baiklah. Kalau begitu, Teita, Bathran, aku akan mencari orang yang mungkin bisa kita andalkan.”

“Terima kasih banyak, Mashas-sama!”

Teita tersenyum dan menunduk cukup dalam.

Seolah melihat secercah harapan.

— Tigre-sama, bersabarlah. Saya akan menolong anda!




Kembali ke Chapter 2 Menuju ke Halaman Utama Lanjut ke Chapter 4