Difference between revisions of "Shinigami wo Tabeta Shoujo Indo:Bab 19"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
 
(No difference)

Latest revision as of 13:12, 23 May 2020

Chapter 19 - Sup Tomat Rebus Sangat Nikmat[edit]

United Legion milik Yalder telah diperintahkan untuk kembali ke Ibukota. Membawa serta para prajurit yang kalah daru Antigua dan Belta, Yalder bergerak menuju tujuannya dengan langkah yang berat. Setelah diturunkan pengkatnya, dia kehilangan nafsu makan, dan wajahnya menjadi pucat. Karena Yalder bisa dibilang cukup gemuk, Sidamo menganggap bahwa ini merupakan hal yang bagus.


Seorang utusan dari Sharov mengunjungi Yalder yang depresi.


‘Stand by dan tunggu perintah.’


Mendengar itu, Yalder putus asa, berpikir, ‘Apa dia melecehkan aku sekarang?’ Sidamo menghibur dia. ‘Ini merupakan sebuah peluang untuk membersihkan aibmu,’ katanya. Yalder bingung, gak paham apa maksud Sidamo. ‘Kita ikuti saja instruksinya untuk sekarang ini,’ Sidamo menasehati tanpa menjawab rasa bingungnya Yalder.


Dan juga, seolah mengerjakan suatu perintah rahasia, Sidamo memberi instruksi pada Kavaleri Schera. Schera merupakan kartu terkuat yang ada ditangannya–kartu Kematian. ‘Habisi para penguasa feodal pembelot, dan kumpulkan informasi.’


Di wilayah selatan Kerajaan, pergerakan para penguasa feodal berbau konspirasi–hal ini sudah sampai ditelinga Sharov melalui mata-matanya. Melalui penyelidikan, dia memahami bahwa mereka mengumpulkan pasokan yang berlebihan dan para tentara bayaran. Menilai kemungkinan mereka akan bertindak secara bersamaan dengan musuh sangatlah tinggi, dia berpura-pura memberhentikan Yalder, dan mengirim mereka sebagai unit rahasia.


Kasihan untuk orang yang bersangkutan, tetapi kepribadian Yalder adalah orang yang gak bisa bertindak, jadi dia gak punya pilihan. Karena dia punya alasan yang tepat untuk diberhentikan, dan itu gak akan membuat orang-orang yang membelot curiga, Yalder dipilih. Sharov perlu melakukan tindakan itu karena mereka berada dalam situasi dimana bahkan isi dari rapat perang itu akan bocor ke musuh melalui mata-mata mereka.


Sharov sudah merasakan tanda-tanda bahwa serangan kejutan musuh mungkin akan terjadi, tapi dia gak bisa membaca sampai sejauh rute invasi mana yang akan mereka ambil: Cyrus, Sayeh, juga ada kemungkinan musuh akan mengecoh mereka dan menyerang Benteng Roshanak. Saat ini, pasukan utama musuh sedang menuju ke jalan utama Canaan, dan sebuah divisi dari Pasukan Pertama Sharov sudah dikerahkan untuk menghadang mereka. Biasanya, dia gak akan khawatir soal kalah. Musuh juga hanya menghadapi mereka, dan serangan terang-terangan gak akan terjadi. Hanya pertempuran-pertempuran berskala kecil yang terjadi.


"Sudah kuduga. Mereka menunggu sesuatu, hal itu sudah jelas...."


"Aku gak merasakan adanya niat untuk menyerang dari musuh. Kurasa memang seperti yang kau katakan, Panglima. Kita harus meningkatkan jumlah mata-mata dan memperkuat pengawasan kita."


Sharov bergumam seraya menatap peta. Mayjen Laros setuju dengan dia. Dia adalah seorang jenderal yang mendekati usia 40, dan dia gak terlalu menonjol dalam hal kemampuan militer, tapi dia memiliki kepemimpinan yang kokoh. Kepribadiannya sangat kooperatif, dan dia merupakan seorang komandan yang hebat dari sudut pandang Sharov. Karena orang-orang seperti dia sangat langka, Sharov mati-matian mempertahankan dia. Dia gak peduli dengan rekan-rekannya yang menginginkan promosi, tapi ada banyak orang yang bersikap sesuai dengan penilaian mereka sendiri.


Dia gak mau bicara buruk soal David, yang telah tewas dalam pertempuran, tapi kehilangan Belta memang sangat merugikan. Meskipun mereka melindungi Canaan, tidaklah mustahil Pasukan Pembebasan akan mengincar Ibukota lewat wilayah selatan Kerajaan. Sebelum Kerajaan hancur secara perlahan, dia harus melakukan sesuatu. Tapi, bidak-bidaknya terlalu sedikit untuk melakukannya. Pasukan Pertama miliknya bahkan gak bisa bergerak bebas. ‘Apa nggak ada cara melenyapkan si iblis parasit, Farzam?’ pikirnya.


"Kita tak akan bisa membuat perkembangan pada tingkat ini. Kita mungkin harus melancarkan serangan. Apa tak ada permintaan dari Ibukota untuk melenyapkan mereka?"


Letjen Barbora menyarankan serangan proaktif. Pria ini, yang merupakan perwujudan dari seongok keinginan akan promosi, sangatlah kuat saat dia dalam situasi yang bagus, tapi sangat lemah saat terpuruk. Dia adalah tipe orang yang gak cocok untuk tugas pertahanan. Terlebih lagi, itu akan menjadi kecerobohan yang akan menyebabkan sebuah formasi kokoh menjadi hancur. Sharov gak mau menunjuk dia, tapi ada masalah nepotisme politik, jadi gak ada yang bisa diperbuat.


"Abaikan permintaan dari pria yang gak tau situasi yang sebenarnya. Sekarang bukanlah waktunya untuk melakukan sembarangan pergerakan."


"Apa yang kau katakan!? Itu mungkin memang ucapan Panglima, tapi itu sangat tidak hormat terhadap Yang Mulia!"


"Aku sendiri yang bicara soal Farzam. Semua instruksi bodoh itu berasal dari pria itu. Orang yang gak pernah berada dalam Pasukan gak seharusnya mencampuri urusan perang. Menyedihkan, akan seberapa mengerikan era ini jadinya. Bagaimana dia menjalani kehidupannya merupakan sebuah misteri."


"Panglima. Jangan dilanjutkan."


"Kau benar. Bicara saja gak ada gunanya. Kita hanya perlu memikirkan bagaimana caranya mempertahankan Canaan."


“...........”


Saat Larus meminta untuk berhati-hati, Sharov berdeham. Barbora menunjukkan ketidakpuasannya.


"......Sudah hampir waktunya Jenderal itu, maksudku, Letjen Yalder sampai di Ibukota."


Untuk mengubah topik. larus berbicara soal Yalder.


"Dia mungkin akan sampai beberapa hari lagi. Suatu saat, aku berencana memberi dia kesempatan lagi. Kepribadiannya yang tegas tidaklah gak menyenangkan bagiku. Yang penting adalah dia itu rendah hati."


Sharov sambil mengusap jenggotnya dengan tenang. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, mereka seharusnya sudah mulai bekerja menyingkirkan para konspirator. Dan juga, Dewa Kematian yang baru-baru ini menjadi bahan pembicaraan sepertinya berada dibawah komando Yalder. Dalam situasi kritis seperti itu, kehadiran cewek itu cukup meyakinkan.


Sambil menatap peta formasi pertempuran di atas meja, Sharov memutar otaknya.


–Sore hari.


Sambil berjemur di bawah sinar mentari yang berwarna merah, 100 pasukan kavaleri yang dipimpin oleh Schera bergerak dengan rapi.


“Kita menemui sedikit kesulitan yang gak terduga. Tanpa diduga, sepertinya mereka memiliki rasa tanggung jawab yang kuat.”


Schera memacu kudanya sambil meletakkan sabitnya di bahunya. Disebelahnya adalah Katarina yang memegang karung.


Karung besar yang aneh itu merupakan "bukti" yang diperlukan di kota berikutnya. Benda yang dipegang dalam karung kain itu masih segar, dan cairannya merembes.


“Namun, karena interogasi yang luar biasa dari Letkol, kita mendapatkan sebagian besar informasinya. Kau juga bisa memperkirakan pelaku utamanya, luar biasa.”


"Muji-muji aku nggak bakal membuatmu dapet sesuatu. Ditambah lagi. Aku udah gak punya apa-apa lagi."


Schera mengangkat bahu. Dia melihat kebelakang pada pasukan kavaleri yang mengikuti dibelakangnya.


"Kalo kita udah sampai, segera siapin makanan. Aku udah kelaparan setengah hidup. Aku udah makan semua bekalku."


Dia membalik sebuah tas kecil. Yang jatuh dari tas itu cuma remah roti. Entah dia suka atau enggak, gak ada yang tersisa. Meski dia berteriak, itu gak akan mengisi perutnya. Itu cuma akan membuang-buang stamina.


"Siap ndan, serahkan saja padaku. Aku sudah membawa satu set alat masak. Aku juga sudah mendapatkan bahan-bahan beberapa waktu lalu, jadi aku yakin kau pasti akan puas.”


Seorang kavaleri tersenyum, menunjukkan gigi putihnya.


"Yo, kapan kau membelinya?"


"Pas kalian lengah."


"Oh, kau mau membuat dirimu terlihat hebat!"


Kerumunan kavaleri disekitarnya menjadi gempar. Schera mengangguk beberapa kali, dan tersenyum riang.


"Aku jadi gak sabar. Ayo cepat selesaikan pekerjaan kita, lalu makan makanan enak. Kuharap kali ini gak makan waktu terlalu lama."


"Siap ndan-, kita akan segera tiba!"


Kota Millard sudah terlihat dengan gerbang depannya tertutup rapat. Kota ini berlokasi di sebelah barat dari Benteng Cyrus yang hampir selesai. Penguasa feodalnya, Evjen, kayaknya memahami alasan soal perbandingan dengan para bangsawan lainnya, dan reputasinya sangat bagus diantara para prajurit dan warga.


Terlebih lagi, dia handal dalam memimpin, dan mereka mendengar dia sering berperan sebagai mediator diantara para penguasa feodal tetangga.


Bendera kerajaan berkibar diatas kota itu, tapi disekitarnya terdapat benteng-benteng pemanah yang siap berperang. Mulut Schera melengkung, berpikir soal seberapa bagusnya karena Evjen betul-betul mudah dipahami.


–Mereka berbincang-bincang di depan gerbang, dan akhirnya masuk ke kota satu jam setelah itu.


Penguasa feodal Millard, Baron Evjen, dalam keadaan tertekan. Gak lama lagi, sebuah unit Pasukan Pembebasan akan melintasi area berbukitan ini. Namun, kenapa di waktu seperti ini sebuah unit dari Kerajaan malah datang juga? Cuma ada celah kecil saja dalam perhitungannya. Tapi, waktunya gak cukup. Barang-barang dan personil diperlukan untuk bangkit dan bertahan sampai musim dingin yang akan datang. Dia harus mengeluarkan dana hanya untuk itu, menyewa tentara bayaran, dan mempersiapkan barang-barang untuk diberikan pada Pasukan Pembebasan. Dia harus mempercepat semuanya bagaimanapun caranya.


".....Apa yang harus kulakukan?"


"Ayah. Unit dari Kerajaan belum masuk ke kota. Kita usir saja mereka secepatnya. Mereka tak boleh masuk kota!"


Putra tertua Evjen memberi saran kebijakan garis keras. Dia adalah putra kebanggan Evjen, sangat cerdas dan memiliki masa depan yang cerah. Suatu hari nanti dia akan menjadi penerus dari wilayah Millard ini, dan mungkin akan mengembangkan wilayah ini lebih jauh lagi. Tapi, dia masih muda. Dia kekurangan pengalaman. Selama 20 tahun atau lebih, mustahil untuk lolos dari situasi ini.


Jika mereka memilih untuk melawan, Pasukan Kerajaan akan langsung menyerbu mereka, dan Millard akan jatuh. Dalam rencananya, Pasukan Pembebasan akan menargetkan Benteng Cyrus yang tak dijaga. Kerajaan mungkin akan mengabaikan Millard yang telah "jatuh". Kerajaan mungkin kelihatan gak punya hati kalau melakukan itu, tapi sebagai sebuah taktik, itu memang tepat. Operasi ini akan sia-sia kalau target utamanya, Cyrus, tidak jatuh.


"Jika kita mengusir mereka, pemberontakan kita akan ketahuan, dan pasukan mereka akan segera mendatangi kita. Bahaya itu harus diperhitungkan. Bagaimanapun juga. Kita masih tak tau persisnya apa motif lawan."


"Meski begitu, aku tak bisa percaya bahwa kavaleri Kerajaan akan datang ketempat kita diwaktu seperti ini. Sudah jelas bahwa mereka punya tujuan! Mengusir mereka sama saja dengan bunuh diri!"


Evjen berbicara untuk menenangkan putranya yang berteriak seraya mukanya memerah.


"Tapi, tak mungkin mereka mengetahui semuanya. Pasukan mereka terlalu sedikit kalau mereka datang untuk menekan pemberontakan. Kemungkinan mereka kesini untuk melihat situasi sambil memamerkan kemampuan mereka. Itu bertindak sebagai pemeriksaan sekaligus ancaman."


Keputusan Evjen akan mempengaruhi hidup para penguasa feodal tetangga. Hidup mereka berkaitan erat dengan tempat ini. Mereka sudah mempertaruhkan semua chip mereka pada Pasukan Pembebasan. Mereka tak lagi bisa mundur.


"...Lalu, akankah ayah membiarkan mereka masuk?"


"Membuat mereka menunggu lebih lama lagi mungkin akan membuat mereka curiga. Tak akan ada masalah jika kita waspada layaknya menghadapi pencuri malam. Adapun untuk pertanyaan dari mereka, kita harus menyesuaikan diri kita dengan situasinya dan menanggapinya. Serahkan saja padaku. Kau kerjakan yang lainnya dan masuklah ke ruangan."


".......Aku paham. Ayah, jaga diri."


Seraya memasang ekspresi yang menunjukkan kalau dia tidak setuju, si putra tertua kembali ke ruangan dimana anggota keluarga yang lainnya menunggu.


Evjen memanggil para penjaga dan memperkuat penjagaan ruang tamu. Dia memberi instruksi pada para tentara bayaran yang ada diluar untuk bersiap dan memerintahkan mereka untuk membunuh semuanya segera setelah diberi sinyal. Kalau diskusinya gagal, dia harus membunuh seratus kavaleri. Akan sangat fatal kalau sampai ada satu saja kavaleri yang melarikan diri. Dia harus melenyapkan mereka.


"Yah sekarang, sisanya bergantung pada lawan. Aku lebih senang kalau mereka kembali dengan tenang sih. Untuk sekarang ini, gak ada perlunya melakukan pertumpahan darah yang gak ada gunanya."


Evjen menarik nafas panjang untuk menenangkan syarafnya. Lalu, dia meneguhkan diri, meluruskan punggungnya, dan menuju ke ruang tamu.


Ruang tamu itu dikelilingi para penjaga.


Ada dua perwira wanita. Salah satu perwira itu berbadan kecil dan nampaknya masih berusia dibawah 20 tahun, tapi mengenakan zirah hitam yang sangat tidak cocok dengannya. Yang satunya seorang perwira berkacamata. Saat dia memasuki ruangan itu, kedua perwira wanita itu mengarahkan tatapan mereka pada dia, seolah mengamati dia.


"Astaga, terimakasih sudah repot-repot datang ke tempat seperti ini. Namaku Evjen, orang yang mengelola wilayah Millard ini. Salam kenal."


Sambil memasang senyum yang dipaksakan, dia duduk berseberangan dengan mereka. Cewek berpostur kecil itu duduk sambil tersenyum. Si cewek berkacamata berdiri disampingnya, dan membisikkan sesuatu pada dia. Entah gimana, kayaknya cewek pendek itu berpangkat lebih tinggi. Saat Evjen memicingkan matanya untuk memeriksa, tanda pangkatnya adalah Letnan Kolonel. Cewek berkacamata itu berpangkat Letnan Dua. Bagaimana bisa cewek yang nampak lemah ini menjadi seorang Letkol? Apa Pasukan Kerajaan dalam kondisi sangat tertekan?


–Nampaknya keputusan yang dia ambil tidaklah salah, pikir Evjen.


"Selamat sore, Baron Evjen. Aku Letkol Schera bersama sebuah unit kavaleri berafiliasi dengan United Legion Yalder dari Pasukan Kerajaan. Ini adalah ajudanku, Letda Katarina."


"Saya Katarina. Sebuah kehormatan bisa bertemu Baron Evjen yang terkenal."


Perwira wanita bernama Katarina membungkukkan kepalanya. Di samping kakinya terdapat bungkusan kain. Mungkin itu dimaksudkan untuk diberikan sebagai hadiah kunjungan.


"Letkol Schera, dan Letda Katarina? Yah, anggap saja dirumah sendiri. Pasti butuh usaha yang sangat besar bagi seseorang semuda dirimu untuk mencapai pangkat Letnan Kolonel."


"Terimakasih atas pujiannya. Setelah membunuh musuh, tanpa kusadari, aku mencapai peringkat ini, aku sendiri sampai kaget. Aku tak punya kemampuan memgkomando."


Schera menanggapi sambil tertawa. Namun matanya sama sekali tidak tertawa. Dia terus mengamati perilaku Evjen. Begitu pula dengan Katarina. Kakinya agak terbuka, dan dia memasang postur seperti dia akan menghunus pedangnya setiap saat.


Mereka betul-betul gak mempercayai dia. Keringat muncul di alis Evjen.


"......Jadi, urusan apa yang membawa kalian datang berkunjung di jam seperti ini? Belakangan ini, pencuri malam marak terjadi. Aku harus berusaha untuk mendapatkan validasi. Jika bisa, aku ingin mendapatkannya informasi yang berguna."


Evjen menepukkan tangannya, memberi sinyal, dan anggur dituangkan pada gelas-gelas yang dipersiapkan di depan Schera dan Katarina. Anggur merah. Evjen secara naluri menganggap itu adalah warna yang tak menyenangkan. Saat dia menepukkan tangannya sekali lagi, itu merupakan sinyal buat para penjaga untuk masuk. Para perwira menyedihkan ini akan bermandikan darah. Jika memungkinkan, dia ingin mengakhiri ini dengan damai.


Dia berharap mereka ini merupakan orang-orang yang bisa diajak bicara. Yang terburuk, dia tak masalah memberi mereka uang. Atau mungkin, kalau dia bisa membuat mereka berpihak padanya, masa depan cewek-cewek ini akan cerah juga. Gak ada alasan untuk tetap bersama Kerajaan yang menuju kehancuran.


"Ini soal sesuatu yang sangat kau pahami kan? Baron Evjen."


‘Apa yang kau katakan?’, kata Schera seraya dia memiringkan gelasnya yang berisikan cairan merah.


"Astaga, aku tak bisa memahami apa yang kau katakan tapi..... Sepertinya kau memiliki keraguan padaku. Aku bersumpah pada Dewa Bintang bahwa tak ada hal semacam itu."


Ucapnya sambil membusungkan dadanya, dan kemudian terdengar tawa keras.


"–Ahahaha-! Sungguh Dewa murahan, Baron Evjen. Tolong jangan buat aku tertawa terbahak-bahak. Perutku ini udah keroncongan."


"Meski kau bilang begitu, memang itulah kebenarannya. Pertama, aku ingin kau mengatakan dengan jelas, supaya aku bisa paham, apa yang ingin kau tanyakan."


Saat Evjen berpura-pura polos, Schera menggeleng secara berlebihan. Katarina memperhatikan dia dengan cermat.


"Gampangnya, Evjen. Kapan dan dari mana para sampah Pasukan Pembebasan datang? Kalo lu mengatakan semuanya sekarang, gue bakal ngampuni nyawa lu."


Sikap Schera berubah total, dan dia mengancam dengan ekspresi seperti seekor binatang. Evjen langsung terdiam gak bisa berkata apa-apa, tapi dia segera pulih. Ini cuma ancaman. Gak mungkin Schera betul-betul melakukannya. Evjen gak bisa berteriak sekarang.


".....Kata-kata yang sangat tak sopan untuk seorang Letkol. Itu amat sangat tak menyenangkan. Ucapan yang sangat kasar terhadap seorang pria yang telah mengucap sumpah kesetiaan mutlak pada Kerajaan!"


"Kalo gitu, lu gak keberatan kalo gue anggap lu gak punya niat bicara jujur?"


"Aku tidak dalam posisi untuk berkata jujur, aku tidak tau masalah apa yang kau maksud! Kalau urusanmu hanya itu saja, aku ingin kalian segera pergi. Aku akan mengirim protes pada Kerajaan soal masalah ini. Kau harus bersiap! Penjaga, antarkan Letkol kembali! Antarkan dia pergi!"


Evjen berteriak, tapi gak ada balasan dari para penjaga yang menunggu diluar. Mereka berdiam diri ditempat, seolah mereka adalah patung.


"Woi, apa kalian dengar! Penjaga!"


".....Berisik amat sih. Katarina, amankan pria berisik ini."


"Siap ndan-!"


Katarina mengeluarkan tongkatnya dan memanggil para penjaga. Mereka menangkap tangan Evjen dan menekankan wajahnya pada meja. Evjen ditahan oleh kekuatan yang gak dimiliki oleh manusia.


"A-Apa yang kalian lakukan-!? Bangsat, apa kalian sudah gila!?"


Dia berteriak marah, tapi para penjaga gak bergerak. Mata mereka gak memiliki fokus. Rona wajah mereka menggelap, dan pada tenggorokan mereka ada pisau tajam yang menancap. Darahnya menggumpal, dan hanya di area situ saja yang berwarna merah gelap.


"–L-Luka apa itu. Kenapa mereka bisa b-bergerak!? K-Kau, apa yang kau...."


"Evjen. Ini bukanlah situasi buat nguatirin orang lain. Gue bakal beri elu satu kesempatan lagi. Pikirin baik-baik. Kalo elu mengatakan semuanya dengan jujur sekarang, gue cuman bakal bunuh elu aja. Lagian juga ada bukti, jadi mendingan lu ngaku aja."


Schera mengetuk meja dengan jarinya dan menawarkan pilihan pada Evjen.


"B-Bukti!? Gak mungkin kau pu–"


"Kami punya. Bukti yang bagus yang pasti bakal muasin elu juga. Masih begitu segar sampai-sampai bisa saja masih idup. Lihatlah baik-baik dengan mata elu sendiri."


Menunggu di samping, Katarina menaruh kantong kain yang tadi ada di samping kakinya ke atas meja. Bagian bawah kantong itu sudah berubah warna menjadi hitam dan mengeluarkan bau.


Katarina melepas ikatannya, dan disana....


“C-Czeslaw!?”


Czeslaw, penguasa feodal dari kota tetangga Millard. Berjarak dua kota dari sini, dan dia teman dekatnya Evjen. Dia adalah orang yang pertama kali diberitahu rencana Evjen. Namun sekarang, dia telah menjadi sosok yang tragis.


"Tuan mantan penguasa feodal dari kota sebelah. Dia cukup keras kepala, tapi pada akhirnya, dia mengatakan semuanya. Soal lokasi dari surat yang kalian berdua kirimkan. Soal rencana macam apa itu. Kecuali, informasi yang paling vital, sesuatu yang cuma elu yang tau kan? Itulah alasan kami datang kesini. Apa elu paham."


Disamping kepala Czeslaw, dia melemparkan seikat surat. Pesan-pesan rahasia yang disimpan didalam sebuah lemari besi.


“............Kuh-”


"Jadi, apa jawaban lu?"


Schera menanyakan pertanyaan terakhir.


Setelah tetap diam, Evjen menggeleng.


"A-Aku gak tau. Meskipun kau menunjukkan sesuatu seperti itu padaku, itu gak ada artinya buatku! Kalau kau paham, cepat pergi!"


Dia berusaha meronta untuk membebaskan diri dari para penjaga yang menahan dia. Tapi, tubuhnya gak bisa bergerak. Melihat itu, Schera menghela nafas.


"Gue udah laper berat nih, jadi gue gak mau ini jadi hal yang ngerepotin. Buruan beresin aja dah."


"Letkol, kali ini serahkan padaku. Aku akan membuat dia mengatakan semuanya, pasti."


".....Yakin gak apa-apa? Kalo gak bisa, biar aku aja."


"Tidak, tak akan ada masalah. Aku mungkin memang kelihatan seperti ini, tapi kurang lebih aku punya pengetahuan. Aku akan melakukannya sampai dia mau buka mulut, ijinkan aku menunjukkannya padamu."


Katarina membuat gerakan main-main dengan tangannya. Itu memberi kesan seperti sesuatu yang bulat berputar-putar di telapak tangannya. Itu mungkin suatu kebiasaan buruk. Schera memutuskan itu akan baik-baik saja dan mempercayakan semuanya pada Katarina.


"Kalo gitu, aku akan kembali ke para prajurit. Bahan-bahannya ada di ruangan tadi. Kayaknya itu keluarga yang cukup besar. Gunakan saja apa yang diperlukan sesuka hatimu."


"Siap ndan–, serahkan saja padaku! ......Baiklah kalau begitu, Baron Evjen, bisa kita pergi sekarang?"


Katarina mendekati Evjen dan berbisik pelan pada telinga Evjen. Pada nada suara Katarina, Evjen langsung merinding.


"H-Hentikan! Aku gak tau-! Aku betul-betul gak tau-!"


"Baron Czeslaw butuh tiga orang. Berapa banyak yang akan kau butuhkan? –Ufufufu-"


Menyuruh para panjaga menyumpal mulutnya yang berteriak, Katarina pergi dengan Evjen dibawa dipundak mereka.


Setelah menghabiskan anggurnya, Schera meninggalkan gelasnya secara terbalik. Noda merah menyebar pada taplak meja berwarna putih itu. Pada bagian tengahnya, noda gelap menyebar. Pemandangan yang aneh, pikir Schera seolah itu bukanlah urusannya.


Alun-alun Tengah Millard.


Para kavaleri membuat api unggun sambil masak. Disekitar mereka ada para tentara bayaran yang mengungkapkan rasa haus darah mereka.


Schera dengan riang berbicara.


"Gimana persiapan masaknya?"


"Siap ndan- persiapan berjalan mulus!"


"Menunya?"


"Ikan dan sup sayuran. Ada roti, keju, dan daging kering yang biasanya. Menu utamanya sup. Rasa dari sayuran yang dibumbui akan keluar dan sangat lezat."


"Aku jadi gak sabar. Kalau begitu, kurasa kita harus olahraga dulu deh."


Schera mengambil sabit miliknya yang dia sandarkan di dinding. Selain si prajurit yang memasak, semua orang mengambil senjata mereka masing-masing.


"B-Bangsat! Mau coba-!?"


"Kalian pikir kalian bisa menang dengan jumlah segitu!?"


"Kalau kau gak mau mati, jatuhkan senjatamu!"


Dari mulut para tentara bayaran keluar kata-kata intimidasi. Mereka menunggu sinyal dari Evjen, tapi mereka sudah mengepung pasukan kavaleri itu tanpa menunggu. Mereka sudah gatal akan pertempuran, mereka merupakan orang-orang dari gerombolan bandit. Mereka gak akan menunggu sesuatu seperti instruksi dari seorang bangsawan.


"Letkol?"


"Bunuh siapa saja yang memegang senjata. Anggap yang gak bersenjata sebagai warga sipil. Sekarang ini, kota ini dalam wilayah Kerajaan. Kalau kita membuat kesalahan, itu akan buruk buat kita kan?"


"Dimengerti!"


"–86!"


Dengan sinyal itu, para prajurit menyerbu para tentara bayaran. Schera melempar sabit kecil dan membunuh dua orang. Disekitar api unggun terjadi sebuah tragedi. Mustahil sekelompok tentara bayaran kelas rendah bisa menang melawan para anggota kavaleri yang telah menjalani pelatihan yang berbeda dan moral yang lebih tinggi. Jumlah tentara bayaran menurun dengan sangat cepat.


"W-Woi. Haruskah kita juga melawan mereka?"


"T-Tunggu. Buang pedangmu. Jangan coba-coba melawan. Kau akan terbunuh."


Pria itu gemetar ketakutan dan membuang pedangnya, dan memperingatkan tentara bayaran disampingnya untuk tidak terlibat.


"K-Kenapa?"


".....Lihatlah bendera mereka. Hitam, berlambang gagak putih. Aku pernah melihat bendera itu di medan perang. Itu adalah berita buruk. Itu adalah lambang sang Dewa Kematian. Lambang milik Schera. Kalau kau gak mau mati, cepat buang pedangmu!"


"A-Aku mengerti. Meski aku gak betul-betul paham sih. Kurasa kata-katamu gak bohong."


Tertekan oleh otoritas pria itu, dia membuang pedangnya, gak paham apa yang dia maksudkan. Dia gak setuju, tapi disekitar api unggun sudah menjadi lautan darah. Para prajurit menginjak punggung dari para tentara bayaran yang nafasnya tersenggal-senggal dan membantai mereka dengan tombak. Seorang cewek yang gak bisa dianggap sepele sedang membelah manusia seraya dengan mudah menggerakkan sebuah sabit. Pria itu gak bisa memahami apa yang sedang terjadi.


Lalu, pria terakhir dijatuhkan, dan kepalanya diinjak oleh perwira wanita itu. Disertai dengan hembusan nafas, kepalanya hancur, dihancurkan layaknya tomat. Pemandangan itu layaknya melihat mimpi buruk.


"Letkol. Kami sudah selesai. Tinggal dua orang yang ada disana itu saja."


"Kerja bagus. Yang lebih penting, apa supnya baik-baik aja? Apa aku udah kebablasan."


Schera penuh kekhawatiran melihat panci itu. Sesuatu berwarna merah tercampur kedalamnya. Si prajurit koki mulai mengaduknya, bilang kalau gak ada masalah. Dia terus memasak ditengah medan perang. Mungkin sebagai hasilnya, aroma wangi yang menggugah nafsu makan mulai memenuhi udara.


"Tak ada masalah. Sudah hampir matang, jadi aku memasukkan tomat dan menambah rempah-rempah. Rasa pesdasnya akan menghangatkan tubuhmu saat kau memakannya."


"Kedengarannya bagus. Mungkin karena sudah mau musim dingin, belakangan ini rasanya sangat dingin. Ayo kita nikmati bersama-sama. Makanan akan lebih nikmat kalau makan rame-rame."


"Sudah hampir waktunya Letda Katarina kembali. Aku akan segera menyelesaikannya sebelum dia kembali."


"Kuserahkan itu padamu. Aku mau menyapa manusia yang tersisa."


Sambil mengayunkan sabit miliknya untuk menghilangkan lapisan darah yang menempel, karakter yang memainkan peran pemimpin yang menyebabkan tragedi ini mendekat.


Kedua orang yang selamat gak bisa ngapa-ngapain selain berdiri membatu sambil gemetaran. Schera mendekat, sampai sabitnya bisa menjangkau kedua orang itu, dan mendekat lagi sampai titik mati, dan dia tersenyum, menampilkan gigi putihnya, seraya telapak tangannya yang berlumuran darah membelai pipi seorang tentara bayaran.


Perasaan licin itu membuat pria itu merasakan Kematian.


"Kalian, telah membuat keputusan yang tepat. Kalian sangat beruntung. kalian harus menjalani kehidupan kalian dengan bahagia mulai sekarang. Akan sia-sia kalau kalian mati."


“Hih, h–”


Schera membelai pipi pria itu. Warna merah yang tebal mewarnai wajahnya. Bercampur dengan darah itu, ada semacam potongan daging yang menempelkan padanya. Pria itu gak mau tau apa itu.


"Fufu, aku nggak bakal memakan kalian kok. Lagian disana ada sup lezat. Kalau kau mau, mau makan bersama?"


"–t-tidak, makasih."


"Kalau kau berubah pikiran, datang saja. Malam ini, kami akan menginap disini. Sampai jumpa."


Schera menjauhkankan tangannya, dan kembali ke api unggun dengan suasana hati yang bagus. Pria itu dikuasai rasa takut, dan tanpa sadar menatap wajah Schera. Tentara bayaran yang ada disebelahnya berusaha menyadarkan dia, kuatir, tapi kata-katanya gak sampai di telinga pria itu.


Satu jam kemudian.


Katarina keluar dari kediaman penguasa feodal.


Supnya berkilauan menyenangkan. Sebentar lagi waktunya makan.


"Katarina, gimana hasilnya? Apa kau bisa melakukannya dengan baik."


"Siap ndan, dia mengatakan semuanya. Aku menggunakan empat orang. Dia cukup keras kepala, tapi pada akhirnya, dia bilang, 'Aku akan mengatakan semuanya, jadi tolong ampuni aku.' Dia harusnya bilang begitu sejak awal, dasar pria bodoh."


Lapor Katarina dengan wajah tersenyum. Sekujur badannya berlumuran darah, dan sesuatu yang gak bisa dikenali menempel padanya. Katarina sendiri gak kelihatan peduli. Para anggota kavaleri juga sedang ngobrol santai.


Schera mengelap kotoran dari wajah Katarina menggunakan handuk, dan kemudian membersihkan zirah Katarina. Saat Schera melakukan itu, Katarina bergumam, 'maaf yang sebesar-besarnya karena menyebabkan masalah.' Disaat seperti ini, dia melakukan gerakan bermain dengan sesuatu seperti biasanya. Kali ini, tangannya tidaklah kosong, ada benda ditangannya. Benda-benda itu berbenturan satu sama lain, dan dia dengan terampil memutarnya dengan tangannya. Benda itu sangat mirip kenari, pikir Schera.
(TL note: Fix... Sudah kuduga, si letda maniak bola mata XD)


"Letda, meski kau memegang benda itu, itu nggak akan membuat perutmu kenyang. Buang saja benda itu, nanti aku kasi ini."


Schera melemparkan dua kenari yang dia sembunyikan pada Katarina.


"–Eh, b-baik! W-Whew. Hampir saja aku menjatuhkannya. Terimakasih banyak!"


Malu-malu karena hampir menjatuhkan buah kenari itu, dia menangkapnya dan menjatuhkan dua benda yang dia pegang ke samping kakinya. Kedua benda itu kotor dengan tanah, jadi dia menginjaknya. Kayaknya dia lebih suka dengan hadiah dari perwira atasannya. Dia mulai memutar-mutar buah itu lagi. Buah kenari itu mengeluarkan suara gemeretak.


"Kemarilah, ayo makan malam. Kami sudah menunggumu. Soal laporan untuk Staf Perwira Sidamo, kita bilang saja kalau kita pergi setelah selesai makan."


"Dimengerti!"


Katarina memberi hormat dan mendekat ke api unggun dengan berlari kecil.


"Mari kita makan. Aromanya lezat. Kurasa orang yang membuatnya pasti sangat terampil."


"Aku merasa terhormat menerima pujianmu!"


Saat dia memuji si prajurit, si prajurit berteriak, berdiri dan memberi hormat. Para prajurit disekitarnya langsung mengeluh karena dia terlalu keras. Mereka juga melempar kerikil.


Secara berurutan, sup, roti, dan dendeng dibagikan, dan semua orang memberi pujian pada bendera bergambar gagak putih itu. Ini bukanlah sesuatu yang dimulai oleh seseorang. Ini secara alami jadi seperti ini–karena mereka merasa seperti mereka akan diberi berkah.


Ke tempat mereka sedang makan, dengan ragu-ragu datang si tentara bayaran yang membuang pedangnya tadi. Saat Schera memberi dia sup, dia berterimakasih dan mulai meminum supnya. Di alun-alun besar yang berserakan mayat, para kavaleri menikmati waktu mereka dengan gembira.


–Laporan dari Kavaleri Schera.


Pasukan pemberontak akan melintasi bukit Golbahar, bertujuan untuk menyerang Benteng Cyrus.
Jumlah mereka 3.000 infanteri ringan sebagai garis depan, dan 5.000 sebagai penjaga belakang.
Diperkirakan mereka akan datang tiga hari lagi, dipagi hari saat kabutnya tebal.
Para penguasa feodal disekitar akan bergabung dengan mereka dan memberontak.
Meminta dokumen rahasia untuk para penguasa feodal yang berkonspirasi.
Selain itu, adapun untuk dua orang, Evjen dan Czeslaw, telah diketahui sebagai pasukan pemberontak, mereka telah diadili.

Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya