Oregairu (Indonesia):Jilid 7 Bab 9

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 9: Pernyataan cinta si pria dan si wanita tidak akan mencapai siapapun[edit]

Sinar lentera yang ditaruh zigzag itu tersebar di sepanjang jalur hutan bambunya.

Cahaya lenteranya yang redup dan putih dipantulkan oleh bambu lebat itu setiap jarak beberapa kaki. Setelah matahari senja terbenam ke bawah cakrawala, bulan yang terbit ke angkasa menerangi seluruh daerah di sekelilingnya dengan cahaya redupnya.

Jika kebaikan hati dapat dilihat dengan mata telanjang, maka inilah mungkin apa yang terlihat.

Pemandangan ini dipresentasikan dengan cara yang dramatis yang meliputi sebuah campuran kebetulan dan peluang. Pemandangannya dengan cantik terjalin bersama sampai-sampai tidak ada kata lain selain kebaikan hati untuk menyebutnya.

Ini adalah panggung yang disiapkan demi kepentingan pribadi Tobe.

Apa yang membuat ini mungkin terjadi adalah karena semua orang telah membuat kebohongan kecil.

Orang yang bertugas memanggil Ebina keluar adalah Yuigahama. Dia kemungkinan besar akan menggunakan alasan yang tidak masuk akal tapi perannya adalah untuk menuntun Ebina kemari.

Bahkan Ooka dan Yamato juga berbohong tentang sesuatu. Yaitu, niat mereka tidak murni. Daripada berada disini untuk mendukung teman mereka, mereka berada disini hanya untuk hiburan pribadi mereka tapi mereka sedang menahan diri mereka, terbukti dari ekspresi segan mereka.

Kalau tentang Miura yang tidak hadir, dia tidak diragukan lagi berpura-pura bertindak acuh tak acuh akan situasi sekarang ini; dia tidak akan mempertanyakannya, dia tidak akan mencoba menghentikannya, ataupun memperhatikannya.

Hayama tidak bisa mendukung temannya sekalipun dia menginginkannya. Meskipun demikian, dia masih berada disini.

Semua orang berbohong.

Tapi di dalam kelompok pembohong ini hanya ada satu orang yang tidak berbohong. Yukinoshita, dengan ekspresi yang lebih dingin dari biasanya, juga berada disini.

Kami semua sedang menunggu kedatangan Ebina di dalam interior terdalam hutan bambu ini.

Hayama, Ooka, dan Yamato diposisikan di sebuah tempat dimana mereka dapat mencegah gangguan. Tobe berulang kali menarik dan menghembuskan nafasnya sambil menatap di ujung lain jalurnya. Ketika aku memanggil Tobe, dia benar-benar kaku karena kegelisahannya terus berdiri sambil dengan bersemangat menunggu kedatangan Ebina.

“Tobe.”

“Hi-Hikitani… macam, ini buuuuruk. Aku gugup macam orang gila sekarang ini.”

Dia tersenyum dengan canggung.

“Hei, apa yang akan kamu lakukan jika dia menolakmu?”

“Ente tahu, mengatakan sesuatu seperti itu sebelum yang betulan agak sedikit kejam, ya? Ah, aku tidak merasa gugup lagi… Oh aku mengerti, apakah kamu sedang mengetesku lagi?”

“Terserah, jawab saja. Ebina akan datang sebentar lagi.”

Nadaku menandakan aku tidak tertarik berbasa-basi dan terdengar tak terduganya tegas. Ketika Tobe menangkap maksudku, ekspresinya mengeras.

“…Yah, Kalau begitu aku rasa aku akan menyerah.”

Pandangan Tobe terpaku pada jalur di depannya.

“Ente tahu, aku memiliki sifat santai ini benar? Jadi semua yang pernah kulakukan hanya berkumpul dengan orang-orang hanya karena sifat itu. Tapi kali ini aku super serius.”

Itu sudah cukup untukku hanya dengan mendengar kata-kata tersebut. Itulah mengapa aku bisa berkata padanya dengan nada yang tidak berbau kebohongan.

“…Oh, begitu. Kalau begitu, berusahalah yang terbaik sampai akhir.”

“Ooh! Aku tahu kamu itu pria yang hebat Hikitani!”

“Bukan begitu, idiot.”

Aku menepis tangan Tobe yang menepuk punggungku dan kembali ke posisi semulaku. Itu adalah tempat spesial kami yang tidak akan bisa terlihat oleh Ebina yang akan datang dari jalur yang melengkung itu.

Ketika aku kembali, Yuigahama dan Yukinoshita berbicara denganku.

“Hikki, rupanya masih ada sedikit kebaikan di dalam dirimu.”

“Aku ingin tahu apa yang menyebabkannya?”

Mereka berdua tersenyum dan berkata dengan nada mengolok.

“Bukan seperti itu, sungguh. Jika begini terus, Tobe akan ditolak Ebina.”

Ketika aku menjawab balik, ekspresi mereka merosot sedikit.

“Itu mungkin saja benar.”

“Ya… Benar…”

Namun, aku sudah memiliki sebuah jawaban tersiap untuk situasi tersebut.

“Untuk sementara waktu, aku telah terpikir sesuatu yang akan menyelesaikan semuanya dengan damai dan tentram.”

“Apa itu?”

Yuigahama memiringkan kepalanya dan bertanya. Tapi, jujur aku tidak ingin membicarakannya. Dia mungkin telah menyadari sedikit keraguanku itu tapi Yukinoshita menghela singkat dan memasang senyum kecil.

“…Yah, kami akan serahkan hal ini padamu.”

Yuigahama juga mengangguk setuju. Aku cukup bersyukur mereka tidak menggali lebih dalam lagi.

Selagi kami berbicara, Ebina, yang dipanggil kemari, dapat terlihat.

Kami mengirim Tobe keluar dari ujung jalurnya.

Ebina berjalan terus melewati lenteranya satu per satu sampai dia akhirnya mencapai posisi kami.

Tobe menyapanya dengan tampang gelisah di wajahnya.

“Um…”

“Uh huh…”

Ketika Tobe memanggilnya, Ebina merespon dengan lemah.

Hanya menonton dari jauh sudah membuat dadaku sakit.

Hal yang terpenting adalah, Tobe pasti akan ditolak.

Dan kemudian, mereka berdua akan menghindari melihat satu sama lain di dalam kelas. Mereka akan memalsukan tawa mereka dan perlahan-lahan membangun sebuah dinding diantara mereka berdua dan kemudian akan menjadi biasa bagi mereka untuk berhenti bertemu satu sama lain. Mereka mungkin akan bertindak sampai mengganti kelas. Tapi, akhir yang menunggu mereka akan kemungkinannya sama tidak peduli apa yang terjadi.

Tapi seputus-asa apapun reaksi ini, mungkin saja masa depan memiliki hal lain yang tersimpan untuk mereka.

Apakah Tobe sepenuhnya sadar akan kemungkinan itu? Apakah dia sepenuhnya sadar akan resiko kehilangan hubungan yang dimilikinya sekarang ini?

Kemungkinan Tobe telah mempersiapkan dirinya untuk semua ini.

Tapi, itu hanya dari satu sudut pandang.

Tobe bukanlah satu-satunya yang peduli akan hubungan mereka sekarang.

Bahkan kelompok orang yang mereka berdua ikuti beresiko hancur.

Itulah mengapa dia membuat permintaan semacam itu.

Itulah mengapa Tobe menderita akannya.

Hanya ada satu hal dalam permintaan Miura. Dia tidak ingin kehilangan apapun. Sementara mereka mungkin sedang melihat ke arah yang berbeda-beda, satu hal yang ingin mereka jaga di gengaman mereka itu sama.

“Aku, yang mau kubilang itu.”

“…….”

Ebina tidak dapat mengatakan apapun sebagai jawaban pada suara Tobe. Ebina berdiri disana dengan diam mendengarkan Tobe selagi tangannya tergengam bersama di depannya. Ekspresinya jelas terlihat dingin.

Aah, itu persis ekspresi yang aku duga.

Jika aku ingin melakukan sesuatu tentang permintaannya, maka hanya ada satu jalan yang bisa kuambil.

Aku perlu membuatnya sehingga Tobe tidak secara langsung ditolak supaya hubungan di dalam kelompok itu tidak regang dan jadi dia masih bisa tetap memiliki hubungan yang baik dengan Ebina dan yang lain.

Kalau demikian, sebenarnya hanya ada satu cara yang memungkinkan.

Timing waktunya itu penting. Dan dampaknya harus besar.

Aku perlu menghantam sesuatu pada mereka dari titik buta mereka; sesuatu yang akan mengubah seluruhnya 180 derajat. Mencoba untuk memikirkan sesuatu yang akan menarik perhatian mereka sepenuhnya; sesuatu yang akan bertindak sebagai prakarsa; sesuatu yang akan secara langsung mengubah suasananya.

Lontong, itu benar-benar memuakkan ketika satu-satunya cara yang terpikir adalah cara kotor ini, apalagi fakta bahwa aku di 1-0 oleh Zaimokuza sebelumnya [1]. Lontong, itu benar-benar mengesalkanku untuk berhutang pada pria itu.

“U, um, ente tahu…”

Terlihat bertekad, Tobe berkata.

Pada momen itu, semuanya sudah dimulai.

Bahu Ebina bergetar sebagai respon kata-kata Tobe.

Tinggal sepuluh langkah lagi.

Tobe memotong singkat kata-katanya dan dia menatap ke arah Ebina.

Apakah semuanya terjadi tepat waktu?

Ebina mengalihkan matanya ke lentera di kakinya.

Sekarang waktunya untuk mengatakannya.


“Aku sudah menyukaimu sejak dulu. Maukah kamu berpacaran denganku.”


Ketika dia mendengar kata-kata itu, Ebina menatap dengan heran.

Itu merupakan reaksi yang jelas. Bahkan aku pun terkejut.

Bahkan Tobe pun terkejut.

Tobe berdiri disana tercengang karena kata-kata yang ingin diucapkannya dicuri olehku.

Ebina kelimbungan akan pernyataan cintaku yang mendadak tapi dia akhirnya memberikan jawaban yang benar.

“Maafkan aku. Aku benar-benar tidak mau berpacaran dengan siapapun sekarang ini. Tidak peduli siapapun yang menyatakan cintanya padaku, aku pasti tidak akan berpacaran dengan satupun dari mereka. Jika itu saja, aku akan kembali sekarang.”

Ebina membungkukan kepalanya sedikit dan meninggalkan area itu sambil berlari pelan.

Tobe terbeku kaku dengan mulutnya terbuka lebar dan tidak mampu bergerak. Dia bahkan tidak dapat menghimpun apapun karena timingnya dikacaukan. Kata-kata yang barusan masih membuatnya terkejut. Kepalanya, namun, berputar inci demi inci ke arahku.

“Kamu mendengarnya.”

Aku mengangkat bahuku selagi aku memberitahunya. Tobe menyisir rambutnya ke atas dan melontarkanku pandangan cemburu.

“Hikitani… Ente tidak bisa melakukan itu, ente tahu. Maksudku, aku tidak ditolak tapi…”

Dia terus mengucapkan “tidak mungkin” seperti burung beo yang dilatih hanya untuk mengatakan “tidak mungkin”.

Hayama berada di dekat sana mengecek situasinya dan ketika dia berjalan ke tempat Tobe, dia menyodok kepalanya.

“Itu hanya berarti belum waktumu. Jadi kenapa tidak kita cukup menikmati apa yang kita punya sekarang ini?”

“Aku rasa begitu. Huh, apa kamu barusan mengatakan 'sekarang'??”

Tobe menghela kecil.

Dia lalu menyeret dirinya ke depanku dan meninjuku dengan pelan di dadaku dengan tinjunya.

“Hikitani, maaf, tapi aku tidak akan menyerah.”

Tobe menunjuk padaku dengan senyuman mempesona dan mulai berjalan pergi entah kemana dan terlihat puas akan dirinya. Yang menunggu di depan adalah Ooka dan Yamato. Mereka berdiri berdampingan dan memberinya tepukan di punggung dan Tobe menerima baptis yang menjadi haknya.

Hayama mengikuti setelah Tobe.

Pada saat dia melewatiku, dia membisikanku sesuatu yang hanya dapat kudengar.

“Maaf.”

“Jangan minta maaf.”

“Aku juga sepenuhnya sadar bahwa ini satu-satunya caramu melakukan sesuatu… Maaf.”

Ekspresi yang dipakainya melihatku adalah ekspresi seakan dia sedang mengasihaniku. Itu bukanlah sebuah tampang menertawakan atau mengejek. Itu seakan dia berpikir aku sangat kasihan dan bersimpati denganku.

Diriku penuh dengan rasa malu dan amarah sampai-sampai aku harus menahan tinjuku supaya tidak terlempar ke Hayama.

Meskipun Hayama sudah pergi jauh, tampangnya itu masih tertanam di kepalaku.

Setelah orang-orang itu dengan buru-buru meninggalkan lokasinya, aku dapat merasakan ketegangan suasananya menurun.

Yang tersisa disini adalah Yukinoshita, Yuigahama, dan aku.

Ada sebuah jarak yang kecil diantara kami bertiga. Sekarang setelah hal ini selesai, aku merasakan terjangan kelegaan dan aku berjalan ke arah mereka berdua, berharap untuk pergi kembali ke hotel.

Namun, Yukinoshita berdiri terpaku di posisinya dan menatap ke arahku.

Itu adalah sebuah tatapan yang dingin serta interogatif dan itu saja membuat kakiku melemah. Hei, hei, jangan terus mengejekku. Aku sudah menerima sejumlah luka yang mengejutkan dari apa yang Hayama katakan padaku barusan.

Tapi tidak mungkin itu akan tersampaikan pada mereka.

Terlepas dari itu, ketajaman matanya tidak menumpul sedetikpun. Di samping terdapat Yuigahama yang menatap ke bawah tidak tahu apa yang harus dilakukan.

“…Aku benci caramu melakukan sesuatu.”

Hanya setelah sedikit waktu berselang setelah aku mendekati mereka baru Yukinoshita mengatakan sesuatu.

Yukinoshita menekan dadanya dan terus menatapku.

Matanya memancarkan amarah yang tidak berarah.

“Aku tidak dapat menjelaskannya dengan baik dan itu benar-benar menjengkelkan tapi… aku benar-benar benci caramu melakukan sesuatu.”

“Yukinon…”

Orang yang memandang penampilan Yukinoshita yang memilukan hati itu adalah Yuigahama. Suara menelan yang datang dari Yuigahama terdengar seakan dia menelan sesuatu dan kembali melihat ke tanah.

Selagi aku berdiri disana tanpa menyahut, Yukinoshita mencoba untuk mengatakan sesuatu sebagai balasannya seakan ini adalah sebuah argumen verbal tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Dia menekan bibirnya bersama seakan dia sedang mengigit bibirnya.

Dedaunan merah menari-nari mengikuti angin. Yukinoshita mengalihkan pandangannya dariku seakan mengikuti dedaunan tersebut.

“…Aku akan pergi dulu.”

Yukinoshita menyatakannya dengan nada dingin dan berpaling untuk meninggalkan tempat itu. Dia pergi dengan langkah cepat seakan dia ingin meninggalkan tempat ini secepat mungkin. Bahkan jika aku berlari mengejarnya, aku tidak akan bisa menangkapnya.

Satu-satunya yang tersisa, Yuigahama, tertawa dengan lemah.

“K-Kenapa kita tidak kembali juga?”

Nadanya dengan sia-sia mencoba untuk terdengar energetik. Menjadi sepengertian ini merupakan bantuan besar.

“…Benar.”

Aku menjawab dan mulai berjalan. Yuigahama mengikutiku tapi selangkah lebih lambat. Dalam usaha untuk menimbun keheningannya, Yuigahama mencoba untuk terus membuat percakapannya mengalir.

“Seperti, ya, aku rasa strategi itu tidak terlalu bagus. Maksudku, aku begitu terkejut dan bahkan Ebina juga kehilangan kesempatan untuk mengatakan sesuatu.”

“Ya.”

YahariLoveCom v7-256-257.jpg

“Tapi, ya. Aku benar-benar terkejut. Selama sedetik kupikir kamu serius tadi..”

“Macam betul saja bisa begitu.”

“Aku tahu bukan. Ahaha…”

Selagi percakapan tidak berhubungan itu terus berlanjut, kami mendekati ujung keluar jalurnya dan suara langkah kaki Yuigahama berhenti.

“Tapi.”

Kata-kata yang tiba-tiba terpotong membuatku berhenti. Ketika mansetku tiba-tiba disentak, aku secara reflex berpaling ke belakang.

“Tapi, kamu tahu… hal semacam ini, kamu tidak boleh melakukannya lagi.”

Aku ingin dia berhenti tertawa seperti itu. Itu sangat menyakitkan dan memilukan hati sampai-sampai aku tidak tahan untuk melihatnya lagi. Aku diam-diam memalingkan pandanganku.

Tampang mengasihani itu. Amarah yang diarahkan padaku itu. Dan senyuman itu. Aku menahan itu semua.

“Itu adalah cara yang paling efektif. Itu saja.”

Itu merupakan satu-satunya kata yang bisa keluar dari mulutku. Mungkin saja bagiku untuk menjelaskan tindakanku secara logis. Aku bahkan percaya diri bahwa aku bisa memaniskan kata-kataku dengan berbagai cara untuk membenarkan tindakanku. Meskipun begitu, kata-kata tersebut berada di dasar perutku dan terus tercerna lagi dan lagi.

“Itu bukan masalah efektif atau semacamnya…”

Walaupun dia menghadap ke bawah, aku masih bisa mendengar suranya dengan jelas.

“Ada orang yang ingin masalahnya terselesaikan. Jelas, ada juga orang yang ingin semuanya tetap sama, tapi memuaskan semua orang itu tidak mungkin. Itu berarti kompromi merupakan satu-satunya pilihan.”

Apa yang kukatakan membuatku sepenuhnya sadar akan diriku sendiri. Aah, ini adalah sofistri. Itu tidak lebih dari sebuah alasan untuk mempertanggungjawabkan tindakanku kepada seseorang yang tidak pernah ada; sebuah tipuan yang palsu. Itu adalah satu-satunya hal yang paling kubenci di dunia ini. Itu adalah penipuan.

Tidak mungkin Yuigahama akan menyadari hal ini.

Aku dapat mendengar suara yang mirip dengan suara mengisak.

“Tobecchi tidak ingin ditolak dan bisa berkumpul dengan Hayato dan yang lain seperti biasanya. Dia juga tidak perlu khawatir tentang Hina… Mulai besok, semuanya akan tetap sama seperti biasanya. Mereka bahkan mungkin tidak masalah dengan semuanya tidak berubah.”

Suara gemetarnya tidak mengizinkanku untuk membantah. Jari gemetarnya tidak mengizinkanku untuk bergerak.

Tidak bisa menghadapnya secara langsung, satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah berdiri diam dalam keheningan.

“Tapi, tapi kamu tahu…”

Genggaman segannya pada mansetku melonggar. Tapi, dia dengan cepat mencengkram mansetku sekali lagi, tapi kali ini dengan lebih kuat.

“Kamu perlu lebih memikirkan bagaimana perasaan orang lain…”

Apa yang mengikuti kata-katanya adalah suara nafas pelannya.

“…Mengapa kamu mengerti semuanya kecuali itu?”

Aku mengerti. Yaitu, jika sesuatu berubah, tidak ada lagi yang namanya mundur.

Bagimanapun bentuk atau wujud perubahan itu, tidak akan mungkin untuk menarik kembali apa yang sudah dilakukan. Aku bisa menjamin itu.

Tapi, jaketku yang digenggam Yuigahama terasa begitu berat.

Meskipun dia hanya meremasnya dengan sedikit tenaga, bahuku terasa begitu berat. Terasa seperti aku akan rubuh jika dia melepaskannya.

“Sesuatu seperti itu, aku tidak menyukainya.”

Dia bergugam dengan suara rapuh, seperti seorang bayi dan dengan pelan melepaskan gengamannya di mansetku.

Dari sana, dia mengambil satu langkah, dua langkah, dan seterusnya membuat jaraknya dariku.

Mengikutinya itu tidak mungkin.

Bagiku.

Semua yang kulakukan hanya menatap ke atas langit.

Cahaya putih kebiruan yang menerangi hutan bambu dibelakangku itu terlihat seperti terbeku dalam waktu.[2]

Bulannya tidak dapat terlihat lagi.


× × ×



Seluruh kota Kyoto dapat terlihat dari atap Stasiun Kyoto.

Bangunan modern, vihara, kuil Buddhis, dan berbagai bangunan lain tercampur ke dalam pemandangannya. Di antara celah-celah bangunan tersebut terlihat aktivitas orang-orang yang hiruk pikuk di bawah.

Sementara kota itu sendiri belum berubah dari bertahun-tahun silam, namun, pemandangan ini, berubah setiap hari.

Kastil kekaisaran yang terkenal dan kekal itu terus berubah. Tapi, alasan mengapa ibu kota ini dicintai oleh begitu banyak orang adalah karena fondasinya yang tidak berubah. Tidak melenceng dan tidak hancur oleh waktu, inti kota ini terus kuat sampai hari ini. Itulah persisnya mengapa orang-orang menghargai kota ini.

Dengan kata lain, tidak peduli perubahan apapun yang mungkin dialami kota ini, kota ini akan terus berdiri tanpa gangguan.

Jika begitu, maka kodrat manusia tidak akan berubah. Mereka tidak bisa berubah. Itu adalah kenyataan yang abadi.

Tapi, ada kalanya dimana tidak berubah merupakan pilihan yang benar. Setidaknya, itulah apa yang ingin kupercayai.

Sudah hari terakhir karya wisatanya.

Hanya sebentar menunggu Shinkansenya. Aku sedang menunggu seseorang di toko survenir itu tanpa sedikitpun ketertarikan akan survenir yang ditawarkan disana.

Disana ada seorang individual yang mau repot-repot menaiki tangga panjang di luar. Itu adalah orang yang membisikkan sesuatu padaku ketika kami berpapasan satu sama lain selama perjalanan bus ke Stasiun Kyoto.

“Hallo, hallo~ apakah aku membuatmu menunggu?”

Aku memalingkan kepalaku ke arah suara itu.

Rambut hitamnya turun sampai ke bahunya dan dia memakai kacamata berbingkai merah. Kamu dapat melihat matanya melalui lensa transparan kacamatanya dan baik bentuk wajahnya dan seluruh tubuhnya berperawakan kecil. Jika dia duduk di bagian kasir perpustakaan, itu bisa membuat sebuah lukisan yang menabjubkan.

itu adalah gadis yang memberiku permintaannya sebelumnya, Ebina Hina.

“Aku rasa aku harus memberimu rasa terima kasihku.”

“Kamu tidak perlu begitu. Kalau itu mengenai permintaanmu, itu masih belum diselesaikan.”

Aku menjawab singkat dan mengalihkan mataku ke kota Kyoto sekali lagi. Tentu saja suara di belakang telah mencapai telingaku.

“Setidaknya dilihat dari permukaannya. Tapi, mereka sudah mengerti sekarang benar?”

“……”

Jawabanku digantikan dengan keheningan.

Bagiku, Ebina merupakan suatu eksistensi yang tidak biasa.

Itu persis karena kenyataan itu bahwa, meskipun eksteriornya riang, aku jatuh ke dalam kebiasaan untuk mencoba melihat diluar kata-katanya. Para gadis yang terlihat patuh di permukaan dan datang berbicara padaku tanpa diskriminasi jelas merupakan tanda peringatan. Karena pengalaman yang kukumpulkan dari para gadis di sekolah menengah pertama, itu menjadi kebiasaan bagiu untuk mencoba membaca maksud di balik kata-kata mereka.

Itulah mengapa aku tidak bisa tidak merasa risih dengan gadis yang berpendirian seorang fujoshi ini. Jika dia ingin sebuah konsultasi, maka aku perlu menilai motifnya.

Mengenai permintaan itu, tujuannya adalah untuk membuat para pria itu lebih akrab sementara membangun jarak antara Ebina dengan mereka. Ditambah lagi, dia ingin menghindari pernyataan Tobe secara langsung dengan cara yang tidak akan menghasilkan perasaan sakit hati setelahnya.

Kemungkinan bukan hanya Klub Servis yang diminta tolong untuk permintaan ini; Hayama mungkin juga diminta pertolongannya.

Itulah mengapa Hayama khawatir dan itulah mengapa dia hanya bisa terpikir akan solusi yang setengah-hati.

“Terima kasih untuk yang sebelumnya. Kamu benar-benar membantuku disana.”

Ketika aku berpaling ke arahnya sebagai balasan suara energetiknya. Ebina memasang senyuman lega. Jika kamu bisa membuat senyuman seperti itu, aku yakin ada hal-hal lain yang juga bisa kamu lakukan. Selagi aku memikirkan itu, kata-kata yang tidak perlu diucapkkan mengalir keluar.

“……Tobe mungkin saja tidak berguna tapi aku rasa dia itu pria yang cukup baik.”

“Tidak mungkin, tidak mungkin. Kamu tahu, Hikitani, kamu mengerti benar? Maksudku tidak mungkin aku bisa berkencan dengan siapapun dengan baik seperti aku yang sekarang ini.”

“Itu....”

“Itu benar.”

Dia menjawab tanpa memberiku ruang untuk mengatakan apapun.

“Bagaimanapun juga aku itu busuk.”

Kata-kata itu yang ditemani dengan senyuman dingin terdengar seakan itu semua merupakan alasan bagi seseorang.

“……Kalau begitu kurasa itulah itu.”

“Yep, itulah itu. Tidak akan ada yang memahamiku dan aku juga tidak ingin mereka memahamiku. Itulah mengapa aku tidak akan bisa mengencani orang dengan baik.”

Sekarang kalau begitu, apakah dia sedang mengacu pada hobinya atau dirinya? Yah, itu bukanlah sesuatu yang layak dipertanyakan.

Kami saling tersenyum kecil dan Ebina dengan pelan mengangkat kacamatanya ke atas. Pandangan yang terpantul dari lensa kacamata itu merupakan sebuah misteri.

Tapi setelah mengucapkan “hoh”, dia mengangkat wajahnya. Pipinya agak sedikit merona dan dia memasang senyuman cemerlang biasanya.

“Mungkin kalau itu kamu Hikitani, kita mungkin bisa berpacaran dengan cocok.”

“Tolong hentikan leluconnya. Teruskan itu dan aku bisa saja berakhir jatuh cinta padamu.”

Jika kamu mendengar ini dari samping, itu mungkin terdengar seperti lelucon buruk yang sambil lalu. Bahu Ebina bergetar saat dia tertawa.

“Aku tidak membenci orang-orang sepertimu yang bisa tidak peduli akannya dan jujur akannya.”

“Sungguh kebetulan. Aku juga sebenarnya tidak membenci bagian diriku itu.”

“Aku juga. Aku juga tidak membenci kemampuan kejamku untuk membeberkan apa yang kuinginkan.”

Kami berdua membual dengan senyuman kabur.

“Kamu paham, aku benar-benar suka bagaimana aku dan sekelilingku sekarang ini. Itu terasa seperti sudah lama semenjak aku merasakan sesuatu seperti ini, jadi aku merasa sayang untuk kehilangannya. Aku benar-benar senang dimana aku sekarang ini dan orang-orang yang akan ada untukku.”

Mata Ebina mulai menjauh dariku dan dia mulai berjalan ke tangga besar yang menuju ke bawah. Aku tidak dapat melihat apapun tapi aku yakin apa yang mengisi pandangan Ebina itu kemungkinan orang lain.

Selagi dia melangkah ke bawah tangga selagi dengan hati-hati melihat ke arah lantai, dia menambahkan satu hal lagi sebelum pergi.

“Itulah mengapa aku membenci diriku sendiri.”

Aku menatap punggung Ebina dengan diam selagi dia terus berjalan menjauh dan menjauh.

Aku mencoba untuk memikirkan kata-kata yang dapat bertindak sebagai balasan perkataan Ebina, tapi tidak ada yang muncul ke benakku.

Walaupun kamu hanya membuat kebohongan kecil yang berkaitan dengan kebaikan dirimu, kamu tidak bisa memuji dirimu sendiri ataupun mengkritik dirimu sendiri.

Karena kamu merasa itu penting. Karena kamu tidak ingin kehilangannya.

Kamu mencoba untuk bersembunyi dan berpura-pura.

Tapi itulah persisnya mengapa kamu akan berakhir kehilangannya.

Dan sekali kamu kehilangan genggaman akannya, kamu akan menangisinya. Jika kamu tahu kamu akan kehilangannya, mungkin lebih baik untuk tidak menghiraukannya dari awal. Jika kamu akan menderita akannya sampai ajal tiba, maka lebih baik hal itu dibuang saja.

Di dalam dunia yang berubah-ubah ini, hubungan yang tergantung pada perubahan mungkin ada. Hal-hal yang sudah pernah hancur dan terus hancur mungkin juga ada.

Itulah mengapa semua orang berbohong.

...Tapi pembohong terbesar di antara mereka semua ialah diriku.


Mundur ke Bab 8 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Catatan Penulis


Catatan Translasi[edit]

<references>

  1. Mengacu pada saat festival budaya mencari Sagami dibantu Zaimokuza kalau tidak salah
  2. Frozen in time..